Blok 30 Makalah Pbl 5
-
Upload
neng-nurmalasari -
Category
Documents
-
view
31 -
download
6
Transcript of Blok 30 Makalah Pbl 5
KARSINOMA KOLON TERMINAL
Nama : Tiara Sari Irianti
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Email : [email protected]
PENDAHULUAN
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering
tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia
kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali
tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah
diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai
etika.1
Euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar
biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan
meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus
Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit
keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan
ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena
keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan
sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter
menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin
sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi
ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah
dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh.
Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat
mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan
dapat mempercepat kematiannya .
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan
hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya
dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat
dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi
di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran
itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara
mana pun.
KASUS
Seoarang pasien berusia 62 tahun dating kerumah sakit dengan karsinoma kolon yang telah
terminal. Pasien masih culup sadar berpenidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi
kesehatannya dan ketebatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini ia juga memiliki pengalaman
pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralataan bermacam-macam
tampak sangat menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya memperpanjang
penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta kepada dokter apabila dia mendekati ajaalnya
agar menerima terapi yang minimal saja ( tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU dll) dan ia ingin
mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan
penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan.
ASPEK HUKUM
Persetujuan Tindakan Medik2
Pasal 1.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
a. Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh
pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut;
b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik
atau terapeutik;
c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan
jaringan tubuh;
d. Dokter adalah dokter umum/ dokter spesialis dan dokter gigi/dokter gigi spesialis yang
bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik atau praktek perorangan/ bersama.
Pasal 2.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi
yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang dapat
ditimbulkannya.
(4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta
kondisi dan situasi pasien
Pasal 3.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis
yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
(2) Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasal ini tidak
diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan secara nyata-nyata atau
secara diam-diam.
Pasal 4.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun
tidak diminta.
(2) Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai
bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien
menolak diberikan informasi.
(3) Dalam hal- hal sebagaimana dimaksud ayat (2) dokter dengan persetujuan pasien dapat
memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh
seorang perawat/ paramedik lainnya sebagai saksi.
Pasal 5.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang
akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik.
(2) Informasi diberikan secara lisan.
(3) Informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa hal itu
dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien.
(4) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuan pasien dapat
memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien.
Pasal 6.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi harus
diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri.
(2) Dalam keadaan tertentu dimana tidak ada dokter sebagaimana dimaksud ayat (1),
informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang
bertanggung jawab.
(3) Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan yang tidak invasif lainnya,
informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat, dengan pengetahuan atau
petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
Pasal 7.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.
(2) Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
(3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan, dokter harus
memberikan informasi kepadan pasien atau keluarganya
Pasal 8.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar dan sehat
mental.
(2) Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 tahun (dua
puluh satu) tahun atau telah menikah
Pasal 9.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Bagi pasien dewasa yang berada di bawah pengampuan (cura tele) persetujuan diberikan
oleh wali/curator.
(2) Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orang
tua/wli/curator
Pasal 10.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Bagi pasien di bawah umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak mempunyai orang
tua/wali dan atau orang tua/wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga
terdekat atau induk semang (guardian).
Pasal 11.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Dalam hal pasien tidak sadar/ pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan
secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan
medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun.
Pasal 12.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan
medik.
(2) Pemberian persetujuan tindakan medik yang dilaksanakan di rumah sakit/ klinik, maka
rumah sakit/ klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.
Pasal 13.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien
atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin
prakteknya.
Pasal 14.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah
dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan
tindakan medik tidak diperlukan.
Pasal 15.Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Hal-hal yang bersifat teknis yang belum diatur dalam Peraturan Menteri ini, ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pelayanan Medik.2
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
Merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktek
kedokteran.
Tertuang dalam SK PB IDI no 221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002 tentang penerapan
Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam Musyawarah
Kerja Susila Kedokteran Indonesia.
Dan sebagai bahan rujukan yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran
Internadional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan Dokter
Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XIII, tahun 1983.3
KEWAJIBAN UMUM
Pasal1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter.
Pasal2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standard
profesi yang tertinggi.
Pasal3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya
diberikan untuk kepentingan
dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal6
Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan tehnik atau pengobatan
baru yang belum diuji kebenarannya dan hal hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya..
Pasal7a
Seorang dokter harus, dalam setiappraktek medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang ( compassion ) dan penghormatan atas
martabat manusia.
Pasal7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dansejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang
melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal7c
Seorang dokter harus menghormati hak hak pasien, hak hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus
menjaga kepercayaan pasien.
Pasal7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani.
Pasal8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat
dan memperhatikan semua
aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh ( promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif ),
baik fisik maupun psiko-sosial,
serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar benarnya.
