BAB VIII Aidit Dn Bung Karno Tentang Revolusi Indonesia
-
Upload
dr-i-wayan-artika-spd-mhum -
Category
Documents
-
view
518 -
download
3
description
Transcript of BAB VIII Aidit Dn Bung Karno Tentang Revolusi Indonesia
BAB VIIIPOKOK-POKOK PIKIRAN PRESIDEN SOEKARNO DAN
D.N. AIDIT TENTANG REVOLUSI INDONESIA
Bab ini menyajikan hasil kajian pokok-pokok pikiran Presiden Soekarno
dalam buku Dibawah Bendera Revolusi (II), dengan titik berat pada tema, khususnya
pemikiran Presiden Soekarno mengenai Revolusi Indonesia karena buku tersebut
menjadikan revolusi sebagai ide yang menaungi perjuangan seluruh rakyat Indonesia
di atas jembatan emas kemerdekaanya. Buku tersebut memuat 20 judul pidato
Presiden Soekarno yang disampaikan pada setiap tanggal 17 Agustus selama periode
1945-1964 dalam rangka memperingati hari ulang tahun Republik Indonesia. Tulisan-
tulisan tersebut mencerminkan suatu dinamika masyarakat:
[...]Memang revolusi adalah dynamika masyarakat! Kemadjuan jang dynamis itu membawa konsolidasi jang lebih besar lagi disegala lapangan. (hal. 22)
Dalam buku tersebut revolusi merupakan bangunan pemikiran besar Presiden
Soekarno, yang akan membawa bangsa Indonesia mencapai cita-cita masyarakat adil
makmur atau sosialisme dalam pasang surut gelombang sejarah. Jika di dalam buku
tersebut muncul berbagai isu (kemerdekaan, persatuan, nasionalisme, kerja sama
internasional, konfrontasi, landreform, demokrasi, separatisme, dll.) maka semua itu
harus dibaca dalam kerangka revolusi karena revolusi adalah proses yang panjang,
selalu mengalami hambatan dan musuh-musuh (baik dari dalam maupun dari luar).
Karena itulah, bagi Presiden Soekarno (hal. 37) berjuang terus adalah cara
menyelesaikan Revolusi Indonesia.
173
Dalam bab ini juga disajikan hasil pengkajian pemikiran D.N. Aidit tentang
revolusi yang dikemukakan dalam buku Revolusi Indonesia, Latarbelakang sedjarah
dan haridepannja (kumpulan kuliah D.N. Aidit yang disampaikan pada Pendidikan
Kader Revolusi Angkatan Dwikora, September-November 1964, di Jakarta). Tujuan
penerbitan buku ini adalah untuk menyebarluaskan pengertian Manipol/Usdek di
kalangan para aktivis Indonesia pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya
Walaupun Aidit (1964b) banyak mengutip pandangan Presiden Soekarno
mengenai Revolusi Indonesia, tetapi buku ini mengembangkan ajaran revolusi
berdasarkan ideologi Marxis dalam rangka mencapai sosialisme Indonesia. Sesuai
dengan uraian pada Bab IV, revolusi dari segi pandangan Marxis yang dijalankan
oleh PKI, melahirkan suatu struktur masyarakat yang mengandung unsur, yaitu (1)
penderitaan rakyat (kaum tani dan buruh) karena penindasan dan pengisapan
imperialisme dan feodalisme, (2) perjuangan kelas untuk melawan kelas penindas
(imperialis, kapitalis, kaum feodal), dan (3) tercapainya sosialisme atau masyarakat
tanpa kelas karena alat-alat produksi sudah menjadi milik kemasyarakatan. dalam hal
ini massa rakyat pekerja (kaum tani dan buruh) yang tertindas.
