BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO...
Transcript of BULETIN - APLINDOaplindo.web.id/wp-content/uploads/2018/04/BULETIN-APLINDO-50.pdfBULETIN - APLINDO...
BULETIN APLINDO N0.50/2017, Januari – Februari 2017
Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia
Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 3 Ruang 303A
Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270
Telp. 021.573 3832 ; 571 0486; Fax : 021.572 1328
Email :[email protected] Web Site : www.aplindo.web.id
APLINDO
BULETIN - APLINDO No.50/2017
1
DAFTAR ISI
No. Uraian Halaman
1. Pengantar Redaksi 2
2. Pengembangan Industri Nasional 3
3. Siaran pers Kemendag “SIUP tidak perlu diperpanjang” 5
4. Harga Gas Industri belum juga Turun, FIPGB Melaporkan ke
Ombudsman
6
5. ESDM: Harga Gas di Sumut Turun US$ 4/MMBtu Per 1 Februari 2017 11
6. Transformasi Industri Manufaktur Jawa Melalui Pengembangan Rantai Integrasi Produksi dan Nilai
12
7. Mempercepat Transformasi Industri Manufaktur Untuk Mewujudkan Industrialisasi Indonesia Yang Berdaya Saing Global
19
8 Modeling of aluminum – silicon irregular eutectic growth by cellular automaton model
35
9. Data Kendaraan Bermotor
1. Data kendaraan bermotor roda 4 di Indonesia & ASEAN 2. Data kendaraan bermotor roda 2 di Indonesia & ASEAN
44
45
10. Informasi Umum dan Pameran 1. Website pemerintah yang dapat diakses
2. Website Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia 3. Website Himpunan Ahli Pengecoran Logam Indonesia
Pameran dan Seminar
47
47 47
47
BULETIN - APLINDO No.50/2017
2
Pengantar Redaksi
Pada edisi 50/2017 ini, membahas keluarnya kebijakan penurunan harga gas untuk
industri di Wilayah Medan dan sekitarnya berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor
434 K/12/MEM/2017 tentang Harga Gas Untuk Industri di Wilayah Medan dan
Sekitarnya, tanggal 13 Februari 2017 dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan
berlaku surut sejak tanggal 1 Februari 2017 yang semula US$ 12,2/MMBtu menjadi US$
9,82/MMBtu.
Selain itu juga diberitakan kondisi dan perkembangan industri pengolahan di
Indonesia menurut penelitian dari Bank Indonesia dimana Industri pengolahan
memegang peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi dan terhadap PDRB (Product
Domestic Bruto) yang terbesar dibandingkan lapangan usaha lainnya. Sejak krisis
keuangan dunia pada tahun 2008, pangsa industri pengolahan di Jawa memang terus
mengalami penurunan hingga levelnya saat ini, belum menunjukkan indikasi untuk
kembali kepada level sebelumnya. Disisi lain, sektor perdagangan dan jasa-jasa tumbuh
lebih tinggi di atas industri pengolahan.
Dalam edisi ini juga memuat artikel-artikel untuk menambah pengetahuan dibidang
pengecoran logam, selanjutnya kami mengharapkan agar buletin ini menjadi media
antar anggota maupun antar industri pengecoran didalam negeri dan diluar negeri.
Harapan kami, seluruh anggota dapat mengisi buletin ini menjadi kenyataan.
Redaksi buletin APLINDO menghimbau anggota APLINDO berpartisipasi dalam mengisi
tulisan/artikel, data maupun informasi lain yang berhubungan dengan industri
pengecoran logam. Naskah tulisan/artikel dapat dikirim ke sekretariat APLINDO, melalui
email ataupun fax.
Redaksi
BULETIN - APLINDO No.50/2017
3
Pengembangan Industri Logam Nasional
Dirjen Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan dalam acara temu usaha di Kementerian Perindustrian pada tanggal 16 Januari 2017
Pada tanggal 16 Januari 2017, Dirjen Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan
Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan dalam
acara temu usaha di Kementerian Perindustrian yang tengah berupaya
menyeimbangkan antara industri hulu dan hilir baja serta meningkatkan penguatan
struktur industrinya di dalam negeri. Penguatan tersebut dilakukan mulai dari sektor
hulu sampai hilir agar bisa saling bersinergi dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi
nasional.
Pertemuan tersebut merupakan komitmen dari Kemenperin dalam melaksanakan
amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara serta UU
No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian. Salah satu program lanjutan dari hilirisasi
mineral adalah pengembangan industri terintegrasi dari hulu sampai hilir seperti yang
diterapkan di Kawasan Industri Morowali dan Konawe yang berbasis smelter.
Kementerian Perindustrian bersama pemangku kepentingan terkait lainnya juga tengah
berupaya untuk mengendalikan impor besi dan baja melalui Peraturan Menteri
Perdagangan No.82/2016 tentang Impor Besi atau baja, Baja Paduan, dan Produk
Turunannya. Karena impor besi dan baja tidak dikontrol dan semakin besar, akan
membahayakan keberlangsungan industri hulu di dalam negeri. Jika di hulu tidak bisa
menyuplai industri hilirnya maka akan lebih banyak mengimpor dan akan membebani
neraca perdagangan Indonesia.
BULETIN - APLINDO No.50/2017
4
Penggunaan bahan baku logam domestik terus ditingkatkan untuk pemanfaatan secara
optimal di industri hilir. Untuk itu, Kemenperin memacu pengembangan industri logam
berbasis sumber daya lokal karena prospek sektor induk ini di masa mendatang masih
cukup potensial.
Dalam hal ini, Kemenperin memfokuskan pada program Peningkatan Penggunaan
Produk Dalam Negeri (P3DN) yang merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
mendorong masyarakat maupun badan usaha agar lebih menggunakan produk dalam
negeri, sehingga dapat mengurangi ketergantungan kepada produk impor, serta
meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri.
Pemerintah juga berupaya untuk menciptakan iklim usaha yang semakin kondusif
melalui percepatan pembangunan infrastruktur sehingga turut memacu kinerja industri
logam agar mampu meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia.
Disela sela pertemuan tersebut Ketua APLINDO, Achmad Safiun mengatakan bahwa
penaikan dan penurunan bea masuk produk baja tidak akan membantu penguatan dan
pengembangan industri dalam negeri. Karena pabrik baja saat ini di PT Krakatau Steel
belum dapat memproduksi besi dan masih mengimpor bahan baku berupa slab dan
masih menggunakan teknologi lama dan lahap energi yaitu 650-700 Kwh per ton,
sedangkan produk yang dihasilkan masih belum memenuhi spec untuk bahan baku
industri hilir, misalnya industri otomotif.
Selain itu untuk memiliki daya saing, industri perlu energi baik itu listrik maupun gas
yang murah. Tingginya tarif dasar listrik dan gas bumi menyumbang biaya utilitas yang
tinggi bagi industri yang secara otomatis akan meningkatkan biaya produksi. Penurunan
harga gas memberikan pengaruh positif pada sektor industri dan secara langsung
berkontribusi terhadap penurunan biaya produksi, sehingga mendorong produk dalam
negeri dapat bersaing di pasar. Murahnya biaya energi dapat menjadi salah satu nilai
tambah dalam peningkatan investasi dalam negeri.
----oooo-----
BULETIN - APLINDO No.50/2017
5
BULETIN - APLINDO No.50/2017
6
Harga Gas Industri belum juga Turun
FIPGB Melaporkan ke Ombudsman
Pada tanggal 4 Oktober 2016, Presiden Jokowi sudah mengintruksikan agar harga gas
industri turun dibawah US$ 6 per mmBTU di pintu pabrik pada 1 Januari 2017. Intruksi
itu merupakan kelanjutan dari paket kebijakan penurunan harga gas yang masih belum
terealisasi walaupun sudah diumumkan 7 Oktober 2015. Namun, Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga detik ini baru mengeluarkan aturan
penurunan harga gas berdasarkan Permen No.40 tahun 2016 untuk 8 perusahan yaitu 3
industri petrokimia (PT Kaltim Parna Industri, PT. Kaltim Methanol Industri dan PT.
Petrokimia Gresik), 4 industri pupuk (PT Pupuk Kaltim, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk
Iskandar Muda dan PT. Pupuk Sriwijaya) dan 1 industri baja (PT Krakatau Steel).
Permasalahan kebijakan penurunan harga gas yang berlarut ini membuat perusahaan
asing yang tadinya berniat berinvestasi di Indonesia akhirnya beralih ke lokasi lain,
seperti Malaysia, karena janji pemerintah tidak terealisasi. Apalagi langkah pemerintah
negeri jiran Malaysia yang menurunkan harga gas semakin rendah pada 2016 semakin
memanjakan industri berbasis gas di Malaysia yang sekian lama memperoleh harga gas
lebih rendah dari industri di Indonesia.
Demikian pula dengan industri pupuk yang telah mendapatkan penurunan harga gas
ternyata bagi industri pupuk tidak berdampak pada peningkatan daya saing dan industri
pupuk berharap harga gas bisa lebih rendah atau sesuai dengan harga yang berlaku di
pasar internasional sekitar US$ 3-4 per mmBTU karena gas berkontribusi sekitar 70%
terhadap biaya produksi, Kondisi ini tidak menguntungkan untuk perkembangan industri
di dalam negeri.
