Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

26
Syamsiyah_08560097 Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Boleh jadi, ketika mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang akan terbayang alam yang tandus, perilaku yang kasar dan arogan bahkan menakutkan. Citra negatif yang paling kentara adalah mengenai carok dan clurit. Citra negatif ini kemudian juga melahirkan sikap pada sebagian orang Madura, utamanya kaum terpelajar, merasa malu menunjukkan diri sebagai orang Madura, karena Madura identik dengan keterbelakangan atau kekasaran. Keadaan ini harus diakhiri. Untuk itu, dibutuhkan suatu penulusaran lebih lanjut demi terbukanya wawasan masyarakat mengenai nilai-nilai budaya Madura yang selama ini disalah persepsikan. Upaya tersebut dapat dimulai dimulai dengan menonjolkan hal-hal yang positif dari Budaya Madura. Inventarisasi yang cermat terhadap nilai-nilai sosial budaya yang positif atau sering diistilahkan dengan nilai-nilai luhur perlu dilakukan. Nilai-nilai tersebut bisa kita temukan melalui tinjauan sejarah serta dalam ungkapan-ungkapan Madura yang banyak memuat bhabhurughan becce’. (nasehat-nasehat baik). Dalam tulisan kali ini saya akan mengupas sedikit tentang budaya carok dalam masyarakat Madura dengan judul “Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri”. Saya membagi pembahasan ke dalam 3 kelompok. Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Transcript of Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Page 1: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Boleh jadi, ketika mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang akan

terbayang alam yang tandus, perilaku yang kasar dan arogan bahkan menakutkan. Citra

negatif yang paling kentara adalah mengenai carok dan clurit. Citra negatif ini

kemudian juga melahirkan sikap pada sebagian orang Madura, utamanya kaum

terpelajar, merasa malu menunjukkan diri sebagai orang Madura, karena Madura

identik dengan keterbelakangan atau kekasaran. Keadaan ini harus diakhiri.

Untuk itu, dibutuhkan suatu penulusaran lebih lanjut demi terbukanya wawasan

masyarakat mengenai nilai-nilai budaya Madura yang selama ini disalah persepsikan.

Upaya tersebut dapat dimulai dimulai dengan menonjolkan hal-hal yang positif dari

Budaya Madura. Inventarisasi yang cermat terhadap nilai-nilai sosial budaya yang

positif atau sering diistilahkan dengan nilai-nilai luhur perlu dilakukan. Nilai-nilai

tersebut bisa kita temukan melalui tinjauan sejarah serta dalam ungkapan-ungkapan

Madura yang banyak memuat bhabhurughan becce’. (nasehat-nasehat baik).

Dalam tulisan kali ini saya akan mengupas sedikit tentang budaya carok dalam

masyarakat Madura dengan judul “Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir

Mempertahankan Harga Diri”. Saya membagi pembahasan ke dalam 3 kelompok.

Pertama, Tinjauan Sejarah Mengenai Kemunculan Carok dan Celurit Dalam Budaya

Madura, kedua mengenai benar atau tidaknya carok adalah kebiasaan orang Madura.

ketiga mengenai bagaimana Menyikapi Nila – Nilai Negatif Budaya Madura.

1.2 Tujuan

1.2.1 Mengetahui sejarah mengenai kemunculan carok dan celurit dalam masyarakat

Madura.

1.2.2 Mengetahui benar atau tidaknya carok adalah kebiasaan orang Madura untuk

mengatasi semua masalah.

1.2.3 Mengetahui bagaimana kita menyingkapi nilai-nila negative budaya Madura.

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 2: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

2

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Budaya Carok Dalam Masyarakat Madura

Di Indonesia, carok telah dianggap sebagai ciri khas kelompok etnik Madura.

Hanya di dalam etnis Bugis saja yang dianggap mempunyai pola perilaku yang hampir

menyerupai carok, yaitu fenomena yang disebut sebagai siri’ (Pelras 1996). A. Latief

Wiyata menyatakan bahwa pengertian carok paling tidak harus mengandung lima unsur,

yaitu tindakan atau upaya pembunuhan antar laki-laki, pelecehan harga diri terutama

berkaitan dengan kehormatan perempuan (istri), perasaan malu (malo), adanya dorongan,

dukungan, persetujuan sosial disertai perasaan puas, dan perasaan bangga bagi

pemenangnya.

Kasus-kasus carok, dari data yang diperoleh, terbanyak (60,4%) berlatar belakang

gangguan terhadap istri. Selain itu juga ada yang berlatar belakang masalah salah paham

(16,9%); masalah tanah/warisan (6,7%); masalah utang piutang (9,2%); dan masalah lain

di luar itu, seperti melanggar kesopanan di jalan, dalam pergaulan, dan sebagainya (6,8%).

2.2 Metafisika Substansi Yang Relasionalistik

Metafisika substansi yang dipakai sebagai "clurit analisis" dalam hal ini

dikhususkan pada metafisika substansi yang bersifat relasionalistik. Konsep metafisika

substansi yang relasionalistik mengacu pada pemikiran Immanuel Kant tentang substansi

yang menekankan pada relasi sebagai hal yang fundamental dalam realitas. Substansi

sebagai salah satu kategori merupakan aturan yang mengatur setiap pengalaman manusia

yang menghendaki sensasi tersebut diatur sedemikian rupa sehingga kita mengalami objek

material. Di sinilah jawaban Kant untuk para rasionalis dan empirisis (Solomon &

Higgins, 2002: 413).

