blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/andimudj/files/2013/11/Makalah-fix-blog.docx · Web viewPenelitian...
Transcript of blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/andimudj/files/2013/11/Makalah-fix-blog.docx · Web viewPenelitian...
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk dengan tingkat pertumbuhan
yang tinggi. Penduduk Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 241 juta jiwa. Pada
tahun 2011, data BPS menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras mencapai 139 kg/kapita
lebih tinggi dibanding dengan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65 kg – 70 kg
perkapita pertahun. Beras sebagai makanan pokok utama masyarakat Indonesia sejak tahun
1950 semakin tidak tergantikan meski roda energi diversifikasi konsumsi sudah lama
digulirkan, hal ini terlihat bahwa pada tahun 1950 Konsumsi beras nasional sebagai sumber
karbohidrat baru sekitar 53% Bandingkan dengan tahun 2011 yang telah mencapai sekitar
95%.
Dalam rencana strategis Kementerian Pertanian menempatkan beras, sebagai satu dari
lima komoditas pangan utama. Kementerian Pertanian mentargetkan pencapaian swasembada
dan swasembada berkelanjutan atas tanaman pangan pada tahun 2010-2014 yakni padi,
jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar Karena padi sudah pada posisi
swasembada mulai 2007, maka target pencapaian selama 2010-2014 adalah swasembada
berkelanjutan dengan sasaran produksi padi sebesar 75,7 juta ton GKG (Gabah Kering
Giling).
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian melakukan berbagai cara untuk
memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Salah satu teknologi yang sangat potensial untuk
meningkatkan produksi beras nasional adalah Budidaya Padi System of Rice Intensification
(S.R.I). Budidaya Padi S.R.I. telah diadopsi oleh banyak petani di 28 negara (Sjamsoe’oed,
2007). Budidaya padi yang berasal dari Madagascar ini diperkenalkan pertama kali di
Indonesia oleh Prof. Dr Norman Uphoff dari Cornell University, Amerika Serikat tahun 1997.
Namun perkembangan Budidaya Padi S.R.I. di Indonesia terasa lambat.
Keuntungan lain dari penerapan Budidaya Padi S.R.I adalah mengurangi emisi CH4
karena sawah tidak digenangi. Hal ini merupakan keuntungan lain dari penerapan Budidaya
Padi S.R.I. secara luas. Pemerintah Indonesia sudah menyatakan komitmennya untuk
berpertisipasi aktif mengurangi emisi gas rumah kaca. Melalui penerapan Budidaya Padi
S.R.I. secara luas, emisi metan dari sawah juga akan berkurang secara nyata sehingga secara
nasional, Pemerintah Indonesia dapat menunjukkan berpartisipasi aktif dalam menurunkan
emisi CH4.
2. ISI
2.1 Tipe Lahan Pada Pertanaman padi
2.1.1 Lahan sawah beririgasi ( Irrigated Lowland )
Ciri-ciri dari lahan sawah beririgasi adalah potensi air irigasinya lebih dari lima
bulan, ketersiediaan air tidak tergantung kepada curah hujan, dan elevasi berada
pada kurang dari 700 m diatas permukaan laut. Adapun macam-macam lahan
sawah beririgasi terbagi menjadi tiga berdasarkan teknis irigasinya yaitu sawah
irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, dan sawah irigasi sederhana.
Sawah Irigasi Teknis
Sawah yang memperoleh pengairan dimana saluran pemberi, terpisah dari
saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian irigasi dapat sepenuhnya
diatur dan diukur dengan mudah.
Jaringan seperti ini biasanya terdiri dari saluran induk, sekunder dan tersier.
Saluran induk, sekunder serta bangunannya dibangun, dikuasai dan dipelihara
oleh pemerintah.
Sawah Irigasi Setengah Teknis
Merupakan sawah berpengairan teknis, akan tetapi pemerintah hanya
menguasai bangunan penyadap untuk dapat mengatur dan mengukur
pemasukan air, sedangkan jaringan selanjutnya tidak diukur dan dikuasai
pemerintah.
Sawah Irigasi Sederhana
Adalah sawah yang memperoleh pengairan dimana cara pembagian dan
pembuangan airnya belum teratur, walaupun pemerintah sudah ikut
membangun sebagian dari jaringan tersebut (misalnya biaya membuat
bendungannya).
2.1.2 Lahan sawah tadah hujan ( rainfed lowland )
Sawah tadah hujan adalah pertanian lahan basah yang pengairannya
bergantung dari air hujan, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
- Potensi irigasi < 5 bulan
- ketersediaan air sangat dipengaruhi oleh curah hujan
- Elevasi < 700 m dpl
2.1.3. Lahan kering
Menurut Satari (1977) lahan kering adalah lahan yang dalam keadaan
alamiah,lapisan atas dan bawah tubuh tanah(topsoil dan sub soil) sepanjang tahun
tidak jenuh air dan tidak tergenang,serta kelembaban tanah sepanjang tahun erada
dibawah kapasitas lapang.
Sedangkan menurut Muliadi (1977) adalah lahan yang hampir sepanjang
tahun tidak tergenang secara permanen, dan menurut Ahli Tanah Indonesia adalah
lahan dimana kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya air hujan dan tidak
pernah tergenang secara tetap
Luas lahan kering di Indonesia 51,7 juta Ha sedang di Jawa 6,1 juta Ha.
Ini berarti di Indonesia 86,24 % lahan pertanian berupa lahan kering, sedang di
Jawa 63,54% berupa lahan kering. Adapun ciri-ciri dari lahan kering adalah
sebagai berikut :
Terbatasnya air
Peka terhadap erosi
Makin menurunnya produktifitas lahan
Tingginya variabilitas kesuburan tanah
Macam species yang ditanam
Adopsi teknologi maju masih rendah
Ketersediaan modal sangat terbatas
Infrastruktur kurang baik
2.1.4 Lahan dataran tinggi ( high altitude area )
Wilayah Indonesia pada daerah dataran tinggi memiliki system
pegunungan yang memanjang dan masih aktif. Relief dataran dengan banyaknya
pegunungan dan perbukitan, menyebabkan Indonesia memiliki kesuburan tanah
vulkanik, udara yang sejuk, dan alam yang indah.
Dataran tinggi biasanya dijadikan sebagai daerah tangkapan air hujan
(catchment area). Selain dapat memenuhi kebutuhan air tanah di wilayah sekitar,
daerah tangkapan air hujan dapat mencegah terjadinya banjir pada daerah bawah.
Dataran tinggi yang ditumbuhi pepohonan besar dengan kondisi hutan yang masih
terjagaberfungsi mencegah erosi, digunakan sebagai suaka margasatwa, cagar
alam, atau bahkan tempat wisata. Namun sayangnya, penebangan liar tanpa
memperhatikan upaya penanaman kembali dan usaha konservasi lahan sering
menimbulkan bencana bagi penduduk di sekitarnya. Pembangunan vila dan
pemukiman di daerah pegunungan juga telah mengurangi area resapan air. Dapat
ditebak pada akhirnya dapat menyebabkan banjir. Seperti terjadi di Jakarta yang
selalu mendapat kiriman air banjir dari Bogor.
Setiap pergantian musim, kita sering dihadapkan pada bencana. Banjir
pada musim penghujan dan bencana kekeringan setiap musim kemarau. Kita juga
sering mengalami bencana tanah longsor, kebakaran hutan, dan bencana lain
diakibatkan kerusakan kawasan hutan lindung atau hutan konservasi pada daerah
hulu.
Relief daratan dengan banyak pegunungan dan perbukitan, tanah yang
subur, dan udara yang sejuk sangat dinikmati penduduk yang kegiatan utamanya
di bidang pertanian. Sebagian besar penduduk juga masih banyak tergantung pada
alam dan memanfaatkan hasil dari alam. Penduduk daerah pegunungan juga
banyak yang memanfaatkan suhu udara yang dingin untuk menanam sayuran dan
tanaman perkebunan. Selain itu, relief daratan yang demikian juga memiliki
potensi menjadi daerah pariwisata. Beberapa kawasan yang dijadikan tempat
kegiatan wisata alam dan memberikan penghasilan penduduk sekitarnya adalah
kawasan Puncak di Bogor, Kaliurang di Yogyakarta, Lembang bandung, dan Batu
Malang.