8.1 Presiden Soekarno: Revolusi Indonesia
Menurut Presiden Soekarno, hakikat revolusi adalah perombakan, penjebolan,
penghancuran, pembinasaan segala keadaan yang tidak berguna dalam rangka
melahirkan dan membangun keadaan yang baru. Revolusi juga dikatakan suatu
perang melawan keadaan yang tua untuk melahirkan keadaan yang baru:
174
[...]Apa hakekat Revolusi? Revolusi adalah,[...]perombakan, pendjebolan, penghantjuran, pembinasaan dari semua apa jang kita tidak sukai, dan membangun segala apa jang kita sukai. Revolusi adalah perang melawan keadaan jang tua untuk melahirkan keadaan jang baru[...] (hal. 409)[...]Revolusi adalah perombakan dan pembangunan[...] (hal. 527)
Revolusi Indonesia tidak sekadar proklamasi atau pernyataan kemerdekaan
tetapi sebuah proses perjuangan yang membutuhkan waktu lama, berat dan pahit,
gegap gempita tenaga-tenaga destruktif dan konstruktif:
Revolusi Nasional bukanlah sekedar satu proklamasi, bukanlah sekedar satu pernjataan. Revolusi bukanlah sekedar satu detik-sedjarah. Revolusi adalah suatu proses perdjoangan jang kadang-kadang berdjalan lama, sering amat berat dan amat pahit, selalu gegap gempita. Revolusi adalah proses gegap-gempitanja tenaga-tenaga konstruktif dan destruktis didalam sedjarah. (hal. 79)[...]Revolusi bukan sekadar satu kedjadian-sehari, bukan sekadar satu evenement; revolusi adalah satu proses, satu proses destruktif dan konstruktif jang gegap-gempitanja kadang-kadang memakan waktu puluhan tahun. (hal. 141)[...]Revolusi adalah satu proses, Puluhan tahun kadang-kadang, berdjalan proses itu.—[...] (hal. 562)[...]Revolusi adalah satu proses pandjang jang dinamis[...] (hal. 564)
Sejalan dengan itu, revolusi adalah gerak maju meninggalkan hari kemarin sehingga
terjadilah perubahan besar yang diikuti oleh pertumbuhan-pertumbuhan yang cepat.
Sebagai sebuah proses, revolusi adalah menjebol dan membangun, membangun dan
menjebol. Dalam ungkapan lain Presiden Soekarno menjelaskan bahwa revolusi
adalah membangun hari esok dan meninggalkan hari kemarin. Dengan demikian,
revolusi tidak pernah berhenti di tengah jalan, tidak akan akan mati karena
sesungguhnya revolusi adalah tenaga gelombang, tenaga angin topan, dan aliran
sungai. Karena itulah sekali revolusi dicetuskan maka tugas bangsa Indonesia untuk
meneruskan revolusi itu sampai tercapai segala tujuan.
[...]Revolusi adalah Gerak, Revolusi adalah Gerak Madju meninggalkan hari kemaren, --”Revolution rejects yesterday”. (hal. 291)
175
[...]—Revolusi jang pada hakekatnja adalah satu perdjalanan, satu proses, satu gerak[...] (hal. 561)Revolusi adalah satu perobahan jang amat besar, diikuti oleh pertumbuhan-pertumbuhan jang amat tjepat. (hal. 299)[...]Revolusi adalah mendjebol dan membangun. Membangun dan mendjebol. Revolusi adalah ”build tomorrow” and ”reject yesterday”. Revolusi adalah ”construct tomorrow” and pull yesterday”. […] Revolusi adalah laksana gelombang samudra jang selalu mengalir, laksana taufan jang selalu meniup.[...] (hal. 397)[...]Revolusi adalah rantai kedjadian-kedjadian memukul dan dipukul, rantai kedjadian-kedjadian menggempur dan digempur, rantai kedjadian mendjebol dan membangun, --berganti-ganti ini harus dirasakan sebagai irama romantikanja Revolusi[....] (hal. 562)[...]sekali kita mentjetuskan Revolusi, kita harus meneruskan Revolusi itu sampai segala tjita-tjitanja terlaksana. Ini stjara mutlak merupakan hukum Revolusi, jang ta’ dapat dielakkan lagi dan ta’ dapat ditawar-tawar lagi![...] (hal. 399) Karena itu Revolusi Indonesia adalah satu Revolusi[...]jang ta’ dapat mati dan ta’ akan mati[....] (hal. 592)[...]”Mengalirlah, hai sungai Revolusi Indonesia, mengalirlah ke Laut, djangnlah mandek, sebab dengan mengalir ke Laut itu, kamu setia kepada sumbermu!” (hal. 597)
Menurut Presiden Soekarno, dekonstruksi dan konstruksi adalah perwujudan
dari proses yang dinamis-dialektis dan dialektis-dinamis, ibarat suatu simfoni yang
hebat dari kemenangan atas musuh dan kemenangan atas diri sendiri:
[...]maka Revolusi adalah satu proses jang dinamis-dialektis, dan dialektis-dinamis, satu simfoni hebat dari kemenangan atas musuh dan kemenangan atas-diri-sendiri.[...] (hal. 283)
Proses tersebut menimbulkan berbagai perubahan dan pergolakan ke arah
terbentuknya dunia baru. Dalam pandangan mendasar Presiden Soekarno, yang
dimaksud dengan dunia baru adalah dunia tanpa kolonialisme, tanpa penindasan,
tanpa pengisapan, tanpa diksiriminasi:
[...]perobahan-perobahan dan pergolakan-pergolakan kearah pembentukan satu Dunia-Baru, jang tiada kolonialisme didalamnja, tiada exploitation de l’homme par l’homme, tiada penindasan, tiada pengisapan, tiada diskriminasi[...] (hal. 401)
Proses dekonstruksi dan konstruksi di dalam suatu revolusi adalah gagasan yang
sangat mendasar bagi Presiden Soekarno. Dalam suatu revolusi, dekonstruksi dan
konstruksi dapat dirumuskan sebagai fase atau tahapan revolusi. Menurut Presiden
176
Soekarno, fase konstruksi selalu meminta lebih banyak waktu ketimbang fase
dekonstruksi:
Memang pelaksanaan faset konstruksi dalam sesuatu revolusi selalu meminta lebih banjak waktu dari pada faset dekonstruksinya.[...] (hal. 166)
Dalam pengungkapan yang lain, fase dekonstruksi dan fase konstruksi itu digunakan
sebagai kerangka untuk menggambarkan tingkatan dalam Revolusi Indonesia. Pada
tahun 1957, dalam pandangan Presiden Soekarno, Revolusi Indonesia telah mencapai
tingkatan kedua, yaitu membina bangsa. Tingkatan pertama adalah memecahkan
belenggu untuk mencapai kemerdekaan:
[...]Kita sekarang ini, sudah sering saja katakan dalam pidato-pidato, berada dalam tingkatan kedua daripada Revolusi kita, jaitu tingkatan ”nationbuilding”. Tingkatan membina natie, tingkatan membina bangsa. Tingkatan pertama daripada Revolusi kita ialah tingkatan ”memetjahkan belenggu?, ”pemerdekaan”, tingkatan ”liberation”. (hal. 300-301)
Pada tingkatan kedua ini, diperlukan revolusi mental, yaitu peremajaan jiwa bangsa
(hal. 304). Pandangan mengenai tingkatan revolusi tersebut, dapat dihubungkan
dengan pandangan Presiden Soekarno yang mengatakan bahwa bangsa manapun di
dunia ini, termasuk Indonesia mengalami dua revolusi, yaitu revolusi politik dan
revolusi sosial. Revolusi politik adalah perjuangan merebut hak memerintah diri
sendiri dari tangan penjajah. Revolusi sosial adalah perjuangan untuk menghapuskan
pertentangan kelas untuk mencapai keadilan. Menurut Presiden Soekarno, keadilan
sosial atau keadilan bagi anggota masyarakat akan mengakhiri pertentangan kelas:
[...]”Sekarang saja dapat menerangkan, bahwa kita ini memasuki dua revolusi, bukan satu. Semua rakjat diduni ini memasuki dua revolusi: satu revolusi politik jang merebut hak memerintah diri sendiri dari tangannja kezaliman,....dan satu revolusi sosial, termasuk di dalamnja pertentangan kelas, jang akan berachir bilamana keadilan telah terdjamin untuk semua angauta-anggauta daripada bangsa itu.[...] (hal. 336)
177
Dalam versi yang lain, Presiden Soekarno menyusun periodisasi Revolusi Indonesia,
yang terdiri atas tiga periode, yaitu (1) 1945-1950 revolusi fisik/revolusi politik, (2)
1950-1955 survival, dan (3) 1956-... sosial ekonomis atau periode investment:
1945-1950. Tingkatan physical Revolution. Dalam tingkatan ini kita merebut dan mempertahankan apa jang kita rebut itu, jaitu kekuasaan, dari tangannja fihak imperialis, kedalam tangan kita sendiri.[...] 1950-1955. Tingkatan ini saja namakan tingkatan ”survival”. Survival artinja tetap hidup, tidak mati. Lima tahun physical revolution tidak membuat kita rebah,[...] 1956. Mulai dengan tahun ini kita ingin memasuki satu periode baru. Kita ingin memasuki periodenja Revolusi sosial-ekonomis, untuk mentjapai tudjuan terachir daripada Revolusi kita, jaitu satu masjarakat adil dan makmur, ”tata-tentrem-kerta-rahardja”. (hal. 352-353)
Pada tahun 1963, Presiden Soekarno mengemukakan versi lain lagi dari
periodisasi Revolusi Indonesia, yang terdiri atas dua periode, yaitu (1) 1945-1950
periode survival I dan (2) 1950-1962 periode survival II (hal. 529).
