biopelet

16
Wood pellet adalah partikel kayu yang dipadatkan yang digunakan sebagai bahan bakar (Jones, et. al., 2012). Wood pellet merupakan hasil pengempaan biomasa yang memiliki tekanan yang lebih besar dibandingkan briket (Hendra, 2012). Wood pellet sudah umum digunakan di beberapa daerah di suatu Negara, di beberapa tempat semakin popular seiring dengan mahalnya sumber energi primer serta tuntutan terhadap mitigasi perubahan iklim (Jones, et. al., 2012). Wood pellet adalah bentukan utama dari limbah kayu, meliputi : serbuk gergaji, shavings, wood chips, yang dihasilkan dari pembagian batang, furniture dan hasil hutan lainnya. Proses pembuatan pellet kayu terdiri atas beberapa langkah : bahan baku, penyaringan (screening), penggerusan (grinding), pengeringan (drying), pembuatan butiran (pelletizing), pendinginan (cooling), penyaringan kembali (screening), dan pengepakan (packaging). (Roos and Brackley, 2012). Penelitian produksi pellet kayu di Badan Litbang Kehutanan telah berhasil membuat mesin pelet kayu dengan kapasitas 2,67 kg/jam dengan spesifikasi diameter lubang 15 mm dan panjang lubang 110 mm. Pelet kayu yang terbaik dihasilkan dari serbuk gergajian kayu jati dengan ukuran serbuk 80 mesh pada suhu kempa 250 o C yang menghasilkan kerapatan 0,82 g/cm, keteguhan tekan sebesar 387,64 kg/cm², nilai kalor bakar sebesar 4961,51 kal/g, kadar abu 0,93% dan kadar air 0,98%, sedangkan kadar zat terbang terendah terdapat pada serbuk gergajian kayu akasia yaitu sebesar 76,38%. Dalam satu jam dapat dihasilkan 2,67 kg pelet kayu dengan energi listrik yang terpakai sebanyak 2,55 kWh. Mesin pelet kayu sistem pres

description

Deskripsi Biopelet

Transcript of biopelet

Page 1: biopelet

Wood pellet adalah partikel kayu yang dipadatkan yang digunakan sebagai bahan

bakar (Jones, et. al., 2012). Wood pellet merupakan hasil pengempaan biomasa yang

memiliki tekanan yang lebih besar dibandingkan briket (Hendra, 2012). Wood pellet sudah

umum digunakan di beberapa daerah di suatu Negara, di beberapa tempat semakin popular

seiring dengan mahalnya sumber energi primer serta tuntutan terhadap mitigasi perubahan

iklim (Jones, et. al., 2012).

Wood pellet adalah bentukan utama dari limbah kayu, meliputi : serbuk gergaji,

shavings, wood chips, yang dihasilkan dari pembagian batang, furniture dan hasil hutan

lainnya. Proses pembuatan pellet kayu terdiri atas beberapa langkah : bahan baku,

penyaringan (screening), penggerusan (grinding), pengeringan (drying), pembuatan butiran

(pelletizing), pendinginan (cooling), penyaringan kembali (screening), dan pengepakan

(packaging). (Roos and Brackley, 2012).

Penelitian produksi pellet kayu di Badan Litbang Kehutanan telah berhasil membuat

mesin pelet kayu dengan kapasitas 2,67 kg/jam dengan spesifikasi diameter lubang 15 mm

dan panjang lubang 110 mm. Pelet kayu yang terbaik dihasilkan dari serbuk gergajian kayu

jati dengan ukuran serbuk 80 mesh pada suhu kempa 250oC yang menghasilkan kerapatan

0,82 g/cm, keteguhan tekan sebesar 387,64 kg/cm², nilai kalor bakar sebesar 4961,51 kal/g,

kadar abu 0,93% dan kadar air 0,98%, sedangkan kadar zat terbang terendah terdapat pada

serbuk gergajian kayu akasia yaitu sebesar 76,38%. Dalam satu jam dapat dihasilkan 2,67 kg

pelet kayu dengan energi listrik yang terpakai sebanyak 2,55 kWh. Mesin pelet kayu sistem

pres hidrolik yang dilengkapi pemanas dari electric heater, berdasarkan uji coba hasilnya

sudah cukup baik dan dapat digunakan selama 8 jam tanpa henti (Hendra, 2012).

