file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun...

25
Sajian Matakuliah 2 ESTETIKA SASTRA (Estetika dan Interdisipliner Ilmu) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang Dosen Pembina: Moh Badrih, S.Pd., M.Pd A. Estetika dan Filsafat Estetika atau lazim dikenal dengan istilah ‘keindahan’ tidak hanya tampak melalui indra penglihatan (visual) atau pendengaran (audio) saja, malainkan juga tanpak melalui perasaan (sense). Bentuk keindahan yang pertama dapat dirasakan dengan alat penglihatan, wujudnya dapat berupa keindahan manusia, keindahan pemandangan alam sekitar, sedangkan yang dapat didengar berupa keindahan irama musik, keindahan kicau burung, dll. Keindahan yang dirasakan melalui indra itu dapat menjadi keindahan perasaan kalau segala sesuatu yang dirasakan dari keindahan itu diinternalisasi ke dalam diri, sehingga akan muncul kesadaran diri untuk memberikan respon terhadap keindahan tersebut. Respon itu berupa kesadaran bahwa pemandangan alam yang terlihat, keindahan manusia dll terbentuk dengan keselarasan dan keseimbangan. Setiap waktu fenomena-fenomena keindahan selalu ada, fenomena itu seperti membawa pesan bahwa keindahan itu telah diperuntukkan semuanya bagi semua makhluk tidak terkecuali manusia. Disenaja ataupun tidak, keindahan-keindahan yang menampakkan diri datang melalui indra penglihatan bersama aspek-aspek keindahan lainnya. Aspek itu sebenarnya merupakan unsur perpaduan dari keindahan, karena keindahan itu hadirnya 8

Transcript of file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun...

Page 1: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

Sajian Matakuliah 2ESTETIKA SASTRA

(Estetika dan Interdisipliner Ilmu)Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang

Dosen Pembina: Moh Badrih, S.Pd., M.Pd

A. Estetika dan Filsafat

Estetika atau lazim dikenal dengan istilah ‘keindahan’ tidak hanya tampak melalui

indra penglihatan (visual) atau pendengaran (audio) saja, malainkan juga tanpak melalui

perasaan (sense). Bentuk keindahan yang pertama dapat dirasakan dengan alat penglihatan,

wujudnya dapat berupa keindahan manusia, keindahan pemandangan alam sekitar, sedangkan

yang dapat didengar berupa keindahan irama musik, keindahan kicau burung, dll. Keindahan

yang dirasakan melalui indra itu dapat menjadi keindahan perasaan kalau segala sesuatu yang

dirasakan dari keindahan itu diinternalisasi ke dalam diri, sehingga akan muncul kesadaran

diri untuk memberikan respon terhadap keindahan tersebut. Respon itu berupa kesadaran

bahwa pemandangan alam yang terlihat, keindahan manusia dll terbentuk dengan keselarasan

dan keseimbangan.

Setiap waktu fenomena-fenomena keindahan selalu ada, fenomena itu seperti

membawa pesan bahwa keindahan itu telah diperuntukkan semuanya bagi semua makhluk

tidak terkecuali manusia. Disenaja ataupun tidak, keindahan-keindahan yang menampakkan

diri datang melalui indra penglihatan bersama aspek-aspek keindahan lainnya. Aspek itu

sebenarnya merupakan unsur perpaduan dari keindahan, karena keindahan itu hadirnya

bersamaan perasaan ekstasi (berada di luar diri/luar biasa) maka bagian-bagian itu tidak

terlihat. Aspek yang menjadi keutuhan dari keindahan itu antara lain: (1) Kesatuan (unity),

(2) keselarasan (harmony), (3) keseimbangan, (balance), dan (4) perlawanan (contras)yang

keempat hal tersebut merupkan tolok ukur estetika pada bentuk, jenis, dan sifat suatu benda

atau yang lain.

Herbert Read dalam The Meaning of Art merumuskan keindahan sebagai kesatuan

bentuk yang terdapat di antara pencerapan-pencerapan indera kita. Kesatuan bentuk yang

dimaksud merupakan benda atau segala sesuatu yang mempunyai ‘nilai’ estetik yang unsur-

unsur estetikanya tidak dapat dipisahkan atau dengan kata lain unsur-unsur keindahan yang

terdapat di dalamnya keindahan yang satu mendukung keindahan yang saling mendukung.

Keberadaan unsur-unsur estetika yang saling keterkaitan ini apabila ditinjau dari kacamata

8

Page 2: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

disiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang

lain.

Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu, filsafat

lahir dengan segala persoalan-persoalan yang dibawanya. Persoalan-persoalan dalam ilmu

Filsafat seperti yang telah dikemukanan Liang Gie antara lain: 1) persoalan metafisis, 2)

persoalan epistemologis, 3) persoalan metodologis, 3) persoalan logis, 4) persoalan etis, 5)

persoalan estetika.

Pertama, persoalan metafisis, selain mengkaji segala sesuatu yang tanpak oleh fisik,

filsafat juga mengkaji persoalan yang tidak tanpak atau kasat mata. Persoalan mengenai

hakikat alam bawah sadar sampai pada persoalan hakikat ketuhanan.. Estetika subjektif atau

hakikat keindahan menurut pengatahuan dan pengalaman kita sangat perpengaruh di dalam

memberikan penilaian terhadap unsur estetika termasuk estetika kepribadian orang (inter

beauty). Inter beauty kadang kalanya terbaca melalui perkataan, prilaku, dan penampilan kita.

