Beda Pengaruh Contract Relax Stretching Dengan Strain-counterstrain Technique Terhadap Penurunan...
Transcript of Beda Pengaruh Contract Relax Stretching Dengan Strain-counterstrain Technique Terhadap Penurunan...
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
1
BEDA PENGARUH CONTRACT RELAX STRETCHING DENGAN
STRAIN-COUNTERSTRAIN TECHNIQUE TERHADAP
PENURUNAN NYERI PADA PENDERITA SINDROME
PIRIFORMIS DI RSUP. Dr. WAHIDIN
SUDIROHUSODO
ABSTRAK
R I S A L, Nim : PO. 714. 241. 092. 029. Skiripsi “Beda Pengaruh Contract Relax
Stretching dengan Strain – Counterstrain Technique terhadap Penurunan Nyeri pada
Penderita Sindrome Piriformis di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar 2010”,
dibimbing oleh : Hendrik, sebagai pembimbing I dan Sudaryanto, sebagai pembimbing II.
Sindrome piriformis merupakan gangguan neuromuskular yang terjadi ketika saraf
sciatic terkompresi atau teriritasi oleh otot piriformis yang menyebabkan nyeri, kesemutan,
dan mati rasa atau rasa kebas pada daerah bokong dan sepanjang perjalanan saraf sciatic ke
bawah yaitu kearah paha dan tungkai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beda pengaruh besarnya penurunan nyeri
pada penderita sindrome piriformis. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan cara
pengumpulan data melaui pre test dan pos test two group design, kelompok I menggunakan
Contract Relax Stretching dan kelompok II menggunakan Strain-Counterstrain Technique,
populasi dalam penelitian ini adalah pasien di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
yang berjumlah 20 orang. Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan purposive
sampling dengan kriteria yang telah ditentukan, dengan jumlah sampel 20 orang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Contract Relax Stretching dapat
menghasilkan penurunan nyeri dengan rerata selisih 2,260 dan Strain-Counterstrain
Technique dapat menurunkan nyeri dengan rerata selisih 2,560. Sedangkan hasil Uji
Wilcoxon pada kelompok perlakuan I diperoleh nilai p = 0,005 (p< 0,05) dan pada kelompok
perlakuan II diperoleh nilai p = 0,005 (p< 0,05) yang berarti bahwa pemberian Contract
Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain Technique dapat menghasilkan pengaruh yang
bermakna terhadap penurunan nyeri pada penderita sindrome. sedangkan hasil Uji Mann-
Whitney diperoleh nilai p = 0,025 (p< 0,05) dan dapat dilihat dari nilai rerata kedua
kelompok perlakuan yaitu 2,560 dari pada kelompok perlakuan I yaitu sebesar 2,260. Hal ini
menunjukkan bahwa Strain-Counterstrain Technique dapat menghasilkan penurunan nyeri
yang lebih besar secara bermakna daripada Contract Relax Stretching.
Dengan demikian, pemberian Strain-Counterstrain lebih efektif dalam menurunkan
nyeri daripada Contract Relax Stretching.
Kata kunci : Contract Relax Stretching, Strain-Counterstrain Technique, Sindrome
Piriformis.
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
2
PENDAHULUAN
Upaya manusia di bidang
kesehatan pada era pembangunan ini
telah membawa perubahan konsep
pelayanan kesehatan. Konsep pelayanan
kesehatan dari berbagai disiplin ilmu
kesehatan diarahkan untuk meningkatkan
derajat kesehatan baik individu maupun
masyarakat. Disamping itu,
permasalahan kesehatan saat ini telah
bergeser dari pola penyakit menular ke
pola penyakit tidak menular termasuk
penyakit akibat trauma dan degenerasi.
Salah satu penyakit yang banyak
menyerang populasi usia produktif dan
usia tua adalah low back pain.
Gangguan nyeri pinggang dapat
dialami oleh semua, tidak memandang
tua, muda wanita atau pria. Sebagian
besar dari nyeri pinggang disebabkan
karena otot-otot pada pinggang sedikit
lemah, sehingga pada saat melakukan
gerakan yang kurang betul atau berada
pada suatu posisi yang cukup lama dapat
menimbulkan peregangan yang ditandai
dengan rasa sakit (Diana Samara, 2003).
Keluhan nyeri pinggang pernah
dialami oleh 50-80% penduduk di
negara-negara Industri (Mink 1986,
Kramer 1981, Haenen et al 1984, RKZ
Zieknhuis 1988) dan menghilangkan jam
kerja yang sangat besar. Penelitian di
Swedia (1971) menunjukkan bahwa
karyawan atau pekerja yang menderita
nyeri pinggang mengalami kehilangan
11 juta hari kerja pertahun. Ben et al
(1975) menyatakan di Inggris kehilangan
13,2 juta hari kerja pertahun bagi
karyawan yang mengalami nyeri
pinggang. Haenen et al (dalam Nugroho
D.S 1991) dari tahun 1975 – 1978
melakukan penelitian terhadap penderita
nyeri pinggang dimana di dapatkan 51%
pria dan 57% wanita mengeluh nyeri
pinggang sedangkan 50% nya dalam
beberapa waktu tidak bugar untuk
bekerja dan 8% harus alih pekerjaan
(http://Piriformis_syndrome.htm).
Sekitar 70% dan 80% populasi di
dunia mengalami nyeri pinggang pada
suatu waktu selama masa kehidupannya,
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
3
dan diantaranya terdapat subkelompok
pasien yang mengalami nyeri pinggang
sekaligus nyeri sciatic. Salah satu
diagnosis yang dapat ditegakkan
berdasarkan evaluasi pada pasien sciatica
adalah sindrome piriformis (Sara
Douglas, 2002).
Sindrome piriformis umumnya
menimbulkan sciatic pain yang biasa
dikenal dengan “ischialgia”. Adanya
kompresi pada saraf ischiadicus akibat
gangguan pada otot piriformis (seperti
spasme/tightness), strain atau sacroiliaca
dysfunction dapat menyebabkan
munculnya sciatic pain.
Sindroma piriformis adalah
gangguan neuromuskular yang terjadi
karena saraf sciatica (nervus ischiadicus)
terkompresi atau teriritasi oleh otot
piriformis sehingga menimbulkan nyeri,
kesemutan, dan mati rasa pada area
bokong sampai perjalanan saraf sciatica.
Sekitar 15% dari populasi kasus sciatica
(ischialgia) adalah sindroma piriformis
(Wikipedia, 2010).
Hasil observasi pada tanggal 26
april 2010 di RS.Wahidin Sudirohusodo
Makassar dengan data dari bulan Januari
– Maret 2010 terdapat 46 orang yang
mengalami penyakit sindroma piriformis
dari 666 pasien yang berkunjung. Hal ini
menunjukkan jumlah yang cukup besar
penderita nyeri pinggang akibat
sindrome piriformis.
Berbagai modalitas dan teknik
fisioterapi dapat diberikan pada kasus
nyeri sciatic penderita sindrome
piriformis yaitu Contract Relax
Stretching dengan Strain-Counterstrain
technique. Sugijanto (2009) menyatakan
bahwa teknik Contract Relax Stretching
merupakan perpaduan teknik yang cocok
untuk mengatasi problematik spasme
(tightness) pada otot. Efektifitas dari
Contract Relax Stretching telah diteliti
oleh Risal (2009) dengan hasil
menunjukkan penurunan nyeri yang
bermakna pada penderita sindrome
piriformis. Sedangkan teknik Strain-
Counterstrain (SCS) dapat memberikan
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
4
manfaat melalui pengaturan kembali
secara automatik pada muscle spindle,
yang dapat membantu melaporkan
panjang dan tonus otot. Proses ini hanya
terjadi ketika muscle spindle dalam
posisi mengenakkan, dan biasanya
menghasilkan penurunan tonus yang
berlebihan dan pelepasan spasme.
Disamping itu, teknik Strain-
Counterstrain masih jarang diaplikasikan
dalam klinik tetapi aplikasi teknik
Contract Relax Stretching sering
digunakan dalam kondisi sindrome
piriformis.
Berdasarkan uraian diatas penulis
tertarik untuk meneliti apakah ada beda
pengaruh Contract Relax Stretching
dengan Strain-Counterstrain Technique
terhadap penurunan nyeri pada spasme
otot piriformis di RS. Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
maka dapat dirumuskan masalah
penelitian ini yaitu “Apakah ada
perbedaan pengaruh antara Contract
Relax Stretching dengan Counterstrain
Technique terhadap penurunan nyeri
pada Sindrome Piriformis ?”
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui perbedaan
pengaruh antara Contract Relax
Stretching dengan Strain-
Counterstrain Technique terhadap
penurunan nyeri pada sindrome
piriformis.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui gambaran
penderita nyeri pinggang akibat
sindrome piriformis di RSUP. Dr.
Wahidin Sudirohusodo.
b. Untuk mengetahui besarnya
pengaruh Countract Relax
Stretching terhadap penurunan
nyeri pada sindrome piriformis.
c. Untuk mengetahui besarnya
pengaruh Strain-Counterstrain
Technique terhadap penurunan
nyeri pada sindrome piriformis.
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
5
d. Untuk mengetahui besarnya
perbedaan pengaruh antara
Contract Relax Stretching dengan
Strain-Counterstrain Technique
terhadap penurunan nyeri pada
sindrome piriformis.
