BUKU AJAR FILSAFAT ILMU -...

98
BUKU AJAR FILSAFAT ILMU Oleh : Prof.Dr.Ir. M. Natsir Nessa, M.Si. Prof. Dr. Ir. Najamuddin, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Sudirman, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Syamsu Alam Ali, MSi. PROGRAM STUDI S2 ILMU PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2014

Transcript of BUKU AJAR FILSAFAT ILMU -...

Page 1: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

BUKU AJAR

FILSAFAT ILMU

Oleh :

Prof.Dr.Ir. M. Natsir Nessa, M.Si.

Prof. Dr. Ir. Najamuddin, M.Sc.

Prof.Dr.Ir. Sudirman, M.Sc.

Prof.Dr.Ir. Syamsu Alam Ali, MSi.

PROGRAM STUDI S2 ILMU PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2014

Page 2: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. sebab dengan rakhmat dan

hidayat-Nya jualah sehingga penyusunan buku ajar ini dapat diselesaikan.

Buku ajar Filsafat Ilmu pada program S2 ilmu perikanan sangat mendesak untuk

dilakukan mengingat sangat terbatasnya referensi yang terfokus pada bidang ilmu

perikanan. Dalam penyusunan buku ajar ini penulis banyak menerima bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu dari lubuk hati yang paling dalam disampaikan

penghargaan, rasa hormat, dan terima kasih kepada :

1. Bapak Rektor Unhas Universitas Hasanuddin beserta jajarannya atas kepercayaan

yang diberikan kepada penulis

2. Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan beserta jajarannya atas kepercayaan,

persetujuan dan pengesahan yang diberikan kepada penulis

3. Ketua program studi S2 Ilmu perikanan atas kepercayaan yang diberikan untuk

menyusun buku ajar ini serta arahan yang telah diberikan sehingga modul ini dapat

diselesaikan pada waktunya.

4. Kepada semua anggota tim pengajar atas partisipasi dan kerjasamanya dalam

penulisan buku ajar ini.

5. Kepada semua pihak yang tidak sempat disebut satu persatu.

Penyusunan buku ajar ini melalui proses yang panjang dan melalui pengayaan

informasi dari berbagai pihak dan juga berkat dorongan dari teman-teman staf FIKP

UNHAS. Oleh karena itu penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada semua pihak

yang telah berjasa dalam penyusunan buku ajar ini. Semoga Allah SWT. membalasnya

dengan pahala yang setimpal. Amien !!!

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa modul ini

masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun

sangatlah penulis harapkan demi penyempurnaan dimasa mendatang. Semoga bermanfaat.

Makassar, Oktober 2014

Penyusun

Page 3: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

DAFTAR ISI

URAIAN Hal

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Pendahuluan 1

1.2 Uraian Bahan Pembelajaran 2

1.3 Penutup 20

BAB 2 PERBEAAN ILMU DAN PENGETAHUAN 22

2.1 Pendahuluan 22

2.2 Uraian Bahan Pembelajaran 23

2.3 Penutup 29

BAB 3 LOGIKA DAN PENALARAN ILMIAH 32

3.1 Pendahuluan 32

3.2 Uraian Bahan Pembelajaran 33

3.3 Penutup 45

BAB 4 PERKEMBANGAN ILMU 48

4.1 Pendahuluan 48

4.2 Uraian Bahan Pembelajaran 49

4.3 Penutup 56

BAB 5 ILMU DAN NILAI : Aliran dan Tokoh Filsafat Ilmu 59

5.1 Pendahuluan 59

5.2 Uraian Bahan Pembelajaran 60

5.3 Penutup 64

BAB 6 PENGETAHUAN DAN UKURAN KEBENARAN 66

6.1 Pendahuluan 67

6.2 Uraian Bahan Pembelajaran 68

6.3 Penutup 73

BAB 7 DASAR-DASAR ILMU 76

7.1 Pendahuluan 76

7.2 Uraian Bahan Pembelajaran 77

7.3 Penutup 86

BAB 8 SARANA ILMIAH 88

8.1 Pendahuluan 89

8.2 Uraian Bahan Pembelajaran 90

8.3 Penutup 98

BAB 9 HAKEKAT ILMU 100

9.1 Pendahuluan 101

Page 4: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

9.2 Uraian Bahan Pembelajaran 102

9.3 Penutup 114

BAB 10 ILMU DAN MORAL 116

10.1 Pendahuluan 116

10.2 Uraian Bahan Pembelajaran 117

10.3 Penutup 128

DAFTAR PUSTAKA 128

Page 5: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

BAB 1

PENDAHULUAN

Page 6: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengetahuan tentang filsafat ilmu semakin dirasakan manfaatnya

mengingat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan semakin

menyimpang jauh dari filsafat. Pada awalnya, filsafat mengkaji ilmu dengan

tujuan untuk mensejahterakan ummat manusia. Aspek penyadaran akan

penyimpangan ilmu sangat dibutuhkan bagi mahasiswa, sehingga mereka tidak

mengulangi hal yang sama dimasa mendatang. Manfaatnya akan semakin

terasa pada saat akan melakukan penelitian. Pengetahuan yang memadai

sangat diperlukan, supaya peneltian yang akan dilakukan dapat direncanakan

dengan baik, sistematis, efisien dan menghasilkan sesuatu sesuai dengan

rencana. Banyak kasus dimana peneliti tidak memahami dengan baik rencana

penelitian yang telah dibuat, sehingga pada waktu melakukan penelitian di

lapangan, melakukan penelitian yang sesungguhnya tidak sesuai dengan

rancangan penelitian yang direncanakan.

Pada modul ini dipaparkan prinsip-prinsip dasar filsafat dan filsafat ilmu

pengetahuan untuk memberikan gambaran kepada mahasiswa tentang

bagaimana perkembangan ilmu dari dulu sampai saat ini, dan bagaimana

perkembangan ilmu pengetahuan jika disandingkan dengan filsafat.

B. Ruang Lingkup Isi

� Ruang lingkup filsafat ilmu

� Pengertian filsafat dan ilmu

� Garis Besar Rencana pembelajaran (GBRP)

� Kontrak Pembelajaran

C. Kaitan Modul

Pendahuluan merupakan modul pertama yang akan memberikan

pemahaman kepada mahasiswa tentang filsafat, ilmu dan ruang lingkupnya.

Page 7: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

2

D. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:

� Menjelaskan ruang lingkup filsafat ilmu.

� Menjelaskan pengertian filsafat.

� Menjelaskan rencana pembelajaran selama 1 semester

� Menguraikan kontrak perkuliahan.

II. PEMBELAJARAN

RUANG LINGKUP FILSAFAT ILMU

A. ILMU SEBAGAI OBYEK KAJIAN FILSAFAT

Ilmu terdiri atas obyek material yang merupakan sasaran penyelidikan dan

obyek formal yaitu metode pendekatan untuk memahami obyek material,

seperti pendekatan induktif ataupun deduktif. Obyek material filsafat adalah

segala yang ada, yang tampak seperti empiris, yang tidak tampak seperti alam

metafisika.

Filsafat merupakan induk ilmu, lebih luas dari ilmu, mencakup yang empiris dan

non empiris. Ilmu berasal dari filsafat karena filsafatlah yang membahas segala

hal yang ada secara sistematis, rasional, logis dan empiris yang kemudian

bercabang, berkembang dan berspesialisasi.

B. PENGERTIAN FILSAFAT ILMU

1. Filsafat dan Hikmah

Dalam bahasa Inggris filsafat berarti philosophy, sedangkan dalam bahasa

Yunani berarti philosophia yang terdiri atas philos = cinta atau philia =

persahabatan (tertarik kepada) dan kata sophos = hikmah, kebijaksanaan,

pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Secara etimologi

filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom).

Beberapa pengertian tentang filsafat :

1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik dan

lengkap tentang realitas.

Page 8: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

3

2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar dan nyata.

3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan

(sumber, hakikat, keabsahan dan nilainya)

4. Penyelidikan kritis atas pengandaian dan pernyataan yang diajukan oleh

pengetahuan

5. Disiplin ilmu yang membantu melihat apa yang dikatakan dan untuk

mengatakan apa yang dilihat.

Sedangkan menurut Moh. Hatta dan Langeveld, secara terminology definisi

filsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri

dalam mendefinisikannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia filsafat berarti pengetahuan dan

penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal

dan hukumnya.

Menurut Al Farabi (950 M), filsafat adalah ilmu tentang alam yang maujud,

bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Sedangkan menurut Ibnu

Rusyd (1126 – 1198), filsafat atau hikmah merupakan pengetahuan ‘otonom’

yang perlu dikaji oleh akal manusia.

Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa filsafat adalah berfikir dengan

insaf, sedangkan H. Hamersama menyatakan bahwa filsafat artinya

pengetahuan metodis, sistematis dan koheren (bertalian) tentang seluruh

kenyataan. Filsafat menurut Sidi Gazalba adalah berfikir secara mendalam,

sistematik, radikal dan universal dalam mencari kebenaran, inti atau hakikat

tentang segala sesuatu yang ada.

Salah satu makna filsafat adalah mengutamakan dan mencintai hikmah.

Menurut Fuad Iframi al Bustani, hikmah adalah ungkapan atau pemikiran yang

sesuai dengan kebenaran pendapat yang valid. Sedangkan menurut Ibnu

Mundzir, hikmah berarti terhindar dari kerusakan dan kezaliman karena hikmah

adalah ilmu yang sempurna dan bermanfaat. al Jurjani mendefinisikan hikmah

artinya ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada menurut kadar

kemampuan manusia sedangkan Ibnu Sina mengartikan hikmah berarti

mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan

dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik

Page 9: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

4

sesuai kadar kemampuan manusia. Dari rumusan tadi, hikmah terdiri atas :

masalah, fakta dan data, serta analisis ilmuwan dengan teori.

Sementara Al syaybani menyatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah tapi cinta

terhadap hikmah, berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya

dan mencari sikap positif terhadapnya. Iapun menambahkan bahwa filsafat

berarti mencari hakikat sesuatu, menautkan sebab-akibat, dan

menginterpretasikan pengalaman manusia.

2. Pengertian Ilmu

Ilmu berasal dari bahasa Arab : ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dan wazan fa’ila, yaf’alu

yang artinya mengerti, memahami dengan benar. Dalam bahasa Inggris berarti

science, bahasa Latin berarti scintia (pengetahuan) dan scire (mengetahui).

Dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya pengetahuan suatu bidang

secara sistematis berdasarkan metode tertentu yang dapat digunakan untuk

menerangkan gejala tertentu di bidang itu.

Ciri-ciri ilmu menurut terminology :

a. Koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktika.

b. Koherensi sistematik

c. Tidak memerlukan kepastian lengkap menurut penalaran perorangan.

d. Metode yang berhasil harus terbuka.

e. Metodologi

f. Bersumber di dalam kesatuan obyeknya.

Definisi ilmu menurut beberapa ahli :

- Mohammad Hatta, ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang

pekerjaan hukum kausal dalam masalah yang sama tabiatnya, kedudukannya

yang tampak dari luar dan bangunannya dari dalam.

- Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, ilmu adalah yang empiris,

rasional, umum dan sistematik, yang keempatnya serentak.

- Ashley Montagu, ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu

system yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan

hakikat prinsip tentang hal yang sedang diuji.

Page 10: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

5

- Karl Pearson, ilmu adalah lukisan atau keerangan yang komprehensif

dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.

- Alfanasyef, ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat

dan pikiran.

- Harsojo, ilmu adalah :

1. Akumulasi pengtahuan yang sistematis.

2. Pendekatan atau metode pendekatan seluruh dunia empiris.

3. Cara menganalisis yang mengizinkan ahlinya untuk menyatakan :

‘JikaB., makaB.”

Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklarifikasi, tersistem, terukur,

dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Sedangkan pengetahuan

adalah informasi berupa common sense, keseluruhan pengetahuan yang

belum, tersusun baik metafisik maupun fisik. Kedudukan ilmu lebih tinggi dari

pengetahuan karena memiliki metode dan mekanisme tertentu.

Landasan ilmu perlu menjawab persoalan berikut :

1. Landasan ontologis, seperti : obyek apa yang ditelaah? Bagaimana

wujud hakiki dari obyek tersebut ?

2. Landasan epistemologis : bagaimana prosedur dan mekanismenya ?

3. Landasan aksiologis, seperti : untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu

digunakan ?

Adapun persamaan filsafat dan ilmu :

1. Mencari rumusan yang sebaik-baiknya, selengkap-lengkapnya sampai

ke akar-akarnya.

2. Memberikan pengertian mengenai hubungan yang ada antara kejadian

dan menunjukkan sebab-sebabnya.

3. Memberikan sintesis yaitu pandangn yang bergandengan.

4. Mempunyai metode dan system

5. Memberikan penjelasan tentang kenyataan yang timbul dari hasrat

manusia terhadap pengetahuan yang mendasar.

Sedangkan perbedaan filsafat dan ilmu :

Filsafat Ilmu

Page 11: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

6

1. Obyek material : universal

2. Obyek formal : nonfragmantis,

luas, mendalam dan mendasar

3. Menonjolkan daya spekulasi,

kritis dan pengawasan

4. Pertanyaan lebih jauh dan

mendalam berdasarkan realitas

5. Penjelasan terakhir, mutlak,

mendalam (primary causa)

Obyek material : khusus dan empiris

Fragmantis, spesifik, intensif, teknik.

Riset melalui trial and error.

Diskursif, logis, tidak tahu menjadi

tahu

Penyebab tidak terlalu mendalam

lebih dekat yang sekunder

(secondary cause)

Page 12: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

7

KO

MP

ET

EN

SI

LU

LU

SA

N P

RO

GR

AM

ST

UD

I S

2 I

LM

U P

ER

IKA

NA

N

UN

IVE

RS

ITA

S H

AS

AN

UD

DIN

KOMPETENSI Lulusan Program Studi

KE

LO

MP

OK

KO

MP

ET

EN

SI

No

R

UM

US

AN

KO

MP

ET

EN

SI

EL

EM

EN

KO

MP

ET

EN

SI

a b

c d

e

KO

MP

ET

EN

SI

UT

AM

A

1 m

ampu

mer

enca

naka

n, m

elak

sana

kan

dan

men

gelo

la

pene

litia

n da

n pe

ngka

jian

sum

berd

aya

perik

anan

dan

ling

kung

ann

ya s

ecar

a te

rpad

u da

n be

rkel

anju

tan,

√ √

√ √

2 m

ampu

men

gide

ntifi

kasi

dan

men

gana

lisis

hal

-hal

yan

g be

rhub

unga

n de

ngan

pen

gelo

laan

, Ilm

u P

erik

anan

dan

pem

budi

daya

an b

iota

per

aira

n se

cara

terp

adu

dan

berk

elan

juta

n,

√ √

√ √

3 m

ampu

men

erap

kan

ilmu

dan

tekn

olog

i dal

am p

enge

lola

an d

an I

lmu

Per

ikan

an d

an p

embu

dida

yaan

bio

ta p

erai

ran

seca

ra te

rpad

u da

n be

rkel

anju

tan,

√ √

√ √

KO

MP

ET

EN

SI

PE

ND

UK

UN

G

4 m

ampu

men

gana

lisis

dan

men

ysun

ren

cana

, str

ateg

i dan

keb

ijaka

n pe

ngel

olaa

n da

n Ilm

u P

erik

anan

dan

pem

budi

daya

an b

iota

per

aira

n se

cara

terp

adu

dan

berk

elan

juta

n,

√ √

√ √

5 m

ampu

mel

akuk

an r

ekay

asa

dala

m p

enge

lola

an d

an I

lmu

Per

ikan

an d

an

pem

budi

daya

an b

iota

per

aira

n se

cara

ter

padu

dan

ber

kela

njut

an,

√ √

√ √

Page 13: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

8

6 m

ampu

mer

enca

naka

n pe

ngem

bang

an d

an p

emba

ngun

an s

uatu

indu

stri

perik

anan

sec

ara

terp

adu

dan

berk

elan

juta

n

KO

MP

ET

EN

SI

TA

MB

AH

AN

7 m

ampu

m

eren

cana

kan,

m

emba

ngun

da

n m

enge

lola

su

atu

sist

im

info

rmas

i per

ikan

an s

ecar

a te

rpad

u da

n be

rkel

anju

tan,

√ √

√ √

EL

EM

EN

KO

MP

ET

EN

SI

:

a.

Lan

das

an k

eprib

adia

n;

b.

Pen

gua

saa

n ilm

u da

n k

etra

mpi

lan;

c.

K

emam

pua

n b

erk

ary

a;

d.

Sik

ap d

an

pri

laku

da

lam

be

rka

rya

me

nur

ut ti

ngka

t kea

hlia

n b

erda

sark

an il

mu

da

n k

etr

ampi

lan

yan

g d

ikua

sai;

e.

Pem

aha

ma

n k

aida

h b

erk

ehi

dupa

n b

erm

asya

raka

t se

sua

i de

nga

n p

iliha

n k

eahl

ian

da

lam

be

rka

rya

RE

NC

AN

A P

EM

BE

LA

JA

RA

N B

ER

BA

SIS

KB

K M

AT

AK

ULIA

H

FIL

SA

FA

T I

LM

U P

ER

IKA

NA

N

Ko

mp

ete

nsi

Uta

ma

:K

em

am

pu

an

da

lam

me

ma

ha

mi h

ake

ka

t il

mu

pe

ng

eta

hu

an

da

n k

eb

en

ara

n ilm

iah

Ko

mp

ete

nsi

Pe

nd

uku

ng

: K

em

am

pu

an

be

ke

rja

sam

a,

be

rko

mu

nik

asi

da

n b

era

da

pta

si d

ala

m lin

gku

ng

an

ke

rja

Ko

mp

ete

nsi

Ta

mb

ah

an

: K

em

am

pu

an

be

rka

rya

se

cara

in

div

idu

ata

u t

im d

ala

m u

sah

a p

eri

ka

na

n b

erk

ela

nju

tan

Ko

mp

ete

nsi

In

stit

usi

: K

em

am

pu

an

be

ke

rja

sa

ma

, m

en

ye

sua

ika

n d

iri,

me

ng

em

ba

ng

ka

n d

iri d

an

be

rfik

ir lo

gis

, a

na

liti

s &

pro

fesi

on

al.

