Case Fr Femur Non Union
-
Upload
chairunnisa-kusumawardhani -
Category
Documents
-
view
63 -
download
4
description
Transcript of Case Fr Femur Non Union
LEMBAR PENGESAHAN
Case Report yang berjudul Fraktur Non Union
telah diterima dan disetujui pada tanggal 10 Juli 2014
sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
periode 5 Januari – 14 Maret 2015 di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Jakarta,
dr. David Sp.OT
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Case
Report dengan judul “Fraktur Femur Non Union”. Case report ini diajukan
dalam rangka melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Budhi Asih periode 5 Januari – 14 Maret 2015 dan juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi penulis serta pembaca mengenai Fraktur. Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan dan
kerja sama yang telah diberikan selama penyusunan case report ini, kepada dr.
David, Sp.OT, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Rumah Sakit
Umum Darerah Budhi Asih.
Penulis menyadari case report ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dari semua pihak agar
case report ini dapat menjadi lebih baik dan berguna bagi semua pihak yang
membacanya. Penulis memohon maaf sebesar-besarnya apabila masih banyak
kesalahan maupun kekurangan dalam case report ini.
Jakarta,
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak
dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Penyebab fraktur
terbanyak adalah karena kecelakaan lalulintas. Kecelakaan lalu lintas ini selain
menyebabkan fraktur juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap
tahunnya.
Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau
tulang rawan bisa komplit atau inkomplit atau diskontinuitas tulang yang
disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang. Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma, bebrapa fraktur
sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis yang menyebabkan fraktur
yang patologis.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama Ko Asisten : Kalvika Vatangga Garasasi Tanda tangan :
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 22/1/2015 Perawatan hari ke : 1
No. Rekam Medik : 893697
IDENTITAS PASIEN
Nama : Aditya Putra Pratama
Usia : 15 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Pernikahan : Belum Menikah
Alamat : Bali Matraman No. 29 Rt/Rw 09/02 Manggarai Selatan
Agama : Islam
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis tanggal 23 Januari
2015 di bangsal lantai 6 RSUD Budhi Asih.
Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan nyeri dan sulit untuk berjalan
sejak satu tahun yang lalu.
Keluhan Tambahan : -
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD Budhi Asih pada 12
September 2013 dengan keluhan luka memar dan patah tulang paha kanan karena
terjatuh dari bus akibat perkelahian pelajar. Pasien melompat dari bus yang
sedang berjalan kemudian pasien jatuh terguling. Pasien pingsan di tempat
4
kejadian dan dibawa pulang kerumah oleh warga. Pasien dibawa ke rumah sakit
oleh keluarga setelah dibawa ke tukang urut karena patah tulang bagian paha
kanan. Keadaan pasien pada saat dibawa ke IGD RSUD Budhi Asih tampak sakit
sedang, kesadaran compos mentis. Status generalis normal dan pada status lokalis
didapatkan lecet-lecet pada pada dan beberapa anggota tubuh. Pada ekstremitas
terpasang spalk di kaki kanan. Diagnosis sementara adalah close fraktur femur
sepertiga proximal dengan multiple vulnus laseratum dan multiple vulnus
ekskoriosum. Kemudian dilakukan foto rontgen pelvis, femur dan cruris AP dan
lateral.
Pada tanggal 7 Agustus 2014 pasien datang ke Poli Orthopedi RSUD Budhi Asih
dengan keluhan sulit dan nyeri jika berjalan semenjak kecelakaan yang dialami
pasien. Semenjak kecelakaan pasien hanya dibawa ke tukang urut. Pasien berjalan
dibantu dengan menggunakan tongkat. Pasien didiagnosis Non union fraktur
femur dekstra sepertiga proximal dan akan dijadwalkan untuk operasi pasangan
ORIF tetapi pasien menolak.
Pada tanggal 24 September 2014 pasien kembali datang ke Poli Orthopedi RSUD
Budhi Asih dengan keluhan utama yang sama dan bersedia dilakukan operasi.
Pasien dijadwalkan untuk operasi kemudian diberikan Osteocure 1x dan kontrol
rutin ke Poli Orthopedi RSUD Budhi Asih.
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat alergi, riwayat asma, riwayat hipertensi,
riwayat DM, riwayat kolesterol tinggi, riwayat asam urat tinggi, riwayat penyakit
jantung, riwayat gangguan ginjal, riwayat penyakit kuning, hepatitis, tumor
disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga : Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami
penyakit darah tinggi, DM, penyakit jantung, keganasan, maupun alergi.
Riwayat Kebiasaan : Riwayat merokok (-), riwayat minum alkohol (-)
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan tanggal 22 Januari 2015 di Bangsal lantai 6 RSUD Budhi Asih.