Pada wilayah dataran tinggi, suhu udara jauh lebih dingin dibandingkan
dengan dataran rendah maupun daerah pantai. Tingkat kelembapan udara dan
curah hujan yang berlangsung juga cukup tinggi
2.1.5. Rawa lebak dan Pasang Surut
Sawah Pasang Surut
Sawah Pasang Surut adalah sawah yang pengairannya tergantung pada
air sungai yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut.
Sawah Lebak
Sawah Lebak adalah sawah yang sumber airnya berasal dari reklamsi
rawa bukan pasang surut. Sawah Lebak dapat diartikan juga sebagai sawah
rendahan yang tergenang secara periodik sekurang-kurangnya tiga sampai enam
bulan secara kumulatif dalam setahun, dan dapat kering atau lembab tiga bulan
secara komulatif dalam setahun.
Lahan lebak yang berpotensi sebagai sawah lebak banyak dijumpai di
seluruh nusantara, tersebar di pulau sumatera dan Kalimatan yang mempunyai
banyak sungai dan berpeluang baik.
2.2 Padi Sawah
Tanaman padi sawah memerlukan curah hujan antara 200 mm/bulan atau 1500-
2000 mm/tahun dengan ketinggian tempat optimal 0-1500 mdpl. Suhu optimal untuk
pertumbuhan tanaman padi 23°C. Intensitas sinar matahari penuh tanpa naungan. Budidaya
padi sawah dapat dilakukan disegala musim. Air sangat dibutuhkan oleh tanaman padi.
Pada musim kemarau, air harus tersedia untuk meningkatkan produksi. Tanah yang baik
mengandung pasir, debu dan lempung.
2.2.1 Pemupukan Padi Sawah
Pemupukan perlu dilakukan untuk mengembalikan dan menambah asupan
unsure hara yang dibutuhkan oleh tanaman pada lahan. pada umumnya lahan kering
memiliki kandungan unsure hara yang kurang sehingga perlu ditambahkan lagi
pasokan hara melalui system pemupukan.
Pupuk akar diberikan sebanyak 3 kali. Pemupukan pertama pada umur 7
hari setelah tanam (HST) menggunakan pupuk NPK 15-15-15 sebanyak 150 kg/ha
dan urea sebanyak 50 kg/ha. Pemupukan kedua dilakukan pada umur 20 HST
menggunakan pupuk NPK 15-15-15 sebanyak 150 kg/ha dan urea sebanyak 50
kg/ha. Pemupukan ketiga dilakukan pada umur 35 HST dengan menggunakan
pupuk NPK 15-15-15 sebanyak 250 kg/ha.
Pupuk daun kandungan Nitrogen tinggi diberikan pada umur 14 hst dengan
konsentrasi 2 gr/liter, sedangkan pupuk daun kandungan Phospat dan kalium tinggi
diberikan pada umur 30 hst dan 45 hst. Pemupukan phospat dan kalium tinggi
menggunakan pupuk MKP dengan konsentrasi 2 gr/liter pada umur 30 hst, dan
konsentrasi 4 gr/lliter pada umur 45 hst.
2. 3 Program DEPTAN 2009
2.3.1 Peningkatan Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu dalam stabilitas
nasional suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Oleh
sebab itu, ketahanan pangan merupakan program utama dalam pembangunan
pertanian saat ini dan masa mendatang.
Ketahanan pangan sendiri menurut literatur memiliki 5 unsur yang harus
dipenuhi :
1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu,
2. Dimensi watu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses,
3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik,
ekonomi dan sosial,
4. Berorientasi pada pemenuhan gizi,
5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif.
2.3.1.1 Definisi Ketahanan Pangan
Dari perspektif sejarah istilah ketahanan pangan (food security)
dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan tahun 1971 oleh
PBB untuk membebaskan dunia terutama negara-negara berkembang dari
krisis produksi dan suply makanan pokok. Jadi dapat dikatakan bahwa
munculnya ketahanan pangan karena terjadi krisis pangan dan kelaparan.
Fokus ketahanan pada masa itu menitikberatkan pada pemenuhan
kebutuhan pokok dan membebaskan daerah dari krisis pangan yang
nampak pada definisi ketahanan pangan oleh PBB sebagai berikut: “food
security is availability to avoid acute food shortage in the even of wide
spread coop vailure or other disaster” (syarif, Hidayat, Hardinsyah dan
Sumali, 1999)
2.3.1.2 Program Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan nasional masih merupakan isu yang strategis
bagi Indonesia mengingat kecukupan produksi, distribusi dan konsumsi
pangan memiliki dimensi yang terkait dengan dimensi sosial, ekonomi
dan politik. Dengan demikian diperlukan penyelarasan peningkatan
produksi disatu pihak.
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi
yang terdiri atas berbagai subsistem, subsistem utamanya adalah
ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan.
Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga
subsistem tersebut.
Untuk mencapai Program Ketahanan Pangan ada 2 pilihan yaitu
dengan cara swasembada pangan atau kecukupan pangan. Swasembada
pangan diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, yang sejauh
mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan
ketergantungan pada perdagangan pangan. Dilain pihak konsep
kecukupan pangan adalah sangat berbeda dengan konsep swasembada
pangan, menuntut adanya kemampuan menjaga tingkat nasional
merupakan prakondisi penting dalam memupuk ketahanan pangan dan
stabilitas harga.
Ketahanan pangan nasional selama ini dicapai melalui
kebijaksanaan swasembada pangan dan stabilitas harga. Oleh sebab itu
pemantapan swasembada beras merupakan salah satu fokus dalan
terwujudnya ketahanan pangan.
2.3.2 Program Pengembangan Agribisnis
Program ini dimaksudkan untuk mengoperasionalkan pembangunan
sistem agribisnis secara serasi dan seimbang serta berkembangnya usaha-usaha
agribisnis yang mengarahkan seluruh sub sistem agribisnis dapat secara
produktif dan efisien menghasilkan berbagai produk pertanian yang memiliki
nilai tambah dan daya saing yang tinggi, baik di pasar domestik maupun pasar
internasional. Tujuannya program ini adalah :
1. Mengembangkan sub sistem agribisnis hulu.
2. Mengembangkan sub sistem on-farm.
3. Mengembangkan sub sistem pengolahan.
4. Mengembangkan sub sistem pemasaran.
5. Mengembangkan sub sistem agribisnis penunjang.
Sasaran program ini adalah berkembangnya semua sub sistem
agribisnis dan seimbang serta berkembangnya usaha- usaha agribisnis.
Pelaksanaan program ini diwujudkan dalam bentuk usaha
pengembangan sentra - sentra produksi komoditas strategis (padi), maupun
komoditi unggulan tanaman pangan (jagung, kacang tanah, kacang hijau dan
kedele) dan hortikultura (jeruk, mangga, manggis, rambutan, advokat dan sayur-
sayuran), serta taman obat-obatan (jahe dan kencur yang memiliki nilai
ekonomis tinggi dan berpeluang pasar cukup baik, yang didukung oleh usaha
pengembangan sub sistem lainnya mulai dari hulu (sarana prasarana) hingga sub
sistem pengolahan dan pemasaran hasil usaha tani.
Indikator keberhasilan program tersebut dapat dilihat dari
meningkatnya prasarana dan sarana pertanian, meningkatnya produktivitas
melalui teknologi, meningkatnya nilai tambah melalui pengolahan,
meningkatnya posisi tawar petani dan perusahaan agribisnis skala kecil dan
menengah melalui pemasaran, serta berkembangnya dukungan penelitian dan
pengembangan penyuluhan kelembagaan ekonomi petani dan sistem data serta
informasi agribisnis.
2.3.3 Peningkatan Kesejahteraan Petani
Kegiatan pembangunan pertanian periode 2004-2009 dilaksanakan
melalui tiga program, yaitu: (1) Program peningkatan ketahanan pangan, (2)
Program pengembangan agribisnis, dan (3) Program peningkatan kesejahteraan
petani. Program ketahanan pangan tersebut diarahkan pada kemandirian
masyarakat/petani yang berbasis sumberdaya lokal yang secara operasional
dilakukan melalui program peningkatan produksi pangan; menjaga ketersediaan
pangan yang cukup, aman dan halal di setiap daerah setiap saat, dan antisipasi
agar tidak terjadi kerawanan pangan. Pada kenyataannya program ketahanan
pangan tersebut belum bisa terlepas sepenuhnya dari beras sebagai komoditi
basis yang strategis. Hal ini tersurat pada rumusan pembangunan pertanian
bahwa sasaran indikatif produksi komoditas utama tanaman pangan sampai
tahun 2006 dan cadangan pangan pemerintah juga masih berbasis pada beras.