TINJAUAN PUSTAKA
Piriformis syndrome adalah
kondisi sebagai hasil ketika otot
piriformis menekan saraf sciatic dan
mengiritasi serabut syaraf. Dan
kondisi seperti ini akan menimbulkan
nyeri dimulai dari daerah pantat dan
berjalan lurus kebawah pada area
belakang kaki. Faktor – faktor yang
menyebabkan piriformis sindrome
antara lain : faktor abnormalitas
postur, gangguan saraf, gangguan
sirkulasi darah dan faktor habitual
postur yang jelek. Gejala yang sering
terjadi adalah nyeri ketika duduk,
menaiki tangga, merangkak, berjalan
dan berlari. Syndrome ini tidak
begitu umum dan hanya terjadi
karena sciatica.( www.Laura
Inverarity, D.O Modifikasi :
Jowir.html)
Gambar 2.1.
Piriformis Syndrome
Sindrome piriformis
merupakan sekumpulan gejala-gejala
termasuk nyeri pinggang atau nyeri
bokong yang menyebar ke tungkai.
Masih ada perbedaan pendapat dari
para ahli, apakah sindrome piriformis
merupakan kondisi yang jelas ada dan
menyebabkan nyeri myofascial dari
paha, hipertropi, dan nyeri tekan pada
otot piriformis, atau apakah sindrome
piriformis merupakan kondisi
kompresi dari saraf sciatic yang
menyebabkan nyeri neuropatik (Kelly
Redden, 2009).
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
6
Sindrome piriformis
merupakan gangguan neuromuskular
yang terjadi ketika saraf sciatic
terkompresi atau teriritasi oleh otot
piriformis yang menyebabkan nyeri,
kesemutan, dan mati rasa atau rasa
kebas pada daerah bokong dan
sepanjang perjalanan saraf sciatic ke
bawah yaitu kearah paha dan tungkai.
Diagnosa kondisi ini sulit ditegakkan
karena memiliki gambaran klinis yang
mirip dengan kompresi akar saraf
spinal akibat herniasi diskus
(Wikipedia, 2010).
Sindrome piriformis
merupakan kompresi yang reversible
pada saraf sciatic oleh otot piriformis.
Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri
yang dalam dan hebat pada daerah
bokong, hip, dan sciatica, dengan
radiasi nyeri kearah paha, tungkai,
kaki dan jari-jari kaki. Pada sindrome
piriformis, ketegangan atau spasme
otot piriformis dapat menekan saraf
sciatic kearah anterior dan inferior.
Kondisi nyeri hebat yang dihasilkan
dapat menjadi kronik dan
menimbulkan kelemahan (Loren M.
Fishman, 2009).
Kemampuan untuk
menetapkan sindrome piriformis
memerlukan pemahaman yang baik
tentang struktur dan fungsi otot
pirifomis serta hubungannya dengan
saraf sciatic.
1. Anatomi Biomekanik Piriformis
Otot piriformis berperan
sebagai eksternal rotator hip, abduktor
hip yang lemah, dan fleksor hip yang
lemah, serta memberikan stabilitas
postural selama ambulasi dan berdiri.
Otot piriformis berorigo pada
permukaan anterior sacrum, biasanya
pada level vertebra S2 – S4, atau
mendekati kapsul sacroiliaca joint.
Otot ini berinsersio pada bagian
medial superior dari trochanter mayor
melalui tendon yang mengelilinginya
dimana pada beberapa individu
bersatu dengan tendon obturator
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
7
internus dan gemellus. Otot ini
dipersarafi oleh saraf spinal S1 dan S2,
dan kadang-kadang juga oleh L5 (Lori
A. Boyajian et al, 2007).
Otot piriformis termasuk
group otot external rotator hip
bersama 5 otot lainnya yaitu obturator
externus dan internus, gemellus
superior dan inferior, dan quadratus
femoris. Otot piriformis merupakan
otot yang paling superior dari group
otot ini dan sedikit diatas dari hip
joint (Nancy Hamilton and Kathryn
Luttgens, 2002).
Otot piriformis memiliki
variasi hubungan dengan saraf sciatic.
Sebanyak 96% populasi, memiliki
saraf sciatic yang muncul pada
foramen deep sciatic yang besar
sepanjang permukaan inferior dari
otot piriformis. Namun terdapat 22%
populasi memiliki saraf sciatic yang
memotong otot piriformis, split atau
membelah otot piriformis, atau kedua-
duanya sehingga dapat menjadi faktor
resiko dari sindrome piriformis. Saraf
sciatic berjalan secara sempurna
melalui muscle belly otot, atau saraf
tersebut berjalan membelah dengan
satu cabang (biasanya bagian fibular)
memotong otot piriformis dan cabang
lainnya (biasanya bagian tibial)
berjalan kearah inferior atau superior
sepanjang otot piriformis. Jarang saraf
sciatic muncul pada foramen sciatic
yang besar sepanjang permukaan
superior dari otot piriformis (Lori A.
Boyajian et al, 2007).
Gambar 2.2
Hubungan Topografi Otot
Piriformis dengan Saraf Sciatic
Saraf sciatic merupakan
seberkas saraf sensorik dan motorik
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
8
yang meninggalkan fleksus
lumbosakralis dan menuju ke foramen
infrapiriformis, kemudian keluar pada
permukaan belakang tungkai
dipertengahan lipatan pantat. Saraf
sciatic mengandung saraf sensorik
yang berasal dari radiks posterior L4 –
S3. Pada spasium poplitea, saraf
sciatic bercabang dua dan jauh lebih
ke distal tidak lagi menyandang nama
saraf sciatic (saraf ischiadikus).
Kedua cabang saraf tersebut adalah
saraf peroneus komunis dan saraf
tibialis (Mahar Mardjono dan Priguna
Sidharta, 2008).
2. Etiologi
Sindrome piriformis memiliki
dua tipe yaitu primer sindrome
piriformis dan sekunder sindrome
piriformis. Primer sindrome
piriformis memiliki penyebab
anatomik seperti saraf sciatic yang
split terhadap otot piriformis atau
jalur saraf sciatic yang anomali.
Sekunder sindrome piriformis terjadi
sebagai akibat dari adanya penyebab
yang memicu kondisi ini seperti
makrotrauma, mikrotrauma, efek
massa ischemic dan lokal iscemic.
Diantara pasien-pasien sindrome
piriformis terdapat sedikitnya 15%
kasus yang memiliki penyebab primer
(primer sindrome piriformis) (Lori A.
Boyajian et al, 2007).
Sindrome piriformis paling
sering disebabkan oleh makrotrauma
pada daerah bokong yang
menyebabkan inflamasi pada jaringan
lunak, spasme otot, atau kedua-
duanya, yang menghasilkan kompresi
saraf sciatic. Mikrotrauma dapat
dihasilkan dari adanya overuse
(penggunaan yang berlebihan) dari
otot piriformis seperti berjalan atau
berlari jarak jauh atau oleh adanya
kompresi langsung. Sebagai contoh
kompresi langsung dapat dihasilkan
dari repetitif trauma akibat duduk
diatas permukaan yang keras (Lori A.
Boyajian et al, 2007).
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
9
Berbeda dengan pendapat
Samir Mehta et al (2006), yang
menjelaskan tentang penyebab primer
dan sekunder sindrome piriformis.
Penyebab primer terjadi karena
adanya kompresi langsung pada saraf
seperti trauma atau akibat faktor
intrinsik pada otot piriformis
termasuk variasi anomali pada
anatomi otot, hipertropi otot,
inflamasi kronik otot, dan perubahan
sekunder akibat trauma seperti
adhesion. Penyebab sekunder
mencakup gejala-gejala akibat lesi
massa pelvic, infeksi, dan pembuluh
darah yang anomali atau ikatan
serabut yang melintasi saraf, bursitis
pada tendon piriformis, inflamasi
sacroiliaca joint, dan kemungkinan
myofascial trigger point. Penyebab
lainnya mencakup pseudoaneurysma
pada arteri gluteal inferior yang
berdekatan dengan otot piriformis,
sindrome bilateral piriformis akibat
duduk dalam waktu yang lama,
cerebral palsy yang menyebabkan
hipertoni dan kontraktur otot
piriformis, total hip arthroplasty, dan
myositis ossificans.
3. Patologi Terapan
Pada saat otot piriformis
memendek atau spasme akibat trauma
atau overuse maka otot tersebut dapat
menekan atau menjepit saraf sciatic
yang berada diantara otot tersebut.
Pada umumnya, kondisi ini dikenal
sebagai “nerve entrapment atau
entrapment neuropathi”. Kondisi
khususnya dikenal sebagai sindrome
piriformis yang menunjukkan gejala-
gejala sciatica yang bukan berasal
dari akar saraf spinal dan/atau
kompresi diskus spinal, tetapi
melibatkan otot piriformis diatasnya.
Sekitar 15 – 30% populasi memiliki
saraf sciatic yang berjalan melalui
atau memotong otot piriformis, lebih
banyak daripada lewat dibawahnya
otot piriformis. Beberapa penelitian
telah melaporkan bahwa orang-orang
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
10
dengan struktur anatomi tersebut
memiliki insiden sindrome piriformis
yang tinggi daripada populasi umum
(Wikipedia, 2010).