Variabel yang paling penting dalam produksi wood pellet adalah jenis biomassa

(spesies, kadar air, bentuk biomasa terkirim), tanaman dan harga peralatan, biaya energi dan

struktur tenaga kerja. Produksi wood pellet cukup menguntungkan bagi produsen maupun

retailer/distributor, termasuk bagi produksi skala kecil dan menengah (Pirraglia, et. al., 2010).

Standar karakteristik sifat dasar wood pellet yang diacu oleh pasar internasional disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1.1 Standar Bahan Bakar Pellet, efektif per Oktober 2010

Sifat dasar Premium grade Standard grade Utility grade

Kerapatan (bulk

density, lb/ft3)

Diameter (inches)

40,0 – 46,0

0,230 – 0,285

5,84 – 7,25

38,0 – 46,0

0,230 – 0,285

5,84 – 7,25

38,0 – 46,0

0,230 – 0,285

5,84 – 7,25

Page 2: biopelet

Diameter (mm)

Pellet durability

index

Fines (percent at

mill gate)

Inorganic ash (%)

Length (%> 1,5

inc)

Kadar air (%)

Chloride (ppm)

>96,5

<1,0

<1,0

<1,0

<6,0

<300

>95,0

<1,0

<2,0

<1,0

<10,0

<300

>95,0

<1,0

<6,0

<1,0

<10,0

<300

Sumber : Roos and Brackley (2012)

Kementerian Kehutanan dan Korea Forest Service telah menandatangani kerjasama

pengembangan industri biomassa ini pada tanggal 6 Maret 2009. Salah satu industri yang

telah menghasilkan wood pellet adalah PT. Solar Park bekerjasama dengan Perum Perhutani

mengolah limbah kayu Sengon dan Kaliandra.  Sampai tahun 2007, Indonesia baru mampu

menghasilkan wood pellet 40.000 ton, sedangkan produksi dunia telah menembus angka 10

juta ton. Jumlah ini belum memenuhi kebutuhan dunia pada tahun 2010 yang diperkirakan

mencapai 12,7 juta ton.  Peluang mengembangkan bahan bakar ini sangat terbuka luas

mengingat limbah hasil hutan kita sangat besar baik dari limbah industri kayu maupun dari

hutan tanaman (Kementerian Kehutanan, 2010).

Penggunaan wood pellet sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar posil

untuk industri besar,kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebuh rendah dibandingkan

minyak tanah dan gas (ratna dwianingsih 2013). Penelitian dan pemanfaatan pelet kayu

didorong oleh kebutuhan adanya energi alternatif biomassa pengganti minyak bumi yang

semakin mendesak karena harga minyak mentah yang akan terus meningkat dan akan habis.

Selain itu, adanya upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), juga membuat pelet kayu

menjadi salah satu pilihan tepat bagi masyarakat dan industri baik kecil, menengah, maupun

besar.

Keunggulan lain pelet kayu adalah mengoptimalkan pemanfaatan berupa limbah

seperti serbuk kayu sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi, yang biasanya dibuang

begitu saja. Pelet kayu juga memberi nilai tambah pada proses pengolahan kayu serta

meningkatkan  profitabilitas usaha kecil.

Pelet kayu berbentuk silindris dengan diameter 6-10 mm dan panjang 1-3 cm dan

memiliki kepadatan rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton. Pelet kayu dihasilkan dari berbagai

Page 3: biopelet

bahan biomassa, terutama limbah serbuk gergaji dari pabrik penggergajian kayu dan serbuk

limbah veneer dari pabrik kayu lapis atau palet daur ulang. “Prosesnya sangat sederhana,

bahan baku dikeringkan sampai kadar air maksimal 10% selanjutnya dipres dengan tekanan

tinggi dan dipanaskan pada suhu sekitar 120-1800C, untuk proses kering. Sedangkan untuk

proses basah bisa menggunakan bahan baku dengan kadar air tinggi, ditambah tepung kanji

dan air kemudian dipres dengan tekanan tinggi tanpa pemanasan. Kedua sistem ini dilakukan

secara kontinu,”  (Gustan.2013)

Berdasarkan data hasil penelitian pada Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.9

No.4 Desember tahun 2012, penggunaan pelet kayu sebagai bahan bakar dapat meningkatkan

keuntungan usaha. Dalam jurnal tersebut, (Dra. Setiasih Irawanti, M.S. dkk 2012) ,

menyatakan nilai tambah, keuntungan dan margin yang dihasilkan adalah paling tinggi ketika

menggunakan bahan bakar sebetan dan pelet kayu, sebaliknya paling rendah ketika

menggunakan gas.