Pemikiran Kant tentang konsep substansi hanya mengenai substansi fenomenal, ia

tidak dapat diterapkan pada dunia di luar pengalaman, seperti Tuhan, kebebasan dan jiwa.

Mengenai tata hubungan antara substansia dan aksidensia, I. Kant mengatakan bahwa

keduanya bukan merupakan relasi metafisik, tetapi relasi empiris dan temporal yang

menggejala dalam dunia penampakan. Adanya relasi yang terjadi pada ruang dan waktu

dalam dunia penampakan, dimungkinkan hanya karena adanya substratum (substansi

metafisik). Sebagai substratum substansi sekurang-kurangnya memiliki dua karakteristik

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 3: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

3

utama, yaitu substansi senantiasa menjadi subjek dan tidak pernah menjadi predikat dan

substansi bersifat permanen, tidak pernah berubah (Joko Siswanto, 1995: 132-135).

2.2 Yang Tetap dan Yang Berubah Dalam Tradisi Carok

Tradisi carok sebagai simbol akan selalu terlekat dan tetap kepada masyarakat

Madura, sebagai suatu karakter yang khas dari suatu ras dalam ke- Bhinneka Tunggal Ika-

an. Hal ini tercermin dalam ungkapan: "Jika laki-laki Madura tidak berani melakukan

carok, maka dia selain dianggap sebagai penakut (tako'an) juga bukan sebagai laki-laki (lo'

lake' atau ta' lalake' ). Perempuan pun mencemoohkannya yang diungkapkan dalam

sebuah kalimat, "Sayang saya perempuan, seandainya saya memiliki buah zakar sebesar

cabai rawit, saya yang akan melakukan carok” (Imron, 1986: 12). Bahkan ada pula yang

mengatakan:"Mon lo' bangal acarok ja' ngako oreng Madura" (jika tidak berani

melakukan carok jangan mengaku sebagai orang Madura) (Latief Wiyata, 2002: 194).

Kalau kita mau menoleh sejenak pada sejarah carok sebelum kemerdekaan

dibandingkan pengertian carok pada saat ini, jelas telah mengalami perubahan. Pada

zaman sebelum kemerdekaan orang Madura yang akan melakukan carok didahului oleh

perjanjian tentang kapan dan dimana carok akan dilaksanakan serta senjata tajam jenis apa

yang akan digunakan. Bahkan ketika carok berlangsung orang-orang desa dapat

menyaksikannya. Pada saat itu, carok merupakan suatu perang tanding untuk menguji

keperkasaan seseorang, sehingga carok lebih mirip suatu pertandingan. Pemenangnya

dianggap sebagai seorang jagoan, sedangkan pihak yang kalah secara ksatria mengakui

kekalahannya tanpa ada keinginan untuk membalas dendam (Latief Wiyata, 2002: 201).

Cara melakukan carok seperti ini sekarang sudah tidak ada lagi. Simbol selalu "berkaki

dua", sebuah kaki berakar pada bahasa dan kaki yang lain berakar dalam kenyataan

kehidupan. Oleh karena itu simbol tidak mungkin ditafsir sampai tuntas (Dibyasuharda,

1990: 239). Carok sebagai simbolisasi masyarakat Madura dapat dipahami dan

direfleksikan sebagaimana pemahaman simbol di atas. Dengan kata lain, selama orang

Madura tetap memaknai carok sebagai suatu proses pelampiasan kepuasan dan

kebanggaan bahkan dendam, kemudian mewujudkannya dalam simbol berupa benda-

benda yang erat kaitannya dengan peristiwa carok itu sendiri, maka selama itu pula orang

Madura tidak akan pernah terlepas dari tindakan kekerasan, dalam upaya mencari penyele

saian konflik yang bersumber pada pelecehan harga diri (LatiefWiyata, 2002: 215).

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 4: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

4

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Tinjauan Sejarah Mengenai Kemunculan Carok dan Celurit Dalam Budaya Madura

3.1.1 Awal Kemunculan

Pada saat kerajaan Madura dipimpin oleh Prabu Cakraningrat (abad ke-12 M) dan

di bawah pemerintahan Joko Tole (abad ke-14 M), celurit belum dikenal oleh

masyarakat Madura. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari

Bindara Saud, putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ditemukan catatan sejarah

yang menyebutkan istilah senjata celurit dan budaya carok. Senjata yang seringkali

digunakan dalam perang dan duel satu lawan satu selalu pedang, keris atau tombak.

(Zulakrnain, dkk. 2003). Pada masa-masa tersebut juga masih belum dikenal istilah

carok.

Munculnya celurit di pulau Madura bermula pada abad ke-18 M. Pada masa ini,

dikenal seorang tokoh Madura yang bernama Pak Sakerah. (Abdurachman, 1979). Pak

Sakerah diangkat menjadi mandor tebu di Bangil, Pasuruan oleh Belanda. Yang

menjadi ciri khas dari Pak Sakerah adalah senjatanya yang berbentuk arit besar yang

kemudian dikenal sebagai celurit (Madura : Are’), dimana dalam setiap kesempatan,

beliau selalu membawanya setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja.