Otot gluteus yang inaktif juga
memfasilitasi perkembangan
sindrome ini, karena otot piriformis
juga membantu ekstensi dan eksternal
rotasi femur. Penyebab utama dari
inaktivitas otot gluteus adalah
reciproke inhibisi yang tidak
diinginkan akibat adanya overaktif
fleksor hip (iliopsoas dan rectus
femoris). Ketidakseimbangan ini
biasanya terjadi karena fleksor hip
telah dilatih dengan sangat tegang dan
singkat, seperti ketika seseorang
duduk dengan kedua hip fleksi (duduk
sepanjang hari saat bekerja). Hal ini
dapat menghilangkan aktivasi gluteus,
dan sinergis terhadap gluteus
(hamstring, adduktor magnus, dan
piriformis) akan melakukan ekstra
fungsi. Pada akhirnya, otot piriformis
akan mengalami hipertropi yang akan
menghasilkan gejala khas. Overuse
injury yang menghasilkan sindrome
piriformis dapat diakibatkan dari
aktivitas dalam posisi duduk yang
melibatkan penggunaan kedua
tungkai secara berlebihan seperti saat
rowing exercise dan bicycle exercise
(Wikipedia, 2010).
Atlit lari, sepeda dan atlit
lainnya yang melakukan aktivitas
gerakan tungkai ke depan secara
khusus peka terhadap perkembangan
sindrome piriformis jika tidak
melakukan latihan stretching kearah
lateral dan strengthening sebelum
latihan inti/pertandingan. Ketika
terjadi ketidakseimbangan oleh
gerakan lateral kedua tungkai maka
gerakan ke depan yang berulang-
ulang dapat menyebabkan
disproporsional antara kelemahan
abduktor hip dan ketegangan adduktor
hip. Dengan demikian,
disproporsional antara lemahnya
abduktor hip (gluteus medius) yang
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
11
dikombinasikan dengan ketegangan
otot adduktor hip, dapat menyebabkan
otot piriformis memendek dan
berkontraksi dengan sangat kuat.
Peningkatan diatas 40% pada ukuran
piriformis maka penjebakan saraf
sciatic tidak dapat dihindari. Hal ini
berarti bahwa abduktor hip tidak
dapat bekerja dengan baik dan strain
dapat terjadi pada otot piriformis
(Wikipedia, 2010).
Hasil dari spasme otot dapat
menjebak tidak hanya saraf sciatic
tetapi juga saraf pudendal. Saraf
pudendal berperan mengontrol otot-
otot bowels dan bladder. Gejala-
gejala penjebakan saraf pudendal
mencakup kesemutan dan rasa kebas
pada area lipatan paha, dan dapat
menyebabkan inkontinensia urine dan
fecal (Wikipedia, 2010).
Penyebab lainnya dari
sindrome piriformis adalah kekakuan
(stiffness) atau hipomobile dari
sacroiliaca joint. Hal ini
menghasilkan perubahan kompensasi
pada pola berjalan yang kemudian
menyebabkan gaya shear pada origo
otot piriformis dan kemungkinan pada
otot gluteus, sehingga tidak hanya
terjadi malfungsi pada otot piriformis
tetapi juga menghasilkan sindrome
nyeri pinggang lainnya (Wikipedia,
2010). Adanya hiperlordosis lumbal
dan kontraktur fleksi hip dapat
meningkatkan strain pada otot
piriformis dan dapat memicu
terjadinya perkembangan gejala-
gejala tersebut. Perubahan pola
berjalan juga dapat menyebabkan
hipertropi otot piriformis dan
inflamasi kronik, yang dapat
menyebabkan sindrome piriformis.
Pasien-pasien dengan kelemahan otot
abduktor hip atau perbedaan panjang
tungkai khususnya dapat memicu
sindrome ini. Selama fase menumpuh
berjalan, otot piriformis terulur saat
hip menumpuh berat badan dalam
posisi dipertahankan internal rotasi.
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
12
Pada saat hip masuk fase mengayun
maka otot piriformis akan
berkontraksi untuk menuntun
eksternal rotasi hip. Karena otot
piriformis dibawah kondisi strain
selama siklus berjalan dan lebih besar
peluang terjadinya hipertropi daripada
otot lainnya pada regio tersebut. Suatu
abnormalitas pola berjalan yang
dipertahankan pada hip yang terlibat
dalam posisi peningkatan internal
rotasi atau adduksi dapat
meningkatkan strain otot bahkan lebih
besar (Samir Mehta, 2006).
Disamping itu, sindrome
piriformis dapat disebabkan oleh
overpronasi kaki. Ketika kaki
overpronasi maka dapat menyebabkan
knee berputar kearah medial, yang
kemudian menyebabkan otot
piriformis menjadi aktif untuk
mencegah over-rotasi knee. Hal ini
menyebabkan otot piriformis menjadi
overuse dan oleh karenanya otot
menjadi tegang, yang akhirnya
menyebabkan sindrome piriformis.
Sindrome piriformis juga berkaitan
dengan injury jatuh (Wikipedia,
2010).
4. Gambaran Klinis
Gejala-gejala yang paling
sering terjadi pada sindrome
piriformis adalah meningkatnya nyeri
setelah duduk dalam waktu 15 – 20
menit. Beberapa pasien mengeluh
nyeri diatas otot piriformis (yaitu
didaerah bokong), khususnya diatas
perlekatan otot di sacrum dan
trochanter mayor bagian medial.
Gejala-gejalanya dapat bersifat
serangan tiba-tiba atau bertahap,
biasanya berkaitan dengan spasme
otot piriformis atau kompresi saraf
sciatic. Pasien-pasien ini biasanya
mengeluh sulit berjalan dan nyeri saat
internal rotasi ipsilateral tungkai/hip,
seperti yang terjadi selama posisi
duduk cross-legg atau ambulasi (Lori
A. Boyajian et al, 2007).
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
13
Spasme otot piriformis dan
disfungsi sacral (seperti torsion) dapat
menyebabkan stress pada ligamen
sacrotuberous. Stress ini dapat
menyebabkan kompresi pada saraf
pudendal atau meningkatkan stress
mekanikal pada tulang innominate
sehingga potensial menyebabkan
nyeri pada lipatan paha dan pelvic.
Kompresi pada cabang fibular dari
saraf sciatic seringkali menyebabkan
nyeri atau paresthesia pada posterior
paha (Lori A. Boyajian et al, 2007).
Melalui mekanisme
kompensasi atau fasilitasi, sindrome
piriformis dapat memberikan
kontribusi terhadap nyeri pada
cervical, thoracal, dan lumbosacral,
serta gangguan gastrointestinal dan
nyeri kepala (Lori A. Boyajian et al,
2007).
Tanda-tanda klinis sindrome
piriformis berkaitan secara langsung
atau secara tidak langsung terhadap
spasme otot, menghasilkan kompresi
saraf atau kedua-duanya. Nyeri tekan
saat palpasi ditemukan diatas otot
piriformis khususnya diatas
perlekatan otot di trochanter mayor.
Beberapa pasien juga mengalami
nyeri tekan saat palpasi di regio
sacroiliaca joint, sulcus sciatic yang
besar, dan otot piriformis termasuk
nyeri yang menjalar ke knee (Lori A.
Boyajian et al, 2007).
Beberapa pasien akan teraba
seperti massa sosis di daerah bokong
karena adanya kontraksi otot
piriformis. Kontraksi otot piriformis
juga dapat menyebabkan eksternal
rotasi ipsilateral pada hip. Ketika
pasien sindrome piriformis relaks
dalam posisi tidur terlentang maka
kaki ipsilateral akan mengalami
eksternal rotasi. Hal ini menunjukkan
adanya tanda positif sindrome
piriformis. Adanya usaha aktif untuk
membawa kaki ke garis tengah tubuh
akan menghasilkan nyeri. Beberapa
pasien dengan sindrome piriformis
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
14
juga ditemukan positif Lasegue test,
Freiberg test, atau Pace sign, dan
biasanya memperlihatkan antalgic
gait. Tanda Lasegue adalah nyeri
yang terlokalisir ketika tekanan
diaplikasikan diatas otot piriformis
dan tendonnya, khususnya ketika
fleksi hip 90o disertai ekstensi knee.
Tanda Freiberg adalah nyeri yang
dialami selama gerak pasif internal
rotasi hip. Kemudian tanda Pace
muncul saat FAIR (fleksi, adduksi,
dan internal rotasi) yang melibatkan
gejala-gejala sciatic. FAIR test
dilakukan dalam posisi tidur miring
dengan tungkai yang terlibat di sisi
atas, kemudian fleksikan hip 60o, dan
fleksi knee 60o – 90
o. Sambil
menstabilisasi hip, pemeriksa
melakukan internal rotasi dan adduksi
hip dengan mengaplikasikan tekanan
ke bawah pada knee (Lori A.
Boyajian et al, 2007).
Saraf plexus sacral yang
menginnervasi otot tensor fascia latae,
gluteus minimus, gluteus maximus,
adductor magnus, quadratus femoris,
dan obturator eksternus juga akan
teriritasi oleh otot piriformis.
Kelemahan otot ipsilateral juga dapat
terjadi jika sindrome piriformis
disebabkan oleh anomali anatomik
atau jika sindrome piriformis dalam
kondisi kronik. Pada beberapa kasus,
lingkup gerak sendi juga mengalami
penurunan pada internal rotasi hip
ipsilateral (Lori A. Boyajian et al,
2007).