Namun semuanya itu tidak dapat dijadikan ukuran, karena inter beauty kita termasuk salah

satu yang kasat mata, dan penilaian mengenai keberadaannya tidak cukup dengan indikator

pengatahuan dan pengalaman orang lain. Dalam inter beauty mencakup nilai-nilai agama,

nilai kultur, nilai adat, dan konteks yang berlaku pada saat kita diukur inter beautynya.

Karena cakupan inter beauty ini sangat luas dan sistematis maka cakupan bidang ini termasuk

kajian filsafat. Dalam bidang sastra kajian metafisis merupakan kajian dari aliran idealis

mistisisme yang merupakan aliran kesusastraan yang bersifat melukiskan hubungan manusia

dengan Tuhan. Mistisisme selalu memaparkan keharuan dan kekaguman si penulis terhadap

keagungan Maha Pencipta. Contoh karya sastra yang beraliran ini adalah sebagaian besar

karya Amir Hamzah, Bahrum Rangkuti, dan JE Tatengkeng.

Kedua, persoalan epistemologis, (persoalan tentang bagaimana cara belajar sesuatu).

Kajian bidang filsafat yang sangat luas di dalamnya juga mengkaji tentang bagaimana cara

mempelajari ilmu filsafat dan bagaimana cara mempelajari suatu ilmu dari sudut pandang

filsafat. Bagi ilmu Filsafat logika adalah segala-galanya, sehingga dapat dikatakan tidak ada

filsafat tanpa logika. Kita yang ingin berfilsafat harus mempunyai pemikiran yang logis, atau

setidaknya pemikirannya dapat dipahami dan diterima oleh umum sebagai sebuah kebenaran.

Karena mengedepankan nalar yang logis, maka kita yang ingin berfikir filsafat harus belajar

bagaimana caranya berfikir yang logis.

Ketiga, persoalan metodologis, (persoalan mengenai langkah atau cara mempelajari

sesuatu). Konsep mengenai langkah-langkah atau prosedur cara mempelajari mempelajari

atau membuat sesuatu juga merupakan bidang kajian Filsafat. Bertitik tolak dari cara berfikir

9

Page 3: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

filsafat yang mengharuskan penggunanya harus mengedepankan logika daripada perasaan.

Secara motodologis setiap pendekatan atau cara yang berbeda akan menghasilkan sesuatu

yang berbeda. Dalam ilmu filsafat hal ini berarti setiap sudut pandang yang berbeda, akan

didapatkan suatu gambar yang berbeda, atau sesuatu objek akan berwujud berbeda apabila

didekati dari sisi yang berbeda akan tanpak berbeda meskipun objeknya sama. Estetika

sastrapun juga demikian, keempat unsur estetika dalam sastra akan melahirkan corak yang

berbeda karena pendekatan yang digunakan dan nuansa batin seorang pengarang ketika

mencipta karya sastra berbeda pula.

Keempat, persoalan logis, (persoalan keberterimaan oleh akal). Indikator keberterimaan

pendapat kita pada orang lain tergantung seberapa besar argumen tersebut dapat diterima oleh

akal. Apabila setiap argumen yang disampaikan kita pada orang lain dapat diterima oleh nalar

sehat dapat disimpulkan argumen tersebut logis. Namun sebaliknya apabila argumen yang

disampaikan oleh kita tidak dapat dicerna oleh nalar berarti argumen tersebut tidak logis.

Argumen yang logis dapat disampaikan dengan dua cara, di antaranya: 1) deduktif, dan 2)

induktif. Berfikir deduktif berarti berfikir dari sesuatu yang umum menuju yang khusus,

sedangkan berfikir induktif berarti berfikir dari sesuatu yang khusus menuju umum. Kedua

bentuk berfikir ini dapat digunakan oleh kita untuk menarik simpati lawan bicaranya dengan

cara diberi dalil-dalil yang logis. Bagi kita yang tidak dapat berargumen logis, dapat

diasumsikan bahwa terdapat kesalahan-kesalahan nalar pada diri kita tersebut atau terdapat

kesalahan cara menyimpulkan. Kesalahan nalar diakibatkan dari cara sudut pandang kita

yang sudah salah mengenai sesuatu misalnya: setiap perkataan yang dikeluarkan oleh

Profesor atau Kiyai sudah benar. Dalam hal ini kita berfikir bahwa kebenaran itu berangkat

dari titel atau gelar kita. Padalah tidak semua yang dikatakan Profesor dan Kiyai itu benar

adanya. Hal seperti ini merupakan kesalahan nalar. Selanjutnya tentang kesalahan cara

menyimpulkan. Kadangkalanya kita salah menarik kesimpulan dari sesuatu yang telah

diasumsikan sebelumnya, sehingga segala sesuatu yang disimpulkan menjadi kurang tepat.

Keempat, persoalan etis, (persoalan norma yang terdapat pada adat dan kultur). Pribadi

kita dapat dikatakan etis apabila pribadi yang bersangkutan sesuai atau selaras dengan norma

agama, adat setempat, dan kultur tempat tinggal kita. Filsafat menggambarkan persoalan etis

dengan melihat keberagaman kepercayaan, adat, dan budaya. Dalam hal ini, filsafat mencari

benang merah yang dapat menarik garis lurus dari nilai-nilai etis yang terdapat pada ketigal

hal yang dimaksud. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa nilai etis yang terdapat pada

kepercayaan (agama), adat, dan kultur bertujuan untuk melindungi kesucian agama,

10

Page 4: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

perlindungan jiwa, dan harta. Ketiga tujuan nilai-nilai etis tersebut setidaknya diapresiasi

dengan baik, bukan bertentangan dengan norma.

