Buletin April 2016
-
Upload
forum-bidikmisi-itb -
Category
Documents
-
view
254 -
download
9
description
Transcript of Buletin April 2016
PRESIPITASI
BANDUNG, FBM ITB — Beker-
jasama dengan Rumah Ke-
pemimpinan PPSDMS Band-
ung, Forum Bidikmisi ITB 2016
menyelenggarakan Leader-
ship Talk 2016 pada tanggal
20 Maret 2016. Acara bertajuk
“Pemimpin Membangun
Negeri” Ini dihadiri oleh ra-
tusan mahasiswa ITB angkatan
2014 dan 2015, baik beswan
bidikmisi , beswan Rumah
Kepemimpinan, dan kalangan
umum. Acara yang berlang-
sung di Aula Barat ITB ini
menghadirkan empat oembi-
cara: Ryan Alfiannoor (Alumni RK PPSDMS Bandung angkatan 4, sekarang Direktur teknis
Migas Hulu Jawa Barat), M. Reza S. Zaki (Alumni RK PPSDMS Yogyakarta angkatan 5, Ketua
Rumah Imperium Sumedang), Agung Wijaya Mitra Alam (Alumni RK PPSDMS Bandung
angkatan 4, CEO AWMA Perfection), dan Nurhadi Sukma Waluyo (Alumni RK PPSDMS
Bandung angkatan 2, saat ini Researcher di Korea University of Science and Technology
dalam bidang Advanced Energy Technology). Keempat berbicara berasal dari back-
ground kerja yang berbeda: pendidikan dan penelitian, pengabdian masyarakat, pemer-
intahan, dan wirausaha. Selain untuk berbagi pengalaman, seminar ini dapat berperan
sebagai sumber inspirasi profesu ketika lulus kuliah.
Masing-masing pembicara berbagi pengalaman terkait perjuangan mereka dalam me-
nembus zona nyaman mereka hingga dapat menjadi pemimpin yang bertanggungjawan.
Reza misalnya, memberdayakan masyarakat dengan Rumah Imperium yang bergerak
untuk memajukan daerah Sumedang. Sebagaimana menurut kutipan dari Leiden,
“Pemimpin harus rela meninggalkan kenyamanan dan berjuang untuk mewujudkan im-
pian mereka”. Setelah sesi talkshow, diumumkan 30 tulisan terbaik dan pengumuman
juara sayembara Inspirational Story yang dilaksanakan Forum Bidikmisi ITB pada akir
tahun lalu.
Volume IV 2016
Buletin Triwulan
Lombasiana 2016
Halo BM-ers! Daripada mengeluh tentang uang BM yang turunnya kelamaan, yuk produk-
tif. Berikut ini ada beberapa lomba yang dapat teman-teman ikuti. Mangga dilahap :D
1. Lomba Menulis Kementerian Perhubungan 2016 ( http://goo.gl/4iCXq2)
2. Lomba Menulis Bank Indonesia 2016 ( http://goo.gl/aOqFB3)
3. Lomba Blog BRI Syariah 2016 Tabungan Haji (http://goo.gl/A1BdNt)
4. Lomba Menulis Pesona Gerhana Matahari Total Kementerian Pariwisata Indonesia
Travel 2016( http://goo.gl/ElZcxd)
5. Lomba Jurnalistik Kemdikbud 2016 http://goo.gl/JTn1OE
Reportase: Leadership Talk 2016
B U L E T I N F O R U M B I D I K M I S I I T B 2 0 1 6
Reportase: Leader-
ship Talk 2016
Lombasiana 2016
1
Dianita Candra
Dewi: Mentoring...
2
Orang-Orang di Seki-
tarmu Aset Kesuk-
sesanmu
3
Inspiration: To Look
For It 4
Secarik Hidayah dari
Menara Shalahuddin 5
Pengumuman Pemenang
Writing Inspirational ... 7
Cerpen: Langit Kembali
Bernyanyi 8
INSPIRASI
“Alasan jadi men-
tor? Karena ingin terus
berbagi,” ujar gadis
kelahiran 12 Juli 1995
ini. Mahasiswi jurusan
Farmasi Klinik dan Ko-
munitas (FKK) ITB 2013
ini adalah salah satu
diantara mentor Bidik-
misi yang masih nge-
m e n t o r h i n g g a
sekarang. Dian telah
menjadi mentor bidik-
misi selama dua tahun
untuk SITH Rekayasa
2014 dan FTMD-SAPPK
2015. “Asyik sih, dapat
berbagi dengan adik-
adik. Terlebih lagi adik
-adik banyak mengin-
spirasi Saya dalam ber-
bagai macam hal.” Aku
Dian.
Dinamika menjadi
mentor telah banyak
dilalui Dian. Mulai dari
mentee yang tidak mau
dating. Menanggapi hal
ini, gadis yang ber-
mimpi ingin melanjut-
kan kuliah di Jerman ini
berpesan, “Ajak men-
tee dengan hati, te-
kankan pada mereka
bahwa mentoring—
sesibuk apapun bu-
kanlah sekedar pengisi
waktu luang. Mentoring
adalah tempat kita be-
lajar bersama dan shar-
ing pengalaman agar
semakin dewasa dan
b i j a k s a n a d a l a m
menghadapi apapun.”
Beberapa kiat yang
dapat dilakukan untuk
menciptakan mentoring
yang menginspirasi
adalah menyediakan
sesi curhat, menyelip-
kan semangat dan moti-
vasi, serta lakukan
mentoring tamu agar
wawasan semakin luas.
lannya untuk menga-
jar di Manteos, agar
setiap divisi dapat
merasakan indahnya
pengabdian masyara-
kat dan dapat me-
lepas penat dari tu-
gas kuliah dengan
mengajar anak-anak.
Biasanya kegiatan
mengajar di Manteos
berlangsung di pagi
hari Minggu.
