Budaya Sasi di Kampung Warsambin -...
Transcript of Budaya Sasi di Kampung Warsambin -...
75
Bab Lima
Budaya Sasi
di Kampung Warsambin
Pengantar
Usaha untuk mempertahankan hasil sumber daya alam baik
dari sisi ekosistem maupun keberlangsungan produksinya menjadi
perhatian yang serius bagi berbagai daerah di Indonesia. Terlebih di
tengah ancaman eksploitasi dan kerusakan lingkungan yang akan
berpengaruh pada jumlah sumber daya alam itu sendiri.
Masyarakat tradisional memiliki sistem/budaya yang dibangun
untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki. Di kepulauan
Maluku dan Papua budaya seperti ini disebut dengan istilah budaya
Sasi. Walaupun khusus untuk di Papua secara umum istilah Sasi jika
dirunut kebelakang secara historis bukan memakai istilah tersebut.
Sama halnya dengan budaya sasi yang ada di desa Warsambin.
Sasi yaitu suatu bentuk larangan pengambilan sumber daya
alam baik darat maupun laut dalam kurun waktu tertentu sehingga
memungkinkan sumberdaya alam dapat tumbuh, berkembang dan
dilestarikan (Renjaan dkk, 2013). Dengan melakukan sasi diharapkan
hasil sumber daya alam dapat terlindungi dan bertambah. Dalam
penelitian ini penulis mendapatkan fakta bahwa sasi mengalami
pergeseran makna dan tujuannya seiringnya waktu.
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
76
Pada bab ini penulis akan memaparkan hasil temuan di
lapangan tentang pelaksanaan budaya sasi. Dimana hasil temuan
didasarkan pada amatan selama di lapangan dan dilengkapi dengan
wawancara-wawancara bersama narasumber terkait.
Dari Kabus Menjadi Sasi
“Dulu masyarakat Teluk Mayalibit tidak mengenal istilah Sasi. Yang masyarakat tahu itu kabus dalam bahasa Maya. Keduanya memiliki prinsip yang sama bertujuan untuk melindungi sumber daya alam milik perseorangan atau klan” ungkap Bambang.70
Demikian petikan wawancara antara penulis dengan Bambang
pria asli suku Maya (Teluk Mayalibit), seorang aktifis lingkungan yang
kini menjadi anggota DPD Provinsi Papua Barat. Bambang,
mengungkapkan jauh sebelum masyarakat menggunakan istilah sasi,
masyarakat sudah punya sistem sendiri yang mirip dengan sasi. Sistem
itu dikenal dalam bahasa suku Maya yaitu Kabus.
Kabus dalam pemahaman orang Maya adalah larangan
pengambilan sumber daya yang ada di darat maupun di laut untuk
memberikan kesempatan tumbuhan/hewan itu berkembang, dengan
cara menempelkan cerita mistis di sebuah area pelarangan. Pelarangan
itu bisa berlangsung berdasarkan jenis tumbuhan/hewan atau
berdasarkan besaran area. Baik itu hasil kebun seperti pinang, sayur,
kelapa, keladi, ubi, bahkan pohon yang ada dalam kawasan hutan milik
pribadi maupun klan. Hal ini juga diberlakukan bagi kawasan laut yang
diakui sebagai bagian dari kepemilikan pribadi maupun klan. Larangan
dibalut cerita mistis yang melekat dalam tradisi kabus diharapkan
mendatangkan kepatuhan bagi masyarakat agar tidak melanggar
larangan yang dibuat. Tempat-tempat yang di kabus sering juga disebut
daerah pamali/sakral sehingga benar-benar terlindungi dari sentuhan-
sentuhan tangan dan aktifitas pencaharian mansia. Cerita mistis yang
70
Wawancara dengan Bambang, Kamis, 18 Agusutus 2011, Pukul. 11.00 WIT.
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
77
dimaksud seperti halnya orang-orang tua dahulu bercerita pernah
bertemu dengan makhluk halus di tempat tersebut sehingga siapa pun
tidak boleh pergi ke wilayah itu, ternyata cukup ampuh untuk
melindungi wilayah itu dari aktifitas masyarakat.
Lalu kapan terjadi pergantian istilah dari kabus menjadi sasi?
Tidak ada yang tahu secara pasti kapan istilah kabus berubah menjadi
sasi. Yang diketahui masyarakat, istilah sasi diperkenalkan pertama kali
oleh gereja kepada masyarakat.
“Konsep sasi sebenarnya dibawa oleh gereja, gereja yang bawa sasi itu. Orang Raja Ampat tidak kenal sasi, kenapa? Karena sebenarnya Raja Ampat itu tidak perlu dilindungi juga orang tidak akan saling korek-korek. Manusia masih sedikit, hasilnya melimpah, masing-masing suku akan tinggal di pulau setempat dan tidak akan korek tempat lain. Karena bagiannya sendiri itu tidak akan habis oleh dirinya sendiri. Gereja yang saya maksudkan disini adalah para missionaris atau penginjil yang datang dari kepulauan Maluku dan Sangihe Talaud.” ungkap Bagiyo.71
Kehadiran gereja di Raja Ampat merupakan faktor pendukung
penghapusan budaya kabus yang kemudian belakangan diganti menjadi
sasi. Kehadiran gereja yang dibawa oleh misionaris asal Maluku dan
Sangihe Talaud. Tetapi ketika melihat peristiwa penghapusan kabus, mungkin oleh karena persepsi perseorangan hamba Tuhan bukan
gereja sebagai lembaga. Ada hal yang mendasar kenapa para misionaris
saat itu meminta masyarakat untuk menghilangkan budaya kabus. Alasan tersebut adalah ketika budaya kabus dilakukan, dan sebuah
daerah dinyatakan pamali/sakral masyarakat justru menggunakan itu
sebagai tempat sembah-sembah nenek moyang (mengingat saat itu
sebelum kekristenan masuk, masyarakat menganut paham animisme).
Kekhawatiran para hamba Tuhan tentang perilaku masyarakat yang
melakukan praktek penyembahan terhadap berhala, membuat para
hamba Tuhan melakukan tindakan mengutuk tempat-tempat kabus tersebut. Dampak dari dihilangkannya pamali dari tempat-tempat
71 Wawancara dengan Bagiyo, Rabu, 10 Agustus 2011, Pukul. 16.00 WIT.
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
78
kabus adalah terbukanya area tersebut bagi orang luar. Terbukanya
area kabus menjadikan area tersebut bisa diakses oleh siapa saja dan
akhirnya terja eksploitasi terhadap sumber daya yang selama ini sudah
dijaga lewat kabus.
“Gereja juga pernah melakukan satu kesalahan, terutama pribadi-pribadi hamba Tuhan. Mereka menganggap, daerah pamali itu nanti bikin orang-orang asli pergi ke tempat pamali lalu sembah-sembah karena tempat itu sakral dan untuk memperoleh kekuatan gaib. Sehingga hamba-hamba Tuhan pergi ke tempat itu dan berdoa serta mengutuk tempat itu sehingga tempat itu menjadi terbuka. Saat itulah, orang mulai masuk ke tempat itu dan akhirnya tempat itu hancur” cerita Bagiyo.72
Terbukanya sebuah area kabus tentu menjadi incaran banyak
orang, karena tentu area tersebut akan sangat kaya akan sumber daya
alamnya. Hal ini disebabkan selama area itu di kabus, tidak ada aktifitas
pencaharian baik itu sumber daya alam darat maupun laut pada area
itu, tentu akan tersimpan banyak sekali sumber dayanya. Saat inilah
ancaman terhadap kerusakan lingkungan dan eksploitasi alam mulai
terjadi.
Dalam perjalanan kehidupan gereja dan masyarakat, gereja pun
mulai khawatir dengan kondisi yang dialami oleh masyarakat lokal
pasca hilangnya budaya kabus. Kekhawatiran ini didasarkan karena
lingkungan yang mereka miliki bahkan sumber daya alam yang mereka
punyai perlahan-lahan mulai dicuri/dijarah oleh orang luar Raja
Ampat. Hal ini diperparah dengan pertambahan jumlah penduduk
yang tentu juga berdampak pada jumlah konsumsi di daerah tersebut.
Terlebih penduduk yang datang adalah pedagang-pedagang yang
menjadikan sumber daya alam sebagai komoditi perdagangan baik hasil
sumber daya alam yang di darat dan di laut.