Kelima, persoalan estetika, (hakikat keindahan). Persoalan-persoalan yang terdapat

dalam bidang ilmu estetika sebenarnya sudah menjadi kajian para filsuf Yunani. Saat itu telah

dibicarakan mengenai hakikat keindahan alam semesta dan keindahan tuhan. Tidak hanya

yang bernuansa definitif, dan ruang lingkup. Unsur pembangun keindahanpun, seperti materi

alam itu dari apa, bagaimana cara terwujudnya, dll. menjadi pembicaraan wajib dikalangan

para filsuf (Hidayat, 2005:13).

Sebagai cabang dari filsafat, estetika hadir dengan memberikan tempat dan ruang pada

kajian ilmu filsafat. Apabila Filsafat beroreintasi pada hakikat sesuatu, hadirnya estetika

sebagai indikator-indikator nilai mengenai sesuatu yang dimaksud. Dengan demikian estetika

berpijak dari nilai-nilai yang terdapat pada suatu benda dengan mempertanyakan nilai-nilai

estetika dan tolok ukurnya berdasarkan pengalaman masing-masing individu di dalam

memberikan penilaian terhadap kriteria estetika.

Kajian mengenai nilai-nilai estetika sebenarnya merupakan kajian dalam bentuk

abstrak. Nilai-nilai tersebut mencakup konsep abstrak tentang keberhargaan (worth), dan

kebaikan (goodness) (Sudarsono, 2004:12). Uraian tersebut dapat diurai dengan kalimat

sederhana bahwa nilai segala sesuatu tergantung pada nilai keberhargaannya, dan

kebaikannya. Apabila sebuah benda sudah tidak mempunyai keberhargaan, baik

keberhargaan idealis (sebuah gagasan) ataupun materialis (kebendaan) serta nilai kebaikan

atau fungsinya sudah tidak ada, dapat dikatakan bahwa benda tersebut tidak lagi mempunyai

nilai. Filsafat yang mendekati sesuatu dengan mencari nilai-nilai hakiki pada sesuatu, namun

apabila nilai-nilai hakiki sudah tidak terdapat lagi pada wujud pada benda yang bersangkutan

maka hakikat sesuatu itu tidak akan pernah ditemukan. Dalam pengertian yang lain Filsafat

tidak akan dapat menemukan hakikat sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat nilai harga dan

kebaikan.

Kaintannya Filsafat dengan Estetika dapat ditarik kesimpulan bahwa estetika

mempelajari dan mengkaji keindahan yang terdapat pada benda yang tanpak ataupun yang

tidak tanpak, baik dari segi penilaian objektif ataupun dari seni penilaian subjektif. Di sisi

yang lain filsafat merupakan media estetika untuk memberikan penjelasan mengenai hakikat

sebuah benda yang tanpak ataupun yang tidak tanpak berdasarkan nilai-nilai estetika.

11

Page 5: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

Bagan 1: Kaitan Filsafat dan Estetika

Filsafat/HakikatEstetika/Keindahan

Benda A

Benda BNIlai Nilai

Nilai benda dan fungsi

B. Estetika dan Ilmu

Ada dua hal penting yang berkaitan antara ilmu dan estetika. Kaitan ilmu dan estetika

sebenarnya merupakan kajian setelah sebuah konsep menjadi ‘ilmu’. Sebelum konsep itu

bernama ‘ilmu’ yang ada terlebih dulu adalah pengetahuan, sehingga ada istilah ilmu sebagai

pengatahuan dan pengetahuan sebagai ilmu. Perihal yang kedua yakni “pengetahuan sebagai

ilmu” merupakan segala sesuatu yang diketahui, dialami oleh manusia baik dengan indra

ataupun perenungannnya yang selanjutnya dijadikan ilmu dengan proses metodologis,

analsisis, dan empiris. Tiga tahanpan ini telah dilakukan oleh pengetahuan maka pengetahuan

tersebut akan menjadi sebuah ilmu. Kaitannya dengan konsep yang pertama yakni “ilmu

sebagai pengetahuan” merupakan pengkajian ulang ilmu yang selanjutnya dikaji kembali

sebagai sebuah pengatahuan dasar manusia.

Kehadiran estetika merupakan bentuk kedua dari proses pengetahuan menjadi ilmu atau

sebaliknya. Nilai estetika muncul pada saat pengetahuan diproses menjadi ilmu atau dari ilmu

menjadi sebuah pengetahuan dengan sistem metodologis, analisis, dan empiris. Uraian

tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut.

Pertama, motodologis (cara untuk membuktikan kebenaran). Untuk membuktikan

kebenaran ilmu, langkah pertama yang seharusnya dilakukan adalah menyusun langkah-

langkah atau prosedur untuk membuktikan apakah ilmu tersebut benar secara ilmiah ataukah

tidak. Setiap langkah atau prosedur yang berbeda akan menghasilkan kebenaran ilmiah yang

berbeda. Maka kita dituntut untuk benar-benar mengetahui metodologi atau alat yang akan

digunakan untuk menganalisis sesuatu pengatahuan. Kita tidak dapat menentukan hasil dari

sebuah analisis kecuali hanya dapat menentukan prosedurnya dan kita hanya mengikuti

kemana prosedur itu mengarah. Kebenaran ilmiah merupakan wujud mutlak dari prosedur

tanpa campur “keinginan”. Demikian juga dengan sastra, untuk mengetahui wujud

12

Page 6: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

estetikanya diperlukan pengamatan langsung dan langkah-langkah yang akan dibahas pada

bab kemudian.