Melalui bulletin ini,
Salah satu program
kerja Divisi Pengab-
dian Masyarakat
(Pengmas) Forum
Bidikmisi (FBM) ITB
adalah Saung Bidik-
misi. Bertempat di
Manteos, gerakan ini
mencakup anak-anak
segala usia. Setiap
minggu, secara ber-
giliran, divisi-divisi
dari FBM ITB men-
girimkan perwaki-
FBM 4 ITB menyam-
paikan salam dari
adik-adik di Manteos.
Tetap doakan se-
moga program ini
tetap sustain dan
menjadi ajang penye-
bar manfaat di kalan-
gan generasi muda.
Page 2
Dianita Candra Dewi: Mentoring dan
Ngementor, Menginspirasi
PRESIPITASI
“Ajak mentee
dengan hati, setelah
itu barulah mereka
dapat bergerak
bersama kita, saling
menginspirasi”
Salam dari
Manteman Kecil di
Saung Bidikmisi
Manteos
Kesulitan ekonomi bukanlah
halangan untuk terus belajar. Apalagi jika
kau memiliki orang-orang yang selalu
mendukungmu. Pernyataan ini sungguh
benar adanya. Aku berani mengatakannya
karena hal itu sudah terjadi padaku.
Aku terlahir dalam keluarga yang
sederhana. Ayah sudah meninggal dunia
saat aku masih kelas 2 SD. Ibu
menghidupi keluarga dengan bekerja
sebagai tukang cuci pakaian. Gaji ibu
t i d a k s e b e r a p a ,
sehingga untuk makan
pun terkadang kami
kesulitan.
Di awal bulan, gaji Ibu
turun. Setengah dari
gaji tersebut digunakan
un tu k me mb a yar
hutang di warung.
Selebihnya digunakan
untuk belanja bahan makanan pokok. Saat
awal bulan itu lah kami bisa makan tiga
kali sehari dengan gizi yang cukup.
Menjelang akhir bulan, bahan makanan
yang tersedia sudah hampir habis, hampir
setiap hari kami makan dengan lauk mie
instan. Bahkan, pernah kami hanya makan
nasi tanpa lauk. Untung saja Ibu cerdas, ia
memasak nasi tersebut dengan santan
sehingga kami masih bisa makan dengan
nikmat.
Di sekolah, aku hampir tidak
pernah jajan. Ibu memang tidak pernah
memberiku uang jajan. Uang jajan selalu
kudapatkan sendiri. Sejak belum
bersekolah, aku sudah terbiasa bekerja
mencuci piring di warung Bibi. Dari situ,
aku mendapatkan upah Rp500 sehari. Jika
rambutan di halaman rumah berbuah, aku
pun selalu menjualnya di pasar. Saat Bibi
sudah tidak lagi membuka warung, aku
sempat tidak bekerja. Namun, tidak
beberapa lama kemudian aku
diperbolehkan bekerja di rumah usaha
kerupuk teman kelasku. Di sana, aku
biasa membantu menyiapkan bahan baku
dan membungkus kerupuk. Saat itu aku
sudah kelas 5 SD, tidak heran jika gajiku
sudah lumayan: Rp15000 seminggu. Saat
kelas 2 SMP, aku kembali kehilangan
pekerjaan. Keluarga temanku ini pindah
ke daerah lain. Jadi lah aku diminta
tetangga yang lain untuk bekerja menyetrika
pakaian. Namun itu juga tidak berlangsung
lama. Akhirnya, saat kelas 3 SMP aku diminta
tetanggaku untuk mengajar membaca anaknya
yang masih TK. Itu adalah pekerjaan terakhirku
sampai saat ini.
Sejak SD hingga SMA, perjalanan
akademikku tidak pernah tersandung kesulitan
ekonomi. SD-ku (SDN 008 Ujung Tanjung) dan
SMP-ku (MTsN Ujung Tanjung) memiliki
kebijakan untuk menggratiskan SPP untuk
siswa/i yang sudah tidak
memiliki ayah. SMA-ku
(MAN Insan Cendekia
Serpong) memberikan
beasiswa 100% gratis
kepada seluruh siswa/i
yang bersekolah di sana.
Meski begitu, saat akan
kuliah di ITB aku
mendapatkan sedikit
cobaan. Kalau dipikir-pikir, mungkin cobaan itu
datang untuk menguji apakah aku serius ingin
melanjutkan studi atau tidak.
Sehari sebelum berangkat ke Bandung
untuk daftar ulang mahasiswa baru ITB, aku
dipanggil oleh Paman dan Bibiku. Mereka
merisaukan keadaan ekonomi keluargaku dan
keinginanku kuliah di ITB. Mereka menyuruhku
untuk mempertimbangkan lagi keinginanku itu.
Ibuku sudah tua, keluarga kami bukan orang
punya. Bagaimana nanti jika aku hanya dapat
kuliah setengah jalan karena kesulitan ekonomi?
Mereka takut aku akan menjadi stress,
kemudian gila. Aku sudah menjelaskan pada
mereka bahwa aku menerima beasiswa
BIDIKMISI, tidak hanya uang kuliah saja yang
gratis tetapi aku juga akan mendapatkan living
cost per bulan. Mereka mengkhawatirkan
beasiswa tersebut akan putus di tengah jalan
atau tidak turun sehingga tetap memintaku
untuk kuliah di dekat rumah saja.
Saat itu aku benar-benar hampir putus
asa, tidak tahu entah bagaimana lagi agar bisa
meyakinkan Paman dan Bibi. Bahkan Ibu,
kakakku, dan adikku pun hanya bisa terdiam.
Aku tahu mereka mendukungku. Tetapi apa
yang dikatakan oleh Paman dan Bibi memang
benar adanya. Bahkan, biaya untuk perjalananku
ke Bandung pun belum ada saat itu. Akhirnya
aku pun menangis. Sambil terus berdoa agar ada
jalan keluar, aku menelepon guru BP SMA-ku,
Bu Rini. Saat itu sudah pukul 9 malam. Bu Rini
Page 3
Orang-Orang di Sekitarmu Aset
Kesuksesanmu (Kasmawati, TK ITB2013)
PRESIPITASI
“Meski begitu, saat
akan kuliah di ITB
aku mendapatkan
sedikit cobaan. Kalau
dipikir-pikir,
mungkin cobaan itu
datang untuk menguji
apakah aku serius
ingin melanjutkan
studi atau tidak.”
kaget karena aku menelepon
beliau malam-malam sambil
menangis. Aku pun
menceritakan semua
permasalahanku pada beliau.
