bacaan poliitik hukum.docx

50
Di Republika 31/10/2011, penulis telah menguraikan kelemahan- kelemahan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, 3 hari setelah UU ini disahkan. Beberapa diskusi dan temuan lapangan dalam 3 bulan terakhir, semakin menguatkan penulis bahwa UU ini sangat berpotensi melemahkan dunia zakat nasional ke depan. Contoh, mengantisipasi ketentuan “paling mematikan” dalam UU No. 23/2011 yaitu keharusan LAZ didirikan oleh ormas Islam, berbagai LAZ telah merencanakan dan bahkan telah melakukan exit strategy, seperti memperoleh status kelembagaan non-LAZ dari lembaga pemerintahan non Kemenag, bahkan dari lembaga internasional. LAZ di daerah juga telah banyak yang mulai “tiarap” menyikapi ketentuan “kriminalisasi” dalam UU ini yaitu amil yang tidak memiliki izin diancam pidana penjara dan/atau denda. Bahkan sebagian SDM amil di daerah telah mulai beralih profesi karena melihat tidak ada masa depan di LAZ. Karena itu penting untuk segera melakukan upaya-upaya perbaikan sebelum dampak destruktif UU ini meluas. Penulis melihat bahwa uji materiil atas UU ini sangat layak dilakukan untuk mendapatkan tabayyun konstitusi. Hak Membangun Masyarakat Pasal 5, 6 dan 7 UU No. 23/2011 telah mensentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya di tangan pemerintah, yaitu di BAZNAS. Saat yang sama, pasal 17, 18 dan 19 UU diatas telah men-subordinasikan kedudukan lembaga amil zakat bentukan

description

pohum

Transcript of bacaan poliitik hukum.docx

Page 1: bacaan poliitik hukum.docx

Di Republika 31/10/2011, penulis telah menguraikan kelemahan-kelemahan UU No. 23

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, 3 hari setelah UU ini disahkan. Beberapa diskusi dan

temuan lapangan dalam 3 bulan terakhir, semakin menguatkan penulis bahwa UU ini sangat

berpotensi melemahkan dunia zakat nasional ke depan.

Contoh, mengantisipasi ketentuan “paling mematikan” dalam UU No. 23/2011 yaitu

keharusan LAZ didirikan oleh ormas Islam, berbagai LAZ telah merencanakan dan bahkan

telah melakukan exit strategy, seperti memperoleh status kelembagaan non-LAZ dari

lembaga pemerintahan non Kemenag, bahkan dari lembaga internasional. LAZ di daerah juga

telah banyak yang mulai “tiarap” menyikapi ketentuan “kriminalisasi” dalam UU ini yaitu

amil yang tidak memiliki izin diancam pidana penjara dan/atau denda. Bahkan sebagian SDM

amil di daerah telah mulai beralih profesi karena melihat tidak ada masa depan di LAZ.

Karena itu penting untuk segera melakukan upaya-upaya perbaikan sebelum dampak

destruktif UU ini meluas. Penulis melihat bahwa uji materiil atas UU ini sangat layak

dilakukan untuk mendapatkan tabayyun konstitusi.

Hak Membangun Masyarakat

Pasal 5, 6 dan 7 UU No. 23/2011 telah mensentralisasi pengelolaan zakat nasional

sepenuhnya di tangan pemerintah, yaitu di BAZNAS. Saat yang sama, pasal 17, 18 dan 19

UU diatas telah men-subordinasikan kedudukan lembaga amil zakat bentukan masyarakat

sipil, yaitu LAZ, dibawah BAZNAS dengan menyatakan bahwa eksistensi LAZ hanya

sekedar membantu BAZNAS. Dengan logika sentralisasi dan sub-ordinasi diatas maka

kemudian UU secara sistematis memarjinalkan, bahkan berpotensi mematikan, LAZ. Pasal

18 ayat (2) huruf (a) mempersyarakatkan bahwa LAZ harus didirikan oleh organisasi

kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial.

Ketentuan diatas secara jelas adalah ahistoris dan mengingkari peran masyarakat sipil yang

sejak tiga dekade terakhir secara gemilang telah membangkitkan zakat nasional dari ranah

amal-sosial ke ranah pemberdayaan-pembangunan, yang antara lain dipelopori oleh Yayasan

Dana Sosial Al Falah (1987), Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia

(1998) dan Pos Keadilan Peduli Ummat (1999). Seluruh LAZ perintis dan terbesar ini tidak

didirikan oleh ormas Islam.

Page 2: bacaan poliitik hukum.docx

UU No. 23/2011 memang tetap mengakui LAZ yang sekarang sudah dikukuhkan berdasarkan

UU No. 38/1999 (pasal 43 ayat 3), namun disaat yang sama mereka tetap diharuskan

menyesuaikan diri dengan UU No. 23 Tahun 2011 maksimal dalam 5 tahun ke depan (pasal

43 ayat 4). Dengan demikian, dalam 5 tahun ke depan LAZ harus mengikuti persyaratan

pendirian LAZ baru jika ingin pengukuhan dan izin operasional-nya tidak dicabut oleh

Menteri Agama. Ketentuan ini sangat potensial digunakan untuk melemahkan bahkan

"mematikan" LAZ karena sebagian besar LAZ saat ini, khususnya LAZ-LAZ besar, tidak ada

yang didirikan atau berafiliasi dengan ormas Islam. Dengan pula dengan LAZ-LAZ yang

sangat potensial namun hingga kini belum mendapat izin dan belum dikukuhkan oleh Menteri

Agama, seperti LAZ Al-Azhar Peduli Ummat dan PPA Darul Qur’an, juga terancam layu

sebelum berkembang.

UU No. 23/2011 juga menerapkan persyaratan pendirian LAZ harus mendapatkan

rekomendasi dari BAZNAS (pasal 18 ayat 2 huruf c). Padahal berdasarkan UU ini, BAZNAS

juga menyandang status sebagai operator zakat nasional, status yang sama sebagaimana

halnya dengan LAZ. Hal ini secara jelas menimbulkan conflict of interest: BAZNAS

memiliki motif, insentif dan kewenangan untuk menjegal pendirian LAZ baru yang

berpotensi menjadi pesaing-nya.

Lebih jauh lagi, bagi LAZ yang tetap beroperasi tanpa izin, terancam dikriminalkan oleh UU

ini yang melarang LAZ yang beroperasi tanpa izin dari pejabat yang berwenang (pasal 38)

dan memberi ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp

50 juta bagi LAZ illegal (pasal 40). Berdasarkan UU ini, semua amil zakat yang beroperasi

tanpa izin meski memiliki kredibilitas tinggi dan, karenanya, mendapat kepercayaan tinggi

dari masyarakat, akan dikriminalkan.

Seluruh hal diatas secara jelas kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja zakat

nasional, khususnya dalam upaya mengoptimalkan potensi dana filantropi Islam yang besar

untuk penanggulangan kemiskinan. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat

lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh

sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat nasional di Indonesia terbukti justru

meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil yang kredibel.

Karena itu, UU No. 23/2011 ini secara jelas berpotensi merugikan hak konstitusional LAZ

Page 3: bacaan poliitik hukum.docx

sebagai badan hukum publik yang juga memiliki hak untuk turut membangun masyarakat,

yang dijamin konstitusi dalam Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945, yaitu: "Setiap orang berhak

untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun

masyarakat, bangsa, dan negaranya".***

KEBIJAKSANAAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

Oleh : Drs. H. Ahmad Supardi Hasibuan, MA.

Pendahuluan

Salah satu tujuan pembangunan nasional Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan

dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah memajukan kesejahteraan

umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk dapat mewujudkan tujuan nasional

tersebut, Pemerintah Republik Indonesia senantiasa melakukan upaya-upaya nyata dalam

bentuk pembangunan fisik material dan mental spritual, antara lain melakukan pembangunan

bidang agama yang meliputi peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa, peningkatan kerukunan hidup ummat beragama yang dinamis dan peningkatan

peran serta ummat beragama dalam pembangunana nasional.

Guna mewujudkan tujuan nasional tersebut maka dipandang perlu untuk melakukan berbagai

upaya antara lain dengan menggali, memanfaatkan dan memberdayakan dana yang tersedia

pada masyarakat melalui Zakat yang potensinya cukup besar, namun belum dimanfaatkan

secara maksimal dan belum dikelola secara profesional. Untuk memenuhi maksud ini, maka

pemerintah Republik Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

menetapkan pengelolaan Zakat secara berdayaguna dan berhasil guna melalui UU Nomor 38

Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat dan telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri

Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Undan-undang Nomor 38 Tahun 1999

tentang pengelolaan Zakat jo. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373

Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Zakat.

Page 4: bacaan poliitik hukum.docx

Latar Belakang

Adapun yang melatarbelakangi dikeluarkannya UU tentang Pengelolaan Zakat adalah sebagai

berikut :

Pertama, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut

agamanya masing-masing.

Kedua, Penunaian Zakat merupakan kewajiban ummat Islam dan merupakan sumber dana

untuk kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, Zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial.

Keempat, Upaya sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar berhasil guna dan

berdaya guna, untuk itu diperlukan Undang-Undang Pengelolaan Zakat.

Pengelolaan Zakat

Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat menetapkan bahwa tujuan

pengelolaan Zakat adalah sebagai berikut:

Pertama, Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah

Zakat.

Kedua, Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagaman dalam upaya mewujudkan

kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.