5
I. Keadaan Umum
a. Kesan Sakit : Tampak Sakit Ringan, kooperatif
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Status Gizi : Gizi cukup
d. Tidak ada sesak
II. Tanda Vital dan Antropometri
PEMERIKSAAN NILAI
NORMAL
HASIL PASIEN
Suhu 36,5o - 37,2o C 36,7oC
Nadi 60-100 x/mnt 80x/mnt, reguler, isi cukup
Tekanan darah 120/80 mmHg 110/70 mmHg
Nafas 14-18 x/mnt 20x/mnt
Berat badan 58kg
Tinggi badan Sekitar 160 cm
BMI 18,5-22,9 normal (BMI 22,6)
A. Status Generalis
Kepala : Ukuran normosefali, bentuk bulat oval, tidak tampak deformitas,
pada perabaan tidak ada nyeri, rambut berwarna hitam, tidak kering,
tidak mudah dicabut
Wajah : Pipi tampak tembam, tidak tampak sesak, tidak kesakitan, tidak
pucat, tidak sianosis, ekspresi wajah simetris, dan tidak tampak facies yang
menandai suatu penyakit seperti facies hipocrates, tidak tampak moon face.
Mata : Bentuk normal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor, 3mm, reflek cahaya (+/+), kornea jernih
6
Telinga : Normotia, kartilago sempurna, secret (-/-)
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-/-), nafas cuping
hidung (- /-)
Mulut : labioschiziz (-), palatoschiziz (-), bibir sianosis (-), bibir kering
(-), trismus (-)
Leher : Trakhea teraba ditengah, KGB serta kelenjar tiroid tidak teraba
membesar
Paru-paru:
Inspeksi : bentuk simetris pada saat statis & dinamis, retraksi (-),
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler, rhonki (-/-) wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : pulsasi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba kuat setinggi ICS V axillaris
anterior kiri
Perkusi : Batas jantung tidak dinilai
Auskultasi : S1 S2 normal regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel
Perkusi : Timpani
Genitalia/ Anorektal : tidak dinilai
Ekstremitas:
Ekstremitas Superior Inferior
Deformitas -/- -/-
7
Akral dingin -/- -/-
Akral sianosis -/- -/-
Ikterik -/- -/-
CRT < 2 detik < 2 detik
Tonus baik baik
Kulit : tidak ikterik ataupun sianotik
STATUS LOKALIS
Ekstremitas inferior regio femur dekstra
Look : Deformitas (+), benjolan (-), tanda radang (-), sikatriks (+), tanda bekas
luka (+), fistel (-)
Feel : Suhu teraba hangat seperti daerah sekitarnya, nyeri (-)
Move : gerak aktif (+) terbatas di daerah sepertiga proksimal femur dekstra.
Gerak pasif (+). Spastisitas (-). ROM terbatas.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 21 Januari 2015
Hematologi
Leukosit : 11.1 ribu/ µL
Eritrosit : 6.0 juta / µL
Hemoglobin : 17.8 g/dl
Hematokrit : 53%
Trombosit : 349.000 / µL
MCV : 87.7 fL
MCH : 29.5 pg
MCHC : 33.7 g/Dl
RDW : 11.2 %
CT/BT 11/1.3
8
RESUME
Pasien datang ke Poli RSUD Budhi Asih dengan keluhan sulit dan nyeri jika
berjalan semenjak kecelakaan tanggal 24 September 2014. Sebelumnya pasien
mempunyai riwayat jatuh dari bus dan patah tulang kaki kanan pada tanggal 12
September 2013. Pasien didiagnosis Non union fraktur femur dekstra sepertiga
proximal dan akan dijadwalkan operasi.
DIAGNOSIS KERJA
Non union fraktur femur dekstra sepertiga proximal
PENATALAKSANAAN
Pro Op 2 tahap :
I. Skeletal Traksi
II. ORIF
9
Dengan persiapan pre op :
Sedia darah PRC 500 cc
IVFD Asering 15 tpm
Injeksi Fosmicin 2x2gr
PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungtionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
10
FOLLOW UP
Pasien dirawat di lantai 6 barat RSUD BUDHI ASIH tanggal 22 Januari 2015
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planing
22/1/2015 Leukosit : 16,9 ribu/uL
Hb : 14,8 g/dL
Ht : 43 %
Trombosit : 300 ribu/uL
Release + skeletal
traksi
Instruksi post operasi :
⁻ Awasi TNSR
⁻ IVFD Asering 15 tpm
⁻ Inj Fosmicin 2x2 gr
⁻ Inj Tramadol 500 mg
dalam 500 cc cairan
⁻ Inj Ketorolac 3x30 mg
⁻ Inj Ranitidine 2x1 amp
⁻ Pertahankan skeletal traksi
beban 5 kg
⁻ Cek lab darah post op, bila
Hb<10 gr/dl Trasfusi PRC
500 ml sampaidengan
Hb>10 gr/dl
11
⁻ Rontgen femur AP +
Lateral dengan terpasang
skeletal traksi beban 5 kg
23/1/2015 nyeri (+),
demam (-)
Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg
N : 64 bpm
S : 36,3oC
RR : 20x
Mata : CA -/- SI -/-
Leher : KGB tidak teraba membesar, tiroid
tidak teraba
Thorax : Sn ves +/+, Rh -/-, Wh -/-. BJ1
BJ2 reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen : Supel, BU (+), NT (-)
Ekstremitas : Oedem -/-, Akral hangat +/+
Status Lokalis
L : Terpasang skeletal traksi dengan beban
5 kg, drain (+) 600 cc
F : Nyeri tekan (+), pulsasi arteri distal (+)
Non union femur
proximal dextra
post release +
skeletal traksi HP 1