“Pada saat itulah gereja mulai berpikir, kalau tempat ini tidak ditutup maka hasilnya akan habis dan masyarakat
72
Ibid
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
79
tidak dapat apa-apa. Maka konsep sasi dilihat dari adanya ancaman. Konsep sasi ini dibawa oleh misionaris dari kepulauan Maluku.” ungkap Bagiyo.73
Ditengah kondisi ancaman inilah kemudian gereja, mulai
mencari cara untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki oleh
masyarakat. Gereja saat itu berpikir paling tidak cara yang baru ini
dapat meminimalisir pencurian/penjarahan terhadap hasil sumber daya
alam yang dimiliki oleh masyarakat. Gereja saat itu ada dalam sebuah
pilihan dilematis antara mengaktifkan kembali tradisi kabus yang
penuh dengan nuansa mistis dan praktek berhala, itu berarti
memberikan kesempatan kepada masyarakat lagi untuk melakukan
praktek penyembahan kepada kekuatan gaib, ataukah mencari
alternatif lain agar masyarakat bisa melindungi sumber daya yang
mereka miliki.
Pilihan itu jatuh pada menggunakan alternatif lain dengan
melakukan sasi. Mengapa sasi, seperti yang sudah saya sampaikan di
bab III, bahwa budaya sasi itu adalah budaya yang digunakan oleh
masyarakat di kepulauan Maluku, dan tentu budaya tersebut sangat
dekat dengan para misionaris asal Maluku yang melakukan pelayanan
di Raja Ampat. Lalu gereja saat itu mulai mendorong masyarakat untuk
melakukan sasi untuk melindungi sumber daya alam baik darat
maupun laut.
Peristiwa pergantian dari kabus (istilah lokal) menjadi sasi
(oleh karena intervensi gereja), sama persis terjadi pada masyarakat
kampung Rambatu, distrik Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat
(Ngamelubun, dkk. 2013). Di kampung Rambatu terdapat juga budaya
Matakao yang dalam perjalanannya juga berganti istilah menjadi Sasi.
Pergantian ini terjadi setelah masuknya agama Kristen yang dibawa
oleh Pendeta Suma. Matakao adalah tanda larangan atau petaka
mengandung kekuatan gaib, biasa diletakkan di kebun atau barang
milik tidak bergerak. Pergantian istilah dari Matakao menjadi Sasi juga
73 Ibid
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
80
disebabkan oleh Matakao yang bersifat animisme dan tidak dapat
diterima oleh gereja.
Selama melakukan penelitian di kampung Warsambin, penulis
menemukan ada dua jenis sasi yang dilakukan oleh masyarakat. Dua
jenis sasi itu dibagi berdasarkan tujuan dilaksanakan sasi. Jenis sasi
yang ada di kampung Warsambin adalah Sasi Adat dan Sasi Gereja.
Sasi Adat dan Sasi Gereja
“Di kampung ini tong cuma tahu ada 2 (dua) sasi, yang sa tahu itu ada sasi adat dan sasi gereja. Walau sekarang memang sudah jarang sekali torang lakukan keduanya. Terakhir itu tahun 2010 pas torang sasi adat Mon. Sedangkan sasi gereja itu su jarang sekali yang buat” Ungkap Joko.74
Sasi adat dan sasi gereja adalah dua jenis sasi yang dilakukan
oleh masyarakat kampung Warsambin. Kedua jenis sasi ini memang
secara mendasar memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan
kesempatan bagi sumber daya alam untuk bertumbuh dan berkembang
biak dalam jangka waktu tertentu. Yang menjadi pembedaan mendasar
antara sasi adat dan sasi gereja adalah para pelaku sasi. Sedangkan ritual
yang dilakukan kurang lebih sama.
Nanti dalam perkembangannya, sasi adat dan sasi gereja
mengalami banyak pergeseran makna bahkan pembentukan makna
baru oleh karena masuknya nilai kekristenan dalam kehidupan
masyarakat.
Sasi Adat
Yang dimaksud dengan sasi adat adalah larangan
pengambilan sumber daya alam dalam waktu tertentu, dan sasi ini
dilakukan oleh seorang warga/klan tertentu untuk sumber daya
alam yang masuk dalam kepemilikan pribadi. Misalnya pohon
kelapa, pohon pinang, pohon pisang, dan semua sumber daya alam
74 Wawancara dengan Joko, Kamis 1 September 2011, Pukul. 10.00 WIT.
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
81
yang masuk dalam wilayah kepemilikan pribadi/klan baik yang ada
di darat dan di laut. Larangan ini dilakukan agar hasil dari sumber
daya alam yang di sasi tersebut menghasilkan panen yang baik dan
banyak, sekaligus juga melindungi hasil sumber daya itu dari
pencurian/penjarahan yang dilakukan oleh orang lain.
Sasi adat dilakukan oleh masyarakat kampung yang masih
memeluk agama suku, walaupun saat itu kekristenan sudah masuk
ke kampung Warsambin. Sehingga setiap ritual yang nantinya
dilakukan ditujukan hanya kepada arwah-arwah nenek moyang
atau leluhur.
a) Mempersiapkan Sasi Adat
Pada pelaksanaan sasi adat lebih sederhana
dibandingkan sasi gereja. Seperti yang penulis sampaikan
sebelumnya, inisiatif sasi adat berasal dari perseorangan/klan.
Biasanya seorang warga akan melakukan persiapan, dengan
menyiapkan segala keperluan yang akan digunakan untuk
melakukan sasi adat. Antara lain sesembahan atau yang sering
masyarakat sebut dengan Kakes75 serta perlengkapan tanda
wilayah sasi. Untuk tanda wilayah sasi dalam masyarakat
terdapat dua buah tanda yang digunakan, ada yang
menggunakan anyaman daun kelapa dan kain merah. Anyaman
daun kelapa dan kain merah ini nantinya akan diikatkan pada
pohon (jika di darat) dan pada sebuah batang kayu (jika di laut,
yang ditancapkan) di wilayah sasi. Sehingga siapapun yang
memasuki sebuah wilayah dan melihat ada tanda berupa
anyaman daun kelapa dan kain merah, berarti daerah tersebut
sedang disasi.
75
Kakes adalah sesembahan yang digunakan dalam pelaksanaan sasi. Sesembahan ini terdiri buah pinang dan sirih (buah bukan daun), kapur, dan rokok. Dalam beberapa pelaksanaan juga biasanya ditambahkan dengan nasi kuning, nasi putih, dan ayam putih.
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
82
b) Pelaksanaan Tutup Sasi Adat
Setelah semua persiapan selesai, maka sasi mulai
dilakukan.Yang dilakukan pertama adalah mengikatkan
anyaman daun kelapa pada semua batang pohon, atau
mengikatkan kain merah pada batang kayu kemudian
ditancapkan di wilayah laut yang ingin disasi. Setelah semua
penanda sudah dipasangkan, dilanjutkan dengan menaruh
kakes pada sebuah tempat. Setelah itu pelaksana sasi membaca
doa menggunakan bahasa daerah (kalau di kampung
Warsambin menggunakan bahasa suku Maya) atau yang sering
disebut dengan bahasa tanah. Doa yang dibacakan tersebut
ditujukan kepada para leluhur agar memberikan kesuburan
bagi tanah sehingga tumbuhan yang berkembang dapat
menghasilkan buah yang baik dan banyak. Selain itu isi doa
juga meminta kepada leluhur untuk menjaga segala tanaman
dan sumber daya laut yang disasi agar tidak dicuri atau dijarah
oleh orang lain. Leluhur dalam pelaksanaan sasi adat menjadi
pusat utama ketika sebagian masyarakat masih menganut
agama suku. Leluhur adalah pusat segala sumber, yang
menyeimbangkan kehidupan antara alam dan manusia. Setelah
pembacaan doa selesai maka pelaksanaan sasi telah selesai dan
tutup sasi telah berlaku. Lamanya sasi ini berlaku sesuai dengan
kehendak sang pemilik wilayah sasi tersebut. Ada masyarakat
yang melakukan sasi dalam jangka waktu 3 bulan, 6 bulan,
bahkan ada juga yang selama 1 tahun.
c) Larangan Selama Sasi Adat
Setelah tutup sasi berlaku, maka ada aturan yang harus
dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Aturan ini berlaku baik
bagi orang lain dan juga orang yang melakukan sasi itu sendiri.
Aturan itu antara lain :
1) Siapapun dilarang mengambil hasil sumber daya alam yang
sudah disasi adat.
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
83
2) Jika ada hasil sumber daya yang sudah matang dan jatuh ke
tanah dari pohonnya, hasil tersebut pun tidak boleh diambil.
d) Pelaksanaan Buka Sasi Adat
Ketika waktu tutup sasi adat telah selesai, waktunya
untuk melakukan panen hasil sumber daya yang biasanya oleh
masyarakat disebut dengan buka sasi. Pada pelaksanaan buka
sasi berlangsung dengan cara yang sederhana. Pelaku sasi akan
memulainya dengan membaca doa yang ditujukan kepada
leluhur. Dalam doa tersebut tersampaikan ucapan terima kasih
pada leluhur yang sudah menjaga semua wilayah dan sumber
daya yang di sasi. Selain itu, dalam doa itu juga disampaikan
keinginan pelaku sasi agar para leluhur senantiasa memberikan
kesuburan pada tanah sehingga setelah buka sasi selesai, semua
sumber daya yang ada tetap bisa menghasilkan buah.