Melihat kegagalan pemerintah untuk merealisasikan kebijakan penurunan harga gas dan
dampak yang tidak menguntungkan bagi industri, maka Ketua Umum Forum Industri
Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Safiun akan terus mendorong realisasi janji
penurunan harga gas kepada pemerintah dengan memberikan laporan ke Ombudsman
mengenai kegagalan kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk melaksanakan
perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar menurunkan harga gas bagi industri
sebagai mana terlampir dihalaman berikut.
BULETIN - APLINDO No.50/2017
7
NAMA
Pelapor
Achmad Safiun
Selaku Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB)
ALAMAT SURAT Kemang Village Residence, Tower Ritz G606, RT 014 Rw 005 Kel.
Bangka Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
No.Telpon/HP 08111311935
TERLAPOR
Instansi/Pejabat
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
PERIHAL Penurunan Harga Gas Bumi
KRONOLOGIS
Uraian keluhan, peristiwa, tindakan, kelalaian atau keputusan yang dilaporkan jelas dan rinci.
Belum melampaui waktu 2 (dua) tahun (p.24)
Tidak sedang atau telah menjadi objek pemeriksaan pengadilan, kecuali laporan tersebut menyangkut tindakan maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan (p.36)
Telah menyampaikan keberatan tersebut kepada pihak yang dilaporkan
Substansi yang dilaporkan masuk dalam kewenangan Ombudsman
Tanggal Peristiwa Catatan/Bukti
1 Juni 2015 FIPGB mengirim surat ke Menteri
Keuangan dengan No.
011/FIPGB/IV/2015, dan
dikirimkan pula ke Menteri ESDM,
perihal mohon harga gas bumi
diturunkan karena harga gas
global turun
Terlampir
14 Juli 2015 Tanggapan dari Menteri Keuangan
dengan nomor surat S-
544/MK.02/2015
Terlampir
28 Juli 2015 FIPGB mengirim surat ke Menteri
ESDM dengan No.
015/FIPGB/VI/2015, mohon harga
gas diturunkan
Terlampir
9
September
2015
"Paket Kebijakan Ekonomi",
menggerakkan ekonomi nasional,
mendorong daya saing industri
nasional dengan insentif fiskal,
otoritas Pemerintah menjamin
alokasi dan harga gas untuk
industri yang akan berlaku efektif 1
Januari 2016
Terlampir
7 Oktober “Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III” Terlampir
BULETIN - APLINDO No.50/2017
8
2015 harga gas dari lapangan gas baru
ditetapkan sesuai industri pupuk,
yakni sebesar 7 US$/mmBTU,
sedangkan harga untuk industri
lainnya (seperti petrokimia,
keramik dsb) akan diturunkan
sesuai dengan kemampuan industri
masing-masing, penurunan harga
gas dengan efisien di 8 sistem
distribusi gas serta pengurangan
penerimaan negara atau PNBP gas.
17
Nopember
2015
Menteri Perindustrian mengusulkan
harga gas untuk industri kepada
Menteri ESDM dengan surat no.
524/M-IND/11/2015
Terlampir
4 Maret
2016
FIPGB mengirim surat ke Presiden
dengan No. 034/FIPGB/III/2016
perihal harga gas, tidak sesuai
dengan Paket Ekonomi III yang
menyatakan harga gas bumi
berlaku per 1 Januari 2016
Terlampir
3 Mei 2016 Peraturan Presiden No.40 tahun
2016, “Dalam hal harga Gas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 tidak dapat memenuhi
keekonomian Industri Pengguna
Gas Bumi dan Harga Gas Bumi
lebih tinggi dari US$ 6/MMBTU,
Menteri dapat menetapkan Harga
Gas Bumi Tertentu”. Perpres ini
berlaku surut sejak tanggal 1
Januari 2016
Terlampir
16 Juni
2016
Peraturan Menteri ESDM No.16
tahun 2016, “ Dalam hal harga Gas
Bumi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 tidak dapat
memenuhi keekonomian Industri
Pengguna Gas Bumi dan Harga
Gas Bumi pada titik serah dari
Kontraktor lebih tinggi dari US$
6/MMBTU, Menteri dapat
menetapkan Harga Gas Bumi
Terlampir
BULETIN - APLINDO No.50/2017
9
Tertentu kepada Pengguna Gas
Bumi Tertentu ”, Permen ini
berlaku sejak diundangkan dan
berlaku surut sejak tanggal 1
Januari 2016
14 Juli 2016 FIPGB mengirim surat ke Presiden
dengan no. 041/FIPGB/VII/2016
perihal Perpres no.40 tahun 2016
tidak bermanfaat karena peraturan
pelaksananya tidak sejalan dengan
Perpres no.40 tahun 2016
Terlampir
4 Oktober
2016
Presiden Joko Widodo dalam rapat
terbatas di Istana Presiden Jakarta
menginstruksikan harga gas untuk
industri diturunkan sampai di
bawah US$ 6 /MmBTU dalam
waktu 2 bulan untukm eningkatkan
daya saing industri
Terlampir
25
Nopember
2016
Peraturan Menteri ESDM No.40
tahun 2016 tentang Harga Gas
Bumi Untuk Industri Tertentu,
permen ini berlaku terhitung mulai
1 Januari 2017 untuk industri
pupuk, petro kimia dan baja
Terlampir
LAMPIRAN 1. Fotokopi KTP 2. Fotokopi Dokumen :
Surat FIPGB No.
011/FIPGB/IV/2015 Surat Menteri Keuangan no. S-
544/MK.02/2015 Surat FIPGB No.
015/FIPGB/VI/2015 Paket Kebijakan Ekonomi 9
September 2015 Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III
Surat Menteri Perindustrian, no. 524/M-IND/11/2015
Surat FIPGB No. 034/FIPGB/III/2016
Peraturan Presiden No.40 tahun 2016
Peraturan Menteri ESDM No.16 tahun 2016
Surat FIPGB No. 041/FIPGB/VII/2016
Dugaan
Maladministrasi*
Penundaan Berlarut
Penyalahgunaan
Wewenang
Penyimpangan Prosedur
Permintaan uang,
Barang dan Jasa
Tidak Kompeten
Tidak Memberikan
Pelayanan
Tidak Patut
Berpihak
BULETIN - APLINDO No.50/2017
10
Siaran Pers Presiden Jokowi Peraturan Menteri ESDM No.16
tahun 2016
Data gas Harga gas
Kerugian
Materiil/immateriil
1. Ketidakpastian berusaha 2. Produk dalam negeri tidak berdaya saing 3. Penurunan kontribusi industri pengolahan non migas terhadap
PDB 4. Pengurangan tenaga kerja 5. Industri tidak berdaya
Upaya Yang
Sudah Dilakukan
Uraian yang menjelaskan bahwa Pelapor sebelumnya telah menyampaikan keluhan secara tertulis atau lisan kepada pihak terlapor atau atasannya dan tidak memperoleh tindaklanjut sebagaimana mestinya
Rapat koordinasi dengan instansi pemerintah terkait, antara lain :
Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)
Dewan Energi Nasional (DEN)
Kementerian Perindustrian
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Kementerian Keuangan
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman
SKK Migas,
BPH Migas
Harapan
Permintaan penyelesaian yang diajukan
Kebijakan penurunan harga gas untuk industri dibawah 6 USD per mmBTU harus dilaksanakan secara konsisten sesuai waktu tanggal 1 Januari 2016.
Dapat dibersihkan dari pemburu rente
Harga $6 per mmBTU untuk industri pupuk masih perlu ditinjau kembali untuk diturunkan.
Keterangan -
Saya bersumpah bahwa semua keterangan dan bukti yang saya berikan dalam laporan
ini saya berikan dengan sebenar-benarnya, tanpa ada yang disembunyikan, maka
apabila dikemudian hari dalam keterangan dan bukti tersebut ditemukan kebohongan,
dan/atau kepalsuan disembunyikan, maka saya sanggup menjalankan hukuman yang
diberikan oleh Negara dan Tuhan YME.
Jakarta, 24 Januari 2017
BULETIN - APLINDO No.50/2017
11
ESDM: Harga Gas di Sumut Turun US$ 4/MMBtu
Per 1 Februari 2017
Setelah sekian lama menunggu keputusan turunnya harga gas bumi untuk industri di
Sumatera Utara, akhirnya turun berita bahwa, Menteri ESDM Ignasius Jonan
menetapkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 434 K/12/MEM/2017 tentang Harga Gas
Untuk Industri di Wilayah Medan dan Sekitarnya, tanggal 13 Februari 2017, mulai
berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 1 Februari 2017.
Keputusan ini diambil untuk menjaga keberlangsungan pertumbuhan industri dan
mewujudkan harga gas bumi yang dapat memberikan peningkatan nilai tambah dan
daya saing industri di wilayah Medan dan sekitarnya.
Dalam aturan tersebut harga gas berlaku untuk seluruh jenis pengguna gas bumi untuk
industri di wilayah Medan dan sekitarnya, dihitung berdasarkan komponen harga gas
bumi hulu, tarif penyaluran dan biaya distribusi gas bumi, tercantum pada Lampiran I, II
dan III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kepmen ini.
Penurunan harga gas sebesar hampir US$ 4/MMBtu ini diharapkan industri di Medan
dan sekitarnya bisa lebih efisien dan berdaya saing karena harga gas lebih murah untuk
industri di Sumatera Utara (Sumut) sudah dipangkas dari sekitar US$ 12,2/MMBtu
menjadi US$ 9,82/MMBtu seperti terlihat dalam tabel 1.
