CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah
Transcript of CAKRADONYA DENTAL JOURNAL - Unsyiah
ISSN: 2085-546X
CAKRADONYA DENTAL JOURNAL
Alamat Redaksi:
Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah
Darussalam Banda Aceh 23111. Tel. 0651-7555183
Website: www.cakradonyadental.org
email: [email protected]
Pelindung: Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah
Penanggung Jawab: Wakil Dekan I FKG Unsyiah
Ketua Penyunting: Sunnati, drg, Sp. Perio
Wakil Ketua Penyunting: Rafinus Arifin, drg. Sp.Ort
Penyunting Ahli: Prof. drg. Bambang Irawan, PhD (FKG UI)
Prof. Dr. drg. Narlan Sumawinata, Sp.KG (FKG UI)
Prof. Dr. drg. Elza Ibrahim Auekari, M. Biomed (FKG UI)
Prof. Dr. drg. Eki S. Soemantri, Sp. Ortho (FKG UNPAD)
Prof. drg. Ismet Danial Nasution, Sp. Prostho, Ph.D (FKG USU)
Prof. Dr. drg. Tet Supardi, Sp.BM (K) (UNPAD)
Prof. Dr. drg. Dewi Nurul, MS, Sp. Perio (FKG UI)
drg. Gus Permana Subita, PhD, Sp.PM (FGK UI)
Prof. Dr. drg. Hanna B. Iskandar, Sp.RKG (FKG UI)
Prof. Dr. drg. Retno Hayati, Sp.KGA (K) (FKG UI)
Dr. drg. Zaki Mubarak, MS (FKG Unsyiah)
Penyunting Pelaksana: Liana Rahmayani, drg, Sp.Pros
Abdillah Imron Nasution, drh, M.Si
Viona Diansari, S.Si, M.Si
Diana Setya Ningsih, drg. M.Si
Pelaksana Tata Usaha: Nurmalawati, ST
Muhammad Aulia Azmi
ISSN: 2085-546X
CAKRADONYA DENTAL JOURNAL
Alamat Redaksi:
Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah
Darussalam Banda Aceh 23111. Tel. 0651-7555183
Website: www.cakradonyadental.org
email: [email protected]
Pelindung: Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah
Penanggung Jawab: Wakil Dekan I FKG Unsyiah
Ketua Penyunting: Sunnati, drg, Sp. Perio
Wakil Ketua Penyunting: Rafinus Arifin, drg. Sp.Ort
Penyunting Ahli: Prof. drg. Bambang Irawan, PhD (FKG UI)
Prof. Dr. drg. Narlan Sumawinata, Sp.KG (FKG UI)
Prof. Dr. drg. Elza Ibrahim Auekari, M. Biomed (FKG UI)
Prof. Dr. drg. Eki S. Soemantri, Sp. Ortho (FKG UNPAD)
Prof. drg. Ismet Danial Nasution, Sp. Prostho, Ph.D (FKG USU)
Prof. Dr. drg. Tet Supardi, Sp.BM (K) (UNPAD)
Prof. Dr. drg. Dewi Nurul, MS, Sp. Perio (FKG UI)
drg. Gus Permana Subita, PhD, Sp.PM (FGK UI)
Prof. Dr. drg. Hanna B. Iskandar, Sp.RKG (FKG UI)
Prof. Dr. drg. Retno Hayati, Sp.KGA (K) (FKG UI)
Dr. Syahrul, Sp.S (FK Unsyiah)
drg. Zaki Mubarak, MS (FK Unsyiah)
Penyunting Pelaksana: Liana Rahmayani, drg, Sp.Pros
Abdillah Imron Nasution, drh, M.Si
Viona Diansari, S.Si, M.Si
Diana Setya Ningsih, drg. M.Si
Pelaksana Tata Usaha: Nurmalawati, ST
Muhammad Aulia Azmi
Dr. drg. Rasmi Rikmasari, Sp.ProsDr. Syahrul, Sp.S (FK Unsyiah)
ISSN: 2085-546X
EDITORIAL
Cakradonya Dental Journal (CDJ) yang diterbitkan oleh Fakultas Kedoktaran Gigi
Universitas Syiah Kuala merupakan media komunikasi ilmiah antar intelektual yang akan
menjadi referensi bagi mahasiswa dan praktisi Kedokteran Gigi. Sebagaimana volume
sebelumnya, volume ini masih mengangkat isu seputar teknologi pengembangan ilmu
kedokteran gigi, aplikasi, dan korelasi ilmu kesehatan terintegrasi. Pada volume 8 nomor 1
ini mencakup tinjauan pustaka, penelitian, dan laporan kasus yang didalamnya mencukup
bidang Biologi Oral, Periodonsia, Konservasi, Ortodonsia, Prostodonsia, Penyakit Mulut,
Kedokteran Gigi Anak dan Dental Material.
Tulisan yang tersaji dari berbagai artikel tersebut secara keilmiahan telah
dilakukan pengeditan oleh tim ahli sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing, namun jika
pada artikel tersebut masih terjadi kesalahan, maka akan dijadikan referensi kami untuk
perbaikan edisi selanjutnya. Secara keseluruhan informasi yang tersampaikan dalam jurnal
CDJ volume 8 nomor 1 telah mewakili pengembangan ilmu kedokteran gigi.
Ucapan terima kasih kepada penulis atas kepercayaan memilih CDJ sebagai wadah
publikasi ilmiah. Kepercayaan anda ini akan menjadi tantangan bagi kami untuk selalu
memperbaharui dan memperbaiki sistem dan manajemen pengelolaan jurnal CDJ menjadi
lebih baik. Semoga
Banda Aceh, Juni 2016
Ketua Penyunting
Sunnati, drg, Sp.Perio
ISSN: 2085-546X
EDITORIAL
Cakradonya Dental Journal (CDJ) yang diterbitkan oleh Fakultas Kedoktaran Gigi
Universitas Syiah Kuala merupakan media komunikasi ilmiah antar intelektual yang akan
menjadi referensi bagi mahasiswa dan praktisi Kedokteran Gigi. Sebagaimana volume
sebelumnya, volume ini masih mengangkat isu seputar teknologi pengembangan ilmu
kedokteran gigi, aplikasi, dan korelasi ilmu kesehatan terintegrasi. Pada volume 8 nomor 1
ini mencakup tinjauan pustaka, penelitian, dan laporan kasus yang didalamnya mencukup
bidang Biologi Oral, Periodonsia, Konservasi, Ortodonsia, Prostodonsia, Penyakit Mulut,
Kedokteran Gigi Anak dan Dental Material.
Tulisan yang tersaji dari berbagai artikel tersebut secara keilmiahan telah
dilakukan pengeditan oleh tim ahli sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing, namun jika
pada artikel tersebut masih terjadi kesalahan, maka akan dijadikan referensi kami untuk
perbaikan edisi selanjutnya. Secara keseluruhan informasi yang tersampaikan dalam jurnal
CDJ volume 8 nomor 1 telah mewakili pengembangan ilmu kedokteran gigi.
Ucapan terima kasih kepada penulis atas kepercayaan memilih CDJ sebagai wadah
publikasi ilmiah. Kepercayaan anda ini akan menjadi tantangan bagi kami untuk selalu
memperbaharui dan memperbaiki sistem dan manajemen pengelolaan jurnal CDJ menjadi
lebih baik. Semoga
Banda Aceh, Juni 2016
Ketua Penyunting
Sunnati, drg, Sp.Perio
ISSN: 2085-546XPetunjuk Bagi Penulis
Cakradonya Dental Journal (CDJ) adalah jurnal ilmiah yangterbit dua kali setahun, Juni dan Desember. Artikel yangditerima CDJ akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuanyang sesuai (peer-review) bersama redaksi. Sekiranya peer-review menyarankan adanya perubahan, maka penulis diberikesempatan untuk memperbaikinya.
CDJ menerima artikel konseptual dari hasil penelitian originalyang relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran gigi dankedokteran. CDJ juga menerima tinjauan pustaka, dan laporankasus.
Artikel yang dikirim adalah artikel yang belum pernahdipublikasi, untuk menghindari duplikasi CDJ tidak menerimaartikel yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktubersamaan untuk publikasi. Penulis memastikan bahwa seluruhpenulis pembantu telah membaca dan menyetujui isi artikel.
1. Artikel PenelitianTatacara penulisan: Judul dalam bahasa Indonesia Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia & Inggris,
dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlahmaksimal 200 kata, harus mencerminkan isi artikel,ringkas dan jelas, sehingga memungkinkan pembacamemahami tentang aspek baru atau penting tanpaharus membaca seluruh isi artikel. Diketik denganspasi tunggal satu kolom.
Kata Kunci dicantumkan pada halaman yang samadengan abstrak. Pilih 3-5 buah kata yang dapatmembantu penyusunan indek.
Artikel utama ditulis dengan huruf jenis Times NewRoman ukuran 11 point, spasi satu dan dibuat dalambentuk dua lajur (page layout)
Artikel termasuk tabel, daftar pustaka dan gambarharus diketik 1 spasi pada kertas dengan ukuran 21,5x 28 cm (kertas A4) dengan jarak dari tepi 2,5 cm,jumlah halaman maksimum 12. Laporan tentangpenelitian pada manusia harus memperolehpersetujuan tertulis (signed informed consent).
Sistematika penulisan artikel hasil penelitian, adalahsebagai berikut: Judul Nama dan alamat penulis serta alamat email Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris Kata kunci Pendahuluan (tanpa subjudul, memuat latar
belakang masalah dan sedikit tinjauan pustaka, danmasalah/tujuan penelitian). Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Kesimpulan dan Saran Ucapan terima kasih Daftar Pustaka.
2. Tinjauan pustaka/artikel konseptual (setara hasilpenelitian) merupakan artikel review dari jurnal dan ataubuku mengenai ilmu kedokteran gigi, kedokteran dankesehatan mutakhir memuat: Judul Nama penulis Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris
Pendahuluan (tanpa subjudul) Subjudul-subjudul sesuai kebutuhan Penutup (kesimpulan dan saran) Daftar pustaka
3. Laporan Kasus. Berisi artikel tentang kasus di klinik yangcukup menarik, dan baik untuk disebarluaskan dikalangansejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan,Laporan kasus, Pembahasan dan Daftar pustaka.
4. Gambar dan tabel. Kirimkan gambar yang dibutuhkanbersama makalah. Tabel harus diketik 1 spasi.
5. Metode statistik. Jelaskan tentang metode statistik secararinci pada bagian “metode”. Metode yang tidak lazim,ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut.
6. Judul ditulis dengan huruf besar 11 point, baik judulsingkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasukhuruf dan spasi. Diletakkan di bagian tengah atas darihalaman pertama. Subjudul dengan huruf 11 point.
7. Nama dan alamat penulis. Nama penulis tanpa gelar danalamat atau lembaga tempat bekerja ditulis lengkap danjelas. Alamat korespondensi, nomor telepon, nomorfacsimile, dan alamat e-mail.
8. Ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih hanya untukpara profesional yang membantu penyusunan naskah,termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukunganumum dari suatu institusi.
9. Daftar pustaka. Daftar pustaka ditulis sesuai denganaturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuaidengan pemunculan dalam keseluruhan teks ditulis secarasuper script. Jumlah daftar pustaka minimal 10 referensi.Bila pengarang lebih dari 6 orang, maka disebutkan 6nama pengarang kemudian baru at al/dkk. Bila kurangdari 6 orang maka disebutkan semua nama pengarangnya.- Jurnal: Hendarto H, Gray S. Surgical and non surgical
intervation for speech rehabilitation in Parkinsondisease. Med J Indonesia 2000; 9 (3): 168-74.
- Buku: Lavelle CLB. Dental plaque. In: Applied OralPhysiology, 2nd ed. London: Wright. 1988:93-5.
- Book Section: Shklar G, Carranza FA. The HistoricalBackground of Periodontology. In: Carranza's ClinicalPeriodontology (Newman MG, Takei HH, KlokkevoldPR, Carranza FA, eds), 10th ed. St. Louis: SaundersElsevier, 2006: 1-32.
- Website : Almas K. The antimicrobial effects of sevendifferent types of Asian chewing sticks. Available inhttp://www.santetropicale.com/resume/49604.pdfAccessed on April, 2004.
10. Artikel dikirim sebanyak 1 (satu) eksemplar, dalambentuk hard dan soft copy, tuliskan nama file dan programyang digunakan, kirimkan paling lambat 2 (dua) bulansebelum bulan penerbitan kepada:Ketua Dewan PenyuntingCakradonya Dental Journal (CDJ)Fakultas Kedokteran Gigi -UnsyiahDarussalam Banda Aceh 23211Telp/fax. 0651-7551843
11. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akandiberitahukan melalui email. Penulis yang artikelnyadimuat akan mendapat bukti pemuatan sebanyak 1 (satu)eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akandikembalikan kecuali atas permintaan penulis.
ISSN: 2085-546XPetunjuk Bagi Penulis
Cakradonya Dental Journal (CDJ) adalah jurnal ilmiah yangterbit dua kali setahun, Juni dan Desember. Artikel yangditerima CDJ akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuanyang sesuai (peer-review) bersama redaksi. Sekiranya peer-review menyarankan adanya perubahan, maka penulis diberikesempatan untuk memperbaikinya.
CDJ menerima artikel konseptual dari hasil penelitian originalyang relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran gigi dankedokteran. CDJ juga menerima tinjauan pustaka, dan laporankasus.
Artikel yang dikirim adalah artikel yang belum pernahdipublikasi, untuk menghindari duplikasi CDJ tidak menerimaartikel yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktubersamaan untuk publikasi. Penulis memastikan bahwa seluruhpenulis pembantu telah membaca dan menyetujui isi artikel.
1. Artikel PenelitianTatacara penulisan: Judul dalam bahasa Indonesia Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia & Inggris,
dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlahmaksimal 200 kata, harus mencerminkan isi artikel,ringkas dan jelas, sehingga memungkinkan pembacamemahami tentang aspek baru atau penting tanpaharus membaca seluruh isi artikel. Diketik denganspasi tunggal satu kolom.
Kata Kunci dicantumkan pada halaman yang samadengan abstrak. Pilih 3-5 buah kata yang dapatmembantu penyusunan indek.
Artikel utama ditulis dengan huruf jenis Times NewRoman ukuran 11 point, spasi satu dan dibuat dalambentuk dua lajur (page layout)
Artikel termasuk tabel, daftar pustaka dan gambarharus diketik 1 spasi pada kertas dengan ukuran 21,5x 28 cm (kertas A4) dengan jarak dari tepi 2,5 cm,jumlah halaman maksimum 12. Laporan tentangpenelitian pada manusia harus memperolehpersetujuan tertulis (signed informed consent).
Sistematika penulisan artikel hasil penelitian, adalahsebagai berikut: Judul Nama dan alamat penulis serta alamat email Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris Kata kunci Pendahuluan (tanpa subjudul, memuat latar
belakang masalah dan sedikit tinjauan pustaka, danmasalah/tujuan penelitian). Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Kesimpulan dan Saran Ucapan terima kasih Daftar Pustaka.
2. Tinjauan pustaka/artikel konseptual (setara hasilpenelitian) merupakan artikel review dari jurnal dan ataubuku mengenai ilmu kedokteran gigi, kedokteran dankesehatan mutakhir memuat: Judul Nama penulis Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris
Pendahuluan (tanpa subjudul) Subjudul-subjudul sesuai kebutuhan Penutup (kesimpulan dan saran) Daftar pustaka
3. Laporan Kasus. Berisi artikel tentang kasus di klinik yangcukup menarik, dan baik untuk disebarluaskan dikalangansejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan,Laporan kasus, Pembahasan dan Daftar pustaka.
4. Gambar dan tabel. Kirimkan gambar yang dibutuhkanbersama makalah. Tabel harus diketik 1 spasi.
5. Metode statistik. Jelaskan tentang metode statistik secararinci pada bagian “metode”. Metode yang tidak lazim,ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut.
6. Judul ditulis dengan huruf besar 11 point, baik judulsingkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasukhuruf dan spasi. Diletakkan di bagian tengah atas darihalaman pertama. Subjudul dengan huruf 11 point.
7. Nama dan alamat penulis. Nama penulis tanpa gelar danalamat atau lembaga tempat bekerja ditulis lengkap danjelas. Alamat korespondensi, nomor telepon, nomorfacsimile, dan alamat e-mail.
8. Ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih hanya untukpara profesional yang membantu penyusunan naskah,termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukunganumum dari suatu institusi.
9. Daftar pustaka. Daftar pustaka ditulis sesuai denganaturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuaidengan pemunculan dalam keseluruhan teks ditulis secarasuper script. Jumlah daftar pustaka minimal 10 referensi.Bila pengarang lebih dari 6 orang, maka disebutkan 6nama pengarang kemudian baru at al/dkk. Bila kurangdari 6 orang maka disebutkan semua nama pengarangnya.- Jurnal: Hendarto H, Gray S. Surgical and non surgical
intervation for speech rehabilitation in Parkinsondisease. Med J Indonesia 2000; 9 (3): 168-74.
- Buku: Lavelle CLB. Dental plaque. In: Applied OralPhysiology, 2nd ed. London: Wright. 1988:93-5.
- Book Section: Shklar G, Carranza FA. The HistoricalBackground of Periodontology. In: Carranza's ClinicalPeriodontology (Newman MG, Takei HH, KlokkevoldPR, Carranza FA, eds), 10th ed. St. Louis: SaundersElsevier, 2006: 1-32.
- Website : Almas K. The antimicrobial effects of sevendifferent types of Asian chewing sticks. Available inhttp://www.santetropicale.com/resume/49604.pdfAccessed on April, 2004.
10. Artikel dikirim sebanyak 1 (satu) eksemplar, dalambentuk hard dan soft copy, tuliskan nama file dan programyang digunakan, kirimkan paling lambat 2 (dua) bulansebelum bulan penerbitan kepada:Ketua Dewan PenyuntingCakradonya Dental Journal (CDJ)Fakultas Kedokteran Gigi -UnsyiahDarussalam Banda Aceh 23211Telp/fax. 0651-7551843
11. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akandiberitahukan melalui email. Penulis yang artikelnyadimuat akan mendapat bukti pemuatan sebanyak 1 (satu)eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akandikembalikan kecuali atas permintaan penulis.
ISSN 2085-546X
DAFTAR ISI
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)
Terhadap Pertumbuhan Enterococcus faecalis ...................................................................... 1
Zaki Mubarak, Santi Chismirina, Cut Aisa Qamari
Perbedaan Efektifitas Menyikat Gigi Dengan Metode Roll Dan Horizontal
Pada Anak Usia 8 Dan 10 Tahun Di Medan ........................................................................... 11
Ayudia Rifki, T. Hermina
Hubungan Antara Periodontitis Dengan Kelahiran Bayi Prematur
Berberat Badan Lahir Rendah Ditinjau Dari Aspek Destruksi Periodontal ...................... 17
Khairiyah Ulfah, Irma Ervina
Pola Asupan Nutrisi Pada Pasien Yang Kehilangan Gigi Sebagian
Di Poli Gigi Dan Mulut RSUDZA Banda Aceh ...................................................................... 23
Liana Rahmayani, Pocut Aya Sofya, Nadia Sartika
Ovate Pontic Sebagai Alternatif Perawatan Gigi Tiruan Jembatan ..................................... 30
Pocut Aya Sofya
Uji Aktivitas Antifungal Ekstrak Kulit Pisang Barangan (Musa paradisiaca L)
Terhadap Candida albicans ...................................................................................................... 36
Ridha Andayani, Afrina
Hubungan Antara Durasi Hemodialisis Dengan Periodontitis
Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik ........................................................................................... 47
Sri Rezeki, Sunnati, Dara Mauliza
Bentuk Residual Ridge Dan Hubungannya Dengan Retensi
Gigi Tiruan Penuh.......................................................................................................... 55
Silvia Pridana, Ismet Danial Nasution
Studi Pelepasan Monomer Sisa Dari Resin Akrilik Heat Cured
Setelah Perendaman Dalam Akuades ..................................................................................... 61
Viona Diansari, Sri Fitriyani, Fazliyanda Maria Haridhi
Konsentrasi Hambat Dan Bunuh Minimum Ekstrak Daun Jeruk Nipis
(Citrus aurantifolia) Terhadap Aggregatibacter actinomycetemcomitans
Secara In Vitro .......................................................................................................................... 68
Afrina, Santi Chismirina, Risa Yulanda Magistra
ISSN 2085-546X
DAFTAR ISI
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kayu Manis (Cinnamomum burmannii)
Terhadap Pertumbuhan Enterococcus faecalis ...................................................................... 1
Zaki Mubarak, Santi Chismirina, Cut Aisa Qamari
Perbedaan Efektifitas Menyikat Gigi Dengan Metode Roll Dan Horizontal
Pada Anak Usia 8 Dan 10 Tahun Di Medan ........................................................................... 11
Ayudia Rifki, T. Hermina
Hubungan Antara Periodontitis Dengan Kelahiran Bayi Prematur
Berberat Badan Lahir Rendah Ditinjau Dari Aspek Destruksi Periodontal ...................... 17
Khairiyah Ulfah, Irma Ervina
Pola Asupan Nutrisi Pada Pasien Yang Kehilangan Gigi Sebagian
Di Poli Gigi Dan Mulut RSUDZA Banda Aceh ...................................................................... 23
Liana Rahmayani, Pocut Aya Sofya, Nadia Sartika
Ovate Pontic Sebagai Alternatif Perawatan Gigi Tiruan Jembatan ..................................... 30
Pocut Aya Sofya
Uji Aktivitas Antifungal Ekstrak Kulit Pisang Barangan (Musa paradisiaca L)
Terhadap Candida albicans ...................................................................................................... 36
Ridha Andayani, Afrina
Hubungan Antara Durasi Hemodialisis Dengan Periodontitis
Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik ........................................................................................... 47
Sri Rezeki, Sunnati, Dara Mauliza
Bentuk Residual Ridge Dan Hubungannya Dengan Retensi
Gigi Tiruan Penuh.......................................................................................................... 55
Silvia Pridana, Ismet Danial Nasution
Studi Pelepasan Monomer Sisa Dari Resin Akrilik Heat Cured
Setelah Perendaman Dalam Akuades ..................................................................................... 61
Viona Diansari, Sri Fitriyani, Fazliyanda Maria Haridhi
Konsentrasi Hambat Dan Bunuh Minimum Ekstrak Daun Jeruk Nipis
(Citrus aurantifolia) Terhadap Aggregatibacter actinomycetemcomitans
Secara In Vitro .......................................................................................................................... 68
Afrina, Santi Chismirina, Risa Yulanda Magistra
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
1
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK KAYU MANIS (Cinnamomum burmannii)
TERHADAP PERTUMBUHAN Enterococcus faecalis
Zaki Mubarak, Santi Chismirina, Cut Aisa Qamari
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
ABSTRAK
Enterococcus faecalis adalah salah satu flora normal rongga mulut yang sering ditemukan pada kasus
kegagalan perawatan endodontik. Kayu manis (Cinnamomum burmannii) merupakan tanaman herbal
yang sering digunakan sebagai rempah-rempah, namun juga memiliki sifat antibakteri karena
kandungan kimia yang dimilikinya berupa alkaloid, saponin, tanin, polifenol, flavonoid, kuinon dan
triterpenoid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak kayu
manis (Cinnamomum burmannii) terhadap pertumbuhan E. faecalis. Enterococcus faecalis yang telah
dikultur pada media CHROMagar VRE Base diinkubasi pada suhu 37°C dalam suasana anaerob.
E. faecalis yang telah dikultur dan diidentifikasi, dipaparkan ekstrak kayu manis (Cinnamomum
burmannii) untuk uji aktivitas antibakteri dengan metode Standart Plate Count menggunakan media
MHA. Dari hasil analisis data menggunakan uji statistik Kruskal-Wallis didapatkan nilai p=0,003
(p<0,05). Hasil uji menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni pada setiap konsentrasi kelompok
perlakuan dibandingkan kelompok kontrol negatif mengalami penurunan, pertumbuhan koloni
E. faecalis pada konsentrasi 1,5% adalah 299,3 x 104 CFU/ml dan pada konsentrasi 7,5% adalah
6 x 104 CFU/ml. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak kayu manis (Cinnamomum
burmannii) memiliki aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan Enterococcus faecalis dengan Kadar
Hambat Minimum (KHM) berada pada konsentrasi ekstrak 1,5%.
Kata kunci: Enterococcus faecalis, perawatan endodontik, Cinnamomum burmannii
ABSTRACT
Enterococcus faecalis is one of the normal flora in oral cavity that often found in cases of endodontic
treatment failure. Cinnamon (Cinnamomum burmannii) is a herb that is often used as a spice, but also
has antibacterial properties due to its chemical constituents such as alkaloid, saponin, tannin,
polyphenol, flavonoid, quinon and triterpenoid. The purpose of this study was to determine the
antibacterial activity of cinnamon (Cinnamomum burmannii) extract on E. faecalis growth.
Enterococcus faecalis that has been cultured on CHROMagar VRE Base media were incubated at
37°C in an anaerobic atmosphere. Enterococcus faecalis that has been cultured and identified,
described by cinnamon (Cinnamomum burmannii) extract for antibacterial activity testing using
Standard Plate Count method in MHA media. The results of Kruskal-Wallis analysis showed the
value of p=0.003 (p<0.05). The results showed that E. faecalis growth in every concentrations of
treatment group compared to negative control group was decreased, E. faecalis growth at 1.5% extract
was 299.3 x 104 CFU/ml and at 7.5% extract was 6 x 10
4 CFU/ml. Based on this study it can
concluded that cinnamon (Cinnamomum burmannii) extract has antibacterial activity against
E. faecalis growth with Minimum Inhibitory Concentration (MIC) was at 1.5% extract.
Key words: Enterococcus faecalis, endodontic treatment, Cinnamomum burmanni
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
2
PENDAHULUAN
Endodontologi adalah ilmu yang ber-
kaitan dengan bentuk, fungsi dan penyakit dari
pulpa gigi dan jaringan periradikular yang
disebabkan oleh suatu infeksi.1,2
Perawatan
endodontik merupakan suatu prosedur untuk
menjaga kesehatan sebagian atau seluruh
jaringan pulpa gigi yang terinfeksi.1 Tujuan
utama dari perawatan endodontik yaitu untuk
membersihkan mikroorganisme dari sistem
saluran akar dan mencegah terjadinya infeksi
ulang.3,4,5,6
Kunci dari keberhasilan perawatan
endodontik dipengaruhi oleh triad endodontic
yaitu preparasi akses (endo access), preparasi
saluran akar (cleaning and shaping), serta
pengisian saluran akar (obturation).7
Penyebab dari infeksi saluran akar
adalah invasi mikroorganisme ke dalam pulpa
melalui tubulus dentin yang terbuka dan
kegagalan perawatan endodontik.2,8
Mikro-
organisme yang paling sering ditemukan pada
kasus endodontik yaitu Enterococcus
faecalis.9,10
Enterococcus faecalis merupakan
flora normal rongga mulut berupa bakteri
anaerob fakultatif Gram-positif yang
mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup
hingga pH 11.1–11.5 (basa) dengan
keterbatasan nutrisi dalam saluran akar.11,12,13,14
Bahan terapi yang sering digunakan
sebagai antibakteri pada perawatan saluran
akar adalah kalsium hidroksida dan
klorheksidin.15
Kalsium hidroksida memiliki
kelemahan dimana E. faecalis resisten
terhadap efek antibakteri dari kalsium
hidroksida. Ketika bahan ini diletakkan ke
dalam saluran akar, terjadi penurunan tingkat
pH diakibatkan oleh efek buffer pada dentin
radikular sehingga pH awal kalsium
hidroksida yang bernilai 12.3 (basa) akan
turun menjadi 10.3 (basa), sedangkan
E. faecalis masih bisa bertahan hingga
pH 11.1–11.5.12,13
Klorheksidin digunakan
untuk mengurangi jumlah bakteri dalam
saluran akar, namun bahan ini memiliki efek
toksik.16
Hal ini mendorong untuk ditemukannya
bahan baku obat alternatif baru yang berasal
dari bahan alam. Salah satu bahan alam yang
dapat digunakan sebagai antibakteri adalah
kayu manis (Cinnamomum burmannii). Dari
hasil penelitian Cinnamomum burmannii
diketahui dapat dimanfaatkan sebagai
antibakteri, antijamur, antiinflamasi, analge-
tika, antidiabetik, antioksidan, antitumor,
antitrombotik, menghambat pembentukan plak
gigi dan penyakit periodontal, serta aktivitas
lainnya.17
Senyawa kimia yang diduga ber-
peran sebagai antibakteri pada C. burmannii
yaitu minyak atsiri sekitar 0,5–2% (seperti
eugenol, safrol, cinnamaldehyde dan linalool),
polisakarida sekitar 10% (seperti diterpen serta
coumarin), komponen fenol 4–10% (seperti
tanin) dan flavonoid.17,18,19,20
Penelitian yang dilakukan oleh Shan
dkk (2007) tentang sifat antibakteri dan kom-
ponen bioaktif utama C. burmannii terhadap
bakteri patogen dalam makanan menunjukkan
bahwa C. burmannii memiliki efek antibakteri
terhadap pertumbuhan Bacillus cereus,
Listeria monocytogenes, Staphylococcus
aureus, Escherichia coli dan Salmonella
anatum.21
Penelitian yang dilakukan oleh
Rajsekhar dkk (2012) tentang peninjauan
terhadap rempah-rempah sebagai agen
mikrobial menunjukkan bahwa KHM ekstrak
kayu manis terhadap pertumbuhan S. mutans
berada pada konsentrasi 3,12%.22
Penelitian
yang dilakukan oleh Magetsari (2013) tentang
efektivitas pelapisan minyak kayu manis di
K-wire sebagai agen antimikroba terhadap
Staphylococcus epidermidis menunjukkan
bahwa C. burmannii memiliki sifat anti-
mikrobial terhadap S. epidermidis.23
BAHAN DAN METODE
Beberapa alat dan bahan yang akan
digunakan seperti cawan petri, gelas ukur, labu
erlenmeyer, tabung reaksi, batang L, pipet
ukur dan kulit batang kayu manis harus dicuci
bersih terlebih dahulu sebelum digunakan
dalam penelitian. Selanjutnya, alat tersebut
dikeringkan dan disterilkan menggunakan
autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan
2 atm selama 15 menit. Setelah itu, disimpan
dalam sterilisator agar alat tersebut tetap
steril.24,25
Kulit batang kayu manis (C. burmannii)
dirajang dalam keadaan masih basah dan lunak
untuk mempercepat proses pengeringan dan
penggilingan. Selanjutnya, rajangan dijemur di
bawah paparan sinar matahari dan ditutup
dengan kain hitam.
Pemeriksaan alkaloid dilakukan dengan
mengambil serbuk simplisia ditimbang
sebanyak 0,5 gr kemudian ditambahkan 1 ml
HCl 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di
atas penangas air selama 2 menit, didinginkan
dan disaring. Filtrat yang diperoleh diambil
3 tetes, dimasukkan ke tabung reaksi dan
dicampurkan dengan 2 tetes pereaksi Burchad
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
3
(hasil positif jika terbentuk endapan berwarna
coklat sampai hitam), Dragendorf (hasil
positif jika terbentuk endapan berwarna merah
atau jingga), Mayer (hasil positif jika
terbentuk gumpalan berwarna putih atau
kuning) dan Wagner (hasil positif jika
terbentuk endapan berwarna coklat).20,26
Saponin diuji dengan menimbang
serbuk simplisia sebanyak 0,5 gr dan
dimasukkan dalam tabung reaksi, lalu
ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan,
kemudian dikocok kuat selama 10 detik. Jika
terbentuk busa setinggi 1–10 cm yang stabil
tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang
dengan penambahan 1 tetes HCl 0,1 me-
nunjukkan adanya saponin.
Tanin diuji dengan menambahkan
gelatin 10%, jika terbentuk endapan putih
maka sampel positif mengandung tanin.
Sementara itu, penambahan larutan FeCl3 1%
menunjukkan warna hijau kehitaman
membuktikan adanya kandungan polifenol
pada ekstrak kayu manis.27
Keberadaan flavonoid dibuktikan
dengan menambahkan Mg dan 1 ml HCl,
warna coklat yang terbentuk menunjukkan
sampel mengandung flavonoid.28
Kuinon
ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah
akibat penambahan NaOH 1% dan
terbentuknya warna merah setelah pe-
nambahan pereaksi Carr Price menunjukkan
sampel mengandung triterpenoid, sedangkan
warna hijau yang terbentuk setelah pe-
nambahan pereaksi Carr Price menunjukkan
sampel mengandung steroid.27
Hasil ekstrak murni dari C. burmanii
dilakukan pengenceran dengan akuades agar
didapatkan konsentrasi yang diperlukan.
Rumus pengenceran yang digunakan adalah29
C1 . V1 = C2 . V2
Keterangan:
C1: Konsentrasi Awal C2: Konsentrasi Akhir
V1: Volume Awal V2: Volume Akhir
Enterococcus faecalis dikultur pada
media CHROMagar VRE Base dengan teknik
goresan T (streak T). Cawan petri dibagi
menjadi 3 bagian dengan menggunakan spidol.
Jarum ose dipanaskan kemudian ditunggu
hingga dingin, lalu 1 ose dari biakan murni
diinokulasikan pada bagian 1 dengan goresan
zig-zag. Selanjutnya, dilakukan goresan
zig-zag pada bagian 2, tegak lurus dengan
bagian 1. Setelah itu, digoreskan zig-zag pada
bagian 3, tegak lurus dengan bagian 2. Cawan
petri yang telah diinokulasikan bakteri, ditutup
rapat, kemudian diinkubasi selama 24–72 jam
pada suhu 37°C.25
Selanjutnya uji konfirmasi E. faecalis
dilakukan dengan pewarnaan Gram. Preparat
ulas yang telah difiksasi E. faecalis diteteskan
kristal violet pada seluruh bagian preparat dan
ditunggu ± 1 menit, lalu preparat dicuci
dengan akuades mengalir. Teteskan Mordant
(lugol’s iodine), ditunggu ± 1 menit, lalu
preparat dicuci dengan akuades mengalir.
Setelah itu, preparat diteteskan etanol 96%
setetes demi setetes hingga etanol yang jatuh
berwarna jernih, kemudian preparat dicuci
dengan akuades mengalir. Selanjutnya,
diteteskan counterstain (safranin), ditunggu
± 45 detik, kemudian preparat dicuci dengan
akuades mengalir. Selanjutnya, preparat
dikeringkan menggunakan tissue pada sisi
ulasan, lalu preparat dikeringkan dengan cara
diangin-anginkan, kemudian diamati di bawah
mikroskop cahaya untuk mengonfirmasi
bakteri. Bakteri Gram-positif akan tampak
berwarna ungu.25
Enterococcus faecalis yang telah
dibiakkan di media CHROMagar VRE Base,
diambil 1 ose lalu disuspensikan dalam tabung
reaksi yang berisi 5 ml larutan NaCl 0,9%,
kemudian dihomogenkan menggunakan
vortex. Kekeruhan suspensi bakteri disetarakan
dengan larutan Mc. Farland (3 x 108 CFU/ml).
Pertama sekali, disiapkan 8 tabung
reaksi, masing-masing tabung diisi dengan
9 ml NaCl, diambil 1 ml suspensi E. faecalis
lalu dicampurkan dengan tabung pengenceran
1 (10-1
), lalu dihomogenkan. Diambil 1 ml dari
tabung 1 dengan pipet eppendorf kemudian
dipindahkan ke tabung pengenceran 2 (10-2
),
lalu dihomogenkan. Diambil 1 ml dari tabung
pengenceran 2 dengan pipet eppendorf
kemudian dipindahkan ke tabung pengenceran
3 (10-3
), lalu dihomogenkan. Begitu seterusnya
hingga tabung pengenceran terakhir dari seri
pengenceran.25
Setelah itu, diambil 0,1 ml suspensi
E. faecalis menggunakan pipet eppendorf pada
tabung pengenceran 2 (10-2
) sampai tabung
pengenceran 7 (10-7
), diteteskan ke cawan
petri untuk ditanam pada media MHA dengan
metode spread plate, lalu diratakan
menggunakan batang L, kemudian diinkubasi
selama 24–72 jam pada suhu 37ºC.
Pengamatan dilakukan setelah 24–72 jam
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
4
dengan cara menghitung koloni E. faecalis
yang tumbuh pada media menggunakan colony
counter. Tabung pengenceran yang dipilih
adalah tabung yang berjumlah 30–300 koloni
bakteri.4
Pengujian Kadar Hambat Minimum
(KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM)
pada penelitian ini terdiri dari 7 kelompok,
yaitu 5 kelompok perlakuan, 1 kelompok
kontrol negatif dan 1 kelompok kontrol positif.
Setiap tabung diisi 3,5 ml dengan aturan
sebagai berikut: pada tabung 1 (kontrol
positif/K+) diisi larutan Chlorhexidine 2%,
tabung 2 (kontrol negatif/K-) diisi dengan
akuades steril, tabung 3 (perlakuan 1/P1) diisi
dengan ekstrak C. burmannii dengan
konsentrasi 1,5%, tabung 4 (P2) 3%, tabung 5
(P3) 4,5%, tabung 6 (P4) 6% dan tabung 7
(P5) 7,5%. Selanjutnya, setiap tabung
ditambahkan 0,5 ml suspensi E. faecalis dan
dihomogenkan menggunakan vortex.
Selanjutnya, dari setiap tabung diambil
0,1 ml suspensi menggunakan pipet eppendorf,
ditanam dengan metode spread plate pada
media MHA dan diratakan menggunakan
batang L, lalu diinkubasi selama 24–72 jam
dengan suhu 37°C. Setelah 24–72 jam,
dihitung jumlah koloni yang tumbuh
menggunakan colony counter. Kadar Hambat
Minimum dari ekstrak C. burmannii adalah
konsentrasi terkecil dari ekstrak C. burmannii
yang tumbuh koloni E. faecalis lebih sedikit
daripada koloni yang terbentuk pada kontrol
negatif pada media MHA dan Kadar Bunuh
Minimum dari ekstrak C. burmannii adalah
konsentrasi terkecil dari ekstrak C. burmannii
yang tidak terdapat pertumbuhan E. faecalis
pada media MHA.25
HASIL PENELITIAN
Ekstraksi Kayu Manis (Cinnamomum
burmannii) dengan Pelarut Etanol Pada penelitian ini, proses ekstraksi
kayu manis dilakukan dengan metode
Gambar 1. Ekstrak Etanol Kayu Manis
(Cinnamomum burmannii)
maserasi. Sebanyak 800 gr bubuk kayu manis
dilarutkan dalam 2,5 L etanol 96% selama 3
hari, sehingga didapatkan ekstrak kental
berwarna coklat kehitaman sebanyak 111,3 gr
(Gambar 1).
Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kayu Manis
(Cinnamomum burmannii) Setelah dilakukan uji fitokimia,
diperoleh hasil bahwa ekstrak kayu manis
mengandung senyawa kimia berupa alkaloid,
saponin, tanin, polifenol, flavonoid, kuinon
dan triterpenoid. Hal tersebut dibuktikan
dengan terbentuknya endapan putih setelah
penambahan 2 tetes pereaksi Mayer, terbentuk
endapan jingga akibat penambahan 2 tetes
pereaksi Dragendrof dan terbentuk endapan
coklat setelah penambahan 2 tetes pereaksi
Burchad untuk uji alkaloid. Terbentuknya
gelembung setelah penambahan satu tetes
HCl 0,1 menunjukkan sampel mengandung
saponin. Terbentuknya endapan putih setelah
penambahan gelatin 10% membuktikan bahwa
sampel mengandung tanin. Warna hijau
kehitaman yang terbentuk setelah penambahan
larutan FeCl3 1% menunjukkan adanya
kandungan polifenol pada ekstrak kayu manis.
Sementara itu, warna coklat yang terbentuk
setelah Mg dan 1 ml HCl ditambahkan,
menunjukkan sampel mengandung flavonoid.
Kuinon terdeteksi keberadaannya di dalam
ekstrak kayu manis karena terbentuknya warna
merah akibat penambahan NaOH 1%.
Terbentuknya warna merah setelah pe-
nambahan pereaksi Carr Price menunjukkan
sampel mengandung triterpenoid (Gambar 2).
Gambar 2. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kayu
Manis; (a) Saponin, (b) Kuinon, (c)
Polifenol, (d) Tanin, (e) Flavonoid, (f)
Alkaloid (Dragendorf), (g) Alkaloid
(Burchad), (h) Alkaloid (Mayer)
a b c d e f g h
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
5
Hasil Kultur dan Uji Konfirmasi
Enterococcus faecalis Hasil kultur E. faecalis pada media
CHROMAgar VRE Base yang telah diinkubasi
secara anaerob selama 48 jam pada suhu 37°C
menunjukkan warna koloni biru kehijauan
(Gambar 3).
Gambar 3. Hasil Kultur Enterococcus faecalis
pada Media CHROMAgar VRE Base
Selanjutnya, hasil pewarnaan Gram
pada penelitian ini menunjukkan bahwa koloni
E. faecalis yang terbentuk berwarna ungu
(Gambar 4).
Gambar 4. Hasil Pewarnaan Gram Enterococcus
faecalis
Hasil Pembuatan Suspensi dan
Pengenceran Bertingkat Enterococcus
faecalis
Gambar 5. Hasil Penyetaraan Kekeruhan Suspensi
dengan Larutan Mc. Farland;
(a) Suspensi Bakteri, (b) Larutan Mc.
Farland
Suspensi E. faecalis dibuat dengan cara
menyetarakan kekeruhan suspense dengan
larutan Mc. Farland (3 x 108 CFU/ml)
(Gambar 5).
Setelah itu, dilakukan pengenceran
bertingkat dari suspensi E. faecalis tersebut
dan diperoleh hasil seperti yang tertera pada
Tabel 1.
