CASE 4 DEPRESI + IO
-
Upload
dradrianramdhany -
Category
Documents
-
view
221 -
download
4
description
Transcript of CASE 4 DEPRESI + IO
DEPRESI PADA PENDERITA SIDA
DEPRESI
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
Menurut Kaplan, depresi merupakan salah satu gangguan mood yang
ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya
penderitaan berat. Mood adalah keadaan emosional internal yang meresap dari
seseorang, dan bukan afek, yaitu ekspresi dari isi emosional saat itu (Kaplan,
2010).
Keluhan fisis yang umum dijumpai pada pasien ansietas dan depresi antara
lain sakit kepala, anoreksia, cepat lelah, konstipasi, insomnia, palpitasi,
berkeringat, libido menurun, sakit perut, nyeri ulu hati, sesak nafas dan lain lain.
Keluhan psikis jarang dikemukakan secara langsung dan baru terungkap melalui
anamnesis teliti dan terarah. Belakangan diperhatikan, jika pasien berasal dari
kelompok dengan intelegensia tinggi, mereka akan mengemukakan keluhan psikis
sebagai keluhan utamnya. Sedangkan pada kelompok dengan intelegensia rendah,
mereka akan mengemukakan keluhan fisisnya terlebih dahulu.1
Untuk mempermudah mengenal keadaan depresi, terdapat gejala yang
merupakan trias depresi yaitu :1
1. Tidak bisa menikmati hidup
2. Tidak ada perhatian pada lingkungan
3. Lelah sepanjang hari
1
Ada beberapa komponen lain dari depresi yang diajukan oleh Sutter, yaitu :1
1. Ketidakmampuan untuk berkomunikasi, merasa hampa, tidak mampu
bertukar pikiran dan gagasan, kehilangan semangat.
2. Senang menyendiri, dan tidak mampu mengantisipasi secara positif
kehadiran orang lain.
3. Perasaan tidak mampu, selalu merendahkan dirinya.
4. Was-was dan selalu merasa terancam.
Patofisiologi6
Patofisiologi dari penyakit psikosomatik, termasuk ansietas dan depresi
bersumber pada adanya ketidakseimbagan saraf otonom vegetatif. Saraf ini
mempesarafi sebagian besar dari alat viseral tubuh, sehingga tidaklah
mengherankan bila muncul keluhan berupa keluhan kardiovaskular, respirasi,
saluran cerna, urogenital dan sebagainya. Sedangkan penyebab
ketidakseimbangan vegetatif pada gangguan psikosomatik sebagian besar
merupakan faktor psikis, seperti konflik emosional, frustasi, ketegangan yang
berlangsung lama, dan berbagai stres psikis lainnya.
Keluhan adanya ketidakseimbangan vegetatif sangatlah beraneka ragam
seperti sakit kepala, pusing, serasa mabuk, cenderung untuk pingsan, banyak
berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pada lambung dan
usus, diare, anoreksia, kaki dan tangan dingin, kesemutan, merasa dingin/panas di
seluruh tubuh dan sebagainya.
Yang khas ialah bila ketidakseimbangan vegetatif itu murni, maka tidak
didapatkan gejala seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Seringkali ditemukan
keluhan yang berpindah dari sistem organ yang satu ke sistem organ lainnya,
untuk kemudian menghilang dalam waktu singkat tanpa adanya kelainan pada
organ-organ tersebut. Dalam waktu yang cukup lama, keluhan yang bersifat
fungsional dapat pula mengakibatkan kelainan organik.
2
Akhir-akhir ini gangguan vegetatif autonom dihubungkan dengan adanya
gangguan konduksi impuls saraf di celah-celah sinaps antar neuron. Gangguan
konduksi ini disebabkan adanya kelebihan/kekurangan neurotransmitter di
presinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor-reseptor post sinap.
Beberapa neurotransmitter yang telah diketahui antara lain noradrenalin, dopamin,
dan serotonin. Dikemukakan juga konsep lain terjadinya gangguan fungsional
pada organ viseral, yaitu visceral hyperalgesia. Keadaan ini meningkatkan respon
reflek yang berlebihan pada beberapa bagian viseral tadi, yang dibuktikan dengan
adanya kasus non cardiac chestpain, non ulcer dyspepsia, dan irritable bowel
syndrome.
