Caju 1436421912
-
Upload
tiby-khotiby -
Category
Documents
-
view
212 -
download
0
Transcript of Caju 1436421912
-
8/18/2019 Caju 1436421912
1/6
http://sumut.kemenag.go.id/07/05/2015
1
STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI MELALUI TRANSFORMASIPERAN KEPEMIMPINAN SPRITUAL
Oleh : H.Suten Hasibuan *)
ABSTRAK
Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang sangat fenomenal danmembudaya dalam perjalanan bangsa-bangsa di dunia. Dilihat dari aspek historis,praktek korupsi sudah setua sejarah manusia. Di Indonesia, potret korupsimerupakan salah satu sisi terburuk sejarah penyelenggaraan berbangsa danbernegara. Menurut catatan seorang mantan penasehat Komisi PemberantasanKorupsi (KPK), Hemahua (2006), sekitar 90% PNS melakukan korupsi, baik
beruapa korupsi waktu, pungli, maupun mark-up kecil-kecilan sampai besar-besaran; dari level pegawai paling rendah sampai pejabat penyelenggara palingtinggi. Semua ramai-ramai melakukan korupsi dengan modus yang begitu rapi dansistematis. Maka betul apa yang pernah dikatakan Bung Hatta bahwa korupsi telahmembudaya, korupsi menjadi bagian dari way of life, karena norma-normanyasudah menjadi bagian dari sistem manajemen penyelenggaraan Negara (JurnalTransparansi Edisi 25/Oktober 2000). Inilah salah satu sisi buram potret sejarahIndonesia, sejarah yang selalu diwarnai refleksi budaya dan mentalitas para birokratdan elit politik yang korup.
Key word : Strategi, pemberantasan, Korupsi, Transformasi.
A. PendahuluanPemerintah sejak zaman orde lama sampai dengan era reformasi sebenarnya
menaruh perhatian terhadap pemberantasan korupsi.
Saya mencatat, terdapat lebih dari selusin dasar hukum antikorupsi berikut aturan
pelaksanaannya yang pernah diterapkan di Negeri ini, namun ironisnya, sampai saat ini
Indonesia masih selalu menjadi “juara bertahan” korupsi .(meminjam istilah Mundzar
Fahman,2004). Lihat misalnya, hasil survey PERC ( Political and Economic Risk
Consultancy ), menunjukkan bahwa dari 13 negara Asia yang disurvey, Indonesia
menduduki peringkat ke-3 sebagai negara terkorup di Asia setelah Filipina dan thailand.(
Jawa Pos, 11 Maret 2008). Hal ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak
cukup hanya dengan memberlakukan hukum kasus perkasus, melainkan harus ada gerakan
budaya yang mampu merekonstruksi nilai-nilai luhur budaya antikorupsi, dan
menginternalisasikannya ke dalam budayakerja birokrasi pemerintah kita.
-
8/18/2019 Caju 1436421912
2/6
http://sumut.kemenag.go.id/07/05/2015
2
Pertanyaannya adalah, bisakah budaya antikorupsi itu diciptakan di instansi
pemerintah ? Bagaimana cara mentranspormasi budaya antikorupsi dan
mengimplementasikannya ke dalam budaya kerja birokrasi pemerintah sehingga tercipta
sistem penyelenggaraan negara menuju good givernance dan clean governance ?
B. Akar Budaya Korupsi
Persoalan korupsi tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah dan budaya. Korupsi
telah berkar jauh kemasa silam, tidak saja di Indonesia, tetapi hampir di semua bangsa.
Korupsi akan senantiasa timbul jika dalam budaya suatu msyarakat tidak ada nilai yang
memisahkan secara tajam antara milik masyarakat dengan milik pribadi. Pihak yang dapat
melakukan pengaburan antara milik masyarakat dengan milik pribadi itu tentulah para
penguasa. Di masa feodal, baik di Eropa maupun di Asia termasuk Indonesia, tanah-tanah
yang luas dianggap milik raja, dan raja berhak memungut pajak , ongkos sewa dan upeti
dari rakyat yang menduduki dan memanfaatkan tanah itu. Bahkan sering pula rakyat
diharuskan membayar dengan “ tenaga kasar”, bekerja untuk memenuhi berbaga i
keperluan para penggede. Di masa itu, kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada rakyat
itu dilakukan dalam kerangka adat, budaya, kebiasaan turun-temurun, dan apa yang
dilakukan para penggede dan Raja dianggap patut dan wajar saja.Korupsi yang kini
meraja lela di Indonesia berakar pada masa tersebut ketika kekuasaan bertumpu pada “
birokrasi patrimonial” dalam kerangka kekuasaan feodal. (Mochtar Lubis,1995).