Wood pellet adalah partikel kayu yang dipadatkan yang digunakan sebagai bahan

bakar (Jones, et. al., 2012). Wood pellet merupakan hasil pengempaan biomasa yang

memiliki tekanan yang lebih besar dibandingkan briket (Hendra, 2012). Wood pellet sudah

umum digunakan di beberapa daerah di suatu Negara, di beberapa tempat semakin popular

seiring dengan mahalnya sumber energi primer serta tuntutan terhadap mitigasi perubahan

iklim (Jones, et. al., 2012).

Wood pellet adalah bentukan utama dari limbah kayu, meliputi : serbuk gergaji,

shavings, wood chips, yang dihasilkan dari pembagian batang, furniture dan hasil hutan

lainnya. Proses pembuatan pellet kayu terdiri atas beberapa langkah : bahan baku,

penyaringan (screening), penggerusan (grinding), pengeringan (drying), pembuatan butiran

(pelletizing), pendinginan (cooling), penyaringan kembali (screening), dan pengepakan

(packaging). (Roos and Brackley, 2012).

Penelitian produksi pellet kayu di Badan Litbang Kehutanan telah berhasil membuat

mesin pelet kayu dengan kapasitas 2,67 kg/jam dengan spesifikasi diameter lubang 15 mm

dan panjang lubang 110 mm. Pelet kayu yang terbaik dihasilkan dari serbuk gergajian kayu

jati dengan ukuran serbuk 80 mesh pada suhu kempa 250oC yang menghasilkan kerapatan

0,82 g/cm, keteguhan tekan sebesar 387,64 kg/cm², nilai kalor bakar sebesar 4961,51 kal/g,

kadar abu 0,93% dan kadar air 0,98%, sedangkan kadar zat terbang terendah terdapat pada

serbuk gergajian kayu akasia yaitu sebesar 76,38%. Dalam satu jam dapat dihasilkan 2,67 kg

pelet kayu dengan energi listrik yang terpakai sebanyak 2,55 kWh. Mesin pelet kayu sistem

Page 4: biopelet

pres hidrolik yang dilengkapi pemanas dari electric heater, berdasarkan uji coba hasilnya

sudah cukup baik dan dapat digunakan selama 8 jam tanpa henti (Hendra, 2012).

Variabel yang paling penting dalam produksi wood pellet adalah jenis biomassa

(spesies, kadar air, bentuk biomasa terkirim), tanaman dan harga peralatan, biaya energi dan

struktur tenaga kerja. Produksi wood pellet cukup menguntungkan bagi produsen maupun

retailer/distributor, termasuk bagi produksi skala kecil dan menengah (Pirraglia, et. al., 2010).

Standar karakteristik sifat dasar wood pellet yang diacu oleh pasar internasional disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1.1 Standar Bahan Bakar Pellet, efektif per Oktober 2010

Sifat dasar Premium grade Standard grade Utility grade

Kerapatan (bulk

density, lb/ft3)

Diameter (inches)

Diameter (mm)

Pellet durability

index

Fines (percent at

mill gate)

Inorganic ash (%)

Length (%> 1,5

inc)

Kadar air (%)

Chloride (ppm)

40,0 – 46,0

0,230 – 0,285

5,84 – 7,25

>96,5

<1,0

<1,0

<1,0

<6,0

<300

38,0 – 46,0

0,230 – 0,285

5,84 – 7,25

>95,0

<1,0

<2,0

<1,0

<10,0

<300

38,0 – 46,0

0,230 – 0,285

5,84 – 7,25

>95,0

<1,0

<6,0

<1,0

<10,0

<300

Sumber : Roos and Brackley (2012)

Kementerian Kehutanan dan Korea Forest Service telah menandatangani kerjasama

pengembangan industri biomassa ini pada tanggal 6 Maret 2009. Salah satu industri yang

telah menghasilkan wood pellet adalah PT. Solar Park bekerjasama dengan Perum Perhutani

mengolah limbah kayu Sengon dan Kaliandra.  Sampai tahun 2007, Indonesia baru mampu

menghasilkan wood pellet 40.000 ton, sedangkan produksi dunia telah menembus angka 10

juta ton. Jumlah ini belum memenuhi kebutuhan dunia pada tahun 2010 yang diperkirakan

mencapai 12,7 juta ton.  Peluang mengembangkan bahan bakar ini sangat terbuka luas

mengingat limbah hasil hutan kita sangat besar baik dari limbah industri kayu maupun dari

hutan tanaman (Kementerian Kehutanan, 2010).