Ketiga, Meningkatnya hasil guna dan daya guna Zakat.

Guna untuk tercapainya tujuan yang lebih optimal bagi kesejahteraan umum untuk seluruh

lapisan masyarakat, maka UU tentang Pengelolaan zakat mencakup pula tentang pengelolaan

infaq, sodhaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat. Hanya saja sistem pengadministrasian

Page 5: bacaan poliitik hukum.docx

keuangannya dilakukan secara terpisah. Terpisah antara zakat dengan Infaq, shodaqah, dan

lain sebagainya.

Pendayagunaan zakat diperuntukkan khusus bagi mustahiq delapan asnaf, sesuai dengan

penjelasan UU Nomor 38 tahun 1999, mustahiq delapan asnaf ialah fakir, miskin, amil,

muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil yang didalam aplikasinya dapat meliputi

orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi, seperti anak terlantar, orang jompo,

penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok pasantren, anak terlantar, dan korban

bencana alam.

Pendayagunaan infaq, shodaqah, hibah, wasiat, waris dan kafarat diutamakan untuk usaha

yang produktif agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum, prosedurnya

ditetapkan sebagai berikut:

1.Melakukan studi kelayakan

2.Menetapkan usaha produktif

3.Melakukan bimbingan dan penyuluhan

4.Melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan

5.Mengadakan evaluasi, dan

6.Membuat pelaporan

Organisasi Pengelolaan

Pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah,

baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah. Organisasi BAZ di semua tingkatan bersifat

koordinatif, konsultatif, dan infomatif. Kepengurusan BAZ terdiri dari unsur masyarakat dan

pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu antara lain memiliki sifat amanah, adil,

berdedikasi, profesional, dan berintegritas tinggi.

Selain adanya BAZ yang dibentuk oleh pemerintah, masyarakat tetap diberikan kesempatan

untuk mendirikan institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prkarsa dan oleh

masyarakat dengan kriteria sebagai organisasi Islam dan atau Lembaga Dakwah yang

bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan ummat Islam yang disebut

Page 6: bacaan poliitik hukum.docx

dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) pada tingkat Nasional dan Tingkat Propinsi.

PengukuhanLAZ dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini :

1.LAZ Pusat oleh Menteri Agama RI

2.LAZ Daerah Propinsi oleh Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama.

LAZ yang telah ada dan yang akan dibentuk oleh masyarakat itu dikukuhkan, dibina, dan

dilindungi oleh pemerintah. Pengukuhan LAZ sesuai dengan keputusan Menteri Agama

Nomor 373 Tahun 2003 tentang pelaksanaan UU Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan

Zakat dilakukan atas permohonan Lembaga Amil Zakat setelah memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

1.Berbadan hukum;

2.Memiliki data muzakki dan mustahik;

3.Telah beroferasi minimal selama 2 tahun;

4.Memiliki laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik selama 2 tahun terakhir;

5.Memiliki wilayah operasi (untuk tingkat nasional 10 Provinsi, untuk tingkat provinsi 40 %

Kabupaten/Kota;

6.Mendapat rekomendasi dari Forum Zakat;

7.Telahg mampu mengumpulkan dana Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milliyar Rupiah) dalam

satu tahun untuk tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat propinsi sebanyak Rp.

500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah);.

8.Melampirkan surat pernyataan bersedia disurvei oleh Tim yang dibentuk oleh Departemen

dan diaudit oleh akuntan publik;

9.Dalam melaksanakan kegiatan bersedia berkoordinasi dengan Badan Amil Zakat (BAZ)

dan Departemen Agama setempat.

BAZ pada setiap tingkatan dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang bertugas

mengumpulkan zakat, infaq, shodaqah, dan lainnya secara langsung atau melalui rekening

pada bank. Dalam pelaksanaan pengumpulan dapat bekerjasama dengan lembaga keuangan

dan perbankan.

Pengumpulan Zakat

Page 7: bacaan poliitik hukum.docx

Dalam pelaksanaan pengumpulan zakat tidak dapat dilakukan paksaan terhadap muzakki,

melainkan muzakki melakukan penghitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya

berdasarkan hukum Islam. Dalam hal ini muzakki dapat menghitung sendiri hartanya dan

kewajiban zakatnya, namun demikian muzakki dapat meminta bantuan kepada BAZ untuk

menghitungnya.

Mengelola zakat, infaq dan shodaqah itu pada dasarnya adalah mengelola uang, maka

pengelolaannya harus dilakukan secara profesional, transparan dan akuntable sebagaimana

pengelolaan lembaga keuangan maupun perbankan, sebab sewaktu-waktu dapat diaudit oleh

akuntan publik.

Guna menjamin terlaksananya pengelolaan zakat dengan baik sebagai amanah agama, harus

ada unsur pertimbangan dan unsur pengawasan pada BAZ dan LAZ, serta ada sanksi hukum

terhadap pengelola. Demikian pula BAZ diharuskan memberikan laporan tahunan kepada

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Daerah sesuai dengan tingkatannya.

Selain pengawasan tersebut di atas, masyarakat juga dapat melakukan pengawasan yang

dapat diwujudkan dalam bentuk :

Pertama, Masyarakat dapat meminta informasi tentang pengelolaan zakat yang dikelola

olehBAZ dan lAZ.

Kedua, Masyarakat dapat menyampaikan saran dan pendapat kepada BAZ dan LAZ.

Ketiga, Masyarakat dapat memberikan laporan atas terjadinya penyimpangan pengelolaan

zakat yang dilakukan oleh BAZ dan LAZ.

Zakat dan Pajak

Masyarakat sebagai wajib pajak diharapkan tidak terkenan beban ganda, yakni kewajiban

membayar pajak dan kewajiban membayar zakat. Oleh karenanya, pasal 14 ayat (3) UU

Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah mengatur bahwa zakat yang telah

dibayarkan kepada BAZ dan atau LAZ dapat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena

pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 8: bacaan poliitik hukum.docx

Pengaturan tentang hal ini juga diatur dalam UU nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak

Penghasilan. Agar pengurangan pajak itu dapat dilaksanakan secara benar dan

menghindarkan penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, baik muzakki

maupun pengelola BAZ dan LAZ, maka perlu diatur mekanisme, validitasi formulir, dan

pelaporan pembayaran zakat kepada BAZ dan LAZ. Adapun pembayaran infaq, shodaqah,

hibah, wasiat dan kafarat, tidak dapat dipergunakan untuk pengurangan pajak, karena pada

dasarnya bukan merupakan kewajiban. 

Sanksi bagi Pengelola

Pengelolaan zakat oleh Pengurus BAZ dan LAZ yang karena kelalaiannya tidak mencatat

dengan benar, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda

sebanyak-banyaknya Rp. 30.000.000,00 (Tiga puluh juta rupiah). Sanksi tersebut karena

merupakan tindak pidana pelanggaran, sedangkan bagi pengelola yang melakukan tindak

pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan KUHP dan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Kelemahan UU ini

Kelamahan dari UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat ini antara lain adalah :

Pertama, UU ini tidak mengatur tentang kewajiban dan sanksi bagi Muzakki. Undang-

Undang ini memang secara tersurat pada pasal 2 telah menyebutkan bahwa setiap warga

negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang

muslim berkewajiban menunaikan zakat, namun UU ini tidak menyebutkan sanksi yang akan

dikenakan kepada muzakki yang tidak membayar zakat.

Kedua, UU ini tidak memberikan hak kepada pengelola zakat untuk menghitung jumlah

kekayaan muzakki dan menetapkan jumlah zakat yang harus dibayarkan, akibatnya muzakki

mempunyai kebebasan untuk membayar atau tidak membayar zakatnya. Dengan demikian

maka zakat ini bersifat sukarela, padahal zakat ini adalah merupakan kewajiban.

Page 9: bacaan poliitik hukum.docx

Ketiga, Pembayaran zakat hanya dijadikan pengeluaran kena pajak, padahal zakat seharusnya

dapat dijadikan pengurangan pajak itu sendiri. Artinya, pembayaran zakat dapat dianggap

bagian dari pembayaran zakat.

Penutup 

Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999

tentang Pengelolaan Zakat ini memiliki prospek dapat meningkatkan kesadaran muzakki

mengangkat derajat mustahik, dan meningkatnya profesionalisme pengelola zakat, yang pada

akhirnya insya Allah akan dapat terwujud kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh

masyarakat dan rakyat Indonesia. Harapan ini akan lebih terwujud lagi dengan

diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU Nomor 17

Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Ketiga UU ini harus disinkronkan dalam rangka

kelancaran pelaksanaan pengelolaan zakat.***

tinjauan yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan

Zakat terhadap keberlangsungan Lembaga Amil Zakat

Kasus Posisi :

Kondisi lembaga zakat yang semnakin dipersempit dengan adanya Undang-Undang Nomor

23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat (selanjutnya disebut UUPZ)

Adanya peraturan perundang-undangan yang mengharuskan bahwa Lembaga Amil zakat

harus berubah dari bentuk yayasan menjadi bentuk Ormas islam

Page 10: bacaan poliitik hukum.docx

Adanya sanksi pidana terhadap segala bentuk pelanggaran di UUPZ

Dasar Hukum :

Undang-Undang dasar tahun 1945 (terutama pasal 28)

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan

Undang – Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 16

tahun 2001 tentang yayasan

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi masyarakat

Staatblad 1879 nomor 64 tentang perkumpulan

Rekomendasi kami :

1. Sentralisasi pengelolaan zakat yang terlau berlebih dari pemerintah,dalam hal ini oleh

BAZ. BAZ dalam hal ini mempunyai fungsi ganda, bahkan berlebihan. Dalam hal ini

berperan sebagai operator dan juga regulator. Sebagai operator dalam hal berhak

Page 11: bacaan poliitik hukum.docx

mengumpulkan zakat serta untuk memberdayakannya. Sebagai regulator, Baznas berhak

menerima laporan dari LAZ serta Baznas yang ada dibawahnya (provinsi, Kabupaten / kota).