Menurut Max Weber (1968), kelemahan sistem birokrasi patrimonial adalah
terutama tidak mengenal perb edaan antara lingkup “pribadi” dan lingkup “dinas”. Juga
pelaksanaan pemerintahan dianggap sebagai urusan pribadi sang penguasa.Dengan
demikian tingkahlaku kekuasaannya sama sekali bebas, tidak dibatasi norma-norma yang
kukuh.Dalam masalah-masalah politik, hak penguasa menghilangkan batas yurisdiksi para
pejabat. Batas batas diantara berbagai fungsi jabatan sangat tipis. Birokrasi patrimonial
semacam itu tidak saja ditemukan dalam sejarah masa lampau dengan berikutnya yang
tradisional, tetapi juga dalam bentuknya yang tradisional, tetapi juga dalam bentuknya
yang baru, yang memakai kedok birokrasi yang modern. Wujud yang nyata adalah, selain
korupsi juga marak berkembang kolusi dan nepotisme dalam sistem birokrasi modern,
sehingga istilah KKN sangat familiar di masyarakat kita. Ini menunjukkan bahwa warisan
nilai-nilai birokrasi patrimonial yang kuno itu masih bercokol dalam sistem birokrasi
medern saat ini.
-
8/18/2019 Caju 1436421912
3/6
http://sumut.kemenag.go.id/07/05/2015
3
Akibat dari warisan nilai-nilai sistem birokrasi patrimonial itu maka praktek
koroupsi telah “melembaga” dalam suatu lapisan yang seolah -olah terstruktur
rapi.Aditjondro (2006 :401 -402), mencatat ada tiga lapis korupsi.(1). Korupsi lapis
pertama, yang meliputi bidang sentuh langsung antara warga dengan birokrasi atauaparatur negara, contohnya adalah suap dan pemerasan. (2). Korupsi lapis kedua, yang
meliputi “lingkaran dalam” di pusat pemerintahan, contohnya adalah nepotisme, kronisme,
dan kelas baru. (3). Korupsi lapis ketiga, adalah jaringan korupsi (corruption network)
yang berbentuk dari berbagai birokrat atau pejabat lintas sektoral yang bersepakat
melakukan korupsi, semacam jaringan “legitimator”. Jaringan itu bisa berlingkup regional,
nasional dan Internasional.
Dilihat dari konteks sejarah dan budaya tersebut, sesungguhnya peran
kepemimpinan sangat determinan dalam terjadinya praktek-praktek korupsi. Warisan
kepemimpinan birokrasi patrimonial pada masa feodalistik telah menimbulkan birokrasi
koruptif dan nepotis yang sudah mengakar kuat. Dalam kondisi demikian, menurut
Darmanto Jatman (2000), perlawanan terhadap korupsi tidak bisa formalistik dan legalistik
, tetapi perlu pencegahan secara kultural dengan mengembangkan kultur antikorupsi.
Senada dengan Jatman Soetandyo Wignyosoebroto (2000) juga berpendapat, bahwa perlu
gerakan budaya dalam pemberantasan korupsi. Maka pertanyaan selanjutnya adalah,
gerakan budaya semacam apa yang bisa dilakukan ? Saya menawarkan solusi, berangkat
dari suatu pertanyaan dasar: Jika kepemimpinan feodal dengan sistem birokrasi
fatrimonialnya telah menganmtar bangsa ini kelembah korupsi , mampukah kepemimpinan
spritual melakukas hal sebaliknya, merekonstruksi paradigma baru kepemimpinan,
membangun budaya antikorupsi dalam sistem birokrasi modern kita sehingga tercipta
prakondisi menuju good gavernance dan clean governance ?
