BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari ... · Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004...
Transcript of BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 11, Nomor 1, Januari ... · Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004...
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur
Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan
Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal
Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013
Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabSiddha Karya, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe, Rosalia Suci
Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe
Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi
Dewan RedaksiImam Subarkah, Agus Susanto Pratomo, Amsal C. Appy, Hari Sugeng Raharjo,
Endang R. Budi Astuti, Pulih Widayaningrum
Redaksi PelaksanaEllia Syahrini, Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja
Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,
Departemen Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan
publikasi, kemudian pilih publikasi”
Halaman ini sengaja dikosongkan
Pembaca Buletin Yang Berbahagia, di tahun 2013 Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume
11 Nomor 1, Edisi Januari – April 2013 kembali hadir dan menyapa pembaca sekalian, dengan berbagai artikel.
Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan amandemen UU Bank Indonesia pasca UU Otoritas Jasa Keuangan,
Bank Indonesia melakukan penelitian dengan fakultas hukum. Dalam edisi ini secara khusus Buletin menampilkan hasil
penelitian kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS), yaitu mengenai
Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia
Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum;
Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum., disarikan menjadi
artikel yang dimuat dalam buletin edisi kali ini.
Selain itu, masih terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Buletin juga menurunkan artikel mengenai Outlook
Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, yang ditulis oleh Sdr. Rio Fafen Ciptaswara, S.H.,
MH; Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan, oleh Sdr. Alex Kurniawan S.H., M.H; Perlindungan
Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal, oleh: Sdr. Josua Sitompul, S.H., IMM; serta artikel mengenai Perspektif
Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah, oleh Sdr. Dayanto, S.H.,M.H.
Harapannya, artikel yang dimuat dalam Buletin tersebut akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka
pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perbankan dan kebanksentralan.
Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan
memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai
dengan April 2013, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin
mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, April 2013
Redaksi
i
DARI MEJA REDAKSI
Halaman ini sengaja dikosongkan
Halaman
Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................................. iii
Keterkaitan Posisi Bank Indonesia Sebagai Lembaga Negara Dengan Pengisian Jabatan
Dewan Gubernur Bank Indonesia Yang Memerlukan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.................... 1 - 18
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H;
Munawar Kholil, S.H., M.Hum.
Outlook Pengawasan Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan.......................................... 19 - 38
Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H.
Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan....................................... 39 - 69
Alex Kurniawan S.H., M.H.
Perlindungan Privasi Dan Data Pribadi: Suatu Telaahan Awal.................................................................... 71 - 94
Josua Sitompul, S.H., IMM.
Perspektif Yuridis Pengawasan Keuangan Daerah.................................................................................... 95 - 105
Dayanto, S.H., M.H.
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013.......................... 107 - 110
Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari - April 2013.................... 111 - 137
Tim Informasi Hukum (Departemen Hukum Bank Indonesia)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
VOLUME 11, NOMOR 1, JANUARI – APRIL 2013
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
A. Pendahuluan
Keberadaan Bank Sentral berikut atribut yang
berkaitan dengan posisi kelembagaan dan
independensinya amat dipengaruhi oleh theory of
delegation monetery. Dalam hal ini, para politisi
menyerahkan urusan-urusan pengelolaan sumber
daya keuangan yang bersifat teknokratik kepada
organ khusus yang dibentuk untuk itu. Dengan
mekanisme kelembagaan itu, maka akan berpengaruh
kepada decetion making role of governing bodies
dari Bank Sentral. Dalam pola pembagian kekuasaan
negara sampai dengan abad ke-18, masalah-masalah
perekonomian dipandang sebagai fenomena pasar
1
KETERKAITAN POSISI BANK INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DENGAN PENGISIAN JABATAN
DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA YANG MEMERLUKAN PERSETUJUAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT1
Oleh :
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H;
Munawar Kholil, S.H., M.Hum2
Abstrak
Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya
gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan yang saling
berpengaruh satu sama lain. Pandangan ini dapat disebut sebagai ”theory of combines process intitutionalized” (teori
kombinasi proses kelembagaan). Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di dalam prinsip regulasi dan organisasi,
perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip
dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan
terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks. Perbedaan tersebut dapat
berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Tentu saja, perubahan
kelembagaan itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi yang kemudian membuat penyesuaian baru yang
diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan itu adalah menciptakan keseimbangan baru. Mengingat
independensi Bank Indonesia, pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memerlukan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan
nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme itu guna menghindari politicking yang berlebihan.
Kata kunci: Bank Indonesia, lembaga negara, pengisian jabatan, dewan gubernur BI, persetujuan, dpr.
1 Sebagian Analisis Penelitian “Formulasi Pengaturan Kedudukan Bank Indonesia Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Peneliti FH UNS: Isharyanto, S.H., M.Hum; Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum; Djatmiko Anom Husodo, S.H., M.H; Munawar Kholil, S.H., M.Hum, 2012
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta
(market) yang berkembang dalam dinamika
masyarakat sendiri, sehingga tidak memerlukan
pengaturan yang ketat oleh negara. Cara pandang
demikian ini juga mempengaruhi penyusunan
konstitusi. Meskipun sejak disahkannya konstitusi
Amerika Serikat pada tahun 1789, negara-negara
yang menganut paham demikian, kecuali Inggris,
selalui memiliki naskah konstitusi tertulis, tetapi
konstitusinya tidak memuat ketentuan mengenai
ekonomi sama sekali.
Konstitusi Amerika Serikat, yang acapkali disebut
sebagai konstitusi modern yang pertama kali, tidak
ada satu pasal pun yang berkaitan dengan soal-soal
perekonomian. Sampai sekarang konstitusi tersebut
sudah mengalami perubahan sebanyak 27 kali.
Perubahan I sampai dengan Perubahan X dilakukan
secara serentak dan sering dikenal sebagai ”Bill of
Rights” karena isinya menyangkut hak asasi.
Sementara itu, 17 perubahan lainnya dlakukan secara
terpisah. Pendek kata, dalam keseluruhan teks
konstitusi Amerika Serikat tidak diketemukan satu
pasal atau ayat pun yang mengatur mengenai
persoalan hak-hak ekonomi, apalagi mengenai sistem
perekonomian seperti yang lazim diatur dalam
konstitusi negara-negara sosialis komunis. Kalaupun
ada ketentuan yang berkaitan dengan perekonomian
dan keuangan, hanya yang berhubungan dengan
kebijaksanaan administrasi negara di bidang keuangan,
perpajakan, dan anggaran. Meskipun demikian,
ketentutan-ketentuan tersebut tentu pada waktunya
mempengaruhi dinamika perekonomian yang terjadi
di dalam masyarakat. Akan tetapi, ketentuan-
ketentuan mengenai moneter, perpajakan, dan
anggaran itu lebih berkaitan dengan administrasi
negara dibandingkan misalnya dengan peran pasar
dengan negara dalam pengelolaan hak milik dan
dalam manajemen kekayaan alam yang secara
langsung berkaitan dengan ciri-ciri liberalisme atau
sosialisme.
Menurut Carr R. Sunstein, ada 4 (empat) hal yang
menyebabkan konstitusi Amerika Serikat sampai
sekarang tidak pernah mengatur mengenai
perekonomian. Pertama, ditinjau dari kronologi
penyusunannya, sampai dengan abad ke-18, masalah
tersebut tidak pernah menjadi pemikiran penyusunan
konstitusi. Kedua, ditinjau dari kelembagaan,
ketentuan mengenai perekonomian bukanlah
merupakan aspirasi atau tujuan pembentukan
konstitusi, akan tetapi merupakan instrumen pragmatis
dalam rangka penegakan hak melalui mekanisme
pengadilan (judicial enforcement). Ketiga, kenyataan
American exeptionalism, yang terwujud dalam
absennya gerakan sosial yang mempengaruhi
konstitusioanlisme. Keempat, ditinjau dari segi realitas,
dalam kurun waktu 1960-an dan 1970, Mahkamah
Agung mempunyai pandangan yang sempit mengenai
bagaimanakah pemenuhan hak-hak yang
berhubungan dengan perekonomian tersebut.3
Dengan mengambil kenyataan ini, maka rintisan
pendirian Bank Sentral tidak berhubungan dengan
pengelolaan sumber daya perekonomian dan
pemenuhan hak-hak asasi di bidang sosial dan
ekonomi, tetapi lebih menekankan kepada kebutuhan
pencarian sumber pembiayaan dari Pemerintah.
B. Mencari Keseimbangan: Dari Theory of
Delegation Monetery menuju Theory of
Combines Process Intitutionalized
Dalam perkembangan selanjutnya, relasi pemisahan
kekuasaan negara dalam konteks theory of delegation
monetary tidak mencukupi untuk menjelaskan
bagaimanakah struktur Bank Sentral. Sebagai suatu
kenyataan dinamis, utamanya relasi Bank Sentral
dengan Parlemen tidak diposisikan dalam pembicaraan
pembagian kekuasaan, akan tetapi ditentukan oleh
6 (enam) faktor. Pertama, tujuan pembangunan
ekonomi mempengaruhi aktivitas dan formulasi
kelembagaan Bank Sentral. Pembangunan, terutama
di negara-negara yang berpendapatan rendah,
menyebabkan aktivitas Bank Sentral mengarah juga
2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
3 Cass R. Sunstein, “Why Does the American Constitution Lack Social and Economic Guarantees?,Chicago Law and Legal Theory Working Paper, No. 36, Januari, 2003, hlm. 4.
kepada sektor quasi fiskal.4 Bahkan di negara-negara
berkembang, Bank Sentral mengarah kepada
instrumen moneter dengan campur tangan politik
yang kuat dalam melaksanakan tujuan-tujuannya.
Kedua, faktor sejarah, kebiasaan, dan tradisi. Amat
jarang Undang-Undang mengatur Bank Sentral secara
komprehensif. Oleh sebab itu, dalam praktik seringkali
diwarnai dengan perubahan-perubahan ketentuan
yang bersifat parsial. Ketiga, faktor politik. Faktor ini
menyebabkan desain Bank Sentral bervariasi dalam
derajat otonomi dan akuntabilitasnya. Politik diakui
perannya, akan tetapi dalam beberapa hal pada saat
politik menciptakan lingkungan negara yang lemah
akan memberikan dorongan yang besar untuk
menciptakan independensi tinggi kepada Bank Sentral.
Perlindungan terhadap pemecatan atas pejabat Bank
Sentral menjadi bagian yang penting. Akhirnya,
struktur Bank Sentral–relasi dengan Parlemen, kepala
negara, kabinet, atau kementerian–akan ditentukan
oleh sistem politik. Keempat, tradisi legal yang dianut.
Mayoritas Bank Sentral merupakan badan hukum,
sepenuhnya dimiliki negara, dan diatur oleh Undang-
Undang, akan tetapi sangat sedikit Bank Sentral yang
merupakan perusahaan terbuka dan ada kepemilikan
saham pribadi. Struktur pemerintahan akan
menentukan hukum korporasi yang berlaku. Dalam
tradisi Anglo Saxon misalnya, perusahaan hanya
mempunyai satu organ, sementara di negara Eropa
perusahaan mempunyai struktur organ pelaksana
dan organ pengawas.5 Kelima, faktor konstitusi.
Umumnya negara-negara demokrasi lama tidak
mengatur soal Bank Sentral dalam konstitusi. Hanya
sedikit negara, antara lain Afrika Selatan, yang
menetapkan tugas Bank Sentral dalam konstitusi.
Sejumlah negara di kawasan Amerika Latin usai krisis
tahun 1980-an mengubah konstitusi, termasuk
mengatur rinci mengenai Bank Sentral dan larangan
peminjaman kredit kepada Pemerintah.6 Konstitusi
di negara-negara yang mengalami transisi biasanya
mengatur pula ketentuan mengenai nominasi dan
rekrutmen pejabat Bank Sentral. Keenam, kontinuitas.
Faktor ini ditentukan oleh seberapa sering ketentuan
Undang-Undang Bank Sentral diubah dan tingkat
detail pengaturannya. Undang-Undang mengenai
The Federal Reserve System di Amerika Serikat
termasuk kategori Undang-Undang yang mempunyai
ketegori rinci, sementara di negara lain tidak dijumpai
ketentuan semacam itu. Di negara lain, Undang-
Undang diubah beberapa kali dalam kurun waktu
tertentu. Di Khazaztan, Undang-Undang Bank Sentral
1995 telah diubah sebanyak 16 kali sampai tahun
2003. Undang-Undang di Denmark sejak ditetapkan
tahun 1936, hanya 4 (empat) kali mengalami
perubahan kecil (1938, 1939, 1967, dan 1969).7
Adanya sejumlah faktor yang mempengaruhi struktur
kelembagaan Bank Sentral menunjukkan tidak adanya
gejala tunggal, khususnya berhubungan dengan
pembagian kekuasaan, tetapi pola-pola kelembagaan
yang saling berpengaruh satu sama lain. Pandangan
ini dapat disebut sebagai ”theory of combines process
intitutionalized” (teori kombinasi proses kelembagaan).
Dalam hal ini, perubahan kelembagaan terjadi di
dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan
pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya
menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip
dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang
saling berhubungan. Sementara itu, pada waktu yang
bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk
melakukan integrasi di dalam sistem yang kompleks.
Perbedaan tersebut dapat berarti juga memperluas
mata rantai saling ketergantungan yang menuntut
adanya integrasi. Tentu saja, perubahan kelembagaan
itu mendorong kepada perubahan-perubahan kondisi
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
4 Diskusi selengkapnya: Snoh Unakul dan Supachai Panitchpakdi, 1987, Role of Central Banks in Economic Development, paper prepared for the Twelfth SEANZA Central Banking Course, Bank of Thailand (Bangkok).
5 Lihat dalam: Douglas Branson, Douglas, “The Very Uncertain Prospect of ‘Global’ Convergence in Corporate Governance,” Cornell International Law Journal, 2001, Vol. 34, No, 2, hlm. 321–362.
6 Lihat: Eva Gutiérrez, “Inflation Performance and Constitutional Central Bank Independence: Evidence from Latin America and the Caribbean,” IMF Working Paper No. 03/53 (Washington: International Monetary Fund).
7 Pembahasan selengkapnya, periksa: Peter Moser, “Checks and Balances, and the Supply of Central Bank Independence,” European Economic Review, 1999, Vol. 43, hlm. 1569–1593.
yang kemudian membuat penyesuaian baru yang
diperlukan. Tujuan utama dari perubahan kelembagaan
itu adalah emnciptakan keseimbangan baru.
Berdasarkan argumen menurut ”theory of combines
process intitutionalized”, maka relasi antara parlemen
dengan Bank Sentral adalah untuk menciptakan
keseimbangan baru diantara keduanya di hadapan
Pemerintah. Khususnya berkaitan dengan isu pengisian
jabatan Dewan Gubernur Bank Sentral, keseimbangan
itu menjadi penting untuk ditekankan. Terutama pada
negara-negara berkembang, pola keseimbangan itu
tercipta ke dalam 3 (tiga) pola sebagai berikut.
Pertama, Pemerintah terlibat langsung dalam pengisian
jabatan board dan masa jabatan Dewan Gubernur
lebih pendek. Kedua, Pemerintah pada umumnya
terwakili dalam Dewan Gubernur.Ketiga, Bank Sentral
menikmati sedikit proteksi legal, terutama ketika
berselisih dengan Pemerintah.
Dalam pengisian jabatan Dewan Gubernur itu dapat
berlangsung dalam salah satu atau variasi diantara 5
(lima) prosedur berikut ini. Pertama, Gubernur direkrut
tanpa campur tangan Pemerintah. Pola ini diterapkan
di negara Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Estonia,
Latvia, Lithuania, Malaysia, Pakistan, Polandia,
Romania, Slovakia, Slovenia, dan Turki. Kedua,
Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima)
tahun. Hal ini antara lain dipraktikkan di Argentina8,
Brazil9, Bulgaria10, China11, Kroasia12, Republik Ceko13,
Hongaria14, Latvia15, Filipina16, Polandia17, Slovenia18,
Thailand, dan Venezuela19. Ketiga, Dewan Gubenur
direktur tanpa campur tangan Pemerintah seperti
antara lain di Bulgaria20, Kroasia21, Republik Ceko22,
Estonia23, Hungaria24, Latvia25, Lithuania26, Polandia27,
Romania28, Rusia29, dan Turki30. Keempat, Dewan
Gubernur mempunyai masa jabatan lebih dari 5 (lima)
tahun seperti antara lain di Argentina31, Brazil32,
4
8 Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, diubah terakhir pada September 2003 (Law 25, 780).
9 Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.
10 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002.
11 Law on the People's Republic of China on the People's Bank of China of March 18, 1995.
12 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001.
13 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.
14 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.
15 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.
16 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines Juli, 1992.
17 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003.
18 Bank of Slovenia Act of July 2002.
19 “Law on the Central Bank of Venezuela", terakhir diubah 4 September 2001.
20 Law on the Bulgarian National Bank Tahun 2002.
21 Law on the Croatian National Bank, 5 April, 2001.
22 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah 1 Mei 2002.
23 Law on the Central Bank of the Republic of Estonia of 18 May 1993, last amendment–RT I 1999,16, 271.
24 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.
25 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.
26 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001.
27 Law of August 29, 1997 on the National Bank of Poland, terakhir diubah 1 Januari 2003.
28 Law on the Statute of the National Bank of Romania of May 26, 1998, terakhir diubah dengan Law No. 156 of October 12, 1999.
29 Federal Law No. 86-FZ on the Central Bank of the Russian Federation (The Bank of Russia) of June 27, 2002.
30 The Law on the Central Bank of the Republic of Turkey (Law No. 1211), terakhir diubah 25 April 2001.
31 Charter of the Central Bank of the Argentine Republic, Law 24,144 of September 23, 1992, terakhir diubah 21 September 2003 (Law 25,780).
32 Central Bank Law of Brazil, Law No. 4595/64 of December 31, 1964, terakhir diubah 31 Mei 2000.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Bulgaria33, Chile34, China35, Kroasia36, Republik Ceko37,
Hongaria38, Latvia39, Lithuania40, dan Filipina.41 Kelima,
tidak ada perwakilan Pemerintah dalam Dewan
Gubernur seperti di Afrika Selatan42, Peru43, dan
Thailand.44
Selanjutnya, relasi keseimbangan baru antara
Pemerintah, Parlemen, dan Bank Sentral sekurang-
kurangnya akan berpengaruh kepada 3 (tiga) hal
penting. Pertama, derajat campur tangan Pemerintah
dalam menentukan kebijaksanaan moneter. Di negara
berkembang, kecenderungan campur tangan
Pemerintah tidak ada dalam memformulasikan
kebijaksanaan moneter, kecuali di negara seperti
Bahamas, Bangladesh, Barbados, Benin, Burkina Faso,
Côte d’Ivoire, Guinée Bissau, Mali, Niger, Senegal
danTogo.Kedua, penentuan stabilitas moneter sebagai
salah satu fungsi Bank Sentral. Nyaris semua negara
menganut ketentuan ini kecuali negara seperti
Comoros, Iran, dan Sudan. Ketiga, proteksi legal
Bank Sentral di hadapan Pemerintah. Pada kebanyakan
negara berkembang, proteksi Bank Sentral lebih besar
ketika terjadi perselisihan dengan Pemerintah, kecuali
di negara seperti Angola, Bahamas, Bangladesh,
Kolumbia, Haiti, Iran, dan Vietnam. Untuk hal yang
ketiga ini dalam praktiknya undang-undang akan
menentukan secara berbeda-beda. Misalnya, (i)
Pemerintah akan mematuhi keputusan Bank Sentral
dan akan menunda kebijaksanaannya dalam waktu
tertentu seperti di Chile; (ii) Parlemen akan melakukan
intervensi atau sekurang-kurangnya melakukan dengar
pendapat seperti Australia, Kanada, Inggris, dan
Norwegia; dan (iii) Pemerintah mengajukan perdebatan
umum di Parlemen seperti di Selandia Baru.
Format pengisian jabatan Dewan Gubernur45
mencakup isu komposisi, kualifikasi, serta masalah
pengusulan, pengangkatan, dan pemberhentian. Di
bawah ini akan diuraikan secara singkat masing-
masing isu tersebut.
Kebanyakan undang-undang di sejumlah negara
menetapkan jumlah anggota Dewan Gubernur adalah
antara 7-9 orang.Banyak studi yang mengatakan
bahwa jumlah yang ideal adalah antara 5-9 orang,
sekalipun diantara praktik tersebut jumlah yang kecil
dan yang besar tetap saja mampu melakukan
pekerjaan dengan baik. Bank Sentral Swiss hanya
mempunyai 3 (tiga) anggota, sementara The Federal
Reserve System mempunyai 19 anggota (walaupun
hanya 12 yang mempunyai hak suara) dan Bank
Sentral Eropa mempunyai 22 anggota.46 Dalam
komposisi ini dalam praktik kebanyakan Gubernur
(Governor) secara otomatis merupakan Ketua
(Chairman).47 Pada Bank of Japan terdiri atas seorang
Gubernur, dua Deputi Gubernur, dan 6 (enam)
anggota Policy Board. Bundesbank di Jerman memiliki
seorang Presiden, seorang wakil, dan 6 (enam)
anggota Executive Board. Di Finlandia meliputi seorang
5
33 Law on the Bulgarian National Bank, amended as of 2002.
34 Law 18,840, Basic Constitutional Act of the Central Bank of Chile, terakhir diubah 31 Mei 2002.
35 Law on the People's Republic of China on the People's Bank of China of March 18, 1995.
36 Law on the Croatian National Bank, new law enacted on April 5, 2001.
37 Czech National Council Act No. 6/1993 Coll of 17 December 1992 on The Czech National Bank, terakhir diubah pada 1 Mei 2002.
38 Act LVIII of 2001 on the National Bank of Hungary.
39 Law "On the Bank of Latvia" of May 19, 1992, terakhir diubah 12 Juli 2002.
40 Law on the Bank of Lithuania, Law No. I-678 of December 1, 1994, terakhir diubah 13 Maret 2001.
41 The New Central Bank Act of the Republic of Philippines of July, 1992.
42 South African Reserve Bank Act of August 1, 1989, terakhir diubah tahun 2000.
43 Central Reserve Bank of Peru Organic Law, Decree-Law No. 26123 of January 1, 1993.
44 Bank of Thailand Act 2485.
45 Selain Dewan Gubernur, istilah lain yang acapkali dipakai adalah Executive Board, Policy Board, atau lainnya.
46 Berger et al (2006)
47 Istilah lain adalah Presiden.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Chairman dan maksimum 5 (lima) anggota. Kanada
menetapkan Dewan Gubernur meliputi seorang
Gubernur, seorang Deputi Gubernur, dan 12 anggota
Boards of Director. Di Ghana, The Board of Director
meliputi seorang Gubernur, 2 (dua) Deputi Gubernur,
dan 8 (delapan) directors, dan 1 (satu) orang yang
mewakili Menteri Keuangan.
Aturan Dewan Gubernur juga mencakup ketentuan-
ketentuan yang berhubungan dengan kualifikasi atau
syarat-syarat untuk menduduki jabatan tersebut. Ada
syarat yang merujuk kepada kapasitas profesional,
misalnya pengalaman dalam sektor perbankan,
keuangan, ekonomi, dan hukum; serta lapangan lain
seperti akuntansi, auditor, dan perdagangan
internasional seperti persyaratan di Kolumbia.
Di negara yang mengalami transisi ekonomi, untuk
Gubernur dan Deputi Gubernur lazim dipersyaratkan
harus sudah pernah menjabat dalam kedudukan
serupa untuk jangka waktu tertentu. Beberapa negara
menetapkan batas usia tertentu bagi Gubernur dan
Deputi Gubernur. Di Cape Verde mengatur bahwa
Dewan Gubernur minimal mempunyai pengalaman
8 (delapan) tahun di sektor perbankan. Di Venezuela,
calon harus berumur minimal 30 tahun. Filipina
menetapkan batas usia minimal 35 tahun dan untuk
keanggotaan Dewan Moneter sekurang-kurangnya
40 tahun. Di Namibia, calon harus berumur serendah-
rendahnya 21 tahun dan maksimal 65 tahun saat
dilantik. Pada Bank Sentral Belgia, Dewan Gubernur
berhenti saat mencapi usia 67 tahun, yang atas
rekomendasi Menteri Keuangan dapat terus bertugas
sampai usia 70 tahun. Papua Nugini mensyaratkan
berhentinya Dewan Gubernur saat usia 70 tahun.
Di negara yang lain, jika dipersyaratkan bahwa Dewan
Gubernur merupakan pejabat karir birokrasi,
ketentuan batras usia tunduk pada ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang.
Syarat kewarganegaraan acapkali juga menjadi salah
satu persyaratan.Tetapi salah satu contoh menarik di
Bosnia Herzegovina. Mengingat situasi yang sulit pada
waktu itu, Undang-Undang mengatur bahwa untuk
pertama kalinya Dewan Gubernur tidak merupakan
warganegara yang bersangkutan, yang ditetapkan
oleh International Monetery Fund dan diambil dari
negara tetangga. Pada akhir masa jabatan, otoritas
setempat memberikan kewargenaraan dan mereka
dicalonkan kembali.
Syarat kapasitas profesional diuji dalam mekanisme
fit and proper test untuk tercapai standar moralitas
tertentu seperti di Bank Sentral Eropa, berperikelakuan
tidak tercela (Filipina), atau integritas yang tidak
meragukan (Filipina). Syarat tidak pernah menjalani
hukuman pidana, kecuali denda, juga lazim
diperlakukan seperti di Bostwana. Syarat lain misalnya
tidak pailit, tetapi di sejumlah negara memperkenankan
dalam lampau waktu tertentu. Di Peru misalnya, syarat
itu mencakup ketidakmampuan pajak atau tidak
terdaftar sebagai wajib pajak.Bolivia melarang calon
yang memiliki kepemilikan saham di institusi keuangan.
Sementara itu, masa jabatan dan kemungkinan
pengangkatan kembali Dewan Gubernur antara Bank
Sentral yang satu dengan yang lain tidak selalu sama.
Sebagai contoh di The Federal Reserve System
mempunyai masa jabatan 14 tahun dan tidak dapat
dicalonkan kembali. Dua dari anggota Dewan
Gubernur dipilih sebagai Chairman dan wakil untuk
masa jabatan 4 (empat) tahun dan diangkat kembali
selama masih dalam jangka jabatan 14 tahun. Semua
anggota Executive Board (termasuk Presiden dan
wakilnya) di Bank Sentral Eropa mempunyai masa
jabatan 8 (delapan) tahun dan tidak dapat dipilih
kembali. Finlandia mengatur bahwa masa jabatan
Gubernur adalah 7 tahun dan dalam keanggotaan
Dewan Gubernur dapat dipilih sampai 3 (tiga) kali
masa jabatan, kecuali untuk menjabat Gubernur
maksimal 2 (dua) periode masa jabatan.
Masalah pengusulan, pengangkatan, dan
pemberhentian anggota Dewan Gubenur masing-
masing berbeda-beda. Sebagai contoh, pada The
Federal Reserve System diusulkan oleh Presiden untuk
nendapat persetujuan Senat. Sedangkan Chairman
dan wakilnya ditunjuk dari anggota Dewan Gubernur
oleh Presiden dan dikonfirmasi oleh Senat. Di Albania,
6
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Gubernur dicalonkan oleh Presiden atas usul Bank
Sentral, sementara untuk anggota masing-masing
dicalonkan oleh Parlemen (3 orang), Presiden (1
orang); serta Kabinet, Dewan Gubernur, Menteri
Keuangan, dan Gubernur Bank Sentral masing-masing
1 (satu) orang. Di Armenia, Gubernur dan Deputi
Gubernur diangkat oleh Presiden dengan persetujuan
Parlemen, sementara sebanyak 5 (lima) anggota yang
lain diangkat oleh Presiden. Di Belarusia, Gubernur
diangkat oleh Presiden atas persetujuan Parlemen,
sementara Parlemen dan Kabinet berhak mengusulkan
masing-masing 1 (satu) anggota Dewan Gubernur.
Di Rusia Gubernur diangkat oleh Presiden dengan
persetujuan Parlemen, sementara 13 anggota lainnya
diangkat oleh Presiden dengan memperhatikan saran
Gubernur.Sementara pengangkatan seluruh anggota
Dewan Gubernur atas kehendak Presiden sepenuhnya
terjadi di Republik Ceko, sedangkan di Bulgaria,
Kroasia, dan Ukraina sepenuhnya di bawah kendali
Parlemen.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Tonny Lybek
dan Jo Anne Morrist48 terhadap 100 Bank Sentral
menyimpulkan bahwa mekanisme pengusulan Dewan
Gubernur dilakukan dengan kategori sebagai berikut:
(i) diusulkan oleh Kepala Negara/Presiden sebanyak
31 negara; (ii) diusulkan oleh Parlemen sebanyak 12
negara; (iii) diusulkan oleh Menteri Keuangan sebanyak
17 negara; (iv) diusulkan oleh Perdana Menteri
sebanyak 5 negara; (v) diusulkan oleh Kabinet sebanyak
12 negara dan (vi) diusulkan dengan variasi yang
menggabungkan sejumlah pihak sebanyak 23 negara.
Penelitian yang sama mengungkapkan bahwa
mekanisme pengangkatan meliputi variasi-variasi
sebagai berikut: (i) memerlukan persetujuan
Presiden/Kepala Negara sebanyak 51 negara; (ii)
memerlukan persetujuan Parlemen sebanyak 23
negara; (iii) memerlukan persetujuan Perdana Menteri
sebanyak 3 negara; (iv) memerlukan persetujuan
Kabinet sebanyak 8 negara; (v) memerlukan persetujuan
Menteri Keuangan sebanyak 5 negara, dan (vi)
memerlukan persetujuan yang menggabungkan
sejumlah pihak sebanyak 10 negara.49
Jika ditelaah, maka mekanisme pengusulan,
pengangkatan, dan pemberhentian Dewan Gubernur
pada Bank Sentral akan meliputi tipe sebagai berikut:
(i) mekanisme oleh Bank Sentral sendiri; (ii) mekanisme
dengan campur tangan (usul) Bank Sentral; (iii)
mekanisme yang melibatkan Pemerintah dan
Parlemen; (iv) mekansime yang melibatkan Pemerintah
secara kolektif; dan mekanisme atas kehendak
Pemerintah atau Parlemen secara pribadi. Dengan
demikian, tafsiran keseimbangan antara Pemerintah
dan Parlemen berhadapan dengan Bank Sentral
diterjemahkan secara berbeda-beda di setiap negara.
Sedangkan alasan-alasan untuk melakukan
pemberhentian (dismissal) diatur secara tidak sama
diantara banyak negara, yang pada garis besarnya
mencakup 3 (tiga) bentuk. Pertama, bersifat non-
politik seperti Albania, Armenia, Republik Ceko,
Estonia, Hongaria, dan Rusia.Kedua, kegagalan
menjalankan kewajiban perbankan seperti di Bulgaria.
Ketiga, perselisihan kebijaksanaan moneter antara
Bank Sentral dengan Pemerintah dan/atau Parlemen
seperti di Georgia.Keempat, tidak terikat syarat dan
kondisi tertentu seperti di Rumania.
C. Praksis di Indonesia
Sehubungan dengan Dewan Gubernur Bank
Indonesia, ketentuan UU No. 13 Tahun 1968 Pasal
15 mengatakan bahwa Gubernur dan Direktur
diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Moneter
untuk masa 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.
Komposisi Dewan Gubernur meliputi Direksi yang
terdiri atas satu orang Gubernur dan minimal 5 atau
7 orang Direktur.Pasal 16 menyebutkan bahwa Direksi
7
49 Ibid.
48 Tonny Lybek and JoAnne Morrist, “Central Bank Governance: A Survey of Board and Management”, IMF Working Paper, Desember 2004, hlm. 33.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
bertanggung jawab kepada Pemerintah. Pasal 17
menyebutkan bahwa Presiden dapat memberhentikan
Gubernur dan Direktur, meskipun masa jabatannya
belum berakhir. Sebagai tambahan, anggota Direksi
tidak boleh merangkap jabatan pada lembaga lain,
kecuali karena kedudukannya (Pasal 18). Sementara
itu, Pasal 22 menyebutkan bahwa Komisaris
Pemerintah mengawasi pengurusan Bank Indonesia
sebagai perusahaan dan boleh hadir dalam Rapat
Direksi. Pengambilan keputusan dilakukan atas dasar
musywarah untuk mencapai mufakat (kolektif).Dengan
ketentuan ini, Bank Indonesia memiliki political
independence terbatas.
Pada masa berlakunya UU No. 13 Tahun 1968,
rekrutmen Dewan Gubernur menunjukkan
mekanisme sebagai berikut: (i) Pengangkatan
dilakukan oleh Presiden secara pribadi50 seperti yang
berlaku di Republik Ceko; (ii) Pengusulan jabatan
dilakukan oleh Presiden secara pribadi; (iii)
pengangkatan dilakukan dengan beberapa kualifikasi;
(iv) Masa jabatan adalah 5 tahun; (v) Pemberhentian
dilakukan oleh Presiden secara pribadi51; (vi) terdapat
ketentuan untuk memungkinkan pengangkatan
kembali dalam masa jabatan untuk satu periode; dan
(vii) terdapat ketentuan rangkap jabatan, kecuali
karena kedudukannya.
Political independence bagi Bank Indonesia meningkat
cukup tajam dengan berlakunya UU No. 23 Thn.
1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Komposisi Dewan
Gubernur meliputi seorang Gubernur, seorang Deputi
Gubernur Senior dan 7 sampai 9 orang Deputi.
Dalam Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3
Thn. 2004 diatur syarat-syarat calon anggota Dewan
Gubernur, selain (i) harus warganegara Indonesia,
juga (ii) harus memiliki integritas akhlak dan moral
yang tinggi; dan (iii) memiliki keahlian dan pengalaman
di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, atau
hukum. Pada bagian Penjelasan Pasal 40, dikatakan
bahwa syarat keahlian berdasarkan pendidikan dan
keilmuan, sedangkan yang berhubungan dengan
pengalaman terutama berhubungan dengan karier
calon dalam salah satu bidang, yaitu ekonomi,
keuangan, perbankan, atau hukum, khususnya yang
berkaitan dengan tugas-tugas Bank Sentral. Dalam
hal ini, syarat jabatan Dewan Gubernur tidak
mencakup persyaratan umur baik dalam kualifikasi
minimal ataupun maksimal.Persyaratan lebih
mengarah kepada kualifikasi profesional.Tidak ada
ketentuan bahwa calon harus berasal dari pejabat
karir di Bank Sentral.
Mengenai mekanisme pengusulan, pencalonan, dan
pengangkatan diatur dalam Pasal 41 UU No. 23 Thn.
1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004.Pengusulan, pencalonan,
dan pengangkatan oleh Presiden setelah mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Pencalonan Gubernur dan Deputi Gubernur Senior
merupakan wewenang penuh dari Presiden,
sedangkan calon Deputi Gubernur diusulkan oleh
Presiden berdasarkan usul Gubernur untuk sebanyak-
banyak 3 (tiga) orang calon. Jika calon Gubernur,
Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur ditolak
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden wajib
mengajukan calon baru. Jika para calon baru itu
tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden
wajib mengangkat kembali Gubernur, Deputi
Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur untuk jabatan
yang sama atau Deputi Gubenur Senior atau Deputi
Gubernur untuk jabatan yang lebih tinggi dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Lamanya
masa jabatan anggota Dewan Gubernur adalah 5
(lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu
kali masa jabatan.
8
50 Berturut-turut Gubernur Bank Indonesia adalah Radius Prawiro (1967-1973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (1988-1993), dan Soedrajat Djiwandono (1993-1998).
51 Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia, Presiden Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari posisi Gubernur, karena yang bersangkutan menolak penerapan kebijakan Currency Board System (CBS) untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun 1967.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Adapun masalah pemberhentian Dewan Gubernur
diatur dan ditentukan oleh Pasal 48 ayat (1) UU No.
23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004. Pada pokoknya,
Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam
masa jabatan, kecuali mengundurkan diri, terbukti
melakukan tindak pidana kejahatan, dan inipun
menurut putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap; tidak dapat hadir secara fisik untuk
waktu selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
alasan yang bisa dipertanggungjawabkan; dinyatakan
pailit atau tidak mampu memenuhi kewajiban kepada
kreditur berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap; atau berhalangan tetap
yaitu meninggal dunia, mengalami cacat fisik atau
cacat mental sehingga tidak mampu melaksanakan
tugas dengan baik; atau karena kehilangan
kewarganegaraan Indonesia. Pemberhentian terhadap
anggota Dewan Gubernur ini harus dilakukan dengan
Keputusan Presiden.Selain itu, anggota Dewan
Gubernur tidak dapat dihukum karena telah
mengambil keputusan atau kebijakan sesuai dengan
tugas dan kewenangannya (Pasal 45). Sebagai
tambahan, anggota Dewan Gubernur tidak boleh
merangkap jabatan pada lembaga lain, kecuali karena
kedudukannya (Pasal 47). Sementara itu, Pasal 43
mengatur bahwa wakil Pemerintah boleh hadir dalam
Rapat Dewan Gubernur dengan hak bicara tanpa
hak suara atau veto.
Pelaksanaan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
2004 mengalami dinamika sendiri.Ketika Bank
Indonesia (BI) dilanda mendung keresahan akibat
ditetapkannya Gubernur BI Burhanuddin Abdullah
sebagai tersangka52 dalam kasus aliran dana Yayasan
Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi53, maka bersamaan
itu juga masa jabatan gubernur bank sentral mendekati
akhir periode.54 Untuk mengisi jabatan Gubernur BI,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan 2
(dua) orang calon–Agus Martowardoyo55 dan Raden
Pardede56--untuk mendapatkan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Pengajuan itu dilakukan
pada 17 Februari dan setelah melalui serangkaian fit
and proper test, pada 18 Maret 2008 DPR menyatakan
menolak terhadap calon-calon yang diajukan oleh
Presiden tersebut. Bukanlah aspek legal yang memang
sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan
yang kemudian memancing perdebatan seru di balik
drama pengisian Gubernur BI itu. Namun memang
penolakan DPR itu mengisyaratkan bacaan sebagai
upaya politis untuk ”mempengaruhi” independensi
BI sebagai bank sentral. Lagi-lagi di sini menunjukkan
kontur kenegaraan kita yang menonjolkan kekuatan
dalam hubungan antarlembaga negara.
Debat soal independensi BI terkait dengan pengisian
jabatan Gubernur BI pernah terjadi pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-
9
52 Ketika Burhanuddin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka, US$ 5,1 miliar atau sekitar Rp47 triliun harus digelontorkan ke pasar uang untuk meredam gejolak rupiah. Hal ini karena bagi BI, kasus ini merupakan pertaruhan besar. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 121.
53 YPPI diduga mengalirkan ”dana gelap” sebesar Rp127,75 miliar di mana sebesar Rp96,25 miliar diberikan kepada aparat penegak hukum dalam upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang
menjerat 5 pejabat BI pada kurun 1997-2003. Adapun sebanyak Rp31,5 miliar diberikan kepada anggota DPR yang membahas amandemen UU BI. Lihat, ibid. Adapun YPPI sendiri sebenarnya didirikan oleh BI untuk tujuan melatih tenaga-tenaga perbankan dan yayasan ini semula bernama Yayasan Pendidikan Kader Bank, kemudian menjadi Yayasan Akademi Bank pada 1958. Pada 30 April 1970, namanya diubah menjadi YPPI. Pada 1977 yayasan ini dibubarkan dan sebagai gantinya didirikan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Seiring dengan adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang antara lain mewajibkan yayasan berbentuk badan hukum, maka pada 2003 BI mencatatkan lembaga ini ke Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, dan namanya kembali menjadi YPPI.
54 Sebenarnya Burhanuddin Abdullah ingin menjadi gubernur bank sentral kembali. Berbekal predikat Gubernur Bank Sentral terbaik 2007 versi Global Finance dan penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah pada tahun yang sama, semula jalan untuk kembali memimpin BI kian melempang. Lihat, Tempo, 24 Februari 2008, hlm. 126.
55 Sejak Mei 2005, ia menjadi Direktur Utama Bank Mandiri, setelah sebelum berkiprah menjadi pucuk pimpinan Bank Permata. Ia dinobatkan menjadi bankir Indonesia terbaik oleh Majalah Asia Money pada 2006.
56 Pardede adalah doctor ekonomi lulusan Boston University dan pendiri lembaga kajian ekonomi terpandang Danareksa Research Institute. Ia pernah menjadi konsultan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian, Wakil Tim Asistensi Menteri Keuangan, Ketua Forum Stabilisasi Sektor Keuangan, Komisaris Independen BCA, dan sekarang Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Pengelola Aset.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
2001). Waktu itu sang presiden ingin Prijadi
Praptosuhardjo, kelak menteri keuangan, menjadi
Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Ternyata tidak mungkin, karena menurut aturan yang
berlaku, Prijadi tidak lulus fit and proper test yang
diselenggarakan oleh BI. Presiden marah dan minta
agar Gubernur BI waktu itu, Syahril Sabirin, untuk
mengundurkan diri atau dikriminalkan atas dasar
indikasi terlibat skandal Bank Bali. Syahril menolak
dan akhirnya memang dia memang dikriminalkan
dan ditahan oleh Jaksa Agung. Momentum itu
dijadikan wahana bagi pemerintah untuk melakukan
perubahan terhadap undang-undang bank sentral
yang pada intinya memungkinkan Presiden mencopot
Gubernur BI pada masa jabatan jika dinilai tidak
mempunyai kinerja yang baik. Tetapi, seperti ditulis
oleh Kwik Kian Gie57, proses perubahan undang-
undang itu berlarut-larut sehingga tidak pernah
mencapai keberhasilan.
Ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia,
Presiden Soeharto (1967-1998) waktu itu bisa secara
mendadak mencopot Soedrajat Djiwandono dari
posisi Gubernur BI, karena yang bersangkutan menolak
penerapan kebijakan Currency Board System (CBS)
untuk mengendalikan kurs rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat. Dalam sistem waktu itu, memang
Gubernur BI merupakan pejabat negara setingkat
menteri dalam Kabinet Pembangunan VI, suatu tradisi
yang menjadi kebijakan Orde Baru semenjak tahun
1967.58 Barangkali Presiden Megawati Soekarnoputri
(2001-2004) yang beruntung karena pada masa
jabatannya pergantian gubernur bank sentral tidak
mengalami kegoncangan ketika ia mencalokan
Burhanuddin Abdullah sebagai calon tunggal ke DPR.
Jika ditelaah, sehubungan dengan pengusulan,
pencalonan, dan pengangkatan Dewan Gubernur
menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
2004 dapat dianalisis sebagai berikut. Dalam hal
pengisian jabatan Gubernur, maka mengandung
norma-norma: (i) pengangkatan dilakukan oleh
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; (ii)
pengusulan dilakukan secara pribadi oleh Presiden;
(iii) terdapat ketentuan mengenai kualifikasi atau
persyaratan jabatan tertentu; (iv) masa jabatan adalah
5 tahun; (v) ada keamanan penuh terkait dengan
masa jabatan yaitu tidak dapat diberhentikan dalam
masa jabatan kecuali menurut syarat ketentuan
undang-undang; (vi) dapat diangkat kembali dalam
masa jabatan berikutnya; dan (vii) terdapat larangan
untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali karena
kedudukannya. Selanjutnya untuk Deputi Gubernur
Senior berlaku norma-norma sebagai berikut: (i)
pengangkatan dilakukan oleh Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat; (ii) pengusulan dilakukan oleh
Presiden secara pribadi; (iii) terdapat ketentuan
mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan
tertentu; (iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (vi) ada
keamanan penuh terkait dengan masa jabatan yaitu
tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatan kecuali
menurut syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat
diangkat kembali dalam masa jabatan berikutnya;
(vii) terdapat larangan rangkap jabatan kecuali karena
kedudukannya; dan (viii) pengangkatan dilakukan
secara berkala.
Untuk tingkat Deputi Gubernur, ketentuan UU No.
23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn. 2004 mengandung
norma-norma sebagai berikut: (i) pengusulan dilakukan
Bank Sentral kepada Presiden; (iii) terdapat ketentuan
mengenai kualifikasi atau persyaratan jabatan tertentu;
(iv) masa jabatan adalah 5 tahun; (v) ada keamanan
penuh terkait dengan masa jabatan yaitu tidak dapat
diberhentikan dalam masa jabatan kecuali menurut
syarat ketentuan undang-undang; (vi) dapat diangkat
kembali dalam masa jabatan berikutnya; (vii) terdapat
10
57 Kwik Kian Gie, 2006, Pikiran yang Terkorupsi, Jakarta: Kompas, hlm. 81.
58 Berturut-turut Gubernur BI adalah Radius Prawiro (1967-1973), Rachmat Saleh (1973-1983), Adrianur Mooy (1983-1988), Arifin M. Siregar (1988-1993), Soedrajat Djiwandono (1993-1998), dan Syahril Sabirin (1998-2003). Kecuali Syahril Sabirin, semua gubernur bank sentral tadi diangkat menurut UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Sementara itu, Syahril Sabirin yang ”berprestasi” karena memegang jabatan untuk 4 orang presiden selama 1998-2003 dan yang bersangkutan termasuk yang membidani kelahiran UU No. 23 Tahun 1999 yang menempatkan posisi BI dalam kedudukannya yang paling independen semenjak berdirinya republik ini.
larangan untuk merangkap jabatan tertentu, kecuali
karena kedudukannya; (viii) terdapat pengangkatan
jabatan secara bertahap; dan (ix) tidak ada wakil
Pemerintah dalam Dewan Gubernur.
Diantara mekanisme pengisian jabatan Dewan
Gubernur menurut UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No.
3 Thn. 2004 terdapat hal yang perlu mendapatkan
perhatian secara khusus. Jika diperhatikan, ketentuan
Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
2004 mengenai syarat rekrutmen bersifat sangat
umum yaitu hanya mencakup: (i) harus warganegara
Indonesia; (ii) harus memiliki integritas, akhlak, dan
moral yang tinggi; serta (iii) harus memiliki keahlian
dan pengalaman dalam bidang ekonomi, keuangan,
perbankan, atau hukum. Selain syarat warganegara,
kedua syarat yang terakhir dapat dipilah menjadi 2
(dua) kategori yaitu kategori kompetensi moralitas
dan kompetensi profesional. Untuk kompetensi
moralitas pengujiannya menjadi lebih abstrak
dibandingkan dengan kompetensi profesional. Oleh
sebab itu, jika kedua persyaratan tersebut masuk
dalam kualifikasi ”persetujuan” Dewan Perwakilan
Rakyat akan menimbulkan kompleksitas tersendiri.
Apalagi ”persetujuan” tidak semata-mata kata akhir,
akan tetapi juga mekanisme semenjak awal sampai
pengambilan keputusan di Dewan Perwakilan Rakyat.
Dapat saja terjadi bahwa seorang calon mempunyai
kapasitas profesional, akan tetapi bagaimanakah jika
proses pengujian kompetensi moralitas itu diwarnai
dengan tindakan-tindakan tercela seperti penyuapan
atau korupsi, akankah hal tersebut berpengaruh
kepada legitimasi calon? Sebaliknya, jika kompetensi
moralitas tidak menimbulkan persoalan, apakah
klausula undang-undang mengenai ”mempunyai
keahlian dan pengalaman” utnuk kompetensi
profesional dapat diuji oleh Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai lembaga politik?
Dalam pengisian jabatan tersebut, kategori yang
hendak dicari adalah ”the values an individualplaces
on the benefits of a central bank position.” Seperti
dikatakan oleh Watson dan Dwaning, dalam kategori
ini maka, “This is a series of decisions that takes into
account the effects switching jobs might have on
both his personal and professional lives.”59 Dengan
adanya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka
akan timbul suatu penilaian bahwa “Rational
candidates seeking to maximize their electoral
prospects must go hunting where the ducks are,
tailoring their appeal to those prospective voters who
are both likely to turn out and susceptible to
conversion”.60 Selanjutnya, “The important question
here is whether the candidates know where there
are ducks and, having found them, if they can
distinguish the live birds from the decoys. More
specifically, if a potential candidate does not think
that there are enough voters in the area where he
lives who will support his candidacy, he will likely
choose not to run for office.”61
Di dalam praktik, “persetujuan” Dewan Perwakilan
Rakyat menjalankan mekanisme “fit and proper test”
untuk mempertimbangkan calon Dewan Gubernur
yang diajukan oleh Presiden. Mekansime itu sendiri
tidak diatur dalam UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No.
3 Thn. 2004. Sementara dalam praktik, pelaksanaannya
merujuk kepada Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan “fit and proper test”
itu sebagai berikut: (i) Presiden menyampaikan surat
resmi yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat yang berisi daftar nama calon anggota Dewan
Gubernur sejumlah 2 (dua) calon untuk masing-
masing jabatan; (ii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
menerima surat tersebut dan kemudian menetapkan
secara resmi penerimaan pengusulan calon tersebut;
(iii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat menindaklanjuti
dengan pemberitahuan kepada alat kelengkapan
terkait untuk melaksanakan “fit and proper test” dan
ditembuskan kepada tiap-tiap fraksi; (iv) Alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait
11
59 Lihat dalam: Watson, Richard A. and Rondal G. Downing, 2009, The Politics of the Bench and the Bar: Judicial Selection Under the Missouri Nonpartisan Court Plan. New York, John Wiley and Sons, Inc.
60 Ibid.
61 Ibid.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
kemudian melaksanakan kegiatan “fit and proper
test” yang biasanya terbuka untuk umum; (v) Alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait
kemudian menetapkan keputusan untuk menerima
atau menolak calon yang diusulkan oleh Presiden,
yang biasanya dengan pemungutan suara; (vi) Alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat terkait
kemudian menyampaikan secara resmi keputusan “fit
and proper test” kepada Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat dengan tembusan kepada alat kelengkapan
yang merencanakan kegiatan Dewan (Badan
Permusyawaratan); (vii) Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat kemudian menyampaikan hasil keputusan
pencalonan tersebut dalam rapat paripurna menurut
Peraturan Tata Tertib untuk dimintakan persetujuan
kepada seluruh anggota Dewan, yang lazimnya
mengikuti apa yang sudah diputuskan alat kelengkapan
terkait; dan (viii) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
menyampaikan keputusan Dewan kepada Presiden.
Selain perdebatan dari sisi legitimasi hukum mengenai
mekanisme dan pelaksanaan “fit and proper test”
persoalan juga mencakup isu batasan dan sifat
“pengujian” yang tidak tegas apakah mencakup
kompetensi moralitas atau kompetensi profesional
calon. Sebuah “fit and proper test” yang menilai
calon yang sudah memenuhi persyaratan Undang-
Undang untuk jabatan tertentu seperti anggota
Dewan Gubernur tentu lebih tepat apabila menguji
kompetensi moralitas guna menemukan calon yang
mempunyai “kepribadian dan kecakapan yang tidak
tercela” seperti di Filipina. Menurut Moh. Nadjib
Immanullah, pengujian itu mendekati mekanisme
“hearing” di Senat Amerika Serikat dalam menentukan
calon anggota The Federal Reserve System.62 Tidak
pada tempatnya, jika argumentasi ini diikuti, bahwa
“fit and proper test” oleh lembaga politik semacam
Dewan Perwakilan Rakyat merambah pengujian
terhadap penilaian komptensi profesional calon.
Akan tetapi, Hari Purwadi menolak jika sifat politik
kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi
dasar pendapat untuk menyatakan validitas “fit and
proper test.” Sebagai sebuah realitas politik yang
kemudian menjadi ketentuan Undang-Undang proses
semacam itu tidak perlu dinilai berlebihan terhadap
Dewan Perwakilan Rakyat. Banyak pengisian jabatan
di Indonesia yang memerlukan persetujuan parlemen,
akan tetapi persoalan yang sangat penting di
Indonesia adalah keterputusan bias ideology antara
calon yang diputuskan dengan kinerja. Hampir
persoalan itu tidak pernah muncul. Ideology resmi
partai nyaris tidak menjadi dasar untuk menguji
kapasitas calon yang nantinya akan tercermin dalam
putusan-putusan yang ditetapkan oleh calon.63
Ketentuan UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
2004 sendiri tidak memberikan penjelasan terhadap
makna “persetujuan” Dewan Perwakilan Rakyat itu
sendiri. Sebagai perbandingan, ketentuan UU No. 3
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan UU No.
34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.64
Sejak pelaksanaan Undang-Undang Kepolisian
pertama kali pada masa pemerintahan Presiden
Megawati Soekarnoputri (2002), calon yang diajukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi
Kepala Kepolisian Republik Indonesia hanya satu
orang dan diikuti kemudian pada masa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika melakukan
pengisian jabatan pada tahun 2005, 2007, dan 2009.65
Sementara itu, Undang-Undang Tentara Nasional
Indonesia pertama kali dipraktikkan pada masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
untuk mengisi jabatan Panglima Tentara Nasional
12
62 Pendapat dalam Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011.
63 Pendapat Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum.,Focus Group Discussion dalam rangka penelitian ini di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Jumat, 23 Desember 2011.
64 Kedua undang-undang ini menindaklanjuti Ketetapan MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
65 Untuk pertama kali, Presiden Megawati Soekarnoputri mengajukan Jenderal (Pol) Da’I Bachtiar sebagai satu-satunya calon dan preseden ini diikuti oleh Presiden Yudhoyono ketika mencalonkan Jenderal (Pol) Soetanto (2005), Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Dhanuri (2007), dan Jenderal (Pol) Timur Pradopo (2010).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Indonesia pada tahun 2005 dan kemudian pada tahun
2008 dan 2010.66 Sekalipun pada awalnya dikritik
oleh Dewan Perwakilan Rakyat karena hanya satu
calon, tetapi proses pemberian persetujuan selama
ini tidak pernah mengalami hambatan sama sekali.