A. Tinjauan Tentang Modalitas
Fisioterapi
1. Contract Relax Stretching
a. Pengertian
Contract Relax Stretching
merupakan suatu teknik yang
menggunakan kontraksi isometrik
yang optimal dari kelompok agonis
yang memendek, dilanjutkan
dengan relaksasi kemudian diulur
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
15
Menurut Susan S. Adler
(2000), Contract Relax adalah
kontraksi resisted isotonik pada
otot yang spasme kemudian diikuti
dengan relaksasi dan dilakukan
gerakan kearah peningkatan ROM.
Sedangkan Stretching adalah
istilah umum yang digunakan
untuk menggambarkan suatu
manuver terapeutik yang didesain
untuk memanjangkan struktur
jaringan lunak yang memendek
secara patologis. (Carolyn Kisner,
1999). Jadi Contract Relax
Stretching adalah suatu teknik
terapi latihan yang diawali dengan
kontraksi resisted isotonik pada
otot yang spasme kemudian diikuti
dengan relaksasi, dan akhirnya
diaplikasikan stretching untuk
mengulur otot yang spasme.
b. Prinsip Fisiologi
1) Autogenic inhibisi (Inverse
Stretch Refleks)
Ketika suatu otot
berkontraksi sangat kuat,
terutama jika kategangan
menjadi berlebihan, maka
secara tiba-tiba kontraksi
menjadi terhenti dan otot
relaksasi. Ralaksasi ini sebagai
respon terhadap ketegangan
yang sangat kuat, yang
dinamakan dengan inverse
stretch refleks atau autogenic
inhibisi dan menyesuaikan
dengan hukum kedua
Sherrington, yaitu jika otot
mendapat stimulasi untuk
berkontraksi, maka otot
antagonis menerima impuls
untuk relaksasi.
2) Inhibisi Reciprokal
Kita ketahui bahwa
didalam medula spinalis
terdapat inhibisi prosinaptik.
Serabut saraf afferant Ia dari
muscle spindel otot berjalan ke
medula spinalis dan bersinaps
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
16
dengan saraf motorik dari otot
yang sama (alpha motoneuron)
serta bersinaps dengan
interneuron inhibisi medula
spinalis yang kemudian
bersinaps dengan saraf motorik
dari otot antagonis.
Jika ada impuls dari
muscle spindel yang dibawa
oleh serabut saraf Ia, maka
impuls inhibisi postsinaptik
melalui interneuron inhibisi
medula spinalis neuron-neuron
motorik yang mempersarafi otot
antagonis. Kemudian impuls
tersebut memfasilitasi neuron
motoril dari otot yang sama
(agonis), sehingga otot tersebut
berkontraksi, sehingga otot
antagonis mengalami relaksasi.
Fenomena ini disebut inhibisi
dan fasilitasi reciprokal, karena
adanya persarafan dalam
medula spinalis.
3) Respon Mekanikal dan
Neurofisiologi Otot Terhadap
Stretch
Respon mekanikal otot
terhadap peregangan
bergantung pada myofibir dan
sarkomer otot. Setiap otot
tersusun dari beberapa serabut
otot. Satu serabut otot terdiri
atas beberapa myofibril. Serabut
myofibril tersusun dari beberapa
sarkomer yang terletak sejajar
dengan serabut otot. Sarkomer
merupakan unikm kontraktil
dari myofibril dan terdiri atas
filamen aktin dan myosin yang
saling overlepping. Sarkomer
memberikan kemampuan pada
otot untuk berkontraksi dan
relaksasi, serta mempunyai
kemampuan elastisitas jika
diregangkan.
Ketika otot secara pasif
diregangkan / diulur, maka
pemanjangan awal terjadi pada
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
17
rangkaian komponen elastis
(sarkomer) dan tension
meningkat secara drastis.
Kemudian ketika gaya regangan
dilepaskan maka setiap
sarkomer akan kembali ke
posisi resting lenght.
Kecenderungan otot untuk
kembali ke posisi resting lenght
setelah peregangan disebut
dengan elastisitas.
Respon neurofisiologi
otot terhadap peregangan
bergantung pada struktur
muscle spindle dan golgi tendon
organ. Muscle spindle
merupakan organ sensorik
utama dari otot dan tersusun
dari serabut-serabut intrafusal
yang terletak paralel dengan
serabut ekstrafusal. Muscle
spindel berfungsi untuk
memonitor kecepatan dan durasi
regangan/ penguluran serta rasa
terhadap perubahan panjang
otot. Serabut muscle spindle
dapat merasakan cepatnya suatu
otot terulur. Serabut saraf
aferent primer (tipe Ia) dan
sekunder (tipe II) muncul dari
muscle spindle dan bersinaps
dengan alpha atau gamma
motoneuron secara berurutan,
dan memfasilitasi kontraksi dari
serabut ekstrafusal dan
interfusal. Golgi tendon organ
terletak dekat dengan
musculotendineus juction,
membungkus disekitar kedua
ujung serabut ekstrafusal dan
sensitif terhadap ketegangan
(tension) pada otot yang
disebabkan oleh peregangan
pasif atau kontraksi otot secara
aktif. Golgi tedon organ
merupakan mekanisme proteksi
yang menginhibisi kontraksi
otot yang kuat. Golgi tendon
organ mempunyai ambang
rangsang yang sangat rendah
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
18
untuk titik letup ( firing impuls )
setelah kontraksi otot aktif dan
mempunyai ambang rangsang
yang tinggi untuk titik letup
(firing impuls) dengan
peregangan pasif.
Ketika otot diregang /
diulur dengan sangat cepat,
maka serabut efferent primer
meregang alpha motoneuron
pada medula spinalis dan
memfasilitasi kontraksi serabut
ekstrafusal, yaitu meningkatkan
ketegangan (tension) pada otot.
Hal ini dinamakan dengan
monosynaptik refleks. Tetapi
jika peregangan dilakukan
secara lambat pada otot, maka
golgi tendon organ terstimulasi
dan menginhibisi ketegangan
(tension) pada otot sehingga
memberikan pemanjangan pada
komponen elastis otot yang
paralel (sarkomer).
c. Indikasi dan Kontraindikasi
Adapun indikasi Contract Relax
Stretching adalah :
1) Ketika Range Of Motion
(ROM) atau jarak gerak sendi
terbatas karena adanya
kontraktur adhesive dan
terbentuknya scar tissue yang
memicu pemendekan pada
jaringan connective tissue dan
kulit.
2) Ketika jarak gerak sendi
terbatas karena adanya spasme
atau tightness pada otot-otot
disekitar sendi.
Sedangkan tujuan Contract Relax
Stretching adalah :
1) Menurunkan spasme atau
tightness pada otot
2) Meningkatkan ROM sendi
Adapun kontraindikasi Contract
Relax Stretching adalah :
1) Fraktur
2) Dislokasi atau subluksasi
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
19
3) Peradangan atau infeksi akut
disekitar sendi
4) Trauma akut pada otot.
d. Prosedur Pelaksanaan
1) Posisi pasien : tidur terlentang
2) Posisi terapis : disamping
pasien pada sisi kontralateral
dari tungkai yang terlibat,
kemudian fleksi dan adduksikan
hip disertai internal rotasi hip
dengan menggunakan kedua
tangan terapis.
3) Pelaksanaan : dalam posisi otot
piriformis terulur maksimal
(fleksi, adduksi dan internal
rotasi hip yang maksimal),
kontraksikan otot piriformis
dengan menyuruh pasien
menggerakkan kearah abduksi
sedikit eksternal rotasi hip
melawan tangan terapis,
kemudian pasien diminta relaks.
Setelah relaks, kedua tangan
terapis melakukan penguluran
maksimal pada otot piriformis
sambil menekan knee kearah
bawah.
2. Strain – Counterstrain (SCS)
Jones (1981) telah
menunjukkan bahwa titik-titik nyeri
hebat sangat berhubungan dengan
strain/sprain pada sendi atau otot,
kronik atau akut, dan dapat digunakan
sebagai monitor. Tekanan yang
diaplikasikan pada titik-titik nyeri
hebat tersebut diberikan pada saat
tubuh atau bagian tubuh diposisikan
secara hati-hati dalam suatu metode
untuk melepaskan atau menurunkan
nyeri yang dirasakan pada titik
palpasi.
Ketika posisi yang
mengenakkan dapat diperoleh
(dikenal sebagai “fine tuning” dalam
SCS), dimana nyeri dapat menghilang
dari monitoring palpasi pada tender
point, maka jaringan yang dirasakan
terstress akan menjadi paling relaks.
Dalam pengalaman klinis
menunjukkan bahwa metode ini dapat
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
20
memberikan rasa lebih enak saat
palpasi daripada saat terasa tegang.
SCS dapat memberikan manfaat
melalui pengaturan kembali secara
automatik pada muscle spindle, yang
dapat membantu melaporkan panjang
dan tonus otot. Proses ini hanya
terjadi ketika muscle spindle dalam
posisi mengenakkan, dan biasanya
menghasilkan penurunan tonus yang
berlebihan dan pelepasan spasme.
Ketika memposisikan bagian tubuh
maka rasa enak atau nyaman perlu
diperhatikan pada saat jaringan
mencapai posisi dimana nyeri dapat
hilang dari titik palpasi.
Pemberian posisi yang nyaman
atau enak dipertahankan selama 90 –
120 detik sehingga secara spontan
seringkali terjadi penurunan nyeri.
Jones (1977) menjelaskan bahwa
teknik ini bergantung pada
kemampuan untuk menghasilkan
relaksasi secara refleks pada otot
tegang yang membatasi gerakan
sendi.
