cara kerja obat
description
Transcript of cara kerja obat
1
Skenario 5
Cara Kerja Obat
Seorang pasien dengan riwayat asma berobat ke dokter karena asmanya kambuh
dan obatnya habis. Oleh dokter yang memeriksanya, ia diberikan obat salbutamol
inhaler yang digunakan jika sesaknya timbul, bromhexin diminum sehari 3x1
tablet, dan loratadin diminum sehari 2x1 tablet. Dokter mengatakan bahwa obat-
obatan tersebut tidak membuat ngantuk dan aman dikonsumsi pada waktu yang
bersamaan.
STEP I
a. Loratadin
Loratadin merupakan salah satu antihistamin yang mengurangi efek
histamine dalam tubuh untuk mengurangi alergi yang mempunyai selektifitas
tinggi terhadap reseptor histamin seperti bersin, mata berair dan sebagainya.
b. Salbutamol inhaler
Salbutamol inhaler merupakan obat yang melebarkan jalan napas, berupa
alat seperti alat yang berisi oksigen.
c. Bromhexin
Bromhexin adalah obat untuk mengencerkan secret pada saluran napas
agar dahak mudah keluar.
d. Asma
Asma adalah peradangan kronis umum pada saluran napas yang ditandai
dengan sulitnya bernapas.
e. Obat
Obat merupakan senyawa yang digunakan untuk mendiagnosis, mencegah
dan mengobati gangguan pada tubuh.
STEP II
1. Apa saja sifat dasar obat?
2. Bagaimana cara kerja obat di dalam tubuh?
2
3. Bagaimana mekanisme interaksi obat dalam tubuh?
4. Apa saja faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap obat?
5. Bagaimana efeknya jika pasien diberikan 2 obat sekaligus?
6. Antihistamin?
STEP III
1. Apa saja sifat dasar obat?
a. Padat
b. Cair
c. Gas
d. Asam lemah
e. Basa lemah
f. Agonis (penggiat, mengaktivator)
g. Antagonis (inhibitor, penghambat)
h. Sasarannya reseptor
i. Berat molekulnya antara 100-1000 BM
2. Bagaimana cara kerja obat di dalam tubuh?
a. Absorpsi
b. Distribusi
c. Metabolisme
d. Ekskresi
e. Obat spesifik
f. Obat selektif
3. Bagaimana mekanisme interaksi obat dalam tubuh?
a. Interaksi farmakodinamika
1) Interaksi absorpsi
2) Interaksi distribusi
3) Interaksi metabolism
b. Interaksi farmakokinetika
1) Tingkat reseptor
3
4. Apa saja faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap obat?
a. Faktor luar
Diri sendiri dalam menyikapinya
b. Faktor dalam
Sistem tubuh mengabsorpsi obat
5. Bagaimana efeknya jika pasien diberikan 2 obat sekaligus?
a. Akan terpengaruhi
b. Adanya antagonism obat
6. Antihistamin?
Dihasilkan oleh sel Mast, adanya peningkatan permeabilitas antihistamin ini
merupakan histaminnya. Penggolongan antihistamin ada CTM, Loratadin dan
sebagainya.
STEP IV
1. Apa saja sifat dasar obat?
a. Padat
Contohnya seperti tablet, kapsul, pil. Pemberiannya secara oral. Reseptor
obat seperti lock and key. Dibawa kehati terlebih dahulu → organ tubuh
yang lain
b. Cair
Contohnya seperti bahan injeksi, obat sirup. Pemberiannya dengan cara
injeksi yang dimasukan ke dalam intravena ataupun intraarteri, bisa juga
melalui oral seperti obat sirup.
c. Gas
Contohnya seperti inhaler, rebulize. Pemberiannya melalui hidung atau jalan
napas.
d. Asam lemah dan Basa lemah
Contohnya seperti obat maag, pemberiannya melalui oral.
e. Agonis (penggiat, mengaktivator)
Sebagai aktivator, yang sudah berikatan dengan reseptor.
f. Antagonis (inhibitor, penghambat)
Tidak berikatan dengan reseptor. Antagonis terdiri atas:
4
1) Antagonis kompetitif, berdasarkan konsentrasi
2) Antagonis irreversible, reseptor tinggi sehingga agonis tidak berikatan
g. Sasarannya reseptor
h. Berat molekulnya antara 100-1000 BM
2. Bagaimana cara kerja obat di dalam tubuh?
1) Absorpsi, penyerapan obat yang masuknya dalam darah
2) Distribusi, berikatan dengan protein plasma, albumin terdiri dari asam dan
basa. CBS (CBG), SSBG.
3) Metabolisme
Metabolisme berlangsung di hati di bagian retikulum endoplasma.
Ekstrahepatik, metabolisme untuk mengubah non polar → polar → keluar
melalui ginjal. Oksidasi reduksi, obat yang dibubuhi gugus polar → reaksi
endogen (fase 2) → polar
4) Ekskresi, di ekskresikan melalui ginjal dalam bentuk urin, usus dalam
bentuk feses, paru, saliva, keringat
5) Obat spesifik
6) Obat selektif
3. Bagaimana mekanisme interaksi obat dalam tubuh?
a. Interaksi farmakodinamika, pengaruh obat terhadap tubuh
Tingkat reseptor diluar antagonistik
Interaksi fisiologi dengan reseptor dalam tubuh
Obat → sawar tubuh (menembus secara difusi)
1) Interaksi absorpsi
2 obat, waktu pengosongan lambung, flora normal
2) Interaksi distribusi, pendistribusian obat yang sudah mengalami
penyerapan di hati akan di distribusikan melalui vena menuju organ yang
reseptornya cocok (lock and key)
3) Interaksi metabolisme
a. Obat menjadi lebih polar dengan bantuan sitokrom P-450
b. Metabolik dengan gugus tertentu. Menjadi hidrofilik, larut dalam air
untuk disekresi melalui ginjal.
5
4) Eliminasi
Ginjal untuk memperpanjang efek, menghambat melalui empedu →
menghambat sekresi
b. Interaksi farmakokinetika, pengaruh tubuh terhadap obat
1) Tingkat reseptor
4. Apa saja faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap obat?
a. Faktor luar
Diri sendiri dalam menyikapinya. Penderita menyikapi obat, kualitas obat
yang diberikan.