Artinya “persetujuan” Dewan Perwakilan Rakyat
menjadi bermakna operaisonal ketika calon yang
diajukan oleh Presiden hanya satu.
Pengalaman sebelumnya berbeda dalam pengisian
jabatan Gubernur Bank Indonesia. Untuk mengisi
jabatan Gubernur BI, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengajukan 2 (dua) orang calon–Agus
Martowardoyo dan Raden Pardede--untuk
mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Pengajuan itu dilakukan pada 17 Februari dan
setelah melalui serangkaian fit and proper test, pada
18 Maret 2008 DPR menyatakan menolak terhadap
calon-calon yang diajukan oleh Presiden tersebut.
Kemudian Presiden mengajukan Boediono (Menteri
Koordinator Perekonomian) sebagai calon Gubernur
Bank Indonesia. Seperti sudah diramalkan oleh banyak
pihak, pencalonan Menteri Koordinator Perekonomian
Boediono untuk posisi Gubernur Bank Indonesia
berjalan mulus. Pada 8 April 2008 yang lalu, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan persetujuan
bagi profesor ekonomi Universitas Gadjah Mada itu
untuk menduduki posisi di lembaga yang berperan
penting sebagai otoritas moneter di republik ini. Atas
dasar pengalaman itu, maka ketika Boediono menjadi
Wakil Presiden (2009), untuk mengisi jabatan
Gubernur Bank Indonesia, Presiden mengajukan
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin
Nasution sebagai satu-satunya calon pada Oktober
2010 yang lalu dan memperoleh persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Ada kemungkinan bahwa praktik
pengisian jabatan dengan mengajukan satu calon
akan menjadi konvensi ketatanegaraan.
Persoalan pengisian jabatan Gubernur Bank Indonesia
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat amat
erat dengan sifat independensi bank sentral. Dalam
kasus Indonesia, independensi itu harus dipahami–
yang dapat saja menunjukkan ketidakmutlakan
independensi itu–sekurang-kurangnya terhadap 3
(tiga) aspek. Pertama, walaupun terdapat keterkaitan
antara indendensi dan rendahnya laju inflasi, tidak
berarti bahwa semakin independen suatu bank sentral,
inflasi yang rendah dapat dicapai. Kedua, kebijakan
moneter merupakan bagian dari kebijakan ekonomi
secara keseluruhan, meskipun terpisah namun
kebijaksanaan fiskal, moneter, ketenagakerjaan,
perdagangan, atau kebijaksanaan lainnya harus tetap
saling mendukung. Ketiga, dengan terpilihnya pejabat
Bank Sentral dalam mekanisme politik yang demokratis,
maka keputusan mengenai suku bunga, nilai tukar,
inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan mewakili
kepentingan masyarakat pada umumnya.
Mengingat independensi Bank Indonesia, pengisian
jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia yang
memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan status
kelembagaan bank sentral. Hanya saja ke depan
nampaknya perlu dilakukan perubahan mekanisme
itu guna menghindari politicking yang berlebihan.
Untuk posisi Gubernur dan Deputi Gubernur Senior,
hendaknya dapat dilaksanakan dalam satu paket
pemilihan. Presiden dapat menetapkan sendiri
mekanisme untuk pengusulan jabatan tersebut dan
masing-masing hanya satu calon untuk kemudian
dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sementara itu, untuk anggota Dewan Gubernur,
dalam hal ini Deputi Gubernur dilakukan pengisian
jabatan secara berkala dan tidak perlu memerlukan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pengusulan
calon dilakukan oleh Gubernur Bank Indonesia kepada
Presiden dan kemudian ditetapkan oleh Presiden.
Pemisahan mekanisme yang berlaku untuk Gubernur
dan Deputi Gubernur Senior dengan anggota Dewan
Gubernur dilakukan minimal dengan 3 (tiga) alasan.
Pertama, mengingat kelembagaan Bank Indonesia
13
66 Presiden Yudhoyono mengajukan Marsekal Djoko Suyanto sebagai satu-satunya calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (2005), lalu Jenderal Djoko Santoso (2008), dan Laksamana Agus Suhartono (2010).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
sebagai organ konstitusi dengan status yang
independen, maka tugas dan wewenang Gubernur
dan Deputi Gubernur amat strategis karena mengelola
sumber daya ekonomi dan politik sebagai otoritas
moneter menurut ketentuan Undang-Undang.
Oleh sebab itu, sebagai mekanisme keseimbangan
baru berdasarkan ”theory of combines process
intitutionalized”, penting untuk dilakukan prosedur
pemilihan yang mengikuti proses demokrasi politik
terhadap kedua jabatan itu. Kedua, guna
menyeimbangkan antara kebutuhan organisasi dan
political appointee, dapat saja diatur bahwa calon
Gubernur diusulkan oleh Presiden, sedangkan kriteria
Deputi Gubernur Senior diusulkan oleh Presiden
dengan memperhatikan persyaratan bahwa calon
yang bersangkutan telah pernah atau sedangkan
menduduki jabatan sebagai Deputi Gubernur atau
jabatan tertentu di lingkungan Bank Indonesia yang
disetarakan dengan eselon I pada Kementerian/
Lembaga. Kedua, Deputi Gubernur amat dekat dengan
fungsi teknokratis bank sentral, sehingga pengisian
jabatan menggunakan pendekatan prinsip karir
dibandingkan political appointee. Oleh sebab itu,
penting untuk dipertimbangkan bahwa calon berasal
dari lingkungan jabatan Bank Indonesia yang
memenuhi syarat. Ketentuan-ketentuan tersebut
mensyaratkan peninjauan kembali terhadap ketentuan
Pasal 40 UU No. 23 Thn. 1999 jo. UU No. 3 Thn.
2004.
D. Kesimpulan
Pengisian jabatan Dewan Gubernur Bank Indonesia
yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat memiliki rasionalitas yang amat terkait dengan
status kelembagaan bank sentral yang di Indonesia
harus dipahami menurut 3 (tiga) aspek, yaitu pertama,
walaupun terdapat keterkaitan antara indendensi dan
rendahnya laju inflasi, tidak berarti bahwa semakin
independen suatu bank sentral, inflasi yang rendah
dapat dicapai. Kedua, kebijakan moneter merupakan
bagian dari kebijakan ekonomi secara keseluruhan
sehingga tidak artinya memisahkan kebijaksanaan
fiskal, moneter, ketenagakerjaan, perdagangan, atau
kebijaksanaan lainnya. Ketiga, dengan terpilihnya
pejabat Bank Sentral dalam mekanisme politik yang
demokratis, maka keputusan mengenai suku bunga,
nilai tukar, inflasi, dan hal-hal moneter lainnya akan
mewakili kepentingan masyarakat pada umumnya.
14
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Abner S. Greene, “Checks andBalances in an Era of Presidential Lawmaking”, 1994, University Chicago Law Review Vol.
61.
Adam N. Steinman, “A Constitution for Judicial Lawmaking”, University of Pitsburgh Law Review, 2004, Vol. 64.
Adam Posen, “Why Central Bank Independence Does Not Cause Low Ination: There is No Institutional Fix for Politics”,
dalam Finance and the International Economy 7: The Amex Bank Review Prize Essays, Oxford: Oxford University
Press, 2003.
Amy J. Weisman, “Separation of Powers in Post-Communist Government: A Constitutional Case Study of the Russian
Federation”, American University Journal of International Law and Policy, 1995, Vol. 10.
Alison Marston Danner, “Navigating Law and Politics: The Prosecutor of the International Criminal Court and the
Independent Counsel”, Stanford Law Review, 2003, Vol. 20, No. 55.
Andrews Heywood, 2002, Politics, New York, Palgrave.
Abdulkadir Besar, 2002, Perubahan UUD 1945 Tanpa Paradigma, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Pancasila.
Ahmad Syahrizal, 2006, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi Tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian
Sengkera Normatif, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita.
Allan Drazen, “Central Bank Independence, Democracy, and Dollarization”, Journal of Applied Economics, Vol. V, No.
1, May 2002.
Arifin Firmansyah, et. al., , sebagaimana dikutip oleh Rizky Argama, 2007, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam
Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia: Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga
Negara Bantu, Skripsi. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Bernard Schwartz, “Curiouser and Curiouser: The Supreme Court’s Separation of Powers Wonderland”, Notre Dame Law
Review, 1990, Vol. 65.
Bill Orr, “Are the IMF and the World Bank on the right tack?”, ABA Banking Journal, Marc 1990.
Bordo Michael D. dan Kydland Finn E., “The Gold Standard As a Rule: An Essay in Exploration, Explorations”, Economic
History, 2005, Vol. 32, No. 4.
Brian Z. Tamanaha, 2001, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford, OxfordUniversity Press.
DAFTAR PUSTAKA
15
Brian Z. Tamanaha, 2004, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge, Cambridge University Press.
Brucke Ackerman, “The New Separation of Power”, Harvard Law Review, No. 3 Vol. 113, Januari 2000.
B.S. Bernanke and F.S. Mishkin, “Inflation targeting: A new framework for monetary policy?”,The Journal of Economic
Perspectives, Vol.11, No. 2 1997.
Calvin Jillson dan Rick K. Wilson, 1994, Congressional Dynamics: Structure, Coordination, and Choice in the First American
Congress, 1774–1789, Stanford, Stanford University Press.
Carl Levin, “The Independent Counsel Statute: A Matter of Public Confidence and Constitutional Balance”, 1987, Hofstra
Law Review, No. 16.
C.D. Romer, ”Is the Stabilization of the Postwar Economy a Figment of the Data?”, The American Economic Review, 2006,
Vol. 76, No. 3.
Christopher A. Ford, “The Indigenization of Constitutionalism in the Japanese Experience”, Case West of Journal
International Law, 1996, Vol. 28 No. 3.
Clive B. Briault, et.al., “Independence and Accountability”, Bank of England Working Papers Series, No. 49.
Cukierman, 1992, Central Bank Strategy, Credibility, and Independence, Cambridge: MIT Press.
Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Konstitusi Press.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta, Penerbit Konstitusi
Press.
John D. Huber and Charles R. Shipan, Deliberate Discretion? The Institutional Foundationsof Bureaucratic Autonomy,
New York, Cambridge University Press, New York, 2002.
John Ferejohn and Charles Shipan, “Congressional Inuence on Bureaucracy”, Journal of Law, Economics, and Organization,
1990, Vol. 6.
John Ferejohn, “Judicializing Politics, Politicizing Law”, Law & Contemporer Problems, 2002, Vol. 65.
Maqdir Ismail, “Independensi Bank Sentral dalam UU dan Praktik di Indonesia”, Jurnal Legislasi, Vol. 3, No. 3, September
2006.
Marc Flandreau, “The French Crime of 1873: An Essay on the Emergence of the International Gold Standard, 1870-
1880”, The Journal of Economic History, 1996, Vol. 56, No. 04.
M. Dawam Rahardjo et.al., 2001, Independensi BI dalam Kemelut Politik, Jakarta, Cidesindo.
16
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar Pembentukannya Jilid 1, Jogjakarta,
Penerbit Kanisius.
Martin A. Rogoff, “The French (R)evolution of 1958–1998”, Columbia Journal of Europe, Vol. 3.
Martin S. Flaherty, “The Most Dangerous Branch”, 1988, Yale Law Journal No. 105.
P. L. Siklos, 2002, The Changing Face of Central Banking, Cambridge: Cambridge University Press.
R. Bade dan M. Parkin, 1984, Central Bank Laws and Monetary Policy, Department of Economics, University of Western
Ontario, Canada.
R.B. Barsky,” The Fisher Hypothesis and the Forecastability and Persistence of Inflation”, Journal of Monetary Economics,
2007, Vol. 19, No. 1.
R.J. Barro dan Gordon D. B. Gordon, “A Positive Theory of Monetary Policy in a Natural-Rate Model”, Journal of Political
Economy, 2003, Vol. 91.
Rett R. Ludwikowski, “Mixed” Constitutions – Product of an East-Central European Constitutional Melting Pot”, Birmigham
International Law Journal, 1998, Vol. 1 No. 16.
Robert Elgie, “Democratic Accountabilyt and Central Bank Independence”, Wets European Politics, 1998, Vol. 21, No.3.
Rubert Unger, 1976, Law and Modern Society, New York, Free Press.
Roberto Unger, 1983, The Criritcal Legal Studies Movement, Cambridge, Masssachusetts and London, Englan: Harvard
University Press.
Stanley Fisher, “Central Bank Independence Revisited”, AEA Paper and Proceeding, 1995, Vol. 85, No. 2.
Stephen G Cecchetti, “Making Monetary Policy: Objectives and Rules”, Oxford Review of Economic Policy, 2000, Vol.16,
No. 4.
Thomas Hart Benton, 1990, Abridgment of the Debates of Congress, from 1789 to 1856, D. Appleton and Company,
New York.
Sain Gailmard dan John W. Patty, “Separation of Power, Information, and Beuracratic Structure”, Working Paper Series
September 2008.
Skully Ahsan & Wickramanayake, “Determinants of Central Bank Independence and Governance: Problems and Policy
Implications, JOAAG, Vol. 1. No. 1, 2006.
Soebagijo, 1980, Jusuf Wibisono: Karang di Tengah Gelombang, Jakarta, Penerbit Gunung Agung.
17
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Stanley Elkins dan Eric McKittrick, 1993, The Age of Federalism: The Early American Republic: 1788-1800, New York,
Oxford University Press.
Stephen L. Carter, “The Independent Counsel Mess”, Harvard Law Review, Vol. 102, 1988.
Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung, Penerbit Alumni.
Sudarwan Darwin, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung, Pustaka Setia.
Suri Ratnapala et al., 2007, Australian Constitutional Law: Commentary and Cases, Melbourne, Oxford University Press.
Thomas M. Cooley, 1998, The General Principles of Constitutional Law, Boston, LittleBrown.
Thomas W. Merrill, “The Constitution and the Cathedral: Prohibiting, Purchasing, and Possibly Condemning Tobacco
Advertising”, New York University Law Review, Vol. 93, 1999.
Thomas O. Sargentich, “The Contemporary Debate about Legislative-Executive Separation of Powers”, Cornell Law
Review, 1997, Vol. 72.
T.J. Jordan, “Disinflation Costs, Accelerating Inflation Gains, and Central Bank Independence”, Weltwirschaftliches Archive
Vol 133.
Ubdaibir S. Das, et.al., “Financial Regulators”, A Quartley Magazine of the IMF, 2002.
V.D. Grilli Masciandaro dan G. Tabellini , “Institutions and Policies”, Economic Policy , 1991, Vol. 6.
V. Grilli, D. Masciandaro, dan G. Tabellini, “Political and Monetary Institutions and Public Financial Policies in the Industrial
Countries”, Economic Policy, 1991, Vol. 6.
Wahyudi Djafar, “Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum: Sebuah Catatan Atas Kecenderungan Defisit Negara
Hukum di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, Oktober 2010.
William B. Gwyn, “The Indeterminacy of Separation of Powers”, George Washington Law Review, 1999.
William Poole, “Central Bank Transparancy: Why and How?”, The Philadelphia Fed Policy Forum Federal Reserve Bank
of Philadelphia, 2001, No. 30.
18
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
A. Pendahuluan
Krisis ekonomi yang terjadi baik dalam skala nasional
maupun internasional, kerap melahirkan krisis multi
dimensi, baik dari sektor perbankan, keuangan,
maupun terhadap biaya sosial yang timbul dan
berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan nasional. Krisis ekonomi yang menghantam
Asia di tahun 1997-1998 misalnya, dimana krisis ini
dipicu oleh jatuhnya nilai mata uang Bath di Thailand
yang kemudian berimbas pada penambahan beban
perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk
Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi
minus 13%. Sementara dari segi sosial, diperlukan
waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan
perekonomian dan kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan ke kondisi sebelum krisis.3
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2008, kembali
terjadi krisis ekonomi dunia yang merupakan domino
effect dari krisis kredit perumahan di Amerika Serikat
yang menggelembung (bubble) dan mengakibatkan
kesulitan solvabilitas serta berdampak pada
dilikuidasinya berbagai lembaga keuangan di negara-
negara besar yang ada di dunia, yang antara lain
menyebabkan kebangkrutan ratusan bank, perusahaan
sekuritas, reksadana, dana pensiun dan asuransi. Krisis
kemudian merambat ke belahan Asia terutama negara-
negara seperti Jepang, Korea, China, Singapura,
Hongkong, Malaysia, Thailand termasuk Indonesia.4
3 Tim FE UI dan FEB UGM, 2010, “Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III”, Jakarta, hal. 1.
4 Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan, 2010, “Buku Putih : Upaya Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis”, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, Hal. 12.
19
OUTLOOK PENGAWASAN PERBANKAN PASCA TERBENTUKNYA OTORITAS JASA KEUANGAN1
Oleh :
Rio Fafen Ciptaswara, S.H., M.H.2
Abstrak
Blurry effect di perbankan dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko finansial yang dapat terjadi di
dalam grey area grup konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh
karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan sistem keuangan nasional di kemudian hari.Dengan adanya blurry
effect ini, maka diperlukan suatu bentuk pengawasan yang terintegrasi antara perbankan, pasar modal dan asuransi
serta lembaga keuangan non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari fenomena tersebut. Kunci keberhasilan Otoritas
Jasa Keuangan adalah adanya mekanisme koordinasi yang baik antar lembaga terkait. Selain itu, untuk mencapai sasaran
dalam mencegah dan menyelesaikan krisis, sharing information antar otoritas sangat diperlukan baik dalam kondisisi
normal maupuan kondisi krisis.
Kata kunci: pasca OJK, pengawasan perbankan.
1 Resume dari Penulisan Hukum milik Penulis yang berjudul “Potensi Terjadinya Konflik antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia”, pada Agusutus 2012.
2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Kedua krisis tersebut menyadarkan pemerintah bahwa
salah satu penyebab runtuhnya perekonomian
Indonesia saat itu adalah karena dengan sejumlah
tugas yang dimiliki Bank Indonesia khususnya di
bidang moneter, mengakibatkan terpecahnya fokus
Bank Indonesia antara kebijakan moneter, kestabilan
nilai rupiah dan pengawasan perbankan, sehingga
kinerja Bank Indonesia tidak menjadi optimal ketika
menangani krisis. Hal ini seperti inilah yang kemudian
menjadi alasan dirumuskannya suatu konsep
pemisahan tugas pengawasan perbankan nasional
dari Bank Indonesia selaku Bank Sentral kepada suatu
Lembaga Pengawas Jasa Keuangan5, dengan tujuan
agar Bank Indonesia dapat fokus untuk melakukan
tugasnya dalam pengaturan kebijakan moneter.
Disisi lain, pesatnya pertumbuhan dan kemajuan di
bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, telah
menciptakan kompleksitas kegiatan jasa keuangan
yang dinamis dan saling terkait antar masing masing
subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun
kelembagaan, sehingga mendorong pertumbuhan
entitas bisnis menjadi suatu bentuk konglomerasi
yang menawarkan berbagai produk keuangan di lini
bisnis perbankan, pasar modal, asuransi maupun
lembaga pembiayaan non bank lainnya secara
sekaligus. Hal seperti ini kemudian menimbulkan
suatu blurry effect di dunia bisnis perbankan sehingga
dapat menghasilkan potensi tidak terdeksinya risiko
finansial yang dapat terjadi di dalam grey area grup
konglomerasi tersebut apabila pengawasan yang
dilakukan masih bersifat sub sektoral, dan oleh
karenanya dapat membahayakan tingkat kesehatan
sistem keuangan nasional di kemudian hari6.
Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Donato Masciandaro
mengatakan bahwa “The blurring effect causes two
interdependent phenomena: (1) the emergence of
financial conglomerates, which is likely to produce
important changes in the nature and dimensions of
the individual intermediaries, as well as in the degree
of consolidation of the banking and financial industri;
and (2) growing securitization of the traditional forms
of banking activity and the proliferation of sophisticated
ways of bundling, repackaging, and trading risks,
which weaken the classic distinction between equity,
debt, and loans, bringing changes in the nature and
dimensions of the financial markets”7. Dengan adanya
blurry effect ini, maka diperlukan suatu bentuk
pengawasan yang terintegrasi antara perbankan,
pasar modal dan asuransi serta lembaga keuangan
non bank lainnya untuk meminimalisir risiko dari
fenomena tersebut.
Selanjutnya Prof. Donato Masciandro juga
mengungkapkan bahwa dengan diperlukannya suatu
pengawasan yang terintegerasi, maka muncul suatu
perdebatan terkait bentuk lembaga pengawasnya,
yakni berupa Multi Financial Authorites ataukah
Single Financial Authority, dan menurut beliau, apabila
melihat kesuksesan beberapa negara Eropa dan Asia,
maka bentuk Single Financial Authority merupakan
solusi yang terbaik.8
Sehubungan dengan hal tersebut, di Indonesia sendiri
pembentukan Financial Authority di amanatkan dalam
Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 jo. Undang-undang Nomor 3 tahun 2004,
dimana dikatakan bahwa; “Tugas mengawasi Bank
akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan
Undang-undang”, yakni Undang-undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Namun urgensi dan eksistensi Otoritas Jasa Keuangan
ini kemudian menjadi dipertanyakan, mulai dari segi
20
7 DonatoMasciandaro, 2005, “Financial Supervision Architectures And The Role Of Central”, McGeorge School of Law, University of the Pacific, San Fransisco, hal. 1.
8 Ibid, hal. 2
5 Vide Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
6 Tim Panitia Antar Departemen RUU tentang OJK, 2010, “Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan”, Jakarta, hal. 9.
legalitas Otoritas Jasa Keuangan (yang seharusnya
terbentuk selambat-lambatnya 31 Desember 20109
namun pada praktiknya baru terbentuk pada 22
November 2011), hingga manfaat atas dibentuknya
lembaga ini.
Beberapa pakar ekonomi dan perbankan menyatakan
bahwa pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tidaklah
memberikan manfaat yang signifikan, salah satunya
adalah karena pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
tentunya akan berpotensi menimbulkan konflik
dengan Bank Indonesia selaku Bank Sentral. Hal
tersebut tercermin dalam Undang-undang Otoritas
Jasa Keuangan yang memisahkan antara kewenangan
microprudential dan macroprudential.
Bank merupakan lembaga keuangan yang sangat
dominan dalam transmisi kebijakan moneter, sehingga
Bank Sentral dalam menjalankan fungsi moneternya,
haruslah memiliki informasi yang cukup atas
pertumbuhan dan pergerakan bank di negaranya.
Apabila Bank Sentral tidak mendapatkan cukup
informasi, maka ketika terjadi krisis, respon yang
dikeluarkan oleh Bank Sentral pun akan menjadi
lambat, sementara Otoritas Jasa Keuangan pun pasti
tidak dapat berbuat banyak karena fungsi Lender of
Last Resort berada di tangan Bank Sentral. Alhasil,
dengan pemisahan kewenangan seperti itu, maka
dikhawatirkan kinerja kedua lembaga tersebut tidak
akan optimal.
Selain itu, Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano
mengemukakan bahwa “The Central Bank of 48
Countries (57% of total) have the authority of banking
supervison and of these 48 countries, 39 (81%)
are developing and emerging economies.”10
Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa bentuk
pengawasan yang paling banyak dipilih oleh negara
negara berkembang adalah fungsi pengawasan
yang tetap berada di bawah Bank Sentral.
Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan karakteristik
struktur finansial antara negara berkembang dengan
negara maju seperti adanya penggunaan sistem
perbankan, dimana pada negara maju seperti Eropa
dan Jepang, menggunakan Universal Banking System
sehingga memerlukan suatu bentuk pengawas yang
terintegerasi. Sementara di negara-negara berkembang
seperti di ASEAN, lebih mengandalkan Commercial
Banking System sehingga tidak diperlukan lembaga
pengawas yang mengawasi jasa keuangan secara
terintegerasi.
Disisi lain, Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan
juga menimbulkan suatu masalah tersendiri. Hal ini
dapat dilihat di dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) yang
pada pokoknya mengatur adanya kewajiban pelaku
kegiatan di sektor keuangan (salah satunya adalah
bank) untuk membayar pungutan kepada Otoritas
Jasa Keuangan selaku pengatur dan pengawas jasa
keuangan. Adanya kewajiban ini menjadi suatu
permasalahan tersendiri, karena bagaimana mungkin
pengawasan perbankan dapat menjadi efektif apabila
Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas memungut
bayaran dari obyek yang diawasi, hal ini sangat
berpotensi menimbulkan terjadinya moral hazard
antara Otoritas Jasa Keuangan dan bank, sehingga
sangat dikhawatirkan nantinya pengawasan yang
dilakukan akan berupa pengawasan yang “tebang
pilih” dan tidak Independen. Alhasil, pengawasan
yang semula ditujukan untuk meringankan tugas Bank
Indonesia, hanya akan menjadi suatu permasalahan
baru.
B. Potensi Terjadinya Konflik antara Otoritas Jasa
Keuangan dengan Bank Indonesia dalam
Pengaturan dan Pengawasan Perbankan Indonesia
Bank Indonesia selaku Bank Sentral memiliki tujuan
tunggal yakni untuk mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan
moneter, penyelenggaraan sistem pembayaran yang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
21
9 Vide Pasal 34 ayat (2) UU 3/04 tentang Bank Indonesia.
10 Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, 2010, “Regulating Systemic Risk”, ADBI Working Paper No. 189, Tokyo: Asian Development Bank Institute, hal. 10.
aman dan efisien serta pengaturan dan pengawasan
bank. Sebagai evaluasi atas dua krisis keuangan besar
yang menimpa Indonesia, yakni krisis keuangan asia
1997/1998 dan krisis keuangan global 2008/2009,
maka sebagai upaya untuk menghindarkan krisis
atau setidaknya meminimalkan dampak ketika krisis
di masa akan datang, sekaligus membantu Bank
Indonesia untuk fokus dalam tugasnya mencapai
kestabilan moneter maka pengaturan dan pengawasan
bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Namun demikian, pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan dengan serangkaian ketentuannya, dirasa
memiliki potensi untuk menimbulkan konflik antara
Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia.
1. Konflik dalam Sumber Pendanaan Otoritas
Jasa Keuangan
Anggaran pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan
merupakan salah satu hal yang cukup banyak
disoroti oleh berbagai kalangan, baik akademisi,
praktisi perbankan maupun dari pihak Bank
Indonesia sendiri. Hal tersebut dikarenakan di
dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 21 tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dinyatakan
bahwa Otoritas Jasa Keuangan memiliki
kewenangan untuk menarik pungutan terhadap
setiap pelaku di sektor jasa keuangan yang mana
salah satunya berasal dari sektor perbankan, dan
sehubungan dengan kewenangan itu pula maka
setiap pelaku di sektor jasa keuangan kemudian
dibebani dengan kewajiban untuk membayar
pungutan tersebut.
Secara filosofis, pungutan yang dikenakan oleh
Otoritas Jasa Keuangan ini pada hakikatnya
ditujukan sebagai sumber alternatif dalam
pendanaan operasional Otoritas Jasa Keuangan,
yang mana pada awalnya, sumber pendanaan
Otoritas Jasa Keuangan berasal dari APBN.
Sehingga dengan adanya pungutan yang diterima
oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka tentunya
diharapkan akan membuat Otoritas Jasa Keuangan
lebih independen karena akan membuat Otoritas
Jasa Keuangan menjadi tidak tergantung pada
pemerintah. Hal tersebut, sejalan dengan yang
disampaikan oleh Sigit Pramono, dimana ia
mengatakan bahwa jika dana operasional Otoritas
Jasa Keuangan berasal dari APBN, maka
independensi Otoritas Jasa Keuangan tentu akan
sangat minim.11
Namun demikian, dengan adanya konsep
pungutan yang dilakukan oleh lembaga pengawas
terhadap objek pengawasannya, maka tentu akan
berpotensi sangat besar untuk menimbulkan suatu
ekses, yang pada gilirannya akan memberikan
dampak negatif pada independensi, akuntabilitas
serta kredibilitas Otoritas Jasa Keuangan dalam
melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan
dalam sektor jasa keuangan.
a) Timbulnya Moral Hazards
Salah satu permasalahan yang berpotensi
untuk muncul apabila Otoritas Jasa Keuangan
mengenakan pungutan adalah adanya
pandangan bahwa pungutan tersebut akan
berpotensi menimbulkan moral hazard antara
Otoritas Jasa Keuangan selaku pengawas
dengan para pelaku sektor jasa keuangan,
dalam hal ini perbankan misalnya, selaku objek
yang diawasi, sehingga sangat dikhawatirkan
nantinya pengawasan yang dilakukan oleh
Otoritas Jasa Keuangan akan berupa
pengawasan yang “tebang pilih” dan tidak
Independen.
Pemberlakuan kewenangan untuk melakukan
pungutan ini, diawali oleh pandangan bahwa
apabila mengacu kepada bentuk pendanaan
operasional BaFin di Jerman maupun APRA
di Australia, maka dapat diketahui bahwa
para auditee juga melakukan pembayaran
kepada lembaga pengawas tersebut, sehingga
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
22
11 Sigit Pramono, “Otoritas Jasa Keuangan”, diakses dari www.adpi.or.id.
independensi dari lembaga pengawas menjadi
lebih independen karena tidak tergantung dari
anggaran negara. Namun disini penulis
berpendapat bahwa, meskipun sisi positif dari
ketentuan mengenai pungutan ini adalah akan
memberikan independensi terhadap Otoritas
Jasa Keuangan, khususnya dalam hal financial
independence, namun pembentuk Undang-
undang juga seharusnya memperhatikan
bahwa kondisi sosial-bisnis di suatu negara
tentu berbeda dengan kondisi sosial-bisnis di
negara lainnya. Sementara apabila melihat
Indonesia sendiri, dapat diketahui bahwa
kondisi sosial-bisnis di Indonesia sebagai Negara
berkembang, khususnya di dalam industri
sektor jasa keuangan seperti perbankan
misalnya, masih sangat rentan terhadap moral
hazards yang berkembang.
Moral Hazard yang penulis maksud dalam hal
ini adalah bahwa tingkat kedisiplian seperti
dalam hal pelaksanakan Good Corporate
Governance oleh para auditee akan cenderung
menurun seiring dengan meningkatnya celah-
celah hukum dalam ketentuan perundang-
undangan, sehingga nantinya akan
memberikan dampak pada kepercayaan
masyarakat terhadap sektor jasa keuangan.
Pasal 37 UU Otoritas Jasa Keuangan yang
memberikan ketentuan adanya pungutan ini,
dapat dikatakan merupakan celah hukum
yang sangat berpotensial menimbulkan moral
hazards tersebut. Hal ini dikarenakan dengan
adanya pungutan ini, maka dikhawatirkan
bahwa para auditee akan lebih cenderung
untuk berpikir bahwa lebih baik membayar
untuk tidak diawasi, daripada membayar
namun diawasi dengan lebih ketat, dan
sekalipun memang harus diawasi maka
auditee yang membayar dengan nilai yang
lebih tinggi tentu memiliki daya tawar untuk
menekan Otoritas Jasa Keuangan agar
melakukan pengawasan secara lebih longgar
daripada pengawasan yang dilakukan terhadap
auditee yang membayar dengan nilai yang
lebih kecil.
Sehubungan dengan pendapat di atas, dan
seperti yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya, perbankan merupakan sektor
jasa keuangan yang memiliki 2 (dua)
karakteristik utama. Pertama, perbankan
merupakan sektor jasa keuangan yang tumbuh
dan berkembang atas dasar kepercayaan dari
masyarakat, yang mana terlihat dari adanya
penghimpunan dana yang berasal dari
masyarakat. Sementara karakteristik kedua,
adalah bahwa perbankan merupakan sektor
jasa keuangan yang sangat rentan terhadap
berbagai macam risiko, baik risiko kredit, risiko
likuiditas, risiko hukum, risiko operasional
maupun risiko sistemik.
Apabila dengan adanya pungutan yang
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan ini
kemudian mengakibatkan pengawasan
menjadi lebih longgar atau tidak prudent,
maka nantinya fungsi pengawasan yang
pada hakikatnya ditujukan untuk dapat
meminimalisir risiko-risiko di sektor perbankan
sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap sektor perbankan, tidak akan
tercapai. Sehingga pada gilirannya nanti, akan
memberikan dampak terhadap stabilitas sistem
keuangan yang merupakan tanggung jawab
macroprudential dari Bank Indonesia.
b) Biaya Ekstra
Selain potensi moral hazards yang akan
mungkin ditimbulkan, permasalahan lainnya
adalah dengan adanya pungutan ini, maka
nantinya akan membebani industri perbankan.
Hal ini dikarenakan, sebagai sektor yang sangat
rentan terhadap risiko, maka Bank Indonesia
selaku bank sentral memiliki kewenangan
untuk menentukan besaran jumlah Giro Wajib
Minimum yang harus disediakan oleh setiap
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
23
bank,12 sementara Lembaga Penjamin
Simpanan selaku lembaga penjamin dalam
sektor perbankan, juga mewajibkan kepada
setiap bank untuk membayar premi secara
berkala kepada Lembaga Penjamin Simpanan
sebagai bentuk penjaminan.13
Apabila sektor perbankan kemudian dibebani
lagi dengan biaya tambahan berupa adanya
kewajiban pungutan yang harus dikeluarkan
oleh bank kepada Otoritas Jasa Keuangan,
maka tentu akan sangat membebani
operasional perbankan, yang mana hal tersebut
tentunya akan berimbas pada jumlah dana
yang dapat dikucurkan oleh bank kepada
masyarakat dalam bentuk kredit.
Permasalahan alokasi kredit tersebut patut
untuk dikhawatirkan, karena hingga saat ini,
salah satu permasalahan yang dihadapi oleh
Bank Indonesia adalah terkait kurang
optimalnya alokasi kredit yang dilakukan oleh
perbankan, karena meskipun Bank Indonesia
telah menurunkan BI Rate secara signifikan,
namun pertumbuhan Loan to Deposit Ratio
(LDR) belum meningkat sesuai dengan apa
yang diharapkan, sehingga Bank Indonesia
selalu mencari jalan untuk mengarahkan
perbankan agar dapat menekan biaya
operasionalnya, serta menurunkan bunga
pinjaman. Dengan demikian, alokasi kredit
dapat lebih ditingkatkan, sehingga dapat
mendorong perkembangan ekonomi.
Permasalahannya adalah apabila industri
perbankan kemudian harus dibebani lagi
dengan biaya ekstra untuk membiayai
operasional Otoritas Jasa Keuangan, maka
dikhawatirkan LDR perbankan akan terganggu,
lebih dari sebelum adanya Otoritas Jasa
Keuangan. Dengan demikian, dikhawatirkan
tanggung jawab Bank Indonesia di bidang
moneter nantinya akan terganggu.
2. Konflik dalam Disparitas Kewenangan
Bank Indonesia selaku Bank Sentral memiliki
tanggung jawab untuk mencapai dan menjaga
stabilitas moneter sekaligus stabilitas sistem
keuangan. Kedua stabilitas tersebut merupakan
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan
harus selalu disinergikan untuk mencapai
kestabilan nilai rupiah. Hal tersebut dikarenakan
kebijakan moneter memiliki dampak terhadap
stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, dimana
stabilitas keuangan merupakan pondasi dasar
dalam penentuan arah kebijakan moneter untuk
mencapai stabilitas moneter.
Muliaman D. Hadad mengatakan bahwa secara
umum stabilitas sistem keuangan memperlihatkan
ketahanan keuangan terhadap goncangan
perekonomian, sehingga fungsi intermediasi,
sistem pembayaran dan penyebaran risiko tetap
berjalan dengan semestinya. Sementara stabilitas
moneter hanya dapat terwujud dengan adanya
stabilitas sistem keuangan, karena sistem keuangan
merupakan media transmisi kebijakan moneter.14
Selanjutnya, dikatakan pula bahwa stabilitas
menjadi penting karena sistem keuangan yang
stabil akan menciptakan kepercayaan para
penyimpan dana dan investor untuk menanamkan
dananya pada lembaga keuangan. Dengan
kestabilan sistem keuangan, akan mendorong
fungsi intermediasi keuangan yang efisien,
sehingga pada akhirnya mendorong investasi dan
pertumbuhan ekonomi, mendorong semakin
beroperasinya pasar dan memperbaiki alokasi
sumber daya perekonomian.15
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
24
12 Vide PBI No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing.
13 Vide Pasal 6 ayat (1) butir a jo. Pasal 9 butir c UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
14 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 136.
15 Ibid., hal. 137.
Secara umum, pemantauan dan penilaian terhadap
stabilitas sistem keuangan dilakukan dengan dua
pendekatan, yakni macroprudential dan
microprudential. Dalam prakteknya otoritas yang
melaksanakan macroprudential membutuhkan
akses yang cepat dan mudah terhadap data
microprudential dan kewenangan resmi tanpa
hambatan untuk memperoleh data tambahan
lainnya jika diperlukan. Krisis keuangan global
yang terjadi telah membrikan pelajaran bahwa
sangat diperlukan hubungan yang erat antara
kewenangan dalam microprudential dan
kewenangan dalam macroprudential dalam
merumuskan kebijakan yang tepat dan cepat pada
saat genting. Namun dengan adanya otoritas jasa
keuangan, berarti ada pemisahan secara tegas
antara pengawasan yang bersifat microprudential
dan pengawasan yang bersifat macroprudential
terhadap lembaga keuangan/bank di Indonesia.
Padahal kedua aspek microprudential dan
macroprudential adalah aspek yang sulit untuk
dipisahkan karena keduanya akan saling
mempengaruhi sehingga dalam perkembangan
pemikiran di beberapa negara yang menerapkan
pemisahan justru ada upaya untuk menyatukan
kembali.16
Di Korea Selatan misalnya, pemisahan
kelembagaan otoritas pemangku kewenangan
makromoneter dan mikroperbankan yang
dilakukan pada tahun 1999, atas saran dari IMF,
justru berujung pada kurang pekanya institusi
pemangku otoritas keuangan di negara tersebut
dalam merespon guncangan krisis pada tahun
2008. Bank of Korea (BoK), sebagai institusi
pemegang otoritas makromoneter menjadi lemah
dan tidak memiiliki akses langsung pada kondisi
perbankan pada saat yang krusial. Sebab akses
pada data dan kondisi perbankan dimonopoli
oleh satu institusi lain, yakni Financial Supervisory
Services (FSS) yang memiliki kedudukan sejajar
dengan BoK.17
a) Arah Kebijakan
Selama ini, kebijakan Bank Indonesia di sektor
moneter dibuat dengan memperhatikan
kebijakan di sektor perbankan dan sistem
pembayaran, sehingga kebijakan di ketiga
sektor tersebut dapat berjalan beriringan dan
saling mendukung. Hal ini dapat dilakukan
karena Bank Indonesia memiliki kewenangan
baik kewenangan secara macroprudential,
maupun secara microprudential, sehingga
Bank Indonesia memiliki keleluasaan untuk
mengumpulkan informasi yang dibutuhkan
dari masing-masing sektor secara cepat dan
menyeluruh, dan selanjutnya dijadikan dasar
untuk mengeluarkan kebijakan.
Ferguson menyatakan bahwa hubungan
antara kebijakan moneter, kelancaran sistem
pembayaran dan kondisi perbankan merupakan
hubungan yang tidak dapat dipisahkan, karena
informasi yang diperoleh Bank Sentral dari
pengawasan bank memiliki peran yang sangat
penting dalam proses pembuatan kebijakan
moneter, begitupun sebaliknya dimana
stabilitas sektor moneter memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi arah
pengembangan sektor perbankan. Sehingga
dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Bank
Sentral dapat mengeluarkan kebijakan moneter
yang baik karena memiliki kewenangan
terhadap pengawasan bank, dan sebaliknya
Bank Sentral dapat pula mengeluarkan
peraturan yang tepat terhadap pengembangan
perbankan, karena Bank Sentral memiliki
kewenangan di bidang moneter.18
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
25
17 Ibid.,hal. 168.
18 Roger W. Ferguson Jr., 2000, “Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation”, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, hal. 301 .16 Ibid.,hal. 167.
Sehubungan dengan pendapat diatas, penulis
berpendapat bahwa apabila kewenangan
microprudential dipisahkan dari Bank Indonesia
selaku Bank Sentral, maka dikhawatirkan arah
perkembangan kebijakan perbankan yang
dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, akan
cenderung dilakukan tanpa melihat bagaimana
dampak dari kebijakan perbankan tersebut
terhadap sektor moneter. Hal ini dikarenakan
arah kebijakan moneter dan perbankan
cenderung untuk bertolak belakang antara
satu dengan lainnya. Ini dapat dilihat dimana
otoritas moneter cenderung untuk menaikan
rate, yang mana hal tersebut ditujukan agar
target inflasi dapat dicapai dengan baik ataupun
dijaga kestabilannya. Sementara disisi lain,
perbankan ingin agar rate yang rendah agar
bank dapat melakukan investasi dengan lebih
banyak. Penyesuaian dari kedua pandangan
seperti ini diperlukan, karena apabila ratenya
telalu tinggi, maka investasi tidak akan lancar,
sehingga pergerakan dan pertumbuhan
perekonomian negara menjadi lambat.
Sementara apabila ratenya terlalu rendah,
maka pergerakan arus ekonomi dapat menjadi
terlalu cepat, sehingga tidak bagus pula
bagi pertumbuhan ekonomi negara. Oleh
karenanya, maka Bank Sentral pada dasarnya
memerlukan kewenangan microprudential
dan macroprudential agar kebijakan yang
dikeluarkan dapat mensinergikan antara
kebijakan moneter dan kebijakan sistem
keuangan.
Pendapat penulis diatas juga didukung oleh
pendapat Haubrich yang juga mengatakan
bahwa permasalahan adanya pemisahan
kewenangan microprudential tidak hanya
terletak pada keterbatasan Bank Sentral untuk
secara cepat dan tepat waktu dalam mengakses
dan mendapatkan informasi perbankan
yang dibutuhkan, tetapi juga terletak pada
pengumpulan infomasi yang digunakan
lembaga pengawas, sangat berbeda dengan
informasi yang dibutuhkan oleh Bank Sentral
selaku otoritas moneter. Hal ini dikarenakan
lembaga pengawas hanya akan terfokus untuk
menjaga kesehatan industri perbankan,
sehingga secara alamiah akan memiliki
pandangan yang berbeda dengan pandangan
dari otoritas moneter.19
Pihak dari Bank Indonesia mengatakan bahwa,
selama ini ketika kewenangan microprudential
masih dimiliki oleh Bank Indonesia, maka Bank
Indonesia akan terbantu dalam menentukan
arah kebijakannya, karena dalam setiap
kebijakan moneter yang dikeluarkan atau dalam
perhitungan risiko didalam sistem pembayaran,
khususnya terkait kebijakan macroprudential
yakni stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia
selalu mempertimbangkan kondisi micro yang
ada di sektor perbankan. Contohnya adalah
ketika negara sedang menghadapi krisis
ekonomi, maka BI Rate yang ditentukan pun
akan menyeseuaikan dengan kondisi micro
dari sektor perbankan. Hal ini dapat dilihat
ketika kondisi perbankan sedang baik atau
kondisi perekonomian sedang lesu, maka BI
Rate akan dipertahankan atau diturunkan,
dengan demikian penyaluran kredit dari bank
akan lebih lancar. Sementara ketika perbankan
sedang tidak sehat atau pertumbuhan
perekonomian terlalu cepat, maka BI Rate akan
dinaikan, dengan demikian kondisi permodalan
dari perbankan dapat senantiasa terjaga, dengan
terjaganya permodalan dari bank, maka potensi
untuk collapse-nya bank akan terminimalisir.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
26
18 Roger W. Ferguson Jr., 2000, “Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation”, Journal of Financial Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, hal. 301 .
19 Joseph G. Haubrich, 2005, “Umbrella Supervision and the Role of The Central Bank”, Policy Discussion Papers, Federal Reserve Bank Of Cleveland, hal. 8.
Dengan berbagai pendapat diatas, maka
penulis berpendapat bahwa dengan adanya
pengalihan kewenangan microprudential
kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka potensi
konflik yang paling rentan terjadi adalah kondisi
dimana masing-masing otoritas, yakni Bank
Indonesia selaku otoritas moneter dan Otoritas
Jasa Keuangan selaku otoritas perbankan,
akan mengeluarkan kebijakan yang cenderung
yang saling bertentangan satu sama lainnya
apabila informasi yang dimiliki oleh masing-
masing otoritas tidaklah secara menyeluruh.
b) Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari sistem keuangan dan
perbankan suatu negara. Keberhasilan sistem
pembayaran akan menunjang perkembangan
sistem keuangan dan perbankan, sebaliknya
risiko ketidaklancaran atau kegagalan sistem
pembayaran akan berdampak negatif pada
kestabilan ekonomi secara keseluruhan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka sistem
pembayaran perlu diatur dan dijjaga keamanan
serta kelancarannya oleh bank sentral, sekaligus
sebagai otoritas sistem pembayaran.20
Sejalan dengan hal diatas, Bank Indonesia
selaku Bank Sentral dan otoritas sistem
pembayaran di Indonesia tentu kemudian
memiliki kewenangan dan tanggung jawab
sebagai lembaga settlement,21 yang mana
bertugas untuk mengatur mekanisme transaksi
atau pelunasan warkat antar bank, serta
melakukan penilaian terhadap risiko-risiko
yang sedang/atau akan dihadapi oleh bank-
bank selaku peserta kliring.22
Penulis menilai bahwa, potensi terjadinya
konflik dalam pengalihan kewenangan
microprudential kepada Otoritas Jasa Keuangan
juga dapat dilihat dari sistem pembayaran ini,
dimana risiko-risiko dalam perbankan hanya
dapat diketahui oleh Bank Indonesia apabila
Bank Indonesia memiliki informasi yang cukup
terkait perbankan, dan informasi yang
dibutuhkan tersebut hanya dapat diakses
secara penuh apabila Bank Indonesia memiliki
kewenangan dalam microprudential. Apabila
kewenangan microprudential tersebut
kemudian dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan,
maka di khawatirkan Bank Indonesia selaku
lembaga settlement tidak akan dapat
melakukan penilaian terhadap risiko secara
penuh terhadap bank peserta kliring, sehingga
ditakutkan nantinya Bank Indonesia tidak
dapat/terlambat dalam mengatasi kesulitan
bank, apabila tiba-tiba terdapat bank yang
mengalami gagal bayar atau terlambat bayar.
Salah satunya adalah terkait kontrol terhadap
risiko sistemik, yaitu risiko yang muncul ketika
suatu bank tidak dapat mengatasi atau
terlambat mengatasi risiko kredit atau risiko
likuiditas yang berkepanjangan, dan ketika
hal tersebut berdampak pada bank-bank
lainnya, dan terlambat untuk diantisipasi secara
cepat oleh bank sentral, maka tentu akan
berdampak pada stabilitas sistem keuangan
secara menyeluruh.
Jika dengan pengalihan microprudential ini
mengakibatkan Bank Indonesia tidak dapat
atau terlambat mengakses informasi-informasi
yang diperlukan dalam pengaturan risiko,
maka tentu akan memicu timbulnya potensi
kekacauan stabilitas keuangan yang seharusnya
dijaga oleh Bank Indonesia, karena salah satu
pilar dari kestabilan sistem keuangan adalah
kelancaran sistem pembayaran.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
27
20 Bank Indonesia, 2004, “Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta, hal. 209
21 Vide Pasal 16 UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
22 Bank Indonesia, Op.Cit., hal. 210.
c) Lender of Last Resort
Potensi konflik yang sangat dikhawatirkan
oleh Bank Indonesia maupun berbagai praktisi
perbankan lainnya apabila terjadi pemisahan
microprudential dan macroprudential dari
Bank Indonesia adalah kekhawatiran akan
menjadi kurang optimalnya fungsi Bank
Indonesia sebagai lender of last resort (LoLR)
ketika negara sedang menghadapi krisis.
Haubrich mengatakan bahwa dalam kondisi
krisis keuangan, peran Bank Sentral menjadi
sangat penting. Hal tersebut didukung dengan
adanya kewajiban dari Bank Sentral untuk
mengatasi krisis keuangan, sehingga untuk
dapat menjalankan kewajiban tersebut dengan
baik, Bank Sentral tentu harus memiliki
pengetahuan dan informasi yang cukup
mengenai aspek microprudential, yakni berupa
informasi mengenai kondisi perbankan dan
bagaimana perbankan beroperasi secara
harian.23 Hal tersebut dikarenakan, meskipun
aspek microprudential hanya berkutat dalam
upaya menjaga kesehatan individual perbankan,
namun konsekuensi dari kegagalan individual
perbankan dapat meruntuhkan perekonomian
negara secara menyeluruh, oleh karenanya
Bank Sentral harus dapat memiliki dan
mengakses informasi yang cukup dalam aspek
microprudential agar dapat meminimalisir
dampak krisis yang sedang/akan terjadi.24
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank
Indonesia selaku Bank Sentral Indonesia,
memiliki fungsi sebagai lender of last resort
sebagai upaya untuk menyelamatkan bank-
bank yang mengalami kesulitan likuiditas,
ataupun solvabilitas. Fungsi LoLR yang dimiliki
oleh Bank Indonesia ini diwujudkan dalam
berbagai fasilitas yang diberikan, baik FPJP/S,
FLI/S, maupun FPD. Hal yang kemudian
dikhawatirkan ketika terjadi pengalihan
kewenangan microprudential adalah bahwa
LoLR dikhawatirkan tidak akan dapat dijalankan
dengan maksimal apabila Bank Indonesia tidak
memiliki atau terlambat untuk mengolah data
bank yang harus segera diselamatkan. Dengan
adanya keterlambatan atau kelalaian tersebut,
maka penanganan krisis pun akan menjadi
bermasalah, dan pada gilirannya akan
membahayakan sistem keuangan negara
secara keseluruhan.
Keterlambatan dan kelalaian dalam menangani
krisis ini dapat dilihat dari kasus Northern
Bank di Inggris, dimana kondisi pada saaat
itu adalah dengan adanya pemisahan
microprudential dari Bank of England (BoE)
yang dialihkan kepada Financial Services
Agency (FSA), maka mengakibatkan BoE tidak
memiliki informasi yang cukup terkait kondisi
Northern Bank, hal tersebut dikarenakan
seluruh informasi yang dimiliki terkait aspek
microprudential dari perbankan hanya terdapat
di FSA. Alhasil, ketika terjadi krisis, BoE tidak
dapat menjalankan LoLR tepat pada waktunya,
karena BoE harus mengkaji ulang kondisi bank
sebelum dapat memberikan bantuan likuiditas
darurat sehingga akhirnya Northern Bank
telah di rush terlebih dahulu oleh nasabahnya,
sebelum sempat diantisipasi oleh BoE.
Dari pengalaman dari BoE ini, maka dapat
dilihat bahwa pada saat kondisi krisis,
kecepatan memperoleh informasi yang
lengkap merupakan faktor yang sangat
penting, sehingga apabila Bank Sentral
memiliki informasi yang lengkap, maka Bank
Sentral dapat mengambil kebijakan yang tepat
sesegera mungkin untuk mengatasi
permasalahan yang ada dan sekaligus
mencegah memburuknya keadaan.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
28
23 Haubrich, Op.Cit., hal. 9.
24 Aviliani, 2010, “Macroprudential Supervision untuk Mendukung Efektifitas Kebijakan Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan”, Makalah Presentasi yang tidak dipublikasikan, Jakarta, hal. 13.
Dengan beralihnya kewenangan
microprudential dari Bank Indonesia ke Otoritas
Jasa Keuangan, maka dikhawatirkan Bank
Indonesia akan menjadi kurang responsif
dalam mengatasi krisis khususnya terkait
pelaksanaan LoLR ini, sehingga sangat
dikhawatirkan pengalaman yang menimpa
BoE dan FSA, akan turut dialami oleh Bank
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
3. Konflik dalam Dewan Komisioner
Pasal 2 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan
menyatakan bahwa “Otoritas Jasa Keuangan adalah
lembaga yang independen dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, bebas dari campur
tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini”,
namun independensi tersebut menjadi sedikit
dipertanyakan dikala di dalam Pasal 1 jo. Pasal 10
UU Otoritas Jasa Keuangan, diatur bahwa Otoritas
Jasa Keuangan dipimpin oleh Dewan Komiisioner
(DK), berjumlahkan 9 (sembilan) orang dan 2 (dua)
anggota diantaranya merupakan ex-officio dari
Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia.
Salah satu landasan adanya ex-officio pada
keanggotaan DK ini adalah adanya pemikiran
bahwa Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas
di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan
keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, yakni
otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, maka
diperlukan keterwakilan dari kedua otoritas tersebut
secara ex-officio. Hal tersebut dimaksudkan agar
koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan
di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan
dapat dilakukan dengan lebih baik. Secara khusus,
ex-officio dirasa diperlukan untuk memastikan
kebutuhan koordinasi dan pertukaran informasi
untuk menjaga dan memelihara stabilitas sistem
keuangan.25
Namun dengan keberadaan ex-officio didalam
keanggotan DK inilah yang penulis khawatirkan
akan berdampak pada kinerja masing-masing
lembaga, baik Otoritas Jasa Keuangan maupun
Bank Indonesia. Kekhawatiran tersebut dilandasi
pemikiran bahwa dengan adanya ex-officio ini,
maka nantinya dalam setiap pengambilan
keputusan tidak akan lepas dari conflict of interest
di dalam Otoritas Jasa Keuangan itu sendiri, sehingga
akan menimbulkan permasalahan tersendiri.