Kedua, analisis (proses untuk membuktikan kebenaran). Analisis merupakan langkah

selanjutnya setelah kita menentukan prosedurnya. Dalam menganalisis hal yang perlu kita

perhatikan di samping prosedurnya adalah keobjektivan segala sesuatu yang ingin kita

ketahui nilai keberadaan atau hasilnya. Unsur objektif berkaitan dengan sesutu yang kita

analisis, sedangkan subjektif berkaitan dengan sudut pandang kita. Pada prinsipnya segala

sesuatu yang kita analisis tidak akan pernah terhindar dari kesan subjektif, untuk itu data

yang akurat dan lengkap sebagai jalan satu-satunya untuk menganalisis secara objektif.

Ketiga, ilmiah (kebenaran ilmu). Kebenaran ilmiah berbeda dengan kebenaran

spekulatif (kebenaran filsafat), atau dengan kebenaran mutlak (kebenaran tuhan). Kebenaran

ilmiah merupakan ilmu yang bersifat empiris. Ilmiah dalam dalam konteks ini berarti apabila

suatu ilmu dapat dibuktikan dengan nalar yang logis dan bukti-bukti empiris maka kebenaran

ilmu tersebut sudah dapat dikataorikan ilmiah. Namun sebaliknya apabila kebenaran tersebut

tidak didukung oleh nalar logis atau bukti-bukti empiris maka tidak ada kebenaran ilmiah

pada suatu konsep tersebut, dengan kata lain benar secara ilmiah apabila logis dan terbukti.

kebenaran ilmiah tidak dapat digugurkan, selagi tidak ditemukan kebenaran-kebenaran yang

lebih ilmiah (logis – empiris) terhadap suatu kajian atau konsep yang sedang dikaji. Apabila

suatu teori mendukung kebenaran ilmiah sebelumnya maka kebenaran tersebut semakin

kokoh. Namun sebaliknya, apabila ditemukan kebenaran ilmiah yang lebih empiris dan dapat

dipertanggungjawabkan dengan nalar logis dan bukti yang lebih kuat (evidens) maka

kebenaran sebelumnya dapat gugur dengan sendirinya.

Bertitik tolak dari deskripsi tetsebut, estetika sastra dapat juga dapat diwujudkan

dengan langkah-langkah pengilmiahan suatu bidang pengetahuan. Apabila estetika diyakini

sebagai sebuah simpulan dari sebuah pengetahuan, maka diperlukan metodologis (cara),

analisis (proses pembuktian), empiris (bukti) untuk memberikan simpulan pada sebuah karya

sastra apakah sudah termasuk dalam kategori estetika atau tidak. Hal tersebut dapat

didukung oleh kerangka pemikiran logis sistematis disertai bukti, sehingga terwujudlah

estetika karya sastra.

C. Estetika dengan Seni

Estetika dan seni merupakan kajian bidang yang sama, kebanyakan orang menyebut

estetika sebagai seni dan sebaliknya menyebut seni sebagai estetika. Perihal yang pertama

(estetika sebagai seni) merupakan perwujudan sebuah konsep yang masih abstrak menjadi

13

Page 7: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

menjadi sebuah bentuk seni. Seorang sastrawan yang sedang membuat karya sastra, hal kali

pertama yang seharusnya dilakukan adalah membangun konsep estetika dalam imajinasinya.

Konsep tersebut membuat nama-nama tokoh, alur, setting, dll. yang kemudian diwujudkan

dalam bentuk tulisan. Tulisan itu merupakan implementasi ide seorang pengarang. Cuma

tidak semua konsep atau keindahan dalam ide seorang pengarang dapat dituangkan semuanya

dalam bentuk tulisan. Semahir apapun seorang pengarang kadangkalanya masih menyisakan

bentuk konsep yang tidak tertuliskan.

Kedua (seni sebagai estetika) muncul pada saat seseorang mengkagumi isi karya sastra.

Rasa kekaguman pembaca terhadap isi karya sastra sebagai pengejawantahan konsep estetika

seorang pengarang terasa pada saat pembaca membaca dan mengikuti alur pemikiran

pengarang. Pembaca merasa terbuai dalam bentuk estetika yang dibuat pengarang, sehingga

terwujudlah kristal-kristal nilai estetika dalam benak pembaca. Rasa kagum yang membentuk

kristal-kristal estetika pada seorang pembaca karya sastra disebut sebagai seni sebagai

sebuah estetika.

Estetika yang hadir pada saat seorang sastrawan menemukan inspirasi kreatif atau pada

saat seorang pembaca menemukan ‘ruh’ estetika pengarang dalam karyanya dapat dikatakan

“estetika sebagai konsep dan akan bermakna dalam konsep”. Konsep estetika seorang

pengarang yang terwujud dalam sebuah karya akan ditemukan kembali oleh pembaca pada

saat pembaca secara totalitas mencurahkan semua energi, perasaan, dan imajinasi sampai

merasakan ekstasi. Pada saat seorang pembaca ekstasi atau berada dalam dunia bacaannya

akan ditemukanlah estetika.