b. Faktor dalam
Sistem tubuh mengabsorpsi obat
1) Farmakokinetika : kecepatan, jumlah obat, berikatan
2) Farmakodinamika : reseptor, fungsi jaringan
5. Bagaimana efeknya jika pasien diberikan 2 obat sekaligus?
a. Antagonis
1) Kimiawi : 2 obat gabung dalam larutan obat aktif efeknya hilang
2) Farmakokinetika : mengurangi kerja reseptor untuk berikatan
3) Non kompetitif : blokade respon dalam tubuh
4) Fisiologi : interaksi 2 obat yang berlawanan (efeknya akan ditiadakan
pada salah satu obat), menimbulkan kegagalan terapi
b. Sinergi : bekerja bersama 2 obat atau lebih
6. Antihistamin?
Dihasilkan oleh sel Mast, adanya peningkatan permeabilitas antihistamin ini
merupakan histaminnya. Penggolongan antihistamin ada CTM, Loratadin dan
sebagainya. Menimbulkan efek samping ngantuk
6
Bagan:
STEP V
1. Bagaimana sifat dasar obat?
2. Bagaiman interaksi obat – tubuh?
3. Hubungan reseptor dan farmakodinamika serta farmakokinetika?
4. Bagaimana biotransformasi obat? (mekanisme dan cara kerja)
5. Antihistamin? (penggolongan, penggunaan, cara kerja)
OBAT
Cara Kerja Obat Metabolisme
Eksresi
Sifat Dasar Obat
Bentuk
Ukuran
Interaksi obat -Tubuh
Faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap obat
Penggolongan Obat
DistribusiAbsorpsi
Derajat keasaman
Antihistamin
Farmakokinetika
Farmakodinamika
Efek pada terapiCara kerjaPenggolongan
7
STEP VI
Belajar Mandiri
STEP VII
1. Bagaimana sifat dasar obat?
a. Sifat Obat
Obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan perubahan
dalam fungsi biologik melalui efek kimiawinya. Molekul obat berinteraksi
sebagai suatu agonis (penggiat, aktivator) atau antagonis (inhibitir,
menghambat) dengan molekul spesifik dalam sistem biologik yang memiliki
peran regulatorik. Molekul sasarannya dinamai reseptor. Obat yang dikenal
sebagai antagonis kimiawi dapat berinterakasi secara tidak langsung dengan
obat lain, sementara beberapa obat (obat osmotik) berinteraksi hampir hanya
dengan molekul air. Obat dapat disintesis didalam tubuh atau mungkin
berupa bahan kimia yang tidak disintesis oleh tubuh seperti xenobiotik.
Racun merupakan obat yang hampir hanya menimbulkan efek merugikan.
Agar dapat berinteraksisecara kimiawi dengan reseptornya, molekul
suatu obat harus memiliki ukuran, muatan listrik, bentuk, dan komposisi
atim yang sesuai. Selain itu, obat sering diberikan dilokasi yang jauh dari
tempat kerja yang diinginkan. Oleh karena itu, obat harus memiliki sifat-
sifat yang diperlukan agar dapat diangkuta dari tempat pemberiannya ke
tempat kerjanya. Terakhir, obat harus diaktifkan atau dielskreskan dari
tubuh dengan kecepatan yang tepat sehingga lama kerjanya sesuai (Katzung,
2014).
b. Sifat Fisik Obat
Obat terdiri dari bentuk pada, cairan dan gas. faktor initergantung
pada rute pemberian obat. Berbagai kelas senyawa organik-karbohidrat,
protein serta lemak. Sejumlah obat yang berguna atau berbahaya adalah
unsure inorganic. Banyak bahan organik dalam asam atau basa lemah.
Kenyataan ini memiliki dampak pentung terhadap cara obat ditangani oleh
tubuh, karena perbedaan pH diberbagai komponen tubuh dapat mengubah
derajat ionisasi obat-obat tersebut (Katzung, 2014).
8
c. Ukuran Obat
Ukuran molecular obat berbeda dari sangat kecil hingga sangat besar.
Namun sebagian obat memiliki berat molekul antara 100-1000 BM. Batas
bawah dari kisaran sempit ini mungkin ditentukan oleh kebutuhan akan
spesifitas kerja. Agar benar-benar “pas” ke salah satu tipe reseptor, molekul
obat harus memiliki bentuk, muatn dan sifat lain yang unik, untuk mencegah
berikatan dengan reseptor lain. Untuk mencapai pengkaytan yang selektif
tersebut, tampaknya suatu molekul umumnya harus memiliki ukuran paling
sedikit 10 BM. Batas atas berat molekul ditentukan oleh kebutuhan bahwa
obat harus mampu berpindah didalam tubuh. Obat yang berat molekulnya
lebih besar dari 1000 BM tidak mudah berdifusi antara kompartemen-
kompartemen tubuh. Karena itu, obat yang sangat besar sering harus
diberikan secara langsung kedalam kompartemen tempat mereka berefek
(Katzung, 2014).
d. Reaktvitas obat dan ikatan obat-reseptor
Obat bereaksi dengan respetor nya melalui gaya atau ikatan kimia.
Ikatan ini terdiri dari 3 tipe utama, yakni:
1) Ikatan kovalen, ikatan kovalen sangat kuat dan sulit untk dilepaskan pada
kondisi biologic. Karena itu, ikatan kovalen terbentuk antara gugus asetil
asam asetilsalisilat (aspirin) dan siklo-oksigenase, enzim sasarannya di
trombosit, tidak mudah dilepaskan. Efek aspirin yang menghambat agresi
trombosit bertahan lama setelah asam asetilsalisilat bebas telah lenyap
dari aliran darah dan dikembalikan hanya oleh sintesis enzim baru di
trombosit baru, suatu proses yang memerlukan waktu beberapa hari.
2) Ikatan elektrostatik, ikatan ini jauh lebih sering terjadi daripada ikatan
kovalen. Ikatan tersebut bervariasi dari ikatan kuat antara molekul-
molekul ionik yang bermuatan permanen hingga ikatan hydrogen yang
bermuatan lemah dan interaksi dipole yang sangat lemahseperti gaya van
der waals. Ikatan elektrostatik lebih lemah daripada ikatan kovalen.
3) Ikatan hidrofobik, biasanya cukup lemah dan mungkin penting dalam
interaksi obat-obat yang sangat larut lemak dengan lemak membran sel
9
dan mungkin dalam interaksi obat dengan dinding internal “kantung”
reseptor.
Sifat spesifik suatu ikatan obat-reseptor relatif kurang penting
dibandingkan dengan kenyataan bahwa obat yang berikatan melalui ikatan
lemah ke reseptornya umumnya lebih selsktif daripada obat yang berikatan
melalui ikatan yang sangat kuat. Hal ini dikarenakan ikatan lemah
memerlukan derajata kecocokan obat yang tinggi dengan reseptornya agar
dapat terjadi interaksi. Mungkin hanya sedikit terdapat tipe reseptor yang
sangat pas dengan struktur obat tertentu karena itu, jika kita ingin
merangsang suatu obat yang sangat selektif dan bekerja singkat untuk
reseptor tertentu, kita perlu menghindar molekul sangat reaktif yang
membentuk ikatan kovalen dan memilih molekul yang membentuk ikatan
jauh lebih lemah (Katzung, 2014).
e. Bentuk Obat
Bentuk molekul suatu obat harus sedemikian sehingga memungkinnya
berikatan dengan reseptornya melalui ikatan yang telah dijelaskan. Secara
optimal, bentuk obat bersifat komplementer, dengan bentuk reseptor seperti
lock and key. Obat dengan dua asimetrik memiliki empat diastereomer.