- Pertahankan skeletal traksi
beban 5 kg
- IVFD Asering/12 jam
- Fosmicin 2x2 gr
- Ranitidine 2x1amp
- Tramadol drip dalam
asering/12 jam
- Ketorolak 3x30 mg
12
M : ROM terbatas
24/1/15 Nyeri (+),
demam (+),
kesemutan (+),
muntah (+)
TD : 120/80 mmHg
N : 65 bpm
S : 37,2oC
RR : 21x
Status Lokalis
L : terpasang skeletal traksi beban 5 kg,
rembesan (-), drain (+)
F: NT (+), pulsasi arteri distal (+)
M: ROM terbatas
lab + foto rontgen
Non union femur
proximal dextra
post release +
skeletal traksi HP 2
- Pertahankan traksi beban 5
kg
- Fosmicin 2x2 gr
- Ketorolac 3x30 mg
- Ranitidine 2x1 amp
26/1/15 Nyeri (+),
demam (+),
kesemutan (-)
TD : 110/60 mmHg
N : 67 bpm
S : 37oC
RR : 18x
Status Lokalis
L : terpasang skeletal traksi beban 5 kg,
drain (+)
Non union femur
proximal dextra
post release +
skeletal traksi HP 4
- Beban traksi + 3 kg
- GV + aff drain
- Fosmicin 2x2 gr
- Ketorolac 3x30 mg
- Ranitidine 2x1 amp
- Cek DL ulang
13
F : Nyeri Tekan (+), pulsasi arteri distal (+)
M : ROM terbatas
27/1/15 Nyeri (-),
kesemutan (+),
demam (-)
TD : 100/60 mmHg
N: 58 bpm
S : 36,5oC
RR : 20x
Status Lokalis
L : terpasang skeletal traksi dengan beban
8 kg
F : Nyeri tekan (-), pulsasi arteri distal (+)
M : ROM ankle normal
Non union femur
proximal dextra
post release +
skeletal traksi HP 5
- Cek DL ulang
- Bila Hb < 10 mm/dl
transfusi PRC
- Asam mefenamat 3x500
mg
- Ciprofloxacin 3x500 mg
- Ranitidine 2x1 amp
- Transfusi PRC 500 cc
28/1/15 Nyeri (+),
demam (-)
TD : 110/70 mmHg
N : 88 bpm
S : 36,3oC
RR : 19x
Status Lokalis
L : terpasang skeletal traksi beban 8 kg,
rembesan (-)
F : Nyeri tekan (-), pulsasi arteri distal (-)
Non union femur
proximal dextra
post release +
skeletal traksi HP 6
- Beban traksi + 1 kg
- Cek DL
- Asam mefenamat 3x500
mg
- Ciprofloxacin 2x500 mg
- Ranitidine 2x1 amp
14
M : ROM Ankle normal
29/1/2015 nyeri (+),
kesemutan (-)
TD :110/70 mmHg
N :70 bpm
S : 36,5oC
RR : 20x
Status Lokalis
L : terpasang skeletal traksi beban 9 kg,
rembesan (-)
F : nyeri tekan (+)
M : ROM normal
Non union femur
proximal dextra
post release +
skeletal traksi HP 7
- Beban traksi + 1 kg
- Ciprofloxacin 2x500 mg
- Asam mefenamat 3x500
mg
- Ranitidine 2x1 amp
15
30/1/15 nyeri (+),
kesemutan (-)
TD : 120/70 mmHg
N : 63 bpm reguler
Status Lokalis
L : terpasang skeletal traksi beban 10 kg,
rembesan (-)
F : Nyeri tekan (-), pulsasi arteri distal (+)
M : ROM normal
Non union femur
proximal dextra
post release +
skeletal traksi HP 8
- Beban traksi + 1 kg
- Ciprofloxacin 2x500 mg
- Asam mefenamat 3x500
mg
- Ranitidine 2x1 amp
31/1/2015 nyeri (+), TD : 120/70 mmHg Non Union femur ⁻ Beban traksi + 1 kg
16
demam (-) N : 82 bpm
Status Lokalis
L : terpasang skeletal traksi dengan beban
11 kg
F : Nyeri tekan (+), pulsasi arteri distal (+)
M : ROM distal normal
dextra post skeletal
traksi HP 9
- Ciprofloxacin 2x500 mg
- Asam mefenamat 3x500
mg
⁻ Ranitidine 2x1 amp
2/2/2015 nyeri (+),
demam (-)
Status Lokalis
L : terpasang skeletal traksi dengan beban
12 kg. Rembes (-)
F : Nyeri tekan (+), pulsasi arteri distal (+)
M : ROM distal normal
Non Union femur
dextra post skeletal
traksi HP 11
⁻ GV + aff jahitan
- Ciprofloxacin 2x500 mg
- Asam mefenamat 3x500
mg
⁻ Ranitidine 2x1 amp
3/2/2015 keluhan (-) Status Lokalis
L : terpasang skeletal traksi dengan beban
12 kg. Rembes (-)
F : Nyeri tekan (+), pulsasi arteri distal (+)
M : ROM distal normal
Non Union femur
dextra post skeletal
traksi HP 12
⁻ Diet TKTP
⁻ Ciprofloxacin 2x500 mg
⁻ Asam Mefenamat 3x500
mg
⁻ Bolah rawat jalan
⁻ Rencana ORIF tanggal
8/2/2015
17
8/2/2015 nyeri (+),
demam (-),
kesemutan (-)
Status Lokalis
L : skeletal traksi beban 12 kg
F : NT (+), NVD (+)
M : ROM berlebih
rontgen post ORIF
pro ORIF
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI FEMUR
Di sebelah atas, femur bersendi dengan acetabulum untuk membentuk
articulatio coxae dan di bawah dengan tibia dan patella untuk membentuk
articulatio genus. Ujung atas femur memiliki caput, collum, trochanter major, dan
trochanter minor. Caput membentuk kira-kira dua pertiga dari bulatan dan
bersendi dengan acetabulum os coxae untuk membentuk articulatio coxae. Pada
pusat caput terdapat lekukan kecil yang disebut fovea capitis, untuk tempat
melekatnya ligamentum capitis femoris. Sebagian suplai darah untuk caput
femoris dari a. Oburatoria dihantarkan melalui ligamentum ini dan memasuki
tulang melalui fovea capitis. Collum, yang menghubungkan caput dengan corpus
berjalan ke bawah, belakang, dan lateral serta membentuk sudut sekitar 125