Ketika sendi secara pasif
diletakkan dalam posisi tertentu,
maka menghasilkan inhibisi stimulus
nyeri hebat yang kemudian akan
meningkatkan lingkup gerak sendi
secara signifikan. Ada 2 mekanisme
SCS yang terlibat dalam resolusi
spasme atau hipertonus otot yaitu
neurologis resetting (pengaturan
kembali sistem neurologis) yang
melibatkan muscle spindle dan aliran
sirkulasi dari jaringan iskemik
sebelumnya.
Tujuan akhir SCS pada pasien
sindrome piriformis adalah untuk
memulihkan lingkup gerak normal
dan menurunkan nyeri. Tujuan ini
dapat dicapai dengan menurunkan
spasme otot piriformis.
Ada tiga lokasi tender point
dalam aplikasi SCS yaitu bidang
tengah sacrum, otot piriformis, dan
trochanter posteromedial. Posisi
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
21
pasien dalam aplikasi SCS adalah
tidur tengkurap dengan sisi tubuh
yang gangguan di pinggir bed.
Pemberian teknik SCS yaitu
membawa tungkai yang terganggu
disamping luar bed dengan
memposisikan kearah fleksi hip dan
knee, disertai dengan abduksi dan
eksternal rotasi. Kemudian, diberikan
kompresi melalui axis longitudinal
femur kearah sciatic notch. Gaya
kompresi diberikan selama 90 detik
pada saat melakukan SCS.
B. Tinjauan Tentang Pengukuran Nyeri
Defenisi nyeri yang dianggap
paling memadai dan paling banyak
dialami di seluruh dunia adalah yang
ditemukan oleh “The Internasional
Association For Study Of Pain (IASP)”
yang menyebutkan nyeri adalah
pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak nyaman, yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan atau
berpotensial merusak jaringan atau
menyatakan istilah kerusakan tersebut.
Nyeri adalah perasaan majemuk
yang bersifat subjektif yang disertai
perasaan tidak enak, panas atau dingin,
rasa tekan, ngilu, linu, pegal sebagai
akibat dari adanya stimulasi ataupun
trauma dari dalam dan luar tubuh. Hal
ini mengakibatkan terangsangnya
nociceptor pada saraf perifer diatas nilai
ambang rangsang, yang diteruskan ke
kortex cerebri kemudian diterjemahkan
kedalam bentuk nyeri dengan bentuk dan
kualitas ransangan yang berbeda
(Priguna Sidharta, 1983).
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
22
Secara sederhana telah dipahami
bahwa seseorang merasa nyeri bila
terdapat rangsangan nyeri (noxious)
pada reseptor nyeri di perifer, yang
dihantarkan ke sistem saraf pusat dan
berakhir di area somatto sensorik kortek
serebri (area post sentralis). Namun
dengan berbagai penelitian selanjutnya
didapatkan konsep nyeri tidaklah
sederhana yang dibayangkan.
Perasaan nyeri tergantung pada
pengaktifan serangkaian sel-sel saraf,
yang meliputi reseptor nyeri aferen
primer, sel-sel saraf penghubung (inter
neuron) di medulla spinalis dan batang
otak, sel-sel traktus asenden, sel-sel saraf
di thalamus dan sel-sel saraf di kortek
serebri. Bermacam-macam reseptor
nyeri primer ditemukan dan memberikan
persarafan di kulit, sendi-sendi, otot dan
alat-alat- dalam.
Pengaktifan reseptor nyeri yang
berbeda menghasilkan kualitas nyeri
tertentu. sel-sel saraf nyeri pada kornu
dorsalis medulla spinalis berperan pada
reflek nyeri atau ikut mengatur
pengaktifan sel-sel traktus asenden. Sel-
sel saraf dari traktus spinotalamikus
membantu memberi tanda perasaan
nyeri, sedangkan traktus lainnya lebih
berperan pada pengaktifan sistem
kontrol desenden atau pada timbulnya
mekanisme motivasi-afektif.
1. Komponen Nyeri
a. Nosisepsi (Nociception)
Nosisepsi merupakan deteksi
kerusakan jaringan oleh tranduksi
khusus pada serabut saraf A – delta
dan C. Tranduksi ini dapat
dikelirukan oleh adanya proses
inflamasi atau perubahan saraf
lingkungan di dekatnya.
b. Persepsi Nyeri (Pain Perception).
Persepsi nyeri muncul
umumnya dipicu oleh rangsang nyeri,
seperti luka atau penyakit. Nyeri juga
dapat ditimbulkan oleh lesi pada
sistem saraf atau penyakit. Banyak
tenaga medis atau pasien tidak
menyadari bahwa nyeri dapat muncul
tanpa aktivitas nosisepsi. Nyeri yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
23
kurang berespon dengan pemberian
analgetik dibandingkan nyeri yang
diakibatkan oleh kerusakan jaringan.
c. Penderitaan (Suffering)
Penderitaan (Suffering)
merupakan respon negatif yang
dipicu oleh nyeri dan juga oleh
ketakutan, kecemasan stress,
hilangnya sesuatu yang dicintai dan
keadaan-keadaan psikologis lain.
Cassel menyatakan, penderitaan
muncul bila keutuhan fisik dan psikis
dari seseorang yang terancam.
d. Tingkah laku nyeri (Pain Behaviour)
Tingkah aku nyeri dapat
muncul atau tidak pada individu yang
mengalami kerusakan jaringan dan
merupakan akibat dari nyeri dan
penderitaan. Contoh dari tingkah laku
nyeri tersebut adalah berteriak,
meringis, pincang, berbaring,
mencari pertolongan, kesehatan,
pincang, berbaring, mencari
pertolongan kesehatan, menolak
bekerja dan sebagainya. Seluruh
tingkah laku itu adalah nyata sebagai
respon nyeri dan mungkin
dipengaruhi oleh lingkungan nyata
atau diharapkan.
2. Tipe Nyeri Pinggang
Ada 2 tipe nyeri pinggang yaitu
nyeri radikular dan nyeri non-radikular
(atau nyeri spondylogenik).
a. Nyeri radikular disebabkan oleh
gangguan pada saraf spinal dan akar
saraf khususnya akibat dari
kompresi mekanikal, sebagai contoh
sciatica (ischialgia) (lihat gambar).
Nyeri radikular sangat jarang terjadi
pada daerah thoracal. Jika nyeri
tersebut diduga muncul secara
radikular tetapi dalam kenyataannya
bukan disebabkan oleh tekanan pada
akar saraf melainkan akibat reaksi
refleksogenik, maka nyeri tersebut
dikenal sebagai pseudoradikular.
b. Nyeri non-radikular atau
spondylogenik berasal dari
komponen-komponen vertebra
(spondyles) yang mencakup sendi-
sendi, diskus intervertebral, ligamen
dan perlekatan otot. Contoh dari
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
24
nyeri spondylogenik adalah referred
pain yang dirasakan pada area distal
atau jauh dari sumber nyeri yang
sebenarnya, seperti nyeri yang
dirasakan pada regio pantat (regio
glutea) yang bersumber dari
gangguan pada sendi apophyseal
(facet joint).
3. Pengukuran Nyeri
Untuk mengukur tingkat nyeri
digunakan Skala nyeri Visual
Analogue Scale (VAS) adalah
pengukuran derajat nyeri dengan cara
menunjuk satu titik pada garis skala
nyeri (0 - 10 cm). Satu ujung
menunjuk tidak nyeri dan ujung yang
lain menunjukkan nyeri berat tidak
terkontrol. Panjang garis mulai dari
titik tidak nyeri sampai titik yang
ditunjuk menunjukkan besarnya nyeri.
Kriteria :
0 - 0,9 : Tidak nyeri
1 - 3,9 : Nyeri ringan : secara
obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4 - 6,9 : Nyeri sedang : Secara
obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri,
dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah
dengan baik.
7 - 9,9 : Nyeri berat (terkontrol) :
secara obyektif klien
terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi
masih respon terhadap
tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri,
tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak
dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan
distraksi
4. 10 : Nyeri sangat berat (tidak
terkontrol) : Pasien sudah tidak mampu
lagi berkomunikasi, memukul.
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
25
KERANGKA KONSEP
Sindrome Piriformis merupakan
neuritis perifer dari saraf sciatic yang
disebabkan oleh kondisi abnormal dari
otot piriformis, juga sebagai kompresi
yang reversible pada saraf sciatic oleh
otot piriformis. Sindrome piriformis
dapat bersifat primer dan sekunder.
Primer sindrome piriformis umumnya
berkaitan dengan penyebab anatomik
yaitu jalur saraf sciatic yang anomali,
dan trauma langsung. Sekunder
sindrome piriformis umumnya berkaitan
dengan mikrotrauma (overuse pada otot
piriformis), inflamasi sacroiliaca joint,
bursitis pada tendon piriformis, dan local
ischemic. Sindrome piriformis ini
menghasilkan gejala nyeri pada bokong
dan hip, namun jika terjadi entrapment
pada saraf sciatic maka timbul nyeri
menjalar sampai dorsal paha dan
tungkai. Gejala ini dapat menghambat
fungsional berjalan dimana pasien tidak
bisa berdiri dan berjalan lama, serta tidak
bisa duduk bersila melantai.