Beliau menenangkanku dan
berkata akan berusaha
mencarikan jalan keluar.
Setelah itu, aku menjadi agak
tenang. Dan keesokan harinya,
Bu Rini meneleponku bahwa
para guru SMA-ku sudah
mengumpulkan dana bantuan
untuk biaya perjalanan ke
Bandung. Alhamdulillah,
dengan nekad akhirnya aku bisa
berangkat ke Bandung juga hari
itu.
Hingga hari ini aku
selalu bersyukur jika mengingat
hal itu. Aku berterima kasih
kepada Tuhan, keluarga, guru-
guru, dan semua yang selalu
mendukungku. Tanpa mereka,
mungkin saat ini aku hanya akan
dapat menangis, meratapi nasib
mengapa tidak dapat kuliah di ITB.
Alhamdulillah, Engkau memberiku
orang-orang yang baik, Tuhan.
Mengingat apa yang sudah
kuterima hingga saat ini,
membuatku ingin melakukan hal
yang berguna. Tidak hanya untuk
aku dan keluargaku, namun juga
untuk orang-orang yang bahkan
tidak kukenal. Aku ingin menjadi
seorang technopreneur.
Mengaplikasikan ilmu yang sudah
kudapat, menjadikannya bisnis yang
bermanfaat bagi orang banyak.
Menyediakan lapangan kerja,
menyumbang untuk kemajuan
ekonomi negara.
Cita-citaku ini lagi-lagi didukung
oleh orang-orang sekitarku, meski
mereka tidak menyadarinya. Saat ini
d i h i mp u n a n k u , H I M A T E K
(Himpunan Mahasiswa Teknik
K i m i a ) , s u d a h d i b e n t u k
Technopreneur Club. Klub ini baru
dibentuk tahun ini. Entah kebetulan
atau tidak, aku merasa inilah jalan
yang ditunjukkan oleh-Nya. Sekali
lagi aku bersyukur. Semoga memang
inilah jalanku. Semoga apa yang
kulakukan benar-benar berguna dan
bermanfaat, karena aku tahu bahwa
sebaik-baik manusia adalah manusia
yang bermanfaat.
Redaksiana Inspiration: To Look For It
sesuatu yang mengalir
keras di dalam darah
dan berdegup kencang
d i d a d a s e t i a p
mahasiswa. Aroma
persaingan sangat
kental: semasa TPB,
p e r s a i n g a n
mendapatkan jurusan
berlangsung sangat
ketat. Ketika di jurusan,
persaingan mendaftar
kelas di ol.akademik tak
ubahnya seperti The
Hunger Games. Dalam
mengerjakan tugas
kelompok, semua tak mau
kalah.
Persaingan, walau
bagaimanapun bukanlah
h a l y a n g n y a m a n .
Kadangkala begitu kalah,
kita langsung menyerah.
Begitu keluar dari zona
nyaman, kita langsung
merengek.
Lantas, bagaimana cara
mendatangkan inspirasi?
Rajin-rajinlah datang
seminar/ workshop /talkshow,
p e m b i n a a n y a n g
mengundang pembicara
inspiratif, mentoring, atau
membaca kisah-kisah para
p e l i n t a s b a t a s , a t a u
bermainlah bersama anak
kecil. Ketulusan berbagi
adalah salah satu sumber
inspirasi yang kuat.
Inspirasi, menurut
kbbi berarti ilham.
Ilham adalah sebuah
pemikiran yang
m e m b u a t k i t a
t e r g e r a k u n t u k
melakukan sesuatu,
b a i k m e n c i p t a
maupun bertindak.
Seringkali tanpa
inspirasi pikiran
menjadi buntu dan
p r o d u k t i v i t a s
menjadi turun. Ibarat
kata Tuk Dalang saat
mencari ayamnya,
Rembo, dibantu si
kembar lucu Upin-
Ipin, “Makan tak
habis, tidur tak lena,
mandi tak basah”.
Semua hal menjadi
serbasalah.
“ S e m a n g a t
b e r t a r u n g ” d i
kampus ITB adalah
Volume IV 2016 Page 4
“Ketulusan berbagi
adalah salah satu
sumber inspirasi
yang kuat”
Langkah kakiku mulai
terasa berat setelah mena-
paki kurang lebih 400
anak tangga. Aku berhenti
sejenak dan menarik na-
pas dalam-dalam. Tern-
yata aku salah, udara dis-
ini begitu lembab se-
hingga berhenti melang-
kah malah menambah
sesak dadaku. Lagipula,
baterai senter kecil yang
kugenggam sekarang bisa
habis dan aku tentunya
tidak mau terjebak dalam
kegelapan. Akupun men-
garahkan senter kedepan
lalu keatas, menghitung
berapa banyak anak
tangga yang masih tersisa.
“Dua puluh lagi,
sial !” aku mengumpat
sambil meninju pegangan
tangga yang ada di sisi
kiriku.
Tangga pun ber-
getar cukup keras. Struk-
tur alumuniumnya yang
ringan tidak mampu mere-
dam pukulanku secara
sempurna. Aku kembali
menapaki anak tangga
yang tersisa. Dari balik
jendela besar ruangan
gelap ini, bulan tampak
bersinar. Seakan memberi
semangat padaku agar
segera sampai di puncak
tangga.
Tatkala mencapai
anak tangga terakhir, aku
merasakan ada sesuatu
yang mengalir keluar dari
hidung. Akupun menyeka
hidung dengan kerah
baju.
K u r a n g a j a r ,
padahal sudah lebih dari
setengah jam tapi darah
dari hidungku belum se-
penuhnya berhenti ke-
luar ! Bentakku dalam hati.