Pasal9
setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan bidang lainnya
serta masyarakat, harus
saling menghormati.3
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya
untuk kepentingan pasien.
Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien, ia wajib
merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan
dengan keluarga dan
penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.
Pasal13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada
orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan
atau berdasarkan
prosedur yang etis.2
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi
kedokteran/kesehatan.
Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi
Pasal 50 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak : a.
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional; b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan
standar prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan d. menerima
imbalan jasa.
Pasal 51 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien; b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang
mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan; c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; d. melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya;
dan e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
Hak dan Kewajiban Pasien
Pasal 52 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: a.
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3); b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c. mendapatkan pelayanan
sesuai dengan kebutuhan medis; d. menolak tindakan medis; dan e. mendapatkan isi rekam
medis.
Pasal 53 Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; b. mematuhi
nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana
pelayanan kesehatan; dan d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. 3
INFORM CONSERNT
Informed consernt adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter
dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan
dilakukan terhadap pasien. Informed consernt dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak melainkan lebih kearah persetujuan sepihak atas layanan yang
ditawarkan pihak lain: 4
Infirmed consernt memiliki 3 element, yaitu:
1. Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai element, oleh karena sifatnya lebih
kearah syarat, yaitu pemberi consernt haruslah seorang yang kompeten. Kompeten disini
diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk
membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu continuum, dari sama sekali tidak
memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat
berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu ( keputusan yang reasonable
berdasarkan alas an yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap ( kompeten) adalah apabila telah dewasa, sadar dan
berada dalam keadaan mental yang tidak dibawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai
usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang
dianggap tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental sedemikian rupa
atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga kemampuan membuat
keputusan terganggu.
2. Information elemens
Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan Undestanding
(pemahaman). Pengertian “berdasarkan pemahaman yang adekuat” membawa konsekuensi
kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa agar pasien
dapat mencapai pemahaman yang adekuat.
Dalam hal ini seberapa “baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3
standart, yaitu:
Standar Praktek Profesi
Bahwa memberikan informasi dan criteria ke-adekua-an infomasi ditentukan bagaimana
biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis (constumary practice of a
professional community- Faden and Beauchamp, 1986). Standar ini terlalu mengacu
pada nilai-nilai yang ada didalam komunitas kedokteran tanpa memeperhatikan
keingintahuan dan kemampuan pemahaman individu yang diharapkan menerima
informasi tersebut.
Dalam standar nilai ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut diatas tidak sesuai
dengan nilai-nilai social setempat, misalnya: risiko yang “tidak bermakna” ( menurut
medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi social/ pasien.
Standart Subyektif
Bahwa keputusan harus didasrkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi,
sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam
membuat keputusan. Sebaiknya dari standar sebelumnya, standar ini sangat ulit
dilaksanakan atau hamper mustahil. Adalah mustahil bagi tenaga medis untuk
memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
Standart pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada umumnya
orang awam.
Sub-elemen pemahaman (understanding) dipengaruhi oleh penyakitnya, irrasionalis dan
imaturitas.
Banyak ahli yang mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak dilakukan maka dokter
dianggap telah lalai melaksanakan tugasnya member informasi yang adekuat.
3. Consent Elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan.
Pasien juga harus bebas dari “ tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap
seolah-olah akan “dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.
Banyak ahli masih berpendapat bahwa melakukan persuasi yang :tidak berlebihan” masih
apat dibenarkan secara moral.
Consernt dapat diberikan:
a. Dinyatakan (expressedI)
o Dinyatakan secara lisan
o Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti
dikemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasive atau yang beresiko
mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan
tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus
memperoleh persetujuan tertulis.
b. Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan
tingkah laku ( gerakan) yang menunjukan jawabannya.
Meskipun consernt jenis ini tidak memiliki bukti, namun consernt jenis inilah yang
paling banyak dilakukan dalam praktek sehari-hari.
Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan
lengannya ketika akan diambil darahnya.
Informed consernt memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan sebelumnya
tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan. Dokter dapat
bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat dan keadaan tersebut
membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.
Proxy-consernt adalah consernt yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu sendiri
dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan concern secara pribadi dan consernt
tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabiala ia mampu
memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan orang yang
dapat memberikan proxy-consernt adalah suami/isteri, anak orang tua, saudara sekandung dll.
Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran daripada hak menyetujui terapi.