Potensi timbulnya conflict of interest yang
dimaksud dapat dilihat didalam Pasal 1 angka 2
jo. Pasal 10 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan,
dimana dinyatakan bahwa Otoritas Jasa Keuangan
dipimpin oleh DK yang bersifat kolektif dan
kolegial. Sifat kolektif dan kolegial ini, apabila
berdasarkan penjelasan pasal 10 ayat (2) UU
Otoritas Jasa Keuangan, memiliki artian bahwa
setiap pengambilan keputusan DK dilakukan
secara bersama-sama dan didasarkan musyawarah
untuk mufakat dengan berasaskan kesetaraan
dan kekeluargaan di antara anggota DK.
Permasalahan yang timbul adalah apabila ternyata
dalam musyawarah tersebut tidak mendapatkan
satu suara, atau terdapat pertentangan diantara
anggotanya, maka menurut pasal 24 ayat (7) UU
Otoritas Jasa Keuangan, ditentukan bahwa
keputusan akan ditetapkan berdasarkan suara
terbanyak. Dengan demikian, maka tentu
memberikan akibat yakni setiap anggota yang
kalah suara harus tunduk dan turut serta
bertanggung jawab dalam pelaksanaan keputusan
suara terbanyak.
Konsekuensi itulah, yang menurut Harry Azhar
akan berpotensi menimbulkan gejolak di dalam
DK Otoritas Jasa Keuangan, karena seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa di dalam
keanggotaan DK Otoritas Jasa Keuangan, terdapat
2 (dua) ex-officio yang terdiri dari Bank Indonesia
dan Kementerian Keuangan. Dengan adanya
kedua ex-officio ini, maka dikahawatirkan akan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
29
25 Vide Penjelasan Umum UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
mengakibatkan timbulnya perdebatan mengenai
arah kebijakan Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini
dikarenakan, Bank Indonesia dan Kementrian
Keuangan dapat diumpamakan sebagai dua kubu
raksasa, yang mana telah berkembang dengan
culture yang berbeda selama bertahun-tahun,
sehingga tentu pola pikir atau pandangan yang
menjadi pegangan dari kedua unsur ini tentu
akan berbeda, dan dengan sifat kolektif kolegial
ini, maka tiap kubu ini dikhawatirkan akan
mempertahankan argument yang menguntungkan
lembaganya. Sehingga keputusan yang dikeluarkan
pun akan tergantung dari bagaimana tarik ulur
dari kedua belah pihak ini.
Selain itu pula, dengan adanya tarik ulur dalam
argumentasi terkait keputusan di dalam Otoritas
Jasa Keuangan ini pula, maka dikhawatirkan
pengambilan keputusan di Otoritas Jasa Keuangan
akan “mandek” sehingga berakibat pada inefisiensi
kinerja Otoritas Jasa Keuangan yang tentunya
berakibat pada keterlambatan koordinasi dan
informasi kepada Bank Indonesia dalam hal
pelaksanaan tugas dan kewenangan BI, khususnya
ketika sedang mengalami krisis.
Disisi lain, apabila mengacu pada Pasal 4 UU Bank
Indonesia, dapat diketahui bahwa Bank Indonesia
adalah lembaga negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya serta
bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau
pihak lain. Sehubungan dengan hal tersebut,
penulis berpendapat bahwa dengan adanya ex-
officio dari Bank Indonesia yang diwakili oleh
anggota dewan gubernur Bank Indonesia, yang
mana kemudian diketahui bahwa ex-officio ini
merupakan anggota dalam struktur keanggotaan
DK Otoritas Jasa Keuangan, akan menimbulkan
konsekuensi juridis berupa setiap keputusan yang
dikeluarkan oleh DK Otoritas Jasa Keuangan,
tentu akan mengikat pula terhadap setiap anggota
DK Otoritas Jasa Keuangan, termasuk di dalamnya
Bank Indonesia sebagai anggota ex-officio.
Dengan demikian, penulis menilai bahwa dengan
adanya ex-officio dari Bank Indonesia ini, maka
secara tidak langsung dapat berimbas pada
terlanggarnya Independensi Bank Indonesia yang
seharusnya bebas dari campur tangan pihak
manapun.
C. Upaya Optimalisasi Pengaturan dan Pengawasan
Perbankan Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan
Sungguh ironis, ketika Indonesia tengah sibuk
membangun Otoritas Jasa Keuangan, negara lain
yang sebelumnya telah memisahkan pengawasan
banknya dari Bank Sentral, kini mulai mengarah untuk
mengembalikan wewenang pengawasan bank kepada
bank sentralnya. Inggris sebagai pelopor berdirinya
lembaga sejenis Otoritas Jasa Keuangan, bahkan telah
mengembalikan peran FSA ke dalam BoE. Selain itu,
Jerman pun, dicanangkan tengah serius menggodok
rencana mengembalikan fungsi pengawasan Bafin
kepada Bundesbank.26
Hal tersebut didasarkan pertimbangan bahwa
penggunaan sistem pengawasan perbankan dan
pengelolaan moneter yang terpisah diarasa tidak
efisien dalam mewujudkan sistem keuangan yang
sehat dan stabil. Misalnya ketika terjadi likuiditas,
Bank Sentral akan bergerak kurang cepat karena
keterlambatan penyampaian informasi dari lembaga
pengawas.27 Bahkan berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano,
dapat diketahui bahwa Negara-negara berkembang
lebih memilikih sistem pengawasan yang berada di
bawah Bank Sentral.28
Memang harus diakui bahwa pembentukan suatu
lembaga baru selalu menimbulkan konsekuensi
tersendiri, khususnya mengenai Otoritas Jasa Keuangan
ini sendiri. Meskipun demikian, pembentukan Otoritas
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
30
26 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 241.
27 Loc.Cit.
28 Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, Loc.Cit.
Jasa Keuangan sudah saatnya disambut dengan baik
dan pola konstruksi pemikiran yang harus dibangun
kedepannya adalah pemikiran mengenai upaya yang
harus dilakukan agar dapat mendorong optimalisasi
pengaturan dan pengawasan perbankan kedepannya.
1. Pembangunan Koordinasi antar Lembaga
Terkait
Hal pertama yang menjadi kunci keberhasilan
Otoritas Jasa Keuangan adalah adanya mekanisme
koordinasi yang baik antar lembaga terkait. Hal
tersebut dikarenakan dalam pelaksanaan tugas
Otoritas Jasa Keuangan, potensi benturan antara
Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga lainnya,
khususnya Bank Indonesia. Oleh karenanya
diperlukan mekanisme koordinasi yang perlu
dibangun dengan baik. Selain itu, untuk mencapai
sasaran dalam mencegah dan menyelesaikan
krisis, sharing information antar otoritas sangat
diperlukan baik dalam kondisisi normal maupun
kondisi krisis.
Pihak BAPEPAM – LK mengungkapkan bahwa
koordinasi tersebut akan dibangun dengan
membangun mekanisme komunikasi secara rutin
antara Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia,
Lembaga Penjamin Simpanan dan Kementerian
Keuangan, dengan demikian diharapkan akan
terbangun sarana pertukaran informasi yang
terintegrasi sehingga Otoritas Jasa Keuangan dan
Bank Indonesia dapat berbagi seluruh informasi
tentang perbankan dengan menjaga kerahasiaan
secara optimal. Dengan demikian, pertukaran
informasi antara Otoritas Jasa Keuangan dan
Bank Indonesia ketika menangani bank yang
mengalami kesulitan likuiditas dapat dilakukan
dengan baik. Hal ini dapat diwujudkan secara
bertahap, dimana pada awalnya akan dibentuk
berbagai macam MoU antara Otoritas Jasa
Keuangan dengan lembaga-lembaga terkait, baik
yang bersifat Nasional maupun yang bersifat
Internasional.
Sementara menurut penulis, koordinasi yang
dilakukan antara Bank Indonesia dan Otoritas
Jasa Keuangan dapat mencontoh keberhasilan
yang dilakukan oleh FSA dan BoE di Jepang. Hal
tersebut dapat dilihat, dimana dengan adanya
pengalihan fungsi pengawasan kepada Financial
Supervision Agency (FSA), maka Bank of Japan
(BoJ) hanya menangani mengenai perumusan
dan implementasi dari ketentuan dan kebijakan
sistem moneter. Namun demikian, BoJ tetap
memiliki tanggung jawab untuk menjaga stabilitas
sistem keuangan, dan oleh karenanya maka BoJ
memiliki kewenangan untuk melakukan on-site
examination terhadap bank maupun lembaga
keuangan non-bank. Dengan kewenangan
tersebut, BoJ bisa mendapatkan informasi yang
lengkap terkait kesehatan lembaga keuangan
secara harian, sehingga fungsi lender of last resort
yang diemban oleh BoJ dapat dijalankan dengan
baik. Selain itu, koordinasi yang dibangun juga
berupa adanya kewenangan dari BoJ untuk
memanggil pihak FSA untuk memberikan laporan
ketika diperlukan, begitupun sebaliknya.29
Selain itu, koordinasi yang dilakukan oleh APRA
dengan RBA di Australia pun dapat dijadikan
contoh, hal ini dapat dilihat dimana ketika fungsi
pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan
kepada APRA, RBA kemudian memiliki fokus
dalam menentukan kebijakan moneter, menjaga
stabilitas sistem keuangan dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran. Khusus mengenai stabilitas
sistem keuangan dan kelancaran sistem
pembayaran, RBA selaku Bank Sentral kemudian
membentuk 2 (dua) Department baru yang mana
secara struktural berada di bawah Bank Sentral,
yakni a) Financial Stability Department yang
bertugas untuk melakukan analisis sistem
keuangan di Australia dan sistem keuangan secara
global; dan b) Payment Policy Department yang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
31
29 The Group of Thirty, Op.Cit., hal. 150.
bertugas untuk menangani sistem kliring,
menganalisa sistem pembayaran dan mendukung
kerangka/mekanisme sistem pembayaran.
Sementara kordinasi dengan APRA dibangun
dengan membentuk The RBA/APRA Coordination
Committee, dimana dalam satu tahun terdapat
jadwal rutin pertemuan formal antara RBA dan
APRA sebanyak tiga sampai empat kali pertemuan
untuk membahas perkembangan sistem keuangan
dan perbankan di Australia. Selain itu, RBA dan
APRA dapat pula melakukan pertemuan-
pertemuan informal manakala kedua lembaga
tersebut merasa membutuhkan pertukaran
informasi.30
2. Alokasi Sumber Daya Manusia
Salah satu aspek terpenting agar kinerja
pengaturan dan pengawasan perbankan adalah
dengan meningkatkan manajemen sumber daya
manusia (SDM) yang dimiliki oleh Otoritas Jasa
Keuangan, baik terhadap kepemimpinan DK,
maupun terhadap setiap pegawai, khususnya
yang berugas sebagai pengawas. Sehubungan
dengan hal itu, setidaknya terdapat 3 (tiga) hal
yang perlu diperhatikan agar kinerja pengaturan
dan pengawasan perbankan dapat lebih
dioptimalkan, yakni:
a) Kepemimpinan, artinya bahwa apabila terdapat
pemimpinan yang memiliki karakter yang kuat
dan independen, maka kinerja Otoritas Jasa
Keuangan akan dapat terjaga dengan baik;
b) Pembenahan Organisasi. Dalam hal ini,
pembenahan tidak hanya dilakukan terhadap
kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan, namun
diperlukan juga pembenahan terhadap
kelembagaan Bank Indonesia. Artinya bahwa
dengan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan,
maka struktur di dalam Bank Indonesia tentu
akan berubah, oleh karenanya diperlukan
sejumlah penyesuaian di dalam Bank Indonesia,
khususnya terkait upaya meningkatkan kinerja
dalam kebijakan moneter dan kelancaran
sistem pembayaran; dan
c) Menjaga Kualitas SDM, artinya bahwa Otoritas
Jasa Keuangan merupakan lembaga yang
dibentuk untuk mewujudkan suatu mekanisme
yang lebih profesional dan kredibel. Oleh
karenanya, pola rekrutmennya terhadap
pegawai perlu dijaga secara baik. Salah satunya
adalah dengan menerapkan competency-based
recruitment system yang terbuka dan dilakukan
oleh pihak yang independen.
Selain ketiga hal diatas, permasalahan kompetensi
dan kecukupan jumlah SDM juga merupakan
salah satu unsur yang harus diperhatikan dalam
rangka optimalisasi kinerja Otoritas Jasa Keuangan.
Hal ini dikarenakan dalam melakukan pengawasan
perbankan, diperlukan jumlah pengawas yang
cukup dan memiliki kompetensi yang baik.
Permasalahannya adalah apabila semua pengawas
Bank Indonesia ditarik menjadi pegawai Otoritas
Jasa Keuangan, maka dikhawatirkan pengawasan
yang dilakukanpun tidak akan berbeda dengan
yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia.
Padahal alasan didirikannya Otoritas Jasa
Keuangan adalah adanya ketidakpercayaan
terhadap kemampuan pengawas Bank Indonesia
dalam melakukan pengawasan bank. Sehingga
apabila kemudian pengawas Otoritas Jasa
Keuangan yang bertugas melakukan pengawasan
bank, hanya merupakan pegawai yang di eksodus
dari pengawas Bank Indonesia, maka pengawasan
yang dilakukan pun tidak akan ada bedanya,
sehingga bentuk alokasi SDM seperti ini hanya
akan menghasilkan pemborosan yang sia-sia.31
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
32
30 K.I.T.A, 2011, “Bercermin pada FSA dan APRA”, Bank Indonesia Newsletter, Jakarta, hal. 11.
31 Nindyo Pramono, 2010, “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol. 8 No, 3, Pusat Studi Bank Indonesia, Jakarta, hal. 7.
Oleh karenanya penulis berpendapat, diperlukan
suatu pembaharuan atau revitalisasi mekanisme
atau standarisasi terhadap metode pengawasan
yang dilakukan oleh pengawas. Dengan demikan
maka celah-celah yang selama ini dianggap tidak
berhasil diatasi oleh pegawai Bank Indonesia, akan
dapat diatasi oleh pegawai Otoritas Jasa Keuangan.
3. Peningkatan Good Corporate Governance
Bismar Nasution mengungkapkan bahwa
permasalahan utama yang dihadapi industri
keuangan, khususnya perbankan saat ini,
sebenarnya bukanlah dikarenakan telah
menyatunya berbagai produk lintas sektoral,
namun lebih terkait lemahnya penerapan Good
Corporate Governance (GCG), dan permasalahan
GCG tidak akan selesai hanya dengan beralihnya
kewenangan pengawasan.32
Hal tersebut dapat dilihat dimana kasus BLBI
maupun kasus Bank Century, sebenarnya berasal
dari permasalahan internal dari bank-bank itu
sendiri. Salah satunya adalah dikarenakan bank-
bank tersebut tidak melaksanakan GCG di dalam
manajemen bank itu sendiri dengan baik, sehingga
terpaksa Bank Indonesia harus menanggulangi
penyelesaian permasalahan atas krisis insolvensi
yang menimpa bank-bank bermasalah tersebut
agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih
besar terhadap perekonomian nasional apabila
krisis tersebut tidak segera ditangani.
Saat ini, seperti kata Halim Alamsyah, upaya untuk
memperkuat GCG pada bank-bank, mutlak
diperlukan. Hal tersebut ditujukan agar kepentingan
nasabah dan industri perbankan dapat terlindungi,
karena tanpa GCG maka industri perbankan tidak
dapat berkembang secara cepat dan sehat.33
Sehubungan dengan hal tersebut, maka kinerja
Otoritas Jasa Keuangan untuk menciptakan GCG
dalam rangka memperkuat kondisi internal
perbankan nasional, mutlak diperlukan agar
Perbankan Nasional dapat melihat bahwa GCG
bukan hanya sekedar aksesori belaka, tetapi
merupakan suatu sistem nilai dan praktek yang
sangat fundamental agar berbagai kasus yang
menimpa dunia perbankan tidak terulang kembali
di kemudian hari.
4. Penyesuaian Sistem Perbankan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa
terdapat dua sistem perbankan yang berlaku di
dunia, yaitu commercial banking system dan
universal banking system. Di dalam commercial
banking system, terdapat aturan yang melarang
bank melakukan kegiatan non-bank seperti
asuransi. Sementara universal banking system,
membolehkan bank melakukan kegiatan usaha
non-bank seperti investasi dan asuransi.
Layaknya negara-negara berkembang pada
umumnya, saat ini apabila berdasarkan Pasal 10
jo. Pasal 14 UU Perbankan, dapat dilihat bahwa
bentuk sistem perbankan yang berlaku di
Indonesia adalah commercial banking system,
dimana kegiatan usaha perbankan masih harus
terpisah dengan kegiatan usaha non-bank lainnya.
Oleh karenanya, struktur pengawasan yang
dilakukanpun pada umumnya berupa institutional
approach ataupun functional aproach, dimana
contohnya adalah seperti yang selama ini
diterapkan di Indonesia, yakni dengan BI untuk
pengawasan perbankan dan BAPEPAM-LK untuk
pengawasan non-perbankan.
Namun seiring dengan globalisasi yang terjadi
di sektor jasa keuangan, maka perkembangan
produk-produk jasa keuangan pun semakin
berkembang, sehingga menyebabkan terjadinya
konvergensi produk lintas sektoral. Konvergensi
ini menyebabkan timbulnya permasalahan terkait
33
32 Tim Buku Media Indonesia, Op.Cit., hal. 219.
33 Halim Alamsyah dalam Donald Banjarnahor, 2011, “Perkuat GCG, BI akan Sempurnakan Aturan”.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
pengaturan dan pengawasan, karena produk-
produk yang dihasilkan sudah sedemikian
menyatunya sehingga sulit menentukan regulasi
yang tepat, apakah Bank Indonesia selaku otoritas
perbankan, ataukah BAPEPAM-LK selaku otoritas
pasar keuangan. Sehingga mau tidak mau harus
diakui bahwa meskipun Indonesia menganut
commercial banking system, namun dengan
seiring perkembangan bisnis di dalam industri
keuangan, maka penulis menilai bahwa secara
perlahan Indonesia telah memasuki era universal
banking system.
Kemudian dengan pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan, khususnya terkait pengaturan di dalam
Pasal 5 UU Otoritas Jasa Keuangan, dapat dilihat
bahwa struktur pengawasan yang dianut oleh
Indonesia telah berubah menjadi integerated
approach, padahal sistem pengawasan tersebut
pada umumnya hanya diterapkan di negara-
negara seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang,
yang mana hal tersebut dikarenakan negara-
negara tersebut secara konstitusionil memang
menganut universal baniking system. Oleh
karenanya, agar pengaturan dan pengawasan
perbankan kedepannya dapat dijalankan dengan
lebih optimal, harus diadakan suatu pembaharuan
sistem perbankan, yang mana pembaharuan
tersebut secara konstitusionil harus dinyatakan
secara tegas bahwa industri perbankan dapat
melakukan usaha diluar perbankan, atau universal
banking system. Hal ini haruslah dilakukan, agar
dapat memberikan peluang investasi yang lebih
besar kepada para pelaku sektor jasa keuangan,
sekaligus memberikan kepastian hukum terkait
perlindungan kepada para nasabah/konsumen
sektor jasa keuangan apabila dikemudian hari
terjadi kasus seperti Antaboga Sekuritas dan Bank
Century.
D. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis kemudian
memberikan beberapa saran dan pendapat, sehingga
diharapkan pelaksanaan kinerja Otoritas Jasa Keuangan
dapat berjalan dengan baik dikemudian hari:
1. Meskipun berdasarkan Pasal 7 UU Otoritas Jasa
Keuangan dikatakan bahwa pengawasan
microprudential sepenuhnya telah beralih dari
Bank Indonesia menjadi kewenangan Otoritas
Jasa Keuangan, namun penulis berpendapat
bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem
keuangan dan agar dapat menjalankan fungsi
lender of last resort tepat pada waktunya, maka
penulis berpendapat bahwa seperti halnya BoJ,
Bank Indonesia selayaknya memiliki kewenangan
untuk melakukan daily on-site examination, yang
mana ketentuan tersebut harus dituangkan
kedalam MoU antara Otoritas Jasa Keuangan,
dengan demikian potensi terhambatnya pertukaran
informasi akan lebih diminimalisir.
2. Pungutan yang akan dikenakan Otoritas Jasa
Keuangan merupakan hal yang sangat krusial,
oleh karenanya harus secepatnya diatur lebih
lanjut dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan,
khususnya terkait besaran nominal yang harus
dikeluarkan oleh para pelaku sektor jasa keuangan.
Penulis sendiri berpendapat bahwa agar pungutan
ini nantinya tidak membebani industri perbankan,
maka sebaiknya sumber pungutan ini merupakan
dana yang dibagi dua dengan premi yang harus
dikeluarkan kepada LPS.
3. Masih mengenai pungutan tersebut, di dalam
pasal 37 ayat (5) UU Otoritas Jasa Keuangan,
dikatakan bahwa “apabila pungutan yang
diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan
Otoritas Jasa Keuangan untuk tahun anggaran
berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan kepada
kas negara”. Ketentuan di dalam pasal ini
menimbulkan suatu pertanyaan tersendiri, yang
mana membuat Otoritas Jasa Keuangan seakan-
akan menjelma sebagai suatu BUMN sehingga
pungutan yang diterima apabila “berlebih” akan
menjadi pemasukan bagi negara. Penulis
berpendapat bahwa, ketentuan pasal ini kurang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
34
tepat, karena selama ini ketentuan biaya yang
harus dikeluarkan oleh bank, baik GWM di Bank
Indonesia maupun premi kepada Lembaga
Penjamin Simpanan, merupakan pengeluaran
yang sifatnya untuk menjaga likuiditas bank
sehingga hak-hak nasabah dapat terlindungi,
artinya dana yang dikeluarkan oleh bank pun
pada saat diperlukan akan berfungsi untuk
menolong bank tersebut pula. Sehingga apabila
terdapat kelebihan pembiayaan di dalam GWM
dan Premi, tentu akan memberikan keuntungan
kepada industri perbankan. Sementara di dalam
Pasal 37 ayat (5) ini, mengharuskan kelebihan
pungutan yang diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan haruslah disetor ke negara, maka
penulis merasa hal tersebut tentulah tidak
memberikan manfaat apa-apa, khususnya kepada
pihak perbankan. Selain itu, ketentuan mengenai
pungutan, pada dasarnya ditujukan agar Otoritas
Jasa Keuangan mendapatkan financial
independence sehingga tidak tergantung pada
APBN. Apabila terdapat kelebihan dana yang
kemudian harus diserahkan kepada negara,
dikhawatirkan financial independence ini akan
sulit untuk diwujudkan. Oleh karenanya, penulis
berpendapat ketentuan di dalam pasal 37 ayat
(5) harus diatur lebih lanjut, atau dilakukan judicial
review.
4. Berdasarkan Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, ditentukan bahwa suatu peraturan
perundang-undangan yang dibuat haruslah
memberikan suatu kejelasan tujuan, sehingga
tidaklah boleh menimbulkan suatu ambiguitas
ataupun multitafsir. Namun, ternyata di dalam
UU Otoritas Jasa Keuangan, masih terdapat
beberapa pasal yang menimbulkan multitafsir,
yang mana dirasa penulis bertentangan antara
yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat
dilihat didalam Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU
Otoritas Jasa Keuangan, yang menyatakan bahwa
“….pembiayaan Otoritas Jasa Keuangan yang
bersumber dari APBN tetap diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan Otoritas Jasa Keuangan
pada saat pungutan dari pihak yang melakukan
kegiatan sektor jasa keuangan di industri
keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan
operasional…..”. Pasal ini dirasa penulis
bertentangan dengan Penjelasan Pasal 37 ayat
(1) yang menyatakan bahwa “…..Pungutan
digunakan untuk membiayai anggaran Otoritas
Jasa Keuangan yang tidak dibiayai APBN..”. Kedua
penjelasan pasal tersebut bertentangan, karena
di dalam penjelasan pasal 34 ayat (2), dapat
disimpulkan bahwa sumber pendanaan utama
Otoritas Jasa Keuangan adalah pungutan,
sehingga APBN hanya digunakan ketika pungutan
tersebut belumlah cukup membiayai operasional
Otoritas Jasa Keuangan. Sementara di dalam
penjelasan pasal 37 ayat (1), dapat disimpulkan
bahwa sumber pendanaan Otoritas Jasa Keuangan
adalah APBN, sehingga pungutan hanya dikenakan
ketika pendanaan dari APBN belumlah cukup
membiayai operasional Otoritas Jasa Keuangan.
Dari pengaturan kedua pasal ini, penulis menilai
bahwa kedua pasal ini menimbulkan multitafsir
dan ambiguitas sehingga penilaian tiap orang
akan berbeda-beda, padahal seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, suatu peraturan
perundang-undangan yang baik haruslah tidak
menimbulkan multitafsir. Oleh karenanya,
ketentuan terkait kedua pasal ini perlu diatur
lebih lanjut atau dilakukan judicial review.
5. Sehubungan dengan pembentukan suatu otoritas
jasa keuangan yang ditujukan untuk mengatur
dan mengawasi sektor jasa keuangan secara
terintegerasi, maka tentu diperlukan pula suatu
mekanisme yang mengatur mengenai penanganan
pada saaat negara menghadapi krisis keuangan,
yakni dengan mekanisme Jaring Pengaman Sistem
Keuangan (JPSK). JPSK maupun Otoritas Jasa
Keuangan merupakan dua hal yang sama-sama
penting, tanpa adanya pengaturan lebih jelas
mengenai JPSK yang dituangkan dalam suatu
peraturan perundang-undangan, maka penulis
khawatir Indonesia akan kurang tanggap dalam
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
35
memitigasi gejolak krisis yang suatu saat akan
terjadi di kemudian hari. Oleh karenanya,
pengaturan mengenai JPSK harus segera dibentuk.
6. Dengan beralihnya fungsi pengaturan dan
pengawasan perbankan yang dimiliki oleh Bank
Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka
tentu Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang
dibentuk sebagai acuan Bank Indonesia dalam
rangka pembangunan dan pengembangan
industri perbankan, tentu menjadi tidak relevan
lagi hal tersebut dikarenakan keenam pilar API
telah menjadi tugas dan kewenangan dari Otoritas
Jasa Keuangan, oleh karenanya perlu restrukturisasi
lebih lanjut mengenai API, apabila API masih
diberlakukan oleh Bank Indonesia, maka tentu
pilar-pilar di dalamnya harus dirubah dan
disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki
Bank Indonesia pasca terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan. Sementara apabila API kemudian
dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, maka
tentu API harus direstrukturisasi ulang dikarenakan
Otoritas Jasa Keuangan tidak hanya berfungsi
untuk membangun dan menjaga industri
perbankan, melainkan mencakup seluruh industri
di sektor jasa keuangan.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
36
Aviliani, 2010, “Macroprudential Supervision untuk Mendukung Efektifitas Kebijakan Moneter, Sistem Pembayaran dan
Stabilitas Sistem Keuangan”, Makalah Presentasi yang tidak dipublikasikan, Jakarta.
Bank Indonesia, 2004, “Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan,
Bank Indonesia, Jakarta.
Donato Masciandaro, 2005, “Financial Supervision Architectures And The Role Of Central”, McGeorge School of Law,
University of the Pacific, San Fransisco.
Joseph G. Haubrich, 2005, “Umbrella Supervision and the Role of The Central Bank”, Policy Discussion Papers, Federal
Reserve Bank Of Cleveland.
K.I.T.A, 2011, “Bercermin pada FSA dan APRA”, Bank Indonesia Newsletter, Jakarta.
Mahiro Kawai dan Michael Pomerleano, 2010, “Regulating Systemic Risk”, ADBI Working Paper No. 189, Tokyo: Asian
Development Bank Institute.
Nindyo Pramono, 2010, “Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian
Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI”, Buletin Hukum Perbankan dan
Kebanksentralan Vol. 8 No, 3, Pusat Studi Bank Indonesia, Jakarta.
Roger W. Ferguson Jr., 2000, “Alternative approaches to Financial Supervision and Regulation”, Journal of Financial
Services Research, Kluwer Academic Publishers, Netherlands.
Sigit Pramono, “Otoritas Jasa Keuangan”, diakses dari www.adpi.or.id
Tim FE UI dan FEB UGM, 2010, “Alternatif Struktur OJK yang Optimum: Kajian Akademik, Draft III”, Jakarta.
Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan, 2010, “Buku Putih : Upaya Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis”,
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.
Tim Panitia Antar Departemen RUU tentang OJK, 2010, “Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan”,
Jakarta.
UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009
UU No. 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
DAFTAR PUSTAKA
37
Peraturan Bank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia dalam
Rupiah dan Valuta Asing
38
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
A. PENDAHULUAN
Sebelum tahun 1997 pertumbuhan ekonomi nasional
meningkat secara pesat. Kurs Rupiah cenderung stabil,
investasi asing terus meningkat. Swasta diberi
kesempatan meminjam kepada kreditur asing.
Stabilnya nilai rupiah itu membuat para peminjam
merasa tak perlu untuk melindungi nilainya terhadap
mata uang asing. Tidak ada perlindungan terhadap
rupiah itu belakangan menimbulkan masalah besar
pada saat Indonesia dihantam krisis moneter.
Permasalahan ekonomi dunia diawali pada Juli 1997,
pada saat itu mata uang sejumlah negara asia, yaitu
Korea Selatan, Thailand, Malaysia merosot drastis,
nilai tukarnya terhadap mata uang asing terutama
Dollar terus memburuk. Permasalahan itu berdampak
kepada perekonomian Indonesia. Hal tersebut diawali
dengan merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap mata
uang Amerika Serikat. Gejolak kurs itu membuat
sejumlah bank mengalami kerugian, terutama bank
yang mempunyai pinjaman dalam mata uang asing
dan tidak melindungi nilai kurs pinjaman valuta
asingnya. Akumulasi kerugian bank akibat gejolak
kurs, ditambah dengan memburuknya arus kas (cash-
flow) menyebabkan kesulitan likuiditas.1
39
KAJIAN HUKUM TERHADAP PENYELESAIAN LIKUIDASI BANK YANG DICABUT IZIN USAHANYA SEBELUM
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN
Oleh :
Alex Kurniawan S.H., M.H.
Abstrak
Akibat tekanan krisis pada tahun 1997, 16 bank dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi (BDL). Selain likuidasi
16 Bank pada tahun 1997 juga terdapat pencabutan ijin usaha bank yang terjadi pada tahun 2004 dan tahun 2005.
Dalam prakteknya pelaksanaan likuidsi untuk 16 BDL menghadapi beberapa kendala, khususnya pada saat likuidasi telah
melampaui batas waktu yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin
Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Menghadapi kendala tersebut Bank Indonesia dan Pemerintah melakukan
penyelesaian likuidasi dengan cara penyerahan seluruh sisa aset bank dalam likuidasi dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah
(Kementerian Keuangan) sebagai pembayaran kewajiban Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah.
Namun dengan pola penyelesaian likuidasi di atas Pemerintah sebagai penerima aset Bank Dalam Likudasi
menghadapi berbagai permasalahan hukum, akibatnya untuk penyelesaian 4 bank dalam likuidasi yang dicabut izin
usahanya pada periode tahun 2004/2005 Pemerintah belum mengambil sikap (“enggan”) untuk menerima penyerahan
aset ke-4 BDL tersebut padahal ke 4 BDL tersebut mempunyai permasalahan yang hampir sama.
Kata Kunci : Likuidasi, BLBI, Perbankan, Bank Dalam Likuidasi
1 Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Akibat semakin banyak bank mengalami saldo debet
yang bersifat sistemik, Bank Indonesia menganggap,
kewenangan yang dimilikinya sebagai lender of the
last resort, sesuai Pasal 32 Ayat (3) Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, tak
cukup untuk mengatasi likuiditas. Bank Indonesia
lalu membawa permasalahan ini kepada Pemerintah.
Pemerintah mengambil jalan menutup bank yang
tidak dapat diselamatkan lagi. Namun untuk
mencegah merosotnya kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan nasional, simpanan nasabah di
bank yang ditutup diberikan bantuan likuditas melalui
Bank Indonesia.2
Namun mengingat tekanan krisis semakin berat dan
kepercayaan terhadap perekonomian nasional semakin
merosot, akhirnya Pemerintah mengundang IMF untuk
memberikan bantuan teknis dan pinjaman.
Pada tanggal 31 Oktober 1997 letter of intent (LoI)
Indonesia-IMF ditandatangani. Letter of Intent berisi
sejumlah langkah yang akan dilakukan Pemerintah
Indonesia untuk menyehatkan perekonomian. LoI
Oktober 1997 itu antara lain berisi sebagai berikut:
1. Restrukturisasi yang dilakukan secara
komprehensif merupakan kunci keberhasilan;
2. Bank-bank insolvent yang tidak sanggup
membayar kewajibannya yang tak mungkin
diselamatkan, ditutup. Bank-bank lemah namun
masih bisa diselamatkan diharuskan menyusun
dan melaksanakan rencana rehabilitasinya.
3. Program restrukturisasi terdiri dari empat bagian.
Pelaksanaannya dibantu IMF, Bank Dunia dan
Bank Pembangunan Asia. Due dillingence
terhadap bank dilakukan untuk mengetahui
derajat kesehatannya. Bank sehat tetap di bawah
Bank Indonesia, sedangkan yang tidak sehat
disembuhkan di BPPN.
4. Seluruh biaya yang berkaitan dengan penutupan
bank dan rehabilitasi bank Pemerintah menjadi
beban Pemerintah melalui APBN. Caranya dengan
menerbitkan surat utang (bond) yang dijamin
Pemerintah.
Dalam rangka menindaklanjuti LoI IMF tanggal 31
Oktober 1997 juga, pada 1 November 1997
Pemerintah dalam hal ini diwakili Menteri Keuangan,
mencabut izin usaha 16 Bank, sehingga berstatus
Bank Dalam Likuidasi. Pengurus bank diperintahkan
mengadakan RUPS Luar Biasa guna membubarkan
badan hukum bank. Tim Likuidasi masing-masing
bank dibentuk, yang pembentukannya diatur dalam
Surat Menteri Keuangan RI Nomor Peng-86/MK/1997
tentang pencabutan izin usaha bank umum.
Sebagai tindak lanjut LoI IMF tersebut selain 16 bank
dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi (BDL)3, juga
4 bank dinyatakan sebagai Bank Take Over (BTO), 10
bank sebagai Bank Beku Operasi (BBO) dan 39 bank
sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Selain
itu, dalam upaya pemulihan perbankan, Pemerintah
melakukan penguatan modal (rekapitalisasi) terhadap
10 Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan 9 bank
umum.
Sementara likuidasi 16 Bank yang dicabut ijin usahanya
pada tahun 1997 belum selesai, Bank Indonesia
mencabut lagi ijin usaha bank pada tahun 2004 yaitu
PT. Bank Dagang Bali dan PT. Bank Asiatic yang dicabut
ijin usahanya secara bersamaan oleh Bank Indonesia
yaitu pada tanggal 8 April 2004. Di samping itu
terdapat 2 bank yang sebelumnya merupakan bank
BBKU yaitu PT. Bank Ratu dan PT. Bank Prasidha yang
tidak dapat diselesaikan oleh BPPN karena terdapat
gugatan dari pemegang sahamnya, sehingga baru
40
3 Ke-16 Bank Dalam Likuidasi yang dilikuidasi pada 1 November 1997 itu adalah Bank Pinaesaan, Bank Industri, Anrico Bank, Astria Raya Bank, Bank Andromeda, Bank Harapan Sentosa, Bank Guna Internasional, Sejahtera Bank Umum, Bank Umum Majapahit Jaya, Bank Jakarta, Bank Kosagraha Semesta, Bank Mataram Dhanaarta, South East Asia Bank, Bank Pacific, Bank Dwipa Semesta, dan Bank Citrahasta Dhanamanunggal.
2 Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut BLBI, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
dilakukan pencabutan izin usaha dan dilakukan proses
likuidasi pada tahun 2004. Selanjutnya terdapat bank
yang dicabut izin usahanya pada tanggal 13 Januari
2005 yaitu PT. Bank Global Internasional Tbk. Penyebab
bank-bank tersebut dicabut ijin usahanya berbeda
dengan pencabutan ijin usaha 16 bank pada tahun
1997. Penyebab bank tersebut dicabut ijin usahanya
bukan akibat krisis tetapi karena kondisi kesehatan
bank yang memburuk dan terjadinya fraud yang
dilakukan oleh pemegang saham bank.
Dalam prakteknya pelaksanaan likuidasi untuk 16
Bank Dalam Likuidasi menghadapi baberapa kendala,
yaitu antara lain:
1. Batas waktu likuidasi yang ditetapkan selama 5
tahun dan 180 hari telah terlewati, namun Tim
Likuidasi belum dapat melaksanakan pertanggung-
jawaban kepada RUPS karena masih adanya aset
dan kewajiban BDL yang belum dapat diselesaikan.
2. Tim Likuidasi sudah tidak memiliki kewenangan
untuk mencairkan aset setelah berakhirnya masa
likuidasi dan masa lelang
3. Tidak terdapat ketentuan yang mengatur tatacara
penyelesaian aset dan kewajiban yang masih
tersisa apabila batas waktu likuidasi berakhir.
4. Pertanggungjawaban likuidasi yang diajukan
kepada pemegang saham, apabila pertanggung-
jawaban tersebut ditolak oleh pemegang saham
maka likuidasi menjadi tidak selesai.
Selanjutnya dalam menghadapi kendala tersebut Bank
Indonesia dan Pemerintah melakukan penyelesaian
likuidasi 14 BDL4 dengan cara penyerahan seluruh
sisa aset bank dalam likuidasi dari Tim Likuidasi kepada
Pemerintah (Kementerian Keuangan) sebagai
pembayaran kewajiban Bank Dalam Likuidasi kepada
Pemerintah. Adapun pertimbangan digunakannya
penyelesaian dengan cara tersebut adalah:
a. Harus segera diambil langkah penyelesaian agar
biaya operasional tidak bertambah.
b. Kreditur dalam hal ini yang terbesar adalah
Pemerintah karena telah membayarkan dana
penjaminan, berhak memperoleh pembayaran
secara maksimal.
Namun dengan pola penyelesaian likuidasi di atas,
Pemerintah sebagai penerima aset Bank Dalam
Likuidasi menghadapi berbagai permasalahan, yaitu:
a. Berbagai permasalahan hukum yang melekat pada
aset.
b. Dokumen yang tidak sempurna.
c. Permasalahan penetapan harga jual aset dan nilai
tagih piutang.
Akibatnya untuk penyelesaian 4 bank5 dalam likuidasi
yang dicabut izin usahanya pada periode tahun
2004/2005 Pemerintah belum mengambil sikap
(“enggan”) untuk menerima penyerahan aset ke-4
BDL tersebut padahal ke 4 bank dalam likudasi tersebut
mempunyai permasalahan yang hampir sama.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas
dan untuk memfokuskan pembahasan pada topik
“Kajian Hukum Terhadap Penyelesaiaan Likuidasi
Bank Yang Dicabut Izin Usahanya Sebelum Berlakunya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan”, maka perlu
dirumuskan mengenai pokok permasalahan yang
akan dibahas sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kekuatan hukum penyelesaian
likudasi bank dengan cara penyerahan aset bank
dalam likuidasi kepada Pemerintah sebagai kreditur
mayoritas?
2. Bagaimanakah kekuatan hukum Tim Likuidasi
dalam penyelesaian likuidasi tersebut?
41
4 Dari 16 BDL terdapat 2 BDL yaitu PT. Bank Andromeda (DL) telah selesai likuidasinya karena telah menyelesaikan kewajiban dana talangan Pemerintah dan PT. Bank Umum Majapahit (DL) yang sudah menyelesaikan likuidasi karena sudah tidak mempunyai aset yang dapat dicairkan.
5 Dari Bank yang dilkuidasi pada tahun 2004/2005 terdapat 1 bank yang telah menyelesaikan proses likudasinya yaitu Pt. Bank Prasidha (Dalam Likuidasi)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
3. Alternatif penyelesaian likuidasi bank selain dengan
cara penyerahan aset bank dalam likuidasi kepada
Pemerintah sebagai kreditur mayoritas?
C. PEMBAHASAN
1. Analisa Hukum Terhadap Penyelesaian
Likuidasi 16 Bank Yang Dicabut Izin Usahanya
Pada Tahun 1997
Penyelesaian likuidasi 16 Bank Dalam Likuidasi
adalah dengan cara menyerahkan sisa aset
Bank Dalam Likuidasi dari Tim Likuidasi kepada
Pemerintah selaku kreditur mayoritas, sebelum
RUPS mengenai pertanggungjawaban akhir Tim
Likuidasi. Dengan berbagai ragam permasalahan
hukum yang terjadi dalam penyelesaian Bank
Dalam Likuidasi, dan dengan memperhatikan
bahwa hukum positif tidak mengatur permasalahan
yang ada, penyelesaian likuidasi dengan cara
demikian merupakan solusi hukum yang dapat
diterapkan untuk menambah penerimaan negara
sebagai pengembalian dana penjaminan yang
telah diberikan.
Alternatif penyelesaian likuidasi bank ini terdapat
beberapa nilai positifnya walaupun terdapat
beberapa kendala atau kelemahan dalam
pelaksanaanya.
a. Penyelesaian aset kredit
Ditinjau dari hukum perdata kedudukan
Pemerintah atas aset yang diserahkan oleh
Tim Likuidasi dapat dilihat berdasarkan jenis
aset yang berikan yaitu: Untuk jenis aset berupa
aset kredit secara perdata merupakan piutang
bank kepada nasabah debiturnya, piutang ini
merupakan piutang atas nama.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU
Perbankan) mendefinisikan kredit sebagai
penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.
Dalam UU Perbankan istilah kredit memiliki
arti khusus yaitu meminjamkan uang dengan
menunjuk perjanjian pinjam meminjam sebagai
acuan dari perjanjian kredit.6 Perjanjian pinjam
meminjam dalam KUH Perdata diatur dalam
Pasal 1754, yaitu:
“Pinjam meminjam adalah persetujuan dengan
mana pihak yang satu memberikan kepada
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-
barang yang menghabis karena pemakaian
dengan syarat bahwa pihak yang belakangan
ini akan mengembalikan sejumlah yang sama
dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Dalam pemberian kredit bank akan mengikat
debitur dengan perjanjian kredit. Perjanjian
kredit adalah perjanjian pokok, dengan
perjanjian jaminan merupakan acessor-nya.
Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan
bergantung pada perjanjian pokok. Dalam
perjanjian kredit apabila debitor menerima
semua ketentuan dan persyaratan yang
ditentukan oleh bank maka ia berkewajiban
untuk menandatangani perjanjian tersebut.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa kredit
merupakan piutang atas nama, maka apabila
jenis piutang ini akan dialihkan kepada pihak
lain maka menurut Pasal 613 KUHPerdata yang
mengatur tentang cessie menyebutkan bahwa
“penyerahan akan piutang-piutang atas nama
dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan
dengan jalan membuat sebuah akta otentik
42
6 Ibid.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
atau di bawah tangan, dengan mana hak-
hak atas kebendan itu dilimpahkan kepada
orang lain”
Tagihan tertentu disebut sebagai tagihan atas
nama berdasarkan ciri, krediturnya tertentu
dan diketahui dengan baik oleh debitur.7
Tagihan kepada order adalah tagihan-tagihan
yang menunjuk orang tertentu kepada siapa
tagihan harus dilunasi, tetapi disertai dengan
hak untuk memindahkannya kepada orang
lain melalui endosemen, sedangkan tagihan
atas tunjuk (aan toonder) adalah tagihan-
tagihan yang krediturnya (sengaja dibuat, demi
untuk memnudahkan pengalihannya) tidak
tertentu.8
Karena dalam Pasal 613 KUHPerdata objek
penyerahan yang diatur adalah tagihan atas
nama dan benda benda tak bertubuh lainnya,
maka pasal tersebut sebenarnya mau
memberikan petunjuk bagaimana kepemilikan
suatu tagihan atas nama dan benda tak
bertubuh lainnya bisa beralih dari pemilik yang
satu (pemilik asal/ceden) kepada pemilik yang
baru (cessionaris).
Jadi apabila cessie itu dilakukan oleh Tim
Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
613 KUHPerdata, maka terjadi peralihan hak
atas piutang tersebut dari Tim Likuidasi kepada
Pemerintah. Jadi Pemerintahlah yang menjadi
pemilik piutang itu.
Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal
584 KUHPerdata yaitu “Hak milik atas sesuatu
kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara
lain, melainkan dengan pemilikan, karena
perlekatan, karena daluwarsa, karena
pewarisan, baik menurut undang-undang
maupun menurut surat wasiat, dan karena
penunjukan atau penyerahan berdasar atas
suatu peristiwa perdata untuk memindahkan
hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak
berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.
Jadi berdasarkan ketentuan tersebut maka
unsur-unsur memperoleh hak milik berdasarkan
Pasal 584 KUHPerdata adalah:9
1. Adanya penyerahan;
2. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata;
3. Penyerahan itu untuk memindahkan hak
milik;
4. Dilakukan oleh seorang yang berhak
berbuat bebas dengan benda itu.
Tindakan menyerahkan tidak pernah berdiri
sendiri, tindakan tersebut selalu merupakan
buntut dari suatu peristiwa perdata/rechtitel.
Peristiwa perdata/rechtitel adalah dasar dari
tindakan menyerahkan yang bisa timbul dari
undang-undang, seperti kewajiban mengganti
rugi atas dasar tindakan melawan hukum (Pasal
1365 BW) atau kewajiban pengembalian atas
dasar adanya pembayaran yang tidak terutang
(Pasal 1359 BW dan 1360 BW). Kewajiban
penyerahan juga bisa timbul berdasarkan
perjanjian yaitu pada perjanjian obligatoir.10
Dalam cessie, karena cessie merupakan
perjanjian, maka sesuai dengan ciri perjanjian
terhadap penyerahan oleh cedent harus ada
penerimaan oleh cessionaris. Dengan adanya
penyerahan dan penerimaan, maka cessie
telah terlaksana dengan baik.
43
9 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta :Gramedia 2010).
10 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung; Citra Aditya Bakti).
7 Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Bandung:Vorkink-Van Houve 1959).
8 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta :Gramedia 2010).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Berdasarkan Pasal 584 BW, pada dasarnya
yang melalui suatu penyerahan bisa menjadikan
orang lain sebagai pemilik benda yang
diserahkan adalah mereka yang mempunyai
kewenangan tindakan pemilikan, yang pada
umumnya adalah sipemilik benda atau
kuasanya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
hak milik atas suatu tagihan nama, berdasarkan
penyerahan, beralih kepada cessionaris, jika
penyerahan itu:11
1. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata
(rechetitel)
2. Dituangkan dalam suatu akta;
3. Diserahkan oleh pemilik benda yang
bersangkutan.
Apabila ketentuan tersebut dikaitkan dengan
tindakan Tim Likuidasi menyerahkan aset kredit
kepada Pemerintah, perlu dilihat apakah Tim
Likuidasi merupakan pihak yang berhak atau
pihak yang secara hukum dapat dianggap
sebagai pemilik pituang.
Terkait dengan hal tersebut ketentuan likudasi
(Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1995
tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran
dan Likuidasi Bank) mengatur sebagai berikut:
Pasal 10
(1)Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh
Tim Likuidasi.
(2)Dengan terbentuknya Tim Likuidasi,
tanggung jawab dan kepengurusan bank
dalam likuidasi dilakukan oleh Tim Likuidasi.
(3)Dalam melaksanakan tugasnya Tim
Likuidasi berwenang mewakili bank dalam
likuidasi dalam segala hal yang berkaitan
dalam penyelesaian hak dan kewajiban
bank tersebut.
Ketika bank masih beroperasi aset kredit
merupakan aset milik bank, pada saat bank
tersebut dilikuidasi maka aset tersebut menjadi
aset Bank Dalam Likuidasi. Begitupun dengan
kepengurusannya. Pasal 10 Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 diatas
mengatur Tim Likuidasi merupakan pihak yang
dapat mewakili Bank Dalam Likuidasi. Mengacu
pada ketentuan likudasi tersebut maka Tim
Likuidasi merupakan pihak yang berhak dan
berwenang untuk menyerahkan aset kredit
tersebut kepada Pemerintah.
Selanjutnya untuk kepentingan penagihan
piutang itu perlu diperhatikan ketentuan Pasal
613 ayat (2) KUH Perdata yaitu:
“Penyerahan yang demikian bagi si berhutang
tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan
itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis
disetujui dan diakuinya”.
Jadi penyerahan piutang dari Bank Dalam
Likuidasi yang dalam hal ini dilakukan oleh Tim
Likuidasi kepada Pemerintah cq Kementerian
Keuangan baru mengikat debitur setelah terjadi
pengalihan itu diberitahukan kepada debitur
sesuai Pasal 613 (KUHPerdata).
b. Penyelesaian Aset Properti
Aset properti yang diserahkan terdiri dari 2
macam:
a. Barang Jaminan Yang Diambil Alih (BJDA)
b. Aset tetap milik pemegang saham bank,
baik yang diserahkan oleh pemegang
saham maupun yang disita Tim Likuidasi
dari pemegang saham.
Tindak lanjut atas serah terima aset tetap/BJDA
dilakukan pembuatan Akta Kuasa Jual.
Selanjutnya atas aset tetap/Barang Jaminan
Yang Diambil Alih pencairannya dilakukan
melalui mekanisme penjualan lelang. Hasil
bersih lelang tersebut akan menjadi pengurang
kewajiban dari Bank Dalam Likuidasi.
44
11 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta: Gramedia 2010).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Barang Jaminan Yang Diambil Alih atau dikenal
pula dengan istilah Agunan yang Diambil Alih
(AYDA) adalah aktiva yang diperoleh Bank,
baik melalui pelelangan maupun diluar
pelelangan berdasarkan penyerahan secara
sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan
kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik
agunan dalam hal debitur tidak memenuhi
kewajibannya kepada Bank.
Barang Jaminan Yang Diambil Alih ini
merupakan aset milik bank sehingga setelah
bank dilikuidasi merupakan aset Bank Dalam
Likuidasi, oleh karena itu Tim Likuidasi sebagai
pihak yang dapat mewakili Bank Dalam Likuidasi
berwenang untuk menyerahkan aset tersebut
kepada kreditur dalam hal ini Pemerintah.
Jaminan dalam kredit bank dapat berupa hak
tanggungan atas tanah, surat-surat berharga
ataupun fiducia atas barang-barang bergerak.
Dengan penyerahan yang dilakukan oleh
Tim Likuidasi maka BJDA itu beralih kepada
Pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah berhak
untuk mengambil pelunasan yang diambil alih
tersebut. Untuk mengambil alih jaminan itu
haru diperhatikan ketentuan Pasal 16 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan yang mengatur bahwa “ (1) Jika
piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan
beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan,
atau sebab sebab lain, Hak Tanggungan
tersebut ikut beralih karena hukum kepada
kreditor yang baru. (2) Beralihnya Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib didaftarkan oleh kreditor yang
baru kepada Kantor Pertanahan.”
Berdasarkan ketentuan tersebut peralihan
jaminan dari Bank Dalam Likuidasi kepada
Pemerintah didaftarkan oleh Pemerintah.
Demikan pula halnya dengan BJDA yang diikat
dengan fiducia. Pemerintah sebagai kreditur
baru wajib mendaftarkan peralihan tersebut.
Jika pendaftaran ini belum dilakukan maka
peralihan tersebut tidak mengikat bagi pihak
ketiga.
c. Penyerahan Aset Pemegang Saham
Kepada Pemerintah
Apakah aset milik pemegang saham dapat
diserahkan oleh Tim Likuidasi kepada
Pemerintah.
Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank, mengatur
sebagai berikut:
Pasal 24
(1)Dalam hal harta kekayaan bank dalam
likuidasi tidak cukup untuk memenuhi
seluruh kewajiban bank dalam likuidasi
tersebut maka kekurangannya wajib
dipenuhi oleh anggota direksi dan anggota
dewan komisaris serta pemegang saham
yang turut serta menjadi penyebab kesulitan
keuangan yang dihadapi oleh bank atau
menjadi penyebab kegagalan bank.
(2)Dalam hal direksi bank yang dicabut izin
usahannya tidak bersedia melaksanakan
tugas dan kewajiban berkaitan dengan
pencabutan izin usaha bank, atau direksi
dalam keadaan tidak hadir, maka tanpa
mengurangi tanggung jawab direksi yang
bersangkutan, untuk kepentingan nasabah
penyimpan dana Bank Indonesia
membentuk Tim Pengelola Sementara
untuk menjalankan fungsi direksi sampai
dengan terbentuknya Tim Likuidasi.
(3)Direksi yang tidak bersedia melaksanakan
tugas dan kewajiban berkaitan dengan
pencabutan izin usaha, pembubaran dan
likuidasi bank, atau yang dengan sengaja
tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dapat dikategorikan telah
melakukan pelanggaran terhadap Peraturan
Pemerintah ini, dan dapat dikenakan
ancaman pidana dan sanksi administratif
sebagaimana tercantum dalam Pasal 23.