Pak Sakerah merupakan seorang mandor yang jujur dan taat menjalankan ibadah

sehingga disukai oleh para buruh. Namun pada suatu ketika, dia dijebak dan difitnah

oleh bos-nya sendiri. Untuk mengembalikan citra dirinya, Pak Sakerah kemudian

membunuh bos beserta kaki tangannya dengan menggunakan celurit. Di akhir kisah,

Pak Sakerah akhirnya tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur oleh

Belanda. Sesaat sebelum dihukum gantung, Pak Sakerah sempat berteriak.:

“Guperman korang ajar, ja’ anga-bunga, bendar sengko’ mate, settong Sakerah

epate’e, saebu sakerah tombu pole” (Guperman keparat, jangan bersenang-senang,

saya memang mati, satu Sakerah dibunuh, akan muncul seribu Sakerah lagi). Sejak

saat itulah orang-orang Madura kalangan bawah mulai berani melakukan perlawanan

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 5: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

5

kepada penindas, dimana senjatanya adalah celurit, sebagai simbolisasi figur Pak

Sakerah.

Untuk mengatasi perlawanan rakyat Madura, Belanda kemudian berupaya untuk

merusak citra Pak Sakerah. Hal ini dikarenakan beliau merupakan seorang

pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama

Islam sehingga banyak perlawanan rakyat Madura yang terispirasi oleh kisah

kepahlawan beliau. Belanda kemudian sengaja mempersenjatai golongan blater

(jagoan) yang menjadi kaki tangan Belanda, dengan senjata celurit yang bertujuan

merusak citra Pak Sakerah sebagai tokoh yang mempopulerkan senjata tersebut.

Mereka kemudian diadu domba dengan sesama bangsanya sebagai perwujudan politik

devide et impera.

Karena provokasi Belanda itulah, seringkali terjadi pertarungan antara golongan

blater yang merupakan kaki tangan belanda dengan golongan blater dari kalangan

yang memberontak kepada Belanda. Pertarungan sampai mati inilah yang kemudian

dikenal sebagai carok. Pada saat melakukan carok mereka tidak menggunakan senjata

pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu,

akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya. Celurit digunakan Pak

Sakerah sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda.

Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan

penjahat.

De Jonge juga memaparkan laporan lain dari arsip pemerintahan kolonial yang

menunjukkan bahwa banyak terjadi kasus pembunuhan pada masa itu. Pada tahun

1871 di Sumenep tercatat satu kasus pembunuhan untuk 2.342 jiwa. Untuk mengatasi

hal ini pemerintah kolonial bukan saja memperkuat tenaga pelaksana hukum dan

polisi tetapi juga mengeluarkan larangan membawa senjata tajam.

Munculnya tindakan kekerasan dalam angka yang sangat tinggi tersebut paling

tidak diakibatkan oleh dua hal. Pertama, kekurang perhatian pemerintah pada waktu

itu terhadap masyarakat Madura. Kedua, sebagai konsekuensi dari penyebab pertama,

masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah sehingga segala persoalan atau

konflik pribadi selalu diselesaikan dengan cara mereka sendiri yaitu dengan carok.

Senjata tajam yang sering digunakan dalam aktifitas ini yaitu celurit. Larangan

membawa senjata tajam yang dikeluarkan pemerintahan kolonial menunjukkan

banyaknya orang Madura yang ”nyekep” (membawa senjata tajam). Ini berarti

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 6: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

6

kebiasaan nyekep baru dimulai pada waktu itu dimana kondisi keamanan Madura

sangat memperihatinkan saat itu.

3.1.2 Pergeseran Nilai

Dari tinjauan historis di atas dapat diketahui bahwa nilai filosofis penggunaan

celurit bagi masyarakat Madura sebenarnya adalah merupakan simbolisasi figur Pak

Sakerah sebagai sosok yang berani melawan ketidak adilan dan penindasan. Namun,

keberadaan celurit yang kita rasakan sekarang kenyataanya lebih melambangkan figur

blater yang identik dengan kekerasan dan kriminalitas. Bahkan celurit kini telah

melambangkan tindakan anarkis, egois dan brutal yang dibuktikan dengan maraknya

praktek carok yang dilakukan secara nyelep. Untuk itu, perlu upaya guna meluruskan

kembali persepsi yang salah ini.

Dapat diketahui bahwa upaya Belanda untuk merusak citra Pak Sakerah rupanya

berhasil merasuki pola pikir sebagian besar masyarakat Madura dan menjadi falsafah

hidupnya. Apabila ada permasalahan menyangkut pelecehan harga diri, maka jalan

penyelesaian yang dianggap paling baik adalah melalui carok dengan menggunakan

celurit.

Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok

dan penggunaan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di

Bangkalan, Sampang, Pamekasan maupun Sumenep. Masyarakat Madura terjebak

pada stereotip bahwa budaya tersebut merupakan tindakan agresivitas semata-mata

atas nama menjujunjung harga diri tanpa memandang nilai luhur yang terkandung di

dalamnya. Mereka tidak menyadari bahwa campur tangan Belanda telah manjauhkan

falsafah hidup mereka dari apa yang diperjuangkan Pak Sakerah.

Dengan demikian, penggunaan celurit sudah tidak lagi mencerminkan figur Pak

Sakerah yang dikenal sebagai seorang yang jujur, rajin beribadah dan disukai banyak

orang serta berani melawan ketidak adilan. Celurit tidak lagi melambangkan figur

seorang ksatria seperti yang dipraktekkan Pak Sakera ketika dengan gagah berani

melawan Belanda dan kaki tangannya, tetapi lebih melambangkan figur premanisme

dari sosok blater. Kapasitas ke-blater-an ini ditunjukkan dengan keberanian mereka

untuk melakukan carok.

Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan.

Celurit yang telah digunakan dalam praktek carok biasanya disimpan oleh

keluarganya sebagai benda kebanggaan keluarga. Lumuran darah yang menempel

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 7: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

7

pada celurit tetap dibiarkan sebagai bukti eksistensi dan kapasitas leluhur mereka

sebagai orang jago (blater) ketika masih hidup. Celurit ini nantinya akan diwariskan

secara turun-temurun kepada anak laki-laki tertua. Hal ini menunjukkan bahwa celurit

merupakan simbol dari proses sejarah peristiwa carok yang dialami leluhur mereka.

Simbol ini mengandung makna bukan hanya sekedar penyimpanan memori melainkan

lebih sebagai media untuk mentransfer kebanggan kepada anak cucu karena menang

carok dan kebanggan sebagai keturunan blater.

Keberadaan celurit bagi kaum blater sangat penting artinya baik sebagai sekep

maupun sebagai pengkukuhan dirinya sebagai oreng jago. Nyekep merupakan

kebiasaan yang sulit ditinggalkan oleh kebanyakan laki-laki Madura, khususnya di

pedesaan. Pada segala kesempatan mereka tidak lupa untuk membawa senjata tajam

terutama ketika sedang mempunyai musuh atau menghadiri acara remo.

Cara orang Madura nyekep celurit biasanya berbeda dengan jenis senjata tajam

lainnya. Celurit biasanya diselipkan di bagian belakang tubuh (punggung) dengan

posisi pegangan berada di atas dengan maksud agar mudah dikeluarkan (digunakan).

Senjata tajam sudah dinggap sebagai pelengkap tubuh atau telah menjadi bagian dari

tubuh laki-laki madura khususnya kaum blater. Hal ini ditunjukkan dengan adanya

anggapan dari kaum laki-laki Madura bahwa senjata tajam selalu dibawa kemana-

mana untuk melengkapi tulang rusuk laki-laki bagian kiri yang kurang satu.

Begitu berharganya keberadaan senjata tajam ditunjukkan juga melalui ungkapan

orang Madura ”Are’ kancana shalawat” (celurit merupakan teman sholawat). Bagi

seorang muslim memang dianjurkan untuk selalu membaca sholawat pada setiap

kesempatan tak terkecuali jika hendak bepergian. Ungkapan ini menunjukkan bahwa

orang Madura merasa tidak cukup hanya berlindung kepada agama/Tuhan saja,

sehingga dibutuhkan senjata tajam sebagai sarana melindungi dan mempertahankan

diri.

3.2 Benar Atau Tidaknya Carok Adalah Kebiasaan Orang Madura

Pandangan itu berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku)

masyarakat Madura itu mudah tersinggung, gampang curiga pada orang lain,

temperamental atau gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan

kekerasan. Bahkan, bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan menuntut

balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan balasan.

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 8: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

8

Semua itu, tidak lebih dari suatu gambaran stereotip belaka. Sebab, kenyataannya,

salah satu karakteristik sosok Madura yang menonjol adalah karakter yang apa adanya.

Artinya, sifat masyarakat etnik ini memang ekspresif, spontan, dan terbuka, tuturnya ketika

menyampaikan makalah Lingkungan Sosial Budaya Madura dalam Seminar Prakarsa

Masyarakat dalam Kerangka Pembangunan Daerah Madura di Universitas Bangkalan,

beberapa waktu lalu.

Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa

termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya

terhadap perlakuan oranglain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat hati

senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mereka akan mengungkapkan rasa

terima kasihnya seketika itu juga. Tetapi sebaliknya, mereka akan spontan bereaksi keras

bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati.

Contohnya, suatu ketika di atas kapal feri penyeberangan dari Kamal ke Ujung, Perak,

ada seorang Madura sedang merokok di dalam ruangan ber-AC. Oleh orang lain, ia

ditegur. Apakah orang Madura yang ditegur itu berang? Ternyata tidak. Spontan ia

mematikan rokoknya yang masih cukup panjang dan dengan keterbukaan ia pun mengaku

tidak tahu kalau ada rambu dilarang merokok. Nyo'on sapora, sengko' ta' tao (Minta maaf,

saya tidak tahu, Red), katanya dengan ekspresi yang lugu. Ada pula anekdot yang lucu dan

lugu. Misalnya, ketika seorang abang becak asal Madura berurusan dengan polisi, ia

dikatakan goblok karena melanggar aturan lalu lintas. Tetapi, petugas itu pun akhirnya

tertawa karena mendapat jawaban si abang becak seperti ini. "Wah, Pak Polisi ini

bagaimana, kalau saya pinter, ya ndak mbecak. Tak iya, ..." Dalam konteks ini berarti

bahwa nilai-nilai sosbud Madura membuka peluang bagi ekspresi individual secara lebih

transparan. Bahkan, secara sosial pun setiap individu tidak ditabukan untuk

mengungkapkan perasaan, keinginan atau kehendaknya.