Sebenarnya ada batasan-batasan ilmiah antara estetika dan seni. Sudarsono (2007:23)

cenderung memberikan penilaian terhadap bentuk ‘luar‘ sebagai sebuah kajian seni,

sedangkan keindahan ‘dalam’ sebagai sebuah bentuk estetika. Perbedaan estetika dan seni

dideskripsikan sebagai berikut.

Estetika Seni

1) Estetika adalah sebagai filsafat

keindahan.

2) Estetika adalah idea yang terwujud di

dalam indera.

3) Estetika adalah obyek pemuasan darurat

yang terkonsep.

1) Seni bukan sekedar alat filsafat tapi

sumber yang sesungguhnya.

2) Seni adalah hasil idea, sedang bentuknya

terdapat dalam gambaran indrawi dan

khayalinya.

3) Seni adalah penciptaan sadar terhadap

14

Page 8: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

4) Estetika merupakan segala sesuatu yang

mendatangkan kesenangan dengan

menyeluruh dan “tidak berkonsepsi”.

5) Estetika adalah berada pada keselarasan

pikiran di imajinasi (dengan dasar

bebasnya kerja imajinasi).

6) Estetika bergantung pada ilmu seni,

maka estetika adalah hasil-hasil

eksperimen yang tercipta dan

meyakinkan.

7) Estetika adalah tidak selalu berpangkal

pada pengetahuan atau kemauan tetapi

pada rasa senang dan sedih.

8) Estetika adalah bahasa orang banyak

atau ilmu untuk mengeluarkan isi hati.

objek-objek yang menyebabkan orang

yang mengenangnya merasa seolah

objek-objek itu dicipta tanpa tujuan.

4) Seni adalah pekerjaan dan hasil jerih

payah.

5) Seni adalah suatu aktivitas kemanusiaan

yang sadar menyangkut lambang-

lambang atau simbol-simbol untuk

menyampaikan perasaan dan ikut

mengalami.

6) Seni adalah jalan yang terbagus, bentuk

mencapai pengetahuan murni tentang

dunia.

7) Seni adalah hiburan yang terbaik, seni

sebagai tempat istirahat yang terjamin.

D. Estetika dan Nilai

Nilai merupakan sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata (abstrak). Keberadaanya

yang abstrak memungkinkan nilai untuk berwujud simbol-simbol salah-satunya simbol angka

ataupun prilaku apresiasi yang lain. Simbol angka 1 s.d 9 atau A s.d E dalam persepsi

masyarakat umum merupakan nilai. Benar ataukah tidak, secara konvensional orang sudah

akrap menyebut (1 s.d 9/A s.d E) di dalam raport atau Kartu Hasil Studi (KHS) sebagai nilai

akan tetapi di luar itu sebagai angka dan huruf. Seandainya keberadaan angka atau huruf itu

tidak dapat mewakili nilai, maka selamanya nilai hanya ada dalam persepsi manusia dan tidak

pernah berwujud. Orang tidak dapat mengapresiasi segala sesuatu yang bernilai karena tidak

mempunyai bentuk nilai.

Nilai hanya ada dalam persepsi manusia sebagai tolok ukur entitas sesuatu. Karena

hanya ada dalam persepsi maka sesuatu itu harus menampakkan wujudnya atau

memperlihatkan keberadaanya, sehingga dapat dilihat oleh manusia. Setelah sesuatu terlihat,

maka pengatahuan dan pengalaman yang ada pada diri manusia akan merespon sesuatu itu

dengan nilai dan nilai dapat berwujud sesuatu sesuai dengan keinginan manusia.

15

Page 9: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

Berdasarkan deskripsi di atas, sangat penting untuk diketahui tentang hakikat nilai

yang dalam perspektif interdisipliner ilmu. Menurut Sudarsono (2007:45) nilai merupakan

keberhargaan (worth) dan kebaikan (goodness) yang ada pada segala bentuk/wujud dan hal.

Keberhargaan ada karena eksistensinya dan posisinya. Keberhargaan dalam bentuk

eksistensinya, karena sesuatu itu eksis dan posisinya ‘dibutuhkan’ orang lain. Ada dan

dibutuhkan orang lain menjadikan sesuatu itu berharga baik secara moral ataupun materi.

Keberhargaan suatu benda bergantung fungsi benda itu sendiri dan kreatifitas pengguna

benda, misalnya ‘koran’.

Pada umumnya koran berfungsi untuk menyajikan berita-berita terbaru setiap hari,

hampir dapat dipastikan bahwa berita yang tertulis di dalamnya merupakan peristiwa sehari

sebelumnya. Tidak ada koran yang menyajikan peristiwa seminggu atau sebulan sebelumnya.

Koran yang menyajikan berita atau peristiwa sehari sebelum koran itu terbit sangat

bermanfaat bagi pembaca. Namun berlaku sebaliknya, koran yang sudah tidak baru atau

koran dua hari yang sebelumnya akan menjadi koran bekas yang nilai keberhargaanya sudah

tidak ada. Hal ini membuktikan bahwa nilai sesuatu benda itu bergantung pada fungsi benda

secara riil. Di sisi lain, seorang pengguna koran yang tidak hanya menanfaatkan nilai berita,

melainkan kebermanfaatan yang lain, selalu menjadikan koran tersebut sebagai benda yang

multi fungsi dan dapat dimanfaatkan untuk segala hal. Dengan kata lain koran tersebut dapat

digunakan sebagai apa saja sesuai dengan subjektifitas pemakai.