Di samping membangun suatu konsep mengenai revolusi, Presiden Soekarno
juga merumuskan hukum Revolusi Indonesia, yang terdiri atas enam syarat, yaitu (1)
revolusi harus memiliki kawan dan lawan, (2) Revolusi Indonesia adalah revolusi
rakyat, (3) revolusi adalah proses destruksi konstruksi, (4) revolusi melalui tahap-
tahapan, (5) revolusi memiliki program yang jelas, dan (6) revolusi harus memiliki
sokoguru yang tepat, pemimpin yang berwawasan jauh kepada masa depan (hal. 572-
573).
Pada bulan Agustus 1959 Presiden Soekarno mengemukakan bahwa revolusi
pada zaman itu adalah revolusi yang kompleks dan simultan karena melibatkan
berbagai persoalan (politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan). Hal ini juga terjadi di
dalam Revolusi Indonesia:
178
[...]Revolusi djaman sekarang adalah revolusi jang multi-kompleks. Ia adalah revolusi jang simultan. Ia adalah revolusi jang sekaligus ”memborong” berbagai persoalan. Misalnja Revolusi kita. Revolusi kita ini ja revolusi politik, ja revolusi ekonomi, ja revolusi sosial, ja revolusi kebudajaan, ja revolusi segala matjam. (hal. 388)
Persoalan-persoalan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan dijabarkan oleh
Presiden Soekarno sebagai satu kerangka tujuan jangka pendek Revolusi Indonesia.
Sedangkan tujuan akhir revolusi adalah bangsa Indonesia secara penuh mencapai
kemerdekaan, kemakmuran, keadilan, kedamaian, sejahtera, sesuai dengan amanat
penderitaan rakyat dan sesuai dengan cita-cita nenek moyang Indonesia, yaitu gemah
ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.
[...]memperdjoangkan mati-matian segala tudjuan Revolusi, --jaitu ja tudjuan politik, ja tudjuan ekonomi, ja tudjuan sosial, ja tudjuan kebudajaan, --buat tingkatan jang sekarang, buat tingkatan-depan jang dekat, buat tingkatan-depan terachir, --tingkatan Finale, jang Merdeka-Penuh, Makmur-Penuh, Adil-Penuh, Damai-Penuh, Sedjahtera-Penuh, sesuai dengan Amanat Penderitaan Rakjat, dan sesuai dengan udjaran-udjaran nenek mojang kita: ”gemah-ripah loh djinawi, tata tentrem kerta rahardja”! (hal. 404)[...]sasaran Revolusi jang sesungguhnja: jaitu masjarakat adil dan makmur berdasarkan Pantja Sila[....] (hal. 532)
Tujuan akhir Revolusi Indonesia semakin jelas sebagaimana hal itu diungkapkan di
dalam pidato Presiden Soekarno bulan Agustus tahun 1963, yaitu sosialisme:
[...]Tjukuplah alasan untuk berderap terus kearah Fadjar Sosialisme jang telah menjingsing ditjakrawala Indonesia[....] (hal. 535) Revolusi kita bukan sekadar mengusir Pemerintahan Belanda dari Indonesia. Revolusi Indonesia menudju lebih djauh lagi daripada itu.[...]Revolusi Indonesia menudju Sosialisme! Revolusi Indonesia menudju kepada Dunia Baru tanpa exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation[....] (hal. 566-567)
Walaupun demikian, Presiden Soekarno menetapkan bahwa Revolusi Indonesia
adalah Revolusi Nasional, yang meliputi revolusi politik, revolusi sosial, revolusi
kebudayaan. Dalam pidato bulan Agustus 1960, Presiden Soekarno menambahkan
satu jenis revolusi yaitu revolusi kemanusiaan. Revolusi-revolusi tersebut
179
berlangsung di dalam satu generasi. Keadaan tersebut diistilahkan oleh Presdien
Soekarno dengan revolusi pancamuka atau multi-kompleks:
[...]bahwa Revolusi kita ini ja Revolusi Nasional, ja Revolusi politik, ja Revolusi sosial, ja Revolusi Kebudajaan, ja Revolusi Kemanusiaan. Revolusi kita kataku adalah satu Revolusi Pantjamuka, satu Revolusi jang ”a summing up of many revolutions in one generation”[…] (hal. 401)
Konstruksi dan dekonstruksi dalam revolusi yang terjadi secara terus-menerus, adalah
perjuangan terus-menerus yang dilakukan oleh suatu bangsa yang sedang
menjalankan revolusi. Menurut Presiden Soekarno, perjuangan itu dalam rangka
menghadapi musuh dari luar maupun musuh dari dalam yang menghambat jalannya
revolusi:
[...]Tetapi Revolusi djuga baru benar-benar Revolusi, kalau ia terus-menerus berdjoang. Bukan sadja berdjoang keluar menghadapi musuh, tetapi berdjoang kedalam memerangi dan menundukkan segala segi-segi negatif jang menghambat atau merugikan djalannja Revolusi itu.[...] (hal. 283)
Dalam perjuangan tersebut akan selalu muncul konfrontasi terhadap rintangan-
rintangan yang menghalangi jalannya revolusi, kontrarevolusi, golongan-golongan
dalam masyarakat yang tidak mengehendaki perubahan-perubahan (hal. 533).