Bila kita hendak memahami persepsi, visi, maupun apresiasi, terhadap sosok Madura

-- masyarakat dan nilai-nilai sosbudnya -- hasilnya akan menjadi lebih proporsional dan

lebih objektif. Pengungkapan perasaan, keinginan, kehendak, dan semacamnya, akan

makin memperlihatkan sosok Madura asli bila menyangkut masalah harga diri. Karena,

bagi orang Madura, harga diri memiliki makna dimensi sosio-kultural yang berkaitan erat

dengan posisi dirinya dalam struktur sosial. Posisi sosio-kultural ini menentukan status

serta peran-peran diri orang Madura dalam kehidupan masyarakat. Kapasitas diri ini juga

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 9: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

9

mencakup berbagai jenis dimensi lain -- pada tingkat praktis -- tidak cukup hanya disadari

oleh yang bersangkutan.

Dalam kaitan ini, pelecehan terhadap harga diri akan diartikan sekaligus sebagai

penghinaan terhadap kapasitas diri. Jika hal ini ini benar-benar terjadi, orang Madura akan

merasa tada' ajina (seperti manusia yang tak bermakna apa-apa, Red). Yang pada

gilirannya muncul perasaan malu, baik pada dirinya sendiri maupun pada lingkungan

sosbud mereka. Karena perasaan seperti itu, terlahir kondisi psiko-kultural serta ekspresi

reaktif secara spontan, baik pada tingkatan individual maupun kolektif (keluarga,

kampung, desa atau kesukuan).

3.2.1 Tak Mau Dilecehkan dan Dipermalukan

Cara orang Madura merespon amarah biasanya berupa tindakan resistensi yang

cenderung keras. Keputusan perlu tidaknya menggunakan kekerasan fisik dalam

tindakan resistensi ini sangat tergantung pada tingkat pelecehan yang mereka rasakan.

Pada tingkat ekstrim, jika perlu mereka bersedia mengorbankan nyawa. Sikap dan

perilaku ini tercermin dalam sebuah ungkapan: Ango'an Poteya Tolang, Etembhang

Poteya Mata (artinya, kematian lebih dikehendaki daripada harus hidup dengan

menanggung perasaan malu). Sebaliknya, jika harga diri orang Madura dihargai

sebagaimana mestinya, sudah dapat dipastikan mereka akan menunjukkan sikap dan

perilaku andhap asor.

Mereka akan amat ramah, sopan, hormat dan rendah hati. Bahkan, secara

kualitatif tidak jarang justru bisa lebih daripada itu. Contohnya, ada ungkapan, oreng

dadi taretan (artinya, orang lain yang tidak punya hubungan apa-apa akan

diperlakukan layaknya saudara sendiri). Suatu sikap dan perilaku kultural yang selama

ini kurang dipahami oleh orang luar.

Jadi, soal carok itu bukanlah suatu kebiasaan atau budaya struktural. Sebab,belum

tentu seorang yang dulu jagoan dan dikenal suka carok, lalu turunannya otomatis juga

carok. yang jelas, carok itu,menurut saya lebih didominasi pada masalah harga diri.

Misalnya, menyangkut soal pagar ayu, ujar Fathur yang namanya di Bangkalan cukup

dikenal dengan panggilan Jimhur ini. Jimhur lebih rinci mengatakan, carok itu bisa

terjadi kepada siapa saja. Artinya, meski carok itu bukanlah tradisi atau menganut

garis turunan, tapi kalau menyangkut harga diri,martabat keluarga yang dilecehkan,

maka carok bisa jadi cara terbaik untuk menyelesaikan.

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 10: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

10

Contohnya, ada satu keluarga yang tidak carok, namun suatu ketika kepala

keluarga itu tewas gara-gara dicarok. Hampir bisadipastikan sang anak ketika kejadian

masih kecil, pada saat dewasa akan melakukan perhitungan dengansi pembunuh

orangtuanya. Apa yang dilakukan si anak yang sudah dewasa itu bukanlah sikap balas

dendam. Tetapi, merupakan pembelaan atas nama keluarga. Hal sepertiini bisa terjadi

sampai mengakar. Karena itu, jangan heran, kalau mendengar cerita carok yang terjadi

antar keluarga secara berkepanjangan, ujar Jimhur.

Hal seperti itu, lanjut Jimhur, pernah terjadi beberapa waktu lalu, yang sampai

melibatkan antar keluarga dan kampung. Bahkan untuk mendamaikan, agar tak terjadi

carokmassal, Pak Noer -- H Mohammad Noer, mantan Gubernur Jatim yang juga

sesepuh Madura -- turun tangan langsung. Alhamdulillah,akhirnya terselesaikan, tutur

tokoh muda yang tinggal di kawasan jalan HOS Cokroaminoto ini.