Sindrome piriformis dapat
ditangani secara komprehensif dengan
modalitas fisioterapi. Pemberian
Contract Relax Stretching dan Mobilisasi
Saraf dapat menurunkan nyeri dan
spasme otot piriformis sehingga secara
langsung dapat menurunkan nyeri sciatic
karena menurunnya iritasi pada saraf
sciatic. Begitu pula,
A. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas (Independen) :
a. Contract Relax Stretching
b. Counterstrain Teknique
2. Variabel Terikat (Dependen) :
Perubahan nyeri pada sindrome
piriformis
B. Definisi Operasional
Berdasarkan variabel penelitian
diatas, maka akan dijelaskan definisi
operasionalnya sebagai berikut :
1. Sindrome Piriformis merupakan
neuritis perifer dari saraf sciatic yang
disebabkan oleh kondisi abnormal
dari otot piriformis, juga sebagai
kompresi yang reversible pada saraf
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
26
sciatic oleh otot piriformis. Sindrome
piriformis dapat bersifat primer dan
sekunder. Primer sindrome piriformis
umumnya berkaitan dengan penyebab
anatomik yaitu jalur saraf sciatic yang
anomali, dan trauma langsung.
Sekunder sindrome piriformis
umumnya berkaitan dengan
mikrotrauma (overuse pada otot
piriformis), inflamasi sacroiliaca
joint, bursitis pada tendon piriformis,
dan local ischemic.
2. Contract Relax Stretching merupakan
suatu teknik yang menggunakan
kontraksi isometrik yang optimal dari
kelompok agonis yang memendek,
dilanjutkan dengan relaksasi
kemudian diulur.
Prosedur Pelaksanaan
4) Posisi pasien : tidur terlentang
5) Posisi terapis : disamping
pasien pada sisi kontralateral
dari tungkai yang terlibat,
kemudian fleksi dan adduksikan
hip disertai internal rotasi hip
dengan menggunakan kedua
tangan terapis.
Pelaksanaan : dalam posisi otot
piriformis terulur maksimal (fleksi,
adduksi dan internal rotasi hip yang
maksimal), kontraksikan otot
piriformis dengan menyuruh pasien
menggerakkan kearah abduksi sedikit
eksternal rotasi hip melawan tangan
terapis, kemudian pasien diminta
relaks. Setelah relaks, kedua tangan
terapis melakukan penguluran
maksimal pada otot piriformis sambil
menekan knee kearah bawah.
3. Untuk mengetahui nyeri pada
piriformis syndrome digunakan alat
ukur Skala nyeri Visual Analogue
Scale (VAS).
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penilitian
Jenis penelitian yang di gunakan
dalam penelitian ini adalah quasi
experiment dengan menggunakan desain
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
27
penelitian pretest - posttest two group
design
Desain penelitian :
O1 X1 O2
Kelompok Perlakuan I
O11 X2
O21 Kelompok Perlakuan II
Keterangan :
O1 : Pre test
X1 : Pemberian Contract Relax
Stretching
O2 : Post test
O11 : Pre test
X2 : Pemberian Strain-Counterstrain
O21 : Post test
B. Tempat Dan waktu penelitian
Tempat penelitian di lakukan di
Poliklinik Fisioterapi RS. Wahidin
Sudirohusodo, selama 2 bulan yaitu
bulan juni – agustus 2010.
C. Populasi Dan Sampel
1. Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah
semua pasien nyeri pinggang bawah
yang datang berkunjung di Poliklinik
Fisioterapi RS. Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
2. Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah semua
pasien sindrome piriformis yang
memenuhi kriteria inklusif yang
ditetapkan oleh peneliti sebanyak 20
orang
3. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel di lakukan
dengan teknik purposive sampling
dengan kriteria inklusif yang
ditetapkan oleh peneliti. Jumlah
sampel yang diperoleh dibagi
kedalam 2 kelompok sampel yaitu
kelompok perlakuan I sebanyak 10
orang, dan kelompok perlakuan II
sebanyak 10 orang. Adapun kriteria
inklusifnya adalah sebagai berikut :
a. Pasien nyeri pinggang bawah
akibat sindrome piriformis
b. Tidak menunjukkan gejala-gejala
HNP
c. Tidak memiliki riwayat fraktur
d. Berusia 20-60 tahun
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
28
e. Bersedia menjadi responden.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah
penelitian ini maka hipotesis penelitian
adalah:
Ada perbedaan pengaruh antara Contract
Relax Stretching dengan Strain-
Counterstain terhadap perubahan nyeri
pada penderita sindrome piriformis.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data melalui data
primer yaitu peneliti langsung
mengambil data dengan cara mengukur
perubahan nyeri pada setiap sampel
dengan menggunakan Visual Analogue
Scale (data pre test dan post tes).
F. Analisa dan pengolahan data
Teknik pengolahan dan analisa
data menggunakan bantuan program
SPSS (Statistical Product For Service
Solution) dengan Uji Wilcoxon dan Uji
Mann-Whitney.
G. Instrumen Penelitian
1. Visual Analogue Scale (VAS)
2. Blanko Pencatatan Nyeri
3. Alat tulis menulis
H. Prosedur Penelitian
Pada tahap awal, peneliti
menyeleksi populasi yang berkunjung di
Poliklinik Fisioterapi RS. Wahidin
Sudirohusodo dan berdasarkan kriteria
inklusif maka diperoleh jumlah sampel.
Jumlah sampel yang didapatkan
kemudian diminta untuk bersedia
menjadi responden dengan
menandatangani surat pernyataan
kesediaan menjadi responden.
Pada tahap pelaksanaan, setiap
sampel diukur intensitas nyerinya
dengan alat Visual Analogue Scale
sebagai data pre test. Kemudian
responden yang masuk kedalam
kelompok perlakuan I diberikan
perlakuan Contract Relax Stretching
dosis yang ditetapkan, sedangkan
responden yang masuk kedalam
kelompok perlakuan II diberikan
perlakua Strain-Conterstrain sesuai dosis
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
29
yang ditetapkan. Setelah itu, pada akhir
penelitian diukur kembali intensitas
nyerinya dengan Visual Analogue Scale
sebagai data post test.
Data yang diperoleh kemudian
dianalisis dengan menggunakan Uji
Wilcoxon dan Uji Mann-Whitney
kemudian dipaparkan dalam bentuk tabel
dan narasi.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden
Populasi dalam penelitian ini
adalah semua pasien yang menderita
sindrome piriformis yang datang
berobat di Poli Fisioterapi RSUP. Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Berdasarkan kriteria inklusi untuk
pangambilan responden maka
diperoleh jumlah responde sebanyak
20 orang.
Jumlah responden tersebut
dikelompokkan dalam 2 kelompok
responden yaitu kelompok I sebanyak
10 orang dengan teknik Contract
Relax Stretching sedangkan keompok
II sebanyak 10 orang dengan teknik
Strain-Counterstran. Teknik Contract
Relax Stretching diberikan sebanyak
12 kali selama 6 minggu, sedangkan
Strain-Counterstrain diberikan
sebanyak 12 kali selama 6 minggu.
Alat ukur yang digunakan adalah
Visual Analogue Scale (VAS).
Dalam karakteristik responden
akan ditampilkan distribusi responden
berdasarkan kelompok usia dan jenis
kelamin.
Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan
Kelompok Usia
Dan Jenis Kelamin pada Kelompok
Perlakuan I dan Perlakuan II
Karateristik
Responden
Perlakuan
I
Perlakuan
II
n % n %
Kelompok
usia :
30 – 36 tahun
37 – 42 tahun
43 – 49 tahun
50 – 56 tahun
> 57 tahun
0
3
2
3
2
0
30
20
30
20
1
1
2
3
3
10
10
20
30
30
Jenis kelamin
:
Laki – laki
Perempuan
4
6
40
60
3
7
30
70
Jumlah 10 100 10 100
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
30
Berdasarkan tabel diatas
menunjukkan distribusi responden
berdasarkan kelompok usia dan jenis
kelamin baik kelompok perlakuan I
dan kelompok perlakuan II. Pada
kelompok perlakuan I menunjukkan
bahwa paling banyak responden yang
berusia 37 – 42 tahun dan 50 – 56
tahun yaitu 3 orang (30%), serta lebih
banyak sampel perempuan yaitu 6
orang (60%) daripada laki-laki yaitu 4
orang (40%).
Pada kelompok perlakuan II
menunjukkan bahwa paling banyak
responden yang berusia > 57 tahun
dan 50 – 56 tahun yaitu 3 orang
(30%), dan lebih banyak sampel
perempuan yaitu 7 orang (70%)
daripada laki-laki yaitu 3 orang
(30%).
2. Deskripsi data
Data analisis ini akan
ditampilkan rerata dan standar deviasi
dari intensitas nyeri pada pre test dan
post test dalam setiap kelompok
sampel. Lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel dibawah ini
Tabel 5.2
Distribusi Nilai Visual Analogue Scale
(VAS) antara
Pre test dan post test pada Kelompok
Perlakuan I dan Perlakuan II
Kondisi Nilai
Rerata
Standar
Deviasi n
Perlakuan I :
Pre test
Pos test
Selisih
7,570
5,310
2,260
0,408
0,499
0,259
10
Perlakuan II :
Pre test
Post test
Selisih
7,130
4,570
2,560
0,305
0,427
0,283
10
Berdasarkan tabel diatas
terlihat adanya perubahan nilai
reta-rata dari pre test yaitu 7,570 ±
0,408 ke pos test 5,310 ± 0,499
dengan selisih 2,260 + 0,259 pada
kelompok perlakuan I. Perubahan
tersebut menunjukkan adanya
penurunan nyeri sebesar 2,260.