45
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Berdasarkan ketentuan di atas, bukan hanya
pemegang saham bahkan pengurus pun
apabila menjadi penyebab kesulitan keuangan
yang dihadapi oleh bank atau menjadi
penyebab kegagalan bank maka mereka
bertanggung jawab untuk membayar
kewajiban bank apabila aset bank dalam
likuidasi tidak mencukupi untuk membayar
kewajiban bank dalam likuidasi.
Mengenai apakah pemegang saham dapat
diminta pertanggungjawaban untuk membayar
kewajiban bank. Dr. Zulkarnain Sitompul
berpendapat bahwa ada dua pendekatan
hukum yang dapat digunakan. Menggunakan
hukum perusahaan, Perseroan Terbatas (PT)
adalah badan hukum yang memiliki hak dan
tanggung jawab terpisah dengan pemegang
sahamnya. Sebagai badan hukum, Perseroan
Terbatas memiliki utang dan kewajiban lainnya
atas namanya sendiri. Hal tersebut berarti
bahwa baik utang maupun kewajiban
perusahaan bukan merupakan tanggung jawab
pemegang saham. Demikian pula sebaliknya
perseroan tidak bertanggung jawab terhadap
utang dan kewajiban para pemegang
sahamnya. Akan tetapi ketentuan ini dapat
dikecualikan apabila terdapat kondisi yang
dalam hukum perusahaan disebut pierce the
corporate veil. Kondisi tersebut secara teoretis
adalah pertama, terjadi penipuan (fraud)
atau ketidakadilan (unfairness) bagi pihak
ketiga (misalnya kreditur) dalam pengurusan
perseroan. Kedua, pemegang saham tidak
memperlakukan perseroan sebagai badan
yang terpisah akan tetapi menggunakannya
untuk kepentingan pribadi. Ketiga, perseroan
kekurangan modal. Keempat, kondisi lainnya
yang dapat menciptakan ketidakadilan (fairness)
apabila perseroan tetap diakui sebagai badan
hukum. Piercing the corporate veil dapat pula
dinyatakan telah terjadi apabila diperlukan
untuk mencegah terjadinya penipuan atau
untuk menciptakan keseimbangan (equity).
Sementara itu teori hukum perusahaan
mengajarkan bahwa Perseroan Terbatas harus
dikelola sesuai dengan ketentuan dalam
anggaran dasar perseroan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Anggaran
dasar adalah kontrak antara pendiri perseroan
dengan Pemerintah. Terkait erat dengan tujuan
perusahaan. Direksi wajib menggunakan
kewenangan yang dimilikinya untuk mencapai
tujuan tersebut. Direksi memiliki resonable
discretion yang harus dijalankan dengan iktikad
baik untuk mencapai tujuan perusahaan.
Kewenangan tersebut tidak dapat diganggu
kecuali mereka bersalah karena melakukan
penipuan (fraud) dan misappropriation.
Jika Direksi melakukan kegiatan tidak sesuai
dengan tujuan atau kewenangannya maka
secara hukum direksi telah melakukan ultra
vires (di luar kewenangan). Konsekwensinya
membayar ganti rugi dan ancaman pidana
serta keterkaitannya dengan keabsahan
perjanjian.12
Terkait dengan prinsip piercing the corporate
veil ini, M Yahya Harahap, SH berpendapat
bahwa dakam rangka meningkatkan tegaknya
keadilan dan mencegah ketidakwajaran, pada
keadaan dan peristiwa tertentu, prinsip
keterpisahan perseroan dari pemegang saham
secara kasuistik perlu disingkirkan dan dihapus
dengan cara menembus tembok atau tabir
perseroan atas perisai tanggung jawab
terbatas.13 Konsekuensi hukum atas
penyingkapan tabir atau piercing the corporate
veil ini adalah:
46
12 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pemilik Bank, Pilars No.19/Th. VII/10-16 Mei 2004, diambil dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-dan-tanggung-jawab-pemilik_pilar.pdf.
13 M.Yahya Harahap, SH. Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
- Hilang atau hapus perlindungan tanggung-
jawab terbatas pemegang saham yang
digariskan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.14
- Dengan sendirinya pemegang saham ikut
memikul risiko bersama-sama dengan
perseroan dari harta pribadi pemegang
saham yang bersangkutan.
Menggunakan pendekatan hukum perbankan15
yang secara tegas mengatur pemilik bank
bertanggung jawab penuh atas kewajiban
bank apabila mereka ikut menyebabkan
terjadinya kebangkrutan. Bahkan Undang-
undang Perbankan mengancam pemegang
saham dengan pidana penjara minimal 7
tahun ditambah denda paling sedikit 10 milyar,
apabila pemegang saham menyuruh dewan
komisaris, direksi atau pegawai bank lainnya
untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan yang mengakibatkan bank tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan
untuk memastikan ketaatan bank terhadap
hukum perbankan. Ancaman pidana yang
sama juga berlaku bagi komisaris, direksi,
pegawai bank dan pihak terafiliasi dengan
bank. Faktanya bank yang dicabut ijin usahanya
banyak yang tidak mentaati rambu-rambu
hukum yang telah ditetapkan, misalnya bank
melakukan pelanggaran batas maksimum
pemberian kredit dan melakukan transaksi
fiktif. Dengan kondisi seperti itu dan ketentuan
hukum perusahaan dan perbankan sebagai-
mana dikemukakan di atas konsekwensi
hukumnya jelas. Pertama, bahwa terbatasnya
tanggung jawab pemegang saham telah hilang
sehingga mereka bertanggung jawab secara
pribadi. Harta kekayaan milik mereka harus
diambil untuk membayar seluruh kewajiban
bank. Kedua, komisaris, direksi atau pejabat
eksekutif lainnya yang bukan pemegang
saham juga bertanggung jawab secara pribadi
karena tidak mengurus bank sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Harta benda mereka
juga dapat diambil untuk membayar kewajiban
bank. Sedangkan ancaman pidana juga perlu
diterapkan.
Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas,
maka dalam kasus Bank Dalam Likuidasi yang
terkait dengan penggunaan dana Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia dan dana Penjaminan
Pemerintah dapat dipastikan bahwa terdapat
beberapa pemegang saham Bank Dalam
Likuidasi yang dapat diminta pertanggung-
jawaban untuk membayar kewajiban Bank
Dalam Likuidasi kepada Pemerintah.
d. Kedudukan Pemerintah Sebagai Pihak
Yang Menerima Aset Bank Dalam Likudasi
Pasal 584 KUHPerdata mengatur bahwa “Hak
milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh
dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan,
karena perlekatan, karena kadaluarsa, karena
pewarisan, baik menurut undang-undang
maupun menurut wasiat, dan karena
penunjukan atau penyerahan berdasarkan atas
suatu peristiwa perdata untuk memindahkan
hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak
berbuat bebas terhadap kebendaan itu”.
Jadi berdasarkan ketentuan tersebut maka
unsur-unsur memperoleh hak milik berdasarkan
Pasal 584 KUHPerdata adalah:16
47
16 Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, (Jakarta: National Legal Reform Program, Gramedia 2010).
14 Pasal 3 ayat (1) berbunyi “Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.”
15 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pemilik Bank, Pilars No.19/Th. VII/10-16 Mei 2004, diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-dan-tanggung-jawab-pemilik_pilar.pdf
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
1. Adanya penyerahan;
2. Didasarkan atas suatu peristiwa perdata;
3. Penyerahan itu untuk memindahkan hak
milik;
4. Dilakukan oleh seorang yang berhak
berbuat bebas dengan benda itu.
Menurut Pasal 584 KUHPerdata, hak milik atas
sesuatu kebendaan dapat diperoleh antara
lain karena penyerahan berdasarkan atas suatu
peristiwa perdata termasuk memindahkan hak
milik dilakukan oleh seorang yang berhak
berbuat bebas atas kebendaan itu.
Dalam proses penyerahan aset Bank Dalam
Likuidasi dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah,
peristiwa perdatanya adalah pembayaran dana
talangan Pemerintah dalam hal ini dapatlah
dikatakan bahwa bank telah melakukan in
betaling geving (pelunasan) untuk menutup
hutangnya kepada Pemerintah. In betaling
geving (pelunasan) ini pada hakekatnya dapat
juga dikatakan suatu novasi objektif.17
J. Satrio berpendapat bahwa Novasi objektif
didasarkan pada Pasal 1413 sub 1, jelasnya
atas dasar kata-kata “membuat perikatan
hutang baru” dan disini kata perikatan hutang
harus diartikan sebagai kewajiban perikatan
atau prestasi perikatan atau dengan perkataan
lain objek perikatannya. Objek perikatan antara
lain meliputi objek prestasi daripada perikatan
yang bersangkutan dan penggantian yang
dimaksud di sini adalah penggantian objek
prestasi perikatan.18
Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah
ada diganti dengan perikatan lain. Novasi
obyektif dapat terjadi dengan mengganti atau
mengubah isi daripada perikatan. Penggantian
perikatan terjadi jika kewajiban debitur atas
suatu prestasi tertentu diganti oleh prestasi
lain. Misalnya kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu diganti dengan
kewajiban untuk menyerahkan sesuatu barang
tertentu.
2. Kewenangan Tim Likuidasi dalam
menjalankan tugasnya setelah jangka waktu
likuidasi berakhir
Berbeda dengan dengan penyelesaian 16 Bank
Dalam Likuidasi, penyelesaian 4 Bank Dalam
Likuidasi19 sampai tulisan ini dibuat masih belum
mendapatkan solusi penyelesaian mengingat:
1. Batas waktu likuidasi yang ditetapkan selama
5 tahun dan 180 hari telah terlewati, namun
Tim Likuidasi belum dapat melaksanakan
pertanggungjawaban kepada Rapat Umum
Pemegang Saham karena masih adanya aset
dan kewajiban Bank Dalam Likuidasi.
2. Tim Likuidasi sudah tidak memiliki kewenangan
untuk mencairkan aset setelah berakhirnya
masa likuidasi dan masa lelang
3. Tidak terdapat ketentuan yang mengatur
tatacara penyelesaian aset dan kewajiban yang
masih tersisa apabila batas waktu likuidasi
terlewati.
4. Kementerian Keuangan selaku kreditur
mayoritas dan selaku pihak yang telah
memberikan dana talangan untuk
membayarkan kewajiban Bank Dalam Likuidasi
kepada nasabah penyimpan belum bersedia
melakukan serah terima sisa aset dari 4 Bank
Dalam Likuidasi yang dilikuidasi tahun 2004/
2005.
48
17 Prof. Dr. Siti Ismijati, Kajian Pengelolaan Ast Eks, Bank Dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan Dari Perspektif Ilmu Hukum Perata disampaikan dalam Rapat Kerja Terbatas Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi, DPKNSI, Ditjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI, 2011.
18 J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996).
19 Pada tahun 2004/2005 sebenarnya ada 5 bank yang dicabut ijin usahanya yaitu: PT. Bank Ratu, PT. Bank Prasidha, PT. Bank Dagang Bali, PT. Bank Asiatic, dan PT. Bank Global. Namun PT. Bank Prasidha (Dalam Likuidasi) sudah menyelesaikan likuidasinya dengan cara menyerahkan sisa aset kepada Pemerintah.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Penyelesaian dengan cara penyerahan sisa aset
Bank Dalam Likuidasi kepada Pemerintah menurut
penulis merupakan alternatif penyelesaian atau
merupakan solusi yang cukup ideal walaupun
terdapat beberapa kelemahan/permasalahan yang
dihadapi Pemerintah selaku pihak penerima aset.
Namun demikian dalam hal Pemerintah memutuskan
untuk tidak dapat menerima aset 4 Bank Dalam
Likuidasi sebagai pembayaran kewajiban Bank
Dalam Likuidasi tersebut, maka perlu dicari solusi
penyelesaian lain mengingat proses penyelesaian
likuidasi yang sudah hampir berjalan selama sekitar
8 tahun, padahal ketentuan likuidasi yang berlaku
hanya memberi batas selama 5 tahun 180 hari.
Untuk itu sebelum dikaji mengenai solusi dengan
cara apa penyelesaian likuidasi 4 Bank Dalam
Likuidasi, perlu terlebih dahulu dikaji mengenai
kewenangan Tim Likuidasi dalam menjalankan
tugasnya setelah jangka waktu likuidasi berakhir
termasuk bagaimana memperkuat kewenaagan
Tim Likuidasi dari sisi hukum.
a. Pemberian Kewenangan Tim Likuidasi
Setelah Jangka Waktu Likuidasi Berakhir.
Terkait dengan jangka waktu likuidasi Pasal
12 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
1999 mengatur sebagai berikut:
(1) Pelaksanaan likuidasi bank wajib diselesaikan
dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima)
tahun terhitung sejak tanggal dibentuknya
Tim Likuidasi.
(2)Dalam hal likuidasi bank tidak dapat
diselesaikan dalam jangka waktu sebagai-
mana dimaksud dalam ayat (1), penjualan
harta bank dalam likuidasi dilakukan secara
lelang.
Selanjutnya dalam SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR
diatur sebagai berikut:
(1)Tim Likuidasi wajib melaksanakan tugasnya
secara efisien dan efektif sehingga dapat
menyelesaikan Likuidasi Bank dalam waktu
singkat.
(2)Apabila penyelesaian tugas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mengalami tingkat
kesulitan yang tinggi maka jangka waktu
yang diperkenankan adalah selama- lamanya
5 tahun terhitung sejak terbentuknya Tim
Likuidasi.
(3)Apabila Likuidasi Bank tidak dapat
diselesaikan dalam jangka waktu sebagai-
mana dimaksud dalam ayat (2), penjualan
harta Bank dilakukan secara lelang.
(4)Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dilakukan oleh Kantor Lelang
Negara atau lembaga lain atas permohonan
Tim Likuidasi dengan menggunakan
metode harga penawaran tertinggi.
(5)Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) diselesaikan selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 180 hari
sejak berakhirnya jangka waktu pelaksanaan
Likuidasi Bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2).
Salah satu permasalahan yang cukup krusial
dalam penyelesaian likuidasi bank baik bank
yang dilikuidasi pada tahun 1997 maupun
2004/2005 adalah masalah kewenangan Tim
Likuidasi setelah jangka waktu likudasi
sebagaimana ditentukan dalam ketentuan
likuidasi telah berakhir.
Setelah jangka waktu likuidasi berakhir Tim
Likuidasi mulai mendapat hambatan dalam
melaksanakan tugasnya, khususnya dalam
melakukan upaya penagihan kepada para
debiturnya. Hambatan tersebut antara lain
muncul pada saat Tim Likuidasi melakukan
gugatan untuk melakukan penagihan kepada
debitur. Terkait dengan permasalahan ini salah
satu contoh adalah kasus gugatan dari PT. Bank
Pinaesaan (Dalam Likuidasi) kepada debiturnya
PT. AMF (sebuah lembaga keuangan non-bank
yang salah satu usahanya adalah menerbitkan
menerbitkan promisory note). Dalam mengelola
dana pada PT. Bank Pinaesaan (dalam Likuidasi),
49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Tim Likuidasi menempatkan sebagian dananya
dengan membeli promisory note kepada PT.
AMF, namun pada saat Tim Likuidasi akan
mencairkan promisory note tersebut sesuai
dengan perjanjian yang disepakati, PT. AMF
melakukan wanprestasi yaitu tidak dapat
menyediakan dana untuk mencairkan promisory
note milik PT. Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi).
Karena wanprestasi tersebut Tim Likuidasi PT.
Bank Pinaesaan (Dalam Likuidasi) menggungat
PT. AMF. Namun dalam putusan Pengadilan
Jakarta Pusat No. 121/PDT.G/2005/PN.JKT.PST
gugatan tersebut di tolak oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dengan alasan bahwa
Tim Likuidasi PT. Bank Pinaesaan (Dalam
Likuidasi) tidak dalam kapasitasnya sebagai
Tim Likuidasi karena berdasarkan ketentuan
likudasi jangka waktu likuidasi telah berakhir.
Dengan memperhatikan permasalahan di atas,
pemberian kewenangan kepada Tim Likuidasi
untuk tetap melaksanakan tugasnya
menyelesaikan proses likuidasi (melakukan
penjualan aset dan membayar kewajiban Bank
Dalam Likuidasi) setelah berakhirnya jangka
waktu likuidasi menjadi sangat diperlukan
untuk kelancaran proses likuidasi.
Terkait dengan jangka waktu likuidasi Pasal
12 PP No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan
Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank
mengatur bahwa Pelaksanaan likuidasi bank
wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling
lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal
dibentuknya Tim Likuidasi. Dalam hal likuidasi
bank tidak dapat diselesaikan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penjualan harta bank dalam likuidasi dilakukan
secara lelang.
Selanjutnya dalam SK Dir BI No. 32/53/KE/DIR
tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank Umum
mengatur bahwa:
(1)Tim Likuidasi wajib melaksanakan tugasnya
secara efisien dan efektif sehingga dapat
menyelesaikan Likuidasi Bank dalam waktu
singkat.
(2)Apabila penyelesaian tugas sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mengalami tingkat
kesulitan yang tinggi maka jangka waktu
yang diperkenankan adalah selama-lamanya
5 tahun terhitung sejak terbentuknya Tim
Likuidasi.
(3)Apabila Likudasi Bank tidak dapat
diselesaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
penjualan harta Bank dilakukan secara
lelang.
(4)Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dilakukan oleh Kantor Lelang
Negara atau lembaga lain atas permohonan
Tim Likuidasi dengan menggunakan metode
harga penawaran tertinggi.
(5)Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) diselesaikan selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 180 hari
sejak berakhirnya jangka waktu pelaksanaan
Likuidasi Bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2).
Berdasarkan ketentuan di atas sudah tegas
bahwa jangka waktu likuidasi adalah paling
lama 5 Tahun dan apabila tidak selesai maka
dapat dilanjutkan dengan melakukan
pelelangan. Dengan ketentuan tersebut apakah
otomatis Tim Likuidasi juga sudah tidak
berwenang untuk menyelesaikan tugasnya
dalam proses likuidasi bank.
Atas permasalahan tersebut Prof. DR. Phillipus
M. Hadjon berpendapat bahwa20 “Ketentuan
5 Tahun 180 hari merupakan persoalan cacat
di dalam pengaturannya. Berakhirnya jangka
50
20 Prof. DR. Philipus M. Hadjon, Diskusi Terbatas Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, (Jakarta: Bank Indonesia, 8 November 2004).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
waktu 5 tahun 180 hari tidak secara otomatis
Tim Likuidasi bubar sebab Tim Likuidasi
mempunyai legalitas. Oleh karena itu selama
Tim Likuidasi belum dibubarkan oleh Rapat
Umum Pemegang Saham maka Tim Likuidasi
masih memiliki kewenangan untuk melakukan
pencairan aset dan menyelesaikan kewajiban
Bank Dalam Likuidasi”.
Berangkat dari pendapat tersebut penulis
berpendapat bahwa secara hukum kewenangan
Tim Likuidasi untuk melakukan tugasnya dalam
menyelesaikan proses likuidasi Bank Dalam
Likuidasi harus diperkuat dengan dasar hukum
yang memadai. Oleh karena itu untuk
memperkuat kedudukan hukum Tim Likuidasi
adalah dengan memberikan kewenangan
kepada Tim Likuidasi untuk dapat melakukan
tugasnya dalam menyelesaikan proses likuidasi
walaupun jangka waktu likuidasi telah berakhir
(memperpanjang jangka waktu tugas Tim
Likuidasi). Terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk memperpanjang jangka waktu
pelaksanaan tugas Tim Likuidasi, yaitu:
a. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim
Likuidasi untuk melakukan proses likuidasi
berdasarkan keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS).
b. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim
Likuidasi oleh Bank Indonesia selaku otoritas
pengawas Bank Dalam Likuidasi.
c. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim
Likuidasi melalui penetapan pengadilan.
b. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim
Likuidasi untuk melakukan proses likuidasi
berdasarkan keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS)
Dalam ketentuan likuidasi (Peraturan
Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI
No. 32/53/KEP/DIR) diatur bahwa Tim Likuidasi
dibentuk dan dibubarkan oleh Rapat Umum
Pemegang Saham.
Pasal 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998,
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan
SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR menempatkan
posisi RUPS sebagai lembaga yang cukup sentral
dimana bank setelah izin usahanya dicabut
oleh Bank Indonesia, kemudian diperintahkan
untuk mengadakan RUPS guna membubarkan
badan hukum bank dan membentuk Tim
Likuidasi untuk kemudian melaui dilakukan
proses likuidasi.21
Hal ini berbeda dengan ketentuan likuidasi
yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
yang mengatur bahwa ketika bank bermasalah
dan diputuskan untuk tidak diselamatkan,
dan oleh karenanya LPS membayarkan dana
penjaminan kepada nasabah Bank Dalam
Likuidasi, LPS mengambil alih wewenang
RUPS. Untuk keperluan pemberesan atas aset
dan kewajiban BDL tersebut LPS membentuk
Tim Likuidasi yang akan bertanggungjawab
kepada LPS (bukan kepada RUPS).
Selain pada saat pembentukan Tim Likuidasi
dalam ketentuan likuidasi diatur bahwa
kewenangan Tim Likuidasi juga dalam hal
pembubaran atau pengakhiran likuidasi.
Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun
1999 mengatur dalam hal Tim Likuidasi
dibentuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham,
Tim Likuidasi wajib menyusun Neraca Akhir
Likuidasi guna dilaporkan kepada Bank
Indonesia dan dipertanggungjawabkan kepada
Rapat Umum Pemegang Saham.
51
21 Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Dalam hal neraca akhir likuidasi telah disetujui
Bank Indonesia, dan Rapat Umum Pemegang
Saham telah menerima pertangungjawaban
Tim Likuidasi maka Rapat Umum Pemegang
Saham:
a. meminta Tim Likuidasi:
- mengumumkan berakhirnya likuidasi
dan perseroan dengan menempatkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia
dan dalam surat kabar harian yang
mempunyai peredaran luas;
- memberitahukan kepada instansi yang
berwenang;
- memberitahukan kepada Departemen
Perindustrian dan Perdagangan agar
nama badan hukum bank tersebut
dicoret dari Daftar Perusahaan;
b. membubarkan Tim Likuidasi.
Berdasarkan ketentuan di atas dalam proses
likuidasi Rapat Umum Pemegang Saham
berperan dalam proses pengakhiran likuidasi
yaitu dalam bentuk menerima pertanggung-
jawaban Tim Likuidasi dan juga melakukan
pembubaran Tim Likuidasi.
Selanjutnya terkait dengan kedudukan Tim
Likuidasi dalam Peraturan Pemerintah No. 25
Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi diatur sebagai
berikut:
Pasal 10 mengatur bahwa:
(1)Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh
Tim Likuidasi.
(2)Dengan terbentuknya Tim Likuidasi,
tanggung jawab dan kepengurusan bank
dalam likuidasi dilakukan oleh Tim Likuidasi.
(3)Dalam melaksanakan tugasnya Tim
Likuidasi berwenang mewakili bank dalam
likuidasi dalam segala hal yang berkaitan
dalam penyelesaian hak dan kewajiban
bank tersebut.
Selanjutnya Pasal 13 mengatur sebagai berikut:
(1)Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya anggota Tim Likuidasi
dilarang memperoleh keuntungan untuk
diri sendiri.
(2)Anggota Tim Likuidasi bertanggung jawab
secara pribadi apabila dalam melaksanakan
tugasnya melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Selanjutnya dalam Pasal 20 SK Dir BI No.
32/53/KEP/DIR diatur bahwa tanggung jawab
pengelolaan bank beralih dari pengurus bank
kepada Tim Likuidasi.
Pasal 25 ayat (2) mengatur wewenang Tim
Likuidasi antara lain:
- mewakili Bank Dalam Likuidasi di dalam
dan di luar pengadilan.
- memutuskan hubungan kerja terhadap
pegawai.
Memperhatikan ketentuan likuidasi di atas,
sebagian tugas dan wewenang Tim Likuidasi
menurut penulis hampir sama dengan tugas
dan wewenang Direksi pada Bank yang
masih beroperasi. Begitupun dengan
pengangkatannya, Tim Likuidasi dan Direksi
sama-sama diangkat oleh Rapat Umum
Pemegang Saham. Sehubungan dengan itu
maka wajar apabila disebutkan bahwa dalam
ketentuan likuidasi ini kedudukan Rapat Umum
Pemegang Saham masih cukup sentral.
Berdasarkan uraian di atas, maka perpanjangan
tugas Tim Likuidasi setelah jangka waktu
likuidasi berakhir dapat dilakukan melalui
keputusan Rapat Umum Pemegang Saham,
adapun jangka waktu perpanjangan tersebut
disesuaikan dengan kondisi Bank Dalam
Likuidasi tersebut.
Namun demikian perpanjangan jangka waktu
atau pemberian kewenangan kepada Tim
Likuidasi melalui keputusan Rapat Umum
52
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Pemegang Saham sangat tergantung dari
itikad baik para pemegang saham untuk
menyelesaikan likuidasi. Tanpa itikad baik dari
para pemegang saham untuk memberikan
kewenangan kepada Tim Likuidasi pelaksanaan
Rapat Umum Pemegang Saham tidak akan
terjadi, dan tidak ada pihak lain termasuk
otoritas pengawas bank dalam likuidasi dalam
hal ini Bank Indonesia yang bisa memaksa
para pemegang saham untuk melakukan rapat.
c. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim
Likuidasi melalui penetapan pengadilan.
Peranan pengadilan dalam ketentuan likuidasi
antara lain adalah atas permohonan dari
Bank Indonesia, mengeluarkan penetapan
pembubaran badan hukum bank, penunjukan
tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam hal para pemegang saham
tidak dapat menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham untuk memutuskan hal
tersebut.
Mengingat peranan pengadilan dalam
menetapkan pembentukan Tim Likuidasi,
apakah pengadilan juga dapat mengeluarkan
putusan/penetapan untuk memberikan
kewenangan kepada Tim Likuidasi (menetapkan
perpanjangan jangka waktu Tim Likuidasi)
guna menyelesaikan tugasnya dalam proses
likuidasi setelah jangka waktu likuidasi berakhir.
Untuk mengajukan pernetapan tersebut pihak
yang berkepentingan harus mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan.
Permohonan atau gugatan voluntair adalah
permasalahan perdata22 yang diajukan dengan
surat permohonan yang ditandatangani oleh
pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri, tempat
tinggal pemohon.23
Perkara permohonan termasuk dalam
pengertian yurisdiksi volunter. Berdasarkan
permohonan yang diajukan itu, hakim akan
memberikan suatu penetapan. Pengadilan
Negeri hanya berwenang untuk memeriksa
dan mengabulkan permohonan (penetapan),
apabila hal itu ditentukan dalam undang-
undang atau yurisprudensi.24
Dalam undang-undang tidak ada ketentuan
yang mengatur mengenai perpanjangan jangka
waktu Tim Likuidasi ataupun ketentuan yang
mengatur mengenai proses likuidasi ketika
jangka waktunya berakhir, namun dalam
yurisprudensi setidaknya telah ada 2 penetapan
Pengadilan Negeri yang mengeluarkan
penetapan perpanjangan masa tugas Tim
Likuidasi, yaitu Penetapan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor 321/PDT.P/2003/
PN.JAKSEL tanggal 17 Nopember 2003 adalah
penetapan untuk perpanjangan masa tugas
Tim Likuidasi Bank Industri (DL) dan Penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
20/PDT.P/2004/PN.JAKSEL tanggal 9 Februari
2004 untuk perpanjangan masa tugas Tim
Likuidasi PT. Bank Harapan Sentosa (DL).
Berdasarkan yurisprudensi di atas, maka salah
satu cara yang dapat dilakukan untuk
memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi
adalah dengan mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Negeri.
53
22 M. Yahya Harahap , Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
23 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994).
24 Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
d. Perpanjangan tugas dan kewenangan Tim
Likuidasi oleh Bank Indonesia selaku
otoritas pengawas Bank Dalam Likuidasi
Kedudukan Bank Indonesia dalam ketentuan
likuidasi (Peraturan Pemerintah No. 25 tahun
1999 dan SK Dir Bi No. 32/53/KEP/DIR) adalah
sebagai berikut:
- melakukan pengawasan atas pelaksanaan
pembubaran badan hukum dan likuidasi
bank.
- memberikan persetujuan terhadap calon
anggota Tim Likuidasi.
- meminta kepada Pengadilan untuk
melakukan pembubaran badan hukum Bank,
penunjukan Tim Likuidasi, memerintahkan
pelaksanaaan likuidasi sesuai dengan
ketentuan dan memerintahkan agar Tim
Likuidasi mempertanggungjawabkan
pelaksanaan likuidasi kepada Bank Indonesia,
dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham
tidak dapat diselenggarakan.
- memberhentikan Tim Likuidasi apabila tidak
dapat menjalankan tugas dengan baik dan
atau terbukti melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
- memberikan persetujuan Neraca Akhir
Likuidasi.
- menerima laporan dan
pertanggungjawaban Neraca Akhir
Likuidasi yang disusun oleh Tim Likuidasi,
dalam hal Tim Likuidasi dibentuk
berdasarkan penetapan pengadilan.
- meminta Tim Likuidasi: mengumumkan
berakhirnya likuidasi dan perseroan dengan
menempatkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia dan dalam surat kabar
yang mempunyai peredaran luas;
memberitahukan kepada instansi yang
berwenang; memberitahukan kepada
Departemen Perindustrian dan Perdagangan
agar nama badan hukum bank tersebut
dicoret dari daftar perusahaan.
- membubarkan Tim Likuidasi.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
1999, Rapat Umum Pemegang Saham
memang masih mempunyai kedudukan yang
cukup sentral karena masih berperan dalam
pembentukan Tim Likuidasi dan sekaligus
pembubarannya. Namun demikian peraturan
likuidasi tersebut sudah mengantisipasi dalam
hal pemegang saham tidak kooperatif dalam
pelaksanaan likuidasi (karena biasanya likuidasi
bank merupakan sesuatu yang dihindari oleh
para pemegang saham). Dalam prakteknya
hampir selalu pemegang berusaha untuk
melawan tindakan penutupan bank tersebut.
Tidak jarang pula pemegang saham yang
menggugat Bank Indonesia sebagai lembaga
yang mempunyai otoritas untuk mencabut
izin usaha bank.
Berangkat dari pemikiran tersebut dalam
ketentuan likuidasi diatur bahwa apabila
pemegang saham tidak dapat mengadakan
rapat umum pemegang saham untuk
melakukan pembubaran badan hukum dan
pembentukan Tim Likuidasi, maka Bank
Indonesia sebagai otoritas pengawas bank
dalam likuidasi diberikan wewenang untuk
meminta ke pengadilan untuk menetapkan
pembentukan Tim Likuidasi. Bahkan untuk
pengakhiran likuidasi dan pembubaran Tim
Likuidasi bagi Tim Likuidasi yang dibentuk
berdasarkan Penetapan Pengadilan, Bank
Indonesia lah yang melakukan pembubaran
Tim Likuidasi tersebut.
Dalam proses likuidasi bank, kedudukan Bank
Indonesia selain sebagai pengawas juga
bertindak sebagai regulator untuk Bank Dalam
Likuidasi. Dengan posisi Bank Indonesia
tersebut Bank sebagai lembaga negara
mempunyai kewenangan publik dalam
melaksanakan tugasnya termasuk dalam
menyelesaikan permasalahan likuidasi bank.
54
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Bank Indonesia sebagai lembaga administrasi
negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu
untuk bertindak atas inisiatif sendiri
menyelesaikan berbagai permasalahan pelik
yang membutuhkan penanganan secara cepat,
sementara peraturan terhadap permasalahan
itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu
dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga
legislatif yang kemudian dalam hukum
administrasi negara diberikan kewenangan
bebas berupa diskresi.
S. Prajudi Atmosudirjo yang mendefinisikan
diskresi, discretion (Inggris), discretionair
(Perancis), freies ermessen (Jerman) sebagai
kebebasan bertindak atau mengambil
keputusan dari para pejabat administrasi negara
yang berwenang dan berwajib menurut
pendapat sendiri.
Produk hukum dari Badan/Pejabat administrasi
Pemerintahan yang berupa dokumen-dokumen
yang mengandung materi penetapan yang
bersifat konkrit, individual dan final dalam
hukum administrasi disebut dengan keputusan
(Beschikking), sedangkan dokumen-dokumen
yang mengandung materi pengaturan yang
bersifat umum disebut peraturan (regeling).
Sedangkan peraturan kebijaksanaan adalah
(beleid regels), adalah merupakan produk
hukum yang lahir dari kewenangan mengatur
kepentingan umum secara mandiri atas dasar
prinsip freies ermessen.25
Berdasarkan terori yang diuraikan di atas Bank
Indonesia sebagai badan admintrasi negara
mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan
diskresi atau peraturan kebijaksanaan untuk
memberikan kewenangan kepada Tim Likuidasi
atau memperpanjang jangka waktu kerja Tim
Likuidasi. Sebagaimana disebutkan di atas,
bahwa diskresi digunakan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan penting dan mendesak
serta tiba-tiba yang sifatnya kumulatif.
Penyelesaian likuidasi merupakan permasalahan
yang bersifat penting dan mendesak. Penting
karena terkait dengan kepastian hukum dalam
penyelesaian likuidasi termasuk penyelesaian
pengembalian uang penjaminan Pemerintah
yang digunakan bank untuk mengembalikan
dana nasabah. Bersifat mendesak karena proses
likuidasi bank telah berlangsung lama dan
telah melewati jangka waktu yang ditentukan
oleh ketentuan.
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas
bank dalam likuidasi punya cukup landasan
hukum untuk memberikan kewenangan
kepada Tim Likudasi setelah jangka waktu
likuidasi berakhir.
3. Alternatif Penyelesaian Likuidasi 4 Bank Yang
Dicabut Ijin Usahanya Tahun 2004/2005
Seperti telah diuraikan di atas, pemberian
kewenangan kepada Tim Likuidasi setelah masa
likuidasi berakhir atau pemberian kewenangan
kepada Tim Likuidasi untuk menyelesaikan
likuidasi Bank Dalam Likuidasi diperlukan untuk
memberikan landasan hukum bagi Tim Likuidasi
dalam menyelesaikan likuidasi Bank Dalam
Likuidasi. Baik dengan cara penyelesaian likuidasi
melalui penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi
kepada Pemerintah maupun dengan alternatif
penyelesaian yang lain.
Terdapat beberapa alternatif penyelesaian yang
dapat ditempuh untuk menyelesaikan proses
likuidasi 4 Bank Dalam Likuidasi dalam hal
penyelesaian dengan jalan penyerahan sisa aset
Bank Dalam Likuidasi tidak dapat dilakukan.
55
25 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:PT, Raja Grafindo Persada, 2006) hlm.177.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
a. Penyelesaian likuidasi melalui penyerahan
sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada
Balai Harta Peninggalan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri
Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun
1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan
menentukan bahwa Balai Harta Peninggalan
adalah unit pelaksana penyelenggara hukum
di bidang harta peninggalan dan perwalian
dalam lingkungan Departemen Kehakiman,
yang berada di bawah dan bertanggungjawab
langsung kepada Direktur Jenderal Hukum
dan Peraturan Perundangundangan melalui
Direktur Perdata.26
Selanjutnya dalam Rancangan Undang-Undang
tentang Balai Harta Peninggalan, Balai Harta
Peninggalan adalah unit pelaksana teknis dalam
lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia selanjutnya membidangi perwalian,
pengampuan, ketidakhadiran, harta peninggalan
tidak terurus, pendaftaran surat wasiat, surat
keterangan waris, dan kepailitan.27
Sejak kemerdekaan hingga sekarang ini secara
struktural Balai Harta Peninggalan merupakan
unit organisasi sekaligus unit kerja yang berada
dibawah dan oleh karenanya bertanggung
jawab langsung kepada Direktur Jenderal
Administrasi Hukum Umum Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia melalui Direktorat Perdata. Tugas-
tugas Balai Harta Peninggalan di Indonesia
diatur secara terpisah di berbagai peraturan
perundangan yang ada, yang pada pokoknya
antara lain sebagai berikut:
a. Pengurusan diri pribadi dan harta kekayaan
anak-anak yang belum dewasa selama
belum ditunjuk seorang wali atas mereka
(Pasal 359 KUHPerdata atau disebut juga
Wali Sementara).
b. Sebagai wali pengawas (Pasal 356
KUHPerdata)
c. Mewakili kepentingan anak-anak belum
dewasa dalam hal ada pertentangan
dengan kepentingan wali (Pasal 370
KUHPerdata)
d. Pengurusan harta kekayaan anak-anak
belum dewasa dalam hal pengurusan itu
dicabut dari wali mereka (Pasal 338
KUHPerdata)
e. Pengampuan atas anak yang masih dalam
kandungan (Pasal 348 KUHPerdata)
f. Pendaftaran dan pembukaan surat-surat
wasiat (Pasal 41 dan 42 OV dan Pasal 937
dan Pasal 942 KUHPerdata).
g. Pengurusan harta peninggalan yang tidak
ada kuasanya (onbeheerde
nalatenschappen; Pasal 1126, Pasal 1127
dan 1128 KUHPerdata), demikian pula
pengurusan barang-barang peninggalan
dari penumpang-penumpang dan awak
kapal yang meninggal dunia, hilang atau
tertinggal pada kapal-kapal Indonesia (Stb.
1886/131).
h. Pengurusan boedel-boedel dari orang-
orang yang tidak hadir (boedel van
afwezigen), (Pasal 463 KUHPerdata).
Tugas Balai Harta Peninggalan mewakili dan
mengurus kepentingan orang-orang (badan
hukum) yang karena hukum atau putusan
hakim tidak dapat menjalankan sendiri
kepentingannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sehingga
dapat terpenuhi perlindungan atau terayominya
hak asasi manusia, khususnya yang karena
hukum dan penetapan pengadilan dianggap
tidak cakap bertindak di bidang hak milik
(personal right) berdasarkan peraturan
56
26 Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan
27 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
perundang-undangan yang berlaku.28 Secara
lengkap tugas Balai Harta Peninggalan yaitu
melakukan pengawasan dalam hal Perwalian,
Pengampuan, mengurus harta peninggalan yang
tak ada kuasanya, mengurus harta kekayaan
orang (subyek hukum) yang dinyatakan tidak
hadir, membuka dan mendaftarkan wasiat
terakhir pewaris, pembuatan Surat Keterangan
Hak Waris dan Kurator dalam Kepailitan, dan
tugas baru yang merupakan amanah dari Bank
Indonesia yaitu menerima dan mengelola hasil
transfer dana secara tunai yang tidak diklaim
oleh pihak yang mentransfer maupun pihak
yang ditransfer setelah dilakukan pemanggilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perbankan29, sehingga
secara sosiologi bahwa Balai Harta Peningalan
merupakan lembaga yang diharapkan dapat
memberikan pelayanan hukum di bidang harta
peninggalan bagi yang membutuhkan.30
Dalam Rancangan Undang-Undang Balai Harta
Peninggalan, tugas Balai Harta Peninggalan
adalah:31
Melaksanakan penyelesaian masalah perwalian,
pengampuan, ketidakhadiran, dan harta
peninggalan tidak terurus.
a. Melaksanakan penyelesaian pembukaan
dan pendaftaran surat wasiat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
b. Membuat surat keterangan waris.
c. Melaksanakan penyelesaian masalah
kepailitan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dengan memperhatikan tugas-tugas dari Balai
Harta Peninggalan, baik yang berlaku sekarang
maupun yang tercantum dalam Rancangan
Undang-Undang. Terdapat beberapa tugas
dari Balai Harta Peninggalan yang bisa
dikaitkan dengan pengurusan sisa aset Bank
Dalam Likuidasi, yaitu mengurus harta
peninggalan yang tidak terurus, dan mengurus
harta kekayaan orang (subyek hukum) yang
dinyatakan tidak hadir.
b. Penafsiran Tugas Balai Harta Peninggalan
untuk mengurus harta kekayaan orang
(subyek hukum) yang dinyatakan tidak
hadir
Pengaturan Ketidakhadiran (van afwezigheid)
diatur dalam buku I Bab XVIII Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata mulai Pasal 463 - 465.
Abdul Kadir Muhammad mengemukakan
unsur-unsur ketidakhadiran itu sebagai
berikut:32
1. Seseorang, ini menunjuk kepada salah satu
anggota keluarga mungkin suami, mungkin
istri, mungkin anak.
2. Tidak ada di tempat kediaman, artinya
tidak ada di lingkungan keluarga dimana
mereka berdiam serta mempunyai hak dan
kewajiban hukum.
3. Bepergian atau meninggalkan tempat
kediaman, artinya menuju dan berada di
tempat lain karena suatu keperluan atau
tanpa keperluan.
4. Dengan izin atau tanpa izin, artinya dengan
persetujuan dan sepengetahuan anggota
keluarga atau tanpa persetujuan dan tanpa
diketahui oleh anggota keluarga.
5. Tak diketahui dimana tempat ia berada,
artinya tempat lain yang dituju dan dimana
ia berada tidak diketahui sama sekali,29 Pasal 37 UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.
30 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/
31 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.
57
32 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2000).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
karena yang bersangkutan tidak memberi
kabar atau karena sulit berkomunikasi.
Tidak memberi kabar mungkin karena ada
halangan, misalnya terjadi perang,
pemberontakan, kecelakaan, bencana
alam, sakit gila, dan lain-lain, atau memang
dengan sengaja supaya tidak berurusan
lagi dengan keluarganya (putus asa).
Ketidakhadiran tidak hanya berlaku untuk
orang perseorangan namun dalam prakteknya
berlaku juga untuk subjek hukum (badan
hukum). Unsur-unsur suatu obyek tertentu
untuk dapat dinyatakan ketidakhadiran
seseorang sehubungan dengan pengurusan
hartanya yaitu:33
1. Adanya orang yang telah meninggalkan
tempat tinggalnya;
2. Tidak adanya kuasa dari orang yang tak
hadir untuk memenuhi kepentingannya
atau bila ada kuasa, kuasa tersebut telah
berakhir;
3. Adanya harta kekayaan dari orang yang
dinyatakan tak hadir;
4. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna
mengurus seluruh atau sebagian harta
kekayaan itu;
5. Adanya Penetapan Pengadilan Negeri
setempat tentang ketidakhadiran
(afweizigheid) seseorang;
6. Adanya permintaan dari yang
berkepentingan atau tuntutan Kejaksaan.
Setelah menerima salinan Penetapan dari
Pengadilan maka Balai Harta Peninggalan
sudah dapat bertindak mewakili dan mengurus
harta orang yang dinyatakan tidak hadir
diantaranya sebagaimana diatur dalam Pasal
456, 463, 464, KUHPerdata.
Dalam penetapan ketidakhadiran dapat
sekaligus ditunjuk Balai Harta Peninggalan
setempat yang akan bertugas mengurus dan
yang mewakili serta membela segala
kepentingan si tak hadir itu selama
ketidakhadirannya, akan tetapi dengan tidak
mengurangi kewenangan hakim untuk
menunjuk seorang atau lebih dari keluarga
sedarah atau semenda dari si yang tak hadir
atau kepada isteri atau suaminya untuk
keperluan itu (Pasal 463 ayat (3) KUHPerdata).
Selanjutnya setelah penetapan tentang
ketidakhadiran itu telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap, maka pengurus atau
wakilnya akan melaksanakan segala tindakan
pengurusan maupun tindakan pemilikan bila
perlu sesuai dengan kepentingan atau
kekayaan tak hadir dimaksud.
Permohonan itu bisa karena permohonan yang
diajukan oleh pihak yang berkepentingan
dengan harta kekayaan tak hadir itu sesuai
dengan prosedur dan syarat-syarat yang
diperlukan, yang tentu saja sebelum keputusan
dikeluarkan sangat diperlukan adanya tahapan-
tahapan yang harus dilalui oleh baik organ
negara di satu pihak maupun warga
masyarakat di pihak lain. Dalam praktek
tahapan itu didahului dengan meletakkan atau
menempelkan pengumuman selama 3 x 2
minggu berturut-turut di papan pengumuman
yang terdapat di Pengadilan Negeri setempat
dan sesudah lampau waktu tersebut maka
Pengadilan Negeri akan memutuskan untuk
menerbitkan penetapan (beschikking)
ketidakhadiran dimaksud. Penetapan Hakim
yang dimaksudkan menjadi dasar bagi Balai
Harta Peninggalan setempat dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pengurus
harta kekayaan serta yang mewakili dan yang
membela segala kepentingan dari si tak hadir
tadi, akan tetapi penetapan hakim dimaksud
baru dapat dilaksanakan oleh Balai Harta
Peninggalan setempat sesudah penetapan itu
58
33 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/
mempunyai kekuatan hukum (in kracht van
gewijsde).34
Apabila dikaitkan dengan penyelesaian likuidasi
sebelumnya perlu dikaji terlebih dahulu apakah
yang dimaksud dengan subjek hukum ini
termasuk Pemerintah yang dalam hal ini
merupakan kreditur Bank Dalam Likuidasi.
Pemerintah sebagai salah satu subjek hukum
dalam tindakan perdata, maka Pemerintah
merupakan badan hukum, karena menurut
Apeldoorn, negara, propinsi, kotapraja dan
lain sebagainya adalah badan hukum. Hanya
saja pendiriannya tidak dilakukan secara
khusus, melainkan tumbuh secara historis.35
Pemerintah dianggap sebagai badan hukum,
karena Pemerintah menjalankan kegiatan
komersial (acts jure gesionis).
Pemerintah sebagai badan hukum juga dapat
di temukan dalam pasal 1653 BW, yang
menyebutkan:
“ Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan
orang-orang sebagai badan hukum juga di
akui undang-undang, entah badan hukum itu
diadakan oleh kekuasaan umum atau di akui
sebagai demikian, entah pula badan hukum
itu di terima sebagai yang di perkenankan
atau telah didirikan untuk suatu maksud
tertentu yang tidak bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan”.
Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa
hal yang dapat dijadikan dasar untuk
mendukung penyelesaian likudasi dengan
penyerahan sisa aset Bank Dalam Likuidasi
kepada Balai Harta Peninggalan, yaitu:
1. Adanya subjek hukum yang tidak hadir,
dalam hal ini kreditur Bank Dalam Likuidasi.
Untuk menentukan ketidak hadiran ini
harus dilakukan pengumuman bagi para
kreditur atau apabila krediturnya
Pemerintah, Pemerintah dapat menyatakan
tidak hadir dan pernyataan tersebut yang
dijadikan sebagai dasar penetapan hakim
mengenai ketidakhadiran tersebut.
2. Adanya harta kekayaan dari orang yang
dinyatakan tak hadir, dalam hal ini sisa
aset Bank Dalam Likuidasi.
3. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna
mengurus seluruh atau sebagian harta
kekayaan itu, alasan yang mendesak dalam
hal ini adalah penyelesaian likuidasi bank
yang berlarut-larut, ketentuan yang ada
tidak mengaturnya dan terdapat potensi
pengembalian keuangan negara.
4. Adanya Penetapan Pengadilan Negeri
setempat tentang ketidakhadiran
(afweizigheid) seseorang;
5. Adanya permintaan dari yang
berkepentingan dalam hal ini bisa
dilakukan oleh Tim Likuidasi ataupun oleh
Bank Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka
pemikiran penyelesaian likuidasi bank dengan
cara menyerahkan pengurusan kepada Balai
Harta Peninggalan patut dipertimbangkan
diatur dalam Undang-undang tentang Balai
Harta Peninggalan yang saat ini sedang
dilakukan pembahasan oleh Pemerintah.
c. Penafsiran Tugas Balai Harta Peninggalan
dalam mengurus harta peninggalan yang
tidak terurus
Pengertian peninggalan yang tidak terurus
(Onbeheerde) adalah tidak ada yang
menguasai/memiliki/mengurus, hal ini dapat
dilihat dalam ketentuan (Pasal 520, 1126
59
34 Syuhada, “Analisis hukum terhadap kewenangan balai harta peninggalan dalam pengelolaan harta kekayaan yang tidak diketahui pemilik dan ahliwarisnya (studi di Balai Harta Peninggalan Medan)” (Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan 2009).
35 L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Noor Komala, 1982)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
KUHPerdata/BW). Sedangkan untuk harta tak
terurus berdasarkan (Pasal 1126, 1127, 1128
KUHPerdata/BW) dapat diberikan batasan
yaitu ”Jika suatu warisan terbuka, tidak
seorangpun menuntutnya ataupun semua ahli
waris yang dikenal menolaknya, maka
dianggaplah warisan itu sebagai tak terurus”.
Berdasarkan ketentuan di atas, Unsur-unsur
harta tak terurus antara lain:36
1. Adanya orang yang meninggal dunia;
2. Adanya harta yang ditinggalkan oleh
almarhum/almarhumah;
3. Tidak ada ahli waris, atau jika ada para ahli
waris menolak adanya warisan tersebut;
4. Tidak terdapat bukti otentik yang berisikan
pengurusan harta peninggalan itu;
Dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan,
definisi Harta Peninggalan tidak terurus adalah
suatu warisan yang tidak seorangpun
menggugat atau semua ahli waris yang dikenal
menolaknya.37
Proses pengurusan harta peninggalan diawali
dengan adanya Penetapan dari Pengadilan
Negeri Setempat akan adanya ketidakhadiran
maupun harta tak terurus. Pengurusan harta
tak terurus dilakukan dengan adanya proses
pemeriksaan harta peninggalan seseorang
yang telah meninggalan dunia yang akta
kematiannya diperoleh dari Kantor Catatan
Sipil yang dilaporkan kepada Balai Harta
Peninggalan. Setelah menerima laporan
kematian tersebut, Balai Harta Peninggalan
wajib mengurus harta tersebut dengan
melakukan langkah-langkah antara lain:38
1. Pendaftaran budel bila dirasakan perlu;
2. Melakukan penyegelan terhadap budel
tersebut;
3. Memberitahukan kepada Kejaksaan Negeri
setempat;
4. Memberitahukan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan;
5. Mengumumkan dalam Berita Negara dan
sedikitnya 2 (dua) surat kabar dengan ikhtisar
pengumuman mengenai pemanggilan para
ahli waris atau pihak yang berkepentingan;
Terkait dengan langkah-langkah yang harus
dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan dalam
RUU tentang Balai Harta Peninggalan diatur
bahwa:
1. Apabila suatu warisan terbuka, tidak ada
seorangpun yang menggugat atau semua
ahli waris yang dikenal menolaknya maka
warisan tersebut merupakan harta
peninggalan tak terurus.
2. Balai Harta Peninggalan demi hukum
ditugaskan menjalankan pengurusan atas
setiap harta peninggalan tidak terurus
dan wajib memberitahukannya kepada
kejaksaan.
3. Dalam hal ada perbedaan pendapat
mengenai harta peninggalan terurus atau
tidak terurus maka atas permintaan yang
berkepentingan atau atas usul jaksa demi
kepentingan umum, pengadilan
mengeluarkan penetapan.
4. Dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari setelah adanya penetapan,
pengadilan wajib menyampaikan salinan
penetapan tersebut kepada Balai Harta
Peninggalan.
60
36 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/
37 Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.
38 Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
5. Balai Harta Peninggalan wajib
mengumumkan adanya harta tidak terurus
sebagaimana dalam surat kabar dan Berita
Negara.
Apabila dikaitkan dengan permasalahan
penyelesaian likuidasi bank, setelah Tim
Likuidasi diberikan perpanjangan waktu untuk
menyelesaikan likuidasi namun masih terdapat
aset yang tidak dapat dicairkan dan Bank
Indonesia sebagai pengawas bank dalam
likuidasi sudah memandang likuidasi harus
segera diakhiri. Aset tersebut ditawarkan
kepada kreditur, dalam hal kreditur melakukan
penolakan atau menolak untuk menerima
aset bank dalam likuidasi tersebut. Tim
Likuidasi dapat meminta pengadilan untuk
mengeluarkan penetapan bahwa aset tersebut
merupakan harta yang tidak terurus. Atas
dasar penetapan pengadilan tersebut maka
pengurusan aset tersebut diserahkan kepada
Balai Harta Peninggalan.
Atas dasar pemikiran tersebut maka pengaturan
penyelesaian likuidasi bank dalam likuidasi
dalam RUU tentang Balai Harta Peninggalan
merupakan salah satu solusi penyelesaian
permasalahan likuidasi bank.
d. Memberikan tugas penyelesaian likuidasi
bagi Balai Harta Peninggalan
Selain pemikiran yang telah diuraikan di atas,
terdapat alasan lain yang dapat digunakan
sebagai landasan usulan penyelesaian
permasalahan likuidasi melalui Balai Harta
Peninggalan, yaitu dalam RUU tentang Balai
Harta Peninggalan, Balai Harta Peninggalan
diberikan tugas tambahan yaitu melaksanakan
penyelesaian asset eks bank dalam likuidasi.
Dasar pemikiran tersebut adalah dengan
melihat bahwa salah satu tugas dari Balai Harta
Peninggalan dapat bertindak selaku kurator
dalam kepailitan.
Tugas Balai Harta Peninggalan untuk
menyelesaikan kepailitan telah diatur dalam
Pasal 13 Peraturan Kepailitan Stb. 1905 No.
217. Kemudian sekarang diatur dalam Pasal
1 angka 5 jo. Pasal 70 ayat (1) huruf a UU
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU). Dalam undang-undang tersebut
disebutkan bahwa Kurator adalah Balai Harta
Peninggalan atau orang perseorangan yang
diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus
dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan
Undang-Undang ini.