Tabel 1 Harga Gas Untuk Industri Di Sumatera Utara
Keterangan : Harga ICP per Januari 2017 = 51.88 USD/barrel
: 1 BOE = 5.8 MMBTU Sumber : Keputusan Menteri ESDM Nomor 434 K/12/MEM/2017, Diaolah
Penurunan harga ini terjadi karena adanya pemangkasan biaya di hulu, transmisi, dan
distribusi. Di hulu, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) bersedia menurunkan harga gas dari
blok North Sumatera Offshore (NSO) dari US$ 7,85/MMBtu menjadi US$ 6,95/MMBtu
ditambah 1% ICP dan PT PGN dari PT Pertamina EP dari US$ 8,24/MMBtu menjadi US$
6,82/MMBtu ditambah 1% ICP.
Pemasok Harga Hulu Tarif Penyaluran Biaya Distribusi
Total USD/MMBtu 1% ICP USD/MSCF USD/m3
PT Pertamina
6.95
0.09
1.88
0.90
9.82
PT PGN
6.95
0.09
1.88
0.90
9.82
BULETIN - APLINDO No.50/2017
12
Transformasi Industri Manufaktur Jawa Melalui Pengembangan Rantai
Integrasi Produksi dan Nilai (Kondisi, Tantangan dan Strategi Pengembangan)
Kondisi Industri Manufaktur
Industri pengolahan memegang peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi di Jawa,
dengan memiliki pangsa terhadap PDRB (Product Domestic Regional Bruto) yang
terbesar dibandingkan lapangan usaha lainnya yaitu mencapai 29%. Tenaga kerja yang
berhasil diserap oleh industri pengolahan juga tergolong tinggi, dengan tingkat
penyerapan mencapai 18,2% dari total angkatan kerja. Dari sisi penanaman modal,
realisasi investasi langsung yang masuk ke Jawa sebagian besar ditujukan untuk industri
pengolahan atau manufaktur, dan mencapai 45% dari total investasi langsung.
Selain itu, ekspor non migas Jawa mayoritas merupakan produk industri manufaktur.
Sejak krisis keuangan dunia pada tahun 2008, pangsa industri pengolahan di Jawa
memang terus mengalami penurunan hingga levelnya saat ini, dan belum menunjukkan
indikasi untuk kembali kepada level sebelumnya.
Disisi lain, pangsa sektor jasa justru terus mengalami peningkatan. Dari fenomena
tersebut, terdapat tiga tantangan utama industri pengolahan yang berhasil diidentifikasi,
yaitu:
a. Deindustrialisasi
Krisis keuangan dunia pada tahun 2008 telah menyebabkan permintaan global
menurun dan kemudian berdampak pada melambatnya pertumbuhan industri
pengolahan di Jawa sebagai salah satu pemasok rantai global. Penurunan tersebut
juga terindikasi dari pangsa industri manufaktur dalam PDRB yang terus menurun
dari 32% pada tahun 2000 hingga mencapai 28% pada tahun 2015.Terhadap
industri pengolahan nasional, pangsa industri pengolahan di Jawa tetap paling
dominan yaitu sebesar 71%.
Melambatnya pertumbuhan industri manufaktur berimplikasi pada penyerapan
tenaga kerja sektor industri yang tidak mengalami banyak perubahan sejak tahun
2001 hingga 2015. Namun di saat yang sama, sektor perdagangan dan jasa-jasa
tumbuh lebih tinggi di atas industri pengolahan.
BULETIN - APLINDO No.50/2017
13
Grafik I. Pangsa PDRB Jawa Sektoral
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Grafik II. Pangsa Tenaga Kerja Jawa Sektoral
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah
Dari sisi penanaman modal, realisasi investasi masih tumbuh cukup kuat dan untuk
periode 2011-2015 tercatat lebih tinggi dibandingkan periode 2001-2010. Investasi
industri pengolahan masih didominasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA),
dan secara spasial masih terkonsentrasi di Jawa Barat. Investasi yang bersumber
dari PMA lebih banyak ke industripadat modal dengan teknologi menengah tinggi.
Sementara itu, investasi PMDN lebih banyak ke sektor padat karya dan sektor
berbasis bahan tambang.
Grafik III. Perkembangan PMA dan PMDN Industri dan Pangsa Investasi per Subsektor Industri
BULETIN - APLINDO No.50/2017
14
b. Kondisi Lokal & Global Chain
Menurut pendekatan local chain, kegiatan industri manufaktur di Jawa belum
memiliki keterkaitan yang kuat dengan wilayah di luar Jawa. Hal tersebut
ditunjukkan oleh masih rendahnya porsi bahan baku yang berasal dari luar Jawa.
Berdasarkan data IRIO 2005, hanya sub lapangan usaha semen, besi baja dan
petrokimia yang sudah mendatangkan bahan baku dari luar Jawa dengan pangsa di
atas 10%.
Tabel I. Komposisi Input Antara Berdasarkan Subsektor
Di sisi lain, perkembangan internasional menunjukkan bahwa negara lain di dunia
telah meningkatkan integrasinya dengan rantai nilai global yang terindikasi dari
indikator total integration*. Peningkatan integrasi tersebut berkorelasi positif dengan
peningkatan pertumbuhan manufaktur, terutama untuk negara-negara middle
income. Sementara itu, pada periode 1995-2001, Indonesia lebih meningkatkan
forward participation**, terutama pada produk bahan baku mentah pertambangan,
sementara peningkatan backward participation*** masih terbatas.
Grafik IV. Integrasi Global Value Chain(GVC)
*) Total Integration : Contribution of a country’s exports which are part of GVC. **) Forward Participation domestic value added embodied in foreign exports as share of gross exports
***) Backward Participation : foreign value added share of gross exports
BULETIN - APLINDO No.50/2017
15
C. Kesiapan pada Era Industri 4.0
Dalam beberapa waktu terakhir telah berkembang revolusi industri 4.0 yang
bertumpu pada teknologi informasi, digitalisasi, dan tingkat pengetahuan dan
keterampilan tinggi. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, revolusi industri 4.0
merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi. Oleh karena itu, percepatan
perbaikan infrastruktur dan SDM perlu terus dilakukan. Indikator kesiapan Sumber
Daya Manusia (SDM) dan kesiapan teknologi juga menunjukkan bahwa Indonesia
masih kalah bila dibandingkan dengan negara peersseperti China, Malaysia, Thailand,
dan Filipina.
Grafik V.Revolusi Industri 4.0
Tabel II. Indeks Higher Education and Training & Technological Readiness
Tantangan
Perbaikan daya saing industri manufaktur menghadapi beberapa tantangan dalam
pemenuhan kapasitas dasar,baikitu secara fisik maupun non-fisik.
BULETIN - APLINDO No.50/2017
16
a. Infrastruktur Fisik
Dari sisi infrastruktur fisik, kualitas jalan di Jawa masih belum maksimal terutama
terkait dengan kondisi kerusakan jalan di Jalur Selatan. Infrastruktur jalan merupakan
salah satu infrastruktur penting mengingat pengiriman barang manufaktur masih
banyak yang menggunakan angkutan truk.Sementara itu, berdasarkan hasil survei
yang dilakukan oleh Bank Indonesia kepada pengelola Kawasan Industri di Jawa,
didapatkan hasil bahwa infrastruktur jaringan gas yang masih rendah.Harga gas
industri Indonesia relatif kurang kompetitif jika dibandingkan dengan Negara-Negara
Asean lainnya. Sementara itu, infrastruktur penunjang lainnya di Kawasan Industri
juga masih banyakyang perlu ditingkatkan, terutama pada aspek pusat Research &
Development, pusat pelatihan, perumahan Karyawan dan kantor bank.
Grafik VI. Kualitas Infrastruktur Pengelola KI
Infrastruktur Penunjang
Sumber: Survei Pengelola Kawasan Industri – Bank Indonesia
Terkait dengan ketersediaan pasokan listrik di Jawa yang saat ini telah tercukupi,
namun dalam rangka mendorong dan mangantisipasi kebutuhan seiring pertumbuhan
ekonomi, pembangunan pembangkit listrik tetap harus terus dilakukan. Berdasarkan
survei yang dilakukan Bank Indonesia kepada perusahaan manufaktur, didapatkan
hasil bahwa ketersediaan dan kemudahan akses energi listrik di Jawa sudah cukup
baik, namun frekuensi dan lamanya listrik padam, untuk perusahaan yang berada di
luar kawasan industri dilaporkan masih relatif tinggi.
b. Infrastruktur Non-fisik
Pemenuhan kapasitas dasar untuk non fisik, utamanya bersumber pada kualitas SDM.
Tenaga kerja industri manufaktur di kawasan Jawa didominasi oleh pekerja dengan
tingkat pendidikan SMA, diikuti oleh tingkat pendidikan SD dan SMP, sehingga
diperlukan adanya peningkatan kualitas tenaga kerja dalam hal years of schooling
BULETIN - APLINDO No.50/2017
17
maupun kompetensi pendukung lainnya. Mayoritas perusahaan manufaktur di Jawa
belum bekerjasama dengan lembaga pendidikan vokasional meski saat ini telah
berdiri beberapa lembaga pendidikan vokasional di Jawa.