Jadi, masalah carok ini bukanlah kultur Madura. Carok, katadia lebih pas kalau

dikatakan merupakan cerminan sikap pelakunya yang menjaga harga diri dan tak mau

dilecehkan atau dipermalukan.

Berdasar catatan Jawa Pos, beberapa bulan terakhir ini di Sampang dan

Bangkalan memang sering terjadi kasus pembunuhan. Ada Kades dibunuh warganya

lantaran anaknya dikawinkan dengan pria lain, ada juga lantaran balas dendam, seperti

pembunuhan terhadap Mat Sawi, 16 tahun, remaja asal Desa Serambeh, Kecamatan

Proppo, Pamekasan.

Madholi nekat membunuh korban, karena Pak Sin, ayahnya, 20 tahun lalu,

dibunuh H Wahab yang juga kakek Mat Sawi. Kasus pembunuhan seperti ini biasanya

orang awam mengatakan korban mati dicarok. Padahal, menurut Drs Suroso dari

LP3M (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Madura), pengertian itu amat

menyimpang dari arti dan makna carok.

Sebab, kata dia, arti carok itu sendiri adalah persambungan diri sebagai

komunikasi akhir dengan mempergunakan senjata tajam yang berupaya menjatuhkan

lawan masing-masing untuk merebutkan sosial prestise sabagai imbalan dari simpanan

tekanan perasaan yang dimiliki masing-masing pelaku. "Jadi carok itu perkelahian

satu lawan satu atau kelompok lawan kelompok. Waktunya direncanakan bersama dan

membawa senjata serta tidak ada wasit," katanya.

Mengapa mereka melakukan carok? Menurut Suroso, masyarakat Madura

mempunyai pandangan adat bahwa carok itu lambang kepahlawanan dan kebanggaan.

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 11: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

11

"Pelaku carok bermaksud menghilangkan aib akibat pola tingkah laku seseorang yang

mungkin dianggap mencemarkan martabat harga diri keluarga dan pribadi," katanya.

3.3 Menyikapi Nila – Nilai Negatif Budaya Madura.

Budaya Madura sesungguhnya memang sarat dengan nilai-nilai sosial budaya yang

positif. Hanya saja kemudian nilai-nilai positif tersebut tertutupi perilaku negatif sebagian

orang Madura sendiri, sehingga muncul stereotip tentang orang Madura, dan lahir citra

yang tidak menguntungkan. Lebih daripada itu, pandangan mereka terhadap masyarakat

dan kebudayaan Madura selalu cenderung negatif.

Kenyataan ini tampaknya memang sulit dielakkan karena dua faktor yaitu geografis

dan politis. Pertama, secara geografis pulau Madura sebagai tempat orang Madura

mengalami proses sosialisasi sejak awal lingkaran kehidupannya, letaknya sangat dekat

dan berhadapan langsung dengan Pulau Jawa-tempat orang Jawa mengalami proses yang

sama. Setiap bentuk interaksi sosial orang Madura dengan orang luar mau tidak mau

pertama-tama akan terjalin dengan orang Jawa sebagai pendukung kebudayaan Jawa. Oleh

karena dalam interaksi sosial pasti akan terjadi sentuhan budaya sedangkan kebudayaan

Jawa sudah telanjur diakui sebagai kebudayaan dominan (dominant culture) maka dalam

ajang persentuhan budaya tersebut masyarakat dan kebudayaan Madura menjadi

tersubordinasi sekaligus termarginalkan.

Kedua, fakta sejarah telah menunjukkan bahwa posisi Madura secara politik hampir

tidak pernah lepas dari kekuasaan (kerajaan-kerajaan) Jawa. Fakta ini kian mempertegas

posisi subordinasi dan marginalitas masyarakat dan kebudayaan Madura. Oleh karenanya,

mudah dipahami apabila setiap kali orang Madura akan mengekspresikan dan

mengimplementasikan nilai-nilai budaya Madura dalam realitas kehidupan sosial mereka

akan selalu cenderung “tenggelam” oleh pesona nilai-nilai adhi luhung budaya Jawa.

Menghadapi realitas sosial budaya ini maka tiada lain yang dapat dan harus dilakukan

oleh orang Madura adalah segera melakukan revitalisasi nilai-nilai budaya Madura. Untuk

melakukan upaya ini tentu tidak terlalu sulit oleh karena para seniman, budayawan, pakar

budaya serta orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap budaya Madura secara

bersama-sama dapat berperan dan berfungsi sebagai penggali dan penyusun kembali

secara sistematis dan komprehensif nilai-nilai budaya Madura yang tidak kalah adhi

luhung-nya dengan nilai-nilai budaya Jawa. Sebab, tidak mustahil banyak nilai-nilai

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 12: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

12

budaya tersebut selama ini masih “terpendam” atau sangat mungkin sudah mulai

“terlupakan”.