Salah satu dari enantiomer ini jauh lebih poten daripada enantiomer
bayangan cerminnya, yang mencerminkan tingkat kecocokan molekul lebih
tinggi. Enantiomer yang lebih aktif disuatu jenis reseptor mungkin tidak
lebih aktif di jenis reseptor lain. Enantiomer (+) adalah anestetik yang lebih
poten dan kurang toksik dibandingkan dengan enantiomer (-).
Terakhir, karena enzim stereoselektif, satu enantiomer obat sering
lebih rentan daripada yang lain terhadap enzim-enzim yang memetabolisme
obat. Akibatnya, lama kerja salah satu enantiomer mungin cukup berbeda
dari enantiomer yang lain. Demikian juga, pengangkuta obat dapat bersifat
stereoselektif.
f. Desain obat rasional
Desain obat rasional mengisyaratkan kemampuan untuk
memperkirakan struktur molekul yang sesuai dari suatu obat berdasarkan
informasi tentang reseptor bioligiknya.obat biasanya dikembangkan melalui
10
percobaan acak bahan-bahan kimia atau modifikasi obat yang telah
diketahui memliki suatu efek. Bebrapa obat yang kini digunakan
dikembangkan melalui desain molekular yang didasarkan pada pengetahuan
tentang struktur tiga dimensi reseptor.
g. Nomenklatur reseptor
Keberhasilan spektakular tentang cara terkini yang lebih efisien untuk
mengidentifikasi dan mengenali reseptor telah menghasilkan bermacam-
macam system persamaan reseptor. Hal ini menimbulkan berbagai gagasan
mengenai metode- metode penamaan reseptor yang lebih rasional (Katzung,
2014).
2. Bagaimana interaksi obat – tubuh?
Interaksi antara obat dan tubuh secara sederhana dibagi menjadi dua kelas.
Kerja obat pada tubuh dinamai Farmakodinamika. Sifat ini menentukan
golongan ke mana obat diklasifikasikan, dan mereka berperan besar dalam
memutuskan apakah golongan tersebut sesuai untuk mengobati gejala atau
penyakit tertentu. Kerja tubuh pada obat dinamai Farmakokinetika. Proses-
proses farmakokinetika mengatur penyerapan, distribusi, dan eliminasi obat
dan sangat penting untuk memilih dan memberikan obat tertentu.
A. Farmakodinamika
Sebagian besar obat harus berikatan dengan reseptor agar dapat
menimbulkan efek.
1) Obat (O) + reseptor – efeltor (R) → kompleks obat – reseptor – efektor
→ efek
2) O + R → kompleks obat – reseptor → molekul efektor → efek
3) O + R → kompleks O – R → pengaktifan molekul penghubung /
penggabung (coupling Molecule) → molekul efektor → efek
4) Inhbisi metabolisme activator endogen → meningkatnya kerja aktivator
suatu molekul efektor → peningkatan efek
a. Jenis interaksi reseptor – obat
Obat agonis terikat dengan reseptor dan mengaktivasinya dengan cara
tertentu, sehingga secra langsung atau tidak langsung akan menimbulkan
suatu efek. Beberapa reseptor juga mengandung suatu mesin efektor
11
dalam satu molekul yang sama, sehingga ikatan obat-reseptor akan
menimbulkan efek langsung, misalnya terbukanya kanal ion atau aktivasi
suatu enzim. Reseptor lainnya dapat mengandung mulai dari satu atau
lebih molekul pasangan (coupling molecule) hingga beberapa molekul
efektor yang terpisah. Ada lima tipe sistem pasangan ikatan obat-
reseptor-efektor. Obat-obat antagonis farmakologik terikat pada
reseptornya, lalu mencegah reseptor tersebut untuk bisa berikatan dengan
molekul-molekul lain. Misalnya, atropoine (suatu penyekat reseptor
asetilkolin) adalah suatu antagonis. Atropine akan mencegah terikatnya
atau zat agonis sejenisnya untuk bisa berikat dengan reseptor asetilokolin
sehingga sehingga mempertahankan status reseptor asetilkolin tetap
inaktif. Penyekat reseptor asetilkolin atau molekul sejenisnya dalam
tubuh (Katzung, 2014).
b. Agonis yang Menginhibisi Ikatan Molekul Reseptornya dan Agonis
Parsial
Gambar 1. Cara obat berinteraksi dengan reseptornya.
12
Bebrapa obat memiliki fungsi yang menyerupai obat-obat agonis dengan
cara menginhibisi moleku-moleku yang dapat menterminasi kerja suatu
agonis endogen. Contohnya inhibitor asetilkolin esterase, memperlambat
destruksi asetilkolin endogen, sehinghga menimbulkan efek
kolinomimetik yang menyerupai efek yang di timbulkan oleh kerja
molekul agonis kolinoreseptor walaupun sebenarnya inhibitor
kolinesterase tidak berikatan dengan kolinoreseptor. Selain itu juga
terdapat obat yang terikat dengan reseptornya dan mengaktivasi nya
namun tidak menimbulkan respons kerja, disebut agonis sejati (Katzung,
2014).
c. Durasi kerja obat
Terminasi kerja obat di tingkat reseptor merupakan hasil dari serangkaian
proses. Dalam beberapa keadaan, efek kerja obat berlangsung hanya
selama obat menempati reseptornya sehingga lepasnya obat dari reseptor
efek kerja obat. namun biasanya kerja obat masih menetap walaupun
obat sudah terdisosiasi dari reseptornya, karena beberapa molekul
pasangan masih ada dalam bentuk aktifnya. Jika obat terikat secara
kovalen dengan reseptornya, efek akan terus berlangsung hingga
kompleks reseptor baru disintesis. Beberapa sistem efektor mempunyai
mekanisme desensitisasi untuk mencegah aktivasi yang berlebihan ketika
molekul agonis masih beredar dalam jangka yang lama (Katzung, 2014).
13
d. Reseptor dan tempat ikatan “Inert”
Gambar 2. Model interaksi obat-reseptor.
Agar bisa berfungsi sebgaia reseptor, suatu molekul endogen pertama-
tama harus selektif memilih ligannya untuk di ikat. Suatu molekul
endogen harus mengubah fungsinya sedemikian rupa sehingga fungsi
sistem bilogik berubah. Sifat selektif dimaksudkan agar sebuah reseptor
tidak terikat ke sembarang ligan sehingga teraktivasi secara terus
menerus. Sifat yang kedua juga penting jika ligan akan menimbulkan
suatu efek farmakologik. Tubuh mengandung banyak molekul yang dapat
mengikat obat, tetapi tidak semua molekul endogen ini merupakan
molekul regulator. Terikatnya obat dengan molekul nonregulator seperti
albumin plasma perubahan fungsi sistem biologik, sehingga molekul
endogen ini dapat disebut sebagai tempat ikatan yang inert. Ikatan yang
demikian tidak sepenuhnya tidak penting. Tempat ikatan inert ini dapat
mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh dan menentukan jumlah obat
yang beredar bebas dalam sirkulasi (Katzung, 2014).