Page 5: biopelet

Penggunaan wood pellet sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar posil

untuk industri besar,kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebuh rendah dibandingkan

minyak tanah dan gas (ratna dwianingsih 2013). Penelitian dan pemanfaatan pelet kayu

didorong oleh kebutuhan adanya energi alternatif biomassa pengganti minyak bumi yang

semakin mendesak karena harga minyak mentah yang akan terus meningkat dan akan habis.

Selain itu, adanya upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), juga membuat pelet kayu

menjadi salah satu pilihan tepat bagi masyarakat dan industri baik kecil, menengah, maupun

besar.

Keunggulan lain pelet kayu adalah mengoptimalkan pemanfaatan berupa limbah

seperti serbuk kayu sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi, yang biasanya dibuang

begitu saja. Pelet kayu juga memberi nilai tambah pada proses pengolahan kayu serta

meningkatkan  profitabilitas usaha kecil.

Pelet kayu berbentuk silindris dengan diameter 6-10 mm dan panjang 1-3 cm dan

memiliki kepadatan rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton. Pelet kayu dihasilkan dari berbagai

bahan biomassa, terutama limbah serbuk gergaji dari pabrik penggergajian kayu dan serbuk

limbah veneer dari pabrik kayu lapis atau palet daur ulang. “Prosesnya sangat sederhana,

bahan baku dikeringkan sampai kadar air maksimal 10% selanjutnya dipres dengan tekanan

tinggi dan dipanaskan pada suhu sekitar 120-1800C, untuk proses kering. Sedangkan untuk

proses basah bisa menggunakan bahan baku dengan kadar air tinggi, ditambah tepung kanji

dan air kemudian dipres dengan tekanan tinggi tanpa pemanasan. Kedua sistem ini dilakukan

secara kontinu,”  (Gustan.2013)

Berdasarkan data hasil penelitian pada Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.9

No.4 Desember tahun 2012, penggunaan pelet kayu sebagai bahan bakar dapat meningkatkan

keuntungan usaha. Dalam jurnal tersebut, (Dra. Setiasih Irawanti, M.S. dkk 2012) ,

menyatakan nilai tambah, keuntungan dan margin yang dihasilkan adalah paling tinggi ketika

menggunakan bahan bakar sebetan dan pelet kayu, sebaliknya paling rendah ketika

menggunakan gas.

Biomasa dan Biomass pellets (Biopelet)

Biomasa meliiputi semua bahan yang bersipat organik (semua makhluk hidup yang

hidup atau mengalami pertumbuhan dajuga risidenya) (El bassam dan maegaard 2004).

Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang paling serbaguna dibidang sumber

Page 6: biopelet

energi terbarukan lainnya. Bimassa dapat bahan bakar untuk panas, listrik dan transportasi

(Siemers 2006). Bahan yang terrmasuk biomassa antara lain sisa hasil hutan dan perkebunan,

biji dan limbah pertanian, kayu dan limbah kayu, limbah hewan tanaman air, tanaman kecil,

dan limbah industri serta limbah pemukiman (Bergnab dan Zerbe 2004). Biomassa

merupakan sumber energi yang bersih dan dapat diperbaharui namun biomasa mempunyai

kekurangan yaitu tidak dapat langsung dibakar karena sifat fisiknya yang buruk, seperti

kerapatan energi yang rendah dan permasalahan penanganan, penyimpanan dan transportasi

(Saotoadi 2006).

Menurut Yamada et al.(2005), penggunaaan bahan bakar biomssa secara langsung

dan tanpa pengelolaan akan menyebabkan timbulnya penyakit pernapasan yang disebabkan

oleh karbon monoksida, sulfur dioksida (SO2) dan bahan partikulat. Densifikasi limbah

pertanian dan kehutanan menjadi briket atau pellet adalah suatu metode pengembangan

fungsi suatu sumberdaya. Densifukasi dapat meningkatkan kandungan energi tiap satu

poluma dan juga dapat mengurangi biaya transportasi dan penanganan. Densitas briket

biomassa berada di atas rentang densitas kayu yaitu antara 800–1.100 kg/m3 dan densitas

kamba (untuk pengemasan dan pemuatan ke dalam alat transportasi) sekitar 600–800 kg/m3

(Leach dan Gowen 1987).

Menurut Leach dan Gowen (1987), metode densifikasi untuk pembuatan pelet atau

briket dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu sistem tekanan rendah seperti mesin

pengempa manual dan mekanis serta sistem tekanan tinggi seperti roller, piston atau screw

extrusion.