Page 14: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

9

Mig

gu

ke

P

oko

k B

ah

asa

n

(PB

) M

eto

de

Pe

mb

ela

jara

n

Ha

sil P

em

be

laja

ran

(Le

arn

ing

Ou

tco

me

)

Ind

ika

tor

Pe

nila

ian

Ca

pa

ian

Ou

tco

me

Bo

bo

t

Nila

i (%

)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

1

Ko

ntr

ak P

em

be

laja

ran

K

uli

ah

M

am

pu

me

nje

lask

an

ko

ntr

ak

pe

mb

ela

jara

n,

ko

mp

ete

nsi

yg

aka

n d

ica

pa

i

Ke

jela

san

ko

ntr

ak p

erk

uli

ah

an

2

Pe

rbe

da

an

pe

ng

eta

hu

an

dan

ilm

u p

en

ge

tah

ua

n

Ku

iah

+ke

rja

ke

lom

po

k+

Pre

sen

tasi

(Co

lla

bo

rati

ve

le

arn

ing

)

Ma

mp

u m

en

jela

ska

n :

(1

)

ko

dra

t m

an

usi

a i

ng

in t

ah

u;

(2)

pe

ng

aru

h m

isti

k;

(3)

fils

afa

t

seb

ag

ai ilm

u;

(4)

ala

san

terj

ad

inya

ilm

u p

en

ge

tah

ua

n;

(5)

ke

du

du

ka

n f

ilsa

fat

ilm

u

pe

ng

eta

hu

an

Ke

jela

san

pe

rbe

da

an

pe

nge

tah

ua

n d

an

ilm

u

pe

nge

tah

ua

n

5

3.

Logik

a d

an

pe

na

lara

n il

mia

h

Ku

lia

h +

dis

ku

si

Me

nje

lask

an

: p

rop

osi

si,

log

ika

de

du

kti

f, lo

gik

a in

du

kti

f,

pe

na

lara

n,

ke

sesa

tan

da

lam

pe

na

lara

n,

pe

na

lara

n ilm

iah

.

Ke

jela

san

ura

ian

te

nta

ng

:

pro

po

sisi

, lo

gik

a d

ed

ukti

f,

log

ika

in

du

kti

f, p

en

ala

ran

,

ke

sesa

tan

da

lam

pe

na

lara

n,

pe

na

lara

n ilm

iah

.

5

4

Pe

rke

mb

an

ga

n il

mu

pe

nge

tah

ua

n:

(1)

eks

iste

nsi

ilm

u

pe

nge

tah

ua

n;

(2)

ba

tas-

ba

tas;

(3

)

plu

ralit

as

da

n s

pe

sialisa

si; (4

)

logik

a k

eb

en

ara

n d

an

ke

past

ian

Ku

lia

h+

ke

rja

ind

ivid

u+

tuto

ria

l

pro

ject

ba

sed

le

arn

ing

)

Me

ngu

raik

an

pe

rke

mb

an

gan

ilm

u p

en

ge

tah

ua

n:

(1)

eksi

ste

nsi

ilm

u p

en

ge

tah

ua

n;

(2)

ba

tas-

ba

tas;

(3

) p

lura

lita

s d

an

spe

sia

lisa

si;

(4)

logik

a k

eb

en

ara

n

da

n k

ep

ast

ian

Ke

jela

san

ura

ian

te

nta

ng

pe

rke

mb

an

ga

n il

mu

pe

nge

tah

ua

n:

(1)

eks

iste

nsi

ilm

u

pe

nge

tah

ua

n;

(2)

ba

tas-

ba

tas;

(3)

plu

ralit

as

da

n s

pe

sia

lisa

si; (4

)

logik

a k

eb

en

ara

n d

an

ke

past

ian

5

Page 15: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

10

5

Ilm

u d

an

Nila

i : a

lira

n d

an

to

ko

h-

toko

h f

ilsa

fat

ilm

u

Ku

lia

h +

dis

ku

si

Me

nje

lask

an

Ilm

u d

an

Nila

i :

alira

n d

an

to

koh

-to

ko

h f

ilsa

fat

ilm

u. A

lira

n-a

lira

n d

an

to

ko

h-

toko

h f

ilsa

fat

ilm

u; ilm

u d

an

nila

i; k

ajia

n f

ilsa

fat;

ilm

u d

an

ag

am

a

Ke

jela

san

ura

ian

te

nta

ng Ilm

u

da

n N

ilai :

alir

an

da

n t

oko

h-

toko

h f

ilsa

fat

ilm

u. A

lira

n-a

lira

n

da

n t

oko

h-t

oko

h f

ilsa

fat

ilmu

;

ilm

u d

an

nila

i; k

ajia

n f

ilsa

fat;

ilm

u d

an

ag

am

a

5

6

Pe

nge

tah

ua

n d

an

uku

ran

ke

be

nara

n

Ku

lia

h +

dis

ku

si

Me

nje

lask

an

pe

nge

tah

ua

n d

an

uku

ran

ke

be

na

ran

: d

efi

nis

i da

n

jen

is p

en

ge

tah

ua

n; h

ake

kat

da

n

sum

be

r p

en

ge

tah

ua

n;

uku

ran

ke

be

nara

n; kla

sifi

ka

si d

an

ha

keka

t ilm

u

Ke

jela

san

ura

ian

te

nta

ng

pe

nge

tah

ua

n d

an

uku

ran

ke

be

nara

n: d

efi

nis

i da

n je

nis

pe

nge

tah

ua

n;

ha

ke

ka

t d

an

sum

be

r p

en

ge

tah

ua

n;

uku

ran

ke

be

nara

n; kla

sifi

ka

si d

an

ha

keka

t ilm

u

5

7

Da

sar-

da

sar

ilm

u

Ku

lia

h +

dis

ku

si

Me

nje

lask

an

da

sar-

da

sar

ilmu

da

ri s

egi :

on

tolo

gi, e

pis

tem

olo

gi

da

n a

ksi

olo

gi

Ma

mp

u m

en

jela

ska

n d

asa

r-

da

sar

ilm

u d

ari

se

gi :

on

tolo

gi,

ep

iste

mo

logi d

an

aks

iolo

gi

5

8

Sara

na

Ilm

iah

K

uli

ah

+ d

isku

si

Me

nje

lask

an

sa

ran

a il

mia

h

me

lip

uti

: b

ah

asa

, ma

tem

ati

ka

,

sta

tist

ik d

an

logik

a

Ke

jela

san

me

ng

ura

ika

n s

ara

na

ilm

iah

me

lipu

ti : b

ah

asa

,

ma

tem

ati

ka, s

tati

stik

da

n lo

gik

a

5

9

Ha

ke

ka

t ilm

u, m

en

en

tuka

n o

bje

k

tuju

an

, ca

ra p

en

cap

aia

n t

uju

an

da

n p

em

an

faa

tan

; o

bye

k m

ate

ri;

ob

ye

k f

orm

a; a

spe

k a

ksio

logi,

asp

ek

eti

k; a

spe

k e

pis

tem

olo

gi;

ilm

u t

eo

riti

s &

te

rap

an

; te

kn

olo

gi

Ku

lia

h +

dis

ku

si

Me

nje

lask

an

ha

keka

t ilm

u,

me

ne

ntu

ka

n o

bje

k tu

jua

n, ca

ra

pe

nca

pa

ian

tu

jua

n d

an

pe

ma

nfa

ata

n; o

bye

k m

ate

ri;

ob

ye

k f

orm

a; a

spe

k a

ksio

logi,

asp

ek

eti

k; a

spe

k e

pis

tem

olo

gi;

Ke

jela

san

me

ng

ura

ika

n h

ake

ka

t

ilm

u, m

en

en

tuka

n o

bje

k tu

jua

n,

cara

pe

nca

pa

ian

tu

jua

n d

an

pe

ma

nfa

ata

n; o

bye

k m

ate

ri;

ob

ye

k f

orm

a; a

spe

k a

ksio

logi,

asp

ek

eti

k; a

spe

k e

pis

tem

olo

gi;

6

Page 16: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

11

& p

erk

em

ba

ng

an

nya

ilm

u t

eo

riti

s &

te

rap

an

;

tekn

olo

gi &

pe

rke

mb

an

ga

nn

ya

ilm

u t

eo

riti

s &

te

rap

an

;

tekn

olo

gi &

pe

rke

mb

an

ga

nn

ya

10

P

erk

em

ba

ng

an

me

tod

e k

eilm

ua

n

bid

an

g s

tud

i; h

ake

ka

t m

eto

de

;

sum

be

r m

eto

de

; b

en

tuk

me

tod

e

Ku

lia

h+

ke

rja

ind

ivid

u+

tuto

ria

l

(pro

ject

ba

sed

lea

rnin

g)

Me

nje

lask

an

pe

rke

mb

an

gka

n

me

tod

e k

eilm

ua

n b

ida

ng

stu

di;

ha

keka

t m

eto

de

; su

mb

er

me

tod

e; b

en

tuk m

eto

de

Ke

jela

san

me

ng

ura

ika

n m

eto

de

ke

ilm

ua

n b

ida

ng s

tud

i; h

ake

ka

t

me

tod

e; su

mb

er

me

tod

e;

be

ntu

k m

eto

de

5

11

K

eb

en

ara

n il

mia

h;

pe

ng

ert

ian

sist

em

, je

nis

-je

nis

sis

tem

Ku

lia

h +

dis

ku

si

Me

nje

lask

an

ke

be

na

ran

ilm

iah

;

pe

nge

rtia

n s

iste

m, je

nis

-je

nis

sist

em

Ke

jela

san

me

ng

ura

ika

n

ke

be

nara

n il

mia

h;

pe

nge

rtia

n

sist

em

, je

nis

-je

nis

sis

tem

5

12

-13

K

eb

en

ara

n il

mia

h b

ida

ng s

tud

i;

sum

be

r ke

be

nara

n, te

ori

ke

be

nara

n

Ku

lia

h +

dis

ku

si

Me

nje

lask

an

ke

be

nara

n il

mia

h

bid

an

g s

tud

i; s

um

be

r

ke

be

nara

n, t

eo

ri k

eb

en

ara

n

Ke

jela

san

ura

ian

ke

be

nara

n

ilm

iah

bid

an

g s

tud

i; s

um

be

r

ke

be

nara

n, t

eo

ri k

eb

en

ara

n

9

14

-15

E

tika

da

n e

ste

tika

da

lam

pe

nge

mb

an

ga

n il

mu

bid

an

g s

tud

i

kh

usu

s d

an

pe

ma

nfa

ata

nn

ya:

eti

ka

da

n e

ste

tika

ilm

u

pe

nge

tah

ua

n b

ida

ng s

tud

i

kh

usu

s; p

en

ge

mb

an

ga

n il

mu

bid

an

g s

tud

i kh

usu

s &

tan

gg

un

gja

wa

b il

mia

h;

ma

nfa

at

ilm

u p

en

ge

tah

ua

n b

ida

ng

stu

di

ka

sus

Ku

lia

h+

ke

rja

ind

ivid

u+

tuto

ria

l

(pro

ject

ba

sed

lea

rnin

g)

Me

nje

lask

an

eti

ka d

an

est

eti

ka

da

lam

pe

nge

mb

an

ga

n il

mu

bid

an

g s

tud

i kh

usu

s d

an

pe

ma

nfa

ata

nn

ya

: e

tika

da

n

est

eti

ka il

mu

pe

nge

tah

ua

n

bid

an

g s

tud

i kh

usu

s;

pe

nge

mb

an

ga

n il

mu

bid

an

g

stu

di k

hu

sus

& t

an

gg

un

gja

wa

b

ilm

iah

; m

an

faa

t ilm

u

pe

nge

tah

ua

n b

ida

ng s

tud

i ka

sus

Ke

jela

san

ura

ian

eti

ka d

an

est

eti

ka d

ala

m p

en

ge

mb

an

ga

n

ilm

u b

ida

ng

stu

di k

hu

sus

dan

pe

ma

nfa

ata

nn

ya

: e

tika

da

n

est

eti

ka il

mu

pe

nge

tah

ua

n

bid

an

g s

tud

i kh

usu

s;

pe

nge

mb

an

ga

n il

mu

bid

an

g

stu

di k

hu

sus

& t

an

gg

un

gja

wa

b

ilm

iah

; m

an

faa

t ilm

u

pe

nge

tah

ua

n b

ida

ng s

tud

i ka

sus

9

16

T

an

tan

ga

n d

an

ma

sa d

ep

an

ilm

u

Ku

lia

h +

dis

ku

si

Me

nje

lask

an

ta

nta

nga

n m

asa

de

pa

n il

mu

: ke

ma

jua

n il

mu

da

n

kri

sis

ke

ma

nu

sia

an

; a

ga

ma

ilm

u

Ke

jela

san

ura

ian

te

nta

ng

tan

tan

ga

n m

asa

de

pa

n il

mu

:

ke

ma

jua

n il

mu

da

n k

risi

s

6

Page 17: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

12

da

n m

asa

de

pa

n m

an

usi

a

ke

ma

nu

sia

an

; a

ga

ma

ilm

u d

an

ma

sa d

ep

an

ma

nu

sia

17

E

va

lua

si

Pre

sen

tasi

& U

jia

n t

uli

s

2

5

III. PENUTUP

P

enda

hulu

an m

embe

rika

n ga

mba

ran

pent

ing

seca

ra m

enye

luru

h m

ater

i ya

ng a

kan

dip

elaj

ari

sela

ma

1 se

mes

ter

perk

ulia

han,

ter

mas

uk t

ugas

– tu

gas

yan

g ak

an d

ike

rjak

an

ole

h m

ahas

isw

a.

Den

gan

dem

ikia

n m

ahas

isw

a d

apat

mem

buat

pere

ncan

aan

da

n st

rate

gi m

eng

had

api

per

kulia

han.

DAFTAR PUSTAKA

Am

sal B

ahtia

r, 2

011

. F

ilsaf

at Il

mu.

Raj

aw

ali P

ress

. Jak

art

a.

Sup

arla

n S

uh

arto

no,

199

7.

Fils

afat

Ilm

u P

enge

tahu

an:

Kon

sep

Das

ar. U

nha

s.

Juju

n S

. S

uria

sum

ant

ri.

199

3. I

lmu

dala

m p

ers

pekt

if. P

T.

Gra

med

ia, J

aka

rta.

Juju

n S

. S

uria

sum

ant

ri.

199

4. F

ilsaf

at il

mu

seb

uah

peng

ant

ar p

op

uler

. S

inar

Har

apan

, Ja

kart

a.

Soe

trio

no

dan

SR

DM

Rita

Ha

nafie

, 20

07.

Fils

afat

Ilm

u da

n M

eto

dolo

gi P

enel

itian

. A

ndi Y

okya

kart

a.

Van

Mel

sen.

198

9. I

lmu

pen

get

ahu

an d

an

tang

gung

jaw

ab k

ita (

terje

mah

an).

PT

. G

ram

edia

, Jak

art

a.

Ace

ng R

ahm

at,

Con

ny

Sem

iaw

an,

Dia

na N

om

ida,

Ism

ail A

riant

o, K

inay

ati D

joyo

suro

to, N

adir

oh,

Nus

a P

utra

, Sa

bar

ti ak

had

iah,

201

1.

Fils

afat

Ilm

u La

njut

an.

Ken

cana

Pre

nad

a M

edi

a G

roup

, Ja

kart

a.

Page 18: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

13

II. PENGETAHUAN DAN UK URAN KEBENARAN

II. PENDAHULUAN

D. Latar Belakang

Pengetahuan tentang metode penelitian semakin dirasakan manfaatnya dan

telah menjadi perangkat yang penting bagi mahasiswa dan para peneliti.

Manfaatnya akan semakin terasa pada saat akan melakukan penelitian.

Pengetahuan yang memadai sangat diperlukan, supaya peneltian yang akan

dilakukan dapat direncanakan dengan baik, sistematis, efisien dan

menghasilkan sesuatu sesuai dengan rencana. Banyak kasus dimana peneliti

tidak memahami dengan baik rencana penelitian yang telah dibuat, sehingga

pada waktu melakukan penelitian di lapangan, melakukan penelitian yang

sesungguhnya tidak sesuai dengan rancangan penelitian yang direncanakan.

Pada modul ini dipaparkan prinsip-prinsip dasar metode penelitian dan

wawasan ilmu pengetahuan untuk memberikan gambaran kepada mahasiswa

tentang cara berfikir ilmiah dan mendapatkan kebenaran ilmiah melalui

penelitian .

E. Ruang Lingkup Isi

� Definisi penelitian ilmiah

� Wawasan ilmu pengetahuan

� Garis Besar Rencana pembelajaran (GBRP)

� Kontrak Pembelajaran

F. Kaitan Modul

Pendahuluan merupakan modul pertama yang akan memberikan pemahaman

kepada mahasiswa tentang metode penelitian dan wawasan ilmu penetahuan.

D. Sasaran Pembelajaran Modul

Page 19: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

14

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:

� Menjelaskan definisi penelitian ilmiah.

� Menjelaskan wawasan ilmu pengetahuan.

� Menjelaskan rencana pembelajaran selama 1 semester

� Menguraikan kontrak perkuliahan.

II. PEMBELAJARAN

A. DEFINISI DAN JENIS PENGETAHUAN

Pengetahuan secara etimologi yaitu knowledge (bahasa Inggris), dalam

Encyclopedia of Filosophy adalah kepercayaan yang benar (knowledge is

justified true belief). Secara terminology, menurut Sidi Gazalba, pengetahuan

adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu dari kenal, sadar, insaf,

mengerti dan pandai. Dalam arti luas berarti kehadiran internasional obyek

dalam subyek, dalam arti sempit berarti kebenaran, kepastian. Pengetahuan

dapat juga berarti pengalaman sadar, harus benar agar tidak kontradiksi.

