case CHF

104
Laporan Kasus SEORANG LAKI-LAKI DATANG DENGAN KELUHAN SESAK NAPAS MEMBERAT SEJAK 3 JAM SMRS Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSMH Palembang Disusun oleh: Rani Iswara, S.Ked 04084821517009 Felicia Ivanty Fam, S.Ked 04084821517010 Pembimbing: dr. H. M. Faisal Soleh, SpPD

description

ok

Transcript of case CHF

Page 1: case CHF

Laporan Kasus

SEORANG LAKI-LAKI DATANG DENGAN KELUHAN SESAK NAPAS MEMBERAT SEJAK 3 JAM SMRS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSMH Palembang

Disusun oleh:

Rani Iswara, S.Ked 04084821517009Felicia Ivanty Fam, S.Ked 04084821517010

Pembimbing:dr. H. M. Faisal Soleh, SpPD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAMRSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG2015

Page 2: case CHF

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

SEORANG LAKI-LAKI DATANG DENGAN KELUHAN SESAK NAPAS MEMBERAT SEJAK 3 JAM SMRS

Oleh:Rani Iswara, S.Ked 04084821517009Felicia Ivanty Fam 04084821517010

Pembimbing:dr. H. M. Faisal Soleh, SpPD

Telah diterima sebagai syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik periode 22 Juli 2015 – 25 September 2015 di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, 20 Agustus 2015

dr. H. M. Faisal Soleh, SpPD

ii

Page 3: case CHF

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkah, rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “SEORANG LAKI-LAKI DATANG DENGAN KELUHAN SESAK NAPAS MEMBERAT SEJAK 3 JAM SMRS”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSMH Palembang.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. H. M. Faisal Soleh, SpPD selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari seluruh pihak agar laporan kasus ini menjadi lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan bagi penulis dan pembaca.

Palembang, 20 Agustus 2015

Penulis

iii

Page 4: case CHF

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... iHALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iiKATA PENGANTAR .................................................................................. iiiDAFTAR ISI ................................................................................................. iv

BAB I STATUS PASIEN ......................................................................... 1BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung ....................................................................... 112.2 Penyakit Arteri Koroner ........................................................ 322.3 Diabetes Melitus Tipe 2 ......................................................... 51

BAB III ANALISIS KASUS ........................................................................ 74

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 76

iv

Page 5: case CHF

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 Identifikasi Pasien

Nama : Tn. MM

Tanggal Lahir : 1 Januari 1950

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Status Pernikahan : Menikah

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Islam

Alamat : Palembang

MRS : 11 Agustus 2015

No. Rekam Medis : 115761

1.2 Anamnesis

Keluhan utama:

Sesak napas memberat sejak ± 3 jam SMRS.

Riwayat perjalanan penyakit:

± 4 bulan SMRS, pasien mengeluh sesak napas hilang timbul. Sesak

dirasakan jika beraktivitas fisik seperti berjalan ± 20 m atau saat naik turun

tangga, sesak berkurang saat istirahat, sesak saat malam hari (-), sesak tidak

dipengaruhi cuaca ataupun lingkungan, nyeri dada (-), batuk (-), demam (-),

bengkak kedua kaki (-)

± 1 bulan SMRS, pasien mengeluh sesak napas semakin sering

dirasakan. Sesak dirasakan saat beraktivitas ringan seperti mengangkat

benda dan berjalan ke kamar mandi (± 5 m), sesak berkurang saat istirahat,

sesak malam hari (+), pasien lebih nyaman tidur dengan 2-3 bantal

1

Page 6: case CHF

2

ditinggikan, nyeri dada (-), jantung berdebar-debar (-), nyeri ulu hati (-),

bengkak kedua kaki (+).

± 1 hari SMRS, pasien mengeluh sesak napas memberat, sesak tidak

dipengaruhi aktivitas, sesak menetap saat istirahat, nyeri dada (+) seperti

tertimpa benda berat dan tidak menjalar, nyeri ulu hati (+), mual (-), muntah

(-), batuk (+) berdahak warna putih, demam (-), bengkak kedua kaki (+),

nyeri kepala (+), badan lemas (+), BAB dan BAK seperti biasa.

Riwayat penyakit dahulu:

Riwayat darah tinggi (+) sejak 1 tahun yang lalu dan tidak teratur

minum obat antihipertensi

Riwayat kencing manis (+) sejak 1 tahun yang lalu dan tidak teratur

minum obat antidiabetes

Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal

Riwayat penyakit pernapasan (asma) disangkal

Riwayat pernah makan obat selama 6 bulan disangkal.

Riwayat penyakit keluarga:

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal

Hipertensi (+) dari ibu

Asma (-)

Penyakit jantung (-)

Penyakit paru (-)

Diabetes melitus (-).

Riwayat pribadi/ sosial:

Pasien merokok sejak usia 20 tahun dan baru berhenti 1 tahun yang lalu

Minum kopi (+)

Minum alkohol (-)

Olah raga (-)

Page 7: case CHF

3

1.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : Pasien tampak sakit berat

Sensorium : E4M6V5 = GCS 15

Tekanan Darah : 160/100 mmHg

Nadi : 116x/menit

Laju Pernafasan : 36x/menit

Suhu Tubuh : 36,5oC

BB : 90 kg

TB : 170 cm

IMT : 31 (Obesitas I)

Status Lokalis

Kepala : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher : JVP 5+0 cmH2O, pembesaran KGB (-)

Thorax

Cor : I : Ictus kordis tidak terlihat, thrill (-)

P : Ictus kordis tidak teraba

P : Batas jantung atas ICS II, batas kanan linea

1 jari linea parasternalis dextra, batas kiri

linea axillaris anterior sinistra ICS VI

A : Bunyi jantung I-II (+) normal, HR=

116x/menit, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : I : Gerakan dada simetris kiri = kanan, laju

pernafasan= 36x/menit

P : Stem fremitus kiri = kanan

P : Sonor kedua hemithorax

A : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronki

basah halus kedua hemithorax (+)

Abdomen : I : Cembung

P : Lemas, nyeri tekan (+) epigastrium

Page 8: case CHF

4

P : Shifting dullness (+)

A : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Edema pada ekstremitas inferior

1.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Hb : 10,0 g/dL

WBC : 25.100/µL

PLT : 246.000/µL

Ht : 29%

DC : 0/2/0/85/10/3

Glukosa sewaktu : 260 mg/dL

Ureum : 95 mg/dL

Kreatinin : 1,68 mg/dL

EKG

Page 9: case CHF

5

11 Agustus 2015

Irama sinus, axis ke kiri, HR: 150 x/menit, gelombang P normal, PR interval

0,12 detik, QRS complex 0,08 detik, R/S di V1 <1, S di V1+R di V5/V6 <

35, ST depresi di V3-V4

Kesan : sinus takikardi, iskemik anterior

Page 10: case CHF

6

Irama sinus, axis ke kiri, HR: 94 x/menit, gelombang P normal, PR interval

0,12 detik, QRS complex 0,08 detik, R/S di V1 <1, S di V1+R di V5/V6 <

35, ST depresi di V4-V6

Kesan : iskemik lateral

12 Agustus 2015

Page 11: case CHF

7

Irama sinus, axis ke kiri, HR: 88 x/menit, gelombang P normal, PR interval

0,12 detik, QRS complex 0,08 detik, R/S di V1 <1, S di V1+R di V5/V6 <

35, ST depresi di V3-V4

Kesan : iskemik anterior

13 Agustus 2015

Page 12: case CHF

8

Irama sinus, axis ke kiri, HR: 79 x/menit, gelombang P normal, PR interval

0,12 detik, QRS complex 0,08 detik, R/S di V1 <1, S di V1+R di V5/V6 <

35, ST depresi di V4-V6

Kesan : iskemik lateral

14 Agustus 2015

Page 13: case CHF

9

Irama sinus, axis ke kiri, HR: 70 x/menit, gelombang P normal, PR interval

0,12 detik, QRS complex 0,08 detik, R/S di V1 <1, S di V1+R di V5/V6 <

35, ST depresi di V4-V5

Kesan : iskemik lateral

Rontgen Thorax

Page 14: case CHF

10

Kesan : Kardiomegali, kongestif pulmonum

1.5 Diagnosis Banding

- CHF + CAD + DM tipe 2 uncontrolled overweight

- HHD dekompensata + CAD + DM tipe 2 uncontrolled overweight

1.6 Diagnosis Kerja

CHF + CAD + DM tipe 2 uncontrolled overweight

1.7 Saran Pemeriksaan

- CK-MB

- CK-NAC

- Troponin T

- SGOT

- SGPT

Page 15: case CHF

11

- HbA1c

- Urinalysis

- Echocardiography

1.8 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad malam

1.9 Penatalaksanaan

- Oksigen 3 L/ menit (nasal canule)

- IVFD RL gtt x/menit (mikro)

- Inj. Furosemid 1x40 mg

- KSR 1x600 mg

- Candesartan 1x16 mg

- ISDN 3x5 mg

- Aspilet 1x80 mg

- Lansoprazole 1x30 mg

- Metformin 3x500 mg

- Ambroxol 3x1 C

Page 16: case CHF

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung

2.1.1 Definisi

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan

darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme tubuh atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan

tekanan pengisian jantung yang tinggi atau kedua-duanya.5

2.1.2 Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara garis besar

penyebab terbanyak gagal jantung adalah penyakit jantung koroner 60-75%,

dengan penyebab penyakit jantung hipertensi 75%, penyakit katup (10%)

serta kardiomiopati dan sebab lain (10%).7

Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor

yang dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat

badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL

dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.7

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama untuk

terjadinya gagal jantung. Perubahan gaya hidup dengan konsumsi makanan

yang mengandung lemak, dan beberapa faktor yang mempengaruhi,

sehingga angka kejadiannya semakin meningkat.

Hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung

pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung

melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi

ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolic,

meningkatkan risiko terjadinya infark miokard dan memudahkan untuk

terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertropi ventrikel

12

Page 17: case CHF

13

kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. Adanya krisis

hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut.7

Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan

disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung

kongenital, katup ataupun penyakit perikardial. Kardiomiopati dibedakan

menjadi empat kategori fungsional: dilatasi (kongestif), hipertropik,

restriktif, dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan kelainan dilatasi

pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya

antara lain miokarditis virus, penyakit jaringan ikat seperti SLE, dan

poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertropik dapat merupakan penyakit

keturunan (autosomal dominant) meski secara sporadik masih

memungkinkan. Ditandai adanya kelainan pada serabut miokard dengan

gambaran khas hipertropi septum yang asimetris yang berhubungan dengan

obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertropik obstruktif).

Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance

ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan

fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.

Kardiomiopati peripartum menyebabkan gagal jantung akut.7,8

Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab

utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.

Regurgitasi mitral dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan

beban awal) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan

(peningkatan beban akhir).9

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan

dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertropi ventrikel kiri.

Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.9

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan

gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol

yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot

jantung alkohol). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus.

Alkohol juga dapat menyebabkan malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-

Page 18: case CHF

14

obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti

doksorubisin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan

gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.9

2.1.3 Patofisiologi

Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang

dimulai setelah adanya “index event” atau kejadian penentu hal ini dapat

berupa kerusakan otot jantung, yang kemudian mengakibatkan

berkurangnya miosit jantungyang berfungsi baik, atau mengganggu

kemampuan miokardium untuk menghasilkan daya. Hal ini pada akhirnya

mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi secara normal. Kejadian

penentu yang dimaksud ini dapat memiliki onset yang tiba-tiba, seperti

misalnya pada kasus infark miokard akut (MI), atau memiliki onset yang

gradual atau insidius, seperti pada pasien dengan tekanan hemodinamik

yang tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada gagal ginjal), atau

bisa pula herediter, seperti misalnya pada kasus dengan kardiomiopati

genetik. Pasien dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu

kesamaan, yaitu penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari

berbagai penyebab gagal jantung. Pada kebanyakan orang gagal jantung

bisa asimtomatik atau sedikit bergejala setelah terjadi penurunan fungsi

jantung, atau menjadi bergejala setelah disfungsi dialami dalam waktu yang

lama. Tidak diketahui dengan pasti mengenai pasien dengan disfungsi

ventrikel kiri tetap asimtomatik, hal yang berpotensi mampu memberi

penjelasan mengenai hal ini adalah banyaknya mekanisme kompensasi yang

akan teraktivasi saat terjadi jejas jantung atau penurunan fungsi jantung

yang tampaknya akan mengatur kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam

batas homeostatik/fisiologis, sehingga kemampuan fungsional pasien dapat

terjaga atau hanya menurun sedikit. Transisi pasien dari gagal jantung

asimtomatik ke gagal jantung yang simtomatik, aktivasi berkelanjutan dari

sistem sitokin dan neurohormonal akan mengakibatkan perubahan terminal

pada miokardium, hal ini dikenal dengan remodelling ventrikel kiri.

Page 19: case CHF

15

Patogenesis pada gagal jantung dapat diterangkan pada Gambar 1. Gagal

jantung dimulai setelah adanya index event yang menghasilkan penurunan

pada kemampuan pompa jantung. Seiring dengan menurunan pada kapasitas

pompa jantung, beragam mekanisme kompensasi diaktifkan termasuk

sistem syaraf adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistim sitokin. Pada

jangka pendek hal ini dapat mengembalikan fungsi jantung pada batas

homoestatik sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun dengan aktivasi

berkelanjutan mekanisme kompensasi ini dapat mengakibatkan kerusakan

organ terminal sekunder pada ventrikel, dengan remodelling ventrikel kiri

yang memburuk dan dekompensasi jantung. Sebagai akibatnya secara klinis

pasien mengalami transisi dari gagal jantung yang tidak bergejala ke gagal

jantung yang bergejala.

Gambar 1. Patofisiologi Gagal Jantung

Dikutip dari: Mann DL4

Mekanisme Neurohormonal

Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model

neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi

berlebihan suatu molekul yang secara biologis aktif, yang dapat

memberikan efek kerusakan jantung dan sirkulasi. 1,4,8

Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor

arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi

Page 20: case CHF

16

meningkat. Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan

aktifitas pada sistem simpatis, berkurangnya kemampuan sistem

parasimpatik dan simpatik dalam mengontrol denyut jantung, dan

terganggunya regulasi reflek simpatis pada resistensi vaskular. Iskemia

dinding anterior juga memiliki efek tambahan pada eksitasi sistem saraf

simpatik efferent. Gambaran sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada

gagal jantung dapat dilihat pada Gambar 2. 1.

Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif

ataupun maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat

memelihara tekanan perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung.

Sistem ini menjadi maladaptif apabila menimbulkan peningkatan

hemodinamik melebihi batas ambang normal, menimbulkan peningkatan

kebutuhan oksigen, serta memicu timbulnya cedera sel miokard. Adapun

pengaturan neurohormonal sebagai berikut:

Sistem Saraf Adrenergik

Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini

akan dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian

dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi

sistem saraf simpatis. Aktivasi system saraf simpatis ini akan menaikkan

kadar norepinefrin (NE). Hal ini akan meningkatkan frekuensi denyut

jantung, meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan

vena sistemik.1

Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan

tekanan darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang

dapat menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam

jangka pendek aktivasi sistem adrenergic dapat sangat membantu, tetapi

lambat laun akan terjadi maladaptasi.1

Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan

konsentrasi norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas,

Page 21: case CHF

17

mungkin berhubungan dengan “exhaustion phenomenon” yang berasal dari

aktivasi sistem adrenergik yang berlangsung lama.1

Gambar 2. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik

pada gagal jantung.

Dikutip dari : Floras JS10

Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-

angiotensin aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal,

berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal,

dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan

renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino

dari angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting enzyme akan

melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II.

Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1

(AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses rennin angiotensin aldosteron ini dapat

tergambar pada Gambar 2.2. Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan

vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan

Page 22: case CHF

18

katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi

pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.1

Gambar 3. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Dikutip dari: Weber KT dkk.11

Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam

mempertahankan sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika

terjadi ekspresi lama dan berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif

yang dapat menyebabkan fibrosis pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain

itu, juga akan mengakibatkan peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi

korteks adrenal zona glomerulosa untuk memproduksi aldosteron.1

Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi

dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung

relatif lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan

fibrosis vaskuler dan miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance

vaskuler dan meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron

memicu disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake

norepinefrin yang akan memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi

Page 23: case CHF

19

aldosteron pada sistem kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif

dengan hasil akhir inflamasi pada jaringan.1

Stres Oksidatif

Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen

species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari

ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II,

aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi

(tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi

hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan

mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara menurunkan bioavailabilitas