Setelah ritual doa selesai dilakukan selanjutnya adalah
memanen semua hasil sumber daya yang disasi. Saat panen ini
biasanya dilakukan oleh keluarga inti pemilik kebun. Semua
hasil sumber daya yang sudah dipanen selanjutnya digunakan
untuk kebutuhan keluarga tersebut. Sebagian akan digunakan
sendiri, dan sebagian lainnya akan dijual ke pasar. Dalam sasi
adat pemanfaatan hasil sumber daya dari sasi diperuntukkan
hanya untuk keluarga sendiri tidak termasuk keluarga besar.
Sasi Gereja
Yang dimaksud dengan sasi gereja adalah larangan
pengambilan sumber daya alam dalam waktu tertentu, untuk
memberikan kesempatan bagi margasatwa bertumbuh,
berkembang biak sebagai bentuk tanggungjawab umat dalam
menjaga dan melestarikan alam yang sudah diberikan Tuhan
kepada manusia. Sasi gereja ini dilakukan baik oleh
perorangan/klan dan seluruh warga gereja dalam kesatuan umat.
Berbeda dengan sasi adat, sasi gereja ini dilakukan dengan
pusat ritual adalah Allah sebagai pencipta alam semesta. Dan sasi
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
84
gereja mendorong perilaku masyarakat untuk menghargai dan
menjaga alam ciptaan Allah yang harus dilestarikan demi
kelangsungan kehidupan bagi anak dan cucu kita. Lewat sasi gereja
dapat dipahami juga bahwa Allah memakai gereja untuk
memuliakan nama Allah lewat kebudayaan. Leiwakabessy, (1992)
juga pernah melakukan penelitian tentang peranan gereja dalam
melaksanakan budaya sasi di Seram dan Lease. Leiwakabessy
menemukan bahwa gereja justru memiliki peran penting lewat
budaya sasi untuk mendidik masyarakat agar lebih peduli terhadap
alam dengan cara menjaga dan melindunginya.
a) Mempersiapkan Sasi Gereja
Untuk melakukan sasi gereja baik yang akan dilakukan
oleh perseorangan/klan atau seluruh warga gereja sebagai
kesatuan umat, ada rangkaian yang harus dipersiapkan. Tidak
beda jauh dengan cara-cara mempersiapkan sasi adat, dalam
sasi gereja masyarakat pun menggunakan kakes, anyaman daun
kelapa atau kain merah sebagai atribut/tanda bahwa sumber
daya sedang disasi.
Walaupun dalam sasi gereja kakes yang dipersiapkan
memang diperuntukkan bagi arwah-arwah nenek moyang atau
leluhur, bukan dalam rangka dan tujuan seperti yang ada dalam
sasi adat. Masyarakat yang melakukan sasi gereja memahami
dari sudut pandang berbeda. Dalam sasi gereja, masyarakat
memahami leluhur adalah pihak yang diberikan mandat oleh
Allah untuk menjaga dan melindungi semua hasil alam.
Sehingga siapapun masyarakat yang ingin mengambil hasil
alam tersebut, hendaknya meminta kepada Allah yang adalah
pencipta alam semesta melalui leluhur yang diberikan
wewenang untuk menjaga semua isi alam. Maka kakes yang
dipersiapkan ini bukan sebagai sesembahan kepada leluhur,
melainkan bagian dari penghormatan selaku orang adat kepada
para leluhur yang selama ini menjadi penjaga seluruh alam
yang masyarakat miliki.
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
85
Selain kakes, anyaman daun kelapa atau kain merah,
masyarakat yang akan melakukan sasi gereja harus
mempersiapkan sejumlah uang untuk diserahkan ke gereja
dalam sebuah ibadah sebagai persembahan yang dalam
masyarakat dikenal dengan nazar. Nazar ini berlaku untuk sasi
yang dilakukan oleh perorangan/klan ataupun komunal.
Sedangkan untuk jumlah uang yang akan dipersembahkan
tidak ada patokan atau kewajiban yang harus dipenuhi,
melainkan sukarela.
b) Pelaksanaan Tutup Sasi Gereja
Untuk pelaksanaan tutup sasi gereja, penulis akan
membaginya dalam 2 (dua) pembahasan, karena sasi gereja bisa
dilakukan secara perorangan dan bisa secara komunal artinya
seluruh warga gereja.
1) Tutup Sasi Gereja oleh Perorangan
Tujuan dilakukannya sasi gereja oleh perorangan,
sama dengan tujuan sasi pada umumnya, yaitu memberikan
kesempatan bagi sumber daya untuk bertumbuh dan
berkembang biak. Sasi gereja perorangan diberlakukan bagi
sumber daya yang menjadi kepemilikan pribadi seperti
kebun atau wilayah laut. Harapannya sumber daya yang di
sasi dapat menghasilkan panen yang baik dan berkualitas.
Untuk memulai sasi gereja perorangan, warga yang
ingin melakukan sasi bagi kebun atau wilayah laut
miliknya memberitahukan keinginan tersebut kepada
pendeta atau presbiter (majelis jemaat). Pemberitahuan ini
nanti akan diumumkan kepada seluruh warga gereja pada
pelaksanaan ibadah minggu. Ketika sampai pada waktu
pelaksanaan ibadah, pemberitahuan ini akan diselipkan di
tengah-tengah liturgi peribadahan. Menurut Julianto,
pemberitahuan ini biasanya diletakkan sebelum khotbah
berlangsung, tepatnya sebelum doa syafaat.
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
86
“Nanti sebelum khotbah kan ada doa syafaat to? Nah sebelum itu nanti warga yang mau melakukan sasi, akan dipanggil sama pendeta/presbiter untuk maju ke depan. Abis itu, pendeta/presbiter akan menjelaskan bahwa warga yang maju ke depan akan melakukan sasi untuk dia pu kebun atau sumber daya laut. Setelah itu juga nanti dong akan kasi tahu ke warga jemaat daerah mana saja yang disasi. Biar semua masyarakat itu tahu kalo si A atau si B sedang melakukan sasi dan berada pada wilayah yang ini dan itu. Dan berapa lama sasi itu akan berlangsung.” ujar Julianto.76
Setelah pemberitahuan tentang sasi yang dilakukan
oleh seorang warga gereja disampaikan oleh pendeta/
majelis, maka warga tersebut dipersilahkan untuk
membawa nazar yang sudah dipersiapkan dari rumah agar
diletakkan pada altar. Lalu dilanjutkan dengan doa syafaat
yang didalamnya juga mendoakan rencana sasi yang
dilakukan oleh seorang warga. Dalam doa tersebut
pendeta/majelis meminta kepada Allah Sang Pencipta
Semesta untuk turut campur tangan dalam proses sasi
tersebut. Harapan juga terucap didalam doa, agar Allah
memberikan kesuburan bagi tanah, cuaca yang baik,
menjauhkan segala macam hama dan penyakit yang bisa
menyerang sumber daya, agar nantinya pada saat buka sasi,
warga bisa mendapatkan hasil yang baik dan berkualitas.
Ucapan doa ini dilandaskan pemahaman bahwa Allah-lah
yang empunya segalanya termasuk alam semesta, sehingga
campur tangan Allah sangat diharapkan selama sasi gereja
ini berlangsung.
Jika ritual di gereja telah selesai, selanjutnya warga
yang melakukan sasi gereja akan menuju ke kebun/wilayah
laut miliknya untuk menaruh tanda-tanda yang
76 Wawancara dengan Julianto, Selasa, 30 Agustus 2011, Pukul. 12.00 WIT.
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
87
menunjukkan bahwa sumber daya miliknya sedang disasi.
Anyaman daun kelapa atau kain merah yang sudah
dipersiapkan pun mulai diikatkan satu per satu pada
tanaman-tanaman atau sebatang kayu yang nanti
ditancapkan di wilayah laut. Kemudian setelah semua
tanda-tanda tersebut terpasangkan, langkah selanjutnya
yang dilakukan warga adalah menaruh kakes pada sebuah
tempat sebagai wujud penghormatan kepada leluhur yang
bertugas untuk menjaga seisi alam semesta. Peletakkan itu
dilanjutkan dengan pembacaan doa dengan menggunakan
bahasa daerah atau bahasa tanah leluhur, yang meminta
agar para leluhur berkenan untuk menjaga dan melindungi
seluruh sumber daya selama sasi berlangsung. Harapannya
selama sasi ini dilakukan leluhur mampu melindungi
sumber daya dari perilaku oknum-oknum warga yang tidak
bertanggungjawab untuk mencuri atau menjarah. Lamanya
sasi gereja perorangan berlangsung sesuai dengan keinginan
warga yang melakukan sasi. Ada yang dilakukan selama 1
bulan, 3 bulan, 6 bulan, bahkan selama 1 tahun.