Hal ini menimbulkan suatu konflik kepentingan yang cukup rumit. Di satu sisi sebagai

regulator, pembuat aturan main, di satu sisi sebagai pelaksana, sehingga dikhawatirkan ada

aturan yang sepihak, yang lebih menguntungkan BAZ daripada LAZ-LAZ yang ada.

2. Pembebanan biaya APBN sebagai sumber pendanaan untuk BAZ akan menjadi semakin

besar. Menurut UUPZ, Baznas harus membentuk baznas tingkat provinsi, kota / kabupaten.

Jika kemudian dibentuk juga UPZ di tiap daerah tersebut sesuai dengan struktir pemerintah,

maka akan banyak UPZ selevel kelurahan dan kecamatan dengan jumlah kurang lebih

puluhan ribu UPZ. Hal ini justru akan membawa beban negara semakin berat. Dana yang

seharusnya tidak perlu dikeluarkan karena seharusnya dengan adanya LAZ-LAZ maka tidak

membebani anggaran negara.

3. Sentralilsasi yang terlalu berlebihan justru akan menimbulkan atau cendeung otoriter.

Fungsi kontrol yang juga fungsi pelaksana di handle oleh BAZatau dengan nama lain Negara,

maka kecenderungan penyimpangan juga besar. Karena siapa yang akan mengontrol dana-

dana masuk atau aturan-aturan yang sesuai dengan masyarakat. Aturan-aturan yang dibuat

oleh BAZNAS sebagai Regulator mungkin atau cenderung akan memudahkan BAZ sebagai

operator, dan akan memberatkan LAZ-LAZ “swasta” yang nantinya akan menjadi UPZ-UPZ

dari BAZ. Salah satunya adalah proses pendirian LAZ yang nanti akan dibentuk dalam

format sebuat Ormas. Hal ini juga menjadi permasalahn sendiri. Ormas yang selama ini

masih mengikuti dasar hukumnya : UU No. 8 tahun 1985, selain sudah terlalu lama juga di

dalamnya tidak mengatur posisi, definisi dan kedudukan yang jelas. Ormas bukanlah badan

hukum melainkan model pengelolaan partisipasi masyarakat saja. ormas itu berbasis

perorangan, sedangkan LAZ bukan sebuah basis perseorangan. Secara kekuatan hukum,

justru seharusnya bentuk badan hukum Yayasan (Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 dan

Undang-Undang nomor 28 tahun 2004) seharusnya tetap dipertahankan, karena di dalamnya

sudah ada mekanisme pengaturan pengurus, pembina, aset, pertanggungjawaban, modal atau

aset, yang seharusnya dari sisi kepastian hukumnya jelas. Kalau dianggap basis perseorangan,

LAZ bisa dipersepsikan sama dengan “sekolompok orang penyuka hobby” atau “Komunitas

penyuka zakat” yang jsutru sifatnya hanya “Kumpul-Kumpul” padahal sebagai LAZ ada

dana-dana yang akan dipertanggungjawabkan ke publik baik melalui laporan rutin ataupun

Page 12: bacaan poliitik hukum.docx

melalui audit resmi, dan itu jika diatur dalam bentuk Ormas maka akan sangat sulit

pertanggungjawabanya.

4. Jika semua LAZ nantinya harus berbentuk Ormas, maka akan akan mempersulit

pengawasannya, mengingat definisi ormas belum jelas. Selain memperpanjang jalur birokrasi

yang bisa cenderung adanya penyimpangan seperti pungli ataupun suap. Juga rawan

terjadinya gesekan-gesekan di lapisan bawah. Selain tidak terkontrol, rawan konflik, seperti

kejadian ormas-ormas yang dengan mudahnya berdiri, dan juga dengan mudahnya bubar, lalu

kemana dana-dana yang diperoleh ataupun aset-aset yang diperoleh ? hal ini lah yang

cendrung justru akan membuat ormas bisa menjadi semacam “tempat pembersihan” atau

“sarang baru Korupsi”.

5. Ancaman pidana di UUPZ, terkait dengan larangan orang atau badan hukum yang tidak

mempunyai izin (dalam hal ini dari baznas) maka akan dikenai sanksi pidana dan denda.hal

ini justru juga akan membuat pengelola zakat “swasta” baik LAZ maupun takmir-Tamir

masjid akan tutup buku selamanya. Bisa saja semua ketua takmir atau ketua LAZ akan masuk

penjara. Jika hal ini terjadi, maka efek selanjutnya adalah semua LAZ dan Takmir tidak mau

menerima zakat dan selanjutnya Muzakki akan malas untuk berzakat. Kecenderungan

Muzakki di daerah, khususnya di jawa timur masih dilingkupi oleh sesuatu yang tradisonal.

Semangat berzakat yang 10 tahun terakhir cukup semarak ini bisa mati hanya karena aturan

yang dibuat sepihak, tapi tidak mempunyai solusi.

6. Jika semangat berzakat yang cukup bergairah ini, meredup hanya karena aturan yang

sepihak, jelas akan mengurangi semangat persebaran dakwah islam. Salah satu pintu dakwah

yang cukup potensial di msyarakat kelas menengah adalah zakat. Dengan pendekatan zakat,

diharapkan obyek dakwah yang rata-rata masyarakat kelas menengah, lebih mengena.

Diharapkan dengan pendekatan melalui zakat ini, dan juga dengan kelebihan dana yang

besar, (jika memakai teori kelas nya Marx) maka zakat ini bisa mempersatukan berbagai

kelas yang ada di masyarakat, terutama dengan adanya masyarakat yang berlebihan dalam

hartanya dalam berzakat dan adanya sisi mustahiq yang menerima zakat tersebut, dan salah

satu titik pentingnya adalah ada pihak ketiga sebagai perantara yaitu LAZ. Sehinqga dakwah

melalui zakat bisa memupus pertarungan antar kelas yang ada di masyarakat. Semuanya

saling bersinergi.

Page 13: bacaan poliitik hukum.docx

7. Posisi LAZ semakin kerdil jika dibandingkan dengan. Atau memang sengaja di kerdilkan

??. dengan posisi LAZ yang bersifat UPZ, suatu Unit, sifatnya kecil, turunan dari atas (Baz)

serta hanya bersifat mencari saja sesuai aturan BAZ dan tidak berhak menyalurkan. Hal ini

secara hukum, merupakan suatu pembatasan terhadap hak konstitusional suatu Lembaga

Hukum, dalam hal ini LAZ. Dalam pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 menjamin setiap orang

berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk

membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Jika memang LAZ terbukti ikut memajukan

masyarakat dengan program-program zakatnya, serta bisa menyentuh lapisan masyarakat

yang selama ini belum disentuh oleh pemerintah, maka UUPZ tersebut bisa dianggap

merugikan LAZ. Dalam teori hans Kelsen, maka dengan tingkatan UUD yang lebih tinggi

daripada UU, maka seharusnya UUPZ diangga melangar ketentuan yang lebih tinggi serta

bisa di batalkan.

8. Penyempitan dari yayasan menjadi Ormas, kemudian dipersempit lagi dengan Ormas

islam, maka hal ini justru akan membuat rantai birokrasi yang semakin panjang. Dari sisi

legal formal suatu yayasan, sebenarnya lebih mudah pertanggungjawaban dana yang di dapat

daripada Ormas. Selain itu, jika dipersempit lagi ke arah ormas Islam, justru akan membuat

suatu badan hukum yang tidak jelas semakin banyak. Pengaturan Ormas sendiri selama ini

lebih banyak untuk kepentingan pemerintah, dan pertanggungjawabannya pun relatif tidak

terlalu ketat dibandingkan dengan yayasan.

9. Dengan semakin sedikit ruang gerak LAZ, salah satu yang ditakutkan adalah kinerja

LAZ nanti tidak akan semaksimal sebelum UUPZ terbit. Dengan adanya pembatasan ruang

gerak LAZ, mulai dari bentuk hingga penyaluran, maka LAZ nanti hanya bersifat

kepanjangan tangan dari BAZ. LAZ hanya menyetor hasil pengumpulan zakat, kemudian

semua kebijakan penyaluran di arahkan dari BAZ.

10. Kemampuan BAZ yang masih diragukan dalam hal mengelolan sejumlah dana zakat.

Dalam hal pengelolaan selama ini, khusunys di jawa timur, jarang sekali BAZ melakukan

kegiatan-kegiatan yang bersifat masif atau terpublikasikan di media massa. Pengumpulan

BAZ pun jauh tertinggal dari lembaga-lembaga zakat Lokal. Salah satu indikatornya adalah

peringkat baznas yang hanya berada di urutan 10 menurut majalah SWA (10 peringkat

Page 14: bacaan poliitik hukum.docx

lembaga zakat, 2010). Ini juga menandakan bahwa BAZNAS yang levelnya nasional, masih

tertinggal dengan LAZ lokal, seperti YDSF.