Namun demikian, dengan semakin berkurangnya areal garapan per petani,
keterbatasan pasokan air irigasi dan mahalnya harga input serta relatif rendahnya
harga produk dapat menjadi faktor-faktor pembatas/kendala untuk program
peningkatan kesejahteraan dan kemandirian petani yang berbasis sumberdaya
lokal tersebut.
Upaya untuk menuju pada peningkatan kesejahteraan petani secara
operasional dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan,
penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan proteksi dan promosi.
Beberapa upaya tersebut memang relatif sangat diperlukan namun faktor kendala
seperti disebutkan terdahulu perlu mendapatkan perhatian yang cermat hingga di
tingkat daerah. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat sebagian besar petani di
Indonesia untuk komoditas beras masih tergolong petani subsisten dalam artian
berperan sebagai produsen sekaligus konsumen beras. Dengan demikian maka
jumlah beras yang dijual ke pasar akan sangat bergantung pada surplus konsumsi
rumahtangga dan harga beras serta harga barang lain yang diperlukan petani dari
industri lain.
Untuk mendukung program peningkatan kesejahteraan diperlukan
adanya dukungan dari program-program lain seperti program peningkatan
pengawasan dan akuntabilitas aparatur Negara, dan penerapan kepemerintahan
yang baik
2.4 Tanaman Pangan di Indonesia
Padi, Jagung, maupun kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang memiliki peranan strategis dalam perekonomian nasional. Kebutuhan akan komoditas tersebut terus meningkat baik untuk pangan maupun untuk pakan dan industri, bahkan dengan berkembangnya usaha peternakan di Indoneia akhir-akhir ini.Pada saat produksi di Indonesia yang tidak mencukupi, maka peran pemerintah yaitu mengimpor jagung maupun kedelai dari luar negeri.
Untuk memenuhi kebutuhan jagung maupun padi nasional dan menekan volume impor, sejak tahun 2007 pemerintah telah mencanangkan program peningkatan produksi dengan sarana swasembada. Lokasi yang menjadi prioritas penanaman padi yaitu terletak di NAD, Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat dengan sasarannya mencapai 63-64 juta ton, sedangkan lokasi penanaman jagung terletak di Sumatra Utara, lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Gorontalo sasarannya mancapai 18 juta ton, dan untuk lokasi yang menjadi prioritas penanaman kedelai yaitu di Jawa Timur, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa tengah dengan sasaran mencapai angka 1,5 juta ton.
Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan varietas unggul yang dibudidayakan dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) mampu meningkatkan produksi jagung dan efisiensi input produksi. Pengalaman menunjukkan pula bahwa Sekolah Lapang Pengendalian Hama secara Terpadu (SL-PHT) dengan sistem belajar
langsung di lahan petani dapat mempercepat alih teknologi. Keberhasilan SL-PHT yang ditindaklanjuti oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia pengembangan SL-Iklim (SL-I) memberi inspirasi bagi pengembangan PTT melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) dengan mensinergikan dan memperluas cakupan SL-PHT dan SL-I dengan sasaran peningkatan produksi dan efisiensi usahatani.
PTT adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT), dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan kelestarian lingkungan.
2.5 Strategi Pencapaian Produksi Padi Tahun 2008 dan 2009
Kondisi pada tahun 2007 yaitu luas panen sebesar 12,1 jt ha, produktivitas sebesar
46,89 ku/ha, produksi sebesar 57,05 jt ton. Sasaran tahun 2008 yaitu luas panen sebesar
12 jt ha, produktivitas 50,89 ku/ha, produksi 60-61 jt ton dan sasaran untuk tahun 2009
yaitu luas panen 12,8 jt ha, produktivitas 60 ku/ha, produksi 63-64 jt ton. Untuk mencapai
sasaran tahun-tahun tersebut diperlukan strategi. Strategi yang dilakukan dengan
peningkatan produktivitas, perluasan areal, pengamanan produksi, kelembagaan dan
pembiayaan.
2.5.1 Peningkatan produktivitas
Peningkatan produktivitas dilakukan melalui pemakaian benih varietas
unggul bermutu produktivitas tinggi, pemupukan berimbang dan pemakaian pupuk
organik, pengairan dan perbaikan budidaya. Strategi ini dilaksanakan di wilayah
yang perluasan areal sudah sulit dilakukan, sehingga dengan penerapan ini masih
dapat ditingkatkan produktivitasnya. Hal lain yang dapat diterapkan adalah dengan
mengurangi potensi kehilangan hasil melalui penanganan panen danpasca panen
yang lebih baik.
2.5.1.1 Benih Unggul Bermutu
Penggunaan benih varietas unggul bermutu akan menghasilkan daya
perkecambahan yang tinggi dan seragam, tanaman yang sehat dengan
perakaran yang baik, tanaman tumbuh lebih cepat, tahan terhadap hama dan
penyakit, berpotensi hasil tinggi dan mutu hasil yang lebih baik. Penggunaan
benih varietas unggul bermutu dapat dengan pembinaan produsen benih untuk
dapat menghasilkan benih secara enam tepat, yaitu tepat waktu, mutu,
varietas, jumlah, lokasi dan harga. Langkah-langkah yang perlu dilakukan
untuk meningkatkan ketersediaan benih varietas unggul bermutu adalah stok
dan penangkaran benih yang terdapat di masingmasing daerah, pemanfaatan
stok benih yang ada secara optimal, pembinaan kepada produsen/penangkar
benih agar proses produksi benih terlaksana secara berkelanjutan.
2.5.1.2 Pemupukan Berimbang & Organik
Pemberian pupuk secara berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman
dan ketersediaan hara tanah dengan prinsip tepat jumlah, jenis, cara, dan
waktu Sebagai sumber hara, pupuk merupakan sarana produksi yang
memegang peranan penting dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas
hasil tanaman pangan. Pemberian pupuk dilakukan dengan teknologi
pemupukan berimbang berdasarkan pada kebutuhan tanaman dan
ketersediaan hara tanah spesifik lokasi secara tepat jumlah, jenis, cara dan
waktu aplikasi sesuai dengan jenis tanaman akan memberikan pertumbuhan
yang baik dan meningkatkan kemampuan tanaman mencapai hasil tinggi dan
lebih efektif.
2.5.1.3 Pengairan
Pemberian air pada tanaman sesuai dengan kebutuhan tanaman dan
kondisi tanah. Pemberian air penting bagi pertumbuhan dan hasil tanaman
dimana air sebagai pelarut sekaligus pengangkut hara dari tanah ke bagian
tanaman. Kebutuhan akan air disetiap stadia tanaman berbeda-beda,
pemberian air secara tepat akan meningkatkan hasil dan menekan terjadinya
stres pada tanaman yang diakibatkan karena kekurangan dan kelebihan air.
Pengembangan jaringan irigasi dan tata guna air sesuai kebutuhan pengairan
usahatani, dilakukan berkoordinasi dengan, Kementerian Pekerjaan Umum,
dan instansi terkait lainnya sehingga penyediaan air bagi pertanaman dapat
terjamin sesuai dengan kebutuhan.
2.5.1.4 Alsintan
Alat pertanian mempunyai bentuk dan mekanisme yang sederhana,
dijalankan secara manual dan proses yang dilakukan sedikit. Sedangkan
mesin pertanian bentuk dan mekanismenya sangat kompleks, bekerja secara
otomatis dan hasil proses yang di kerjakan sangat banyak. Penggunaan yang
tepat akan dapan meningkatkan produksi.
2.5.1.5 Perbaikan Budidaya
Perbaikan budidaya dapat dilakukan dengan cara yaitu perencanaan
pola, tata, waktu dan cara tanam yang tepat sesuai dengan rekomendasi Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) setempat, pengaturan distribusi
panen yang lebih merata, penerapan cara tanam yang sesuai anjuran teknologi
baru, peningkatan populasi tanaman dengan pengaturan jarak tanam,
penerapan pemupukan berimbang, penggantian varietas dari varietas produksi
rendah ke varietas produksi tinggi, penyiapan lahan dengan teknologi olah
tanah yang disesuaikan dengan lahan dan jenis tanaman.