Grafik VII. Pangsa Tenaga Kerja Industri Manufaktur
Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2016
Sumber: Sakernas, BPS 2016 (diolah)
Tantangan pada SDM juga terkait dengan mismatch kualifikasi dan skill tenaga kerja dengan jenis pekerjaannya. Secara umum tenaga kerja sektor garmen dan rokok di
Jawa >50% merupakan under qualified.
Grafik VIII. Labor Mismatch Subsektor Industri Jawa
Sumber: Sakernas, BPS 2016 (diolah)
Dari sisi kesiapan teknologi, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain di
kawasan. Hal tersebut tercermin dari ketersediaan teknologi terbaru dan internet
bandwith yang relatif di bawah negara peers. Sementara itu, dari sisi kelembagaan,
meski survei Ease of Doing Busniness memberikan peringkat yang lebih baik untuk
Indonesia, masih terdapat tantangan terkait adanya gap antara kebijakan pusat
BULETIN - APLINDO No.50/2017
18
dengan daerah. Selanjutnya, dari sisi efisiensi terkait supply chain, salah satu
indikator yang tersedia yaitu cash conversion cycle (CCC)* Indonesia merupakan
yang terendah di kawasan, atau termasuk efisien. Namun rendahnya CCC tersebut
tidak diikuti dengan efisiensi dalam faktor produksi, dimana COGS** to Sales
Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan dengan return yang rendah. Adapun
dari sisi pendanaan, Weighted Average Cost of Capital (WACC)*** di Indonesia
merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan. Namun suku bunga kredit korporasi
masih lebih rendah dari WACC meski hingga triwulan III 2016 pertumbuhan kredit
industri pengolahan terus mengalami perlambatan.
Strategi Pengembangan
Dalam mempercepat transformasi industri manufaktur untuk mewujudkan industrialisasi
Indonesia yang berdaya saing global, terdapat tujuh strategi yang dapat dilakukan bagi
industri pengolahan di Jawa.
Pertama, integrasi industri dengan Global Value Chain (GVC). Untuk mendorong
pertumbuhan industri manufaktur perlu dilakukan upaya meningkatkan daya saing
industri dengan tingkat backward participation tinggi, seperti elektronika, otomotif,
produk besi dan baja, kimia, TPT dan alas kaki, serta kertas & produk kertas.
Kedua, optimalisasi local chain yang efisien. Local chain yang kompetitif dan efisien
perlu dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan key industry di Jawa, seperti alat
angkut, petrokimia, kertas dan produk kertas, TPT dan alas kaki, serta makanan dan
minuman.
Ketiga, untuk mendorong integrasi GVC dan ekspor, diplomasi perdagangan luar negeri
perlu dioptimalkan. Dalam kasus IJEPA, meskipun secara bilateral neraca perdagangan
Indonesia defisit terhadap Jepang, namun neraca perdagangan Indonesia untuk produk
otomotif tercatat surplus dengan total seluruh dunia.
Keempat, potensi BUMN industri strategis di Jawa perlu dioptimalkan melalui
pembentukan holding untuk meningkatkan economies of scale, kemampuan kinerja
keuangan, dan spesialisasi keahlian.
Kelima, dari sisi korporasi, strategi diversifikasi perlu dilakukan untuk bersaing dalam
era kompetisi global dengan mempertimbangkan karakteristik korporasi. Sebagai
contoh, integrasi vertical dapat dilakukan, yaitu memiliki lini bisnis dari hulu ke hilir.
*) CCC merupakan lama hari untuk mengkonversi resources input menjadi kas, dimana semakin rendah mengindikasikan semakin
efisiennya perusahaan **) COGS atau cost of good sold adalah beban pokok perusahaan dalam memproduksi suatu unit
***) WACC adalah total cost of capital yang ditanggung perusahaan dan terdiri dari rata-rata tertimbang dari suku bunga utang dan return of equity
BULETIN - APLINDO No.50/2017
19
Keenam, peningkatan akses modal perbankan Industri Kecil Menengah (IKM) perlu
ditingkatkan sesuai dengan karakteristik IKM.
Ketujuh, penguatan rantai pasok IKM, melalui kemitraan dan pemanfaatan e-
commerce untuk meningkatkan efisiensi dalam proses distribusi dan mendorong daya
saing nasional.
Mempercepat Transformasi Industri Manufaktur Untuk Mewujudkan
Industrialisasi Indonesia Yang Berdaya Saing Global
Untuk menuju negara dengan tingkat pendapatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi
serta untuk menghindari middle income trap, Indonesia membutuhkan rata-rata tingkat
pertumbuhan yang lebih tinggi dari yang dicapai selama ini. Berkaca dari kisah sukses
negara maju, pengembangan sektor industri manufaktur yang kuat adalah sangat perlu
untuk menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan
berkelanjutan. Disisi lain, sektor Industri manufaktur Indonesia dalam dekade terakhir
dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang berujung pada gejala deindustrialisasi,
terindikasi dari terus menurunnya pangsa sektor industri manufaktur terhadap PDB.
Untuk meningkatkan kembali produktivitas dan daya saing sektor Industri, dibutuhkan
percepatan transformasi industri manufaktur nasional. Sejumlah tantangan utama telah
teridentifikasi yaitu diantaranya terkait dengan kualitas SDM, produktivitas tenaga kerja
yang rendah, kertersediaan dan harga energi yang kurang mendukung daya saing
industri, infrastruktur dasar pendukung yang masih terbatas, regulasi yang belum
terintegrasi antar kementerian dan lembaga, struktur industri yang kurang seimbang,
peran IKM yangmasih rendah, serta sumber pembiayaan yang belum terdiversifikasi.
Langkah transformasi Industri Manufaktur dapat dilakukan dalam perspektif jangka
pendek dan jangka menengah untuk masing-masing tantangan. Strategi jangka pendek
difokuskan pada upaya de-bottenecking ekonomi dari berbagai sisi baik operasional
maupun prosedural. Sementara, strategi jangka menengah difokuskan pada hal-hal
yang bersifat lebih struktural, khususnya terkait perbaikan dan penguatan struktur
industri nasional.
Untuk menuju negara berpendapatan lebih tinggi sekaligus menghindari middle income
trap (MIT), diperlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkesinambungan.
Secara rata-rata, tingkat pertumbuhan minimal yang diperlukan untuk mencapai
pendapatan per kapita sebesar USD 8.000 atau kelompok upper middle income adalah
BULETIN - APLINDO No.50/2017
20
sekitar 7,1% per tahun. Sementara untuk menjadi negara high income, Indonesia
membutuhkan pertumbuhan ekonomi sedikitnya sekitar 10% per tahun. Tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut hanya dapat dicapai apabila didukung oleh
peningkatan produktivitas ekonomi dan optimalisasi pengembangan pasar domestik.
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas memerlukan dukungan sektor Industri yang
kuat. Beberapa negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Jerman dan Amerika Serikat
secara konsisten membangun sektor industri manufakturnya untuk menjadi motor
penggerak perekonomian. Langkah tersebut mengantarkan mereka lepas dari MIT dan
menjadi bagian dari negara maju dunia. Di negara tersebut, pangsa sektor industri
dalam perekonomian lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Selain itu, pertumbuhan
industri manufaktur juga terjaga lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PDB
Grafik I. Skenario Menuju Negara High Income
Dalam struktur perekonomian Indonesia, sektor industri juga memiliki peran
yang besar meskipun pangsanya terus mengalami penurunan. Dalam satu
dasawarsa terakhir, pangsa sektor industri turun dari 28% menjadi sekitar 24% dan
kemudian relatif stagnan.Selain itu, tingkat pertumbuhan sektor industri cenderung
melambat dan sejak 2011 sektor industri tumbuh dibawah tingkat pertumbuhan
ekonomi. Perlambatan sektorindustri terjadi di tengah menguatnya peran sektor jasa,
keuangan dan pedagangan didalam struktur perekonomian yang sejalan dengan
peningkatan jumlah penduduk kelas menengah.
Jawa, yang merupakan konsentrasi industri dengan pangsa 71% dari total PDB Industri,
terus mengalami penurunan pangsa industri. Sementara, di Sumatera sektor industri
relative stagnan meskipun ada kecenderungan peningkatan.
BULETIN - APLINDO No.50/2017
21
Grafik II. Pertumbuhan Industri & Pertumbuhan PDB
Di Kawasan Timur Indonesia (KTI), sektor industri mengalami peningkatan walaupun
belum signifikan. Karakteristik industri di Sumatera dan KTI sebagian besar masih
berbasis Sumber Daya Alam (SDA) dengan tingkat hilirisasi industri yang terbatas.
Komoditas utama industri di Sumatera dan KTI antara lain karet, kelapa sawit dan
komoditas pertambangan. Perkembangan sektor industri di wilayah Jawa tersebut
selama ini di dominasi oleh investasi modal asing, khususnya di Jawa Barat. Investasi
modal asing itu lebih ditujukan pada sektor padat modal dan berteknologi menengah
tinggi (mis. otomotif). Sementara, investasi modal dari dalam negeri banyakditujukan
pada sektor industri padat karya.Booming harga komoditas pada awal dekadetahun
2000-an, mendorong pertumbuhan ekspor komoditas SDA dan berkontribusi pada
penurunan pangsa ekspor komoditas manufaktur Indonesia. Pada periode 1990 hingga
2000, ekspor komoditas manufaktur mencapai 65% dari total ekspor. Namun, kini
pangsa ekspor komoditas manufaktur hanya 51,47% dan selebihnya berupa ekspor
berbasis SDA. Bila dilihat dari sisi trade balance,perubahan struktur ekspor berdampak
pada penurunan surplus trade balance sejak 2011,antara lain terjadi pada industri
barang dari logam, logam dasar, dan industri kimia. Trade balance industri-industri
tersebut mengalami penurunan yang signifikan dalam 15 tahun terakhir. Hanya industri
makanan dan minuman saja yang masih menunjukkan peningkatan trade balance.