AIDS/SIDA
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS/SIDA) dapat diartikan
sebagai kumpulan gejala yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk family retroviridae. SIDA
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. Prevalensi HIV cenderung bertambah
tinggi dari tahun ke tahun. Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan orang yang
melakukan perilaku berisiko tinggi untuk tertular HIV. Setengah abad dari awal,
epidemi HIV dan SIDA terjadi pada 40 juta orang dengan HIV, pada tahun 2005
terdapat 5 juta penderita baru terjadi. Jumlah kasus HIV dan SIDA didunia terus
meningkat, sebesar 39,5 juta orang terinfeksi HIV. Terdapat 4.3 juta infeksi baru
dengan 2.8 juta infeksi baru terjadi di Sub Sahara (WHO/UNAIDS, 2006).
Menurut dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Depkes RI jumlah orang dengan infeksi HIV dan SIDA dari 1987 hingga 2008
dilaporkan 5.23 per 100.000. Tahun 2010 dilaporkan jumlah kumulatif kasus
SIDA sebanyak 24131 kasus dengan prevalensi sebesar 10.46% (Ditjen PPM &
PL Depkes, 2010).
DEPRESI PADA PENDERITA SIDA
HIV dengan gangguan kejiwaan mempunyai hubungan timbal balik.
Seseorang yang terinfeksi HIV akan dapat menyebabkan gangguan kejiwaan
3
akibat virus HIV masuk dan menyerang sistem saraf pusat yang ada di dalam
otak. Perjalanan SIDA yang berakhir dengan kematian, penyebarannya yang
cepat, adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA menjadi hal yang dapat
menimbulkan stress dan gangguan psikiatri pada ODHA tersebut.
Prevalensi gangguan mental pada ODHA dilaporkan antara 5% dan 23%
(WHO,2008). Penelitian oleh Treisman (2007) pada klinik HIV John Hopkins
University menunjukkan bahwa 54% pasien didiagnosa mengalami gangguan
psikiatri antara lain depresi berat (20%), penurunan moral/ gangguan penyesuaian
(18%), gangguan penyalahgunaan zat (74%), penurunan kognitif (18%). Alim
(2010) yang menemukan bahwa gangguan psikiatri seperti depresi, kecemasan,
psikosis, dan lain- lain merupakan gangguan psikiatri yang paling banyak
ditemukan pada pasien dengan HIV dan SIDA. Depresi dan kecemasan
merupakan gangguan psikiatri yang paling umum dialami oleh ODHA yang
berkunjung pada klinik dukungan bagi ODHA di RS Kampala, Uganda
(Petrushkin, 2005) dan prevalensi depresi mencapai 53.9% pada kalangan HIV
positif di Uganda (Nakasujja dkk, 2010).
Hal ini menjadi berbahaya bagi pasien SIDA yang menderita depresi.
Salah satu penyebab dari rendahnya kepatuhan pengobatan antiretroviral pada
ODHA adalah gangguan depresi (Vranceanu dkk, 2008). Pence (2009) juga
menemukan bahwa depresi menjadi prediktor rendahnya kepatuhan ART,
meningkatnya perilaku seksual berisiko, kegagalan pengobatan ART, kecepatan
sindrom HIV, dan angka kematian yang tinggi. Pada analisis multivariat diperoleh
bahwa wanita dengan HIV dan SIDA dengan gejala depresi kronik dua kali
berisiko mengalami kematian dibanding wanita tanpa depresi (Ickovics, 2011).
Dengan kata lain gangguan depresi mempunyai hubungan dengan kemajuan
sindrom penyakit dan peningkatan kematian. Depresi yang kronik juga
berhubungan dengan perilaku seksual yang berisiko bagi ODHA lainnya dan
kelompok negatif. Implikasi ini berhubungan dengan penyebaran penyakit
(Makin, 2009).
Menurut Mellins dkk (2003), pada kelompok remaja yang terinfeksi HIV,
gangguan psikiatri seperti depresi, kecemasan, masalah perilaku dan sosial
merupakan gangguan psikiatri yang dominan dialami dengan prevalensi sebesar
4
12%- 44 %. Namun, kelompok umur 30- 39 tahun ditemukan sindrom depresi
berat pada pasien HIV di RSUP H.Adam Malik (Saragih, 2005).