Setelah setengah
menit membersihkan
hidung dengan kerah
baju, darahku akhirnya
berhenti keluar. Aku
membuka pintu kayu yang
ada di hadapanku.
Wuss… semilir angin langsung
membekap tubuhku yang ringkih.
Baju koko tipis yang kukenakan
j e l a s t i d a k a k a n s a n g g u p
melindungiku dari dingin yang
menerpa. Lebam-lebam di wajahku
terasa seperti dikompres dengan es
batu.
Sejujurnya, menapaki 400
lebih anak tangga dalam keadaan ge-
lap gulita
d e n g a n
h i d u n g
ber darah
dan wajah
m e m a r
adalah hal
yang cu-
kup konyol
b a g i
m a n u s i a
n o r m a l .
Satu cata-
tan lagi; hal tersebut dilakukan oleh
seorang bocah yang baru berumur 10
tahun. Freud pun tentu akan bingung
mengidentifikasi tindakanku menurut
kacamata psikologi. Kenyataannya,
menjadi normal bukan berarti mengi-
kuti arus. Kadang arus dapat memati-
kan lalu menghanyutkan.
Langit di atas layaknya lautan
pasir pantai dengan bintang-bintang
sebagai mutiara yang menghiasinya.
Entah mengapa, malam ini aku tidak
merasakan keindahan tersebut. Bin-
tang-bintang itu malah seakan menge-
jek dan menghina diriku dengan ke-
milau mereka.
“Aku takkan tunduk den-
ganmu, Mulut Besar !” teriakku den-
gan suara tercekat. Tiupan angin
seakan melenyapkan suaraku.
Aku menghela napas sejenak
untuk mengembalikan suaraku yang
seakan hilang.Namun, tiba-tiba aku
melihat bintang-bintang mendekatiku,
menuju wajahku. Dekat, semakin
dekat, dan…
Bruk, aku tumbang dan tak sadar-
kan diri.
****
Aku tidak langsung membuka
mata, yang jelas tempat ini bukan
kamar panti. Aku berani menduga,
sebab aroma disini amat aneh bahkan
aku belum pernah menghirupnya.
Seperti bau obat mungkin, pikirku.
Tanpa dikehendaki, kedua mataku
secara refleks berkedip.
“Ibuuu…Ucil sudah sadar”
seorang anak perempuan berteriak
gembira tak jauh dari tempatku ber-
baring.
“Ibu, Ibu, Ibu ! Ucil sudah
sadar” anak itu kembali berteriak.
Tidak salah lagi, aku men-
genal suara itu. Suara putri sulung
pemilik panti asuhan Al-Maghfirah;
Airin.
Tak lama, Ibu Husna dengan
langkah tergesa-gesa membuka pintu
kamar tempatku kini terbaring. Tatap
matanya jelas menggambarkan ke-
gembiraan yang mendalam. Airin
langsung menghambur dan meme-
luknya. Aku hanya tersenyum melihat
mereka berpelukan. Usai berpelukan
dengan putrinya, diapun duduk di
kursi yang ada di sebelah ranjangku.
“ Y u z r i l , a l h a m d u l i l l a h
akhirnya kamu siuman juga” ujar Ibu
Husna dengan mata berkaca-kaca.
“Apa yang terjadi dengan
saya, Bu? Saya kok tiba-tiba ada disini,
di rumah sakit”
Aku jelas bingung mengapa
bisa berada disini. Adakah seseorang
yang membawaku kesini ?
“Kamu pingsan di atas
menara masjid, Ucil. Pak Dargo yang
menemukan kamu terbaring disana”
Airin menjelaskan dengan sedikit ge-
mas. Dialah satu-satunya orang di
dunia ini yang memanggilku dengan
sebutan ‘Ucil’. Mungkin karena tubu-
hku yang kurus dan kecil, jadi dia me-
manggilku demikian.
“Kamu sudah membuat aku
dan semua orang di panti khawatir,
Cil. Arrgghh” kali ini Airin meremas-
remas kepalaku. Ibu Husna pun
menarik tangan putrinya.
“Jangan, Rin. Yuzril belum
benar-benar pulih” ujarnya kepada
Airin sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, seorang
perawat masuk sambil membawakan
beberapa hidangan. Airin tampak
heran melihatnya, lalu berbisik pada
Ibu Husna.
“Bu, bukankah sekarang bu-
lan puasa?”
Perawat itu tampaknya men-
getahui apa yang dikatakan oleh Airin
dan tersenyum.
“Iya, tapi makanan itu bukan
untuk kamu Rin tapi untuk Yuzril”
Secarik Hidayah dari Menara
Shalahuddin– Ahmad Muliansyah (MT 13)
Volume IV 2016 Page 5
“Hmm…Aku juga ingin makan seperti Ucil, Bu”
Lucu sekali bila melihat Airin merajuk.
“Ayo, ingat lagi janji Ayah kalo kamu bisa puasa penuh sebulan” Ibu Husna memandangi putri
sulungnya dengan penuh kasih sayang.
“Iya deh, Bu. Airin sudah niat mau punya sepeda baru dari Ayah”
Heh, puasa macam apa dapat hadiah sepeda baru ! Ujarku dalam hati sambil tersenyum menik-
mati apel yang dibawakan oleh perawat tadi.
****
Enam hari kemudian, aku dinyatakan telah benar-benar pulih dan sudah boleh meninggalkan rumah
sakit. Kondisi wajahku pun juga sudah lebih baik dibandingkan enam hari yang lalu walaupun memar
masih menyisakan bekas. Dokter mengatakan bahwa penyebab aku pingsan adalah pendarahan yang
berlebihan melalui hidung. Tapi kini, kondisi darahku dinyatakan telah normal kembali.