11. Kepentingan Politik yang sedemikian besar di ranah pemerintah, yang sedikit banyak juga

akan berghubungan dengan BAZ. Dengan semakin dekatnya serta sentralisasi yang cukup

berlebihan di BAZ, serta semua dana dari UPZ harus masuk ke BAZ, maka bisa dibayangkan

berapa dana yang masuk ke pemerintah. Dana yang sedemikian besar, jika tidak ada lembaga

yang berdiri sendiri, yang mengawasi aliran dana tersebut, kecenderungan untuuk korupsi

atau pemakaian dana tidak sesuai peruntukkannya kan terjadi. Apalagi posisi BAZ, sebagai

regulator dan pelaksana. Terutama dari sisi regulator, yang berhak membuat aturan main dari

semua LAZ atau UPZ nantinya, dan itu berarti termasuk aturan mainyang mungkin

cenderung akan lebih menganaka emaskan BAZ sebagai pelaksana.

12. BAZ dan LAZ tetap sebagai mitra kerja yang baik. Bisa sebagai pelaksana yang

mengikuti aturan atau dalam posisi sejajar. Alangkah baiknya dibentuk suatu badan pengawas

bagi zakat, seharusnya pemerintah membuat suatu lembaga atau badan sendiri yang secara

struktur terlepas dari BAZ. Dengan begitu, akan terjadi suatu persaingan yang sehat antara

BAZ dan LAZ karena sama-sama sebagai pemain atau pelaksana. Sedangkan lembaga atau

badan pengawas sifatnya adalah regulator.

13. Perubahan bentuk yayasan ke Ormas. Hal ini sangat absurd. Karena definisi Ormas secara

legal tidak jelas, dan kadang hanya dimaknai sebagai suatu perkumpulan (yang selama ini

masih memakai aturan Staadblad 1870), suatu kumpulan orang yang mempunyai kesamaan

hoby ataupun sikap. Menurut kami, bentuk yayasan sebenarnya sudah cukup mumpuni untuk

mengontrol pertanggungjawaban suatu LAZ. Sudah ada aturan main untuk pelaporan dana

yang masuk, aset-aset yayasan, serta mekanisme perubahan-perubahan susunan kepengurusan

maupun aturan-aturan. Yayasan juga langsung di bawah kontrol Kemenkumham, yang lebih

detail dalam pendaftarannya. Sehingga yayasan sebenarnya lebih mudah dikontrol

pertanggungjawaban. Mengingat yayasan LAZ akan selalu dimintai pertanggungjawaban

terutama drai Muzakki, uang pengumpulan dibuat apa, disalurkan kemana, dislaurkan dalam

bentuk apa? Serta program apa ?. sedangkan jika dalam posisi Ormas, maka

pertanggungjawab tersebut akan sulit. Karena selain definisi yang tidak jelas, pengkontrolan

Page 15: bacaan poliitik hukum.docx

fungsi ormas selana ini hanya dalam bentuk pengawasan secara hukum publik. Sedangkan

dalam ranah hukum privat, jarang sekali ada pengawasan.

14. Aspek hukum pidana dalam UUPZ juga kurang memperhatikan aturan-aturan adat yang

selama ini sudah menjadi tradisi dari masyarakat indonesia. Kalau memakai pendekatan khas

“Hukum Progresif” dari Alm. Prof. Satjipto Rahardjo, S.H, yaitu hukum membebaskan, atau

Hukum untuk manusia, jadi hukum bukan hanya bersifat mesin, kaku serta keras, ya,

memang diperlukan suatu kepastian hukum dan itu memang dibutuhkan suatu hukum yang

“keras”. Tapi dari sisi pengelolaan zakat, sebenarnya perlakuan terhadap semua amil zakat

dan LAZ yang menarik zakat tanpa ada keabsahan dari BAZ maka justru akan mematikan

semangat masyarakat untuk berzakat. Kemudahan serta fasilitas yang cepat dan mudah akan

sulit dilaksanakan. Takmir-takmir masjid dan amil-amil zakat lainnya akan kesulitan untuk

bergerak karena dibatasi pasal yang cukup keras, ancaman 1 tahun penjara dan denda 500

juta. Dengan semakin sedikitnya akses tersebut, di khawatirkan animo masyarakat untuk

berzakat akan turun.

15. Secara kelembagaan kami memang mendukung niat baik pemerintah untuk mengawasi

LAZ. Karena di negara hukum, memang seharusnya ada fungsi pengawasan oleh negara.

Tapi, harapan kami fungsi pengawasan dari negara tidak berlebebihan atau bahkan cenderung

otoriter, mutlak. Sehingga niat baik pemerintah justru berbalik menjdi kontra produktif,

dengan mengkerdilak gerak LAZ-LAZ yang sudah ada.a

Perbedaan UU Zakat yang lama dengan yang baruOctober 25, 2012 by LiSEnSi UIN Jakarta

Penulis : Asep

Saepullah | http://www.facebook.com/saefullah30 (Ketua

Lingkar Studi Ekonomi Syariah UIN Jakarta | Content

Manager of Sharee)

A.Penjelasan

Mengingat undang-undang yang ada sebelumnya dirasa tidak cukup

untuk mengakomodir perkembangan potensi zakat di Indonesia,

maka Komisi VIII DPR RI merumuskan undang-undang tentang

Page 16: bacaan poliitik hukum.docx

pengelolaan zakat yang baru. Namun, sejak Undang-Undang No. 38

Tahun 1999 yang sebelumnya telah ada mengatur tentang

Pengelolaan Zakat, kemudian disusul oleh undang-undang baru

yang telah sah diresmikan pada tanggal 20 Oktober 2011 lalu,

malah menimbulkan kontroversi di kalangan praktisi, akademisi,

masyarakat, Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan pihak yang terkait

(stake holder) lainnya. Mulai dari kekhawatiran akan dibekukannya

LAZ hingga kesan UU tersebut mengerdilkan peran mandiri

masyarakat dalam memberdayakan dana zakat.

Selain itu, hasil revisi UU zakat tersebut, telah menghambat kinerja

serta peran lembaga-lembaga zakat yang telah ada. Hal ini

disebabkan substansi yang terkandung dalam UU zakat tersebut

menyatakan bahwa: “…setiap Lembaga Amil Zakat yang ingin

mendapatkan izin untuk menyalurkan, mendistribusikan dan

mendayagunakan zakat setidaknya harus terdaftar sebagai

organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang

pendidikan, dakwah dan sosial.” Dari sini telah jelas bahwa

pemerintah ingin menyaring lembaga zakat yang telah ada dengan

persyaratan keanggotaan “Ormas Islam”. Padahal, bagi lembaga

zakat seperti Dompet Dhu’afa persyaratan seperti itu agak berat

karena harus merevisi ulang struktur dasar dan mengubah

statusnya selama ini sebagai yayasan.

Pasal-pasal krusial dalam UU No 23 2011 tentang

Pengelolaan Zakat

Pasal 5 ayat (1). Untuk melaksanakan pengelolaan zakat,

Pemerintah membentuk BAZNAS.

Pasal 7 ayat (1). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi:

(a) perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan

pendayagunaan zakat; (b) pelaksanaan pengumpulan,

pendistribusian,dan pendayagunaan zakat; (c) pengendalian

pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;

Page 17: bacaan poliitik hukum.docx

dan (d)  pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan

pengelolaan zakat.

Pasal 17. Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan

pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat,

masyarakat dapat membentuk LAZ.

Pasal 38. Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak

selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian,

atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang

berwenang.

Pasal 41. Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan

hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1

(satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak

Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

B.  Perbedaan UU Zakat Lama dengan yang Baru

UU zakat lama ( no 38 th 1999)

1.  namanya adalah UU Tentang Pengelolaan Zakat

2. posisi pemerintah dan masyarakat sejajar dalam pengelolaan

zakat

3. masyarakat dibebaskan untuk mengelola zakat

4. pengaturan Lembaga Amil Zakat (LAZ) hanya dalam dua pasal

5. LAZ dibentuk oleh masyarakat

 

UU zakat baru ( no 23 th 2011)

1. namanya adalah UU Zakat, Infak dan Sedekah

Page 18: bacaan poliitik hukum.docx

2.posisi pemerintah dan atau badan zakat pemerintah (BAZNAS)

lebih tinggi.

3. hanya yang diberi izin saja yang boleh mengelola zakat.

4. LAZ diatur dalam 13 pasal.

5. LAZ dibentuk oleh organisasi kemasyarakatan Islam.

6. Adanya otoritas tunggal pengelolaan zakat, yaitu pemerintah

(BAZNAS).

7.Adanya dualisme pengelolaan zakat (pemerintah dan masyarakat)

BAZNAS dan LAZ.

Selain terdapat perbedaan mendasar antara UU zakat yang baru

dan yang lama, UU zakat yang baru juga mendapat kritik keras dari

banyak LAZ dan sebagian masyarakat. Kritik tersebut ditujukan

kepada tiga masalah krusial yang ada di dalamnya, yaitu :

1.Syarat izin pendirian LAZ adalah harus didirikan oleh organisasi

kemasyarakatan Islam. Padahal pada kenyataannya saat ini banyak

LAZ yang telah berdiri dan beroperasi namun tidak didirikan oleh

ormas Islam.

2.Tidak diatur dan dijelaskannya kedudukan dan posisi LAZ daerah,

baik LAZ propinsi maupun LAZ kabupaten/kota.