Gangguan depresi dan kecemasan lebih tinggi terjadi pada wanita dengan
HIV positif dibanding wanita HIV negatif (Morisson dkk, 2002). Depresi klinik di
kalangan wanita dengan HIV dan SIDA lebih tinggi dibanding dengan pria HIV
dan SIDA (Voss, 2007). Penelitian Gupta dkk (2010) bahwa dari 1.268 responden
HIV positif 25.3% wanita mengalami depresi dengan pendidikan yang rendah.
Hal ini sejalan dengan infeksi HIV pada wanita lebih tinggi dibanding pria dengan
HIV positif khususnya untuk risiko seksual sehingga bagi wanita akses ke
pelayanan kesehatan menjadi terbatas, kuatir, dan adanya rasa ketakutan
(Baingana, 2005).
Namun, Adewuyaa (2006), menemukan bahwa depresi terlihat pada pasien
pria dan kelompok etnik minoritas. Penelitian Ciesla dan Roberts (2001)
menunjukkan bahwa prevalensi depresi meningkat dikalangan orang dengan HIV
dan SIDA pada negara berpenghasilan tinggi. Kandouw (2007) menyebutkan
bahwa depresi terjadi pada responden yang yang tidak bekerja (51.4 %). Saragih
(2005) dan Kandouw (2007) menemukan bahwa gangguan depresi ditemukan
pada pasien dengan tingkat pendidikan terakhir SMA dengan prevalensi masing-
masing 76.5% dan 50 %.
Diagnosis HIV yang lebih awal dan mendapat pengobatan lebih dini
berhubungan dengan angka progresi yang rendah dari infeksi HIV dan penting
bagi program pencegahan dan kontrol. 50 Pasien ODHA yang didiagnosis lama
hidup dengan HIV memiliki trauma yang berkurang karena awal diagnosis dan
mengalami gejala depresi yang rendah (Vance, 2006). Penelitian yang dilakukan
Yee dkk (2009) dalam melihat hubungan tahun diagnosis HIV dengan kejadian
depresi pada ODHA yang berkunjung pada pusat klinik Universitas Malaysia
ditemukan bahwa ODHA yang mengalami depresi mengetahui dirinya terinfeksi
HIV selama 4,5 tahun. Selang waktu ini sudah menunjukkan gejala simptomatik
dari SIDA jumlah CD4 yang rendah (< 500 sel/mm3) sehingga kemajuan dari
infeksi HIV pun semakin cepat.
Keganasan penyakit dinilai dari stadium klinis, jumlah CD4 yang rendah,
kecepatan pertumbuhan virus, ataupun jumlah gejala fisik juga berhubungan
5
dengan peningkatan kematian, depresi klinik, distimia, bunuh diri, dan kecemasan
(Mast dkk, 2004; Olley 2006; Freeman dkk, 2007). CD4 berhubungan dengan
perubahan inflamasi pada otak sehingga menjadi tanda HIV berhubungan dengan
penurunan sistem imun dan konsekuensinya berupa disfungsi limfosit, diikuti oleh
kerusakan otak yang terjadi. Penelitian Horberg dkk (2007) pada 3359 pasien HIV
yang ada dalam The Kaiser Permanente and Group Health Cooperative di
Amerika menemukan bahwa depresi berhubungan dengan penurunan jumlah CD4
(< 500 sel/mm3). Namun, penelitian yang dilakukan oleh Saragih (2005) pada
pasien ODHA di RSUP H.Adam Malik Medan menemukan bahwa sindrom
depresi sedang dialami oleh pasien dengan jumlah CD4 < 200 sel/ mm3.
Seiring dengan perpanjangan harapan hidup ODHA dengan adanya ARV ,
risiko untuk gangguan mental terjadi pun dapat dialami, khususya dalam hal
kepatuhan mengkonsumsi ARV dan juga efek dari ARV sendiri. Beberapa
pengobatan seperti zidovudine, didanosine, nevirapine, abcavir, dan efavirens
diteliti memilki hubungan dengan gejala neuropsikiatri. Prevalensi depresi diatas
10 % pada penderita yang menjalani pengobatan. Diantara ODHA yang mendapat
pengobatan, 20,3% ditemukan mengalami gangguan kecemasan, dengan proporsi
12,3%. Proporsi yang signifikan ODHA yang menerima pengobatan HAART
mengalami depresi sebesar 14.2 % (Olisah, 2010). ODHA yang menjalani terapi
methadon dan juga pengguna zat diperkirakan tingkat risiko mengalami depresi
tiga kali lebih tinggi dari kelompok lainnya (Yulianti, 2010).