Tabel 1. Data Jumlah Koloni E. faecalis Hasil
Pengenceran Bertingkat
Tingkat
Pengenceran
Jumlah Pertumbuhan
Koloni
(koloni/cawan)
10-2 1040
10-3
630 10
-4 70
10-5
7 10
-6 1
10-7
1 10
-8 1
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
pengenceran 10-4
merupakan tingkat
pengenceran yang memenuhi syarat dari
metode Standart Plate Count (SPC) karena
memiliki pertumbuhan bakteri sebanyak 70
koloni/cawan.
Hasil Pengujian Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Kayu Manis (Cinnamomum
burmannii) terhadap Pertumbuhan
Enterococcus faecalis Pada penelitian ini, pengujian pengaruh
ekstrak kayu manis terhadap pertumbuhan
koloni E. faecalis dilakukan pada media MHA
dan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga
kali. Hasil dari pengujian ini, pertumbuhan
koloni bakteri E. faecalis setelah dibagi
dengan tingkat pengencerannya (10-4
) maka
diperoleh jumlah rata-rata pertumbuhan koloni
terbanyak pada kelompok perlakuan dengan
konsentrasi 1,5% yaitu 299,3 x 104 CFU/ml
dan pertumbuhan koloni yang paling sedikit
berada pada konsentrasi 7,5% yaitu 6 x 104
CFU/ml, sedangkan pada kelompok kontrol
positif (CHX 2%) tidak terdapat pertumbuhan
koloni bakteri dan pada kelompok kontrol
negatif (akuades) terdapat pertumbuhan
bakteri sebanyak 5470 x 104 CFU/ml. Hasil
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Koloni
E. faecalis
a
b
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
6
Pada penelitian ini, jumlah kelompok perlakuan adalah tujuh kelompok, namunTabel 2. Jumlah Koloni E. faecalis setelah Diuji dengan Ekstrak Kayu Manis
Konsentrasi
Bahan Uji
Jumlah Koloni (CFU/ml) Rata-Rata Jumlah Koloni E.
faecalis (CFU/ml) P1 P2 P3
Akuades 5776 x 104 5218 x 10
4 5416 x 10
4 5470 x 10
4
CHX 2% 0 0 0 0
1,5% 302 x 104 294 x 10
4 302 x 10
4 299,3 x 10
4
3% 216 x 104 204 x 10
4 214 x 10
4 211,3 x 10
4
4,5% 46 x 104 34 x 10
4 44 x 10
4 41,3 x 10
4
6% 22 x 104 34 x 10
4 26 x 10
4 27,3 x 10
4
7,5% 6 x 104 8 x 10
4 4 x 10
4 6 x 10
4
Tabel 2. Hasil Uji Mann-Whitney Pengaruh Ekstrak Kayu Manis (Cinnamomum burmannii) terhadap
Pertumbuhan E. faecalis
Kelompok
Perlakuan 1,5% 3% 4,5% 6% 7,5% Akuades CHX 2%
1,5% - 0,046* 0,046* 0,046* 0,046* 0,046* 0,034*
3% 0,046* - 0,050 0,050 0,050 0,050 0,037*
4,5% 0,046* 0,050 - 0,077 0,050 0,050 0,037*
6% 0,046* 0,050 0,077 - 0,050 0,050 0,037*
7,5% 0,046* 0,050 0,050 0,050 - 0,050 0,037*
Akuades 0,046* 0,050 0,050 0,050 0,050 - 0,037*
CHX 2% 0,034* 0,037* 0,037* 0,037* 0,037* 0,037* -
Keterangan : * = p<0,05 ; terdapat perbedaan bermakna
distribusi data tidak normal dan varians data
tidak homogen, dengan nilai p=0,002
(p<0,05), sehingga tidak memenuhi syarat
untuk dilakukan uji one way ANOVA. Oleh
karena itu, digunakan uji non-parametrik yaitu
uji Kruskal-Wallis sebagai uji alternatif dari
one way ANOVA dengan post hoc yaitu uji
Mann-Whitney.
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan
nilai p<0,05 yaitu p=0,003, sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara kelompok perlakuan terhadap
pertumbuhan koloni E. faecalis. Oleh karena
itu, hipotesis dari penelitian ini yaitu ekstrak
kayu manis memiliki aktivitas antibakteri
dalam menghambat pertumbuhan E. faecalis
dapat diterima. Sementara itu, hipotesis untuk
Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar
Bunuh Minimum (KBM) dari penelitian ini
ditolak.
Sementara itu, hasil uji Mann-Whitney
menunjukkan bahwa jumlah koloni E. faecalis
memiliki perbedaan bermakna yaitu pada
konsentrasi 1,5% dan kelompok kontrol positif
terhadap semua konsentrasi dan kelompok
kontrol, konsentrasi 3%, 4,5%, 6%, 7,5% dan
kelompok kontrol negatif terhadap konsentrasi
1,5% dan kelompok kontrol positif (Tabel 3).
PEMBAHASAN
Penelitian ini dimulai dengan
pembuatan ekstrak kayu manis (Cinnamomum
burmannii) menggunakan metode maserasi.
Teknik maserasi dilakukan dengan cara
melarutkan simplisia dalam suatu pelarut,
kemudian pelarut diuapkan menggunakan
rotary evaporator untuk mendapatkan ekstrak
kental. Proses esktraksi menggunakan metode
maserasi karena metode ini cukup sederhana,
selain itu pengerjaannya pada suhu kamar
menyebabkan zat aktif yang terkandung dalam
ekstrak tidak rusak akibat pemanasan tinggi.20
Pelarut yang dipilih untuk proses ekstraksi
pada penelitian ini adalah etanol 96% karena
etanol bersifat inert sehingga tidak bereaksi
dengan komponen lainnya. Etanol juga mudah
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
7
dipisahkan dengan minyak dalam proses
destilasi karena memiliki titik didih yang
rendah (78,37°C).30
Ekstrak kental hasil ekstraksi diuji
kandungan kimianya terlebih dahulu sebelum
dilakukan pengujian aktivitas antibakteri
terhadap E. faecalis untuk memastikan
senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak
kayu manis (Cinnamomum burmannii)
tersebut. Metode pengujian kandungan kimia
kayu manis yang digunakan pada penelitian ini
adalah uji fitokimia. Hasil uji fitokimia
menunjukkan bahwa ekstrak kayu manis
mengandung senyawa kimia berupa alkaloid,
saponin, tanin, polifenol, flavonoid, kuinon
dan triterpenoid.
Hasil kultur bakteri setelah diinkubasi
dalam keadaan anaerob selama 48 jam pada
suhu 37°C menunjukkan bahwa bakteri yang
tumbuh pada media selektif CHROMAgar
VRE Base adalah E. faecalis. Hal ini terlihat
dari warna yang terbentuk yaitu biru kehijauan
yang disebabkan karena CHROMAgar VRE
Base memiliki komponen chromogenic mix
yang mengandung x-glucoside sebagai
chromogen. Chromogen x-glucoside ini
digunakan untuk mengidentifikasi E. faecalis
dengan cara memecah chromogen x-glucoside
yang ada pada media oleh enzim
β-glukosidase yang dimiliki E. faecalis,
sehingga menghasilkan warna biru
kehijauan.31
Tahap selanjutnya adalah
pengonfirmasian E. faecalis dengan
pewarnaan Gram. Hasil pewarnaan Gram
E. faecalis yang telah dikultur pada media
CHROMAgar VRE Base menunjukkan warna
ungu dengan bentuk kokus berantai pendek.
Warna ungu yang terbentuk menunjukkan
bahwa E. faecalis merupakan bakteri Gram-
positif, hal ini disebabkan karena bakteri
Gram-positif memiliki struktur dinding sel
yang tebal, mengandung sedikit lapisan lipid
dan selapis membran sel, sedangkan Gram-
negatif memiliki struktur dinding sel yang tipis
yang berada di antara dua lapis membran sel
dan mengandung banyak lapisan lipid.
Pemberian kristal violet menyebabkan seluruh
permukaan bakteri terwarnai, baik bakteri
Gram-positif maupun Gram-negatif.
Penambahan lugol’s iodine akan menghasilkan
ikatan kristal violet dengan iodine yang akan
meningkatkan kemampuan pengikatan zat
warna oleh bakteri. Penetesan etanol 96%
menyebabkan terbentuknya pori-pori karena
lapisan lipid larut dalam etanol sehingga
kompleks kristal violet-iodine akan lepas dari
permukaan sel. Pada bakteri Gram-positif
hanya terbentuk pori-pori kecil sehingga
kompleks kristal violet-iodine yang berwarna
ungu dapat dipertahankan, sedangkan bakteri
Gram-negatif, memiliki banyak lapisan lipid
yang terlarut sehingga membentuk pori-pori
yang besar dan sel bakteri menjadi tidak
berwarna. Pemberian safranin yang berwarna
merah tidak akan berpengaruh pada bakteri
Gram-positif dan akan menjadi zat pewarna
utama bagi bakteri Gram-negatif.30
Selanjutnya dilakukan pengujian
aktivitas antibakteri ekstrak kayu manis
terhadap E. faecalis. Metode yang digunakan
untuk menentukan aktivitas antibakteri ekstrak
kayu manis (Cinnamomum burmannii)
terhadap pertumbuhan E. faecalis pada
penelitian ini adalah metode dilusi. Metode
serial dilution adalah proses pengenceran
bertingkat yang bertujuan untuk memperkecil
atau mengurangi jumlah mikroba dalam suatu
cairan.30
Setelah pengenceran bertingkat
selesai dan diperoleh tingkat pengenceran
yang sesuai dengan syarat metode Standart
Plate Count (SPC), dimana cawan yang dipilih
adalah cawan yang memiliki pertumbuhan
bakteri berkisar 30–300 koloni/cawan,
suspensi pada tingkat pengenceran tersebut
dicampurkan dengan ekstrak yang telah
disiapkan sesuai dengan konsentrasi
pengenceran yang diharapkan untuk dilihat
aktivitas antibakteri dari ekstrak.30
Pada penelitian ini, hasil uji aktivitas
antibakteri ekstrak kayu manis (Cinnamomum
burmannii) terhadap pertumbuhan E. faecalis
menunjukkan bahwa ekstrak kayu manis
mampu menghambat pertumbuhan E. faecalis
pada setiap konsentrasi. Hal ini dibuktikan
dengan menurunnya jumlah koloni E. faecalis
yang tumbuh di setiap konsentrasi perlakuan
jika dibandingkan dengan kontrol negatif.
Hasil perhitungan rata-rata jumlah koloni
E. faecalis yang tumbuh secara berurutan pada
konsentrasi 1,5%, 3%, 4,5%, 6%, 7,5%,
kontrol negatif dan kontrol positif yaitu 299,3
x 104 CFU/ml, 211,3 x 10
4 CFU/ml, 41,3 x 10
4
CFU/ml, 27,3 x 104 CFU/ml, 6 x 10
4 CFU/ml,
5470 x 104 CFU/ml dan 0 CFU/ml.
Hasil uji statistik Mann-Whitney pada
penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah
koloni E. faecalis memiliki perbedaan
bermakna antara kelompok perlakuan dengan
kontrol positif yaitu konsentrasi 1,5% – CHX
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
8
2% (p=0,034), konsentrasi 3% – CHX 2%
(p=0,037), konsentrasi 4,5% – CHX 2%
(p=0,037), konsentrasi 6% – CHX 2%
(p=0,037) dan konsentrasi 7,5% – CHX 2%
(p=0,037). Dapat disimpulkan bahwa
kelompok perlakuan dari semua konsentrasi
memiliki perbedaan bermakna terhadap
CHX 2%.
Hasil uji statistik Kruskal-Wallis pada
penelitian ini memperoleh nilai p=0,003
(p<0,05), menunjukkan ekstrak kayu manis
memiliki perbedaan bermakna terhadap
pertumbuhan E. faecalis. Hal ini sesuai dengan
salah satu hipotesis penelitian ini bahwa
ekstrak kayu manis (Cinnamomum burmannii)
memiliki aktivitas antibakteri terhadap
pertumbuhan E. faecalis, akan tetapi hipotesis
untuk Kadar Hambat Minimum (KHM) dan
Kadar Bunuh Minimum (KBM) dari penelitian
ini ditolak karena pada penelitian ini KHM
ditemukan pada konsentrasi 1,5% dan tidak
ditemukan adanya KBM. Hal ini diduga
karena interval perbedaan konsentrasi terlalu
kecil.
Aktivitas antibakteri ditunjukkan
dengan adanya hasil positif pada uji fitokimia
terhadap senyawa alkaloid, saponin, tanin,
polifenol, flavonoid, kuinon dan triterpenoid.
Penelitian yang dilakukan oleh Shan dkk
(2007) menunjukkan bahwa C. burmannii
memiliki efek antibakteri terhadap
pertumbuhan Bacillus cereus, Listeria
monocytogenes, Staphylococcus aureus,
Escherichia coli dan Salmonella anatum yang
merupakan bakteri Gram-postif dan Gram-
negatif.21
Penelitian yang dilakukan oleh
Magetsari (2013) menunjukkan bahwa
C. burmannii memiliki sifat antimikrobial
terhadap S. epidermidis.23
Hasil penelitian ini
dan beberapa penelitian sebelumnya juga telah
membuktikan bahwa kayu manis
(Cinnamomum burmannii) memiliki aktivitas
antibakteri karena memiliki senyawa aktif
berupa alkaloid, saponin, tanin, polifenol,
flavonoid, kuinon dan triterpenoid. Sifat basa
alkaloid akan mempengaruhi tekanan osmotik
antara bakteri dengan lingkungan hidupnya.32
Saponin memiliki kemampuan dalam
membentuk busa dan menghemolisis darah.33
Tanin berperan sebagai antibakteri dengan
cara bereaksi dengan membran sel, inaktivasi
enzim dan destruksi atau inaktivasi fungsi
materi genetik bakteri.34
Polifenol merupakan
senyawa golongan dari fenol yang berperan
merusak membran sitoplasma bakteri,
sehingga menyebabkan ketidakstabilan fungsi
pengendalian susunan protein dari sel
bakteri.35,36
Flavonoid berfungsi sebagai
antibakteri dengan cara membentuk senyawa
kompleks terhadap protein ekstraseluler yang
mengganggu integritas membran sel bakteri.
Kuinon mampu membentuk kompleks dengan
asam amino sehingga protein bakteri
kehilangan fungsi. Triterpenoid akan berikatan
dengan lemak dan karbohidrat menyebabkan
permeabilitas membran sel bakteri
terganggu.37
Akuades digunakan sebagai
kontrol negatif tidak memiliki zat antibakteri
sehingga tidak mempunyai daya hambat yang
menyebabkan E. faecalis dapat tumbuh bebas
dengan jumlah koloni yang tumbuh lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah koloni
pada kelompok perlakuan. CHX 2%
digunakan sebagai kontrol positif karena
diketahui memiliki aktivitas antibakteri
spektrum luas terhadap pertumbuhan bakteri
aerob dan anaerob, baik Gram-positif maupun
Gram-negatif serta Candida albicans.30
Dari penelitian ini, dapat disimpulkanm
bahwa C. burmannii memiliki aktivitas
antibakteri berupa kemampuan dalam
menghambat pertumbuhan E. faecalis.
KESIMPULAN
Ekstrak kayu manis (Cinnamomum
burmannii) memiliki aktivitas antibakteri
berupa kemampuan dalam menghambat
pertumbuhan E. faecalis dengan jumlah koloni
terbanyak ditemukan pada konsentrasi 1,5%
yaitu 299,3 x 104 CFU/ml dan jumlah koloni
paling sedikit ditemukan pada konsentrasi
7,5% yaitu 6 x 104 CFU/ml. Kadar Hambat
Minimum (KHM) dari penelitian ini untuk
pertumbuhan E. faecalis berada pada
konsentrasi 1,5% dan tidak ditemukan adanya
Kadar Bunuh Minimum (KBM).
DAFTAR PUSTAKA
1. European Society of Endodontology.
Quality guidelines for endodontic
treatment: consensus report of the
European Society of Endodontology. Intl
Endo J 2006; 39:921-930.
2. Walton RE, Torabinejad M. Prinsip &
Praktik Ilmu Endodonsia, edisi 3. Jakarta:
EGC. 2008: hal 1, 258.
3. Pizzo G, Giammanco GM, Cumbo E,
Nicolosi G, Gallina G. In vitro
antibacterial activity of endodontic
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
9
sealers. Journal of Dentistry 2006; 34:
35-40.
4. Estrela C, Sydney GB, Figueiredo JAP,
Estrela CRDA. Antibacterial efficacy of
intracanal medicaments on bacterial
biofilm: a critical review. J Appl Oral Sci
2009; 17(1):1-7.
5. Dumani A, Yoldas O, Yilmaz S, Akcimen
B, Seydaoglu G, Kipalev A, et.al. In vitro
suspectibility of E. faecalis and C.
albicans isolates from apical periodontitis
to common antimicrobial agents,
antibiotics and antifungal medicaments. J
Clin Exp Dent 2012; 4(1):1-7.
6. Gomes BPFA, Souza SFC, Ferraz CCR,
Teixeira FB, Zaia AA, Valdrighi L,
Souza-Filho FJ. Effectiveness of 2%
chlorhexidine gel and calcium hydroxide
against E. faecalis in bovine root dentine
in vitro. Int Endo J 2003; 36:267-275.
7. Daulay HH. Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Propolis Alami dari Sarang Lebah
terhadap Pertumbuhan Enterococcus
faecalis. Banda Aceh: Universitas Syiah
Kuala. Skripsi 2013; hal 4.
8. Suchitra U, Kundabala. M. Enterococcus
faecalis: an endodontic pathogen. Ind End
Soc 2006; 18(2):11-13.
9. Patidar RK, Gupta MK, Singh V.
Phenotypic detection of virulence traits
and antibiotic susceptibility of endodontic
Enterococcus faecalis isolated. American
Journal of Microbiological Research
2013; 1(1):4-9.
10. Halkai R, Hegde MN, Halkai K.
Enterococcus faecalis can survive
extreme challenges – overview. Nitte
University Journal of Health Science
2012; 2(3):49-53.
11. Kim SH, Chang SW, Baek SH, Han SH,
Lee Y, et al. Antimicrobial effect of
alexidine and chlorhexidine against
E. faecalis Infection. International
Journal of Oral Science 2013; 5: 26-31.
12. Chai WL, Hamimah H, Cheng SC,
Sallam AA, Abdullah M. Susceptibility of
E. faecalis biofilm to antibiotics and
calcium hydroxide. Journal of Oral
Science 2007; 49(2):161-166.
13. Evans M, Davies JK, Sundgvist G, Figdor
D. Mechanisms involved in the resistance
of E. faecalis to calcium hydroxide. Int
Endod J 2002; 35(3):221-228.
14. Kayaoglu G, Ørstavik D. Virulence
factors of E. faecalis: relationship to
endodontic disease. Crit Rev Oral Bio
Med 2004; 15(5):308-320.
15. Mulyawati E. Peran bahan disinfeksi pada
perawatan saluran akar. Maj Ked Gi
2011; 18(2): 205-209.
16. Oktaviani W. Perbedaan Efektivitas Daya
Antibakteri antara Klorheksidin
Diglukonat 2% dengan Berbagai
Konsentrasi Ekstrak Etanol Buah
Mahkota Dewa (Phaleriamacrocarpa
[Scheff.] Boerl) (tinjauan terhadap E.
faecalis). Yogyakarta: Universitas
Muhammadiyah. 2012.
17. Dhubiab BEA. Pharmaceutical
applications and phytochemical profile of
Cinnamomum burmannii. Pubmed 2012;
6(12):125-131.
18. Inna M, Atmania N, Prismasari S.
Potential use of Cinnamomum burmannii
essential oil-based chewing gum as oral
antibiofilm agent. Journal of Dentistry
Indonesia 2010; 17(3):80-86.
19. Rachma LN. Daya anti fungal dekok kayu
manis (Cinnamomum burmannii)
terhadap C. albicans secara in vitro. El-
Hayah 2012; 3(1):29-34.
20. Apriani R. Uji Penghambatan Aktivitas
α-Glukosidase dan Identifikasi Golongan
Senyawa dari Fraksi yang Aktif pada
Ekstrak Kulit Batang Cinnamomum
burmannii (Nees & T.Ness) blume.
Depok: Universitas Indonesia. Skripsi
2012.
21. Shan B, Cai YZ, Brooks JD, Corke H.
Antibacterial properties and major
bioactive components of cinnamon stick
(Cinnamomum burmannii): activity
against foodborne pathogenic bacteria.
Journal of Agricultural and Food
Chemistry 2007; 55(14):5484-5490.
22. Rajsekhar S, Kuldeep B, Chandaker A,
Upmanyu N. Spices as antimicrobial
agents: a review. International Research
Journal of Pharmacy 2012; 3(2).
23. Magetsari R. Effectiveness of cinnamon
oil coating on K-wire as an antimicrobial
agent against Staphylococcus epidermidis.
Malaysian Orthopaedic Journal 2013;
7(4).
24. Tim Mikrobiologi FKH UNSYIAH. Buku
Ajar Mikrobiologi. Banda Aceh:
Universitas Syiah Kuala. 2012: hal 58.
25. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi Dasar.
Purwokerto: Laboratorium Mikrobiologi
Universitas Jendral Sudirman, 2008.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
10
26. Tarigan JB, Zuhra CF, Sihotang H.
Skrinning fitokimia tumbuhan yang
digunakan oleh pedagang jamu gendong
untuk merawat kulit wajah di kecamatan
Medan Baru. Jurnal Biologi Sumatera
2008; 3(1):1-6.
27. Mustikasari K, Ariyani D. Skrinning
fitokimia ekstrak methanol biji kalangkala
(Litsea angulata). Sains dan Terapan
Kimia 2010; 4(2):131-136.
28. Tim Asisten Kimia Organik. Penuntun
Praktikum Kimia Bahan Alam Laut.
Laboratorium Pendidikan Kimia FKIP
Unsyiah. 2013: 3-9.
29. Kudom AA, Mensah BA, Botchey MA.
Aqueous neem extract versus neem
powder on Culex quinque fasciatus
implications for control in anthropogenic
habitats. J Insect Sci 2011; 11(142):1-9.
30. Hegde MN, Niaz F. Case reports on the
clinical use of calcium hidroxide points as
intracanal medicament. Endodontology. p.
23-27.
31. Fava LRG, Saunders WP. Calcium
hydroxide pastes : classification and
clinical indications. International
Endodontic Journal 1999; 32: 257-282
32. Radeva E, Indjov B, Vacheva R.
Antibacterial activity of intaracanal
medicaments against bacterial isolates in
cases of acute periapical periodontitis
(nonexudatiive form). Journal of IMAB.
2005; 34-37.
33. Anonymous. Enterococcus faecalis.
Available at: http://microbewiki.kenyon.
edu/index.php/Enterococcus_faecalis,
Accessed on August 21st, 2013.
34. Silva FB, Almeida JM, Sousa SMG.
Natural medicaments in endodontics – a
comparative study of the inflamatory
action. Braz Oral Res. 2004; 18(2):
174-179.
35. Wang Q, Zhang CF, Chu CH, Zhu XF.
Prevalence of E. faecalis in saliva and
filled root canal of teeth associated with
apical periodontitis. Int J Oral Sci 2012;
4:19-23.
36. Mathew S, Boopathy. Enterococcus
faecalis – an endodontic challenge. J Ind
Aca Dent Spec 2010; 1(4):46-48.
37. Bergenholtz G, Horsted-Bindslev P, Relt
C. Textbook of Endodontology. 2nd
ed.
United Kingdom: Wiley-Blackwell. 2010:
p. 175, 193, 301.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
11
PERBEDAAN EFEKTIFITAS MENYIKAT GIGI DENGAN
METODE ROLL DAN HORIZONTAL PADA ANAK
USIA 8 DAN 10 TAHUN DI MEDAN
Ayudia Rifki*, T. Hermina
**
*Staf Pengajar Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Unsyiah
**Staf Pengajar Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi USU
ABSTRAK
Penyebab utama terjadinya penyakit karies gigi dan periodontal adalah plak. Plak dapat dibersihkan
dengan cara menyikat gigi. Salah satu yang mempengaruhi keberhasilan penyikatan gigi adalah
metode penyikatan gigi. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perbedaan penurunan indeks
plak pada anak umur 8 dan 10 tahun dengan penyikatan gigi metode roll dan horizontal. Rancangan
penelitian ini adalah eksperimental sederhana, yaitu pre and post test design. Sampel penelitian ini
adalah anak usia 8 dan 10 tahun dari SDN 060880 Medan, anak usia 8 tahun sebanyak 40 orang dan
anak usia 10 tahun sebanyak 40 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang
bermakna antara menyikat gigi dengan metode roll dan horizontal terhadap penurunan indeks plak
pada anak usia 8 tahun begitu juga pada anak usia 10 tahun (p<0,05). Penurunan indeks plak pada
metode horizontal lebih besar daripada metode roll. Kemampuan menyikat gigi pada anak usia 10
tahun lebih baik daripada anak usia 8 tahun. Anak usia 8 dan 10 tahun lebih efektif menyikat gigi
dengan metode horizontal. Pemilihan metode menyikat gigi harus disesuaikan dengan usia dan
motorik anak.
Kata kunci: Karies, plak, metode roll, metode horizontal
ABSTRACT
The main cause of dental caries and periodontal disease is plaque. Plaque can be cleaned by brushing
teeth. One that affects the success of tooth brushing is a method of brushing teeth. The aim of this
study was to analyze the differences decrease plaque index in children aged 8 and 10 years old with
teeth brushing and horizontal roll method. This was an experimental study design is simple, namely
pre and post test design. Samples were children aged 8 and 10 years of SDN 060880 Medan, children
aged 8 years as many as 40 people and children aged 10 years as many as 40 people. The results
showed that significant difference between brushing with horizontal roll and a method to decrease
plaque index in children 8 years of age as well as in children aged 10 years (p<0.05). A decrease in
the plaque index on horizontal methods of outweight the roll method. Ability brushing teeth in
children aged 10 years better than children aged 8 years. Children aged 8 and 10 years are more
effective brushing with horizontal method. Selection method of brushing the teeth should be tailored
to the age and the child's motor.
Key words: Caries, plaque, roll method, horizontal method
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
12
PENDAHULUAN
Kondisi kesehatan gigi dan mulut di
Indonesia masih sangat memprihatinkan
sehingga perlu mendapatkan perhatian serius
dari tenaga kesehatan. Hal ini terlihat bahwa
penyakit gigi dan mulut masih diderita oleh
90% penduduk Indonesia.1 Berdasarkan
laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) DepKes RI 2001, di antara penyakit
yang dikeluhkan dan yang tidak dikeluhkan,
prevalensi penyakit gigi dan mulut adalah
tertinggi meliputi 60% penduduk. Karies gigi
dan penyakit periodontal merupakan penyakit
yang paling banyak dijumpai di rongga mulut
sehingga merupakan masalah utama kesehatan
gigi dan mulut.2 Karies gigi dan penyakit
periodontal dapat dicegah melalui penerapan
kebiasaan memelihara kesehatan gigi dan
mulut pada anak sejak dini dan secara
kontinu.3 Di Indonesia sebanyak 89% anak di
bawah 12 tahun menderita penyakit gigi dan
mulut. Penyakit gigi dan mulut, akan sangat
berpengaruh pada derajat kesehatan, proses
tumbuh kembang bahkan masa depan anak.
Anak-anak rawan kekurangan gizi. Rasa sakit
pada gigi dan mulut jelas menurunkan selera
makan mereka. Dampak lainnya, kemampuan
belajar mereka pun turun sehingga jelas akan
berpengaruh pada prestasi belajar hingga
hilangnya masa depan anak.4 Karies gigi dan
radang gusi (gingivitis) merupakan penyakit
gigi dan jaringan pendukung gigi yang banyak
dijumpai pada anak-anak sekolah dasar di
Indonesia, serta cenderung meningkat setiap
dasawarsa.5 Penyebab utama terjadinya
penyakit karies dan periodontal adalah plak.
Plak adalah suatu lapisan lunak yang terdiri
atas kumpulan mikroorganisme yang
berkembang biak di atas suatu matriks yang
terbentuk dan melekat erat pada permukaan
gigi yang tidak dibersihkan.6 Plak sangat tipis,
baru terlihat setelah dilakukan pewarnaan, dan
plak tidak dapat dibersihkan hanya dengan
berkumur-kumur, semprotan air atau udara,
tetapi plak dapat dibersihkan secara mekanis
yaitu membersihkan plak dengan menyikat
gigi.7 Menyikat gigi sebagai salah satu
kebiasaan dalam upaya menjaga kesehatan
gigi dan mulut anak dibutuhkan selama proses
sosialisasi dan sebaiknya dilakukan sejak usia
dini. Peran serta orang tua diperlukan dalam
membimbing, memberikan pengertian,
mengingatkan, serta menyediakan fasilitas
agar anak dapat memelihara kesehatan gigi
dan mulutnya.3,8
Keberhasilan pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut juga dipengaruhi
oleh faktor penggunaan alat, metode menyikat
gigi, lamanya menyikat gigi serta frekuensi
dan waktu penyikatan gigi yang tepat.8
BAHAN DAN METODE
Alat yang digunakan adalah sikat gigi,
tiga serangkai, masker, sarung tangan, model
gigi dan gelas kumur sedangkan bahan yang
digunakan adalah kapas, dettol/antiseptik,
pasta gigi dan disclosing solution.
Cara kerja: Penelitian dilaksanakan pada
dua kali kunjungan untuk umur 8 tahun dan
dua kali kunjungan untuk umur 10 tahun.
Kunjungan pertama pengajaran metode sikat
gigi, pertemuan kedua dilakukan pemeriksaan
plak gigi sebelum dan sesudah penyikatan gigi
dengan metode yang telah diajarkan. Orang
tua anak diberikan surat yang berisikan cara
menyikat gigi dengan metode roll dan
horizontal dan jadwal sikat gigi anak, untuk
mengontrol anak dalam menyikat gigi. Sampel
yang telah diperoleh dikelompokkan
berdasarkan umur 8 dan 10 tahun, kemudian
masing masing kelompok umur dibagi menjadi
dua kelompok, kelompok I mendapatkan
pengajaran menyikat gigi dengan metode roll
dan kelompok II mendapatkan pengajaran
menyikat gigi dengan metode horizontal.
Sebelum dilakukan penelitian, kalibrasi
dilakukan pemeriksa untuk penyamaan
persepsi gambaran skor plak yang digunakan.
TEMPAT PENELITIAN Lokasi penelitian adalah di SDN 060880
Medan, yang ditentukan berdasarkan data anak
usia 8 dan 10 tahun berdasarkan penyikatan
gigi dengan metode roll dan horizontal.
Populasi yang diambil dalam penelitian ini
dilakukan pada anak usia 8 dan 10 tahun di
SDN 060880 Medan.
HASIL PENELITIAN
Hasil Perhitungan Nilai Mean Indeks Plak
Sebelum Penyikatan Gigi Hasil penelitan menunjukkan rata-rata
indeks plak sebelum penyikatan gigi anak usia
8 tahun antara metode roll dan horizontal
terlihat tidak adanya perbedaan yang
bermakna (p>0,005), dan pada anak usia
10 tahun rata-rata indeks plak sebelum
penyikatan gigi antara metode roll dan
horizontal juga tidak terlihat ada perbedaan
yang bermakna (p>0,005) (Tabel 1).
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
13
Tabel 1. Rata-rata indeks plak sebelum penyikatan gigi pada kelompok umur 8 dan 10 tahun
Umur Metode Jumlah
Sampel (N)
Indeks Plak Sebelum
Penyikatan Gigi p
X ± SD
8 tahun Roll 20 3,96 ± 0,73
0,527 Horizontal 20 4,09 ± 0,54
10 tahun Roll 20 4,15 ± 0,41
0,620 Horizontal 20 4,10 ± 0,28
Tabel 2. Hasil pengukuran indeks plak sebelum dan sesudah penyikatan gigi pada anak umur 8 dan 10 tahun
Umur Metode Jumlah
Sampel (N)
Indeks Plak
p Sebelum
Menyikat Gigi
Sesudah
Menyikat Gigi
X ± SD X ± SD
8 tahun Roll 20 3,96 ± 0,73 2,53 ± 0,59 0,0001*
Horizontal 20 4,09 ± 0,54 1,48 ± 0,39 0,0001*
10 tahun Roll 20 4,15 ± 0,41 1,86 ±0,65 0,0001*
Horizontal 20 4,10 ± 0,28 1,16 ±0,38 0,0001* * Terdapat perbedaan yang bermakna pada p<0,05
Tabel 3. Penurunan rata-rata indeks plak pada anak umur 8 dan 10 tahun dengan metode roll dan horizontal
Umur Metode Jumlah
Sampel (N)
Penurunan Indeks Plak p
X ± SD
8 tahun Roll 20 1,43 ± 0,28
0,0001* Horizontal 20 2,61 ± 0,46
10 tahun Roll 20 2,29 ± 0,40
0,0001* Horizontal 20 2,93 ± 0,44
* Terdapat perbedaan yang bermakna pada p<0,05
Hasil Pengukuran Indeks Plak Sebelum dan
Sesudah Penyikatan Gigi Hasil analisis statistik dengan uji-t
berpasangan, indeks plak sebelum dan sesudah
penyikatan gigi pada anak 8 tahun pada
metode roll menunjukkan perbedaan yang
bermakna (p<0,05), demikian juga pada
metode horizontal, indeks plak sebelum dan
sesudah penyikatan gigi menunjukkan
perbedaan yang bermakna (p<0,05). Pada anak
umur 10 tahun dengan metode roll
menunjukkan perbedaan yang bermakna
(p<0,05), demikian juga pada metode
horizontal, indeks plak sebelum dan sesudah
penyikatan gigi menunjukkan perbedaan yang
bermakna (p<0,05) (Tabel 2).
Hasil Pengukuran Penurunan Rata-Rata
Indeks Plak pada Anak Umur 8 dan 10
Tahun antara Metode Roll dan Horizontal Hasil analisis secara statistik dengan
uji-t tidak berpasangan menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna pada p=0,0001
antara metode roll dan horizontal anak usia
8 dan 10 tahun (Tabel 3) penurunan indeks
plak lebih besar pada metode horizontal dari
pada metode roll.
Hasil Perhitungan Penurunan Rata-Rata
Indeks Plak pada Metode Roll dan
Horizontal antara Anak Umur 8 dan 10
Tahun Hasil analisis secara statistik dengan
uji-t tidak berpasangan menunjukkan adanya
perbedaan penurunan indeks plak antara anak
usia 8 dan 10 tahun yang menyikat gigi
dengan metode roll dan horizontal dan terlihat
adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05)
(Tabel 4).
PEMBAHASAN
Hasil penelitian pada Tabel 1
memperlihatkan rata-rata indeks plak awal
dilihat dari kelompok umur 8 dan 10 tahun,
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
14
terlihat tidak adanya perbedaan yang bermakna (p>0,05). Hal ini menunjukkan Tabel 4. Penurunan rata-rata indeks plak pada metode roll dan horizontal antara anak umur 8 dan 10 tahun
Metode Umur Jumlah
Sampel (N)
Penurunan Indeks Plak p
X ± SD
Roll 8 tahun 20 1,43 ± 0,28
0,0001* 10 tahun 20 2,29 ± 0,40
Horizontal 8 tahun 20 2,61 ± 0,46
0,028* 10 tahun 20 2,93 ± 0,44
* Terdapat perbedaan yang bermakna pada p<0,05
bahwa populasi yang homogen, mempunyai
indeks plak awal yang sama. Hasil analisis
dengan uji-t berpasangan pada Tabel 2
menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna antara rata-rata indeks plak sebelum
dan sesudah penyikatan gigi baik pada metode
roll maupun metode horizontal pada anak
umur 8 dan 10 tahun (p<0,05). Sehingga dapat
dikatakan kedua metode tersebut dapat
menghilangkan plak dengan efektif, baik pada
anak umur 8 tahun maupun 10 tahun. Hasil
analisis dengan uji-t tidak berpasangan pada
Tabel 3, anak umur 8 tahun menunjukkan
penurunan indeks plak pada pada metode
horizontal sebesar 2,61 dengan standar deviasi
0,46 lebih besar daripada penurunan indeks
plak rata-rata pada penyikatan gigi dengan
metode roll sebesar 1,43 dengan standar
deviasi 0,28.
Kedua metode ini menunjukkan
perbedaan yang bermakna (p<0,05). Demikian
juga pada anak umur 10 tahun, penurunan
indek plak rata-rata pada penyikatan gigi
metode horizontal sebesar 2,93 dengan standar
deiasi 0,44 lebih besar daripada penurunan
indeks plak rata-rata pada penyikatan gigi
dengan metode roll sebesar 2,29 dengan
standar deviasi 0,40. Kedua metode ini pada
usia 10 tahun juga menunjukkan perbedaan
yang bermakna (p<0,05). Ini sesuai dengan
hasil penelitian Anaise dan pendapat Tan HH
yang menunjukkan bahwa teknik horizontal
dianggap sebagai teknik tebaik untuk
menghilangkan plak dan mudah ditiru atau
dipelajari oleh anak.12,13
Dan satu cara
menyikat gigi yang diusulkan pada kegiatan
UKGS adalah menyikat gigi secara horizontal
dengan gerakan pendek-pendek sepanjang tepi
gusi, sehingga anak-anak mudah
melakukannya.14
Perbedaan penurunan indeks plak pada
penyikatan gigi metode horizonatal lebih besar
daripada metode roll, karena pada metode
horizontal, sikat ditempatkan secara horizontal
pada permukaan bukal dan lingual, kemudian
digerakkan kebelakang dan kedepan dengan
gerakan menggosok. Metode ini sederhana,
mudah ditiru dan dilatih pada anak. Berbeda
dengan metode roll, teknik ini meletakkan
sikat gigi pada daerah rahang dengan bulu
sikat yang terletak pada mukosa alveolar,
menghadap keluar dari permukaan oklusal.
Sisi-sisi sikat menekan attach gingival dan
daerah sulkus, kemudian bulu sikat diputar
melewati gingival kearah oklusal dengan tetap
mempertahankan sisi sikat menyapu daerah
embrasure, apabila daerah bukal telah disikat,
penyikatan dapat dilanjutkan kedaerah lingual
dan diulangi untuk seluruh rahang.
Selanjutnya permukaan oklusal disikat dengan
gerakan kedepan dan kebelakang.
Penyikatan gigi dengan metode roll
lebih sulit daripada metode horizontal dalam
pelaksanaannya. Karena itu anak umur 8 dan
10 tahun lebih dapat membersihkan plak
dengan metode yang lebih mudah yaitu
metode horizontal. Hasil penelitian ini berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Natalia Ekaputri dan Sri Lestari yang
menunjukkan penurunan indeks plak pada
teknik roll lebih besar dibandingkan teknik
horizontal.15
Perbedaan ini dapat disebabkan
karena perbedaan umur anak yang dijadikan
sampel penelitian, pada penelitian sebelumnya
sampel yang diambil berusia 12–14 tahun.
Kemampuan motorik dan intelektual anak
umur 12–14 tahun lebih baik daripada anak
umur 8 dan 10 tahun. Hasil penelitian ini
menunjukkan metode menyikat gigi dapat
berpengaruh terhadap penyingkiran plak, oleh
karena itu pemilihan metode menyikat gigi
perlu diketahui oleh anak dan orang tua,
sehingga dengan pemilihan metode yang tepat
hasil penyingkiran plak dapat lebih optimal.
Hasil analisis dengan uji-t pada Tabel 4
menunjukkan pada teknik roll penurunan
indeks plak umur 10 tahun sebesar 2,29
dengan standar deviasi 0,40 lebih besar
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
15
dibandingkan penurunan indeks plak pada
anak umur 8 tahun, sebesar 1,43 dengan
standar deviasi 0,28, dan menunjukkan
perbedaan yang bermakna (p<0,05). Demikian
juga pada teknik horizontal, penurunan plak
pada anak usia 10 tahun sebesar 2,93 dengan
standar deviasi 0,44 lebih besar dibandingkan
penurunan plak pada anak usia 8 tahun sebesar
2,61 dengan standar deviasi 0,46, dan juga
menunjukkan perbedaan yang bermakna
(p<0,05)
Penurunan indeks plak anak usia
10 tahun lebih besar dibandingkan pada anak
usia 8 tahun pada metode roll maupun
horizontal kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan kemampuan motorik anak yang
berbeda. Ini didukung oleh penelitian John H.
Unkel dkk menyatakan umur kronologis
merupakan prediktor yang beralasan untuk
kemampuan menyikat gigi. Pada anak usia
lebih muda dari umur 10 tahun, kurang
memiliki kemampuan keterampilan fisik untuk
menyikat gigi. Keterampilan menyikat gigi
lebih baik pada anak mendekati dewasa sekitar
umur 10 tahun.16
Pada penelitian ini anak
umur 10 tahun memiliki keterampilam fisik
yang lebih baik dibandingkan anak umur
8 tahun. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
selain metode menyikat gigi dapat
berpengaruh terhadap penyingkiran plak,
faktor usia juga sangat berpengaruh terhadap
kemempuan anak dan penyikatan gigi,
semakin meningkat umur anak semakin baik
kemampuan motoriknya dan semakin baik
pula gerakan dalam penyikatan gigi. Oleh
karena itu pemilihan metode menyikat gigi
perlu diketahui, sesuai dengan kemampuan
motorik dan umur anak sehingga dengan
pemilihan metode yang tepat hasil
penyingkiran plak dapat lebih optimal. Dengan
demikian kebersihan mulut juga lebih baik.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian perbedaan
efektifitas menyikat gigi dengan metode roll
dan horizontal tehadap pengurangan plak anak
usia 8 an 10 tahun di Sekolah Dasar Negeri
060880 Medan disimpulkan bahwa:
1. Adanya perbedaan yang bermakna antara
menyikat gigi dengan metode roll dan
horizontal terhadap penurunan indeks plak
pada anak usia 8 tahun, penurunan rata-rata
indeks plak pada metode horizontal lebih
besar dari dibandingkan pada metode roll.
2. Adanya perbedaan yang bermakna antara
menyikat gigi dengan metode roll dan
horizontal terhadap penurunan indeks plak
pada anak usia 10 tahun, penurunan rata-
rata indeks plak pada metode horizontal
lebih besar dari dibandingkan pada metode
roll.