derajat dengan sumbu panjang corpus femoris. Besarnya sudut ini dapat berubah
akibat adanya penyakit. Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar
pada taut antara collum dan corpus. Linea intertrochanterica menghubungkan
kedua trochanter ini di bagian anterior, tempat melekatnya ligamentum
iliofemorale dan di bagian posterior oleh crista intertrochanterica yang menonjol,
pada crista ini terdapat tuberculum quadratum. Corpus femoris permukaan
anterionya licin dan bulat, sedangkan permukaan posterior mempunyai rigi,
melekat otot-otot dan septa intermuscularis. Pinggir-pinggir linea melebar ke atas
dan bawah. Pinggir medial berlanjut ke distal sebagai crista supracondylaris
medialis yang menuju ke tuberculum adductorum pada condylus medialis. Pinggir
lateral melanjutkan diri ke distal sebagai crista supracondylaris lateralis. Pada
permukaan posterior corpus, di bawah trochanter major terdapat tuberositas glutea
untuk tempat melekatnya m. Gluteus maximus. Corpus melebar ke arah ujung
distalnya dan menbentuk daerah segitiga datar pada permukaan posteriornya, yang
disebut facies poplitea.1
19
HISTOLOGI TULANG
Tulang adalah suatu jaringan dan organ yang terstruktur dengan baik, tulang
terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang disebut dengan korteks dan
bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekula dan dilapisi oleh
periosteum pada bagian luarnya sedangkan yang membatasi tulang dari cavitas
medullaris adalah endosteum, tulang tersusun atas :
a. Komponen sel : osteocytus, osteoblastocytus dan osteoclastocytus.
b. Komponen matrix ossea : serabut-serabut kolagen tipe I dan substantia
fundamentalis.
Arsitektur jaringan tulang dikenal dengan 2 jenis yaitu :
a. Jaringan tulang dengan arsitektur serupa jala.
b. Jaringan tulang yang menunjukan gambaran lembaran-lembaran (lamella
ossea). Masing-masing memiliki deretan lacuna ossea yang pada keadaan
segar ditempati oleh osteocytus.
20
FRAKTUR
Pengertian
Fraktur adalah diskontinuitas atau terputusnya jaringan tulang maupun
jaringan skeletal akibat tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap tulang. Trauma yang dapat menyebabkan fraktur dapat berupa
trauma langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan
tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan,
sedangkan trauma tidak langsung apabila trauma tersebut dihantarkan ke
daerah yang lebih dari daerah fraktur dan pada keadaan ini basanya jaringan
lunak akan tetap utuh.2
Klasifikasi
Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi dapat dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu :
Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masihh utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan
kulit.
Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur.
1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang.
2) Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti :
a. Hair Line Fraktur
b. Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
21
c. Green Stick Fraktur, mengenai sattu korteks dengan
angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma.
1) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi juga.
3) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial
fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi : fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
22
Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Kominutif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced : garis patah lengkap tetapi kedua fragmen
tidak bergeser da periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced : terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas :
a. Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping)
b. Dislokasi ad axim (pergeseran yeng membentuk sudut)
c. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen
saling menjauh)
Berdasarkan posisi fraktur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
Fraktur kelelahan : fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
Fraktur patologis : fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.
Menurut Gustilo dan Anderson pada tahun 1990 membagi fraktur terbuka menjadi
3 kelompok, yaitu :
1) Grade I : Luka kecil kurang dari 1 cm panjangnya, biasanya karena luka
tusukan dari fragmen tulang yang menembus kulit. Terdapat sedikit
kerusakan jaringan dan tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada
23
jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifar simple, transversal,
oblik pendek atau sedikit kominutif.