Penurunan ekspor manufaktur juga di sebabkan oleh relatif rendahnya daya
saing produk manufaktur dibandingkan negara peers *. Bahkan, sejak 2009
daya saing industri Vietnam mulai melampaui Indonesia. Lemahnya daya saing juga
terlihat dari pangsa mayoritas komoditas ekspor Indonesia yang memperlihatkan
kecenderungan menurun, dimana pertumbuhan ekspor beberapa komoditas relatif lebih
rendah dibandingkan pertumbuhan permintaan dunia.
*) Berdasarkan Trade Specialist Index (ADB EconomicWorking Paper No.411, 2014)
BULETIN - APLINDO No.50/2017
22
Grafik III. Pertumbuhan Ekspor Indonesia Vs Pertumbuhan Ekspor Dunia
Sumber : Analisis Daya Saing dan Strategi Industri Nasional di Era MEA dan Perdagangan Bebas (DKEM, 2015)
Salah satu penyebab rendahnya daya saing produk ekspor manufaktur Indonesia terkait dengan relatif tingginya Real Effective Exchange Rate (REER) dibanding beberapa negara peers. Commodity boom price yang terjadi pada tahun 2000-an menopang apresiasi Rupiah, tetapi menurunkan daya saing produk ekspor sektor tradeable dari sisi harga jual, khususnya produk manufaktur. Namun,
ketika masa commodity boom berakhir dan Rupiah mengalami depresiasi, penurunan REER Indonesia ternyata tidak sedalam depresiasi Rupiah yang terjadi. REER Indonesia
bahkan cenderung lebih tinggi dibandingkan negara peers. Hal ini antara lain terkait dengan tingkat inflasi Indonesia yang relatif masih tinggi, khususnya inflasi pangan**. Dari sisi kesejahteraan, sektor industri memegang peranan penting dalam
penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Akses yang lebih luas terhadap pekerjaan formal, khususnya dari perkembangan industri padat karya, selain
mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan dari 60% (1970) menjadi 11,3% (1996) juga mampu meningkatkan pendapatan per kapita. Sektor industri
menjadi penyerap tenaga kerja tertinggi setelah sektor pertanian dan perdagangan, walaupun dalam beberapa tahun terakhir serapan tenaga kerja sektor industri relative stagnan, yaitu berkisar 12%-13% dari jumlah tenaga kerja. Di sisi lain, dalam beberapa
waktu terakhir, tingkat Total FactorProductivity (TFP) pekerja Indonesia cenderung lebih rendah dibanding negara peers.
Grafik IV. REER Indonesia & Pangsa Industri Terhadap PDB
Sumber : Bank Indonesia, BPS
**) World Bank (2016)
BULETIN - APLINDO No.50/2017
23
Grafik V. Pertumbuhan Manufaktur dan Tingkat Kemiskinan
Sumber : BPS
Daerah dengan tingkat pengembangan manufaktur yang lebih baik
cenderung memiliki angka kemiskinan dan pengangguran yang lebih rendah.
Hasil pemetaan tingkat kemiskinan dan perubahan tingkat pengangguran pada periode
2000 s.d 2016 menunjukkan bahwa daerah yang memiliki tingkat kemiskinan dan/atau
penggangguran lebih tinggi merupakan daerah yang lebih mengandalkan sumber
pertumbuhan perekonomiannya pada komoditas SDA. Daerah tersebut juga terindikasi
memiliki tingkat pengembangan manufaktur yang relatif lebih rendah. Berdasarkan
kajian Bank Dunia, manufaktur berorientasi ekspor mendukung penciptaan lapangan
kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas ekspor lainnya. Penciptaan nilai
tambah tenaga kerja ekspor manufaktur tertinggi berasal dari industri kimia, industri
makanan olahan dan industri permesinan.
Grafik VI. Tingkat Kemiskinan & Perubahan Tingkat Pengangguran
Sumber : BPS
Namun, seiring dengan makin majunya suatu negara, maka perkembangan beberapa
sektor lainnya (non-industri manufaktur) yang lebih bersifat capital intensive antara lain
BULETIN - APLINDO No.50/2017
24
sector pertambangan, telekomunikasi dan jasa finansial, telah mengakibatkan peran
industri sebagai pencipta lapangan pekerjaan mengalami penurunan secara alamiah.
Kondisiini berdampak pada peningkatan ketimpangan kesejahteraan di dalam
masyarakat, terindikasi dari peningkatan Rasio Gini ditengah pertumbuhan manufaktur
nasional yang relative stagnan.
Grafik VII. Tingkat Kemiskinan & Delta Tingkat Pengangguran
Sumber : BPS
Daya Saing Industri
Daya saing industri Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami
perbaikan setelah sempat mengalami penurunan. Berdasarkan Global Competitiveness
Index dan Ease Of Doing Bussiness, perbaikan daya saing terutama berasal dari
perbaikan infrastruktur dan kemudahan memulai usaha. Dengan adanya upaya
perbaikan yang dilakukan secara kontinu dan faktor labor cost yang rendah serta market
size yang besar, Global Manufacturing Competitiveness Index*** memperkirakan
Indonesia akan masuk dalam top 15 lokasi manufaktur yang kompetitif dalam 5 tahun
ke depan, bersama dengan Malaysia, Thailand, India dan Vietnam.
Grafik VIII. Ranking Global Competitiveness Index
Sumber : World Economic Forum (2016)
***) Global Manufacturing Competitivess Index (Deloitte,2016)
BULETIN - APLINDO No.50/2017
25
Namun demikian, agar industri Indonesia lebih kompetitif, maka upaya
perbaikan daya saing perlu terus dilakukan. Peningkatan daya saing industri
ditujukan untuk meningkatkan efisiensi biaya, kualitas dan kapasitas produksi yang
didukung kemudahan berinvestasi, dengan memanfaatkan berlimpahnya pekerja usia
produktif yang menjadi bonus demografi Indonesia.
Grafik IX. Ranking Ease Of Doing Bussiness
Sumber : World Bank (2016)
Terdapat beberapa area yang perlu dicermati yaitu yang relatif tertinggal dibandingkan
negara peers seperti terkait efisiensi pasar tenaga kerja, kesehatan dan pendidikan,
serta kesiapan teknologi. Bahkan, jika dibandingkan dengan peer terdekat yaitu
Vietnam, factor kemudahan memulai usaha, pendaftaran properti, akses pembiayaan
dan kepastian hukum (terkait kontrak) Indonesia masih relative lebih lemah. Masih
lebarnya perbedaan tingkat daya saing antar wilayah terutama disebabkan oleh belum
meratanya dukungan infrastruktur maupun upaya deregulasi dan debirokratisasi untuk
memperbaiki iklim berusaha di daerah.
Tantangan Industri
Untuk mencapai transformasi industri nasional yang dapat mempercepat peningkatan
daya saing industri, terdapat sejumlah tantangan yang perlu ditangani terlebih dahulu.
Tantangan tersebut adalah sebagai berikut. Sumber Daya Manusia (SDM), produktivitas
tenaga kerja dan rigiditas pasar tenaga kerja. Tingginya jumlah angkatan kerja di
Indonesia, bukan berarti pemenuhan kebutuhan industri dapat dilakukan dengan
mudah. Terdapat gap cukup besar antara spesifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh
industri dengan skill yang dimiliki oleh angkatan kerja. Sekitar 70% tenaga kerja sektor
BULETIN - APLINDO No.50/2017
26
industri saat ini merupakan pekerja dengan latar belakang pendidikan umum (sekolah
dasar hingga SMU) sehingga belum memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan industri.
Selain itu, kualitas tenaga kerja yang belum merata diberbagai daerah telah
menciptakan ketergantungan pemenuhan tenaga kerja dari daerah tertentu yang
memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik. Lebih jauh, produktivitas tenaga kerja
Indonesia masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan
Vietnam. Output per tenaker (PDB KOnstan 2005 USD)
Grafik X. Produktivitas Tenaga Kerja
Sumber : ILO
Grafik XI. Pertumbuhan PDB dan Produktivitas Tenaga Kerja
Sumber : ILO, BPS
Industri nasional juga dihadapkan pada pasar tenaga kerja yang rigid yaitu
terkait dengan biaya pemutusan hubungan kerja yang tinggi, khususnya biaya
kompensasi dan gratuity (diluar severance payment atau uang pesangon). Selain itu,
peningkatan tingkat upah yang cenderung signifikan ternyata tidak sejalan dengan
peningkatan produktivitas. Faktor-faktor tersebut menjadi penyebab utama rigid-nya
pasar tenaga kerja Indonesia.