Secara esensial terdapat persamaan karakter
antara kepailitan dan likuidasi bank. Keduanya
merupakan lembaga exit policy dengan fokus
menyelesaikan hak dan kewajiban atas suatu
badan hukum yang tidak dapat lagi menjalankan
usahanya.39
Terkait dengan permasalahan ini Zulkarnain
Sitompul40 berpendapat bahwa secara teoritis,
terdapat dua mekanisme penyelesaian bank
bermasalah yaitu melalui proses kepailitan dan
melalui proses likuidasi. Pada awalnya di banyak
negara, hukum perbankan tidak mengatur
kepailitan bank. Bank bermasalah diselesaikan
dengan hukum kepailitan umum. Bank yang
ijin usahanya dicabut dilikuidasi berdasarkan
ketentuan hukum perusahaan. Kemudian,
di negara-negara yang hukum kepailitannya
tidak memberikan perlindungan yang cukup
bagi nasabah dan kreditur lainnya atau tidak
memberikan perlindungan bagi sistem
perbankan, prosedur likuidasi khusus
61
39 Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006)
40 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank, (Pilars N0.28/Th. VII/12-18 Juli 2004), diakses dari http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-bdbpilar.pdf
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
diberlakukan bagi bank dan diatur dalam
hukum perbankan. Alasannya adalah
penerapan hukum kepailitan umum kepada
bank bermasalah menimbulkan kesulitan. Pada
saat krisis perbankan misalnya, pengadilan
akan kewalahan menyelesaikan banyaknya
bank bermasalah. Kondisi ini menjadi
pembenaran terhadap pengecualian bank dari
prosedur kepailitan melalui pengadilan. Oleh
karena itu bank-bank bermasalah diselesaikan
melalui mekanisme extra judicial.
Berdasarkan pendapat di atas ditinjau dari sisi
lembaganya likuidasi dan kepailitan mempunyai
beberapa kesamaan. Selanjutnya dari sisi
pelaksanaanya dapat kita perbandingkan antara
tugas kurator dengan tugas Tim Likuidasi.
Berdasarkan Pasal 16 UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), Kurator berwenang
melaksanakan tugas pengurusan dan/atau
pemberesan atas harta pailit sejak tanggal
putusan pailit diucapkan meskipun terhadap
putusan tersebut diajukan kasasi atau
peninjauan kembali.
Begitupun dengan Tim Likuidasi dalam
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999
tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran
dan Likuidasi Bank mengatur bahwa Tugas
Tim Likuidasi adalah melakukan tindakan
penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank
sebagai akibat pencabutan izin usaha dan
pembubaran badan hukum bank.
Terdapat beberapa kesamaan antara tugas
dan wewenang kurator dengan tugas dan
wewenang Tim Likuidasi yaitu:41
a. Pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Dalam ketentuan likuidasi diatur juga
bahwa Tim Likuidasi bertugas untuk
pemberesan aset Bank Dalam Likuidasi.
b. Mengumumkan putusan hakim tentang
pernyataan pailit dalam berita negara dan
surat kabar yang ditetapkan hakim
pengawas. Begitupun dalam ketentuan
likuidasi diatur mengenai kewajiban
mengumumkan.
c. Menyelamatkan harta pailit. Dalam
ketentuan likuidasi Tim Likuidasi berwenang
untuk melakukan penyelamatan aset Bank
Dalam Likuidasi termasuk melakukan
gugatan.
d. Menyusun inventaris harta pailit. Tim
Likuidasi juga diwajibkan untuk menyusun
neraca berupa neraca verifikasi dan neraca
akhir likuidasi.
e. Menyusun daftar hutang dan piutang harta
pailit. Dalam likuidasi hal ini tercantum
dalam neraca verifikasi.
f. Berwenang membuka surat yang ditujukan
pada si pailit (yang berkaitan dengan harta
pailit). Kedudukan Tim Likuidasi adalah
bertindak untuk dan atas nama Bank Dalam
Likuidasi oleh karena itu Tim Likuidasi
berwenang untuk melalukan segala
tindakan yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban Bank Dalam Likuidasi.
g. Memindahtangankan harta pailit,
menyimpan harta pailit dan membungakan
uang tunai. Dalam ketentuan likuidasi hal
ini termasuk dalam wewenang Tim
Likuidasi dalam menyelesaian pencairan
aset dan pembayaran kewajiban Bank
Dalam Likuidasi.
h. Berwenang untuk membuat perdamaian.
Dalam ketentuan likuidasi Tim Likuidasi
berwenang untuk melakukan perundingan
dan tindakan lainnya dalam rangka
penjualan harta kekayaan dan penagihan
terhadap para debitur.
62
41 Perbandingan antara tugas dan kewenagan kurator sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan tugas dan wewenang Tim Likuidasi yang diatur dalam PP No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI No. 32/53/KEP/DIR.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
i. Kurator harus menyampaikan laporan
kepada hakim pengawas mengenai keadaan
harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap
3 bulan. Untuk Tim Likuidasi penyampaian
pelaporan kepada Bank Indonesia.
j. Selama menjalankan tugasnya dapat diganti
dengan kurator oleh pengadilan setiap
waktu setelah memanggil dan mendengar
Kurator, dan mengangkat kurator lain dan
atau mengangkat kurator tambahan.
Dalam ketentuan likudasi kewenangan
untuk mengganti Tim Likuidasi merupakan
kewenangan Bank Indonesia.
k. Sebagai pengemban tugas pengurusan
terhadap harta pailit, kurator mempunyai
hak untuk mendapatkan imbalan sebagai-
mana ketentuan Pasal 76 UU No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
bahwa imbalan jasa yang dibayarkan kepada
kurator ditetapkan berdasarkan pedoman
yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
dibidang hukum dan perundang-undangan.
Pedoman imbalan jasa kurator berpedoman
pada Keputusan Menteri Kehakiman RI
No. M. 09-HT.05.10 Tahun 1998 tentang
Pedoman Besarnya Imbalan Jasa Kurator
dan Pengurus. Ketentuan mengenai
pemberian honor dan fee kepada Tim
Likuidasi juga diatur dalam ketentuan
likuidasi.
Dengan memperhatikan uraian di atas, terdapat
beberapa kesamaan antara likuidasi dengan
kepailitan juga antara tugas kurator dan tugas
Tim Likuidasi. Sehubungan dengan itu apabila
Balai Harta Peninggalan yang selama ini telah
melakukan tugas sebagai korator, dan
mengingat karakteristik yang sama antara
tugas kurator dengan Tim Likuidasi, maka
secara praktek Balai Harta Peninggalan juga
dalam melakukan tugas Tim Likuidasi dalam
menyelesaikan proses likuidasi. Oleh karena
itu cukup berdasar apabila dalam undang-
undang tentang Balai Harta Peninggalan yang
sedang disusun diatur juga mengenai tugas
Balai Harta Peninggalan untuk menyelesaikan
likuidasi dan dapat bertindak sebagai Tim
Likuidasi.
e. Penyelesaian likudasi melalui penyerahan
sisa aset Bank Dalam Likuidasi kepada
Pemegang Saham.
Alternatif penyelesaian ini merupakan salah
satu alternatif yang pernah ditawarkan oleh
Bank Indonesia kepada Kementerian Keuangan
dalam rangka penyelesaian likuidasi bank yang
disampaikan melalui surat Bank Indonesia
Nomor 6/4/GBI/DPIP Tanggal 9 Juni 2004
Tentang Penyelesaian Akhir Likuidasi 16 Bank
Dalam Likuidasi. Yaitu alternatif penyelesaian
dengan cara Tim Likuidasi mengagendakan
penyelesaian sisa aset yang merupakan hak
Pemerintah dalam pelaksanaan RUPS dan
meminta RUPS menetapkan sisa aset diserahkan
kepada Pemerintah selaku kreditur mayoritas.
Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun
1999 mengatur bahwa setelah pelaksanaan
tahap pembayaran yang terakhir, masih
terdapat kelebihan harta, Tim Likuidasi
membagikan sisa dimaksud kepada para
pemegang saham secara pro rata. Selanjutnya
tagihan yang timbul setelah proses likuidasi
dapat diajukan terhadap sisa hasil likuidasi
yang menjadi hak pemegang saham.
Kemudian Pasal 24 Peraturan Pemerintah No.
25 Tahun 1999 mengatur dalam hal harta
kekayaan bank dalam likuidasi tidak cukup
untuk memenuhi seluruh kewajiban bank
dalam likuidasi tersebut maka kekurangannya
wajib dipenuhi oleh anggota direksi dan
anggota dewan komisaris serta pemegang
saham yang turut serta menjadi penyebab
kesulitan keuangan yang dihadapi oleh bank
atau menjadi penyebab kegagalan bank.
63
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Selanjutnya dalam Pasal 32 SK Dir BI No.
32/53/KEP/DIR sebagai ketentuan pelaksanaan
dari Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999
diatur Dalam rangka melakukan tugas untuk
membagikan sisa harta kepada pemegang
saham berlaku ketentuan:
a. Apabila setelah pelaksanaan tahap
pembayaran terakhir masih terdapat
kelebihan harta, Tim Likuidasi membagikan
sisa harta dimaksud kepada para pemegang
saham secara pro rata sesuai dengan
kepemilikan jumlah saham.
b. Tagihan yang timbul setelah proses likuidasi
dapat diajukan terhadap sisa hasil likuidasi
yang menjadi hak pemegang saham.
Ketentuan likuidasi mengatur penyerahan aset
bank dalam likuidasi kepada pemegang saham
dilakukan dalam hal seluruh kewajiban bank
dalam likuidasi telah diselesaikan dan masih
terdapat sisa aset. Tentunya kondisi tersebut
akan jarang ditemui dalam kasus bank dalam
likuidasi. Karena kondisi bank dalam likuidasi
secara umum masih punya banyak kewajiban
kepada kreditur dalam hal ini yang paling
banyak kepada Pemerintah, dan masih terdapat
aset yang tidak dapat dicairkan karena aset
bank dalam likuidasi banyak aset yang
bermasalah.
Sebagaimana disebutkan dimuka bahwa
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 10 Tahun 1998, Peraturan
Pemerintah No. 25 Tahun 1999 dan SK Dir BI
No. 32/53/KEP/DIR menempatkan posisi Rapat
Umum Pemegang Saham sebagai lembaga
yang cukup sentral dimana bank setelah izin
usahanya dicabut oleh Bank Indonesia,
kemudian diperintahkan untuk mengadakan
RUPS guna membubarkan badan hukum bank
dan membentuk Tim Likuidasi untuk kemudian
melalui dilakukan proses likuidasi. Selain itu
pada akhir likuidasi Tim Likuidasi diwajibkan
untuk mempertanggungjawabkan hasil
kerjanya kepada pemegang saham sebelum
Tim Likuidasi tersebut dibubarkan oleh
pemegang saham melalui Rapat Umum
Pemegang Saham.
Sehubungan dengan posisi pemegang saham
seperti itu maka terdapat kemungkinan apabila
proses likuidasi sudah tidak dapat dilanjutkan
oleh Tim Likuidasi karena kewajiban Bank
Dalam Likuidasi masih ada dan masih terdapat
aset yang tidak dapat dicairkan, maka pada
akhir likuidasi yaitu pada saat Tim Likuidasi
mempertanggungjawabkan hasil kerjanya
kepada Rapat Umum Pemegang Saham,
sekaligus dalam Rapat Umum Pemegang
Saham tersebut, Tim Likuidasi menyerahkan
seluruh aset dan kewajiban kepada Pemegang
Saham.
Namun demikian dalam Rapat Umum
Pemegang Saham harus diputuskan bahwa
setiap pencairan aset bank dalam likuidasi
oleh pemegang saham harus digunakan untuk
membayar kewajiban kepada kreditur dalam
hal ini Pemerintah. Untuk memperkuat hasil
keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
tersebut masing-masing pemegang saham
perlu diikat secara hukum yaitu dengan
membuat pernyataan bahwa setiap pencairan
aset akan digunakan untuk membayar
kewajiban kepada kreditur dalam hal ini
Pemerintah.
Tentunya pemilihan alternatif penyelesaian
seperti ini diperlukan itikad baik dari para
pemegang saham untuk menyelesaikan
likuidasi dan menyelesaikan kewajiban kepada
Pemerintah. Karena apabila pemegang saham
tidak beritikad baik dan malah sebaliknya
mereka membuat keputusan yang
menguntungkan para pemegang saham, maka
tindakan tersebut akan menimbulkan potensi
hilangnya pengembalian uang Pemerintah.
64
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
4. Pengaturan Pengakhiran Likuidasi Bank
Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin
Simpanan
Tidak seperti halnya ketentuan likuidasi dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 yang
masih mendudukan posisi pemegang saham dalam
posisi yang cukup sentral yaitu berperan dalam
pembentukan dan pembubaran Tim Likuidasi dan
juga berpengaruh dalam menerima pertanggung-
jawaban hasil kerja Tim Likuidasi, dalam UU LPS
diatur bahwa segala hak dan wewenang
pemegang saham, termasuk hak dan wewenang
RUPS diambil alih oleh LPS. Dengan dilakukannya
pengambilalihan segala hak dan wewenang
pemegang saham, termasuk hak dan wewenang
RUPS, LPS dapat melakukan pemberesan aset dan
kewajiban dari bank yang dicabut izinnya oleh LPP.
Kewenangan melakukan pemberesan aset dan
kewajiban dimaksudkan untuk memaksimalkan
pengembalian (recovery) dana penjaminan.42
Dengan pengambilalihan segala hak dan
wewenang pemegang saham, termasuk hak dan
wewenang RUPS oleh LPS mengakibatkan
pelaksanaan likuidasi oleh Tim Likuidasi menjadi
terbebas dari pengaruh para pemegang saham
sehingga Tim Likuidasi dapat menjalankan tugasnya
lebih profesional tanpa adanya campur tangan
dari pemegang saham.
Begitupun juga halnya terkait dengan pengakhiran
likuidasi, Peraturan LPS (PLPS) rupanya telah
meminimalkan segala kemungkinan terjadinya
kebuntuan dalam proses pengakhiran likuidasi
seperti yang selama ini terjadi. Dalam PLPS Nomor
1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank, diatur bahwa
dalam hal masih terdapat aset yang belum bisa
dicairkan dalam waktu 3 bulan sebelum berakhirnya
jangka waktu pelaksanaan likuidasi (maksimal 4
tahun), Tim Likuidasi melakukan evaluasi mengenai
potensi sisa aset. Dalam hal masih terdapat potensi
pencairan aset maka Tim Likuidasi mengajukan
perpanjangan jangka waktu likuidasi untuk
menyelesaikan pencairan sisa aset tersebut.
Adapun syarat perpanjangan tersebut yaitu: a.
Perkiraan nilai pencairan aset melebihi biaya yang
dibutuhkan untuk pencairan aset tersebut termasuk
biaya operasional likuidasi akibat dari perpanjangan
tersebut, dan b. jangka waktu pelaksanaan
likuidasi bank masih dapat diperpanjang.
Dalam hal tidak terdapat potensi pencairan aset,
maka Tim Likuidasi dapat melakukan:
a. penghapusan aset yang sebelumnya dinilai nihil
dalam Neraca Sementara Likuidasi43 (sebelum
melakukan penghapusan aset tersebut Tim Likuidasi
wajib memberitahukan rencana penghapusan
aset tersebut kepada LPS paling lambat 7 hari
sebelum tanggal penghapusan aset tersebut dan
wajib melaporkan hasilnya kepada LPS); dan b.
menawarkan sisa aset selain aset sebagaimana
huruf a sebagai pembayaran non tunai kepada
LPS selaku kreditur prioritas.
Dalam hal LPS menolak penawaran sisa aset
tersebut atau masih terdapat sisa aset setelah
dilaksanakan pembayaran dalam bentuk non tunai
kepada LPS maka Tim Likuidasi menawarkan sisa
aset tersebut kepada kreditur selain LPS sesuai
urutan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat
(1).44
65
42 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan.
43 Neraca sementara likuidasi adalah neraca pertanggal pencabutan ijin usaha yang disusun oleh Tim Likuidasi berdasarkan neraca penutupan yangtelah diaudit dengan memperhitungkan aset berdasarkan nilai likuidasi (vide Pasal 1 angka 19 PLPS No. 1/PLPS/2011).
44 Pasal 38 PLPS No. 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank mengatur bahwa ururan pembayaran adalah: a. Penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang;b. Penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; c. Biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terhutang dan biaya operasional kantor; d. Biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan atau pembayaran atas klaim penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; e. Pajak terutang; f. Bagian simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan g. Hak kreditur lainnya.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Apabila sampai dengan batas waktu yang
ditentukan tidak ada kreditur yang bersedia atau
tidak memberikan tanggapan untuk menerima
sisa aset sebagai pembayaran non tunai maka
kreditur yang bersangkutan dianggap melepaskan
haknya terhadap sisa aset yang ditawarkan
tersebut. Dalam kondisi demikian namun masih
terdapat kewajiban yang belum diselesaikan maka
Tim Likuidasi mengajukan penghapusan sisa aset
kepada LPS sebagai RUPS. Atas sisa aset tersebut
LPS dapat melakukan penagihan/pencairan baik
oleh LPS sendiri maupun menunjuk pihak lain.45
5.1.Simpulan dan Saran
Atas dasar hasil analisa dan dengan mengacu dari
berbagai literatur, berdasarkan sumber data baik
primer maupun sekunder, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Penyelesaian likuidasi dengan cara penyerahan
aset dari Tim Likuidasi kepada Pemerintah
sebagai kreditur mayoritas dan sebagai pihak
yang menggantikan kedudukan nasabah
penyimpan secara hukum mempunyai dasar
yang kuat. Oleh karena itu penyelesaian
likuidasi bank dengan cara tersebut merupakan
alternatif yang patut dipertimbangkan untuk
penyelesaian likuidasi bank yang dicabut izin
usahanya pada periode 2004/2005.
2. Secara hukum pemberian kewenangan kepada
Tim Likuidasi setelah berakhirnya jangka waktu
likuidasi mutlak diberikan, hal ini diperlukan
untuk memberikan legitimasi kepada Tim
Likuidasi sehingga menunjang kelancaran Tim
Likuidasi dalam melaksanakan tugasnya untuk
menyelesaikan likuidasi.
3. Terdapat beberapa alternatif yang dapat
ditempuh untuk menyelesaikan likuidasi selain
dengan pola penyelesaian melalui penyerahan
sisa aset bank dalam likuidasi kepada
Pemerintah, yaitu dengan cara:
a. Penyerahan pengurusan likuidasi kepada
Balai Harta Peninggalan. Solusi penyelesaian
dengan cara ini secara hukum dimungkinkan,
sehingga dapat menjadi pertimbangan
untuk dijadikan materi undang-undang
tentang Balai Harta Peninggalan yang
sekarang sedang disusun oleh Pemerintah.
b. Melalui penyerahan sisa aset bank dalam
likuidasi kepada pemegang saham, dimana
dalam penyerahan tersebut pemegang
saham harus dimintakan komitmen bahwa
setiap pencairan aset bank dalam likuidasi
tersebuit diprioritaskan untuk membayar
kewajiban bank dalam likuidasi kepada
para krediturnya yang dalam hal ini kreditur
terbesar adalah Pemerintah.
5.2.Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka sebagai
masukan atas permasalahan tersebut kiranya perlu
dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Bank Indonesia dan Pemerintah agar segera
mengambil sikap dalam menyelesaikan
permasalahan likuidasi bank khususnya
penyelesian likuidasi bank yang dicabut izin
usahanya pada tahun 2004/2005.
2. Proses likuidasi harus segera diselesaikan karena
akan menimbulkan berbagai dampak hukum,
yaitu:
a. Tidak adanya kepastian hukum dalam
penyelesaian likuidasi bank.
b. Penurunan nilai aset BDL yang berpotensi
mengurangi pengembalian uang Pemerintah.
c. Biaya Operasional yang tetap harus dibayar
oleh BDL termasuk honor TL dan Staf
Pendukung sehingga akan mengurangi
pengembalian uang Pemerintah.
d. Kemungkinan adanya tuntutan dari
kreditur dan pemegang saham atas aset
yang masih dikelola oleh Tim Likuidasi,
sehingga akan berpotensi mengurangi
jumlah aset yang dapat dikuasai oleh
Pemerintah sebagai pembayaran kewajiban
BDL kepada Pemerintah.
66
45 Pasal 45 PLPS No. 1/PLPS/20011.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
3. Penyelesaian likuidasi melalui penyerahan
pengurusan likuidasi kepada Balai Harta
Peninggalan kiranya perlu dilakukan kajian
oleh Pemerintah sehingga dapat dijadikan
materi dalam undang-undang tentang Balai
Harta Peninggalan yang saat ini tengah disusun
oleh Pemerintah.
67
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti 2000).
Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut, Cetakan Pertama, (Jakarta: Bank Indonesia Februari 2002).
L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Noor Komala, 1982)
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung; Citra Aditya Bakti).
J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996).
M.Yahya Harahap, SH. Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
M. Yahya Harahap , Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
Rachmad Setiawan, J Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, National Legal Reform Program, (Jakarta: Gramedia
2010).
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:PT, Raja Grafindo Persada, 2006) hlm.177.
Sjafruddin, SH., M.Hum, Tugas Pokok Dan Fungsi Balai Harta Peninggalan Dalam Lingkup Kementerian Hukum Dan Hak
Asasi Manusia Dikaitkan Dengan Peraturan-Peraturan Pelaksanaan, dikutip dari http://www.djpp.depkumham.go.id/
Siti Ismijati, Prof. Dr., Kajian Pengelolaan Ast Eks, Bank Dalam Likuidasi oleh Menteri Keuangan Dari Perspektif Ilmu
Hukum Perata disampaikan dalam Rapat Kerja Terbatas Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi, DPKNSI, Ditjen
Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI, 2011.
Syuhada, “Analisis hukum terhadap kewenangan balai harta peninggalan dalam pengelolaan harta kekayaan yang tidak
diketahui pemilik dan ahliwarisnya (studi di Balai Harta Peninggalan Medan)” (Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan 2009).
Wahyudi Santoso, Kompleksitas Likuidasi Bank Dalam Perspektif Perusahaan, (Jakarta: Tesis Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2006)
Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Bandung:Vorkink-Van Houve 1959).
Zulkarnain Sitompul, Likuidasi BDB dan Efektifitas Pengawasan Bank, (Pilars N0.28/Th. VII/12-18 Juli 2004), diakses dari
http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/likuidasi-bdbpilar.pdf
DAFTAR PUSTAKA
68
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Undang-undang No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Pasal 6 ayat (2) dan Penjelasan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 1/PLPS/2011 tentang Likuidasi Bank
Mahkamah Agung, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI,
1994).
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Balai Harta Peninggalan
Rancangan Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan, Draft Ke-3 Tahun 2012 tanggal 30 April 2012.
69
Halaman ini sengaja dikosongkan
A. Latar Belakang
Keterhubungan manusia di seluruh dunia dan
keteraksesan terhadap informasi secara global adalah
dua manfaat perkembangan teknologi informasi yang
fundamental. Dengan Internet, informasi dapat diakses
dan tersebar secara cepat dan luas. Berbagai informasi
yang dahulu sangat sulit diperoleh karena terbentur
waktu dan tempat kini dapat diakses dengan mudah
di Internet. Lagu-lagu luar negeri era 50-an, 60-an,
atau 70-an yang pada zamannya hanya dapat dimiliki
oleh segelintir orang dalam piringan hitam besar kini
dapat diakses oleh anak berumur 10 tahun. Video
klip serta film-film terbaru sudah dapat dinikmati
bahkan diunduh dari berbagai website, seperti
4shared.com, youtube.com, dan onlinewatchmovie.net.
Skandal-skandal besar yang dilakukan oleh para
birokrat2 dan selebritis maupun peristiwa baik yang
penting maupun yang dianggap remeh3 yang terjadi
di ujung belahan dunia kini tersedia di cyberspace.
Informasi-informasi ini dapat diakses secara bebas
71
PERLINDUNGAN PRIVASI DAN DATA PRIBADI:SUATU TELAAHAN AWAL
Oleh :
Josua Sitompul, S.H., IMM.1
Abstrak
Dalam era digital, semakin banyak produk yang diubah dalam bentuk digital dan diperdagangkan melalui berbagai
mekanisme transaksi elektronik. Data pribadi telah menjadi komoditas yang harus diserahkan sebelum pengguna atau
pelanggan menikmati produk yang ia pilih. Hal ini dapat mengancam privasi seseorang. Sebagai salah satu negara yang
sedang berkembang, Indonesia perlu menyikapi hal ini dengan, salah satunya, membangun regulasi yang kuat untuk
melindungi privasi dan data pribadi. Artikel ini mendiskusikan konsep perlindungan privasi dalam Konstitusi Indonesia
dan penerapannya dalam beberapa undang-undang. Kesimpulannya, perlindungan terhadap privasi bukan suatu perhatian
utama para pendiri Republik dalam penyusunan UUD 1945. Akan tetapi, perubahan signifikan terjadi sejak reformasi.
Berdasarkan pembahasan perubahan konstitusi Indonesia dan beberapa undang-undang dalam artikel ini, kesimpulan
lain yang dapat diangkat untuk dikembangkan ialah bahwa Indonesia terbuka untuk menerima ragam hak atau kebebasan
dasar yang diakui secara Internasional sebagai hak asasi, termasuk privasi, sepanjang sesuai dengan Pancasila. Perlindungan
terhadap privasi merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri pribadi yang dilindungi oleh Konstitusi, dan perlindungan
terhadap data pribadi merupakan bagian dari perlindungan terhadap privasi. Pengembangan regulasi untuk melindungi
data pribadi perlu dititikberatkan pada perlindungan terhadap diri pibadi.
Kata Kunci : privasi, data pribadi; perlindungan
1 Kasie Penindakan, Direktorat Keamanan Informasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika.
2 Skandal Silvio Berlusconi misalnya dari http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-14960214, diakses tanggal 29 Desember 2011.
3 Foto bayi pasangan selebritis Bollywood, Aishwarya Raid an Abhishek Bachchan, dihargai Rp2.6 milar, diakses 29 Desember 2011 dari http://www.lintas.me/article/4ecdd3c760e53726a6000899.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
dan gratis; yang dibutuhkan hanya Internet serta
komputer, laptop, atau smartphone. Di sisi lain, dengan
bantuan Internet, transaksi berbagai produk dapat
dilakukan dengan cepat dan mudah. Kita hanya perlu
memilih4 barang atau jasa yang dibutuhkan dari
berbagai penyedia, mengisi data yang diperlukan
pada format yang tersedia, membayarnya dengan
menggunakan kartu kredit ataupun uang elektronik
seperti paypal, dan menunggu produk. Demikian pula
dengan aplikasi-aplikasi menarik dalam smartphone
seperti whatsApp, ChatOn, dan Email yang dapat
mengintegrasikan semua kontak yang pengguna
miliki sehingga memudahkannya untuk berkomunikasi.
Akan tetapi, dalam melakukan transaksi elektronik
seperti ini, seseorang memberikan data kepada pihak
yang kemungkinan besar ia tidak kenal. Informasi
mengenai nama, alamat, email, dan nomor yang
dapat dihubungi serta nomor kartu kredit adalah data
yang lazim dipersyaratkan dalam suatu transaksi
secara elektronik. Begitu juga dengan penggunaan
aplikasi atau layanan dalam smartphone. Penyedia
layanan aplikasi kerap meminta akses terhadap kontak,
SMS, MMS, bahkan gambar atau video yang ada
dalam gadget pengguna.
Setelah transaksi dilakukan, setelah produk telah
diterima oleh pembeli, selama pengguna masih
menggunakan layanan aplikasi, apa yang dilakukan
oleh penyedia terhadap data yang telah diberikan?
As, Neft (2003) mengingatkan “[t]here is an enormous
amount of information about is in other people’s
hands, and one thing is certain – some of us will be
harmed by it. We just don’t know who, when, or
how badly.5 Apakah akan segera dihapus, tetap
disimpan, atau ditransaksikan dengan pihak lain?
Bagaimana pengguna dapat mendapatkan kepastian
bahwa data yang ia berikan tidak disalahgunakan?
Pertanyaan-pertanyaan ini yang menjadi isu penting
dalam wacana perlindungan terhadap privasi,
sebagaimana telah diangkat dalam berbagai media
belakangan ini.6 Kondisi ini membawa pada satu
pertanyaan penting, yaitu bagaimana sistem hukum
di Indonesia perlu dikembangkan untuk melindungi
privasi – secara khusus data pribadi – warga negara
dalam dunia siber?
Sebagai negara yang memiliki pengguna Internet
sebanyak 30 juta dalam regional Asia dan tingkat
pertumbuhan internet yang meningkat sebesar
1,400% dalam kurun waktu 2000-20107, privasi dalam
cyberspace tentunya harus menjadi concern utama
berbagai pihak. Pertumbuhan pengguna facebook8
di Indonesia meningkat drastis dari tahun 2009 dengan
jumlah 2.3 juta meningkat menjadi 20.7 juta pengguna
di tahun 2010 dan pada tahun 2011 jumlah pengguna
menjadi 35.1 juta; dengan kata lain pertumbuhan
pengguna facebook di Indonesia dalam kurun waktu
2009-2011 adalah 1,412%. Statistik ini menjadikan
Indonesia menjadi negara kedua pengguna facebook
terbesar setelah Amerika Serikat.9 Internet juga
72
4 Dalam hasil pencarian buku di amazon.com, ada 4.384 textbooks yang memuat kata privacy sebagai judul, sedangkan dalam hasil pencarian aksesoris komputer di ebay.com, ada 30.325 halaman yang masing-masing halaman memuat 50 produk. diakses 29 December 2011.
5 Nehf, James P., Recognizing the Societal Value in Information Privacy (January 20, 2003). Washington Law Review, Vol. 78, pp. 1-92, 2003. Diakses dari SSRN: http://ssrn.com/abstract=1989235
6 Kebocoran Data Pribadi Gawat, Senin 18 Februari 2013, 08:16 diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2013/02/18/08161710/Kebocoran. Data.Pribadi.Gawat, tanggal 14 Maret 2013; UU Cybercrime Sangat Penting bagi Indonesia, Selasa, 12 Maret 2013, 04:47, diakses dari http://www.beritasatu.com/digital-life/101381-uu-cybercrime-sangat-penting-bagi-indonesia.html, tanggal 14 Maret 2013.
7 Suber Internet World Stats, http://www.internetworldstats.com/stats.htm dan http://www.internetworldstats.com/stats3.htm, diakses pada 11 Januari 2011.
8 Facebook merupakan salah satu situs jejaring sosial yang memberikan berbagai layanan interaktif. Sebelum dapat menggunakan layanan yang diberikan facebook, seseorang harus melakukan registrasi dengan memberikan informasi nama, alamat email, jenis kelamin, dan tanggal lahir. Setelah melakukan registrasi, pengguna dapat menambahkan berbagai informasi lainnya dalam akun yang diberikan facebook, seperti riwayat pendidikan, pekerjaan, kegemaran (buku, makanan, musik, film). Pengguna juga dapat memperbarui status mereka, atau menambahkan foto atau video pribadi. Facebook menghubungkan antara pengguna dan teman-temannya serta kelompok yang diminati. Semua informasi yang diberikan pengguna dapat memberi petujuk mengenai siapa, karakter, termasuk status sosial pengguna.
9 http://www.nickburcher.com/2011/04/facebook-usage-statistics-1st-april.html, diakses tanggal 30 Desember 2011.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
memberikan dampak positif pada kegiatan transfer
dana di Indonesia. Penyelesaian akhir transaksi
pembayaran yang dilakukan transaksi dapat dilakukan
secara seketika (real-time). Berdasarkan catatan Bank
Indonesia, pada tahun 2009 rata-rata transaksi kliring
setiap hari di Indonesia tercatat 341 ribu dengan total
nominal mendekati Rp6.5 triliun. Berdasarkan Sistem
Real Time Gross Settlement Bank Indonesia, untuk
periode yang sama, rata-rata setiap hari mencapai
47 ribu transaksi dengan total nominal hampir Rp178
triliun.
Salah satu konsep pengaturan dalam dunia siber ialah
perlindungan yang diberikan dalam dunia nyata
diberikan pula dalam dunia siber. Dalam dunia riil
terdapat masyarakat yang terdiri dari kumpulan
manusia yang saling berinteraksi yang membutuhkan
aturan dalam bersikap tindak mulai dari norma sosial
sampai hukum, yaitu norma yang memberikan sanksi
yang memaksa dari negara. Dunia siber terdiri dari
masyarakat yang berasal dari dunia nyata dan akibat
aktivitas dalam dunia siber dapat berdampak nyata
dalam dunia riil. Oleh karena itu, dalam dunia siber
dibutuhkan aturan untuk mengatur masyarakat yang
ada dan berinteraksi di dalamnya. Mengingat dalam
dunia riil perlindungan terhadap privasi merupakan
isu penting karena privasi merupakan salah satu hak
asasi yang diakui dalam konstitusi di banyak Negara,
maka seharusnya, privasi seseorang dalam dunia siber
juga harus dilindungi sebagai hak asasi. Bagaimana
Konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia
membangun konsep perlindungan privasi dan
perlindungan data pribadi? Pemahaman ini akan
memberikan dasar yang kuat untuk menentukan
konsep perlindungan privasi dalam dunia siber, termasuk
pengembangan peraturan perundang-undangan terkait.
Privasi merupakan terminologi yang umum digunakan
masyarakat dan merupakan subjek yang telah dibahas
oleh sarjana dari berbagai sisi.10 Akan tetapi, terlepas
banyaknya tulisan yang telah dihasilkan maupun
pembahasan akademis yang diselenggarakan, usaha
mendefinisikan dan menentukan ruang lingkup privasi
adalah seperti usaha mendefinisikan dan menentukan
ruang lingkup hukum, yaitu usaha yang perlu
meskipun tidak dapat komprehensif dan konklusif.
Solove (2002) menilai bahwa penentuan konsep
privasi sangat penting dalam pembentukan hukum
dan kebijakan; privasi merupakan bagian penting
dari kemerdekaan seseorang, demokrasi, dan
kesejahteraan sosial.11 Solove mengakui bahwa privasi
masih merupakan konsep yang samar karena masih
terus berkembang seiring perkembangan waktu,
teknologi, dan zaman.
Mengingat privasi bukanlah konsep asali yang diatur
dalam Konstitusi Indonesia pertama, untuk memahami
ruang lingkup dan konsep privasi yang dianut dalam
Konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia,
perlu dibahas terlebih dahulu konsep privasi yang
berlaku secara internasional dan mengambil salah
contoh best practices yang berlaku di negara Amerika
Serikat. Negara ini memiliki sejarah perkembangan
privasi dalam sistem hukum common law yang
panjang serta didukung dengan literatur yang
memadai. Konsep-konsep yang dianut oleh negara
tersebut dijadikan pisau analisa dalam memahami
privasi dalam Konstitusi dan perundang-undangan.
Lebih lanjut, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai
sejarah pengaturan privasi dalam Konstitusi serta
pengaturan privasi dalam beberapa undang-undang,
yaitu UU 39/1999 tentang HAM, UU 11/2008 tentang
ITE, UU Perbankan, serta UU KIP. Dalam tulisan ini
ditegaskan bahwa perlindungan data pribadi
merupakan bagian dari perlindungan privasi
seseorang.
73
10 Warren dan Brandeis, The Right to Privacy, Harvard Law Review, Vol. IV, No. 5, Dec 15, 1890, mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan privasi adalah hak untuk menyendiri (the right to be let alone).
11 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, California Law review, Vol. 90, hal. 1093.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
B. Pengaturan Privasi di Amerika Serikat
1. Sejarah Pengaturan Privasi
Pengaturan privasi di Amerika Serikat memiliki
sejarah yang panjang.12 Pada masa revolusi di
Amerika Serikat, pengaturan privasi ditekankan
kepada kebebasan warga negara dari gangguan
yang dilakukan oleh pemerintah melalui tindakan
penggeledahan atau penyitaan berdasarkan surat
perintah yang tidak spesifik tanpa ada bukti yang
cukup untuk melakukan tindakan-tindakan
tersebut. Akibatnya, munculah pergolakan untuk
menegakkan hak privasi yang mendorong
diterbitkannya Bill of Rights yang dikukuhkan
dalam Amandemen Konstitusi yang Ketiga13,
Keempat14 dan Kelima.15,16
Selain penggeledahan dan penyitaan, masalah
privasi di Amerika Serikat juga muncul terkait
dengan sensus penduduk, persuratan, dan
telegrafi. Sensus penduduk yang diadakan
pertama kali tahun 1790 hanya meminta warga
untuk menjawab empat pertanyaan. Hasil sensus
dipublikasikan di tempat umum agar warga dapat
memperbaiki informasi jika terjadi kekeliruan.
Akan tetapi, pada tahun 1860, pertanyaan
bertambah menjadi hampir 150 pertanyaan yang
juga meminta informasi pribadi. Kebijakan
publikasi hasil sensus tetap berlangsung hingga
pada tahun 1870. Ketika sensus tahun 1890,
reaksi masyarakat sangat keras karena dalam
sensus tersebut dimintakan informasi pribadi
mengenai riwayat penyakit, ketidakmampuan,
kondisi keuangan seseorang. Menanggapi gejolak
tersebut, Kongres mengeluarkan pengaturan
untuk merahasiakan hasil sensus penduduk.17
Demikian juga dalam penyelenggaraan telegrafi
yang menimbulkan permasalahan privasi. Teknologi
telegrafi yang dipatenkan pada tahun 1837 atas
nama Samule Morse, berkembang pesat sebagai
alternatif media komunikasi. Akan tetapi, seiring
dengan perkembangan teknologi telegrafi,
teknologi penyadapanpun semakin berkembang.
Pada Perang Sipil (Civil War) yang terjadi dalam
kurun waktu 1861 – 1865, penyadapan terhadap
telegraf menjadi salah satu metode penting untuk
mengumpulkan informasi mengenai rencana dan
kekuatan musuh. Meskipun Perang Sipil telah
diselesai, praktik penggunaan penyadapan telegraf
untuk mengumpulkan informasi tetap dilaksanakan.
Hal ini menimbulkan gejolak yang besar di
masyarakat sehingga pada tahun 1880, rancangan
undang-undang untuk melindungi privasi telegraf
dikemukakan di Kongres.18
Dengan semakin berkembangnya teknologi
kamera dan fotografi serta persuratkabaran, usaha
perlindungan terhadap privasi menghadapi
lingkungan yang baru. Distribusi surat kabar
meningkat dengan pesat karena berkembangnya
74
17 Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1:6.
18 Priscilla Regan dalam Robert Ellis Smith, Ben Franklin’s Web Site: Privacy and Curiosity from Plymouth Rock to the Internet 12 (2000), supra note 18 hal 69, dalam Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1: 7-1:8.
12 Daniel J. Solove, 2006, A Brief History of Information Privacy Law, http://papers.ssrn.com/sol3/papers. cfm?abstract_id=914271 diakses 17 November 2010.
13 Third Amendment to the US Constitution: “No Soldier shall, in time of peace be quartered in any house, without the consent of the Owner, nor in time of war, but in a manner to be prescribed by law.”
14 Foruth Amendment to the US Consitution: “The right of the people to be secure in their persons, houses, papers, and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched, and the persons or things to be seized.”
15 Fifth Amendment to the US Consitution: “No person shall be held to answer for a capital, or otherwise infamous crime, unless on a presentment or indictment of a Grand Jury, except in cases arising in the land or naval forces, or in the Militia, when in actual service in time of War or public danger; nor shall any person be subject for the same offense to be twice put in jeopardy of life or limb; nor shall be compelled in any criminal case to be a witness against himself, nor be deprived of life, liberty, or property, without due process of law; nor shall private property be taken for public use, without just compensation.”
16 Solove, 2007, A Brief History of Information Privacy Law hal. 1:4-1:5.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
“yellow journalism”, yaitu jurnalisme yang memuat
berita yang tidak mementingkan kebenaran dan
keakuratan informasi, tetapi mementingkan berita
utama yang menarik untuk meningkatkan oplah.19
Berita skandal-skandal dan gossip terhadap orang-
orang tanpa fakta yang akurat menimbulkan
keresahan masyarakat yang besar. Hal inilah yang
menjadi latar belakang Warren dan Brandeis (1890)
menerbitkan sebuah artikel “The Right to Privacy”.
Warren dan Brandeis melihat adanya kekosongan
hukum dalam melindungi privasi seseorang.
Menurut mereka, sejarah Sistem Common Law
telah menunjukkan bahwa hukum melindungi
properti dan pribadi seseorang. Akan tetapi, seiring
perkembangan waktu, lingkup terhadap “properti”
dan “pribadi” berubah. Perlindungan terhadap
“properti” mencakup tidak hanya yang berwujud,
tetapi juga yang tidak berwujud. Sedangkan
perlindungan terhadap “pribadi” tidak hanya
terhadap fisik seseorang, tetapi juga perasaan dan
intelektualitas. Sistem hukum Common Law telah
mengenal adanya pengaturan mengenai larangan
menciderai tubuh seseorang, dan telah memperluas
pengaturan tersebut hingga larangan mencoba
menciderai seseorang. Selain perlindungan
terhadap fisik seseorang, hukum juga melindungi
martabat atau nama baik orang dengan melalui
pelarangan terhadap penyerangan kehormatan
atau nama baik seseorang (slander atau libel).
Tidak hanya itu saja, hukum juga dinilai perlu
untuk melindungi inteliktualitas seseorang
sehingga dikembangkanlah pengaturan tentang
intellectual property yang meliputi hak cipta,
paten, merk, dan rahasia datang. Kemudian telah
dikembangkan pula pengaturan mengenai “the
law of nuisance” yaitu perlindungan terhadap
kenyamanan (easement) yang melarang seseorang
untuk melakukan tindakan yang menimbulkan
ketidaknyamanan kepada orang lain, baik berupa
bau, kebisingan, asap, dan sebagainya.
Warren dan Brandeis menegaskan bahwa hukum
juga harus mengatur privasi yaitu “the right to be
let alone”.20 Yang mereka maksud dengan privasi
ialah kebebasan seseorang untuk mengekspresikan
diri yang meliputi emosi, pikiran, atau perasaan
dalam berbagai bentuk aktivitas tanpa ada
gangguan, khususnya gangguan dalam bentuk
publikasi atas dan dalam bentuk akses terhadap
hasil ekspresinya tanpa ada persetujuan dari orang
tersebut. Selain itu, termasuk ruang lingkup privasi
ialah segala informasi yang berkaitan dengan
seseorang; informasi tersebut biasanya berasal
dari ekspresi atau aktivitas sehari-hari, seperti fakta
mengenai hubungan seseorang dengan orang
lain. Tujuan dari perlindungan privasi menurut
mereka adalah “the peace of mind or the relief
afforded by the ability to prevent any publication
at all”. Dengan demikian, seseorang dapat
mengembangkan kehidupan pribadinya dengan
maksimal.
Warren dan Brendeis mengemukakan bahwa pada
dasarnya sistem common law telah memberikan
perlindungan terhadap privasi dengan memberikan
hak kepada setiap orang untuk menentukan
sampai sejauhmana segala aspek pribadinya akan
atau dapat dikomunikasikan kepada pihak lain.
Setiap orang tidak dapat dipaksa untuk
mengekspresikan dirinya, dan terhadap hasil
ekspresinya – dalam bentuk tulisan, lukisan, ucapan
atau bentuk lainnya – setiap orang juga diberikan
hak untuk membatasi publikasi terhadap hasil
ekspresinya itu. Lebih lanjut menurut mereka21
perlindungan terhadap privasi berbeda dengan
perlindungan terhadap nama baik seseorang
karena pada dasarnya nilai perlindungan terhadap
75
19 http://en.wikipedia.org/wiki/Yellow_journalism, diakses pada 8 Februari 2011. Dua surat kabar yang pada waktu itu menghadirkan Yello Jurnalism ialah New York World dan New York Journal.
20 Warren dan Brandeis, Ibid.
21 Warren dan Brandeis, Op.cit.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
privasi bersifat spiritual. Sedangkan nilai
perlindungan terhadap nama baik (pengaturan
mengenai libel dan defamation) bersifat materil.
Perlindungan terhadap privasi juga berbeda dengan
perlindungan terhadap kekayaan intelektual.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa
esensi privasi bersifat spiritual, maka perlindungan
yang diberikan oleh hukum seharusnya berupa
ketenangan batin seseorang (peace of mind).
Di lain pihak, hukum hak atas kekayaan intelektual
memberikan perlindungan terhadap hasil
intelektualitas seseorang yang bernilai ekonomis
berupa keuntungan yang dapat diperoleh dari
produksi dan pendistribusian hasil intelektualitas
yang dimaksud. Sebuah diary yang berisi rahasia
pribadi seseorang dan dipublikasi oleh orang lain
tanpa persetujuannya mungkin tidak melanggar
hak atas kekayaan intelektual, tetapi dapat
melanggar hak privasi pemilik diary karena yang
tidak dikehendaki oleh pemilik justeru publikasi
terhadap konten yang terdapat dalam diary
tersebut, dan bukanlah keuntungan yang timbul
dari publikasi buku yang dimaksud.
Warren dan Brendeis mengakui bahwa ruang
lingkup hak privasi perlu diperjelas, tetapi sebagai
gambaran, beberapa pedoman pengaturan
terhadap hak privasi dapat dilihat dari aspek-
aspek berikut.
a. Hak privasi tidak melarang publikasi hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan publik
atau kepentingan umum. Akan tetapi,
seseorang tetap memiliki hak untuk memilih
untuk tidak mempublikasi informasi tanpa
persetujuannya. Beberapa aspek yang menurut
mereka masuk dalam ruang lingkup privasi
ialah kehidupan pribadi, kebiasaan, hubungan
atau relasi seseorang.
b. Pengaturan terhadap privasi tidak melarang
publikasi privasi seseorang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan,
atau berdasarkan perintah pengadilan atau
otoritas lain yang berwenang.
c. Hak privasi menjadi hilang dalam hal orang
yang bersangkutan memberikan persetujuan
terhadap publikasi atas informasi pribadinya.
d. Yang menjadi esensi dari perlindungan
terhadap privasi bukanlah benar atau tidaknya
informasi yang dipublikasikan, tetapi
perlindungan terhadap publikasi informasi
tanpa persetujuan orang yang berhak.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa
artikel Warren dan Brendies mempengaruhi sistem
hukum common law di Amerika Serikat dengan
mulai diterimanya pengaturan hukum privasi dalam
bentuk tort (privacy tort). Pada awalnya privacy
tort diterapkan dalam kasus seperti publikasi foto
seorang perempuan yang sedang menjalani operasi
caesar, pemasangan kamera tersembunyi di dalam
kamar yang disewa oleh pasangan, publikasi
penyakit seorang wanita yang menurutnya
memalukan, dan publikasi gambar telanjang yang
diambil oleh polisi, serta penggunaan gambar
seseorang untuk kepentingan iklan tanpa
persetujuan.22
Sekitar tujuh puluh tahun kemudian, William
Prosser23 mengumpulkan preseden-preseden tort
kasus invasi terhadap privasi dan
mengklasifikasikannya ke dalam empat kategori,
yaitu:
1) penerobosan (intrusi) ke dalam kehidupan
pribadi seseorang, seperti mencari informasi
pribadi seseorang dengan melakukan
penyadapan;
2) pengungkapan fakta-fakta yang memalukan
tentang seseorang kepada publik, misalnya
mempublikasikan kebiasaan seseorang
memakan kotoran hidung;
76
22 Danielle Keats Citron, Mainstreaming Privacy Torts, California Law Review, Vol. 99, p. 101, 2011, U of Maryland Legal Studies Research Paper No. 2010-16, hal. 105-106.
23 William L. Prosser, Privacy, California Law Review, Vol. 48, No. 3, Agustus 1960.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
3) publikasi yang membuat masyarakat salah
menilai seseorang, seperti gossip-informasi yang
tidak lengkap dan cenderung dibuat samar;
4) penggunaan atribut dari identitas seseorang
untuk mengambil keungungan tanpa
persetujuan, seperti penggunaan foto
seseorang untuk iklan tanpa persetujuan;
2. Ruang Lingkup Privasi
Solove menegaskan bahwa banyak sarjana
berusaha untuk menentukan ruang lingkup privasi
dengan memberikan kriteria-kriteria privasi untuk
membedakan terminologi tersebut dengan
terminologi lainnya. Tujuan memberikan batasan
mengenai konsep privasi ialah untuk menentukan
karakteristik-karakteristik yang unik dari privasi
sehingga penggunaan terminologi ‘privasi’ dapat
mencakup hal-hal yang termasuk dalam ruang
lingkup privasi itu sendiri.24
Lebih lanjut menurutnya, konsep privasi sangat
dipengaruhi secara terus menerus oleh
perkembangan sejarah dan budaya masyarakat.
Oleh karena itu, konsep privasi dapat berubah
dan meluas cakupannya sehingga apa yang dulu
dianggap bagian dari publik dapat menjadi suatu
hal yang pribadi. Salah satu bagian penting dalam
perkembangan sejarah dan budaya masyarakat
ialah perkembangan teknologi yang juga
mempengaruhi konsep privasi dari masa ke masa.
Hukum, menurutnya, harus memberikan
kelenturan yang besar untuk mengkonsepsikan
masalah-masalah privasi.25
Perkembangan ruang lingkup privasi juga diangkat
oleh Jerry Kang (1998).26 Kang membagi ruang
lingkup privasi ke dalam tiga kelompok. Kelompok
pertama adalah privasi dalam arti ruang fisik, yaitu
bahwa seseorang memiliki ruang fisik pribadi yang
terpisah dari publik dan tidak boleh dilanggar oleh
siapapun. Konsep ruang fisik ini didasarkan pada
Amandemen Keempat Konstitusi Amerika Serikat.
Kelompok kedua ialah privasi dalam arti kebebasan
seseorang untuk menentukan pilihan tanpa campur-
tangan atau intervensi dari pemerintah atau orang
lain. Kelompok terakhir ialah privasi dalam arti
hak yang diberikan kepada seseorang untuk
mengontrol pemrosesan informasi pribadinya; yang
termasuk dalam pemrosesan ialah pengumpulan,
pengungkapan dan penggunaan. Menurut Kang,
ketiga kelompok tersebut tidak dapat dipisahkan
satu sama lain secara tegas.
Menurut Kang, perlindungan terhadap privasi
dapat didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung
dalam privasi. Pertama, pengaturan mengenai
privasi dapat melindungi diri dari hal-hal yang
memalukan; dalam budaya tertentu, pengungkapan
tindakan atau kelakuan seseorang dapat
mempermalukan orang tersebut meskipun kelakuan
atau tindakan tersebut tidak dapat disalahkan.
Misalnya tindakan buang air kecil; semua orang
melakukannya, tetapi mengambil foto orang yang
melakukan buang air kecil dan menaruhnya di
internet dapat mempermalukan orang tersebut.
Kedua, pengaturan terhadap privasi memberikan
dasar dalam hubungan yang bersifat intim;
kebebasan seseorang untuk memberikan informasi
kepada orang lain yang dapat mengungkapkan
dirinya sebenarnya dapat menciptakan hubungan
yang bersifat intim, seperti persahabatan atau
kekasih. Oleh karena itu, privasi terhadap informasi
seperti ini perlu dilindungi. Ketiga, perlindungan
terhadap privasi melindungi seseorang dari
penggunaan informasi pribadi yang tidak sesuai.
Penyalahgunaan tersebut dapat terjadi dengan
dua cara. Pertama, penggunaan informasi yang
tidak benar atau sesuai dapat berdampak pada
keputusan yang keliru. Informasi mengenai catatan
tindakan kriminal seseorang dapat membuat orang
77
24 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, 2002, California Law Review, Vol 90, hal. 1095-1096.
25 Daniel J. Solove, Conceptualizing Privacy, California Law Review, Vol. 90: 1087, 1088-1154, Hal. 1146.
26 Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transactions, Stanford Law Review, April 1998, Vol. 50, No. 4, hal.202-1203.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
tersebut sulit mendapatkan pekerjaan. Kedua,
pengambilan dan penggunaan informasi yang
benar untuk tujuan selain peruntukkannya dapat
menimbulkan kerugian. Pengambilan informasi
nomor telepon dari buku kuning dan
menggunakannya untuk melakukan penipuan
atau pengumpulan informasi kartu kredit
seseorang yang melakukan transaksi elektronik
dengan bantuan skimmer dan menggunakannya
untuk melakukan transaksi online adalah contoh-
contoh yang dimaksud.27
Kang mengambil ruang lingkup privasi informasi
dari the National Information Infrastructure tentang
Privacy and the National Information Infrastructure:
Principles for Providing and Using Personal
Information, bahwa yang dimaksud dengan privasi
terhadap informasi ialah “an individual’s claim to
control the terms under which personal
information – information identifiable to an
individual – is acquired, disclosed, and used.”28
Ruang lingkup privasi terhadap informasi ialah:
1. Informasi pribadi (personal information), yang
dimaksud dengan informasi pribadi ialah
“information identifiable to the individual”29.
“Pribadi” memiliki makna hubungan antara
informasi tertentu dengan seseorang, sehingga
terlepas apakah informasi tersebut bersifat
sensitif, privat, atau memalukan.30
2. Informasi yang bukan pribadi (nonpersonal
information). Untuk ruang lingkup privasi ini,
Jerry Kang mengemukakan konsep “residual
privacy interest”31 terhadap informasi yang
bukan pribadi, khususnya mengenai anonimitas.