2) Grade II : Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan
yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan
dengan sedikit kontaminasi fraktur.
3) Grade III : terdapaat kerusakan yang hebat dari neurovaskuler dengan
kontaminasi yang hebat. Tipe ini biasanya di sebabkan oleh karena trauma
dengan kecepatan tinggi. Tipe 3 di bagi dalam 3 subtipe :
Tipe IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah
walaupun terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya flap. Fraktur
bersifat segmental atau kominutif yang hebat.
Tipe IIIB : fraktur disertai dengan trauma yang hebat dengan
kerusakan dankehilangan jaringan, terdapat pendorongan periost,
tulang terbuka, kontaminasi yang hebat serta fraktur kominutif
yang hebat.
Tipe III C fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri
yang memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat
kerusakan jaringan lunak.
Menurut Sachdeva, penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
1) Cedera Traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan. Misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.
24
2) Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat pross penyakit dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi berbagai keadaan berikut :
a. Tumor Tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif,
lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang memperngaruhi semua jaringan skelet lain,
biasanya disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.3
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma baik yang hebat maupun trauma
ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak.
Anamnesis harus dilakukan dengan cermat karena fraktur tidak selamanya terjadi
di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
Gejala Klinis
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat. Nyeri berkurang jika fragmen
tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Deformitas dapat disebabkan oleh pergeseran fragmen pada ekstremitas.
Deformitas dapat diketahui dengan membandingkan ekstremitas sakit dan
ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya
otot.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah
tempat fraktur.
25
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya
derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu
dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah
beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.4
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal, perlu diperhatikan adanya :
1. Syok, anemia atau perdarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang
atau organ-organ dalam rongga thorak, panggul dan abdomen.
3. Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
Menurut pedoman ATLS mengikuti akronim AMPLE, yaitu :
A : Alergi
M : Medikasi yang dikonsumsi sebelum kecelakaan
P : Past illness atau riwayat penyakit yang relevan
L : Last meal atau makanan yang dikonsumsi sebelum kecelakaan
E : Events related to the accident atau kejadian yang terkait dengan kecelakaan
termasuk keadaan alam, keadaan saat terjadinya kecelakaan.
Status Lokalis
Inspeksi (Look)
Pembengkakan, memar, dan deformitas (penonjolan yang abnormal,
angulasi, rotasi, pemendekan) mengkin terlihat jelas, tetapi hal yang
penting adalah keadaan kulit utuh atau tidak. Jika kulit sobek dan luka
memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka, keadaan vaskularisasi.
Palpasi (Feel)
26
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri. Adanya cedera pembuluh darah adalah keadaan
darurat. Perlu diperhatikan temperatur setempat yang meningkat, nyeri
tekan yang bersifat superficial biasanya disebabkan oleh kerusakan
jaringan lunak yang dalam akibat fraktur, krepitasi dapat diketahui dengan
perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati. Pemeriksaan vaskuler pada
daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis,
arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena. Refilling
(pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pda bagian distal daerah trauma,
temperatur kulit. Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.
Pergerakan (Movement)
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih pentin
guntuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi-sendi di
bagian distal cedera. Pergerakan dengan mengajak penderita untuk
menggerakan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah
yang mengalami trauma. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan
akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh
dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan
pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris
serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau
neurotmesis. Kelainan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik untuk
patokan pengobatan selanjutnya.5
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologis
Macam-macam pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk
menetapkan kelainan tulang dan sendi :
27
Foto Polos
Dengan pemeriksaan klinik sudah dapat mencurigai adanya fraktur.
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi
serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan bidai yang bersifat radiolusen
untuk imobilisasi seentara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis :
⁻ Untuk memperlajari gambaran normal tulang dan sendi.
⁻ Untuk konfirmasi adanya fraktur.
⁻ Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen
serta pergerakannya.
⁻ Untuk menentukan teknik pengobatan.
⁻ Untuk menentukan apakah fraktur baru atau tidak.
⁻ Untuk menentukan apakah fraktur intraartikuler atau
ekstraartikuler.
⁻ Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.
⁻ Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru.
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan rule of 2 yaitu, dua posisi
(minimal AP dan lateral), 2 sendi pada anggota gerak dan tungkai harus
difoto, dibawah dan diatas sendi yang mengalami fraktur, 2 anggota gerak,
2 trauma (pada trauma hebat sering menyebabkan fraktur pada 2 daerah
tulang), 2 kali dilakukan foto.