Jika semuanya ini benar-benar dilakukan maka nilai-nilai luhur budaya Madura akan

tetap eksis dan mengemuka sebagai referensi utama bagi setiap orang Madura dalam hal

berpikir, bersikap, dan berperilaku. Lebih-lebih ketika mereka harus membangun dan

menjalin interaksi sosial dengan orang-orang di luar kebudayaan Madura.

Dengan demikian stigma yang selama ini melekat lambat laun akan terhapus, sehingga

masyarakat dan kebudayaan Madura tidak akan lagi termarginalkan. Bahkan, ke depan

tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat masyarakat dan kebudayaan Madura justru

akan muncul sebagai salah satu alternatif referensi bagi masyarakat dan kebudayaan lain.

3.3.1 Mengangkat Nilai Positif Madura Melalui Nilai – Nilai Luhur Celurit

Seharusnya Budaya Madura mencerminkan karakteristik masyarakat yang

religius, yang berkeadaban dan sederetan watak positip lainnya dimana sesuai

dengan julukan pulau Madura sebagai pulau seribu pesantren. Akan tetapi

keluhuran nilai budaya tersebut pada sebagian orang Madura tidak mengejawantah

karena muncul sikap-sikap yang oleh orang lain dirasa tidak menyenangkan, seperti

sikap serba sangar, mudah menggunakan celurit dalam menyelesaikan masalah,

pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Akibatnya,

timbul citra negatif tentang orang Madura dan budayanya.

Orang yang tidak pernah ke Madura, memiliki gambaran yang kelam tentang

orang Madura. Rata-rata pejabat yang dipindah tugas ke Madura, berangkat dengan

diliputi penuh rasa was-was, karena benak mereka dihantui citra orang Madura

yang serba tidak bersahabat. Akan tetapi kemudian setelah berada di Madura,

ternyata hampir semua pandangannya tentang orang Madura berubah 180 derajat.

Mereka dengan penuh ketulusan mengatakan bahwa orang Madura ternyata santun,

ramah, akrab dan hangat menerima tamu. Nilai-nilai positif ini perlu diangkat

untuk dilestarikan dan dikembangkan guna memperbaiki citra Madura.

3.3.2 Redefinisi, Reinterpretasi, dan Revisi Ungkapan – Ungkapan

Mengangkat nilai-nilai positif celurit ini dapat juga dilakukan dengan

meredefinisi atau mereinterpretasi ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan

keberadaan celurit dimana selama ini berkonotasi kurang baik. Ungkapan ini

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 13: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

13

contohnya yaitu Are’ kancana shalawat, dimana selama ini diartikan bahwa orang

Madura tidak cukup hanya berlindung kepada Tuhan saja, sehingga membutuhkan

senjata yaitu celurit untuk menjaga diri. Secara harfiah pengertian ini memang

benar adanya, terutama menurut pandangan islam. Senjata memang merupakan alat

pertahan diri untuk melawan penindasan dan kesewenang-wenangan. Hal ini

dicontohkan pada masa kepemimpinan rasul dan para sahabat (khalifah) dimana

dilakakukan serangkaian peperangan terbuka dengan mengangkat senjata guna

berjihad menegakkan syari’at islam.

Sayangnya semangat jihad ini tidak masuk dalam persepsi masyarakat Madura

terhadap ungkapan “are’ kancana shalawat”. Keberadaan celurit selalu dimaknai

sebagai sarana melindungi diri secara horisontal yang kenyataanya cenderung

anarkis, dan egois, bahkan brutal. Untuk itu ungkapan tersebut perlu mendapat

tambahan “….gabay ajihad” menjadi “are’ kancana shalawat gabay ajihad”.

(Celurit merupakan teman shalawat demi kepentingan jihad/berjuang di jalan

Allah). Dengan ini tentu jelas bagi masyarakat Madura yang mayoritas

penduduknya adalah muslim bahwa celurit tidak lagi dapat diartikan sebagai alat

untuk menyabet orang secara sembarangan. Penggunaan celurit harus dilandasi

oleh semangat keislaman yaitu untuk kepentingan dakwah dan demi menegakkan

syariat islam.

Contoh ungkapan lainnya yang perlu direvisi yaitu yang berhubungan dengan

persetujuan sosial terhadap tindak kekerasan di Madura melalui carok. Misalnya :

“Etembhang pote mata, bhango’ pote tolang”. (Dibandingkan putih mata lebih baik

putih tulang = dibanding menanggung malu lebih baik mati). Ini kita berikan

penafsiran baru menjadi ajaran untuk meneguhkan semangat berkompetisi. Kalau

tidak ingin “pote mata”, kita harus memperbaiki diri, meningkatkan kapabilitas,

sehingga tak perlu “pote tolang” Ungkapan itu perlu diubah menjadi “ta’ terro pote

mata, ta’ parlo pote tolang” Bandingkan dengan “Hidup mulya atau mati syahid”.

3.3.2 Perubahan Perilaku

Upaya membangun citra positif Madura melalui celurit ini perlu diikuti dengan

perubahan perilaku dari sebagian “taretan dibhi’ ” (masyarakat Madura di manapun

berada). Untuk itu perlu dilakukan studi, perilaku apa yang tidak disukai oleh orang

lain, serta perilaku apa yang disukai. Perilaku yang tidak disukai kita kurangi atau

dieliminasi, sedang yang disukai kita kembangkan dan dijadikan modal dalam

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 14: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

14

membangun citra. Diantara sikap-sikap dan kebiasaan yang perlu ditinggalkan

adalah kebiasaan nyekep.