14
B. Farmakokinetika
Dari segi terapeutik praktis, suatu obat harus mampu mencapai
tempat kerja yang diharapkan setelah diberikan melalui rute yang mudah.
Pada banyak kasus, molekul aktif obat relatif lebih mudah larut dalam
lemak dan stabil untuk dapat diberikan dengan cara itu. Namun, pada
sebagian, harus diberikan bahan kimia precursor inaktif yang mudah
diserap dan didistribusikan untuk kemudian diubah menjadi obat aktif oleh
proses-proses biologic di dalam tubuh. Bahan kimia precursor ini disebut
prodrug (pro-obat).
Hanya dalam beberapa situasi dapat diaplikasikan obat secara
langsung ke jaringan sasarannya, misalnya dengan aplikasi topical obat
anti-inflamasi ke kulit atau membrane mukosa yang meradang. Umumnya
obat dimasukkan ke salah satu kompartemen tubuh, missal usus, dan harus
berpindah ke tempat kerjanya di kompartemen lain, missal otak dalam
kasus obat anti kejang. Hal ini mengharuskan obat tersebut dapat diserap
ke dalam darah dari tempat kerjanya, merembes (permeate) melalui
berbagai sawar yang memisahkan kompartemen-kompartemen tersebut.
Agar suatu obat yang diberikan per oral dapat menimbulkan efek di susuan
saraf pusat, sawar-sawar tersebut mancakup jaringan yang membentuk
dinding usus, dinding kapiler yang memperdarahi usus, dan sawar darah-
otak, dinding kapiler yang memperdarahi otak. Terakhir, setelah
menimbulkan efeknyam obat harus dieliminasi dengan kecepatan yang
layak oleh proses inaktivasi metabolic, oleh ekskresi dari tubuh atau dari
kombinasi proses-proses ini (Katzung, 2014).
3. Hubungan reseptor dan farmakodinamika serta farmakokinetika?
A. Reseptor Farmakodinamika
Sifat Kimia. Protein merupakan reseptor obat yang paling penting
(misalnya reseptor, fisiologis, asetilkolinesterase, Na+, K+-ATPase,
tubulin, dsb). Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang
penting. Misalnya untuk sitostatik. Ikatan obat reseptor dapat berupa
ikatan ion, hydrogen, hidrofobik, van der walls, atau kovalen, tetapi
15
umumnya, merupakan campuran berbagai ikatan kovalen diatas. Perlu
diperhatikan bahwa ikatan yang kuat sehingga lama kerja obat seringkali,
tetapi tidak selalu, panjang. Walaupun demikian, ikatan nonkovalen yang
afinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen.
Hubungan Sturuktur-Aktivitas. Struktur kimia suatu obat
berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktitivas
intrinsiknya. Sehingga perubahan kecil dalam molekul obat. Misalnya
perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar pada sifat
farmakologinya. Pengetahuan mengenai struktur aktivitas bermanfaat
dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya
lebih baik, atau sintesisi obat yang selektif terhadap jaringan tertentu.
Reseptor Fisiologik. telah disebutkan bahwa reseptor obat adalah
mikromolekul seluler tempat obat terikat untuk menimbulkan efeknya.
Sedangkan reseptor fisiologik adalah protein seluler yang secara normal
berfungsi sebagai reseptor bagi ligand endogen, terutama hormoin
neurotransmitter, growth factor dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi
peningkatan ligant yang sesuai (oleh ligand binding domain) dan
penghantar sinyal (oleh effector domain) yang dapat secara langsung
menimbulkan efek intrasel atau secara tidak langsung memulai sintesis
atau penglepasan molekul intrasel lain yang dikenal sebagai second
messenger.
Efek terapetik dan toksik obat terjadi karena interaksi mereka
dengan molekul-molekul pasien. Sebagian besar obat bekerja dengan
berikatan dengan makromolekul spesifik sedemikian sehingga aktifitas
biokimia atau biofisik makromolekul tersebut berubah. Gagasan ini, yang
berusia lebih dari seabad, tercermin dalam istilah reseptor:komponen sel
atau organisme yang berinteraksi dengan obat dan memicu rangkaian
kejadian yang berujung pada efek obat yang dapat diamati.
Reseptor telah menjadi fokus sentral penelitian tentang efek obat
serta mekanisme kerjanya (farmakodinamika). Konsep reseptor, yang
diperluas ke endokrinologi, imunologi, dan biologi molekular, terbukti
esensial untuk menjelaskan banyak dari aspek regulasi biologik. Banyak
16
reseptor obat telah berhasil diisolasi dan diketahui karakteristiknya secara
rinci, dan hal ini membuka jalan untuk memahami secara presisi dasar
molekular obat.
Konsep reseptor memiliki konsekuesi praktis untuk pengembangan
obat dan untuk mencapai keputusan terapetik dalam praktik sehari-hari.
Konsekuensi-konsekuensi tersebut dapat diringkaskan sebagai berikut.
1. Reseptor terutama menentukan hubungan kuantitatif antara dosis atau
konsentrasi obat dan efek farmakologik. Afinitas reseptor mengikat
suatu obet menentukan konsentrasi obat yang diperlukan untuk
menghasilkan kompleks reseptor-obat dalam jumlah signifikan, dan
jumlah total reseptor dapat membatasi efek maksimal yang dapat
ditimbulkan oleh suatu obat.
2. Reseptor menentukan seletivitas kerja obat. Ukuran, bentuk, dan
muatan listrik molekul oabt menetukan apakah-dan dengan afinitas apa-
obat itu akan berikatan dengan reseptor tertentu diantara beragam
tempat pengikatan (yang secara kimiawi berbeda-beda) disebuah sel,
jaringan, atau pasien. Karenanya, perubahan struktur kimiawi suatu
obat dapat secara drastis meningkatkan atau menurunkan afinitas obat
terhadap berbagai kelas reseptor, yang menyebabkan perubahan efek
terapetik dan toksiknya.
3. Reseptor memperantarai kerja agonis dan antagonis. Sebagian obat dan
banyak ligan alami, misalnya hormon dan neurotransmiter, mengatur
fungsi nakromolekul reseptor sebagai agonis; hal ini berarti bahwa
mereka mengaktifkan reseptor untuk memberi sinyal sebagai akibat
langsung dari pengikatan itu. Sebagai agonis mengaktifkan satu jenis
reseptor untuk menghasilkan semua efek biologik mereka, sementara
yang lain secara selektif mengaktifkan satiu fungsi reseptor lebih dari
pada yang lain.
Obat lain bekerja secara antagonis farmakologik;yaitu, mereka
berikatan dengan reseptor, tetapi tidak mengaktifkan pembentukan sinyal;
karenanya onat ini mengganggu kemampuan agonis mengaktifkan
reseptor. Efek dari apa yang disebut sebagai antagonis "murni" pada sel
17
atau pada pasien seluruhnya bergantung pada pencegahan pengikatan
molekul agonis dan penghambatan efek biologik mereka. Antagonis lain,
selain mencegah pengikatan agonis, juga menekan aktifitas sinyal basal
("konstitutif") reseptor. Sebagian dari obat yang paling bermanfaat dalam
ilmu kedokteran klinis adalah antagonis farmakologik.