2) Pelaksanaan Sasi Gereja Secara Komunal
Sasi gereja secara komunal memiliki tujuan tidak
berbeda dengan tujuan sasi pada umumnya. Selain itu sasi
gereja secara komunal memberikan spirit hidup dalam
kebersamaan untuk menjaga, melindungi dan melestarikan
sumber daya alam yang sudah Allah berikan bagi
masyarakat kampung Warsambin.
Dalam pelaksanaannya, memang sasi gereja secara
komunal berbeda dengan sasi gereja perorangan/klan. Sasi
gereja secara komunal dilakukan oleh seluruh warga gereja
sebagai kesatuan umat. Selain bertujuan untuk mengajak
warga gereja untuk mampu memiliki wawasan untuk
menjaga, melindungi dan melestarikan sumber daya alam,
sasi gereja secara komunal juga bertujuan untuk menunjang
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
88
rangkaian pelayanan gereja secara keuangan. Untuk
bahasan ini akan disampaikan pada sub bahasan
selanjutnya. Sasi gereja secara komunal selama ini lebih
cenderung dilakukan bagi sumber daya alam laut. Sebab
untuk sumber daya alam darat semua berstatus kepemilikan
pribadi, walau dalam beberapa kasus biasanya ada
kesepakatan antara warga dan gereja yang merelakan
kebun pribadinya dijadikan sasi untuk keperluan gereja.
Untuk memulai sasi gereja secara komunal biasanya
dimulai dengan mengadakan rapat majelis jemaat dengan
melibatkan badan pengurus intera gerejawi (kategorial).
Dalam rapat ini, pembahasan seputar rangkaian persiapan,
pembagian tugas, sampai pada pelaksanaan sasi gereja.
Misalnya, untuk mempersiapkan perlengkapan yang akan
digunakan dalam sasi gereja seperti anyaman daun kelapa,
perahu, dan perlengkapan lainnya yang akan digunakan,
biasanya akan dipercayakan bagi kategorial Perseketuan
Kaum Bapak (PKB) dan Persekutuan Anak Muda (PAM).
Sedangkan untuk menopang terselenggaranya kegiatan ini
dari sisi konsumsi biasanya langsung dipercayakan bagi
kategorial Persekutuan Wanita (PW). Selain itu,
pembahasan rapat juga membicarakan tentang sumber daya
laut apa yang akan disasi dan berapa lama sasi akan
berlangsung. Penentuan tentang sumber daya laut apa yang
akan disasi biasanya bergantung pada kebutuhan apa yang
ingin dipenuhi lewat sasi ini? Sebab itu akan sangat terkait
dengan harga pasar. Ada 2 jenis hasil laut yang sering di
sasi oleh masyarakat kampung Warsambin, Taripang dan
Bia Lola (sejenis kerang). Sedangkan untuk berapa lama sasi
akan berlangsung berdasarkan pertimbangan kapan
kebutuhan untuk keperluan gereja harus terpenuhi, sangat
relatif dan sesuai dengan kesepakatan dalam rapat
pembahasan ini.
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
89
Setelah semua persiapan sudah dilakukan maka
masuk dalam pelaksanaan sasi gereja secara komunal.
Pelaksanaan sasi ini dimulai dengan melakukan ibadah di
gereja yang dipimpin oleh pendeta atau guru jemaat.
Ibadah yang diselenggarakan tersebut adalah bagian dari
ungkapan syukur masyarakat kampung oleh setiap
anugerah yang sudah taruhkan dalam kehidupan mereka,
baik itu anugerah nafas hidup dan juga berkat lewat alam
serta segala isinya. Dalam ibadah ini, warga gereja diajak
untuk merenungkan kembali semua kebaikan Tuhan.
Selain itu juga dalam ibadah ini meminta campur tangan
Tuhan dalam rencana pelaksanaan sasi, sehingga nantinya
ketika sasi dibuka hasil panen dapat melimpah dan
kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Pada ibadah ini semua
warga gereja diundang untuk hadir untuk mengikuti
ibadah tersebut. Ibadah ini tidak dilakukan pada hari
minggu tetapi sesuai dengan kesepakatan pada rapat
pembahasan. Selain masyarakat kampung Warsambin,
masyarakat kampung lainnya yang berdekatan dengan
Warsambin juga diundang untuk ikut bersama.
Usai ritual di gereja berlangsung. Maka pendeta dan
majelis jemaat akan mengajak semua warga gereja untuk
sama-sama menuju lokasi yang akan disasi. Dalam
perjalanan ke lokasi yang akan disasi biasanya warga akan
menggunakan perahu yang sudah disiapkan oleh majelis
jemaat. Perahu yang digunakan juga adalah perahu milik
masyarakat kampung Warsambin dan kampung sekitarnya
yang dipinjamkan secara cuma-cuma untuk kegiatan sasi
gereja ini. Setelah sampai di lokasi yang akan disasi, acara
selanjutnya dilanjutkan dengan pemasangan tanda sasi
berupa anyaman daun pisang dan kain merah pada
beberapa titik wilayah laut yang disasi. Sebagai penanda
bagi orang dari luar bahwa mereka sedang memasuki
wilayah laut yang sedang disasi.
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
90
Pemasangan tanda wilayah sasi sudah selesai
terpasang, acara selanjutnya adalah kata sambutan yang
diwakili oleh 3 pihak yaitu kepala kampung (mewakili
pemerintah), tua-tua adat, dan pendeta atau guru jemaat.
Inti dari setiap sambutan mengajak masyarakat untuk
sama-sama mentaati aturan sasi yang sudah ditetapkan,
untuk saling mengingatkan satu dengan yang lainnya. Dan
juga sama-sama mengawasi wilayah sasi agar tidak terjadi
pelanggaran yang dilakukan oleh orang dari luar daerah
sebab sanksi yang akan diterima oleh para pelanggar akan
sangat membahayakan jiwa dan keselamatan mereka.
Ketika semua sambutan telah selesai disampaikan
oleh 3 pihak, selanjutnya adalah pembacaan doa oleh
pendeta atau guru jemaat sebagai akhir dari setiap proses
pelaksanaan sasi gereja secara komunal. Setelah doa selesai,
masyarakat pun kembali ke kampung Warsambin untuk
melewati acara terakhir yaitu ramah-tamah dengan acara
makan bersama. Dalam acara ramah-tamah ini masyarakat
berbaur menjadi satu dalam kebersamaan dan
kekeluargaan. Turut serta juga semua masyarakat kampung
sekitar yang diundang hadir dalam acara tutup sasi gereja
tersebut.
c) Larangan Selama Sasi Gereja
Untuk larangan selama sasi gereja perorangan dan sasi
gereja secara komunal memiliki aturan masing-masing. Namun
aturan ini selalu berlandaskan pada ajaran kasih yang juga
menjadi spirit dari nilai kekristenan. Itu bukan berarti aturan
tersebut tidak dilangsungkan secara tegas. Berikut penjelasan
tentang larangan sasi gereja baik yang dilakukan secara
perorangan ataupun secara komunal.
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
91
1) Sasi Gereja Perorangan
Selama kurun waktu yang ditentukan untuk sasi
gereja perorangan, ada aturan yang harus dipatuhi oleh
warga yang melakukan sasi dan masyarakat lainnya.
Aturannya memang agak sedikit berbeda dengan yang
berlaku pada sasi adat. Aturan yang sama hanya pada point
yang pertama, yaitu siapapun dilarang mengambil hasil
sumber daya alam yang sudah disasi. Untuk sumber daya di
darat, selama buah masih melekat dengan pohonnya seperti
kelapa atau pinang, siapapun itu dilarang untuk
mengambilnya.
Sedangkan aturan yang kedua pada sasi adat, bahwa
jika ada hasil yang sudah matang dan jatuh ke tanah dari
pohonnya, hasil tersebut pun tidak boleh diambil, tidak
berlaku untuk sasi gereja perorangan. Ada pengecualian
bagi masyarakat lain yang berasal dari luar kampung yang
sedang melakukan perjalanan jauh tetapi membutuhkan
makanan atau minuman dari hasil yang sedang disasi. Jika
ada masyarakat dari luar kampung sedang melakukan
perjalanan jauh, dan kemudian membutuhkan bantuan
berupa makanan atau minuman mereka diperbolehkan
mengambil buah yang sudah jatuh ke tanah dari pohon
yang disasi. Dengan cara harus meminta ijin terlebih
dahulu kepada pemilik kebun. Hasil buah itu hanya boleh
dimakan ditempat tersebut dan tidak boleh dibawa pulang
dalam jumlah yang banyak. Jika ingin dibawa sebagai
bekal, cukup mengambil sesuai dengan perhitungan makan
sampai kampung terdekat.