3. Adanya perbedaan yang bermakna antara
anak umur 8 dan 10 tahun terhadap
penurunan indeks plak baik pada
penyikatan gigi dengan metode roll
maupun horizontal. Penurunan rata-rata
indeks plak pada anak usia 10 tahun lebih
besar daripada anak usia 8 tahun.
SARAN
1. Hasil penelitian ini didapati metode yang
dapat menurunkan indeks plak paling besar
pada anak umur 8 dan 10 tahun adalah
metode horizontal, kemungkinan hasil ini
masih depengaruhi oleh kebiasaan anak
yang menyikat gigi dengan metode
horizontal. Disarankan dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan waktu penyuluhan yang
lebih lama dan kontrol yang ketat oleh
peneliti pada anak sehingga anak bisa
melatih gerakan menyikat gigi dengan
metode roll dengan benar.
2. Kepada peneliti selanjutnya disarankan
melakukan penyuluhan yang berulang agar
dapat mengetahui perbedaan efektifitas
penurunan plak setelah penyuluhan metode
penyikatan gigi yang berulang.
3. Melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai efektifitas metode penyikatan
gigi dengan metode yang lain, agar dapat
melihat metode penyikatan gigi yang
efektif pada anak pada usia tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anita S, Liliwati. Pengaruh frekuensi
menyikat gigi terhadap tingkat kebersihan
gigi dan mulut siswa-siswi sekolah dasar
negeri di Kecamatan Palaran Kotamadya
Samarinda Propinsi Kalimantan Timur.
Dentika Dent J 2005; 10(1):22.
2. Situmorang N. Dampak karies gigi dan
penyakit periodontal terhadap kualitas
hidup. Pidato pengukuhan jabatan guru
besar tetap USU 2005; 3-4.
3. Riyanti E. Pengenalan dan perawatan
kesehatan gigi anak sejak dini. Seminar
sehari kesehatan psikologi anak 2005.
4. Zatnika I. 89% Anak menderita penyakit
gigi dan mulut. Available at: http://www.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
16
depkes.go.id/inex.php?option=article&ite
mid=3, Accessed on August 25th, 2009.
5. Dwiati L. Pengaruh model pencegahan
karies gigi dan gingivitis terhadap status
kesehatan gigi anak sekolah dan efisiensi
sumber daya program UKGS di Provinsi
DKI Jakarta tahun 2002. Available at:
http://www.pdpersi.co.id/?show=mail,
Accessed on August 25th, 2009.
6. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi dan
mulut sehat. Medan: USU Press. 2008:
5-6, 28-29, 74-81.
7. Farani W, Sudarso ISR. Pengaruh
perbedaan menyikat gigi dengan metode
horizontal dan vertikal terhadap
pengurangan plak pada anak perempuan
usia 12 tahun. Dentika Dent J 2008;
13(2):108-111.
8. Riyanti E, Chemiawan E, Rizalda RA.
Hubungan pendidikan penyikatan gigi
dengan tingkat kebersihan gigi dan mulut
siswa-siswi sekolah dasar Islam terpadu
(SDIT) Imam Bukhari. Bandung, 2005:
1-8.
9. Octiara E., Rosnawi Y. Karies gigi, oral
higiene dan kebiasaan membersihkan gigi
pada anak-anak panti Karya Pungai di
Binjai. Dentika Dental J 2001; 6(1):
18-23.
10. Situmorang N. Perilaku pencarian
pengobatan dan pemeliharaan kesehatan
gigi pengunjung poliklinik gigi
puskesmas di dua kecamatan Kota
Medan. Dentika Dent J 2005; 10 (1):1-7.
11. Forrest JO. Pencegahan penyakit mulut.
Alih bahasa: Yuwono L. Hipokrates.
1993.
12. McDonald RE, Avery DR. Dentistry for
the Child and Adolescent. 8th ed. St Louis:
Mosby. 2004: 239-248
13. Tan HH. Ilmu kedoktern gigi pencegahan.
Alih bahasa: Suryo S. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. 1993: 275-298.
14. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
pelaksanaan usaha kesehatan gigi
sekolah. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI. 1996.
15. Ekaputri N, Lestari S. Perbedaan
efektivitas penyikatan gigi antara teknik
roll dan horizontal scubbing terhadap
penyingkiran plak. MI Kedokteran Gigi
2003; 18(53):93-97.
16. Unkel JH, dkk. Toothbrushing ability is
related to age in children. Journal of
dentistry for children 1995; 346.
17. Praktiknya AW. Dasar-dasar metodologi
penelitian kedokteran dan kesehatan.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2008:
70, 129-132.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
17
HUBUNGAN ANTARA PERIODONTITIS DENGAN KELAHIRAN BAYI PREMATUR
BERBERAT BADAN LAHIR RENDAH DITINJAU DARI ASPEK DESTRUKSI
PERIODONTAL
Khairiyah Ulfah*, Irma Ervina
**
*Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
**Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Kelahiran bayi prematur berberat badan lahir rendah merupakan masalah kesehatan masyarakat baik
di negara maju maupun negara berkembang. Kejadian bayi berat badan lahir rendah di Indonesia
tahun 2003 sebesar 90 per 1000 kelahiran. Kelahiran prematur ini meningkatkan risiko angka
kematian dan kesakitan bayi, yang mencakup ketidakmampuan perkembangan saraf, kelemahan
kognitif, masalah pernafasan, anomali kongenital dan gangguan tingkah laku. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara periodontitis dengan kelahiran bayi prematur BBLR khususnya
ditinjau dari aspek destruksi periodontal dan perbedaan tingkat destruksi periodontal antara ibu yang
melahirkan bayi prematur BBLR dengan ibu yang melahirkan bayi normal. Penelitian dilakukan
secara observasional dengan pendekatan Cross Sectional. Sampel dalam penelitian ini diambil dari
Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik, Rumah Sakit Umum dr.Pirngadi, Rumah Sakit Umum Haji,
Klinik Bersalin Tri Putri, dan Klinik Bersalin Yakin Sehat dengan total sampel 45 orang, terdiri dari
ibu yang melahirkan bayi prematur BBLR sebanyak 17 orang dan ibu yang melahirkan bayi normal
sebanyak 28 orang. Pemeriksaan gigi meliputi kedalaman saku dan kehilangan perlekatan klinis
dengan menggunakan prob dan kaca mulut dengan pencahayaan senter. Tidak ada hubungan antara
periodontitis dengan kelahiran bayi prematur BBLR dan terdapat perbedaan tingkat destruksi
periodontal antara ibu yang melahirkan bayi prematur BBLR dan ibu yang melahirkan bayi normal.
Rata-rata kedalaman saku ibu yang melahirkan bayi prematur BBLR lebih tinggi daripada ibu yang
melahirkan bayi normal, namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik. Sedangkan rata-
rata kehilangan perlekatan klinis ibu yang melahirkan bayi prematur BBLR lebih tinggi daripada ibu
yang melahirkan bayi normal dan perbedaan tersebut bermakna secara statistik. Periodontitis pada ibu
hamil merupakan salah satu faktor risiko kelahiran bayi prematur BBLR.
Kata kunci: Periodontitis, prematur, berat badan lahir rendah
ABSTRACT Preterm low birth weight (PLBW) infants is a public health problem both in advanced and developed
countries. The occurence of low birth weight infants in Indonesia in 2003 is 90 per 1000 births.
Preterm birth increases the risk of mortalitiy and morbidity of infants, including neurodevelopmental
disabilities, cognitive weakness, respiratory problems, congenital anomalies and behavioral changes.
This study aims to review the relationship between periodontitis and PLBW particularly considered
by periodontal destruction aspect and periodontal destruction level differences among mothers who
gave birth to a PLBW infants and mothers who gave birth to normal birthweight infants. This study is
using observational cross sectional design. The samples taken from Haji Adam Malik General
Hospital, Pirngadi General Hospital, Haji General Hospital, Tri Putri Maternity Clinic, and Yakin
Sehat Maternity Clinic with 45 samples, consist of 17 mothers of PLBW infants and 28 mothers who
gave birth to normal weight infants. Dental examination included pocket depth and clinical loss
attachment using prob and mouth glass with a flashlight lighting. There is no association between
periodontitis to PLBW infants, but there is differences in periodontal destruction level among them.
Most mothers who gave birth to PLBW infants have higher pocket depths, however this discrepancy
does not give significant statistical meaning. Whereas the loss of clinical attachment is higher mostly
in mothers of PLBW infants compared to those who gave birth to normal birthweight infants and this
difference has statisctical meaning. Periodontitis in pregnant women is one of the risk factors of
preterm birth of low birthweight infants.
Key words: Periodontitis, preterm, low birthweight
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
18
PENDAHULUAN
Kelahiran bayi prematur berberat badan
lahir rendah atau prematur BBLR merupakan
masalah kesehatan masyarakat utama baik di
negara maju maupun negara berkembang.1
Kejadian bayi BBLR di Indonesia tahun 2003
sebesar 90 per 1000 kelahiran.2 Kelahiran
prematur ini meningkatkan risiko angka
kematian dan angka kesakitan bayi, yang
mencakup ketidakmampuan perkembangan
saraf, kelemahan kognitif, masalah pernafasan,
anomali kongenital dan gangguan tingkah
laku.1,3
Di Indonesia tahun 2001 kematian
neonatal 47% dari angka kematian bayi dan
29% dari kematian neonatal disebabkan oleh
bayi berat lahir rendah.4 Angka kematian dan
kesakitan ini juga telah meningkat di seluruh
dunia, mencapai 12% Amerika Serikat dan
5–10% di negara-negara Eropa.5 Menurut
World Health Organization (WHO), kelahiran
prematur diartikan sebagai kelahiran sebelum
37 minggu usia kehamilan dihitung dari hari
pertama siklus menstruasi terakhir. Sedangkan
bayi berat lahir rendah adalah bayi dengan
berat lahir kurang dari atau sama dengan 2500
gram.6
Beberapa faktor risiko yang
dihubungkan dengan bayi prematur BBLR
mencakup usia ibu hamil yang kurang dari
17 tahun atau lebih dari 34 tahun, campuran
Afrika-Amerika (etnis), status sosial ekonomi
yang rendah, perawatan prenatal tidak adekuat,
pemakai obat-obatan, pemakai alkohol dan
tembakau, hipertensi, diabetes, kehamilan
anak kembar, status nutrisi, stress dan
infeksi.1,7
Selain itu, adanya peningkatan bukti
yang menyatakan bahwa proses infeksi yang
terjadi dimanapun dalam tubuh dapat
menyebabkan kelahiran prematur. Penyakit
periodontal merupakan salah satu contoh
infeksi.3
Kelahiran bayi prematur BBLR terjadi
sebagai akibat dari infeksi dan dimediasi
secara tidak langsung, terutama oleh
perpindahan produk bakteri seperti endotoksin
(lipopolisakarida atau LPS) dan aktivasi dari
mediator inflamasi pada kehamilan.9 Molekul
aktif biologis seperti prostaglandin E2 (PGE2)
dan tumor necrosis factor (TNF) terlibat
dalam proses kelahiran normal. Dengan
adanya proses infeksi, level sitokin dan PGE2
menjadi meningkat yang dapat menstimulasi
terjadinya kelahiran prematur.16
Produk bakteri
seperti endotoksin yang dihasilkan bakteri
gram negatif, menstimulasi produksi sitokin
dan prostaglandin.14
Sitokin tertentu seperti
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6),
tumor necrosis factor alpha (TNF-α)
menstimulasi sintesa PGE2 dari plasenta dan
chorioamnion.15
Sitokin ini dapat mencapai
peredaran darah, melewati membran plasenta,
masuk ke cairan amnion. Pada kehamilan
normal, mediator pada intra amnion meningkat
secara fisiologis sampai batas ambang tercapai
pada titik kelahiran, menyebabkan dilatasi
servikal dan kelahiran. Produksi abnormal dari
mediator pada infeksi meningkat pada saat
yang tidak tepat sewaktu kehamilan
menyebabkan kontraksi uterin dan ruptur
prematur dari membran memicu terjadinya
kelahiran bayi prematur BBLR.11
Penelitian yang dilakukan oleh Lopez
dkk menunjukkan penyakit periodontal
berhubungan dengan kelahiran prematur
BBLR.8 Penelitian Dwi Retnoningrum yang
dilakukan di RS. DR. Kariadi Semarang
diperoleh bahwa ibu dengan periodontitis
mempunyai risiko 8,75 kali mengalami
kelahiran bayi prematur BBLR daripada ibu
dengan rongga mulut yang sehat.2 Sebaliknya,
penelitian Davenport dkk melaporkan tidak
adanya hubungan antara periodontitis dengan
kelahiran bayi prematur berberat badan lahir
rendah.7
Atas dasar tersebut penulis merasa
perlu untuk meninjau lebih lanjut hubungan
penyakit periodontal pada ibu dengan
kelahiran bayi prematur BBLR, khususnya
ditinjau dari aspek destruksi periodontal.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan secara
observasional dengan pendekatan Cross
Sectional. Penelitian bertempat di Rumah
Sakit Umum Haji Adam Malik, Rumah Sakit
Umum dr.Pirngadi, Rumah Sakit Haji, Klinik
Bersalin Tri Putri dan Klinik Bersalin Yakin
Sehat pada bulan November 2010 sampai
dengan Januari 2011. Populasi penelitian
adalah ibu yang melahirkan bayi prematur
BBLR dan ibu yang melahirkan bayi normal.
Sampel yang diambil adalah ibu yang
melahirkan bayi prematur BBLR sebanyak
17 orang dan ibu yang melahirkan bayi normal
sebanyak 28 orang yang memenuhi kriteria
inklusi: ibu yang melahirkan bayi prematur
BBLR; ibu yang melahirkan bayi normal; usia
ibu 17–34 tahun; dan usia bayi kurang dari
1 bulan. Kriteria eksklusi: perokok dan
pengguna obat-obatan; penderita penyakit
sistemik; ibu dengan bayi kembar; jumlah gigi
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
19
geligi yang ada kurang dari gigi Ramfjord; dan
penyakit infeksi pada organ lain. Penelitian
menggunakan alat prob periodontal UNC-15
(Kohler, German); kaca mulut merk Crown-G
3; pinset merk Franzy; sonde merk Smic dan
senter. Bahan yang digunakan: handscoon
disposable, masker, kapas, alkohol 70% dan
povidon iodine.
Bayi prematur berberat badan lahir
rendah adalah bayi dengan berat badan lahir
kurang dari 2500 gram dan lahir sebelum 37
minggu usia kehamilan. Periodontitis adalah
keadaan dimana terdapat saku periodontal dan
adanya kehilangan level perlekatan klinis.
Kedalaman Saku Untuk mengukur kedalaman saku
digunakan prob periodontal. Cara probing
untuk pemeriksaan saku adalah: selipkan prob
ke dalam saku sedapat mungkin sejajar dengan
poros panjang gigi dengan tetap menjaga prob
berkontak dengan permukaan gigi sampai
dirasakan ada tahanan. Bila terasa ada tahanan,
kedalaman saku yang terukur dibaca pada
kalibrasi prob seberapa milimeter yang masuk
ke dalam saku. Probing dilakukan pada enam
gigi Ramfjord yaitu gigi 21, 24, 36, 41, 44,
dan 16. Probing dilakukan mulai dari
interproksimal distal dan mesial gigi pada
permukaan vestibular dicatat sebagai saku
mesial, kemudian dilanjutkan pada sebelah
interproksimal distal dan mesial permukaan
oral dicatat sebagai saku distal, setelah itu
dilakukan pada bagian tengah gigi pada
permukaan vestibular dan oral dicatat sebagai
saku bukal. Kedalaman saku yang diambil
adalah saku yang paling dalam. Kriteria
kedalaman saku: Ringan 1–3 mm; Sedang 4–5
mm; dan Berat ≥ 5 mm.
Kehilangan Perlekatan Klinis Level perlekatan adalah jarak yang
diukur dari dasar saku ke batas sementum
enamel. Cara pengukuran level perlekatan
adalah tergantung pada level krista gingiva
bebas (KGB): apabila KGB setentang dengan
batas sementum enamel (BSE), maka level
perlekatan adalah sama dengan kedalaman
saku; apabila BSE tersingkap karena KGB
migrasi ke apikal, maka perlekatan didapat
dengan mengukur jarak dari dasar saku ke
BSE; apabila KGB berada koronal dari BSE,
maka pertama-tama diukur adalah kedalaman
saku. Besarnya level perlekatan adalah
kedalaman saku dikurang dengan jarak dari
KGB ke BSE. Kriteria kehilangan perlekatan
klinis: ringan 1–2 mm; sedang 3–4 mm; dan
parah ≥ 5 mm.
HASIL PENELITIAN Sampel penelitian berjumlah 45 orang
dan dengan rentang usia 15–34 tahun. Sampel
terbanyak pada ibu yang melahirkan bayi
prematur BBLR maupun normal adalah pada
rentang usia 30–34 tahun yaitu masing-masing
sebanyak 7 orang (41%) dan 15 orang (53%).
Rerata usia ibu yang melahirkan bayi normal
lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang
Tabel 1. Data Demografis Sampel Penelitian
Kelahiran (N) Rentang Usia Jumlah (%) Rerata Standar Deviasi
Prematur
BBLR (17)
15–19 1 (6)
26.94 4.38 20–24 4 (24)
25–29 5(29)
30–34 7 (41)
Normal (28)
15–19 0 (0)
28.79 4.23 20–24 5 (18)
25–29 8 (29)
30–34 15 (53)
Tabel 2. Data Demografis Berat Badan Lahir Bayi Prematur BBLR dan Bayi Normal
Kelahiran (N) Berat Lahir Bayi (gr) Jumlah (%) Rerata Standar Deviasi
Prematur
BBLR (17)
<1000 2 (12)
1758.82 421.395 1000–1500 1 (6)
1500–2000 9 (53)
2000–2500 5 (29)
Normal (28)
2500–3000 13 (47)
3110.71 406.739 3000–3500 11 (39)
3500–4000 4 (14)
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
20
melahirkan bayi prematur BBLR, namun
perbedaan tersebut tidak bermakna secara
statistik (p>0,05) seperti yang tertera pada
Tabel 1 di atas.
Ibu yang melahirkan bayi prematur
BBLR paling banyak sampel melahirkan bayi
dengan berat lahir 1500–2000 gram yaitu
sebanyak 9 orang (53%). Pada ibu yang
melahirkan bayi normal paling banyak sampel
melahirkan bayi dengan berat lahir 2500–3000
gram yaitu sebanyak 13 orang (47%)
(Tabel 2).
Ibu yang melahirkan bayi prematur
BBLR maupun normal menderita periodontitis
yaitu 16 orang (94%) dan 25 orang (89%).
Perbedaan tersebut tidak bermakna secara
statistik (p>0,05) (Tabel 3).
Tabel 3. Kondisi Periodonsium Ibu yang Me-
lahirkan Bayi Prematur BBLR dan Ibu
yang Melahirkan Bayi Normal
Kondisi
Periodonsium
Kelahiran
p Prematur
BBLR (%)
Normal
(%)
Tidak
Periodontitis 1 (6) 3 (11)
0.511
Periodontitis 16 (94) 25 (89)
Rerata kedalaman saku ibu yang
melahirkan bayi prematur BBLR lebih tinggi
dibandingkan dengan ibu yang melahirkan
bayi normal, namun perbedaan tersebut tidak
bermakna secara statistik (p>0,05) (Tabel 4).
Tabel 4. Rerata Kedalaman Saku pada Ibu yang
Melahirkan Bayi Prematur BBLR dan Ibu
yang Melahirkan Bayi Normal
Kelahiran
(N)
Kedalaman Saku
p Rerata
Standar
Deviasi
Prematur
BBLR (17) 2.4494 0.49870
0.072
Normal (28) 2.1836 0.39756
Distribusi kehilangan perlekatan klinis
ibu yang melahirkan bayi prematur BBLR
sampel terbanyak memiliki kehilangan
perlekatan klinis ringan dan sedang yaitu
sebanyak 8 orang (47%). Pada ibu yang
melahirkan bayi normal sampel terbanyak
memiliki kehilangan perlekatan klinis ringan
yaitu sebanyak 23 orang (82%). Perbedaan
kehilangan perlekatan ibu yang melahirkan
bayi prematur BBLR dan normal tersebut
bermakna secara statistik (p<0,05) (Tabel 5).
Tabel 5. Distribusi Kehilangan Perlekatan Klinis
Ibu yang Melahirkan Bayi Prematur
BBLR dan Ibu yang Melahirkan Bayi
Normal
Kehilangan
Perlekatan
Kelahiran
p Prematur
BBLR (%)
Normal
(%)
Tidak Ada 1 (6) 3 (11)
0.006 Ringan 8 (47) 23 (82)
Sedang 8 (47) 2 (7)
Parah 0 (0) 0 (0)
Rerata kehilangan perlekatan klinis ibu
yang melahirkan bayi prematur BBLR lebih
tinggi dibandingkan dengan ibu yang
melahirkan bayi normal. Perbedaan tersebut
bermakna secara statistik (p<0,05) (Tabel 6).
Tabel 6. Rerata Kehilangan Perlekatan Klinis Ibu
yang Melahirkan Bayi Prematur BBLR
dan Ibu yang Melahirkan Bayi Normal
Kelahiran
(N)
Kehilangan Perlekatan
p Rerata
Standar
Deviasi
Prematur
BBLR (17) 2.5918 1.01955
0.000
Normal (28) 1.4686 0.74385
PEMBAHASAN Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa mayoritas sampel pada ibu yang
melahirkan bayi prematur BBLR maupun ibu
yang melahirkan bayi normal menderita
periodontitis. Hasil penelitian ini tidak
bermakna secara statistik. Rata-rata kedalaman
saku ibu yang melahirkan bayi prematur
BBLR lebih tinggi daripada ibu yang
melahirkan bayi normal namun perbedaan
tersebut tidak bermakna secara statistik.
Sedangkan rata-rata kehilangan perlekatan
klinis ibu yang melahirkan bayi prematur
BBLR lebih tinggi daripada ibu yang
melahirkan bayi normal dan perbedaan
tersebut bermakna secara statistik.
Tidak adanya hubungan yang bermakna
antara periodontitis dengan kelahiran bayi
prematur BBLR ini kemungkinan disebabkan
oleh jumlah sampel yang terlalu sedikit serta
jumlah sampel antara ibu yang melahirkan
bayi prematur BBLR dan ibu yang melahirkan
bayi normal yang tidak seimbang. Hasil ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Davenport dkk yang menemukan tidak ada
hubungan antara penyakit periodontal dengan
kelahiran bayi prematur BBLR.7 Penelitian
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
21
Lohsoonthorn dkk juga menemukan tidak
adanya hubungan antara penyakit periodontal
dengan kelahiran bayi prematur BBLR.3 Selain
itu, penelitian Nabet dkk juga menemukan
tidak adanya hubungan antara periodontitis
dengan kelahiran bayi prematur, sebaliknya
penelitian Nabet dkk ini menemukan bahwa
periodontitis meningkatkan risiko kelahiran
prematur bersama-sama dengan pre-
eklampsia.5 Tidak adanya hubungan yang
bermakna pada kedalaman saku kemungkinan
menunjukkan bahwa kedalaman saku hanya
dilihat sebagai indikator dari banyaknya
inflamasi.18
Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Lunardelli dan Peres yang
menemukan bahwa saku periodontal tidak
berhubungan dengan kelahiran bayi prematur
BBLR.19
Hasil penelitian ini menunjukkan
adanya perbedaan bermakna antara kehilangan
perlekatan klinis ibu yang melahirkan bayi
prematur BBLR dan ibu yang melahirkan bayi
normal. Kehilangan perlekatan klinis
merupakan jarak yang diukur dari batas
semento enamel ke dasar saku. Jarak tersebut
menunjukkan seberapa banyak jaringan
pendukung yang hilang dan merupakan
penentu penting untuk melihat terjadi tidaknya
suatu penyakit periodontal.20
Kelahiran bayi
prematur BBLR terjadi sebagai akibat dari
infeksi dan dimediasi secara tidak langsung,
terutama oleh perpindahan produk bakteri
seperti endotoksin (lipopolisakarida atau LPS)
dan aktivasi dari mediator inflamasi pada
kehamilan. Molekul aktif biologis seperti
prostaglandin E2 (PGE2) dan tumor necrosis
factor (TNF) terlibat dalam proses kelahiran
normal. Dengan adanya proses infeksi, level
sitokin dan PGE2 menjadi meningkat yang
dapat menstimulasi terjadinya kelahiran bayi
prematur BBLR.16
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara periodontitis dengan kelahiran bayi
prematur BBLR dan terdapat perbedaan
tingkat destruksi periodontal antara ibu yang
melahirkan bayi prematur BBLR dan ibu yang
melahirkan bayi normal. Rata-rata kedalaman
saku ibu yang melahirkan bayi prematur
BBLR lebih tinggi daripada ibu yang
melahirkan bayi normal, namun perbedaan
tersebut tidak bermakna secara statistik.
Sedangkan rata-rata kehilangan perlekatan
klinis ibu yang melahirkan bayi prematur
BBLR lebih tinggi daripada ibu yang
melahirkan bayi normal dan perbedaan
tersebut bermakna secara statistik.
Untuk menjaga dan meningkatkan
tingkat kebersihan rongga mulut pada ibu
hamil dapat dilakukan melalui program
kebersihan rongga mulut selama kehamilan.
Program kebersihan rongga mulut pada ibu
hamil dapat membantu menjaga kesehatan
rongga mulut selama kehamilan dan mencegah
timbul serta berkembangnya penyakit
periodontal sehingga menurunkan risiko
terjadinya kelahiran bayi prematur BBLR.
Sebagai bahan pertimbangan untuk peneliti
selanjutnya, sebaiknya sebelum melakukan
penelitian, terlebih dahulu dilakukan
penyuluhan tentang kesehatan gigi dan mulut
dan hubungannya dengan bayi yang
dilahirkan. Dokter gigi juga dapat melakukan
kerjasama dengan dokter ahli kandungan,
sehingga dokter ahli kandungan dapat
memberikan nasehat serta motivasi kepada ibu
hamil untuk menjaga kesehatan rongga
mulutnya. Dengan ini, ibu hamil lebih
termotivasi untuk menjaga kesehatan gigi dan
mulutnya sehingga bayi yang akan dilahirkan
dapat terhindar dari risiko kelahiran bayi
prematur BBLR.
DAFTAR PUSTAKA
1. Marakoglu I, Gursoy UK, Marakoglu K,
Cakmak H, Ataoglu T. Periodontitis as a
risk factor for preterm low birth weight.
Yonsen Med J 2008; 49(2):200-203.
2. Retnoningrum D. Gingivitis pada ibu
hamil sebagai faktor risiko terjadinya
bayi berat badan lahir rendah kurang
bulan di RS dr. Kariadi Semarang.
Available at: http://eprints.undip.ac.id/
20545/1/Dwiretno.pdf. Accessed on
October 23rd
, 2010.
3. Lohsoonthorn V, Kungsadalpipob K,
Chanchareonsuk P, Limpongsanurak S,
Vanichjakvong O, Sutdhibhisai S, et al. Is
maternal periodontal disease a risk factor
for preterm delivery?. Am J Epidemiol
2009; 169(6):731-739.
4. Paska HD. Kelainan periodontal
maternal sebagai faktor risiko terjadinya
bayi berat lahir rendah kurang bulan.
Available at: http://eprints.undip.ac.id/
20556/1/PAska.pdf. Accessed on October
23rd
, 2010.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
22
5. Nabet C, Lelong N, Colombier ML,
Sixou M, Musset AM, Goffinet F,
Kaminski. Maternal periodontitis and
causes of preterm birth: the case–control
epipap study. J Clin Periodontol 2010;
37:37-45.
6. Green TP, Franklin WH, Tanz RR, eds.
Pediatrics just the facts. Singapore: Mc
Graw Hill. 2005: 93-94.
7. Davenport ES, Williams CECS, Sterne
JAC, Murad S, Sivapaathasundram V,
Curtis MA. Maternal periodontal disease
and preterm lowbirth weight: case-control
study. J Dent Res 2002; 81(5):313-318.
8. Lopez NJ, Smith PC, Gutierrezz J. Higher
risk of preterm birth and low bitrh weight
in women with periodontal disease. J Den
Res 2002; 81(1):58-63.
9. Jeffcoat MK, Geurs NC, Reddy MS,
Cliver SP, Goldenberg RL, Hauth JC.
Periodontal infection and preterm birth.
American Dental Association 2001;
132:875-880.
10. McGaw T. Periodontal disease and
preterm delivery of low birth weight
infants. J Can Dent Assoc 2002;
68(3);165-169.
11. Lee HTT. Maternal periodontal disease
and preterm birth. Thailand: Mahidol
University. Thesis 2007: 16-35.
12. Johansson S. Very preterm birth -
etiological aspects and short and long
term outcomes. Stockholm: Karolinska
Institutet. Thesis 2008: 9-12.
13. Zubardiah L, Dewi MD. Kelahiran
prematur dan berat bayi lahir rendah pada
perempuan hamil dengan penyakit
periodontal. J Dentika 2003; 8:113-118.
14. Mokeem SA, Molla GN, Al-Jewair TS.
The prevalence and relationship between
periodontal disease and preterm low birth
weight infants at king khalid university
hospital in riyadh, saudi arabia. JCDP
2004; 5(2):1-12.
15. Yeo BK, Lim LP, Paquette DW, Williams
RC. Periodontal disease-the emergence of
a risk for systemic conditions: pre-term
low birth weight. Ann Acad Med
Singapore 2005; 34:111-116.
16. Rose LF, Genco RJ, Cohen DW, Mealey
BL. Periodontal medicine. London: B.C
Decker Inc. 2000: 156-157.
17. Armitage GC. Development of a
classification system for periodontal
disease and conditions. Ann Periodontol
1999; 4(1):1-6.
18. Watts TLP. Periodontics in practice.
United Kingdom: Martin Dunitz Ltd.
2000: 106-107.
19. Lundardelli AN, Peres MA. Is there an
association between periodontal disease,
prematurity and low birth weight?: a
population based study. J Clin
Periodontol 2005; 32(9):938-946.
20. Scheid RC. Woelfel’s dental anatomy: it’s
relevant to dentistry. 7th edition. USA:
Lippincott Williams & Wilkins. 2002:
291.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
23
POLA ASUPAN NUTRISI PADA PASIEN YANG KEHILANGAN GIGI SEBAGIAN
DI POLI GIGI DAN MULUT RSUDZA BANDA ACEH
Liana Rahmayani, Pocut Aya Sofya, Nadia Sartika
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
ABSTRAK
Kehilangan gigi sebagian maupun seluruhnya memiliki dampak, yaitu dampak emosional, sistemik,
dan fungsional. Terganggunya proses pengunyahan akibat kehilangan gigi dapat mempengaruhi
pemilihan makanan sehingga terjadi perubahan pada asupan nutrisi. Perubahan pada gambaran asupan
nutrisi memiliki dampak bagi tubuh, seperti terjadinya penyakit kronis, penurunan kemampuan
fungsional, dan peningkatan kejadian infeksi sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran asupan nutrisi akibat kehilangan gigi
sebagian berdasarkan jumlah gigi yang hilang pada pasien di Poli Gigi dan Mulut Rumah Sakit
Umum Daerah Zainal Abidin (RSUDZA) Banda Aceh yang berkunjung pada bulan Juni–Juli 2010.
Penelitian ini adalah penelitian Non Eksperimental dan bersifat deskriptif analitik melalui wawancara
secara langsung menggunakan kuesioner dengan skala Likert. Teknik sampling yang digunakan
adalah teknik penarikan sampel nonpropabiliti secara purposive, dengan jumlah sampel 120 orang
yang terdiri dari 53 orang laki-laki (44,17%) dan 67 orang perempuan (55,83%). Sampel yang
digunakan adalah pasien dengan kriteria berusia lebih dari 20 tahun, yang kehilangan gigi sebagian
dan belum pernah menggunakan gigi tiruan. Pengolahan data dilakukan secara statistik dengan
Program SPSS menggunakan uji Chi-Square dan Kruskal-Wallis. Hasil penelitian menunjukkan pola
asupan nutrisi akibat kehilangan gigi sebagian pada pasien dirasakan berubah lebih dari setengah
jumlah pasien dengan persentase tertinggi pada perasaan kesulitan memakan makanan yang
mengandung protein dan lemak, sedangkan persentase terendah pada perasaan kesulitan memakan
makanan yang mengandung vitamin C. Pola asupan nutrisi akibat kehilangan gigi sebagian pada
pasien berdasarkan jumlah gigi yang hilang secara keseluruhan dirasakan berubah paling tinggi
tingkat kesulitannya pada kelompok jumlah gigi yang hilang 22–28 gigi (76,2%) dan terendah yang
merasa kesulitan pada kelompok jumlah gigi yang hilang 1–7 gigi (46,8%).
Kata kunci: Asupan nutrisi, pasien, kehilangan gigi sebagian, tingkat kesulitan.
ABSTRACT
Lose of partial tooth or completely have the effects that are emotional impact, systemic and
functional. The disturbing of mastication process caused of tooth lose can influence the food selection
so that happened of nutrient intake. Change illustration of nutrient intake has impact for body such as
happening of chronic disease, degradation of functional ability and increasing of infection occurrence
so that can influence the quality life the patient. This research objective is to know the illustration of
nutrient intake impact of partial tooth lose based on missing tooth amount at patient in dental and oral
part of Zainal Abidin Hospital Area Banda Aceh visited at June–July 2010. This research is Non-
Experimental Research and has the analytic descriptive character through direct interview used
questioner with the Likert scale. Sampling technique used is non-probability sampling purposive
method with the amount of samples were 120 patients, who consisted of 53 men (44,17%) and
67 women (55,83 %). Sample used is patient with the criterion have age more than 20 years old, who
partial tooth lose and never used denture. Data processing conducted statistically with the Program
SPSS use the test of Chi-Square and Kruskal-Wallis. Result of the research show the illustration of
nutrient intake impact of partial tooth lose at patient felt to change more than half patients amount
with the highest percentage at difficulty level eat contain food of protein and fat, while lowest
percentage at difficult level eat contain food of vitamin C. The Illustration of Nutrient Intake Impact
of Partial Tooth Lose at Patient based on missing tooth amount as a whole felt to change highest
difficulty level at group sum up the tooth lost 22–28 tooth (76,2 %) and lowest difficulty level at
group sum up the tooth lost 1–7 tooth (46,8%).
Key words: Nutrient intake, patient, partial tooth lose, difficulty level
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
24
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu dan teknologi
kedokteran gigi memungkinkan gigi geligi
dipertahankan selama mungkin di dalam
mulut. Walaupun demikian ternyata kasus
kehilangan gigi masih cukup tinggi.
Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh
berbagai hal. Pada beberapa kasus, kehilangan
gigi dapat disebabkan oleh trauma, baik pada
gigi yang bersangkutan maupun pada jaringan
sekitarnya.1,2
Kehilangan gigi juga sering
dihubungkan dengan usia, gaya hidup, dan
kondisi emosional. Hasil penelitian Casanova-
Rosado dkk. menunjukan adanya hubungan
antara kehilangan gigi dan gaya hidup serta
tingkat stres yang tinggi. Hubungan usia dan
kehilangan gigi terkait pada buruknya kondisi
kesehatan rongga mulut.3
Karies dan penyakit periodontal adalah
penyebab terbanyak kasus kehilangan gigi
akibat buruknya kondisi rongga mulut. Hal ini
dapat terjadi pada satu atau beberapa gigi dan
dapat pula menyebar ke seluruh gigi apabila
tidak dirawat. Kondisi yang buruk ini dapat
berakhir pada hilangnya gigi, baik sebagian
maupun seluruhnya pada kedua rahang.1-4
Kehilangan gigi sebagian maupun
seluruhnya memiliki dampak, yaitu dampak
emosional, sistemik, dan fungsional.5-9
Dampak emosional dapat berupa kehilangan
kepercayaan diri, keterbatasan aktivitas seperti
mengunyah dan bicara, serta perubahan pada
penampilan.5 Dampak sistemik dapat berupa
penyakit kardiovaskular, osteoporosis, dan
keganasan pada gastrointestinal terkait dengan
status kesehatan rongga mulut yang buruk.6-9
Secara fungsional, kehilangan gigi dapat
berdampak pada proses bicara dan
mengunyah.4-7
Pada proses bicara, kehilangan
gigi akan mengganggu pengucapan beberapa
huruf sehingga proses komunikasi akan
terganggu.4 Terganggunya pengunyahan dapat
terjadi karena kemampuan mengunyah dan
kekuatan gigit secara fisik yang berkurang
sehubungan dengan berkurangnya jumlah gigi
di dalam rongga mulut.5-7
Keterbatasan dalam pengunyahan
mempunyai pengaruh langsung terhadap
pemilihan makanan yang biasa dikonsumsi.
Adanya kesulitan dalam mengkonsumsi
makanan setelah kehilangan gigi
menyebabkan terjadi perubahan dalam
pemilihan makanan. Perubahan kebiasaan
dalam pemilihan makanan ini dapat dikatakan
sebagai suatu perubahan pada pola konsumsi
makanan yang selanjutnya akan
mempengaruhi gambaran asupan nutrisi.
Berubah atau tidaknya gambaran asupan
nutrisi sehubungan dengan keadaan gigi-geligi
bergantung pada beberapa faktor, diantaranya
jumlah gigi yang hilang, daerah gigi yang
hilang, dan ada atau tidaknya oklusi.10
Seseorang yang kehilangan gigi pada bagian
posterior dan memiliki jumlah gigi yang
sedikit, cenderung memilih makanan yang
lebih mudah dikunyah.7,10-13
Pada penelitian
yang dilakukan Hung dkk. ditemukan proporsi
yang lebih kecil dalam konsumsi makanan
yang sulit dikunyah seperti apel, pir, dan
wortel pada subjek yang memiliki jumlah gigi
sedikit dibandingkan dengan subjek yang
memiliki seluruh gigi.7
Makanan bernutrisi adalah makanan
yang cukup kualitas dan kuantitasnya serta
mengandung unsur gizi yang dibutuhkan tubuh
dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.15
Zat gizi terdiri dari karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, dan mineral. Kekurangan
maupun ketidakseimbangan konsumsi
makanan dari masing-masing zat gizi, baik
dari segi jumlah maupun kualitasnya, akan
mempengaruhi asupan nutrisi pada tubuh
manusia.15,16
Ketidakseimbangan pemenuhan
kebutuhan nutrisi menyebabkan dampak bagi
tubuh, seperti terjadinya penyakit kronis,
penurunan kemampuan fungsional dan
peningkatan kejadian infeksi sehingga dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien.7,12-17
Kasus kehilangan gigi berhubungan
dengan penambahan usia.3 Oleh sebab itu,
banyak peneliti melakukan penelitian
mengenai kasus kehilangan gigi pada
komunitas usia lanjut. Beberapa peneliti yang
menggunakan sampel berusia lanjut dalam
penelitiannya adalah Sheiham dkk dan
Marshall dkk.11,13
Kedua peneliti ini
menghubungkan kondisi kesehatan mulut,
termasuk kehilangan gigi dengan asupan
nutrisi pada usia lanjut. Sehubungan
banyaknya dijumpai kasus kehilangan gigi dan
belum adanya data mengenai kasus kehilangan
gigi pada usia dewasa muda, khususnya
kehilangan gigi sebagian maka peneliti ingin
mengadakan penelitian sesuai dengan karakter
usia pasien, yaitu dari usia dewasa muda
sampai usia dewasa tua, khususnya di daerah
Banda Aceh.
Terganggunya asupan nutrisi bagi tubuh
akibat kehilangan gigi akan mempengaruhi
kesehatan tubuh secara umum dan kesehatan
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
25
rongga mulut secara khusus. Kesehatan rongga
mulut yang buruk akan menimbulkan masalah
dalam perawatan gigi termasuk dalam
pembuatan gigi tiruan. Pentingnya peranan
nutrisi tersebut menyebabkan perlu diadakan
penelitian mengenai Pola Asupan Nutrisi
Akibat Kehilangan Gigi Sebagian pada Pasien
di Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA Banda
Aceh pada bulan Juni–Juli 2010 berdasarkan
jumlah gigi yang hilang.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan desain
penelitian Non Eksperimental dan bersifat
Deskriptif Analitik melalui wawancara secara
langsung menggunakan kuesioner. Penelitian
dilakukan di Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA
Banda Aceh pada Bulan Juni–Juli 2010.
Populasi penelitian adalah pasien di Bagian
Gigi dan Mulut RSUDZA Banda Aceh yang
berkunjung pada Bulan Juni–Juli 2010. Teknik
penarikan sampel adalah Non Probability
secara Purposive, yaitu dengan mengadakan
studi pendahuluan untuk mengidentifikasi
karakteristik populasi dan kemudian
menetapkan sampel berdasarkan pertimbangan
pribadi.18
Sampel adalah pasien di Bagian Gigi
dan Mulut RSUDZA Banda Aceh Bulan Juni–
Juli 2010 dengan kriteria inklusi antara lain:
pasien berusia 20 tahun ke atas yang datang ke
Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA, telah
mengalami kehilangan gigi namun tidak
seluruhnya. Selain itu, pasien belum pernah
memakai gigi tiruan, bersedia untuk diperiksa
giginya yang telah hilang dan pasien bersedia
untuk mengisi kuesioner dan diwawancara.
Sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien
berusia di bawah 20 tahun, belum mengalami
kehilangan gigi, dan sudah memakai gigi
tiruan. Pasien tidak bersedia untuk mengisi
kuesioner, diwawancara dan diperiksa giginya.
Sesuai angka minimum yang ditetapkan
Bailey dan Gay untuk penelitian analisis
statistik, ukuran sampel minimal 30 orang.19
Adapun jumlah populasi pasien yang berusia
lebih dari 20 tahun yang kehilangan gigi
sebagian per bulan di Bagian Gigi dan Mulut
RSUDZA rata-ratanya adalah 170 orang, maka
dengan menggunakan rumus slovin jumlah
sampel diperoleh dengan tingkat kepercayaan
95% atau tingkat kesalahan 5% adalah sebesar
120 sampel.