B. Reseptor Farmakodinamika
Farmakokinetika adalah bagaimana tubuh mempengaruhi obat
dengan berlalunya waktu (yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi) (Neal, 2006).Variabel farmakokinetik
a. Penyerapan
Jumlah obat yang masuk ke tubuh bergantung pada kepatuhan
pasien terhadap rejimen yang diresepkan serta pada laju dan tingkat
penyaluran dari tempat pemberian obat ke darah.
b. Klirens
Kelainan klirens dapat diantisipasi jika terjadi gangguan besar pada
fungsi ginjal, hati, atau jantung. Klirens kreatinin merupakan indikator
kuantitatif yang berguna untuk fungsi ginjal. Sebaliknya, klirens obat
mungkin dapat merupakan indikator penting dari konsekuensi
fungsional gagal jantung, ginjal, atau hati.
Penyakit hati mengurangi klirens dan memperlama waktu paruh
banyak obat. Namun bagi obat yang dieliminasi oleh proses-proses
hati, tidak ada yang perubahan yang ditemukan dalam klirens atau
waktu paruh pada penyakit hati.
Klirens merupakan parameter dasar farmakokinetik, klirens
(clearance) merupakan ukuran kemampuan tubuh untuk mengeluarkan
obat. Klirens suatu obat adalah faktor yang memperkirakan laju
eliminasi dalam hubungannya dengan konsentrasi obat :
CL = Laju eliminasi
C
Keterangan :
CL : Klirens
C : konsentrasi obat
18
c. Volume distribusi
Volume distribusi menandakan keseimbangan antara pengikatan ke
jaringan, yang menurunkan konsentrasi plasma dan menyebabkan
volume lebih besar, dan pengikatan ke protein plasma, yang
meningkatkan konsntrasi plasma dan menyebabkan volume tampak
kecil. Perubahan pada pengikatan ke jaringan atau plasma dapat
mengubah volume distribusi yang diukur dari pengukuran konsentrasi
plasma.
Orang berusia lanjut mengalami penurunan relatif massa otot
rangka dan memiliki volume distribusi digoksin yang lebih kecil (yang
berkaitan dengan protein otot). Volume distribusi didapat berlebih
pada pasien obesitas jika didasarkan pada berat badan dan obat tidak
masuk dengan baik ke jaringan lemak seperti digoksin.
Volume distribusi (V) menghubungkan jumlah obat dalam tubuh
dengan konsentrasi obat (C) dalam darah atau plasma :
V = Jumlah obat dalam tubuh
C
d. Waktu paruh
Perbedaan antara klirens dan waktu paruh, penting dalam
mendefinisikan mekanisme yang mendasari efek keadaan penyakit
pada disposisi obat.
Waktu paruh (t1/2) adalah waktu yang diperlukan untuk mengubah
jumlah obat dalam tubuh menjadi separuhnya sewaktu eliminasi (atau
selama infus konstan). Perjalanan waktu obat di tubuh akan bergantung
pada baik volume distribusi maupun klirens :
t1/2 = 0,7 X V
CL (Katzung, 2014)
Adapun alur dari proses kerja obat secara farmakokinetika adalah
sebagai berikut:
19
Gambar 3. Proses farmakokinetika obat.
a. Absorpsi obat
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat
pemberian ke dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya,
tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan
rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting pemberian
obat adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat
absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi
yang sangat luas, yakni 200 m2 (panjang 280 cm, diameter 4 cm,
disertai vili dan mikrovili).
Pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat
larut dalam lemak, karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga
obat harus melarut dan diabsorpsi dengan sangat cepat, misalnya
nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung ke vena cava superior
dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan sublingual ini
tidak mengalami metabolism lintas pertama oleh hati.
Pada pemberian obat melalui rektal, misalnya untuk pasien yang
tidak sadar atau muntah, hanya 50% darah dari rectum yang melalui
vena porta, sehingga eliminasi lintas pertama oleh hati juga hanya
50%. Akan tetapi, absorpsi obat melalui mukosa rectum seringkali
20
tidak teratur dan tidak lengkap, dan banyak obat menyebabkan iritasi
mukosa rectum.
Dengan suntikan intravena atau subcutan, obat langsung masuk
interstisium jaringan otot atau kulit masuk ke pembuluh darah kapiler
dengan aliran darah sistemik. Dinding pembuluh darah kapiler yang
terdiri dari satu lapis sel endotel memiliki celah antar sel yang cukup
besar untuk melewatkan obat yang kebanyakan mempunyai berat
molekul antara 100-1000. Obat yang larut lemak masuk ke dalam
darah kapiler dengan melintasi membrane sel endotel secara difusi
pasif. Hanya obat yang larut air masuk darah melalui celah antar sel
endotel bersama air, dengan kecepatan yang berbanding terbalik
dengan besar molekulnya. Protein dan makromolekul lain masuk
darah melalui limfe.
Absorpsi menerangkan laju obat ketika meninggalkan tempat
pemberiannya dan jumlahnya. Obat yang diberikan secara oral,
diabsorpsi pertama kali dari lambung dan usus tetapi hal ini dibatasi
oleh sifat-sifat bentuk sediaan dan/atau sifat fisiokimia obat.
Selanjutnya obat akan malalui hati, tempat metabolisme dan/atau
ekskresi empedu dapat terjadi sebelum obat mencapai sirkulasi
sistemik. Dengan demikian, sejumlah fraksi obat yang diberikan dan
diabsorpsi akan mengalami inaktivasi atau penguraian sebelum obat
dapat mencapai sirkulasi darah dan terdistribusi sampai ke tempat
kerjanya. Adapun macam-macam cara pemberian obat, sebagai
berikut:
1) Pemberian oral
Penggunaan oral merupakan cara yang paling umum digunakan
dalam pemberian obat. Rute ini juga paling aman, nyaman, dan
murah. Kerugian rute oral antar lain terbatasnya absorpsi beberapa
obat karena sifat-sifat fisik seperti kelarutan dalam air, muntah
sebagai akibat iritasi pada mukosa saluran pencernaan, terurainya
obat oleh enzim pencernaan atau pH lambung yang rendah.,
absorpsi obat yang tidak teratur atau terganggu dengan adanya
21
makanan atau obat lain, dan diperlukannya kerjasama dengan
pasien. Obat di damal saluran pencernaan dapat dimetabolisme
oleh enzim yang dihasilkan flora usus, mukosa, atau hati sebelum
mencapai sirkulasi darah.
Absorpsi dari saluran pencernaan dipengaruhi oleh beberap faktor
seperti luas permukaan tempat absorpsi, aliran darah ke tempat
absorpsi, keadaan fisik obat (larutan, suspense atau bentuk sediaan
padat), kelarutannya dalam air dan konsentrasi ditempat absorpsi.