Menurutnya, meskipun informasi telah dibuat
samar karena individu yang memberikan
informasi telah diganti menjadi sosok anonim,
orang tersebut masih memiliki hak privasi
terhadap sisa informasi sepanjang ia memiliki
kepentingan terhadap informasi tersebut karena
ia berhak atas seluruh proses, mulai dari
pengumpulan, pengungkapan, dan penggunaan
informasi. Selain itu, menurut Kang, dalam
hal informasi dapat menggambarkan suatu
grup secara langsung, tetapi tidak secara
langsung menggambarkan seseorang dalam
grup tersebut, informasi yang dimaksud
termasuk bagian dari informasi pribadi. Akan
tetapi ia menegaskan bahwa hak privasi hanya
diberikan kepada individu, dan bukan grup
atau organisasi.
Lebih lanjut, Solove juga mengajukan konsep
taksonomi dari privasi dengan menentukan
masalah-masalah yang dapat mengganggu privasi,
khususnya tindakan-tindakan yang melanggar
privasi. Melalui taksonomi ini, diharapkan sistem
hukum dapat memahami ruang lingkup privasi
dan membentuk aturan-aturan hukum yang
melindungi privasi. Dalam taksonomi yang
dimaksud, terminologi “privasi” adalah terminologi
payung32 dan model taxonomi yang dibangun
78
27 Jerry Kang, hal. 1212-1214.
28 Jerry Kang, hal. 1205. Lihat juga Privacy Working Group Information Policy Committee Information Infrastructure Task Force (IITF), 6 Juni 1995, diakses dari http://aspe.hhs.gov/datacncl/niiprivp.htm pada tanggal 2 Januari 2012. Yang mau ditekankan di sini ialah bahwa perhatian utama tentang pentingnya perlindungan terhadap informasi pribadi telah ditegaskan sejak tahun 1995.
29 Diambil dari IITF
30 Jerry Kang, hal. 1206-1207. Informasi dapat mengarahkan kepada atau menggambarkan seseorang dengan tiga cara: (a) hubungan antara penulis informasi dan seseorang. Suatu informasi dapat dibuat atau disiapkan oleh seseorang dalam suatu komunikasi antara dirinya dengan pihak lain. Informasi tersebut dapat berupa surel pribadi, atau foto-foto pribadi; (b) informasi dapat mendeskripsikan seseorang selain berdasarkan hubungan antara penulis dan seseorang. Contohnya adalah informasi mengenai golongan darah, jenis kelamin, tanggal lahir, tinggi dan berat-
badan, sidik jari, atau DNA. Informasi tersebut dapat memberikan gambaran mengenai seseorang, termasuk hubungan sosial, catatan kriminal, atau tingkat pendidikannya serta aktivitas yang dilakukannya; (c) informasi selain dua kategori tersebut tetapi masih bersifat pribadi jika informasi tersebut dipetakan lebih jauh. Nomor Keamanan Sosial (Social Security Number) bukanlah informasi yang dibuat oleh seseorang dan juga tidak menyatakan aktivitasnya. Akan tetapi, dengan menggunakan alat atau perangkat tertentu, SSN dapat memberikan informasi yang detail mengenai kehidupan seseorang.
31 Jerry Kang, hal. 1209.
32 Daniel J. Solove, A Taxonomy of Privacy, University of Pennsylvania Law Review Vol. 154, No. 3, January 2006, pp. 477 s.d. 560.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Solove menempatkan individu sebagai pusat dari
privasi. Ia mengajukan empat kelompok tindakan
yang dapat melanggar privasi, yaitu pengumpulan
informasi, pengolahan informasi, diseminasi
informasi, dan invasi.
3. Konstitusionalitas Privasi terhadap Informasi
Terkait dengan privasi terhadap informasi, Cate
dan Litan (2001)33 memberikan argumen bahwa
berdasarkan Konstitusi di Amerika Serikat,
perlindungan terhadap hak privasi sebagai hak
asasi baik dalam dunia konvensional maupun
dunia siber hanya diterapkan terhadap tindakan
yang dilakukan pemerintah.34 Mereka mengangkat
fakta bahwa Amandemen Keempat Konstitusi
Amerika Serikat35 ditujukan untuk melindungi
privasi seseorang dari campur tangan pemerintah
karena perlindungan yang diberikan hanya
ditujukan kepada penggeledahan dan penyitaan
yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini
aparat penegak hukum. Akan tetapi, di sisi lain,
berbagai pihak telah melihat perlunya perlindungan
terhadap privasi terhadap sektor privat, seperti
pembatasan dalam pengumpulan dan penggunaan
informasi pribadi dalam bisnis. Sayangnya, konsep
tersebut masih belum didukung dalam putusan-
putusan pengadilan di negara Amerika. Oleh
karena itu, mereka mengusulkan bahwa urgensi
perlindungan privasi terhadap sektor privat dapat
didasarkan pada Amendement Pertama Konstitusi
AS.36
Kang (1998) juga memiliki kesimpulan yang serupa.
Ia melihat pengumpulan informasi pribadi oleh
para pihak yang bertransaksi secara garis besar
tidak diatur oleh undang-undang. Amerika Serikat
tidak memiliki satu undang-undang privasi yang
komprehensif (omnibus) yang mengatur sektor
privat atau swasta dalam mengelola informasi
pribadi, seperti dimiliki di beberapa negara Eropa.
Pengaturan informasi pribadi di Amerika Serikat
beragam, tergantung dari cara penerimaannya,
siapa yang melakukan, dan bagaimana informasi
tersebut akan digunakan.37 Sayangnya, menurut
Kang, hukum federal di Amerika tidak mengatur
perlindungan informasi privasi seseorang terhadap
invasi yang dilakukan oleh sektor privat atau
swasta karena doktrin state action38 yang dianut
di Amerika, dan ketidakjelasan sampai sejauh
mana Konstitusi melindungi informasi privasi
seseorang. Dengan demikian, sistem tort mengenai
invasi terhadap privasi di Amerika tidak memberikan
pembatasan yang efektif terhadap pengelolaan
informasi.39
Ada beberapa statuta yang mengatur sektor
tertentu mengenai informasi pribadi, seperti
konsumen kartu kredit, pendidikan, komunikasi
elektronik, catatan kendaraan bermotor. Akan
tetapi, tidak ada dari statuta tersebut yang
membatasi para pihak yang bertransaksi untuk
mengumpulkan informasi.40
79
33 Fred Cate and Robert E. Litan, Constitutional Issues in Information Privacy, Joint Center, AEI-Brookings Joint Center for Regulatory Studies, Working Paper 01-11, September 2001, diakses dari http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=285397, tanggal 30 Desember 2011.
34 Cate dan Litan, hal. 4.
35 The right of the people to be secure in their persons, houses, papers, and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched, and the persons or things to be seized.
36 Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for a redress of grievances.
37 Jerry Kang, Information Privacy in Cyberspace Transactions, Stanford Law Review, Vol. 50, 1998 , hal. 1230.
38 Doktron state action adalah konsep hukum di Amerika Serikat yang mengakui bahwa perlindungan yang diberikan Konstitusi – seperti dalam Amandement XIV dan I – hanya dimaksudkan kepada kewenangan memaksa negara terhadap individu, dan bukan kewenangan memaksa yang dilakukan individu terhadap individu lainnya, http://rationalwiki.org/wiki/State_action_doctrine, diakses 1 Maret 2012.
39 Kang, hal. 1230-1231. Kang mengangkat contoh bahwa Privacy Act Amerika yang diundangkan tahun 1974 juga hanya ditujukan terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, dan bukan terhadap sektor swasta.
40 Jerry Kang, hal. 1232.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Fan (2011) juga mengangkat wacana bahwa
sistem hukum Amerika Serikat masih mencari
konstitusionalitas perlindungan privasi terhadap
informasi.41 Menurut Fan – secara hipotetis –
Konstitusi memberikan perlindungan tersebut
berdasarkan pemahaman bahwa hak privasi
terhadap informasi lahir dari intuisi moral
masyarakat yang menuntut adanya keseimbangan
kewenangan antara negara dan warganya,
termasuk pembatasan kewenangan negara dalam
melakukan invasi terhadap privasi seseorang.
Lebih lanjut menurut Fan, meskipun dalam
Konstitusi Amerika Serikat tidak secara tegas
tertulis eksistensi hak tersebut, perlindungan hak
privasi tetap tercakup dalam Konstitusi karena
pada dasarnya perlindungan terhadap privasi
merupakan perlindungan terhadap kebebasan
yang dilindungi Konstitusi, khususnya berdasarkan
Amandemen XIV Konstitusi AS.42 Seseorang bebas
memutuskan pilihan tanpa ada campur tangan
orang lain, termasuk pemerintah. Konstitusi
melindungi kebebasan seseorang karena pada
dasarnya manusia adalah makhluk otonom, dan
ada hubungan yang kuat antara privasi dengan
otonomi manusia, yaitu bahwa konsep privasi
adalah penegasan dari kebebasan manusia dari
interferensi orang lain. Privasi adalah bagian dari
ruang seseorang yang dapat dibawanya dan
bagian itu dilindungi dari gangguan yang tidak
diinginkan, termasuk hak seseorang untuk
mengungkap jati dirinya sebagai bentuk
otonomitas seseorang.43
Meskipun dalam Amandemen XIV tidak
menyebutkan adanya perlindungan terhadap
privasi secara eksplisit, hakim pada kasus Griswold
v. Connecticut memberikan pertimbangan bahwa
perlindungan privasi dapat ditemukan dalam
‘penumbra’44 dan ‘emanasi’ (pancaran) Konstitusi.
Namun demikian, beberapa pengadilan yang
menekankan legalitas memberikan pertimbangan
bahwa menginterpretasikan secara sangat luas
mengenai hak konstitusi yang tidak secara tegas
menyatakan hak tersebut merupakan suatu
tindakan yang tidak tepat sistem yurisprudensi.45
Fan mengemukakan bahwa “privacy is a
transitional lens that helps us view liberty in a
new light.” Intuisi dapat menjadi salah satu
pedoman yang sangat kuat dalam memberikan
pertimbangan hukum di pengadilan karena intusi
menyatukan pengalaman yang mungkin sulit
untuk diterjemahkan secara perkataan. Akan
tetapi Fan juga mengingatkan bahwa intuisi dapat
menimbulkan bias sehingga penggunaan intuisi
perlu dilakukan secara berhati-hati.46
C. Pengaturan Privasi dalam Instrumen Internasional
dan Regional
1. The Universal Declaration of Human Rights
The Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
merupakan pernyataan resmi Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa yang berisi pengakuan
80
41 Marry D. Fan, Constitutionalizing Information Privacy by Assumption, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1907278, diakses 10 Desember 2011.
42 Putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) Amerika terhadap Griswold v. Connecticut adalah salah satu perlindungan terhadap privasi seseorang dalam menentukan pilihan. Permasalahan dalam sengketa antara Negara Bagian Connecticut dan Grisworld adalah bahwa hukum Negara Bagian Connecticut pada waktu itu melarang segala bentuk penggunaan obat atau alat yang dapat mencegah pembuahan. Griswold membuka klinik kontrol kelahiran di Connecticut yang mengakibatkan ia ditahan, diadili, dan dinyatakan bersalah karena telah menyarankan penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah kelahiran. Terhadap keputusan tersebut, Griswold melakukan banding dengan dasar bahwa larangan penggunaan alat kontrasepsi oleh undang-undang Connecticut telah melanggar Amandemen XIV Konstitusi AS; Supreme Court memutuskan bahwa hukum Connecticut tersebut telah melanggar Konstitusi. Amandemen XIV Konsitusi AS: ‘no state shall make or enforce any law which shall abridge the privileges or immunities of citizens of the United States; nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process of law...nor deny any person the equal protection of the laws.”
43 Fan menyarikan dari pertimbangan Hakim Distrik Robert Carter, hal. 14.
44 Penumbra ialah bayangan kabur yang terjadi pada saat gerhana bulan.
45 The Sixth Circuit in J.P. v. DeSanti, dalam Fan, hal. 14.
46 Fan, hal. 27.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
dan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia pada tahun 1948. UDHR merupakan
respons negara-negara terhadap kejahatan
kemanusiaan yang terjadi pada waktu Perang
Dunia II. Isi deklarasi ini menekankan perlindungan
hak-hak asasi manusia sebagai individu. Kemudian,
pada tahun 1966, UDHR dijadikan dua instrumen
internasional, yaitu International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR) dan the International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
(ICESCR). Ketiganya disebut sebagai The
International Bill of Human Rights. Pada dasarnya
ICCPR mengatur pembatasan kewenangan negara
terhadap hak-hak asasi individu. Hak-hak sipil dan
politik sebagai hak asasi yang diatur dalam ICCPR
merupakan hak-hak negatif, yaitu hak-hak yang
akan terpenuhi apabila peran negara terbatas. Di
lain pihak, ICESCR mewajibkan peranan negara
dalam memenuhi hak-hak asasi manusia di bidang
ekonomi sosial dan budaya. Dengan kata lain,
peranan aktif negara dibutuhkan untuk menjamin
pemenuhan hak asasi manusia.47
Perlindungan terhadap privasi sebagai hak asasi
dinyatakan dalam Pasal 12 UDHR.48 Lebih lanjut,
privasi dikategorikan sebagai hak asasi manusia
dalam bidang sipil dan politik yang diatur dalam
Pasal 17 ICCPR, yaitu:
(1)No one shall be subjected to arbitrary or
unlawful interference with his privacy, family,
home or correspondence, nor to unlawful
attacks on his honour and reputation.
(2)Everyone has the right to the protection of
the law against such interference or attacks.
Pasal 17 ICCPR memberikan perlindungan dari
gangguan terhadap privasi, keluarga, rumah, atau
korespondensi yang dilakukan secara sewenang-
wenang dan tidak sah, termasuk pelanggaran
terhadap martabat atau reputasi seseorang. Yang
dimaksud “tidak sah” (unlawful) adalah tindakan
yang dilakukan tidak berdasarkan perundang-
undangan. Dengan kata lain, gangguan terhadap
privasi hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah
perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud
dengan “sewenang-wenang” (arbitrary) ialah
tindakan yang dilakukan melampaui kewenangan
yang diberikan perundang-undangan. Dengan
kata lain, meskipun perundang-undangan
memberikan kewenangan untuk mengganggu/
melanggar privasi seseorang, kewenangan tersebut
tidak boleh digunakan secara subjektif oleh
pengemban kewenangan. Kewenangan-
kewenangan yang dapat menimbulkan gangguan
atau pelanggaran terhadap privasi harus disebutkan
secara eksplisit dan detail dalam perundang-
undangan, termasuk situasi-situasi yang diizinkan
oleh perundang-undangan mengenai gangguan
terhadap privasi. Oleh karena itu, tindakan
intersepsi atau penyadapan terhadap alat
komunikasi termasuk perekaman percakapan pada
dasarnya merupakan hal yang dilarang.49
Penerapan dari ketentuan ini ialah, antara lain,
penggeledahan terhadap rumah seseorang harus
dibatasi hanya terhadap pencarian alat bukti yang
diperlukan dan tidak boleh menimbulkan gangguan
atau ancaman. Selain itu, pengumpulan dan
penyimpanan informasi dalam komputer, bank
data, dan media lainnya, oleh pemerintah, individu,
atau institusi harus diatur dengan undang-undang
sehingga informasi mengenai kehidupan pribadi
seseorang tidak jatuh ke tangan pihak yang tidak
memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang
81
47 Ifdal Kasim, Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik: Suatu Pengantar, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Tahun 2005, hal. 2, diakses dari http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_SIPOL.pdf, pada tanggal 17 Desember 2011.
48 Yaitu “no one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.”
49 General Comment No. 16: The right to respect of privacy, family, home and correspondence, and protection of honour and reputation (Art. 17): .08/04/1988.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
untuk menerima, mengolah dan menggunakan
informasi tersebut. Oleh karena itu, setiap individu
harus diberikan hak untuk mengetahui data
pribadinya yang dapat disimpan dan untuk tujuan
apa. Setiap individu juga berhak untuk memeriksa
datanya yang dikontrol oleh instansi pemerintah,
individu, atau institusi privat lainnya. Individu juga
diberikan hak untuk mengubah atau mengganti
informasi yang pernah diberikannya pada
pemerintah, instutusi privat, dan individu.50
Meskipun ICCPR tidak memberikan definisi atau
ruang lingkup privasi, tetapi Pasal 17 ICCPR
memberikan dasar bagi perlindungan terhadap
informasi pribadi sebagai hak asasi manusia.
Selain itu, prinsip penting lainnya ialah bahwa
perlindungan terhadap informasi pribadi seseorang
menjadi tanggung jawab pihak yang mengumpulkan
atau menyimpan informasi yang dimaksud, seperti
pemerintah, pelaku usaha, atau komunitas.
2. Directive 95/46/EC
Directive 95/46/EC on the Protection of Individuals
with Regard to the Processing of Personal Data
on the Free Movement of Such Data (Directive
95/46/EC) merupakan instrumen regional Uni
Eropa yang ditetapkan pada tahun 1995.
Perlindungan terhadap data pribadi, menurut
instrumen ini, sebagaimana terlihat dari judulnya,
merupakan bagian dari usaha perlindungan
terhadap pribadi. Lebih tegasnya menurut
instrumen ini, sistem pemrosesan data didesain
untuk mengabdi pada manusia dan sistem yang
dibangun harus menghormati hak-hak dan
kebebasan-kebebasan mendasar, khususnya hak
privasi. Sistem pemrosesan data dilain pihak juga
harus memiliki dampak positif dengan memberikan
kontribusi terhadap kemajuan ekonomi dan sosial,
ekspansi perdagangan serta kesejahteraan individu.
Data pribadi didefinisikan sebagai setiap informasi
yang terkait dengan individu yang teridentifikasi
atau dapat diidentifikasi. Sedangkan yang dimaksud
dengan pemrosesan data ialah segala bentuk
pengoperasian atau pengelolaan data pribadi baik
secara otomatis maupun manual yang mencakup
pengumpulan, perekaman, pengorganisasian,
penyimpanan, penyesuaian, penggunaan,
pengungkapan, pendiseminasian, dan penghapusan
data pribadi.
Negara-negara anggota menyadari adanya
perbedaan tingkatan perlindungan terhadap privasi
yang dapat membatasi transmisi data pribadi dari
satu negara anggota ke negara anggota lainnya.
Instrumen ini bertujuan untuk menghilangkan
hambatan pemrosesan data dengan menyesuaikan
tingkat perlindungan data di negara-negara
anggota, bukan dengan menurunkan tingkat
perlindungan privasi tetapi dengan memastikan
bahwa perlindungan privasi diberikan dalam
tingkatan yang tinggi. Beberapa prinsip penting
dalam pemrosesan data yang diatur dalam
instrumen ini ialah, antara lain, pertama pemrosesan
data pribadi harus dilakukan secara sah dan sesuai
hukum (lawful) serta fair terhadap individu yang
bersangkutan. Pada dasarnya, untuk dapat
dikatakan sah dan sesuai hukum, pemrosesan
data pribadi harus didasarkan pada persetujuan
dari individu tersebut, dan didasarkan pada
perlindungan terhadap kepentingan individu yang
merupakan bagian penting dari hidupnya.
Pemrosesan data disebut fair apabila individu
memahami bahwa data pribadinya diolah, dan ia
dapat mengetahui proses pengolahannya, serta
mengetahui dari mana data tentang dirinya
diperoleh, dan mendapatkan informasi tersebut
dengan akurat dan lengkap. Kedua, data yang
diproses harus secukupnya, relevan, dan tidak
berlebihan dalam hubungannya dengan tujuan
pemrosesan data. Ketiga, tujuan yang dimaksud
harus dinyatakan secara eksplisit dan sah serta
ditentukan pada saat pengumpulan data.
82
50 General Comment No. 16: The right to respect of privacy, family, home and correspondence, and protection of honour and reputation (Art. 17): .08/04/1988.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Negara anggota dapat menentukan secara spesifik
kondisi-kondisi dimana data pribadi dapat
diungkapkan kepada pihak ketiga untuk
kepentingan marketing. Akan tetapi, terhadap
hal ini, individu yang bersangkutan diberikan hak
untuk menolak pemrosesan data tersebut dengan
tidak dikenakan biaya dan tanpa perlu menyatakan
alasan penolakannya.
Perlindungan data pribadi warga negara-negara
anggota tidak hanya diberikan dalam pemrosesan
data dalam lingkup perdagangan negara-negara
anggota, tetapi juga dalam hal perdangangan
internasional. Maksudnya, perlindungan data
pribadi yang diproses di luar negara anggota harus
sama dengan standar yang diberikan negara
anggota berdasarkan Directive 95/46/EC. Apabila
negara ketiga tidak dapat memberikan jaminan
yang sama maka transfer data pribadi kepada
negara ketiga tidak boleh dilakukan.
3. APEC Privacy Framework
Negara-negara anggota APEC menyadari
pentingnya perlindungan privasi terhadap informasi
(information privacy) dan pengaturan pertukaran
informasi negara anggota. Negara anggota juga
menyadari bahwa rendahnya kepercayaan dan
keyakinan konsumen terhadap perlindungan privasi
dan keamanan transaksi secara online adalah
kondisi yang dapat menghambat perkembangan
perdagangan secara elektronik. Teknologi yang
ada memudahkan pengumpulan, penyimpanan,
dan pengaksesan informasi secara global yang
memberikan manfaat besar baik secara ekonomi
maupun sosial bagi pelaku usaha, individu,
termasuk pemerintah. Akan tetapi di sisi lain,
teknologi yang ada juga membuat individu semakin
sulit untuk memiliki kontrol terhadap data pribadi
mereka. APEC Privacy Framework merupakan
“ethical information practices in on- and off-lne
context to bolster the confidence of individuals
and businesses”.
APEC Privacy Framework menegaskan sembilan
prinsip dalam perlindungan privasi terhadap
informasi. Prinsip pertama ialah harus ada
perlindungan dari segala bentuk penyalahgunaan
terhadap informasi yang diberikan individu.
Sehubungan dengan itu, perlu ada pengaturan
mengenai kewajiban yang memperhitungkan
resiko dan pengaturan sanksi yang sesuai dengan
penyalahgunaan. Kedua, pengelola informasi
pribadi harus menyediakan informasi yang jelas
dan dapat diakses dengan mudah mengenai
kebijakan dan tindakan mereka terhadap informasi
pribadi. Ketiga, pengumpulan informasi pribadi
harus dibatasi hanya kepada informasi yang relevan
dengan tujuan pengumpulan, dan informasi harus
diperoleh secara sah dan sesuai hukum (lawful),
serta fair dan patut. Pengumpulan informasi harus
dilakukan berdasarkan pemberitahuan kepada,
atau persetujuan dari individu yang bersangkutan.
Sehubungan dengan itu, prinsip keempat
menegaskan bahwa penggunaan informasi pribadi
yang telah dikumpulkan harus digunakan hanya
untuk memenuhi tujuan dari pengumpulan, dan
tujuan lain yang sama dengan itu.
Prinsip kelima mengatur bahwa sepanjang
dimungkinkan, individu harus mendapat
mekanisme yang jelas dan dapat dimengerti dan
diakses dengan mudah dalam menentukan pilihan
terkait dengan pengumpulan, penggunaan, dan
pengungkapan informasi pribadi mereka. Keenam,
informasi pribadi harus terjaga keakuratan,
kelengkapan, dan keterbaruannya sesuai dengan
tujuan penggunaan informasi. Ketujuh, pengelola
informasi pribadi harus melindungi informasi
pribadi yang ada padanya dengan menerapkan
berbagai bentuk pengamanan yang proporsional
untuk menghadapi resiko seperti kehilanggan
atau akses yang tidak sah, perusakan, penggunaan,
pengubahan, pengungkapan, serta bentuk
penyalahgunaan lainnya. Kedelapan, individu
harus dapat menerima konfirmasi dari penggelola
informasi mengenai pengelolaan informasi yang
ia berikan. Individu juga harus dapat berkomunikasi
83
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
dengan pengelola, termasuk mempertanyakan
keakuratan informasi, dan dapat meminta
pengelola untuk memperbaiki, mengubah, atau
menghapus informasi. Terakhir, pengelola informasi
harus mematuhi prinsip-prinsip tersebut di atas.
Apabila pengelola akan mentransfer informasi
pribadi kepada orang atau organisasi lain, baik
dalam lingkup domestik maupun internasional,
ia harus memperoleh persetujuan dari individu,
atau mengambil langkah-langkah yang hati-hati
untuk memastikan bahwa pihak penerima
informasi akan melindungi informasi tersebut
konsisten dengan prinsip-prinsip yang dimaksud.51
Menurut Green (2012), APEC Privacy Framework
merupakan instrumen regional yang paling lemah
melindungi privasi dibandingkan EU Directive atau
OECD. Directive 95/46/EC, di lain pihak merupakan
instrumen regional yang paling banyak digunakan
sebagai acuan dalam penyusunan regulasi privasi.
Dari 39 negara di luar Eropa yang ia teliti, 33
diantaranya dipengaruhi oleh Directive 95/46/EC
dalam penyusunan regulasi privasi. Bahkan
menurutnya, Directive 95/46/EC memiliki potensi
untuk dijadikan sebagai instrumen internasional.52
D. Pengaturan Privasi dalam Perundang-undangan
di Indonesia
1. Perkembangan Pengaturan Privasi dalam
Konstitusi
Pengaturan hak privasi sebagai hak asasi manusia
dalam konstitusi dan peraturan perundang-
undangan di Indonesia telah dimulai pada sidang-
sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan
Persiapan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI dibentuk
pada tanggal 29 April 1945 dengan tujuan
menyusun rancangan UUD 1945. Dalam sidang-
sidang tersebut, pendapat Soekarno dan Soepomo
di satu sisi serta pendapat Mohammad Hatta dan
Muhammad Yamin di sisi lain membentuk dua
kutub aliran mengenai urgensi pengaturan hak
warga negara dalam konstitusi pertama Indonesia.
Soekarno dan Soepomo berargumen bahwa hak
warga negara tidak perlu dimasukkan dalam
konstitusi. Menurut Soekarno, pengaturan hak
warga negara dalam konstitusi Indonesia
merupakan ciri negara yang berlandaskan paham
liberalisme serta individualisme. Paham-paham
yang merupakan buah dari revolusi Perancis
tersebut telah menyebabkan lahirnya imperalisme
dan kapitalisme dan menimbulkan berbagai
permasalahan besar di dunia. Konstitusi Indonesia
seharusnya tidak berdasarkan liberalisme dan
individualism, tetapi berlandaskan paham
kekeluargaan, gotong-royong, serta keadilan sosial.53
Soepomo memiliki cara pandang yang berbeda
mengenai tidak-perlu-diaturnya hak warga negara
dalam konstitusi. Ia berargumen bahwa negara
Indonesia harus dibangun berdasarkan konsep
negara integralistik, yaitu kesatuan antara negara
dan seluruh rakyatnya. Dalam konsep negara
integralistik, individu merupakan suatu bagian
organik dari negara sehingga “hak individu menjadi
84
51 Beberapa kritik terhadap instrumen ini adalah bahwa APEC Privacy Framework merupakan instrumen yang lebih lemah dalam mengatur privasi dibandingkan instrumen internasional lainnya. Selain itu, instrumen ini tidak mengatur perlindungan data secara rinci. Implementation of the APEC Privacy Framework in National Regulation, Abu Bakar Munir, Workshop on International Data Sharing and Biometric Identification, Singapore, 2-3 Juli 2009 diakses dari http://www.hideproject.org/downloads/ws-singapore/HIDE_WS-Annex_ IIId-Presentation_Abu_Bakar_Bin_Munir-20090702.pdf pada tanggal 18 Maret 2013.
52 Greenleaf, Graham , The Influence of European Data Privacy Standards Outside Europe: Implications for Globalisation of Convention 108 (October 19, 2011). International Data Privacy Law, Vol. 2, Issue 2, 2012; UNSW Law Research Paper No. 2011-39; Edinburgh School of Law Research Paper No. 2012/12. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1960299. 53 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
tidak relevan dalam paham negara integralistik,
yang justeru relevan adalah kewajiban asasi kepada
negara”.54
Sebaliknya Mohammad Hatta dan Muhammad
Yamin tegas perpendapat perlunya mencantumkan
hak warga negara dalam konstitusi. Hatta menilai
bahwa kekuasaan yang besar yang diberikan
kepada negara dapat melahirkan otoritarianisme
seperti yang terjadi di Jerman sekitar tahun 1940an,
sedangkan negara Indonesia akan didasarkan pada
kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, pengaturan
hak warga negara dalam konstitusi merupakan
pertanggungjawaban negara kepada rakyat.
Ia menekankan bahwa diantara berbagai hak
warga negara yang perlu diatur dalam konstitusi,
hak kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan
merupakan hak yang harus dimunculkan dalam
konstitusi. Yamin menegaskan bahwa pengaturan
hak warga negara dalam konstitusi merupakan
satu keharusan dalam memberikan perlindungan
kepada warga negara yang merdeka.55
Konsep Hatta dan Yamin diterima untuk
dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945
tetapi dalam lingkup yang terbatas, yaitu bahwa
hak yang diatur dalam UUD merupakan hak warga
negara, dan bukan hak asasi manusia – hak hakiki
yang melekat sebagai seorang manusia.56
Terminologi hak asasi manusia tidak dijumpai
dalam pembukaan, batang tubuh, maupun
penjelasan UUD 1945.57
Menurut Purbopranoto (1975) pengaturan
hak-hak asasi manusia dalam konstitusi akan
terus berkembang dan akan tetap menjadi
permasalahan hukum. Perumusan hak asasi
manusia dalam UUD 1945 bukanlah perumusan
akhir. Meskipun pengaturan hak asasi akan terus
berkembang, tetapi, menurutnya, pengaturan
tersebut haruslah didasarkan pada Pancasila
sebagai kristalisasi nilai dan norma kehidupan
bangsa dan negara Indonesia.58 Dengan kata lain,
konstitusi sebagai sumber dari segala sumber
hukum dapat mengatur hak-hak asasi manusia
sesuai dengan perkembangan dalam bangsa
Indonesia dengan tetap berpegang pada nilai-
nilai Pancasila.
Purbopranoto melihat bahwa perumusan hak asasi
manusia dalam UUD 1945 belum disusun secara
sistematis, dan hanya ada empat pasal yang
mengatur hak asasi manusia, yaitu Pasal 27, Pasal
28, Pasal 29, dan Pasal 30. Keempat pasal ini
merupakan inti dasar kenegaraan berdasarkan
perundingan pada pendiri bangsa pada waktu itu
yang terdiri dari berbagai aliran.59 Perumusan UUD
1945 hanya memakan waktu 40 (empat puluh)
hari, yaitu sejak 29 Mei 1945 s.d. 16 Juli 1945.60
Ketergesa-gesaan inipun diakui oleh Soekarno’
Konstitusi Indonesia adalah UUD kilat.61
Abdul Hakim mencermati bahwa dalam
penyusunan Konsitusi ada begitu banyak
keberagaman yang harus disatukan, seperti budaya,
aliran pemikiran, dan kepentingan di antara
golongan masyarakat. Oleh karena itu, para pendiri
85
54 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238.
55 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 238-239.
56 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 240.
57 Majda el-Muhtaj, M.Hum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), hal. 61.
58 Kuntjoro Purbopranoto, Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila, Cetakan ke 4, hal. 13.
59 Kuntjoro Purbopranoto, hal. 28.
60 Majda el-Muhtaj, M.Hum Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002) mengutip Bahar, Saafroeddin, et. Al. (Peny) Risalah Sidang BUPIPKI-PPKI 29 Mei 1945 Jakarta Sekretariat Negara RI, 1995.
61 Majda el-Muhtaj, hal. 72, mengutip Bahar, Saafroeddin, et. Al. (Peny) Risalah Sidang BUPIPKI-PPKI 29 Mei 1945 Jakarta Sekretariat Negara RI, 1995. hal. 426.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
republik ini belum menekankan pada perlindungan
hak asasi manusia, tetapi membangun checks and
balances antar organ-organ negara legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.62
Hak privasi belum diatur dalam naskah asli
konstitusi karena – apabila dihubungkan dengan
diskusi para pendiri republik mengenai urgensi
pengaturan hak warga negara dalam konstitusi–
pengaturan hak privasi dianggap sebagai
penerimaan faham individualisme dan liberalisme
yang kuat ditentang pada waktu itu ke dalam
sistem pemerintahan serta budaya dan norma
masyakarat Indonesia.
Perdebatan pengaturan hak asasi manusia dalam
konstitusi juga muncul pada pembahasan UUD
Republik Indonesia Serikat63 dan UUD Sementara.
Dalam sidang-sidang Konstituante di tahun 1957-
1959, konsep hak asasi manusia sebagai natural
rights telah diterima.64 Dalam Bagian 5 UUD RIS
diatur mengenai “Hak dan Kebebasan Dasar
Manusia”. Demikian juga dalam Bagian V UUD
Sementara diatur mengenai “Hak-hak dan
Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia”.
Purbopranoto memberikan catatan penting
mengenai pengaturan hak asasi manusia dalam
tiga konstitusi Indonesia. Menurutnya hak-hak
asasi yang diatur dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal
29, dan Pasal 30 UUD 1945 didasarkan pada
“hidup kemasyarakatan Indonesia secara murni”
sedangkan pengaturan hak asasi dalam UUD
Sementara “sudah terang dipengaruhi oleh
Universal Declaration of Human Rights tahun
1948 … dan Konstitusi RIS tahun 1949.” Karena
pengaruh Universal Declaration of Human Rights
tersebut maka “titik berat perumusan UUDS itu
adalah terlegak pada perlindungan hak-hak azasi
manusia sebagai individu.”65
Menurut Purbopranoto, Pasal 12 Universal
Declaration of Human Rights66 telah dimasukkan
dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UUD RIS dan UUD
Sementara.67 Akan tetapi mencermati perumusan
dalam kedua konstitusi tersebut, pengaturan
privasi sebagai bagian penting dari Pasal 12
Universal Declaration of Human Rights tidak
diatur. Hal ini menunjukkan bahwa privasi masih
merupakan simbol dari individualisme dan
liberalisme barat yang masih bertentangan – atau
setidak-tidaknya belum dapat diterima – dalam
sistem pemerintahan serta budaya bangsa.68
Oleh karena itu, melihat perkembangan
pengaturan hak asasi manusia dalam Konstitusi
sejak tahun 1945 hingga 1950, dapat disimpulkan
bahwa negara Indonesia terbuka untuk menerima
ragam hak atau kebebasan dasar yang diakui
secara Internasional sebagai hak asasi serta terbuka
untuk mengaturnya dalam Konstitusi. Akan tetapi,
penerimaan dan pengaturan hak asasi manusia
dalam Konstitusi harus berdasarkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara
dan “ruh murni bangsa” Indonesia; Pancasila
merupakan ideologi bangsa dalam menerima atau
menolak suatu paham, termasuk menerima atau
menolak suatu hak atau kebebasan yang diakusi
sebagai hak asasi manusia dalam instrumen
internasional ke dalam Konstitusi Indonesia.
86
65 Purbopranoto, Hal. 51.
66 No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.
67 Purbopranoto, Apendix.
68 Tahun 1959, Soekarno yang pada waktu itu menjabat sebagai Presiden, membubarkan Konstituante dan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli. Dalam Dekrit itu, Presiden memerintahkan untuk kembali kepada UUD 1945.
62 Abdul Hakim G. Nusantara, Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Tahun XIX, Agustus 1989, hal. 318.
63 UUD RIS 1949 berlaku sejak 27 Desember 1949 s.d. 17 Agustus 1950, sedangkan UUD Sementara berlaku sejak 17 Agustus 1950 s.d. 5 Juli 1959.
64 Hukum Hak Asasi Manusia, Pusham UII, Yogyakarta, 2010, hal. 241.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Demikian juga dengan penerimaan privasi sebagai
hak dasar manusia dalam Konstitusi. Perlindungan
terhadap privasi memiliki semangat atau paham
individualis. Paham perlindungan terhadap privasi
merupakan paham yang dinilai banyak pihak
termasuk para pendiri bangsa sebagai bagian dari
paham liberal. Oleh karena itu, tidak tolak
penerimaan dan pengaturan privasi sebagai bagian
dari hak asasi manusia Indonesia juga harus
didasarkan pada “ruh murni bangsa” yang
terkandung dalam Pancasila. Salah satu nilai asali
bangsa Indonesia ialah komunalistik. Terhadap
nilai asali komunalistik ini, Supomo menegaskan
bahwa kolektivisme atau komunalistik merupakan
bagian penting yang hidup dalam hukum adat
Indonesia, satu sistem hukum yang tidak dimiliki
oleh negara-negara lain pada umumnya yang
menjadi karakter bangsa. Dalam hukum adat,
esensi kedudukan seorang individu berada dalam
hubungannya dengan masyarakat. Menurut
Supomo ‘dalam hukum adat Indonesia itu bukanlah
individu yang primair tetapi masyarakat. Dalam
suasana hukum adat orang itu terutama adalah
anggota masyarakatnya.’69 Manusia sejak awalnya
memiliki sifat komunal, dan bukan individual.
Menurutnya “manakala ada pertentangan antara
kepentingan seseorang dengan kepentingan
masyarakat, maka haruslah kepentingan seseorang
itu tunduk, sebab kepentingan masyarakat itu
adalah kepentingan semua warga (kepentingan
umum)... Di sinilah letak prinsip yang merupakan
azas kehidupan bangsa kita yang asli, yakni yang
menitikberatkan kepada kepentingan masyarakat
bersama yang bersifat kolektif dan tidak
individualistis atau perseorangan.”70
Berdasarkan pemikiran Supomo dan Purbopranoto
di atas, dapat ditegaskan di sini bahwa pada intinya
setiap manusia memiliki dua sifat dasar yang saling
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan dalam
diri manusia, yaitu sifat individu – yaitu manusia
sebagai pribadi kodrati – dan sifat komunal atau
sosial – manusia sebagai bagian dari masyarakat.
Privasi sebagai hak asasi manusia dapat diletakkan
dalam Konstitusi berdasarkan sila kemanusiaan
yang adil dan beradab. Karena sila ini merupakan
dasar dari pengaturan hak atau kebebasan asasi
manusia, termasuk tanggung jawab seseorang
terhadap Negara.71 Sebagaimana diungkapkan
oleh Purbopranoto bahwa perikemanusiaan
mencakup “segala pandangan hidup yang tertuju
pada manusia, baik dalam pergaulannya dalam
masyarakat, maupun dalam hubungannya dengan
negara.” Berpijak pada konsep ini, pengaturan
privasi dalam Konstitusi negara Indonesia dapat
diterima dalam konteks komunalistik yang
merupakan sifat asli bangsa, artinya perlindungan
terhadap privasi seseorang tunduk kepada
kepentingan umum. Dalam hal tidak ada
kepentingan umum yang menjadi penghalang,
privasi merupakan hak dasar yang harus dijunjung
tinggi.
Perubahan signifikan mengenai pengaturan hak
asasi manusia dalam konsitusi terjadi setelah
reformasi dimulai di Tahun 1998. Dalam kurun
waktu 4 tahun (1999 – 2002), Konstitusi RI telah
diamandemen sebanyak empat kali.72 Pengaturan
hak asasi manusia dalam konstitusi merupakan
hasil Amandemen II berdasarkan keputusan sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat tanggal 7-18
Agustus 2000. Dalam Konstitusi Amandemen II
ditambahkan satu bab tentang Hak Asasi Manusia
87
69 Purbopranoto, hal. 51.
70 Purbopranoto, hal. 64-65.
71 Purbopranoto, hal. 50.
72 Amandemen I merupakan hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan (MPR) Rakyat tanggal 14-21 Oktober 1999. Amandemen I menekankan mengenai fungsi dan kewenangan Presiden. Amandemen III merupakan hasil Sidang Umum MPR tanggal 1-9 November 2001. Dalam Konstitusi ditambahkan ketentuan, antara lain Dewan Perwakilan Daerah, Pemilihan Umum, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Pada tanggal 1-11 Agustus 2002, MPR kembali melakukan sidang dan menghasilkan Amandemen IV yang merupakan penyempurnaan dan penambahan pasal-pasal terkait dengan Dewan Pertimbangan Agung, Pendidikan dan Kebudayaan, serta Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
(dalam BAB XA). Pengaturan hak asasi manusia
dalam UUD NRI 1945 hasil amandemen telah
mengakomodir beberapa pengaturan-pengaturan
hak asasi dalam ICCPR maupun ICESCR. Kemudian
ketentuan dalam BAB XA diatur lebih lanjut dalam
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (UU HAM).
Dalam UUD NRI 1945 tidak digunakan terminologi
“privasi”. Konstitusi Indonesia juga tidak mengatur
secara tegas perlindungan terhadap privasi sebagai
hak asasi, tetapi Konstitusi Indonesia memberikan
pernyataan yang tegas bahwa perlindungan
terhadap diri pribadi seseorang merupakan hak
asasi. Perlindungan terhadap diri pribadi dapat
berupa perlindungan terhadap keamanan dan
kenyamanan seseorang, termasuk kebebasan
dalam mengekspresikan dirinya secara emosional.
Perlindungan terhadap privasi merupakan bagian
dari perlindungan terhadap diri pribadi. Dalam
dunia siber, perlindungan terhadap data pribadi
merupakan bagian dari perlindungan terhadap
privasi yang merupakan bagian dari perlindungan
terhadap diri seseorang.
2. Ruang Lingkup Privasi berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “privasi”
didefinisikan dengan “kebebasan pribadi” atau
“keleluasaan pribadi”.73 Meskipun definisi yang
sederhana ini belum dapat menjelaskan ruang
lingkup privasi, tetapi definisi ini dapat dijadikan
patokan dasar, yaitu bahwa ruang lingkup privasi
adalah kebebasan-kebebasan atau keleluasaan-
keleluasaan yang diberikan peraturan perundang-
undangan kepada seseorang sebagai pribadi atau
individu. Dalam bagian di bawah ini, diulas secara
umum mengenai pengaturan yang terkait dengan
perlindungan privasi, khususnya data pribadi dalam
beberapa undang-undang.
a. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
(UU HAM)
UU HAM juga tidak memberikan ruang lingkup
yang tegas mengenai privasi. Pasal 4 UU HAM
mengatur bahwa hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dan persamaan di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak-hak manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
dan oleh siapapun. Tidak ada penjelasan
apakah ‘hak privasi’ diterjemahkan sebagai
‘hak kebebasan pribadi’. Jika demikian, ruang
lingkup privasi menjadi sangat luas karena
pada Bagian Kelima dalam BAB III UU HAM
diatur mengenai ruang lingkup hak atas
kebebasan pribadi. Dalam bagian tersebut,
hak atas kebebasan pribadi meliputi hak:
1) untuk tidak diperbudak atau diperhamba74;
2) atas keutuhan pribadi baik rohani maupun
jasmani75;
3) untuk memeluk agama dan beribadah76;
4) untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politik77;
5) hak untuk mempunyai, mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat78;
6) untuk berkumpul, berapat, dan berserikat
untuk maksud-maksud damai79;
7) mendirikan partai politik atau organisasi
lainnya80;
88
73 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan, http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ diakses 23 Desember 2011.
74 Pasal 20 UU 39/1999.
75 Pasal 21 UU 39/1999.
76 Pasal 22 UU 39/1999.
77 Pasal 23 ayat (1) UU 39/1999.
78 Pasal 23 ayat (2) UU 39/1999.
79 Pasal 24 ayat (1) UU 39/1999.
80 Pasal 24 ayat (2) UU 39/1999.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
8) menyampaikan pendapat di muka umum,
termasuk hak untuk mogok81;
9) memiliki, memperoleh, mengganti, atau
mempertahankan status
kewarganegaraannya serta memilih
kewarganegaraan82; dan
10)secara bebas bergerak, berpindah, dan
bertempat tinggal dalam, serta
meninggalkan dan masuk kembali ke
wilayah negara Republik Indonesia.83,84
Akan tetapi, batasan yang lebih sempit dapat
mengacu dalam Pasal 31 ayat (1) UU HAM.
Dalam pasal tersebut diatur bahwa tempat
kediaman siapapun tidak boleh diganggu.
Kemudian dalam penjelasannya disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “tidak boleh
diganggu” adalah hak yang berkaitan dengan
kehidupan pribadi (privacy) di dalam tempat
kediamannya. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1)
UU HAM, salah satu privasi dapat diartikan
sebagai “kehidupan pribadi”. Konteks atau
ruang lingkup privasi dari pasal ini adalah
kehidupan pribadi (privasi) dalam kediaman
seseorang. Maksudnya, seseorang memiliki
kebebasan atau keleluasaan untuk bertindak
atau berbuat apa saja dalam kediamannya,
dan kebebasan itu tidak boleh diganggu oleh
siapapun juga.
UU HAM menekankan bahwa semua hak dan
kebebasan yang diatur di dalamnya hanya
dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-
undang. Demikian juga dengan privasi, terlepas
makna yang terkandung dalam privasi bersifat
luas atau sempit, pembatasan terhadap privasi
hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan
undang-undang.85
b. UU ITE
UU ITE mempersamakan hak pribadi dengan
hak privasi. Dalam penjelasan Pasal 26 UU ITE
diatur bahwa hak pribadi (privacy rigths)
mencakup (a) hak untuk menikmati kehidupan
pribadi dan bebas dari segala macam
gangguan; (b) hak untuk dapat berkomunikasi
dengan Orang lain tanpa tindakan dimata-
matai; (c) hak untuk tidak diawasi akses
informasi tentang kehidupan pribadi dan data
seseorang; dan (d) hak untuk menikmati
perlindungan data pribadi yang dipertukarkan
atau ditransaksikan secara elektronik. Yang
dimaksud dengan data Pribadi adalah data
perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat,
dan dijaga kebenaran serta dilindungi
kerahasiaannya.86
Lebih jauh diatur dalam PP 82/2012 sebagai
peraturan pelaksanaan UU ITE, penyelenggara
Sistem Elektronik dibebani kewajiban untuk
menjaga rahasia, keutuhan, dan ketersediaan
Data Pribadi yang dikelolanya. Selain itu,
Penyelenggara Sistem Elektronik juga wajib
menjamin bahwa perolehan, penggunaan,
dan pemanfaatan Data Pribadi berdasarkan
persetujuan pemilik Data Pribadi, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan, serta wajib menjamin penggunaan
atau pengungkapan data dilakukan
berdasarkan persetujuan dari pemilik Data
Pribadi tersebut dan sesuai dengan tujuan
yang disampaikan kepada pemilik Data Pribadi
pada saat perolehan data. Tidak hanya itu
saja, Penyelenggara Sistem Elektronik juga
wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pemilik Data Pribadi jika terjadi kegagalan
dalam perlindungan rahasia Data Pribadi yang
dikelolanya.
89
81 Pasal 25 UU 39/1999.
82 Pasal 26 UU 39/1999.
83 Pasal 27 UU 39/1999.
84 Perlu ditelaah lebih lanjut apakah ketentuan dalam Pasal 20 s.d. Pasal 27 UU 39/1999 dapat disebut sebagai hak privasi (hak pribadi).
85 Pasal 73 UU ITE. 86 Pasal 1 butir 27 PP 82/2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
c. UU Perbankan
Aspek perlindungan terhadap privasi atau data
pribadi yang diangkat dari UU Perbankan dan
aturan terkaitnya ialah aspek rahasia bank dan
aspek penggunaan data nasabah. Pengaturan
mengenai rahasia bank merupakan bagian
penting dalam perlindungan privasi, khususnya
data pribadi nasabah. Pengaturan ini merupakan
satu langkah preventif dalam menjaga
kepercayaan nasabah penyimpan. Ruang
lingkup rahasia bank ialah segala sesuatu yang
berhubungan dengan keterangan mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya.87 Bank
Wajib merahasiakan keterangan mengenai
Nasabah Penyimpan dan simpanannya.
Pengecualian terhadap kewajiban ini ialah
bahwa untuk kepentingan perpajakan,
kepentingan penyelesaian utang-piutang,
kepentingan peradilan dalam perkara pidana,
bank wajib memberikan keterangan mengenai
Nasabah Penyimpan dan simpanannya.
Pembukaan rahasia bank wajib terlebih dahulu
memperoleh perintah atau izin tertulis dari
pimpinan Bank Indonesia. Pengecualian lainnya
terhadap kewajiban menjaga rahasia bank ialah
untuk kepentingan tukar menukar informasi
antar bank, dan permintaan/persetujuan tertulis
dari nasabah atau kuasanya serta permintaan
ahli waris yang sah. Selain itu, keterangan
mengenai nasabah selain nasabah penyimpan
bukan merpakan keterangan yang wajib
dirahasiakan oleh bank.88
Terkait dengan kewajiban menjaga rahasia
bank, bank juga wajib menerapkan transparansi
informasi mengenai penggunaan data pribadi
nasabah.89 Yang dimaksud dengan data pribadi
nasabah ialah identitas yang lazim disediakan
oleh nasabah kepada bank dalam rangka
melakukan transaksi keuangan dengan bank.90
Bank wajib meminta persetujuan tertulis dari
nasabah dalam hal bank akan memberikan
dan/atau menyebarluaskan data pribadi
nasabah kepada lain untuk tujuan komersial,
yaitu penggunaan data pribadi untuk
memperoleh keuntungan. Dalam permintaan
persetujuan tersebut, bank wajib terlebih
dahulu menjelaskan tujuan dan konsekuensi
dari pemberian atau penyebarluasan data
pribadi kepada pihak lain. Permintaan
persetujuan dapat dilakukan bank sebelum
atau sesudah nasabah melakuken transaksi
yang berkaitan dengan produk bank. Nasabah
harus menandatangani formulir khusus –
sebagai bentuk persetujuan – yang memberikan
kewenangan bagi bank dalam memberikan
atau menyebarluaskan data pribadinya. Apabila
bank akan menggunakan data pribadi
seseorang atau sekelompok orang dari pihak
lain untuk tujuan komersial, bank wajib
memiliki jaminan tertulis dari pihak tersebut
bahwa orang atau sekelompok orang yang
dimaksud telah memberikan persetujuan
tertulis kepada pihak lain itu untuk
menyebarkan data pribadi mereka.91
d. UU KIP
UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik (KIP)92 juga memberikan gambaran
90
90 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
91 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
92 UU KIP dibentuk dalam rangka mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Negara menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan, program, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. UU 14/2008 juga bertujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
87 Pasal 1 butir 28 UU Perbankan.
88 Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank.
89 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
mengenai hak pribadi.93 Menurut undang-
undang ini, yang dimaksud dengan Informasi
Publik ialah informasi yang dihasilkan, disimpan,
dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu
badan publik yang berkaitan dengan
penyelenggara dan penyelenggaraan negara
dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan
badan publik lainnya serta informasi lain yang
berkaitan dengan kepentingan publik.94
Informasi Publik yang tidak dapat diberikan
oleh badan publik kepada publik, antara lain
adalah informasi yang berkaitan dengan hak-
hak pribadi.95 Hak pribadi yang dimaksud
adalah privasi dalam konteks informasi “yang
bersifat pribadi” atau informasi yang merupakan
“rahasia pribadi seseorang” yang tidak dapat
diungkap kepada pihak lain. Menurut UU KIP
informasi tersebut termasuk Informasi Publik
yang dikecualikan, yaitu:
(a) Informasi Publik yang apabila dibuka dapat
mengungkapkan isi akta otentik yang
bersifat pribadi dan kemauan terakhir
ataupun wasiat seseorang;
(b) Informasi Publik yang apabila dibuka dan
diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
(1) riwayat dan kondisi anggota keluarga;
(2) riwayat, kondisi dan perawatan,
pengobatan kesehatan fisik, dan psikis
seseorang;
(3)kondisi keuangan, aset, pendapatan,
dan rekening bank seseorang;
(4)hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan
kapabilitas, intelektualitas, dan
rekomendasi kemampuan seseorang;
dan/atau
(5)catatan yang menyangkut pribadi
seseorang yang berkaitan dengan
kegiatan satuan pendidikan formal dan
satuan pendidikan nonformal.
E. Beberapa Catatan
Berpijak pada konsep privasi yang dikemukakan oleh
Warren dan Brandeis yang kemudian diterima dalam
sistem common law di Amerika, perlindungan
terhadap privasi mengandung tiga unsur. Pertama,
esensi dari perlindungan terhadap privasi ialah tidak
adanya gangguan dari pihak manapun terhadap
seseorang dalam mengekspresikan dirinya dengan
berbagai bentuk atau cara. Kedua, tujuan dari
perlindungan privasi ialah untuk memberikan “the
peace of mind or the relief afforded by the ability to
prevent any publication at all”. Dengan demikian,
seseorang dapat mengembangkan kehidupan
pribadinya dengan maksimal. Ketiga, satu-satunya
dasar pihak lain untuk dapat mempublikasi ekspresi
atau hasil ekspresi seseorang adalah persetujuan
orang yang bersangkutan; pengecualiannya adalah
adanya ketentuan peraturan perundang-undangan,
perintah pengadilan, atau otoritas yang berwenang.