Menurut Presiden Soekarno, Revolusi Indonesia tidak cukup jika hanya berjalan
tetapi harus bertumbuh meluas dan mekar sesuai dengan tuntutan zaman, amanat
penderitaan rakyat, revolusi kemanusiaan universal:
Sebab djangan lupa: Revolusi kita terus berdjalan, dan bukan sadja berdjalan, tetapi harus bertumbuh, dalam arti pengeluasan, bertumbuh dalam arti pemekaran konsepsi-konsepsi, sesuai dengan tuntutan zaman, sesuai dengan tuntutan Amanat Penderitaan Rakyat, sesuai dengan tuntutan The Universal Revolution of Man. (hal. 560)
Dalam pidato bulan Agustus tahun 1959 misalnya, Presiden Soekarno dengan
tegas mengatakan musuh-musuh Revolusi Indonesia, yang disebutnya setan-setan
180
(liberalisme, federalisme, individualisme, sukuisme, golonganisme, penyelewengan,
korupsi, sistem multipartai, pemberontakan) yang menghambat Indonesia mencapai
tujuan revolusi:
Sjaitan liberalisme, sjaitan federalisme, sjaitan individualisme, sjaitan sukuisme, sjaitan golonganisme, sjaitan penjelewengan-penjelewengan, sjaitan kepetualangan, sjaitan dualisme empat matjam, sjaitan korupsi, sjaitan garuk-kekajaan hantam kromo, sjaitan multyparty system, sjaitan pemberontakan, --segala matjam sjaitan telah menerkam kita didalam inferno itu dan sekarang kita mengalami purgatorio disegala lapangan. Herorientasi, herordening, reshaping, remaking, --itu semua adalah purgatorio jang perlu, agar supaja kita bisa melandjutkan perdjalanan kita diatas relnja Revolusi, menuju kepada tudjuan Revolusi. (hal. 376)
Presiden Soekarno menyadari bahwa tiap-tiap revolusi memunyai musuh, yaitu
pihak-pihak yang mempertahankan keadaan yang lama. Mereka adalah pihak yang
kontrarevolusi:
[...]Tiap-tiap Revolusi mempunjai musuh, jaitu orang-orang jang hendak mempertahankan atau mengembalikan keadaan jang tua. Tiap-tiap Revolusi menghadapi orang-orang jang ”kontra” kepadanja[...] (hal. 409)
Karena Revolusi Indonesia tidak sama dengan proklamasi, dalam hal ini Proklamasi
17 Agustus 1945, maka Revolusi Indonesia belum selesai dan selama itu perjuangan
tetap berlangsung dalam rangka mencapai cita-cita nasional (hal. 113). Untuk
mewujudkan cita-cita nasional melalui revolusi maka harus ada persatuan nasional:
[...]syarat mutlak untuk berhasilnja Revolusi Nasional ialah Persatuan Nasional jang mutlak pula. (hal. 118)
Persatuan nasional adalah kekuatan dan kesatuan tekad bangsa Indonesia (hal. 201).