BULETIN - APLINDO No.50/2017
27
Ketersediaan dan harga energi yang kompetitif
Dukungan energi bagi pengembangan industri masih terbatas. Meskipun tarif listik
Indonesia tergolong kompetitif dibandingkan negara peers, namun kualitas pasokan
listrik masih perlu ditingkatkan baik dari segi kontinuitas/stabilitas maupun
keterjangkauan pasokan. Permasalahan pasokan listrik terutama terjadi pada industri
yang terletak di luar Jawa. Dari 52 perusahaan industri pengolahan yang disurvei di
wilayah Sumatera, hampir dua per tiganya (67%) harus memenuhi kebutuhan listriknya
secara mandiri. Sementara itu, kebutuhan akan pasokan gas industri dihadapkan pada
tantangan harga gas industri yang belum kompetitif dibandingkan negara lain di
kawasan. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh adanya gap supply-deman yang cukup
besar. Padahal, kebutuhan energi gas untuk industri diperkirakan meningkat hingga 26-
28% dari total kebutuhan energi di 2050.
Efisiensi logistik dan infrastruktur
Efisiensi logistik yang masih rendah dan kualitas infrastruktur logistik yang belum
merata menyebabkan biaya transportasi dan distribusi yang tinggi, yang pada gilirannya
meningkatkan biaya produksi. Biaya logistik di pelabuhan Indonesia masih tergolong
tinggi. Sebagai contoh, biaya terkait Terminal Handling Charges (THC) Indonesia
merupakan yang tertinggi kedua setelah Singapura, padahal produktivitas pelabuhannya
masih rendah. Rendahnya produktivitas pelabuhan terindikasi dari lamanya waktu
dwelling time yang cukup panjang di beberapa pelabuhan utama. Selain itu, sistem
moda transportasi barang juga masih belum terintegrasi, sehingga pergerakan arus
barang menjadi kurang efisien. Adapun biaya logistik khususnya terkait dengan biaya
transportasi dan handling kontainer memiliki kontribusi sekitar 45% dari total biaya
logistik.
Tabel 1. Tarif THC Pelabuhan
Sumber : KADIN
BULETIN - APLINDO No.50/2017
28
Pada transportasi darat, Indonesia juga tergolong sebagai negara yang memiliki
ketidakefisienan traffic ketiga tertinggi dunia. Padahal, sebagian besar transportasi
barang (95%) dilakukan melalui jalur darat. Moda ini dihadapkan pada tingkat kualitas
jalan yang sangat variatif di berbagai daerah.
Regulasi yang belum terintegrasi denganbaik
Hambatan terhadap proses perizinan & ketidakpastian hukum dalam berinvestasi di
berbagai daerah masih terjadi, meskipun telah dilakukan upaya debirokratisasi &
deregulasi yang intensif oleh Pemerintah. Hal ini disebabkan antara lain oleh tidak
selarasnya percepatan upaya perbaikan regulasi ditingkat pusat dan daerah. Disinyalir,
masih terdapat (i) banyak Peraturan Daerah (Perda) yang menghambat investasi; dan
(ii) masih terbatas dan beragamnya tingkat pendelegasian kewenangan pemberian izin
investasi melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebagai akibat masih tingginya
ego sektoral. Selain itu, aplikasi sistem online yang masih terbatas dan belum adanya
standarisasi biaya layanan PTSP turut meningkatkan risiko ketidakpastian perizinan
investasi. Di tingkat pusat, pemberian insentif bagi investasi juga masih belum optimal.
Hal ini terlihat dari minimnya sektor yang menerima tax allowance yang hanya
berjumlah 9 sektor industri dari 143 sektor yang berhak mendapatkannya (berdasarkan
PP No. 18/2015).
Struktur industri yang kurang berimbang
Industri nasional di dominasi oleh jenis industri kecil, sementara jumlah industri
menengah yang berpotensi menjadi industri besar sangat minim (fenomena missing
middle). Porsi industri kecil dan menengah di Indonesia merupakan yang terbesar
dibandingkan Vietnam, Filipina dan Brazil. Kondisi ini mengindikasikan terjadinya
hambatan dan keengganan industri kecil dan menengah untuk bertransformasi ke kelas
industri yang lebih tinggi. Fenomena missing middle, berimplikasi pada dukungan
industri antara dalam memasok kebutuhan industri hilir yang terbatas, seperti yang
terjadi pada industri tekstil.
Selain tantangan keterkaitan antar industri, juga terdapat tantangan spasial terkait
keterkaitan industri antar daerah. Industri di Jawa belum memiliki hubungan yang baik
optimal dengan wilayah diluar Jawa. Hal ini tercermin dari rendahnya porsi pasokan
bahan baku yang berasal dari luar Jawa untuk industri utama seperti makanan
minuman, industri alat angkut dan TPT. Hubungan yang belum optimal itu dapat
BULETIN - APLINDO No.50/2017
29
diakibatkan baik oleh belum berkembangnya sektor industri di luar Jawa yang mampu
mendukung industri di Jawa maupun oleh transportasi yang belum memadai.
Grafik XII. Missing Middle ****
Sumber : BPS, diolah
****) LARGE (>100 Employees), asset > Rp 1 miliar Highgrowth Enterprises; MEDIUM (20-100 Employees), aseet Rp 100 jt – Rp 500 jt (Early stage support of Innovative Entrepreneurs), Rp 500 jt – Rp 1 miliar (Venture Capital to
scalable social enterprises); SMALL (5-19 Employees), asset < Rp 100 jt (A lower tier of subsistence enterprises
that struggle to stay afloat and have very poor survival rate)
Permasalahan keterbatasan keterkaitan antar sektor industri maupun antar wilayah
perlu segera ditangani. Hal ini agar industri nasional dapat berkembang secara lebih
menyeluruh dengan meminimalisir ketergantungan pada bahan baku maupun bahan
antara dari impor. Peningkatan peran swasta yang lebih besar sebagaimana dilakukan di
beberapa negara, dapat dipertimbangkan menjadi salah satu solusi mendorong
perkembangan industri.
Grafik XIII. Tinjauan Linkages Industri Mesin & Logam Dasar
Sumber : Input Output (Jethro), diolah
Grafik XIV. Keterbatasan Linkage : Kasus Industri Tekstile
BULETIN - APLINDO No.50/2017
30
Tabel 2. Pembagian Peran Pemerintah - Swasta
Penguatan peran dan kemampuan IKM dalam sektor industri UMKM memiliki
peran besar dalam perekonomian Indonesia, khususnya peran Industri Kecil Menengah
(IKM) dalam mendukung pengembangan industri manufaktur. Dalam hal penyerapan
tenaga kerja, IKM memiliki peran yang cukup tinggi. Namun dibandingkan dengan
negara peer, peran dan keterkaitan IKM dalam industrimanufaktur masih relatif minim.
Peningkatan kapabilitas IKM sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah dan
kualitas produk yang dihasilkan. Namun demikian, sebagaimana di banyak negara,
penguatan tersebut dihadapkan pada tantangan keterbatasan modal, bahan baku dan
akses pasar.
Grafik XV. Pangsa Tenaga Kerja IKM Grafik XVI. Konsentrasi IKM
Sumber : BPS
Sumber pembiayaan industri yang lebih beragam
Perkembangan industri nasional belum memanfaatkan dukungan perbankan secara
optimal. Hal ini terlihat dari pemanfaatan pembiayaan industri melalui perbankan yang
masih relatif rendah. Kondisi ini dicerminkan oleh pangsa kredit manufaktur yang hanya
17,5% dari total kredit, lebih rendah dari kredit sektor PHR (19,6%). Selain itu,
berdasarkan hasil liaison Bank Indonesia dengan pelaku usaha, diketahui bahwa pelaku
industri cenderung memanfaatkan sumber pembiayaan di luar perbankan, khususnya
yang menjadi modal kerja. Pembiayaan berasal dari internal perusahaan maupun
perusahaan induk menjadi pilihan banyak pelaku industri. Kurang beragamnya sumber
BULETIN - APLINDO No.50/2017
31
pembiayaan dan“less favourable”-nya iklim investasi pasca krisis 1998 telah
menyebabkan terjadinya penurunan jumlah plant entry ke sector Industri. Kondisi
tersebut telah mengakibatkan perkembangan industri yang terbatas sehingga
perkembangan industri selama ini masih banyak didominasi oleh para pemain lama.
Grafik XVII. Pangsa & Pertumbuhan Kredit Manufaktur
Sumber : BPS
Strategi Pengembangan Industri
Dengan kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam pengembangan industri nasional,
maka diperlukan strategi kebijakan pengembangan industri yang fokus dan terintegrasi.
Strategi tersebut hendaknya dapat ditetapkan sebagai acuan dalam pelaksanaan
program berbagai kementerian dan lembaga terkait, termasuk menjadi acuan prioritas
dalam pentahapan implementasinya. Strategi pengembangan industri manufaktur
diarahkan pada hasil yang dapat dicapai dalam jangka pendek (short term) dan
pengembangan yang bersifat structural (medium term). Strategi pengembangan industri
dalam jangka pendek difokuskan pada upaya de-bottlenecking yang meliputi :
1. Kerjasama Pemerintah, akademisi & industri dalam menciptakan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang handal dan berkualitas antara lain melalui
pendidikan vokasional (Quick Win Strategy).
Pemerintah dipandang perlu untuk memfasilitasi dan mendorong berkembangnya
penyelenggaraan pendidikan vokasi baik oleh pemerintah maupun swasta.