1. Jenis pengetahuan

Menurut Burhanuddin Salam jenis pengetahuan manusia antara lain :

a. Pengetahuan biasa, common sense, good sense, diperoleh dari

pengalaman sehari-hari.

b. Pengetahuan ilmu, usaha untuk mengorganisasikan dan

mensistemasikan common sense dari pengalaman dan pengamatan

sehari-hari.

c. Pengetahuan filsafat, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari

pemikiranbersifat kontemplatif dan spekulatif, menekankan pada

universalitas kajian mendalam.

d. Pengetahuan agama, berasal dari Tuhan melalui utusannya.

2. Perbedaan Pengetahuan dan Ilmu

Dalam bahasa Inggris, pengetahuan artinya knowledge, sedangkan ilmu

artinya science. Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau

Page 20: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

15

perbuatan manusia untuk memahami obyek tertentu, berwujud barang fisik,

pemahaman melalui cara persepsi lewat indra, akal atau masalah kejiwaan.

Memiliki obyek tertentu, runtut, memiliki metode yang umum.

Ilmu menurut Carles Siregar, ilmu adalah proses yang membuat

pengetahuan. Sedangkan menurut Liang Gie ilmu adalah aktivitas manusia

sehingga memperoleh pengetahuan , lebih lengkap dan cermat tentang alam

di masa lampau, sekarang dan nanti, untuk beradaptasi, mengubah lingkungan

dan sifat-sifatnya.

Ilmu dan pengetahuan berbeda karena ciri sistematisnya dan cara

memperolehnya. Dalam bahasa pengetahuan dan ilmu bersinonim arti,

sedangkan dalam arti material, keduanya berbeda.

B. HAKIKAT DAN SUMBER PENGETAHUAN

1. Hakikat Pengetahuan

Dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan yaitu :

a. Realisme, gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata

sehingga pengetahuan adalah benar dan tepat jika sesuai dengan

kenyataan, mempertajam perbedaan antara yang mengetahui dan yang

diketahui. Tidak mementingkan pada subyek tapi obyek.

b. Idealisme, pengetahuan adalah proses mental psikologis yang subyektif.

Dunia dan bagiannya adalah satu kesatuan yang utuh dan saling

berhubungan. Mementingkan subyek dibandingkan obyek sehingga

tidak mengakui kebenaran universal, kebenaran menjadi relative.

2. Sumber Pengetahuan

a. Empirisme, pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, bukan bawaan.

Tokohnya : John Locke, David Hume.

b. Rasionalisme, pengetahuan diperoleh dengan akal. Tidak mengingkari

kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan.

c. Intuisi, hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi (Henry Bergson),

mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang bersifat

Page 21: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

16

analisis,menyeluruh, mutlak tanpa penggambaran simbolis, personal,

tidak bisa diramalkan, tidak dapat diandalkan, hanya sebatas hipotesa.

d. Wahyu, berasal dari Tuhan melalui para nabi.

C. UKURAN KEBENARAN

Ada 3 jenis kebenaran, yaitu : kebenaran epistemologis, berhubungan

dengan pengetahuan manusia, kebenaran ontologism yaitu kebenaran sebagai

sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan,

dan kebenaran semantic yaitu kebenaran yang terdapat dan melekat pada tutur

kata dan bahasa. Teori yang menjelaskan kebenaran epistemologis antara lain

:

1. Teori Korespondensi, keadaan dianggap benar jika ada kesesuaian

(correspondence) antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau

pendapat dengan obyek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat

tersebut. Kebenaran antara subyek dan obyek. Umumnya dianut

pengikut realism.

2. Teori Koherensi (konsistensi) tentang Kebenaran, kebenaran tidak

dibentuk atas hubungan antara putusan (judgment) dengan sesuatu

yang lain (fakta, realitas) tetapi atas hubungan antar putusan itu sendiri.

3. Teori Pragmatisme tentang Kebenaran, benar tidaknya suatu ucapan,

dalil, atau teori, hanya bergantung pada asas manfaat. Kebenaran

terbukti oleh kegunaannya, hasilnya, dan oleh akibat-akibat praktisnya.

4. Agama sebagai Teori Kebenaran, sesuatu dianggap benar jika sesuai

dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.

D. KLASIFIKASI DAN HIERARKI ILMU

Al Farabi mengklasifikasi ilmu secara filosofis seperti ilmu matematika, ilmu

alam, metafisika, ilmu politik dan terakhir yurisprudensi dan teologis dialektis. Al

Ghazali membagi ilmu secara filosofis ke dalam ilmu syar’iyyah dan ilmu

aqliyyah. Muh. Al Bahi membagi ilmu yaitu yang bersumber dari Tuhan dan

Page 22: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

17

yang bersumber dari manusia. Al Jurjanni membagi ilmu menjadi ilmu Qadim

dan ilmu Hadis.

Islam mengenal hierarki keilmuan yakni terdapat hierarki dalam obyek yang

diketahui dan subyek yang mengetahui. Adanya pengakuan wawasan Yang

Kudus menjabarkan secara hierarkis ke dalam berbagai bidang keilmuan.

E. Indikator Penilaian Akhir Sesi Pembelajaran

No NIRM NAMA

MAHASISWA

Merumuskan Hipotesis (15%)

Ketepatan penjelasan

Kecermatan dalam

merumuskan

Kerjasama kelompok

1

III. PENUTUP

Pendahuluan memberikan gambaran penting secara menyeluruh materi

yang akan dipelajari selama 1 semester perkuliahan, termasuk tugas – tugas

yang akan dikerjakan oleh mahasiswa. Dengan demikian mahasiswa dapat

membuat perencanaan dan strategi menghadapi perkuliahan.

DAFTAR PUSTAKA

Amsal Bahtiar, 2011. Filsafat Ilmu. Rajawali Press. Jakarta.

Suparlan Suhartono, 1997. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Konsep Dasar. Unhas.

Jujun S. Suriasumantri. 1993. Ilmu dalam perspektif. PT. Gramedia, Jakarta.

Jujun S. Suriasumantri. 1994. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer. Sinar Harapan, Jakarta.

Soetriono dan SRDM Rita Hanafie, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Andi Yokyakarta.

Van Melsen. 1989. Ilmu pengetahuan dan tanggungjawab kita (terjemahan). PT. Gramedia, Jakarta.

Page 23: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

18

Aceng Rahmat, Conny Semiawan, Diana Nomida, Ismail Arianto, Kinayati Djoyosuroto, Nadiroh, Nusa Putra, Sabarti akhadiah, 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Page 24: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

19

III. PENDAHULUAN

G. Latar Belakang

Pengetahuan tentang metode penelitian semakin dirasakan manfaatnya dan

telah menjadi perangkat yang penting bagi mahasiswa dan para peneliti.

Manfaatnya akan semakin terasa pada saat akan melakukan penelitian.

Pengetahuan yang memadai sangat diperlukan, supaya peneltian yang akan

dilakukan dapat direncanakan dengan baik, sistematis, efisien dan

menghasilkan sesuatu sesuai dengan rencana. Banyak kasus dimana peneliti

tidak memahami dengan baik rencana penelitian yang telah dibuat, sehingga

pada waktu melakukan penelitian di lapangan, melakukan penelitian yang

sesungguhnya tidak sesuai dengan rancangan penelitian yang direncanakan.

Pada modul ini dipaparkan prinsip-prinsip dasar metode penelitian dan

wawasan ilmu pengetahuan untuk memberikan gambaran kepada mahasiswa

tentang cara berfikir ilmiah dan mendapatkan kebenaran ilmiah melalui

penelitian .

H. Ruang Lingkup Isi

� Definisi penelitian ilmiah

� Wawasan ilmu pengetahuan

� Garis Besar Rencana pembelajaran (GBRP)

� Kontrak Pembelajaran

I. Kaitan Modul

Pendahuluan merupakan modul pertama yang akan memberikan pemahaman

kepada mahasiswa tentang metode penelitian dan wawasan ilmu penetahuan.

D. Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:

Page 25: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

20

� Menjelaskan definisi penelitian ilmiah.

� Menjelaskan wawasan ilmu pengetahuan.

� Menjelaskan rencana pembelajaran selama 1 semester

� Menguraikan kontrak perkuliahan.

II. PEMBELAJARAN

Sejarah Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bias menjumpai

pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan

menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang

bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).

Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata

latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan

atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge)

yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami

perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang

sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang

dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan

dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui.

Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari

kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science

(sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme– positiviesme

sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan

metafisika (Kartanegara, 2003). Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak

akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan

bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Will Duran

dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti

pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri.

Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat

Page 26: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

21

yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik

ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat.

Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal

ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627)

menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis Principia

Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi

menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai Professor

of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.

Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and Science,

1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius,

metafisic dan positif. Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat

ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran religi. Tahap

berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika dan keberadaan wujud

yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan

mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap

terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang

digunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif. Tahap

terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain matematika.

Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut

epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang

berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama

kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang

filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori

), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa

filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh

pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang

ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu

pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang

telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi

asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis.

Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan

atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

Page 27: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

22

Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah. Dalam

hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar

diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk

yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi,

wangsit, atau wahyu (oleh nabi).

Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif,

sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak

bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran

(validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah, walaupun

sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu

tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam

ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara

sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai

pengetahuan “naluriah”.

Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-

mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yang

berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia

seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua

obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi

tidak jelas batas-batasnya.

Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai

implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam

pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-

galanya. Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang

belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum

adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat

merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim,

guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula

bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan

keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya

adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan

Page 28: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

23

kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di

sekitarnya, dan dapat menelaahnya.

Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika

pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah

mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal

pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan

pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika

berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang

kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin

mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis. Dalam proses

tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan

khusus dari yang umum.

Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat

pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya,

dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian

kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah

diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun

kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat

bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus

dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori

korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan

dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan

umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan

tahap akhir yaitu tahap fungsional.

Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan

kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah

secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu

tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi

kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan

sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang

membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral.

Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan

Page 29: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

24

pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang

menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis,

yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti

sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial.

Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang

dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian,

meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya

dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain

perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka

yang menjadi garapan ilmu keagamaan.

Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif

mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek

prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu

lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah pokok dan urutannya,

termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana

berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi,

yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral

pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.

Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi

Tahapan Ontologi (Hakikat Ilmu)

�� Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?

�� Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?

�� Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia

(seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?

�� Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang

berupa ilmu?

�� Bagaimana prosedurnya? Epistimologi (Cara Mendapatkan Pengetahuan)

Page 30: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

25

�� Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang

berupa ilmu?

�� Bagaimana prosedurnya?

�� Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan

dengan benar?

�� Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?

�� Apa kriterianya?

�� Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan

pengetahuan yang berupa ilmu? Aksiologi (Guna Pengetahuan)

�� Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?

�� Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah

moral?

�� Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan

moral?

�� Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan

operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?

Sumber: Suriasumantri, 1993

Teori pengetahuan yang bersifat subjektif akan memberikan jawaban ”TIDAK”,

kita tidak akan mungkin mengetahui, menemukan hal-hal yang ada di balik

pengaman dan ide kita. Sedangkan teori pengetahuan yang bersifat obyektif

akan memberikan jawaban ”YA”.

Sumber-Sumber Pengetahuan

Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama,

mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman.

Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman

mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode

deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang

Page 31: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

26

diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan

pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya

(idelisme).

Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi atau

wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses

penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu

merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.m

Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah dikotomi atau gap

antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam sumber ilmu

yang paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu umum (imuwan

sekuler) satunya-satunya yang valid adalah pengalaman empiris yang didukung

oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan metode deduksi yang

ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai secara apriopri (yakni tidak

melalui pengalaman). Menurut mereka, setinggitingginya pencapaian akal

adalah filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu spekulatif untuk bisa

mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang diminta kaum positivis. Adapun

pengalaman intuitif sering dianggap hanya sebuah halusinasi atau ilusi belaka.

Sedangkan menurut agamawan pengalaman intuitif dianggap sebagai sumber

ilmu, seperti para nabi memperoleh wahyu ilahi atau mistikus memperoleh

limpahan cahaya Ilahi.

Masalah berikutnya adalah pengamatan. Sains modern menentukan obyek

ilmu yang sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi (the

observables) atau diamati oleh indra. Akibatnya muncul penolakan dari filosof

logika positivisme yang menganggap segala pernyataan yang tidak ada

hubungan obyek empirisnya sebagai nonsens. Perbedaan ini melahirkan

metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap science). Masalah lainnya adalah

munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Penekanan sains modern

pada obyek empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat cabang ilmu nonfisik bergeser

secara signifikan ke pinggiran. Akibatnya timbul pandangan negatif bahwa

bidang kajian agama hanya menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan

Freud yang menyatakan agama dan terutama pendukungnya yang fanatic

bertanggung jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena melarang anak

didik untuk bertanya secara kritis. Masalah lainnya yang muncul adalah

Page 32: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

27

menyangkut metodologi ilmiah. Sains pada dasarnya hanya mengenal metode

observasi atau eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan metode

lainnya seperti metode intuitif. Masalah terakhir adalah sulitnya

mengintegrasikan ilmu dan agama terutama indra, intektual dan intuisi sebagai

pengalaman legitimate dan riil dari manusia.

Sejarah Perkembangan Ilmu

A. Zaman Yunani

Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah

peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir

mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk

menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi). Gempa bumi

tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang

menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena

alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam

yang terjadi secara kausalitas. Filosof alam pertama yang mengkaji tentang

asal usul alam adalah Thales (624-546 SM) mempertanyakan “Apa sebenarnya

asal usul alam semesta ini?” Ia mengatakan asal alam adalah air karena air

unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah menjadi benda gas,

seperti uap dan benda dapat, seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air.

Sedangkan Heraklitos mempunyai kesimpulan bahwa yang mendasar dalam

alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya,

yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat

mengeraskan adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api

adalah aktor pengubah dalam alam ini, sehingga api pantas dianggap sebagai

simbol perubahan itu sendiri.

Pythagoras (580-500 SM) berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama

dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur bilangan merupakan juga unsur

yang terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap

dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Menurut Abu Al Hasan Al Amiri, seorang

filosof muslim Phitagoras belajar geometri dan matematika dari orang-orang

mesir (Rowston, dalam Kartanegara, 2003). Filosof alam ternyata tidak dapat

Page 33: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

28

memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum “sofis”.

Kaum sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa ini

memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah

ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia

menyatakan bahwa “manusia” adalah ukuran kebenaran.

Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran kaum sofis

karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan

teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru. Socrates, Plato, dan Aristoteles

menolak relativisme kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang

bergantung kepada manusia.

Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani

karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara

filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah

Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates. Menurutnya, kebenaran

umum itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Puncak

kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid

Plato, berhasil menemukan pemecahan persoalanpersoalan besar filsafat yang

dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika.

Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme.

Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga premis:

- Semua manusia akan mati (premis mayor).

- Socrates seorang manusia (premis minor).

- Socrates akan mati (konklusi).

Aristoteles dianggap bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar

dan metode ilmiah secara sistematis.

Sejarah Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bias menjumpai

pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan

menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang

bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).

Page 34: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

29

Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata

latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan

atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge)

yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami

perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang

sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang

dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan

dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui.

Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari

kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda

dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme–

positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti

matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003). Berbicara mengenai ilmu

(sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan

adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana

adanya”. Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan

bahwa filsafat seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan

pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di

antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan

keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari

pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam

(natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral

(moral philosophy). Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika

sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith

(1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi menulis buku The Wealth Of Nation (1776)

dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas

Glasgow.

Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and

Science, 1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu

pengetahuan yaitu: religius, metafisic dan positif. Dalam tahap awal asas

religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau

penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang

metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang

Page 35: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

30

terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas

dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah

(ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam

proses verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains

yang paling mendasar selain matematika.

Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut

epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang

berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama

kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang

filsafat yakni epistemology danontology (on = being, wujud, apa + logos = teori

), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa

filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh

pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang

ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu

pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang

telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi

asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis.

Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan

atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.

Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah. Dalam

hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar

diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk

yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi,

wangsit, atau wahyu (oleh nabi).

Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif,

sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak

bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran

(validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah, walaupun

sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu

tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam

ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara

Page 36: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

31

sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai

pengetahuan “naluriah”.

Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-

mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan yang

berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia

seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua

obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi

tidak jelas batas-batasnya.

Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai

implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam

pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-

galanya. Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang

belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum

adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat

merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim,

guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula

bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan

keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya. Tahap berikutnya

adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan

kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di

sekitarnya, dan dapat menelaahnya.

Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika

pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah

mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal

pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan

pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika

berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang

kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin

mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis. Dalam proses

tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan

khusus dari yang umum.

Page 37: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

32

Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat

pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya,

dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian

kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah

diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun

kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat

bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus

dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori

korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan

dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan

umum dari yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan

tahap akhir yaitu tahap fungsional.

Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan

kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah

secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu

tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi

kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan

sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang

membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral.

Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan

pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang

menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis,

yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti

sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial.

Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang

dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian,

meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya

dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain

perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka

yang menjadi garapan ilmu keagamaan.

Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif

mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek

Page 38: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

33

prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu

lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah pokok dan urutannya,

termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana

berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi,

yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral

pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.

Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi

Tahapan Ontologi(Hakikat Ilmu)

�� Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?

�� Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?

�� Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia

(seperti berpikir, merasa, dan mengindera)

yang membuahkan pengetahuan?

�� Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang

berupa ilmu?

�� Bagaimana prosedurnya?

Epistimologi (Cara Mendapatkan Pengetahuan)

�� Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang

berupa ilmu?

�� Bagaimana prosedurnya?

�� Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan

dengan benar?

�� Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?

�� Apa kriterianya?

�� Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan

pengetahuan yang berupa ilmu?

Page 39: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

34

Aksiologi (Guna Pengetahuan)

�� Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?

�� Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah

moral?

�� Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan

moral?

�� Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan

operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?

Sumber: Suriasumantri, 1993

Teori pengetahuan yang bersifat subjektif akan memberikan jawaban ”TIDAK”,

kita tidak akan mungkin mengetahui, menemukan hal-hal yang ada di balik

pengaman dan ide kita. Sedangkan teori pengetahuan yang bersifat obyektif

akan memberikan jawaban ”YA”.

Sumber-Sumber Pengetahuan

Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama,

mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman.

Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman

mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode

deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang

diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan

pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya

(idelisme).

Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi atau

wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses

penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu

merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.m

Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah dikotomi

atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam

sumber ilmu yang paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu umum

Page 40: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

35

(imuwan sekuler) satunya-satunya yang valid adalah pengalaman empiris yang

didukung oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan metode deduksi

yang ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai secara apriopri (yakni tidak

melalui pengalaman). Menurut mereka, setinggitingginya pencapaian akal

adalah filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu spekulatif untuk bisa

mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang diminta kaum positivis. Adapun

pengalaman intuitif sering dianggap hanya sebuah halusinasi atau ilusi belaka.

Sedangkan menurut agamawan pengalaman intuitif dianggap sebagai sumber

ilmu, seperti para nabi memperoleh wahyu ilahi atau mistikus memperoleh

limpahan cahaya Ilahi.

Masalah berikutnya adalah pengamatan. Sains modern menentukan obyek

ilmu yang sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi (the

observables) atau diamati oleh indra. Akibatnya muncul penolakan dari filosof

logika positivisme yang menganggap segala pernyataan yang tidak ada

hubungan obyek empirisnya sebagai nonsens. Perbedaan ini melahirkan

metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap science). Masalah lainnya adalah

munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Penekanan sains modern

pada obyek empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat cabang ilmu nonfisik bergeser

secara signifikan ke pinggiran. Akibatnya timbul pandangan negatif bahwa

bidang kajian agama hanya menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan

Freud yang menyatakan agama dan terutama pendukungnya yang fanatic

bertanggung jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena melarang anak

didik untuk bertanya secara kritis. Masalah lainnya yang muncul adalah

menyangkut metodologi ilmiah. Sains pada dasarnya hanya mengenal metode

observasi atau eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan metode

lainnya seperti metode intuitif. Masalah terakhir adalah sulitnya

mengintegrasikan ilmu dan agama terutama indra, intektual dan intuisi sebagai

pengalaman legitimate dan riil dari manusia.

Sejarah Perkembangan Ilmu

A. Zaman Yunani

Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah

peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir

Page 41: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

36

mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk

menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi). Gempa bumi

tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang

menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena

alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam

yang terjadi secara kausalitas. Filosof alam pertama yang mengkaji tentang

asal usul alam adalah Thales (624-546 SM) mempertanyakan “Apa sebenarnya

asal usul alam semesta ini?” Ia mengatakan asal alam adalah air karena air

unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah menjadi benda gas,

seperti uap dan benda dapat, seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air.

Sedangkan Heraklitos mempunyai kesimpulan bahwa yang mendasar dalam

alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya,

yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat

mengeraskan adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api

adalah aktor pengubah dalam alam ini, sehingga api pantas dianggap sebagai

simbol perubahan itu sendiri.

Pythagoras (580-500 SM) berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama

dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur bilangan merupakan juga unsur

yang terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap

dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Menurut Abu Al Hasan Al Amiri, seorang

filosof muslim Phitagoras belajar geometri dan matematika dari orang-orang

mesir (Rowston, dalam Kartanegara, 2003). Filosof alam ternyata tidak dapat

memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum “sofis”.

Kaum sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa ini

memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah

ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia

menyatakan bahwa “manusia” adalah ukuran kebenaran.

Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran

kaum sofis karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus

merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru. Socrates, Plato, dan

Aristoteles menolak relativisme kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran

obyektif yang bergantung kepada manusia.

Page 42: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

37

Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani

karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara

filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah

Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates. Menurutnya, kebenaran

umum itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Puncak

kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid

Plato, berhasil menemukan pemecahan persoalanpersoalan besar filsafat yang

dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika.

Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme.

Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga premis:

- Semua manusia akan mati (premis mayor).

- Socrates seorang manusia (premis minor).

- Socrates akan mati (konklusi).

Aristoteles dianggap bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar

dan metode ilmiah secara sistematis.

E. Indikator Penilaian Akhir Sesi Pembelajaran

No NIRM NAMA

MAHASISWA

Merumuskan Hipotesis (15%)

Ketepatan penjelasan

Kecermatan dalam

merumuskan

Kerjasama kelompok

1

III. PENUTUP

Pendahuluan memberikan gambaran penting secara menyeluruh materi

yang akan dipelajari selama 1 semester perkuliahan, termasuk tugas – tugas

yang akan dikerjakan oleh mahasiswa. Dengan demikian mahasiswa dapat

membuat perencanaan dan strategi menghadapi perkuliahan.

Page 43: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

38

DAFTAR PUSTAKA

Amsal Bahtiar, 2011. Filsafat Ilmu. Rajawali Press. Jakarta.

Suparlan Suhartono, 1997. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Konsep Dasar. Unhas.

Jujun S. Suriasumantri. 1993. Ilmu dalam perspektif. PT. Gramedia, Jakarta.

Jujun S. Suriasumantri. 1994. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer. Sinar Harapan, Jakarta.

Soetriono dan SRDM Rita Hanafie, 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Andi Yokyakarta.

Van Melsen. 1989. Ilmu pengetahuan dan tanggungjawab kita (terjemahan). PT. Gramedia, Jakarta.

Aceng Rahmat, Conny Semiawan, Diana Nomida, Ismail Arianto, Kinayati Djoyosuroto, Nadiroh, Nusa Putra, Sabarti akhadiah, 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Page 44: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

39

SARANA BERFIKIR ILMIAH

Kegiatan berfikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan ilmiah. Berpikir

merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berfikir ilmiah

merupakan berfikir dengan langkah – langkah metode ilmiah seperti

perumusan masalah, pengajuan hipotesis, pengkajian literatur, menjugi

hipotesis, menarik kesimpulan. Kesemua langkah – langkah berfikir dengan

metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat / sarana yang baik

sehingga diharapkan hasil dari berfikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan

hasil yang baik. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu

kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Tujuan

mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan

penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu

dimaksudkan untuk mendapatkan pengehahuan yang memungkinkan untuk

bisa memecahkan masalah sehari-hari. Ditinjau dari pola berfikirnya, maka

maka ilmu merupakan gabungan antara pola berfikir deduktif dan berfikir

induktif, untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses

logika deduktif dan logika indukti. Penalaran ilmiah mengharuskan kita

menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan

pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan.

Kemampuan berfikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana

berfikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kearah penguasaan itu adalah

mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berfikir tersebut

dalam keseluruhan berfikir ilmiah tersebut. Untuk dapat melakukan kegiatan

ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika,

matematika dan statistik.

DEFINISI HAKIKAT SARANA BERFIKIR ILMIAH

Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis adalah masuk akal,

dan empiris adalah dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat

dipertanggung jawabkan, selain itu menggunakan akal budi untuk

mempertimbangkan, memutuskan, dan mengembangkan. Berpikir merupakan

sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan

serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang

Page 45: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

40

akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Berpikir

ilmiah adalah kegiatan akal yang menggabungkan induksi dan deduksi. Induksi

adalah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat umum ditarik

dari pernyataan-pernyataan atau kasus-kasus yang bersifat khusus,

sedangkan, deduksi ialah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang

bersifat khusus ditarik dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.

Sarana berfikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam

berbagai langkah yang harus ditempuh tanpa penguasaan sarana berpikir

ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang

baik. Mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam

mendapatkan pengetahuannya sebab fungsi sarana berpikir ilmiah adalah

membantu proses metode ilmiah.

Pengertian Sarana Berfikir Ilmiah menurut para ahli :

1. Menurut Salam (1997:139): Berfikir ilmiah adalah proses atau aktivitas manusia

untuk menemukan/mendapatkan ilmu. Berfikir ilmiah adalah proses berpikir

untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.

2. Menurut Jujun S.Suriasumantri. Berpikir merupakan kegiatan akal untuk

memperoleh pengetahuan yang benar. Berpikir ilmiah adalah kegiatan akal

yang menggabungkan induksi dan deduksi.

3. Menurut Kartono (1996, dalam Khodijah 2006:118). Berpikir ilmiah, yaitu

berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek

disertai pembuktian-pembuktian.

4. Menurut Eman Sulaeman. Berfikir ilmiah merupakan proses

berfikir/pengembangan pikiran yang tersusun secara sistematis yang

berdasarkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah ada.

Ilmu pengetahuan telah didefenisikan dengan beberapa cara dan defenisi untuk

operasional. Berfikir secara ilmiah adalah upaya untuk menemukan kenyataan

dan ide yang belum diketahui sebelumnya. Ilmu merupakan proses kegiatan

mencari pengetahuan melalui pengamatan berdasarkan teori dan atau

generalisasi. Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya dan

selanjutnya hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan

Page 46: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

41

mengendalikan gejala alam. Adapun pengetahuan adalah keseluruhan hal

yang diketahui, yang membentuk persepsi tentang kebenaran atau fakta. Ilmu

adalah bagian dari pengetahuan, sebaliknya setiap pengetahuan belum tentu

ilmu. Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka

diperlukan sarana berpikir ilmiah yaitu bahasa, matematika, dan statistika..

Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif.

Statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Salah satu

langkah kearah penguasaan adalah mengetahui dengan benar peranan

masing-masing sarana berpikir dalam keseluruhan proses berpikir ilmiah.

Untuk itu terdapat syarat-syarat yang membedakan ilmu (science), dengan

pengetahuan (knowledge), antara lain :

1. Menurut Prof.Dr.Prajudi Atmosudiro, Adm. Dan Management Umum 1982. Ilmu

harus ada obyeknya, terminologinya, metodologinya, filosofinya dan teorinya

yang khas.

2. Menurut Prof.DR.Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial 1985. Ilmu

juga harus memiliki objek, metode, sistematika dan mesti bersifat universal.

Sumber-sumber pengetahuan manusia dikelompokkan atas:

¬� Pengalaman.

¬� Otoritas .

¬� Cara berfikir deduktif.

¬� Cara berfikir induktif .

¬� Berfikir ilmiah (pendekatan ilmiah).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dari sarana berpikir ilmiah adalah :

1. Sarana berfikir ilmiah bukanlah ilmu melainkan kumpulan pengetahuan yang

didapatkan berdasarkan metode ilmu.

2. Tujuan mempelajari metode ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan

penelaahan ilmiah secara baik.

Page 47: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

42

Berfikir merupakan ciri utama bagi manusia. Berfikir disebut juga sebagai

proses bekerjanya akal. Secara garis besar berfikir dapat dibedakan antara

berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berfikir alamiah adalah pola penalaran yang

berdasarkan kehidupan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Berfikir

ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan

cermat. Harus disadari bahwa tiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir

serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin

Seseorang yang tidak berpikir berada sangat jauh dari kebenaran dan

menjalani sebuah kehidupan yang penuh kepalsuan dan kesesatan.

Akibatnya ia tidak akan mengetahui tujuan penciptaan alam, dan arti

keberadaan dirinya di dunia. Banyak yang beranggapan bahwa untuk “berpikir

secara mendalam”, seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak

tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian

dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap “berpikir

secara mendalam” sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan.

Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan “filosof”.

Bagi seorang ilmuan penguasaan sarana berfikir ilmiah merupakan suatu

keharusan, karena tanpa adanya penguasaan sarana ilmiah, maka tidak akan

dapat melaksanakan kegiatan ilmiah dengan baik. Sarana ilmiah pada

dasarnya merupakan alat untuk membantu kegiatan ilmiah dengan berbagai

langkah yang harus ditempuh.

Sarana berfikir ilmiah pada dasarnya ada tiga, yaitu : bahasa ilmiah, logika dan

matematika, logika dan statistika. Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat

komunikasi untuk menyampaikan jalan fikiran seluruh proses berfikir ilmiah.

Logika dan matematika mempunyai peranan penting dalam berfikir deduktif

sehingga mudah diikuti dan mudah dilacak kembali kebenarannya. Sedang

logika dan statistika mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif dan

mencari konsep-konsep yang berlaku umum

Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah untuk memungkinkan kita

untuk menelaah ilmu secara baik. Sedangkan tujuan mempelajari ilmu

dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk

dapat memecahkan masalah kita sehari-hari.

Page 48: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

43

Fungsi berfikir ilmiah , sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan dalam kaitan

kegiatan ilmiah secara keseluruhan. Dalam hal ini berpikir ilmiah merupakan

alat bagi cabang-cabang ilmu untuk mengembangkan materi pengetahuaannya

berdasarkan metode ilmiah.

Pada hakikatnya sarana berfikir ilmiah merupakan alat yang membantu

kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada

langkah tertentu biasanya diperlukan sarana yang tertentu pula. Oleh sebab

itulah maka sebelum kita mempelajari sarana-sarana berpikir ilmiah ini kita

harus dapat menguasai langkah-langkah dalam kegiatan langkah

berfikir tersebut. Sebagai makhluk hidup yang paling mulia, manusia dikaruniai

kemampuan untuk mengetahui diri dan alam sekitarnya. Melalui pengetahuan,

manusia dapat mengatasi kendala dan kebutuhan demi kelangsungan

hidupnya.

Karenanya tidak salah jika Tuhan menyatakan manusialah yang memiliki peran

sebagai wakil. Tuhan dibumi, melalui penciptaan kebudayaan. Proses

penciptaaan kebudayaan dan pengetahuan yang didapatkan oleh manusia di

mulai dari sebuah proses yang paling dasar, yakni kemampuan manusia untuk

berfikir. Meskipun sebenarnya hewan memiliki kemampuan yang sama dengan

manusia dalam hal berfikir, tetapi makhluk yang terakhir hanya dapat berfikir

dengan kemampuan terbatas pada instink dan demi kelangsungan hidupnya.

Berbeda dengan hewan, manusia dalam proses berfikir melampaui diri dan

kelangsungan hidupnya, bahkan hingga menghadirkan kebudayaan dan

peradaban yang menakjubkan. Sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat dilakukan

oleh makhluk Tuhan yang lain.

Selain berfikir ilmiah, terdapat dua contoh lain dimana sebuah kegiatan berfikir

tidak dapat disebut sebagai penalaran. Keduanya adalah berfikir dengan

intuisi dan berfikir berdasarkan wahyu. Intuisi adalah kegiatan berfikir manusia,

yang melibatkan pengalaman langsung dalam mendapatkan suatu

pengetahuan. Namun, intuisi tidak memiliki pola fikir tertentu, sehingga ia tidak

dapat dikategorikan sebagai kegiatan penalaran. Sebagai misal, seorang Ayah

merasa tidak tenang dengan kondisi anaknya yang sedang menuntut ilmu di

luar kota. Tetapi ketika ditanyakan apa sebab yang menjadi dasar

Page 49: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

44

ketidaktenangan dirinya, sang Ayah tidak dapat menyebutkannya dan hanya

beralasan bahwa perasaannya menyatakan ada yang tidak beres dengan si

anak yang ada di luar kota. Setelah menyusul ke tempat anaknya, ternyata si

anak sedang sakit parah. Meskipun proses berfikir sang Ayah mendapatkan

kebenaran, tetapi tidak bisa disebut berfikir ilmiah, karena tidak memenuhi

suatu logika tertentu dan terlebih lagi tidak terdapat proses analitis terdapat

peristiwa ini.

Uraian mengenai hakikat berfikir ilmiah atau kegiatan

penalaran memperlihatkan bahwa pada dasarnya, kegiatan berfikir adalah

proses dasar dari pengetahuan manusia. kita membedakan antara

pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan non-ilmiah. Hanya saja,

pemahaman kita tentang berfikir ilmiah belum dapat disebut benar. Perbedaan

berfikir ilmiah dari berfikir non-ilmiah memiliki perbedaan dalam dua faktor

mendasar yaitu:

1. Sumber pengetahuan

Berfikir ilmiah menyandarkan sumber pengetahuan pada rasio dan pengalaman

manusia, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan

sumber pengetahuan pada perasaan manusia.

1. Ukuran kebenaran

Berfikir ilmiah mendasarkan ukuran kebenarannya pada logis dan analitisnya

suatu pengetahuan, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan wahyu)

mendasarkan kebenaran suatu pengetahuan pada keyakinan semata.

PERAN BAHASA DALAM SARANA BERFIKIR ILMIAH

Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses

berpikir ilmiah. Definisi bahasa menurut Jujun Suparjan Suriasumantri

menyebut bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang membentuk

makna. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diterangkan bahwa

bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para

anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan

Page 50: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

45

mengidentifikasikan diri. Jadi bahasa menekankan pada bunyi, lambang,

sistematika, komunikasi.

Adapun ciri-ciri bahasa di antaranya yaitu:

1. Sistematis artinya memiliki pola dan aturan.

2. Arbitrer (manasuka) artinya kata sebagai simbol berhubungan secara tidak

logis dengan apa yang disimbolkannya.

3. Ucapan/vokal. Bahasa berupa bunyi

4. Sebagai symbol yang mengaju pada objeknya dan lain sebagainya.

Kelemahan bahasa dalam menghambat komunikasi ilmiah yaitu :

Bahasa mempunyai multifungsi (ekspresif, konatif, representasional, informatif,

deskriptif, simbolik, emotif, afektif) yang dalam praktiknya sukar untuk dipisah-

pisahkan. Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan

afektifnya ketika mengomunikasikan pengetahuan informatifnya.

Keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuannya berfikir melainkan

terletak pada kemampuannya berbahasa. Oleh karena itu, Ernest menyebut

manusia sebagai Animal Symbolycum, yaitu makhluk yang mempergunakan

symbol. Bahasa Sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan

dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berfikir sistematis dalam

menggapai ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai

kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berfikir

sebagai secara sistematis dan teratur. Dengan kemampuan kebahasaan akan

terbentang luas cakrawala berfikir seseorang dan tiada batas dunia. Yang

dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana

komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa

pengetahuan, syarat-syarat bebas dari unsur emotif, reproduktif, obyektif dan

eksplisit.

Bahasa memegang peran penting dan suatu hal yang lazim dalam kehidupan

manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatiakan

bahasa dan menggapnya sebagai suatu hal yang bisa, seperti bernafas dan

berjalan. Padahal bahasa mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa dan

termasuk yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya. Banyak ahli

Page 51: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

46

bahasayang telah memberikan uraiannya tentang pengertiannya tentang

pegertian bahasa. Pernyataan tersebut tentunya berbeda-beda cara

menyampikannya. Seperti pendapat Bloch and Trager mengatakan bahwa : a

language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which

asocial group cooperates (bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol bunyi

yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat untuk

komunikasi). Peran bahasa disini adalah sebagai alat komunikasi untuk

menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah dan sebagai sarana

komunikasi antar manusia tanpa bahasa tiada komunikasi.

Adapun ciri-ciri bahasa ilmiah yaitu:

1. Informatif yang berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau

pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan

jelas untuk menghindari kesalah pahaman Informasi.

2. Reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi

yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya.

3. Intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-

makna yang sama bagi para pemakainya

4. Antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur

emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari

unsur informatif.

Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan

pikiran seluruh proses berpikir ilmiah. Yang dimaksud bahasa disini ialah

bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk

menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan dengan syarat-syarat:

Bebas dari unsur emotif, Reproduktif, Obyektif, Eksplisit.

Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama yakni,

1. Sebagai sarana komunikasi antar manusia.

2. Sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang

mempergunakan bahasa tersebut.

Page 52: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

47

Bahasa adalah unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di dalam jaringan

kebudayaan. Pada waktu yang sama bahasa merupakan sarana

pengungkapan nilai-nilai budaya, pikiran, dan nilai-nilai kehidupan

kemasyarakatan. Oleh karena itu, kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam

bidang kebahasaan harus merupakan bagian yang integral dari kebijaksanaan

nasional yang tegas di dalam bidang kebudayaan. Perkembangan kebudayaan

Indonesia ke arah peradaban modern sejalan dengan kemajuan dan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya

perkembangan cara berpikir yang ditandai oleh kecermatan, ketepatan, dan

kesanggupan menyatakan isi pikiran secara eksplisit.

Berpikir dan mengungkapkan isi pikiran ini harus dipenuhi oleh bahasa

Indonesia sebagai sarana komunikasi dan sebagai sarana berpikir ilmiah dalam

hubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta

modernisasi masyarakat Indonesia. Selain itu, mutu dan kemampuan bahasa

Indonesia sebagai sarana komunikasi keagamaan perlu pula

ditingkatkan. Bahasa Indonesia harus dibina dan dikembangkan

sedemikian rupa sehingga ia memiliki kesanggupan menyatakan dengan

tegas, jelas, dan eksplisit konsep-konsep yang rumit dan abstrak.

Para ahli filsafat bahasa dan psikolinguitik melihat fungsi bahasa sebagai

sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi. Sedangkan aliran

sisiolinguistik berpendapat bahwa fungsi bahasa adalah sarana untuk

perubahan masyarakat. Walaupun terdapat perbedaan tetapi pendapat ini

saling melengkapi satu sama lainnya. Secara umum dapat dinyatakan bahwa

fungsi bahasa adalah :

1. Koordinator kegiatan-kegiatan dalam masyarakat.

2. Penetapan pemikiran dan pengungkapan.

3. Penyampaian pikiran dan perasaan

4. Penyenangan jiwa

5. Pengurangan kegonjangan jiwa

Kneller mengemukakan 3 fungsi bahasa yaitu:

1. Simbolik menonjol dalam komunikasi ilmiah.

2. Emotif menonjol dalam komunikasi estetik.

Page 53: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

48

3. Afektif (George F. Kneller dalam jujun, 1990, 175).

Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsur

simbolik dan emotif, artinya, kalau kita berbicara maka pada hakikatnya

informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga

kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur-

unsur informatife. Menurut Jujun S. Suriasumantri, 1990, 175, dalam

komunikasi ilmiah proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif, agar

pesan itu reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan.

Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi

bahasa adalah sebagai berikut:

1. Instrumental yaitu: penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal yang

bersifat materi seperti makan, minum, dan sebagainya.

2. Fungsi Regulatoris yaitu: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan

tingkah laku.

3. Fungsi Interaksional yaitu: penggunaan bahasa untuk saling

mencurahkan perasaan pemikiran antara seseorang dan orang lain.

4. Fungsi Personal yaitu: seseorang menggunakan bahasa untuk mencurahkan

perasaan dan pikiran.

5. Fungsi Heuristik yaitu : penggunaan bahasa untuk mengungkap tabir

fenomena dan keinginan untuk mempelajarinya.

6. Fungsi Imajinatif yaitu: penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi

seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery seseorang dan tidak

sesuai dengan realita (dunia nyata).

7. Fungsi Representasional yaitu: penggunaan bahasa untuk menggambarkan

pemikiran dan wawasan.

8. Untuk menelaah bahasa ilmiah perlu dijelaskan tentang pengolongan bahasa.

Ada dua pengolongan bahasa yang umumnya dibedakan yaitu :

1. Bahasa alamiah yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan untuk menyatakan

sesuatu, yang tumbuh atas pengaruh alam sekelilingnya. Bahasa alamiah

dibagi menjadi dua yaitu: bahasa isyarat dan bahasa biasa.

Page 54: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

49

2. Bahasa buatan adalah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan akar pikiran untuk maksud tertentu. Bahasa

buatan dibedakan menjadi dua bagian yaitu: bahasa istilah dan bahasa

antifisial atau bahasa simbolik.

Perbedaan bahasa alamiah dan bahasa buatan adalah sebagai berikut:

1. Bahasa alamiah antara kata dan makna merupakan satu kesatuan utuh, atas

dasar kebiasaan sehari-hari, karena bahasanya secara spontan, bersifat

kebiasaan, intuitif (bisikan hati) dan pernyataan langsung.

2. Bahasa buatan antara istilah dan konsep merupakan satu kesatuan bersifat

relatif, atas dasar pemikiran akal karena bahasanya berdasarkan pemikiran,

sekehendak hati, diskursif (logika, luas arti) dan pernyataan tidak langsung.

Dari uraian diatas tentang bahasa, bahasa buatan inilah yang dimaksudkan

bahasa ilmiah. Dengan demikian bahasa ilmiah dapat dirumuskan, bahasa

buatan yang diciptakan para ahli dalam bidangnya dengan mengunakan istilah-

istilah atau lambang-lambang untuk mewakili pengertian-pengertian tertentu.

Dan bahasa ilmiah inilah pada dasarnya merupakan kalimat-kalimat deklaratif

atau suatu pernyataan yang dapat dinilai benar atau salah, baik mengunakan

bahasa biasa sebagai bahasa pengantar untuk mengkomunikasikan karya

ilmiah.

PERAN MATEMATIKA DALAM BERFIKIR ILMIAH

Untuk melakuakan kegiatan ilmiah secara lebih baik diperlukan sarana berfikir

salah satunya adalah Matematika. Sarana tersebut memungkinkan

dilakukannya penelahaan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan

secara berfikir ini ada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan

ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Matematika adalah

bahasa yang melambaikan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita

sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artificial yang baru

mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka

matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.

Page 55: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

50

Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan yang sangat mengganggu.

Untuk mengatasi kekurangan kita berpaling kepada matematika. Matematika

adalah bahasa yang berusaha menghilangkan sifat kabur, majemuk dan

emosional dari bahasa verbal. Umpamanya: kita sedang mempelajari

kecepatan jalan kaki seorang anak maka objek kecepatan jalan kaki seorang

anak dilambangkan x, dalam hal ini maka x hanya mempunyai arti yang jelas

yakni kecepatan jalan kaki seorang anak. Demikian juga bila kita hubungkan

kecepatan jalan kaki seorang ana dengan obyek lain misalnya: jarak yang

ditempuh seorang anak”yang kita lambangkan dengan y, maka kita

lambangkan hubungan tersebut dengan z = y / x dimana z melambangkan

“waktu berjalan kaki seorang anak”. Pernyataan z = y / x tidak mempunyai

konotasi emosional, selain itu bersifat jelas dan spesifik.

Matematika merupakan salah satu puncak kegemilangan intelektual.

Disamping pengetahuan mengenai matematika itu sendiri, matematika juga

memberikan bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu suatu bentuk

kekuasaan. Fungsi matematika menjadi sangat penting dalam perkembangan

macam-macam ilmu pengetahuan. Matematika dalam perkembangannya

memberikan masukan-masukan pada bidang-bidang keilmuan yang lainnya.

Konstribusi matematika dalam perkembangan ilmu alam lebih ditandai dengan

pengunaan lambang-lambang bilangan untuk menghitung dan mengukur, objek

ilmu alam misal gejala-gejalah alam yang dapat diamatidan dilakukan

penelaahan secara berulang-ulang. Berbeda dengan ilmu sosial yang memiliki

objek penelaahan yang kompleks dan sulit melakukan pengamatan. Disamping

objeknya yang tak terulang maka kontribusi matematika tidak mengutamakan

pada lambang-lambang bilangan.

Matematika memiliki struktur dengan keterkaitan yang kuat dan jelas satu

dengan lainnya serta berpola pikir yang bersifat deduktif dan konsisten.

Matematika merupakan alat yang dapat memperjelas dan menyederhanakan

suatu keadaan atau situasi melalui abstraksi, idealisasi, atau generalisasi untuk

suatu studi ataupun pemecahan masalah. Pentingnya matematika tidak lepas

dari perannya dalam segala jenis dimensi kehidupan. Mengkomunikasikan

gagasan dengan bahasa matematika justru lebih praktis, sistematis, dan

efisien. Begitu pentingnya matematika sehingga bahasa matematika

Page 56: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

51

merupakan bagian dari bahasa yang digunakan dalam masyarakat. Hal

tersebut menunjukkan pentingnya peran dan fungsi matematika, terutama

sebagai sarana untuk memecahkan masalah baik pada matematika maupun

dalam bidang.

Peranan Matematiki sebagai sarana berfikir ilmiah dapat menggunakan alat-

alat yang mempunyai kemampuan sebagai berikut:

1. Menggunakan algoritma.

2. Melakukan manupulasi secara matematika.

3. Mengorganisasikan data.

4. Memanfaatkan symbol, table dan grafik.

5. Mengenal dan menenukan pola.

6. Menarik kesimpulan.

7. Membuat kalimat atau model matematika.

8. Membuat interpretasi bangun geometri.

9. Memahami pengukuran dan satuanya.

10. Menggunakan alat hitung dan alat bantu lainya dalam matematika, seperti tabel

matematika, kalkulator, dan komputer.

Adapun kelebihan dan kekurangan matematika:

1. Kelebihan matematika adalah: tidak memiliki unsur emotif dan bahasa

matematika sangat universal.

2. Kelemahan dari matematika adalah bahwa matematika tidak mengandung

bahasa emosional (tidak mengandung estetika) artinya bahwa matematika

penuh dengan simbol yang bersifat artifersial dan berlaku dimana saja.

PERAN STATISKA DALAM BERFIKIR ILMIAH

Statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Konsep statistika

sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi

tertentu. Statistika memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang

bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang

bersangkutan. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat

ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada dasarnya didasarkan

Page 57: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

52

pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil

maka makin tinggi tingkat ketelitian tersebut dan sebaliknya

1. Menurut Anas Sudiono dalam bakhtiar, 2010, 198, secara etimologi kata

statistik berasal dari kata status (bahasa latin) yang mempunyai persamaan arti

dengan state (bahasa Inggris) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan

dengan negara. Pada mulanya kata statistik diartikan sebagai kumpulan bahan

keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang

tidak berwujud angka (data kualitatif), yang mempunyai arti penting dan

kegunaan bagi suatu negara. Namun pada perkembangan selanjutnya, arti

kata statistik hanya dibatasi dengan kumpulan bahan keterangan yang

berwujud angka data kuantitatif saja.

2. Sedangkan menurut (Sudjana 1996 : 3) Statistika adalah pengetahuan yang

berhubungan dengan cara-cara pengumpulan data, pengelolaan atau

penganalisiannya dan penarikan kesimpulan berdasarkan kumpulan data dan

penganalisisan yang dilakukan.

Jadi statistika merupakan sekumpulan metode dalam memperoleh

pengetahuan untuk mengelolah dan menganalisis data dalam mengambil

suatu kesimpulan kegiatan ilmiah. Untuk dapat mengambil suatu keputusan

dalam kegiatan ilmiah diperlukan data-data, metode penelitian serta

penganalisaan harus akurat. Statistika diterapkan secara luas dan hampir

semua pengambilan keputusan dalam bidang manajemen. Peranan statiska

diterapkan dalam penelitian pasar, produksi, kebijaksanaan penanaman modal,

kontrol kualitas, seleksi pegawai, kerangka percobaan industri, ramalan

ekonomi, auditing, pemilihan resiko dalam pemberian kredit dan lain

sebagainya.

Peranan Statistika dalam tahap-tahap metode keilmuan:

1. Alat untuk menghitung besarnya anggota sampel yang akan diambil dari

populas.

2. Alat untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen..

3. Teknik untuk menyajikan data-data, sehingga data lebih komunikatif.

4. Alat untuk analisis data seperti menguji hipotesis penelitian yang diajukan.

Page 58: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

53

Adapun hubungan statiska antara Sarana berfikir Ilmiah Bahasa, Matematika

dan Statistika, yaitu sebagaimana yang kita bahas sebelumnya, agar dapat

melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, diperlukan sarana bahasa,

matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang

dipakai dalam kegiatan berpikir ilmiah, dimana bahasa menjadi alat komunikasi

untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Dan ditinjau dari

pola berpikirnya, maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan

berpikir induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir

deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir

induktif. Penalaran induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan yang

memiliki ruang lingkup yang khas dan terbatas untuk menyusun argumentasi

yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Sedangkan deduktif,

merupakan cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik

kesimpulan yang bersifat khusus, dengan memakai pola berpikir silogismus.

PENUTUP

Berfikir merupakan ciri utama bagi manusia. Berfikir disebut juga sebagai

proses bekerjanya akal. Secara garis besar berfikir dapat dibedakan antara

berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berfikir alamiah adalah pola penalaran yang

berdasarkan kehidupan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya.

Sedangkan berfikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu

secara teratur dan cermat. Adapun salah satu pendapat dari para ahli

mendefinisikan atau berpendapat bahwa berfikir ilmiah adalah berfikir yang

logis dan empiris. Logis masuk akal, empiris dibahas secara mendalam

berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan . Sarana berfikir ilmiah

pada dasarnya ada tiga (3) yaitu : Bahasa sebagai sarana berfikir ilmiah,

Matematika sebagai sarana berfikir ilmiah,dan Statistika sebagai sarana befikir

ilmiah.

1. Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan

fikiran seluruh proses berfikir ilmiah.

2. Matematika mempunyai peranan penting dalam berfikir deduktif sehingga

mudah diikuti dan mudah dilacak kembali kebenarannya. Sedangkan

Page 59: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

54

3. Statistika mempunyai peranan penting dalam berfikir induktif dan mencari

konsep-konsep yang berlaku umum.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung: Mulia Press.

Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan.

Suriasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan.

Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta:

Rineka Cipta.

Page 60: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

55

Metode Ilmiah dan kebenaran ilmiah

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami

kemajuan, sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara

berpikir manusia. Bangsa Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

tidak akan bisa maju selama belum memperbaiki kualitas sumber daya

manusia bangsa kita. Kualitas hidup bangsa dapat meningkat jika ditunjang

dengan sistem pendidikan yang mapan. Dengan sistem pendidikan yang

mapan, memungkinkan kita berpikir kritis, kreatif, dan produktif.

Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa negara kita ingin mewujudkan

masyarakat yang cerdas. Untuk mencapai bangsa yang cerdas, harus

terbentuk masyarakat belajar. Masyarakat belajar dapat terbentuk jika memiliki

kemampuan dan keterampilan mendengar dan minat yang besar.

Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh

para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini

menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya

suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah

Sedangkan Kebenaran ilmiah merupakan sesuatu yang krusial dalam

kehidupan ini. Sering kali dengan dalih sebuah kebenaran seseorang,

kelompok, lembaga, atau bahkan negara akan menghalalkan tindakan

terhadap orang lain karena dianggap sudah melakukan tindakan yang benar.