C. Peran Kepemimpinan Spritual
Mengapa kepemimpinan spritual ? apakah model kepemimpinan yang lain tidak
mampu melakukannya ? Kepemimpinan spritual diyakini sebagai solusi terhadap krisis
kepemimpinan saat ini. Kepemimpinan spritual boleh jadi merupakan puncak evolusi
model kepemimpinan komprehensif, karena menggabungkan berbagai pendekatan dan
sekaligus kekuatan penggerak kepemimpinan seperti kekuatan intelektual, moral,
emosional dan spritual. Setidaknya hal ini telah dibuktikan oleh beberapa hasil riset antara
lain, SQ :Spritual Inteligence, the Ultimate Inteligence (Zohar dan Marshall, 2000),
-
8/18/2019 Caju 1436421912
4/6
http://sumut.kemenag.go.id/07/05/2015
4
menyimpulkan bahwa aspek spritual , termasuk didalamnya kecerdasan spritual (SQ),
menjadi penyumbang terbesar (80%) dalam keberhasilan dan kesuksesan karir seseorang.
Dalam paradigma kepemimpinan spritual, segala energi kep[emimpinan berpangkal
pada kesadaran spritual (spritual awareness) bahwa Tuhan adalah pemimpin sejati yangmemimpin dengan segala keagungan sifat-sifatnya. Nilai-nilai Unggul yang diderivasi dari
sifat-sifat Tuhan , seperti sifat Tuhan yang Maha Adil, maka pemimpin harus berbuat adil
pada yang dipimpinnya;Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, maka seorang pemimpin
harus menebarkan kasih sayang kepada sesamanya, itulah yanmg disebut nilai-nilai
spritual. Transformasi budaya antikorupsi bisa dilakukan melalui implementasi nilai-nilai
spritual dalam budaya kerja birokrasi dengan cara menjadikan nilai-nilai spritual tersebut
sebagai keyakinan inti (core belief), dan nilai-nilai inti (core values) dalam budaya kerja.
Mengapa harus implementasi nilai-nilai spritual ? Karena budaya korupsi yang
selama ini berkembang merupakan energi negatif yang berporos pada nilai-nilai taghut
yang derstruktif yang hanya bisa dilawan dengan nilai-nilai positif yang berporos pada
ketuhanan, yaitu nilai-nilai spritual. Dalam prsepektif Spritual quotion, menurut Tobroni
(2005), perilaku manusia itu merupakan hasil tarik-menarik antara energi positif dan
negatif. Energi positif itu berupa dorongan spritual dan nilai-nilai etis religius (tauhid),
sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai masterial yang didevirasi dari nilai-nilai
setan (taghut).
Nilai-nilai taghut itu telah lama membuat pembusukan dan penggelapan nilai-nilai
kemanusiaan yang sejati. Karena kekuatan taghut yang bersarang dalam jiwa manusia
seperti kufr, munafiq, fasiq dan sirik, kesemuanya itu merupakan kekuatan yang
menjauhkan manusia dari makhluk spritualitas dan kemanusiaan nya yang hakiki, menjadi
manusia yang serba materialistik ( asfalasafilin ). Sehingga orang yang dikuasai kekuatan
taghut pola pikirnya menjadi Jahiliyah (sesat), hatinya sakit ( qalbun maridl ) , hatinya tidak
mempunyai nurani (qolbun mayyit) dan jiwanya tercela (nafsul lawwamah). Semua sifat
itu akan menjadikan manusia menghamba kepada ilah-ilah selain Allah yang berupa harta,
sex, kekuasaan, dan pola hidup hedonis.
Dalam persefektif individu kekuatan taghut tadi akan melahirkan orang yang
perilaku kerjanya tidak efektif, hipokrit, penghianat dan korup, dan tidak mampu
memberdayakan kompetensi yang dimilikinya secara positif, dalam perspektif organisasi,
energi negatif itu akan melahirkan organisasi yang tidak efektif baik dalam kultur maupun
proses organisasi.