Ruang lingkup privasi sama banyaknya dengan jumlah
ranting pohon beringin. Menentukan ruang lingkup
privasi membutuhkan waktu dan usaha yang besar–
jika tidak dapat dikatakan mustahil. Konsep privasi
merupakan konsep yang terus berkembang dari masa
ke masa. Konsep privasi yang dikemukakan Warren
dan Brandeis pada awalnya mengangkat satu pihak
yang disoroti secara tajam oleh masyarakat sebagai
pihak selain pemerintah yang berpotensi melanggar
privasi, yaitu pers. Akan tetapi, seiring dengan
perkembangan teknologi, bermunculan pihak lain
yang dapat mengumpulkan dan pengungkapkan
informasi seseorang secara global, mulai dari
penyelenggara email atau situs jejaring sosial sampai
pada penyelenggara transaksi elektronik. Pihak yang
mengelola informasi memiliki kewenangan yang besar
dalam mengolah informasi yang diberikan. Mereka
memiliki akses terhadap sebagian kehidupan pribadi
91
93 Salah satu Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik ialah informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi. (Pasal 6 ayat (3) huruf c UU 14/2008)
94 Pasal 1 butir 2 UU KIP.
95 Pasal 6 ayat (3) huruf a.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
seseorang. Oleh karena itu, kewenangan yang
dimaksud berpotensi melanggar privasi orang lain
sehingga sudah sepatutnya kewenangan dan
kemampuannya ini dibatasi.
Setiap data memiliki nilai. Nilai tersebut bisa berupa
nilai non-ekonomis dan ekonomis yang dapat
dipengaruhi oleh begitu banyak faktor. Demikian juga
data pribadi. Data pribadi memiliki nilai bagi orang
yang memberikan, yang mengolah, atau pihak lain
yang terkait. Data pribadi seseorang merupakan
bagian dari privasi individu tersebut; perlindungan
terhadap data pribadi merupakan bagian dari
perlindungan privasi seseorang. Lebih tegasnya,
perlindungan terhadap data pribadi merupakan bagian
dari perlindungan terhadap individu atau pribadi
sebagai hak asasi yang diatur dalam Konstitusi.
Teknologi memudahkan masyarakat dalam melakukan
transaksi dengan cepat dan efisien. Teknologi juga
memudahkan pemrosesan data dalam rangka agregasi,
integrasi, dan klasifikasi. Setiap individu yang
melakukan transaksi secara online, atau setiap individu
yang memberikan informasi pribadinya sebagai salah
satu syarat penggunaan layanan, pada batas tertentu
akan sampai pada suatu kondisi bahwa ia tidak punya
pilihan selain mengungkap identitas atau memberikan
data pribadinya agar transaksi tersebut dapat
berlangsung atau layanan yang dimaksud dapat
digunakan. Pada saat itu nilai data pribadi harus
dipertukarkan dengan layanan yang diberikan dalam
satu transaksi elektronik. Penyalahgunaan teknologi
juga memudahkan penyalahgunaan data pribadi,
baik yang sifatnya mengganggu privasi maupun
sampai kepada tindak pidana.
Masyarakat mengharapkan data pribadinya terjaga
kerahasiaan, integritas, serta ketersediaannya.
Masyarakat mengharapkan pihak yang mengumpulkan
dan mengolah data pribadinya dapat bertindak dengan
sah dan sesuai hukum (lawful) serta fair dan beritikad
baik. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab
untuk membangun, memfasilitasi, dan
mengembangkan sistem perlindungan data warga
negara yang menghargai dan melindungi privasi
(pribadi) warga negara. Sistem yang dimaksud juga
harus dapat memenuhi kebutuhan pengembangan
perekonomian dan perdagangan baik domestik
maupun internasional serta peningkatan kesejahteraan
masyarakat, termasuk harus dapat melindungi
kepentingan nasional.
Konstitusi Indonesia tidak mengatur secara tegas
perlindungan terhadap privasi sebagai hak asasi, tetapi
Konstitusi Indonesia memberikan pernyataan yang
tegas bahwa perlindungan terhadap diri pribadi
seseorang merupakan hak asasi. Perlindungan
terhadap diri pribadi dapat berupa perlindungan
terhadap keamanan dan kenyamanan seseorang,
termasuk kebebasan dalam mengekspresikan dirinya
secara emosional. Perlindungan terhadap privasi
merupakan bagian dari perlindungan terhadap diri
pribadi. Dalam dunia siber, perlindungan terhadap
data pribadi merupakan bagian dari perlindungan
terhadap privasi yang merupakan bagian dari
perlindungan terhadap diri seseorang. Oleh karena
itu, pembentukan regulasi terkait privasi dan data
pribadi perlu menitikberatkan pada perlindungan
terhadap diri pribadi seseorang dari berbagai aspek,
termasuk keamanan, kenyamanan, dan kebebasan
dalam mengekspresikan diri secara emosional.
Perundang-undangan Indonesia telah mengatur
perlindungan terhadap privasi, termasuk data pribadi,
secara parsial. Tampaknya pembentukan regulasi
mengenai data pribadi dalam transaksi elektronik
akan lebih memungkinkan daripada pembentukan
undang-undang omnibus mengenai privasi.
92
Literatur
Barker, Lucius J. dan Barker Jr., Twiley W. (editors). 1978. Civil Liberties and the Constitution: Cases and Commentaries,
3rd Edition, Prentice Hall. Inc, New Jersey, United States.
Cate, Fred dan Litan, Robert E. Constitutional Issues in Information Privacy, Joint Center, AEI-Brookings Joint Center for
Regulatory Studies, Working Paper 01-11, September 2001,
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=285397, diakses 30 Desember 2011.
Citron, Danielle Keats. Mainstreaming Privacy Torts, California Law Review, Vol. 99, p. 101, 2011, U of Maryland Legal
Studies Research Paper No. 2010-16, hal. 105-106.
d’Entreves, Maurizio Passerin dan Vogel, Ursula. Ed. 2000. Public & Private: Legal, Political, and Pholosophical Perspective,
(Routledge, Taylor & Francis Group), New York, US.
el-Muhtaj, Majda. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen
UUD 1945 Tahun 2002), Prenada Media, Jakarta.
Greenleaf, Graham, The Influence of European Data Privacy Standards Outside Europe: Implications for Globalisation
of Convention 108 (October 19, 2011). International Data Privacy Law, Vol. 2, Issue 2, 2012; UNSW Law Research
Paper No. 2011-39; Edinburgh School of Law Research Paper No. 2012/12. Available at SSRN:
http://ssrn.com/abstract=1960299.
Fan, Marry D. Constitutionalizing Information Privacy by Assumption,
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1907278, diakses 10 Desember 2011.
Kang, Jerry, Information Privacy in Cyberspace Transactions. Stanford Law Review, Vol. 50, p. 1193, 1998,
http://ssrn.com/abstract=631723, diakses 18 Maret 2013.
Kasim, Ifdal. Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik: Suatu Pengantar, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X,
Tahun 2005, http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Konvensi_SIPOL.pdf, diakses dari 17 Desember 2011.
Koalisi untuk Kebebasan Informasi. 2003. Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, Penerbit Koalisi untuk Kebebasan
Informasi, Cetakan II.
Laski, Harold J. 1948. Liberty in Modern State, London, George Allen & UNWIN Ltd.
Lau, Lawrence J. “Economic Growth in the Digital Era”, http://www.stanford.edu
/~ljlau/Presentations/Presentations/031129.pdf, diakses pada 17 Januari 2011.
DAFTAR PUSTAKA
93
Newman, Edwin S. 1979. Civil Liberty and Civil Rights, 6th Edition, Oceana Publications, Inc, United States.
Nusantara, Abdul Hakim G. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, No. 4, Tahun XIX, Agustus 1989, hal. 313 s.d. 323.
Pollack, Ervin H. (Editor). 1971. Human Rights, Amintaphill I. Jay Steward Publications, Inc. New York, United States.
Prosser, William L. Privacy, California Law Review, Vol. 48, No. 3, Agustus 1960.
Purbopranoto, Kuntjoro. 1975. Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila, Cetakan ke 4 EYD PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Reitman, Alan. Ed. 1968. The Price of Liberty Perspectives on Civil Liberties by Members of the ACLU, W.W. Norton &
Company, Inc, First Edition, US.
Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta.
Solove, Daniel J. dan Schwartz, Paul M. 2011. Information Privacy Law, Fourth Edition, United States: Wolters Kluwer.
________. Conceptualizing Privacy. California Law Review, Vol. 90, p. 1087, 2002. http://ssrn.com/abstract=313103,
diakses 17 Maret 2013.
________. A Brief History of Information Privacy Law. PROSKAUER ON PRIVACY, PLI, 2006; GWU Law School Public Law
Research Paper No. 215, http://ssrn.com/abstract=914271, diakses 18 Maret 2013.
________. A Taxonomy of Privacy. University of Pennsylvania Law Review, Vol. 154, No. 3, p. 477, January 2006; GWU
Law School Public Law Research Paper No. 129, http://ssrn.com/abstract=667622, diakses 18 Maret 2013.
Stone, Richard. 1997. Textbook on Civil Liberties, 2nd Edition, Blackstone Press Limited, Great Britan.
Warren dan Brandeis, The Right to Privacy, Harvard Law Review, Vol. IV, No. 5, Dec 15, 1890
http://groups.csail.mit.edu/mac/classes/6.805/articles/privacy/Privacy_brand_warr2 .html, diakses 31 Januari 2011.
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
94
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
A. PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini masalah pengelolaan keuangan daerah
banyak mendapatkan sorotan tajam dari publik.
Media massa hampir tiap hari menampilkan kasus-
kasus yang menyangkut pengelolaan keuangan
daerah secara tidak bertanggung jawab pada berbagai
instansi pemerintah daerah dari tingkat Propinsi
sampai tingkat Kabupaten/Kota. Pengelolaan secara
tidak bertanggung jawab ini hadir dalam bentuk
berbagai praktek korupsi keuangan daerah. Padahal
dalam melaksanakan tugas menciptakan keadilan
sosial bagi rakyat di saerah, maka pengelolaan
keuangan daerah merupakan aspek vital dalam
pengelolaan negara secara keseluruhan.
Akibat kegagalan pengelolaan keuangan tersebut
maka keberadaan pemerintahan negara dalam
bahaya, terjadi kegonjangan ekonomi, politik, dan
sosial yang bukan saja akan mengakibatkan
pembangunan kehidupan bangsa mengalami stagnasi
tetapi lebih jauh dari itu akan terjadi kemunduran
dan bahkan kegentingan.
Pemeriksaan terhadap 480 laporan keuangan
pemerintah daerah tahun 2006 oleh BPK hasilnya
sangat menyedihkan. Dari sejumlah itu hanya ada
tiga daerah yang menyandang opini paling tinggi
atau wajar tanpa pengecualian terhadap laporan
keuanganya. Selain itu sejumlah pelanggaran juga
mencuat dalam pemeriksaan diatas. Bahkan
dibeberapa daerah telah terindikasi adanya praktik
korupsi dengan berbagai modus.
Dari hasil pemeriksaan BPK diatas bisa disimpulkan
bahwa masih banyak daerah yang performansinya
buruk karena tidak mematuhi aturan dan standar
pelaporan keuangan. Masih banyak kasus pengeluaran
95
PERSPEKTIF YURIDIS PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH
Oleh :
Dayanto, S.H., M.H. 1
Abstrak
Penulis dalam tulisan ini menguraikan berbagai bentuk pengawasan yang diatur secara yuridis dalam berbagai
ketentuan yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah. Di tengah pengelolaan keuangan daerah yang rentan
dengan praktik korupsi dan berbagai perilaku penyalahgunaan kewenangan (on misbruik van recht), maka pengawasan
sebagai bagian yang vital dalam proses pengelolaan keuangan daerah perlu dioptimalkan melalui peningkatan
profesionalisme pengawasan baik secara internal maupun secara eksternal oleh lembaga-lembaga pengawas, pemantapan
sinergitas dan koordinasi yang erat antar berbagai lembaga pengawas, serta membuka ruang partisipasi masyarakat
secara demokratis dalam proses pengawasan.
Kata Kunci: Pengawasan, Keuangan Daerah
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon, dilahirkan di Lesane, Maluku Tengah, 6 April 1983. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (2005) dan S2 pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin (2011) dengan konsentrasi Hukum Kenegaraan. Saat ini dipercayakan menjadi Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon 2013-2017. email: [email protected]
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
uang yang belum ada anggarannya dalam APBD dan
proses pengadaan barang atau tender. Hingga saat
ini betapa sulitnya pemerintah daerah menyusun
performansi anggaran dengan baik, padahal
perkembangan teknologi telematika telah menyajikan
solusi yang berhubungan dengan hal itu. Hasil
pemeriksaan BPK terasa kontradiktif ketika kita
membuka LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggung-
jawaban) Kepala Daerah2.
Relevansi pengelolaan keuangan daerah ditemukan
dengan diberlakukannya UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara yang diatribusi dari Pasal
23C UUD NRI 1945. Dalam Pasal (1) UU No. 17 tahun
2003 mendefenisikan Keuangan Negara sebagai
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut. Sedangkan Pasal (2) UU No. 17
Tahun 2003 menegasakan bahwa keuangan negara
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal (1 ) ayat 1,
meliputi:
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan
dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas
layanan umum pemerintah negara dan membayar
tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan negara;
d. Pengeluaran negara;
e. Penerimaan daerah;
f. Pengeluaran daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah
dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan
menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah;
Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara (UUKN) ditegaskan bahwa:
Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) tersebut mewajibkan
kepada setiap penyelenggara negara untuk
mengartikulasikan nilai-nilai ketertiban, ketaatan pada
aturan, efisiensi, ekonomis, efektifitas, transparansi,
dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan
negara, dimana yang dimaksud dengan pengelolaan
adalah mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan,
penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan
pertanggungjawaban.3
Khusus mengenai pengawasan sebagai bagian dari
elemen pengelolaan, dibentuk lembaga pengawasan
dengan berbagai klasifikasi sifatnya baik pengawasan
intern maupun pengawasan ekstern untuk menjalankan
fungsi dan kewenangan pengawasan itu dapat
ditemukan pada level konstitusional (UUD) maupun
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
B. KEUANGAN DAERAH SEBAGAI BAGIAN DARI
KEUANGAN NEGARA
Sejak awal kedudukan keuangan negara yang sangat
vital dalam aktivitas kehidupan bernegara itu telah
disadari oleh para pendiri bangsa (the founding father
and mother) dengan mengatur perihal keuangan
negara ini kedalam Bab VIII UUD 1945 tentang “Hal
Keuangan” yang terdiri satu pasal yakni Pasal 23.
96
2 Hemat Dwi Nuryanto, Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, http://hdn.zamrudtechnology.com, diakses 23 Mei 2013.
3 Nilai-nilai tersebut sejalan dengan prinsip pengelolaan keuangan yang bertumpu pada good governance yakni pengelolaan keuangan Negara yang bernuansa solid, bertanggung jawab, efisien, dan efektif, serta partisipatif. Indrawati, 2012. “Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak dan Gas Bumi”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 10, Nomor 2, hlm. 47
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Terjadinya reformasi pada tahun 1998 yang salah satu
agendanya adalah perubahan konstitusi, maka materi
pengaturan dalam Bab VIII UUD 1945 yang sebelumnya
hanya terdiri dari satu pasal, kini mengalami diversifikasi
menjadi lima pasal dan bahkan pada Bab VIII UUD
1945 (lama) yang sebelumnya mengatur tentang
suatu Badan Pemeriksaan keuangan didalam Pasal
23 ayat (5), maka pada perubahan UUD 1945 ini
ditambahkan dengan Bab VIIIA tentang Badan
Pemeriksa Keuangan yang terdiri dari tiga buah pasal.
Transformasi dari negara hukum formil yang juga
disebut sebagai nachtwachterstaat atau negara jaga
malam menjadi negara hukum materil yang juga
disebut welfare state atau negara kesejateraan di
penghujung abad ke-20, maka menyejahterakan
rakyatnya merupakan tugas utama negara yang
harus dilakukan secara aktif dan dinamis.4 Hukum
keuangan negara di Indonesia juga berada pada alur
perkembangan ini.
Mengenai keuangan daerah, Peraturan Pemerintah
No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, memberi
definisi:
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban
Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah
Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di
dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut, dalam
kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(Pasal 1 angka 1).
Konsepsi yang demikian tidaklah terpaut jauh dengan
kerangka definisi keuangan negara yang diatur tiga
tahun kemudian, sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Selain itu, memperbincangkan
diskursus keuangan daerah tidaklah bisa dipisahkan
dengan konstruksi hukum Pemerintahan Daerah
(local governance) yang diatur dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, karena
bagaimanapun, urusan keuangan daerah akan
menjadi local policy (kebijakan lokal/daerah).
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUKN, keuangan
negara didefinisikan sebagai:
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Kemudian dalam Pasal 2 UUKN menegasakan bahwa
keuangan negara sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1), meliputi :
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan
dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas
layanan umum pemerintah negara dan membayar
tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan negara;
d. Pengeluaran negara;
e. Penerimaan daerah;
f. Pengeluaran daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat
berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan
daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah
dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan
menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah;
Menurut Jimly Asshiddiqie5, ruang lingkup keuangan
negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal (2)
UUKN tersebut terjadi perluasan pengertian keuangan
4 Lihat Moh. Mahfud MD, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta, hlm. 28-30 . Lihat juga E. Utrecht, 1960. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH PM Unpad Bandung, hlm.21
97
5 Jimly Asshidiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 196-197
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
negara. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 23E
ayat (2) UUD 1945 pada Perubahan Ketiga yang
menentukan bahwa “Hasil pemeriksaan keuangan
negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai
dengan kewenangannya”. Padahal, pada ketentuan
sebelumnya hasil pemeriksaan keuangan itu cukup
hanya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) saja ditingkat pusat, karena Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) itu sendiri merupakan partner DPR
dibidang pengawasan keuangan.
Di dalam perubahan ketentuan ini sudah terkandung
maksud untuk memperluas pengertian keuangan
negara yang harus diperiksa oleh BPK, sehingga tidak
terbatas hanya dalam hubungannya dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetapi juga
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) di daerah-daerah.
Dengan demikian, keuangan daerah merupakan
bagian yang inheren dalam keuangan negara. Artinya
ketika membicarakan keuangan negara berarti secara
otomatis juga menyagkut didalamnya keuangan
daerah. Karena itu ruang lingkup dan asas-asas
pengelolaan keuangan daerah mengacu pada ruang
lingkup dan asas-asas pengelolaan keuangan negara.
Ruang lingkup pengelolaan keuangan negara,
meliputi: Perencanaan keuangan negara; Pelaksanaan
keuangan negara; Pengawasan keuangan negara;
dan Pertanggung jawaban keuangan negara6.
C. PENGAWASAN TERHADAP KEUANGAN DAERAH
1. Pengertian dan Klasifikasi Pengawasan
Menurut W. Riawan Tjandra7 pengawasan
merupakan sarana untuk menghubungkan target
dengan realisasi setiap program/kegiatan/proyek
yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.
Berbagai pendapat ahli tentang pengawasan yang
di identifikasi oleh Syafiie8, antara lain Lyndal F.
Urwick yang mengartikan pengawasan adalah
upaya agar sesuatu dilaksanakan sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan dan instruksi
yang telah dikeluarkan.
Bagi Sondang Siagian, pengawasan adalah proses
pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan
organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan
yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang
telah ditentukan sebelumnya. Sementara itu
menurut George R Terry, pengawasan dapat
dirumuskan sebagai proses penentuan apa yang
harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang
dilakukan, yaitu menilai pelaksanaan dan bila
perlu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga
pelaksanaan sesuai dengan rencana, yaitu selaras
dengan standar.
Jika dikaitkan dengan pengawasan terhadap
keuangan negara maka berbagai pengertian di
atas mempertegas bahwa bahwa pengawasan
merupakan ruang lingkup yang tidak bisa
dipisahkan dari pengelolaan keuangan negara
secara keseluruhan. Artinya pengawasan
merupakan unsur yang integral dalam proses
pengelolaan keuangan negara, sehingga
pengelolaan keuangan negara itu dapat sesuai
dengan yang direncanakan.
Berkaitan dengan jenis-jenis pengawasan,
Fachruddin9, mengklasifikasikan pengawasan
sebagai berikut:
1. Pengawasan dipandang dari “kelembagaan”
yang dikontrol dan yang melaksanakan kontrol,
dapat diklasifikasikan atas:
98
6 Lihat Muhammad Djafar Saidi, 2008. Hukum Keuangan Negara, PT Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 15
7 W. Riawan Tjandra, 2006. Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, hlm. 130
8 Syafiie, dalam Ibid, hlm. 131
9 Dalam Ibid, hlm. 133-135
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
a. Kontrol intern (internal control),
pengawasan yang dilakukan oleh suatu
badan/organ yang secara struktural masih
termasuk organisasi dalam lingkungan
pemerintah. Bentuk kontrol semacam ini
dapat digolongkan sebagai jenis kontrol
tekhnis-administratif atau built-in control;
b. Kontrol ekstern (external control),
pengawasan yang dilakukan oleh badan/
organ yang secara struktur organisasi berada
di luar pemerintah dalam arti eksekutif.
2. Pengawasan dipandang dari waktu pelaksanaan
pengawasan, meliputi hal-hal berikut:
a. Kontrol a-priori, pengawasan dilakukan
sebelum dilakukan tindakan atau
dikeluarkannya suatu keputusan atau
ketetapan pemerintah atau peraturan
lainnya yang menjadi wewenang
pemerintah. Kontrol a-priori mengandung
unsur pengawasan preventif yaitu untuk
mencegah atau menghindarkan terjadinya
kekeliruan;
b. Kontrol a-pasteriori, pengawasan dilakukan
sesudah dikeluarkan suatu keputusan atau
ketetapan pemerintah atau sesudah
terjadinya tindakan pemerintah.
Pengawasan ini mengandung bentuk
pengawasan represif yang bertujuan
mengoreksi tindakan yang keliru.
3. Pengawasan dipandang dari aspek yang
diawasi, dapat diklasifikasi atas:
a. Pengawasan dari segi “hukum” (legalitas),
pengawasan dimaksudkan untuk menilai
segi-segi hukumnya saja (rechtmatigheid).
Kontrol peradilan atau judicial control
secara umum masih dipandang sebagai
pengawasan segi hukum (legalitas)
walaupun terlihat adanya perkembangan
baru yang mempersoalkan pembatasan
itu;
b. Pengawasan dari segi “kemanfaatan”
(opportunitas), pengawasan dimaksudkan
untuk menilai segi kemanfaatan
(doelmatigheid). Kontrol internal secara
hierarkis oleh atasan adalah jenis penilaian
segi hukum (rechtmatigheid) sekaligus segi
kemanfaatan (opportunitas).
4. Pengawasan dipandang dari cara pengawasan
dapat dibedakan atas:
a. Pengawasan “negatif repressif”,
pengawasan yang dilakukan setelah suatu
tindakan dilakukan;
b. Pengawasan “negatif preventif” atau
positif, pengawasan yang dilakukan dengan
cara badan pemerintah yang lebih tinggi
menghalangi terjadinya kelalaian pemerintah
yang lebih rendah.
5. Disamping itu, masih dipandang dari cara
pengawasan dengan mengutip pendapat
Hertogh, pengawasan dapat dibedakan pula
atas:
a. Pengawasan unilateral (unilateral control),
pengawasan yang penyelesaiannya secara
sepihak dilakukan oleh pengawas;
b. Pengawasan refleksif (reflexive control),
pengawasan yang penyelesaiannya
dilakukan melalui proses timbal balik melalui
dialog dan negosiasi antara pengawas dan
yang diawasi.
2. Pengawasan Internal
Dalam ayat (1) dan (2) Pasal 58 UU No. 1 tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara (UUPN)
ditentukan bahwa:
(1)Dalam rangka meningkatkan kinerja,
transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara, Presiden selaku Kepala
Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan
sistem pengendalian intern di lingkungan
pemerintah secara menyeluruh.
99
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
(2)Sistem pengendalian intern sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.
Ketentuan pasal ini memiliki setidak-tidaknya dua
makna penting dalam pengelolaan keuangan
negara. Pertama, pengaturan tentang perlunya
keberadaan sistem pengendalian intern untuk
meningkatkan kinerja, transparansi, dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
Kedua, memberikan kewenangan atribusi bagi
Presiden sebagai kepala pemerintah untuk
mengatur dan menyelenggarakan sistem
pengendalian intern di lingkungan pemerintah
melalui peraturan pemerintah.
Sementara itu, berdasarkan penjelasan Pasal 58
Ayat (1) UUPN bahwa Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara menyelenggarakan
sistem pengendalian intern di bidang
perbendaharaan, Menteri/pimpinan lembaga
selaku pengguna anggaran/pengguna barang
menyelenggarakan sistem pengendalian internal
bidang pemerintahan masing-masing, dan
Gubernur/Bupati/Walikota mengatur lebih lanjut
dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern
di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.
Terkait dengan itulah maka diterbitkan Peraturan
Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sebagai
amanat Pasal 58 Ayat (2) UUPN. Dimana dalam
Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3)
Peraturan Pemerintah tentang SPIP itu disebutkan
bahwa :
(1)Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang
integral pada tindakan dan kegiatan yang
dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan
dan seluruh pegawai untuk memberikan
keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan
efisien, keandalan pelaporan keuangan,
pengamanan aset negara, dan ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan.
(2)Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang
selanjutnya disingkat SPIP, adalah Sistem
Pengendalian Intern yang diselenggarakan
secara menyeluruh di lingkungan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah.
(3)Pengawasan Intern adalah seluruh proses
kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan,
dan kegiatan pengawasan lain terhadap
penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi
dalam rangka memberikan keyakinan yang
memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan
sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan
secara efektif dan efisien untuk kepentingan
pimpinan dalam mewujudkan tata
kepemerintahan yang baik.
Selanjutnya untuk menopang sistem pengendalian
intern ini maka Peraturan Pemerintah No. 60
Tahun 2008 tentang SPIP mengisyaratkan adanya
berbagai aparat pengawas intern pemerintah
(APIP)10, yakni, Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, yang selanjutnya disingkat BPKP,
Inspektorat Jenderal atau nama lain Inspektorat
Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota.
a. Inspektorat Propinsi dan Inspektorat
Kabupaten/Kota
Pasal 49 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60
Tahun 2008 tentang SPIP juga mengisyaratkan
adanya Inspektorat Provinsi dan Inspektorat
Kabupaten/Kota sebagai aparat pengawas intern
di daerah (Propinsi, dan Kabupaten/Kota). Dalam
Pasal 1 ayat (6) dan (7) Peraturan Pemerintah
tentang SPIP ini, ditegaskan bahwa, Inspektorat
Provinsi adalah aparat pengawasan intern
pemerintah yang bertanggung jawab langsung
kepada Gubernur sedangkan Inspektorat
Kabupaten/Kota adalah aparat pengawasan intern
pemerintah yang bertanggung jawab langsung
kepada bupati/walikota.
100
10 Pasal 49 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan
terhadap seluruh kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja
perangkat daerah provinsi yang didanai dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
provinsi. Sedangkan Inspektorat Kabupaten/Kota
melakukan pengawasan terhadap seluruh
kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas
dan fungsi satuan kerja perangkat daerah
kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota11.
Sementara itu dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 79 tahun 2005 tentang
Pedoman pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, ditegaskan
bahwa:
1. Pengawasan terhadap urusan pemerintahan
di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas
Intern Pemerintah sesuai dengan fungsi dan
kewenangannya.
2. Aparat Pengawas Intern Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Inspektorat Jenderal Departemen, Unit
Pengawasan Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Inspektorat Provinsi, dan
Inspektorat Kabupaten/Kota.
3. Pelaksanaan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat
pengawas pemerintah.
4. Pejabat pengawas pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh
Menteri/Menteri Negara/Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non Departemen ditingkat pusat,
oleh Gubernur ditingkat provinsi, dan oleh
Bupati/Walikota ditingkat kabupaten/kota
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5. Tata cara dan persyaratan pengangkatan,
pemindahan, pemberhentian dan peningkatan
kapasitas pejabat pengawas pemerintah daerah
diatur dengan peraturan Menteri.
Dalam Pasal 25 PP No. 75 Tahun 2005 tersebut
menentukan bahwa Inspektur Provinsi dalam
pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab
kepada Gubernur, Inspektur Kabupaten/Kota dalam
pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab
kepada Bupati/ Walikota. Inspektur Provinsi dalam
pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan,
mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah
Provinsi dan Inspektur Kabupaten/Kota dalam
pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan,
mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah
Kabupaten/Kota.
3. Pengawasan Eksternal
a. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Secara historis, cikal bakal gagasan
pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan
berasal dari Raad Van Rekenkamer pada
zaman Hindia Belanda yang berfungsi sebagai
external auditor terhadap kinerja keuangan
pemerintah.
Dalam Pasal 23E UUD NRI 1945, ditegaskan
bahwa BPK adalah lembaga yang bebas dan
mandiri yang berwenang untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara12. Dimana hasil pemeriksaan
keuangan negara itu diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah13.
Kedudukan BPK yang bebas dan mandiri ini
selaras dengan salah satu asas pengelolaan
keuangan negara yakni asas pemeriksaan
keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas
dan mandiri sebagai asas yang memberikan
101
11 Lihat Pasal 49 Ayat (5) dan (6) Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP
12 Lihat Pasal 23E Ayat (1) UUD NRI 1945: “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”
13 Lihat Pasal 23E Ayat (2) UUD NRI 1945: “Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai kewenangannya”.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
kebebasasn bagi badan pemeriksa keuangan
untuk melakukan pemeriksaan keuangan
negara dengan tidak boleh dipengaruhi oleh
siapapun.
Selain itu, kedudukan kelembagaan BPK ini
sesungguhnya berada dalam ranah kekuasaan
legislatif, atau sekurang-kurangnya berhimpitan
dengan fungsi pengawasan yang dijalankan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan
demikian, laporan hasil pemeriksaan yang
dilakukan oleh BPK ini harus dilaporkan atau
disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti.
Pasal 23E Ayat (2) UUD NRI yang disahkan
pada perubahan ketiga ini secara drastis
memperluas pengertian keuangan negara.
Padahal, pada ketentuan sebelumnya hasil
pemeriksaan keuangan itu cukup hanya
diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) saja ditingkat pusat, karena Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) itu sendiri
merupakan partner DPR dibidang pengawasan
keuangan. Di dalam perubahan ketentuan ini
sudah terkandung maksud untuk memperluas
pengertian keuangan negara yang harus
diperiksa oleh BPK, sehingga tidak terbatas
hanya dalam hubungannya dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetapi
juga dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di daerah-daerah.14
Dari jangkauan fungsi pemeriksaannya, tugas
BPK sekarang menjadi makin luas. Ada tiga
perluasan yang dapat dicatat disini15. Pertama,
perluasan dari pemeriksaan atas pelaksanaan
APBN menjadi pemeriksaan atas pelaksanaan
APBN dan APBD serta pengelolaan keuangan
dan kekayaan negara dalam arti luas. Kedua,
perluasan dalam arti hasil pemeriksaan yang
dilakukan tidak saja dilaporkan PRD di tingkat
pusat tetapi juga kepada DPD dan DPRD
Propinsi serta DPRD Kabupaten/Kota.
Ketiga, perluasan juga terjadi terhadap lembaga
atau badan/badan hukum yang menjadi objek
pemeriksaan oleh BPK, yaitu dari sebelum
hanya terbatas pada lembaga negara dan/atau
pemerintahan yang merupakan subjek hukum
tata negara dan/atau subjek hukum administrasi
negara meluas sehingga mencakup pula organ-
organ yang merupakan subjek hukum perdata
seperti perusahaan daerah, BUMN, ataupun
perusahaan swasta dimana di dalamnya
terdapat kekayaan negara.
Dalam BAB III Undang-Undang No. 15 Tahun
2006 tentang Badan Pemeriksa diatur ketentuan
mengenai tugas dan wewenang BPK. Pada
Pasal 6 Ayat (3) ditegaskan bahwa Pemeriksaan
BPK mencakup pemeriksaan keuangan,
pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu. Penjelasan umum Undang-
Undang No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara menguraikan tentang
lingkup kewenangan BPK untuk melakukan 3
(tiga) jenis pemeriksaan, yakni:
1. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan
atas laporan keuangan pemerintahan pusat
dan pemerintahan daerah. Pemeriksaan
keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam
rangka memberikan pernyataan opini
tentang tingkat kewajaran informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan
pemerintah.
2. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan
atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta
pemeriksaan atas aspek efektifitas yang
lazim dilakukan bagi kepentingan
manajemen oleh aparat pengawas intern
pemerintah. Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945
102
14 Lihat Jimly Asshidiqie, Konstitusi ….op.cit. hlm. 196-197
15 Ibid
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
mengamanatkan BPK untuk melaksanakan
pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan
negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
mengidentifikasikan hal-hal yang perlu
menjadi perhatian lembaga perwakilan.
Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan
kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang
dibiayai dengan keuangan negara/daerah
diselenggarakan secara ekonomis dan efisien
serta memenuhi sasarannya secara efektif.
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu,
adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan
tujuan khusus, di luar pemeriksaan
keuangan dan pemeriksaan kinerja.
Termasuk dalam pemeriksaan atas hal-hal
yang berkaitan dengan keuangan dana
pemeriksaan investigasi.
Pemeriksaan BPK memiliki kebebasan dan
kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan,
yakni: perencanaan, pelaksanaan, dan
pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam
tahap perencanaan mencakup kebebasan
dalam menentukan objek yang akan diperiksa,
kecuali pemeriksaan yang objeknya telah diatur
tersendiri dalam undang-undang atau
pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus
dari lembaga perwakilan.
Dalam merencanakan tugas pemeriksaan BPK
dapat mempertimbangkan informasi dari
pemerintah, bank sentral, dan masyarakat.
Informasi dari pemerintah termasuk dari
lembaga independen yang dibentuk dalam
upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme, seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan. Informasi dari masyarakat termasuk
hasil penelitian dan pengembangan kajian,
pendapat dan keterangan organisasi profesi
terkait, berita media massa, pengaduan
langsung dari masyarakat.
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan
investigatif guna mengungkap adanya indikasi
kerugian negara/daerah/ atau unsur pidana.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur
pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut
kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun
dan disajikan dalam laporan hasil pemeriksaan
segera setelah kegiatan pemeriksaan selesai.
Dalam hal diperlukan, pemeriksa dapat
menyusun laporan interim pemeriksa. Laporan
interim pemeriksa diterbitkan sebelum suatu
pemeriksaan selesai secara keseluruhan dengan
tujuan untuk segera dilakukan tindakan
pengamanan dan/atau pencegahan
bertambahnya kerugian. Pemeriksaan keuangan
akan menghasilkan opini. Pemeriksaan kinerja
akan menghasilkan temuan, kesimpulan, dan
rekomendasi sedangkan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu akan menghasilkan rekomendasi.
Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat
diberikan oleh pemeriksa dalam pemeriksaan
keuangan, yakni :
a. opini wajar tanpa pengecualian
(unqualified opinion)
b. opini wajar dengan pengecualian (qualified
opinion)
c. opini tidak wajar (adversed opinion)
d. pernyataan menolak memberikan opini
(disclaimer of opinion)
Laporan hasil pemeriksaan atas laporan
keuangan pemerintah oleh BPK kepada DPRD
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah
menerima laporan keuangan dari Pemerintah
Daerah. Selain disampaikan kepada DPRD,
laporan hasil pemeriksaan juga disampaikan
oleh BPK kepada pemerintah.
103
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota
Pasal 292 dan 343 Undang-Undang No. 27
Tahun 2009 tentangMajelis Permusayawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (UU MD3), menegaskan bahwa
DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota mempunyai
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan;
Ketiga fungsi dijalankan dalam kerangka
representasi rakyat di provinsi/Kabupaten/kota.
Dalam Pasal 293 dan Pasal 344 UU MD3, DPRD
provinsi/kabupaten/kota mempunyai tugas dan
wewenang untuk melaksanakan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah
provinsi/kabupaten/kota. Hal ini merupakan
suatu penegasan bahwa tugas dan wewenang
DPRD adalah melaksanakan pengawasan
terhadap pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Fungsi pengawasan terhadap pengelolaan
keuangan daerah yang dilakukan oleh memiliki
relasi yang erat dengan BPK, hal ini berkaitan
dengan perluasan lingkup keuangan negara
yang meliputi keuangan daerah dimana BPK
diberikan tanggung jawab utama untuk
melakukan audit (pemeriksaan) terhadap
pengelolaan keuangan negara, termasuk di
dalamnya keuangan daerah.
D. PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Di pandang dari sudut kelembagaan maka secara
yuridis dalam pengawasan keuangan daerah di
Indonesia dikenal dua macam bentuk pengawasan
yakni: Pengawasan Internal dan Pengawasan
Eksternal.
2. Adapun berbagai lembaga yang diberi kewenangan
untuk melakukan Pengawasan Internal terhadap
keuangan daerah adalah: Inspektorat Propinsi
dan Inspektorat Kabupaten/Kota.
3. Adapun berbagai lembaga yang diberi kewenangan
untuk melakukan pengawasan Eksternal terhadap
keuangan daerah adalah: Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.
Saran
Dari uraian diatas maka beberapa hal yang dapat
disarankan adalah:
1. Perlunya peningkatan profesionalisme dalam
melakukan proses pengawasan baik secara
internal maupun secara eksternal oleh lembaga-
lembaga yang diberikan kewenangan.
2. Perlunya sinergitas dan koordinasi yang erat antar
berbagai lembaga pengawas sehingga proses
pengawasan dapat berlangsung secara
berkesinambungan dan tidak tumpang-tindih
(overlapping).
3. Perlunya membuka ruang partisipasi masyarakat
secara demokratis dalam proses pengawasan atas
pengelolaan keuangan negara.
104
Hemat Dwi Nuryanto, Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah, http://hdn.zamrudtechnology.com, diakses 20 Februari
2010.
Indrawati, 2012. “Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari
Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak dan Gas Bumi”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan,
Volume 10, Nomor 2.
Jimly Asshidiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI, Jakarta.
Muhammad Djafar Saidi, 2008. Hukum Keuangan Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Moh. Mahfud MD, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta.
Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, 2006.
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH PM Unpad Bandung, 1960.
DAFTAR PUSTAKA
105
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2013
Tanggal Satker PerihalNo. Peraturan
15/1/PBI/2013 18 Februari 2013 DPIP Lembaga Pengelolaan Informasi Perkreditan
107
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2013
109
Tanggal Satker PerihalPeraturan
15/1/DPNP 15 Januari 2013 DPNP Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit
15/2/DPNP 04 Februari 2013 DPNP Kepemilikan Tunggal pada
15/3/DPM 28 Februari 2013 DPM Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiahkepada Bank.
15/4/DPNP 06 Maret 2013 DPNP Kepemilikan Saham Bank Umum
15/5/DSM 06 Maret 2013 DSM Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri
15/6/DPNP 08 Maret 2013 DPNP Kegiatan Usaha Bank Umum
15/7/DPNP 08 Maret 2013 DPNP Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Berdasarkan ModalInti
15/8/DPbS 27 Maret 2013 DPbS Pembukaan Jaringan Kantor BUS dan UUS Berdasarkan ModalInti
15/9/DSM 27 Maret 2013 DSM Penerimaan Devisa Hasil Eksport
15/10/DPNP 28 Maret 2013 DPNP Laporan Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) BankUmum yang Disampaikan kepada BI.
15/11/DPNP 08 April 2013 DPNP Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum
15/12/DASP 08 April 2013 DASP Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana danPenatausahaan Surat Utang Negara
15/13/DASP 12 April 2013 DASP Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran denganMenggunakan Kartu dan Uang Elektronik oleh BPR danLembaga
15/14/DPNP 24 April 2013 DPNP Perubahan Ketiga Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal 12 Juli 2006 PerihalLaporan Berkala BankUmum
15/15/DPNP 29 April 2013 DPNP Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum
110
Tanggal Satker PerihalPeraturan
15/16/DInt 29 April 2013 DInt Perlaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri
15/17/DInt 29 April 2013 DInt Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri, Perubahan Rencana Utang Luar Negeri, dan Informasi Keuangan
15/18/DASP 30 April 2013 DASP Perubahan Atas SEBI No. 11/13/DASP tanggal 4 Mei 2009 Perihal Batas Nilai Nominal Nota Debit dan Transfer Kredit dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia 15/1/PBI/2013 Tanggal 18 Februari 2013 Tentang Lembaga Pengelola
Informasi Perkreditan
Berlaku : Sejak tanggal 18 Februari 2013
Latar Belakang
Sejak tahun 1975, Bank Indonesia telah mengelola informasi perkreditan dalam rangka mendukung pelaksanaan
tugas sebagai otoritas moneter dan perbankan, serta melayani kebutuhan industri keuangan, khususnya dalam mendukung
kelancaran penyaluran penyediaan dana dan manajemen risiko. Penyediaan informasi perkreditan oleh Bank Indonesia
masih terbatas pada produk informasi yang bersifat standar, dengan cakupan data mayoritas dari perbankan dan beberapa
lembaga keuangan non bank.
Dalam perkembangannya, industri keuangan membutuhkan informasi perkreditan yang lebih komprehensif
dengan cakupan data yang lebih luas mencakup juga data dari luar industri keuangan. Sebagaimana international best
practices, pada umumnya produk informasi perkreditan yang lebih komprehensif disediakan oleh pengelola informasi
perkreditan yang dikelola swasta (private credit bureau).
Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu dibukanya pengelolaan informasi perkreditan
oleh swasta yang selanjutnya akan dikenal dengan nama Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP). Melalui LPIP,
nantinya diharapkan kebutuhan industri keuangan akan informasi perkreditan yang lebih komprehensif akan terpenuhi,
sehingga akan meningkatkan fungsi intermediasi lembaga keuangan yang akan mendorong terjadinya stabilitas sistem
keuangan.
Pokok-pokok pengaturan dalam PBI No.15/1/PBI/2013 tanggal 18 Februari 2013
a. Persyaratan bagi pihak yang akan mendirikan LPIP, antara lain:
1) Badan hukum LPIP wajib berbentuk Perseroan Terbatas;
2) Modal disetor LPIP minimal Rp50 Milyar;
3) Kepemilikan saham maksimal oleh satu pihak adalah ≤ 51%; dan
4) Pihak yang dapat menjadi pemegang saham LPIP adalah badan hukum Indonesia.
b. Tahapan perizinan LPIP yaitu dibagi menjadi 2 (dua): persetujuan prinsip dan izin usaha.
c. Jenis kegiatan usaha LPIP yaitu menghimpun dan mengolah data perkreditan dan/atau data lainnya untuk menghasilkan
informasi perkreditan.
d. Persyaratan pengurus LPIP antara lain minimal 1 Direktur LPIP memiliki pengalaman dan/atau pengetahuan mengenai
informasi perkreditan.
111
RINGKASAN PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) JANUARI - APRIL 2013
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
e. Sumber data LPIP yaitu data perkreditan dan/atau data lainnya, baik yang bersumber dari lembaga keuangan maupun
non lembaga keuangan.
f. Pengelolaan data yang dilakukan LPIP, dimana LPIP wajib melakukan langkah-langkah pengamanan untuk menjaga
akurasi, keterkinian, keamanan, dan kerahasiaan data. Selain itu LPIP wajib menempatkan server dan database di
dalam wilayah Republik Indonesia.
g. Kewajiban LPIP untuk menyediakan informasi perkreditan yang mempunyai nilai tambah.
h. Pihak-pihak yang dapat diberikan informasi perkreditan adalah Lembaga Keuangan, non Lembaga Keuangan, LPIP
lain, Debitur atau Nasabah, dan/atau pihak lain dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
i. Penanganan dan penyelesaian pengaduan khususnya kewajiban bagi LPIP untuk memiliki kebijakan dan prosedur
tertulis.
j. Pengawasan oleh BI terhadap LPIP mencakup on-site dan off-site. Pengawasan on-site dilakukan melalui pemeriksaan
langsung, sedangkan off-site dilakukan dengan analisa terhadap laporan-laporan yang disampaikan oleh LPIP kepada
BI.
k. Jenis-jenis laporan yang disampaikan LPIP meliputi: laporan bulanan, laporan semesteran, laporantahunan, rencana
bisnis tahunan, dan laporan insidentil lainnya.
l. Sanksi administratif terhadap pelanggaran yang dilakukan LPIP berdasarkan PBI ini, yaitu tegurantertulis, kewajiban
pembayaran, dan pencabutan izin usaha.
112
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 tentang Transparansi
Informasi Suku Bunga Dasar Kredit
Berlaku : Tanggal 15 Januari 2013
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan pengaturan kembali dari SE BI No.13/5/DPNP tanggal 8 Februari
2011 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. Latar belakang dan tujuan penerbitan SE BI ini adalah
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan transparansi informasi, meningkatkan good governance, dan mendorong
persaingan yang sehat dalam industri perbankan antara lain melalui terciptanya disiplin pasar (market discipline) yang
lebih baik.
2. Pokok-pokok pengaturan kembali dalam SE BI ini meliputi antara lain:
a. Penambahan segmen kredit baru di dalam pelaporan dan publikasi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yakni SBDK
kredit mikro. Kredit mikro adalah kredit yang disalurkan kepada usaha mikro. Adapun definisi usaha mikro
berdasarkan Undang-Undang tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
b. Terdapat penegasan bahwa SBDK merupakan suku bunga terendah yang dipergunakan sebagai indikator besaran
suku bunga kredit yang akan dikenakan oleh Bank kepada nasabah.
c. Semua Bank umum konvensional wajib mempublikasikan SBDK ke masyarakat serta melaporkan tabel komponen
perhitungan SBDK kepada Bank Indonesia.
d. Sebagai salah satu bentuk edukasi dan transparansi kepada nasabah, Bank wajib memberikan informasi mengenai
SBDK dan suku bunga kredit dalam surat pemberitahuan persetujuan kredit (offering letter) atau dokumen
lainnya kepada calon debitur sebelum penandatanganan perjanjian kredit.
e. Publikasi SBDK melalui surat kabar dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah akhir bulan Maret, Juni,
September, dan Desember untuk posisi SBDK akhir bulan yang bersangkutan.
f. Kewajiban pelaporan dan publikasi SBDK memiliki masa transisi sebagai berikut:
1. Bagi Bank yang mempunyai total aset Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) atau lebih pada
posisi akhir bulan Desember 2012 dalam Laporan Bulanan Bank Umum (LBU), kewajiban pelaporan dan
kewajiban publikasi untuk segmen kredit mikro dilakukan sejak posisi akhir bulan Februari 2013.
2. Bagi Bank yang mempunyai total aset kurang dari Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah) pada
posisi akhir bulan Desember 2012 dalam LBU, kewajiban pelaporan untuk segmen kredit mikro dan kewajiban
publikasi untuk segmen kredit korporasi, kredit ritel, kredit mikro, dan kredit konsumsi (KPR dan Non KPR)
dilakukan sejak posisi akhir bulan Juni 2013.
g. Dengan berlakunya SE BI ini maka SE BI No.13/5/DPNP tanggal 8 Februari 2011 perihal Transparansi Informasi
Suku Bunga Dasar Kredit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
RINGKASAN SURAT EDARAN (SE) BANK INDONESIA JANUARI - APRIL 2013
113
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/2/DPNP tanggal 4 Februari 2013 perihal Kepemilikan Tunggal
pada Perbankan Indonesia
Berlaku : Sejak tanggal 4 Februari 2013
Latar Belakang
Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia No.14/24/PBI/2012 tentang Kepemilikan Tunggal pada
Perbankan Indonesia, maka perlu diatur lebih lanjut ketentuan pelaksanaan penerapannya.
Surat Edaran ini mengatur mengenai pelaksanaan pemenuhan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia
dengan cara merger atau konsolidasi, membentuk Perusahaan Induk di bidang Perbankan, dan membentuk Fungsi
Holding.
Pokok-Pokok Pengaturan meliputi antara lain:
1. Terdapat 3 (tiga) opsi dalam melakukan pemenuhan kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia, yaitu:
a. Merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya.
b. Membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company/BHC).
c. Membentuk Fungsi Holding.
2. Bank Indonesia memberikan insentif dalam rangka merger atau konsolidasi untuk memenuhi kebijakan kepemilikan
tunggal pada perbankan Indonesia yang mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai insentif
dalam rangka konsolidasi perbankan. Selain itu, juga diatur mengenai tata cara dan batas waktu pelaksanaan merger
atau konsolidasi, serta kewenangan Bank Indonesia melakukan uji kemampuan dan kepatutan terhadap calon
Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan/atau calon pengurus Bank hasil merger atau konsolidasi.
3. Pengaturan mengenai BHC, antara lain:
a. Tata cara dan batas waktu pelaksanaan pembentukan BHC dan pengalihan saham dari PSP kepada BHC.
b. Tugas BHC.
c. Permodalan BHC.
d. Perusahaan Induk di Bidang Keuangan (Financial Holding Company) yang bertindak sebagai BHC.
e. Kewenangan Bank Indonesia untuk menyetujui atau menolak permohonan pembentukan BHC dan calon PSP
dan/atau pengurus BHC.
4. Pengaturan mengenai Fungsi Holding, antara lain:
a. Jenis PSP yang dapat membentuk Fungsi Holding, yaitu hanya PSP berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia
dan instansi Pemerintah Republik Indonesia.
b. Tata cara dan batas waktu pembentukan Fungsi Holding.
c. Kewenangan Bank Indonesia memberikan persetujuan atas pembentukan Fungsi Holding.
114
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
5. Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Perusahaan Induk di Bidang Perbankan dan
terhadap Fungsi Holding sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas pengaturan dan pengawasan Bank,
termasuk melakukan pemeriksaan, baik secara berkala maupun sewaktu-waktu apabila diperlukan.
6. BHC dan Fungsi Holding menyampaikan laporan-laporan kepada Bank Indonesia seperti:
a. program kerja strategis BHC atau Fungsi Holding.
b. Laporan pengawasan BHC atau Fungsi Holding terhadap Bank.
c. Laporan prudential lainnya.
7. Pada saat Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku maka Surat Edaran Bank Indonesia No.9/32/DPNP tanggal
12 Desember 2007 perihal Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan : Surat Edaran No. 15/3/DPM tanggal 28 Februari 2013 perihal Perubahan Kedua atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah
kepada Bank
Berlaku : 18 Maret 2013
I. Ketentuan ini merupakan penyempurnaan kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal
Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank yang ditujukan untuk meningkatkan kehati-hatian dalam
transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank, khususnya pembelian valuta asing terhadap rupiah
yang dilakukan oleh pedagang valuta asing (PVA). Hal ini diharapkan dapat mendukung upaya Bank Indonesia dalam
mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah.
II. Penyempurnaan pengaturan meliputi:
1. Bank dapat memenuhi kebutuhan pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan oleh PVA hanya dalam
bentuk uang kertas asing secara fisik. Penyerahan dana rupiah dalam penyelesaian transaksi tersebut dapat
dilakukan melalui pemindahbukuan antar rekening.
2. Permintaan valuta asing oleh perusahaan penyelenggara transfer dana kepada bank dengan nilai nominal di atas
USD 100 ribu per bulan hanya dapat dipenuhi oleh bank apabila perusahaan tersebut dapat memenuhi persyaratan
underlying nasabah yang bukan merupakan PVA.
3. Penyempurnaan pengaturan mengenai dokumen underlying yang wajib diserahkan oleh PVA apabila melakukan
pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank.
4. Ketentuan ini berlaku pada tanggal 18 Maret 2013, namun khusus ketentuan yang mengatur Pedagang Valuta
Asing diberlakukan pada tanggal 1 Mei 2013.
115
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/4/DPNP tanggal 6 Maret 2013 perihal Kepemilikan
Saham Bank Umum
Berlaku : Sejak tanggal 6 Maret 2013
1. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan tindaklanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No.14/8/PBI/2012 tanggal 13 Juli 2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum.
2. Pokok-pokok pengaturan SE BI ini meliputi antara lain:
a. Penerapan batas maksimum kepemilikan saham bank bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dan perusahaan induk
diatur berikut ini.
1. Batas maksimum kepemilikan saham bagi Pemda yang akan mendirikan atau mengakuisisi bank dipersamakan
dengan batas kepemilikan bagi badan hukum bukan lembaga keuangan yaitu 30% untuk masing-masing
Pemda.
2. Batas maksimum kepemilikan saham bagi Perusahaan Induk di bidang Perbankan yang dibentuk untuk
memenuhi PBI Kepemilikan Tunggal dikecualikan dari batas maksimum kepemilikan saham. Namun apabila
kemudian perusahaan induk tersebut akan melakukan akuisisi bank lainnya, maka batas maksimum kepemilikan
saham adalah sebesar batas kepemilikan yang tertinggi dari kategori pemegang saham dari Perusahaan
Indukdi bidang Perbankan tersebut.
b. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, pemegang saham Bank dapat meningkatkan kepemilikan saham
dengan kewajiban menyesuaikan batas maksimum kepemilikan sesuai dengan ketentuan dalam PBI Kepemilikan
Saham Bank Umum.
c. Setelah tanggal 31 Desember 2013, Pemegang saham yang memiliki saham Bank kurang dari batas maksimum
kepemilikan saham dapat meningkatkan kepemilikan saham sampai dengan batas maksimum kepemilikan saham
Bank. Sedangkan bagi Pemegang saham yang memiliki saham Bank lebih dari batas maksimum kepemilikan
saham Bank dapat melakukan penambahan kepemilikan saham sepanjang tidak menambah persentase kepemilikan
sahamnya.
d. Pemegang saham langsung Bank wajib menyesuaikan kepemilikan saham sesuai dengan batas maksimum
kepemilikan saham, apabila perubahan pengendalian dimaksud berupa:
1. Perubahan pemegang saham Bank langsung atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT); dan/atau
2. Perubahan persentase kepemilikan saham Bank oleh pemegang saham langsung atau perubahan persentase
kepemilikan PSPT pada Bank yang secara tidak langsung mempengaruhi jumlah pengendalian pada Bank.
e. Persyaratan khusus bagi calon PSP berupa WNA/badan hukum asing dan calon pemegang saham Bank yang
akan memiliki saham lebih dari 40% berupa penilaian Tingkat Kesehatan (TKS), Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) sesuai profil risiko, dan modal inti (tier 1) menggunakan posisi penilaian 1 (satu) tahun terakhir.