Begitu pula dalam bidang pendidikan tidak mungkin seorang guru melakukan

pendidikan,dan pengajaran terhadap peserta didik jika tidak meyakini sebuah

kebenaran. Sebagaimana ilustrasi yang digambarkan Jujun S. Suriasumantri,

yang menggambarkan seorang peserta didik yang mogok tidak mau

belajar walaupun orang tuanya sudah merayunya, memberikan iming-iming

hadiah, bahkan hukuman fisik agar anaknya mau belajar matematika. Ketika

ditelusuri alasan anak tersebut mogok belajar karena seorang guru

matematika di sekolahnya dianggap sebagai pembohong. Pada suatu hari guru

tersebut mengatakan bahwa 3+ 4 = 7, pada hari berikutnya 5+2 = 7, kemudian

pada hari lainnya 6+1 =7 dan seterusnya. Menurut pemikiran anak tersebut

Page 61: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

56

dengan keterbatasan pikirannya, guru matematika yang mengajarnya tidak

konsisten dengan apa yang dikatakan sebelumnya, sehingga dianggap sebagai

pembohong.[1]

Ilustrasi tersebut jika diuji materil kebenaran dengan pendekatan

matematika semua yang disampaikan guru matematika tersebut benar, akan

tetapi keterbatasan seorang peserta didik menganggap itu salah. Sehingga

menimbulkan dampak-dampak negatif maupun positif dalam kehidupan. Oleh

karena itu bagaimana sesuatu dianggap benar, dan apa yang menjadi kriteria

kebenarannya. Kebenaran tidak mungkin berdiri sendiri jika tidak ditopang

dengan dasar-dasar penunjangnya, baik pernyataan, teori, keterkaitan,

konsistensi, keterukuran , dapat dibuktikan, berfungsi, dan bersifat netral atau

tidak netral. Untuk mencapai sebuah kebenaran ada beberapa tahapan yang

harus dilalui, baik itu rasional, hipotesa, kausalitas, anggapan sementara, teori,

atau sudah menjadi hukum kebenaran. Tahapan untuk mendapat kebenaran

tersebut dapat dilihat dengan menggunakan alat kajian filsafat, baik filsafafat

Yunani, filsafat Barat, ataupun filsafat Islam.

METODE ILMIAH DAN KEBENARAN ILMIAH

A. Metode Ilmiah

1. Pengertian Metode Ilmiah

Metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap

penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Juga dapat diartikan

bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh

sesuatu interelasi.”[2]

Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para

ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan

langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode

yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut

harus mempunyai kriteria sebagai berikut:

a. Berdasarkan fakta

b. Bebas dari prasangka

c. Menggunakan prinsip-prinsip analisa

d. Menggunakan hipolesa

Page 62: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

57

e. Menggunakan ukuran objektif

f. Menggunakan teknik kuantifikasi[3]

Adapun Pelaksanaan metode ilmiah ini meliputi tujuh tahap, yaitu :

a. Merumuskan masalah. Masalah adalah sesuatu yang harus

diselesaikan.

b. Mengumpulkan keterangan, yaitu segala informasi yang mengarah dan

dekat pada pemecahan masalah. Sering disebut juga mengkaji teori atau kajian

pustaka.

c. Menyusun hipotesis.Hipotesis merupakan jawaban sementara yang

disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama observasi

atau telaah pustaka.

d. Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan atau penelitian.

e. Mengolah data (hasil) percobaan dengan menggunakan metode

statistik untuk menghasilkan kesimpulan.Hasil penelitian dengan metode ini

adalah data yang objektif, tidak dipengaruhi subyektifitas ilmuwan peneliti dan

universal (dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja akan memberikan hasil

yang sama).

f. Menguji kesimpulan. Untuk meyakinkan kebenaran hipotesis melalui hasil

percobaan perlu dilakukan uji ulang. Apabila hasil uji senantiasa mendukung

hipotesis maka hipotesis itu bisa menjadi kaidah (hukum) dan bahkan menjadi

teori.

g. Menulis laporan Ilmiah.Untuk mengkomunikasikan hasil penelitian kepada

orang lain sehingga orang lain tahu bahwa kita telah melakukan suatu

penelitian ilmiah.[4]

Metode ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah semestinya dimiliki

oleh setiap penelitian dan ilmuwan. Adapun sikap ilmiah yang dimaksud adalah

:

1. Rasa ingin tahu

2. Jujur (menerima kenyataan hasil penelitian dan tidak mengada-

ada)

3. Objektif (sesuai fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh

perasaan pribadi)

Page 63: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

58

4. Tekun (tidak putus asa)

5. Teliti (tidak ceroboh dan tidak melakukan kesalahan)

6. Terbuka (mau menerima pendapat yang benar dari orang lain)[5]

Salah satu hal yang penting dalam dunia ilmu adalah penelitian

(research). Research berasal dari kata re yang berarti kembali dan search yang

berarti mencari, sehingga research atau penelitian dapat didefinisikan sebagai

suatu usaha untuk mengembangkan dan mengkaji kebenaran suatu

pengetahuan.

Research, menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English

(1961) ialah penyelidikan atau pencarian yang seksama untuk memperoleh

fakta baru dalam cabang ilmu pengetahuan.

Menurut Fellin, Tripodi dan Meyer (1969) riset adalah suatu cara

sistematik untuk maksud meningkatkan, memodifikasi dan mengembangkan

pengetahuan yang dapat disampaikan (dikomunikasikan) dan diuji (diverifikasi)

oleh peneliti lain.

Ciri-ciri riset adalah sebagai berikut, yaitu bahwa riset: (Abisujak, 1981)

a. Dilakukan dengan cara-cara yang sistematik dan seksama.

b. Bertujuan meningkatkan, memdofikasi dan mengembangkan pengetahuan

(menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan)

c. Dilakukan melalui pencarian fakta yang nyata

d. Dapat disampaikan (dikomunikasikan) oleh peneliti lain

e. Dapat diuji kebenarannya (diverifikasi) oleh peneliti lain[6]

2. Penelitian Ilmiah

Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah.

Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan

sebagai penelitian ilmiah. Umumnya ada lima karakteristik penelitian ilmiah,

yaitu:

a. Sistematik, Berarti suatu penelitian harus disusun dan dilaksanakan

secara berurutan sesuai pola dan kaidah yang benar, dari yang mudah dan

sederhana sampai yang kompleks.

Page 64: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

59

b. Logis, Suatu penelitian dikatakan benar bila dapat diterima akal dan

berdasarkan fakta empirik. Pencarian kebenaran harus berlangsung menurut

prosedur atau kaidah bekerjanya akal, yaitu logika. Prosedur penalaran yang

dipakai bisa prosedur induktif yaitu cara berpikir untuk menarik kesimpulan

umum dari berbagai kasus individual (khusus) atau prosedur deduktif yaitu cara

berpikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan yang

bersifat umum.

c. Empirik, artinya suatu penelitian biasanya didasarkan pada pengalaman

sehari-hari (fakta aposteriori, yaitu fakta dari kesan indra) yang ditemukan atau

melalui hasil coba-coba yang kemudian diangkat sebagai hasil penelitian.

d. Obyektif, artinya suatu penelitian menjahui aspek-aspek subyektif yaitu

tidak mencampurkannya dengan nilai-nilai etis.

e. Replikatif, artinya suatu penelitian yang pernah dilakukan harus diuji

kembali oleh peneliti lain dan harus memberikan hasil yang sama bila dilakukan

dengan metode, kriteria, dan kondisi yang sama. Agar bersifat replikatif,

penyusunan definisi operasional variabel menjadi langkah penting bagi seorang

peneliti.[7]

3. Jenis-Jenis Penelitian Ilmiah

Ada tiga tingkatan penelitian ilmiah untuk sampai kepada perwujudan

ilmu/teori, yaitu :

a. Penelitian Eksploratif,Penelitian ekploratif adalah penelitian dalam untuk upaya

mencari masalah/menjajagi masalah.

b. Penelitian Pengembangan

c. Penelitian Verifikasi

.

B. Kebenaran Ilmiah

1. Pengertian Kebenaran

Kebenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianggap benar,

misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filasafat, juga

kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang

maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat

pengenal.[8]

Page 65: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

60

Sebelum mencapai kebenaran yang berupa pernyataan dengan

pendekatan teori ilmiah sebagaiamana kerangka ilmiah, akan lebih baik jika

kita mengetahui terlebih dahulu pengetauan ini bersifat logis, rasional tidak.

Sebagaimana diungkap Ahmad Tafsir dalam kerangka berfikir sebagai berikut:

a. Yang logis ialah yang masuk akal

b. Yang logis itu mencakup yang rasional dan supra-rasional

c. Yang rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam

d. Yang supra-rasional ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan

hukum alam.

e. Istilah logis boleh dipakai dalam pengertian rasional atau dalam pengertian

supra rasional.[9]

Beberapa definisi kebenaran dapat kita kaji bersama dari beberapa

sumber, antara lain, Kamus umum Bahasa Indonesia ( oleh Purwadarminta),

arti kebenaran yaitu: 1. Keadaan yang benar ( cocok dengan hal atau

keadaan sesungguhnya), 2. Sesuatu yang benar ( sunguh-sungguh ada, betul

demikian halnya), 3. Kejujuran, ketulusan hati, 4. Selalu izin,perkenan, 5. Jalan

kebetulan.[10]

Imam Wahyudi, seorang dosen Filsafat Pengetahuan dan filsafat Ilmu

UGM, kebenaran dikelompokkan dalam tiga makna, yaitu kebenaran moral,

kebenaran logis dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan

etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang

kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemology, logika dan

psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif.

Sedangkan kebenaran metafisik berkaitan dengan yang ada sejauh

berhadapan dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada

akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang

menyatakannya.[11]

Menurut teori kebenaran metafisik/ontologis, kebenaran adalah kualitas

individual atas objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan

bersifat objektif, ia didapat dari sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui

intensionalitas, tidak diperoleh dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu, misal

kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Dengan demikian kebenaran

Page 66: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

61

metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologis, pernyataan disebut benar

kalau memang yang mau dinyatakan itu sungguh ada.

Sedangkan menurut Noeng Muhajir, eksistensi kebenaran dalam aliran

filsafat yang satu berbeda dengan aliran filasafat lainnya. Positivisme hanya

mengakui kebenaran yang dapat ditangkap secara langsung atau tak langsung

lewat indra. Idealisme hanya mengakui kebenaran dunia ide, materi itu

hanyalah bayangan dari dunia ide. Sedangkan Islam berangkat dari eksistensi

kebenaran bersumber dari Allah Swt. Wahyu merupakan eksistensi kebenaran

yang mutlak benar. Eksisitensi wahyu merupakan kebenaran mutlak,

epistemologinya yang perlu dibenahi, juga model logika pembuktian

kebenarannya. Model logika yang dikembangkan di dunia Islam adalah logika

formal Aristoteles dengan mengganti pembuktian kebenaran formal dengan

pembuktian materil atau substansial, dan pembuktian kategorik dengan

pembuktian probabilitas.[12]

Lebih jauh Noeng Muhajir menawarkan epistemology berangkat dari dua

postulat, pertama semua yang gaib ( Zat Allah, alam barzah, surga dan

neraka) itu urusan Allah, bukan kawasan ilmu, sedangkan alam semesta

dengan beribu galaxy yang terbentang di muka kita adalah kawasan ilmu yang

dapat kita rambah. Kedua manusia itu makhluk lemah dibanding kebijakan

Allah, sehingga kebenaran mutlak dari Allah tidak tertangkap oleh manusia.[13]

Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat

merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang

ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka agama,

sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk

menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan

oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al Kindi dalam

bukunya Falsafah El Ula (First Philosophy). Al Kindi menyatakan bahwa kaum

fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena

pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai (Haeruddin, 2003).[14]

Dengan menggunakan berbagai pendekatan kebenaran dalam

mendapatkan pengetahuan, maka dibutuhkan berbagai kriteria kebenaran yang

disepakati secara konsensus, baik dengan cara mengadakan penelitian atau

Page 67: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

62

mengadakan perenungan. Dalam pendekatan ini dibedakan menjadi dua

pendekatan kebenaran, yaitu kebenaran ilmiah dan kebenaran non ilmiah.

Kebenaran ilmiah akan dijelaskan secara rinci dalam makalah ini. Sedangkan

kebenaran non ilmiah juga ada di masyarakat, akan tetapi sulit untuk dapat

dipertanggungjawabkan secara kajian ilmiah. Kebenaran non ilmiah antara lain:

T Kebenaran karena kebetulan : kebenaran yang didapat dari kebetulan dan

tidak ditemukan secara ilmiah, tidak dapat diandalkan karena terkadang kita

tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Misalnya radio tidak ada

suaranya, dipukul, kemudian bunyi.

T Kebenaran karena akal sehat ( common sense): Akal sehat adalah

serangkaian konsep yang dipercaya dapat memecahkan masalah secara

praktis. Contoh kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat utama untuk

pendidikan adalah termasuk kebenaran akal sehat. Akan tetapi penelitian

psikologi membuktikan hal tersebut tidak benar, bahkan lebih membahayakan

masa depan peserta didik.

T Kebenaran intuitif: kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa

menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar

dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang

berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang.

T Kebenaran karena trial dan error: kebenaran yang diperoleh karena

mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi, dan parameter-

parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Hal ini membutuhkan waktu

lama dan biaya tinggi.

T Kebenaran spekulasi : kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun

kurang dipikirkan secara matang, dikerjakan penuh risiko, relative lebih cepat

dan biaya lebih rendah.

T Kebenaran karena kewibawaan : kebenaran yang diterima karena

pengaruh kewibawaan seseorang, bisa sebagai ilmuwan, pakar, atau orang

yang memiliki otoritas dalam suatu bidang tertentu. Kebenaran yang keluar

darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar

bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah.

T Kebenaran agama dan wahyu : kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan

rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tetapi

Page 68: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

63

sebagian yang lain tidak. Manusia memiliki keterbatasan dalam menangkap

kebenaran dari Allah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Al-Qur`an

sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw diyakini

kebenarannya bagi kaum muslimin, tetapi tidak diyakini kebenaran bagi yang

non muslim. Begitu juga kebenaran pada kitab yang lainnya.[15]

Dengan mengetahui kebenaran berdasarkan pendekatan non-ilmiah

paling tidak kita dapat membedakan segala kebenaran yang berada di

masyarakat tersebut tidak teruji secara ilmiah, sehingga sulit untuk dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Nah sekarang bagaimana kebenaran

ditinjau dari pendekatan ilmiah.

2. Kriteria Kebenaran Ilmiah

Kriteria kebenaran sebagai dasar pengetahuan yang akan dibahas dalam

makalah ini, adalah kriteria kebenaran ilmiah dengan menggunakan beberapa

patokan dan pijakan yang dibuat para ahli sebelumnya. Kriteria kebenaran ini

juga tidak terlepas dari sejarah dan patokan apa yang dipakainya. Hal ini tidak

terlepas dari sifat kajian ilmiah, jika ada penemuan terbaru dalam bidang dan

hal yang sama dapat menggantikan penemuan sebelumnya. Dan ini juga tidak

terlepas dari filsafat manusia yang menghasilkan pada saat itu.

Menurut Roger yang dikutif Imam wahyudi, benar yang dipergunakan

dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama namun semuanya tidak

dapat diukur dengan standar yang sama (incommensurable), tidak ada satupun

yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu penyataan adalah benar

dalam suatu makna kata, namun salah pada makna lainnya. Misal kata ilmu

penciptaan sebagai pemiliki kebenaran menjadi bermakna keteraturan (

kosmos) diterima sebagai ilmiah , namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis

kebenaran tersebut tidak sama.[16]

Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu

kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus

dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.

Sebagai gambaran perhatikan tahapan dalam penelitian untuk

mendapatkan kebenaran adalah penelitian, kebenaran, ilmu pengetahuan,

proses, dan hasil

Page 69: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

64

Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui

penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian, maka diperoleh

suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena

tidak ada yang kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul

tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.

Bangunan suatu pengetahuan secara epistemology bertumpu pada

asumsi metafisis tertentu, dari metafisis ini menuntut suatu cara atau metode

yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang

dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Maka secara

epistemology kebenaran merupakan kesesuaian antara apa yang diklaim

sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek

pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek

yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. [17]

Sebelum membicarakan kriteria kebenaran secara ilmiah, alangkah

baiknya kita melihat pada saat berkomunikasi, seseorang harus menyusun

atau merangkai kata-kata yang dimilikinya menjadi suatu kalimat yang memiliki

arti. Contoh kalimat yang tidak memiliki arti adalah: “5 mencintai 7.” Secara

umum dapat dinyatakan bahwa kalimat adalah susunan kata-kata yang

memiliki arti yang dapat berupa:

_ Pertanyataan, dengan contoh: “Pintu itu tertutup”,

_ Pertanyaan, dengan contoh: “Apakah pintu itu tertutup?”,

_ Perintah, dengan contoh: “Tutup pintu itu!”, ataupun

_ Permintaan, dengan contoh: “Tolong pintunya ditutup.”

Dari empat macam kalimat tersebut, hanya pernyataan saja yang memiliki

nilai benar atau salah, tetapi tidak sekaligus benar atau salah. Meskipun para

ilmuwan, matematikawan, ataupun ahli-ahli lainnya sering menggunakan

beberapa macam kalimat tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka, namun

hanya pernyataan saja yang menjadi perhatian mereka dalam

mengembangkan ilmunya. Alasannya, kebenaran suatu teori ataupun pendapat

yang dikemukakan setiap ilmuwan, matematikawan, maupun para ahli lainnya

seperti ulama sebagai ahli agama merupakan suatu hal yang akan sangat

menentukan reputasi mereka. Karenanya, setiap ilmuwan, matematikawan,

Page 70: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

65

ataupun ahli-ahli lainnya akan berusaha untuk menghasilkan suatu pernyataan

atau teori yang benar. Suatu pernyataan (termasuk teori) tidak akan ada artinya

jika tidak bernilai benar. Karenanya, pembicaraan mengenai benar tidaknya

suatu kalimat yang memuat suatu teori telah menjadi pembicaraan dan

perdebatan para ahli filsafat dan logika sejak dahulu kala. Beberapa nama

menurut Yuyun S Suriasumantri yang patut diperhitungkan karena telah

berjasa untuk kita adalah Plato (427 – 347 SM), Aristoteles (384 − 322 SM),

Charles S Peirce (1839 − 1914), dan Bertrand Russell (1872 −

1970).[18] Paparan berikut akan membicarakan tentang kebenaran, dalam arti,

bilamana suatu pernyataan yang dimuat di dalam suatu kalimat disebut benar

dan bilamana disebut salah.