Sebenarnya, aku agak heran melihat kenyataan bahwa tidak ada satupun teman di panti yang
datang menjengukku selama masa opname. Yang membesuk ialah keluarga pemilik dan pendiri Panti
Asuhan Al-Maghfirah; keluarga Zakaria dimana Bapak Zakaria, Ibu Husna, Airin, dan Hadi termasuk di
dalamnya. Selain itu, ada Ustadz Mas’ud guru Nahwu-Sharaf sekaligus pembina kami; Ustadz Ubay pem-
bimbing materi Tilawah, Fiqih, dan Tarikh;Kang Apep pengajar ilmu dan keterampilan komputer; terakhir
Ustadz Hilman dan Ustadz Faruqi yang membantu Ustadz Mas’ud dalam membina kami sehari-hari di
panti.
Namun, yang membuatku begitu heran sekaligus geram adalah : Si Mulut Besar itu belum
meminta maaf padaku. Telah jelas bahwa dialah yang membuatku seperti ini. Wajah memar, hidung
berdarah hingga pingsan karena pendarahan yang berlebihan sepertinya sudah cukup untuk membuat
dia mengakui kesalahan. Entahlah, menurutku keluarga Zakaria juga tidak mengetahui fakta bahwa mon-
ster itu yang telah membuatku remuk seperti ini.
Kita lihat saja nanti, kawan. Umpatku dalam hati.
****
Binsar, Si Mulut Besar, menghampiriku seusai shalat maghrib. Sulit untuk kupercaya, dia men-
gaku bersalah atas kejadian seminggu yang lalu dan secara lapang dada meminta maaf padaku.
Aku tidak langsung menjabat tangannya ketika dia menyodorkan tangan terlebih dulu. Aku ma-
sih meragukan sikapnya yang benar-benar aneh ini. Namun, dari tatap wajahnya aku bisa melihat
bahwa dia benar-benar ingin meminta maaf. Akhirnya, akupun membalas jabat tangannya dan untuk se-
mentara waktu memaafkaannya.
Tepat seminggu yang lalu, aku dan Binsar berkelahi di kebun belakang masjid Shalahuddin. Masjid itu
berdempetan dengan panti kami. Sebenarnya, tidak ada orang lain yang mengetahui perkelahian itu.
Namun, sebagian besar teman kami mengetahui bahwa aku melakukan sebuah kesalahan fatal. Aku
menolak untuk menuruti kemauan Si Mulut Besar itu: menulis ringkasan ceramah tarawih yang ditugaskan
oleh Ustadz Mas’ud. Konsekuensinya jelas, dia menantangku untuk berkelahi di kebun belakang.
“Satu lawan satu. Dan ingat, tidak ada yang boleh terlibat selain kita berdua. Mengerti !” ujar Binsar
sambil menatapku dalam-dalam dan menarik kerah baju koko tipis pemberian Ibuku.
“Oke “ jawabku dengan tegas dan melepas cengkeraman tangannya di kerah bajuku.
Alasanku memenuhi tantangannya bukan karena aku gemar berkelahi, namun disebabkan oleh tinda-
kannya yang membuatku naik pitam. Menarik kerah bajuku benar-benar merendahkanku. Sebab, baju ini
adalah pemberian Ibuku yang ada di desa sebelum aku berangkat ke Jakarta empat bulan lalu. Aku tidak
bisa menerimanya.
Perkelahian yang benar-benar tidak berimbang pun berlangsung. Wajahku habis jadi bancakannya.
Hidungku berdarah dan wajahku lebam-lebam. Namun, kala perkelahian atau lebih tepatnya gladiator itu
berlangsung, ancaman lain yang lebih mencekam datang. Pak Dargo, petugas kebersihan masjid Shala-
huddin, tengah berjalan menuju kebun. Kami bisa melihatnya sedang membawa senter dan tengah men-
garahkan berkas sinar ke arah kebun. Kami pun panik, sebab bila ketahuan akan menyebabkan perma-
salahan yang lebih panjang atau bahkan dikeluarkan dari panti. (bersambung…)
Visit:
Forumbidikmisi.itb.ac.id
Setelah melalui proses seleksi yang ketat, pemenang lomba Cerita Inspiratif Forum Bidikmisi
ITB 2016 adalah berikut:
Juara I : Orang-Orang di Sekitarmu Aset Kesuksesanmu, karya Kasmawati
Juara II : Anak Saweran Jadi Fashion Designer, karya Holipah
Juara III : Cahaya Harapan dari Gubuk Bambu, karya Rofikul Umam
27 karya terbaik lainnya adalah:
1. Terimakasih Tuhan, Dunia Lebih Indah dengan Titipanmu, karya Ariestyo Wahyu Tri
Wibowo
2. Bermimpilah dengan Aksi dan Doa, karya Muhammad Aziz Ali Mutia
3. MENDEWASA DALAM PERBEDAAN, karya Mega Liani Putri
4. Membangun Ibu Pertiwi dari Sukabumi, karya Endang Rahmat
5. The Power of Believe in Your Dreams, karya Fauza Karomatul Masyhuroh
6. Mesin Bubut Negeriku, karya Ahmad Muliansyah
7. Arti Sebuah Perjuangan, karya Muhammad Faisal Fath
8. Mutiara di Ladang Tetangga, karya Fitriawati
9. Integritas Sang Pemandu Impian, karya Dhea Rineka
10. Hanya Ingin Menjadi Seperti Abi, karya Muti’ah Nurul Jihadah
11. Bocah Itu Aku (Mimpi Si Anak Petani), karya Novitasari
12. Sebuah Impian yang Akan Menjadi Kenyataan, karya Jajat Sudrajat Iskadir
13. Perjuangan Sang Pemuda Pesisir Meraih Cita, karya Dian Aris Sandi
14. Keterbatasan Bukan Alasan Untuk Menggapai Impian, karya Yulis Amanah
15. Senja di Kaki Mercusuar, karya Fenni Asista
16. Sepucuk Kertas Kehidupanku, karya Dwi Astuti
17. Seberkas Cahaya Dalam Kekelaman, karya Nanda Setyana
18. Percaya Bahwa Mimpiku Bukan Sekadar Mimpi, karya Millatul Khasanah
19. Sejuta Aksi Menghapus Air Mata Ibu Pertiwi, karya David Wijaya
20. Langit Mimpi Tak Pernah Ada Batasnya, karya Nurina Maretha Rianti
21. Pendidikan Tinggi Tanpa Batasan, karya Ni Putu Sekar T.L.
22. Peran Mikrobiolog dalam Mengatasi Permasalahan Lingkungan dengan Teknologi
Berbasis Bio, karya Muhamad Syukron
23. Surat untuk Adik adikku, karya Karyadi
24. Dreamericious, karya Risa Suadiani
25. (Mencoba) Beraksi!, karya Angga Fauzan
26. Malaikat Kecil Ibu Pertiwi, karya Ati Devara
27. Menjadi Partner Orang Korea, karya Nurul Walidah Oktaviani.
Pemenang Writing Inspirational Story Competition FBM ITB
“Langit kembali bernyanyi. Memanggil burung mengusir sunyi. Galau gundah hatiku
ini. Melihat damai sentosa bumi pertiwi”.
Sejenak teringat masa SMA ketika aku
masih dalam pencarian jati diri. Dari situlah aku
menemukan arti dari persahabatan, cinta dan
juga kenangan. Dimulai saat aku pertama kali
bertemu dengannya. Sebut saja dia Farhah.
Awalnya aku tak menyangka bahwa dia satu ko-
san denganku. Dan kamipun ditakdirkan menun-
tut ilmu dikelas yang sama. Walaupun satu ko-
san, kamar wanita berada dibagian dalam
rumah utama, sedangkan kamar pria berada
lantai 2. Pintu masukpun dibuat berbeda. Ya
mungkin agar tidak terjadi hal-hal yang ‘tidak
diinginkan’. Bicara soal Farhah, sebenarnya tidak ada hal yang spesial dalam dirinya. Dia
seperti orang pada umumnya. Periang, namun agak cuek dan mungkin bisa dibilang ‘baper’.
Tapi itu bukan sebuah masalah. Awal pertemuan yang benar-benar menjadi kenangan ketika
awal masuk SMA. Sejarah terindah yang bisa dibilang lebih indah dari kemerdekaan, hahaha.
Tapi itu hanya ungkapan pribadi semata. Hampir setiap hari kami bertemu sapa, namamya
juga sekosan, ditambah lagi sekelas. Awalnya hal itu tidak menjadi masalah. Namun, yang na-
manya manusia pasti akan mengalaminya, terutama saat SMA, ujian tentang ‘cinta’.
Cinta memng indah, ada yang bilang cinta semanis madu. Namun, yang kudapat disini
hanya sebuah empedu. Bak seorang Sinbad yang berlayar sendirian mengarungi 7 samudra.
Ya, tapi aku bukan Sinbad yang siap menghadapi segala macam permasalahan dalam hidup.
Seorang manusia yang baru mendapati dirinya sedang dalam masa perubahan. Menjadi seo-
rang yang dewasa, mengerti apa itu ‘cinta’. Atas ‘perbuatanku’, aku kehilangan hal yang ber-
harga, bukan seorang teman, tapi seorang sahabat, atau mungkin lebih. Ya, walau hanya 3 bu-
lan kenal dengannya, tapi aku tahu kalau didalam diriku timbul perasaan ‘aneh’. Awalnya aku
diamkan saja hal ‘itu’. Kupikir ‘itu’ akan berlalu begitu saja, ibarat air yang selalu mengalir,
yang hanya terhenti karena dibendung. Ya, hal ‘itu’ yang kupikir bisa berlalu, tapi nyatanya
malah terbendung. Mungkin ini karena hampir setiap hari aku bertemu dengannya. Walau
hanya sekadar berucap, “Far, berangkat bareng yok”. Lama kelamaan aku sadar. ‘Bendungan’
yang ada sudah tidak sanggup untuk menahan derasnya rasa ini. Sampai suatu aku putuskan
mencobanya.
Malam itu malam minggu. Aku mengajaknya keluar jalan. Ya awalnya hanya pengin
ngajak nyari makan, tapi malah kebablasan ngobrol sampai larut malam. Sekitar pukul 11.00
malam. Aku ingat sekali waktu itu. Aku dan dia sama-sama sedang memandangi langit malam.
Dari kejauhan tampak berbagai macam bintang bertaburan, berkelap-kelip seumpama …… eh
malah jadi nyanyi. Biar agak romantis lah. Hahaha. Dalam keheningan malam, terdengar sayup
suara. “Dik”, panggilnya. Sontak ku menjawab. “Ada apa Far?”. Dia tak meneruskan kata-kata.
Hampir lima menit kami berdua terdiam hanya memandang langit malam. “Ngomong, nggak,
ngomong, nggak, ngomong, nggak….”. Entah berapa kali aku berhitung dalam hati. Akhirnya
kuberanikan diriku. Tak ada sama sekali terlintas bahwa itu akan menjadi kesempatan tera-
khirku untuk bisa bersamanya. Tenang dia belum mati kok. “Far”, ucapku lirih. “Kita udah
berapa bulan kenal ya?”. “Eumnt….kan kita dulu pernah ketemu pas SMP. Tapi mungkin kamu
nggak ingat siapa aku. Mungkin udah 4 bulanan lah. Emang kenapa?”, balasnya. “oh iya kita
Sang Malaikat Mimpi– Guruh Diki (MG ‘14)
pernah ketemu? Hahaha aku memang sering lupa, apalagi SMP. Eumnt, gimana ya, bingung juga aku”, jawabku
singkat. Akhirnya. Aku putuskan untuk memberanikan diriku. “Far, aku sebenarnya bingung. Entah apa yang
sekarang aku rasakan. Ketika aku bercanda dengan yang lain aku merasa ada sesuatu yang kurang. Sesuatu
yang aku sendiri tidak bisa aku temui dimanapun. Namun akhirnya aku sadar”. “Aku gapaham maksudmu dik?”,
balasnya. “Mungkin ini pertama kalinya aku merasakan ini. Dan pertama kalinya juga aku jujur sama diriku. Far,
aku cinta kamu”.