Sedangkan pemenuhan persyaratan peringkat investasi yang digunakan adalah posisi peringkat investasi paling
lama 1 (satu) tahun sebelum yang bersangkutan menjadi PSP bank.
116
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
f. Pemberian persetujuan Bank Indonesia kepada calon pemegang saham untuk memiliki saham bank lebih dari
40% dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Persetujuan untuk memiliki saham bank sebesar 40% terlebih dahulu;
2. Persetujuan untuk dapat meningkatkan jumlah kepemilikan dengan kewajiban mengajukan kembali permohonan
untuk meningkatkan kepemilikan saham apabila bank yang dimiliki memiliki TKS dan GCG 1 atau 2 selama
3 periode berturut-turut dalam periode 5 tahun.
g. Komitmen untuk mendukung pengembangan perekonomian Indonesia bagi PSP asing, dikaitkan dengan prioritas
pembangunan Indonesia mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang dikeluarkan
Bapenas.
h. Calon pemegang saham berupa lembaga keuangan asing atau lembaga keuangan asing yang akan memiliki
saham bank lebih dari 40% wajib mendapatkan rekomendasi dari otoritas pengawasan dari negara asal termasuk
rekomendasi bahwa otoritas home country PSP Bank akan mendukung kebijakan otoritas pengawas di tempat
kedudukan Bank (host country) di bidang pengawasan yang antara lain bertujuan untuk memperbaiki kinerja
Bank dan/atau memelihara stabilitas sistem keuangan di tempat kedudukan Bank (host country).
i. Calon pemegang saham Bank yang akan memiliki saham Bank lebih dari 40% wajib pula memiliki komitmen
untuk membeli surat utang bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh Bank yang dimiliki jika Bank yang dimiliki
diperkirakan mengalami kesulitan memenuhi rasio KPMM sesuai profil risiko di masa yang akan datang.
j. Kewajiban menyesuaikan batas maksimum kepemilikan saham bagi pemegang saham pada Bank Umum Syariah
hasil pemisahan (spin off) unit usaha syariah paling lama akhir Desember 2028.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/5/DSM Tanggal 7 Maret 2013 Perihal Pelaporan Kegiatan
Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri
Berlaku : 7 Maret 2013
1. Surat Edaran Nomor 15/5/DSM Perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Selain Utang Luar Negeri merupakan
ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.14/21/PBI/2012 Tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas
Devisa. Surat Edaran ini mencabut Surat Edaran No.14/24/DSM tanggal 7 September 2012 perihal Pelaporan Kegiatan
Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank.
2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini yang berubah dibandingkan aturan sebelumnya mencakup:
a. Penyesuaian Batas Waktu Penyampaian Laporan (BWPL) dan Batas Waktu Penyampaian Koreksi Laporan (BWPKL)
apabila hari terakhir jatuh pada hari Sabtu, Minggu, libur dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
menjadi hari kerja selanjutnya.
b. Perubahan sanksi denda maksimum untuk laporan tidak benar dan/atau tidak lengkap dari semula Rp20.000.000,-
(dua puluh juta Rupiah) menjadi Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah).
117
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
c. Perubahan sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan dari semula Rp1.000.000,- (satu juta Rupiah) setiap
hari keterlambatan dengan maksimum denda Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah) menjadi Rp500.000,- (lima
ratus ribu Rupiah) setiap hari keterlambatan dengan maksimum denda Rp5.000.000,- (lima juta Rupiah).
d. Perhitungan hari keterlambatan yang semula berdasarkan hari kalender menjadi hari kerja.
e. Perubahan sanksi denda tidak menyampaikan laporan dari semula Rp20.000.000,- (dua puluh juta Rupiah)
menjadi Rp10.000.000,- (sepuluh juta Rupiah).
f. Subjek sanksi denda dikenakan kepada pelapor yang sudah melewati 3 (tiga) kali masa pelaporan sejak penyampaian
laporan pertama.
g. Perubahan rekening pembayaran sanksi denda pelaporan dari rekening kas negara menjadi rekening Bank Indonesia.
h. Perubahan batas waktu penyampaian bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda dari semula akhir
bulan berikutnya setelah surat penetapan sanksi diterima pelapor menjadi akhir bulan berikutnya setelah tanggal
penerbitan surat penetapan sanksi.
3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 2013 dan berlaku surut sejak pelaporan data
PL bulan Desember 2012 yang disampaikan pada bulan Januari 2013.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/6/DPNP tanggal 8 Maret 2013 perihal Kegiatan Usaha Bank
Umum berdasarkan Modal Inti
Berlaku : Tanggal 8 Maret 2013
Latar Belakang Pengaturan:
Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No.14/26/PBI/2012
tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. SE ini mewajibkan
Bank melakukan identifikasi dan menyampaikan action plan atas produk atau aktivitas yang tidak menjadi cakupan
kelompok kegiatan usaha Bank berdasarkan modal inti (BUKU) serta mengajukan permohonan untuk memperoleh
persetujuan sebelum menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru yang bukan merupakan produk dan aktivitas
dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi.
Substansi Pengaturan:
1. Bank dapat melakukan kegiatan usaha berupa penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas sesuai cakupan produk
dan aktivitas yang diperkenankan menurut BUKU. BUKU dibedakan menjadi 4 kelompok, BUKU 1 sampai dengan
BUKU 4. Semakin tinggi modal inti Bank, semakin tinggi BUKU dan semakin luas cakupan produk yang dapat
diterbitkan atau aktivitas yang dapat dilaksanaakan oleh Bank.
2. Penerbitan produk dan aktivitas baru Bank wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan produk atau aktivitas yang diperkenankan pada masing-masing BUKU;
b. rencana penerbitan produk yang belum pernah diterbitkan atau aktivitas yang belum pernah dilaksanakan
sebelumnya wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan rencana penerbitan
produk atau pelaksanaan aktivitas tersebut;
118
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
c. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang merupakan produk atau aktivitas dasar tidak memerlukan
persetujuan dari Bank Indonesia;
d. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang bukan merupakan produk atau aktivitas dasar dan/atau
memiliki risiko serta kompleksitas tinggi, wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia;
dan
e. menerapkan manajemen risiko yang memadai untuk memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh penerbitan produk
atau pelaksanaan aktivitas sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko bagi Bank Umum.
3. Produk atau aktivitas baru yang wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia adalah produk atau aktivitas yang
bukan merupakan aktivitas dasar dan/atau memiliki risiko serta kompleksitas yang tinggi antara lain meliputi:
a. Penghimpunan dana berupa penerbitan surat utang dan atau pinjaman yang memiliki fitur ekuitas, serta sekuritisasi
aset;
b. Aktivitas treasury berupa structured product dan credit derivative;
c. Keagenan dan kerjasama berupa aktivitas bancassurance, kustodian, wali amanat, dan trust; dan
d. Kegiatan sistem pembayaran antara lain berupa penyelengaraan kliring, penyelenggara Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu (APMK) dan penyelenggara Uang Elektronik (e-money), phone banking, SMS banking, mobile
banking, dan internet banking.
4. Produk atau aktivitas baru yang tidak wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia antara lain meliputi:
a. penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas dasar antara lain penghimpunan dana dalam bentuk giro, tabungan,
sertifikat deposito dan pinjaman yang diterima serta penyaluran dana dalam bentuk kredit, pembelian surat
berharga, penempatan pada Bank Indonesia dan penempatan pada bank lain;
b. aktivitas penjualan produk-produk yang diterbitkan oleh Pemerintah, misalnya aktivitas agen penjual Surat Utang
Negara (SUN) dan aktivitas agen penjual Obligasi Ritel Indonesia (ORI);
c. penanaman dana dalam rangka investasi, misalnya pembelian Reksa Dana pendapatan tetap, penempatan pada
SBI, dan pembelian surat berharga korporasi;
d. penyaluran dan penghimpunan dana dalam rangka pengelolaan likuiditas, antara lain Penempatan antar Bank,
penerimaan pinjaman antar Bank;
e. penerimaan pinjaman dari pihak lain, misalnya pinjaman antar Bank dan pinjaman dari non Bank seperti lembaga
multilateral; dan
f. pengembangan dari produk atau aktivitas konvensional yang pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya
oleh Bank.
5. Tata cara persetujuan produk atau aktivitas baru kepada Bank Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Pencantuman rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas yang belum pernah diterbitkan atau
dilaksanakan oleh Bank dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan penerbitan atau pelaksanaan
aktivitas baru;
b. Pengajuan permohonan Persetujuan Penerbitan Produk atau Pelaksanaan Aktivitas paling lambat 60 (enam puluh)
hari sebelum penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; dan
c. Pengajuan laporan Realisasi Penerbitan Produk atau Pelaksanaan Aktivitas Baru kepada Bank Indonesia paling
lama 7 (tujuh) hari kerja setelah produk diterbitkan atau aktivitas baru dilaksanakan.
119
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
6. Bank wajib melakukan identifikasi terhadap produk atau aktivitas Bank yang telah diterbitkan atau dilaksanakan tetapi
tidak menjadi cakupan produk atau aktivitas BUKU Bank. Selanjutnya, Bank harus menyampaikan rencana tindak
(action plan) atas produk atau aktivitas yang tidak menjadi cakupan BUKU Bank yang dapat berupa:
a. Rencana penambahan Modal inti; atau
b. Rencana penyesuaian Kegiatan Usaha.
7. Rencana tindak wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan Maret 2013, dan Bank
Indonesia melakukan penilaian atas rencana tindak Bank. Berdasarkan hasil penilaian Bank Indonesia, Bank wajib
melakukan revisi atas Rencana Bisnis Bank dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan
Juni 2013.
8. Bank wajib melakukan penambahan Modal dan/atau menyesuaikan Kegiatan Usaha yang mencakup produk dan
aktivitas, kegiatan valuta asing, dan kegiatan Penyertaan Modal paling lama:
a. 3 (tiga) tahun sejak revisi Rencana Bisnis Bank tahun 2013 disetujui oleh Bank Indonesia; atau
b. 5 (tahun) sejak revisi Rencana Bisnis Bank tahun 2013 disetujui Bank Indonesia, bagi Bank yang dimiliki Pemerintah
Daerah.
9. Bab Peralihan dalam SE ini diatur antara lain mengenai:
a. Penentuan BUKU Bank berdasarkan Modal Inti, untuk pertama kali didasarkan pada posisi Modal Inti Bank pada
akhir bulan Desember 2012.
b. Bagi Bank yang sebelum berlakunya SE Bank Indonesia ini telah melakukan Kegiatan Usaha yang tidak sesuai
dengan BUKU, wajib menyampaikan rencana tindak pemenuhan Modal Inti atau rencana tindak penyesuaian
Kegiatan Usaha kepada Bank Indonesia.
c. Rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam huruf b, wajib disampaikan oleh Bank yang tidak mampu memenuhi
persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU sampai dengan akhir bulan Maret 2013.
d. Ketentuan dalam huruf b tidak berlaku bagi Bank yang sampai dengan akhir bulan Maret 2013 telah mampu
memenuhi persyaratan Modal Inti minimum berdasarkan BUKU. Namun Bank wajib menyampaikan laporan dan
bukti pendukung pemenuhan Modal Inti minimum kepada pengawas Bank yang bersangkutan sebagai dasar
penyesuaian BUKU Bank.
e. Informasi yang harus disampaikan dalam Rencana tindak pemenuhan Modal Inti dan Rencana tindak penyesuaian
Kegiatan Usaha adalah sebagaimana diatur dalam SE BI ini.
f. Bagi Bank yang telah menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas yang berdasarkan SE Bank Indonesia ini
wajib memperoleh persetujuan Bank Indonesia, tetap dapat memelihara produk atau aktivitas tersebut tanpa
harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia, sepanjang merupakan cakupan produk
atau aktivitas yang diperkenankan menurut BUKU Bank.
g. Ketentuan dalam huruf b tidak berlaku bagi Bank yang pada posisi akhir Desember 2012 tidak memenuhi
persyaratan Modal Inti minimum sesuai BUKU, namun mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia untuk
tetap dapat melakukan Kegiatan Usaha tertentu berdasarkan pertimbangan stabilitas sistem keuangan dan/atau
mendorong perkembangan perekonomian nasional, termasuk Bank yang dalam penanganan atau penyelamatan
LPS.
10.SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dengan berlakunya SE Bank Indonesia ini, maka SE Bank Indonesia
No.11/35/DPNP tanggal 31 Desember 2009 perihal Pelaporan Produk atau Aktivitas Baru dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
120
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/7/DPNP tanggal 8 Maret 2013 perihal Pembukaan
Jaringan Kantor Bank Umum Berdasarkan Modal Inti
Berlaku : Tanggal 8 Maret 2013
Latar Belakang Pengaturan:
• Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012
tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
• SE ini mengatur bahwa Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu didukung dengan kemampuan keuangan yang
memadai, yang antara lain tercermin pada ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor Bank
(Theoretical Capital). Selain itu, dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank didorong untuk
melakukan perluasan ke wilayah yang kurang terlayani oleh jasa perbankan guna mendukung upaya pengembangan
pembangunan nasional.
Substansi Pengaturan:
1. Bank Indonesia mengelompokkan seluruh wilayah provinsi di Indonesia menjadi 6 (enam) zona, yaitu Zona 1 sampai
dengan Zona 6, berdasarkan analisis tingkat kejenuhan Bank Umum dan pemerataan pembangunan dalam masing-
masing zona.
2. Zona 1 menunjukkan zona yang paling jenuh sedangkan Zona 6 menunjukkan zona paling tidak jenuh. Untuk
setiap zona ditetapkan suatu besaran koefisien, dengan angka koefisien tertinggi yaitu 5 untuk zona yang paling
jenuh dan angka koefisien terendah yaitu 0,5 untuk zona yang paling tidak jenuh.
3. Bank Indonesia menetapkan biaya investasi pembukaan jaringan kantor berdasarkan jenis kantor Bank untuk
masing-masing Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Biaya investasi BUKU 3 dan 4 lebih besar dari
BUKU 1 dan 2.
4. Bank Umum memperhitungkan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor untuk kantor yang sudah ada
(existing) dan untuk rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang baru.
5. Bank yang akan mengajukan rencana Pembukaan Jaringan Kantor, wajib mencantumkan perhitungan ketersediaan
alokasi Modal Inti dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) dengan menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan September.
6. Bank Indonesia akan menilai pula posisi Modal Inti Bank pada saat Bank mengajukan permohonan rencana
Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia.
7. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan
jenis kantor dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor dengan jumlah sesuai dengan ketersediaan alokasi
Modal Inti.
121
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
8. Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 6 dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan
Kantor apabila Bank menyalurkan kredit kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) paling rendah 20%
dan/atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK) paling rendah 10% dari total portofolio kredit.
9. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai
lokasi dan jenis kantor, dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor apabila menyalurkan kredit kepada UMKM
paling rendah 20% atau UMK paling rendah 10% dari total portofolio kredit, dan melakukan pemupukan modal.
10.Bank Indonesia juga mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank yang antara lain diukur melalui rasio
Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Interest Margin (NIM) untuk menetapkan
jumlah Pembukaan Jaringan Kantor Bank.
11.Perhitungan pencapaian penyaluran kredit kepada UMKM dan/atau UMK yang digunakan dalam rencana Pembukaan
Jaringan Kantor pada RBB menggunakan data UMKM dan/atau UMK posisi akhir bulan September.
12.Bank Indonesia akan menilai pencapaian tingkat efisiensi Bank dan pencapaian penyaluran kredit kepada UMKM
dan/atau UMK, baik pada saat penilaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor dalam RBB maupun pada saat Bank
mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia.
13.Dalam rangka meningkatkan pemerataan Jaringan Kantor Bank, Pembukaan Jaringan Kantor Bank oleh BUKU 3
atau BUKU 4 diatur sebagai berikut:
a. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang (KC) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC
(kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6; dan/atau
b. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang Pembantu (KCP) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan
1 (satu) KCP (kovensional atau syariah) atau 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6.
14.Perhitungan 3 (tiga) KC atau 3 (tiga) KCP di Zona 1 atau Zona 2 dihitung secara kumulatif sejak berlakunya ketentuan
ini. Bank yang belum merealisasikan kewajiban pembukaan KC dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 tidak dapat
melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1, Zona 2, Zona 3 dan Zona 4.
15.Kewajiban perimbangan pembukaan jaringan kantor, tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah
dan melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan
kantor pusatnya.
16.Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat bank meliputi pula provinsi hasil pemekaran wilayah sepanjang
Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah belum memiliki saham mayoritas pada Bank yang berkantor
pusat di provinsi hasil pemekaran.
17.Bank yang telah memiliki Jaringan Kantor di dalam dan luar negeri sebelum Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku,
dapat tetap mengoperasikan Jaringan Kantor tersebut.
18.Bank wajib menyesuaikan rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk tahun 2013 dengan memperhitungkan
alokasi Modal Inti. Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor tahun 2013, wajib dicantumkan dalam revisi
RBB tahun 2013 dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Juni 2013.
122
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
19.Dasar perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti, untuk pertama kali menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan
Desember 2012.
20.SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/8/DPbS tanggal 27 Maret 2013 perihal Pembukaan
Jaringan Kantor Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Berdasarkan Modal Inti
Berlaku : Tanggal 27 Maret 2013
Latar Belakang Pengaturan:
• Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012
tanggal 27 Desember 2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.
• SE ini mengatur bahwa Pembukaan Jaringan Kantor Bank perlu didukung dengan kemampuan keuangan yang
memadai, yang antara lain tercermin pada ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor Bank
(Theoretical Capital), dengan tetap mempertimbangkan pengembangan perbankan syariah ke depan. Selain itu,
dalam rangka perimbangan penyebaran Jaringan Kantor, Bank didorong untuk melakukan perluasan ke wilayah
yang kurang terlayani oleh jasa perbankan guna mendukung upaya pengembangan pembangunan nasional.
Substansi Pengaturan:
1. SE ini berlaku untuk Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS).
2. Delivery channel dan layanan syariah tidak diperhitungkan sebagai Pembukaan Jaringan Kantor Bank.
3. Bank Indonesia mengelompokkan seluruh wilayah provinsi di Indonesia menjadi 6 (enam) zona, yaitu Zona 1 sampai
dengan Zona 6, berdasarkan analisis tingkat kejenuhan Bank dan pemerataan pembangunan dalam masing-masing
zona.
4. Zona 1 menunjukkan zona yang paling jenuh sedangkan Zona 6 menunjukkan zona paling tidak jenuh. Untuk
setiap zona ditetapkan suatu besaran koefisien, dengan angka koefisien tertinggi yaitu 5 untuk zona yang paling
jenuh dan angka koefisien terendah yaitu 0,5 untuk zona yang paling tidak jenuh.
5. Bank Indonesia menetapkan biaya investasi pembukaan jaringan kantor berdasarkan jenis kantor Bank untuk
masing-masing Bank berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Biaya investasi BUKU 3 dan 4 lebih besar dari BUKU 1
dan 2. Pengelompokan BUKU untuk UUS didasarkan pada Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi
induknya.
6. Bank memperhitungkan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan jenis kantor untuk kantor yang sudah ada (existing)
dan untuk rencana Pembukaan Jaringan Kantor yang baru. Yang dimaksud dengan kantor Bank yang sudah ada
(existing) adalah kantor yang telah berdiri kurang atau sama dengan 2 (dua) tahun. Perhitungan alokasi Modal
Inti untuk UUS menggunakan Modal Inti Bank Umum Konvensional yang menjadi induknya.
123
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
7. Bank yang akan mengajukan rencana Pembukaan Jaringan Kantor, wajib mencantumkan perhitungan ketersediaan
alokasi Modal Inti dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) dengan menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan September.
8. Bank Indonesia akan menilai pula posisi Modal Inti Bank pada saat Bank mengajukan permohonan rencana
Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia.
9. Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai lokasi dan
jenis kantor dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor dengan jumlah sesuai dengan ketersediaan alokasi
Modal Inti.
10.Bank sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dapat memperoleh insentif tambahan jumlah Pembukaan Jaringan
Kantor apabila Bank menyalurkan pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) paling rendah
20% dan/atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK) paling rendah 10% dari total portofolio pembiayaan. Penilaian
pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM atau UMK untuk UUS dihitung dengan menggunakan jumlah
penyaluran pembiayaan dan kredit kepada UMKM atau UMK yang dilakukan UUS dan Bank Umum Konvensional
yang menjadi induknya secara konsolidasi.
11.Bank yang memenuhi persyaratan tingkat kesehatan namun tidak memiliki ketersediaan alokasi Modal Inti sesuai
lokasi dan jenis kantor, dapat melakukan pembukaan Jaringan Kantor apabila menyalurkan pembiayaan kepada
UMKM paling rendah 20% atau UMK paling rendah 10% dari total portofolio pembiayaan, dan melakukan
pemupukan modal.
12.Bank Indonesia juga mempertimbangkan pencapaian tingkat efisiensi Bank yang antara lain diukur melalui rasio
Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan rasio Net Operating Margin (NOM) untuk menetapkan
jumlah Pembukaan Jaringan Kantor Bank. Khusus untuk UUS, penilaian pencapaian tingkat efisiensi (rasio BOPO
dan Net Interest Margin) dihitung menggunakan pencapaian rasio efisiensi UUS dan Bank Umum Konvensional yang
menjadi induknya secara konsolidasi.
13.Perhitungan pencapaian penyaluran pembiayaan kepada UMKM dan/atau UMK yang digunakan dalam rencana
Pembukaan Jaringan Kantor pada RBB menggunakan data UMKM dan/atau UMK posisi akhir bulan September.
14.Bank Indonesia akan menilai pencapaian tingkat efisiensi Bank dan pencapaian penyaluran pembiayaan kepada
UMKM dan/atau UMK, baik pada saat penilaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor dalam RBB maupun pada
saat Bank mengajukan permohonan rencana Pembukaan Jaringan Kantor kepada Bank Indonesia
15.Dalam rangka meningkatkan pemerataan Jaringan Kantor Bank, Pembukaan Jaringan Kantor Bank oleh BUKU 3
atau BUKU 4 diatur sebagai berikut:
a. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang (KC) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC
(kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6; dan/atau
b. pembukaan 3 (tiga) Kantor Cabang Pembantu (KCP) di Zona 1 atau Zona 2, wajib diikuti dengan pembukaan
1 (satu) KCP (kovensional atau syariah) atau 1 (satu) KC (kovensional atau syariah) di Zona 5 atau Zona 6.
16.Kewajiban pembukaan KC atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 sebagaimana dimaksud dalam angka 15 untuk Bank
Umum Konvensional yang memiliki UUS dengan ketentuan:
124
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
a. Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 merupakan kantor konvensional maka
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf A dan B wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC atau KCP
berupa KC atau KCP konvensional atau syariah.
b. Dalam hal pembukaan 3 (tiga) KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 merupakan kantor syariah maka kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam huruf A dan B wajib diikuti dengan pembukaan 1 (satu) KC atau KCP syariah.
17.Perhitungan 3 (tiga) KC atau 3 (tiga) KCP di Zona 1 atau Zona 2 dihitung secara kumulatif sejak berlakunya ketentuan
ini. Bank yang belum merealisasikan kewajiban pembukaan KC dan/atau KCP di Zona 5 atau Zona 6 tidak dapat
melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1, Zona 2, Zona 3 dan Zona 4.
18.Kewajiban perimbangan pembukaan jaringan kantor, tidak berlaku bagi Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah
dan melakukan pembukaan KC atau KCP di Zona 1 atau Zona 2 yang merupakan wilayah provinsi tempat kedudukan
kantor pusatnya. Wilayah provinsi tempat kedudukan kantor pusat bank meliputi pula provinsi hasil pemekaran
wilayah sepanjang Pemerintah Daerah provinsi hasil pemekaran wilayah belum memiliki saham mayoritas pada
Bank yang berkantor pusat di provinsi hasil pemekaran.
19.Bank yang telah memiliki Jaringan Kantor di dalam dan luar negeri sebelum Surat Edaran Bank Indonesia ini berlaku,
dapat tetap mengoperasikan Jaringan Kantor tersebut.
20.Bank wajib menyesuaikan rencana Pembukaan Jaringan Kantor Bank untuk tahun 2013 dengan memperhitungkan
alokasi Modal Inti. Penyesuaian rencana Pembukaan Jaringan Kantor tahun 2013, wajib dicantumkan dalam revisi
RBB tahun 2013 dan disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir bulan Juni 2013.
21.Dasar perhitungan ketersediaan alokasi Modal Inti, untuk pertama kali menggunakan Modal Inti posisi akhir bulan
Desember 2012.
Peraturan : Surat Edaran Nomor 15/9/DSM Perihal Penerimaan Devisa Hasil Ekspor
Berlaku : 27 Maret 2013
Ringkasan :
1. Surat Edaran Nomor 15/9/DSM Perihal Penerimaan Devisa Hasil Ekspor merupakan ketentuan pelaksanaan dari
Peraturan Bank Indonesia No.14/25/PBI/2012 Tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang
Luar Negeri.
2. Pokok-pokok aturan dalam Surat Edaran ini mencakup:
a. Istilah/terminologi yang umum dalam perdagangan internasional didefinisikan secara eksplisit dalam ketentuan
umum, seperti operational leasing, financial leasing, dan usance L/C.
b. Aturan tentang kewajiban penerimaan DHE termasuk pemberian contoh-contohnya, seperti penerimaan DHE
tidak wajib dikonversi ke rupiah dan penerimaan DHE dapat dilakukan dalam valuta yang berbeda dari yang
tercantum di PEB.
125
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
c. Ketentuan mengenai penyampaian data, keterangan, dan informasi berikut contohnya, antara lain nilai DHE
yang disampaikan dalam laporan rincian transaksi ekspor adalah nilai setelah memperhitungkan biaya-biaya,
cara penghitungan selisih kurang antara nilai DHE dan nilai PEB, serta jenis dokumen pendukung yang harus
disampaikan eksportir.
d. Penghitungan dan mekanisme pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE kepada
eksportir, seperti penyampaian surat pemantauan penerimaan DHE kepada eksportir/pemilik barang terkait belum
terpenuhinya ketentuan penerimaan DHE sebelum dikeluarkannya surat pengenaan sanksi serta penyampaian
tembusan surat pengenaan sanksi kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) serta instansi terkait.
e. Tatacara pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan ekspor, yaitu antara lain berupa bukti-bukti yang
harus disampaikan eksportir serta kegiatan verifikasi oleh Bank Indonesia atas bukti-bukti tersebut.
3. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 27 Maret 2013.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomer 15/10/DPNP tanggal 28 Maret 2013 perihal Laporan
Kegiatan Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) Bank Umum yang Disampaikan kepada Bank
Indonesia
Berlaku : Sejak tanggal 28 Maret 2013
Latar Belakang Pengaturan:
• Surat Edaran (SE) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No.14/17/PBI/2012
tanggal 23 November 2012 tentang Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan (Trust).
• SE ini mengatur bahwa Bank wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha penitipan dengan pengelolaan secara
berkala untuk setiap kantor unit kerja Trustee kepada Bank Indonesia.
• SE ini memberikan pedoman penyusunan laporan kegiatan Trust kepada seluruh Bank Umum.
Substansi Pengaturan:
1. Pokok-pokok pengaturan SE ini adalah mengenai mekanisme, format dan bentuk laporan yang disertai petunjuk
teknis penyusunan laporan kegiatan Trust.
2. Laporan yang disampaikan paling kurang mencakup informasi mengenai:
a. Sumber Daya Manusia unit kerja Trustee
b. Perjanjian Trust dan Settlor.
c. Kegiatan Trust.
d. Posisi Aset dan Kewajiban Trust.
3. SE ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
126
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/11/DPNP tanggal 8 April 2013 perihal Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Bagi Bank Umum
Berlaku : Tanggal 8 April 2013
Latar Belakang Pengaturan:
• Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) ini merupakan tindak lanjut dari telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No.14/16/PBI/2012 tanggal 23 November 2012 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.
• SE BI ini mengatur FPJP terkait dengan persyaratan pengajuan, tata cara pengajuan, perhitungan nilai agunan,
persetujuan, tata cara pelaksanaan pemberian, pelunasan, eksekusi agunan, biaya pemberian dan pengawasan
penggunaan FPJP.
• Pada saat SE BI ini mulai berlaku, SE BI No.10/39/DPM tanggal 14 November 2008 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Substansi Pengaturan:
I. Persyaratan FPJP
1. Umum
a. Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJP adalah Bank yang:
1) mengalami Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek
2) memiliki agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai agunan yang mencukupi
3) memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling rendah 8% dan memenuhi modal
sesuai dengan profil risiko Bank, berdasarkan perhitungan Bank Indonesia.
b. FPJP diberikan sebesar plafon FPJP yang dihitung berdasarkan perkiraan jumlah kebutuhan likuiditas sampai
dengan Bank memenuhi GWM berdasarkan hasil analisis Bank Indonesia atas proyeksi arus kas yang disampaikan
oleh Bank.
c. Pencairan FPJP sebesar kebutuhan Bank untuk memenuhi kewajiban GWM, selama memenuhi plafon dan
jangka waktu FPJP.
d. Jangka waktu FPJP:
1) Jangka waktu setiap FPJP paling lama 14 hari kalender.
2) Jangka waktu FPJP dapat diperpanjang secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJP keseluruhan
paling lama 90 hari kalender.
e. Biaya bunga FPJP sebesar tingkat suku bunga Lending Facility ditambah 100 basis poin.
2. Agunan FPJP
a. Bank menjamin FPJP dengan agunan milik Bank berupa SBI, SBIS, SBN, Obligasi Korporasi dan/atau Aset Kredit.
b. Obligasi Korporasi hanya dapat dijadikan agunan FPJP dalam hal:
1) Bank memiliki SBI, SBIS, dan/atau SBN, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan FPJP; atau
2) Bank tidak memiliki SBI, SBIS, dan/atau SBN.
127
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
c. Aset Kredit hanya dapat dijadikan agunan FPJP dalam hal:
1) Bank memiliki SBI, SBIS, SBN, dan/atau Obligasi Korporasi, namun tidak mencukupi untuk menjadi agunan
FPJP; atau
2) Bank tidak memiliki SBI, SBIS, SBN, dan/atau Obligasi Korporasi.
II. Pengajuan FPJP
1. Permohonan FPJP. Bank dapat mengajukan permohonan FPJP paling cepat 7 (tujuh) hari kerja sebelum rencana
kebutuhan FPJP pada setiap hari kerja pukul 08.30 WIB sampai dengan 12.00 WIB.
2. Permohonan perpanjangan FPJP. Apabila pada saat FPJP jatuh tempo Bank belum dapat melunasi pokok FPJP,
Bank dapat memperpanjang FPJP dengan perubahan jangka waktu dan/atau plafon FPJP sesuai kebutuhan.
3. Permohonan Penambahan Plafon FPJP. Apabila diperlukan, selama masa periode FPJP Bank dapat mengajukan
penambahan plafon FPJP sesuai kebutuhan, dengan ketentuan:
a. Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan perkiraan arus kas selama periode FPJP;
b. Bank memiliki agunan yang nilainya mencukupi dan memenuhi persyaratan; dan
c. Bank memenuhi persyaratan Rasio KPMM dan sesuai profil risiko.
III. Perhitungan Nilai Agunan FPJP
1. Agunan berupa SBI dan/atau SBIS, nilai agunan ditetapkan sebesar 100% dari plafon FPJP.
2. Agunan berupa SBN, nilai agunan ditetapkan paling rendah sebesar 105% dari plafon FPJP,
3. Agunan berupa Obligasi Korporasi, besarnya nilai agunan ditetapkan sebesar:
a. 120% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan/atau dijamin oleh pemerintah, dengan peringkat teratas.
b. 135% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat teratas.
c. 140% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat kedua teratas.
d. 145% plafon FPJP yang dijamin dengan Obligasi Korporasi, dengan peringkat ketiga teratas.
4. Agunan berupa Aset Kredit
a. Nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai baki debet Aset Kredit 2 (dua) hari kerja sebelum tanggal permohonan
FPJP.
b. Besarnya nilai agunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan 200% (dua ratus persen) dari plafon
FPJP yang dijamin dengan Aset Kredit.
IV. Persetujuan FPJP
Bank Indonesia menyetujui permohonan FPJP dalam hal:
1. Bank telah memenuhi persyaratan dan kelengkapan dokumen untuk permohonan awal, penambahan dan/atau
perpanjangan FPJP.
2. Berdasarkan analisis Bank Indonesia, diperkirakan bahwa Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM berdasarkan
perkiraan arus kas yang disampaikan oleh Bank.
128
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
V. Pelaksanaan Pemberian FPJP
1. Pencairan FPJP. Dalam hal permohonan FPJP disetujui, Bank Indonesia akan mencairkan pemberian FPJP sebesar
kekurangan GWM yang dihitung berdasarkan posisi harian saldo giro Bank dan diberikan sepanjang tidak melebihi
plafon FPJP yang disetujui.
2. Pemantauan FPJP
a. Bank harus menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia mengenai penggunaan FPJP dan kondisi likuiditas
Bank pada setiap akhir hari kerja.
b. Bank melakukan perhitungan rasio KPMM secara harian selama periode pemberian FPJP.
c. Bank melakukan penilaian dan pemantauan pemenuhan persyaratan agunan terhadap seluruh agunan FPJP
secara harian.
d. Penghentian pencairan FPJP. Bank Indonesia akan menghentikan pencairan FPJP dalam hal:
1) hasil perhitungan rasio KPMM bank di bawah 8% dan profil resiko Bank
2) terjadi penurunan nilai agunan FPJP dengan kondisi sebagai berikut:
a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJP.
b) Bank masih memiliki sisa plafon yang lebih besar daripada penurunan nilai agunan.
e. Pengakhiran FPJP, Bank Indonesia akan mengakhiri perjanjian FPJP dalam hal:
1) terjadi penurunan nilai agunan pada saat periode penghentian pencairan FPJP sehingga nilai sisa plafon
lebih kecil dibandingkan dengan nilai penurunan agunan.
2) terjadi penurunan nilai agunan FPJP dengan kondisi sebagai berikut:
a) Bank tidak dapat menyerahkan agunan untuk menambah dan/atau mengganti agunan FPJP setelah
jangka waktu berakhir; dan
b) Bank masih memiliki sisa plafon yang belum digunakan lebih kecil daripada penurunan nilai agunannya
atau Bank sudah menggunakan seluruh plafon FPJP.
VI.Pelunasan FPJP
1. Apabila selama jangka waktu pemberian FPJP saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia melebihi
kewajiban GWM, Bank Indonesia akan mendebet rekening giro Rupiah Bank sebesar kelebihan GWM tersebut
sebagai pelunasan keseluruhan atau sebagian nilai pokok FPJP.
2. Pada saat FPJP jatuh tempo, Bank Indonesia mendebet Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia dengan
mendahulukan pembayaran biaya bunga FPJP kemudian pelunasan pokok FPJP.
VII.Eksekusi Agunan FPJP
Bank Indonesia melakukan eksekusi agunan FPJP dalam hal:
1. FPJP jatuh tempo dan tidak terdapat perpanjangan FPJP, atau perjanjian FPJP diakhiri; dan
2. saldo Rekening Giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melunasi biaya bunga dan/atau nilai
pokok FPJP.
129
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
VIII.Biaya FPJP
Biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian FPJP menjadi beban Bank penerima FPJP, antara lain berupa:
1. biaya bunga FPJP sampai dengan FPJP dilunasi;
2. biaya pembuatan akta perjanjian FPJP dan pengikatan agunan FPJP;
3. biaya transaksi, biaya kustodian dan biaya lainnya yang timbul atas pengagunan Obligasi Korporasi di otoritas
penatausahaan surat berharga dimaksud;
4. biaya proses eksekusi agunan;
5. biaya lainnya terkait pemberian FPJP.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/12/DASP tanggal 8 April 2013 perihal Tata Cara Lelang Surat
Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
Berlaku : 8 April 2013
Ringkasan :
1. Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan No.43/PMK.08/2013 tentang Lelang Surat Utang Negara
Dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing Di Pasar Perdana Domestik, maka untuk Surat Edaran Bank Indonesia
(SE BI) No.11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 tentang Lelang Surat Utang Negara Di Pasar Perdana dan
Penatausahaan Surat Utang Negara (SUN) perlu dilakukan perubahan. Perubahan ini disebabkan karena ketentuan
lama belum mengatur pelaksanaan lelang tambahan untuk SUN (Green shoe option).
2. Pengertian dari Lelang SUN Tambahan (Greenshoe Option) adalah penjualan SUN di Pasar Perdana dalam mata uang
rupiah dengan cara lelang yang dilaksanakan pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan Lelang.
3. Salah satu perubahan di dalam SE BI ini yaitu terhitung mulai tanggal 8 April 2013, kenaikan incremental bid yield
lelang SUN di pasar perdana akan berubah dari 1/32 akan menggunakan kelipatan 1/100.
4. Mekanisme setelmen atas hasil Lelang SUN dan/atau Lelang SUN Tambahan (Greenshoe Option) sesuai dengan
sistem akan menggunakan opsi batal seluruhnya (gross to net).
5. Bank Indonesia mengadakan Lelang SUN Tambahan berdasarkan rencana Lelang SUN Tambahan yang ditetapkan
oleh Menteri cq. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang. Lelang SUN Tambahan dilaksanakan pada pukul 10.00 WIB
sampai dengan pukul 12.00 WIB dan/atau pada hari kerja dan waktu lain yang ditetapkan Menteri cq. Direktur
Jenderal Pengelolaan Utang.
6. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mengatur mengenai:
a. Tata cara lelang
1) Ketentuan dan persyaratan
2) Pelaksanaan lelang
3) Penentuan pemenang lelang
4) Pengumuman hasil lelang
130
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
b. Tata cara penatausahaan SUN
1) Setelmen hasil lelang
2) Setelmen hasil lelang buyback
3) Setelmen Obligasi Ritel Negara (ORI)
4) Setelmen hasil transaksi SUN secara langsung
5) Prosedur pembayaran kupon dan/atau pelunasan pokok
6) Setelemen transaksi SUN di pasar sekunder
7. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 8 April 2013.
8. Pada saat SE BI ini mulai berlaku, Surat Edaran Bank Indonesia No.11/32/DPM tanggal 7 Desember 2009 perihal
Tata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara sebagaimana telah
diubah dengan SE BI No12/30/DASP tanggal 10 November 2010 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/13/DASP tanggal 12 April 2013 perihal Laporan
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik
(Electronic Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank
Berlaku : Sejak diterbitkan yaitu 12 April 2013 dan berlaku surut sejak tanggal 1 November 2012
Ringkasan :
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan karena adanya perubahan formulir dan penambahan jenis informasi yang
dilaporkan untuk kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan Uang Elektronik (Electronic
Money) oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank melalui sistem Laporan Selain Bank Umum (LSBU).
2. Materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mencakup:
a. ruang lingkup laporan;
b. format dan jenis laporan;
c. tata cara penyampaian laporan secara on-line dan off-line;
d. tata cara penyampaian laporan dalam hal terjadi gangguan teknis; dan
e. hak akses.
3. Perubahan formulir yang wajib disampaikan oleh pelapor yaitu:
a. Form 301 Laporan Bulanan Penerbit Kartu Kredit;
b. Form 302 Laporan Bulanan Penerbit Selain Kartu Kredit;
c. Form 303 Laporan Bulanan Acquirer;
d. Form 304 Laporan Bulanan Infrastruktur;
e. Form 305 Laporan Triwulanan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelesaian Akhir (Settlement);
f. Form 306 Laporan Bulanan Fraud APMK dan Uang Elektronik (Electronic Money);
g. Form 307 Laporan Bulanan Penerbit Kolektibilitas Kartu Kredit;
h. Form 309 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Jenis Produk dan
Permasalahan Yang Diadukan);
131
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
i. Form 310 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Pengaduan Yang
Diselesaikan Dalam Masa Laporan);
j. Form 311 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyebab Pengaduan);
k. Form 312 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Publikasi Negatif); dan
l. Form 313 Laporan Triwulanan Penanganan dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah LSB (Penyelesaian Sengketa).
4. Penambahan jenis informasi yang wajib disampaikan oleh pelapor adalah informasi yang terkait dengan Uang
Elektronik (Electronic Money) bagi pelapor yang berupa Lembaga Selain Bank (LSB) yang menyelenggarakan kegiatan
Uang Elektronik (Electronic Money) yang dilaporkan melalui form:
a. Form 302, Form 306, Form 309, Form 310, Form 311, Form 312, Form 313 dalam hal LSB bertindak sebagai
Penerbit Uang Elektronik (Electronic Money).
b. Form 303, Form 304, dan Form 306 dalam hal LSB bertindak sebagai Acquirer Uang Elektronik (Electronic Money).
c. Form 305 dalam hal LSB bertindak sebagai Perusahaan Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian
Akhir untuk Uang Elektronik (Electronic Money).
5. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia No.10/4/UKMI tanggal 8
Februari 2008 perihal Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank
Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/14/DPNP tanggal 24 April 2013 perihal Perubahan
Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/15/DPNP tanggal 12 Juli 2006 perihal Laporan
Berkala Bank Umum
Berlaku : 24 April 2013
Ringkasan :
1. Penyempurnaan SE BI mengenai LBBU dilakukan dalam rangka:
a. menindaklanjuti penerbitan SE BI No. 14/21/DPNP tanggal 18 Juli 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar; dan
b. menindaklanjuti penerbitan SE BI No. 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 perihal Transparansi Informasi Suku
Bunga Dasar Kredit.
2. Penyempurnaan dilakukan untuk formulir:
a. laporan risiko spesifik – eksposur surat berharga (trading book) (Formulir 9.a), sesuai dengan SE BI No. 14/21/DPNP
tanggal 18 Juli 2012 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP perihal Pedoman
Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan
Memperhitungkan Risiko Pasar.
Penyempurnaan tersebut meliputi penyelarasan dengan kategori portofolio dan bobot risiko terkait kategori
portofolio sesuai SE BI mengenai perhitungan ATMR untuk risiko kredit.
132
b. laporan suku bunga dasar kredit (SBDK) (Formulir 14), sesuai dengan SE BI No. 15/1/DPNP tanggal 15 Januari
2013 perihal Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit.
Penyempurnaan tersebut meliputi penambahan kolom informasi kredit mikro dan penghapusan baris informasi
terkait cadangan kerugian penurunan nilai.
3. Laporan terkait SBDK mulai berlaku untuk data posisi akhir bulan April 2013, yang disampaikan pada periode
penyampaian I bulan Mei 2013, sedangkan Laporan terkait risiko spesifik – eksposur surat berharga (trading book)
mulai berlaku untuk data posisi akhir bulan Juni 2013, yang disampaikan pada periode penyampaian I bulan Juli
2013.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/15/DPNP tanggal 29 April 2013 perihal Pelaksanaan
Good Corporate Governance Bagi Bank Umum
Berlaku : Tanggal 29 April 2013
Latar Belakang Pengaturan:
Latar belakang dilakukannya penyempurnaan Surat Edaran tersebut adalah terbitnya ketentuan mengenai Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank Umum berdasarkan Risiko (Risk Based Bank Rating/RBBR) yang menetapkan Good Corporate
Governance (GCG) sebagai salah satu faktor dalam penilaian tingkat kesehatan Bank Umum, sehingga perlu dilakukan
harmonisasi dengan ketentuan mengenai GCG yang telah ada sebelumnya.
Pokok-Pokok Pengaturan:
1. Penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG disesuaikan dengan periode penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum, yaitu paling kurang setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan akhir bulan Desember.
2. Penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan GCG dilakukan secara komprehensif dan terstruktur dengan
mengintegrasikan faktor-faktor penilaian ke dalam 3 (tiga) aspek governance, yaitu governance structure, governance
process, dan governance outcome.
3. Dalam rangka memastikan penerapan 5 (lima) prinsip dasar GCG, penilaian sendiri (self assessment) pelaksanaan
GCG dilakukan terhadap 11 (sebelas) Faktor Penilaian Pelaksanaan GCG, yaitu:
1) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris;
2) pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi;
3) kelengkapan dan pelaksanaan tugas Komite;
4) penanganan benturan kepentingan;
5) penerapan fungsi kepatuhan;
6) penerapan fungsi audit intern;
7) penerapan fungsi audit ekstern;
8) penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian intern;
9) penyediaan dana kepada pihak terkait (related party) dan penyediaan dana besar (large exposures);
133
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
10)transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank, laporan pelaksanaan GCG, dan pelaporan internal;
dan
11)rencana strategis Bank.
Selain kesebelas faktor tersebut, perlu diperhatikan pula informasi lainnya terkait penerapan GCG Bank.
4. Penilaian pelaksanaan GCG Bank dilakukan secara individual maupun secara konsolidasi.
5. Peringkat Faktor GCG ditetapkan dalam 5 (lima) peringkat, yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3, Peringkat
4, dan Peringkat 5. Urutan Peringkat Faktor GCG yang lebih kecil mencerminkan penerapan GCG yang lebih baik.
6. Laporan Penilaian Sendiri (Self Assessment) Pelaksanaan GCG dalam Laporan Pelaksanaan GCG yang disampaikan
kepada Bank Indonesia dan stakeholders Bank lainnya disesuaikan dengan periode penilaian Tingkat Kesehatan
Bank dalam 1 (satu) tahun terakhir.
7. Bagi Bank yang memperoleh Peringkat GCG 3,4, atau 5 wajib menyampaikan action plan. Action plan disampaikan
sesuai dengan tata cara penyampaian sebagaimana diatur dalam PBI tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum. Namun, Bank dapat menyampaikan action plan lebih awal, bersamaan dengan penyampaian Laporan
Penilaian (self assessment) Pelaksanaan GCG secara individual.
8. Laporan pelaksanaan action plan GCG berikut waktu penyelesaian dan kendala/hambatan penyelesaiannya (apabila
ada) disampaikan kepada Bank Indonesia dengan mengacu pada tata cara penyampaian laporan pelaksanaan action
plan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penilaian Tingkat Kesehatan
Bank Umum.
9. Dengan berlakunya Surat Edaran Bank Indonesia No.15/15/DPNP, maka beberapa aturan di bawah ini dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku:
a. Surat Edaran BI No.9/12/DPNP tanggal 30 Mei 2007 perihal Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank
Umum;
b. Lampiran III.4 Penilaian Faktor Good Corporate Governance (GCG) dalam Surat Edaran BI No.13/24/DPNP tanggal
25 Oktober 2011 perihal Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/16/PBI/2013 Tanggal 29 April 2013 Perihal Pelaporan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri
Berlaku : sejak 29 April 2013
Ringkasan :
1. Surat Edaran BI No.15/16/DInt tanggal 29 April 2013 ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank
Indonesia No.14/21/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa. Surat Edaran
ini mencabut Surat Edaran No.13/1/DInt tanggal 20 Januari 2012 perihal Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri
yang hanya berlaku sampai dengan pelaporan data bulan Juni 2013 yang disampaikan pada bulan Juli 2013.
134
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
2. Pokok-pokok perubahan dalam Surat Edaran:
3. Sanksi administratif berupa denda mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Januari 2014 yang disampaikan pada
bulan Februari 2014.
4. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka surat Edaran Bank Indonesia No. 13/1/DInt tanggal
20 Januari 2011 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri masih tetap berlaku untuk penyampaian Laporan
ULN sampai dengan data bulan Juni 2013 yang disampaikan pada bulan Juli 2013.
135
Semula MenjadiNo.
A. Batas akhir Laporan Data Pokoko ULN dan/atau perubahannya serta laporan Data Rekapitulasi ULN.
B. Sanksi denda keterlambatan penyampaian laporan.
C. Pengenaan sanksi denda atas ketidaklengkapan dan/atau ketidak- benaran Laporan data rekapitulasi ULN berupa Realisasi dan Posisi ULN
D. Subjek sanksi denda
E. Pembayaran sanksi administratif berupa denda.
F. Kondisi force majeure
Disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah) untuk setiap 1 (satu) hari keterlambatan untuk setiap pelapor dengan jumlah keseluruhan paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah).
Tidak diatur
Pelaporan baru
Ke rekening Kas Negara
Tidak diatur
Disampaikan ke Bank Indonesia paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah)
Pelapor dikenakan sanksi denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta Rupiah) untuk setiap baris (record) yang tidak lengkap dan/atau tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta Rupiah).
Pelapor yang sudah melewati 3 periode penyampaian laporan terhitung sejak pertama kali melapor
Ke rekening Bank Indonesia.
Disesuaikan dengan PBI 14/21/PBI/2012
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/17/DInt tanggal 29 April 2013 perihal Pelaporan Kegiatan
Lalu Lintas Devisa Berupa Rencana Utang Luar Negeri, Perubahan Rencana Utang Luar Negeri,
dan Informasi Keuangan
Berlaku : Sejak tanggal 29 April 2013
Ringkasan :
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan sebagai tindak lanjut dari penerbitan PBI No.14/21/PBI/2012 tanggal
21 Desember 2012 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) yang mengintegrasikan ketentuan Lalu
Lintas Devisa (LLD) dan Sistem Informasi Utang Luar Negeri (SIUL).
2. Surat Edaran Bank Indonesia ini bertujuan untuk pengaturan teknis pelaporan kegiatan LLD, khususnya laporan
rencana utang luar negeri, perubahan rencana utang luar negeri, dan informasi keuangan, yang akan dilakukan
secara on-line mulai tanggal 1 Agustus 2013.
3. Materi pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini terdiri dari:
a. Jenis perusahaan yang menjadi pelapor
b. Cakupan laporan
c. Format laporan dan tata cara pelaporan
d. Penyampaian laporan
e. Tata cara pengenaan sanksi
f. Analisis manajemen resiko
4. Pokok-pokok pengaturan dalam SE BI ini mencakup:
136
PengaturanRuang lingkup
Cakupan laporan
Tata cara penyampaian laporan
1. Laporan rencana ULN jangka panjang untuk 1 thn berjalan terdiri dari:a. Laporan rencana ULN baru dan perpanjangan (roll over) ULN lamab. Analisis manajemen risikoc. Penilaian peringkat
2. Laporan Perubahan Rencana ULN, mencakup perubahan recana ULN dan analisis manajemen risiko
3. Informasi Keuangan mencakup:a. Laporan keuangan tahunanb. Laporan keuangan interim
Dilakukan secara Online, melalui website pelaporan seluruh kegiatan LLD: https://www.bi.go.id/lkpbuv2 (media offline hanya digunakan apabila terdapat gangguan teknis pada website pelaporan, yaitu dengan media email attachment, CD/flashdisk, atau media lainnya).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 11, Nomor 1, Januari - April 2013
4. Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 29 April 2013.
5. Pengenaan sanksi mulai berlaku sejak pelaporan Rencana ULN tahun 2014 yang disampaikan paling lambat tanggal
15 Maret 2014.
6. Dengan diberlakukannya Surat Edaran Bank Indonesia ini, maka Surat Edaran Bank Indonesia No.12/37/DInt tanggal
23 Desember 2010 perihal Tata Cara Pelaporan Pinjaman Luar Negeri Perusahaan Bukan Bank serta Format Indikator
Keuangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2013.
Peraturan : Surat Edaran Bank Indonesia No.15/18/DASP tanggal 30 April 2013 perihal Perubahan Atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/13/DASP Tanggal 4 Mei 2009 Perihal Batas Nominal
Nota Debet Dan Transfer Kredit Dalam Penyelenggaraan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia.
Berlaku : Sejak 31 Mei 2013
1. Surat Edaran Bank Indonesia ini diterbitkan dalam rangka mendukung kelancaran sistem pembayaran dan memberikan
alternatif layanan yang lebih luas kepada masyarakat untuk melakukan transfer kredit melalui Sistem Kliring Nasional
Bank Indonesia (SKNBI).
2. Perubahan pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini yaitu merubah batas nominal transfer kredit yang
dapat dikliringkan melalui Kliring Kredit dalam penyelenggaraan SKNBI yang sebelumnya paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per transaksi menjadi paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) per transaksi.
137
PengaturanRuang lingkup
Batas waktu penyampaian laporan
Toleransi keterlambatan
Sanksi
1. Laporan Rencana ULN jangka panjang disampaikan paling lambat tgl.15 Maret tahun berjalan.
2. Laporan Perubahan Rencana ULN disampaikan paling lambat tgl.1 Juli tahun berjalan.
3. Laporan Informasi Keuangan:a. Laporan keuangan tahunan disampaikan paling lambat tgl.15 Juni
tahun berjalan (untuk laporan tahunan periode Januari s.d. Desember tahun sebelumnya).
b. Laporan keuangan interim disampaikan paling lambat tgl.15 Desember (untuk laporan interim periode Januari s.d. Juni tahun berjalan)
Sejak batas waktu penyampaian laporan yang telah ditetapkan s.d. akhir bulan berjalan.
Pelapor yang terlambat dan/atau tidak menyampaikan laporan akan dikenakan sanksi administratif berupa Surat Peringatan.
138
Halaman ini sengaja dikosongkan