Pelet merupakan salah satu bentuk energi biomassa, yang diproduksi pertama kali di

Swedia pada tahun 1980-an. Pelet digunakan sebagai pemanas ruang untuk ruang skala kecil

dan menengah. Pelet dibuat dari hasil samping terutama serbuk kayu. Pelet kayu digunakan

sebagai penghasil panas bagi pemukiman atau industri skala kecil. Di Swedia, pelet memiliki

ukuran diameter 6–12 mm serta panjang 10–20 mm (NUTEK 1996, dalam Jonsson 2006).

Pelet merupakan hasil pengempaan biomassa yang memiliki tekanan yang lebih besar

jika dibandingkan dengan briket (60 kg/m3, kadar abu 1% dan kadar air kurang dari 10%) (El

Bassam dan Maegaard 2004). Pelet memiliki kadar air yang rendah sehingga dapat lebih

meningkatkan efektivitas pembakaran (VE2006).

Bahan bakar pelet memiliki diameter antara 3-12 mm dan panjang bervariasi antara

6–25 mm. Pelet diproduksi oleh suatu alat dengan mekanisme pemasukan bahan secara terus-

menerus serta mendorong bahan yang telah dikeringkan dan termampatkan melewati

Page 7: biopelet

lingkaran baja dengan beberapa lubang yang memiliki ukuran tertentu. Proses pemampatan

ini menghasilkan bahan yang padat dan akan patah ketika mencapai panjang yang diinginkan

(Ramsay 1982).

Menurut Ramsay (1982), proses pembuatan pelet menghasilkan panas akibat gesekan

alat yang memudahkan proses pengikatan bahan dan penurunan kadar air bahan hingga

mencapai 5–10%. Panas juga menyebabkan suhu pelet ketika keluar mencapai 60–65°C

sehingga dibutuhkan pendinginan.

Metode pembuatan pelet yang lain dilakukan oleh Livington pada tahun 1977

(Livington dalam Ramsay 1982) dan telah dipatenkan di US Patent. Proses pembuatan pelet

dilakukan dari bahan organik dengan kadar air antara 16–28%. Proses berlangsung pada suhu

163°C dan tekanan pada lempeng baja sebesar 178 kN. Pelet yang dihasilkan memiliki

ukuran diameter 3 mm serta panjang 13 mm. Pelet kemudian dikeringkan dengan udara panas

dan menghasilkan kadar air 7–8% serta bobot jenis lebih dari 1,0.

Tabel 02 perbandingan biopelet

Kualitas

biopelet

Unit Onorm M

7135

(Australia)(a)

DIN

51731

(Jerman)(a)

DIN plus

(pelet

asociation

germany)(a)

Pelet fuel

Institute (b)

ITEBE (c)

(2001-

2007)

Diameter Mm 4-10 4-10 - 6,35 – 7,94 6 -16

Panjang Mm 5x D (1) <50 5xD (1) <38,1 10- 50

Densitas Kg/dm3 >1,12 1,0-1,4 >1,12 >0,64 >1,15

Kadar air % < 10 <12 <10 - ≤15

Kadar abu % < 0,50 <1,50 <0,50 <3

(standar)

≤16

Nilai kalor Mj/kg >18 17,5 –

19,5

>18 <1

(premium)

>16,9

Sulfur % <0,04 <0,8 <0,04 >19,8 <0,10

Nitrogen % <0,3 <0,3 <0,3 - ≤0,5

Klorin % <0,02 ,0,03 <0,02 - <0,07

Abrasi % <2,3 - <2,3 <0,03 -

Bahan

tambahan

% <2 -(2) <2 - ≤2

Sumber : (a) HEZO (2006); (b) PFI (2007); (c) Douard (2007)

Page 8: biopelet

Keunggulan utama pemakaian bahan bakar pelet biomassa adalah penggunaan

kembali bahan limbah seperti serbuk kayu yang biasanya dibuang begitu saja. Serbuk kayu

yang terbuang begitu saja dapat teroksidasi dibawah kondisi yang tak terkendali akan

membentuk gas metana atau gas rumah kaca (Cook 2007).

Menurut PFI (2007b), pelet memiliki konsistensi dan efisiensi bakar yang dapat

menghasilkan emisi yang lebih rendah dari kayu. Bahan bakar pelet menghasilkan emisi

bahan partikulat yang paling rendah dibandingkan jenis lainnya. Arsenik, karbon monoksida,

sulfur, dan gas karbondioksida merupakan sedikit polutan air dan udara yang dihasilkan oleh

penggunaan minyak sebagai bahan bakar.