NO.1,5

Bradikinin

Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam

pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan

reseptor B1 dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat

ikatan dengan reseptor B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan

vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh

ACE.1,5

Remodeling Ventrikel Kiri

Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal menjelaskan

progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang progresif

berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan ventrikel

kiri di kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting pada

miosit jantung, perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit pada

miokard serta geometri dan arsitektur ruangan ventrikel kiri. 1,5 Proses

remodeling jantung ini dapat dijelaskan pada gambar 3. Remodeling

berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan meningkatkan

rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang overload dengan

Page 24: case CHF

20

tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta,

mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara parallel

menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung,

yang menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban jantung didominasi

dengan peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada

diastolik, yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi

pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang

mengakibatkan hipertrofi eksentrik.1

Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam

perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan

relaksasi jantung. Jalur kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada

jantung yang paling penting. Jalur ini akan terbuka saat depolarisasi

membran sewaktu fase upstroke potensial aksi. Akibatnya terjadi influk

kalsium kedalam sel yang menyebabkan fase plateu dan meningkatnya

kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian menunjukkan adanya

penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya proses fosforilasi

pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas pada influks

kalsium dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh retikulum sarkoplasma

dimana hal ini akan menurunkan kecepatan pengambilan kalsium sehingga

menyebabkan konstraksi dan pengisian jantung menurun.1,5

Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung

pada energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses

kontraksi-eksitasi merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi

membran plasma dengan pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga

dapat berikatan dengan troponin C. Saluran ion kalsium dan natrium pada

membran plasma berperan dalam memulai proses kontraksi-eksitasi. Proses

membuka dan menutup saluran kedua ion ini yang akan menjaga potensial

membran.1,5

Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan

saluran ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform

yang terjadi akan mengganti miosin ATPase yang tinggi dan mempengaruhi

Page 25: case CHF

21

struktur membran sehingga mengakibatkan penurunan dalam pompa

kalsium ATPase. Selain itu, adanya kebutuhan energi juga menyebabkan

gangguan pada proses kontraksi-eksitasi pada gagal jantung.1,5

Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada

gagal jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel

pada gagal jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka

pada sel, peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang

berlebih. Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian

menjadi fibrosis. Hal-hal ini memperburuk gagal jantung.1,5

Gambar 4. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon

terhadap hemodinamik berlebih.

Dikutip dari: Hunter JJ12

2.1.4 Klasifikasi

Page 26: case CHF

22

a. Gagal Jantung backward dan forward

Backward failure, terjadi apabila ada kegagalan pada ventrikel

dalam memompakan darah, sehingga darah terbendung dan tekanan

atrium serta vena-vena di belakangnya akan naik.

Forward failure, terjadi karena berkurangnya aliran darah

(cardiac output) kesistem arterial, sehingga tejadi pengurangan fungsi

pada organ-organ vital.

Dasar patofisiologi menurut Backward failure :

1. isi dan tekanan (volume dan pressure) pada akhir fase diastolik

(end-diastolic pressure) meninggi.

2. isi dan tekanan akan meninggi pada atrium di belakang ventrikel

yang gagal.

3. atrium ini akan bekerja lebih keras.

4. tekanan pada vena dan kapiler di belakang ventrikel yang gagal

meninggi.

5. terjadi transudasi pada jaringan interstisial. 4

b. Gagal Jantung Kanan, Kiri, dan Kongestif

Gejala yang timbul pada gagal jantung kanan adalah: fatig,

edema, liver, anoreksia, dan kembung. Pada pemeriksaan fisisk

bias didapatkan hipertrofi jantung kanan, irama derap atrium kanan,

murmur, tanda-tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis

meningkat, peningkatan tekanan vena.

Pada gagal jantung kiri akan timbul :

Dyspneu d 'efort yaitu, sesak nafas yang terjadi pada saat

melakukan aktivitas fisik

Fatig

Ortopnea merupakan sesak nafas yang terjadi pada saat

berbaring, dan dapat dikurangi dengan sikap duduk atau

berdiri. Hal ini disebabkan karena pada saat berdiri terjadi

penimbunan di kaki dan perut. Pada saat berbaring maka

Page 27: case CHF

23

cairan ini kembali ke pembuluh darah dan menambah darah

balik, sehingga terjadi sesak nafas.

Dispnea nokturnal peroksimal, yaitu serangan sesak nafas

yang terjadi pada malam hari, pada saat pasien tertidur dan

akan terbangun karena sesak nafas. Faktor-faktor yang

menyebabkan antara lain : menurunnya tonus simpatis, darah

balik yang bertambah, penurunan aktivitas pada saat

pernafasan di malam hari, dan edema paru. Untuk

menghilangkan gejala ini penderita memerlukan waktu lebih

dari 30 menit.

Pembesaran jantung

Takikardi

Batuk

Gagal jantung kiri dalam jangka panjang dapat diikuti dengan

gagal jantung kanan, demikian sebaliknya Bila gagal jantung kanan

terjadi bersamaan dengan gagal jantung kiri maka akan terjadi

gagal jantung kongestif. Secara klinis hal ini tampak sebagai suatu

keadaan dimana penderita sesak nafas disertai dengan gejala

bendungan cairan di vena jugularis, hepatomegali, edema perifer,

asites. Gagal jantung kongestif biasanya dimulai lebih dahulu oleh

gagal jantung kiri dan secara lambat diikuti gagal jantung kanan.

c. Gagal Jantung Low-Output dan High-Output

Gagal jantung low-output terjadi pada penyakit jantung

bawaan, hipertensi, katup, koroner, kardiomiopati. Gagal

jantung high-output misalnya pada tirotoksitosis, beri-beri,

Paget’s, anemia dan fistula arteri-vena.4

d. Gagal Jantung Akut dan Kronis

Gagal jantung akut menunjukkan saat atau lamanya gagal

jantung terjadi atau berlangsung. Secara garis besar sama dengan

Page 28: case CHF

24

gagal jantung kiri dan disebabkan oleh kegagalan

mempertahankan curah jantung yang terjadi secara mendadak.

Apabila terjadi mendadak, maka jantung tidak mempunyai waktu

untuk melakukan mekanisme kompensasi, misalnya pada infark

jantung akut yang luas, dinamakan gagal jantung akut.

Gagal jantung kronis sedangkan pada penyakit-penyakit

jantung katup, kardiomiopati atau gagal jantung akibat infark

lama, terjadinya gagal jantung secara perlahan atau karena gagal

jantungnya bertahan lama dengan pengobatan yang diberikan,

dinamakan gagal jantung kronik4

e. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik

Gagal Jantung Sistolik ketidak mampuan jantung untuk

memompa darah keluar dari ventrikel biasanya disebabkan oleh

adanya gangguan kemampuan inotropik miokard.

Gagal Jantung Diastolik gangguan terjadi pada saat

relaksasi dan pengisian. Petandanya adalah fungsi sistolik

ventrikel biasanya normal (terutama dengan pengukuran ejection

fraction > 50% iskemi akut, HRV).4

f. Klasifikasi NYHA

Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya

(NYHA)Tahapan Gagal Jantung berdasarkan struktural dan kerusakan otot jantung.

Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan aktivitas fisik.

Stage A

Memiliki risiko tinggi mengembangkan gagal jantung. Tidak ditemukan kelainan struktural atau fungsional, tidak terdapat tanda/gejala.

Kelas I

Aktivitas fisik tidak terganggu, aktivitas yang umum dilakukan tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas.

Stage B

Secara struktural terdapat kelainan jantung yang dihubungkan dengan gagal jantung, tapi tanpa tanda/gejala

Kelas II

Aktivitas fisik sedikit terbatasi. Saat istirahat tidak ada keluhan. Tapi aktivitas fisik yang umum dilakukan mengakibatkan

Page 29: case CHF

25

gagal jantung. kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.

Stage C

Gagal jantung bergejala dengan kelainan struktural jantung. Kelas

III

Aktivitas fisik sangat terbatasi. Saat istirahat tidak ada keluhan. Tapi aktivitas ringan menimbulkan rasa lelah, palpitasi, atau sesak nafas.

Stage D

Secara struktural jantung telah mengalami kelainan berat, gejala gagal jantung terasa saat istirahat walau telah mendapatkan pengobatan.

Kelas IV

Tidak dapat beraktivitas tanpa menimbulkan keluhan. Saat istirahat bergejala. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan bertambah berat.

Dikutip dari: Mann DL, 2008

2.1.5 Diagnosis

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang

telah digunakan secara luas. Diagnosis gagal jantung

mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria

mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima

jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi

medis yang lain seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati,

atau sindroma nefrotik (Hess OM, 2007).Kriteria mayor dan

minor dari Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung

Kriteria Mayor:

Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea

Distensi vena leher

Rales paru

Kardiomegali pada hasil rontgen

Edema paru akut

S3 gallop

Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan

Hepatojugular reflux

Page 30: case CHF

26

Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon

pengobatan gagal jantung

Kriteria Minor:

Edema pergelangan kaki bilateral

Batuk pada malam hari

Dyspnea on ordinary exertion

Hepatomegali

Efusi pleura

Takikardi ≥ 120x/menit

Dikutip dari: Mann DL, 2008

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

PEMERIKSAAN LABORATORIUMPemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung

antara lain adalah: darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum &

kreatinine, SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan

pada pasien dengan gagal jantung karena beberapa alasan berikut: (1) untuk

mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia

dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4)

untuk mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan

hemodinamik).4

Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-

sedang, namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika

dosis obat ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal, tapi

penggunaan diuretik kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik dapat

mengakibatkan hipokalemia. Derajat hiponatremia juga merupakan penanda

beratnya gagal jantung, hal ini dikarenakan kadar natrium secara tidak

langsung mencerminkan besarnya aktivasi sistem renin angiotensin yang

terjadi pada gagal jantung. Selain itu, rektriksi garam bersamaan dengan

terapi diuretik yang intensif dapat mengakibatkan hiponatremia. Gangguan

elektrolit lainnya termasuk hipofasfatemia, hipomagnesemia, dan

hiperurisemia.4

Page 31: case CHF

27

Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan

meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme

jaringan, hal ini akan meningkatkan volume overload miokard. Penelitian

juga telah menunjukkan bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada

25% penderita gagal jantung.

Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk diperiksa pada

semua pasien yang dicurigai gagal jantung untuk menilai beratnya gangguan

hemodinamik dan untuk menentukan prognosis. Biomarker Atrial

Natriuretic Peptide (ANP) dan BNP disekresikan sebagai respon terhadap

meningkatnya tekanan pada dinding jantung dan/atau neurohormon yang

bersirkulasi. Karena ANP memiliki waktu paruh yang pendek, hanya NT-

ANP yang secara klinis berguna. Untuk BNP, N-Terminal Pro-BNP dan

BNP memiliki nilai klinis yang bermakna. Kadar ANP dan BNP meningkat

pada pasien dengan disfungsi sistolik, sementara disfungsi diastolik

peningkatan kadarnya lebih rendah. Pada disfungsi sistolik, kadar BNP

ditunjukan berbanding lurus dengan wall stress, ejeksi fraksi, dan klasifikasi

fungsional. Pemeriksaan BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal

jantung berdasarkan kelas fungsionalnya.1

Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel

dan gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular

filtration rate (GFR), menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang

lebih kuat dibandingkan klasifikasi kelas fungsional.4

Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai

akibat hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase

(AST/SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat,

protrombin time (PT) dapat memanjang, dan pada sebagian kecil kasus

dapat terjadi hiperbilirubinemia.4

Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung

untuk mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri.

Konsentrasi dan volume urine harus mendapat perhatian seksama terutama

pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan yang mendapat diuretik.4

Page 32: case CHF

28

Pemeriksaan profil lipid, albuminserum fungsi tiroid dianjurkan sesuai

kebutuhan.

PEMERIKSAAN FOTO TORAKS

Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang

kardiologi, selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi

dari paru dapat dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR,

cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung

lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter

penting pada follow-up pasien dengan gagal jantung. Bentuk dari jantung

menurut CXR dapat dibagi menjadi ventrikel yang mengalami pressure-

overload atau volume-overload, dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari

aorta asenden. 4

Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran

hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara pasien

dengan gagal jantung kronik tidak memilikinya. Kongesti paru pada CXR

ditandai dengan adanya Kerley-lines, yaitu gambaran opak linear seperti

garis pada lobus bawah paru, yang timbul akibat meningkatnya kepadatan

pada daerah interlobular intersitial akibat adanya edema. Edema intersitial

dan perivaskular terjadi pada dasar paru karena tekanan hidrostatik di daerah

tersebut lebih tinggi. Temuan tersebut umumnya tidak ditemukan pada

pasien gagal jantung kronis, hal ini dikarenakan pada gagal jantung kronis

telah terjadi adaptasi sehingga meningkatkan kemampuan sistem limfatik

untuk membuang kelebihan cairan interstitial dan/atau paru. Hal ini

konsisten dengan temuan tidak adanya ronkhi pada kebanyakan pasien gagal

jantung kronis, walau tekanan arteri pulmonal sudah meningkat.

Keberadaan dan beratnya effusi pleura juga merupakan informasi penting

dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung, dan terbaik dinilai melalui

CXR dan CT-scan.3 Temuan pada foto toraks dengan penyebab dan

implikasi klinisnya dapat di lihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis

Page 33: case CHF

29

Kelainan Penyebab Implikasi KlinisKardiomegali Dilatasi ventrikel kiri,

ventrikel kanan, atria, efusi perikard

Ekhokardiografi, doppler

Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, kardiomiopati hipertropi

Ekhokardiografi, doppler

Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri

Gagal jantung kiri

Edema interstisial Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri

Gagal jantung kiri

Efusi pleura Gagal jantung dengan peningkatan pengisian tekanan jika ditemukan bilateral, infeksi paru, keganasan

Pikirkan diagnosis non kardiak

Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik

Mitral stenosis atau gagal jantung kronis

Dikutip dari : Mann DL dkk. 4

ELEKTROKARDIOGRAMPemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap

pasien yang dicurigai gagal jantung.1 Dampak diagnostik elektrokardiogram

(ECG) untuk gagal jantung cukup rendah, namun dampaknya terhadap

terapi cukup tinggi.1 Temuan EKG yang normal hampir selalu

menyingkirkan diagnosis gagal jantung.1 Gagal jantung dengan perubahan

EKG umum ditemukan. Temuan seperti gelombang Q patologis, hipertrofi

ventrikel kiri dengan strain, right bundle branch block (RBBB), left bundle

branch block (LBBB), AV blok, atau perubahan pada gelombang T dapat

ditemukan. Gangguan irama jantung seperti takiaritmia supraventrikuler

(SVT) dan fibrilasi atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole ventrikular (VES)

dapat sering terjadi dan tidak selalu menggambarkan prognosis yang buruk,

sementara takikardi ventrikular sustained dan nonsustained dapat dianggap

sebagai sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia seperti ini biasanya tidak

terdeteksi pada resting ECG tapi dapat terdeteksi pada monitoring holter 24-

atau 48- jam.4

Page 34: case CHF

30

ECHOCARDIOGRAPHY

Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum

digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium dan

perikadium, dan mengevaluasi gerakan regional dinding jantung saat

istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung.

Pemeriksaan ini non-invasif, dapat dilakukan secara cepat di tempat rawat,

dapat dengan mudah diulang secara serial, dan memungkinkan penilaian

fungsi global dan regional ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung

echocardiography adalah metode diagnostik yang dapat dipercaya, dapat

diulang, dan aman dengan banyak fitur seperti doppler echo, doppler tissue

imaging, strain rate imaging, dan cardiac motion analysis.4

Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian

Left-ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel

kiri, dan perubahan pada fungsi diastolik.3 Echo dua dimensi sangat berharga

dalam menilai fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung.

Tabel 4 mendeskripsikan temuan ekokardiografi yang sering ditemukan pada

gagal jantung.

Tabel 4. Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung

TEMUAN UMUM DISFUNGSI SISTOLIK DISFUNGSI DIASTOLIK

Ukuran dan bentuk

ventrikel

Ejeksi fraksi ventikel kiri

(LVEF)

Gerakan regional dinding

jantung, synchronisitas

kontraksi ventrikular

Remodelling LV

(konsentrik vs eksentrik)

Hipertrofi ventrikel kiri

atau kanan (Disfunfsi

Diastolik : hipertensi,

Ejeksi fraksi ventrikel kiri

berkurang <45%

Ventrikel kiri membesar

Dinding ventrikel kiri tipis

Remodelling eksentrik

ventrikel kiri

Regurgitasi ringan-sedang

katup mitral*

Hipertensi pulmonal*

Pengisian mitral

berkurang*

Ejeksi fraksi ventrikel

kiri normal > 45-50%

Ukuran ventrikel kiri

normal

Dinding ventrikel kiri

tebal, atrium kiri

berdilatasi

Remodelling eksentrik

ventrikel kiri.

Tidak ada mitral

regurgitasi, jika ada

Page 35: case CHF

31

COPD, kelainan katup)

Morfolofi dan beratnya

kelainan katup

Mitral inflow dan aortic

outflow; gradien tekanan

ventrikel kanan

Status cardiac output

(rendah/tinggi)

Tanda-tanda

meningkatnya tekanan

pengisian ventrikel*

minimal.

Hipertensi pulmonal*

Pola pengisian mitral

abnormal.*

Terdapat tanda-tanda

tekanan pengisian

meningkat.

Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.

Dikutip dari: Mann DL4

2.1.7 Penatalaksanaan

PERAWATAN MANDIRI(SELF CARE)

Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan

gagal jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-

keluhan pasien, kapasitas fungsional, morbiditas dan prognosis. Perawatan

mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk

mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat

memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa

merawat dirinya pasien perlu diberi pelatihan baik oleh dokter atau perawat

terlatih. Topik-topik penting dan perilaku perawatan mandiri yang perlu

dibahas antara lain dapat dilihat pada Tabel 5.15

Tabel 5. Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita Gagal

Jantung.

Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri

Definisi dan etiologi gagal jantung

Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhan-keluhan timbul

Gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung

Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantungMencatat berat badan setiap hari Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatanMenggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran

Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakanMengenal efek samping yang umum obat

Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darah

Page 36: case CHF

32

Kontrol gula darah (DM), hindari obesitasRekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisiRekomendasi olah raga Melakukan olah raga teraturKepatuhan mengikuti anjuran pengobatan Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan membuat

keputusan realistik

Dikutip dari: Dickstain dkk15

FARMAKOLOGIS

Algoritma penatalaksanaan gagal jatung menurut ACC/AHA pratice

Guidelines 2005 berdasarkan stage dapat dilihat pada gambar 1. Pasien

stage A belum mengalami gagal jantung dan tidak memiliki penyakit

jantung struktural, namun beresiko tinggi mengalami gagal jantung. Pasien

stage B memiliki penyakit jantung struktural yang mendasari namun belum

mengalami gagal jantung serta belum ada tanda dan gejala gagal jantung.

Pasien stage C sudah mengalami gagal jantung dilihat dari adanya penyakit

jantung struktural serta tanda dan gejala gagal jantung. Pasien stage D

merupakan perkembangan dari stage C yang bertambah parah karena pasien

mengalami refraktosi gagal jantung pada saat istirahat. Dilihat dari kategori

pasien berdasarkan stage tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasien

didiagnosa gagal jantung jika telah mengalami stage C dan D. Algoritme

penatalaksanaan gagal jantung menurut ACC/AHA practice Guidelines,

2005 terdiri dari 4 stage yaitu stage A, B, C, dan D (Gb.1) (Hunt, et al.,

2005). Sedangkan menurut NYHA (New York Heart Assosiation), gagal

jantung dibagi dalam 4 kelas yaitu 1, 2, 3, dan 4 (Walker and Edwards,

2003)(Susilo F, 2010).

Page 37: case CHF

33

Gambar 5. Algoritme Penatalaksanaan Gagal Jantung

2.2 Penyakit Arteri Koroner

2.2.1 Definisi

Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah

penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria.

Penyempitan tersebut dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai

jenis arteritis, emboli koronaria, dan spasme. Oleh karena aterosklerosis

merupakan penyebab terbanyak (99%) maka pembahasan tentang PJK pada

umumnya terbatas penyebab tersebut (Majid, 2007).

Arterosklerosis pada dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri

atas pembentukan fibrolipid dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau

penebalan yang disebut ateroma yang terdapat didalam tunika intima dan

pada bagian dalam tunika media. Proses ini dapat terjadi pada seluruh arteri,

tetapi yang paling sering adalah pada left anterior descendent arteri

coronaria, proximal arteri renalis dan bifurcatio carotis.

Page 38: case CHF

34

2.2.2 Patogenesis

2.2.1 Pembentukan Aterosklerosis

Ada beberapa hopotesis yang menerangkan tentang proses

terbentuknya aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic

hypothesis dan response to injure hypothesis. Namun yang banyak

diperbincangkan adalah mengenai empat stage respon to injure

hypothesis sebagai berikut:

a. Stage A: Endothelial injure

Endotelial yang intake dan licin berfungsi sebagai barrier yang

menjamin aliran darah koroner lancar. Faktor resiko yang dimiliki

pasien akan memudahkan masuknya lipoprotein densitas rendah

yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding arteri.

Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit dan

jaringan ikat (collagen), menyebabkan terjadinya penempelan

platelet (platelet adherence) dan agregasi trombosit (trombosit

agregation).

b. Stage B: Fatty Streak Formation

Gambar 6. Pembentukan formasi lapisan lemak dalam ruang

subendotel

Page 39: case CHF

35

c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation

Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan

tutup jaringan ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua

gambaran tipe yaitu:

1) Stable fibrous plaque dan

2) Unstable fibrous plaque

Gambar 7. Formasi plak fibrous yang terdiri atas tutup dan inti

d. Stage D: Unstable Plaque Formation

Formasi ini akan membentuk plak yang mudah ruptur

(vulnarable plaque), sehingga menyebabkan terbentuknya trombus

dan oklusi pada arteri.

Gambar 8.Timeline dari Aterosklerosis

Page 40: case CHF

36

2.2.2 Patofisiologi Terjadinya Infark Miokard

2.2.3 Manifestasi Klinis

Diatas telah dijelaskan bahwa aterosklerosis yang terbentuk dalam

lumen arteri dapat bersifat sebagai plak yang vulnarable maupun plak stabil.

Oleh karena itu penyakit jantung koroner memberikan dua manifestasi klinis

penting yaitu akut koroner sindrom dan angina pektoris stabil (ACC/AHA,

2007).

1. Plak Vulnarable (Plak yang memiliki dinding tipis dengan lemak yang

besar, mudah ruptur jika ada faktor pencetus akibat aktivasi enzim

protease yang dihasilkan makrofag) Akut koroner sindrom

a. ST elevasi miokard infark (STEACS); oklusi total oleh trombus

1) STEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung

2) Angina variant (prinzmetal), jarang terjadi; akibat spasme koroner

b. Non-ST elevasi acute coronary syndrom (NSTEACS); oklusi parsial

1) NSTEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung

Page 41: case CHF

37

2) Unstable angina; kresendo angina, tanpa peningkatan enzim

jantung

2. Plak Stabil (Plak yang memiliki dinding tebal dengan lemak yang

sedikit) angina pektoris stabil; dekresendo angina, tanpa peningkatan

enzim jantung

Gambar 9. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut

2.2.4 Faktor Risiko

1. Lipid

Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat

dimodifikasi untuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas

terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk

lipoprotein, 75 % merupakan lipoprotein densitas rendah (low density

liproprotein/LDL) dan 20 % merupakan lipoprotein densitas tinggi

(high density liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL-lah yang

rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan

terbalik antara kadar HDL dan insiden PJK.

Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat

serum kolesterol yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL

kolesterol : > 160 mg/dL) risiko terjadinya PJK akan meningkat.

Pemberian terapi dengan pravastatin dapat menurunkan rata-rata

kadar LDL kolesterol sebesar 32 %, pasien yang mendapatkan

Page 42: case CHF

38

pengobatan dengan pravastatin terhindar dari kejadian PJK sebesar 24

% dibandingkan dengan kelompok placebo.

Selain itu juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan

bahwa asam lemak omega-3 dapat menurunkan kolesterol LDL,

mengurangi kadar trigliserid dan meningkatkan kolesterol HDL.

Beberapa vitamin diduga mempunyai efek protektif terhadap

aterosklerosis, salah satunya adalah vitamin C dan E sebagai anti

oksidan guna mencegah oksidasi lipid pada plak.

Tabel 6. Total Kolesterol dan LDL Kolesterol

2. Merokok

Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya

penyakit jantung, termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga

memiliki hubungan kuat untuk terjadinya PJK sehingga dengan

berhenti merokok akan mengurangi risiko terjadinya serangan jantung.

Merokok sigaret menaikkan risiko serangan jantung sebanyak 2

sampai 3 kali. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama

perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30

% dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan bukan perokok.

Risiko terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana

orang yang merokok 20 batang rokok atau lebihdalam sehari memiliki

resiko sebesar dua hingga tiga kali lebih tinggi daripada populasi

umum untuk mengalami kejadian PJK.

Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang

kompleks, diantaranya :

Page 43: case CHF

39

a. Timbulnya aterosklerosis.

b. Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme

arteri koroner)

c. Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.

d. Provokasi aritmia jantung.

e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard.

f. Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen.

g. Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50 % setelah

satu tahun berhenti merokok dan menjadi normal setelah 4 tahun

berhenti. Rokok juga merupakan faktor risiko utama dalam

terjadinya : penyakit saluran nafas, saluran pencernaan, cirrhosis

hepatis, kanker kandung kencing dan penurunan kesegaran

jasmani.

Manfaat penghentian kebiasaan merokok lebih sedikit

kontroversinya dibandingkan dengan diit dan olah raga. Tiga

penelitian secara acak tentang kebiasaan merokok telah dilakukan

pada program prevensi primer dan membuktikan adanya penurunan

kejadian vaskuler sebanyak 7-47% pada golongan yang mampu

menghentikan kebiasaan merokoknya dibandingkan dengan yang

tidak. Oleh karena itu saran penghentian kebiasaan merokok

merupakan komponen utama pada program rehabilitasi jantung

koroner.

3. Obesitas

Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko

peningkatan PJK, hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan

beban penting pada kesehatan jantung dan pembuluh darah. Data dari

Framingham menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai

berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25

% dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %.

Page 44: case CHF

40

Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan

darah, memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan

menurunkan dislipidemia. Hal tersebut ditempuh dengan cara

mengurangi asupan kalori dan menambah aktifitas fisik. Disamping

pemberian daftar komposisi makanan, pasien juga diharapkan untuk

berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.