Kaitannya dengan nilai, deskripsi tersebut memberikan gambaran eksplisit (tersurat)

bahwa nilai suatu benda itu dapat ditinjau dari sudut pandang objektif (benda) dan subjektif

(pemakai benda). Dalam kamus Dictionary of Sociology and Related Sciences diberikan

gambaran bahwa nilai adalah The believed capacity of any object which causes it to be

interest to any object which causes it to be of interest to an individual or group. (Nilai

merupakan kemampuan yang dipercayai pada suatu benda untuk memuaskan suatu keinginan

manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkannya menarik seseorang atau suatu

golongan). Menurut kamus tersebut dijelaskan oleh Sudarsono (2004:32) sebagai berikut.

Nilai adalah semata-mata suatu realita psikologis yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaan, karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan benda itu sendiri. nilai itu dipercaya oleh orang dipercaya terdapat pada suatu benda sampai terbukti kebenarannya. Untuk penggolongannya, di samping terdapat nilai subjektif dan objektif, nilai perseorangan dan kemasyarakatan, juga terdapat niai intrinsik dan ekstrinsik. Nilai intrinsik merupakan sifat baik atau bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan dirinya sendiri dari benda yang bersangkutan. Nilai ini disebut juga sebagai nilai consummatory

16

Page 10: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

value, yakni nilai yang telah lengkap atau telah mencapai tujuan yang dikehendaki. Selanjutnya, nilai ekstrinsik yaitu merupakan nilai baik suatu benda sebagai suatu sarana atau untuk suatu hal yang lain. Ini sering disebut sebagai contributory value, yakni nilai yang bersifat alat atau membantu.

Dari penyataan Sudarsono di depan, nilai dapat diklasifikasi menjadi tiga hal, antara

lain: 1) nilai objektif, dan subjektif, 2) nilai perorangan dan masyarakat, dan 3) nilai intrinsik

dan ekstrinsik. Deskripsi dari paparan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Nilai Objektif dan Nilai Subjektif

Teori objektif merupakan teori sastra yang memandang karya sastra sebagai

dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya, dan

lingkungan sosial budayanya. Karya sastra harus dilihat sebagai objek yang mandiri

dan menonjolkan karya sastra sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi

intern. Dalam teori ini terjalin secara jelas antara konsep-konsep kebahasaan

(linguistik) dengan pengkajian karya sastra itu sendiri, baik secara metaforis maupun

secara elektis. Istilah lain dari teori objektif adalah teori struktural.

Pada umumnya masyarakat mempunyai anggapan bahwa nilai objektif

merupakan nilai yang ditimbulkan oleh benda itu sendiri tanpa ada campur tangan dari

sesuatu yang lain (hubungan benda itu dengan benda yang lain, termasuk hubungan

benda dengan manusia). Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak adanya

keterlibatan yang lain dalam proses penilaian. Padahal nilai itu sendiri merupakan

keberhargaan dan keberfungsian, dan yang dapat memberikan keberhargaan dan

keberfungsian adalah benda atau orang lain. Berdasarkan pandangan tersebut dapat

diklasifikasi bahwa ciri-ciri nilai objektif karya sastra sebagai berikut.

1. Teori objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri.

2. Menghubungkan konsep-konsep kebahasaan (linguistik) dalam mengkaji suatu

karya sastra.

3. Pendekatan yang dilihat dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi

sastra yang berlaku.

4. Penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra

tersebut berdasarkan kaharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.

17

Page 11: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

5. Struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji

berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, setting, point

of view.

6. Untuk mengetahui keseluruhan makna dalam karya sastra, maka unsur-unsur

pembentuknya harus dihubungkan satu sama lain.

Dalam memahami karya sastra secara objektif, tentunya diperlukan adanya cara

untuk mengoperasikan teori itu. Dalam teori ini, terdapat pula pendekatan dan

penilaian secara objektif.

Pendekatan objektif (pendekatan struktural) adalah pendekatan yang

mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan, dan memandang karya

sastra adalah sesuatu yang berdiri sendiri. Pendekatan yang dilihat dari eksistensi

sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi tersebut

misalnya, aspek-aspek intrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima,

struktur kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan sebagainya. Penilaian yang

diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut

berdasarkan kaharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.

Telaah struktur yang harus dikaitkan dengan fungsi struktur lainnya yang dapat

berupa pararelisme, pertentangan, inverse, dan kesetaraan. Dalam karya yang lebih

luas seperti novel, struktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan

dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter,

setting, point of view. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur

tersebut harus dihubungkan satu sama lain.

Penilaian objektif berarti menilai suatu karya sastra secara objektif, tidak dengan

pendapat pribadi (subjektif). Kriteria utama dalam memberikan penilaian secara

objektif itu, menurut Graham Hough dan Wellek Warren adalah pada adanya :

1. Relevansi nilai-nilai eksistensi manusia yang terpapar melalui jalan seni, imajinasi

maupun rekaan yang keseluruhannya memiliki kasatuan yang utuh, selaras, serta

padu dalam pencapaian tujuan tertentu atau memiliki integritas, harmony, dan

unity.

2. Daya ungkap, keluasan, serta daya pukau yang disajikan lewat texture serta

penataan unsur-unsur kebahasaan maupun struktur verbalnya atau pada adanya

consonantia dan klantas.