DIAM…. HENING…. Dan tanpa sepatah kata apapun dia pergi. Meninggalkan keheningan malam. Aku
tak sanggup untuk menghentikannya. Aku sendiri bingung kenapa aku harus berkata seperti itu padanya. Pada-
hal aku tahu kalau dia sedang berusaha melupakan ‘seseorang’ yang telah menyakitinya, tapi malah aku
menambah beban penderitaannya. Malam itu aku tidak bisa tidur. Jam sudah menunjukan pukul 03.00 pagi. Tapi
aku masih saja menyesali keputusan bodohku. Bingung. Argh, andai saja waktu bisa ku ulang. Namun akhirnya
kuputuskan untuk tetap tidur dan melupakan semua yang terjadi malam itu.
Paginya aku bangun agak telat. Hari itu aku bangun dan benar-benar melupakan apa yang telah terjadi
kemarin. Mungkin itu hanya sebuah mimpi. Dan ya, biarlah itu menjadi kenangan. Jam sudah menunjukan pukul
08.00 pagi. Aku tersontak melihat kos-kosanku sepi. Biasanya Farhah rutin olahraga senam kecil didepan. Na-
mun kali ini yang kulihat hanya bapak kos yang sibuk merawat tanaman. “Koe arep lunga ngendi? (kamu mau
kemana?)”, tanyanya. “Badhe nggene kancane mbah (mau ketempat temen mbah)”, jawabku singkat. ‘Kae si
Farhah kenang apa yah, ora biasane nang njero kamar. Mangan ya ora gelem. (Itu si Farhah kenapa ya, tidak
biasanya dia dikamar saja. Makan juga tidak mau)”. Fikirku apa karena semalam aku berkata seperti itu
padanya, atau dia memang sedang sakit. Akhirnya aku putuskan membeli bubur ayam kesukaannya. Tiap pagi
dia tidak pernah absen sarapan itu. Toh siapa tahu dia jadi semangat lagi. Sekitar pukul 09.00 pagi, aku berani-
kan diri mengetuk pintu kamarnya. “Far, makan dulu geh, ini aku tadi beli bubur ayam dari Nabilla. Dia nitip
sama aku. Far, aku tinggalin di depan ya. Jangan lupa dimakan mumpung masih hangat. Maaf Far, tentang ke-
marin malem”. Hanya itu yang aku ucap. Bodohkan aku. Udah berbohong, malah nambah runyam masalah. Tapi
ya sudahlah, aku masih ada tugas yang harus aku selesaikan bersama kelompokku. Akhirnya aku pergi dengan
perasaan sesal meninggalkannya sendiri.
Sore hari sekitar pukul 16.00 aku pulang. Kala itu kosanku benar-benar sepi sekali. Aku lupa kalau ba-
pak dan ibu kos mau pergi ketempat anaknya di Jakarta selama seminggu. Dan hari ini mereka berangkat. Aku
bergegas menuju kamarnya. Masih utuh bubur ayam yang tadi pagi. Apa Farhah tahu kalau bubur itu bukan dari
Nabil, atau dia masih marah gara-gara kemarin malam jadi dia males makan. Yang aku inginkan hanyalah meli-
hat senyuman keluar dari wajahnya. Aku tidak ada niatan sama sekali untuk membuatnya seperti itu. Mungkin
dia perlu waktu. Pikirku saat itu.
Esoknya aku bangun lebih pagi, sekitar pukul 04.00. Pikiranku masih tentang Farhah. Apa yang dia laku-
kan semalam, sudah makan belum, apa dia masih marah. Aku mencoba berfikiran positif. Aku yakin Farhah bisa
melewati semua dan kembali tersenyum. Kuputuskan untuk menunggunya didepan kos. Namun waktu menunju-
kan pukul 06.45. Aku sudah menunggu dari jam 06.00 dan dia belum juga keluar dari rumah. Sampai pukul 07.00
dia tetap tidak muncul. Sekolahku memang cukup disiplin menetapkan aturan datang pagi. Padahal aku siswa
baru tapi sudah berani-beraninya telat, hahaha. Tapi itu bukan sesuatu yang pantas ditiru ya. Hari ini benar-
benar membosankan. Ya tahu sendirilah kenapa. Percuma kalau badan saja yang hadir, tapi pikiran entah ke-
mana. Ya, satu-satunya yang aku pikirkan adalah Farhah. Kalau dia masuk sih ngapain kupikirin, toh aku bisa
melihatnya, tapi hari ini tumben dia absen. Aku masih merasa bersalah mengenai kejadian malam minggu ke-
marin. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Seperti apapun rasa bubur itu, ketika kita memakannya dengan ikhlas
pasti akan terasa enaknya. 1 hal yang aku agak khawatirkan Farhah punya penyakit maagh. Telat makan 1 kali
saja maaghnya bisa kambuh. Itu yang jadi beban pikiranku sekarang. Semoga Allah memberinya kekuatan.