Alat dan bahan penelitian antara lain,
alat pemeriksaan rongga mulut yaitu kaca
mulut, sarung tangan, masker, alat tulis dan
lembar kuesioner. Penelitian diawali dengan
terlebih dahulu memberikan lembar
persetujuan menjadi subjek, kemudian
dilanjutkan dengan pengisian kuesioner,
wawancara dan pemeriksaan. Kuesioner
diberikan untuk pertanyaan yang diajukan dan
jawaban diberikan secara tertulis yang
dijadikan sebagai data nantinya. Wawancara
bertujuan untuk menggali informasi lebih
dalam dari pasien serta memberikan
penjelasan terhadap pertanyaan yang dirasa
kurang dimengerti oleh pasien. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan mulut pasien untuk
melihat jumlah gigi yang hilang.
Pengolahan data dilakukan dengan
coding card. Data disajikan dengan
menghitung frekuensi distribusi. Karena
distribusi jawaban tidak merata untuk setiap
tingkatan pada skala likert, maka jawaban
pasien mengenai gambaran asupan nutrisi
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu
tidak merasa kesulitan dan merasa kesulitan
(1–3 tidak merasa kesulitan, 4–5 Merasa
kesulitan). Kemudian dilakukan uji statistik
Chi-Square melalui Program SPSS (Statistical
Product and Service Solution).
HASIL PENELITIAN Pasien yang kehilangan gigi sebagian
dikelompokkan menjadi tiga karakteristik,
yaitu umur, jenis kelamin dan keadaan gigi
geligi.
Tabel 1. Persentase Distribusi Karakteristik Pasien
di Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA
Banda Aceh
Karakteristik Pasien
Jumlah
Sampel
(Orang)
Persentase
1. Usia
- 20–39 Tahun
- 40–59 Tahun
- 60 Tahun ke atas
52
51
17
43,33%
42,50%
14,17%
Jumlah 120 100%
2. Jenis Kelamin
- Laki-laki
- Perempuan
53
67
44,17%
55,83%
Jumlah 120 100%
3. Jumlah Gigi yang
Hilang
- 1–7 gigi
- 8–14 gigi
- 15–21 gigi
- 22–28 gigi
91
20
6
3
75,83%
16,67%
5,00%
2,50%
Jumlah 120 100%
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
26
Tabel 2. Persentase Gambaran Asupan Nutrisi Akibat Kehilangan Gigi Pasien di Bagian Gigi dan Mulut
RSUDZA Banda Aceh Berdasarkan Tingkat Kesulitan
Gambaran Asupan Nutrisi
Akibat Kehilangan Gigi
n = 120 Orang
Tidak Merasa
Kesulitan
Merasa
Kesulitan
N % N %
1. Kesulitan Konsumsi Makanan
2. Kesulitan Mengunyah
3. Keterbatasan Pemilihan Makanan
4. Kesulitan Memakan Makanan Tertentu
5. Kesulitan Memakan Makanan Berkarbohidrat
6. Kesulitan Memakan Makanan Berprotein
7. Kesulitan Memakan Makanan Berlemak
8. Kesulitan Memakan Makanan Bermineral
9. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin A
10. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin B
11. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin C
12. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin D
13. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin E
14. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin K
42
42
32
26
96
15
25
39
46
110
116
113
36
81
35,0
35,0
26,7
21,6
80,0
12,5
20,9
32,5
38,3
91,7
96,7
94,2
30,0
67,5
78
78
88
94
24
105
95
81
74
10
4
7
84
39
65,0
65,0
73,3
78,4
20,0
87,5*
79,1
67,5
61,7
8,3
3,3**
5,8
70,0
32,5
*= nilai tertinggi; **= nilai terendah
Berdasarkan umur, dijumpai tiga
kelompok umur, yaitu pasien yang berumur
20–39 tahun sebanyak 52 orang (43,33%),
yang berumur 40–59 tahun sebanyak 51 orang
(42,50%), dan 60 tahun ke atas sebanyak
17 orang (14,17%). Berdasarkan jenis
kelamin, pasien yang berjenis kelamin laki-
laki ada 53 orang (44,17%), dan jenis kelamin
perempuan ada 67 orang (55,83%) (Tabel 1).
Tabel 2 menunjukkan persentase
distribusi gambaran asupan nutrisi akibat
kehilangan gigi sebagian berdasarkan tingkat
kesulitan mengkonsumsi makanan akibat
kehilangan gigi dibedakan atas dua kelompok
yaitu tidak merasa kesulitan dan merasa
kesulitan.
Gambaran Asupan Nutrisi Akibat
Kehilangan Gigi Sebagian pada Pasien di
Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA Banda
Aceh Berdasarkan Jumlah Gigi yang
Hilang Tingkat keterbatasan pemilihan
makanan dan jumlah pasien yang merasakan
kesulitan memakan makanan tertentu setelah
giginya hilang, persentase rata-rata paling
tinggi adalah pada kelompok yang merasa
kesulitan yaitu 84,4% dan 87%. Sedangkan
persentase tingkat kesulitan untuk kelompok
makanan yang mengandung karbohidrat,
protein, lemak dan mineral rata-rata paling
tinggi yang merasa kesulitan yaitu pada
makanan yang mengandung protein dengan
persentase sebesar 91%. Persentase rata-rata
tingkat kesulitan untuk konsumsi makanan
yang mengandung vitamin yang merasa
kesulitan tertinggi adalah konsumsi vitamin E
yaitu sebesar 83,3%, sedangkan yang merasa
kesulitan terendah adalah konsumsi vitamin C
(11,1%).
Dari hasil uji statistik untuk penelitian
ini uji Chi-Square menunjukkan hubungan
yang signifikan (p<0,05) antara jumlah gigi
yang hilang dengan perubahan gambaran
asupan nutrisi secara kesuluruhan. Sedangkan
hubungan antara jumlah gigi yang hilang
dengan kesulitan memakan makanan yang
mengandung karbohidrat, mineral, vitamin B,
vitamin D dan vitamin E tidak dapat hanya
dilakukan uji Chi-Square. Hal ini dikarenakan
nilai Chi-Square tabel lebih besar dari nilai
Chi-Square hitung dan nilai probabilitas
>0,05, oleh sebab itu dilanjutkan dengan uji
Kruskal-Wallis yang terlihat pada Tabel 3.
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan studi deskriptif
untuk mengumpulkan data-data tentang pola
asupan nutrisi akibat kehilangan gigi sebagian
di bagian gigi dan mulut RSUDZA Banda
Aceh. Selanjutnya dilakukan studi analitik
untuk mengamati hubungan antara
karakteristik pasien berdasarkan keadaan gigi
geligi yaitu jumlah gigi yang hilang dengan
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
27
Tabel 3. Uji Chi-Square dan Kruskal-Wallis antara Jumlah Gigi yang Hilang dengan Gambaran Asupan Nutrisi
Akibat Kehilangan Sebagian Gigi pada Pasien di Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA Banda Aceh
Gambaran Asupan Nutrisi Probabilitas (p)
1. Kesulitan Konsumsi Makanan
2. Kesulitan Mengunyah
3. Keterbatasan Pemilihan Makanan
4. Kesulitan Memakan Makanan Tertentu
5. Kesulitan Memakan Makanan Berkarbohidrat
6. Kesulitan Memakan Makanan Berprotein
7. Kesulitan Memakan Makanan Berlemak
8. Kesulitan Memakan Makanan Bermineral
9. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin A
10. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin B
11. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin C
12. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin D
13. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin E
14. Kesulitan Memakan Makanan Bervitamin K
0,012*
0,012*
0,024*
0,005*
0,210a
0,001*
0,000*
0,094**
0,030*
0,200a
0,020*
0,215**
0,156**
0,011*
a = uji Kruskal Wallis
* = menunjukkan hubungan yang signifikan (uji Chi-Square)
** = menunjukkan hubungan yang signifikan (uji Kruskal Wallis)
asupan nutrisi, yakni perubahan asupan nutrisi
secara keseluruhan, kesulitan saat mengunyah,
terbatasnya pemilihan makanan, kesulitan
memakan makanan tertentu, kesulitan
memakan makanan yang mengandung
karbohidrat, kesulitan memakan makanan
yang mengandung protein, kesulitan memakan
makanan yang mengandung lemak, kesulitan
memakan makanan yang mengandung
mineral, kesulitan memakan makanan yang
mengandung vitamin A, vitamin B, vitamin C,
vitamin D, vitamin E, dan vitamin K.
Pasien yang kehilangan gigi sebagian di
bagian gigi dan mulut RSUDZA Banda Aceh
memiliki karakteristik terbanyak berumur
20–39 tahun, berjenis kelamin perempuan
sebanyak 67 orang, dan kehilangan gigi 1–7
gigi sebanyak 91 orang. Hal ini sesuai dengan
penelitian Casanova-Rosado dkk (2005) yang
menunjukkan adanya hubungan antara
kehilangan gigi dengan gaya hidup pada usia
dewasa muda. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa sampel berjenis kelamin
perempuan memiliki persentase tertinggi.
Hasil penelitian ini sama halnya dengan
pernyataan Hugo dkk (2007) pada
penelitiannya di Brazil bahwa jenis kelamin
perempuan merupakan salah satu predisposisi
kehilangan gigi sebagian sehingga pada
penelitiannya ditemukan sampel lebih banyak
berjenis kelamin perempuan.6
Predisposisi yang menyebabkan
perempuan pada umumnya lebih rentan
terhadap masalah kesehatan gigi adalah
dikarenakan adanya perubahan hormonal yang
mereka alami. Ada lima fase dalam hidup
seorang perempuan di mana terjadi perubahan
hormonal yang dapat mengakibatkan dirinya
menjadi lebih rentan terhadap masalah
kesehatan gigi. Lima fase tersebut adalah
1) meningkatnya produksi hormon estrogen
dan progesteron selama pubertas, 2) perubahan
hormonal (terutama meningkatnya proges-
terone) yang terjadi pada siklus menstruasi,
3) konsumsi pil kontrasepsi yang mengandung
progesteron, 4) obat-obatan yang dikonsumsi
untuk melawan penyakit dan perubahan
hormonal akibat menopause serta
5) menurunnya jumlah hormon estrogen yang
terjadi pada masa menopause menyebabkan
perempuan memiliki resiko lebih tinggi untuk
menderita penyakit periodontal dan lama-
kelamaan dapat mengakibatkan pasien
kehilangan gigi-geliginya.20
Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa persentase pasien
antara merasa kesulitan dan tidak merasakan
kesulitan yang paling berbeda antara lain
dalam memakan makanan yang mengandung
vitamin C yaitu tidak merasakan kesulitan
88,9%, vitamin B yang tidak merasakan
kesulitan 86,3%, vitamin D yang tidak
merasakan kesulitan 84,2% dan memakan
makanan yang mengandung karbohidrat yang
tidak merasakan kesulitan 64,6%. Kesulitan
lebih banyak dirasakan pada saat memakan
makanan yang mengandung protein 91,0% dan
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
28
lemak 88,3%, sedangkan untuk makanan yang
mengandung vitamin B, vitamin C, vitamin D,
dan makanan yang mengandung karbohidrat
kesulitan lebih banyak tidak dirasakan.
Kesulitan dirasakan dalam memakan makanan
yang mengandung protein dan lemak
kemungkinan disebabkan konsistensi makanan
yang mengandung protein dan lemak seperti
daging sapi, daging ayam, tetelan, dan kacang-
kacangan cukup sulit untuk dikunyah oleh
pasien, terutama untuk pasien yang telah
kehilangan gigi posterior, sedangkan untuk
jenis makanan dengan kandungan zat gizi
lainnya kesulitan tidak dirasakan karena
konsistensinya yang masih dapat dikunyah
dengan mudah menggunakan gigi anterior.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah
dilakukan, diketahui bahwa pasien cenderung
lebih memilih makanan yang lebih mudah
dikunyah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Sheiham dkk (2001) pada penelitiannya
tentang hubungan kesehatan gigi, asupan
nutrisi dan status nutrisi pada orang tua di
Brazil bahwa status kesehatan gigi
berhubungan dengan asupan nutrisi.11
Perubahan pada gambaran asupan
nutrisi secara keseluruhan pada pasien yang
kehilangan gigi sebagian berdasarkan jumlah
gigi yang hilang lebih tinggi ditunjukkan oleh
kelompok jumlah gigi yang hilang 22–28 gigi
yaitu 76,2% dengan jumlah pasien pada
kelompok ini 2,5% dari jumlah sampel. Data
secara umum memperlihatkan bahwa semakin
banyak jumlah gigi yang hilang, semakin besar
tingkat kesulitan pasien terhadap perubahan
pada gambaran asupan nutrisinya, yaitu pada
kelompok jumlah gigi yang hilang 1–7 gigi
sebanyak 46,8%, 8–14 gigi sebanyak 64,6%,
15–21 gigi sebanyak 61,9% dan 22–28 gigi
sebanyak 76,2% yang merasakan perubahan
pada gambaran asupan nutrisinya.
Kehilangan 1–7 gigi tingkat kesulitan
tertinggi dirasakan pada saat memakan
makanan berprotein sebanyak 85,7%, pada
kehilangan 8–14 gigi tingkat kesulitan
tertinggi dirasakan sebanyak 95% pada saat
mengkonsumsi makanan, mengunyah,
memakan makanan berprotein, dan memakan
makanan berlemak. Untuk kehilangan 15–21
gigi tingkat kesulitan tertinggi dirasakan pada
saat mengkonsumsi makanan dan pada saat
mengunyah yaitu sebanyak 100%. Untuk
kehilangan 22–28 gigi tingkat kesulitan
tertinggi dirasakan pada saat pemilihan
makanan, kesulitan memakan makanan
tertentu, kesulitan dalam memakan makanan
berprotein, berlemak, bermineral, bervitamin
A, dan bervitamin E yaitu mencapai 100%.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Jones dkk
(2003) di Boston bahwa semakin banyak gigi
(25 gigi) yang ada dalam mulut maka
kesehatan mulut lebih baik dibandingkan
dengan yang tidak mempunyai gigi, memakai
gigi tiruan dan yang mempunyai 1–24 gigi.21
Pasien dengan jumlah gigi yang hilang
1–7 gigi diketahui dari hasil wawancara
cenderung merasa kesulitan dalam
mengkonsumsi protein seperti daging
ayam/sapi karena sering menekan daerah gigi
yang hilang sehingga kelompok ini lebih
memilih menghindari makanan tersebut.
Pasien dengan jumlah gigi yang hilang 8–14
gigi merasakan kesulitan tertinggi dalam
mengkonsumsi protein dan lemak. Pasien yang
kehilangan 15–21 gigi merasakan kesulitan
tertinggi dalam konsumsi makanan dan
mengunyah. Pasien dengan jumlah gigi yang
hilang 22–28 gigi merasakan kesulitan
tertinggi dalam konsumsi protein, lemak,
mineral, vitamin A dan vitamin E yang dapat
disebabkan oleh karena terganggunya oklusi
gigi-geligi akibat kehilangan gigi sehingga
sulit untuk mengunyah makanan dengan
konsistensi keras.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
Karakteristik pasien yang kehilangan gigi
sebagian di Bagian Gigi dan Mulut RSUDZA
Banda Aceh pada Bulan Juni–Juli 2010 yang
terbanyak berumur 20–39 tahun. Pasien
berjenis kelamin perempuan lebih banyak
dibandingkan dengan laki-laki dan kehilangan
gigi-geligi yang terbanyak adalah pasien
dengan jumlah gigi yang hilang 1–7 gigi.
Gambaran asupan nutrisi akibat kehilangan
gigi sebagian pada pasien dirasakan berubah
lebih dari setengah jumlah pasien yang diteliti.
Persentase tertinggi dirasakan pada kesulitan
memakan makanan yang mengandung protein
dan lemak, sedangkan persentase terendah
pada kesulitan memakan makanan yang
mengandung vitamin C. Gambaran asupan
nutrisi akibat kehilangan gigi sebagian pada
pasien berdasarkan jumlah gigi yang hilang
secara keseluruhan dirasakan berubah.
Persentase tertinggi pada kelompok jumlah
gigi yang hilang 22–28 gigi (76,2%) dan
terendah dirasakan berubah pada kelompok
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
29
jumlah gigi yang hilang 1–7 gigi (46,8%). Hal
ini menunjukkan semakin banyak jumlah gigi
yang hilang, semakin besar tingkat kesulitan
pasien terhadap asupan nutrisinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. Missing Teeth. Available at:
http://www.docshop.com/education/dental
/problems-solution/missing-teeth/.
Accessed on 2008.
2. Briones D. Most Common Causes of
Adult Tooth Loss. Available at:
http://www.docshop.com/most-common-
causes-of-adult-tooth-loss/. Accessed on
October, 2008.
3. Casanova-Rosado JF, Solis CEM,
Sanchez AAV, Rosado AJC, Maupome
G, Burgos LA. Lifestyle and Psychosocial
Factors Associated with Tooth Loss in
Mexican Adolescents and Young Adult.
J Contemporary Dent Practice 2005;
6(3):70-77.
4. Wikipedia. Edentulism. Available at:
http://en.wikipedia.org/wiki/Edentulism.
Accessed on November, 2009.
5. Davis DM, Fiske J, Scott B, Radford DR.
The Emotional Effects of Tooth Loss:
A Preliminary Study. Br Dent J 2000;
188(9):503-506 (ISSN: 0007-0610).
6. Hugo FN, Hilgert JB, de Sousa Mda L, da
Silva DD, Pucca GA Jr. Correlates of
Partial Tooth Loss and Edentulism in
Brazilian Elderly. Community Dent Oral
Epidemiol 2007; 35(3):224-232.
7. Hung HC, Willett W, Ascherio A, Rosner
BA, Joshipura KJ. Tooth Loss and
Dietary Intake. J Am Dent assoc 2003;
134(9):1185-1192.
8. Stolzenberg-Solomon RZ, Dodd KW,
Blaser MJ, Virtamo J, Taylor PR, Albanes
D. Tooth Loss, Pancreatic Cancer and
Helicobacter Pylory. American Journal of
Clinical Nutrition 2003; 78(1):176-181.
9. Abnet CC, Qiao YL, Dawsey SM, Dong
ZW, Taylor PR, Mark SD. Tooth Loss is
Associated with Increased Risk of Total
Death and Death Upper Gastrointestinal
Cancer Heart Disease and Stroke in a
Chinese Population Based Cohort. Int J
Epidemiol 2005; 34(2):467-474.
10. Goiato MC, Ribeiro PDP, Garcia AR,
Dos Santos DM. Complete Denture
Masticatory Efficiency: A Literature
Review. CDA Journal 2008; 36(9).
11. Iacopino AM. Relation Between Nutrition
and Oral Health. CDA Journal 2008;
74(9).
12. Mojon P, Budtz-Jorgensen E, Rapin CH.
Relationship Between Oral Health and
Nutrition in very Old People. British
Geriatrics Society 1999; 28:463-468.
13. Marshall TA, Warren JJ, Hand JS, Xie
XJ, Stumbo PJ. Oral Health, Nutrient
Intake an Dietary Quality in The Very
Old. J Am Dent Assoc 2002; 133(10):
1369-1379.
14. Paath, Erna Francin, dkk. Gizi Dalam
Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC.
2004: 4-24.
15. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2004:
3, 9, 28-29, 42-44, 60-61, 77, 96-100,
152, 162-163, 172, 183-184, 189, 193-
194, 197, 200-207, 211-217, 228-234,
245-247.
16. Siswono. Nutrisi Terbaik Bagi Paruh
Baya. Available at: http://www.gizi.net/
cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid105601
2996,91990. Accessed on June, 2003.
17. Zarb GA, Bolender CL, Hickey JC,
Carlsson GE. Buku Ajar Prostodonti
untuk Pasien Tak Bergigi Menurut
Boucher. Ahli bahasa: Mardjono D,
Koesmaningati H, Edisi 10. Jakarta: EGC.
2002: 83-91.
18. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2002:
89.
19. Hasan MI. Pokok-Pokok Materi
Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.
Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002: 60,68.
20. The Smile Center, Wanita dan Kesehatan
Gigi. Available at: http://www.wanita-
kesehatangigi.com/smile-center.htm.
Accessed on March, 2009.
21. Jones JA, Orner MB, Spiro A, Kressin
NR. Tooth Loss and Denture: Patients
Perspectives. Int Dent J 2003; 53:327-
334.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
30
OVATE PONTIC SEBAGAI ALTERNATIF PERAWATAN
GIGI TIRUAN JEMBATAN
Pocut Aya Sofya
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
ABSTRAK
Kehilangan gigi anterior merupakan hal yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri pasien. Oleh
karena itu, pasien sangat membutuhkan rehabilitasi kehilangan gigi tersebut dengan estetik yang
optimal. Restorasi untuk kehilangan gigi anterior dengan menggunakan gigi tiruan jembatan
merupakan alternative perawatan yang dapat digunakan karena memenuhi estetik, kenyamanan dan
hasil jangka panjang. Gigi tiruan jembatan yang menggunakan ovate pontic merupakan pilihan yang
estetik karena desain ovate pontic berbentuk mahkota klinis anatomis dengan dasar pontik yang lebih
luas berkontak dengan jaringan di bawahnya sehingga menghasilkan restorasi akhir dan gingival yang
estetik menyerupai gigi asli. Pasien akan merasa puas dan percaya diri ketika berbicara dan
tersenyum. Perawatan dengan ovate pontic dapat menjadi pilihan yang paling efektif pada pasien
yang membutuhkan nilai estetik tinggi dan tampilan yang alami dari restorasi.
Kata kunci: Ovate pontic, gigi tiruan jembatan, estetik
ABSTRACT
The loss of an anterior teeth will greatly affect the confidence of patient. Thus, the patient is in dire
need of a rehabilitation that will provide an optimal aesthetic. Restoration for anterior tooth loss using
a rigid fixed bridge is an alternative treatment that can be used to fulfill the aesthetic, comfort, and
long-term durability requirements. Rigid fixed bridge that uses an ovate pontic is an aesthetic choice
for its anatomically shaped clinical crown along with the pontic’s broader base in contact with the
underlying tissue. It produces the final restoration and gingival aesthetic resembling natural tooth. The
patient will feel satisfied and confident while speaking and smiling. Treatment with an ovate pontic
can be the most effective option in patients who require a high aesthetic value and natural appearance
of the restoration.
Key words: Ovate pontic, bridge, aesthetic
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
31
PENDAHULUAN
Kehilangan gigi permanen pada rongga
mulut dapat menyebabkan perubahan estetik,
dan fonetik sehingga dapat menurunkan
kepercayaan diri pasien. Hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi dokter gigi untuk
membuat restorasi dengan fungsional dan
estetik yang optimal.1 Kebutuhan terhadap
restorasi yang menyerupai gigi asli saat ini
semakin meningkat sehingga dokter gigi harus
mampu menghadapi tantangan terhadap
permintaan gigi tiruan yang estetik.
Alternative perawatan dapat dilakukan antara
lain gigi tiruan lepas, gigi tiruan implant dan
gigi tiruan jembatan dengan berbagai desain
pontik sesuai kasus.2
Restorasi dengan gigi tiruan jembatan
pada kasus kehilangan gigi merupakan pilihan
yang sering dilakukan karena kenyamanan dan
hasil yang jangka panjang.2 Untuk
memperoleh estetik yang baik, ada beberapa
faktor yang harus diperhatikan agar
mendapatkan tampilan pontik yang alami
diantaranya adalah ukuran, bentuk, warna, dan
posisi pontik.3 Gigi tiruan jembatan dengan
ovate pontic merupakan pilihan yang tepat
karena ovate pontic memiliki anatomi seperti
mahkota klinis dengan dasar pontik berkontak
lebih luas, selain itu ovate pontic menduplikasi
emergence profile gigi asli sehingga akan
diperoleh kesan estetik optimal menyerupai
gigi asli yang seolah-olah keluar dari gingival.
Ovate pontic dapat digunakan pada regio
anterior maupun regio posterior dengan
tingkat kesuksesan yang sama.4
Ovate pontic ditemukan oleh Abrams
pada tahun 1980 dan mulai diperkenalkan oleh
Dewey dan Zugsmith pada tahun 1993,2
namun baru akhir-akhir ini ovate pontic di
pertimbangkan secara klinis sebagai pontik
yang dapat mengatasi kelemahan pontik-
pontik jenis lain serta memiliki estetik yang
optimal. Dahulu penggunaan pontik ini masih
dibatasi karena dapat menyebabkan inflamasi
kronis, namun dengan perkembangan estetik
membuktikan bahwa ovate pontic tidak
mengganggu kesehatan gingiva.1
Hal yang paling penting untuk
keberhasilan perawatan estetik dengan ovate
pontic adalah rencana perawatan yang diteliti
dengan mempertimbangkan beberapa faktor
antara lain dimensi jaringan lunak,
pembedahan atraumatik, restorasi sementara
yang fungsional dan estetik yang merupakan
prinsip dasar ovate pontic. Ada beberapa tipe
pontik yang dapat digunakan dalam perawatan
gigi tiruan jembatan antara lain:2
Pontik Sanitary (Hygienic)
Pontik sanitary atau hygienic tidak
berkontak dengan ridge edentulous dan
menciptakan ruang yang lebar untuk
mempertahankan kebersihan mulut.1
Bagaimanapun, walaupun pontik ini
memfasilitasi pembersihan yang efektif antara
protesa dan jaringan, banyak pasien
mengeluhkan makanan terjebak di antara
ruang tersebut dan pontik terasa melawan
lidah. Pontik ini jarang digunakan sekarang
dan tidak estetik.
Pontik Ridge Lap
Desain ridge lap memberikan estetik
yang baik; namun jika ridge mengalami
resorbsi di bagian fasial, dapat terlihat
artifisial.2 Permukaan pontik yang menghadap
jaringan yang cekung dan luas, membuat
pembersihan plak agak sulit.3,4
Inflamasi dan
ulserasi jaringan lunak sering dihubungkan
dengan pontik tipe ini.
Pontik Modified Ridge Lap
Desain modified ridge lap merupakan
tipe pontik yang paling polpuler. Pontik ini
biasanya menyebabkan sedikit inflamasi di
area ridge dibandingkan dengan pontik ridge
lap karena permukaan yang cekungnya lebih
kecil dan mudah dibersihkan.2,5,6
Namun, tetap
terdapat permukaan cekung di tengah
permukaan jaringan yang sulit dilewati benang
gigi dan/atau sikat gigi.7 Jika ridge edentulous
tidak resopsi parah, biasanya estetik cukup
baik.
Ovate Pontic
Pontik ovate ditemukan oleh Abrams
pada tahun 1980.8 Walaupun permukaan
jaringan berbentuk cekung, pontik ovate
dibuat berbentuk cembung untuk mengatasi
kelemahan ridge lap atau modified ridge lap.
Hasilnya, pontik ini lebih mudah dibersihkan.
Namun, karena tinggi kontur permukaan
cembung didesain dekat dengan dasar,
terkadang benang gigi tidak dapat
melewatinya, khususnya pada periodonsium
yang tipis, dimana jarak papila tertinggi
dengan margin gingiva tidak jauh.2,9,11
Kecembungan ovate pontic dibuat untuk
untuk menciptakan profil kemunculan yang
benar. Pontik ini berkontak dengan jaringan
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
32
Tabel 1. Karakteristik dari Lima Tipe Pontik
Karakteristik Sanitary Total Ridge
Lap
Modified Ridge
Lap Ovate Modified Ovate
Indikasi Gigi posterior Gigi anterior
dan posterior
Gigi anterior dan
posterior
Gigi anterior dan
posterior; garis
senyum tinggi
Gigi anterior dan
posterior; garis
senyum tinggi
Kontraindikasi Gigi anterior - - Ridge tipis dan
knife-edge -
Pertimbangan
estetik
Tidak
digunakan di
zona estetik
Estetik cukup
baik
Estetik cukup
baik
Estetik sangat
baik dan tercipta
profil
kemunculan
Estetik sangat
baik dan tercipta
profil
kemunculan
Permukaan
pontik yang
menghadap
mukosa
Cembung;
tidak
berkontak
Cekung;
sisanya
berada di atas
jaringan
Cekung Cembung Cembung
Pembersihan/
higiene Efektif Sulit
Lebih mudah
dibanding total
ridge lap
Lebih mudah
dibanding
modified ridge
lap; terkadang
floss tidak dapat
melewati titik
tengah pontik
Lebih mudah
Kemampuan
berbicara - -
Tidak cukup
seal udara untuk
berbicara
Seal udara lebih
efektif dibanding
modified ridge
lap
Seal udara lebih
efektif dibanding
modified ridge
lap
Kerugian
Terjebaknya
makanan;
terasa aneh
saat terkena
lidah (jarang
digunakan
sekarang)
Terjebaknya
makanan;
tidak dapat
dibersihkan;
menyebabkan
penyakit
periodontal
Terjebaknya
makanan di area
yang terbuka di
segitiga lingual;
saliva terdorong
keluar saat
berbicara
Ridge
augmentasi
secara bedah
dibutuhkan jika
ridge lemah
Mungkin
meninggalkan
bayangan di area
apikal gigi-
margin gingiva
pada defek ridge
Kelas I dan
tingginya garis
senyum pasien
Keuntungan - - -
Menciptakan
ilusi dari margin
gingiva bebas
dan papila;
Meminimalkan
“segitiga hitam”
Menciptakan
ilusi dari margin
gingiva bebas
dan papila;
meminimalkan
"segitiga hitam";
membutuhkan
ridge augmentasi
yang lebih
sedikit daripada
pontik ovate
Penemu,
peneliti - - Stein, 1966
5 Abrams, 1980
8 Liu, 2003
lunak di bawahnya dan memberikan sangat
sedikit tekanan.2,12
Keuntungan ovate pontic adalah estetik
maksimum dan mudah dibersihkan dibanding
tipe ridge lap. Kerugian utamanya adalah
pontik ini membutuhkan lebar fasiolingual dan
ketebalan apikoronal yang cukup pada ridge
edentulous. Ridge knife-edge yang tipis
merupakan kontraindikasi untuk pontik ovate.
Jika dimensi fasiolingual dan apikoinsisal
tidak adekuat, diindikasikan prosedur
augmentasi dengan pembedahan. Berbagai
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
33
teknik tersedia untuk tujuan ini, tergantung
tipe dan perluasan defek pada ridge.2
Modified Ovate Pontic
Desain modified ovate pontic dibuat
untuk mengatasi masalah pada ovate pontic.
Modifikasi pontik ovate yaitu pergeseran
kontur tertinggi pada permukaan pontik yang
menghadap jaringan dari posisi tengah dasar
ke posisi lebih ke labial. Pontik modified ovate
tidak membutuhkan banyak ketebalan
fasiolingual untuk menciptakan profil
kemunculan. Pontik ini lebih mudah
dibershkan dibanding dengan ovate pontic
karena memiliki desain yang kurang cembung.
Keuntungan utama tipe ovate adalah sedikit
atau tidak memerlukan augmentasi dengan
pembedahan.2
Ketinggian dari kontur ke permukaan
jaringan adalah 1 atau 1,5 mm apikal dan
palatal ke margin gingiva labial. Benang gigi
dapat melewati gingiva labial dan
membersihkan permukaan jaringan dengan
mudah, hal ini kontras dengan tipe pontik
lainnya. Permukaan pontik modified ovate
yang menghadap jaringan kurang cembung
dibanding pontik ovate.
OVATE PONTIC
Di awal abad dua puluh, desain pontik
untuk gigi tiruan jembatan dibuat dengan
kontak yang luas dan dasar pontik yang
meluas masuk ke dalam soket. Anjuran
berikutnya penggunaan pontik harus memberi
jarak sedikit dengan soket, sehingga mukosa
dapat sembuh dan berepitelisasi di bawah
pontik. Namun hal ini dapat memberi efek
yang buruk pada kondisi mulut, seperti terjadi
inflamasi, pembengkakan mukosa dan infeksi.
Dengan perkembangan jaman gigi tiruan
jembatan tidak hanya menuntut kesehatan
rongga mulut saja, estetik yang maksimal
merupakan hal yang penting diperhatikan.4,5
Pada pertengahan 1960-an, penelitian
klinis oleh Stein menunjukkan bahwa pontik
harus terhindar dari kontak dan tekanan pada
mukosa, sehingga pontik modified ridge lap
menjadi desain pilihan. Namun apabila
ditinjau dari kesehatan mukosa dan
penumpukan plak sehingga perlu me-
modifikasi desain pontik dan berkembanglah
desain pontik yang higienis dan estetik yaitu
ovate pontic.4,14
Ovate pontic telah diperkenalkan oleh
Dewey dan Zugsmith melalui penelitian yang
menggunakan pontik yang masuk 1–2 mm ke
dalam soket sisa pencabutan gigi. Penelitian
ini membuktikan bahwa epithelium melapisi
permukaan luka dan soket kosong yang di isi
oleh pontik porselen. Oleh karena itu mereka
menyatakan bahwa tidak terdapat alasan untuk
menolak penggunaan ovate pontic karena
pontik tersebut terbukti dapat mencegah
terjadinya resesi gingival dan resorpsi tulang,
bahkan terbukti memiliki keunggulan estetik
dan hygiene.4,11,12
Ovate pontic yang dipoles dengan baik
dapat berfungsi sebagai indeks untuk
pembentukan epitel berlapis skuamosa.
penyembuhan servikal dapat diatur oleh
bagian apical pontik sesuai dengan panjang
pontik. Emergence profile, embrasure-
embrasure dan estetik serta akses untuk
kebersihan harus diperhatikan oleh dokter gigi
karena detail yang jelas harus dicatat dan
dikirim ke laborarorium dental.2,4
Banyak artikel yang menyarankan
penggunaan kontak pasif ridge untuk pontik,
namun ternyata data dan penelitian terkini
membuktikan bahwa kontak aktif lebih baik.
Tripodakis dan Constantinides mengevaluasi
respons jaringan terhadap pontik konveks
yang menekan jaringan dapat mempengaruhi
kebersihan mulut. Tekanan yang diberikan
adalah tekanan maksimal yang dimungkinkan
oleh tahanan jaringan sehingga fit abutment
tidak terganggu. Penelitian klinis dan
histologis menunjukkan bahwa tekanan pontik
metal keramik yang halus, dipoles dan di-
glazed, apabila didukung kontrol plak yang
baik tidak akan menyebabkan peradangan
pada jaringan di sekitar. Tapi apabila flossing
tidak dilakukan pada daerah pontik, maka akan
terjadi peradangan. Stimulasi kontak aktif dan
gaya oklusal dapat meningkatkan tonus dan
kesehatan jaringan, dan kontur aksial pontik
harus mencegah impaksi makanan pada ridge,
dan memungkinkan aksi pemijatan pada
gingiva.14,15,16
Apabila pencabutan gigi akan
dilakukan, kontak proksimal protesa
temporary (baik gigi tiruan cekat maupun
lepas) harus segera dipertahankan untuk
mempertahankan bentuk gingival dan
menghambat timbulnya daerah segitiga hitam
pada interdental (black triangles). Apabila
jarak dari bagian atas papilla interproksimal ke
crest tulang crestal yang berada di bawahnya
lebih dari 5 mm, akan terlihat kolaps jaringan
lunak. Gingival yang tebal dan rata lebih tahan
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
34
terhadap resesi dibandingkan jaringan yang
tipis dan scallop. Apabila pasien telah
menderita periodontitis dan telah terjadi
kehilangan tulang pada gigi yang akan
diekstraksi dan pada gigi-gigi abutment,
keberhasilan perawatan akan menurun.8,9,10,15
Teknik ekstraksi yang atraumatik juga
diperlukan untuk memperoleh hasil yang ideal.
Laserasi atau luka pada margin gingival pada
daerah ekstraksi dapat menganggu
penyembuhan dan menyebabkan terbentuknya
kontur jaringan yang kurang baik selama
penyembuhan jaringan. Kehilangan tulang
alveolar secara traumatik pada saat pencabutan
gigi juga dapat menyebabkan kegagalan
estetik, karena bentuk jaringan lunak sangat
dipengaruhi oleh tulang crestal yang berada di
bawahnya. Menurut DiTolla, setelah ekstrasi
gigi dilakukan, pasien tidak boleh menggigit
kasa karena tekanan kasa dapat menyebabkan
kolaps pada gingival. Karena pencabutan
menyebabkan papilla interdental tidak
mempunyai dukungan. Oleh karena itu, bridge
temporary harus segera dipasang supaya
papilla interdental kembali memiliki dukungan
dan sebaiknya pencabutan dilakukan dengan
menggunakan periotome.4,11,16
Indikasi dan Kontraindikasi Ovate Pontic
Ovate pontic digunakan terutama pada
regio anterior atas, walaupun pada dasarnya
pontik tipe ini dapat digunakan pada regio
manapun di dalam mulut selama pasien dapat
menjaga kebersihan mulutnya dengan baik.
Ovate pontic diletakkan pada edentulous ridge
yang ideal, tapi juga dapat digunakan pada
ridge yang hipertrofi dengan bantuan
penambahan graft.6
Indikasi ovate pontic adalah gigi yang
fraktur pada crest jaringan karena trauma,
karies gigi atau defek struktur, dengan tulang
bukal yang utuh dan gigi abutment yang sehat.
Selain itu indikasi ovate pontic adalah pasien
yang tidak menginginkan terapi implant atau
pada daerah pontik yang membutuhkan
emergence profile yang baik. Sedangkan
kontraindikasi ovate pontic adalah tinggi ridge
bagian fasial/lingual atau koronal/apikal yang
tidak cukup untuk menyerupai kompleks
dentogingiva dan telah terjadi resorbsi yang
besar.3
Desain Ovate Pontic
Desain ovate pontic memerlukan
kerjasama yang baik antara dokter gigi dan
laboratorium dental dan sangat dipengaruhi
oleh ridge pasien, kebutuhan estetik, fonetik
dan fungsi. Proses desain bervariasi tergantung
keadaan apakah desain ini dibuat pada
ekstraksi imediat atau pada endentulous ridge
yang telah sembuh, tapi prinsip dasarnya
masih tetap sama. Bagian apikal dari ovate
pontic dapat dibayangkan seperti akar yang
ada dipotong 1–2 mm di bawah crest gingiva
dengan pemolesan yang baik (highly-
polished), konveks dan "egg" shaped finish.
Perluasan ke apikal ditentukan oleh bentuk
jaringan yang telah ada dan jarak crest tulang.
Jarak ke crest tulang harus lebih dari 1–1,5
mm dan hal ini ditentukan oleh probe.6
Desain pontik harus direncanakan
dengan baik dengan pengukiran wax pada
model kerja yang ditanam pada artikulator.
Hal ini akan membantu penentuan tinggi,
lebar, emergence profile, ukuran dan bentuk
embrasure, kontur apikal, kontur lingual, dan
oklusi gigi-gigi artifisial. Pontik temporary ini
kemudian dicoba ke dalam mulut pasien dan
diperiksa estetik, fonetik, kemudahan pem-
bersihan dan kenyamanan pontik tersebut.3
KESIMPULAN
Ovate pontic merupakan pilihan terbaik
bagi dokter gigi dan pasien dengan tuntutan
estetik dan fungsi serta preservasi jaringan
yang optimal. Ovate pontic dapat
mempertahankan kesehatan rongga mulut
apabila pontik ini didesain dan dipelihara
dengan baik. Prosedur pembersihan rutin akan
menyebabkan kesehatan jaringan yang optimal
dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sopamitsatian Thiraphorn, Leevalloj C.
Restoration of maxillary anterior bridge
with ovate pontic design. Mahidol Dental
Journal 2012; 71-80.
2. Liu CS. Use of modified ovate pontic in
areas of ridge defect: A report of two
cases. J Esthet Restor Dent 2004; 16:
273-283.
3. Nixon PJ, Robinson S, Chan MF. The
ovate pontic for fixed bridgework. Dent
Update 2012; 39:407-415.
4. Dylina TJ. Contour determination of
Ovate Pontics. J Prosthet Dent 1999;
82(2):136-142.
5. Edeihoff D, Spiekermann H, Yildirim M.
A review of esthetic pontic design
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
35
options. Quintessence Int 2002; 33:
736-746.
6. Ruiz JL. Esthetic Fixed Partial Dentures:
Rationale and Technique for Ovate
Pontics. Oral Health Journal April 2005.
7. Modi K, Kohli S, Bhatia S. Anterior
esthetic restoration of a patient using
modified ovate pontic design. Annals of
Dental Speciality 2014; 2:158-160.
8. McArdle BF. Creating natural gingival
profil using the ovate pontic technique.
J Am Dent Assoc; 133:742-743.
9. Dykema RW, Goodacre CJ, Phillips RW.
Johnston’s Modern Practice in Fixed
Prosthodontics. 4th Ed. Philadelphia: WB
Saunders Co.1986.
10. Ewing JE. Fixed Partial Prostheses. 2nd
Ed. Philapdelphia: Lea & Febiger. 1959.
11. Robert DH. Fixed Bridge Prostheses.
Bristol: John Wright & Sons Ltd. 1973.
12. Malone WFP, Koth DL. Tylman’s Theory
and Practice od Fixed Prosthodontics. 8th
Ed. St Louis: Ishiyaku EuroAmerica Inc.
1989.
13. Douglas RD. Pontic Design. Capitol
Carte Corpuri de Punte.pdf. 2008: 513-
543.
14. Rosential SF, Land MF, Fujimoto J.
Contemporary Fixed Prosthodontics. 4th
Ed. St Loius: Mosby Elsevier. 2006: 616-
631.
15. Becker CM, Kaldhal WB. Current
theories of crown contour, margin
placement and pontic design. J Prosthet
Dent 2005; 93:107-115.