Umumnya dengan foto polos dapat didiagnosis fraktur, tetapi perlu
ditanyakan apakah fraktur terbuka atau tertutup, tulang mana yang terkena
dan lokalinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur
itu sendiri. Konfigurasi fraktur dapat menentukan prognosis serta waktu
penyembuhan fraktur.6
Penatalaksanaan
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi
semula dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang
28
(immobilisasi). Reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai keadaan sempurna
seperti semula karena tulang mempunyai remodeling.7 Cara pertama penanganan
adalah proteksi saja tanpa reposisi dan imobilisasi. Pada fraktur dengan dislokasi
fragmen patahan yang minimal atau tidak akan menyebabkan cacat dikemudian
hari, cukup dilakukan dengan proteksi saja, misalnya dengan mengenakan mitela
atau sling. Cara kedua ialah immobilisasi luar tanpa reposisi tetapi tetap
diperlukan immobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Cara ketiga berupa
reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan immobilisasi. Ini dilakukan
pada patah tulang dengan dislokasi fragmen yang berarti, seperti pada patah
tulang radius distal. Cara keempat berupa reposisi dengan traaksi terus menerus
selama masa tertentu, hal ini dilakukan pada patah tulang yang bila direposisi
akan terdislokasi kembali di dalam gips, biasanya pada fraktur yang dikelilingi
oleh otot yang kuat seperti pada patah tulang femur. Cara kelima berupa reposisi
yang diikuti dengan immobilisasi dengan fiksasi luar. Fiksasi fragmen fraktur
menggunakan pin baja yang disatukan secara kokoh dengan batangan logam di
luar kulit. Alat ini dinamakan fiksator eksterna. Cara keenam berupa reposisi
secara non operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif.
Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi interna. Cara
ini disebut juga sebagai reduksi terbuka fiksasi interna (ORIF). Fiksasi interna
yang dipakai biasanya berupa pelat dan sekrup. Keuntungan ORIF adalah
tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga pasca
operasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi segera bisa dilakukan.
Kerugiannya adalah adanya resiko infeksi tulang. ORIF biasanya dilakukan pada
fraktur femur, tibia, humerus, antebrachii. Cara yang terakhir berupa eksisi
fragmen patahan tulang dan menggantinya dengan prostesis, yang dilakukan pda
patahan tulang kolum femur. Kaput femur dibuang secara operatif lalu diganti
dengan prostesis. Penggunaan prostesis dipilih jika fragmen kolum femur tidak
dapat disambungkan kembali, biasanya pada orang lanjut usia.8
Komplikasi Fraktur
Komplikasi segera Komplikasi dini Komplikasi lama
29
Lokal :
⁻ Kulit dan otot :
berbagai vulnus,
kontusio, avulsi
⁻ Vaskular : terputus,
kontusio, perdarahan
⁻ Organ dalam :
jantung, paru-paru,
hepar, limpa, buli-
buli
⁻ Neurologis : otak,
medula spinalis,
kerusakan saraf
perifer.
Lokal :
⁻ Nekrosis kulit otot,
sindrom
kompartemen,
trombosis, infeksi
sendi, osteomielitis.
Lokal :
⁻ Tulang : malunion,
nonunion, delayed
union. Osteomielitis.
Gangguan
pertumbuhan. Patah
tulang rekuren.
⁻ Sendi ankilosis,
penyakit degeneratif,
sendi pasca trauma.
⁻ Miositis osifikan
⁻ Distrofi refleks
⁻ Kerusakan saraf
Umum : trauma multipel,
syok
Umum : ARDS, emboli
paru, tetanus
Umum : neurosis pasca
trauma
FRAKTUR SUBTROCHANTER
Fielding Classification
Berdasarkan lokasi dari garis fraktur utama dalam kaitannya dengan Trokanter.
Tipe I : Pada tingkat trokanter lebih rendah
Tipe II : < 2,5 cm di bawah trokanter lebih rendah
Tipe III : 2,5 cm sampai 5 cm di bawah trokanter lebih rendah
30
Seinsheimer Classification
Klasifikasi Seinsheimer didasarkan pada jumlah fragmen tulang utama dan lokasi
dan bentuk fraktur.
Tipe I : fraktur Nondisplaced atau fraktur dengan < 2mm dari perpindahan
fragmen fraktur.
Tipe II : Dua - bagian patah tulang.
- Jenis IIA : Dua - bagian fraktur femur melintang.
- Jenis IIB : Dua - bagian spiral fraktur dengan trokanter lebih
rendah melekat pada fragmen proksimal.
- Jenis IIC : Dua - bagian spiral fraktur dengan trokanter lebih
rendah melekat pada fragmen distal.
Tipe III : fraktur Tiga - bagian .
Tipe IIIA : Tiga - bagian spiral fraktur yang lebih rendah trokanter
merupakan bagian dari fragmen ketiga, yang memiliki lonjakan inferior
dari panjang korteks yang bervariasi.
- Ketik IIIB : Tiga - bagian spiral fraktur proksimal sepertiga dari
femur , di mana bagian ketiga adalah fragmen kupu-kupu .
Tipe IV : comminuted fraktur dengan empat atau lebih fragmen .
Tipe V : fraktur subtrochanteric - intertrochanteric , termasuk setiap
fraktur subtrochanteric dengan ekstensi melalui trokanter lebih besar.
31
Russel-Taylor Classification
Tipe I : Fraktur tidak meluas ke fossa piriformis :
- Jenis IA : trokanter Lesser melekat proksimal fragmen.
- Jenis IB : trokanter Lesser terlepas dari proksimal fragmen.