-
8/18/2019 Caju 1436421912
5/6
http://sumut.kemenag.go.id/07/05/2015
5
Sedangkan energi positif terdiri dari nilai-nilai spritual dan etika religius yang
berfunmgsi sebagai sarana pembangkitan hati nurani. Energi positif ini bersumber dari jiwa
yang taqwa, (Iman, Islam, dan Ihsan). Dari jiwa yang taqwa akan lahir aqlus salim (akal
yang sehat), qolbun munib (hati yang bersih), dan Nafsul muthmainnah (jiwa yang tenang,yang merupakan modal insani yang dapat melahirkan sikap dan perilaku etis. Sikap dan
perilaku etis ini meliputi : Istiqomah (Integritas), ikhlas, jihad, dan amal saleh.
Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang
efektif, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas, hidup bersih (tidak korup) dan
beramal saleh. Mereka dalam hidupdan kerja akan berperilaku kerja secara efektif karena
memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan
competency serta profesional. Dalam persepektif organisasi, energi positif itu akan
melahirkan budaya kerja yang efektif baik dalam perilaku , sistem maupun proses.
Nah nilai-nilai mana yang akan lebih dominan mewarnai budaya kerja dalam suatu
birokrasi , itu tergantung pada semangat yang dibangun oleh pimpinan. Karena pimpinan
adalah panutan, maka tugas seorang pemimpin dalam hal ini adalah mempengaruhi orang
yang dipimpin untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan visi,misi, core values dan core
belief organisasi. Pemimpin spritual adalah pemimpin yang mempengaruhi orang dengan
cara mengilhamkan, mencerahkan, menyadarkan, membangkitkan,memampukan dan
memberdayakan, lewat pendekatan etika religius. Nilai nilai etis inilah yang berperan
sebagai mission focused,vision directed,philosophy-driven dan value based institution.
D. Kesimpulan
Untuk menghadirkan nilai-nilai etis dalam bekerja dan membangun budaya kerja
antikorupsi, sedikitnya ada empat langkah yang perlu ditempuh:
(1). Niat yang suci, yaitu membangun kualitas batin yang prima dalam memimpin.Dengan
kualitas batin yang prima, komunitas organisasi akan memiliki perhatian penuh dan
istiqomah dalam berkhidmat pada tugas masing-masing.
(2). Mengembangkan budaya kualitas dengan cara membangun keyakinan inti ( core
believe ) dan nilai inti ( core values ) kepada komunitas organisasi bahwa hidup dan
kerja hakekatnya adalah ibadah kepada Allah, maka harus dilakuklan dengan sebaik-
baiknya ( ahsanu ‘amala ).
(3). Mengembangkan persaudaraan ( ukhuwah ) sesama anggota komunitas, sehingga
kerjasama dan sinergi antar inmdividu dan kelompok / unit dalam organisasi dapat
tercipta untuk memberdayakan potensi dan kekuatan secara maksimal.
-
8/18/2019 Caju 1436421912
6/6
http://sumut.kemenag.go.id/07/05/2015
6
(4). Mengembangkan perilaku etis( akhlaqul karimah ) dalam bekerja melalui
pembudayaan rasa syukur dan sabar dalam mengemban amanah. Dengan menempuh
keempat langkah tersebut maka budaya antikorupsi dapat diciptakan dalam budaya
kerja.( * Penulis adalah Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Medan)
DAFTAR PUSTAKA
1. Chaeruddin,(2008), Tindak Pidana Korpsi , Reflika Aditama, Jakarta.
2. Evi Hartanti, (2006), Tindak Pidana Korupsi , Sinar Grafika,Jakarta.
3. Prof.Dr. Jur.Andi Hamzah, (2005), Pemberantasan Korupsi, Melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional, Rajawali Prees , Jakarta;
4. Prof.Dr. Jur.Andi Hamzah,(2005), Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai
Negara, Sinar Grafika, Jakarta,
5. Pusat Info Data Indonesia, (2007), Tindakan/Kebijakan yang dianggap Korupsi .
6. Rohim,SH, (2008) Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi ,Pena Multi Media,
Jakarta.
7. R.Wiyono,SH,(2006) Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Sinar Grafika.Jakarta.