Untuk oabta yang diberikan dalam sediaan padat, laju disolusi
dapat menjadi faktor pembatas dalam proses absorpsi, terutama jika
obat memiliki kelarutan yang rendah dalam air. Karena sebagian
besar absorpsi obat dari saluran pencernaan terjadi melalui proses
transport pasif, absorpsi dapat lebih mudah terjadi jika obat dalam
bentuk tidak terionisasi dan lebih lipofil.
Obat yang cara penggunaannya masuk melalui mulut.
Keuntungannya relatif aman, praktis, ekonomis. Kerugiannya
timbul efek lambat; tidak bermanfaat untuk pasien yang sering
muntah, diare, tidak sadar, tidak kooperatif; untuk obat iritatif dan
rasa tidak enak penggunaannya terbatas; obat yang inaktif/terurai
oleh cairan lambung/ usus tidak bermanfaat (penisilin G, insulin);
obat absorpsi tidak teratur.
Untuk tujuan terapi serta efek sistematik yang dikehendaki,
penggunaan oral adalah yang paling menyenangkan dan murah,
serta umumnya paling aman. Hanya beberapa obat yang mengalami
perusakan oleh cairan lambung atau usus. Pada keadaan pasien
muntah-muntah, koma, atau dikehendaki onset yang cepat,
penggunaan obat melalui oral tidak dapat dipakai.
2) Sublingual
Cara penggunaannya, obat ditaruh dibawah lidah. Tujuannya
supaya efeknya lebih cepat karena pembuluh darah bawah lidah
merupakan pusat sakit. Misal pada kasus pasien jantung.
Keuntungan cara ini efek obat cepat serta kerusakan obat di saluran
22
cerna dan metabolisme di dinding usus dan hati dapat dihindari
(tidak lewat vena porta).
3) Inhalasi
Penggunaannya dengan cara disemprot (ke mulut). Misal obat
asma. Keuntungannya yaitu absorpsi terjadi cepat dan homogen,
kadar obat dapat dikontrol, terhindar dari efek lintas pertama, dapat
diberikan langsung pada bronkus. Kerugiannya yaitu, diperlukan
alat dan metoda khusus, sukar mengatur dosis, sering mengiritasi
epitel paru – sekresi saluran nafas, toksisitas pada jantung.
Dalam inhalasi, obat dalam keadaan gas atau uap yang akan
diabsorpsi sangat cepat melalui alveoli paru-paru dan membran
mukosa pada perjalanan pernafasan.
4) Rektal
Cara penggunaannya melalui dubur atau anus. Tujuannya
mempercepat kerja obat serta sifatnya lokal dan sistemik. Obat oral
sulit/tidak dapat dilakukan karena iritasi lambung, terurai di
lambung, terjadi efek lintas pertama. Contoh, asetosal, parasetamol,
indometasin, teofilin, barbiturat.
5) Parentral
Digunakan tanpa melalui mulut, atau dapat dikatakan obat
dimasukkan de dalam tubuh selain saluran cerna. Tujuannya tanpa
melalui saluran pencernaan dan langsung ke pembuluh darah.
Misal suntikan atau insulin. Efeknya biar langsung sampai sasaran.
Keuntungannya yaitu dapat untuk pasien yang tidak sadar, sering
muntah, diare, yang sulit menelan/pasien yang tidak kooperatif;
dapat untuk obat yang mengiritasi lambung; dapat menghindari
kerusakan obat di saluran cerna dan hati; bekerja cepat dan dosis
ekonomis. Kelemahannya yaitu kurang aman, tidak disukai pasien,
berbahaya (suntikan – infeksi).
Istilah injeksi termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara
parentral, termasuk infus. Injeksi dapat berupa larutan, suspensi,
atau emulsi. Apabila obatnya tidak stabil dalam cairan, maka dibuat
23
dalam bentuk kering. Bila mau dipakai baru ditambah aqua steril
untuk memperoleh larutan atau suspensi injeksi.
6) Topikal atau lokal
Obat yang sifatnya lokal. Misal tetes mata, tetes telinga, salep.
7) Injeksi
Diberikan bila obat tidak diabsorpsi di saluran cerna serta
dibutuhkan kerja cepat.
1. Suntikan intravena
2. Suntikan subkutan
3. Suntikan intrakutan
4. Suntikan intramuscular
5. Suntikan intratekal
6. Suntikan intraarterial
7. Suntikan intraperitoneal
Cara Pemberian Bentuk Sediaan Utama Oral Tablet, kapsul, larutan (sulotio), sirup, eliksir,
suspensi, magma, jel, bubuk Sublingual Tablet, trokhisi dan tablet hisap Parentral Larutan, suspensi Epikutan/transdermal
Salep, krim, pasta, plester, bubuk, erosol, latio, tempelan transdermal, cakram, larutan, dan solutio
Konjungtival Salep Introakular/intraaural
Larutan, suspensi
Intranasal Larutan, semprot, inhalan, salep Intrarespiratori Erosol Rektal Larutan, salep, supositoria Vaginal Larutan, salep, busa-busa emulsi, tablet, sisipan,
supositoria, spon Uretral Larutan, supositoria
Tabel 1. cara pemberian obat dan sediaannya.
24
b. Distribusi obat
Setelah absorpsi atau pemberian obat secara sistemik ke dalam
darah, suatu obat akan terdistribusi ke dalam cairan intertisial dan
cairan intrasel.
Laju penghantaran dan jumlah obat yang terdistribusi ke dalam
jaringan dipengaruhi oleh curah jantung, aliran darah regional, dan
volume jaringan. Hati, ginjal, otak, dan organ lain yang menerima
aliran darah dengan baik akan menerima sebagian besar obat lebih
awal, sementara penghantaran ke otot, sebagian besar visera, kulit,
dan jaringan lipid terjadi lebih lambat.
Fase distribusi terjadi dalam hitungan menit sampai beberapa jam
hingga terjadinya kesetimbangan konsentrasi obat di dalam jaringan
dan di dalam darah. Fase ini melibatkan fraksi massa tubuh yang jauh
lebih besar dibandingkan fase awal dan umumnya bertanggung jawab
untuk sebagian besar obat yang terdistribusi secara ekstravaskular.
Distribusi obat ke dalam jaringan ditentukan oleh partisi obat antara
darah dan jaringan tersebut.
Obat berikatan protein plasma , seperti obat yang bersifat asam
berikatan dengan albumin plasma dan obat yang bersifat basa akan
berikatan dengan alpa-1-asam glikoprotein. Ikatan tersebut bersifat
reversibel, kadang terjadi ikatan kovalen pada obat yang reaktif seperti
pengalkilasi.
Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai
ikatan lemah (ikatan hidrofobik, van der Waals, hydrogen dan ionik). Ada
bebearapa macam protein plasma :
a) Albumin : mengikat obat-obat asam dan obat-obat netral (misalnya
steroid) serta bilirubin dan asam-asam lemak. Albumin mempunyai
2 tempat ikatan, yakni :
Site I mengikat warfarin, fenilbutazon, fenitoin, asam valproate,
tolbutamid, sulfonamide, dan bilirubin (disebut warfarin site).