3.Tidak diperkenankannya kelompok masyarakat atau organisasi

untuk mengelola zakat, apabila kelompok masyarakat atau

organisasi tersebut tidak memiliki izin sebagai LAZ.

1. Dampak bagi pemerintah

-Pemerintah diberi kewenangan penuh, jadi pemerintah lebih leluasa

dalam penghimpunan maupun pendistribusian dana zakat

Page 19: bacaan poliitik hukum.docx

– Kas anggaran pemerintah menjadi bertambah akibat dari

himpunan dana zakat

– Bargaining power yang dimiliki pemerintah membuat

pendistribusian dana zakat bisa lebih baik dan tertata

– Meminimalisir penyimpangan yang terjadi akibat LAZ yang tak

berbadan hukum resmi

– Bisa lebih preventif lagi dalam pemungutan pajaknya

2. Dampak bagi perbankan syariah

-Dengan adanya persyaratan lembaga organisasi islam (berstatus

hukum resmi) tentu hal ini LAZ dan BAZNAS harus memiliki sistem

keuangan islam juga, tentunya menjadi pendapatan fee base

income bagi bank syariah

– Bertambahnya DPK bank syariah

– Bisa menambah angka market share dan asset bank syariah

– Bank syariah bisa membuat gerai pembayaran zakat dengan

sistem setor maupun ATM (UPZ)

Dana zakat yang begitu besar, bisa dikelola oleh bank syariah untuk

hal yang lebih produktif

3.Dampak bagi masyarakat

–  Pemerataan distribusi masyarakat bisa merata, antara daerah

yang minus zakat dan daerah yang surplus dana zakat

– Zakat konsumtif yang biasanya dikelola oleh LAZ yang tradisional

bisa berkurang

Page 20: bacaan poliitik hukum.docx

–  Pemberdayaan masyarakat melalui zakat yang produktif dan

terpusat

–  Masyarakat yang biasa mengumpulkan dana zakat secara

tradisional menjadi terkerdilkan dan dapat diancam dengan 1 tahun

penjara dan denda sebesar 50 juta bila tanpa izin pejabat yang

berwenang.

–  Dimungkinkan kurang terhimpunnya dengan baik dana zakat,

karena terbatas LAZ yang memiliki status non ormas islam-

 Dompet Dhuafa Singgalang gelar Seminar Nasional (Semnas) bertajuk �Masa Depat Zakat Sumatera Barat; Kritikan terhadap Undang-Undang No.23 Th. 2011 tentang Zakat� di aula Pasca Sarjana IAIN Imam Bonjol Padang hari ini, Rabu (30/5). 

Seminar tersebut diangkatkan untuk mengenali lebih dalam UU No. 23 th. 2011, sehingga nantinya dapat memberikan masukan, gagasan dan kritik terhadap UU tersebut, menggagas fakta integritas dan sinergisitas Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA se-Sumatera Barat).

Hal tersebut diungkapkan Kepala Dompet Dhuafa Singgalang, Musfi Yendra, Selasa (29/5). �Yang akan mengisi materi Semnas ini di antaranya Guru Besar Fakultas Hukum Unand, Prof. Yaswirman, Pendiri Dompet Dhuafa Republika Eri Sudewo, Dosen Fakultas Hukum UI Dr. Hamid Khalid , dan Rektor IAIN Imam Bonjol Padang Prof. Dr. H. Makmur Syarif, SH, M.Ag,� kata Musfi.

Dilanjutkannya, mereka akan membedah masing-masing materi yang pas dengan kapasitas keilmuan mereka. Materi yang dibahas yakni celah hukum pelanggaran konstitusi dalam UU Zakat, pasang surut relasi zakat dan Negara, UU Zakat dan potensi pelemahan civil society dan yang terakhir Implementasi UU zakat ditinjau dari perspektif syariah dan perkembangan zakat di Sumbar.

Disahkannya UU No. 23 Th. 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang menggantikan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 pada tanggal 16 November 2011 lalu telah membuka wacana baru bagi perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia. 

Dalam regulasi baru tersebut melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) pemerintah memberikan kepercayaan penuh untuk mengelola zakat secara syah yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang ditunjuk dan atau dikukuhkan pemerintah setelah memenuhi segala persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. 

Sikap pro dan kontra menyeruak di sebagian kalangan masyarakat setelah UU ini disahkan, terutama masyarakat pegiat zakat dalam hal ini lembaga-lembaga zakat

Page 21: bacaan poliitik hukum.docx

�swasta� yang boleh jadi eksistensinya merasa kurang mendapatkan jaminan dan apalagi perlindungan hu erita kum yang memadai dalam UU No. 23.

Pemerintah pun menyatakan bahwa kehadiran UU No. 23 Tahun 2011, tidak dimaksudkan untuk �menggusur� keberadaan Lembaga-Lembaga Zakat swasta bentukan masyarakat yang telah ada. Sarananya adalah melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang sampai sekarang memang belum terbentuk. Karenanya, pelaksanaan zakat pasca pemberlakuan UU, dapat dikatakan masih relatif sama dengan sebelumnya. Polemik kian berkembang, karena banyak pihak menyangsikan peran dan kinerja Baznas dalam mengelola zakat di Indonesia. 

�Adanya kewenangan luas yang yang diberikan pemerintah ke Baznas dalam UU tersebut bertujuan agar pengelolaan zakat lebih teroptimalisasi  dan terintegrasi. Dana terkumpul pun lebih besar dari pada yang dihimpun oleh LAZ. Inilah yang kemudian membutuhkan konsentrasi penuh untuk merumuskan aturan Baznas agar tidak terjebak dalam konstelasi politik dalam pembuatan PP dan Keputusan Menteri Agama,� papar Musfi.

Adanya pasal-pasal dalam UU ini jugamemberikan batasan ruang gerak dan aturan yang sempit bagi perkembangan LAZ. Pengelolaan zakat hanya oleh lembaga yang berwenang pengelola zakat atas ijin pemerintah menjadikan tidak diakomodirnya LAZ yang ada di daerah. 

Bagaimana pengelolaan zakat yang dikelola oleh masjid, pondok pesantren, yayasan panti asuhan dan lain-lain? Karena mengelola zakat tanpa ijin pemerintah dapat dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.

UU No. 23 Th. 2011 tentang Pengelolaan Zakat akan berimplikasi sterhadap masa depan pengelolaan zakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) di Indonesia khususnya Sumbar. Perlu ada sebuah pembicaraan serius agar ada ruang Judicial Review terhadap UU ini kepada Mahkamah Konstitusi. 

�Seminar ini merupakan salah satu gerak yang lahir dari pemikiran akan betapa pentingnya kita di Sumbar turut mengkaji dan memberikan perhatian terkait persoalan ini, demi masa depan pengelolaan zakat dan pengentasan kemiskinan di ranah minang juga Indonesia,� pungkasnya. 

POLITIK HUKUM ISLAM di BALIK UU No. 38 TAHUN 1999 TENTANG

PENGELOLAAN ZAKAT

Makalah

Page 22: bacaan poliitik hukum.docx

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

Politik hukum Islam di Indonesia

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ahmad rofiq, MA.

http://buku-on-line.com/wp-content/uploads/2012/04/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg

Disusun oleh:

Nihayatul Ifadhloh (122111103)

HUKUM PERDATA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2014

Page 23: bacaan poliitik hukum.docx

Politik Hukum Islam di Balik UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat

I. Pendahuluan

Seseorang yang beruntung mendapatkan sejumlah harta pada hakikatnya hanya menerima

titipan sebagai amanat untuk disalurkan sesuai dengan kehendak pemilik aslinya, yaitu Allah

SWT. Zakat sebagai ibadah ijtima’iyah, melalui pembayaran zakat berarti beramal terhadap

sesama, yang berarti melakukan ibadah sosial atau kewajiban sosial. Dengan ibadah sosial itu

berarti orang yang membayar zakat membantu sesama manusia yang berada dalam

kekurangan dan kemiskinan. Maka dibuatlah undang-undang zakat sebagai aturan atau

pedoman pengelolaan, maupun sanksi bagi masyarakat (islam) dalam suatu negara.[1]

Kita tahu bahwa suatu produk hukum yang lahir, seperti undang-undang zakat, pasti

dibaliknya terdapat campur tangan politik yang menginginkan bagaimana suatu aturan itu

berjalan, dan bagaimana hasil yang diharapkan ketika suatu aturan tersebut di terapkan dalam

masyarakat di dalam sebuah negara (khususnya masyarakat islam). Tentunya peran agama

(islam) sangat mempengaruhi tentang bagaimana (politik) aturan yang ada di belakang

peembuatan undang-undang zakat yang akan diberlakukan dalam sebuah negara. Khususnya

tentang pengelolaanya.

Dalam tulisan ini pemakalah akan mencoba membahas tentang bagaimana bentuk-bentuk

politik yang ada di balik Undang-Undang No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.