Kriteria kebenaran menurut Jujun S. Suriasumantri menggunakan dua teori

kebenaran yaitu terori koherensi dan teori korespondensi. Teori

koherensi adalah suatu teori yang menyimpulkan suatu pernyataan dianggap

benar bila pernyataan tersebut bersifat kehoren atau konsisten dengan

pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita mengganggap bahwa

semua manusia pasti akan mati adalah suatu pernyataan yang benar, maka

penyataan bahwa si pulan adalah seorang manusia dan si pulan pasti akan

mati adalah benar pula, karena pernyataan kedua adalah konsisten dengan

pernyataan pertama. Teori lainnya adalah teori korespondensi dengan

tokohnya Bertrand Russel (1872-1970 ), pernyataan dianggap benar jika

materi yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi ( berhubungan )

dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Misalnya Jika “ Ibu kota

Republik Indonesia adalah Jakarta” merupakan pernyataan yang benar sebab

pernyataan tersebut faktual yaitu Jakarta sebagai ibu kota Republik

Indonesia. Dan sekiranya ada orang yang menyatakan “ Ibu kota Republik

Indonesia adalah Bandung , maka pernyataan tersebut tidak benar.[19]

Teori korespondensi ini menurut Abbas merupakan teori kebenaran yang

paling awal, sehingga dapat digolongkan kepada teori kebenaran tradisional,

karena Aristoteles sejak awal ( sebelum abad modern ) mensyaratkan

kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang

diketahuinya.[20]

Page 71: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

66

Akan tetapi teori korespondensi ini bukan juga termasuk teori yang

sempurna tanpa kelemahan, karena dengan mensyarakatkan kebenaran harus

sesuai dengan kenyataan, maka dibutuhkan penginderaan yang akurat, nah

bagaimana dengan penginderan yang kurang cermat atau bahkan indra tidak

normal lagi? Disamping itu juga bagaimana dengan objek yang tidak dapat

diindra atau non empiris? Maka dengan teori korespondensi objek non empiris

tidak dapat dikaji kebenarannya.

Bagaimana dengan teori kebenaran koherensi ? Teori kebenaran

koherensi yang berpandangan bahwa pernyataan dikatakan benar bila

terdapat kesesuaian antara pernyataan yang satu dengan

pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu system pengetahaun yang

dianggap benar. Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu system yang unsur-

unsurnya berhubungan secara logis. Maka teori kebenaran ini termasuk teori

kebenaran tradisional menurut Imam wahyudi.[21] Kelemahan dari teori

koherensi ini terjebak dalam validitas, di mana teorinya dijaga agar selalu ada

koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun

ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar

sistemnya. Hal ini dapat mengarah kepada relativisme kebenaran.

Kedua teori inilah yaitu teori koherensi dan korespondensi yang

dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah untuk mendapat kebenaran ilmiah.

Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori

koherensi ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk

pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu

menggunakan teori kebenaran yang lain yaitu kebenaran pragmatis.

Teori pragmatis menurut Jujun S. Suriasumantri bukan merupakan aliran

filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam

penentuan kebenaran. Dimana kebenaran suatu pernyataan diukur dengan

apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

Artinya suatu penyataan adalah benar , jika pernyataan itu atau konsekuensi

dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan

manusia.[22]

Page 72: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

67

Kriteria kebenaran pragmatisme ini dipergunakan para ilmuwan dalam

menentukan kebenaran ilmiah dalam persepekstif waktu. Secara historis

pernyataan yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi

demikian. Dihadapkan dengan permasalahan ini maka ilmuwan bersifat

pragmatis, selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka

pernyataan itu dianggap benar, dan sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat

demikian disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri yang

menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan.

Menurut Rohmat Mulyana, Tidak dapat dipungkiri bahwa metode ilmiah (

scientific methods) merupakan cara yang handal untuk menemukan kebenaran

ilmiah. Tingkat kebenarannya yang logis empiris membuat metode ilmiah

mengembangkan ilmu pengetahuan yang semakian lama semakin maju. Bukti

dari kemajuan ilmu adalah banyaknya teori baru yang semakin canggihnya

teknologi. Akan tetapi semakin berkembangnya ilmu alam dan ilmu sosial serta

ilmu-ilmu lainnya, tidak jarang melahirkan spesialisasi yang berlebihan.

Sebagai missal, Biologi berkepentingan untuk meneliti manusia sebagai suatu

organisma, bukan sebagai makhluk yang berbudaya, begitu pula ilmu Ekonomi

berkepentingan dengan peningkatan kesejehateraan manusia, bukan pada

peran manusia sebagai makhluk yang memiliki perasaan keagamaan. Dengan

keterbatasan seperti itu membuat ilmu pengetahuan tidak dapat merangkum

seluruh pengalaman, pengetahuan, cita-cita , keindahan dan kasih sayang

yang terdapat dapat diri manusia. Hal ini menjelaskan bahwa tidak semua

urusan manusia dapat dipecahkan melalui pendekatan ilmiah, melainkan harus

dibantu oleh filsafat dan agama yang dapat menjangkau kebenaran pada

wilayah yang logis dan supra logis.[23]

Pendekatan kebenaran ilmiah melalaui penelitian ilmiah dan dibangu

atas teori tertentu. Teori itu berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu

penelitian yang sistematik dan terkontrol berdasarkan atas data empiris. Teori

itu dapat dites ( diuji) dalam hal keajegan dan kemantapan internalnya. Artinya

jika jika penelitian ulang orang lain menurut langkah-langkah sama akan yang

serupa pada kondisi yang sama akan memperoleh hasil yang ajeg ( consisten)

atau koheren dengan sebelumnya. Pendekatan ilmiah ini menurut Sumardi

Suryabrata, akan menghasilkan kesimpulan yang serupa bagi hampir

Page 73: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

68

setiap orang, karena pendekatan yang digunakan tidak diwarnai oleh

keyakinan pribadi, bias, dan perasaan, penyimpulan bersifat objektif bukan

subyektif. Atau kebenaran ilmiah terbuka untuk diuji oleh siapapun yang

menghendaki untuk mengujinya.[24]

Pendekatan pada kebenaran dalam ilmu alam adalah pendekatan

terhadap sesuatu di luar pengenal, oleh karena itu memungkinkan dicapainya

“keadaan yang sebenarnya” dari objek pengetahuan walaupun tetap

memungkinkan adanya pengaruh dari pengenal. Objektivitas dalam ilmu-ilmu

sosial sulit dicapai karena adanya hubungan timbal balik yang terus-menerus

antara subjek pengenal dan objek yang dikenal.

Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard

yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya

banyak jenis dalam pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan

karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara umum bertujuan

mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran

ilmu yang demikian tetap mempunyai sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan

relatif, dan tidak pernah mencapai kesempurnaan, hal ini terjadi karena ilmu

diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang

kemampuan akal budinya.

PENUTUP

Berdasarkan uraian bahasan “Makalah Metode Ilmiah dan kebenaran Ilmiah”

dapat disimpulkan bahwa :

1. Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para

ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan

langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode

yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiahesuai dengan tujuan

dan fungsinya. Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut

penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik

untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah

Page 74: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

69

2. Sedangkan kebenaran Ilmiah adalah kebenaran yang bersifat mutlak dengan

pembuktian dengan melalui beberapa tahapan atau proses menuju pencapaian

kebenaran tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, H.M. 1997 “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Intan Pariwara, Yogyakarta,

Al-Thoumy Al-Syaibany, Omar Mohammad,1979, Prof.Dr., Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, cet-1.

Arikunto, Suharsini, Prof.Dr.,2006, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktik, Jakarta, Rineka Cipta.

Bertrand Russel, 2007, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet-3.

Keraf ,Sonny dan Mikhael Dua,2002, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Epistemologis, Kanisiusn Jakarta

Miarso, Yusuf Hadi, Prof. Dr.,2004, Menyemai Benih Pendidikan, Jakarta, Pustekom Diknas.

Mulyana, Rohmat , Dr., 2004, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta, cet-2

Sudarto, Drs. M.Hum, 2002, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Cet. 3.

Sukmadinata, Nana Syaodih, Prof. Dr., Metode Penelitian Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya dan Pasca Sarjana UPI.

Suriasumantri, Jujun.S.,2010, Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, cet.22.

Suryabrata, Sumardi, Drs.BA,MA,Ed.S.,Ph.D, 2010, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada.

Tafsir, Ahmad, Prof. Dr, 2009, Filasafat Ilmu, Bandung, Remaja Rosdakarya

Tafsir , Ahmad, Dr., 1995, Epistemologi untuk ilmu pendidikan Islam, Bandung, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati.

Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia

Pasca Sarjana UIN SGD Bandung, 2010, Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi

Wahyudi, Imam, 2004, Refleksi Tentang Kebenaran Ilmu dalam Jurnal Filsafat, Desember, Jilid 38, Nomor 3,

Page 75: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

70

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI

PENDAHULUAN

Dalam makalah ini akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat,

yang pertama di sebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek

apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ?

bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert

berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?. Kedua di

sebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimna proses

yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana

prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan

pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah

kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan

pengetahuan yang berupa ilmu?. Sedang yang ketiga, di sebut dengan

landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang

berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan

tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang

ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik

prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-

norma moral/professional?[1]

Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-

pengetahuan lainnya. Denganb mengetahuan jawaban-jawaban dari ketiga

pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis

pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini

memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu,

seni dan agama serta meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing

yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri-ciri tiap

pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita dapat memanfaatkan

kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam

menggunakannya. Ilmu di kacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan

agama, bukankah tak ada anarki yang lebih menyedihkan dari itu?

A. Ontologi

Page 76: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

71

Ontologi dalam filsafat ilmu mempelajari hakikat apa atau objek apa yang

dipelajari oleh ilmu. Pertanyaan itu kemudian diuraikan lagi menjadi Bagaimana

wujud hakiki dari objek tersebut? Dan bagaimana hubungan objek tadi dengan

daya tangkap manusia. Sedangkan dari segi istilah ontologi berarti studi yang

membahas sesuatu yang ada.

Ontologi merupakan bagian dari metafisika. Metafisika mengkaji mengenai

realitas atau kenyataan; mengkaji alam di balik realitas dan menyelidiki hakikat

di balik realitas. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika

mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah sumber dari suatu

realitas, apakah Tuhan ada. Metafisika dapat berarti sebagai usaha untuk

menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki suatu

hakikat yang berada di balik realitas. Cabang utama metafisika adalah ontologi,

studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu

dan lainnya.

Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran

studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi

banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.

Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan

tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan

pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat

dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang

ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

1. Objek Formal

Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan

kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan

menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme,

idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu

penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih

jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di

ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam

Page 77: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

72

tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari

alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.

2. Metode dalam Ontologi

Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu :

abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik

menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi

bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang

sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi

dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah

abstraksi metaphisik.

Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan

menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.

Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih

dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari

kebenaran kesimpulan.

Contoh : Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)

Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)

Jadi, badan itu fana’ (S-P)

Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah

realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang

dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris

disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:

Contoh : Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)

Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)

Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)

Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori

di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term

tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a

Page 78: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

73

posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term

tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.[2]

Sementara Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan tentang ontologi

memaparkan juga tentang asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini

penulis tidak hendak ingin membahas dua point tersebut.

B. Epistemologi

Masalah epistemology bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang

pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan,

perlu diperhatikan bagaimana dan dengan sarana apakah kita dapat

memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita

tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat

di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat menganggap mempunyai

suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemology.

Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh

pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita

punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau

mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang

memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang

tidak memungkinkannya.

Manusia tidak lah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat

mengajukan pertanyaan “bagaimanakah caranya kita memperoleh

pengetahuan”?[3]

Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan

a. Empirisme

Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara

memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak

empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan

akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku

catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke,

Page 79: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

74

seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta

memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi

yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.

Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif

menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan

kita betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-

pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai

atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau

tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau

setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.

b. Rasionalisme

Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal.

Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan

pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.

Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di

dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran

mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk

kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan

hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.

c. Fenomenalisme

Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang

pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri

merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk

pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu

kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti

keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak

kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).

Bagi Kant para penganut empirisme benar bila berpendapat bahwa semua

pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar hanya untuk

Page 80: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

75

sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal

memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta

pengalaman.

d. Intusionisme

Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara

langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan

pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung

dari pengetahuan intuitif.

Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson

ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping

pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang

dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping

pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar

dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi

dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi

maupun pengalaman intuitif.

Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi

yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-

tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang

lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-

yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang

berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang

menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu

kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan

sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat

menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.

e. Dan masih banyak lagi yang menjadi bahasan dalam epistemology.

C. Aksiologi

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang

mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan

Page 81: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

76

saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan

mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu

bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan

hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu

sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang

membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan

tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.”

Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan

faust yang menciptakan Goethe.”

Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari

alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat

seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas

wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan

harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi

ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi

ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali

perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga,

pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan

pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.

Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-

masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus

(1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan

bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya

seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi

antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi

metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya,

sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada

pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar

bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada

penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo

pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut,

dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi

matahari.

Page 82: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

77

Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela

mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap

benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan

John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah

urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka

ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual.

Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya

seperti sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat

mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam

petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.”

(adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam

avontur intelektual?).

Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini

adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan

yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara

penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan

objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan

antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah

dengan norma-norma moral/professional?[4]

PENUTUP

1. Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu?

Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan

antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa

dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?.

2. Epistemologi berusaha menjawab bagaimna proses yang memungkinkan di

timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-

hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang

benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya?

Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan

pengetahuan yang berupa ilmu?.

Page 83: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

78

3. Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di

pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan

kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah

berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik

prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-

norma moral?[5]

DAFTAR PUSTAKA

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001.

Louis O. Kattsouff, Pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta

Sidi Gazalba, Sistematika filsafat II, Yogjakarta, 1995.

Page 84: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

79

Pengaruh Ilmu Dan Moral, Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan Terhadap Revolusi Genetika Dan Perkembangan IPTEK

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, seiring banyaknya tuntutan

keperluan hidup manusia. Di sisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar

terhadap perkembangan ilmu itu, karena tidak ada seorang pun atau lembaga

yang memiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari perkembangan

ilmu. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang

mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan

saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan hakikat

kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi

merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,

namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri.

Ilmu dan moral, tanggung jawab sosial, serta revolusi genetika adalah hal yang

saling berhubungan. Terdapat beberapa pertanyaan yang menggelitik, pertama

benarkah makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran,

makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia dengan

penalaran tinggi lalu makin berbudi atau sebaliknya makin cerdas maka makin

pandai pula kita berdusta? Melalui makalah ini akan diuraikan mengenai ilmu

dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan dan revolusi genetika.

2. Pengertian Aksiologi

Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari perkataan axios yang berarti

nilai dan logos berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut

Suriasumantri dalam bukunya, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan

dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Suriasumantri, 1998 :

234). Menurut kamus Bahasa Indonesia (1995 : 19) aksiologi adalah kegunaan

ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya

etika. Dalam definisi yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan

Page 85: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

80

membahas nilai-nilai yang memberi batas-batas bagi pengembangan ilmu.

(Ihsan, 2010 :231)

Dari definisi-definisi aksiologi di atas terlihat dengan jelas bahwa permasalahan

utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki

manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.

Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan

estetika. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan

bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat

dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi

baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi

yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai

tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan

dan fenomena di sekelilingnya.

3. Pengertian ilmu

kata ilmu dalam bahasa Arab “ilm” yang berarti memahami, mengerti, atau

mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat

berarti memahami suatu pengetahuan (http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu).

Istilah ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal

dari bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari

, mengetahui. The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah

rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk

memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam

berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan

berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia (Ihsan, 2010:108).

Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus

dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu

mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Dari aktivitas ilmiah dengan

metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun

sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang

telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan pada umumnya terdapat kesepakatan

Page 86: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

81

bahwa ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis (Surajiyo,

2009:56-57).

Menurut Bahm (dalam Koento Wibisono,1997) definisi ilmu pengetahuan

melibatkan enam macam komponen yaitu masalah (problem), sikap (attitude),

metode (method), aktivitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh

(effects) (Ihsan, 2010 :111-112).

4. Pengertian Moral

Moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara

hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada

sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang

sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada

(Surajiyo, 2009:147).

Kata moral juga dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang melahirkan

etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis

dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat

yang penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-permasalahan

yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral itu (Ihsan, 2010:271).

Sumber langsung ajaran moral adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang

berwenang seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama,

serta tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi

filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan

moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan

ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama (Surajiyo, 2009:147).

Jadi, moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku

manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Manusia yang tidak

memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memilki nilai

positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus

dimiliki oleh manusia. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah dan

manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral

adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan

manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang

Page 87: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

82

berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan

lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik,

begitu juga sebaliknya.

5. Hubungan antara Ilmu dan Moral

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia

sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini

maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan

lebih mudah disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang

seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi

(Suriasumantri, 2000 : 229).

Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan

sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau

ada keinginan manusia untuk memerangi orang lain, maka ilmu berkembang,

sehingga penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam

melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan untuk

menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan ilmu sering

melupakan kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk

kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan

manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya

harus menyesuaikan diri dengan ilmu.

Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih

merupakan masalah kebudayaan dari pada masalah moral. Artinya,

dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat

harus menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi

mana yang tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu

masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan teknologinya agar

sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjungnya (Suriasumantri, 2000:234).

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan

teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua

golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus

bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis.

Page 88: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

83

Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah

kepada orang lain untuk mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat

bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik

keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek

penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.

Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah

ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita

(Suriasumantri, 2000:235).

Secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap pengembangan konsep

terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan

dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi

aksiologi keilmuan. Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat

realitas dari obyek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi

diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan

yang diperoleh. Setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah,

mempunyai tiga dasar yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Epistemologi

membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang dalam kegiatan

keilmuan disebut metode ilmiah.

Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis

sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan

lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan

sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan

dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat

manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada

kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal,

karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk

mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk

menghancurkan eksistensi manusia (Ihsan, 2010:280).