Mengapa terjadi perubahan ini dalam sasi gereja
perorangan? Nilai kristiani sangat mempengaruhi pola pikir
masyarakat. Membantu dan menolong sesama yang
kesusahan yang adalah spirit kekristenan justru
memberikan ruang untuk terjadinya proses tawar-menawar
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
92
pada aturan sasi yang berlaku. Selama tidak melanggar
esensi sebenarnya dari tradisi sasi tersebut.
“Kan tra mungkin to, tong tidak bantu dorang yang membutuhkan tong pu pertolongan. Apalagi kalau dong butuh makan dan lagi dalam perjalanan jauh. Tetap kitong harus bantu, sebab ini alam Tuhan kasi buat torang semua umat manusia. Jadi dong boleh ambil hasil sasi, tapi yang su jatuh di tanah, tra boleh ambil yang masih di pohon dan seijin sang pemilik kebun. Kalau sa orang Kristen yang diajarkan untuk melakukan hukum kasih jadi sa harus lakukan itu. Ini alam Tuhan punya, tong cuma dapa suruh jaga saja, jadi kalo ada orang yang susah datang minta tolong kitong harus bantu.” ungkap Julianto.77
2) Sasi Gereja Secara Komunal
Aturan yang berlaku selama sasi gereja secara
komunal dilaksanakan juga tidak berbeda jauh dengan
aturan sasi gereja perorangan. Namun karena lokasi sasi
gereja secara komunal lebih cenderung pada wilayah laut
dan ini menjadi kesepakatan keseluruhan masyarakat
kampung serta diberitahukan kepada masyarakat dari
kampung lain sehingga aturan menjadi lebih ketat. Aturan
ini pun bergantung pada model sasi yang dilakukan. Dalam
sasi gereja secara komunal terdapat 2 model sasi yang
dilakukan. Pertama, sasi gereja wilayah perairan yang
artinya seluruh sumber daya laut yang masuk dalam area
sasi dilarang untuk diambil oleh siapapun. Kedua, sasi
gereja pada jenis biota tertentu seperti taripang, bia lola
(sejenis kerang), atau salah satu jenis ikan. Aturan yang
berlaku pada model yang kedua, bahwa setiap jenis biota
yang disasi dilarang untuk diambil selama sasi gereja, tetapi
77 Ibid
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
93
untuk jenis biota yang tidak disasi boleh diambil. Dan yang
boleh mengambil dalam area sasi hanya masyarakat
kampung sekitar tidak boleh orang dari luar daerah.
d) Pelaksanaan Buka Sasi Gereja
Setelah melewati masa tutup sasi gereja sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan, selanjutnya yang dilakukan
adalah kegiatan buka sasi gereja. Buka sasi gereja yang
dilakukan oleh perseorangan berbeda yang dilakukan secara
komunal. Oleh sebab itu dalam bagian ini, penulis akan
membaginya dalam 2 sub bahasan yaitu : Buka Sasi Gereja
Perorangan dan Buka Sasi Gereja Secara Komunal.
1) Buka Sasi Gereja Perorangan
Ketika masa tutup sasi gereja perorangan telah
selesai, yang dilakukan selanjutnya adalah pelaksanaan
buka sasi gereja. Untuk pelaksanaan buka sasi gereja
perorangan, pertama kali yang dilakukan adalah
melaporkan kembali kepada pendeta atau majelis jemaat
bahwa masa tutup sasi telah berakhir dan akan dilakukan
buka sasi. Setelah pemberitahuan ini disampaikan ke
gereja, maka pada ibadah hari minggu akan diumumkan
kepada warga jemaat bahwa sasi yang dilakukan oleh salah
seorang warga telah selesai dan akan dilakukan buka sasi.
Dalam ibadah tersebut pendeta atau guru jemaat akan
mendoakan rencana pelaksanaan buka sasi yang akan
dilakukan. Kemudian pada ibadah tersebut itu juga, warga
gereja yang melakukan sasi gereja perorangan akan
mengucapkan terimakasih kepada gereja dan seluruh warga
gereja telah mendukung pelaksanaan tutup sasi yang
mereka lakukan.
Yang dilakukan selanjutnya adalah pelaksanaan
buka sasi di lokasi kebun yang disasi. Buka sasi gereja
perorangan ini dilakukan oleh pemilik kebun bersama
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
94
keluarga inti dan keluarga besar. Biasanya sang pemilik
kebun juga mengundang beberapa warga kampung sesuai
dengan kedekatan warga tersebut dengan keluarga pemilik
kebun. Ritual buka sasi gereja ini dimulai dengan
pembacaan doa yang dibawakan oleh salah satu anggota
keluarga. Isi doa tersebut antara lain adalah mengucap
syukur kepada Tuhan, oleh karena berkat penyertaan dan
kasih Tuhan proses tutup sasi sudah berjalan dengan baik
dan semua hasil sasi akan siap untuk dipanen. Setelah
pembacaan doa syukur selesai dilanjutkan dengan ritual
adat yaitu mempersiapkan kakes untuk diberikan kepada
leluhur sebagai penghormatan dan ucapan terimakasih
karena leluhur telah menjaga tanaman-tanaman yang disasi
sehingga tidak dicuri atau dijarah orang lain.
Ritual doa syukur dan ritual adat mengawali
pembukaan sasi gereja perorangan. Setelah kedua ritual itu
selesai, selanjutnya yang dilakukan adalah memanen hasil
tanaman yang disasi. Yang menarik dan membedakan
antara sasi adat dan sasi gereja perorangan ini adalah
peruntukkan dari hasil sasi. Jika disasi adat hasil yang sudah
dipanen hanya digunakan sebagai kebutuhan keluarga
pemilik kebun sendiri dan sisanya kemudian dijual.
Sedangkan pada sasi gereja perorangan, hasil panen sasi
sebagiannya harus dibagikan bagi keluarga-keluarga
lainnya dan masyarakat sesuai dengan kedekatan antara
pemilik kebun dengan warga tersebut. Sisa dari hasil sasi
setelah dibagi-bagi tersebutlah yang kemudian dijual
kembali oleh pemilik kebun. Sekali lagi, nilai kekristenan
sangat mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat
di kampung Warsambin.
“Tong tra boleh makan hasil sasi itu sendiri. Tong harus berbagi dengan orang lain. Ketika tong mau lakukan sasi gereja itu kan tong minta sama Tuhan supaya memberikan hasil yang baik
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
95
dan banyak. Setelah Tuhan kabulkan trus tong makan itu hasil sendiri ka? Kan tra boleh to? Makanya setelah buka sasi gereja, dia pu hasil tong harus berbagi deng orang lain. Tuhan itu baik ade… Buktinya setelah tong bagi-bagi, kitorang tra pernah merasa kurang, hasil tetap ada dan cukup banyak yang dijual. Ada dia pu aneh, coba kalo bikin sasi gereja trus ko panen lalu ko makan dia pu hasil sendiri. Ko pu tumbuhan yang ko sasi abis panen itu langsung mati. Tra berbuah, langsung besoknya kering. Coba itu kenapa? Itu pernah terjadi di kampung ini” jelas Joko.78
Sasi gereja perorangan yang dilakukan masyarakat
kampung Warsambin memberikan pelajaran tersendiri bagi
mereka. Menjalani kehidupan dalam satu kesatuan
komunal berdasarkan kasih yang tergambarkan dalam
perilaku saling berbagi adalah buah manis dari pengabaran
injil di kampung Warsambin. Gereja memberikan warna
dalam cara berpikir dan perilaku masyarakat. Dan sasi pun
digunakan tidak hanya bagaimana masyarakat harus
menjaga, melindungi dan melestarikan alam yang sudah
Allah berikan, melainkan juga bagaimana sasi mengajarkan
masyarakat untuk hidup saling berbagi satu dengan
lainnya.
Sisa dari hasil sasi yang sudah dibagi-bagikan
kepada sesama, kemudian dijual di pasar. Dan setelah
semua hasil jualan tersebut, maka pemilik kebun akan
membawa perpuluhan dari hasil penjualan tersebut ke
gereja. Perpuluhan itu disampaikan pada ibadah minggu di
gereja.