Tipe II : Fraktur yang meluas ke fossa piriformis :
- Jenis IIA : Tidak ada kominusi signifikan atau fraktur trokanter
lebih rendah.
- Jenis IIB : kominusi signifikan dari femoralis medial korteks dan
hilangnya kontinuitas lebih rendah trokanter.9
32
DELAYED UNION
Faktor penyebab delayed union dapat diringkas sebagai :
biologi , biomekanik atau faktor terkait pasien.
Biologi
Suplai darah yang tidak memadai. Displaced fraktur dari tulang panjang akan
menyebabkan robeknya kedua periosteum dan gangguan suplai darah
intramedullary. Tepi fraktur akan menjadi nekrotik dan tergantung pada
pembentukan massa kalus untuk menjembatani kedua fragmen fraktur. Jika zona
nekrosis maka penyambungan akan berlangsung lama.
Kerusakan parah jaringan lunak. kerusakan parah pada jaringan lunak
mempengaruhi penyembuhan oleh : ( 1 ) mengurangi efektivitas splint otot ; ( 2 )
merusak pasokan darah lokal dan ( 3 ) mengurangi atau menghilangkan input
osteogenik dari mesenchymal stem cell dalam otot .
Pengupasan periosteal. Pengupasan periosteum yang terlalu berat selama fiksasi
internal adalah penyebab delayed union yang tidak dapat dihindari.
Biomekanikal
Penarikan yang tidak sempurna. Traksi yang berlebihan(menciptakan gapfraktur)
atau gerakan yang berlebihan pada lokasi fraktur akan memperlambat osifikasi
dari kalus. Fiksasi yang terlalu kaku. Fiksasi yang kaku memperlambat penyatuan
dibandingkan mempercepat penyatuan fraktur. Hal ini disebabkan perangkat
fiksasi yang menahan fragmen fraktur sangat erat dinilai tidak dibutuhkan.
33
Penyatuan dengan primary bone healing menjadi lambat, tetapi memberikan
stabilitas.
Infeksi. Biologi dan stabilitas terhambat oleh infeksi aktif : tidak hanya ada lisis
tulang , nekrosis dan pembentukan pus, namun implan yang digunakan untuk
menahan patah tulang cenderung untuk longgar.
Terkait pasien
Kepercayaan pasien :
Permasalahan yang rumit
Kepercayaan yang tidak wajar
Kepercayaan yang tak Tergoyahkan
Kepercayaan akan hal yang dianggap tidak mungkin
Faktor-faktor ini harus dimodifikasi oleh pikiran pasien sendiri.
MANIFESTASI KLINIS
Nyeri pada lokasi fraktur menetap dan, jika tulang dikenai stres nyeri dapat
timbul. Pada foto rontgen, garis fraktur tetap terlihat dan ada pembentukan kalus
yang sangat sedikit atau pembentukan kalus yang tidak komplit atau reaksi
periosteal. Namun, ujung tulang yang tidak terbentuk sklerosi atau atropi.
TATALAKSANA
Konserfatif
Dua prinsip penting adalah : ( 1 ) untuk menghilangkan kemungkinan penyebab
delayed union dan ( 2 ) untuk mengstimulasi penyembuhan dengan menyediakan
lingkungan yang paling tepat. Imobilisasi (apakah dengan gips atau internal
fiksasi) harus cukup untuk mencegah pergeseran antar daerah fraktur, tetapi
tekanan fraktur merupakan stimulus penting penyatuan dan dapat ditingkatkan
dengan : ( 1 )latihan otot dan ( 2 ) dengan berat tubuh fokus pada gips atau
penjepit.
34
Operatif
Setiap kasus harus ditangani tergantung pada keuntungan tiap kasus. Namun, jika
penyatuan tertunda selama lebih dari 6 bulan dan ada ada tanda-tanda
pembentukan kalus, fiksasi internal dan bone grafting dipilih. Operasi harus
direncanakan sedemikian rupa untuk meminimalisir kerusakan jaringan lunak.
NON UNION
Dalam sebagian kecil kasus delayed union secara bertahap berubah menjadi non
union -yang jelas bahwa fraktur tidak akan pernah bersatu tanpa intervensi.
Gerakan dapat menimbulkan nyeri berkurang pada fragmen tulang yang patah.
Jarak pada fraktur menjadi sebuah tipe pseudoarthrosis. Pada foto rontgen, fraktur
jelas terlihat tetapi tulang pada kedua sisi fraktur mungkin menunjukkan baik
kalus berlebihan atau atrofi. Kedua perbedaan ini menyebabkan nonunion yang
dibagi menjadi jenis hipertropi dan atrofi. Dalam hypertrophic non - union ujung
tulang membesar, menunjukkan osteogenesis yang masih aktif tetapi tidak cukup
mampu menjembatani gap. Dalam atrofic non - union, osteogenesis tampaknya
telah berhenti. Ujung tulang tetap atau bulat tanpa terlihat pembentukan tulang
baru.
(a) This patient has an obvious pseudarthrosis of the humerus. The x-ray (b) shows a typical hypertrophic non-union. (c,d) Examples of atrophic non-union.
35
PENYEBAB
Penyebab dapat disingkat dengan akronim CASS:
Contact - Apakah ada kontak yang cukup antara fragmen?