25
Site II mengikat diazepam dan benzodiazepine lainnya, dan asam-
asam karboksilat (kebanyakan AINS), penisilin dan derivatnya
(disebut diazepam site)
b) α-glikoprotein : mengikat obat-obat basa.
c) CBG (corticosteroid-binding globulin) : khusus mengikat
kotikosteroid.
d) SSBG (sex steroid-binding globulin) : khusus mengikat hormone
kelamin.
Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke
seluruh tubuh, Kompleks obat-protein terdiosiasi dengan sangat cepat.
Obat bebas akan keluar ke luar ke jaringan (dengan cara yang sama seperti
cara masuknya, lihat di atas) : ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat
depotnya, ke hati (dimana obat mengalami metabolism menjadi metabolit
yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah), dan ke
ginjal (dimana obat/ metabolitnya diekskresi ke dalam urin).
Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada di luar sel (di
cairan interstisial), sedangkan obat yang larut lemak akan berdifusi
melintasi membrane sel dan masuk ke dalam sel, tetapi karena perbedaan
pH di dalam sel (Ph = 7) dan diluar sel (pH = 7,4), maka obat-obat asam
lebih banyak di luar sel dan obat-obat basa banyak di dalam sel.
c. Metabolisme obat
Sifat lipofilik obat yang mendorong pelintasannya melewati
membran biologis dan kemudian masuk ke tempat kerja, merintangi
ekskresi obat dari dlaam tubuh.
Reaksi biotransformasi obat diklasifikasikan menjadi reaksi
fungsionalisasi fase I, dan rekasi biosintesis (konjugasi) fase II.
Reaksi fase I merupakan pemasukan gugus fungsi pada molekul
induk. Reaksi fase ini mengakibatkan hilangnya aktivitas
farmakologis obat.
Reaksi konjugasi fase II menyebabkan pembentukan ikatan
kovalen antara gugus fungsi pada senyawa induk atau metabolit fase I
dengan turunan endogen asam glukoronat, sulfat, glutation, asam-
26
asam amino, atau asetat. Konjugat yang sangat polar ini tidak aktif
dan dengan cepat diekskresi melalui urin dan feses (Hardman, 2008).
d. Ekskresi obat
Obat dieliminasi dari tubuh dalam bentuk molekul utuh atau
bentuk metabolitnya melalui proses ekskresi. Organ ekskresi selain
paru-paru, mengeliminasi senyawa polar lebih efisien dibanding
senyawa yang memiliki kelarutan tinggi dalam lipid. Karena itu obat
yang larut dalam lipid belum dapat dieliminasi sampai termetabolisme
menjadi senyawa yang lebih polar.
Ginjal adalah organ yang paling penting untuk ekskresi obat dan
metabolitnya. Senyawa yang diekskresi melalui feses terutama adalah
senyawa yang tidak diabsorpsi dari pemberian oral atau metabolit
yang diekskresi melelui empedu atau diekskresi langsung ke dalam
saluran usus dan tidak direabsorpsi. Ekskresi melalui paru-paru untuk
eliminasi anestetik berupa gas dan zat yang menguap; atau obat atau
metabolit dalam jumlah kecil.
Ekskresi obat dan metabolitnya melalui urin mengikuti tiga
tahapan, yaitu : filtrasi glomerulus, sekresi aktif melalui tubulus, dan
reabsorpsi pasif di tubulus ginjal. Jumlah obat yang masuk kedalam
lumen tubulus melalui proses filtrasi sangat bergantung pada laju
filtrasi glomerulus dan jumlah obat yang berikatan dengan protein
plasma; dan hanya obat yang tidak berikatan yang dapat mengalami
filtrasi.
27
4. Bagaimana biotransformasi obat? (mekanisme dan cara kerja)
Gambar 4. Metabolisme obat
Reaksi metabolisme terdiri dari fase I dan reaksi fase II. fase I terdiri dari
oksidasi,reduksi dan hidrolisis yang mengubah obat menjadi polar dengan
akibat lebih aktif atau kurang aktif. Sedangkan fase II terdiri dari konjungasi
dengan substar endogen glukoronat asam sulfat. Obat dapat mengalami fase I
saja atau fase II saja atau berurutan.
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang tadinya non polar
menjadi polar agar dapat di ekresi di gijal atau empedu. Dengan perubahan ini
obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi
lebih aktif ( jika asalnya prodrug ) kurang aktif menjadi toksik.
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di endoplasmic reticulum
(mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolism yang lain (ekstrahepatik)
adalah : dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, juga lumen kolon
(oleh flora usus).
28
Reaksi metabolisme terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochorome
P450 (CYP) yang disebut juga enzim mono-oksigenase, atau MI-O (mixed-
function oxidase), dalam endoplasmi reticulum (mikrosom) hati. Ada sekitar 50
jenis isoenzim CYP yang atif pada manusia, tetapi hanya beberapa yang
penting untuk metabolisme obat, enzim- enzim tersebut (- 70% dari total CYP
dalam hati).
a. CYP3A4/5 (-30% dari total VYP dalam hati) memetabolisme -50% obat
untuk manusia. jadi merupakan enzim metabolisme yang terpenting ini juga
terdapat di epitek usus halus (-70% dari total CYP) dan di ginjal.
b. CYP2D6 (-2-4% daro total CYP dalam hati) merupakan CYP yang
pertama dikenal dengan nama debrisoquene hydroxylase, memetabolisme -
15-25% obat
c. CYP2C (-20%) memetabolisme -15% obat
d. CYP1A/2 (-12-13%) dulu disebut dengan cytoschrome P448,
memetabolisme -5% obat
e. CYP2E1 (-6-7%) memetabolisme -205 obat
Selanjutnya reaksi fese II yang terpenting adalah glukoronidasi melalui
enzim UDP-glukoronitransferasi (UGT) yang terutama terjadi di dalam
mikrosom hati, tetapi juga di jaringan ekstrahepatik (usus
halus,ginjal,paru,kulit) reaksi konyugasi yang lain terjadi di dalam sitosol.
Jika enzim metabolisme mengalami kejenuhan pada kisaran dosis terapi
maka peningkatan dosis obat akan terjadi lonjakan adar obat darah plasma
yang disebut farmakokinetik non linea sebagai contoh fenitonin untuk epilepsi
dan aspirin untuk antiinflamasi.
Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim
metabolisme, terutama enzom CYP induksi berarti peningkatan sintesis enzim
metabolisme pada tingkat transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan
metabolisme obat yang terjadi substrat enzim yang bersangkutan, akibatnya
29
diperlukan peningkatan dosis obat itu,berarti terjadi toleransi farmakokinetik.
Karena melibatkan sintesis enzim maka diperlukan waktu pajanan beberapa
hari sebelum mencapai puncak efek yang maksimal. induksi yang dialami oleh
semua enzim mikrosomal, jadi enzim CYP (kecuali 2D6) dan UGT.