II. Rumusan Masalah

Adapun rumusan permasalahan dari pembahasan makalah ini adalah :

A. Peran Undang-Undang No.38 Tahun 1999 dalam pengelolaan zakat !

B. Bentuk politik Islam di balik UU Zakat No. 38 Tahun 1999 !

III. Pembahasan

Page 24: bacaan poliitik hukum.docx

A. Peran Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 dalam pengelolaan zakat

Dalam rencana strategis kementrian agama tahun 2010-2014 telah mencamtumkan program

pembangunan dalam bidang agama, diantaranya disinggung soal optimalisasi pengelolaan

dana dan aset sosial keagamaan. Disana menjelaskan bahwa setiap agama mengajarkan

kepada pemeluknya agar mewujudkan ketaatan beragama mereka yang salah satunya dapat

diwujudkan dalam bentuk kepedulian sosial terhadap sesama manusia. Oleh karena itu

masing-masing agama memiliki instrumen untuk mewujudkan kepedulian sosial anatara lain

dalam bentuk dana dan aset sosial keagamaan, dan apabila hal ini di kelola dengan baik,

maka akan memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat memberi konstribusi bagi upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Dalam agama islam,

salah satu bentuk dana dan aset sosial keagamaan tersebut adalah zakat, guna meningkatkan

optimalisasi pengelolaan zakat, pemerintah telah mengeluarkan UU No 38 Tahun 1999 (yang

saat ini sudah diganti dengan UU No 23 Tahun 2011) tentang pengelolaan zakat.[2]

Konsekuensi manusia yang kepadanya dititipkan harta (berlebih) harus memenuhi aturan

Allah, baik dalam pengembangan maupun dalam penggunaanya, antara lain ada kewajiban

yang dibebankan kepada pemiliknya sebagai ibadah yang wajib, seperti mengeluarkan zakat

guna kesejahteraan masyarakat, dan juga ada yang berbentuk sunnah, seperti sedekah dan

infak. Dengan kewajiban zakat, nyatalah bahwa pemilik harta bukanlah pemilik mutlak. Tapi

didalam hak milik itu ada suatu tugas sosial yang wajib ditunaikan sebagai makhluk sosial.[3]

Zakat mampu menciptakan kecintaan, persaudaraan dan sikap tolong menolong antar sesama,

dengan kata lain zakat merupakan media untuk mendidik moralitas manusia, dan juga

mengembangkan aspek sosial dan ritual. Dalam aturan fiqih (hukum islam) telah menetapkan

gugurnya kewajiban zakat dalam keadaan tidak terpenuhinya syarat kewajiban zakat, seperti

nisab atau haul. Aturan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan

yang terjadi pada diri seseorang, boleh jadi di masa mudanya ia adalah seorang yang kaya,

namun di masa tuanya ia berubah menjadi seorang yang miskin, dalam kondisi apapun juga,

sikap saling menolong adalah hal yang dianjurkan.[4]

Zakat diambil secara vertikal jika telah mencapai nisab, yaitu sebagai ketetapan dengan

batasan minimal wajibnya zakat yang di keluarkan. Begitu juga dnegan barang yang wajib

dikeluarkan zakat. Kelebihan harta yang di miliki dikeluarkan sesuai ketetapan yang

ditentukan oleh para ahli fiqh. Sedangkan pembgaian zakat di lakukan secara horizontal atau

merata kepada kelompok yang berhak menerima zakat.[5]

Page 25: bacaan poliitik hukum.docx

Persoalan kemiskinan bukan saja problema persoalan ekonomi kemasyarakatan di negara

berkembang, akan tetapi ia berpotensi menjadi momok yang menakutkan bagi

penyandangnya. Indonsia merupakan negara dengan tingkat angka kemiskinan relatif tinggi,

padahal potensi zakatnya cukup besar. Namun sayangnya potesni zakat tersebut masih belum

optimal. umat islam indonesia sebagai kelompok mayoritas mempunyai peluang dan potesni

besar untuk ikut dalam pembangunan bidang kesejahteraan rakyat guna meningkatkan taraf

hidup dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu peluang dan potensi umat islam yang dapat

digali dan didayagunakan dalam penyediaan dana pembangunan dibidang kesejahteraan

rakyat dan merupakan alternatif pemecahan dalam memberantas kemiskinan. Pemberdayaan

ekonomi terhadap golongan miskin yang dapat berbentuk pemberian modal, pemberian

beasiswa dan sebagainya.[6]

Ketika indonesia merdeka, kesadaran membayar zakat telah dilakukan dengan lebih baik oleh

elemen-elemen masyarakat, dan kesadaran ini tentunya perlu diiringi dengan tindakan riil

oleh segenap masayarakat untuk saling mengingatkan dan menasehati tentang arti penting

zakat bagi keselarasan hidup. Dukungan riil pemerintah pun perlu sebagai justifikasi.[7]

Mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama islam. Zakat merupakan

hal yang tidak asing pada masyarakat Indonesia, khususnya (salah satu bentuk zakat) pada

saat bulan Ramadhan menjelang hari raya Idul Fitri. Penanganan zakat di indonesia bisa

dibilang belum begitu serius untuk kesejahteraan bersama. Terkadang hanya sebatas

berorientasi pada sisi konsumtif, yang mana hanya untuk keperluan kecukupan pada saat hari

raya itu tiba. Kemudian diundangkanlah UU No. 38 Tahun 1999 (namun saat ini sudah

diganti dengan UU No. 23 Tahun 2011) tentang pengelolaan zakat, dengan didirikanya

lembaga-lembaga pengelola zakat, baik ditingkat lokal maupun nasional. Dengan adanya

pengelolaan zakat diharapkan zakat dapat diwujudkan sebagai lembaga jaminan sosial untuk

kesejahteraan umat.[8]

sebagaimana yang di jelaskan dalam Pasal 5 UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan

zakat yang bertujuan :

1. meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan

tuntunan agama;

2. meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan

kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.

Page 26: bacaan poliitik hukum.docx

3. meningkatya hasil guna dan daya guna zakat.[9]

Dalam UU No. 38 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “pengelolaan zakat adalah kegiatan

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan

pendistribusian serta pendayagunaan zakat”. Sedangkan yang berwenang untuk mengelola

zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah, dan Lembaga Amil

Zakat (LAZ) bentukan masyarakat. Agar pengelolaan zakat berjalan dengan baik. Maka BAZ

dan LAZ harus menerapkan prinsip-prinsip good organization governance (tata kelola

organisai yang baik) yaitu seperti amanah, karena zakat merupakan salah satu rukun islam

yang berbicara tentang kemasyarakatan, dan kewajiban tentang berzakat tidak hanya ada

dalam Perundang-undangan tentang zakat yang ada dalam sebuah negara saja, namun Allah

juga telah lebih dahulu menyampaikanya. Seperti dalam Firman-Nya.

õ‹è{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y‰|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.t“è?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur�

öNÎgø‹n=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y™ öNçl°; 3 ª!$#ur ìì‹ÏJy™ íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan

(Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan

memperkembangkan harta benda mereka) dan mensucikan (Maksudnya: zakat itu

membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda)

mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman

jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS At-Taubah:103).

Kemudian adanya ketransparanan, yaitu kewajiban LAZ atau BAZ selaku Amil untuk

mempertanggung jawabkan tugasnya, bentuk transparansi ini dapat dilakukan melalui

publikasi laporan di media cetak, atau sosialisasi. Dan juga profesional, amil harus

profesional, diantara cirinya adalah, bekerja full time, memiliki kompetensi, amanah, jujur,

dll. Dengan pengelolaan yang sedemikian rupa diharapkan agar pengelolaan zakat dapat

dioptimalkan, amanah muzaki tertunaikan, dan mustahiq diberdayakan.

Hal-hal tersebut dapat diimplementasikan apabila didukung oleh penerapan prinsip-prinsip

operasionalnya, seperti; aspek kelembagaan, dari aspek kelembagaan, sebuah organisai

pengelola zakat seharusnya memperhatikan berbagai faktor; seperti visi dan misi, kedudukan

Page 27: bacaan poliitik hukum.docx

dan sifat lembaga, legalitas dan struktur organisai, aliansi strategi. Kemudian aspek sumber

daya manusia, yang merupakan aset paling berharga, sehingga pemilihan siapa yang akan

menjadi amil zakat harus dilakukan dengan hati-hati. Dan juga sistem pengelolaannya yang

baik, unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah; memiliki sistem dan prosedur yang jelas,

manajemen terbuka, dan adanya perbaikan secara terus menerus.[10]

Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional negara Republik

Indonesia, yang diamantakan dalam pembukaan UUD 1945. Untuk mewujudkan tujuan

nasional tersebut, senantiasa dilaksanakanlah pembangunan yang bersifat fisik materil dan

mental spiritual, antara lain melalui pembangunan dibidang agama. Zakat merupakan

kewajiban bagi setiap muslim untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang

membutuhkan. Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang

dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umum. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban

memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan

pengelola zakat. Maka dibuatkanlah UU zakat no 38 tahun 1999 (yang saat ini sudah diganti

dnegan UU No. 23 Tahun 2011). Dan untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah

agama, dalam undnag-undang ini ditentukan adnaya unsur pertimbangan dan unsur

pengawas, yang terdiri atas ulama’, kaum cendekiawan, masyarakat, dan pemerintah serta

adanya sanksi hukum terhadap bentuk penyelewengan-penyelewengan.[11]

B. Bentuk politik Islam di balik UU Zakat No. 38 Tahun 1999

Tujuan dilaksanakanya pengelolaan zakat oleh pengelola zakat antara lain; meningkatkan

kesadaran masyarakat dalam penunaian dan pelayanan zakat. Kemudian meningkatkan fungsi

dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarkat dan

keadilan sosial.