Dengan demikian pemberian
Contract Relax Stretching dapat
menghasilkan penurunan nyeri
pada penderita sindrome
pirifoemis dengan rata-rata
penurunan nyeri sebesar 2,260.
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
31
Pada kelompok perlakuan
II, terlihat adanya perubahan nilai
rata-rata dari pre test 7,130 ±
0,305 ke pos test 4,570 ± 0,427
dengan selisih 2,560 + 0,283.
Perubahan tersebut menunjukkan
adanya penurunan nyeri sebesar
2,560. Dengan demikian
pemberian teknik Strain-
Counterstrain dapat menghasilkan
penurunan nyeri pada penderita
sindrome piriformis dengan rata-
rata penurunan nyeri sebesar
2,560.
Tabel 5.3
Distribusi Nilai Selisih VAS antara
Kelompok Perlakuan I
Dan Kelompok Perlakuan II
Kelompok
Responden
Nilai
Rerata
Standar
Deviasi n
Perlakuan
I
Perlakuan
II
2,260
2,560
0,259
0,283 10
Tabel diatas menunjukkan
nilai rerata dan standar deviasi
pada nilai selisih VAS pada
kelompok perlakauan I dan
kelompok perlakuan II. Nilai
rerata selisih VAS pada kelompok
perlakuan II yaitu 2,560 ± 0,283
lebih besar daripada nilai rerata
selisih VAS pada kelompok
perlakuan I yaitu 2,260 ± 0,259.
Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian Strain-Counterstrain
dapat menghasilkan penurunan
nyeri yang lebih besar yaitu 2,560
daripada pemberian Contract
Relax Stretching yaitu 2,260.
3. Analisa Data
Dalam analisis ini akan
ditampilkan hasil Uji Wilcoxon dan
Mann-Whitney pada kelompok
perlakuan I dan kelompok perlakuan
II. Lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
Tabel 5.4
Hasil Analisis Uji Wilcoxon pada
kelompok perlakuan I
Kondis
i n
Ranks Z Sig
-Ranks +Ranks Ties
Pre test 10 10 0 0
-2,8
09
0,005 Pos test 10
Tabel di atas menunjukkan
hasil analisis Uji Wilcoxon yaitu
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
32
diperoleh nilai Z sebesar 2,809
dengan nilai p = 0,005 (p < 0,05)
yang berarti bahwa ada perbedaan
yang bermakna antara nilai VAS pre
test dan nilai VAS post test setelah
diberikan perlakuan. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian
Contract Relax Stretching dapat
memberikan pengaruh yang bermakna
terhadap penurunan nyeri pada
penderita sindrome piriformis di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Berdasarkan nilai Ranks
menunjukkan nilai 10 pada negatif
Ranks yang berarti bahwa semua
responden mengalami penurunan
nyeri setelah diberikan Contract Relax
Stretching.
Tabel 5.5
Hasil Analisis Uji Wilcoxon pada
kelompok perlakuan II
Kondisi
n
Ranks
Z Sig -Ranks
+Ranks Ties
Pre test 10 10 0 0 -2,807
0,005 Pos test 10
Tabel diatas menunjukkan
hasil analisis Uji Wilcoxon yaitu
diperoleh nilai Z adalah 2,807 dengan
nilai p = 0,005 (p < 0,05) yang berarti
ada perbedaan yang bermakna antara
nilai VAS pre test dan nilai VAS post
test setelah diberikan perlakuan. Hal
ini menunjukkan bahwa pemberian
Strain-Counterstrain dapat
memberikan pengaruh yang bermakna
terhadap penurunan nyeri pada
penderita sindrome piriformis di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Berdasarkan nilai Ranks
menunjukkan nilai 10 pada negatif
Ranks yang berarti bahwa semua
responden mengalami penurunan
nyeri setelah diberikan Strain-
Counterstrain.
Tabel 5.6
Hasil Analisis Uji Mann-Whitney
antara
Kelompok Perlakuan I dan
Kelompok Perlakuan II
Tabel diatas menunjukkan
hasil Uji Mann-Whitney yaitu
diperoleh nilai U sebesar 20,500
K. Responden n Rerata
Selisih S D U p
K.Perlakuan I
K. Perlakuan II
10
10
2.260
2.560
0.259
0.283 20.500 0,025
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
33
dengan nilai p = 0,025 < 0,05 yang
berarti bahwa ada perbedaan
pengaruh yang bermakna antara
selisih VAS kelompok perlakuan I
dengan selisih VAS kelompok
perlakuan II. Hal ini menunjukkan
bahwa ada perbedaan yang bermakna
antara pemberian Contract Relax
Stretching dengan Strain-
Counterstrain terhadap penurunan
nyeri pada penderita sindrome
piriformis. Jika dilihat dari nilai rerata
menunjukkan adanya perbedaan yaitu
nilai rerata kelompok perlakuan II
lebih besar yaitu 2.560 daripada nilai
rerata kelompok perlakuan I yaitu
sebesar 2,260. Hal ini menunjukkan
bahwa Strain-Counterstrain dapat
menghasilkan penurunan nyeri yang
lebih besar secara bermakna daripada
Contract Relax Stretching. Dengan
demikian, pemberian Strain-
Counterstrain lebih efektif dalam
menurunkan nyeri daripada Contract
Relax Stretching.
A. PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden
Syndrome piriformis
merupakan kompresi yang reversible
pada saraf sciatic oleh otot piriformis.
Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri
yang dalam dan hebat pada daerah
bokong, dengan radiasi nyeri sampai
ke daerah tungkai.
Hasil penelitian diatas
menunjukkan bahwa penderita
syndrome piriformis yang berkunjung
di Poli Fisioterapi RSUP. Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar
adalah paling banyak kelompok usia
37 – 42 tahun dan 50 – 56 tahun,
sedangkan kelompok perlakuan II
paling banyak kelompok usia > 57
tahun dan 50 – 60 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa syndrome
piriformis umumnya menyerang pada
usia 37 tahun keatas. Pada usia 37
tahun keatas sudah terjadi penurunan
anatomi dan fungsi otot seperti
penurunan elatisitas dan fleksibilitas
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
34
otot. Disamping itu, kondisi ini lebih
banyak disebabkan oleh makrotrauma
dan/atau mikrotrauma. Penyebab
makrotrauma adalah trauma langsung
pada otot piriformis seperti jatuh
terduduk, sedangkan penyebab
mikrotrauma adalah adanya repetitif
trauma pada otot piriformis yang
berhubungan dengan overuse atau
trauma minor yang berulang-ulang
seperti berjalan atau berlari dengan
jarak yang jauh, atau sering duduk
diatas permukaan yang keras (Samir
Mehta et al, 2006). Jika otot
piriformis telah mengalami penurunan
fleksibilitas maka otot ini mudah
mengalami cidera atau lesi akibat
overuse atau repetitif trauma sehingga
mudah terjadi sindrome piriformis.
Kemudian dari segi jenis
kelamin, baik kelompok perlakuan I
maupun kelompok perlakuan II lebih
banyak perempuan yang mengalami
syndrome piriformis daripada laki-
laki. Hal ini berkaitan dengan sudut
otot Quadriceps femoris (Q angle)
yang lebih lebar pada wanita (os
coxae-pelvis yang lebar)
dibandingkan dengan laki-laki (Lori
A. Bayajian et al, 2007). Berdasarkan
penelitian Samir Mehta et al (2006),
sindrome piriformis lebih banyak
terkena pada perempuan daripada
laki-laki dengan rasio 6 : 1.
2. Pengaruh Contract Relax Stretching
Terhadap Penurunan Nyeri
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian
Contract Relax Stretching dapat
menghasilkan penurunan nyeri secara
bermakna pada penderita syndrome
piriformis dengan rata-rata penurunan
nyeri sebesar 2,260.
Sindrome piriformis umumnya
menimbulkan problem nyeri dan
spasme pada otot piriformis. Kondisi
spasme ini bisa menyebabkan
kompresi pada saraf ischiadicus
sehingga menimbulkan nyeri sciatica
atau dikenal dengan ischialgia.
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
35
Contract Relax Stretching
merupakan salah satu teknik PNF
yang bertujuan untuk menurunkan
nyeri dan spasme atau ketegangan
otot, serta memanjangkan otot.
Adanya efek autogenic inhibisi yang
dihasilkan oleh teknik ini dapat
menyebabkan otot mengalami
relaksasi. Kontraksi yang maksimal
dari otot yang spasme/tightness
diikuti dengan relaksasi pasca
kontraksi akan menghasilkan respon
autogenic inhibisi sehingga otot yang
spasme/tightness dapat mencapai
relaksasi sempurna. Kemudian,
penambahan stretching setelah
kontraksi akan menghasilkan efek
terapeutik yang lebih besar yaitu
penurunan ketegangan otot dan
pemanjangan otot. Pada saat
diberikan stretching terjadi
rangsangan pada golgi tendon organ
dan muscle spindle yang dipersarafi
oleh serabut saraf bermyelin tebal
(proprioceptor). Aktivitas dari serabut
saraf bermyelin tebal akan
menginhibisi aktivitas nosisensorik
yang kemudian menginhibisi
ketegangan otot patologis
(spasme/tightmess) yang terjadi pada
otot. Penurunan spasme/tightness
pada otot dapat menghasilkan
pemanjangan pada komponen elastis
otot yang paralel (sarkomer).