5. Antihistamin? (penggolongan, penggunaan, cara kerja)
Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi dan menghalangi efek
histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin. Berdasarkan
penemuan, antihistamin dibagi dalam 2 kelompok, yakni H1-blockers dan H2-
blockers.
a. H1-blockers mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor-H1 di
otot polos dari dinding pembuluh, bronchi, saluran cerna, kandung kemih
dan rahim. Begitu pula melawan efek histamin di kapiler dan ujung saraf.
Efeknya adalah simtomatis, antihistamin tidak dapat menghindarkan
timbulnya reaksi alergi.
Terdapat 2 kelompok atas dasar kerjanya terhadap SSP, yakni obat
generasi ke-1 dan ke-2.
Gambar 5. Struktur umum obat Antagonis H1 dan contoh subgolongan
pertama.
30
I. Obat generasi ke-1: prometazin, oksomemazin, tripelennamin,
feniramin, difenhidramin, klemastin, siproheptadin, azelastin, sinarizin,
meklozin, hidroksizin, ketotifen dan oksatomida.
Obat-obat ini berkhasiat sedatif terhadap SSP dan kebanyakan memiliki
efek antikolinergis.
II. Obat generasi ke-2: astemizol, terfenadin, fexofenadin, akrivastin,
setirizin, loratidin, levokabastin dan emedastin. Zat-zat ini bersifat
hidrofil dan sukar mencapai CCS, maka pada dosis terapeutis tidak
bekerja sedatif. Keuntungan lainnya adalah plasmanya lebih panjang,
sehingga dosissnya cukup dengan 1-2 kali sehari. Efek anti alerginya
selain bedasarkan khasiat antihistaminnya, juga berkat dayanya
menghambat sintesis mediator radang, seerti prostaglandin, leukotrien
dan kinin.
b. H2-blockers menghambat secara selektif sekresi asam lambung yang
meningkat akibat histamin, dengan jalan persaingan terhadap reseptor H2
di lambung. Efeknya adalah berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga
mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah menurun. Senyawa ini banyak
digunakan pada terapi tukak lambung-usus guna mengurangi sekresi HCL
dan pepsin, juga sebagai zat-pelindung tambahan pada terapi dengan
kortikosteroida. Lagi pula sering kali bersama suatu zat stimulator
motilitas lambung pada penderita reflux.
Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah simetidin,
ranitidin, famotidin, nizatidin, dan roksatidin yang merupakan senyawa-
senyawa heterosiklis dari histamin.
Sewaktu diketahui bahwa histamine mempengaruhi banyak proses
fisiologik dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek
histamine. Epinefrin merupakan antagonis fisiologis pertama yang digunakan.
Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian
digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak berbeda. Antihistamin misalnya
antergan, neoantergan, difenhidramin, dan tripelenamin dalam dosis terapi
efektif untuk mengobati edema, eritem dan pruritus tetapi tidak dapat melawan
efek hypersekresi asam lambungn akibat histamin. Antihistamin tersebut
31
digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1) (Gunawan,
2012).
Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu
burimamid, metiamid, simetidin, yang dapat menghambat sekresi asam
lambung akibat histamine.
Kedua jenis histamin ini bekerja secara kompetitif, yaitu dengan
menghambat antihistamin dan reseptor histamine H1 atau H2 (Gunawan, 2012) .
Antagonis reseptor H1 (AH1)
Secara kimia, AH1 dibedakan atas beberapa golongan yang dapat dilihat
pada tabel dibawah ini (Gunawan, 2012).
contoh obat Dosis
dewasa
Masa
kerja
Aktiv
itas
antik
oline
rgik
komentar
Etanolamin
Karbinoksamin
Difenhidramin
Dimenhidrinat
(Garam
difenhidramin)
4-8mg
25-50mg
50mg
3-4 jam
4-6 jam
4-6 jam
+++
+++
+++
Sedasi ringan sampai
sedang
Sedasi kuat, anti
motion sicknes
Sedasi kuat, anti
motion sicknes
Etilenediamin
Pirilamin
Tripelenamin
25-50 mg
25-50 mg
4-6 jam
4-6 jam
+
+
Sedasi sedang
Sedasi sedang
Piperazin
Hidroksizin
Siklizin
meklizin
25-100 mg
25-50 mg
25-50 mg
6-24 jam
4-6 jam
12-24 jam
?
-
-
Sedasi ringan, anti
motion sicknes
32
Sedasi ringan, anti
motion sicknes
Alkilamin
Klorfenilamin
Bromfenilamin
4-8 mg
4-8 mg
4-6 jam
4-6 jam
+
+
Sedasi ringan,
komponen obat flu
Sedasi ringan
Derivate fenotiazin
Prometazin 10-25 mg 4-6 jam +++ Sedasi kuat, anti emetic
Lain-lain
Siproheptadin
Mebhidrolin
napadisilat
4 mg
50-100 mg
6 jam
6 jam
+
+
Sedasi sedang, juga
anti serotonin
Tabel 2. Antihistamin generasi I.
Contoh obat Dosis
dewasa
Masa kerja Aktivita
s
antikoli
nergik
komentar
Astemizol
Feksofenadin
10 mg
60 mg
<24 jam
12-24 jam
-
-
Mulai kerja
lambat
Risiko aritmia
rendah
Lain-lain
Loratadin
setirizin
10 mg
5-10 mg
24 jam
12-24 jam
-
-
Masa kerja
lebih lama
Tabel 3. Antihistamin generasi II.
33
Farmakodinamik
Antagonisme terhadap histamine, AH1 menghambat efek histamine pada
pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos. Selain itu AH1
bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensivitas ata keadaan lain yang
disertai penglepasan histamine endogen berlebihan (Gunawan, 2012).
Otot polos, secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamine pada
otot polos, usus dan bronkus. Bronkokonstriksi akibat hisamin, dapat dihambat
oleh AH1 (Gunawan, 2012).
Permeabilitas kapiler, peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat
histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1 (Gunawan, 2012).
Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik,
efeknya timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2
jam. Lama kerja AH1 generasi 1 setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-
6 jam (Gunawan, 2012).
Penyakit alergi
AH1 berguna untuk mengobati penyakit tipe alergi eksudatif akut,
misalnya pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat faliatip, membatasi dan
menghambat efek histamine yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi
terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap intensitas reaksi antigen antibody
yang merupakan penyebab berbagai gangguan alergik. Keadaan ini dapat
diatasi hanya dengan menghindari allergen, desensitisasi atau menekan reaksi
tersebut dengan kortikosteroid (Gunawan, 2012).
34
Daftar Pustaka
Ganiswara, S G. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Gilman, A G. 2008. Dasar farmakologi Terapi Volume 1. Jakarta: EGC.
Katzung, B G. 2014. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi XII. Jakarta: EGC.
Neal, M J. 2005. At a Glance Farmakologi Medis Edisi V. Jakarta: EGC.