Pendidikan vokasi harus berbasis pada kebutuhan industri local daerah (link and
match). Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan tenaga kerja sedapat mungkin
diperoleh dari angkatan kerja lokal. Selain itu, upaya up grading kapabilitas industri
dalam rangka minimalisir gap inovasi teknologi dapat dilakukan melalui kerjasama
riset antara pihak universitas dengan kalangan industri.
2. Penetapan sistem pengupahan yang mengakomodir faktor produktifitas.
BULETIN - APLINDO No.50/2017
32
Gap antara pertumbuhan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan tingkat produktivitas
yang semakin lebar dapat diatasi dengan mempertimbangkan produktivitas sebagai
salah satu komponen perhitungan upah minimum. Peningkatan upah yang dapat
mendorong produktivitas dipandang mampu untuk menjamin sustainabilitas industri
ke depan. Adapun penghitungan upah minimum dengan menyertakan komponen
produktivitas telah di adopsi oleh negara seperti Tiongkok dan Kamboja. Lebih jauh,
kebijakan tenaga kerja secara umum perlu diarahkan untuk dapat menyerap tenaga
kerja lebih banyak, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan antar daerah.
Tabel 3. Pangsa & Pertumbuhan Kredit Manufaktur
Sumber : Wageindicator.org
3. Penyediaan energi bagi industri yang berkualitas dan dengan harga yang
kompetetitif (Gas, Tarif Tenaga Listrik, Batubara, BBM)
4. Peningkatan efisiensi logistik antara lain
(i). perbaikan sistem logistik khususnya terkait ketersediaan moda transportasi yang
mendukung efisiensi supply chain; serta
(ii) eliminasi biaya tinggi di pelabuhan (a.l tariff handling container, tarif TKB
pelabuhan) dan perbaikan durasi dwelling time.
5. Penyederhanaan birokrasi antara lain melalui
(i). aplikasi berbasis IT; dan
(ii). upaya perbaikan iklim investasi di daerah melalui penghapusan Perda
bermasalah yang berpotensi menghambat investasi.
(iii) upaya menghilangkan ekonomi biaya tinggi akibat berbagai punggutan liar yang
terjadi baik pada saat pengajuan perizinan maupun saat perusahaan telah
beroperasi.
Upaya short term tersebut perlu didukung oleh koordinasi antar
Kementerian/Lembaga, Pemerintah Pusat- Daerah, akses pembiayaan yang
memadai dan dukungan aplikasi teknologi. Dari sejumlah tantangan tersebut,
tantangan terkait ketenagakerjaan yang menjadi salah satu komponen utama daya
BULETIN - APLINDO No.50/2017
33
saing industri sangat perlu segera dibenahi (quick win). Biaya tenaga kerja yang
masih relatif lebih rendah dari peer menjadi faktor penarik investasi asing yang perlu
dioptimalkan. Di sisi lain, berlimpahnya tenaga kerja usia produktif sebagai bonus
demografi juga perlu dimanfaatkan dengan baik, sebelum berakhirnya bonus
demografi tersebut pada tahun 2030-an.
Sementara itu, strategi pengembangan dalam jangka menengah (medium term) dapat
ditempuh dengan mencakup beberapa upaya berikut :
1. Reformasi pasar tenaker
Pasar tenaga kerja yang terlalu kaku (rigid) perlu menjadi lebih fleksibel dengan
mereformasi beberapa ketentuan ketenagakerjaan antara lain terkait ketentuan
pengupahan, pesangon, dan outsourcing dengan tetap memperhatikan prinsip yang
mengutamakan win-win solution bagi pelaku usaha maupun tenaga kerja.
2. Penguatan Akses Pasar
a) Penguatan pasar domestik dan interdependensi industri antar wilayah, melalui :
Penindakan terhadap masuknya produk impor ilegal dan pengawasan ketat
terhadap produk luar yang dibatasi impornya.
Pengembangan zona industri yang sesuai di tiap provinsi
Mendorong penguatan UMKM/IKM agar semakin terintegrasi dengan sektor
industri
Memperlancar Perdagangan antar pulau
b) Memperkuat akses pasar global melalui
(i) peningkatan keterlibatan dalam Global Value Chain dan Global Production
Network; serta
(ii) mendorong keikutsertaan dalam berbagai kesepakatan perdagangan dan
negoisasi ulang kesepakatan perdagangan yang merugikan posisi Indonesia.
c) Reformasi Pasar untuk mewujudkan tata niaga yang efisien dan adil
3. Penetapan strategi kebijakan industri yang integratif terkait perbaikan
struktur industri nasional.
a) Upaya mengatasi isu missing middle, yaitu dengan mendorong dan
memfasilitasi berkembangnya industri kecil menengah agar dapat “naik kelas”
menjadi industri yang lebih besar. Hal itu dapat dicapai melalui pemberian
insentif dan bantuan/fasilitasi dari sisi finansial, riset dan pengambangan, serta
akses pasar kepada mereka.
b) Pengembangan industri unggulan, baik yang bersifat strategis maupun
berbasis komoditas unggulan. Industri unggulan tersebut mencakup industri
BULETIN - APLINDO No.50/2017
34
berbasis agro, industri maritim, industri dasar, industri dengan tenaga kerja
intensif dan industri kreatif.
4. Penguatan faktor enabler agar dapatmemberikan dukungan optimal bagi
pengembangan industri.
a) Pembiayaan berupa upaya diversifikasi sumber pembiayaan melalui financial
deepening dan peningkatan akses keuangan bagi industri.
b) Land Reform berupa:
(i) penegakan kepastian hukum terkait pemanfaatan lahan melalui penetapan
rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR)
yang menyeluruh di daerah; dan
(ii) implementasi one map policy sebagai dasar pengambilan kebijakan
optimasi pemanfaatan lahan.
c) Infrastruktur dan Konektivitas berupa perbaikan infrastruktur berkelanjutan
khususnya terkait penyediaan energi dan konektivitas dalam rangka mendukung
pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus dan Kawasan Industri prioritas serta
kelancaran transportasi barang antar wilayah
BULETIN - APLINDO No.50/2017
35
BULETIN - APLINDO No.50/2017
36
BULETIN - APLINDO No.50/2017
37
BULETIN - APLINDO No.50/2017
38
BULETIN - APLINDO No.50/2017
39
BULETIN - APLINDO No.50/2017
40
BULETIN - APLINDO No.50/2017
41
BULETIN - APLINDO No.50/2017
42
BULETIN - APLINDO No.50/2017
43
BULETIN - APLINDO No.50/2017
44
Data Kendaraan Bermotor
1. Data Kendaran Roda 4
a. Penjualan Kendaraan roda 4 (unit) tahun 2012-2016 di Indonesia
No. Bulan Penjualan (Unit)
2012 2013 2014 2015 2016
1 Januari 76.427 96.718 103.609 94.194 85.002
2 Februari 86.486 103.278 111.824 88.740 88.208
3 Maret 87.917 95.996 113.067 99.410 94.092
4 April 87.144 102.257 106.124 81.600 84.770
5 Mei 95.541 99.697 96.872 79.375 88.567
6 Juni 101.746 104.268 110.614 82.172 91.488
7 Juli 102.511 112.178 91.334 55.615 61.891
8 Agustus 76.445 77.964 96.652 90.537 96.282
9 September 102.100 115.974 102.572 93.038 92.541
10 Oktober 106.754 112.039 105.222 88.408 92.106
11 Nopember 103.703 111841 91.327 86.937 100.215
12 Desember 89.456 97.691 78.802 73.264 86.573
Total 1.116.230 1.229.901 1.208.019 1.013.290 1.061.735 Sumber : Gaikindo
b. Produksi Kendaraan roda 4 (unit) tahun 2012-2016 di Indonesia
No. Bulan Produksi (Unit)
2012 2013 2014 2015 2016
1 Januari 77.036 97.793 104.728 99.102 91.068
2 Februari 86.469 100.491 112.501 93.113 91.535
3 Maret 85.507 89.073 123.007 108.066 102.507
4 April 84.426 101.805 121.114 97.676 104.412
5 Mei 97.367 99.661 94.353 89.579 105.957
6 Juni 94.400 97.939 117.309 91.807 106.012
7 Juli 97.330 106.519 93.613 59.225 68.357
8 Agustus 71.113 77.354 105.259 103.567 105.580
9 September 94.488 116.974 119.346 104.702 101.371
10 Oktober 100.298 115.533 116.654 95.731 104.130
11 Nopember 99.168 110.570 102.423 88.493 107.719
12 Desember 77.955 94.499 88.216 67.719 88.741
Total 1.065.557 1.208.211 1.298.523 1.098.780 1.177.389
BULETIN - APLINDO No.50/2017
45
b. Penjualan Kendaraan roda 4 (unit) tahun 2012-2016 di ASEAN
No. Bulan Penjualan (Unit)
2012
2013
2014
2015
2016
1 Brunai 18.634 18.642 18.114 14.406 13.248
2 Indonesia 1.116.230 1.229.901 1.208.019 1.013.291 1.061.735
3 Malaysia 627.753 655.793 666.465 666.674 580.124
4 Philipina 156.654 181.738 234.747 288.609 359.572
5 Singapura 37.247 34.111 47.443 78.609 110.455
6 Thailand 1.436.335 1.330.672 881.832 799.632 768.788