Hal ini terbukti dari hasil uji
wilcoxon yang menunjukkan bahwa
pemberian teknik Contract Relax
Stretching dapat memberikan
pengaruh yang bermakna terhadap
penurunan nyeri pada penderita
syndrome piriformis.
3. Pengaruh Strain-Counterstrain
Terhadap Penurunan Nyeri
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian Strain-
Counterstrain menghasilkan
penurunan nyeri secara bermakna
pada penderita syndrome piriformis
dengan rata-rata penurunan nyeri
sebesar 2,560.
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
36
Telah dijelaskan diatas bahwa
sindrome piriformis dapat
menimbulkan nyeri pinggang dan/atau
ischialgia. Problematik yang
ditimbulkan berasal dari
spasme/tightness otot piriformis yang
dapat memberikan kompresi atau iritasi
pada saraf ischiadicus. Strain-
Counterstrain merupakan teknik
untuk menurunkan nyeri spinal
dan/atau nyeri sendi lainnya dengan
memposisikan sendi secara pasif
kedalam posisi yang menimbulkan
rasa paling enak, atau suatu teknik
penurunan nyeri melalui penurunan
dan penahanan aktivitas propriceptor
yang kurang tepat secara terus
menerus. Pada kondisi otot,
penurunan nyeri dilakukan dengan
memposisikan otot dalam posisi
relaks memendek yang menghasilkan
penurunan nyeri.
Strain-Counterstrain dapat
memberikan manfaat melalui
pengaturan kembali secara automatik
pada muscle spindle, yang dapat
membantu melaporkan panjang dan
tonus otot. Proses ini hanya terjadi
ketika muscle spindle dalam posisi
mengenakkan, dan biasanya
menghasilkan penurunan tonus yang
berlebihan dan pelepasan spasme.
Pemberian posisi yang nyaman atau
enak dipertahankan selama 90 – 120
detik sehingga secara spontan
seringkali terjadi penurunan nyeri.
Aplikasi tekanan jari-jari tangan
secara menetap pada lokasi tender
point selama 90 detik disertai dengan
pemberian posisi yang nyaman akan
menghasilkan penurunan nyeri
melalui mekanisme neurologis
resetting dan aliran sirkulasi dari
jaringan iskemik sebelumnya.
Mekanisme tersebut dapat
menghasilkan penurunan nyeri yang
bermakna. Hal ini terbukti dari hasil
uji wilcoxon yang menunjukkan
bahwa pemberian Strain-
Counterstrain dapat memberikan
pengaruh yang bermakna terhadap
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
37
penurunan nyeri pada penderita
syndrome piriformis.
4. Beda Pengaruh antara Contract Relax
Stretching dengan Strain-
Counterstrain terhadap penurunan
nyeri.
Hasil penelitian menunjukkan
adanya perbedaan pengaruh antara
Contract Relax Stretching dengan
Strain-Counterstrain terhadap
penurunan nyeri pada penderita
syndrome piriformis. Hal ini
menunjukkan bahwa Strain-
Counterstrain dapat menghasilkan
penurunan nyeri yang lebih besar
secara bermakna daripada Contract
Reax Stretching pada syndrome
piriformis.
Strain-Counterstrain
merupakan teknik manipulasi yang
menerapkan teknik ischemic
compression yang disertai dengan
pemberian posisi nyaman pada
jaringan yang patologis. Keadaan ini
menyebabkan stimulasi pada muscle
spindle otot yang mengalami spasme
sehingga menghasilkan aktivasi
proprioseptor yang mempersarafi
muscle spindle. Aktivitas
proprioseptor akan menginhibisi
impuls nosisensorik yang sebelumnya
aktif karena adanya patologi
spasme/tightness. Disamping itu,
rangsangan terhadap muscle spindle
menyebabkan terjadinya relaksasi
secara refleks pada otot yang spasme.
Kemudian, teknik ischemic
compression pada lokasi tender point
otot piriformis dapat menghasilkan
aliran sirkulasi yang meningkat
setelah kompresi dilepas. Disamping
itu, tekanan yang menetap pada tender
point tersebut dapat menghasilkan
hambatan impuls nosisensorik
sehingga saat kompresi dilepaskan
timbul rasa nyaman (nyeri berkurang)
setelah beberapa menit (Leon
Chaitow, 2003).
Berbeda dengan efek Contract
Relax Stretching yang menghasilkan
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
38
efek autogenic inhibisi yaitu saat
dirangsang terjadi kontraksi maksimal
pada otot yang spasme/tightness maka
akan diikuti dengan relaksasi pada
otot tersebut. Pencapaian relaksasi
akan terjadi secara maksimal saat
diberikan stretching pasca kontraksi
otot. Hal ini yang menghasilkan
penurunan spasme/tightness pada otot
piriformis yang kemudian
menghasilkan penurunan nyeri.
Dengan melihat efek kedua
teknik tersebut maka Strain-
Counterstrain memiliki efek yang
lebih besar karena menimbulkan
stimulus pada muscle spindle dan
memberikan hambatan impuls
nosisensorik sehingga menghasilkan
penurunan nyeri yang lebih besar
secara bermakna dibandingkan
dengan Contract Relax Stretching,
sesuai dengan hasil penelitian ini.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka
peneliti dapat menyimpulkan sebagai
berikut :
1. Pemberian Contract Relax Stretching
dapat memberikan pengaruh yang
bermakna terhadap penurunan nyeri
pada penderita sindrome piriformis.
2. Pemberian Strain-Counterstrain dapat
memberikan pengaruh yang bermakna
terhadap penurunan nyeri pada
penderita sindrome piriformis.
3. Pemberian Strain-Counterstrain
dapat menghasilkan penurunan nyeri
yang lebih besar secara bermakna
daripada Contract Relax Stretching
pada penderita syndrome piriformis
sehingga dapat dikatakan bahwa
Strain-Counterstrain lebih efektif
dalam menghasilkan penurunan nyeri
daripada Contract Relax Stretching.
SARAN-SARAN
1. Disarankan kepada laki-laki maupun
perempuan sebelum melakukan
aktifitas terlebih dahulu melakukan
Jurnal Fisioterapi Makassar
Risal, 2010. D4 fisioterapi
39
penguluran pada otot piriformis agar
otot lebih siap bekerja.
2. Disarankan kepada fisioterapis di
Rumah Sakit atau dilahan praktek
agar menggunakan intervensi Strain-
Counterstrain sebagai modalitas
utama untuk menurunkan nyeri pada
penderita sindrome piriformis
3. Disarankan kepada fisioterapis di
Rumah Sakit atau dilahan praktek
agar mengkombinasikan intervensi
Strain-Counterstrain dengan Contract
Relax Stretching sebagai modalitas
terpilih untuk menurunkan nyeri pada
penderita sindrome piriformis.
DAFTAR PUSTAKA 1. Carolyn Kisner, Lynn Allen Colby, 1996.
Therapeutic Exercise Foundations And
Techniques, Third Edition, F.A. Davis
Company, Philadelphia
2. Diana Samara, 2003. Duduk Lama Dapat
Sebabkan Nyeri Pinggang, Kompas,
Jakarta
(http://digilib.litbang.depkes.co.id,
diakses 26 April 2010).
3. Kelly Redden, 2009. Piriformis Syndrome :
the other great imitator, Resident Grand
Rounds.
4. Leon Chaitow, 2003. Neuro-muscular
Technique A Practitioner’s Guide to Sof
Tissue Manipulation, Thorsons Publishers
Limited, Wellingborough.
5. Loren M. Fishman, 2009. Piriformis
Syndrome, Article, Humana Press Inc,
Totowa, New York.
6. Lori A. Boyajian et al, 2007. Diagnosis and
Management of Piriformis Syndrome : An
Osteopathic Approach, Review Article,
Vol. 108.
7. Mahar Mardjono and Priguna Sidharta,
2008. Neurologi Klinis Dasar, PT. Dian
Rakyat, Jakarta.
8. Nancy Hamilton, Kathryn Luttgens,
Kinesiology Scientific Basis of Human
Motion, Mc Graw Hill, New York, 2002.
9. Nathan L, 2008. Strain/Counterstrain, Uhl
Publications,
http://www.brainybetty.com, acces at
April, 23, 2010.
10. Nugroho D.S., Neurofisiologi Nyeri dari
Aspek Kedokteran (Makalah disampaikan
pada Pelatihan Penatalaksanaan
Fisioterapi Komprehensif Pada Nyeri),
Surakarta, 7 – 10 Maret 2001.
11. Samir Mehta et al, 2006. Piriformis
Syndrome, Article Extra-Spinal Disorders,
Slipman.
12. Sara Douglas, 2002. Sciatic Pain and
Piriformis Syndrome,
http://Gateway/d/Kalindra/
piri_np.htm, acces at March, 30, 2010.
13. Soekidjo Notoatmodjo, 2002. Metode
Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta,
Jakarta.
14. Sugijanto, 2009. Introduksi Manual Spine,
(Disampaikan pada Kuliah Program D.IV
Fisioterapi Makassar), Makassar, 18 – 20
Juni 2009.
15. Sugiyono, 2007. Statistika Untuk
Penelitian, CV. Alfabeta, Bandung.
16. Wikipedia, 2010. Piriformis Syndrome,
http://en.wikipedia.org/wiki/Piriformis
_ syndrome, acces at March, 30, 2010.