Ilmu yang diusahakan dengan aktivitas manusia harus dilaksanakan dengan

metode tertentu sehingga mendatangkan pengetahuan yang sistematis.

Manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati sesamanya. Untuk

Page 89: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

84

menerapkan ilmu pengatahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis

sebagai pertimbangan untuk proses perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi lebih lanjut.

Jadi jelaslah bahwa Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang sangat kuat.

Seperti yang telah diutarakan diatas bahwa ilmu bisa menjadi malapetaka

kemanusiaan jika seseorang memanfaatkannya tidak bermoral atau paling

tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tetapi, sebaliknya ilmu akan

menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan

tepat serta mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini

mengharuskan seorang ilmuwan memiliki landasan moral yang kuat. Tanpa

landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, seorang ilmuwan bisa

menjadi “monster” yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana

kemanusian bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang

berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan dengan

kejahatan orang yang tidak berilmu.

6. Tanggung jawab sosial Ilmuwan

Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi

seorang ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang

melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Kegiatan intelektual yang meninggikan

kebenaran sebagai tujuan akhirnya mau tidak mau akan mempengaruhi

pandangan moral. (Suriasumantri,1998:244) Kebenaran berfungsi bukan saja

sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha

masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan

terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai penganalisis materi

kebenaran tersebut namun juga sebagai prototipe moral yang baik.

Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberi

informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana

caranya bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang

lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar dan berani mengakui

kesalahan. Semua sifat ini beserta sifat lainnya merupakan implikasi etis dari

proses penemuan kebenaran secara ilmiah.

Page 90: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

85

Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Inilah

merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan. Seorang ilmuwan secara

moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk

menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannya itu adalah

bangsanya sendiri. Seorang ilmuwan tidak boleh berpangku tangan, dia harus

memilih sikap, berpihak kepada kemanusiaan. Pilihan moral memang

terkadang getir sebab tidak bersifat hitam di atas putih. Seorang ilmuwan tidak

boleh menyembunyikan hasil penemuannya itu, apapun juga bentuknya dari

masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang akan terjadi dari

penemuannya itu. Seorang ilmuwan tidak boleh memutar balikkan temuannya

jika hipotesis yang dijunjung tinggi tersusun atas kerangka pemikiran yang

terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena bertentangan

dengan fakta-fakta pengujian.

Seorang ilmuwan juga mempunyai tanggung jawab sosial di bahunya. Bukan

saja karena ia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara

langsung dengan di masyarakat, yang lebih penting adalah karena dia

mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup manusia. Sampai ikut

bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan

oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan

proses penelaahan keilmuwan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu itu

bebas dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuannya sendiri yang

memberikan nilai.

7. Pengaruh Ilmu, Moral dan tanggung jawab sosial Ilmuwan terhadap

revolusi genetika

Hamid dalam Kamusnya mengartikan revolusi adalah perubahan yang

berlangsung secara cepat, sedangkan genetika adalah cabang biologi yang

menyelidiki hereditas serta segala seluk beluknya secara ilmiah; ajaran tentang

pewarisan (Hamid : 170 & 553). Bisa dikatakan bahwa revolusi genetika adalah

sebuah penelitian yang membahas tentang rekayasa genetik (keturunan).

Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia

sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek

penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah

Page 91: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

86

ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu sudah

banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk

mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung

manusia sebagai obyek penelaahan. Artinya, jika kita mengadakan penelaahan

mengenai jantung manusia, maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan

ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan penyakit jantung. Atau dengan

perkataan lain, upaya kita diarahkan dalam mengembangkan pengetahuan

yang memungkinkan kita dapat mengetahui segenap proses yang berkaitan

dengan jantung, dan di atas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang

berupa alat yang memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-

gangguan jantung. Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi

sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk

menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan

manusia itu sendiri sekarang menjadi objek penelaahan yang akan

menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan

teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri.

Revolusi genetika, seperti kemajuan reproduksi dan rekayasa manusia oleh

manusia adalah sebuah contoh dari pengaruh pesatnya ilmu (Ihsan, 2010 :

273). Dengan kata lain, Rekayasa yang cenderung menimbulkan gejala anti

kemanusiaan (dehumanisme) dan mengubah hakikat kemanusiaan

menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenang penjelajahan sains,

disamping tanggung jawab dan moral ilmuan. Jika sains melakukan telaahan

terhadap organ tubuh manusia, seperti jantung dan ginjal barangkali hal itu

tidak menjadi masalah terutama jika kajian itu bermuara pada penciptaan

teknologi yang dapat merawat atau membantu fungsi-fungsi organ tubuh

manusia. Tapi jika sains mencoba mengkaji hakikat manusia dan cenderung

mengubah proses penciptaan manusia seperti kasus dalam kloning hal inilah

yang menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenang penjelajahan

sains. Yang jadi pertanyaan sekarang sejauh mana penjelajahan sains dan

teknologi.

Berkaitan dengan pertanyaan diatas dimana kaitan ilmu dengan moral, nilai

yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan telah

menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting karena itu salah

Page 92: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

87

satu aspek pembahasan mendasar dalam integrasi keilmuan adalah aksiologi

yang sebelumnya telah dibahas.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas menyatakan sikap

menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai obyek penelitian genetika.

Secara moral kita lakukan evaluasi etis terhadap suatu obyek yang tercakup

dalam obyek formal ilmu. Menghadapi Ilmu dan teknologi yang telah

berkembang begitu pesat yang sudah merupakan kenyataan maka moral

hanya mampu memberikan penilaian yang bersifat aksiologis, bagaimana

sebaiknya kita mempergunakan teknologi untuk keluhuran martabat manusia.

Menghadapi revolusi genetika yang baru di ambang pintu, dan tanggung jawab

sosial seorang ilmuwan dalam menangani revolusi genetika. Aksiologi

memandang permasalahan diatas dapat dilihat dari baik buruknya seorang

ilmuwan itu sendiri yang mempunyai ilmu dan moral serta tanggung jawab

sosial dalam menyikapi revolusi genetika.

8. Dilema Penerapan IPTEK

Era modern acapkali merujuk kepada kemajuan sangat pesat ilmu

pengetahuan dan teknologi (iptek). Istilah modern itu sendiri sebenarnya

mulai memasuki kawasan perdebatan intelektual Eropa Barat pada abad

ketujuh belas, yang diartikan sebagai peristiwa yang sedang terjadi atau

sedang berlangsung, atau mutakhir. Dari sini, kadang kemodernan sering

disalah-artikan sebagai lawan dari tradisional, antik dan klasik, ketinggalan

zaman, kuno dan sejenis itu (Bauman, 1993: 592).

Dari aspek perkembangan keilmuan, era modern ditandai dengan

perubahan paradigma berpikir terhadap sesuatu baik berupa fenomena

kealaman maupun sosial. Zygmunt Bauman (1993:592).berpendapat bahwa

perkembangan keilmuan modern menjadi sebuah konsep yang militan

melalui kemajuan penemuan cara-cara keilmuan setelah René Descartes

di Perancis dan Isaac Newton (juga Francis Bacon) di Inggris. Figur-figur

inilah yang kemudian menjadi simbol kompetisi perkembangan ilmu era

modern oleh para generasi berikutnya, terutama di bidang ilmu pasti-alam.

Page 93: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

88

Kemajuan peradaban umat manusia di era (modern) ini secara esensial

merupakan penerapan akal manusia (rasionalisasi) terhadap tugas untuk

menciptakan dunia yang lebih baik demi memenuhi kebutuhan hidup

umat manusia itu sendiri. Untuk itulah, proses kreatif manusia melalui

serangkaian observasi, eksperimentasi dan evaluasi, pada akhirnya

menemukan sejumlah instrumentasi kehidupannya dari berbagai teknologi

modern yang ia buat seperti saat sekarang.

Sayangnya, kemajuan tersebut menjadi dilematis. Di satu sisi membawa

kemudahan-kemudahan bagi keperluan umat manusia. Tapi di sisi lain,

ada dampak buruk yang diakibatkan oleh penerapan ilmu pengetahuan dalam

bentuk teknologi modern, seperti: maraknya krisis lingkungan; krisis

nilai-nilai kemanusiaan dalam bentuk pelanggaran hak asasi manusia

dengan makin meningkat jumlah penggunaan senjata pembunuh massal; dan

krisis moral. Krisis lingkungan pada skala global seperti dampak penipisan

lapisan ozon (ozon depletion), perubahan iklim (climate change), di

skala regional seperti dampak hujan asam (acid rain), serta di tingkat lokal

seperti polusi oleh limbah domestik, limbah bahan berbahaya beracun (B3),

kerusakan hutan, dan berkurangnya ketersediaan air bersih, serta kerusakan

terumbu karang, telah menimbulkan keprihatinan masyarakat global.

Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup dan Pembangunan sejak 1972 di

Stockholm hingga Konferensi yang sama di Rio de Jeneiro pada bulan

Juni 1992 (Brown, 1995: 2-3) mencerminkan betapa krisis lingkungan hidup

bukan semata persoalan lokal-nasional, tetapi sudah menjadi persoalan

mondial bersama umat manusia.

Sedangkan krisis kemanusiaan, sebagai contoh, tampak dari betapa

banyaknya rezim suatu negara mempergunakan perangkat teknologi

senjata perang modern, yang semula “diniatkan” untuk menjaga

ketentraman warga negara, dan membela diri dari kemungkinan serangan

pihak asing, tetapi justru diselewengkan untuk menindas kelompok minoritas

(etnis/agama) di negerinya. Penggunaan senjata bio-kimia oleh

pemerintahan Saddam Hussen di Irak terhadap etnis Kurdi,

merupakan salah satu contoh saja. Pada taraf tertentu, teknologi modern

dipergunakan negara untuk mengekang kebebasan politik warga negara,

Page 94: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

89

sehingga hampir-hampir tak ada ruang kemerdekaan bergerak karena

selalu diintai oleh teknologi intelijen yang mampu menyadap “gerakan-

gerakan subversif”.

Di bagian lain, kecanggihan teknologi cyberspace seperti internet selain

menyuguhkan informasi-informasi penting bagi para penggunanya, tapi juga

sekaligus pada bersamaan menghidangkan “wacana tandingan” berupa

sajian situs-situs cabul (cyberporns) yang dapat merusak akhlak. Ini

hanyalah satu contoh betapa teknologi modern telah menghadapkan dua

pilihan tindakan yang pada satu sisi mendukung tingginya moralitas,

ataupun krisis (merosotnya) moralitas pada sisi lainnya..

Dari uraian di atas, pertanyaan lanjutan yang perlu dikemukakan adalah:

Mengapa kemajuan iptek telah membawa sejumlah krisis? Bagaimana

seharusnya iptek dibangun? Lalu, bagaimana nilai-nilai moral mengeliminir

dampak buruk (negatif) penggunaan iptek tersebut?

9. Nilai dan Tanggung Jawab Moral IPTEK

Sebagaimana Etika, ilmu tak bebas dari pengaruh tata nilai. Kenneth

Boulding (Wilardo, 1997: 241) mengatakan bahwa sebagian besar

dari keberhasilan masyarakat keilmuan dalam memajukan pengetahuan adalah

berkat tat nilainya, yang menempatkan pengabdian yang obyektif terhadap

kebenaran di jenjang yang paling luhur, dan kepadanya baik harga diri

perseorangan maupun kebanggaan nasional harus ditelutkan (Wilardo, 1997:

241).

Namun, kebenaran bukanlah satu-satunya nilai yang seharusnya dijunjung

tinggi oleh para ilmuwan. Di samping itu nilai-nilai yang perlu dijadikan panduan

dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah

etika keilmuan. Adalah penting dikemukakan pesan historis Albert Einstein di

hadapan para mahasiswa California Intitute of Technology pada saat

Perang Dunia II tengah berlangsung (1938), di mana patut dijadikan

pesan moral dalam pengembangan Iptek. Einstein mengatakan bahwa:

"Btidak cukup kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan

berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus

Page 95: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

90

selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada

masalah besar yang tak kunjung terpecahkan darui pengaturan kerja dan

pemerataan benda agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan

berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan" (Einstein, 1997: 248-

249).

Nilai dan tanggung jawab moral terhadap iptek, tentu saja menjadi satu

keharusan yang semestinya dimiliki. Tragedi lakon "Frankeisten", yang

mengisahkan egoisme seorang ilmuwan untuk menciptakan makhluk

"manusia baru" dari jenazah pesakitan tanpa mengindahkan norma dan

etika seorang ilmuwan, pada akhirnya menciptakan bumerang bagi dirinya

sendiri. "Makhluk ciptaan" ilmuwan tadi kemudian membunuh "sang

penciptanya" itu sendiri, yaitu sang ilmuwan egois tadi. Hal ini sejalan dengan

apa yang selalu diperingatkan Einstein (1950) tentang bahaya penggunaan

teknologi nuklir. Ia dengan pedasnya mengecam penerapan dan

penyalahgunaan senjata nuklir.

Di antara pengecam bahaya penyalahgunaan nuklir, misalnya Jacques

Monod (dan 2100 ilmuwan lain yang menandatangani Deklarasi Menton),

Robert March (yang meskipun kalah tetapi sempat dan masih terus berjuang

melawan Himpunan Fisika Amerika [American Physical Society] yang

berkuasa dan sok legalistis) dan beberapa belas ilmuwan di Kampus Berkeley

(yang menyelenggrakan rangakaian kuliah tentang tanggung jawab

kemasyarakatan para ilmuwan). Di samping itu masih ada lagi, misalnya:

para pengikut "Summer Science Institue" pertama tentang hubungan timbal

balik antara ilmu dan masyarakaat (yang diselenggarakan di Knox College

dan menghasilkan seperangka resolusi tajam), Jonas Salk yang

melontarkan gagasannya tentang "sikap humanologis", dan berpuluh-

puluh ilmuwan dari 50 negara yang bersama-sama membentuk wadah

kegiatannya, yakni "Perkumpulan demi Tanggung Jawab Keilmuan"

(Association for Scientific Responsibility).

Hanya dengan bersikap penuh tanggung jawab etis terhadap masyarakat (baik

masyarakat dewasa ini maupun angkatan-angkatan yang akan datang) ilmu

dapat menghindaarkan dirinya dari kehilangan hak istimewanya untuk

Page 96: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

91

mengabdi kepada kemanusiaan. Kalau tidak demikian, maka membayanglah

resiko bahwa ilmu akan terkutuk menjadi perkakas yang berhaya, yang

bergiat demi penghambaannya kepada para jenderal yang gila perang dan

gembong-gembong kekaisaran industri yang rakus (Wilardjo, 1993: 243-244).

10. Mengembalikan Nilai IPTEK

Konsekuensi moral terhadap dampak penyalahgunaan iptek mengakibatkan

perlunya alternatif-alternatif yang dipilih untuk menjadikan iptek bernilai bagi

kemaslahatan manusia dan alam semesta. Tanpa pertimbangan berdasarkan

nilai-nilai akan berakibat berulangnya tragedi yang disebabkan oleh dampat

penerapan iptek seperti dikemukakan di atas.

Tawaran Hidajat Nataatmadja (Kummadin,1995:92-93) tampak cukup berguna

untuk mengembalikan iptek menjadi bernilai. Hidajat Nataatmadja

mencoba menegakkan realisme, bahwa ilmu (sains) hanyalah merupakan

salah satu manifestasi dari fitrah manusia, sehingga bukan ilmu yang

harus menerangkan manusia apa adanya, melainkan manusialah yang harus

menerangkan ilmu itu apa. Yaitu, bahwa aktualnya fitrah manusia

dalam kehidupan empiris adalah menunjukkan keimanan religius dan

keimanan akan transendensi, yaitu suatu the feeling of dependence dan

the feeling creature terhadap Sumber Agung (Allah); dengan menganggap

relatif segala kekuasaan, segala kekayaan dan segala pengetahuan. Ini

berarti pikiran manusia harus berpijak pada dua dasar pikiran, yakni iman

dan transendensi, sehingga agama benar-benar menjiwai seluruh

perikehidupan manusia.

Langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut adalah:

pertama, mencari titik lemah ilmu dan bagaimana titik lemah ini dapat kita

perbaiki. Titik lemah itu terdapat pada landasan dogmatiknya

(paradigma), misalnya ilmu itu universal benar, objektivitas, netralitas etik,

rasionalisme, empirisme, relativisme, dan lain-lain, yang kesemuanya itu

seakan-akan menjamin kebenaran ilmu. Tapi sebenarnya, semua dogma-

dogma itu sama dengan mitos yang diyakini manusia primitif. Ini sebagai bukti

Page 97: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

92

bahwa manusia telah menggantungkan diri secara mutlak tanpa syarat

kepada pikirannya sendiri.

PENUTUP

Dari penyajian makalah tentang ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan

dan revolusi genetika dapat kami tarik kesimpulan bahwa :

1. Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk

menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari

berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Moral adalah sistem nilai

(sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham

(ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang diwariskan

dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi hubungan antara ilmu dan moral

adalah sangat erat bahwa setiap usaha manusia untuk menyelidiki,

menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi harus

berpedoman pada ajaran agama dan paham ideologi dalam bersikap dan

bertindak.

2. Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat adalah suatu kewajiban

seorang ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara penyelesaian

permasalahan sosial tersebut. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab

sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya

terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah

karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup

bermasyarakat.

3. Revolusi genetika adalah pengaruh dari pesatnya perkembangan ilmu

dan moral serta tanggung jawab seorang ilmuwan. Aksiologi memandang hal

ini dari permasalahan objek etika dan estetika atau baik buruknya seorang

ilmuwan dalam menyikapi Revolusi genetika

Page 98: BUKU AJAR FILSAFAT ILMU - repository.unhas.ac.idrepository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11830/FILSAFAT IKAN.pdf · 3 2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir, dasar

93

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Hamid Farida, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya : Penerbit Apollo

http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu diakses tanggal 26 nopember 2011

Ihsan Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta, 2010.

Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung: Mulia Press.

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2009.

Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.