16. Zuckerman GR. A hygienic multiple-
pontic design. Quintessence Int
1997;28:259-262.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
36
UJI AKTIVITAS ANTIFUNGAL EKSTRAK KULIT PISANG BARANGAN
(Musa paradisiaca L) TERHADAP Candida albicans
Ridha Andayani, Afrina
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
ABSTRAK
Candida albicans (C. albicans) adalah jamur oportunistik yang pada keadaan tertentu dapat menjadi
patogen di rongga mulut dan menyebabkan kandidiasis oral. Penanganan kandidiasis oral umumnya
menggunakan obat-obatan antifungal sintetik yang dapat menimbulkan efek samping. Kulit pisang
barangan (Musa paradisiaca L.) adalah bagian yang sering dianggap tidak bermanfaat namun
mengandung banyak komponen antifungal seperti alkaloid, saponin, steroid, triterpenoid, kuinon,
polifenol dan flavonoid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antifungal ekstrak
kulit Musa paradisiaca L. terhadap pertumbuhan C. albicans. Pada penelitian ini, kulit Musa
paradisiaca L. diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Ekstrak kulit
Musa paradisiaca L. yang telah diuji fitokimia, diuji aktivitas antifungalnya menggunakan metode
dilusi dengan Standard Plate Count (SPC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kulit Musa
paradisiaca L. berpengaruh terhadap pertumbuhan C. albicans dengan konsentrasi hambat minimum
(KHM) sebesar 12,5% dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) sebesar 100%.
Kata kunci: Candida albicans, kandidiasis oral, antifungal, kulit pisang barangan
(Musa paradisiaca L.)
ABSTRACT
Candida albicans (C. albicans) is an opportunistic fungi that in certain circumstances may be
pathogens in the oral cavity and causes oral candidiasis. Treatment of oral candidiasis commonly
used synthetic antifungal drugs that can cause side effects. Musa paradisiaca L. peels are often
considered as useless part but contains many antifungal components such as alkaloids, saponins,
steroids, triterpenoids, quinons, poliphenols and flavonoids. This study was aimed to determine the
antifungal activity of Musa paradisiaca L. peels extract against C. albicans. In this study, Musa
paradisiaca L. peels was extracted by maceration method using 96% ethanol as solvent. Musa
paradisiaca L. peels extract that has been tested phytochemical, was tested its antifungal activity
using dilution method with Standard Plate Count (SPC). Results showed that Musa paradisiaca L.
peels extract have effects on the growth of C. albicans with 12,5% as Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) and has no growth in 100% concentration.
Key words: Candida albicans, oral candidiasis, antifungal, Musa paradisiaca L. peels
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
37
PENDAHULUAN
Jamur merupakan mikroba yang dapat
tumbuh dan berkembang dengan sangat cepat
termasuk di rongga mulut. Salah satu jamur
yang paling banyak terdapat di rongga mulut
sebagai flora normal adalah Candida albicans
(C. albicans).1 Di sisi lain, apabila terjadi
ketidakseimbangan antara Candida dengan
mikroba lainnya di rongga mulut jamur ini
dapat menimbulkan suatu keadaan patogen
yang disebut kandidiasis oral.2 Beberapa faktor
predisposisi kandidiasis oral antara lain akibat
pemakaian gigi tiruan, merokok, penggunaan
antibiotik dan kortikosteroid serta sistem imun
tubuh yang menurun akibat radiasi atau
kemoterapi, kondisi sistemik seperti leukemia
kekurangan nutrisi dan pada penderita Human
Immunodeficiency Virus/ Acquired Immune
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS).3,4
Pada rongga mulut orang dewasa sehat
terdapat sekitar 30–40% spesies C. albicans,
50–65% pada pasien yang menggunakan gigi
tiruan lepasan, 65–88% pada orang yang
mengkonsumsi antibiotik berspektrum luas
dalam jangka panjang, dan 95% pada
penderita HIV/AIDS.5 Menurut penelitian
Murwaningsih (2012), C. albicans ditemukan
pada 40% isolat rongga mulut penderita HIV
yang terinfeksi kandidiasis.6 Data yang
didapatkan dari RSUP dr. Kariadi Semarang
juga menunjukkan bahwa 45% pasien
HIV/AIDS dengan kandidiasis orofaring
terinfeksi jamur C. albicans.7
Penanganan kandidiasis oral umumnya
menggunakan obat antifungal sintetik antara
lain nistatin, klotrimazol, mikonazol,
ketokonazol dan flukonazol.8
Obat-obatan sintetik yang digunakan
tentunya dapat menyebabkan resistensi dan
efek samping.9 Pemanfaatan bahan-bahan
alami untuk mengatasi jamur ini sudah
seharusnya dikembangkan sebagai salah satu
solusi untuk mengurangi efek samping yang
ditimbulkan antijamur sintetik tersebut.
Tanaman pisang (Musa spp.) adalah
salah satu tanaman yang cukup banyak
ditemukan di daerah beriklim tropis seperti
Indonesia. Pada tahun 2006, Indonesia
memproduksi pisang sebanyak 5.037.472
ton.10
Salah satu jenis pisang yang sering
ditemui dan dikonsumsi di kalangan
masyarakat adalah pisang barangan (Musa
paradisiaca L.). Penelitian Karadi et al (2011)
dan Chabuck (2013) menunjukkan bahwa
setiap bagian dari pisang memiliki efek yang
baik untuk kesehatan tubuh, termasuk kulitnya
yang selama ini terkesan tidak bermanfaat dan
hanya menjadi limbah ternyata mengandung
lebih banyak komponen antibiotik dan
antifungal seperti alkaloid, tanin, flavonoid,
saponin dan steroid dibandingkan dengan
bagian tanaman pisang yang lain.11-13
Penelitian Someya (2002) menyatakan bahwa
kandungan zat polifenol pada kulit pisang
adalah sebesar 158 mg/ 100 gr (0,158%)
sedangkan pada buah pisang hanya sebesar
29,6 mg/ 100 gr (0,0296%).14
Berdasarkan penelitian Ighodaro (2012),
ekstrak kulit Musa paradisiaca L. dengan
konsentrasi 100 mg/ml (10%) dan 50 mg/ml
(5%) telah dibuktikan dapat menghambat
pertumbuhan mikroba baik dari jenis bakteri
seperti Staphylococcus aureus maupun dari
jenis jamur seperti Aspergillus niger.15
Karadi
(2011) dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa ekstrak kulit Musa paradisiaca L. pada
konsentrasi 100 µg/ml (0,01%) menunjukkan
zona hambat yang kuat sebesar 24 ± 0,3 mm
terhadap pertumbuhan jamur C. albicans, lebih
besar dibandingkan dengan obat antifungal
yang biasa digunakan, yaitu flukonazol yang
menunjukkan zona hambat sebesar 23 mm.12
Di sisi lain, menurut penelitian Chabuck
(2013) ekstrak kulit Musa paradisiaca L.
justru sama sekali tidak memiliki daya hambat
terhadap pertumbuhan C. albicans.11
Berdasarkan uraian di atas, maka
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek
antifungal ekstrak kulit pisang barangan (Musa
paradisiaca L.) terhadap C. albicans.
BAHAN DAN METODE
Penelitian bersifat eksperimental
laboratoris dengan desain postest only control
design. Proses ekstraksi dilakukan di
Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unsyiah,
Laboratorium Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Unsyiah untuk uji
fitokimia serta di Laboratorium Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unsyiah
untuk proses pengujian Konsentrasi Hambat
Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh
Minimum (KBM) dari ekstrak kulit pisang
barangan (Musa paradisiaca L.) terhadap
pertumbuhan C. albicans. Sampel yang
digunakan untuk penelitian ini adalah
C. albicans strain ATCC 10231 yang
diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unsyiah
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
38
dan bahan uji yang digunakan adalah kulit
pisang barangan (Musa paradisiaca L.) dari
perkebunan pisang di Kecamatan Seulimum,
Kabupaten Aceh Besar.
Semua alat dan bahan yang digunakan
harus dalam keadaan steril. Media agar yang
digunakan untuk pertumbuhan C. albicans
dibuat dengan cara mencampurkan bubuk
SDA dengan akuades dan didihkan sampai
seluruh campuran homogen. Selanjutnya
ditambahkan ciprofloxacin dan masukkan ke
dalam autoklaf dengan suhu 121°C selama 15
menit.49
Kulit Musa paradisiaca L. yang belum
matang sebanyak 3 kilogram dikeringkan dan
dipotong kecil-kecil. Kemudian kulit tersebut
dieksktraksi dengan metode maserasi dengan
cara direndam menggunakan pelarut etanol
96% dalam labu erlenmeyer dan diaduk
sesekali setiap hari. Setelah itu dilakukan
penyaringan dengan kertas Whatman No. 1
sampai didapatkan filtrat. Filtrat tersebut
selanjutnya diuapkan dengan rotary
evaporator sampai didapatkan ekstrak kental.15
Uji fitokimia adalah uji kalibrasi untuk
melihat adanya kandungan alkaloid, tanin,
flavonoid, saponin, steroid, triterpenoid,
kuinon dan polifenol dalam ekstrak kulit Musa
paradisiaca L.15,32,33
a) Uji alkaloid dilakukan dengan
menambahkan beberapa tetes pereaksi
Dragendorf dan Burchad ke dalam ekstrak
kulit Musa paradisiaca L. Dikatakan
mengandung alkaloid jika terbentuk endapan.38
b) Uji tanin dapat dilakukan dengan
menggunakan 10% gelatin yang ditambahkan
ke dalam ekstrak kulit Musa paradisiaca L.
Senyawa tanin ditandai dengan terbentuknya
endapan putih.38
c) Uji flavonoid dilakukan dengan
menambahkan serbuk magnesium (Mg), HCl
dan amil alkohol ke dalam ekstrak kulit Musa
paradisiaca L. Jika mengandung flavonoid
maka akan terlihat warna ungu kemerahan.50
d) Uji saponin dilakukan dengan
menggunakan HCl yang dituangkan pada
ekstrak kulit Musa paradisiaca L. kemudian
dikocok selama 15 detik. Timbulnya buih yang
menetap menunjukkan adanya kandungan
saponin dalam ekstrak.31,38
e) Uji steroid dan triterpenoid dilakukan
dengan menambahkan asam asetat dan H2SO4
ke dalam ekstrak kulit Musa paradisiaca L.
Jika mengandung steroid maka akan terbentuk
warna biru atau ungu.51
f) Uji kuinon dilakukan dengan
penambahan NaOH ke dalam ekstrak kulit
Musa paradisiaca L. Terbentuknya warna
kuning kemerahan menunjukkan adanya
senyawa kuinon.52
g) Uji polifenol dilakukan dengan
menambahkan FeCl3 ke dalam ekstrak kulit
Musa paradisiaca L. Ekstrak mengandung
polifenol apabila membentuk senyawa
berwarna biru kehitaman.38
Ekstrak kental kulit Musa paradisiaca
L. diencerkan dengan menggunakan akuades
steril hingga diperoleh konsentrasi yang
diperlukan dan dihomogenkan dengan
menggunakan vortex.
Candida albicans diambil dengan
menggunakan jarum ose dan dikultur dengan
menggunakan media Sabouroud Dextrose
Agar (SDA) dan diinkubasi dalam inkubator
pada suhu 37°C selama 24 jam.53
Spesies
C. albicans akan menghasilkan koloni halus
berwarna krem keputihan dan mengeluarkan
bau khas seperti ragi.
Konfirmasi dilakukan dengan pe-
warnaan Gram dengan cara mengambil
C. albicans yang dioleskan ke kaca preparat
dan difiksasi dengan cara dilewatkan di atas
api spiritus. Kemudian sediaan ditetesi zat
kristal violet selama 1 menit selanjutnya
dibilas dengan air. Lalu sediaan diteteskan
larutan lugol selama 1 menit kemudian ditetesi
dengan alkohol 96% selama 5 detik sampai zat
warna hilang, setelah itu dicuci dengan air
mengalir. Selanjutnya sediaan ditetesi dengan
larutan safranin selama 30 detik lalu dibilas
dengan air mengalir kemudian dibiarkan
hingga kering. Setelah itu dilakukan
pengamatan dibawah mikroskop dengan
pembesaran 1000x. Candida albicans akan
terlihat berwarna ungu dan berbentuk budding
(tunas) (Gambar 1).45
Gambar 1. Candida albicans - Budding Cells
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
39
Kemudian dilakukan uji fermentasi
terhadap bahan pembenihan karbohidrat
(glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa) yang
sudah ditambahkan bromkresol blue sebagai
indikator. Terbentuknya asam saat fermentasi
ditandai dengan adanya perubahan warna pada
indikator. Untuk mengetahui terbentuknya gas
digunakan tabung Durham yang diletakkan
terbalik di dalam tabung reaksi. Ruang kosong
pada tabung Durham menunjukkan adanya gas
yang terbentuk. Konfirmasi C. albicans
didapatkan dari hasil uji fermentasi
karbohidrat dan pembentukan gas dalam
tabung Durham. Spesies C. albicans
menunjukkan terbentuknya asam dan gas pada
glukosa dan maltosa sedangkan pada sukrosa
hanya menunjukkan adanya asam dan laktosa
tidak menghasilkan asam maupun gas.55
Candida albicans yang sudah dikultur
pada media SDA diambil dengan jarum ose
selanjutnya diinokulasi ke dalam pepton
water. Tingkat kekeruhannya disesuaikan
dengan larutan Mc. Farland 1 yang setara
dengan jumlah mikroorganisme 3 x 108
CFU/ml. Selanjutnya dilakukan pengenceran
bertingkat sampai didapatkan 30–300 koloni
saat penanaman pada SDA.
Pengenceran bertingkat dilakukan
dengan cara mengambil 1 ml suspensi
C. albicans yang telah setara dengan larutan
Mc. Farland 1 kemudian dicampurkan dengan
9 ml NaCl pada tabung 1, selanjutnya pada
tabung 2 ambil 1 ml larutan pada tabung 1 dan
dicampurkan dengan 9 ml NaCl, ambil 1 ml
larutan pada tabung 2 dan dicampurkan
dengan 9 ml NaCl pada tabung 3, begitu
seterusnya sampai tabung 7. Kemudian setelah
dihomogenkan dengan vortex dari masing-
masing tabung diambil 0,1 ml suspensi lalu
disebarkan dan diratakan pada cawan petri
yang berisi media SDA dengan menggunakan
batang sebar. Selanjutnya diinkubasi selama
24 jam pada suhu 37°C kemudian amati dan
hitung jumlah koloninya. Cawan petri yang
dipilih adalah yang memiliki jumlah koloni
30–300 koloni.47
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM)
pada penelitian ini didapatkan dengan
menggunakan kelompok yang terdiri dari
empat kelompok perlakuan, satu kelompok
kontrol positif (nistatin) dan satu kelompok
kontrol negatif (akuades). Pengulangan dalam
uji ini dilakukan sebanyak tiga kali.
Kelompok perlakuan 1 (P1) terdiri atas
1 ml ekstrak kulit Musa paradisiaca L. dengan
konsentrasi 12,5% kemudian ditambahkan
suspensi C. albicans sebanyak 0,1 ml.
Kelompok perlakuan 2 (P2) terdiri atas 1 ml
ekstrak kulit Musa paradisiaca L. dengan
konsentrasi 25% kemudian ditambahkan
suspensi C. albicans sebanyak 0,1 ml.
Kelompok perlakuan 3 (P3) terdiri atas 1 ml
ekstrak kulit Musa paradisiaca L. dengan
konsentrasi 50% kemudian ditambahkan
suspensi C. albicans sebanyak 0,1 ml.
Kelompok perlakuan 4 (P4) terdiri atas 1 ml
ekstrak kulit Musa paradisiaca L. dengan
konsentrasi 100% kemudian ditambahkan
suspensi C. albicans sebanyak 0,1 ml.15
Kelompok kontrol negatif (K-) terdiri atas
1 ml akuades dan ditambahkan dengan
suspensi C. albicans sebanyak 0,1 ml.
Kelompok kontrol positif (K+) terdiri atas 1
ml nistatin dan ditambahkan dengan suspensi
C. albicans sebanyak 0,1 ml.
Kemudian masing-masing tabung
diambil 0,1 ml suspensi dengan menggunakan
pipet Eppendorf dan ditanam dengan metode
spread plate pada media SDA, kemudian
ratakan dengan batang sebar untuk selanjutnya
diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37°C.
Setelah 24 jam, koloni akan terbentuk dan
pertumbuhannya dihitung dengan colony
counter. Konsentrasi Hambat Minimum
(KHM) dari ekstrak kulit Musa paradisiaca L.
adalah yang menunjukkan jumlah koloni
C. albicans paling sedikit pada SDA dan
Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) adalah
pada SDA yang sama sekali tidak terdapat
pertumbuhan C. albicans.
Penelitian ini menggunakan metode
analisis data dengan one way ANOVA
dilanjutkan dengan uji beda rata-rata LSD
(Least Significant Different) untuk melihat
konsentrasi hambat minimum (KHM) dan
konsentrasi bunuh minimum (KBM) dengan
bantuan perangkat lunak SPSS (Statistical
Package for The Social Sciences).
HASIL PENELITIAN
Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kulit pisang barangan
yang diekstraksi dengan metode maserasi
menggunakan pelarut etanol 96%. Hasil
ekstraksi diperoleh ekstrak kental sebanyak
14,81 gram.
Uji fitokimia menunjukkan hasil bahwa
ekstrak kulit Musa paradisiaca L.
mengandung senyawa alkaloid, saponin,
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
40
polifenol, flavonoid, kuinon, steroid,
triterpenoid dan tidak mengandung tanin
(Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kulit Pisang
Barangan (Musa paradisiaca L.)
Uji Fitokimia Keterangan
Alkaloid +
Saponin +
Tanin -
Polifenol +
Flavonoid +
Kuinon +
Steroid +
Triterpenoid +
Hasil kultur C. albicans pada media
SDA yang telah diinkubasi dalam inkubator
selama 24 jam menunjukkan koloni berwarna
krem keputihan (Gambar 2).
Gambar 2. Hasil Kultur Candida albicans pada
Media SDA
Hasil pewarnaan Gram menunjukkan
koloni berbentuk budding (tunas) berwarna
Gambar 3. Hasil Uji Pewarnaan Gram Candida
albicans
ungu yang diamati menggunakan mikroskop
cahaya dengan pembesaran 1000x (Gambar 3).
Hasil uji fermentasi karbohidrat dengan
media gula-gula yang ditambahkan brom-
kresol blue sebagai indikator menunjukkan
adanya perubahan warna dari biru menjadi
kuning pada glukosa, maltosa dan sukrosa,
sedangkan pada laktosa tidak terjadi
perubahan warna. Gelembung udara terbentuk
pada glukosa dan maltosa, sedangkan pada
sukrosa dan laktosa tidak menunjukkan adanya
gelembung udara (Gambar 4).
Gambar 4. Hasil Uji Fermentasi Candida albicans
(a) Laktosa, (b) Glukosa, (c) Maltosa,
(d) Sukrosa
Gambar 5. Hasil Penyetaraan Kekeruhan Suspensi
(a) Larutan Mc Farland 1, (b) Suspensi
Candida albicans
Suspensi C. albicans dibuat dengan cara
mengambil 1 ose koloni C. albicans
dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi
Koloni
C. albicans
Budding
(Tunas) Sel
a b c d
a b
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
41
pepton water, diinkubasi selama 24 jam
kemudian dihomogenkan dengan cara di-
vortex. Tingkat kekeruhan suspensi tersebut
disetarakan dengan Mc. Farland 1 yang setara
dengan 3 x 108 CFU/ml (Gambar 5).
Hasil pengenceran bertingkat yang
dilakukan sebanyak 6 kali menghasilkan
jumlah koloni seperti yang terlihat pada
Tabel 2. Berdasarkan hasil tersebut maka
pengenceran 10-3
yang layak digunakan untuk
uji karena memiliki jumlah koloni 30–300
koloni/cawan.
Tabel 2. Jumlah Koloni Candida albicans Setelah
Pengenceran Bertingkat
Tingkat
Pengenceran
Pertumbuhan Koloni
(koloni/cawan)
10-1
2255
10-2
532
10-3
112
10-4
16
10-5
1
10-6
1
Pengujian aktivitas antifungal ekstrak
kulit pisang barangan (Musa paradisiaca L.)
terhadap pertumbuhan C. albicans dilakukan
pada media SDA dan setiap perlakuan diulang
sebanyak 3 kali. Pada konsentrasi 12,5%, rata-
rata jumlah koloni yang tumbuh sebanyak
39 x 104 CFU/ml, lebih sedikit daripada yang
tumbuh pada kelompok kontrol negatif
(akuades) yaitu sebanyak 225 x 104 CFU/ml.
Jumlah koloni ini terus menurun seiring
dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak.
Pada konsentrasi tertinggi, yaitu 100%, tidak
ada koloni C. albicans yang tumbuh sama
seperti yang dihasilkan oleh kelompok kontrol
positif (nistatin). Jumlah rata-rata koloni yang
dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 3.
Uji statistik penelitian ini menggunakan
one way ANOVA dengan syarat terdiri atas
lebih dari dua kelompok, sebaran data normal,
dan varians data harus sama. Kelompok
penelitian ini terdiri dari 4 kelompok
perlakuan, 1 kelompok kontrol negatif
(akuades) dan 1 kelompok kontrol positif
(nistatin). Uji normalitas menggunakan
Shapiro-Wilk menghasilkan sebaran data pada
konsentrasi 12,5%, 25% dan akuades adalah
normal dengan nilai p>0,05, sedangkan pada
konsentrasi 50%, 100% dan nistatin sebaran
datanya diabaikan hasilnya karena jumlah data
dari setiap perlakuannya konstan. Uji
homogenitas menunjukkan data tidak
homogen (p<0,05) oleh sebab itu dilakukan
transformasi data. Hasil uji menunjukkan
bahwa data tidak dapat ditransformasi, maka
dilakukan uji alternatif menggunakan uji
Kruskal-Wallis dengan post hoc uji Mann-
Whitney.
Uji Kruskal-Wallis menunjukkan nilai
p=0,005, artinya bahwa hipotesis diterima
Tabel 3. Jumlah Rata-Rata Koloni Candida albicans Setelah Dilakukan Uji Menggunakan Ekstrak Kulit Pisang
Barangan (Musa paradisiaca L.)
Konsentrasi
Bahan Uji
Jumlah Koloni (CFU/ml) Jumlah Rata-Rata
Koloni (CFU/ml) P1 P2 P3
12,5% 40 x 104 35 x 10
4 42 x 10
4 39 x 10
4
25% 21 x 104 32 x 10
4 24 x 10
4 26 x 10
4
50% 1 x 104 1 x 10
4 1 x 10
4 1 x 10
4
100% 0 0 0 0
Akuades 234 x 104 212 x 10
4 230 x 10
4 225 x 10
4
Nistatin 0 0 0 0
Tabel 4. Hasil Uji Mann-Whitney Ekstrak Kulit Musa paradisiaca L. Terhadap Pertumbuhan Candida albicans
Kelompok Perlakuan 12,5% 25% 50% 100% Akuades Nistatin
12,5% - 0,050* 0,037* 0,037* 0,050* 0,037*
25% 0,050* - 0,037* 0,037* 0,050* 0,037*
50% 0,037* 0,037* - 0,025* 0,037* 0,025*
100% 0.037* 0,037* 0,025* - 0,037* 1,000
Akuades 0,050* 0,050* 0,037* 0,037* - 0,037*
Nistatin 0,037* 0,037* 0,025* 1,000 0,037* -
Keterangan : * = p≤0,05 ; terdapat perbedaan bermakna
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
42
dengan nilai Konsentrasi Hambat Minimum
(KHM) pada 12,5% dan Konsentrasi Bunuh
Minimum (KBM) pada 100%. Pada
konsentrasi 12,5% pertumbuhan C. albicans
menunjukkan perbedaan yang bermakna
dibandingkan dengan akuades dengan nilai
p=0,05 sedangkan untuk konsentrasi 100%
dibandingkan dengan nistatin memiliki nilai
p=1,00 yang berarti tidak ada perbedaan yang
bermakna.
PEMBAHASAN
Kulit Musa paradisiaca L. kering
diekstrak dengan metode maserasi
menggunakan etanol 96%. Tujuan dari
ekstraksi ini adalah untuk menarik seluruh
bahan aktif yang terdapat dalam simplisia.
Metode maserasi dipilih dalam penelitian ini
karena metode ini adalah metode yang paling
sederhana, murah, dan mudah. Prinsip
ekstraksi dengan metode ini adalah dilakukan
di wadah tertutup dengan cara merendam dan
mengaduk simplisia dalam pelarut.56
Pelarut akan masuk melewati dinding
sel dan menyebabkan isi sel akan larut, hal ini
dapat terjadi karena perbedaan konsentrasi
antara larutan di dalam dan di luar sel.40
Pemilihan pelarut juga mempengaruhi jumlah
senyawa aktif yang tersari. Pelarut yang
digunakan dalam penelitian ini adalah etanol
96%. Pemilihan etanol sebagai pelarut karena
etanol merupakan pelarut yang bersifat polar,
tidak toksik, absorbsinya baik, dan lebih
selektif sehingga mikroorganisme sulit untuk
tumbuh dalam etanol 20% ke atas.56
Uji fitokimia ekstrak kulit Musa
paradisiaca L. menunjukkan adanya kan-
dungan alkaloid, saponin, polifenol, flavonoid,
kuinon, steroid, triterpenoid dan tidak
mengandung tanin. Hal ini tidak sesuai dengan
penelitian Ighodaro (2012) yang menyatakan
bahwa terdapat tanin dalam ekstrak Musa
paradisiaca L.15
Tidak adanya tanin dalam
ekstrak diduga karena kandungan senyawa
tanin pada ekstrak terlalu sedikit, hal ini
disebabkan perbedaan lingkungan pertum-
buhan tanaman sehingga saat pengujian
menunjukkan hasil negatif.38
Kultur C. albicans dilakukan di media
SDA yang merupakan media selektif untuk
pertumbuhan jamur karena konsentrasi
dekstrosa yang tinggi dan pH nya yang bersifat
asam. Kandungan lain dalam SDA seperti
cernaan enzimatik kasein dan cernaan
enzimatik hewan berfungsi sebagai penyedia
nitrogen, vitamin, mineral dan asam amino
yang diperlukan untuk pertumbuhan.
Penambahan antibiotik seperti ciprofloxacin
dilakukan agar media lebih selektif sehingga
sangat baik digunakan untuk isolasi jamur.57
Konfirmasi dengan pewarnaan Gram
dan uji fermentasi dilakukan untuk
memastikan bahwa hasil kultur C. albicans
tidak mengalami kontaminasi. Pewarnaan
Gram pada C. albicans dilakukan karena
C. albicans memiliki struktur dinding sel yang
mirip dengan bakteri Gram-Positif yang
memiliki peptidoglikan dan kitin yang mampu
menahan zat warna kristal violet. Kayser
(2005) mengatakan bahwa spesies C. albicans
menunjukkan gambaran berwarna ungu dan
berbentuk tunas (budding) saat diamati
dibawah mikroskop.58
Uji fermentasi terhadap C. albicans
menggunakan glukosa, maltosa, sukrosa dan
laktosa menunjukkan hasil yang sama seperti
pada penelitian Bhavan (2010) yaitu positif
pada glukosa, maltosa dan sukrosa, sedangkan
pada laktosa menunjukkan hasil yang
negatif.55
Uji fermentasi ini dilakukan untuk
memastikan spesies C. albicans yang di-
ketahui dari kemampuan spesies tersebut
dalam memfermentasi karbohidrat tertentu
sehingga menurunkan pH indikator. Hal ini
terlihat dari berubahnya warna bromkresol
blue sebagai indikator dan terbentuknya gas
pada tabung Durham.59
Uji aktivitas antifungal ekstrak kulit
Musa paradisiaca L. dilakukan dengan metode
dilusi standard plate count (SPC) dengan cara
melakukan pengenceran bertingkat C. albicans
dan nantinya suspensi yang digunakan adalah
yang memiliki jumlah 30–300 koloni. Tujuan
penggunaan metode ini adalah untuk
memudahkan penghitungan nilai konsentrasi
hambat dan bunuh minimum ekstrak terhadap
C. albicans. Nilai tersebut diperoleh dengan
menghitung jumlah koloni yang tumbuh
setelah diberikan ekstrak dengan colony
counter.47
Hasil uji ekstrak kulit Musa paradi-
siaca L. menunjukkan bahwa ekstrak tersebut
mampu menghambat dan membunuh
C. albicans. Kemampuan ini disebabkan oleh
kandungan zat-zat aktif dalam ekstrak yang
berperan sebagai antifungal. Zat-zat tersebut
antara lain adalah alkaloid, steroid, tri-
terpenoid, saponin, kuinon, polifenol dan
flavonoid.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
43
Pelczar dan Chan (2006) menyebutkan
bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu zat
antimikroba maka semakin besar pula
kemampuannya untuk menghambat per-
tumbuhan mikroba.60
Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang menunjukkan jumlah
koloni C. albicans terus menurun seiring
dengan meningkatnya nilai konsentrasi
ekstrak. Konsentrasi Hambat Minimum
(KHM) dalam penelitian ini adalah konsentrasi
terendah dengan jumlah koloni C. albicans
yang paling sedikit jika dibandingkan dengan
kelompok kontrol negatif (akuades) yaitu
12,5%, sedangkan Konsentrasi Bunuh
Minimum (KBM) dalam penelitian ini adalah
100% karena pada konsentrasi tersebut tidak
terdapat pertumbuhan koloni C. albicans.
Hasil ini adalah akibat interaksi maksimal
antar zat antifungal yang dimiliki ekstrak
tersebut karena menggunakan ekstrak kulit
Musa paradisiaca L. murni tanpa
pengenceran.
Alkaloid bekerja sebagai antifungal
dengan cara menghambat biosintesis asam
nukleat pada jamur.34
Senyawa alkaloid ini
juga bersifat basa karena memiliki pH>7 yang
diduga dapat menekan pertumbuhan
C. albicans karena biasanya C. albicans
tumbuh pada keadaan pH asam.61
Steroid dan
triterpenoid mengganggu membran sel dan
menghambat sintesis protein jamur sehingga
pertumbuhannya terhambat.37
Saponin
memiliki tingkat toksisitas yang tinggi
terhadap jamur. Saponin akan mengganggu
permeabilitas membran sterol dinding sel
C. albicans sehingga pemasukan zat-zat yang
diperlukan untuk perkembangan terganggu,
akhirnya sel membengkak dan pecah.36
Polifenol mampu mendenaturasi protein
dinding sel jamur sehingga menjadi rapuh dan
mudah ditembus oleh zat aktif lainnya yang
juga bersifat antifungal.37
Proses denaturasi
protein dapat mengakibatkan kerusakan sel
secara permanen sehingga tidak dapat
diperbaiki lagi.60
Kuinon bekerja dengan cara
mengikat adhesin pada jamur.38
Flavonoid, meskipun lebih banyak
dikenal sebagai antioksidan, juga mampu
bekerja sebagai antifungal. Cara kerjanya
adalah dengan mengikat fosfolipid dan
mengganggu permeabilitas membran sel
jamur.35
Permeabilitas akan meningkat karena
terganggunya fungsi membran sel akibat
perubahan komposisi protein, akibatnya terjadi
kerusakan sel dan lama kelamaan
menyebabkan kematian jamur C. albicans.62
Kelompok kontrol pada penelitian ini
menggunakan nistatin sebagai kontrol positif
dan akuades sebagai kontrol negatif. Akuades
digunakan sebagai kontrol negatif karena tidak
mengandung zat antifungal sehingga tidak
memiliki daya hambat terhadap C. albicans.
Nistatin digunakan sebagai kontrol positif
karena merupakan obat antifungal sintetis
yang bersifat fungisidal dan sering digunakan
dalam pengobatan kandidiasis oral.63
KESIMPULAN
Ekstrak kulit pisang barangan (Musa
paradisiaca L.) dapat menghambat per-
tumbuhan Candida albicans dengan KBM
sebesar 100% dengan rata-rata jumlah koloni
0 CFU/ml, KHM sebesar 12,5% dengan rata-
rata jumlah koloni 39 x 104 CFU/ml.
DAFTAR PUSTAKA
1. Greenberg MS. Burket’s Oral Medicine
Diagnosis and Treatment. 10th ed.
Ontario: BC Decker Inc. 2003: 94.
2. Gravina HG, Moran EGD, Zambrano O.
Oral Candidiasis in Children and
Adolescents with Cancer Identification of
Candida spp. Med Oral Patol Oral Cir
Bucal 2007; 12(6).
3. Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral
Pathology Clinical Pathologic
Correlations. 4th ed. USA: Elsevier
Science. 2003: 100-102.
4. Neville WB, Doughlas DD, Carl MA,
Jerry EB. Oral and Maxilofacial
Pathology. 2nd
ed. Philadelphia: W.B
Saunders Company. 2002: 189-194.
5. Akpan A, Morgan R. Oral Candidiasis.
Postgrad Med J 2002; 78:455-459.
6. Murwaningsih A. Resistensi Candida
albicans dan Candida non-albicans
Terhadap Flukonazol Studi Pada Isolat
Rongga Mulut Penderita Infeksi Human
Immunodeficiency Virus di RSUP Dr.
Sardjito. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada. 2012.
7. Sofro MUA, Anggita I, Isbandrio B.
Karakteristik Pasien HIV/AIDS dengan
Kandidiasis Orofaringeal di RSUP Dr.
Kariadi Semarang. Med Hosp 2013;
164-168.
8. Kurniawan A, Wahyuningsih R, Susanto
L. Infeksi Parasit dan Jamur Pada Pasien
terinfeksi HIV. Majalah Kedokteran FK
UKI 2008; 35.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
44
9. Kusumaningtyas, Lusi S, Astie A.
Penentuan Golongan Bercak Senyawa
Aktif Ekstrak n-heksan Alpina galanga
terhadap Candida albicans dengan
Bioautografi dan Kromatografi Lapis
Tipis. Jakarta: Universitas Pancasila.
2008: 1-2.
10. Mulyanti N, Suprapto, Hendra J.
Teknologi Budidaya Pisang. Bandar
Lampung: Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 2008: 1.
11. Chabuck ZAG, Al-Charrakh AH, Hindi
NKK, Hindi SKK. Antimicrobial Effect
of Aqueous Banana Peel Extract. Iraq
Pharmaceutical Sciences 2013; 1:73-75.
12. Karadi RV, Shah A, Parekh P, Azmi P.
Antimicrobial Activities of Musa
paradisiaca and Cocos nucifera.
International Journal Research
Pharmaceutical and Biomedical Sciences
2011; 2(1):264-266.
13. Kumar KPS, Bhowmik D, Duraivel S,
Umadevi M. Traditional and Medicinal
Uses of Banana. Journal Pharmacognosy
and Phytochemistry 2012; 1(3):51-53.
14. Someya S, Yoshiki Y, Okubo K.
Antioxidant Compounds From Bananas
(Musa cavendish). Food Chemistry 2002;
79(3):351-354.
15. Ighodaro O. Evaluation Study on
Nigerian Species of Musa paradisiaca
Peels: Phytochemical Screening,
Proximate Analysis, Mineral
Composition and Antimicrobial
Activities. Nigeria: Lead City University.
2012: 17-20.
16. Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell
M. Introductory Mycology. 6th ed. New
York: John Wiley & Son. 1996.
17. Tjampakasari CR. Karakteristik Candida
albicans. Jakarta: Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.
18. Simatupang MM. Candida albicans.
Medan: Departemen Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran. 2009: 4.
19. Anonymous. Availabe at: http://netsains.
net/2011/02/mekanisme-resistensi-
terhadap-agen-antifungal/. Accessed on
August 22nd
, 2014.
20. Cotter G, Kavanagh K. Adherence
Mechanisms of Candida albicans. Br J
Biomed Science 2000; 57(3):24-29.
21. Atni MHBM. Daya Hambat Infusum
Daun Sirih Terhadap Pertumbuhan
Candida albicans Diisolasi Dari Denture
Stomatitis Penelitian In Vitro. Sumatera
Utara: Fakultas Kedokteran Gigi. 2010:
10.
22. Gani BA. Keragaman Virulensi Faktor
Candida albicans Sebagai Penentu
Infeksi. Cakradonya Dent J 2011;
3(1):252-331.
23. Gandolfo S, CBE CS, Carrozzo M. Oral
Medicine. Toronto: Elsevier. 2006: 50-70.
24. Tarcin BG. Oral Candidosis: Aetiology,
Clinical Manifestations, Diagnosis and
Management. Journal of Marmara
University Institute of Health Science
2011; 1(2):140-148.
25. Tyasrini E, Winata T, Susantina.
Hubungan antara Sifat dan Metabolit
Candida spp. dengan Patogenesis
Kandidiasis. Jurnal Kedokteran
Maranatha 2006; 6:52-67.
26. McCullough MJ, Savage NW. Oral
Candidosis and The Therapeutic Use Of
Antifungal Agents in Dentistry. Aust Dent
Journal 2005; 50(2):36-39.
27. Muzyka BC. Oral Fungal Infections. Dent
Clin N Am 2005; 49:49-65.
28. Prasanna KR. Oral Candidiasis - a review.
Scholarly Journal of Medicine 2012;
2(2):26-30.
29. Natalina F. Analisis Komparasi Usaha
Tani Pisang Barangan Antara Sistem
Konvensional Dengan Sistem Double
Raw. Studi Kasus: Kecamatan STM Hilir
dan Kecamatan Biru-Biru, Kabupaten
Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
2009: 9.
30. Rukmana R. Usaha Tani Pisang.
Yogyakarta: Kanisius. 2006.
31. Anhwange BA, Ugye TJ, Nyiaatagher
TD. Chemical Composition of Musa
sapientum (Banana) Peels. Electronic
Journal of Environmental, Agricultural
and Food Chemistry 2009; 8(6):438-442.
32. Okorondu SI, Akujobi CO, Nwachukwu
IN. Antifungal properties of Musa
paradisiaca (Plantain) peel and stalk
extracts. International Journal of
Biological and Chemical Sciences 2012;
6(4):1529-1530.
33. Fitrianingsih SP, Purwanti L. Uji Efek
Hipogilkemik Ekstrak Air Kulit Buah
Pisang Ambon Putih [Musa (AAA
Group)] Terhadap Mencit Model
Hiperglikemik Galus Swiss Webster.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
45
Paper presented at: Seminar Nasional
Penelitian dan PKM Sains, Teknologi,
dan Kesehatan. Bandung. 2012
34. Zafar IM, Saleha A, Hoque MME, Sohel
RM. Antimicrobial and Cytotoxic
Properties of Different Extracts of Musa
sapientum L. Subsp. sylvesteris.
International Research Journal of
Pharmacy 2011; 2(8):62-65.
35. Watson RR, Preedy VR. Botanical
Medicine in Clinical Practice.
Cambridge: Cromwell Press. 2007.
36. Luning HU, Waiyaki BG, Schlosser E.
Role of Saponins in Antifungal
Resistance. Journal of Phytopathology
2008; 92:338-345.
37. Septiadi T, Pringgenies D, Radjasa OK.
Uji Fitokimia dan Aktivitas Antijamur
Ekstrak Teripang Keling (Holoturia atra)
Dari Pantai Bandengan Jepara Terhadap
Jamur Candida albicans. Journal of
Marine Research 2013; 2:76-84.
38. Tiwari P, Kumar B, Kaur M, Kaur H.
Phytochemical Screening and Extraction.
Int Pharm Sci 2011; 1(1):98-106.
39. Emilan T, Kurnia A, Utami B, Diyani
LN, Maulana A. Konsep Herbal
Indonesia: Pemastian Mutu Produk
Herbal. Depok: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Depatemen
Farmasi. 2011: 10.
40. Anonymous. Metode Ekstraksi. Available
at: http://farmasi.unand.ac.id/RPKPS/
Metoda_ekstraksi.pdf. Accessed on June
12th, 2014.
41. Purba N. Skrining Fitokimia, Uji
Aktivitas Antimikroba dan Antifungi
Ekstrak Metanol Dari Daun Tuba Saba
(Polygonum caespitosum Blume)
Terhadap Mikroba Penyebab Penyakit
Kulit. Medan: Program Ekstensi Sarjana
Farmasi Fakultas Farmasi. Skripsi 2008.
42. Chismirina S, Andayani R, Susanti SM.
Efek Antifungal Ekstrak Etanol 60%
Kayu Siwak (Salvadora persica)
Terhadap Pertumbuhan Candida albicans.
Cakradonya Dent J 2011; 3(1):252-331.
43. Dzen SM, Roekistiningsih, Santoso S,
et al. Bakteriologi Medik. Malang:
Bayumedia Publishing. 2003: 24-25, 132.
44. Goldman E, Green LH. Practical
Handbook of Microbiology. New York:
CRC Press. 2009: 16-18.
45. Benson. Microbiological Applications
Laboratory Manual in General
Microbiology. 8th ed. New York: The Mc
Graw-Hill Companies. 2001: 93, 96.
46. Harley JP, Presscott LM. Laboratory
Exercises in Microbiology. 5th ed. New
York: The Mc Graw-Hill Companies.
2002: 79, 369, 374.
47. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi Dasar.
Purwokerto: Universitas Jenderal
Soedirman. 2008.
48. Buku Ajar Mikrobiologi. Banda Aceh:
Tim Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Hewan. 2012: 58.
49. Chandra R, Winata T, Evacuasiany E.
The Antifungal Activity of Celery Herb
Extracts (Apium graveolens L.) Against
Candida albicans Invitro. Jurnal Medika
Planta 2011; 1(3):1.
50. Mulyani S. Analisis Flavonoid. Majalah
Obat Tradisional 2013; 110.
51. Ismaini L. Aktifitas Antifungi Ekstrak
Centella asiatica L. Urban terhadap Fungi
Patogen pada Daun Anggrek
(Bulbophyllum flavidiflorum Carr).
Jurnal Penelitian Sains 2011; 14(1).
52. Anonymous. Penapisan dan Analisis
Kualitatif Senyawa Metabolit Sekunder.
Available at: https://www.academia.edu/
7213211/penapisan_dan_analisis_kualitat
if_senyawa_metabolit_sekunder_f.
Accessed on October 11th, 2014.
53. Rahmawati A, Al-anwary N,
Sasongkowati R. Pengaruh Pemberian
Infusa Jintan Hitam (Nigella sativa)
Terhadap Pertumbuhan Candida albicans.
Analis Kesehatan Sains 2012; 1(1):17.