2.5.2 Perluasan areal
Perluasan areal dilakukan melalui upaya optimalisasi lahan melalui upaya
perbaikan seperti cetak sawah baru , jaringan irigasi teknis usaha tani (JITUT),
jaringan irigasi desa (JIDES), dan tata air mikro (TAM), pembangunan
pompa/sumur/embung, dan rehabilitasi dan konservasi lahan pertanian.
2.5.2.1 Optimalisasi Lahan
Optimalisasi pemanfaatan lahan dilaksanakan dengan peningkatan
indeks pertanaman (IP), penanaman tanaman pangan sebagai tanaman sela /
intercropping di lahan perkebunan, kehutanan maupun hortikultura. Tanaman
sela dapat diusahakan 3-5 tahun atau lebih, sepanjang tajuk tanaman pokok
belum menaungi. Sedangkan pada tanaman pokok sejenis kelapa rakyat,
tanaman sela dapat dilakukan sepanjang tahun.
2.5.2.2 Cetak Sawah Baru
Cetak sawah baru dilakukan dengan pembukaan lahan pada lahan
basah. Hal-hal yang diperhatikan yaitu ada inisiatif dari petani atau pemuka
masyarakat, melakukan survei, status kepemilikan lahan jelas, menghindari
vegetasi hutan berat atau hutan lindung, pengairan atau ketersediaan air
terjamin, dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah setempat.
2.5.2.3 JITUT, JIDES, dan TAM
Penyediaan air irigasi/pengairan melalui pembangunan/perbaikan
Jaringan Irigasi Teknis Usaha Tani (JITUT), Jaringan Irigasi Desa (JIDES),
dan Tata Air Mikro (TAM). Perbaikan jaringan irigasi ini diharapkan dapat
meningkatkan ketersediaan air terutama dapat mendorong indeks pertanaman
(IP).
2.5.2.4 Pompa / Sumur / Embung
Pembangunan atau perbaikan pompa / sumur / embung bekerjasama
dengan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Pembangunan atau
perbaikan sumber air untuk pertanian dapat mendorong peningkatan
produktivitas.
2.5.2.5 Konservasi
Rehabilitasi dan konservasi lahan pertanian dilakukan pada lahan sawah
terlantar atau yang selama ini tidak dimanfaatkan atau ditanami tanaman pangan
dan telah membelukar. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka rehabilitasi
dan konservasi lahan dengan cara teknologi penyiapan atau pembersihan lahan
dari semak belukar, perbaikan saluran irigasi, pemanfaatan pompa air, dan traktor.
2.5.3 Pengamanan produksi
Pengamanan produksi untuk mengurangi dampak perubahan iklim seperti
kebanjiran dan kekeringan serta pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan
(OPT), dan pengamanan kualitas produksi dari residu pestisida serta mengurangi
kehilangan hasil pada saat penanganan panen dan pasca panen yang masih cukup
besar.
2.5.3.1 Dampak Fenomena Iklim
Pengamanan hasil dari dampak perubahan iklim dilakukan dengan
memperkuat antisipasi agar kerusakan tanaman dapat dihindari. Pengamanan
produksi dari dampak kekeringan dilakukan melalui efisiensi penggunaan air;
penyiapan embung, cek dam, bak penyimpanan air, sumur. Sedangkan
pengamanan produksi dari dampak banjir dilakukan melalui perbaikan
saluran air pembangunan atau perbaikan dam dan penguatan tanggul-tanggul.
2.5.3.2 Pengendalian OPT
Perlindungan tanaman dilaksanakan untuk mengantisipasi dan
mengendalikan serangan OPT dengan meminimalkan kerusakan atau
penurunan produksi akibat serangan OPT. Pengendalian dilakukan
berdasarkan prinsip dan strategi Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Khususnya pengendalian dengan pestisida merupakan pilihan terakhir bila
serangan OPT berada diatas ambang ekonomi. Penggunaan pestisida harus
memperhatikan jenis, jumlah dan cara penggunaannya sesuai dengan
ketentuan dan peraturan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan resistensi
OPT atau dampak lain yang merugikan lingkungan.
2.5.3.3 Penanganan Pasca Panen
Penanganan panen dan pasca panen akan memberikan hasil yang
optimal jika panen dilakukan pada waktu dan cara yang tepat. Tanaman
dipanen pada masak fisiologis berdasarkan umur tanaman, kadar air dan
penampakan visual hasil sesuai dengan varietas. Pemanenan dilakukan
dengan peralatan dan mesin yang cocok sehingga menekan kehilangan hasil.
Hasil panen dikemas dalam wadah dan disimpan ditempat penyimpanan yang
aman dari OPT dan perusak lainnya Sehingga mutu hasil tetap terjaga.
2.5.4 Kelembagaan dan Pembiayaan
2.5.4.1 Pemantapan Kelembagaan Petani
Untuk dapat berkembangnya sistem dan usaha agribisnis tanaman
pangan diperlukan penguatan kelembagaan baik kelembagaan petani, maupun
kelembagaan usaha dan pemerintah agar dapat berfungsi sesuai dengan
perannya masing-masing. Kelembagaan pertanian meliputi kelembagaan
penyuluhan (BPP), kelompok tani (Poktan), gabungan kelompok tani
(Gapoktan), koperasi tani (Koptan), penangkar benih, pengusaha benih,
institusi perbenihan lainnya, kios, KUD (Koperasi Unit Desa), pasar,
pedagang, asosiasi petani, asosiasi industri olahan, asosiasi benih, LSM, kios
saprodi, dan kemitraan diupayakan diberdayakan seoptimal mungkin untuk
mendukung keberhasilan pembangunan tanaman pangan. Selain kelembagaan
yang berbasis langsung petani, pembangunan tanaman pangan juga
melibatkan kelembagaan lain di perdesaan, yaitu Lembaga Mandiri Yang
Mengakar di Masyarakat (LM3) seperti subak dan lain-lain. Pada era otonomi
daerah, dibeberapa daerah terlihat bahwa penyuluhan tidak sepenuhnya
berjalan. Oleh karena itu dengan terbitnya Undang-undang Nomor 16 Tahun
2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
diharapkan dapat lebih menguatkan peran penyuluhan dalam pelaksanaan
pembangunan pertanian, khususnya pembangunan tanaman pangan.
2.5.4.2 Pembiayaan
Bagi petani atau kelompok tani yang kekurangan modal dalam
pengembangan usahataninya dapat memanfaatkan fasilitas Kredit Ketahanan
Pangan dan Energi (KKP-E), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan LDPM
(Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat). Dana pinjaman tersebut untuk
pengadaan saprodi, sarana prasarana, dan pembelian hasil produksi.
2.5.4.3 Kemitraan
Upaya untuk memediasi/memfasilitasi terjalinnya kemitraan usaha
antara petani/kelompok tani dengan industri/swasta yang bergerak di bidang
agribisnis seperti perusahaan saprodi, penangkar benih, perusahaan
pengolahan hasil, perdagangan, dll serta lembaga keuangan lainnya perlu
terus dilakukan.
2.6 Kondisi Dan Permasalahan Lahan Serta SRI Sebagai Solusi
2.6.1 Kondisi dan permasalahan lahan
Untuk mencapai target hasil produksi padi yang sudah direncanakan.
Memperhatikan kondisi dan permasalahan lahan juga menjadi kunci utama dalam
mensukseskan target hasil produksi padi yang telah direncanakan tersebut.