Tanpa persatuan terlalu besar risiko bagi masa depan revolusi. Dalam hal ini Presiden
Soekarno menyerukan agar bangsa Indonesia kembali kepada persatuan:
Bangsaku, kembalilah kepada persatuan! Terlalu besar risiko jang kita ambil buat kemudian hari, kalau kita sekarang tidak mengamalkan sekedar pengekangan sentimen. Lagi
181
pula, lupakah kita bahwa Revolusi Nasional belum selesai, kok kita lebih sibuk mentjari salahnja orang lain daripada memikirkan melandjutkan Revolusi Nasional?[...] (hal. 234)
Sehubungan dengan tujuan untuk menggalang persatuan nasional di dalam revolusi,
maka segala pertentangan tidak boleh diperuncing. Presiden Soekarno menyadari
bahwa pertentangan tersebut terjadi karena nafsu-nafsu ingin menang bagi golongan
dan paham sendiri (hal. 175). Untuk melawan nafsu menang sendiri, Presiden
Soekarno mengajak bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke berada dalam satu
barisan yang utuh, tidak terpecah-pecah karena sengketa politik:
[...]Mari kita semua bangsa Indonesia jang 80.000.000 dari Sabang sampai ke Merauke berdjalan terus. Dalam satu barisan jang utuh, tidak terpetjah-petjah oleh persengketaan politik[...] (hal. 190)
Di samping untuk mencapai cita-cita nasional, Revolusi Indonesia adalah untuk
melawan kapitalisme dan imperialisme serta untuk mematikan kolonialisme:
[...]maka Revolusi kita adalah djustru untuk mendjauhi kapitalisme dan imperialisme. (hal. 141)[...], bahwa Revolusi kita ini ialah Revolusi Nasional. Revolusi jang sjarat mutlak untuk berhasil ialah anti-imperialis jang ada dalam bangsa itu. (hal. 175)Revolusi kita belum selesai, Revolusi mematikan kolonialisme belum selesai, Revolusi pembangunan belum selesai.[...] (hal. 190)
Jika dikaitkan dengan Pancasila, Revolusi Indonesia mengandung elemen
kerakyatan dan keadilan sosial. Menurut Presiden Soekarno, kedua elemen tersebut
merupakan api penyemangat/pembakar revolusi. Di samping itu, kerakyatan dan
keadilan juga adalah tuntutan kepada Revolusi Indonesia:
[...]Kerakjatan dan Keadilan Sosial ini merupakan elemen-elemen jang penting didalam tjita-tjita Revolusi Nasional kita. Kedua-duanja merupakan api-penjemangat Revolusi kita, api-Pembakar Revolusi kita. Kedua-duanja merupakan tuntutan dari Revolusi kita, dan tuntutan kepada Revolusi kita pula. (hal. 198)
182
Secara lebih konkret, Presiden Soekarno mengatakan bahwa elemen kerakyatan
dalam Revolusi Indonesia adalah rakyat sebagai pembuat, motor atau tenaga
penggerak dan revolusi itu sendiri:
[...]Mereka, mereka, Rakjat djelata jang berpuluh-puluh djuta, mereka Rakjat djelata dikota-kota dan didesa-desa, mereka Rakjat djelata digubuk-gubuk dan dipinggir sungai, mereka Rakjat djelata dari Sabang sampai Merauke, merekalah pembuat, merekalah motor Revolusi, Merekalah Revolusi! (hal. 278-279)
Revolusi Indonesia adalah revolusi rakyat yang digerakkan oleh kekuatan rakyat.