54. Anonymous. Available at: http://live-
well.net.au/do-you-feel-tired-bloated-is-
your-immune-low-youve-checked-
everything-else-could-it-be-candida/.
Accessed on August 22nd
, 2014.
55. Bhavan PS, Rajkumar R, Radhakrishnan
S, Seenivasan C, Kannan S. Culture and
Identification of Candida albicans from
Vaginal Ulcer and Separation of Enolase
on SDS-PAGE. International Journal of
Biology 2010; 2(1):84-93.
56. Voigt R. Buku Pelajaran Teknologi
Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 1994.
57. Conda. Sabouraud Dextrose Agar
(European Pharmacopoeia). Pronadisa
Micro and Molecular Biology p. 1-2.
58. Kayser FH, Bienz KA, Eckert J,
Zinkernagel RM. Medical Microbiology.
New York: Thieme. 2005: 362-364.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
46
59. Wahyuningsih R, Eljannah SM, Mulyati.
Identifikasi Candida spp. dengan Medium
Kromogenik. J Indon Med Assoc 2012;
62:83-89.
60. Pelczar MJ, Chan ECS. Dasar Dasar
Mikrobiologi. Jakarta: UI Press. 2006:
456-458.
61. Rahayu T. Uji Antijamur Kombucha
Coffee Terhadap Candida albicans dan
Tricophyton mentagrophytes. Jurnal
Penelitian Sains dan Teknologi 2009;
10:10-17.
62. Wahyuningtyas E. Pengaruh Ekstrak
Graptophyllum pictum Terhadap
Pertumbuhan Candida albicans Pada Plat
Gigi Tiruan Akrilik. Indonesian Journal
of Denstistry 2008; 15(3):187-191.
63. Kee J, Hayes E. Farmakologi. In:
Pendekatan Proses Keperawatan (Asih
Y, eds). Jakarta: EGC. 1996: 358.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
47
HUBUNGAN ANTARA DURASI HEMODIALISIS DENGAN PERIODONTITIS
PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK
Sri Rezeki*, Sunnati
*, Dara Mauliza
**
*Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
**Dokter Gigi di Banda Aceh
ABSTRAK
Gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan dunia, dengan jumlah penderita yang bertambah
setiap tahun. Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal secara perlahan yang berkaitan
dengan penurunan laju filtrasi glomerulus. Pasien gagal ginjal kronik biasanya diberikan terapi
hemodialisis untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta mengeluarkan produk
sisa metabolisme. Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis sering terjadi
periodontitis akibat kondisi kebersihan mulut yang buruk, dan menjadi semakin parah seiring
bertambahnya durasi hemodialisis yang dijalani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara durasi hemodialisis dengan periodontitis. Penelitian analitik cross sectional ini dilakukan di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Subjek penelitian sebanyak 99 orang
dengan usia 20–59 tahun. Dilakukan pemeriksaan kedalaman poket periodontal dan pemeriksaan
OHI-S terhadap subjek penelitian. Berdasarkan hasil uji chi-square terdapat hubungan yang bermakna
antara durasi hemodialisis dengan periodontitis (p<0,05). Pada penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara durasi hemodialisis dengan periodontitis.
Kata kunci: Durasi hemodialisis, periodontitis, gagal ginjal kronik
ABSTRACT
Chronic renal failure is a world’s health problem, with a number of patients growing rapidly each
year. Chronic renal failure is a progressive decline in the renal function associated with a reduced
glomerular filtration rate. Patients with chronic renal failure are usually treated by hemodialysis to
maintain fluid and electrolyte balance and eliminate metabolic waste products. In chronic renal failure
patients who are undergoing hemodialysis teraphy, they often experiencing periodontitis as a result of
poor oral hygiene, and periodontitis can be more serious along with the increasing of undergoing
hemodialysis duration. This study was aimed to analyze the relationship between hemodialysis
duration and periodontitis. This cross sectional study was done in Regional General Hospital dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh. The subjects of this study was 99, aged between 20–59 years old.
Subject was clinically examined in periodontal pocket depth and oral hygiene. Based on chi-square
test, it found that there was significant relationship between hemodialysis duration and periodontitis
(p<0,05). It can be concluded that in this study, there was significant relationship between
hemodialysis duration and periodontitis.
Key words: Hemodialysis duration, periodontitis, chronic renal failure
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
48
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronik merupakan
penurunan fungsi ginjal secara progresif dan
ireversibel yang berkaitan dengan penurunan
laju filtrasi glomerulus. Hipertensi kronik,
diabetes melitus dan glomerulonefritis
merupakan penyebab paling sering dari gagal
ginjal kronik.1 Hemodialisis menjadi salah satu
terapi yang sangat dibutuhkan oleh penderita
gagal ginjal kronik untuk mengeluarkan sisa-
sisa metabolisme dalam darah.2
Gagal ginjal kronik telah menjadi
masalah kesehatan di seluruh dunia.1
Penderita
gagal ginjal kronik setiap tahun di Amerika
terus meningkat, hingga pada tahun 2010,
terdapat sekitar 383.992 pasien yang menjalani
terapi hemodialisis.3 Menurut Yayasan Ginjal
Diatrans Indonesia (YGDI) tahun 2012, angka
penderita gagal ginjal di Indonesia mencapai
70 ribu lebih, dengan prevalensi 200–250 per
1 juta penduduk.4 Berdasarkan data Rumah
Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh, hingga Juli 2012, terdapat 200 pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani perawatan
hemodialisis di rumah sakit tersebut.
Gagal ginjal kronik serta hemodialisis
dapat mempengaruhi kondisi rongga mulut.
Diperkirakan 90% pasien gagal ginjal kronik
mengalami perubahan pada jaringan lunak
mulut serta tulang rahang.5 Manifestasi oral
yang dapat timbul salah satunya adalah
periodontitis.
Periodontitis dapat disebabkan
oleh produksi vitamin D yang tidak adekuat
pada ginjal sehingga terjadi resorbsi tulang,
keadaan serostomia, dan buruknya kebersihan
mulut yang biasanya ditemukan pada penderita
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis akibat kurangnya menjaga
kebersihan gigi dan mulut.6 Pasien
hemodialisis cenderung lebih fokus terhadap
penyakitnya dan terapi hemodialisis yang
sangat menyita waktu menjadi alasan
kurangnya menjaga kesehatan mulut.7
Marakoglu dkk (2003) melakukan
penelitian untuk melihat kondisi gigi dan
jaringan periodontal pasien hemodialisis dan
ditemukan perbedaan kedalaman poket
periodontal yang tidak signifikan antara pasien
yang telah menjalani terapi hemodialisis
kurang dari 1 tahun, 1–3 tahun, dan lebih dari
3 tahun.8 Hasil penelitian tersebut berbeda
dengan penelitian Bayraktar dkk (2007) yang
menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman
poket periodontal signifikan pada pasien yang
telah menjalani terapi hemodialisis kurang dari
tiga tahun dibandingkan dengan pasien yang
telah menjalani terapi lebih dari tiga tahun.9
Poket periodontal merupakan suatu tipe
poket yang terjadi karena kondisi patologis
atau adanya destruksi jaringan pendukung.10
Poket periodontal merupakan tanda klinis dari
periodontitis. Metode yang dapat dilakukan
untuk mengetahui keberadaan poket peri-
odontal serta seberapa besar kedalamannya
adalah dengan melakukan probing.11
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian analitik
cross sectional, yang dilaksanakan di Instalasi
Dialisis Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh. Subjek dalam
penelitian ini adalah pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisis di Instalasi
Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh. Kriteria inklusi
adalah bersedia menjadi subjek penelitian, usia
20 sampai dengan 59 tahun, memiliki salah
satu gigi insisivus sentralis di setiap rahang,
salah satu gigi insisivus lateralis di regio dua
dan empat, salah satu gigi premolar di regio
dua dan empat, dan gigi molar satu atau molar
dua di setiap regio. Kriteria eksklusi adalah
sedang menjalani perawatan periodontal,
sedang mengkonsumsi antibiotik, pasien
dengan kondisi yang sangat lemah, sehingga
tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan,
pasien yang memakai alat ortodonti cekat, dan
pasien yang memiliki tambalan overhanging.
CARA KERJA
Pemeriksaan poket periodontal dilaku-
kan pada bagian mesial gigi. Gigi yang akan
diperiksa yaitu gigi 16, 21, 24, 36, 41, dan 44.6
Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan
prob periodontal ke dalam sulkus gingiva gigi
yang akan diperiksa.11
Kemudian diukur
kedalaman poket periodontal, yaitu jarak dari
margin gingiva sampai ke dasar sulkus gingiva
atau poket periodontal.12
Hasilnya dicatat pada
formulir pemeriksaan.
Pemeriksaan oral hygiene diperiksa
dengan menggunakan Oral Hygiene Index-
Simplified dari Green dan Vermilion (1964).13
Pengukuran dilakukan dengan cara men-
jumlahkan Indeks Debris dan Indeks Kalkulus.
Pengukuran dilakukan pada gigi 16, 11, 26,
36, 31, dan 46.6
HASIL PENELITIAN
Subjek yang memenuhi kriteria inklusi
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
49
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian
Variabel Jumlah (N) Persentase (%)
Durasi Hemodialisis (tahun)
< 1 33 33,3
1–3 33 33,3
> 3 33 33,3
Usia (tahun)
20 – 29 7 7,1
30 – 39 13 13,1
40 – 49 28 28,3
50 – 59 51 51,5
Jenis Kelamin
Laki-laki 65 65,7
Perempuan 34 34,3
Merokok
Merokok 0 0
Tidak merokok 99 100
Diabetes Melitus
Diabetes Melitus 22 22,2
Tidak Diabetes Melitus 77 77,8
OHI-S
Baik 0 0
Sedang 33 33,3
Buruk 66 66,7
Periodontitis
Tidak periodontitis 18 18,2
Periodontitis moderat 39 39,4
Periodontitis parah 42 42,4
dalam penelitian ini berjumlah 99 orang.
Status subjek penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 di atas diketahui
bahwa jumlah subjek untuk ketiga kelompok
durasi hemodialisis adalah sama, yaitu
sebanyak 33 subjek (33,3%) pada setiap
kelompok. Kelompok usia subjek terbanyak
adalah usia 50–59 tahun, yaitu sebanyak 51
subjek (51,5%). Subjek penelitian yang
berjenis kelamin laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan, yaitu 65
subjek (65,7%).
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa
seluruh subjek penelitian, yaitu 99 subjek
(100%) tidak merokok. Jumlah subjek yang
tidak menderita diabetes melitus lebih banyak
dibandingkan dengan yang menderita diabetes
melitus, yaitu 77 subjek (77,8%). Tidak ada
subjek yang memiliki OHI-S yang baik, dan
lebih banyak subjek yang memiliki OHI-S
buruk dibandingkan dengan yang memiliki
OHI-S sedang, yaitu 66 subjek (66,7%).
Berdasarkan tabel di atas juga dapat dilihat
bahwa jumlah subjek yang mengalami
periodontitis parah lebih banyak dibandingkan
dengan yang mengalami periodontitis moderat,
yaitu 42 subjek (42,4%).
Tabulasi Silang Durasi Hemodialisis
dengan Periodontitis
Gambar 1. Diagram Batang Tabulasi Silang
Durasi Hemodialisis dengan Peri-
odontitis.
Keterangan:
• Tidak ada periodontitis = poket < 4 mm
• Periodontitis moderat = poket 4–6 mm
• Periodontitis parah = poket > 6 mm
0
5
10
15
20
25
<1 1-3 > 3
Ju
mla
h S
ub
jek
Durasi Hemodialisis (tahun)
Tidak
periodontitis
Periodontitis
moderat
Periodontitis
parah
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
50
Pada Gambar 1 terdapat hasil tabulasi
silang antara durasi hemodialisis dengan
periodontitis yang menunjukkan bahwa
periodontitis parah paling banyak dialami oleh
kelompok dengan durasi hemodialisis > 3
tahun.
Tabulasi Silang Durasi Hemodialisis
dengan OHI-S
Gambar 2. Diagram Batang Tabulasi Silang Du-
rasi Hemodialisis dengan OHI-S.
Keterangan:
• OHI-S baik = skor 0,0–1,2
• OHI-S sedang = skor 1,3–3,0
• OHI-S buruk = skor 3,1–6,0
Pada Gambar 2 terdapat hasil tabulasi
silang antara durasi hemodialisis dengan
OHI-S yang menunjukkan bahwa OHI-S
buruk paling banyak dialami oleh kelompok
dengan durasi hemodialisis > 3 tahun.
Tabulasi Silang Periodontitis dengan OHI-S Pada Tabel 2 terdapat hasil tabulasi
silang antara periodontitis dengan OHI-S yang
menunjukkan bahwa periodontitis lebih
banyak terjadi pada kelompok subjek dengan
OHI-S buruk dibandingkan kelompok subjek
dengan OHI-S sedang.
Tabulasi Silang Periodontitis dengan
Diabetes Melitus Pada Tabel 3 terdapat hasil tabulasi
silang antara periodontitis dengan diabetes
melitus yang menunjukkan bahwa tidak ada
subjek yang tidak menderita periodontitis pada
kelompok pasien yang memiliki riwayat
diabetes melitus.
Tabulasi Silang Periodontitis dengan Usia Pada Tabel 4 terdapat hasil tabulasi
silang antara periodontitis dengan usia yang
menunjukkan bahwa periodontitis paling
banyak dialami oleh kelompok subjek yang
berusia 50–59 tahun.
Tabel 2. Tabulasi Silang Periodontitis dengan OHI-S
OHI-S
Tidak Periodontitis Periodontitis Moderat Periodontitis Parah Total
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Sedang 11 33,3 13 39,4 9 27,3 33 100
Buruk 7 10,6 26 39,4 33 50,0 66 100
Tabel 3. Tabulasi Silang Periodontitis dengan Diabetes Melitus (DM)
DM
Tidak Periodontitis Periodontitis Moderat Periodontitis Parah Total
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Ya 0 0 16 72,7 6 27,3 22 100
Tidak 18 23,4 23 29,9 36 46,8 77 100
Tabel 4. Tabulasi Silang Periodontitis dengan Usia
Usia
(tahun)
Tidak Periodontitis Periodontitis Moderat Periodontitis Parah Total
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
20–29 6 85,7 1 14,3 0 0 7 100
30–39 7 53,8 5 38,5 1 7,7 13 100
40–49 5 17,9 16 57,1 7 25,0 28 100
50–59 0 0 17 33,3 34 66,7 51 100
0
5
10
15
20
25
30
< 1 1-3 > 3
Ju
mla
h S
ub
jek
Durasi Hemodialisis (tahun)
OHI-S baik
OHI-S sedang
OHI-S buruk
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
51
Tabel 5. Tabulasi Silang Periodontitis dengan Jenis Kelamin
Jenis
Kelamin
Tidak periodontitis Periodontitis Total
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Laki-laki 14 21,5 51 78,5 65 100
Perempuan 4 11,8 30 88,2 34 100
Tabel 6. Tabulasi Silang OHI-S dengan Jenis Kelamin
Jenis
Kelamin
OHI-S Sedang OHI-S Buruk Total
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Jumlah
(N)
Persentase
(%)
Laki-laki 23 35,4 42 64,6 65 100
Perempuan 10 29,4 24 70,6 34 100
Tabulasi Silang Periodontitis dengan Jenis
Kelamin Pada Tabel 5 terdapat hasil tabulasi
silang antara periodontitis dengan jenis
kelamin yang menunjukkan bahwa
periodontitis lebih banyak terjadi pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Tabulasi Silang OHI-S dengan Jenis
Kelamin Pada Tabel 6 terdapat hasil tabulasi
silang antara OHI-S dengan jenis kelamin
yang menunjukkan bahwa OHI-S buruk lebih
banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan.
Tabel 7. Analisis Hubungan Durasi Hemodialisis
dengan Periodontitis (1)
Variabel Nilai p
Durasi Hemodialisis -
Periodontitis 0,012*
Keterangan: * = Uji chi-square, signifikansi: p<0,05
Diabetes melitus merupakan faktor
risiko yang sangat mempengaruhi terjadinya
periodontitis, di pihak lain diabetes melitus
merupakan salah satu etiologi tersering dari
penyakit gagal ginjal kronik. Pada penelitian
ini diabetes melitus tidak diekslusikan. Oleh
karena itu dilakukan uji analisis hubungan
durasi hemodialisis dengan periodontitis tanpa
memasukkan subjek yang memiliki riwayat
diabetes melitus dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Analisis Hubungan Durasi Hemodialisis
dengan Periodontitis (2)
Variabel Nilai p
Durasi Hemodialisis -
Periodontitis 0,024*
Keterangan: * = Uji chi-square, signifikansi: p<0,05
Berdasarkan hasil uji chi-square pada
Tabel 7 dan Tabel 8 antara durasi hemodialisis
dengan periodontitis menunjukkan hubungan
yang bermakna (p<0,05).
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, subjek
yang mengalami periodontitis pada setiap
kelompok durasi hemodialisis adalah 72,8%
untuk durasi < 1 tahun, 81,8% untuk durasi 1–
3 tahun, dan 90,9% untuk durasi > 3 tahun.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sekiguchi dkk (2012) dan
Cengiz dkk (2009) yang menunjukkan bahwa
prevalensi periodontitis lebih banyak terjadi
pada kelompok dengan durasi hemodialisis > 3
tahun, karena perjalanan penyakit yang
semakin kronik dan oral hygiene yang
semakin buruk seiiring bertambahnya durasi
hemodialisis.14,15
Pada penelitian ini,
periodontitis parah terbanyak terjadi pada
kelompok dengan durasi hemodialisis > 3
tahun, yaitu 52,4%, periodontitis moderat
terbanyak terjadi pada kelompok dengan
durasi hemodialisis 1–3 tahun, yaitu 41,0%,
sementara subjek yang tidak mengalami
periodontitis paling banyak terjadi pada
kelompok dengan durasi hemodialisis < 1
tahun, yaitu sebesar 50,0%.
Periodontitis dapat terjadi pada pasien
hemodialisis akibat kombinasi beberapa
faktor, yaitu produksi vitamin D yang tidak
adekuat akibat kerusakan ginjal yang dialami,
kondisi serostomia, serta kondisi oral hygiene
yang buruk.6,16
Pada penderita gagal ginjal
kronik, terjadi penurunan produksi vitamin D,
sehingga kelenjar paratiroid terstimulasi untuk
mensekresi hormon paratiroid. Akan tetapi,
kadar vitamin D tidak dapat bertambah karena
kerusakan nefron yang dialami, akibatnya
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
52
hormon paratiroid, TNF dan IL-I kemudian
mengaktivasi terjadinya remodeling tulang.17
Pada lain pihak, kondisi serostomia
berkontribusi terhadap terjadinya periodontitis
akibat penurunan kadar Imunoglobulin A pada
saliva yang berfungsi sebagai pertahanan
terhadap mikroorganisme yang berperan
penting dalam terjadinya periodontitis.18
Oral hygiene merupakan faktor penting
dalam terjadinya periodontitis. Pasien
hemodialisis memiliki prioritas yang rendah
terhadap kesehatan dan kebersihan rongga
mulut, baik dikarenakan oleh stres psikologis
yang dialami pasien maupun karena terapi
hemodialisis yang dijalani sangat menyita
waktu.14
Sebagaimana hasil penelitian ini yang
menunjukkan bahwa tidak ada subjek yang
memiliki OHI-S baik. Jumlah subjek
terbanyak adalah yang memiliki OHI-S buruk,
yaitu 66,7%. Kelompok yang memiliki OHI-S
buruk terbanyak adalah kelompok dengan
durasi hemodialisis > 3 tahun, yaitu 37,9%.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bhatsange dkk (2012),
Sekiguchi dkk (2012) dan Cengiz dkk (2009)
bahwa OHI-S buruk paling banyak terjadi
pada pada kelompok dengan durasi
hemodialisis > 3 tahun.6,14,15
Berdasarkan hasil penelitian ini,
periodontitis terdapat pada 66,7% subjek
dengan kelompok OHI-S sedang, dan 89,4%
terdapat pada kelompok OHI-S buruk. Hal ini
serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh
Bhatsange dkk (2012) bahwa periodontitis
ditemukan lebih banyak pada kelompok
OHI-S buruk dibandingkan dengan OHI-S
sedang.6 Pada penelitian ini, periodontitis
moderat dan periodontitis parah lebih banyak
terjadi pada OHI-S buruk, yaitu sebesar 59,0%
untuk periodontitis moderat dan 85,7% untuk
periodontitis parah.
Diabetes melitus merupakan faktor
risiko periodontitis, di sisi lain diabetes
melitus merupakan salah satu etiologi dari
gagal ginjal kronik.19,20
Pada penelitian ini
diabetes melitus tidak dieksklusikan untuk
menghindari kurangnya subjek penelitian
akibat diabetes melitus merupakan penyebab
paling sering dari gagal ginjal kronik, oleh
karena itu diabetes melitus menjadi faktor
pengganggu dalam penelitian ini. Riwayat
diabetes melitus ditentukan dari diagnosis
dokter bagian penyakit dalam di Rumah Sakit
Umum dr. Zainoel Abidin sebagaimana yang
tertera pada rekam medik pasien. Dari 99
subjek terdapat 22 subjek dengan riwayat
diabetes melitus dan seluruhnya mengalami
periodontitis. Hal ini serupa dengan penelitian
yang dilakukan oleh Mittal dkk (2011) bahwa
seluruh pasien yang memiliki riwayat diabetes
menderita periodontitis.21
Subjek dalam penelitian ini berusia
antara 20–59 tahun dan dibagi menjadi empat
kelompok usia. Periodontitis moderat dan
periodontitis parah paling banyak terjadi pada
kelompok usia 50–59 tahun, yaitu sebesar
43,6% untuk periodontitis moderat dan 81,0%
untuk periodontitis parah. Sementara
periodontitis moderat dan periodontitis parah
paling sedikit terjadi pada kelompok usia
20–29 tahun, yaitu sebesar 2,6% untuk
periodontitis moderat dan tidak ada subjek
yang mengalami periodontitis parah.
Penelitian yang dilakukan oleh Ragghianti dkk
(2004) di Brazil dan Chen dkk (2006) di
Taiwan menunjukkan bahwa kedalaman poket
periodontal bertambah dengan bertambahnya
usia dan periodontitis paling banyak dialami
oleh kelompok usia lebih dari 50 tahun.22,23
Pada penelitian ini, periodontitis juga paling
banyak terjadi pada kelompok usia 50–59
tahun, yaitu seluruh subjek (100%) mengalami
periodontitis.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa
oral hygiene buruk lebih banyak pada jenis
kelamin laki-laki, yaitu sebesar 63,6%, namun
persentase perempuan yang mengalami
periodontitis lebih banyak dibandingkan
dengan laki-laki. Laki-laki yang mengalami
periodontitis sebesar 78,5%, sedangkan
perempuan sebesar 88,2%. Hal ini
bertentangan dengan penelitian Ragghianti
dkk (2004) yang menunjukkan bahwa
persentase periodontitis lebih banyak pada
laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Pada penelitian tersebut periodontitis lebih
banyak dialami oleh laki-laki karena laki-laki
memiliki oral hygiene yang lebih buruk
daripada perempuan dan jarang berkunjung ke
dokter gigi.
Dalam penelitian ini jumlah subjek laki-
laki dan perempuan tidak seimbang. Subjek
laki-laki sebanyak 65,7% sedangkan
perempuan sebanyak 34,3%. Jumlah yang
tidak seimbang ini dikarenakan pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Zainoel Abidin lebih banyak berjenis
kelamin laki-laki dibandingkan dengan yang
berjenis kelamin perempuan.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
53
Merokok juga merupakan salah satu
faktor risiko dari periodontitis. Akan tetapi
pada penelitian ini ditemukan bahwa tidak ada
subjek yang memiliki kebiasaan merokok. Hal
ini diakui pasien bahwa mereka berhenti
merokok semenjak didiagnosis menderita
gagal ginjal kronik oleh dokter bagian
penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Berdasarkan hasil uji chi-square, pada
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara durasi
hemodialisis dengan periodontitis pada pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh (p<0,05).
Pengujian dilakukan kembali dengan
mengekslusikan subjek yang memiliki riwayat
penyakit diabetes melitus, kemudian
didapatkan hasil yang serupa. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian Bayraktar dkk
(2007), Bhatsange dkk (2012), dan Sekiguchi
(2012) yang menunjukkan bahwa durasi
hemodialisis berhubungan dengan peri-
odontitis. Durasi hemodialisis dikaitkan
dengan oral hygiene yang buruk sebagai salah
satu faktor penyebab terjadinya periodontitis.
Oral hygiene ditemukan semakin buruk seiring
dengan bertambahnya durasi hemodialisis
akibat perilaku yang mengabaikan kebersihan
gigi dan mulut pada pasien hemodialisis.6,9,14
Hasil penelitian yang serupa juga dilaporkan
oleh Cengiz dkk (2009) bahwa durasi
hemodialisis berhubungan dengan kedalaman
poket periodontal.15
Penelitian yang dilakukan
oleh Duran dkk (2004) juga melaporkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara durasi hemodialisis dengan peri-
odontitis.24
Hasil penelitian ini bertentangan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Naugle
dkk (1998), Marakoglu dkk (2003), dan Parkar
dkk (2012) yang menyatakan tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara durasi
hemodialisis dengan periodontitis.8,25,26
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara durasi hemodialisis dengan
periodontitis pada pasien gagal ginjal kronik di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Proctor R, Kumar N, Stein A, Moles D,
Porter S. Oral and Dental Aspect of
Chronic Renal Failure. Journal of Dental
Research 2005; 84(3):199-208.
2. Cerveró AJ, Bagán JV, Soriano YJ, Roda
RP. Dental Management in Renal Failure:
Patient on Dialysis. Med Oral Patol Oral
Cir Bucal 2008; 13(7):E419-426.
3. United States Renal Data System. USRD
Annual Data Report 2012. Minneapolis.
2012.
4. Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia.
Dialife. Jakarta. 2012.
5. DeRossi SS, Cohen DL. Renal Disease.
In: Burket’s Oral Medicine (Greenberg
MS, Glick M, Ship JA, eds). 11th ed.
Hamilton: BC Decker. 2008: 363-365.
6. Bhatsange A, Patil SR. Assessment of
Periodontal Health Status in Patients
Undergoing Renal Dialysis: A
Descriptive, Cross-sectional Study.
Journal of Indian Society of
Periodontology 2012; 16(1):41.
7. Gavalda C, Bgan JV, Scully C, Silvestre
FJ, Milian MA, Jimenez Y. Renal
Hemodialysis Patients: Oral, Salivary,
Dental and Periodontal Findings in 105
adult cases. Oral Disease 1999; 5:
300-301.
8. Marakoglu I, Gursoy UK, Demirer S,
Sezer H. Periodontal Status of Chronic
Renal Failure Patients Receiving
Hemodialysis. Yonsei Medical Journal
2003; 44(4):648-652.
9. Bayraktar G, Kurtulus I, Duraduryan A,
Cintan S, Kazancioglu R, Yildiz A, et al.
Dental and Periodontal Findings in
Hemodialysis Patients. Oral Disease
2007; 13:395.
10. Carranza FA, Camargo PM. The
Periodontal Pocket. In: Carranza’s
Clinical Periodontology (Newman MG,
Takei HH, Klokkevold PR, Carranza FA,
eds). 10th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier. 2006: 434-435.
11. Eickholz P. Clinical Periodontal
Diagnosis: Probing Pocket Depth,
Vertical Attachment Level and Bleeding
on Probing. Perio 2004; (1):75-80.
12. Wilkins EM. Clinical Practice of the
Dental Hygienist. 10th ed. Lippincot:
Williams and Walkins. 2009: 292-305,
305-307.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
54
13. Dalimunthe SH. Periodonsia:
Epidemiologi Penyakit Gingiva dan
Periodontal. Medan: USU Press. 2008:
45-77, 138.
14. Sekiguchi RT, Pannuti CM, Silva HT,
Pestana JO, Rumito GA. Decrease in Oral
Health may be Associated with Length of
Time Since Beginning Dialyisis. Spec
Care Dentist 2012; 32(1): 7-9.
15. Cengiz MI, Sumer P, Cengiz S, Yavuz U.
The Effect of the Duration of the Dialysis
Patients on Dental and Periodontal
Findings. Oral Disease 2009; 15:339-340.
16. Akar H, Akar GC, Carrero JJ, Stenvinkel
P, Lindholm B. Systemic Consequences
of Poor Oral Health in Chronic Kidney
Disease Patients. Clin J Am Soc Nephrol
2011; 6: 218-226.
17. Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus
NL. Dental Management of Medically
Compromised Patient. 6th ed. Missouri:
Mosby. 2002: 149.
18. Marcotte H, Lavole MC. Oral Microbial
Ecology and the Role of Salivary
Immunoglobulin A. Microbiology and
Molecular Biology Review. 1998; 71.
19. Yogiantoro M, Pranawa, Irwanadi C,
Santoso D, Mardiana N, Thaha M, dkk.
Pengantar Kuliah Nefrologi. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Rumah
Sakit Pendidikan dr. Soetomo Surabaya.
Surabaya: Airlangga University Press.
2007: 193-196.
20. Novak KF, Novak MJ. Risk Assessment.
In: Carranza’s Clinical Periodontology
(Newman MG, Takei HH, Klokkevold
PR, Carranza FA, eds). 10th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier. 2006:
602-604.
21. Mittal M, Teeluckdharry. Prevalence of
Periodontal Disease in Diabetic and Non-
diabetic Patients - A Clinical Study.
Journal of Epidemiology 2011; 10(1).
22. Ragghianti MS, Greghi SL, Lauris JR,
Santana AC, Passanezi E. Influence of
Age, Sex, Plaque, and Smoking on
Periodontal Conditions in a Population
from Bauru, Brazil. J Appl Oral Sci 2004;
12(4):274-277.
23. Chen LP, Chiang CK, Chan CP, Hung
KY, Huang CS. Does Periodontitis
Reflect Inflammation and Malnutrition
Status in Hemodialysis Patients?.
American Journal of Kidney Disease
2006; 47(5):818-821.
24. Duran I, Erdemir EO. Periodontal
Treatment Needs of Patients with Renal
Disease Receiving Haemodialysis.
International Dental Journal 2004; 54:
275-277.
25. Naugle K, Darby ML, Bauman DB,
Lineberger LT, Powers R. The Oral
Health Status of Individuals on Renal
Dialysis. Ann Periodontol 1998; 3(1):
203.
26. Parkar SM, Ajithkrishnan CG.
Periodontal Status in Patients Undergoing
Hemodialysis. Indian J Nephrol 2012;
22(4): 24, 248-249.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
55
BENTUK RESIDUAL RIDGE DAN HUBUNGANNYA DENGAN RETENSI
GIGI TIRUAN PENUH
SilviaPridana*, Ismet Danial Nasution
**
*Program Studi Prostodonsia, PPDGS Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara
**Departemen Prostodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Resorpsi tulang alveolar dipengaruhi berbagai faktor yang menyebabkan perubahan bentuk tulang
alveolus. Pada pembuatan gigi tiruan penuh, dukungan tulang alveolus diperlukan karena
mempengaruhi retensi dan stabilisasi. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui hubungan bentuk
tulang alveolus dengan retensi gigi tiruan penuh. Klasifikasi bentuk tulang alveolus terus mengalami
penyempurnaan. Faktor-faktor retensi pada gigi tiruan penuh adalah adhesi, kohesi, tekanan atmosfer,
muskular, tegangan permukaan, gravitasi, daerah gerong, rotasi arah pasang, dan kesejajaran dinding.
Bentuk tulang alveolus yang membulat, rata, dan lereng yang sejajar memberikan retensi yang baik
karena kemampuannya menahan gaya vertikal dan lateral yang terjadi serta menambah luas
permukaan antara gigi tiruan dan mukosa sehingga dapat menambah faktor fisika retensi gigi tiruan.
Terdapat hubungan antara bentuk tulang alveolus dengan retensi gigi tiruan penuh.
Kata kunci: Tulang alveolus, Retensi, Gigi Tiruan Penuh
ABSTRACT
Residual ridge resorption influenced by various factors resulting residual ridge shape alteration.
Residual ridge is important in complete denture fabrication related to support, which will influence
retention and stability.The purpose of this literature review was to analyze the relationship between
residual ridge shapes with complete denture retention.Residual ridge shape classification was
continuously reviewed and completed. Interfacial force, adhesion, cohesion, muscular, atmospheric
pressure, gravity, undercuts, rotational insertion,and parallel walls are complete denture retention
factors. Rounded, flat crest andparallel slopes residual ridge shape provided significant retention with
strong resistance to vertical and lateral forces.There are also present additional surface area between
denture and mucosa that will increase physical retention factor. There are relationships between
residual ridge shape with complete denture retention.
Key words: Residual ridge, retention, complete denture
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
56
PENDAHULUAN
Pasca pencabutan gigi geligi, tulang
alveolar mengalami resorpsi yang
menyebabkan perubahan bentuk dan
berkurangnya ukuran tulang alveolus secara
terus-menerus.1Perubahan bentuk tulang
alveolus tidak hanya terjadi pada permukaan
tulang alveolus dalam arah vertikal saja tetapi
juga dalam arahlabio-lingual/palatal dari posisi
awal yang menyebabkan tulang alveolus
menjadi rendah, membulat, atau datar.2
Fenomena perubahan yang terjadi
pada tulang alveolar ini sering disebut dengan
residual ridge resorption (RRR)1-3
. Resorpsi
residual ridge menyebabkan beberapa bentuk
tulang alveolus yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor etiologi yang berbeda pada setiap
individu1-3
. Klasifikasi bentuk tulang alveolus
dinyatakan oleh beberapa peneliti diantaranya
Atwood, Cawood dan Howel yang
mengklasifikasikan atas 6 kelas ,Zarb dkk.
mengklasifikasikan atas 4 kelas.1,4-5
Bentuk
tulang alveolus dapat memberikan dukungan
terhadap gigi tiruan disebabkan
kemampuannya menahan gaya vertikal dan
lateral yang terjadi pada gigi tiruan.1 Resorpsi
tulang alveolar juga dapat menyebabkan
berkurangnya ukuran tulang alveolus sehingga
luas daerah dukungan gigi tiruan penuh
menjadi lebih kecil. Luas permukaan
dukungan gigi tiruan penuh berkorelasi positif
dengan faktor-faktor retensi yang terjadi pada
gigi tiruan. Berkurangnya luas jaringan
pendukung gigi tiruan dapat mempengaruhi
faktor-faktor retensi gigi tiruan penuh yaitu
adhesi, kohesi, tegangan permukaan, tekanan
atmosfer, terjadi pada permukaan basis gigi
tiruan penuh.1,3,5
Tujuan penulisan ini untuk
menjelaskan tentang hubungan bentuk tulang
alveolus terhadap retensi gigi tiruan penuh.
Etiologi resorpsi tulang alveolus
Proses resorpsi tulang alveolus
dipengaruhi beberapa faktor etiologi, Zarb dkk
(2012) membaginya atas tiga kategori
yaitu1:Faktor anatomis yang terdiri dari
resorpsi pada mandibula empat kali lebih besar
daripada pada maksila, wajah yang pendek dan
persegi, yang disebabkan besarnya beban
pengunyahan dan alveoloplasti; Faktor
prostodontik yaitu penggunaan gigitiruan
secara intensif, keadaan oklusi yang tidak
stabil dan penggunaan gigi tiruan imediat;
Faktor sistemik yaitu Penyakit yang
mempengaruhi proses pembentukan tulang
seperti osteoporosis, defisiensi vitamin D,dan
kelainan metabolisme fosfat/ kalsium1.
Jagadeesh dkk menyebutkan bahwa
wanita memiliki resiko yang lebih besar
dibanding pria, dan lebih signifikan pada
wanita yang sudah mengalami menopause.6
Selain itu pada umur empat puluh tahun
kepadatan tulang mulai menurun ditambah
dengan berkurangnya aktivitas fisik,
kurangnya aliran estrogen, asupan makanan,
ras dan keadaan herediter yang
keseluruhannya merupakan hal-hal yang
mempengaruhi terjadinya resopsi tulang
alveolus yang berhubungan dengan umur.2
Perubahan bentuk ini berlangsung
paling besar pada enam bulan pasca
pencabutan sampai satu tahun penggunaan gigi
tiruan dan terus akan berlangsung dalam porsi
yang lebih sedikit.5 Pada Gambar 1 dapat
dilihat proses resorpsi tulang alveolus1: (a)
Tinggi tulang alveolus pasca pencabutan; (b)
Tinggi tulang alveolus beberapa tahun
kemudian.
Gambar 1. Proses resorbsi alveolar 1
Proses resorpsi menyebabkan
permukaan tulang tidak rata, dan pada tulang
knife edge ditandai dengan jaringan lunak
yang berlebih.1-3
Oleh karena itu, diperlukan
palpasi pada saat pemeriksaan intra oral untuk
memastikan bentuk tulang alveolus.
Radiografi sefalometri memberikan data yang
akurat untuk menentukan besarnya kehilangan
tulang.2 Selain itu, terdapat beberapa cara
untuk menganalisa besarnya resorpsi pada
tulang, yaitu menggunakan kaliper untuk
melihat tinggi tulang, dento-counthograph,
perbandingan dengan model, metode
photogrammetric, dan skala visualanalog.2,6
Klasifikasi bentuk tulang
Sephalogram arah lateral
menunjukkan perubahan yang signifikan pada
bagian labial, puncak dan lingual dari tulang
pasca pencabutan gigi-geligi. Terdapat
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
57
beberapa klasifikasi bentuk tulang alveolus,
Atwood (1963) membaginya atas enam
kelas,yaitu7; tulang sebelum pencabutan,
tulang pasca pencabutan, high, well-rounded,
knife edge, low well-rounded, depressed
(Gambar 2).
Gambar 2 . Klasifikasi tulang menurut Atwood
4
Cawood dan Howel melakukan
penyempurnaan terhadap klasifikasi tulang
Atwood yaitu : Klas I : Bergigi, Klas II :
Segera pasca pencabutan, Klas III : Bentuk
tulang well rounded, adekuat tinggi dan
lebarnya, Klas IV : Bentuk tulang knife edge,
adekuat tinggi tetapi tidak adekuat secara lebar
nya, Klas V : Bentuk tulang flat , danKlas VI
: Bentuk tulang depressed, dengan kehilangan
daerah basal.6
Nallaswamy (2005) membagi tiga
kategori tulang menurut bentuknya yaitu
tulang dengan tinggi yang cukup, puncak yang
rata dan kedua dinding yang parallel, tulang
yang rata, tulang knife edge (Gambar 3).8
Gambar 3. Kategori tulang menurut nalaswamy.
8
Nallaswamy (2005) juga membagi
klasifikasi yang memisahkan klasifikasi
bentuk tulang alveolus pada rahang atas dan
rahang bawah. Pada rahang atas8 : Klas I,
bentuk tulang alveolus persegi atau atau bulat;
Klas II yaitu bentuk tulang alveolus V terbalik;
Klas III, bentuk tulang alveolus rata / flat.
Pada rahang bawah : Klas I yaitu bentuk
tulang alveolus U terbalik, dengan dinding
yang sejajar dan tinggi maksimal maupun
medium; Klas II yaitu bentuk tulang alveolus
U terbalik dengan tinggi tulang alveolus
minimal (Gambar 4); Klas III, bentuk tulang
alveolus yang kurang diinginkan pada
pembuatan gigi tiruan, yaitu (Gambar 5) :
Bentuk huruf w terbalik, bentuk huruf v
terbalik dengan tinggi minimal, Bentuk huruf
v terbalik dengan tinggi optimal , bentuk
tulang dengan undercut.
Gambar 4. Bentuk tulang pada rahang bawah
menurut nalaswamy.8
Gambar 5: Bentuk tulang alveolus klas III pada
rahang bawah menurut Nalaswamy. 8
Zarb dkk (2012) mengklasifikasikan
bentuk tulang alveolus atas 4 kelas yaitu : Klas
I yaitu tinggi tulang alveolus rahang bawah
21mm atau lebih dengan hubungan rahang
klas 1, keadaan ini memiliki prognosa yang
baik keberhasilan perawatan gigi tiruan; Klas
II yaitu tinggi tulang alveolus rahang bawah
16-20 mm dengan hubungan rahang klas I.
Bentuk tulang alveolus ini dapat menahan
gaya vertikal dan horizontal pada gigi tiruan
penuh; Klas III, tinggi tulang alveolus rahang
bawah 11-15mm. Pasien hubungan rahang
klas I, II ataupun III dengan posisi perlekatan
jaringan lunak dapat mempengaruhi retensi
dan stabilitas gigi tiruan penuh, pada keadaan
ini dibutuhkan intervensi perawatan bedah
berupa tindakan pembedahan preprostetik atau
insersi implan untuk mencapai keberhasilan
fungsi gigi tiruan; Klas IV yaitu tinggi tulang
alveolus rahang bawah yang tidak adekuat dan
pasien memiliki hubungan rahang klas I, II
dan III dengan posisi perlekatan jaringan lunak
sangat mempengaruhi retensi dan stabilitas
gigi tiruan. Tulang tidak memiliki kemampuan
dalam menahan gaya horizontal dan vertikal.
Tindakan bedah merupakan indikasi tapi
seringkali tidak dapat dilakukan dikarenakan
kesehatan, kemauan, riwayat kesehatan rongga
mulut, dan keadaaan keuangan pasien.1
Faktor-faktor retensi pada gigitiruan penuh
Retensi adalah kemampuan gigi tiruan
menahan gaya yang melepasakan dari arah
(A) (B) (C)
(A) (B)
(A) (B) (C) (D)
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
58
vertikal atau dari arah yang berlawanan dari
arah pasang.Sedangkan stabilisasi adalah daya
tahan terhadap gerakan horizontal dan
tekanan.yang menyebabkan perubahan
hubungan antara basis gigi dengan tiruan dan
daerah pendukung dalam arah horizontal atau
rotasi1,3,10
.
Pada gigi tiruan penuh, retensi yang
terjadi merupakan hasil serangkaian
mekanisme yang terdiri atas faktor-faktor
retensi.Yang termasuk dalam faktor retensi
gigitiruan penuh adalah3,10-12
: Adhesi, yaitu
merupakan mekanisme ketertarikan fisik
antara molekul yang berbeda.