Permasalahan pada lahan yang kian marak adalah sebagai berikut :
a. Degradasi lahan (60 juta ha dg laju 2,8 juta ha/tahun), menurunnya kualitas dan
kuantitas suatu lahan yang disebabkan oleh adanya factor alami dan factor
campur tangan manusia. Faktor alami yaitu curah hujan intensif, tanah yang
muda rusak, dan areal berlereng curam. Lalu factor campur tangan manusia
seperti perubahan populasi, masalah kepemilikan lahan, ketidak stabilan, dan
kesalahan pengelolaan.
b. Alih fungsi lahan (+ 110.000 ha/tahun), pembangunan seperti perumahan, mall,
dan gedung sekarang semakin pesat. Hal ini memberikan efek negative pada
lahan sehingga lahan yang dulu digunakan untuk pertanian sekarang dialih
fungsikan menjadi pembangunan gedung – gedung.
c. Fragmentasi lahan (petani gurem 13,7 juta kk ),atau biasa disebut dengan
penyusutan kepemilikan lahan lahan terkadang bisa menjadi masalah dalam
pertanian karena dapat menyebabkan skala usaha petani terus menurun.
d. Pergeseran RTRW (Potensi alih sawah 3 jt ha)
e. Penurunan kesuburan tanah, lebih cenderungnya para petani dalam
mengkonsumsi bahan – bahan kimia telah menyebabkan kesuburan tanah kian
menurun.
f. Pelandaian Produktivitas Pertanian
g. Issu Pemanasan Global (emisi carbon dan gas methan), pengaruh yang
disebabkan oleh pemanasan global terhadap kondisi lahan kian terasa. Iklim
yang berubah- berubah ialah salah satu dari penyebab pemanasan global
sehingga akan berdampak pada pola pertanian, seperti keterlambatan dalam
musim tanam dan musim panen.
h. Kelangkaan Sumber Daya Air, penggunaan air yang secara berlebihan
menyebabkan adanya kelangkaan sumber daya air.
i. Tuntutan Produk Pangan Sehat (Pangan Organik), Jika permasalahan kondisi
lahan diatas dapat diatasi, maka pasti hasil produksi pada tanaman padi akan
berkembang dengan pesat dan sesuai akan target yang direncanakan..
2.6.2 SRI sebagai solusi
Padi dengan metode SRI adalah hasil penemuan tanpa sengaja oleh
ilmuwan yang berasal dari prancis saat beliau berada di madagaskar tahun1983-
1984. Penanaman padi dengan menggunakan metode SRI ini adalah suatu solusi
yang dapat mengatasi permasalahan lahan yang ada di Indonesia saat ini. Adapun
keunggulan pabrik SRI sebagai berikut :
a. Usaha Tani Ramah Lingkungan, tidak menggunakan bahan kimia dan
digantikan dengan mempergunakan pupuk organic (kompos, mikro
organisme local, dan kandang), begitu juga penggunaan pestisida.
b. Hemat Air Irigasi, selama pertumbuhan mulai dari tanam sampai panen
memberikan air max 2 cm, paling baik macak- macak dan ada periode
pengeringan sampai tanah retak (irigasi terputus)
c. Hemat Saprodi (bibit), pada bibit padi konvensional biasanya dibutuhkan
25kg bibit untuk 1 ha. Namun untuk bibit padi dengan metode SRI
dibutuhkan 5 – 7kg/ha sudah dapat mencukupi.
d. Produksi Tinggi (Diatas Rata-Rata Nasional), hasil produksi pada padi
metode SRI dapat mencapai 8 – 11 ton/ ha.
e. Mendaur Ulang Limbah,
f. Memperbaiki kesuburan tanah, padi dengan metode SRI memperhatikan
kesuburan dari tanah yang digunakan. Salah satu caranya yaitu pada saat
penanaman menggunakan pupuk organic ( kompos, kandang).
g. Produk sehat bebas residu kimia (Beras Organik), hal ini dikarenakan padi
yang menggunakan metode SRI pada saat pada saat tanam hingga sampai
panen, padi dengan metode SRI sama sekali tidak diberi bahan – bahan
kimia. Hanya pupuk organic dan pengganti pestisida saja yang digunakan
untuk membantu proses pertumbuhan tanaman.
h. Harga Beras Diatas Harga Pasar,
i. Berbasis kearifan Lokal
2.7 Metode pengembangan padi SRI dari Deptan
A. Workshop, Lokakarya
Yaitu dengan seminar langsung dengan menghadirkan para ahli budidaya
padi SRI dengan di hadiri sejumlah petani dan pengembang. Laporan hasil
workshop dan Rencana Tindak Lanjut ini diharapkan dapat memberikan bahan
masukan untuk penyempurnaan pengembangan usahatani padi SRI organik sebagai
teknologi alternatif dengan manfaat yang diperoleh antara lain produktivitas padi
dapat ditingkatkan, efisiensi input khususnya air dan kelestarian lingkungan.
B. Farm Field Day
Merupakan metode pengembangan dengan penyuluhan pada hari tertentu.
Penyuluhan tsb meliputi demfarm, sekolah lapang dll. Demfarm adalah kependekan
dari demonstrasi farming, merupakan metode percontohan yang dilaksanakan oleh
kelompok tani padi. Sesuai dengan mottonya yaitu “learning by doing and learning
by seeing” (belajar melalui bekerja dan belajar dengan melihat”) pemberdayaan
petani melalui demfarm padi merupakan upaya fasilitasi pembelajaran bagi
kelompok tani melalui penerapan teknologi padi yang sudah teruji agar mereka
mampu menggunakan potensi yang dimilikinya dalam meningkatkan produksi dan
produktivitas padi.
C. TOT (Training of Trainer)
TOT dilaksanakan oleh Direktorat Pengelolaan Lahan, Direktorat Jenderal
Pengelolaan Lahan dan Air merupakan pelatihan untuk tenaga pelatih di tingkat
kabupaten/ kota. Direncanakan TOT tahun 2007 sebanyak 2 (dua) paket
D. Sekolah Lapang
Pengembangan SRI melalui pelatihan dan Sekolah Lapangan SRI dilakukan
dengan merubah perilaku usaha tani menjadin yang lebih efisien dan ramah
lingkungan. Perubahan perilaku usaha tani tersebut memerlukan waktu untuk
berproses, sehingga upaya bimbingan dan pembinaan perlu dilakukan secara terus
menerus oleh petugas lapangan.
E. Leaflet, Brosur
Penyebaran melaui pamlfet/brosur mengenai tips tips budidaya padi SRI
F. Pemutaran film
Yaitu dengan menggunakan film dokumenter tata cara berbudidaya padi
dengan sisterm SRI yang baik, agar para petani bisa mengerti.
G. Forum Komunikasi Pengembang SRI
Yaitu metode pengembangan melaui diskusi dengan pengembang padi SRI
agar para pengemba bisa mengetahui bagaimana bebudidaya yang baik secara
bertahap.
H. Dialog interaktif melalui media massa
Yaitu dengan memanfaaatkan media masa untuk mempublikasikan
bagaimana cara berbudidaya padi dengan sistem SRI dengan baik
I. Internet
Yaitu pengembangan metoda budidaya SRI ini melalui jaringan internet
agar masyarakat luas dapat mengetahui proses budidaya yang baik dengan sistem
SRI
J. Sosialisasi / pengenalan pada daerah-daerah irigasi yang potensial namun belum
tersentuh SRI
Yaitu dengan sosialisasi pada daerah potensial agar masyarakat bisa beralih ke
sistem SRI
K. Perluasan dampak pengembangan SRI bagi daerah yang sudah ada kegiatan SRI
L. Sosialisasi dampak metode SRI seperti peningkatan hasil dll
M. Perluasan skala pengembangan SRI satu Scheme
N. Mendorong pemberdayaan petani untuk membuat pupuk organik, MOL dan pestisida
nabati sendiri
O. Melakukan sosialisasi dan pelatihan agar petani mampu mebuat pupuk sendiri dan
pestisida. Agar lebih mandiri dan tdk bergantung pemerintah
P. Gerakan pengembalian jerami dan limbah organik ke lahan pertanian.
Q. Sosialisasi tentang pentingnya libah organik bagi lahan dan harus dikembalikan
setelah panen untuk menjaga kesuburan lahan.