78 Wawancara dengan Joko, Kamis 1 September 2011, Pukul. 10.00 WIT.
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
96
2) Buka Sasi Gereja Secara Komunal
Untuk melakukan buka sasi gereja secara komunal,
langkah-langkahnya tidak jauh berbeda ketika saat
melakukan tutup sasi gereja. Setelah masa tutup sasi gereja
berakhir maka akan dilakukan pertemuan persiapan
kegiatan buka sasi gereja. Pertemuan tersebut difasilitasi
oleh gereja dengan menghadirkan pendeta atau guru
jemaat, majelis jemaat, badan pengurus intera gerejawi, dan
juga tokoh-tokoh masyarakat. Pertemuan ini membahas
rangkaian persiapan kegiatan buka sasi, pembagian tugas
sama seperti pada saat tutup sasi gereja, dan juga
pembahasan tentang berapa lama buka sasi ini akan
dilakukan. Pembahasan tentang berapa lama kegiatan buka
sasi ini akan berlangsung, berkaitan dengan tujuan sasi
gereja ini dilakukan. Apakah sasi dilakukan dalam rangka
untuk memberi kesempatan kepada biota berkembang biak
yang kemudian setelah disasi lalu ditutup kembali?
Ataukah sasi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
rangkaian pelayanan di gereja? Untuk penjelasan ini akan
disampaikan selanjutnya bersama dengan pembahasan pada
sub bahasan ini.
Usai rapat persiapan berlangsung dan penentuan
tanggal pelaksanaan buka sasi gereja akan dilakukan, maka
rangkaian persiapan pun dimulai. Pelaksanaan buka sasi
gereja diawali dengan ibadah di gereja bersama warga
gereja dan masyarakat kampung juga masyarakat dari
kampung sekitar. Ibadah ini diselenggarakan untuk
mengucap syukur kepada Allah oleh karena pelaksanaan
tutup sasi gereja akan segera berakhir, dan selama itu pula
Allah memberikan segala berkatNya. Harapannya bahwa
sasi gereja kali ini akan mendapatkan hasil panen yang baik
bagi masyarakat dan juga bagi gereja untuk menopang
pelayanan gereja. Dalam ibadah ini pula disampaikan
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
97
kepada warga gereja dan masyarakat berapa lama buka sasi
ini akan berlangsung.
Ibadah syukur buka sasi gereja berakhir,
selanjutnya warga gereja dan masyarakat bersama pendeta
atau guru jemaat serta majelis jemaat juga tokoh-tokoh
masyarakat menuju ke lokasi daerah sasi dengan perahu-
perahu yang sudah dipersiapkan. Ritual yang selanjutnya,
sama ketika melaksanakan tutup sasi gereja. Pendeta dan
tokoh masyarakat memimpin doa di lokasi wilayah sasi.
Pendeta berdoa bagi Allah Sang Pencipta alam semesta
sedangkan tokoh masyarakat atau tokoh adat berbicara
kepada leluhur.
Doa yang dibawakan oleh pendeta atau guru jemaat
pertanda bahwa panen sasi akan segera dimulai. Untuk
panen sasi gereja secara komunal ini biasanya ada aturan
yang mengatur berapa lama buka sasi ini akan berlangsung.
Untuk sasi gereja secara komunal yang bertujuan untuk
memberikan kesempatan kepada biota laut untuk
berkembang biak biasanya berlangsung sedikit lebih
lama. Buka sasi gereja akan berlangsung 1-3 minggu.
Dan setelah itu, wilayah tersebut kembali ditutup.
Sedangkan untuk hasil panen dari sasi tersebut
sepenuhnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat kampung.
Untuk sasi gereja secara komunal yang bertujuan untuk
menopang kegiatan pelayanan gereja, seperti
membangun gedung gereja atau prasarana lainnya,
menopang pelayanan diakonia, atau membiayai
aktifitas pelayanan kategorial diluar kampung,
dilakukan dalam jangka waktu yang lebih pendek.
Buka sasi gereja akan berlangsung selama ± 1 minggu.
Waktu ± 1 minggu itu hasilnya pun dibagi antara untuk
gereja dan untuk masyarakat. Pembagian tersebut
berdasarkan kesepakatan yang dilakukan pada
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
98
pertempuan persiapan. Misalnya jika buka sasi akan
berlangsung dalam waktu 7 hari, maka untuk hasil
panen sasi hari ke-1 sampai hari ke-4 semua diserahkan
untuk gereja. Sedangkan hasil panen sasi hari ke-5
sampai hari ke-7 menjadi hak masyarakat. Setelah masa
buka sasi itu berakhir daerah tersebut kemudian
kembali ditutup.
Budaya Sasi Mon Tahun 2010, masyarakat kampung Warsambin melakukan
budaya sasi yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Budaya
sasi ini merupakan perpaduan antara sasi adat dan sasi gereja. Budaya
sasi ini disebut dengan Sasi Mon atau sering juga disebut sasi leluhur.
Sasi Mon pada tujuannya memang tidak jauh berbeda dengan budaya
sasi pada umumnya. Perbedaan mendasar antara sasi Mon dan sasi pada
umumnya, terletak pada pelaksana sasi dan lokasi pelaksanaan sasi.
Jika sasi adat dan sasi gereja dilakukan oleh perorangan dan
gereja secara komunal, sedangkan sasi Mon dilakukan oleh masyarakat
adat yang berasal dari salah satu suku asli di Teluk Mayalibit yaitu
masyarakat adat dengan marga Ansan. Masyarakat adat dengan marga
Ansan adalah suku asli teluk Mayalibit yang mendiami pulau sebelah
timur di teluk Mayalibit dan memiliki hak adat bagi sebagian besar
wilayah perairan di pintu masuk teluk Mayalibit.
Mon sendiri adalah sebutan orang Ansan bagi leluhur mereka.
Bagi orang Ansan, mereka mempercayai bahwa wilayah adat mereka
didiami atau dihuni oleh para leluhur. Leluhur ini pula yang dipercayai
sebagai penjaga dan pelindung alam beserta segala isinya yang telah
diciptakan oleh Allah. Maka dalam kepercayaan orang Ansan, Mon merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat orang Ansan. Artinya mereka meyakini bahwa sampai
sekarang ini mereka masih hidup bersama dengan leluhur mereka, dan
interaksi hubungan mereka dengan leluhur itu dapat terlihat dari
perilaku-perilaku budaya yang dilakukan.
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
99
Sasi Mon adalah salah satu bukti bahwa orang Ansan masih
berinteraksi dengan leluhur mereka lewat perilaku budaya. Sasi Mon
yang dilakukan oleh orang Ansan yang bertempat tinggal di kampung
Warsambin, bertujuan untuk melindungi wilayah adat dari tangan-
tangan yang ingin menjarah dan mencuri sumber daya alam, dan juga
melindungi wilayah adat tersebut dari kerusakan lingkungan.
Pada pelaksanaan sasi Mon semua unsur masyarakat dilibatkan.
Unsur yang terlibat didalamnya ada pimpinan adat, pemerintah, gereja,
LSM, dan juga masyarakat kampung Warsambin serta masyarakat dari
kampung-kampung lainnya yang berada di distrik Teluk Mayalibit.
Yang menarik dari sasi Mon adalah sasi akan berlangsung
dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Dalam kata lain sasi Mon akan berlangsung seumur hidup. Sampai pada penulisan data penelitian
ini, wilayah perairan adat marga Ansan masih di sasi Mon. Karena sasi
yang dilakukan berdasarkan luasan wilayah dan bukan terhadap jenis
biota laut, maka wilayah sasi Mon tertutup dan tidak diperbolehkan
orang luar ataupun masyarakat kampung di Teluk Mayalibit
memancing di wilayah tersebut. Menurut Dortheus Metansan salah
satu anak adat dari marga Ansan, sasi Mon bisa dibuka jika memang
dewan adat orang Ansan memutuskan untuk dibuka. Jika tidak maka
wilayah adat yang dilakukan sasi Mon tersebut akan terus tertutup
untuk aktifitas memancing.
Intervensi LSM Conservation International dalam Pelaksanaan Sasi
Mon
“Setelah CI masuk ke Teluk Mayalibit, banyak sekali kegiatan konservasi yang sudah dong buat disini. CI dong mengingatkan torang tentang bagaimana tong bisa jaga kitorang pu lingkungan sebagai aset masa depan. Sa harus mengakui, kadang juga masyarakat sendiri tidak sadar ketika torang mencari ikan di laut, tong pu cara menangkap ikan itu tidak ramah lingkungan. Contoh kayak nelayan yang memakai bom ikan. Jelas itu sudah salah sekali. Bikin rusak karang, trus ikan mo hidup dimana? Tahun 2010 itu juga tong marga Ansan sepakat
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
100
bersama dengan CI untuk lakukan Sasi Mon di wilayah adat kami. Sa setuju sekali, untuk mengaktifkan kembali budaya sasi supaya tong pu sumber daya alam bisa terus menghasilkan” ungkap Anwar.79
Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya LSM-
LSM ke Raja Ampat paska pemekaran kabupaten ternyata
memberikan dampak yang signifikan dalam proses pembangunan.