Tabel 6. Klasifikasi Berat Badan Menurut Index Masa Tubuh

4. Diabetes Mellitus

Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih

progresif, lebih kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok

control dengan usia yang sesuai.

Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-patologi

pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi

endothelial dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya

meningkatkan risiko terjadinya coronary artery diseases (CAD).

Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya mikroangiopati, fibrosis

otot jantung, dan ketidaknormalan metabolisme otot jantung.

Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua

hingga empat kali lebih tinggi daripada populasi umum dan

tampaknya tidak terkait dengan derajat keparahan atau durasi diabetes,

mungkin karena adanya resistensi insulin dapat mendahului onset

gejala klinis 15 – 25 tahun sebelumnya. Sumber lain mengatakan

bahwa, pasien dengan diabetes mellitus berisiko lebih besar (200%)

Page 45: case CHF

41

untuk terjadinya cardiovasculair diseases dari pada individu yang

tidak diabetes.

Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko independent untuk

PJK, juga berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid,

obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis

(peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar

fibrinogen). Hasil coronary artery bypass grafting (CABG) jangka

panjang tidak terlalu baik pada penderita diabetes, dan pasien diabetic

memiliki peningkatan mortalitas dini serta risiko stenosis berulang

pasca angioplasty koroner.

5. Riwayat Keluarga

Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna

dalam patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai

pertimbangan penting dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga

pencegahan PJK. Penyakit jantung koroner kadang-kadang bisa

merupakan manifestasi kelainan gen tunggal spesifik yang

berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerotik.

Riwayat keluarga PJK pada keluarga yang langsung

berhubungan darah yang berusia kurang dari 70 tahun merupakan

faktor risiko independent untuk terjadinya PJK, dengan rasio odd dua

hingga empat kali lebih besar dari pada populasi control. Agregasi

PJK keluarga menandakan adanya predisposisi genetik pada keadaan

ini. Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat keluarga yang positif

dapat mempengaruhi usia onset PJK pada keluarga dekat.

6. Hipertensi Sistemik

Risiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah,

untuk setiap penurunan tekanan darah disatolik sebesar 5 mmHg

risiko PJK berkurang sekitar 16 %. Peningkatan tekanan darah

sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari

Page 46: case CHF

42

ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi hipertropi ventrikel untuk

meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan oksigen oleh

miokardium akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini

mengakibat peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya

menyebabkan angina dan infark miokardium.

Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan

tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis,

sehingga rupture dan oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat

daripada orang normotensi. Penelitian Framingham menunjukkan

LVH akan meninggikan PJK 4 – 5 kali pada penderita usia lanjut.

7. Hiperhomosistein

Peningkatan kadar homosistein dalam darah akhir-akhir ini telah

ditegakkan sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya

trombosis dan penyakit vaskuler. Hiperhomosisteinemia ini akan lebih

meningkatkan lagi kejadian aterotrombosis vaskuler pada individu

dengan faktor risiko yang lain seperti kebiasaan merokok dan

hipertensi.

Lebih dari 31 penelitian kasus kontrol dan potong lintang yang

melibatkan sekitar 7000 penderita didapatkan hiperhomosisteinemia

pada 30 % sampai 90 % penderita aterosklerosis dan berhubungan

dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner.

2.2.5 Diagnosis

Tabel 7 memperlihatkan cara-cara diagnostik PJK yang terpenting,

baik yang saat ini ada atau yang di masa yang akan datang potensial akan

mempunyai peranan besar. Dokter harus memilih pemeriksaan apa saja

yang perlu dilakukan terhadap penderita untuk mencapai ketepatan

diagnostik yang maksimal dengan resiko dan biaya yang seminimal

mungkin.

Page 47: case CHF

43

Tabel 7. Cara-cara Diagnostik Penyakit Jantung Koroner

No Diagnostik Penyakit Jantung Koroner

1 Anamnesis: Nyeri dada iskemik, identifikasi faktor pencetus dan atau

faktor resiko. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:

a. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial.

b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda

berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

c. Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi,

punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.

d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.

e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan

sesudah makan

f. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat

dingin.

g. Hati-hati pada pasien diabetes mellitus, kerap pasien tidak

mengeluh nyeri dada akibat neuropati diabetik.

Berikut perbedaan nyeri dada jantung dan non-jantung

Pada UAP Crescendo angina, Angina Pektoris Stabil

Decrescendo

Angina pada wanita dan pria:

a. Wanita: Paling sering angina (terkadang pasien hanya bilang sesak

padahal maksudnya nyeri dada)

b. Pria: Paling sering langsung miocard infark banyak yang sudden

death

2 Pemeriksaan Fisik

Page 48: case CHF

44

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor

pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari PJK. Hipertensi

tak terkontrol, takikardi, anemis, tirotoksikosis, stenosis aorta berat

(bising sistolik), dan kondisi lain, seperti penyakit paru. Dapat juga

ditemukan retinopati hipertensi/diabetik.

Keadaan disfungsi ventrikel kiri/tanda-tanda gagal jantung (hipotensi,

murmur dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya

bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa

pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner

(PJK).

3 Laboratorium: leukositosis/normal, anemia, gula darah tinggi/normal,

dislipidemia, SGOT meningkat, jika cek enzim jantung maka

meningkat

Enzim Jantung Penanda Infark Miokardium (Gambar 8)

Enzim Meningkat Puncak Normal

CK-MB 6 jam 24 jam 36-48 jam

GOT 6-8 jam 36-48 jam 48-96 jam

LDH 24 jam 48-72 jam 7-10 hari

Troponin T

Troponin I

3 jam

3 jam

12-24 jam

12-24 jam

7-10 hari

7-14 hari

4 Foto Dada: Kardiomegali, aortosklerosis, edema paru

5 Pemeriksaan Jantung Non-invasif

a. EKG

Akut Koroner Sindrom:

- STEMI ST elevasi > 2mm minimal pada 2 sandapan

prekordial yang berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan

ekstremitas, LBBB baru atau diduga baru; ada evolusi EKG

- NSTEMI Normal, ST depresi > 0,05mV, T inverted

simetris; ada evolusi EKG

- UAP Normal atau transient

Angina Pektoris Stabil iskemia, dapat kembali normal waktu

Page 49: case CHF

45

nyeri hilang.

ST depresi ST elevasi Q patologis

T inverted simetris AMI

OMI

b. Uji Latihan Jasmani (Treadmill)

c. Uji Latihan Jasmani Kombinasi Pencitraan:

- Uji Latih Jasmani Ekokardiografi (Stress Eko)

- Uji Latih Jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard

- Uji Latih Jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging

d. Ekokardiografi Istirahat

e. Monitoring EKG Ambulatoar

f. Teknik Non-invasif Penentuan Klasifikasi Koroner dan Anatomi

Koroner:

- Computed Tomografi

- Magnetic Resonance Arteriography

6 Pemeriksaan Invasif Menentukan Anatomi Koroner

- Arteriografi Koroner

- Ultrasound Intra Vaskular (IVUS)

Sumber: Madjid, Abdul (2007) yang telah dimodifikasi

Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti,

penentuan faktor resiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien

dengan gejala angina pektoris ringan cukup dilakukan pemeriksaan non-

invasif. Bila pasien dengan keluhan yang berat dan kemungkinan diperlukan

tindakan revaskularisasi, maka tindakan angiografi sudah merupakan

indikasi.

Pada keadaan yang meragukan apat dilakukan treadmill test.

Treadmill test lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan EKG istirahat

dan merupakan test pilihan untuk mendeteksi pasien dengan kemungkinan

angina pektoris dan pemeriksaannya yang mudah dan biayanya terjangkau.

Iskemia Injury Infark

Page 50: case CHF

46

Pada pasien PJK, iskemia miokard direfleksikan dengan depresi segmen ST,

yang sering terlihat pada lead dengan gelombang R tertinggi (biasanya V5).

Pemeriksaan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah

ekokardiografi dan teknik non-invasif penentuan kalsifikasi koroner dan

anatomi koroner, Computed Tomography, Magnetic Resonance

Arteriography, dengan sensitifitas dan spesifitas yang lebih tinggi. Di

samping itu tes ini juga cocok untuk pasien yang tidak dapat melakukan

exercise, di mana dapat dilakukan uji latih dengan menggunakan obat

dipyridamole atau dobutamine (Gray, dkk., 2005).

2.2.6 Gambaran EKG

Satu dari tiga komponen penting dalam diagnosis penyakit jantung

koroner utamanya sindrom koroner akut adalah EKG. Kombinasi riwayat

penyakit yang khas dan peningkatan kadar enzim jantung lebih dapat

diandalkan daripada EKG dalam diagnosis infark miokard. EKG memiliki

tingkat akurasi prediktif positif sekitar 80%.