18

Page 12: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

Dari adanya sejumlah kriteria di atas memang pada dasarnya seseorang dengan

mudah dapat menentukan bahwa sebuah bacaan itu adalah teks sastra. Akan tetapi,

satu hal yang harus diingat, bacaan berupa teks sastra itu tidak selamanya

mengandung nilai-nilai sastra.

Ada tiga paham tentang penilaian terhadap karya sastra secara objektif, yaitu

paham relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme

menyatakan bahwa bila sebuah karya sastra dianggap bernilai pada suatu waktu dan

tempat tertentu, pada waktu dan tempat yang lain juga harus dianggap bernilai.

Penilaian absolutisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus didasarkan

pada ukuran dogmatis. Sedangkan penilaian perspektivisme menyatakan bahwa

penilaian karya sastra harus dilakukan dari berbagai sudut pandang sejak karya sastra

itu tercipta (terbit) sampai sekarang (Pradopo, 1997: 49-51).

2) Nilai Individu dan Nilai Masyarakat

Estetika karya sastra dapat pahami berdasarkan penilaian individu dan penilaian

masyarakat. Kategori penilaian individu tentunya harus dipahami bahwa seseorang

mempunyai tingkat pengalaman dan pengetahuan yang berbeda serta cara menilai

yang berbeda. Di tangan individu yang berpengalaman nilai estetika sastra dapat

dipahami sebagai hal yang objektif, karena dapat diasumsikan bahwa seorang

apresiator (individu) akan menjadikan pengalaman sebelumnya sebagai tolok ukur

penilaian dalam membaca atau mengapresi sastra sesudahnya. Sebaliknya di tangan

seseorang yang pengetahuan dan pengalamannya terhadap karya sastra rendah,

estetika karya sastra hanya dapat dipahami secara subjektif. Namun hal itu juga

tergantung karya sastranya, apabila karya sastra tersebut dapat membombastis para

pembaca dengan estetika umum, maka dapat diasumsikan orang yang membacanya

juga menilaianya dengan indah. Karya sastra yang demikian tentunya marupakan

karya sastra yang dapat menyajikan keindahan dalam berbagai aspek dan sesuai

dengan kebiasaan ‘masyarakat’.

Karya sastra yang tidak dapat menghadirkan keindahan sesuai dengan kebiasaan

atau kultur masyarakat setempat akan menjadi karya sastra pasif yang keberadaanya

sulit diterima oleh masyarakat. Sastra yang indah di masyarakat adalah sastra yang

mampu mewadai nilai-nilai yang telah menjadi adat kebiasaan masyarakat. Meskipun

fungsi utama karya sastra sebagai media hiburan, kalau hiburan tersebut dapat

menjerumuskan anggota masyarakat ke hal yang destruktif, maka fungsi hiburan yang

19

Page 13: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

ada hanya menjadi hiburan semu. Masyarakat berharap bahwa wahana hiburan dalam

karya sastra dapat menjadi media hiburan yang totalitas, dalam hal ini hiburan

tersebut dapat membangkitkan spirit hidup. Apabila hiburan tersebut terkesan sebagai

hedonis (kesenangan nafsu) dan tidak diseimbangi dengan yang lain keberadaan karya

sastra tersebut sulit untuk diapresiasi oleh masyarakat.

Sastra yang hanya memberikan satu aspek saja atau hanya memberikan hiburan

pada satu golongan dengan satu bentuk karya sastra, maka sastra itu dapat

dikatagorikan sebagai sastra segmentatif atau sastra yang hanya diperuntukkan untuk

satu golongan satu oreintasi bukan semua golongan dan berbagai tujuan. Sastra

seharusnya dapat memberikan hiburan secara utuh, dengan melihat kebutuhan

masyarakat luas, sehingga keberadaan sastra dapat diterima oleh orang banyak.

3) Nilai Intrinsik dan Ekstrinsik

Keindahan karya sastra bergantung cara seseorang memahami karya tersebut.

Kadar pemahaman, dan kapasitas keilmuan seseorang tentang karya sastra dapat

mempengaruhi penilaian sebuah karya sastra. Sastra yang indah karena sang

apresiator memahaminya dari sisi keindahan. Pengwujudan keindahan dengan cara ini

dapat disebut juga sebagai kategori penilaian subjektif. Bertolak belakang dari

pandangan ini, keindahan karya sastra tidak hanya merupakan perwujudan dari sang

apresiator melainkan juga karena unsur-unsur pembangun karya sastra. unsur

pembangun tersebut dapat berupa unsur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua klasifikasi

unsur tersebut dapat dijadikan salah satu penilaian karya sastra.

Penilaian karya sastra dari sudut pandang intrinsik dapat memakai indikator, a)

tema, b) alur, c) penokohan, d) setting, e) gaya, f) sudut pandang, dan g) pesan,

sedangkan dari sudut pandang ekstrinsik dapat memakai a) latar belakang pengarang,

b) lingkungan sosial pengarang. Untuk menilai sebuah karya sastra secara praktis,

seorang apresiator pemula dapat menggunakan penilaian intrinsik daripada unsur

ektrinsik karena unsur intrinsik dapat dipahami dalam sebuah teks, sedangkan

ekstrinsik di luar teks.

Tema memberikan gambaran pada pembaca tentang isi dan nilai yang

terkandung dalam karya sastra. Dengan memahami tema seorang pembaca sudah

dapat menafsirkan segala sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang termasuk

melalui karya sastranya. Konflik dan cara penyelesaian konflik sudah dapat

ditafsirkan dengan memahami tema. Namun seorang pengarang mempunyai cara

20

Page 14: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

tersendiri untuk memaparkan sebuah cerita, sehingga alur dengan tema yang sama

dalam sebuah cerita tidak dapat ditebak oleh pembaca.