Bahkan ada yang sudah bergerak dengan aktifitasnya jauh sebelum
kabupaten Raja Ampat dimekarkan. Di Teluk Mayalibit lokasi
penelitian ada LSM Conservation International (CI), yang bergerak
dalam persoalan konservasi laut.
CI dalam semua aktifitasnya, kembali membangkitkan
semangat masyarakat untuk peduli terhadap keberlanjutan sumber
daya alam. Serangkaian kegiatan konservasi mulai dari membangun
pemahaman baru tentang konservasi, pelatihan-pelatihan,
membangun sistem dan jejaring konservasi, sampai pada
membangun komunitas masyarakat konservasi.
Untuk memulai aktifitas konservasi bersama dengan
masyarakat bukanlah hal yang mudah. Pertama kali CI masuk ke
Teluk Mayalibit penolakan dari masyarakat sudah terjadi. Dengan
melakukan pendekatan-pendekatan personal antara CI dengan
tokoh-tokoh masyarakat ternyata membuahkan hasil yang manis.
Di tengah-tengah pendekatan personal, CI menjelaskan maksud
dan kedatangan mereka ke Teluk Mayalibit kepada tokoh-tokoh
masyarakat. Beberapa kali pertemuan harus dilakukan untuk
menjelaskan kedatangan CI, serta memberikan pemahaman-
pemahaman tentang apa itu konservasi. Buah manis itu akhirnya
terlihat ketika CI pun mulai diterima di tengah-tengah masyarakat.
Keberhasilan ini menurut penulis terletak pada pendekatan yang
dilakukan oleh CI. Dalam perjalanan aktifitas konservasi ini, CI
merekrut sejumlah orang yang berasal dari kampung-kampung
yang ada di Teluk Mayalibit untuk menjadi berperan langsung
79 Wawancara dengan Anwar, Senin, 12 Januari 2015, Pukul. 11.00 WIT.
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
101
sebagai perwakilan CI. Inilah faktor yang menurut penulis menjadi
kekuatan pendekatan CI sehingga mereka dapat diterima oleh
masyarakat Teluk Mayalibit.
Seperti yang sudah penulis sampaikan pada halaman
sebelumnya, bahwa ada berbagai aktifitas konservasi yang
dilakukan CI di Teluk Mayalibit. Semua berawal dari bagaimana
mempersiapkan komunitas masyarakat konservasi sebagai barisan
terdepan dalam menjawab persoalan kerusakan lingkungan dan
eksploitasi sumber daya alam. Dan untuk mencapai tujuan tersebut
CI melakukan berbagai aktifitas seperti pertemuan-pertemuan
bersama masyarakat kampung dalam rangka menjelaskan apa itu
kegiatan konservasi dan manfaatnya bagi masyarakat. Kemudian
mempersiapkan sumber daya masyarakat kampung untuk terlibat
aktif dalam kegiatan konservasi dengan melakukan pelatihan-
pelatihan.
Gambar. 5.1. Pelatihan bagi masyarakat oleh Fasilitator dari Conservation
International (Sumber Docs. Conservation International)
Tabel 5.1. Jadwal Kegiatan Pelatihan Masyarakat
No Nama Kegiatan Tempat dan Waktu
Peserta Keterangan
1. Pelatihan perbengkelan dan pertukangan
Sorong, September
2010
2 orang dari MPA Teluk Mayalibit
Kerjasama MPA dengan Pemda
Raja Ampat
2. Pelatihan MPA 101 Warkabu, Oktober 2010
35 orang
(11 Kampung)
Focus Group Konservasi
3. Pelatihan Diving Wayag, November
2 orang dari MPA Teluk
Kerjasama Jejaring MPA
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
102
2010 Mayalibit
4. Pelatihan Pengawasan Kawasan (Patroli)
Warkabu, Desember
2010
35 orang dari Teluk Mayalibit
Focus Group Konservasi
5. Pelatihan Radio RAPI
Warkabu, Januari 2011
4 orang dari MPA Teluk Mayalibit
Focus Jejaring KKLD Raja
Ampat
6. Pelatihan Mantatouw
Waiwo, Februari 2011
2 orang dari MPA Teluk Mayalibit
Kerjasama Tim Monitoring
7. Pelatihan Ikan Lema
Warkabu, Maret 2011
22 orang dari masyarakat
Fokus pada nelayan
8. Pelatihan Lobster Warkabu, Maret 2011
4 orang dari MPA Teluk Mayalibit
Jumlah Tim 8 Orang, Tim
monitoring CI
9. Pelatihan Perikanan Berkelanjutan
Ambon, April 2011
3 orang dari MPA Teluk Mayalibit
NOOA Training
10. Pelatihan Stransect Karang
Waiwo, Mei 2011
1 orang dari Teluk Mayalibit
Kerjasama Tim Monitoring
Sumber : Docs. Conservation International
Data yang penulis dapatkan di lapangan adalah data setelah
komunitas masyarakat konservasi terbentuk dan melakukan
serangkaian pelatihan-pelatihan. Namun sebelum itu sudah banyak
aktifitas yang dilakukan CI bersama masyarakat, termasuk
melakukan sasi Mon.
Intervensi yang besar dari CI untuk mendorong masyarakat
untuk menghidupkan kembali budaya sasi, merupakan cara LSM
ini untuk membantu masyarakat dalam melindungi sumber daya
alam di Teluk Mayalibit. Mengangkat kearifan lokal budaya sasi
dan melekatkan konsep konservasi terhadap budaya sasi adalah
cara yang tepat memperkenalkan konservasi dengan istilah lokal.
“Orang di kampung itu tidak tahu konsep dari konservasi. Kita datang dari kota lalu bicara dengan mereka dengan bahasa dan konsep kita yang modern, jangan heran kalau ada penolakan dari masyarakat. Tetapi ketika pahamnya kita lekatkan dengan konsep lokal mereka maka itu kan sangat mudah diterima. Contohnya budaya sasi. Secara prinsip jika kita lihat apa
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
103
yang dilakukan dengan budaya sasi, itulah prinsip dari konservasi sebenarnya. Bagaimana kita memberikan kesempatan bagi tumbuhan dan hewan untuk bertumbuh dan berkembang biak. Juga bagaimana kita melakukan batasan-batasan terhadap hasil laut yang bisa diambil dan mana yang tidak bisa diambil. Membatasi wilayah-wilayah tertentu untuk tidak boleh kita mengambil ikan di sana karena alasan tertentu. Itulah konservasi yang sebenarnya. Sehingga CI datang memperkenalkan konservasi dengan konsep lokal masyarakat.” ungkap Bambang.80
Dengan memberikan pemahaman seperti yang dijelaskan
oleh Goram, CI mampu mendorong masyarakat menghidupkan
kembali budaya sasi di tengah kehidupan masyarakat kampung
Warsambin. Maka pada tahun 2010 itulah deklarasi sasi Mon diselenggarakan oleh masyarakat adat marga Ansan.
Gambar. 5.2 Pelaksanaan Deklarasi Sasi Mon Tahun 2010 di Teluk
Mayalibit (Sumber : Docs. Conservation International)
Ketika penulis turun lapangan pada Desember 2014, CI
telah menyelesaikan masa kontrak sesuai dengan kesepakatan
dengan pemerintah. Jangka waktu 10 tahun yang diberikan
pemerintah kepada CI untuk melakukan aktifitasnya di kabupaten
Raja Ampat telah usai. Kini seluruh aset beserta seluruh jaringan
komunitas konservasi yang berada di seluruh Raja Ampat,
80 Wawancara dengan Bambang, Kamis, 18 Agusutus 2011, Pukul. 11.00 WIT.
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
104
termasuk yang berada di Teluk Mayalibit diserahkan kepada
Pemda untuk dikelola.
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat Mendukung Pelaksanaan Sasi
Mon.
Usaha yang dilakukan masyarakat adat marga Ansan dan CI
untuk melaksanakan sasi Mon, ternyata ibarat gayung bersambut.
Rencana ini disambut positif oleh Pemerintah Daerah (Pemda)
kabupaten Raja Ampat.
“Semangatnya masih sama, yaitu melindungi sumber daya alam Raja Ampat. Jadi tidak ada alasan untuk pemerintah tidak mendukung pelaksanaan sasi Mon. Dengan mendukung sasi Mon itu artinya kami dalam hal ini pemerintah sedang melindungi sumber daya alam yang menjadi tempat pencaharian masyarakat Raja Ampat. Dan ini juga sama dengan spirit pemerintah dalam Peraturan Daerah No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Oleh sebab itu kami mendorong masyarakat untuk ikut berperan serta lewat kearifan lokal untuk melindungi sumber daya alam yang kita punya.” ungkap Lucky.81
Pemda Raja Ampat pun ikut serta dalam mendukung
kegiatan pelaksanaan sasi Mon pada tahun 2010 tersebut. Dengan
menyediakan sejumlah dana serta sarana dan prasarana untuk
mendukung terlaksana kegiatan sasi Mon, Pemda menunjukkan
keseriusannya dalam usaha melindungi sumber daya alam Raja
Ampat.