Zakat merupakan salah satu institusi yang dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat atau menghapuskan derajat kemiskinan masyarakat serta mendorong terciptanya

keadilan distribusi harta, karena pada umumnya zakat di pungut dari orang-orang kaya dan

kemudian diberikan kepada orang-orang yang ekonominya kurang. Dalam hal ini akan terjadi

aliran dana dari para aghniya’ kepada dhu’afa dalam berbagai bentuknya mulai dari

kelompok konsumtif maupun produktif, maka secara sadar penunaian zakat akan

membangkitkan solidaritas sosial, mengurangi kesenjangan sosial dan pada giliranya akan

Page 28: bacaan poliitik hukum.docx

mengurangi derajat kejahatan ditengah masyarakat, karena dengan mulai adanya perubahan

kesejahteraan sedikit demi sedikit. dan juga meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.

Setiap lembaga zakat seharusnya memiliki database tentang muzaki dan mustahiq, profil

muzaki perlu di data, untuk mengeahui potensi-potensi atau peluang untuk melakukan

sosialisasi maupun pembinaan kepada muzakki, karena mereka merupakan nasabah, maka

perlu adanya pembinaan dan perhtaian yang memadai guna memupuk nilai kepercayaan.

Terhadap mustahiq pun juga demikian, program pendistribusian dan pendayagunaan harus di

arahkan sejuah mana mustahiq tersebut dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Dan ini lah

peranan yang harus di pahami oleh lembaga-lembaga zakat yang turut andil dalam

pengelolaan zakat yang ada dalam sebuah negara.[12]

Dengan penglelolaan secara kelembagaan, pengumpulan dan pendistribusian atau

pendayagunaan zakat akan lebih optimal. Namun Dengan berbagai macam lembaga (yang

berdiri atas apresiasi masyarakat tertentu) untuk mengelola zakat yang mempunyai visi dan

misi yang berbeda-beda, dan terkadang dikelola oleh manajemen pihak tertentu yang tentu

tidak berorientasi kepada seluruh masyarakat yang memerlukan dana zakat, tetapi hanya

orang-orang yang segolongan mereka saja. Akibatnya, meskipun banyak lembaga yang

didirikan untuk pengelolaan dana zakat, namun fungsinya belum tercapai. Jadi campur tangan

politik yang dilakukan oleh oknum-oknum (seperti partai, lembaga gologan tertentu) yang

ada menyebabkan tujuan dari pengelolaan zakat itu sendiri belum lah trewujud secara

sempurna.[13]

Adanya perbedaan kepentingan merupakan salah satu penghalang bagi berjalanya basiz/lasiz

diberbagai daerah, hal ini disebabkan bahwa selama ini terdapat kelompok masyarakat atau

sebagian organisasi umat islam yang melaksanakan pengumpulan ZIS sendiri-sendiri guna

kepentinan organisasinya atau kelompoknya. Bahkan terdapat lembaga pendidikan atau

perorangan yang menghimpun dan atau menerima ZIS dari masyarakat untuk kepentingan

lingkunganya. Bahkan hambatan yang sangat dominan adalah kurangnya kesadaran para

muzakki secara penuh untuk melaksanakan kewajibanya setiap tahun. Padahal jika dikelola

secara baik, maka hasilnya dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat, sebab zakat

dapat dikatakan sebagai terapi atas masalah sosial yang cukup efektif dalam meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. jika dilihat dari umat islam yang ada di indonesia, maka potensi

zakat sangat besar. Dan pada sisi lain ternyata msih terdapat beberapa pegurus bdan atau

lembaga pengelola zakat atau badan pelaksana belum dapat melaksanakan tugas secara

optimal. dismaping hal itu juga masih terdapat adanya berbagai faktor pengahambat yang

Page 29: bacaan poliitik hukum.docx

berasal dari kalangan masyarakat, yaitu kuragnya kesadaran untuk menyerahkan zakat

kepada lembaga pengelola zakat.

Zakat yang mempunyai fungsi sosial yang bertujuan untuk mencipatakan masyarakat islam

yang ideal, adil dan sejahtera, dimana orang yang mampu mmebagikan hartanya kepada yang

lemah, mungkin secara sederhana hal ini adalah guna pembagian zakat secara konsumtif,

namun diballik sisi konsumtif yang hendak di salurkan dari adanya dana zakat, juga terdapat

tujuan untuk hal produktif, seperti menambah modal usaha, pengembangan dana, dll. Hal itu

berarti zakat dapt dijadikan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan menciptalan

kesejahteraan umat.[14]

Berbagai pendapat kini berkembang dikalangan masyarakat tentang persamaan zakat dan

pajak. Zakat dan pajak dilihat bahwa keduanya mempunyai tujuan yang relatif sama,

terutama dalam hal pembangunan pembiayaan negara untuk menciptakan kesejahteraan

masyarakat banyak. Mislanya dalam UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat BAB

IV pasal 14 ayat 3 bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada badan Amil Zakat atau

lembaga Amil Zakat dikurangi laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang

bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. hal ini merupakan

suatu bentuk politik tersendiri yang bertujuan untuk mengakomodasi keinginan kaum muslim

di indonesia, agar pembayaran zakat di dahulukan daripada pajak, sekaligus zakat tersebut

dapat mengurangi biaya pembayaran pajak. Walaupun terdapat beberapa persamaan antara

zakat dan pajak, namun tetap saja keduanya berbeda.

Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi, karena ia merupakan pajak harta yang

ditentukan, karena zakat juga dapat berfungsi sebagai pajak kepala seperti zakat fitrah, dan

kadang-kadang sebagai pajak kekayaan yag dipungut dari modal dan pendapatan seperti

halnya zakat mal pada umumnya. Zakat adalah sumber keuangan dalam islam yang terus

menerus. Karena fungsinya yang sangat banyak, seperti halnya dapat digunakan untuk

membebaskan orang (muslim) dari kesusahan dan menanggulangi kebutuhan mereka dalam

bidang ekonomi, dan zakat merupakan cara yang prakstis untuk mengumpulkan kekayaan

dan menjadikanya agar dapat berkembang. Secara filosofis sosial, zakat diartikan deengan

prinsip “keadilan sosial” dan dilihat dari segi kebijaksanaan dan strategi pembangunan yang

berhubungan dengan distribusi pendapatan masyarakat, pemerataan kegiatan pembangunan

atau pengentasan kemiskinan. Dengan zakat disatu sisi terjadi proses transfer konsumsi dari

pemilikan sumber-sumber ekonomi, sementara disisi lain merupakan perluasan kegiatan

Page 30: bacaan poliitik hukum.docx

produktif ditingkat bawah. Zakat pada intinya adalah suatu sistem kegiatan politik, karena

pada dasarnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembagianya terhadap sasaranya

dengan memperhatikan asas keadilan, dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang

membutuhkan. dan hal itu semua dilakukan dengan menggunakan sarana yang kuat dan

terpercaya, yaitu Amil Zakat, sebagaimana juga sasaran (penerima) zakat itu sesuatu yang

menjadi urusan negara, seperti mualllaf dan sabilillah.[15]

Didalam negara islam zakat merupakan salah satu sumber pemasukan keuangan negara.

Berbeda dengan indonesia yang pada umumnya anggota masyarakat langsug menyerahkan

zakatnya kepada yang berhak, walupun sudah berjalan penyerahan zakat kepada BAZIS

(Badan Amil Zakat Infaq dan Sedekah). Namun Proses pengaturan zakat oleh lembaga-

lembaga tersebut masih belum jelas, padahal UU zakat sudah dilegalkan. Negara indonesia

merupakan negara yang tidak menangani langsung pengelolaan zakat, dan juga

pemerintahanya memungut pajak yang jumlahnya melebihi jumlah zakatnya, namun

pemerintah menggunakan sebagian pajak itu untuk semua atau sebgaian dari delapan ashnaf.

penggunaan zakat yang dapat kita diketahui lewat GBHN, pelita dan APBN nya, maka

apakah pembayaran pajaknya bisa diniati sebagai pembayaran zakatnya, atau dicarikan solusi

lain untuk menghindari kewajiban rangkap yang bisa memberatkan. Namun jika kita melihat

Sistem perpajakn sekarang ini memang sesuai dengan hukum-hukum syari’at islam, selama

pajak tersebut dikeluarkan dari orang yang wajib mengeluarkanya, serta berorientasi pada

kebaikan dan kemaslahatan bersama. Para ulama dan ilmuawan sepakat bahwa sebagian hak

orang-orang kaya wajib untuk dipungut pajak, namun pajak tersebut tidak dapat

menggantikan wajib zakatnya. Misal, seseorang telah membayar pajak 15% dari pengahsilan

neto 1 tahun, yang melebihi jumlah zakat yang hanya 2,5%, maka pembayaran pajak tersebut

tidak boleh serta diniati pembayaran zakatnya.

Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat tentang zakat dan pajak, tentunya hal yang perlu

dikedepankan dalam kiatanya dengan zakat dan pajak adalah sebuah konsep tentang

kemaslahatan dan keadilan. Artinya sebagai seorang yang beriman, orang (kaya) harus

mengeluarkan zakat sebagai kewajiban vertikalnya kepada Allah SWT. Dan sebagai warga

negara dia juga harus mnegeluarkan pajak sebagai kewajiban horizontalnya kepada negara.