Perubahan perilaku ini memang membutuhkan proses panjang, kesungguhan

dan keserempakan (sinergi). Peningkatan pendidikan masyarakat adalah jawaban

yang tepat untuk ini. Penanaman budi pekerti luhur sejak dini di kalangan anak-

anak mutlak diperlukan. Juga perlu keteladanan dari para tokoh utamanya yaitu

ulama dan para pemimpin formal.

Hal tersebut dapat dilihat seperti yang dilakukan dalam sebuah perguruan silat

di Madura, yaitu perguruan pencak silat Joko Tole, dimana para muridnya juga

diajarkan cara menggunakan clurit. Sebagai sebuah perguruan pencak silat yang

cukup terkenal di Indonesia karena telah banyak mengorbitkan atlet pencak silat

nasional berprestasi, perguruan Joko Tole selalu mengajarkan murid-muridnya

untuk memiliki jiwa ksatria karena nama Joko Tole itu sendiri merupakan nama

seorang ksatria dari daerah Sumenep.

Perguruan silat ini juga mengajarkan kepada muridnya bahwa penggunaan

clurit tidak sekedar untuk melumpuhkan lawan. Untuk menggunakan senjata clurit

setiap murid harus memiliki jiwa yang bersih dan berlandaskan agama.

(Soedjatmoko dan Bambang Triono, 2005). Karena itulah celurit harus dipandang

sebagai lambang ksatria, sehingga penggunaannya tidak dilakukan untuk menyabet

orang sembarangan.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu budayawan Madura, Zawawi

Imron, melalui puisinya yang berjudul “Celurit Emas”. Celurit jangan lagi dilihat

semata-mata sebagai alat untuk mempertahankan diri atau menebas leher orang,

akan tetapi bagaimana celurit ini kita maknai sebagai alat untuk “menebas

ketertinggalan, kebodohan dan kemiskinan”. (Kadarisman, 2006). "roh-roh

bebunga yang layu sebelum semerbak itu mengadu ke hadapan celurit yang

ditempa dari jiwa. celurit itu hanya mampu berdiam, tapi ketika tercium bau tangan

yang pura-pura mati dalam terang dan bergila dalam gelap ia jadi mengerti: wangi

yang menunggunya di seberang. meski ia menyesal namun gelombang masih

ditolak singgah ke dalam dirinya. nisan-nisan tak bernama bersenyuman karena

celurit itu akan menjadi taring langit, dan matahari akan mengasahnya pada

halaman-halaman kitab suci. celurit itu punya siapa? amin!"

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri

Page 15: Carok Sebagai Jalan Akhir Memperrtahankan Harga Diri

Syamsiyah_08560097Mahasiswa Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang

15

Membangun citra positip, memang tidak bisa serta merta, perlu proses, akan

tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Itupun harus dimulai sekarang juga, agar

keadaan tidak semakin parah. Hal yang sangat penting adalah adanya kesadaran

bahwa membangun citra positip harus dilakukan sendiri oleh Orang Madura,

sebagaimana semboyan kelompok Pakem Maddhu, Pamekasan yang berbunyi:

“Coma reng Madhura se bisa merte bhasa Madhura” (Cuma orang Madura yang

mengerti bahasa madura). Semangat untuk memajukan Madura ini harus terus

diperjuangkan seperti yang tercermin dalam sajak D. Zawawi Imrom dalam

kumpulan puisi Celurit Emas-nya: "Bila musim melabuh hujan tak turun. Kubasahi

kau dengan denyutku. Bila dadamu kerontang. Kubajak kau dengan tanduk

logamku. Di atas bukit garam kunyalakan otakku. Lantaran aku tahu. Akulah anak

sulung yang sekaligus anak bungsumu. Aku berani mengejar ombak. Aku terbang

memeluk bulan. Dan memetik bintang gemintang di ranting-ranting roh nenek

moyangku. Di bubung langit kucapkan sumpah. Madura, akulah darahmu".

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Ekspresivitas, spontanitas, dan keterbukaan orang Madura, senantiasa

termanifestasikan ketika harus merespon segala sesuatu yang dihadapi, khususnya

terhadap perlakuan oranglain atas dirinya. Misalnya, jika perlakuan itu membuat hati

senang, maka secara terus terang tanpa basa-basi, mereka akan mengungkapkan rasa

terima kasihnya seketika itu juga. Tetapi sebaliknya, mereka akan spontan bereaksi keras

bila perlakuan terhadap dirinya dianggap tidak adil dan menyakitkan hati.

Carok itu bukanlah suatu kebiasaan atau budaya struktural. Sebab,belum tentu

seorang yang dulu jagoan dan dikenal suka carok, lalu turunannya otomatis juga carok.

yang jelas, carok itu,menurut saya lebih didominasi pada masalah harga diri.

Budaya Carok Sebagai Jalan Akhir Mempertahankan Harga Diri