Peraturan Bupati No. 66 Tahun 2007 tentang Kawasan
Konservasi Laut Kabupaten Raja Ampat (KKL Raja Ampat) menjadi
alasan utama pemerintah untuk terlibat dalam usaha masyarakat
81 Wawancara dengan Lucky, di Badan Layanan Umum Daerah Unit Pelaksana
Teknis Kawasan Konservasi Perairan Daerah Raja Ampat pada Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Raja Ampat. Sabtu, 24 Januari 2015, Pukul 08.00 WIT.
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
105
dan LSM dalam melindungi sumber daya alam Raja Ampat. Pada
pasal 2 PerBup tersebut tercantum bahwa Teluk Mayalibit ditunjuk
sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat.
Keseriusan PemDa dalam persoalan melindungi sumber daya alam
semakin terlihat ketika PerBup ini kemudian dinaikkan
tingkatannya menjadi PERDA No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan
Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat, yang ditetapkan
pada tanggal 12 Desember 2008 oleh Bupati Raja Ampat, Drs.
Marcus Wanma., M.Si.
Dengan berdasarkan pada asas pemanfaatan, dan tidak
membatasi ruang mata pencaharian masyarakat lokal yang sebagian
besar adalah nelayan. Maka KKLD Raja Ampat pun dibagi dalam 3
zona berdasarkan pemanfaatannya dan kondisi terumbu karang.
Gambar 5.3. Peta Kondisi Kesehatan Terumbu Karang
(Sumber UPTD KKLD Kab. Raja Ampat)
Berdasarkan gambar diatas maka 3 zona yang dimaksud
adalah : Zona Inti, Zona Pemanfaatan, dan Zona Lainnya. Yang
dimaksudkan Zona Inti atau sering disebut sebagai No Take Zone
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
106
(zona dilarang ambil) adalah wilayah yang ditutup dan tidak boleh
ada aktifitas pengambilan ikan. Dilihat dari kondisi perairan
tersebut yang dikelilingi oleh hutan mangrove seluas 64 ha
merupakan titik dimana ikan melakukan aktifitas reproduksi.
Sehingga menjadi penting untuk menutup lokasi tersebut dari
aktifitas pencarian ikan. Untuk zona pemanfaatan terbatas dibagi
menjadi 2 sub zona yaitu : sub zona ketahanan pangan dan
pariwisata dan sub zona perikanan berkelanjutan dan budidaya.
Sedangkan zona lainnya juga dibagi menjadi 2 sub zona yaitu : sub
zona pemanfaatan tradisional masyarakat dan sub zona
pemanfaatan lainnya.
Wilayah sasi Mon yang dilakukan oleh masyarakat masuk
dalam sub zona ketahanan pangan dan pariwisata. Sub zona
tersebut merupakah wilayah perairan yang memiliki terumbu
karang cukup banyak, walau didominasi oleh terumbu karang yang
sudah mati diantara karang-karang masih hidup. Oleh sebab itu
dengan dilakukannya sasi Mon pada sub zona tersebut, maka
karang yang masih hidup dapat berkembang biak dengan baik dan
mampu menggantikan karang yang telah mati. Harapannya ketika
karang itu bertumbuh mampu merubah memperbanyak terumbu
karang dan menjadi habitat baru bagi ikan. Sasi Mon yang
berlangsung lama dan menjadikan daerah tersebut tertutup sangat
membantu cepat tumbuhnya terumbu karang yang baru.
Merujuk pada pemahaman inilah Pemda memberikan
dukungan penuh kepada masyarakat untuk kembali
membangkitkan kearifan lokal budaya sasi agar mampu menjadi
benteng untuk melindungi dan menjaga sumber daya alam yang
dimiliki Raja Ampat. Selain itu dengan menggiatkan kembali
kearifan lokal masyarakat, dapat menguatkan kembali pemahaman
masyarakat tentang bagaimana memperlakukan lingkungan dengan
ramah. Agar kemudian bisa membentuk perilaku masyarakat dalam
menangkap ikan dengan cara-cara yang tradisional dan ramah
lingkungan. Bersamaan dengan itu, ketika budaya sasi kembali
Budaya Sasi di Kampung Warsambin
107
digiatkan harapannya sumber daya alam Raja Ampat dapat
terhindar dari ancaman eksploitasi.
Pro dan Kontra Pelaksanaan Budaya Sasi di Kampung
Warsambin Berhasilnya pelaksanaan sasi Mon di kampung Warsambin oleh
marga Ansan atas wilayah adat mereka berlangsung bukan tanpa pro
dan kontra. Ketika berada di lapangan pada saat penelitian, penulis
menemukan perbedaan pendapat dari beberapa anggota masyarakat
yang mengungkapkan ketidaksetujuan mereka atas deklarasi sasi Mon
yang diselenggarakan oleh masyarakat marga Ansan, pemerintah,
gereja dan CI. Menariknya justru perbedaan pendapat dari
ketidaksetujuan masyarakat dengan sasi Mon yang sudah dilaksanakan,
datangnya dari salah satu warga yang juga bagian dari marga Ansan.
Andi seorang bapak yang kesehariannya sebagai nelayan,
mengungkapkan ketidaksepahaman beliau dengan sasi Mon yang
dilakukan oleh marga Ansan. Alasan lainnya penulis sampaikan dalam
beberapa point yang menjadi perhatian beliau, sehingga beliau tidak
bersepakat dengan pelaksanaan sasi Mon tersebut. Point tersebut
antara lain :
1) Tidak Dilibatkannya Seluruh Pemangku Hak Adat di Teluk
Mayalibit. Dalam persoalan ini menurut Nikson, seharusnya
seluruh masyarakat yang memiliki hak adat diundang untuk duduk
berbicara bersama untuk sasi Mon. Walaupun sasi Mon hanya
ditujukan bagi wilayah adat marga Ansan, itu bukan berarti kita
mengabaikan pemangku adat lainnya. Ini menyangkut kepentingan
khalayak banyak, karena wilayah yang disasi tersebut juga menjadi
tempat pencaharian masyarakat dari kampung lain.
2) Dengan dilakukannya sasi Mon, maka semakin sempit pula ruang
mata pencaharian masyarakat. Alasan kedua ini lebih nampak
faktor ekonomisnya. Beliau beranggapan, jika semakin banyak
ruang wilayah yang di sasi maka masyarakat akan semakin sulit
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam
108
untuk mencari ikan, terlebih ketika wilayah yang disasi tersebut
merupakan area menghasil ikan sangat banyak.
3) Pemerintah dan CI harus konsisten jika ingin betul-betul
menghidupkan kembali budaya sasi. Misalnya persoalan komunitas
konservasi yang dibentuk, apakah benar-benar SDM-nya
terperhatikan dengan benar ataukah justru dibentuk lalu dibiarkan
saja. Jika ada masyarakat yang ditarik masuk dalam tim CI
seharusnya juga memperhatikan kesejahteraan dari masyarakat itu
sendiri.
4) Ketika melaksanakan sasi, mereka melakukan ritual adat dengan
meminta leluhur untuk menjaga dan melindungi daerah yang
disasi. Dalam kepercayaan lokal masyarakat di Teluk Mayalibit,
ketika sasi sudah dilakukan biasanya leluhur akan selalu
menampakkan diri dalam wujud buaya sebagai penjaga wilayah
sasi. Beberapa kejadian sudah memakan korban jiwa, ketika ada
masyarakat yang menjadi korban penyerangan buaya. Walau
sebenarnya hal ini terjadi oleh karena ulah masyarakat itu sendiri
yang mencoba melakukan aktifitas memancing atau menyelam di
area yang telah disasi.
Dalam wawancara yang penulis lakukan bersama Andi, pada
akhir wawancara tersebut beliau pun mengakui bahwa sebenarnya
budaya sasi memang perlu digalakkan kembali. Sebab beliau melihat
bahwa ancaman terhadap kerusakan lingkungan serta eksploitasi
sumber daya alam semakin nampak di depan. Namun menurut beliau
pengecualian terjadi ketika melihat pada sasi Mon seperti point-point
di atas yang sudah penulis sampaikan.
Secara jumlah memang kelompok yang tidak setuju lebih
sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang setuju adanya sasi Mon. Data ini terkuak ketika penulis melakukan obrolan-obrolan singkat
dengan masyarakat kampung Warsambin yang penulis tentukan secara
acak, ditengah aktifitas kerja mereka. Ketidaksetujuan dari kelompok
yang kecil ini muncul setelah sasi Mon sudah terlaksana, sehingga
tidak menjadi penghambat pelaksanaan sasi.