Bagi Presiden Soekarno, rakyat adalah cita-cita dan tekad. Rakyat adalah ide
kemerdekaan dalam menentukan nasib sendiri (hal. 278). Karena itulah, pada bulan
Agustus 1958 Presiden Soekarno mengemukakan bahwa perjuangan partai politik
dalam revolusi adalah mengabdi kepada revolusi dan perjuangan rakyat:
[...]Partai didalam Revolusi kita ini harus melulu organisasi menjusun tenaga Rakjat, melulu mengabdi kepada perdjoangan Revolusi dan perdjoangan Rakjat! (hal. 333)
Hal itu dipertegas dengan ungkapan bahwa setiap revolusi adalah revolusi rakyat,
revolusi massa:
[...],tiap revolusi adalah revolusi Rakjat, revolusi Massa, bukan sebagai diabad-abad jang lalu, jang revolusi-revolusinja adalah sering sekali revolusinja segundukan manusia-atasan sadja, [...]: ”Tidak ada satu perobahan besar didalam riwajat-dunia jang akchir-achir ini, jang lahirnja tidak karena massa-actie” (387)
Revolusi tidak mungkin bisa berjalan sepenuhnya tanpa keikutsertaan seluruh rakyat
karena Revolusi Indonesia bukan revolusi pemimpin tetapi revolusi rakyat. Revolusi
rakyat adalah revolusi yang digerakkan oleh tenaga rakyat dan untuk mencapai tujuan
yang menguntungkan rakyat:
[...]Revolusi ta’ mungkin berdjalan penuh tanpa ikut-ber-Revolusinja seluruh Rakjat[....] (hal. 428)
183
[...]bahwa Revolusi ini bukan ”Revolusi Pemimpin”, tetapi Revolusi Rakjat dengan tenaga Rakjat dan dengan tudjuan jang menguntungkan kepada Rakjat[....] (hal. 494)
Karena sedemikian pentingnya kekuatan rakyat di dalam revolusi, maka Revolusi
Indonesia tidak akan gagal jika rakyat tetap setia dengan tujuan revolusi (Indonesia
yang merdeka penuh, bersih dari imperialisme, Indonesia yang demokratis dan bersih
dari sisa-sisa feodalisme, Indonesia yang sosialis dan bersih dari kapitalisme, bersih
dari penindasan dan pengisapan manusia oleh manusia) dan amanat penderitaan
rakyat:
[...]Revolusi Indonesia tidak gagal, dan tidak akan gagal, selama Rakjat Indonesia setia kepada tudjuan Revolusi dan setia kepada Amanat Penderitaan Rakjat. Revolusi Indonesia tidak gagal, karena kita berdjoang terus untuk melaksanakan tjita-tjita Revolusi Agustus ’45, ja’ni untuk Indonesia jang merdeka-penuh bersih dari imperialisme, --untuk Indonesia jang demokratis bersih dari sisa-sisa feodalisme, --untuk Indonesia bersosialisme Indonesia, bersih dari kapitalisme dan ”exploitation de l’homme par l’homme”. (hal. 398-398)
Presiden Soekarno menjelaskan bahwa Revolusi Indonesia yang berdasar kepada
amanat penderitaan rakyat adalah revolusi kiri karena Revolusi Indonesia adalah
revolusi rakyat:
[...]bahwa Revolusi kita ini memang sedari asal-mulanja ”Revolusi Kiri”, Revolusi Rakjat, Revolusi A.P.R.![...] (hal. 444)
Sejalan dengan itu, Presiden Soekarno secara khusus menyebut bahwa buruh dan tani
adalah sokoguru revolusi karena mereka adalah tenaga yang paling produktif (hal.
543). Sebutan ini menunjukkan, adanya perbedaan pengertian rakyat dengan buruh
dan tani.
Pada bulan Agustus 1961 Presiden Soekarno mencetuskan gagasan revolusi
kemanusiaan. Gagasan ini lahir dari kenyataan dunia bahwa sebagian besar rakyat
dihegemoni oleh penjajahan, penindasan, dan pengisapan negara-negara imperialis.
184
Keadaan tersebut merupakan ketidakadilan yang tidak bisa dibiarkan. Menurut
Presiden Soekarno, Rakyat tertindas di seluruh dunia sedang menjalankan Revolusi
Besar atau Revolusi Kemanusiaan. Revolusi Indonesia sejalan dengan revolusi
tersebut:
[...]Di dalam pidato-pidato saja jang terdahulu sudah saja katakan, bahwa imbangan dunia beberapa tahun jang lalu didasarkan atas hegemoni, pendjadjahan, penindasan, pengisapan lebih dari 2000 djuta manusia oleh kurang dari 500 djuta manusia, dan bahwa kini sebagai reaksi terhadap ketidak adilan itu tiga perempat (sedikitnja) daripada ummat manusia dimuka bumi ini berada didalam satu Revolusi-Besar jang saja namakan Revolusinja Kemanusiaan, --the Revolution of Mankind—Dan bahwa Revolusi kita ini adalah sebagian sadja daripada Revolusi Kemanusiaan itu. Tjita-tjita Revolusi kita adalah, kataku, kongruen dengan ”the social conccience of Man”.[...] (hal. 475)