Banyak ahli yang mengatakan bahwa hak menolak terapi bersifat tidak absolute, artinya masih
dapat ditolak atau tidak diterimaoleh dokter. Hal ini karena dokter akan mengalami konflik moral
dengan kewajiban menghormati kehidupan, kewajiban untuk mencegah perbuatan yang bersifat
bunuh diri atau self inflicted, kewajiban melindungi pihak ketiga dan integritas etis profesi
dokter.4
REKAM MEDIS
Rekam Medis adalah kumpulan berkas yang berisikan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perawatan pasien di institusi pelayanan kesehatan. Bayangkan ketika kita datang ke dokter,
klinik, rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan lainnya, maka yang ditanyakan pertama
adalah identitas kita. Selanjutnya dokter atau tenaga kesehatan lainnya akan menanyakan apa
keluhan dan yang berkaitan dengan keluhan kita. Ini adalah awal dari proses rekam medis.
Proses selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik, seperti tensi darah atau ukur suhu tubuh. Semua
yang dilakukan dan terapi yang diberikan dicatat dalam suatu lembar kertas, kartu ataupun media
lainnya (Inilah yang disebut rekam medis).5
Perkembangan Rekam Medis sangat cepat seiring dengan kemajuan bidang kedokteran,
kesadaran hukum dan teknologi informasi. Sehingga perubahan paradigma dari rekam medis
menjadi rekam kesehatan sudah harus kita terima.
Peraturan tentang penyelenggaraan Rekam Medis dimulai Tahun 1989, dengan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.749a/Menkes/PER/XII/ 1989 tentang
Rekam Medis, yang mana pengaturannya masih mencakup rekam medis berbasis kertas
(konvensional). Sementara saat ini Rekam medis konvensional kurang tepat lagi untuk
digunakan disaat mana kita sudah menggunakan informasi secara intensif dan lingkungan yang
berorientasi pada otomatisasi pelayanan kesehatan dan bukan terpusat pada unit kerja semata.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang melanda dunia
telah berpengaruh besar bagi perubahan pada semua bidang, termasuk bidang kesehatan. Salah
satu penggunaan teknologi informasi (TI) di bidang kesehatan yang menjadi tren dalam
pelayanan kesehatan secara global adalah rekam kesehatan elektronik (Electronic Medical
Record). Selama ini rekam medis mengacu pada Pasal 46 dan Pasal 47 UU No.29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran dan Permenkes No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis
sebagai pengganti dari Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/Menkes/PER/XII/1989.
Undang-undang No.29 Tahun 2004 sebenarnya telah diundangkan saat EMR sudah banyak
digunakan, namun belum mengatur mengenai EMR. Begitu pula Peraturan Menteri Kesehatan
No.269/Menkes/PER/III/2008 tentang Rekam Medis belum sepenuhnya mengatur mengenai
EMR. Hanya pada Bab II pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Rekam medis harus dibuat secara
tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik”. Secara tersirat pada ayat tersebut memberikan
ijin kepada sarana pelayanan kesehatan membuat rekam medis secara elektronik (EMR).5
ETIKA
Etika Kedokteran 5
Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehataan atau kedokteran, selain mempertimbangkan
keempat kebutuhan dasar diatas keputusan hendaknya juga memepertimbangkan hak-hak asasi
pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar
diatas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan atau
perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk dan benar-
salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak
jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontology
dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, Deontologi mengajarkan bahwa baik-
buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan
Teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnya atau atau
akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama,
tradisi dan budaya, sedangkan teleology lebih kearah penalaran (reasoning) dan pembenaran
(justifikasi) kepada azas manfaat ( aliran utilitarian).
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik
diperlukan 4 kaidah dasar moral ( moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah
dasar moral tersebut adalah:
1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien terutama hak
otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consert.
2. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja,
melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya ( manfaat) lebih besar dari pada sisi buruknya
(mudharat).
3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien, Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau ”above all do no
harm”
4. Prinsip justice yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap
maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules deviratnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy
(menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity
(loyalitas dan promise keeping).
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas yang harus dijadikan pedoman dakam mengambil
keputusan klinis, professional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam
bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct). Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan,
nilai-nilai dalam etika profesi tercermin didalam sumpah dokter dank ode etik kedokteran.
Sumpah dokter berisikan suatu “kontrak moral” antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya,
sedangkan kode etik kedokteran berisikan “ kontrak kewajiban moral” antara dokter dengan
peer-groupnya yaitu manyarakat profesinya.
Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang
melekat kepada para dokter . meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga
tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi
“pemimpin” dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah
hukum yang etis.
Etika Klinik 5
Pembuatan keputusan etik. Terutama dalam situasi klinik dapat juga dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler dan
Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang essensial dalam
pelayanan klinik yaitu:
1. Medical indikasi
2. Patient preferences
3. Quality of life
4. Contextual features
Kedalam topic medical indikasi dimasukkan semua prosedur diagnostic dan terapi yang sesuai
untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini
ditinjau dari sisi etikanya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan nonmaleficence,
pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya
disampaikan kepada pasien pada doktrin informed consernt.