Pengobatan1,3,4
Pengobatan sindrom ansietas depresi harus selalu memperhatikan prinsip
holistik dan ekletik. Pengobatan dimulai dengan pemeriksaan fisis yang lengkap,
dan teliti sehingga meyakinkan pasien tentang keadaan yang sesungguhnya,
sekaligus berusaha meyakinkan bahwa penyakitnya tidak mengancam jiwa. Obat-
obatan diberikan sesuai dengan kelainan medis internis yang ditemukan dan
simptomatis sesuai dengan gejala yang ada.
Pemberian obat pada pasien depresi tergantung ada tidaknya retardasi
motorik. Pada pasien depresi dengan retardasi motorik, loyo, sangat tidak
6
bergairah, umumnya diberikan obat-obatan yang mempunyai efek retardasi
minimal seperti amineptin, sertralin, dan moklobemid. Sebaliknya bagi pasien
depresi yang disertai gangguan tidur, maproptilin dan klomipramin membantu
memperbaiki keluhan tersebut.
Psikoterapi dimulai dengan menciptakan hubungan baik antara dokter-
pasien, memberi kesempatan mengutarakan konfliknya, dan mengeluhkan isi
hatinya. Penting juga untuk melakukan reedukasi yaitu mengubah pendapat-
pendapat pasien yang salah tentang penyakitnya dan memberi keyakinan yang
benar dan penjelasan tentang penyakitnya.
7
ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat seorang pasien perempuan umur 45 tahun di Bagian
Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 8 April 2012 dengan :
Keluhan Utama :
Nafsu makan berkurang sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nafsu makan berkurang sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien hanya makan ± 2-3 sendok makan setiap harinya. Keluhan ini sebenarnya sudah mulai dirasakan sejak sekitar 6 bulan yang lalu, namun nafsu makan semakin berkurang dalam 1 bulan terakhir.
Pasien sering menangis sejak 6 bulan yang lalu. awalnya, pasien merasa sedih dan terlihat murung. Semakin lama, pasien semakin sering menangis, terutama pada saat bangun di pagi hari. Pasien merasa hidupnya tidak berguna.
Pasien mengeluhkan sulit untuk tidur malam sejak 6 bulan yang lalu.
Pasien mengalami penurunan berat badan sejak 1 bulan terakhir, namun pasien tidak mengetahui besar penurunan berat badan tersebut.
Batuk tidak ada, demam tidak ada
Sesak nafas tidak ada
Nyeri ulu hati tidak ada
Mual dan muntah tidak ada
Nyeri menelan tidak ada
Benjola-benjolan pada kulit tidak ada
BAB dan BAK tidak ada kelainan
Sejak 6 bulan yang lalu, pasien dikenal sebagai penderita
infeksi oportunistik. Pasien tidak bisa menerima kenyataan ini
karena merasa tidak pernah memiliki risiko untuk terkena
penyakit ini. Setelah ditelusuri, ternyata pasien tertular dari
8
suaminya sendiri yang ternyata juga penderita infeksi
oportunistik. Pada saat itu, CD4 pasien adalah 157. Setelah itu,
keduanya diberi anti retro viral dan mengkonsumsinya sampai
sekarang.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat sakit kuning tidak ada
Riwayat batuk lama tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
Suami pasien juga adalah penderita infeksi oportunistik
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan :
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Jumlah anak 3 orang. Anak
pertama perempuan usia 24 tahun, sudah menikah dengan pengusaha
mobil bekas. Anak kedua juga perempuan, berusia 22 tahun, saat ini masih
berstatus mahasiswi. Anak yang ketiga laki-laki, berusia 17 tahun, saat ini
berstatus sebagai pelajar SMU. Suami pasien adalah seorang supir taksi di
kota Padang, dengan penghasilan sekitar 1-2 juta rupiah sebulan. Pasien
dan suami sangat tergantung kepada penghasilan menantunya.