R. Kemitraan dengan dunia usaha yang peduli organik (contoh Medco)
S. Dalam usaha budidaya, sangat penting sekali jika menjalin usaha dengan perusahaan
yang peduli organik aga dalam berbudidaya bisa lebih teratur dan bisa memanfaatkan
bahan organik
T. Promosi Produk Beras Sehat
U. Promosi penyelamatan lingkungan
V. Sosialisasi tentang pentingnya memperhatikan aspek lingkungan dalam berbudidaya
agar tidak terjadi kerusakan
2.8 Simulasi Nilai Tambah yang Diperoleh dari Pengembangan Padi Organik SRI
2.8.1 Aspek Ekonomi (Asumsi 10% dari 7,8 juta Ha Luas Lahan Sawah di Indonesia
yang dapat “di SRI kan”
Penghematan subsidi pupuk
Urea: Rp 400,00 x 250 kg/ha x 780.000 ha = Rp 78.000.000.000
Penghematan pupuk
780.000 ha x 250 kg/ha x Rp 1.150,00 = Rp 224.250.000.000
Penghematan Benih
37 kg x 780.000 ha x Rp 4.000,00 = Rp 109.200.000.000
Penghematan pestisida
780.000 ha x Rp. 150.000 = Rp. 117.000.000.000
Tambahan pendapatan petani
780.000 ha x Rp. 6.683.625 = Rp 5.213.227.500.000
Penghematan penggunaan air per MT
780.000 ha x 15.000 m3 x 46% = 5.382 jt m3 = 358.800 ha
Tambahan produksi
780.000 ha x ( 7,5-4,6 ton/ha) = 2.262.000 ton
Pada budidaya padi menggunakan SRI biaya yang dikeluarkan petani lebih
rendah dibandingkan jika mereka menerapkan penanaman padi secara
konvensional. Hal tersebut dikarenakan pada padi SRI lebih mengutamakan
penggunaan pupuk dan pestisida organik dan mengurangi penggunaan pupuk dan
pestisida kimia sehingga biaya dapat ditekan. Biaya untuk benih dapat dikurangi
karena pada metode SRI petani hanya membutuhkan satu benih per lubang tanam
sehingga benih yang digunakan lebih sedikit. Untuk biaya penggunaan air juga
lebih hemat karena sawah hanya dilembabkan tanpa perlu digenangi. Hasil
produksi dari padi SRI lebih tinggi dibanding dengan padi non SRI sehingga jika
hasil produksi meningkat maka akan menambah keuntungan petani.
2.8.2 Apek Lingkungan
Penurunan emisi gas metan
Budidaya padi non SRI melakukan penggenangan lahan. Penggenangan
ini menyebabkan proses redukfif yang melepaskan gas-gas rumah kaca antara
lain metan sebesar 70,9% (ADB-GEF-UNDP, 1998). Pelepasan gas metan
terjadi akibat proses denitrifikasi. Tingkat emisi ini dapat meningkat apabila
lahan tersebut dipupuk dengan pupuk nitrogen seperti urea. Nitrogen yang
terdapat dalam urea dan amonium sulfat mengalami denitrifikasi menjadi N2O
dan NO2 dengan tingkat emisi 1 dan 1,57% (IPCC, 1994). Dengan budidaya
padi SRI dimana sawah hanya dikondisikan dalam keadaan lembab dan tanpa
penggenangan sehingga dapat menurunkan emisi gas metan.
Mengurangi pencemaran emisi gas CO2 akibat pembakaran jerami
Jerami dari sisa panen biasanya dibakar tetapi dalam budidaya SRI
jerami padi dapat dimanfaatkan dengan cara dikomposkan dimana nantinya
dapat digunakan sebagai pupuk organik yang berfungsi untuk menambah
bahan organik dalam tanah. Dan hal ini juga dapat mengurangi pencemaran
emis gas CO2 yang diakibatkan oleh pembakaran jerami sisa panen.
Reduksi pencemaran tanah dan air dari pupuk kimia dan residu pestisida
Pada metode SRI dapat mengurangi pencemaran pada tanah dan air
yang diakibatkan oleh penggunaan pupuk dan pestisida kimia karena pada
metode SRI lebih mengutamakan penggunaan pupuk dan pestisida organik
yang ramah lingkungan sehingga tidak akan mencemari tanah dan air dan
kondisi lingkungan tetap terjaga.
Daur ulang sampah (mengurangi problem sampah)
Dengan penanaman menggunakan SRI dapat mengurangi sampah dari
sisa panen karena sisa panen tersebut masih dapat dimanfaatkan sebagai
kompos yang akan digunakan sebagai pupuk organik untuk meningkatkan
kesuburan tanah.
Peningkatan kadar BO dalam tanah
Pemanfaatan jerami dan bagian tanaman lainnya dari sisa panen
sebagai kompos yang dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk
diaplikasikan pada lahan pertanian. Penggunaan pupuk organik dapat
meningkatkan kadar bahan organik dalam tanah dimana bahan organik tersebut
dapat meningkatkan kesuburan tanah. Bahan organik juga merupakan makanan
bagi organisme di dalam tanah sehingga mereka dapat tetap hidup. Manfaat
cacing tanah antara lain membantu dalam proses pembalikan tanah,
mengangkut bahan organik dari tanah lapisan atas ke lapisan yang lebih dalam,
memperlancar aerasi dan drainase tanah.
Terpeliharanya keanekaragaman hayati
Pada metode penamaman padi dengan SRI mengurangi penggunaan
pupuk dan pestisida kimia yang dapat mencemari lingkungan sehingga
keanekaragaman hayati pada lingkungan tetap terjaga.
2.8.3 Aspek Sosial
Kearifan lokal
Sistem SRI merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya
yang menekankan pada manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air
melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal yang berbasis pada
kegiatan ramah lingkungan dan mengedepankan nilai ekologis.
Pemberdayaan petani
Melalui pensosialisasian kepada petani dalam mengembangkan sistem
SRI maka akan ada pemberdayaan kepada petani dimana pada kegiatan
tersebut petani diajarkan untuk menerapkan sistem pertanian yang ramah
lingkungan dengan tidak terus bergantung pada penggunaan pupuk dan
pestisida kimia yang dapat mencemari lingkungan. Dengan menerapkan SRI
diharapkan hasil yang akan didapatkan oleh petani dapat meningkat dan
lingkungan tetap terjaga.
Terciptanya lapangan pekerjaan
Akibat lahan pertanian yang kesuburannya terus menurun dikarenakan
semakin berkurangnya bahan organik di dalam tanah menyebabkan lahan yang
dapat dimanfaatkan untuk pertanian juga semakin berkurang. Jika hal tersebut
terjadi maka akan berpengaruh terhadap hasil pertanian yang terus menurun.
Lahan tersebut kemudian banyak yang dijual dan menyebabkan semakin
banyak masyarakan yang menganggur. Dengan penggunaan padi SRI maka
dapat membantu mengembalikan kesuburan tanah dengan pemberian bahan
organik ke dalam tanah dan pengurangan penggunaan pupuk dan pertisida
kimia. Jika lahan tersebut subur maka akan dapat ditanami kembali dan
menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Urbanisasi dapat dikendalikan
Kesuburan tanah yang terus menurun mengakibatkan produksi padi
terus menurun sehingga berdampak pada pendapatan petani. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut banyak petani yang beralik profesi di luar pertanian dan
pindah ke kota untuk mencari penghasilan sehingga banyak lahan pertanian
yang terbengkalai. Dengan metode SRI maka kesuburan tanah tetap terjaga dan
lingkungan tetap dalam kondisi baik sehingga akan berdampak pula pada
produksi yang terus meningkat. Dan hal tersebut bisa menurunkan urbanisasi.
2.9 Tantangan pengembangan SRI
A. Merubah paradigma / cara pandang budidaya dari konvensional ke SRI
Sulitnya merubah paradigma petani untuk merubah cara budidaya dari
konvensional ke SRI disebabkan oleh tidak adanya jaminan keberhasilan sistem SRI
di awal, sehingga petani tidak mau mengambil resiko gagal panen. Disamping itu
pengetahuan mengenai sistem budidaya masih kurang luas. Contoh kasus mengenai
teknik irigasi padi sawah yang rata-rata petani di desa menggenangi sawah dengan
air yang berlebih. Petani di desa yang rata-rata sudah tua sangat sulit untuk menerima
input informasi teknologi baru sehingga pola pikir mereka terbatas.
B. Transfer ilmu ke petani
Penghambat utama dalam tantangan ini yaitu cara berkomunikasi dengan para
petani. Petani di pulau Jawa yang umumnya sudah tua dan hanya mengenyam
pendidikan yang rendah terbiasa menggunakan bahasa jawa yang halus. Mereka
lebih mudah berkomunikasi dengan petani atau warga disekitar daerahnya daripada
dengan penyuluh atau pendatang. Petani desa yang usianya sudah tidak muda lagi,
sedangkan penyalur informasi umunya lebih muda dari mereka sehingga dari segi
bahasa dan kepercayaan masih rendah.
C. Pasar beras organik SRI
Suatu proses penerapan teknologi SRI (System of Rice Intensification) akan
berjalan sesuai dengan harapan apabila dilakukan 4 P (Pengenalan, Pelatihan,
Penerapan, dan Pendampingan). Proses ini yang akan memberikan wawasan berpikir
para konsumen untuk mengetahui lebih dalam keunggulan beras Organik SRI.