7 Vietnam 80.453 98.649 133.588 209.267 270.820
Total 3.473.306 3.549.506 3.190.208 3.070.488 3.164.742
sumber :AAF
c. Produksi Kendaraan roda 4 (unit) tahun 2012-2016 di ASEAN
No. Bulan Produksi (Unit)
2012
2013
2014
2015
2016
1 Indonesia 1.065.557 1.208.211 1.298.523 1.098.780 1.177.389
2 Malaysia 569.620 601.407 596.418 614.664 545.253
3 Philipina 75.413 79.169 88.845 98.768 116.868
4 Thailand 2.453.717 2.457.057 1.880.007 1.913.002 1.944.417
5 Vietnam 73.673 93.630 121.084 171.753 236.161
Total 4.237.980 4.439.474 3.984.877 3.896.967 4.020.088
sumber :AAF
2. Data Kendaraan Roda 2 / Sepeda Motor
a. Penjualan sepeda motor 2012-2016 Di Indonesia
No. Bulan Penjualan (Unit)
2012 2013 2014 2015 2016
1 Januari 652.601 649.983 580.288 513.816 443.449 2 Februari 670.757 653.357 681.267 570.524 551.930 3 Maret 626.689 657.483 728.820 562.185 583.339 4 April 622.929 660.505 729.279 538.746 501.564 5 Mei 619.540 647.215 734.030 482.691 485.170 6 Juni 550.468 661.282 753.789 588.675 541.428 7 Juli 585.658 704.019 539.171 439.245 326.390 8 Agustus 433.741 490.824 599.250 645.997 550.287 9 September 628.739 678.139 706.938 632.227 579.454
10 Oktober 634.575 717.272 675.962 626.725 594.887 11 Nopember 627.048 688.527 592.635 565.066 570.923 12 Desember 488.841 552.408 556.586 542.487
Total 7.141.586 7.771.014 7.908.914 6.708.384 5.728.821
sumber : AISI Diolah
BULETIN - APLINDO No.50/2017
46
b. Produksi sepeda motor 2012-2016 Di Indonesia
No. Bulan Produksi (Unit)
2012 2013 2014 2015 2016
1 Januari 685.688 662.920 595.636 524.368 315.994
2 Februari 665.570 659.417 659.258 552.543 382.495
3 Maret 606.984 654.760 729.476 593.592 460.731
4 April 619.839 672.370 748.401 563.566 378.315
5 Mei 619.829 644.881 722.192 483.872 339.338
6 Juni 535.621 653.384 761.117 559.956 398.268
7 Juli 577.488 694.492 553.626 290.972 214.039
8 Agustus 428.662 484.428 611.235 450.719 405.123
9 September 620.250 683.066 747.992 445.301
10 Oktober 627.352 729.876 686.101 475.758
11 Nopember 625.865 691.115 598.560 429.630
12 Desember 466.573 549.586 512.510 328.361
Total 7.079.721 7.780.295 7.926.104 5.698.637 2.894.303
sumber : AISI Diolah
c. Penjualan sepeda motor 2012-2016 di ASEAN
No. Bulan Penjualan (Unit)
2012
2013
2014
2015
2016
1 Indonesia 8,043,535 7.141.586 7.771.014 7.908.014 6.215.350
2 Malaysia 494.586 537.753 546.719 442.749 396.343
3 Philipina 731.130 702.599 752.835 790.245 1.140.338
4 Singapura 8.046 9.923 11.650 8.145 8.336
5 Thailand 2.007.383 2.130.067 2.004.498 1.701.535 1.738.231
Total 11.284.680 10.521.928 11.086.716 10.851.615 9.498.598
sumber :AAF
d. Produksi sepeda motor 2012-2016 Di ASEAN
No. Bulan Produksi (Unit)
2012
2013
2014
2015
2016
1 Indonesia 7.780.295 7.926.104 5.698.637 5.698.637
2 Malaysia 549.244 439.907 382.218 382.218 395.938
3 Philipina 729.480 755.184 795.840 795.840 1.040.626
4 Thailand 2.218.625 1.842.708 1.807.325 1.807.325 1.820.358
Total 11.277.644 10.963.903 8.684.020 8.684.020 3.256.922
sumber :AAF
BULETIN - APLINDO No.50/2017
47
Informasi Umum & Pameran
A. Web site Pemerintah yang dapat diakses :
1. www.setneg.go.id (Sekretariat Negara)
2. www.kemenperin.go.id (Kementerian Perindustrian)
3. www.kemenkeu.go.id (Kementerian Keuangan)
4. www.kemendag.go.id (Kementerian Perdagangan)
5. www.beacukai.go.id (Direktorat Bea & Cukai, Kementerian Keuangan)
6. www.esdm.go.id (Kementerian ESDM)
7. www.bkpm.go.id (Badan Koordinasi Penanaman Modal)
8. www.bps.go.id (Biro Pusat Statistik)
B. Web site Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia (APLINDO)
Kini APLINDO telah tersedia Web site sendiri :
www.aplindo.web.id, mohon dukungan partisipasi aktif Bapak-bapak sekalian
dan diharapkan saran, masukan, permasalahan dan perkembangan yang terjadi di
industri pengecoran logam di Indonesia. Saran dan masukan anda dapat berupa
artikel ke alamat [email protected]
C. Web site Himpunan Ahli Pengecoran Logam Indonesia
Kini HAPLI telah tersedia Web-site sendiri :
http://hapli.wordpress.com/, mohon dukungan partisipasi aktif Bapak-bapak
sekalian dan diharapkan saran serta masukan anda berupa artikel sesuai page
yang tersedia dalam format *.doc ke alamat [email protected]
untuk diupload, ataupun komentar langsung anda pada Blog.
D. Pameran dan Seminar
1. IFEX 2017
3 February - 5 February
Venue: Eco Park, New Town, Rajarhat, Kolkata, West Bengal, India
13th international exhibition for foundry technology, equipment, supplies and services
www.ifexindia.com
BULETIN - APLINDO No.50/2017
48
2. 65th International Foundry Congress
3 February - 5 February
Venue: Eco Park, New Town, Rajarhat, Kolkata, West Bengal, India
Annual conference and technical sessions
www.ifcindia.net
3. 6th International Foundry Conference and Exhibition
15 February - 16 February
Venue: Pearl Continental Hotel, Lahore, Pakistan
www.pfa.org.pk/info
4. WFO Technical Forum
14 March - 17 March
Venue: Gauteng, South Africa
Technical conference, exhibition and social events.
www.metalcastingconference.co.za
5. 20th Global Foundry Sourcing Conference 2017
21 March - 22 March
Venue: Shanghai Everbright International Hotel, China
Global sourcing conference including the 3rd China Casting Exporting and Technology
Conference 2017
www.foundry-suppliers.com
www. castings.foundry.cn
6. Indonesia Railway Conference 2017
29-30 Maret
Venue : Jiexpo Kemayoran, Jakarta
www.railwaytech-indonesia.com
7. 121st Metalcasting Congress
25 April - 27 April
Venue: Wisconsin Center, Milwaukee, USA
American conference for all sectors of the cast metals industry.
www.afsinc.org
8. World Magnesium Conference
BULETIN - APLINDO No.50/2017
49
21 May - 23 May
Venue: Shangri-La Hotel, Singapore
International conference for the magnesium industry
www.intlmag.org
9. Metal + Metallurgy China 2017
13 June - 16 June
Venue: Shanghai, China
15th China International Foundry Expo, the 17th China International Metallurgical
Industry Expo and the 15th China International Industrial Furnaces Exhibition will all be
staged under the banner ''Metal + Metallurgy Chna at Shanghai New International
Expo Center.
www.mm-china.com/en/
10. Rapid Tech
20 June - 22 June
Venue: Exhibition Centre Erfurt, Germany International trade fair and conference for additive manufacturing www.rapidtech.de
11. Foundeq/Metef Show 2017
21 June - 24 June
Venue: Veronafiere Fairground, Verona, Italy
Metef - International aluminium exhibition. Foundeq - International foundry equipment
exhibition.
www.metef.com
12. 57th International Foundry Forum
13 September - 15 September
Venue: Portoroz, Slovenia
International conference, table-top exhibition and social functions.
email: [email protected]
13. EMO Hannover 2017
18 September - 23 September
Venue: Hannover Exhibition Centre, Germany
International metalworking trade fair will focus on Industry 4.0 in 2017
www.emo-hannover.de
BULETIN - APLINDO No.50/2017
50
14. 17th ABIFA Foundry Congress and CONAF 2017
26 September - 29 September
Venue: Expo Center Norte, Sao Paulo, Brazil
Brazilian foundry congress with exhibition and conference. Theme - ''Innovations and
trends of the foundry industry in Brazil and the world''.
www.abifa.org.br
15. Deburring Expo
10 October - 12 October
Venue: Exhibition Centre Karlsruhe, Rheinstetten, Germany
Trade fair for debarring technology and precision surfaces
www.deburring-expo.de/en
16. PaintExpo Eurasia
12 October - 14 October
Venue: ifm Istanbul Expo Center, Istanbul, Turkey
Trade fair for industrial coating technology
www.paintexpo.com
17. parts2clean
24 October - 26 October
Venue: Exhibition Center Stuttgart, Germany
International trade fair for industrial parts and surface cleaning
www.parts2clean.com
18. Manufacturing Indonesia Series 2017 6-9 Desember 2017
JIExpo Kemayoran Jakarta