Adhesi yang terjadi antara saliva
dengan mukosa dan basis gigi tiruan terjadi
akibat tekanan ion antara c glikoprotein saliva
dan permukaan epitel atau resin akrilik;
Kohesi, yaitu mekanisme ketertarikan fisik
antara molekul yang sama.
Kekuatan retensi ini dihasilkan dari
lapisan cairan saliva yang terdapat diantara
basis gigi tiruan dan mukosa yang bekerja
mempertahankan integritas permukaan cairanl;
Tekanan atmosfer, yaitu ketika suatu gaya
tegak lurus terjadi searah dari daerah
dukungan gigi tiruan, maka tekanan antara gigi
tiruan dan mukosa menurun dibandingkan
dengan keadaan sekitarnya, hal inilah yang
menahan gaya yang dapat melepaskan
gigitiruan.
Otot-otot oral dan wajah merupakan
kekuatan retensi tambahan yang didapatkan
jika (1) posisi anasir yang tepat pada neutral
zone antara otot pipi dan lidah (2) permukaan
gigi tiruan yang halus dengan bentuk yang
tepat. Apabila kedua hal diatas tercapai maka
otot-otot secara otomatis dapat menahan
gigitiruan.
Tegangan permukaan antar fasial
adalah daya tahan dua permukaan yang
merekat dengan perantaraan selapis tipis
cairan terhadap gaya yang memisahkannya.
Semua bahan basis mempunyai tegangan
permukaan yang lebih besar jika dibandingkan
dengan mukosa rongga mulut, tetapi setelah
dilapisi oleh pelikel saliva maka tegangan
permukaan semakin menurun yang dapat
memaksimalkan luas permukaan antara saliva
dan basis gigitiruan (Gambar 5); Gravitasi
yang terjadi pada saat pasien berada dalam
posisi berdiri gaya gravitasi berfungsi sebagai
kekuatan retensi pada gigi tiruan penuh
mandibula dan kekuatan yang melepaskan
pada gigi tiruan penuh maksila
Gambar 5. Tegangan permukaan yang terjadi pada
gigitiruan penuh.11
Undercut, rotasi arah pasang dan
kesejajaran dinding merupakan faktor retensi
karena kelenturan mukosa dan submukosa
pada permukaan daerah pendukung gigi tiruan
memungkinkan adanya sedikit undercut yang
dapat menambah retensi gigitiruan.Pada
undercut yang diduduk terlebih dahulu pada
saat arah pasang, biasanya pada arah
berlawanan dari arah vertikal dibutuhkan
rotasi pada saat pemasangan maka gigi tiruan
akan memiliki ketahanan terhadap gaya
vertikal yang melepaskan.3
Darvel dan Lark, 2010 menyatakan
dalam tulisannya bahwa adhesi, kohesi,
gravitasi dan muskular bukanlah bagian dari
faktor retensi dan yang merupakan faktor
retensi adalah viskositas, waktu, adaptasi
basis, batas tepi dan seating force.12
DISKUSI
Resorpsi tulang alveolar terjadi lebih
besar pada arah horizontal (29-63%; 3,79mm)
dibandingkan dalam arah vertikal (11-22%;
1,24mm pada bukal, 0,84mm pada mesial, dan
0,80 pada distal) pada enam bulan pasca
pencabutan. Ashman menyatakan tinggi tulang
alveolus berkurang 40-60% pada 2-3 tahun
pasca pencabutan.13
Pada rahang bawah resorpsi terjadi
empat kali lebih besar dibanding pada rahang
atas.Atwood dan Co menyatakan rata-rata
mengalami resorpsi sebesar 0,4 mm pada
rahang bawah dan 0,1 mm pada rahang
atas.Daerah posterior rahang bawah juga
memiliki resiko resorbsi terbesar yang
disebabkan oleh konsentrasi besarnya tekanan
oklusal.2
Zarb dkk menyatakan Luas daerah
pendukung pada tulang alveolus berkisar pada
22,96 cm2 dan 12,25 cm
2. Besarnya
kehilangan tulang alveolus memerlukan
perhatian khusus karena luas dukungan
jaringan yang minimal.3,14
Pada penelitiannya Koshino
menemukan bahwa pada wanita tinggi tulang
alveolus lebih rendah dibandingkan pria
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
59
pernyataanini sesuai dengan hernyataan
sebelumnya yang mengatakan bahwa resorpsi
tulang alveolus lebih besar terjadi pada
wanita.15
Berkurangnya ukuran dari tulang
dapat mempengaruhi daerah dukungan
gigitiruan penuh dan mempengaruhi ukuran
basis gigi tiruan penuh. Faktor-faktor retensi
pada gigi tiruan penuh seperti tegangan
permukaan adhesi, kohesi, tegangan
permukaan, tekanan atmosfer berhubungan
langsung dengan luas daerah dukungan gigi
tiruan.5
Saliva merupakan faktor yang sangat
perperan pada mekanisme kerja faktor retensi.
Adanya lapisan saliva diantara basis gigi
tiruan dan mukosa bekerja pada proses adhesi
dan kohesi dan tekanan kapiler. Tegangan
permukaan atau kemampuan cairan
membasahi permukaan, dapat dijelaskan oleh
hukum law, yaitu tegangan permukaan melalui
gaya ion antara cairan disekitar permukaan
(adhesi) dan gaya yang menahan masing
masing molekul (kohesi). Tekanan atmosfer
dapat menahan kekuatan yang dapat
melepaskan jika terdapat seal yang efektif
pada basis gigi tiruan. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa mekanisme kerja tekanan pada basis
lebih rendah dibandingkan tekanan udara
diluar. Border moulding serta teknik
pencetakan selectif presure merupakan faktor
penting untuk mendapatkan efek dari
mekanisme ini.3
Palpasi pada daerah pendukung gigi
serta pemeriksaan radiografi sefalometri dan
panoramic memberi informasi keadaan tulang
alveolus. Kedua hal ini penting diketahui
untuk menentukan rencana perawatan pasien
edentulous yang akan dilakukan.2.Tulang
alveolus yang sangat datar dapat menahan
gigitiruan terhadap kekuatan permukaan yang
tegak lurus dengan kedudukan basis gigitiruan
dikarenakan tegangan permukaan dan tekanan
atmosfer. Tetapi terhadap gaya yang sejajar
dengan kedudukan basis gigi tiruan tulang
datar akan sangat rentan.1-3
Ribeiro dkk dalam penelitiannya
menyatakan bahwa bentuk tulang alveolus
rahang bawah tidak mempengaruhi kekuatan
retensi tetapi kelenturan mukosa tulang
alveolus yang mempengaruhi retensi. Bentuk
tulang alveolus rahang bawah lebih
berpengaruh terhadap stabilitas gigi tiruan dan
kelenturan mukosa tulang alveolus tidak
mempengaruhi stabilisasi gigi tiruan.7
Ruby dkk dan Yanikoglu dkk
menyatakan bentuk tulang alveolus pasti
mempengaruhi retensi dan stabilisasi. Bentuk
tulang yang baik adalah berbentuk U karena
memiliki tinggi yang mampu menahan gaya
lateral dan kesejajaran dinding yang dapat
menahan seal dengan jarak yang tepat untuk
menahan gaya yang melepaskan dari arah
vertikal. Sedangkan pada tulang dengan
bentuk V hanya memiliki sedikit kemampuan
terhadap gaya vertikal yang melepaskan
karena terbukanya seal pada seluruh sisi secara
terus menerus.5,16
Maller dkk menyatakan bentuk tulang
alveolus yang baik pada gigitiruan adalah
tulang dengan puncak yang rata dan sejajar
pada kedua sisi dinding labial/bukal dan
lingual/palatal.17
Zarb dkk menyatakan bentuk
tulang alveolus yang ideal untuk memberi
dukungan pada gigi tiruan penuh adalah tulang
yang memiliki tulang yang berbentuk
membulat dan sedikit persegi pada region
labial, bukal, lingual serta ditutupi oleh
perlekatan mukosa yang baik. Bentuk tulang
alveolus dengan dinding bukal dan
lingual/palatal yang sejajar dapat menambah
retensi karena memperbesar daerah permukaan
antara gigi tiruan dan mukosa oleh karena
kemampuanya meningkatkan tegangan
permukaan dan tekanan atmosfer. Tinggi
tulang alveolus yang cukup juga dapat
menahan gerakan gigitiruan dengan cara
membatasi ruang gaya yang melepaskan dan
dinding lateral tulang alveolus yang tertutupi
oleh basis gigi tiruan dapat menahan gerakan
lateral serta membentuk peripheral seal.1,3
KESIMPULAN
Bentuk tulang alveolus membulat
dengan permukaan yang rata serta lereng yang
sejajar merupakan bentuk tulang alveolus yang
dapat memberi retensi terbaik pada gigitiruan
penuh. Retensi pada gigitiruan penuh
disebabkan kemampuan menahan gaya
vertikal dan lateral yang terjadi pada gigitiruan
serta menambah luas permukaan antara
gigitiruan dan mukosa. Luas permukaan yang
lebih besar dapat menambah faktor fisika
retensi gigitiruan penuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Zarb, Hobkirk, Eckert, Jacob, Fenton,
Finner, Chang, Koka . Prosthodontic
treatment for edentulous patients;
Complete denture and implant supported
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
60
prostheses. 13th ed. St. Louis: MO:
Mosby; 2012: 4-10,161-163
2. Kumar TA, Naeem A, Verma AK,
Mariyam A, Krisna D, Kumar PK.
Residual ridge resorption : the
unstoppable” J app Res 2016: 2(2) :169-
17
3. Zarb, Bolender, Eckert, Jacob, Fenton,
Meriskhe S. Prosthodontic treatment for
edentulous patients. Complete denture
and implant supported prostheses. 12th ed.
St. Louis: MO: Mosby; 2005: 437-441
4. Gupta A, Tiwari B, Goel H, Shekawat H.
Residual ridge resorption : a review “
Indian j dent sci 2010 : 3 (2): 7-11
5. Yanikoglu N, Ceylan G, Aladag I. A
comparison of the basal seat areas of the
maxillary and mandibular according to
arch shapes” Attaturk oniv des hek. 2005
: 29-33
6. Jagadeesh MS, Patil RA, Kattimani PT. “
Clinical evaluation of mandibular height
in relation to aging and legth of
edentulism” IOSR-JDMS 2013:3(4):44-
47
7. Ribeiro JA, Resende CM, Lopes AL,
Neto AF, Carreiro AD. The influence of
mandibular ridge anatomy on treatment
outcome with conventional complete
denture. Acta odontol latinoam
2014:27(2) :53-5
8. Nalaswamy D. Textbook of
prosthodontic” Jaypee brothers medical
publishers. 2003 1 :23-24.
9. Sachdeva S, Noor R, Mallick R, Perwez
E. Role of saliva in complete denture: an
overview. Ann dent spec 2014 2(2):51-
54.
10. Basker RM, Davenport V. “Prosthetic
treatment of the edentulous patient” 4th
Ed, Blackwell Munksgaard
11. Lakhyani R, Wagdargi SS. Saliva and its
importance in complete denture
prosthesis. Natl J integr med
2012:3(1):139-146
12. Darvell DW, Clark RK. The physical
mechanism of complete denture
retention.BDJ 2000 189(5):248-252
13. Pagni G, Pallegrini G, Gianobile WV,
Rasperini G. Post extraction alveolar
ridge preservation: Biological basis and
treatments. Int J Dent 2012.
14. Jedrzejewski K, Ledzion S, Zmylowska
E. “Factors affecting mandibular residual
ridge resorption inedentulous patient: a
preliminary report” Via Medica 2007 : 66
(3) : 346-352.
15. Koshino H, Hirai T, Yokohama Y,Tanaka
M, Toyoshita M, Iwasaki K, et al.
Mandibular ridge shape and the
masticatory ability in complete denture
weares” J Jpn prosthodont 2008
(52):488-493
16. Ruby, Kumar M, Chaudary H, Sigh AK,
Yadaf SK, Yadaf AB. Evaluation of stress
distribution in U shaped and V shaped
maxillary edentulous residual alveolar
ridge by using finite element analysis. Int
j enhanc res med dent care. 2015
2(12):15-21.
17. Maller SV, Karthik KS, Maller US. A
review on diagnosis and treatment
planning for completely edentulous
patients. JIADS 2010 1(2):15-20
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
61
STUDI PELEPASAN MONOMER SISA DARI RESIN AKRILIK HEAT CURED
SETELAH PERENDAMAN DALAM AKUADES
Viona Diansari, Sri Fitriyani, Fazliyanda Maria Haridhi
Program Studi Pendidikan Dokter Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
ABSTRAK
Resin akrilik heat cured merupakan campuran monomer metil metakrilat dan polimer polimetil
metakrilat yang dipolimerisasi dengan cara pemanasan. Proses polimerisasi tidak sempurna dan
menghasilkan monomer sisa. Kandungan monomer sisa yang tinggi dapat menyebabkan iritasi atau
alergi terhadap jaringan rongga mulut. Pengurangan jumlah monomer sisa dapat dilakukan dengan
perendaman resin akrilik heat cured dalam akuades. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh durasi perendaman resin akrilik heat cured dalam akuades terhadap pelepasan monomer
sisa. Penelitian ini menggunakan resin akrilik QC-20 berbentuk disk (ukuran d = 50 mm, t = 3 mm)
sebanyak 10 spesimen direndam dalam akuades dengan durasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 hari pada suhu
37°C. Perendaman setiap 24 jam dilakukan pergantian akuades (tiap perlakuan menggunakan
spesimen yang sama). Pengukuran jumlah monomer sisa dilakukan setiap 24 jam menggunakan alat
Spektrofotometer UV-VIS. Perhitungan jumlah monomer sisa dalam bentuk konsentrasi
menggunakan persamaan garis lurus y = 9.2543x - 0.0027. Persamaan garis lurus didapat dari kurva
absorban dan konsentrasi larutan standar metil metakrilat 0.1%, 0.075%, 0.050%, 0.025%, dan
0.010%. Analisis statistik data hasil penelitian dilakukan dengan uji Friedman dan uji lanjut Wilcoxon
(p<0.05). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna (p=0.000) antara
durasi perendaman terhadap jumlah monomer sisa. Hasil uji lanjut Wilcoxon menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan bermakna pada perendaman resin akrilik selama 24 jam (hari ke-1) dibandingkan
dengan hari berikutnya (perendaman hari ke-1 melepaskan monomer sisa dengan jumlah tertinggi).
Perendaman antara hari ke-6, 7, dan 8 terdapat perbedaan yang tidak bermakna (uji Wilcoxon p>0.05).
Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh durasi perendaman resin akrilik heat cured dalam
akuades terhadap pelepasan jumlah monomer sisa.
Kata kunci: Resin akrilik heat cured, monomer sisa, spektrofotometer UV-VIS
ABSTRACT
Heat cured acrylic resin which a mixture of methyl methacrylate monomer and polymer polymethyl
methacrylate were polymerized by heating. Polymerization process imperfect and has residual
monomer. High content of residual monomer may cause irritation or allergic to the oral tissues.
Reducing the amount of residual monomer can be done by immersion heat cured acrylic resin in
aquadest. Objective of this study is to analyze the effect of immersion duration of heat cured acrylic
resin in aquadest to residual monomers releasing. This study uses QC-20 acrylic resin in a disc (size
d = 50 mm, t = 3 mm) for 10 specimens was immersed in aquadest during 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, and 8
days at 37°C. Aquadest for immersion was replaced everyday (each treatment was used same
specimens). The amount of residual monomer was measured in each 24 hours using a UV-VIS
spectrophotometer. The amount of residual monomer in concentrations was calculated using the linear
equation y = 9.2543x - 0.0027. This equation was obtained from the absorbance and concentration of
methyl methacrylate standard solution in 0.1%, 0075%, 0050%, 0025% and 0010%. The result was
analyzed by Friedman and Wilcoxon test (p<0.05). Friedman test's result indicate that there was a
significant difference (p=0.000) between the immersion duration to the amount of residual monomer.
Wilcoxon test's results shown that there was significant differences of the amount of residual
monomer for 24 hours (day-1) was compared to the next day (in the first day of immersion was
released the highest number of residual monomer). While the immersion duration between 6th, 7
th, and
8th days there was no significant differences (Wilcoxon p>0.05). It can be concluded that there was an
effect of immersion duration heat cured acrylic resin in aquadest to residual monomer releasing.
Key words: Heat cured acrylic resin, residual monomers, UV-VIS spectrophotometer
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
62
PENDAHULUAN
Sejak pertengahan tahun 1940-an, basis
gigi tiruan dibuat menggunakan resin polimetil
metakrilat (PMMA) yang merupakan polimer
yang sangat popular di bidang kedokteran gigi
dan menjadi pilihan utama.1,2
Sembilan puluh
lima persen basis gigi tiruan yang digunakan
berasal dari resin akrilik heat cured karena
bernilai estetis, relatif ekonomis, dan memiliki
kestabilan warna.3 Resin akrilik heat cured
merupakan campuran antara monomer metil
metakrilat dan polimer polimetil metakrilat
yang dipolimerisasi dengan cara pemanasan.3
Proses polimerisasi tidak pernah terjadi
dengan sempurna dan selalu menghasilkan
monomer sisa. Monomer sisa adalah sejumlah
monomer yang tidak habis bereaksi setelah
polimerisasi selesai. Kandungan monomer sisa
yang tinggi dapat menyebabkan iritasi atau
alergi terhadap jaringan rongga mulut.4,5
Monomer sisa meningkat jika perbandingan
antara cairan dan bubuk tidak sesuai.4,6
Monomer sisa dalam jumlah besar dapat
mempengaruhi sifat fisik polimer yang
dihasilkan karena dapat bertindak sebagai
plasticizer sehingga menyebabkan plat resin
akrilik menjadi lunak dan fleksibel.4
Pengurangan jumlah monomer sisa
dapat dilakukan dengan perendaman resin
akrilik heat cured dalam air karena monomer
sisa dapat berdifusi ke dalam air.5 Menurut
Tsuchiya et al, Vallittu et al, dan Shim dan
Watts (Cit, Golbidi) menunjukkan bahwa
terjadi penurunan jumlah monomer sisa jika
setelah polimerisasi resin akrilik direndam
dalam air.7 Berdasarkan penelitian Bural et al
yaitu perendaman resin akrilik heat cured
dalam air selama 1–2 hari dapat menjadi
rekomendasi untuk mengurangi jumlah
monomer sisa.5 Sedangkan hasil studi literatur
Jorge et al merekomendasi perendaman resin
akrilik dalam air selama 24 jam untuk
mengurangi jumlah monomer sisa.8
Berdasarkan penelitian Tsuchiya et al
(Cit, Golbidi) menunjukkan bahwa kandungan
monomer sisa dari resin akrilik heat cured
mengalami penurunan seperempat dari nilai
awal jika setelah polimerisasi resin akrilik
direndam dalam air selama 60 menit pada suhu
50°C.7 Hal ini didukung oleh penelitian Jorge
et al yang menunjukkan bahwa perendaman
resin akrilik heat cured dalam air selama
60 menit pada suhu 55°C dapat menurunkan
jumlah monomer sisa.9 Penelitian dari Mei
Huang et al yang melakukan perendaman resin
akrilik heat cured dalam air dengan durasi
perendaman selama 1, 3, dan 7 hari pada suhu
37°C menunjukkan bahwa jumlah total
monomer sisa yang terlepas relatif rendah
yaitu 492.1 ppm. Pelepasan monomer sisa
yang tertinggi dari resin akrilik heat cured
adalah setelah perendaman dalam air selama
24 jam (1 hari) yaitu sebesar 275 ppm. Pada
perendaman selama 3 dan 7 hari menghasilkan
jumlah monomer sisa yang terus menurun
yaitu sebesar 250 ppm dan 97 ppm.10
Selain
itu, penelitian Vojdani et al yang melakukan
perendaman resin akrilik heat cured dalam air
selama interval waktu 1 jam, 24 jam, 72 jam,
dan 1 minggu menunjukkan bahwa resin
akrilik tersebut menghasilkan jumlah
monomer sisa semakin rendah seiring
meningkatnya durasi perendaman.11
Perbedaan
durasi perendaman resin akrilik heat cured
dalam air menghasilkan pelepasan monomer
sisa dengan jumlah yang berbeda pula.
Berdasarkan latar belakang di atas
masih terdapat perdebatan mengenai durasi
perendaman dalam air (akuades) dan jumlah
pelepasan monomer sisa pada resin akrilik
heat cured. Selain itu juga masih terbatas
informasi mengenai jumlah pelepasan
monomer sisa pada resin akrilik heat cured
untuk durasi perendaman di atas 7 hari.
Penelitian dari Krisna et al menunjukkan
bahwa setelah melakukan perendaman resin
akrilik cold cured dalam akuades selama 12
hari terjadi penurunan jumlah monomer sisa
yang terlepas seiring dengan meningkatnya
durasi perendaman. Pada perendaman hari
ke-8 mulai menunjukkan jumlah pelepasan
monomer sisa yang konstan sampai dengan
hari ke-12.4 Oleh karena itu dilakukan
penelitian untuk mengetahui pengaruh durasi
perendaman plat resin akrilik heat cured
sebagai bahan basis gigi tiruan dalam akuades
selama 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 hari terhadap
jumlah pelepasan monomer sisa.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh durasi perendaman resin
akrilik heat cured dalam akuades terhadap
pelepasan monomer sisa.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini bersifat eksperimental
laboratories yang dilakukan di Laboratorium
Program Studi Pendidikan Dokter Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi dan Laboratorium
Instrumen Teknik Kimia Universitas Syiah
Kuala. Spesimen yang digunakan adalah plat
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
63
resin akrilik heat cured (QC-20) berbentuk
disk dengan ukuran diameter 50 mm dan tebal
3 mm. Kriteria spesimen adalah tidak porus,
permukaan halus dan rata. Jumlah total
spesimen yang dipersiapkan sebanyak 10 buah
untuk dilakukan perendaman dalam akuades
pada suhu rongga mulut (37°C) selama 1, 2, 3,
4, 5, 6, 7, dan 8 hari secara berturut-turut.
Perendaman pada setiap 24 jam dilakukan
pergantian akuades dan tiap perlakuan
menggunakan spesimen yang sama.
Pembuatan plat resin akrilik diawali
dengan persiapan mold untuk pembuatan
spesimen dengan menyediakan model malam
dari potongan base plate wax. Kemudian tahap
penanaman model malam dengan cara:
permukaan dinding dalam kuvet diolesi
dengan vaselin (tipis saja) menggunakan kuas
kemudian kuvet diisi dengan adonan gips tipe
II (perbandingan air dan bubuk sebanyak
15 ml : 50 gr diaduk selama 30 detik) hingga
penuh dan digetarkan hingga rata. Model
malam ditanamkan ke dalam kuvet, masing-
masing kuvet diisi dengan dua model
spesimen, permukaan model malam rata
dengan adonan gips. Kuvet atas dicobakan
sebelum adonan gips mengeras. Setelah
adonan gips pada kuvet bawah mengeras
permukaan gips diolesi vaselin. Kuvet atas
dipasang, kemudian diisi dengan adonan gips
tipe II dan digetarkan hingga rata. Tutup kuvet
dan sekrup dipasang, kemudian menggunakan
alat press hingga rapat (metal to metal) dan
sekrup dikencangkan. Didiamkan sampai
mengeras (setting) yaitu kurang lebih selama
15 menit.
Tahap pembuangan model malam
dengan cara: air dididihkan kurang lebih
100°C, kemudian kuvet yang telah diikat
dengan tali dimasukkan selama 5 menit. Kuvet
diangkat, kemudian dibuka dan cairan malam
dibuang. Mold space dibersihkan dengan
menyiramkan air panas yang telah dicampur
dengan deterjen. Sisa-sisa malam dibersihkan
dari kuvet. Tahap pengolahan akrilik (packing)
dilakukan dengan cara: permukaan mold space
diolesi Cold Mold Seal (CMS) menggunakan
kuas kemudian tunggu hingga kering. Bubuk
polimer dan monomer dengan perbandingan
23 mg : 10 ml disiapkan di dalam pot porselen,
kemudian bubuk polimer dimasukkan sedikit
demi sedikit sampai terlihat seperti pasir basah
dan digetarkan mangkok tersebut (kelebihan
monomer akan naik ke permukaan). Bubuk
polimer ditaburi lagi sampai tidak ada
kelebihan monomer. Bila telah mencapai tahap
dough stage, seluruh adonan diambil dengan
menggunakan semen spatula dan dimasukkan
ke dalam mold space. Permukaan adonan
dilapisi dengan kertas cellophane. Kemudian
kuvet atas dipasang beserta tutupnya dan
dilakukan pengepresan ringan. Kuvet atas
dibuka dan dibuang kelebihan adonan. Hal
tersebut dilakukan sampai kuvet metal to
metal. Bila tidak ada lagi kelebihan akrilik dan
porus, kertas cellophane dilepas, sekrup
dipasang dan dilakukan pengepresan akhir
dengan menggunakan alat press.
Tahap pemasakan akrilik (curing)
dengan cara: air direbus dalam panci kurang
lebih 100°C, kemudian kuvet dimasukkan
(temperatur akan turun). Setelah air mendidih
kembali kuvet dibiarkan selama 20 menit,
kuvet diangkat dan dibiarkan selama 10 menit.
Tahap selanjutnya mengeluarkan model akrilik
dari kuvet (deflasking) dengan cara: semua
sekrup dibuka dan tutup kuvet dibuka,
kemudian kuvet bawah dilepaskan dengan cara
mengetuk bagian dasar kuvet. Kuvet
dibongkar secara hati- hati dengan pisau gips.
Spesimen dihaluskan dengan kertas pasir
waterproof no. 1000, 1500, dan 2000 sampai
permukaannya rata dan tetap dijaga
ukurannya. Kemudian spesimen dikeringkan
menggunakan desikator dan disimpan dalam
inkubator dengan suhu 37°C selama 24 jam.
Perendaman spesimen dalam 20 ml
akuades dilakukan menggunakan gelas yang
tertutup pada suhu rongga mulut (37°C).
Setelah dilakukan perendaman selama 24 jam
pertama (Hari ke-1), spesimen tersebut
dikeluarkan dari gelas dan dimasukkan
kembali dalam gelas yang berisi 20 ml
akuades baru untuk dilakukan perendaman
hari ke-2, sampai seterusnya pada perendaman
hari ke-8. Hasil perendaman tersebut disebut
sebagai larutan uji. Dari setiap larutan uji
diambil ± 4 ml kemudian dimasukkan ke
dalam kuvet pada alat spektrofotometer untuk
menentukan jumlah monomer sisa yang
terlepas.
Pengukuran jumlah sisa monomer pada
larutan uji dilakukan dengan beberapa tahap,
yaitu:
1) Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
(λmax)
Penentuan panjang gelombang
menggunakan larutan metil metakrilat (MMA)
murni, sedangkan akuades digunakan sebagai
blanko. Kalibrasi dilakukan terlebih dahulu
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
64
menggunakan akuades. Kemudian untuk
penentuan nilai panjang gelombang
maksimum (λmax) dilakukan dengan cara
MMA murni dimasukkan ke dalam
spektrofotometer pada panjang gelombang
200, 210, 220, 230, 240, 250, 260, 270, 280,
290, dan 300 nm sehingga didapatkan nilai
absorbansinya. Selanjutnya dibuat kurva
hubungan antara absorban dan panjang
gelombang berdasarkan data yang diperoleh.
Panjang gelombang maksimum (λmax)
ditentukan dari nilai absorban tertinggi dari
kurva tersebut.
2) Menentukan Persamaan Garis antara Kurva
Absorbansi dan Konsentrasi
Spektrofotometer yang akan digunakan
diatur dengan panjang gelombang maksimum
yang telah diperoleh. MMA murni dilarutkan
dengan menggunakan akuades untuk
mendapatkan larutan induk 0.1% dengan
menggunakan rumus: V1.M1 = V2.M2 dimana:
V1 = Volume bahan uji (500 ml); M1 =
Konsentrasi larutan induk (0.1 %); V2 =
Volume awal bahan uji (0.5 ml); M2 =
Konsentrasi awal bahan uji (MMA murni
100%).
Konsentrasi 0.075%, 0.050%, 0.025%,
dan 0.010% didapatkan dari larutan induk
0.1% yang diencerkan dengan akuades dan
diaduk dengan menggunakan stirrer agar
didapatkan hasil yang homogen. Konsentrasi
didapatkan dengan menggunakan rumus:
M1.V1 = M2.V2 dimana: M1 = Konsentrasi
bahan uji yang ingin dibuat (%); V1 = Volume
bahan uji (10 ml); M2 = Konsentrasi larutan
induk 0.1%; V2 = Volume larutan induk (ml).
Untuk mencari volume pengencer dengan
menggunakan rumus: Vpengencer = V2 – V1
dengan keterangan: V = Volume pengencer
(ml); V2 = Volume bahan uji yang ingin dibuat
(10 ml); V1 = Volume larutan uji (ml). Larutan
MMA dengan konsentrasi 0.1%, 0.075%,
0.050%, 0.025%, dan 0.010% yang telah
disiapkan dimasukkan satu per satu ke dalam
spektrofotometer dan dicatat nilai absorb-
ansinya. Setelah itu dibuat kurva hubungan
antara absorban dengan konsentrasi larutan
MMA beserta persamaan garisnya. Persamaan
garis didapat dengan persamaan: y = mx + C
dengan keterangan: y = Absorbansi (A); m =
Gradien; x = Konsentrasi larutan uji (%); C =
Konstanta.
3) Penentuan Konsentrasi Metil Metakrilat
(MMA) pada Larutan Uji
Spektrofotometer memiliki dua kuvet
masing-masing berukuran ± 4 ml, kuvet
pertama untuk indikator pelarut yang berupa
akuades dan kuvet kedua untuk larutan yang
diuji. Terlebih dahulu larutan uji diaduk agar
didapatkan larutan uji yang homogen.
Kemudian kuvet dimasukkan ke dalam
spektrofotometer untuk diukur dengan
menggunakan panjang gelombang maksimum
yang telah diperoleh. Hasil pengukuran jumlah
monomer sisa pada durasi perendaman yang
berbeda (tiap 24 jam) dinyatakan dengan nilai
absorbansi (y). Melalui persamaan garis
y = mx + C dihitung nilai konsentrasi MMA
pada larutan uji (x) dalam satuan persentase.
Hasil pengukuran dikumpulkan dan
ditabulasi menurut masing-masing durasi
perendaman. Hasil penelitian ini merupakan
nilai rerata dari jumlah pelepasan monomer
sisa yang didapat dari tiap 24 jam perendaman.
Data yang diperoleh terdistribusi tidak normal
sehingga digunakan uji statistik Friedman
(p<0.05) dan uji lanjut dengan uji Wilcoxon.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian yang diperoleh berupa
nilai rerata dan standar deviasi dari jumlah
monomer sisa resin akrilik heat cured yang
direndam dalam akuades selama 1, 2, 3, 4, 5,
6, 7, dan 8 hari (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1
terlihat bahwa terjadi penurunan jumlah
monomer sisa seiring dengan meningkatnya
durasi perendaman resin akrilik heat cured
dalam akuades.
Tabel 1. Rerata ± Standar Deviasi Jumlah Mono-
mer Sisa Berdasarkan Durasi Perendaman
Resin Akrilik Heat Cured dalam Akuades
Durasi Perendaman Konsentrasi (%)
X ± SD
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Hari ke-5
Hari ke-6
Hari ke-7
Hari ke-8
0.0101 ± 0.0040
0.0048 ± 0.0009
0.0039 ± 0.0008
0.0010 ± 0.0004
0.0009 ± 0.0003
0.0002 ± 0.0004
0.0001 ± 0.0003
0.0000 ± 0.0000
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
nilai rerata konsentrasi monomer sisa dari
resin akrilik heat cured setelah direndam
dalam akuades selama 24 jam (hari ke-1)
sangat tinggi dibandingkan dengan peren-
daman hari-hari berikutnya. Untuk mengetahui
kemaknaan perbedaan penurunan jumlah
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
65
monomer sisa antara durasi perendaman resin
akrilik heat cured dalam akuades maka
dilakukan analisis menggunakan uji Friedman
(p<0.05). Pemilihan uji non parametrik
Friedman sebagai metode statistik dalam
analisis data hasil penelitian ini disebabkan
oleh data hasil penelitian yang diperoleh
terdistribusi tidak normal (p<0.05 uji Shapiro-
Wilk). Hasil analisis uji Friedman untuk
mengetahui pengaruh durasi perendaman resin
akrilik heat cured dalam akuades terhadap
jumlah monomer sisa diperoleh nilai p=0.000
(p<0.05). Kemudian dilakukan uji lanjut
Wilcoxon untuk mengetahui durasi peren-
daman yang memberikan pengaruh signifikan
terhadap jumlah monomer sisa. Hasil analisis
uji Wilcoxon dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisis Uji Wilcoxon
Durasi
Perendaman Nilai p
1 2
3
4
5
6
7
8
0.007*
0.005*
0.005*
0.005*
0.005*
0.005*
0.005*
2 3
4
5
6
7
8
0.087
0.004*
0.005*
0.005*
0.004*
0.004*
3 4
5
6
7
8
0.005*
0.005*
0.005*
0.004*
0.005*
4 5
6
7
8
0.564
0.011*
0.007*
0.004*
5 6
7
8
0.008*
0.005*
0.003*
6 7
8
0.317
0.157
7 8 0.317
*Perbedaan bermakna (Uji Wilcoxon p<0.05)
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini berupa konsentrasi
monomer sisa dalam satuan persentase yang
diperoleh dari hasil perhitungan persamaan
garis lurus y = mx + C. Variabel y adalah nilai
absorban yang merupakan hasil pengukuran
monomer sisa yang diperoleh dari alat
spektrofotometer UV-VIS. Variabel m meru-
pakan gradien dengan nilai 9.2543 dan
C merupakan konstanta dengan nilai -0.0027.
Variabel x adalah konsentrasi monomer sisa
yang terlepas. Persamaan garis lurus tersebut
diperoleh dari kurva nilai absorban terhadap
konsentrasi larutan standar 0.1%, 0.075%,
0.050%, 0.025%, dan 0.010%. Berdasarkan
persamaan garis lurus tersebut didapatkan
konsentrasi monomer sisa resin akrilik heat
cured seperti yang terdapat pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil analisis statistik non
parametrik uji Friedman menunjukkan bahwa
terjadi penurunan jumlah monomer sisa yang
signifikan seiring dengan meningkatnya durasi
perendaman. Hal ini diduga dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti komposisi resin akrilik
heat cured dan durasi perendaman resin akrilik
heat cured dalam akuades. Resin akrilik heat
cured bersifat hidrofilik karena mengandung
gugus ester. Sifat tersebut menyebabkan resin
akrilik mudah menyerap air (akuades) dan
monomer sisa yang terdapat dalam resin
akrilik dapat berdifusi ke dalam air (akuades).
Kemudian dengan meningkatnya durasi
perendaman menyebabkan semakin banyak
jumlah akuades yang diserap, sedangkan
jumlah monomer sisa yang terlepas akan
semakin menurun bahkan dapat mencapai
jumlah yang sangat minimal (konstan). Hal ini
didukung oleh pendapat Rao yang menyatakan
bahwa terlepasnya monomer sisa menye-
babkan banyaknya ruang kosong di dalam
resin akrilik sehingga penyerapan air
(akuades) juga tinggi.12
Jumlah monomer sisa tertinggi
diperoleh pada perendaman hari ke-1 dengan
konsentrasi sebesar 0.0101%. Hasil analisis uji
Wilcoxon menunjukkan jumlah monomer sisa
yang terlepas pada perendaman hari ke-1
berbeda signifikan dibandingkan perendaman
hari ke-2 sampai ke-8 (Tabel 2). Hasil ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Mei Huang et al yang melakukan perendaman
resin akrilik heat cured dalam air dengan
durasi perendaman selama 1, 3, dan 7 hari
pada suhu 37°C menunjukkan pelepasan
monomer sisa yang tertinggi pada hari ke-1
dan terus menurun sampai hari ke-7. Mei
Huang et al juga menyatakan bahwa monomer
sisa yang terlepas dari resin akrilik untuk
bahan basis gigi tiruan baik jenis heat cured
maupun cold cured paling tinggi adalah pada
perendaman 24 jam pertama sehingga
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
66
direkomendasikan dokter gigi merendam basis
gigi tiruan resin akrilik dalam air selama
24 jam sebelum memasangkan basis gigi
tiruan resin akrilik kepada pasien.8,10
Monomer sisa tertinggi yang terlepas ke
dalam akuades pada perendaman hari ke-1
diduga oleh karena monomer sisa yang
dilepaskan berasal dari bagian permukaan
resin akrilik yang relatif lebih cepat
dibandingkan dengan bagian dalam karena
terperangkap oleh rantai polimer yang lebih
panjang. Selain itu juga diduga disebabkan
oleh proses polimerisasi resin akrilik masih
berlangsung dalam beberapa jam meskipun
resin akrilik telah mengeras. Tahap terminasi
dari polimerisasi resin akrilik belum terjadi
dalam waktu beberapa jam setelah resin akrilik
setting, dimana tahap propagasi masih
berlangsung sehingga menyebabkan monomer
yang belum terpolimerisasi berdifusi ke dalam
akuades.
Perendaman sampai hari ke-3
menunjukkan jumlah monomer sisa yang
terlepas ke dalam akuades masih cukup tinggi
meskipun terjadi penurunan dibandingkan hari
sebelumnya. Hasil analisis uji Wilcoxon
(Tabel 2) menunjukkan terdapat perbedaan
tidak bermakna terlihat pada perendaman hari
ke-2 dibandingkan dengan hari ke-3 dan pola
yang sama untuk perendaman hari ke-4
dibandingkan dengan hari ke-5. Hal ini diduga
disebabkan oleh perendaman resin akrilik heat
cured hanya berselang 1 hari sehingga jumlah
pelepasan monomer sisa yang terjadi tidak
jauh berbeda nilainya dan penurunan jumlah
monomer sisa mulai menunjukkan nilai
konstan yang diduga terjadi akibat monomer
sisa yang terlepas berasal dari dalam resin
akrilik heat cured sehingga berdifusi lambat
ke dalam akuades. Monomer sisa yang terlepas
hanya menurun sedikit jumlahnya. Hal ini
diduga karena polimerisasi telah selesai pada
perendaman hari ke-2 dan monomer sisa yang
berasal dari permukaan resin akrilik sudah
mulai habis. Monomer sisa yang terlepas ke
dalam akuades pada perendaman setelah hari
ke-3 dan seterusnya diduga berasal dari bagian
dalam rantai polimer resin akrilik sehingga
difusi monomer sisa yang dilepaskan ke dalam
akuades menjadi lebih lambat dibandingkan
hari sebelumnya. Akibatnya jumlah monomer
sisa yang terlepas setelah perendaman hari
ke-3 menjadi semakin menurun. Hasil
penelitian ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Rao PS et al, menunjukkan
bahwa analisis monomer sisa resin akrilik heat
cured yang dilakukan perendaman dalam air
(akuades) selama interval waktu 24, 48, 72,
96, dan 120 jam pada suhu ruangan
menunjukkan jumlah monomer sisa yang
tertinggi pada perendaman resin akrilik heat
cured dalam air (akuades) pada waktu 24, 48,
dan 72 jam pertama.12
Berdasarkan penelitian
Vojdani et al merekomendasikan dokter gigi
untuk merendam basis gigi tiruan resin akrilik
dalam air selama 72 jam sebelum
memasangkan basis gigi tiruan kepada
pasien.11
Hasil analisis uji wilcoxon (Tabel 2)
pada perendaman antara durasi perendaman
hari ke-2 dibandingkan dengan hari ke-4, 5, 6,
7, dan 8 menunjukkan perbedaan yang
bermakna. Perbedaan jumlah monomer sisa
yang bermakna juga terdapat antara
perendaman hari ke-4 dibandingkan dengan
hari ke-6, 7, dan 8 serta hari ke-5
dibandingkan dengan hari ke-6, 7, dan 8. Hal
ini disebabkan perendaman pada hari ke-6, 7,
dan 8 menghasilkan pelepasan monomer sisa
dalam jumlah yang konstan. Penurunan
tersebut diduga disebabkan oleh jumlah
monomer sisa yang telah habis di permukaan
dan hanya sedikit yang tersisa di dalam rantai
polimer resin akrilik.
Hasil analisis uji Wilcoxon (Tabel 2)
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
penurunan jumlah monomer sisa yang
bermakna antara ketiga hari perendaman 6, 7,
dan 8. Penurunan jumlah monomer sisa pada
perendaman hari ke-6, 7, dan 8 hari
menunjukkan nilai konstan. Hal ini diduga
disebabkan oleh monomer sisa yang terdapat
di dalam rantai polimer resin akrilik berjumlah
minimal sehingga sangat sedikit monomer sisa
yang terlepas bahkan tidak ada lagi monomer
sisa yang dilepaskan pada perendaman hari
ke-8. Selain itu juga diduga faktor penyerapan
akuades oleh resin akrilik yang mulai jenuh
setelah perendaman hari ke-5 menunjukkan
bahwa tidak ada lagi ruang kosong yang
tersisa di dalam rantai polimer resin akrilik.
Hal ini mengartikan bahwa monomer sisa
telah habis dilepaskan ke dalam akuades dan
diduga monomer sisa yang masih terdapat di
dalam resin akrilik sangat minimal atau dapat
dikatakan telah habis.
Secara keseluruhan berdasarkan Tabel 1
menunjukkan bahwa pelepasan monomer sisa
terus menurun hingga hampir konstan pada
perendaman resin akrilik heat cured dalam
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
67
akuades setelah hari ke-3. Penurunan jumlah
monomer sisa setiap harinya diduga terjadi
akibat monomer berdifusi ke dalam akuades
(air perendaman) dan polimerisasi yang masih
berlangsung dari radikal aktif yang terdapat
dalam rantai polimer.12
Beberapa peneliti
mengatakan bahwa monomer sisa masih dapat
terdeteksi pada basis gigi tiruan yang
digunakan hingga 17 tahun. Namun sebagian
besar monomer sisa terlepas dalam 5 tahun
pertama.13
Hal ini menunjukkan bahwa
monomer sisa akan tetap ada dalam jangka
waktu yang lama. Tetapi hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa jumlah monomer sisa
dapat diminimalkan melalui perendaman basis
gigi tiruan resin akrilik di dalam akuades
selama 8 hari sebelum digunakan oleh pasien.