Alur dapat menjadi bagian estetika murni dalam “karya sastra”, karena cara

penyajian alur dapat memikat pembaca untuk terus dapat menuntaskan cerita yang

sedang dibacanya. Pengarang tidak hanya dituntut untuk selalu membuat alur maju,

mundur, atau campuran. Lebih jelasnya seorang pengarang sebenarnya dapat

memberikan sajian alur yang dapat menyentak dan menyadarkan pembaca untuk

sublim pada cerita yang tengah dibuatnya. Konflik yang juga menjadi salah satu

bagian dari alur, juga menjadi penentu estetika sebuah karya sastra. Semakin dramatis

atau romantis sebuah konflik dalam alur cerita dapat menjadi “bumbu penyedap”

sebuah cerita. Namun seorang pengarang seharusnya dapat menyajikan konflik

dengan seimbang bersama cara penyelesaiannya. Cerita yang hanya menyajikan

konflik berlarut-larut tanpa diimbangi dengan penyelesaian sesaat hanya dapat

menjadi kemenotonan sebuah konflik, bahwasanya setelah konflik berakhir cerita itu

akan selesai. Bisakah seorang pengarang penyajian cerita dengan berbagai konflik

juga dengan berbagai penyelesaian dalam sebuah cerita. Semuanya bergantung pada

pengarang karena pengaranglah yang akan membaca pembaca menemui hakikat

estetika dalam sebuah cerita. Alur sangat erat kaitannya dengan penokohan, karena

penokohlah yang akan membaca alur itu menjadi alur.

Penokohan yang dimunculkan oleh pengarang mewadahi karakter dan watak

masing-masing. Pembaca dapat menafsirkan penokohan itu sebagai sebuah imajinasi

seorang pengarang atau sebagai sebuah kajian simbol. Penokohan yang dibuat

berdasarkan imajinasi seorang pengarang terkesan hanya melengkapi alur cerita atau

seakan-akan menjadi objek dari alur. Berbeda dengan penokohan yang dibuat sebagai

sebuah simbol dari segala sesuatu yang dimaksud pengarang, maka tokohlah yang

sangat berperan dan menentukan watak dan karakter yang seperti apakah yang paling

pas untuk penokohan, dan alur seperti apa yang paling menarik untuk mengambarkan

penokoahan tersebut. Untuk mendukung karakter dan watak penokohan yang estetis

dalam sebuah cerita setting cerita juga mempunyai andil penting. Tokoh yang

mempunyai perwatakan baik dengan sejumlah karakteristik harus mempunyai setting

di mana dan seperti apa, maka setting menjadi ukuran tingkat estetika karya sastra.

Setting dalam sebuah karya sastra dapat dilihat dari dua hal. Pertama setting

fisik dan setting psikologis. Setting fisik merupakan tempat kehidupan seorang tokoh

dapat berupa pedesaan, pegunungan, perkotaan, dll. yang di dalamnya terdapat

21

Page 15: file · Web viewdisiplin ilmu mempunyai keterkaitan dengan ilmu filsafat, seni, ataupun dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah ilmu yang mempertanyakan mengenai hakikat segala sesuatu

beranika ragam ciri khas sesuai dengan tempat tersebut. Kalau setting itu

dipengunungan maka segala hal yang terdapat di pengunungan tersebut mulai dari

bentuk yang paling kecil (rumput s.d kuntor pengungan) menjadi karaktaristik setting

fisik cerita, sedangkan kondisi psikologi pada saat seorang tokoh mengenal setting

fisik atau pada saat sang tokoh sedang menghadapi konflik dan sebagainya menjadi

setting psikologis.

Kedua setting tersebut memberikan kontribusi riil ada cerita kadangkalanya film

yang diambil dari sebuah novel menjadi sangat tidak menarik lantaran setting fisik

yang digunakan oleh sutradara tidak sama dengan setting fisik yagn ada dicitrakan

dalam novel. Dalam hal ini kadangkalanya deskripsi naratif dalam novel lebih indah

dari deskripnya dalam dunia nyata. Kenapa demikian, ternyata ini menjadi kekuatan

sebuah sajian karya sastra. Novel mempunyai kekuatan pada bentuk dan cara

penyajian deskripsi, sedangkan film mempunyai kekuatan pada bentuk citra visual

dan audiovisual. Kedua cara penyajian setting tersebut hanya mempunyai satu tujuan

yakni untuk membentuk sebuah estetika cerita.

Daftar Rujukan

A.A.M Djelantik (1990). Estetika: Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia

Agus Sachari (2002). Estetika: Makna, simbol dan ayat. Bandung: Institut Teknologi Bandung

Anwar, Wadjiz. 1985. Filsafat Estetika. Yogyakarta: Nur Cahya.

Iv. Syafwandi (1993). Estetika & Simbolisme Beberapa Masjid Tradisional di Banten Jawa Barat: Cilegon. Jakarta: Departmen Pendidikan & Kebudayaan.

Kartika, Darsono Sony. 2004. Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.

Morris Weirz (Ed). 1970. On The Creation of Art, Problem in Aestheties; Monroe C. Beardsley, The Maemelan Company.

Mudji Sutrisno & Christ Verhaak (1993). Estetika: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.

22