Pada topic patient preference kita memperlihatkan nilai (value) dan penilaian pasien tentang
manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy.pernyataan
etiknya meliputi pernyataan tentang kompetensi paien, sifat volunteer sikap dan
keputusannya,pemahaman atas informasi, siapa pembuatan keputusan bila pasien tidak
kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dll.
Topic quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedoteran, yaitu memperbaiki,
menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane. Apa, siapa dan bagaimana melakukan
penilaian kualitas hidup merupakan pernyataan etik sekitar prognosis, yang berkaitan dengan
beneficence, noonmaleficence, dan autonomy.
Dalam contextual featurs dibahas pernyataan etik seputas aspek nonmedis yang mempengaruhi
keputusan, seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya
dan factor hukum.
Etik dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Didalam praktek, peran professional kesehatan khususnya dokter dapat terbagi ke dalam 3
model penjaga gawang yaitu peran tradisional, peran negative gatekeeper dan peran positive
gatekeeper.
Dalam peran tradisionalnya, dokter memikul beban moral sebagai penjaga gawang
penyelenggaraan layanan kesehatan dan medis. Mereka harus menggunakan pengetahuan
mereka untuk berpraktek secara kompeten dan rasional ilmiah. Petunjukknya harus diagnostic
elegance (termasuk menggunakan cara yang memiliki tingkat ekonomi yang sesuai dalam
mendiagnosis) dan therapeutic persinomy (memberikan terapi hanya yang secara nyata
bermanfaat dan efektif). Mereka harus mencegah adanya resiko yang tidak diperlukan kepada
pasien yang berasal dari terapi yang meragukan dan menjaga sumber daya financial pasien.
Dalam peran negative gatekeeper yaitu pada system kesehatan prabayar atau kapitasi, dokter
diharapkan untuk membatasi akses pasien ke layanan medis. Pada peran ini jelag terjadi konflik
moral pada dokter dengan tanggungjawab tradisionalnya dalam membela kepentingan pasien
(prinsip beneficence ) dengan tanggungjawab barunya sebagai pengawal sumberdaya
masyarakat/komunitas. Meskipun demikian, peran negative gatekeeper ini secara moral
mungkin masih dapat di justifikasi.
Tidak seperti peran negative yang banyak dideskripsikan secara terbuka, peran positive
gatekeeper dokter sangat tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dalam
peran ini dokter diberdayakan untuk menggunakan fasiliatas medis dan jenis layanan hi-tech
demi kepentingan profit. Bagi mereka yang mampu membayar disediakan fasilitas diagnostic
dan terapi yang paling mahal dan mutakhir, layanan didasarkan kepada “ keinginan pasar” dan
bukan kepada kebutuhan medis. Upaya meningkatkan demand atas layanan yang sophisticated
dijadikan tujuan yang implicit, dan dokter menjadi salesmannya. Mereka berbagi profit secara
langsung apabila mereka pemilik atau inverstor layanan tersebut, atau mereka memperoleh
penghargaan berupa kenaikan honorarium atau tunjangan apabila mereka hanya berstatus
pegawai atau pelaksana.
Tidak disangkal lagi bahwa peran positive gatekeeper telah “membudaya” bagi para dokter di
kota-kota besar di Indonesia. Transaksi antara pasien dengan dokter menjadi transaksi komoditi
biasa. Dokter menjadi entrepreneur atau sebagai agen dari sang entrepreneur. Etik para
professional kesehatan menjadi menurun hingga ke bottom li ne ethics dan bukan lagi
menjunjung tinggi nilai-nilai keutamaan (virtue ethics). Pertanyaan “apa yang harus saya
lakukan agar pasien bebas dari tuntutan” menjadi dasar kerja dokter sebagai pengganti
pertanyaan “ apa yang harus saya lakukan agar pasien memperoleh manfaat danlayanan profesi
yang optimal”. Orang yang sakit, dependen, gelisah, kurang pengetahuan, dan vulnerable
dieksploitasi untuk keuntungan pribadi orang-orang tertentu. 5
KESIMPULAN
Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit
keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan euthanasia dari sudut
kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat
disembuhkan.Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada
dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu
meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang
berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang
lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Idries AM. Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses penyidikan.Jakarta: Sagung
Seto.2013. h.243-57.
2. Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran. Edisi Pertama. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik FKUI. 1994.
3. Etika Kedokteran Indonesia. Diunduh dari:
http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/. 8 Januari 2014.
4. Hanafiah HJ. Pernyataan IDI tentang informed consent. Dalam: Etika Kedokteran dan
Hukum Kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999; hal. 279.
5. Sampurna Budi, et all. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik FKUI. 2007.