1. Segmen ST dan Gelombang T pada Iskemia Miokard

Iskemia miokard akan memperlambat proses repolarisasi, sehingga

pada EKG dijumpai perubahan segmen ST (depresi) dan gelombang T

(inversi) tergantung beratnya iskemia serta waktu pengambilan EKG.

Spesifitas perubahan segmen ST pada iskemia tergantung morfologinya.

Diduga iskemia jika depresi segmen ST lebih dari 0,5mm (setengah kotak

kecil) dibawah garis besline (garis isoelektris) dan 0,04 detik dari j point.

Pada treadmill test, positif iskemia jika terdapat depresi segmen ST sebesar

1mm.

Page 51: case CHF

47

Gambar 10. Variasi segmen ST (depresi) pada iskemia

2. Perubahan/Evolusi EKG pada Injure Miokard

Sel miokard yang mengalami injuri tidak akan berdepolarisasi

sempurna, secara elektrik lebih bermuatan positif dibanding daerah yang

tidak mengalami injuri dan pada EKG terdapat gambaran elevasi segmen ST

pada sandapan yang berhadapan dengan lokasi injuri. Elevasi segmen ST

bermakna jika elevasi > 1mm pada sandapan ekstremitas dan > 2mm pada

sandapan prekordial di dua atau lebih sandapan yang menghadap daerah

anatomi jantung yang sama. Perubahan segmen ST, gelombang T dan

kompleks QRS pada injuri dan infark mempunyai karakteristik tertentu

sesuai waktu dan kejadian selama infark. Aneurisma ventrikel harus

dipikirkan jika elevasi segmen ST menetap beberapa bulan setelah infark

miokard.

Page 52: case CHF

48

Gambar 11. Pola perubahan EKG pada IMA dengan ST elevasi

(Emerg Med Clin N Am 2006; 24:53-89)

3. Perubahan EKG pada Infark Miokard Lama (OMI)

Infark miokard terjadi jika aliran arah ke otot jantung terhenti atau

tiba-tiba menurun sehingga sel otot jantung mati. Sel infark yang tidak

berfungsi tersebut tidak mempunyai respon stimulus listrik sehingga arah

arus yang menuju daerah infark akan meninggalkan daerah yang nekrosis

tersebut dan pada EKG memberikan gambaran defleksi negatif berupa

gelombang Q patologis dengan syarat durasi gelombang Q lebih dari 0,04

detik dan dalamnya harus minimal sepertiga tinggi gelombang R pada

kompleks QRS yang sama.

Gambar 12. (A) EKG sandapan II normal dengan progresi normal vektor listrik (tanda panah) dan kompleks QRS dimulai dengan

gelombang Q septal yang kecil. (B) Perubahan EKG sandapan II pada infark lama: arah arus meninggalkan daerah infark (tanda panah)

dan memperlihatkan gambaran defleksi negatif berupa gelombang Q patologis pada EKG

Page 53: case CHF

49

4. Konsep Resiprokal

Pada sandapan dengan arah berlawanan dari daerah injuri

menunjukkan gambaran depresi segmen ST dan disebut perubahan

resiprokal (mirror image). Perubahan ini dijumpai pada dinding jantung

berlawanan dengan lokasi infark (75% dijumpai pada infark inferior dan

30% pada infark anterior). Perubahan ini terjadi hanya sebentar diawal

infark dan jika ada berarti dugaan kuat suatu infark akut.

Gambar 13. Konsep Resiprokal

5. Lokalisasi Infark Berdasarkan Lokasi Letak Perubahan EKG

Lokasi Lead / Sandapan Perubahan EKGAnterior V1-V4 ST elevasi, Gelombang QAnteroseptal V1-V3 ST elevasi, Gelombang QAnterior Ekstensif V1-V6 ST elevasi, Gelombang QPosterior V1-V2 ST depresi, Gelombang R tinggiLateral I, avL, V5-V6 ST elevasi, Gelombang QInferior II, III, avF ST elevasi, Gelombang QVentrikel kanan V4R-V5R ST elevasi, Gelombang Q

2.2.7 Penatalaksanaan

1. Akut Koroner Sindrom

Diagnosis; 2 dari 3 dibawah ini

a. Angina (Sensitifitas 70%, Spesifitas 20%)

b. Perubahan EKG (Sensitifitas 50%, Spesifitas 100%)

Page 54: case CHF

50

c. Peningkatan Enzim Jantung (Sensitifitas dan Spesifitas mendekati

100%)

Penanganan di Instalasi Gawat Darurat

Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena

kita berpacu dengan waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi

dilakukan hasilnya akan lebih baik. Tujuannya adalah mencegah

terjadinya infark miokard ataupun membatasi luasnya infark dan

mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang dilakukan adalah

sebagai berikut:

a. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah:

1) Pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,

2) Periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,

3) Berikan segera: infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,

4) Pasang monitoring EKG secara kontiniu,

5) Pemberian obat:

- Nitrat sublingual/ transdermal/ nitrogliserin intravena titrasi

(kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg, bradikardia (<

50 kpm)

- Aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti

dengan dipiridamol, tiklopidin atau klopidogrel, dan

- Mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat

diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-

50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.

Prinsip Management:

STEMI : MONACO + Reperfusi

NSTEMI : MONACO + Heparin

b. Hasil penilaian EKG, bila:

1) Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan

ekstremitas berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih

sadapan prekordial berdampingan atau blok berkas (BBB) dan

Page 55: case CHF

51

anamnesis dicurigai adanya IMA maka sikap yang diambil

adalah dilakukan reperfusi dengan :

Terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi

< 12 jam, usia < 75 tahun dan tidak ada kontraindikasi.

o Streptokinase: BP > 90 mmHg

o tPA: BP < 70mmHg

o Kontraindikasi: Riwayat stroke hemoragik, active internal

bleeding, diseksi aorta.

o Jika bukan kandidate reperfusi maka perlakukan sama

dengan NSTEMI/UAP.

Angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan

tenaga memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi alternatif

trombolitik atau bila syok kardiogenik atau bila ada

kontraindikasi terapi trombolitik

2) Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi

T), diberi terapi anti-iskemia, maka segera dirawat di ICCU; dan

3) EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan

di UGD. Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial

dalam pemantauan 12 jam pemeriksaan enzim jantung dari

mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi selama 12 jam, bila:

EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan

untuk evaluasi stress test atau rawat inap di ruangan (bukan

di ICCU), dan

EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung

meningkat, pasien di rawat di ICCU.

2. Angina Pektoris Stabil (Kronis Koroner Sindrom)

Tujuan utama pengobatan adalah mencegah kematian dan

terjadinya serangan jantung (infark). Sedangkan yang lainnya adalah

mengontrol serangan angina sehingga memperbaiki kualitas hidup.

Page 56: case CHF

52

Pengobatan terdiri dari farmakologis dan non-farmakologis untuk

mengontrol angina dan memperbaiki kualitas hidup. Tindakan lain

adalah terapi reperfusi miokardium dengan cara intervensi koroner

dengan balon dan pemakaian stent sampai operasi CABG (bypass).

Berikut 10 elemen penting untuk penatalaksanaan angina stabil:

Aspirin dan anti angina

Beta bloker dan pengontrol tekanan darah

Cholesterol kontrol dan berhenti merokok

Diet dan atasi diabetes

Edukasi dan olah raga

2.3 Diabetes Melitus Tipe II

Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus

(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

kedua-duanya.3

Klasifikasi

Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010

(ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu:3

1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM

DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab

autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin

dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak

terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah

ketoasidosis.

2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa

membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang

merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa

Page 57: case CHF

53

oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh

karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena

dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi

relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin

pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta

pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.

Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik.

Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas

reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi

komplikasi.

3. Diabetes Melitus Tipe Lain

DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi

sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit

metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan

genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada tabel 1.

4. Diabetes Melitus Gestasional

DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa

didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan

ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.

Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang

menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

Patofisiologi

1. Resistensi insulin

2. Disfungsi sel beta pankreas

Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel beta pankreas,

amilin dan sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak

dapat bekerja optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel

hepar. Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel beta pancreas

mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan

homeostasis glukosa darah, sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensatoir

Page 58: case CHF

54

untuk mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase tertentu dari

perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat

walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi

peningkatan asam lemak bebas dalam darah.

Manifestasi Klinik

1. Pada DM tipe 1, gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,

polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lela (fatigue),

iritabilitas, dan pruritis.4

2. Pada DM tipe 2, gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. Jenis DM

ini seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa

tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi.

Penderita DM tipe 2 ini umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh

dari luka, daya penglihatan memburuk, menderita hipertensi, hiperlipidemia,

obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan saraf.4

Diagnosis klinis DM umumnya diketahui apabila ada keluhan khas DM yang

berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak jelas

penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin adalah badan terasa lemah, sering

kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pria, dan pruritus vulvae pada

wanita.4

Diagnosis

Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria,

polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu

(GDS) ≥ 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan

Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman

diagnosis DM.3

Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah

abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.

Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl

Page 59: case CHF

55

pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl.

Alur penegakkan diagnosisDM dapat dilihat pada skema di bawah.3

Komplikasi

Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut

maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun

makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end-

stage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult

blindness. Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah,

terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat

komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes

lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang

dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah:3

Page 60: case CHF

56

Kerusakan saraf (Neuropati)

Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan

sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta

susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal

ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan

baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil

diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila

dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal

maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang

memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati

diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf

tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah

kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan

saraf mana yang terkena.

Kerusakan ginjal (Nefropati)

Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh darah

kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan

yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja

selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan

yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak

dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor

ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan

darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal.

Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau

kerusakan saraf.

Kerusakan mata (Retinopati)

Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadipenyebab

utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh

diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh

darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak

pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan

Page 61: case CHF

57

transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin

diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi

peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata.

Penyakit jantung koroner (PJK)

Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan

lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya

suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga

kematian mendadak bisa terjadi.

Stroke

Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d

11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi.

Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan

Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan Diabetes tipe 2.

Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang

dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat

hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal,

atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila

penderita diabetes juga terkena hipertensi.

Penyakit pembuluh darah perifer

Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang

dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan

prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak

mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa

sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan

wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping

diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh,

pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.

Gangguan pada hati

Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan gula

bisa bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa

Page 62: case CHF

58

terganggu akibat penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak

menderita diabetes, penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus

hepatitis B atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi

orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk

pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah

terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati

yang sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty

liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan

ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak

di jaringan tubuh lainnya.

Penyakit paru

Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberculosis paru

dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara

sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit

paru akan menaikkan glukosa darah.

Gangguan saluran cerna

Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena kontrol

glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai

saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena

infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai

pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal

serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare

juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung dan

usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat pemakaian obat-

obatan yang diminum.

Infeksi

Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam

menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah

terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-

paru, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang

Page 63: case CHF

59

tinggi juga merusak system saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita

terhadap adanya infeksi.

Penatalaksanaan

Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia

2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar

penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan

intervensi farmakologis.

1. Edukasi

Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang

memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi

dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien

untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung

usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya

dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin

timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan

pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan

yang diperlukan. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa

mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok,

meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.

2. Terapi Gizi Medis

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang

seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan

memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi

makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%,

protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.

3. Latihan Jasmani

Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama

kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobic seperti

berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk

Page 64: case CHF

60

menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan

sensitifitas insulin.

4. Intervensi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan

pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari

obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:

I. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)

Pemicu sekresi insulin:

a. Sulfonilurea

• Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas

• Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang

• Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkanpada orang tua, gangguan

faal hati dan ginjal serta malnutrisi

b. Glinid

• Terdiri dari repaglinid dan nateglinid

• Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada

sekresi insulin fase pertama.

• Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial

Peningkat sensitivitas insulin:

a. Biguanid

• Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.

• Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap

kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan

menurunkan produksi glukosa hati.

• Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk,

disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.

b. Tiazolidindionleading article

• Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein

pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.

• Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena

meningkatkan retensi cairan.

Page 65: case CHF

61

Penghambat glukoneogenesis:

Biguanid (Metformin).

• Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi

produksi glukosa hati.

• Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan

kreatinin serum > 1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta pasien

dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis

• Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti

golongan sulfonylurea.

• Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual)

namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.

Penghambat glukosidase alfa :

Acarbose

• Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.

• Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti

golongan sulfonilurea.

• Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu

kembung dan flatulens.

• Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1

(GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel

L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang

masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan

penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi

metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4

dapat meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat

penglepasan glukagon.

II. OBAT SUNTIKAN

Insulin

a. Insulin kerja cepat

b. Insulin kerja pendek

c. Insulin kerja menengah

Page 66: case CHF

62

d. Insulin kerja panjang

e. Insulin campuran tetap

Agonis GLP-1/incretin mimetik

• Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa menimbulkan

hipoglikemia, dan menghambat penglepasan glukagon

• Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonilurea

• Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti mual

muntah

Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat dipahami

bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua

pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang terus

menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten, dan melakukan

latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat terkendali

kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan GHS glukosa

darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO. Pemberian OHO

dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan

respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda tergantung jenisnya.

Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid diberikan sesaat

sebelum makan. Metformin bias diberikan sebelum/sesaat/sesudah makan.

Acarbose diberikan bersama makan suapan pertama. Tiazolidindion tidak

bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat makan atau

sebelum makan.

Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali

maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO

yang cara kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila

dengan GHS dan kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka

ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan

kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal. Yang dimaksud dengan insulin

basal adalah insulin kerja menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam

hari menjelang tidur. Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali

maka pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada

Page 67: case CHF

63

terapi insulin ini diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa

darah puasa, dan insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk mengendalikan

glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial ini berbentuk basal

bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial. Algoritma tata laksana

selengkapnya dapat dilihat pada gambar 2.

Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang

digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.

Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun. Gambar 3

menunjukkan panduan tatalaksana berdasarkan hasil A1c.

Page 68: case CHF

BAB III

ANALISIS MASALAH

Pasien laki-laki usia 65 tahun datang dengan keluhan sesak napas yang

memberat sejak ± 3 jam SMRS. Sesak napas ini sudah dimulai sejak ±4 bulan

SMRS. Penderita memiliki riwayat hipertensi kronis yang tidak teratur minum

obat antihipertensi. Hal ini merupakan salah satu penyebab yang dapat

mengakibatkan kompensasi jantung pada beban kerja yang berlebihan dibebankan

dengan kenaikan tekanan sistemik yang mula-mula dipertahankan dengan

hipertrofi ventrikel kiri, ditandai oleh ketebalan dinding yang bertambah, fungsi

ruang ini memburuk, kavitas berdilatasi, dan timbul gejala dan tanda gagal

jantung.

Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi

ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dialtasi ventrikel kiri. Rangsangan simpatis

dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan

volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi

gangguan kontraksi miokard (penurunan/ gangguan fungsi sistolik). Gangguan

fungsi sistolik ini merupakan ketidakmampuan kontraksi jantung memompa

sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan

aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung kiri akibat

kelemahan ventrikel, menyebabkan peningkatan ekanan vena pulmonalis dan paru

menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnea.

Hal ini sesuai dengan keluhan yang dialami penderita sejak ± 4 bulan

SMRS, yaitu sesak napas yang hilang timbul, dan mudah lelah saat beraktivitas

fisik seperti berjalan ±20 m. Penyakit bersifat progresif hingga ±1 bulan SMRS,

sesak mulai bertambah bahkan pada aktivitas ringan seperti berjalan ±5 m, dan

bahkan tetap sesak ketika sedang beristirahat. Pada malam hari, pasien juga

mengeluh batuk berdahak dan sesak saat berbaring, sehingga lebih nyaman tidur

dengan 2-3 bantal.

64

Page 69: case CHF

65

Penderita juga mengeluh nyeri dada kiri seperti tertimpa benda berat, gejala

ini yang disebut angina pektoris yang juga dapat terjadi karena berhubungan

penyakit arterial koroner yang cepat dan kebutuhan oksigen miokard yang

bertambah sebagai akibat massa miokard yang bertambah. Hipertensi, iskemia

miokard dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit

pada hipertensi.

Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan dengan Kriteria

Framingham minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Gejala yang didapati

pada penderita ini antara lain paroksismal nokturnal dispnea, batuk malam hari,

dyspneu d’effort. Pada pemeriksaan fisik yang memenuhi kriteria antara lain

terdapat ronki paru basah halus pada kedua lapang paru dan edema ekstremitas

bawah.

Page 70: case CHF

DAFTAR PUSTAKA

1. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease. Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.

2. Darmojo B. Penyakit Kardiovaskuler pada Lanjut Usia. Dalam : Darmojo B, Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2004. h. 262-264

3. Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2007. h. 2-9.

4. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.

5. Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.

6. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role of angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.

7. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ 2000; 320:104-7.

8. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive). In: Dec GW, editor. Heart Failure a Comprehensive Guide to Diagnosis and Treatment. New York: Marcel Dekker; 2005. p.137-156.

9. Harbanu HM, Santoso A. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 Bulan September 2007. P.85-93.

10. Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system in Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to Braunwald's Heart Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.

11. Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001; 345:1689

12. Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and failure. N Engl J Med. 1999; 341:1276

13. Harlan WR, Obermann A, Grimm R, Rosati RA. Chronic congestive heart failure in coronary artery disease: clinical criteria. Ann Intern Med. 1977;86:133–138.

66