Sejauh ini produk dari padi organik SRI kurang dikenal di kalangan konsumen. Hal
ini disebabkan oleh produk dari beras organik SRI yang sedikit sehingga pasar dari
beras organik SRI juga sedikit.
D. Komitmen pemimpin formal dan non formal
Di indonesia penanaman padi dengan sistem tanam SRI belum bisa dilakukan
dengan serentak karena sebagian besar petani atau kelompok tani masih lebih
memilih untuk menanam dengan sistem konvensional. Salah satu sebabnya tidak ada
jalinan kerjasama yang baik antara pemerintah dengan petani atau kelompok tani.
Kurangnya penyuluhan dan tingkat efektifitas penyuluhan yang rendah menyebabkan
kurangnya rasa kepercayaan petani kepada pemerintah.
E. Terbatasnya ketersediaan bahan kompos terutama yang bersumber dari kotoran
hewan.
F. Pembuatan kompos masih dilakukan secara manual sehingga memerlukan waktu
lama, dan tenaga kerja yang tinggi.
G. Distribusi bahan organik/kompos pada skala luas memerlukan biaya tinggi.
H. Kebiasaan membuang dan membakar jerami di sebagian besar petani menjadi
budaya.
I. Keterbatasan sarana pasca panen (lantai jemur, dryer, threser).
J. Jumlah petugas/petani yang memahami teknis metoda SRI masih sangat terbatas.
K. Dibeberapa daerah sawah irigasi masih memerlukan perbaikan/rehab jaringan irigasi.
L. Sertifikasi mutu beras organik SRI.
2.10 CONTOH PERSYARATAN TEKNIS PRODUK PANGAN ORGANIK
Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu,
yang mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga
mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Saat
ini Kesadaran masyarakat ini mendorong produsen pangan untuk menghasilkan produk
yang diinginkan oleh konsumen seperti aman dikonsumsi (food safety attributes),
memiliki kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-
labelling attributes). Produk pangan yang memiliki ketiga atribut tersebut adalah produk
yang dihasilkan dari sistem pertanian organik. Adapun untuk menghasilkan produk
pangan organik beberapa teknisnya adalah pada lahan yang ditanami tanaman semusim,
Konversi lahan dari konvensional min 2 tahun sebelum penebaran benih dan tanpa
pembakaran sebelum penebaran benih. Atau kalau tanaman tahunan selain padang
rumput, miniml 3 tahun sebelum panen hasil pertamanya. Penambahan atau pengurangan
masa konversi juga dapat dilakukan tetapi masa tersebut sedikitnya adalah 12 bulan, hal
ini sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Input Yang Dilarang Terdapat 2 (dua) jenis input yang nyata-nyata dilarang dalam
sistem pangan organik yaitu bahan kimia sintetis dan bahan/bibit/produk GMO
(genetically modified organism). Bahan kimia yang dilarang merupakan Bahan kimia
sintetis dilarang digunakan dalam sistem pertanian organik, mencakup pada proses
budidaya dan pengolahan hasil hingga pada sistem perdagangannya. Bahan yang
dilarang, dibatasi dan diperbolehkan dalam sistem pertanian organik dimuat dalam
Nasional List. Penjelasan GMO (genetically modified organism) atau organisme hasil
rekayasa/modifikasi genetika GMO adalah definisi untuk organisme hasil
rekayasa/modifikasi genetika: Organisme hasil rekayasa/modifikasi genetika dan
produknya, diproduksi melalui teknik dimana bahan genetika telah diubah dengan cara-
cara yang tidak alami. Teknik rekayasa genetika termasuk, tetapi tidak terbatas untuk:
rekombinasi DNA, fusi sel, injeksi mikro dan makro, enkapsulasi, penghilangan dan
penggandaan gen. Organisme hasil rekayasa genetika tidak termasuk organisme yang
dihasilkan dari teknik-teknik seperti konjugasi, transduksi dan hibridisasi. Seluruh bahan
dan/atau produk yang dihasilkan dengan rekayasa genetika/modifikasi genetik
(GEO/GMO) adalah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip produksi organik (baik budidaya,
proses manufaktur atau pengolahannya)
Sumber air dan irigasi menggunakan kualitas air yang bagus dan tidak tercemar.
Pencemaran air kerap dilakukan oleh berbagai senyawa kimia yang diaplikasikan pada
pertanian, dengan menghindari penggunaan bahan kimia pada tanah atau pertanian,
pencemaran air dari bahan kimia juga dapat dihindari. Manajemen kesuburan tanah dan
aktivitas biologis terus dipelihara dan ditingkatkan melalui : Penanaman kacang-
kacangan, pupuk hijau atau tanaman berperakaran dalam melalui profram rotasi tanaman
yang sesuai. Mencampur bahan organik ke dalam tanah baik dalam bentuk kompos
maupun tidak dari unit produksi yang sesuai. Produk saping peternakan boleh digunakan
seperti kotoran hewan, apabila berasal peternakan yang dilakukan dengan baik.
Pengelolaan OPT pada sistem pertanian ini dikendalikan oleh salah satu atau
kombinasi dari cara-cara berikut, yaitu pemilihan spesies dan varietas yang sesuai,
program rotasi yang sesuai, pengolahan tanah secara mekanis,perlindungan musuh alami
hama melalui penyediaan habitat yang cocok seperti pembuatan pagar hidup dan tempat
sarang, zona penyangga ekologi dan penjaga vegetasi dari hama predator setempat.
Ekosostem yang beragam, hal ini akan brvariasi antar daerah. Sebagai contoh hal i ni
akan mengendalikan erosi, agroforesty, merotasikan tanaman dan sebagainya. Pemberian
musuh alami termasuk pelepasan predator dan parasit. Penggunaan mulsa,
Penggembalaan ternak, Pengendalian mekanis seperti penggunaan perangkap,
penghalang, cahaya dan suara.
Sejumlah keuntungan yang dapat diperoleh dari aktivitas pertanian organik meliputi:
A. Dihasilkannya makanan yang cukup, aman dan bergizi sehingga meningkatkan
kesehatan masyarakat;
B. Terciptanya lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani;
C. Meningkatnya pendapatan petani;
D. Minimalnya semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian;
E. Meningkat dan terjaganya produktivitas lahan pertanian dalam jangka panjang;
F. Terpeliharanya kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan;
G. Terciptanya lapangan kerja baru dan keharmonisan kehidupan sosial di perdesaan.
H. Meningkatnya daya saing produk agribisnis secara berkelanjutan.
Dengan demikian, pertanian organik akan meningkatkan ketahanan pangan,
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat serta kelestarian lingkungan hidup.Budidaya
padi dengan metoda SRI Organik, ada beberapa prinsip yang harus diketahui; antara lain
adalah :
1. Bibit yang digunakan adalah bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai
(hss) ketika bibit masih berdaun 2 helai. Pada usia ini biji padi masih menempel
dibadan bibit, biji padi ini berfungsi sebagai cadangan makanan bagi tanaman padi
yang akan ditanam selagi tanaman tersebut beradaptasi dilingkungan baru. Selain itu
pada usia tersebut akar belum begitu banyak sehingga akan menngurangi kerusakan
struktur akar. Hal ini berbeda dengan metode konvensional dimana bibitnya adalah
biit berusia lebih dari 20 hari stelah semai.
2. Bibit ditanam satu pohon perlubang dengan jarak minimal 25 x 25 cm. Hal ini
dimaksudkan untuk memberiak ruang antar pohon yang akan mencegah terjadinya
penularan penyakit dan memungkinkan sinar matahari untuk menerobos ke bagian
bawah batang.
3. Pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang dari 30 menit) dan harus hati-hati agar
akar tidak putus.
4. Penanaman padi secara dangkal. Untuk memudahkan akar muda mendapatkan
nutrisiya.
5. Manajemen air ( Pemberian air maksimal 2 cm (macak-macak) dan tanah tidak diairi
secara terus-menerus sampai terendam dan penuh, namun hanya lembab) (Irigasi
berselang/terputus). Hal ini disesuikan dengan karakter tanaman padi yang sebenarnya
menginginkan air yang hanya bersifat macak-macak dan tidak menyukai air yang
tergenang.