Sehingga dampak dari tingginya jumlah
monomer sisa pada basis gigi tiruan resin
akrilik seperti iritasi atau alergi pada jaringan
rongga mulut dapat berkurang.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa adanya
pengaruh durasi perendaman resin akrilik heat
cured dalam akuades terhadap pelepasan
monomer sisa yaitu semakin meningkat durasi
perendaman resin akrilik heat cured dalam
akuades maka semakin menurun jumlah
monomer yang terlepas. Durasi perendaman
resin akrilik heat cured dalam akuades selama
24 jam (hari ke-1) menunjukkan jumlah
monomer sisa tertinggi dibandingkan hari- hari
berikutnya. Terdapat penurunan jumlah
monomer sisa yang tidak bermakna mulai
perendaman hari ke-6 sampai ke-8.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anusavice KJ. Phillips’ Science of Dental
Material. 8th
ed. St Louis: Elsevier
Science. 2003: 145, 164-166, 722-734.
2. Wardahana DW, Subianto A, Melanie
T. Efek Lama Perendaman Lempeng
Resin Akrilik Heat Cured dalam Larutan
Propolis Obat Kumur terhadap Perubahan
Warna. Journal of Prosthodontics 2010;
1(1):9-11.
3. Sunarintyas S, Irnawati D. Pengaruh Cara
Pemrosesan Resin Akrilik Terhadap Sifat
Fisik dan Mekanik. Jurnal Lembaga
Pengabdian kepada Masyarakat. ISSN
1693-1033. 2005; 19-23.
4. Krisna NKMA, Nirwana I, Yuliati A.
Perendaman dalam Air Selama 8 Hari
Menghasilkan Pelepasan Monomer Sisa
Minimal dari Bahan Denture Base Jenis
Cold Cured. Material Dental Journal
2009; 1(2):15-18.
5. Bural C, Aktas E, Deniz G, et al. Effect
of Leaching Residual Methyl
Methacrylate Concentrations On In Vitro
Cytoxicity of Heat Polimerized Denture
Base Acrylic Resin Processed with
Different Polymerization Cycles. Journal
Applied Oral Science 2010; 306-312.
6. Young BC. A Comparison of
Polymeric Denture Base Materials.
London: University of Glasgow Dental
School. Thesis 2010: 9-40.
7. Golbidi F, Asghari G. The Level of
Residual Monomer in Acrylic Denture
Base Materials. Research Journal of
Biological Sciences 2009; 4(2):244-249.
8. Jorge JH, Giampaolo ET, Machado AL.
Cytoxicity of Denture Base Acrylic
Resins: A Literature Review. The Journal
of Prosthetic Dentistry 2003; 90(2):
190-193.
9. Jorge JH, Giampaolo ET, Vergani CE,
et al. Effect of Post-Polymerization
Heat Treatments On The Cytoxicity of
Two Denture Base Acrylic Resins.
Journal of Applied Oral Science 2006;
14(3):203-207.
10. Mei Huang F, Chin Hu C, Chao Chang
Y, et al. Residual Monomer Releasing
From Acrylic Denture Base In Water.
China Dental Journal 2000; 17-21.
11. Vojdani M, Sattari M, Khajehoseini
SH, et al. Cytotoxicity of Resin-Based
Cleansers: An In Vitro Study. Irian
Red Crescent Medical Journal 2010;
12(2):158-162.
12. Rao P Srinivas, Mahesh P, Kumar HC, et
al. Comparison of Residual Monomer and
Water Absorption in Acrylic Resin
Samples Processed with Microwave and
Conventional Heat Cure Polymerization
Methods – Invitro Study. Annals and
Essence of Dentistry 2012; 4(1):25-29.
13. Hatrick CD, Eakle WS, William FB.
Dental Materials: Clinical Applications
for Dental Assistants and Dental
Hygienists. St Louis: Elsevier. 2003:
250-256.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
68
KONSENTRASI HAMBAT DAN BUNUH MINIMUM EKSTRAK DAUN JERUK NIPIS
(Citrus aurantifolia) Terhadap Aggregatibacter actinomycetemcomitans SECARA IN VITRO
Afrina*, Santi Chismirina
*, Risa Yulanda Magistra
**
*Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
**Program Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala
ABSTRAK
Periodontitis agresif merupakan kelainan jaringan yang progresif pada orang dewasa muda sehat yang
didominasi oleh bakteri Aggregatibacter actinomycetemcomitans. Perawatan periodontitis agresif
dengan penggunaan antibiotik berkepanjangan dapat menyebabkan bakteri A. actinomycetemcomitans
menjadi resisten, oleh sebab itu alternatif perawatan dapat dilakukan dengan pemberian tanaman yang
mengandung antibakteri, salah satunya daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia). Jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) merupakan obat tradisional yang sering digunakan untuk berbagai macam penyakit dan
diketahui memiliki kandungan aktif yang bersifat antibakteri. Zat aktif yang terkandung tersebut
alkaloid, polifenol, saponin, flavonoid, kuinon dan steroid. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui efek antibakteri ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia) terhadap pertumbuhan
A. actinomycetemcomitans secara in vitro. Penelitian eksperimental laboratoris ini menggunakan
sampel A. actinomycetemcomitans isolat klinis yang telah diidentifikasi sebelumnya dan daun jeruk
nipis yang diekstraksi menggunakan metode maserasi. Ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
diuji efek antibakterinya terhadap pertumbuhan A. actinomycetemcomitans dengan metode Standard
Plate Count (SPC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni pada konsentrasi 0,25%
berjumlah 386 x 103
CFU/ml dan paling sedikit ditemukan pada konsentrasi 20% berjumlah 1,5 x 103
CFU/ml. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
ditemukan pada konsentrasi 0,25% dan tidak ditemukan adanya Kosentrasi Bunuh Minimum (KBM).
Kata kunci: Aggregatibacter actinomycetemcomitans, antibakteri, periodontitis, daun jeruk nipis
ABSTRACT
Aggressive periodontitis is a progressive tissue abnormalities in healthy young which is dominated by
Aggregatibacter actinomycetemcomitans. Long term antibiotic use can cause bacteria
A. actinomycetemcomitans to become resistant, therefore, alternative treatments can be done by
giving the plants that contain antibacterial, for example like lime (Citrus aurantifolia) leaves. Lime
(Citrus aurantifolia) leaves is a traditional medicine that is often used for a variety of illnesses and its
chemical compounds have known for their antibacterial activity. The chemical compound of lime
(Citrus aurantifolia) leaves are alkaloids, saponin, polyphenols, flavonoids kuinon, and steroid. The
purpose of this study was to known antibacterial effect of lime leaves againts in vitro growth of
A. actinomycetemcomitans. Lime (Citrus aurantifolia) leaves that used maseration method for
extraction as the sample. Lime (Citrus aurantifolia) leaves extract was determined their antibacterial
activity using Standard Plate Count Method. The results of this study showed that the colony growth
at concentrations of 0,25% amounting to 386 x 103 CFU/ml and the least was found in concentrations
of 20% which is amounting to 1,5 x 103 CFU/ml. Based on this study could be concluded that the
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) was found at concentrations of 0,25 % and Minimum
Bactericidal Consentration (MBC) was not found.
Key words: Aggregatibacter actinomycetemcomitans, antibacterial, periodontitis, lime leaves
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
69
PENDAHULUAN
Penyakit periodontal merupakan
penyakit infeksi kronis yang paling umum
terjadi pada manusia.1 Angka kejadian
periodontitis bervariasi pada berbagai negara
di dunia. Prevalensi di Amerika tahun 2009–
2010 menunjukkan total periodontitis pada
usia 30 tahun ke atas sebesar 47,2% (mewakili
sekitar 64,7 juta orang dewasa berusia 30
tahun ke atas).2 Menurut hasil survei kesehatan
gigi dan mulut tahun 2009, di Indonesia
penyakit periodontal terjadi pada 459 orang
diantara 1000 penduduk.3 Salah satu bentuk
penyakit periodontal adalah periodontitis
agresif.4 Periodontitis agresif merupakan
penyakit inflamasi pada jaringan pendukung
gigi yang perkembangan penyakitnya cepat,
ditandai dengan hilangnya perlekatan jaringan
ikat dan kerusakan tulang alveolar secara cepat
pada lebih dari satu gigi permanen.5,6
A. actinomycetemcomitans merupakan bakteri
patogen yang dominan pada penderita
periodontitis agresif.5
Aggregatibacter actinomycetemcomi-
tans (A. actinomycetemcomitans) adalah
bakteri Gram-negatif berbentuk kokobasil
dengan ukuran 0,4–0,5 m x 1,0–1,5 m, non-
motile dan bersifat anaerob fakultatif.7
A. actinomycetemcomitans memiliki beberapa
faktor virulensi seperti Leukotoksin, Cyto-
lethal Distending Toxin (CDT), Chemotactic
Inhibitor Factor, Lipopolisakarida dan
Kolagenase yang berperan pada dalam
merusak jaringan dan resorpsi tulang pada
periodontitis agresif.8
Perawatan periodontitis agresif berupa
scaling dan root planning, pemberian anti-
biotik dan tindakan pembedahan.9 Antibiotik
yang digunakan untuk perawatan periodontitis
agresif ini adalah tertrasiklin, metronidazole
dan amoksisilin.10
Penggunaan antibiotik yang
berulang-ulang dan tidak tepat adalah
penyebab utama peningkatan jumlah bakteri
yang resisten terhadap obat. Oleh sebab itu
alternatif yang dapat dilakukan adalah
memanfaatkan tanaman yang mengandung
antibakteri sebagai pengganti obat.11
Salah
satu dari tanaman tersebut adalah Daun jeruk
nipis (Citrus aurantifolia).
Tumbuhan jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) dikenal sebagai salah satu jenis
tanaman yang digunakan sebagai bumbu
masakan maupun obat-obatan, contohnya
dalam mengatasi masalah disentri, sembelit,
jerawat, pusing, batuk, bau badan, menambah
nafsu makan, mencegah rambut rontok,
ketombe, flu, demam, kegemukan, amandel,
dan peradangan hidung, bronkitis, asma dan
herpes.12-14
Pada daun jeruk nipis terdapat
kandungan bioaktif seperti alkaloid, polifenol,
saponin, tanin, flavonoid dan triterpenoid yang
berfungsi sebagai antibakteri.12,13
Penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Reddy dkk (2012) menyatakan bahwa
ekstrak daun jeruk nipis pada konsentrasi 20%
efektif sebagai antimikroba dalam membunuh
bakteri Gram-negatif, diantaranya Salmonella
paratyphi, Escherichia coli, Proteus vulgaris,
Pseudomonas aeruginosa, Serratia marces-
cens, Klebsiella pneumoniae dan juga dapat
membunuh bakteri Gram-positif, yaitu
Bacillus cereus, Enterobacter faecalis, dan
Staphylococcus aureus. Sedangkan daya
hambat minimum pada bakteri rata-rata adalah
0,25%.12
Penelitian daya hambat minyak atsiri
pada daun jeruk nipis juga telah dilakukan
oleh Pertiwi (2013) dimana terdapat aktivitas
hambatan terhadap bakteri Staphylococcus
aureus, pada konsentrasi 20%, 40%, dan 80%
(cit. Razak, 2009).14
Berdasarkan uraian di atas maka
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan
Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) ekstrak
daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia) terhadap
pertumbuhan A. actinomycetemcomitans se-
cara in vitro.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental laboratoris dengan desain post-
test only control grup. Penelitian ini dilakukan
di Laboratorium Kimia Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Syiah
Kuala (Unsyiah) untuk proses ekstraksi dan uji
fitokimia daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
dan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh untuk pengujian hasil
ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
terhadap A. actinomycetemcomitans.
Sampel pada penelitian ini adalah daun
jeruk nipis (Citrus aurantifolia) yang berasal
dari daerah Perkebunan Sekolah Pertanian
Menengah Atas (SPMA) Seulawah Aceh
Besar dan sampel A. actinomycetemcomitans
diambil dari isolat klinis penderita perio-
dontitis agresif yang telah diidentifikasi
sebelumnya di Laboratorium Mikrobiologi
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
70
Fakultas Kedokteran Hewan (FKH)
Universitas Gadjah Mada (UGM).
Semua alat dan bahan yang digunakan
pada penelitian ini disterilisasi terlebih dahulu.
Kemudian dilakukan pembuatan ekstrak daun
jeruk nipis (Citrus aurantifolia). Sebanyak
1 kg daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
berwarna hijau tua, segar dan permukaannya
mengkilat dicuci, dikeringkan dan dihaluskan
hingga menjadi serbuk. Selanjutnya proses
ektraksi dilakukan dengan metode maserasi,
serbuk daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
direndam dengan pelarut etanol 96%,
kemudian dilakukan penyaringan sampai
didapat filtrate dan ampas. Filtrat dipekatkan
dengan rotary evaporator pada suhu 50oC
sehingga diperoleh ekstrak pekat dan tidak
mengandung etanol.15
Dilakukan uji fitokimia
ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
untuk mengetahui adanya kandungan alkaloid,
polifenol, saponin, tanin, flavonoid dan
triterpenoid.16-19
Ekstrak daun jeruk nipis
(Citrus aurantifolia) diencerkan dengan aqua-
dest sampai diperoleh konsentrasi 0,25%,
0,5%, 1%, 5%, 10% dan 20%. Akuades tanpa
dicampur ekstrak daun jeruk nipis digunakan
sebagai kontrol negatif dan ciprofloxacin 10
µg digunakan sebagai kontrol positif.
Bakteri A. Actinomycetemcomitans di-
kultur di media AaGM agar dengan suasana
anaerob kemudian diinkubasi di dalam
inkubator selama 48 jam pada suhu 37oC.
15
Setelah koloni bakteri tumbuh, dilakukan uji
konfirmasi dengan pewarnaan Gram.20
Bakteri
yang telah tumbuh di media AaGM diambil
kemudian dimasukkan kedalam NaCl 0,9%
5 ml, dihomogenkan dan disetarakan ke-
keruhannya dengan larutan Mc Farland 0,5
(1,5 x 108 CFU/ml).
21 Kemudian dilakukan
pengenceran bertingkat (serial dilution).
Setelah itu, diambil sebanyak 0,1 ml dari
semua tabung diteteskan ke media MHA
dengan metode spread plate dengan
menggunakan batang L, dan diinkubasi dalam
inkubator selama 24 jam dengan suhu 37oC
pada suasana anaerob. Pengamatan dilakukan
setelah 24 jam dengan melakukan peng-
hitungan koloni A. actinomycetemcomitans
menggunakan colony counter dengan syarat
jumlah koloni yang tumbuh pada media adalah
30–300 CFU/ml.22
Penentuan KHM dan KBM diawali
dengan menyiapkan 8 tabung reaksi. Tabung 1
diisi dengan 1 ml ciprofloxacin 10 µg/ml
(kontrol positif), tabung 2 diisi 1 ml akuades
steril (kontrol negatif), selanjutnya tabung 3
diisi ekstrak daun jeruk nipis konsentrasi
0,25%, tabung 4 diisi ekstrak daun jeruk nipis
konsentrasi 0,5%, tabung 5 diisi ekstrak daun
jeruk nipis konsentrasi 1%, tabung 6 diisi
ekstrak daun jeruk nipis konsentrasi 5%,
tabung 7 diisi ekstrak daun jeruk nipis
konsentrasi 10% dan tabung 8 diisi ekstrak
daun jeruk nipis konsentrasi 20%. Masing-
masing tabung tersebut diisi sebanyak 1 ml
ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia).
Kemudian semua tabung diisi 1 ml Trypticase
Soy Broth (TSB), dan 0,1 ml suspensi
A. actinomycetemcomitans dimasukkan ke
dalam masing-masing tabung lalu dihomo-
genkan.
Selanjutnya diambil 0,1 ml suspensi dari
masing-masing tabung, dikultur dimedia MHA
dengan metode sebar (spread plate) dibuat
dalam suasana anaerob dan diinkubasi dalam
inkubator selama 24 jam dengan suhu 37oC.
Setelah koloni tumbuh, dilakukan peng-
hitungan koloni dan penentuan KHM dan
KBM. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
dari ekstrak daun jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) adalah cawan petri yang
memiliki jumlah koloni bakteri yang lebih
sedikit dibandingkan cawan petri kelompok
kontrol negatif. Konsentrasi Bunuh Minimum
(KBM) dari ekstrak daun jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) adalah cawan petri yang tidak
terdapat pertumbuhan koloni bakteri.21
Analisis data hasil penelitian dilakukan
dengan metode one way ANOVA untuk
mengetahui apakah terdapat pengaruh atau
tidak pada tiap kategori perlakuan. Jika
terdapat pengaruh maka dilanjutkan dengan uji
lanjut Least Significant Difference (LSD)
untuk mengetahui kelompok yang memiliki
perbedaan yang bermakna.
Gambar 1. Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus
aurantifolia)
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
71
HASIL PENELITIAN Daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
ditimbang sebanyak 1 kg yang diekstrak
dengan metode maserasi menggunakan 2 liter
pelarut etanol 96% selama 3 hari, didapatkan
ekstrak kental sebanyak 10 mg seperti yang
terlihat pada Gambar 1 di atas.
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa
ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
mengandung alkaloid, saponin, polifenol,
flavonoid, kuinon, dan steroid (Tabel 1).
Hasil kultur koloni A. actinomycetem-
comitans yang dilakukan pada media AaGM
agar kemudian diinkubasi selama 48 jam pada
suhu 37oC dalam suasana anaerob, menunjuk-
kan morfologi koloni berbentuk bulat
cembung, permukaan kasar, dan berwarna
krem, seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hasil Kultur Koloni A. actinomycetem-
comitans pada Media AaGM Agar
Hasil pewarnaan Gram dengan
menggunakan mikroskop cahaya dengan
pembesaran 10x100, terlihat morfologi
A. actinomycetemcomitans berbentuk koko-
basilus dengan warna merah muda seperti
Gambar 3. Hal ini membuktikkan bahwa
bakteri tersebut adalah bakteri Gram-negatif.
Gambar 3. Hasil Pewarnaan Gram A. Actinomyce-
temcomitans
Pada penelitian ini pengujian aktivitas
antibakteri ekstrak daun jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) terhadap pertumbuhan A. actino-
mycetemcomitans dilakukan sebanyak 2 kali
pengulangan. Jumlah rata-rata koloni A. acti-
nomycetemcomitans setelah dilakukan peng-
ujian menunjukkan pertumbuhan koloni yang
paling banyak pada akuades (469,5 x 103
CFU/ml) dan paling sedikit adalah pada
Ciprofloxacin (0,5 x 103
CFU/ml). Jumlah
rata-rata koloni bakteri juga telihat menurun
pada setiap kenaikan konsentrasi dapat dilihat
pada Tabel 2.
Uji statistik yang digunakan pada
penelitian ini adalah One Way ANOVA yang
memiliki syarat lebih dari dua kelompok,
distribusi dan homogenitas varian data sama.
Penelitian ini memiliki 8 kelompok yang
terdiri dari 6 kelompok perlakuan (0,25%,
0,5%, 1%, 5%, 10%, 20%) dan 2 kelompok
kontrol (ciprofloxacin) sebagai kontrol positif
dan (akuades) sebagai kontrol negatif. Hasil
uji normalitas menunjukkan distribusi dan
homogenitas varian data penelitian adalah
normal dengan nilai p>0,05. Hasil uji ANOVA
menunjukkan nilai p<0,05, membuktikan
Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia)
No Uji Perubahan Reaksi Hasil
1. Alkaloid Terjadi perubahan warna +
2. Saponin Terbentuk gelembung +
3. Tanin Tidak terbentuk larutan putih keruh -
4. Polifenol Larutan hijau kehitaman +
5. Flavonoid Larutan coklat +
6. Kuinon Larutan putih +
7. Steroid Larutan biru hijau +
8. Triterpenoid Larutan biru hijau -
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
72
Tabel 2. Jumlah Rata-Rata Koloni A. actinomycetemcomitans Setelah Diuji dengan Ekstrak Daun Jeruk Nipis
(Citrus aurantifolia)
Konsentrasi Bahan Uji
Jumlah Koloni A. actinomycetemcomitans
Setelah Diuji dengan Ekstrak Daun Jeruk
Nipis (Per Pengulangan ) Rata-Rata Jumlah
Koloni (CFU/ml)
1 2
0,25% 390 x 103 382 x 10
3 386 x 10
3
0,5% 93 x 103 80 x 10
3 86,5 x 10
3
1% 17 x 103 21 x 10
3 19 x 10
3
5% 11 x 103 9 x 10
3 10 x 10
3
10% 3 x 103 5 x 10
3 4 x 10
3
20% 1 x 103 2 x 10
3 1,5 x 10
3
Akuades 475 x 103 464 x 10
3 469,5 x 10
3
Ciprofloxacin 10 µg/ml 0 x 103 1 x 10
3 0,5 x 10
3
Tabel 3. Uji Least Significant Difference (LSD)
Kelompok
Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 Akuades Cipro
P1 - 0,000*
0,000*
0,000* 0,000
* 0,000
* 0,000
* 0,000
*
P2 0,000* - 0,000
* 0,000
* 0,000
* 0,000
* 0,000
* 0,000
*
P3 0,000* 0,000
* - 0,102 0,015
* 0,007
* 0,000
* 0,005
*
P4 0,000* 0,000
* 0,102
- 0,253 0,119 0,000
* 0,087
P5 0,000* 0,000
* 0,015
* 0,253 - 0,622 0,000
* 0,493
P6 0,000* 0,000
* 0,007
* 0,119 0,622
* - 0,000
* 0,843
Akuades 0,000* 0,000
* 0,000
* 0,000
* 0,000
* 0,000
* - 0,000
*
Cipro 0,000* 0,000
* 0,005
* 0,087 0,493 0,843 0,000
* -
*= p<0,05; terdapat perbedaan bermakna
terdapatnya pengaruh dari kelompok uji
terhadap pertumbuhan A. actinomycetemco-
mitans. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
terhadap pertumbuhan A. actinomycetemco-
mitans ditunjukkan pada konsentrasi 0,25%,
dan tidak ditemukan Konsentrasi Bunuh
Minimum (KBM) pada penelitian ini. Hasil uji
lanjut Least Significant Difference (LSD)
0,25%, 0,5%, 1%, 5%, 10% dan 20% dengan
kontrol negatif menunjukkan nilai p<0,05,
sehingga dapat disimpulkan adanya perbedaan
yang bermakna dari konsentrasi ekstrak
tersebut dengan kontrol negatif (akuades).
Hasil uji lanjut LSD dapat dilihat pada
Tabel 3.
PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan teknik
maserasi untuk proses ekstraksi komponen zat
aktif. Metode ini dipilih karena relatif
sederhana dan mudah, dan tidak memerlukan
proses pemanasan yang dapat merusak
komponen aktif dari simplisia.23,24
Proses
maserasi dilakukan menggunakan pelarut
etanol. Pelarut etanol digunakan karena
memiliki kemampuan untuk melarutkan bahan
aktif yang bersifat polar, semi polar, ataupun
nonpolar. Selain itu, pelarut etanol diketahui
tidak bersifat toksik. Berbagai peneliti
menyebutkan kelebihan pelarut etanol untuk
mengekstraksi senyawa aktif tumbuhan, baik
yang bersifat antioksidan maupun yang
bersifat sebagai antibakteri.23,25
Setelah proses maserasi, dilakukan uji
fitokimia untuk membuktikan bahwa pada
ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
terkandung alkaloid, polifenol, saponin, tanin,
flavonoid dan triterpenoid yang berfungsi
sebagai antibakteri. Dari hasil uji fitokimia ini
juga ditemun adanya kuinon dan steroid, hal
ini diduga karena kuinon termasuk golongan
fenol dan steroid termasuk golongan saponin
Sehingga tidak disebutkan secara terpisah.26
Namun dari hasil uji fitokimia pada penelitian
ini tidak ditemukan adanya kandungan tanin
dan triterpenoid, hal ini disebabkan karena
bahan uji yaitu daun jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) yang digunakan pada penelitian
ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Komposisi senyawa yang terkandung dalam
tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
73
Baik faktor internal maupun eksternal. Faktor
internal seperti adanya pengaruh pada
varietas/gen dan yang termasuk faktor
eksternal yaitu, adanya pengaruh cahaya
matahari, curah hujan, struktur tanah, maupun
iklim di daerah tersebut sehingga terdapat
perbedaan terhadap kandungan daun jeruk
nipis.
Pada penelitian ini morfologi koloni
A. actinomycetemcomitans terlihat berbentuk
bulat cembung, permukaan kasar, dan
berwarna krem. Media selektif yang
digunakan pada penelitian ini adalah
A. actinomycetemcomitans Growth Medium
(AaGM) agar. Media AaGM mengandung
yeast extract yang dapat meningkatkan
pertumbuhan A. actinomycetemcomitans.
Yeast extract digunakan untuk enumerasi
mikroorganisme dalam air bersih yang
menyediakan sumber nitrogen, asam amino,
vitamin, dan karbon yang diperlukan untuk
pertumbuhan organisme.6,27
Hal ini didukung
dengan penelitian Reddy dkk (2012) yang
menyatakan bahwa pada media selektif,
A. actinomycetemcomitans diisolasi dari
rongga mulut membentuk koloni sirkuler
dengan diameter 1–2 mm, memiliki
peninggian yang cembung, tepi yang irreguler,
translusen, serta struktur internal berbentuk
seperti bintang.27,28
Hasil pewarnaan Gram-negatif yang
dilakukan pada penelitian ini menunjukkan
bentuk koloni bakteri kokobasilus dan
berwarna merah muda sehingga dapat
disimpulkan A. actinomycetemcomitans meru-
pakan bakteri Gram-negatif yang berbentuk
kokobasilus. Bakteri Gram-negatif memiki
kandungan lipid yang lebih banyak pada
dinding selnya, sementara bakteri Gram-positif
memiliki dinding sel dengan lapisan pepti-
doglikan yang lebih tebal. Akibat perbedaan
tersebut, bakteri yang ditetesi kristal violet dan
iodin memiliki ketahanan yang berbeda.
Bakteri Gram-positif cenderung dapat mem-
pertahankan kompleks kristal violet dan iodin
setelah ditetesi etanol 96%, akibat kandungan
peptidoglikan yang lebih tebal pada dinding
selnya.26
Kompleks kristal violet dan iodin juga
dapat meningkatkan aktivitas pengikatan suatu
zat warna oleh bakteri, sehingga pada saat
ditetesi dengan safranin, bakteri Gram-positif
tetap memperlihatkan tampilan berwarna
ungu. Bakteri Gram-negatif tidak dapat
mempertahankan kompleks tersebut karena
dinding selnya mengandung lipid yang lebih
banyak. Senyawa lipid akan larut setelah
ditetesi etanol, sehingga dapat menyebabkan
permukaan dinding sel bakteri akan
membentuk pori. Terbentuknya pori tersebut
mengakibatkan tidak dapat ditahannya
komplek kristal violet dari permukaan dinding
sel bakteri setelah ditetesi etanol, sehingga
bakteri Gram-negatif dapat menyerap warna
safranin, dan tampilan koloni bakteri Gram-
negatif akan terlihat berwarna merah muda.29,30
Hasil uji aktivitas antibakteri daun jeruk nipis
terhadap A. actinomycetemcomitans menun-
jukkan bahwa ekstrak daun jeruk nipis tersebut
secara signifikan mampu menghambat
pertumbuhan A. actinomycetemcomitans. Ke-
mampuan tersebut terjadi karena di dalam
daun jeruk nipis terkandung zat-zat antibakteri
seperti alkaloid, tanin, polifenol, saponin,
flavonoid dan triterpenoid. Replikasi DNA
dari A. actinomycetemcomitans dihambat oleh
alkaloid dan tanin yang terdapat pada daun
jeruk nipis. Selain itu, rusaknya permeabilitas
dinding sel A. actinomycetemcomitans di-
sebabkan oleh flavonoid dan terganggunya
stabilitas serta proses pembentukan membran
dan dinding sel A. actinomycetemcomitans
dibantu oleh saponin dan triterpenoid sehingga
dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuh-
an A. actinomycetemcomitans. Sedangkan
A. actinomycetemcomitans dapat mengalami
kematian sel saat fungsi fisiologis bakteri
terganggu oleh polifenol.31,32
Pada penelitian ini pemilihan
konsentrasi berdasarkan penelitian Reddy
(2012). Hasil uji aktivitas antibakteri daun
jeruk nipis menunjukkan pengaruh yang
signifikan terhadap pertumbuhan A. actino-
mycetemcomitans. Secara statistik, pertumbuh-
an koloni pada konsentrasi 0,25% terdapat
perbedaan bermakna dengan kontrol negatif
(akuades). Ini menjelaskan bahwa Konsentrasi
Hambat Minimum (KHM) terdapat pada
konsentrasi 0,25%. Hal ini disebabkan jumlah
rata-rata koloni yang tumbuh pada konsentrasi
0,25% lebih sedikit dibandingkan dengan
akuades. Perbedaan jumlah koloni yang
bermakna antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol negatif (akuades) terlihat
pada semua konsentrasi yaitu 0,25%, 0,5%,
1%, 5%, 10% dan 20%, sedangkan
Konsentrasi Bunuh Minimum pada penelitian
ini tidak dapat diamati. Hal ini diduga karena
konsentrasi yang digunakan hanya sampai
pada konsentrasi 20%. Penelitian ini didukung
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
74
oleh penelitian Reddy (2012) dengan
menggunakan konsentrasi ekstrak daun jeruk
nipis 0,25%, 0,5%, 1%, 5%, 10% dan 20%
pada bakteri Bacillus cereus, Enterobacter
faecalis, Salmonella paratyphi, Escherichia
coli, Proteus vulgaris, Pseudomonas aerugi-
nosa, Serratia marcescens, Staphylococcus
aureus and Klebsiella pneumoniae. Penelitian
tersebut menunjukkan KHM (Konsentrasi
Hambat Minimum) rata-rata pada bakteri
adalah 0,25%, sedangkan KBM (Konsentrasi
Bunuh Minimum) pada 20% efektif sebagai
antimikroba dalam membunuh bakteri.12
Berbeda dengan penelitian Reddy
(2012), pada penelitian ini KBM tidak
ditemukan disebabkan bakteri masih mampu
bertahan pada konsentrasi 20% dengan rata-
rata jumlah koloni 1,5 x 103
CFU/ml, begitu
juga pada Ciprofloxacin, bakteri masih mampu
bertahan dengan rata-rata koloni 0,5 x 103
CFU/ml. Ini disebabkan oleh bakteri Gram-
negatif, selnya dikelilingi oleh membran
tambahan (outer membrane), sehingga per-
mukaan bakteri menjadi hidrofilik. Hal ini
dapat berfungsi sebagai permeability barrier
untuk agen eksternal lainnya. Efek ini juga
dapat disebabkan oleh adanya molekul
lipopolisakarida (LPS) pada outer membrane
tersebut, sehingga bakteri Gram-negatif akan
resisten terhadap antibiotik yang bersifat
hidrofobik. Selain itu, juga disebabkan karena
adanya Outer Membrane Vesicle (OMV) yang
terdapat pada bakteri A. actinomycetemco-
mitans memperlihatkan kemampuan untuk
membawa berbagai protein, termasuk CDT
kedalam sel host. Cytolethal Distension Toxin
(CDT) yang dihubungkan dengan OMV juga
terlihat pada isolat A. actinomycetemcomitans
serotip b dan c. Peneliti lainnya juga
menyebutkan OMV tidak hanya berperan
dalam mengeluarkan CDT, namun juga faktor
virulensi lain dari bakteri.29
Pola resistensi
bakteri Gram-negatif juga diketahui dapat
terjadi akibat penutupan celah/pori (loss of
porion) pada dinding sel bakteri, sehingga
menurunkan jumlah agen antimikroba yang
melintasi membran sel. Bakteri Gram-negatif
juga memperlihatkan peningkatan aktivitas
pompa keluar (efflux pumps), sehingga agen
antimikroba tidak dapat berinteraksi dengan
tempat target.33
Kemampuan daun jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) dalam menghambat pertumbuhan
bakteri A. actinomycetemcomitans tidak
terlepas dari senyawa aktif yang bersifat
antibakteri yang terdapat pada daun jeruk
nipis. Alkaloid dikaitkan dengan kemam-
puannya dalam menghambatan replikasi
Deoxyribonucleic Acid (DNA) dengan cara
dengan menghambat aktivasi enzim yang
berperan pada proses pengarahan nukleotida
pada pita DNA. Adanya gangguan replikasi
DNA juga dapat menyebabkan gangguan
pembelahan sel.34
Polifenol mempunyai
aktivitas denaturasi protein dengan cara
berikatan dengan protein melalui ikatan
hidrogen sehingga struktur protein sel bakteri
menjadi rusak. Hal tersebut akan mengganggu
fungsi fisiologis bakteri yang lambat laun akan
menyebabkan kematian sel bakteri, sedangkan
saponin adalah substansi bersabun yang
memiliki efek pembersihan.34
Flavonoid
mempunyai mekanisme membentuk kompleks
dengan protein ekstraselular dan dinding sel
bakteri, menyebabkan berhentinya aktivitas
metabolisme bakteri, dan kematian sel.35
Steroid mempunyai kemampuan berinteraksi
dengan membran fosfolipid sel yang bersifat
impermeabel terhadap senyawa-senyawa
lipofilik sehingga menyebabkan integritas
membran menurun, morfologi membran sel
berubah, dan akhirnya dapat menyebabkan
membran sel rapuh dan lisis. Kuinon
mempunyai kemampuan sebagai antibiotik
dan penghilang rasa sakit serta merangsang
pertumbuhan sel baru pada kulit.35
KESIMPULAN Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)
ekstrak daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia)
terhadap pertumbuhan A. actinomycetemco-
mitans adalah pada konsentrasi 0,25%,
sedangkan Konsentrasi Bunuh Minimum
(KBM) tidak dapat ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kler S, Malik R. An update on the
virulence factors of Actinobacillus
actinomycetemcomitans – a systematic
review. STM Journals 2010; 1(1):1-10.
2. Eke P, Dye B, Wei L. Prevalence of
periodontitis in adult in the United State:
2009-2010. J Dent Res 2012; 91(10):
914-920.
3. Wahyukundari M. Perbedaan kadar
matrix etalloproteinase-8 setelah scalling
dan pemberian tetrasiklin pada penderita
periodontitis kronis. JURN PDGI 2009;
58(1): 1-6.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
75
4. Roshna T, Nandakumar K. Generalized
aggressive periodontitis and its treatment
options: case reports and review of the
literature. Case Report in Medicine 2011;
2012:1-17.
5. Novak KF, Novak MJ. Aggressive
Periodontitis. In: Carranza’s clinical
periodontology (Newman MG, Takei HH,
Klickkevold PR, Carranza FA, eds). 11th
ed. Missouri: Saunders Elsevier. 2012:
169-171.
6. Noack B, Hoffman T. Aggressive
Periodontitis. Clinical and Research
Reports 2004; 1(4): 335-344.
7. Henderson B, Ward JM, Ready D.
Aggregatibacter (Actinobacillus) actino-
mycetemcomitans: a triple A* perio-
dontophatogen. Periodontology 2010;
54:78-105.
8. Kler S, Malik R. An update on the
virulence factors of Actinobacillus
actinomycetemcomitans – a systematic
review. STM Journals 2010; 1(1):1-10.
9. Mi Hwa Jung, Jin Woo Park, Jo Young,
Jae Mok Lee. Clinical case report on
treatment of generalized aggressive
periodontitis. J Periodontal Implant Scl
2010: 40:249-253
10. Ardila CM, Lopez MA, Guzman IC. High
resistance against clindamycin, metro-
nidazole, and amoxicillin in Porphyro-
monas gingivalis and Aggregatibacter
actinomycetemcomitans. Med Oral Patol
Oral Cir Bucal 2010; 1(15):947-951.
11. Anonymous. Use antibiotics rationally.
WHO. 2011.
12. Reddy L, Jalli D, Jose B, Gopu S.
Evaluation of antibacterial & antioxidant
activities of the leaf essential oil & leaf
extracts of Citrus aurantifolia. Asian
Journal of Biochemical and Pharma-
ceutical Research 2012; 2(2):346-354.
13. Khan PR, Gali PR, Pathan P. In vitro
antimicrobial activity of Citrus
aurantifolia and its phytochemical
screening. Life Sciences Feed 2012; 1(2):
13-16.
14. Razak A, Djamal A, Revilla G. Uji daya
hambat air perasan buah jeruk nipis
(Citrus aurantifolia s.) terhadap
pertumbuhan bakteri Staphylococcus
Aureus Secara In Vitro. Jurnal Kesehatan
Andalas 2013; 2(1):5-8.
15. Ar Rasyid KH. Aktivitas antibakteri
ekstrak kulit manggis (Garcinia
mangostana L) terhadap pertumbuhan
A. actinomycetemcomitans sebagai agen
penyebab periodontitis agresif. Banda
Aceh: Universitas Syiah Kuala. Skripsi
2012: 21.
16. Rija’I H, Syafnir L, Uji aktifitas
antioksidan ekstrak bertingkat daun sirih
hitam (Piper acre blume) dengan radikal
bebas dpph (1,1-difenil-2-pikril hidrazil).
Prosiding Penelitian SPeSIA 2015; 58-64.
17. Putra A, Bogoriani W. Ekstraksi zat
warna alam dari bonggol tanaman pisang
(musa paradiasciaca) dengan metode
maserasi, refluks, dan sokletasi. JURNAL
KIMIA 2014; 8(1):113-119.
18. Dent M, Uzelac VD, Penic M, Brncic M.
The effect of extraction solvent,
temperature, and time on the compotition
and mass fraction of polyphenol in
dalmation wild sage (Salvia officinalis L.)
extract. Biotechnol 2013; 51(1):84-91
19. Rakesh DD, Longo G, Khanuja SPS,
Handa SS. Ekstraction Technologies for
medicinal and Aromatic Plants.
International Centre For Science And
High Technology Trieste 2008; 22-23.
20. Miranti M, Prasetyorini. Perbandingan
aktivitas antibakteri ekstrak etanol 30%
dan 96% kelopak bunga rosella (Hibiscus
sabdariffal) terhadap bakteri staphylo-
coccus aureus. Ekologia 2013; 13(1):
9-18.
21. Tsuzukibashi O, Takada K, Saito M,
Kimura C, Yoshikawa T, Makimura M,
Hirasawa M. A novel selective medium
for isolation of Aggregatibacter
(Actinobacillus) actinomycetemcomitans.
J Periodont Res 2008; 43:544–548.
22. European Committee For Antimicrobial
Suspectibolity Testing (EUCAT).
Determination of minimum inhibitory
concentration (MIC) of antibacterial
agents by agar dilution. Clinical
microbiology and infection 2000; 6(9):
1-8.
23. Dent M, Uzelac VD, Penic M, Brncic M.
The effect of extraction solvent,
temperature, and time on the compotition
and mass fraction of polyphenol in
dalmation wild sage (Salvia officinalis L.)
extract. Biotechnol 2013; 51(1):84-91.
24. Rakesh DD, Longo G, Khanuja SPS,
Handa SS. Ekstraction Technologies for
medicinal and Aromatic Plants.
Cakradonya Dent J 2016; 8(1):1-76
76
International Centre For Science And
High Technology Trieste 2008: 22-23
25. Pasaribu F, Sitorus P, Bahri S. Uji
Ekstrak Etanol Kulit Manggis (Garcinia
mangostana L) terhadap Penurunan Kadar
Glukosa Darah. Journal of Pharmaceutics
and Pharmacology 2012; 1(1):1.
26. Paul G Engelkirk, Janet Duben-Engelkirk.
Laboratory diagnosis of infectious
disease. Baltimore: LWW. 2008: 126-
132.
27. Henderson B, Ward JM, Ready D.
Aggregatibacter (Actinobacillus) actino-
mycetemcomitans: a triple A* perio-
dontophatogen. Periodontology 2010;
54:78-105.
28. Mythireyi D, Krishnababa MG.
Aggregatibacter actinomycetemcomitans,
an aggressive oral bacteria – a review.
International Journal of Health Sciences
and Research 2012; 2:105-117.
29. Robert W. Bauman. Microbiology with
disease by taxonomy. 3rd
ed. San
Francisco: Pearson. 2011: 97-105.
30. Isdaryanti, Abdullah A, Nawir NHA.
Isolasi dan Karakterisasi Bakteri
Pendegradasi Lignoselulosa Asal Rumen
Sapi. Jurusan Biologi FMIPA Universitas
Hasanuddin.
31. Zahro L, Agustini R. Uji efektivitas
antibakteri ekstrak kasar saponin jamur
tiram putih (Pleurotus ostreatus) terhadap
Staphylococcus aureus dan Escherichia
coli. UNESA Jurnal of Chemistry 2013;
2(3):120-122.
32. Liantari D, Effect of wuluh starfruit leaf
extract for Streptococcus mutans growth.
J Majority 2014; 3(7):27-33.
33. Bockstael K, Aerschot AV. Antimicrobial
resistance in bacteria. Review Article
2006; 1-16.
34. Winarsih S, Andini KR, Primivanny K.
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol
Daun Pandan Wangi (Pandanus Amaryl-
lifolius Roxb.) Terhadap Streptococcus
mutans Strain 2302-UNR Secara In Vitro.
Universitas Brawijaya. 2011: 1-7.
35. Siregar AF, Sabdono A, Pringgenies D.
Potensi antibakteri ekstrak rumput laut
terhadap bakteri penyakit kulit
Pseudomonas aeruginosa, Staphylo-
coccus epidermidis, dan Micrococcus
luteus. Journal of Marine Research 2012;
1(2):152-160.