3 hari berlalu tanpa adanya kabar dari Farhah, dan dia masih absen. Akhirnya aku beranikan telefon
nomor HP bapaknya. Singkat cerita, pernah suatu ketika aku ngobrol panjang lebar dengan beliau, saat dia se-
dang menunggu Farhah pulang sekolah. Dia cerita singkat tentang Farhah, dan yang menarik adalah Farhah
sangat menginginkan memiliki seorang suami yang bekerja di pertambangan. Akhirnya aku bertukar nomor HP
dengan ayahnya Farhah, siapa tahu dibutuhkan suatu saat nanti. Tut tut tut, dan 1,2,3. Diangkat. “Halo Assala-
mu’alaikum”. “Wa’alaikum salam. Maaf pak, saya Diki teman kelas Farhah. Boleh bicara dengan Farhah
sekarang?”, balasku singkat. “Oh, nak Diki yang teman kosnya Farhah?”, balas suara itu. “Maaf ya nak, Farhah
lagi tidak bisa bicara dengan kamu sekarang”. “Memang Farhah kenapa pak?”. Beliau terdiam sejenak. “Dia
sekarang sedang dirawat inap di Bumiayu. Barusan diperiksa katanya maagh-nya kambuh dan ada masalah
sama sum-sum tulang belakanya, makanya 2 hari yang lalu dia minta dijemput pulang. Nak mohon doanya ya,
insyaallah hari ini dia akan operasi”. Tanpa sadar airmataku menetes. Aku tidak sanggup berkata apa-apa. Aku
gagal sebagai seorang teman. Aku diam. Hampir 5 menit aku diam. Aku benar-benar terpukul mendengar hal
itu. “Halo nak diki? Kenapa diam?”, lanjutnya. “maaf pak, saya kaget mendengarnya. Saya pikir selama ini dia
hanya punya maagh. Iya pak nanti saya kabari teman-teman mengenai kondisi Farhah”, balasku. “Iya nak, teri-
makasih. Ya sudah nak saya mau menemani dia operasi dulu. Assalamu’alaikum”. “Wa’alaikum salam”. Terhen-
tilah pembicaraanku dengan ayahnya Farhah. Namun air mata ini tak kunjung berhenti, malah semakin deras.
Yang bisa dilakukan sekarang hanyalah berdoa. Apapun yang bisa aku lakukan aku siap asalkan aku bisa mem-
buat Farhah kembali terseyum dan berkumpul bersama lagi. Tidak peduli seperti apa hubunganku dengannya,
aku sangat senang ketika dia bisa berkumpul bersama sembari tersenyum.
1 minggu berlalu semenjak Farhah mengalami operasi. Farhah belum masuk juga. Sedang apa dia
sekarang ya?. Tapi angan-angan hanyalah dalam bayangan. Yang harus dihadapi adalah kenyataan. Semua kon-
sekuensi dari segala macam perbuatan, kelak akan dipertanggung jawabkan, termasuk perkataanku padanya.
Usai kelas aku pulang ke kosan. Namun sesampainya aku dikosan, aku lihat ada sebuah motor terparkir di hala-
man depan kos. Dan aku kenal motor siapakah ini. Yap, motornya milik ayahnya Farhah. Kemungkinan Farhah
sudah balik ke kosan. Namun, aku tidak mau langsung masuk. Tapi tak sengaja ayah Farhah melihatku. Dan aku
disuruh masuk. Disitu aku benar-benar kaget, wajah Farhah benar-benar pucat. Tiba-tiba Farhah meminta ayah-
nya keluar sebentar, meninggalkan aku dan dia saja. “Dik, maaf ya. Aku sudah membuat kamu cemas. Aku tidak
ada maksud untuk meninggalkan kamu malam itu. Aku hanya kaget kamu bisa berkata seperti itu, sementara
kita baru kenal beberapa bulan saja. TIDAK, itu jawabku Aku tidak bisa menerima kamu. Aku hanya ingin fokus
untuk sekolah saja untuk saat ini. Aku juga tidak ingin kamu menjadi terganggu dengan adanya diriku. Jikalau
kamu serius mengenai ucapanmu itu, lakukanlah dengan cara yang benar. Ambilah diriku dari tangan waliku.
Untuk saat ini jalani saja seperti teman biasa. Maaf dik hanya itu yang bisa aku katakan. Aku mau istirahat dulu”.
Aku pergi tanpa berucap apaun. Aku hanya menyapa ayahnya Farhah sebentar. Setelah itu aku langsung
kekamar.
Semenjak kejadian itu, tekadku hanya 1. Sukses dan membuat impianku menjadi nyata. Suatu saat nanti
aku akan mengambil Farhah dari tangan walinya. Namun sebelum itu aku harus bisa mewujudkan impian
Farhah, punya suami yang bekerja di dunia pertambangan. Padahal aku tergolong anak desa yang TIDAK PER-
NAH PERGI KEMANA-MANA. Aku nekat mendaftar ke ITB. Padahal tahu sendirilah letaknya di Bandung. Dan
alhamdulilah juga ada Bidikmisi. Ya walaupun aku seorang yang pas-pasan nilainya, tapi alhamdulilah bisa juga
menembus dinding SNMPTN yang katanya seperti bermain ’judi’. Hahaha. Yang jadi alasan aku memilih pergu-
ruan tinggi saat itu hanyalah Farhah. Kuniatkan masuk FTTM (Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan)
sedari kelas 10 SMA. Ya walaupun bukan masuk di Teknik Pertambangan, tapi Teknik Metalurgi miriplah den-
gan Teknik Pertambangan. Hahaha. Hanya karena seorang wanita aku bisa sampai sejauh ini, tapi setelah jauh
darinya apakah aku bisa bertahan mengingat aku tidak bisa melihat senyumannya. Sampai saat ini aku tidak
bisa melupakan Farhah, dan ya alasan utama aku kuliah karena Farhah. Selanjutnya akulah yang menentukan
kemana aku akan melangkah. Kesempatan hanya ada 1, dan sekali kau membuang itu, bisa jadi yang keluar
adalah airmata penyesalan. Sejujurnya aku juga sedikit menyesal mengingat yang aku jalani bukan karena
keinginan dari hatiku sendiri. Dalam hati ini sebenarnya aku tidak menginginkan untuk lanjut kuliah, mengingat
keterbatasan orang tua. Namun berkat Bidikmisi aku punya sedikit harapan. Terimakasih Bidikmisi J. Walau
diselingi rasa penyesalan, aku tetap menikmati dunia perkuliahan ku ini walalu jurusan yang aku minati bukan
disini. Jangan karena ketidaksesuaian dengan hati malah membuat kita benci. Kesuksesan datang bukan karena
cobaan, namun karena perjuangan. Aku percaya suatu saat nanti aku akan bisa menemuinya lagi, bukan untuk
reuni atau hanya sekadar bersapa kangen, tapi untuk mengambil dia dari walinya. Aku akan mewujudkannya
ditahun 2023 kelak. Teruntuk Farhah Inayah Turohmah, sang malaikat mimpi.