6. Peningkatan aerasi tanah dengan pembajakan mekanik untuk meningkatkan aktivitas
mikroorganisme dan untuk mempermudah penyerapan nutrisi.
7. Penyiangan sejak awal ketika anakan sudah mencapai sekitar 14 anakan hal ini
dimaksudkan untuk menghidari kompetisi akses nutrisi ketika tanaman beranjak
membesar.
8. Menjaga keseimbangan biologi tanah dengan menggunakan pupuk organik
2.11 PERBEDAAN BUDIDAYA PADI KONVENSIONAL DENGAN METODE SRI
A. Pengolahan Lahan
Pengolahan lahan untuk pertanian konvensional dan pertanian dengan metode
SRI hampir sama dimana dengan menggunakan tenaga manusia, hewan atau traktor
dengan urutan tanah dibajak, digaru dan diratakan. Perbedaanya yaitu, pada metode
SRI saat digaru disebari dengan menggunakan pupuk organik.
B. Benih
Pada pertanian konvensional tidak ada teknik khusus untuk menyeleksi benih.
Benih hanya direndam di dalam air selama 1 hari 1 malam, selanjutnya benih
diperam selama 2 hari 2 malam, dan benih siap untuk disemaikan.
Pada metode SRI ada teknik khusus yaitu benih diseleksi dengan
menggunakan larutan garam. Dimana, air dimasukkan kedalam toples dan masukkan
sebuah telur, kemudian masukkan garam perlahan-lahan dan aduk hingga telur
mengapung (sebagai penanda larutan siap digunakan). Kemudian masukkan benih
yang akan ditanam ke dalam larutan garam tersebut. Benih yang tenggelam adalah
benih yang kualitasnya baik. Benih yang baik diambil, disisihkan dan dibersihkan
dengan air hingga larutan garam tidak menempel. Selanjutnya benih diperam selama
1 hari 1 malam (tidak lebih) dan benih siap untuk dsemaikan.
C. Persemaian
Pada pertanian konvensional persemaian dilakukan langsung di lahan sawah
dengan kebutuhan benih yang banyak yaitu antara 35-45 kg/ha. Pada metode SRI
persemaian bisa dilakukan dengan menggunakan wadah dengan kebutuhan benih
yang sedikit yaitu antara 5-10 kg/ha.
D. Sebelum Bibit Ditanam
Pada pertanian konvensional bibit yang siap ditanam dicabut dan dibersihkan
dari tanah yang melekat pada akar dan sebagian daun dipotong dan dibagi perikatan
untuk ditanam. Bibit juga harus diistirahatkan selama 1 jam hingga 1 hari sebelum
ditanam. Pada metode SRI bibit diangkat (tidak dicabut) bersama tanah yang melekat
pada akar dan langsung ditanam di sawah (kurang dari 30 menit).
E. Penanaman
Pada pertanian konvensional umur bibit yang siap ditanam adalah 18-25 hari
setelah semai. Satu lubang tanam berisi 5-8 bibit tanaman. Bibit ditanam dengan
kedalaman 5 cm (lebih). Pada metode SRI mur bibit yang siap ditanam adalah 7-12
hari setelah semai. Satu lubang tanam berisi 1 bibit tanaman. Bibit ditanam dengan
kedalaman 2-3 cm dengan bentuk perakaran horizontal berbentuk huruf L.
F. Pengairan
Pada pertanian konvensional Lahan digenangi air sampai setinggi 5-7 cm di
atas permukaan tanah secara terus menerus. Pada metode SRI menggunakan pola
pengairan intermitten/pola pengairan terputus (sawah tidak terus menerus digenangi
air). Ada sistem drainase yang baik di tiap petak-petak sawah. Ketika padi mencapai
umur 1-8 hari sesudah tanam (HST), keadaan air di lahan adalah “macakmacak”.
Sesudah padi mencapai umur 9-10 HST air kembali digenangkan dengan ketinggian
2-3 cm selama 1 malam saja. Ini dilakukan untuk memudahkan penyiangan tahap
pertama. Setelah selesai disiangi, sawah kembali dikeringkan sampai padi mencapai
umur 18 HST. Pada umur 19-20 HST sawah kembali digenangi untuk memudahkan
penyiangan tahap kedua. Selanjutnya setelah padi berbunga, sawah diairi kembali
setinggi 1-2 cm dan kondisi ini dipertahankan sampai padi “masak susu” (± 15-20
hari sebelum panen). Kemudian sawah kembali dikeringkan sampai saat panen tiba.
G. Pemupukan
Pada pertanian konvensional menggunakan pupuk Urea, TSP, dan KCl. Pada
metode SRI menggunakan pupuk kandang/bokashi yang diberi tambahan pupuk
organik cair yang mengandung mikroorganisme lokal.
H. Penyiangan
Pada pertanian konvensional hanya bertujuan membuang gulma dan dengan
menggunakan herbisida. Pada metode SRI selain bertujuan membersihkan gulma,
teknik membenamkan gulma yang tercabut ke dalam tanah juga bertujuan
memperbaiki struktur tanah dan dilakukan menggunakan tenaga manusia dan alat
bantu “susruk”.
I. Pengendalian Hama
Pada pertanian konvensional menggunakan pestisida kimia. Pada metode SRI
menggunakan pestisida organik.
2.12 Keunggulan Metode SRI
1. Tanaman hemat air, selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen memberikan
air max 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan
sampai tanah retak (Irigasi terputus).
2. Hemat Biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha. Tidak memerlukan biaya pencabutan bibit,
tidak memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam kurang dll.
3. Hemat waktu, ditanam bibit muda 5 – 12 hss, dan waktu panen akan lebih awal
4. Produksi meningkat, dibeberapa tempat mencapai 11 ton/ha
5. Ramah lingkungan, tidak menggunakan bahan kimia dan digantikan dengan
menggunakan pupuk organic (kompos, kandang dan Mikro-organisme Lokal), begitu
juga penggunaan pestisida.
3. PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Permintaan terhadap tanaman pangan seperti padi, jagung, maupun kedelai terus meningkat tiap tahunnya. Baik untuk pakan dan industri. Namun, ketersediaanya masih kurang. Oleh karena itu dengan penerapan upaya pemenuhan permintaan tersebut maka dilakukan strategi. Strategi dari awal sebelum melakukan budidaya hingga pemasaran dan strategi yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan diterapkannya strategi yang sudah dicanangkan kepada seluruh masyarakat khususnya petani/produsen diharapkan dapat memenuhi sasaran permintaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2013. http://www.deptan.go.id/daerah_new/ntt/distan_ntt/keg.apbn_files/
PROGRAM%20PENGEMBANGAN%20 AGRIBISNIS .htm. diakses tanggal 4 Mei
2013.
Anonymous. 2013. http://www.polije.ac.id/id/berita/241-program-hibah-bina-desa-tanam-
padi-metode-sri.htm. diakses tanggal 4 Mei 2013.
Direktorat Jenderal Kementetrian Direktorat Jendral Tanaman Pangan Jakarta 2011. Pedoman
Pelaksanaan Program. Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu Tanaman Pangan
Untuk Mencapai Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan TA 2011.
Gunawan, tatang. 2012. Tanam Padi Metode S.R.I. (System of Rice Intensification). (online).
http://epetani.deptan.go.id/budidaya/tanam-padi-metode-sri-system-rice-intensification-
5422. diakses pada 4 mei 2013.
Maleha dan Susanto, Kajian Konsep Ketahanan Pangan, Jurnal Protein , www.ejournal.ac.id
Sjamsoe’oed, Emeritus sadjad. 2007. Pertanian di Sawah Sebuah Antiklimaks?. Dalam
kompas 19/2-2007 hlm. 39
Syarief, Hidatar, Hardinsyah dan Sumali, 1999, “Membenahi Konsep Ketahanan Pangan
Indonesia: Pembangunan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal”., Thaha,
Hardnsyah dan Ala (Editor),. Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan (PERGIZI
PANGAN) Indonesia dan Center For Regional Resource Development dan community
Empowerment, Jakarta.
Yudohusodo, Siswono, 2006, Kebijakan, Pendidikan, dan Hasil Penelitian Pertanian,
Seminar Nasional dengan tema Paradigma Baru Pembangunan Pertanian dan Masa
Depan Bangsa, Lustrum XII Fakultas Pertanian UGM, 16 September 2006, Yogyakarta