Sistem pemanasan dengan pelet menghasilkan emisi CO2 yang rendah karena jumlah

CO2 yang dikeluarkan selama pembakaran setara dengan CO2 yang diserap tanaman ketika

tumbuh, sehingga tidak membahayakan lingkungan. Dengan efisiensi bakar yang tinggi, jenis

emisi lain seperti NOx dan bahan organik yang mudah menguap juga dapat diturunkan.

Masalah yang masih tersisa adalah emisi debu akibat peningkatan penggunaan sistem

pemanasan dengan pelets Berdasarkan PFI (2007a), terdapat 2 jenis kualitas bahan bakar

pelet yang diproduksi yaitu premium dan standar. Perbedaan keduanya adalah pada kadar

abu. Jenis standar memiliki kadar abu maksimal 3%, sedangkan jenis premium memiliki

kadar abu tidak lebih dari 1%. Perbedaan ini merupakan hasil dari perbedaan kandungan

pelet. Pelet jenis standar dibuat dari bahan yang menghasilkan residu abu, seperti kulit kayu

dan limbah pertanian. Sedangkan pelet jenis premium dibuat dari serbuk kayu keras dan kayu

lunak yang tidak mengandung kulit kayu. Pelet jenis standar hanya dapat dibakar di instalasi

pembakaran yang dirancang untuk pelet yang mengandung kadar abu tinggi.

Perekat Tapioka

Terdapat dua macam perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan briket, yaitu

perekat yang berasap (tar, molase, dan pitch), dan perekat yang tidak berasap (pati dan

dekstrin tepung beras). Untuk briket yang digunakan di rumah tangga sebaiknya memakai

bahan perekat yang tidak berasap (Abdullah, 1991). Menurut White dan Paskett (1981) bahan

perekat ditambahkan kedalam biopelet untuk meningkatkan keteguhan tekan, diantaranya

bitumen, resin dan gum. Ramsay (1982) menambahkan bahwa penambahan perekat juga

bertujuan untuk meningkatkan ikatan antar partikel, memberikan warna yang seragam dan

juga memberikan bau yang harum.

Page 9: biopelet

Tapioka merupakan bahan yang sering digunakan sebagai perekat dalam pembuatan

briket karena mudah didapat dan harganya yang relatif murah. Kelemahan penggunaan

tapioka sebagai perekat yaitu akan sedikit berpengaruh pada penurunan nilai kalor produk

dibandingkan bahan bakunya, selain itu produk yang dihasilkan kurang tahan terhadap

kelembaban. Hal ini disebabkan tapioka memiliki sifat dapat menyerap air dari udara. Kadar

perekat yang tinggi juga dapat menurunkan mutu briket akibat timbulnya asap. Penambahan

optimal perekat sebaiknya tidak lebih dari 5% (Sudrajat dan Soleh 1994). Huege dan Ingram

(2006) menambahkan bahwa jumlah perekat yang dianjurkan adalah 0,5–5% b/b total

campuran. Tepung tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu yang telah mengalami

proses pencucian secara sempurna serta dilanjutkan dengan pengeringan. Tepung tapioka

hampir seluruhnya terdiri dari pati. Ukuran granula pati tapioka berkisar antara 5-35 mikron.

(Ma’arif et al., 1984).

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Serbuk Gergajian Kusen,

Tepung tapioka untuk perekat, Air, saringan dengan ukuran lolos 22 mesh dan tertahan pada

ukuran 40mesh. Baskom, timbangan, Mesin Pencetak Wood Pellet. Oven. Alat uji kadar air,

timbangan digital, Mikrometer, Kompor untuk mengukur lama penyalaan.

Prosedur

Page 10: biopelet

Pembuatan wood pellet

a)      Tahapan persiapan pembuatan wood pellet

Limbah serbuk kayu gergajian kusen yang akan dijadikan bahan baku wood pellet dengan

lolos saringan 22 mesh dan tertahan pada saringan 40mesh, serbuk yang telah disaring akan

dikering anginkan dibawah sinar matahari langsung agar kadar airnya sama.

b)      Tahap pembuatan wood pellet

Pembuatan wood pellet dilakukan dengan mesin khusus pembuat wood pellet, setiap

pembuatan digunakan 2 kg bahan baku dengan perlakuan 5%, 10%. 15%, Perekat atau

tepung tapioka dan pemberian air dilakukan dengan 100ml L, 150ml L, 200ml L, dan 200ml

L. Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali ulangan.