Pasien menikah pada tahun 1988, kemudian bercerai pada tahun 1997, dan
kemudian rujuk kembali pada tahun 2004. Pasien tidak mengetahui bahwa
suaminya telah berhubungan bebas dengan beberapa wanita saat mereka
masih bercerai.
Masa kecil pasien dirasakan cukup bahagia
Sebelum sakit, pasien cukup aktif mengikuti kegiatan sosial dan
keagamaan di lingkungan tempat tinggalnya. Pasien memiliki hobi
menyanyi.
Pasien tidak memiliki tattoo.
Riwayat memakai narkoba suntik disangkal.
Riwayat seks bebas disangkal.
Riwayat mendapat transfusi darah tidak ada.
9
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : kompos mentis kooperatif
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 86 x/menit, pengisian cukup, teratur
Suhu : 37 ⁰C (suhu aksila)
Pernapasan : 20 x/ menit
Keadaan umum : sedang
Keadaan gizi : sedang
Tinggi badan :155 cm
Berat badan : 45 kg
BMI : 18,73 (normoweight)
Edema : (-)
Anemis : (-)
Ikterik : (-)
Kulit : turgor baik
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran KGB
Kepala : normosefal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan
Tenggorokan : Tidak ada kelainan
10
Gigi dan mulut : Caries (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Dada
Paru
Inspeksi : simetris kiri kanan
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : ictus tak terlihat
Palpasi : ictus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas atas : RIC II, kanan : LSD, kiri : 1 jari medial LMCS RICV
Auskultasi : irama teratur, M1>M2, P2<A2, bising (-)
Perut
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) Normal
Punggung : nyeri tekan dan nyeri ketok sudut kostovertebra (-)
Alat kelamin : tidak ada kelainan
Anus : tidak ada kelainan
Anggota gerak : reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-, edem -/-
11
Laboratorium
Darah
Hemoglobin : 14,2 gr/dl Leukosit : 2.700/mm3
Hematokrit : 42 % Trombosit : 367.000/mm3
DC : 0/0/1/50/46/3 Na/K/Cl : 137/3,6/102 mmol/L
GDS : 144 mg/dl
Ureum : 10,4 mg/dl
Kreatinin : 0,6 mg/dl
Urinalisa :
Leukosit : 1-2/LPB Eritrosit : 0-1/LPB
Epitel : (+) gepeng Silinder: (-) Kristal:(-)
Protein (-) Glukosa (-) Bilirubin (-) Urobilinogen : (+)
Feses :
Makroskopik : warna coklat, konsistensi lembek, darah (-), lendir (-)
Mikroskopik : eritrosit 0-1/LPB, leukosit 0-1/LPB , amuba (-), cacing (-)
EKG : irama : teratur Axis : normal
HR : 75x/menit QRS komplek : 0,08 detik
Gel P : 0,06 detik Gel T : T inverted (-)
PR interval : 0,08 detik Segmen ST : isoelektris
SV1+RV5 <35, R/S di V1 <1
Kesan : Sinus Rhythm
Hospitalized Anxiety and Depression Scale : Anxiety 15, Depression 20
Kesan : abnormal anxiety dan abnormal depression
12
Beck Depression Inventory : skor 54 (depresi eksterna)
Daftar Masalah :
1. Gangguan depresi eksterna
2. Gangguan cemas
3. Infeksi oportunistik
Diagnosis multi axis :
Axis I : depresi berat
Axis II : -
Axis III : IO dalam terapi
Axis IV : faktor predisposisi :
Axis V : Adaptasi kurang
Diagnosis Banding : gangguan cemas-depresi
Terapi :
- Istirahat / MB TKTP
- IVFD Aminofusin L-600 : Triofusin = 1:2 8 jam/kolf
- Duviral 2x1 tab.