Alignment - Apakah fraktur cukup lurus?
Stabilitas - Apakah fraktur cukup stabil?
Stimulasi - Apakah fraktur cukup 'dirangsang'? (misalnya dengan berat
tubuh)
Terdapat pula faktor biologi dan hal yang terkait dengan pasien yang dapat
menyebabkan non - union : ( 1 ) miskin jaringan lunak (baik dari cedera atau
pembedahan); ( 2 ) infeksi lokal; ( 3 ) penyalahgunaan obat, anti – inflamasi atau
obat imunosupresan sitotoksik dan ( 4 ) ketidakpatuhan pasien.
KONSERVATIF
Non-union kadang-kadang tanpa gejala, tidak memerlukan pengobatan atau,
paling sering yaitu pasien melepas bebat. Bahkan jika terdapat gejala, operasi
bukan satu-satunya jawaban; dengan hipertrofik non - union, functional bracing
mungkin cukup untuk mendorong persatuan, tapi splint perlu dipasang dalam
waktu yang lama. Pulsed electromagnetic fields and low-frequency, pulsed
ultrasound bisa juga dapat digunakan untuk merangsang penyatuan.
OPERATIVE
Hypertrophic non-union dan tanpa adanya deformitas, fiksasi internal atau
eksternal dapat digunakan untuk membentuk penyatuan tulang. Atrofic non-union,
fiksasi saja tidak cukup. Jaringan fibrosa di fraktur gap, tulang sklerotik yang
keras terakhir dipotong dan cangkok kemudian dipak disekitar fraktur. Jika terapat
yang 'die -back' yang signifikam , hal ini membutuhkan eksisi lebih luas dan gap
yang kemudian ditangani dengan tatalaksana lebih lanjut menggunakan teknik
Ilizarov .
36
Non-union – treatment (a) This patient with fractures of the tibia and fibula was initially treated by internal fixation with a plate and screws. The fracture failed to heal, and developed the typical features of hypertrophic non-union. (b) After a further operation, using more rigid fixation (and no bone grafts), the fractures healed solidly. (c,d) This patient with atrophic nonunion needed both internal fixation and bone grafts to stimulate bone formation and union (e).
37
Non-union –treatment by the Ilizarov technique Hypertrophic non-unions can be treated by gradual distraction and realignment in an external fixator (a–d). Atrophic non-unions will need more surgery; the poor tissue is excised (e,f) and replaced through bone transport (g,h).
MALUNION
Ketika fragmen bergabung dalam posisi tidak memuaskan (angulasi berlebihan,
rotasi atau shortening) fraktur dikatakan malunited. Penyebab dari malunion
adalah gagal menanggulangi patahan tulang, kegagalan untuk menahan pada saat
penyembuhan sedang berlangsung, atau runtuh tulang yang telah menyambung
atau osteoporosis.
MANIFESTASI KLINIS
Deformitas biasanya jelas , tapi kadang-kadang malunion terlihat hanya pada foto
rontgen. Deformitas rotasi femur, tibia, humerus atau lengan mungkin terlewatkan
kecuali jika dibandingkan
dengan ekstremitas lainnya.
Foto rontgen sangat penting untuk memeriksa posisi fraktur ketika sedang
menyatukan fragmen. Hal ini sangat penting selama 3 minggu pertama, ketika
situasi mungkin berubah.10
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Jong WD, Sjamsuhidajat R. Patah Tulang dan Dislokasi. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta, 1997 : 1138.
2. Rasjad Chairudin. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Bintang
lamumpatue : Ujung Pandang, 1998 : 327.
3. Schnackenburg kE, Macdonald HM, Ferber R, Wiley JP, Boyd SK. Bone
quality and muscle strength in female athletes with lower limb stress
fractures. Med Sci Sports Exerc. Nov 2011;43(11):2110-9.
4. Brukner P. Sports medicine. The tired athlete. Aust Fam Physician. Aug
1996;25(8):1283-8.
5. Lakstein D, Hendel D, Haimovich Y, Feldbrin Z. Changes in the pattern of
fractures of the hip in pattiens 60 years of age and older between 2001 and
2010 : A radiological review. Bone Joint J. Sept 2013;95-B(9):1250-4.
6. Maitra RS, Johnson DL. Stress fractures. Clinical history and physical
examination. Clin Sports Med. Apr 1997;16 (2):259-74.
7. Bloomfeldt R, Tornkvist H, Ponzer S. Internal fixation versus
hermiathroplasty for displaced fractures of the femoral neck in elderly
patients with severe cognitive impairement. J Bone Joint Surg Br. Apr
2005;87(4):523-9.
8. Heetveld MJ, Raaymakers EL, van Eck-Smit BL. Internal fixation for
displaced fractures of the femoral neck. J Bone Joint Surg Br. Mar
2005;87(3):367-73.
9. Mostofi SB. Fracture Classifications in Clinical Practice. Pelvis and Lower
Limb. United Kingdom : University of London. 2006.35-7.
10. Apley, AG., Salomon, L, (1993). Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures. 7th Edition. London : Butterworth Heinemann
39