[16]

Di samping berbagai politik yang ada di balik UU tentang zakat, yang perlu diketahui zakat

juga memperbaiki perasaan-perasaan yang buruk yang timbul diantara orang-orang yang kaya

Page 31: bacaan poliitik hukum.docx

dan miskin, dan memperbaiki hubungan antara mereka yang mengeluarkan zakat dengan

kelompok-kelompok yang menerima zakat, sehingga ketika mereka yang kaya tidak akan

khawatir ketika mengalami kerugian dan kendala dalam berdagang, karena mereka akan

mendapatkan bantuan dari orang lain. Zakat juga memperkuat keihklasan jiwa, dengan

keihlasan dan saling memahami, maka akan trejadi kerjasama soisal.[17]

Sebagai subjek pembahasan dalam keuangan publik islam, zakat tidak bisa dinilai hanya dari

aspkek politiknya saja, meskipun aspek zakat ini adalah aspek yang menunjukkan gambaran

karakteristiknya sebagai institusi keuangan publik dalam pemgertian konvensiuonal. Aspek

ritual zakat mempertahankan karakternya sebagai institusi khusus keuangan publik dari sudut

pandang islam, sebab zakat harus didistribusikan kepada publik. Karennaya, karakter khas

zakat terletak pada fakta aspek pendistribusianya lebih penting dari pengumpulanhya.[18]

IV. Kesimpulan

Dengan kewajiban zakat, nyatalah bahwa pemilik harta bukanlah pemilik mutlak tanpa

adanya ikatan-ikatan syari’at. Tapi didalam hak milik itu ada suatu tugas sosial yang wajib

ditunaikan sebagai makhluk sosial. Dalam UU No. 38 Tahun 1999 dinyatakan bahwa

“pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan

pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat”.

Sedangkan yang berwenang untuk mengelola zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ) yang

dibentuk oleh pemerintah, dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) bentukan masyarakat. Dalam hal

ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada

muzakki, mustahiq dan pengelola zakat. Maka dibuatkanlah UU zakat no 38 tahun 1999

(yang saat ini sudah diganti dnegan UU No. 23 Tahun 2011). Dan untuk menjamin

pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam undnag-undang ini ditentukan adnaya unsur

pertimbangan dan unsur pengawas, yang terdiri atas ulama’, kaum cendekiawan, masyarakat,

dan pemerintah serta adanya sanksi hukum terhadap penyelewengan-penyelewengan.

Zakat yang mempunyai fungsi sosial yang bertujuan untuk mencipatakan masyarakat islam

yang ideal, adil dan sejahtera, dimana orang yang mampu mmebagikan hartanya kepada yang

lemah, mungkin secara sederhana hal ini adalah guna pembagian zakat secara konsumtif,

namun diballik sisi konsumtif yang hendak di salurkan dari adanya dana zakat, juga terdapat

tujuan untuk hal produktif, seperti menambah modal usaha, pengembangan dana, dll. Hal itu

Page 32: bacaan poliitik hukum.docx

berarti zakat dapt dijadikan sebagai upaya pengentasan kemiskinan dan menciptalan

kesejahteraan umat

Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi, karena ia merupakan pajak harta yang

ditentukan, karena zakat juga dapat berfungsi sebagai pajak kepala seperti zakat fitrah, dan

kadang-kadang sebagai pajak kekayaan yag dipungut dari modal dan pendapatan seperti

halnya zakat mal pada umumnya. Zakat pada intinya adalah suatu sistem kegiatan politik,

karena pada dasarnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembagianya terhadap

sasaranya dengan memperhatikan asas keadilan, dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang

membutuhkan. Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat tentang zakat dan pajak, tentunya

hal yang perlu dikedepankan dalam kiatanya dengan zakat dan pajak adalah sebuah konsep

tentang kemaslahatan dan keadilan. Artinya sebagai seorang yang beriman, orang (kaya)

harus mengeluarkan zakat sebagai kewajiban vertikalnya kepada Allah SWT. Dan sebagai

warga negara dia juga harus mnegeluarkan pajak sebagai kewajiban horizontalnya kepada

negara.

V. Penutup

Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang secara tidak langsung telah

membimbing kami dalam pembuatan tulisan ini. Dan juga pemakalah sadar akan banyaknya

kekurangan dalam pembuatan tulisan ini. Untuk itu, dengan segenap kerendahan hati,

pemakalah bermaksud meminta kritik dan saran dari para pembaca, yang tentu saja kritik dan

saran yang tetap pada koridor membangun bagi sang pemakalah, dan semoga Allah selalu

senantiasa meridhoi setiap langkah kita, dan selalu membimbing kita ke arah jalan yang

benar, Aamin.

DAFTAR PUSTAKA

Al Ba’ly, Abdul Al Hamid Mahmud. Ekonomi Zakat; Sebuah Kajian Moneter Dan

Keuangan Syari’ah. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2006. Ed 1.

Aibak, Kutbuddin. 2009. Kajian Fiiqh Kontemporer; Edisi Revisi. Yogyakarta; Teras. Cet 1.

Page 33: bacaan poliitik hukum.docx

Ali, Nurudin Mhd. 2006. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakn Fiskal. Jakarta; Pt Raja

Grafindo Persada. Ed 1.

Hasan, Muhamad. Manajemen Zakat; Model Pengelolaan Yang Efektif. Yogyakarta; Idea

Press. 2011. Cet 1.

Mufraini, Arif. Akuntansi Dan Manajemen Zakat ; Mengkomunikasikan Kesadaran Dan

Membangun Jaringan. Jakarta; Kencana. 2006. Cet 1.

Sari, Elsi Kartika Pengantar Zakat dan Wakaf. Jakarta; Grasindo. 2006

Suharto, Ugi. 2004. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat Dan Pajak. Yogyakarta;

Pusat Studi Zakat. Cet 1

Sulaiman. AR, Dahlan. Dkk. 2010. Kompilasi Zakat. Peny; Ahmad Rofiq. Semarang; Balai

Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang. Cet 1.

Supena, Ilyas. Darmu’in. 2009. Manajemen Zakat. Semarang; Walisongo Pers. Cet 1.

Undang-Undang Zakat No. 38 Tahun 1999. PDF file. Diakses dari www.kemenag.go.id.

tanggal 30 September 2014.

Zuhri, Saifudin. Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun 2011.

2012. Semarang; Fak Tarbiyah Iain Walisongo Semarang. Cet 1.

[1] Saifudin Zuhri. Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun 2011.

Semarang; Fak Tarbiyah Iain Walisongo Semarang. 2012. Cet 1. Hlm 10.

[2] Sulaiman, Dahlan AR. Dkk. Kompilasi Zakat. Peny; Ahmad Rofiq. Semarang; Balai

Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang. 2010. Cet 1. Hlm V.

[3] Saifudin Zuhri. Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun 2011.

Semarang; Fak Tarbiyah Iain Walisongo Semarang. 2012. Cet 1. Hlm 2.

[4] Ilyas Supena, Darmu’in. Manajemen Zakat. Semarang;Walisongo Pers.2009. Cet 1. Hlm

62.

[5] Abdul Al Hamid Mahmud Al Ba’ly. Ekonomi Zakat; Sebuah Kajian Moneter Dan

Keuangan Syari’ah. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2006. Ed 1. Hlm 125.

Page 34: bacaan poliitik hukum.docx

[6] Sulaiman, Dahlan AR. Dkk. Kompilasi Zakat. Peny; Ahmad Rofiq. Semarang; Balai

Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang. 2010. Cet 1. Hlm 1, 10.

[7] Muhamadd Hasan. Manajemen Zakat; Model Pengelolaan Yang Efektif. Yogyakarta; Idea

Press. 2011. Cet 1. Hlm 15.

[8] Saifudin Zuhri. Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun 2011.

Semarang; Fak Tarbiyah Iain Walisongo Semarang. 2012. Cet 1. Hlm 112.

[9] Undang-Undang Zakat No. 38 Tahun 1999. PDF file. Diakses dari www.kemenag.go.id.

tanggal 30 September 2014.

[10] Arif Mufraini. Akuntansi Dan Manajemen Zakat ; Mengkomunikasikan Kesadaran Dan

Membangun Jaringan. Jakarta; Kencana. 2006. Cet 1. Hlm 191-192.

[11] Elsi Kartika Sari. Pengantar Zakat dan Wakaf. Jakarta; Grasindo. 2006. Hlm 89.

[12] Muhamadd Hasan. Manajemen Zakat; Model Pengelolaan Yang Efektif. Yogyakarta;

Idea Press. 2011. Cet 1. Hlm 38.

[13] Saifudin Zuhri. Zakat Di Era Reformasi (Tata Kelola Baru) Uu Zakat No 23 Tahun

2011. Semarang; Fak Tarbiyah Iain Walisongo Semarang. 2012. Cet 1. Hlm 111.

[14] Sulaiman, Dahlan AR. Dkk. Kompilasi Zakat. Peny; Ahmad Rofiq. Semarang; Balai

Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang. 2010. Cet 1. Hlm 5, 22.

[15] Nurudin Mhd.Ali. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakn Fiskal. Jakarta; Pt Raja

Grafindo Persada. 2006. Ed 1. Hlm 49 57 152 153.

[16] Kutbuddin Aibak. Kajian Fiiqh Kontemporer; Edisi Revisi. Yogyakarta; Teras. 2009.

Cet 1. Hlm157 164 171

[17] Abdul Al Hamid Mahmud Al Ba’ly. Ekonomi Zakat; Sebuah Kajian Moneter Dan

Keuangan Syari’ah. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2006. Ed 1. Hlm 134.

[18] Ugi Suharto. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat Dan Pajak. Yogyakarta; Pusat

Studi Zakat. 2004. Cet 1. Hlm 200.