- Neviral 2x1.tab
- Curcuma 3x1 tab
- Sertralin 1 x 50 mg tab
Anjuran :
- Lab hematologi lengkap
- Konsul konsultan psikosomatis
13
- Konsul konsultan petri
- Psikoterapi
Follow Up:
Tanggal 9 April 2013
S/ demam (-) sesak nafas (-) pasien masih sering menangis, pasien merasa
ketakutan
O/ KU : sedang
Kesadaran : cmc
TD : 110/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Nafas : 22x/menit
Temp : 36,5⁰C
Konsul Konsultan Psikosomatis :
Diagnosis multi axis psikosomatis :
Axis I : depresi berat
Axis II : -
Axis III : IO dalam terapi
Axis IV : Rasa tidak berguna
Axis V : Adaptasi kurang
Terapi :
- Ventilasi
- Biofeedback dan reedukasi
14
- Sertralin 1x50 mg tablet
- Alprazolam 1 x 0,5 mg
- Terapi lingkungan
Rencana : ulang pengukuran HADS 3 hari lagi
Konsul Konsultan Petri :
Kesan : Infeksi oportunistik dalam terapi
Advis : terapi dilanjutkan
Tanggal 10 April 2013
S/ demam (-) sesak nafas (-) pasien masih sering menangis, pasien masih merasa
ketakutan
O/ KU : sedang
Kesadaran : cmc
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Nafas : 21x/menit
Temp : 36,8
Terapi lanjut
Tanggal 15 April 2013
S/ demam (-) sesak nafas (-) pasien masih tetap menangis, pasien masih merasa
ketakutan, pasien ingin mencoba bunuh diri
O/ KU : sedang
Kesadaran : cmc
TD : 110/70 mmHg
15
Nadi : 96 x/menit
Nafas : 23x/menit
Temp : 36,6⁰C
Konsul Konsultan Psikosomatis :
Kesan : Depresi eksterna
Terapi :
Diazepam 2 x 0,5 mg
Tambahkan haloperidol 1 x 1 tablet
Tanggal 17 April 2013
S/ demam (-) sesak nafas (-) pasien sudah mulai tenang, namun masih sering
menangis
O/ KU : sedang
Kesadaran : cmc
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 89 x/menit
Nafas : 21x/menit
Temp : 36,6⁰C
Konsul Konsultan Psikosomatis :
Kesan : Depresi eksterna
Advis : terapi lanjut
16
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien wanita umur 36 tahun di bangsal penyakit
dalam RSUP Dr. M.Djamil Padang dengan diagnosis akhir:
- Mixed anxiety-depressive disorder
- Sindrom dispepsia tipe like-ulcer
Diagnosis ini terutama ditegakkan berdasarkan anamnesis seperti nyeri
dada meningkat,hilang timbul, lokasi di pertengahan dada, nyeri tajam seperti
ditusuk-tusuk, tidak ada penjalaran nyeri ke punggung atau lengan kiri, tidak
berhubungan dengan pola makan. Nyeri muncul tidak dipengaruhi oleh aktivitas.
Nyeri biasanya muncul bila pasien terkejut atau bila pasien sedang merasa
ketakutan dan panik. Nyeri akan semakin bertambah berat bila pasien tidak
berhasil mengatasi rasa takutnya tersebut. Pasien sering merasa kesemutan, mati
rasa, dan berkeringat pada ujung jari tangannya apabila sedang merasa ketakutan.
Keluhan ini akan berkurang apabila pasien sudah tenang kembali.
Dari pemeriksaan fisik, ditemukan dalam batas normal. Pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan yaitu echocardiography dan gastroscopy, yang
menunjukkan kesan normal echocardiography, dan pada gastroscopy
menunjukkan kesan gastritis
Penatalaksanaan awal pada pasien adalah dengan memberikan terapi untuk
mengurangi resiko terjadinya peningkatan asam lambung yang akan
memperburuk gejala nyeri dada. Hal ini dilakukan karena pasien mengalami
penurunan nafsu makan semenjak gejala ini muncul. Dalam hal ini, diberikan
terapi lansoprazole dan sukralfat. Untuk gangguan campuran ansietas dan depresi,
diberikan alprazolam dan sertralin, yang sesuai dengan kepustakaan. Selanjutnya,
untuk memperkuat efek terapi farmakologis, dilakukan terapi psikologis, yaitu
dengan melakukan terapi biofeedback, yaitu terapi untuk membuat pasien
mengenali masalah yang sedang terjadi pada dirinya, dan berusaha untuk
mengendalikannya sendiri. Hal ini penting dilakukan, karena kecemasan yang
terjadi akan semakin memperburuk keluhan pasien. Penting juga untuk melakukan
17
reedukasi pada pasien ini, bahwa apa yang dipikirkannya akan semakin
memperberat penyakitnya, dan menjelaskan bahwa apa yang dirasakannya saat ini
tidak mengancam jiwanya.
18