Revolusi kemanusiaan tersebut dan Revolusi Indonesia saling menjalin. Di dalam
Revolusi Indonesia, terdapat segi kemanusiaan yang mendasar. Revolusi Indonesia
juga bergema ke seluruh dunia karena memiliki suara universal (universal voice):
Dus Amanat Penderitaan Rakjat kita bukanlah sekadar satu pengertian atau tuntutan nasional belaka. Amanat Penderitaan Rakjat kita bukan sekadar satu ”hal Indonesia”. Amanat Penderitaan Rakjat kita mendjalin kepada Amanat Penderitaan Ummat Manusia, Amanat Penderitaan Ummat Manusia mendjalin kepada Amanat Penderitaan Rakjat kita. Revolusi Indonesia mendjalin kepada Revolusi Ummat Manusia, Revolusi Ummat Manusia mendjalin kepada Revolusi Indonesia. Pernah saja gambarkan hal ini dengan kata-kata: ”there is an essential humanity in the Indonesian Revolution”. Pernah pula saja katakan bahwa Revolusi Indonesia mempunjai suara jang ”mengumandang sedjagad”, ja’ni bahwa Revolusi Indonesia mempunyai ”universal voice”. (hal. 522)
Di samping itu, hubungan erat antara Revolusi Indonesia dengan Revolusi
Kemanusiaan karena kedua revolusi tersebut tidak hanya mementingkan pencapaian
keunggulan materi tetapi sama-sama mengarah kepada tuntutan terhadap pencapaian
rasa keadilan di berbagai lapangan dan rasa keinsanan (humanisme):
Revolusi Indonesia bukan hanja mengedjar keunggulan materi, bukan hanja mengabdi kepada pemuasan benda sadja. Dan Revolusi Ummat Manusiapun bukan hanja mengedjar keunggulan materi atau hanja mengabdi kepada pemuasan benda sadja. Tidak, Revolusi Indonesia dan Revolusi Ummat Manusia adalah lebih tinggi daripada itu! Revolusi Indonesia ditjetuskan untuk menuntut pemuasan daripada Rasa Bangsa Indonesia, --Rasa Keadilan
185
disegala lapangan, Rasa Ke-Insanan, Rasa ”dignity of man”,-- dan Revolusi Ummat Manusiapun mengarahkan diri kepada Rasa-Rasa itu. (hal. 527-528)
Karena itu, gengsi Revolusi Indonesia di mata dunia melambung tinggi. Menurut
Presiden Soekarno, dunia internasional menilai bahwa Revolusi Indonesia adalah
revolusi umat manusia terbesar sepanjang sejarah, sebagai revolusi yang paling
progresif, dinamis, dan dialektik di tengah-tengah zaman modern:
Gengsi Revolusi Indonesia diluar negeri membubung setinggi langit!! Banjak orang diluar negeri sekarang ini menganggap Revolusi Indonesia jang Terbesar dikalangan Ummat Manusia sepandjang masa, satu Revolusi jang paling modern dalam arti progressivitet jang dinamis dan dialektis, dalam gegap-gempitnja dunia modern zaman sekarang.
Setelah mengembangkan konsep Revolusi Indonesia, maka pada tahun 1964,
Presiden Soekarno menyampaikan kata-kata pujian kepada revolusi dan bangsa
Indonesia yang sedang berrevolusi karena Revolusi Indonesia memekikkan
kemerdekaan, sosialisme, dan dunia baru:
[...]Engkau Bangsaku Indonesia, engkau jang sedang berrevolusi dalam tubuh bangsa sendiri, dan engkau pula jang sedang berrevolusi untuk merobah keadaan seluruh ummat manusia! Allahu akbar, --alangkah uletmu, alangkah tinggi daja-tahanmu! Alangkah tegap-tegas derap-langkahmu! Dengan Rakjat seperti engkau itu aku bisa dengungkan keseluruh muka bumi pekik-perdjoangan kita jang berbunji ”Kemerdekaan-Sosialisme-Dunia Baru”[....] (hal. 597)
Hal itu adalah landasan pandangan Presiden Soekarno bahwa Revolusi Indonesia
adalah revolusi mahabesar karena mengejar satu ide besar yaitu pelaksanaan amanat
penderitaan rakyat Indonesia dan amanat penderitaan rakyat seluruh muka bumi:
[...]Revolusi Indonesia memang Revolusi Maha Besar jang mengedjar satu Idee, --Idee Besar, ja’ni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat Indonesia, dan Amanat Penderitaan Rakjat diseluruh muka bumi[....] (hal. 598)
Pemikiran besar Presiden Soekarno mengenai Revolusi Indonesia
mengandung pengertian-pengertian pokok bahwa bangsa Indonesia setelah
Proklamasi 17 Agustus 1945 melakukan perjuangan atau revolusi untuk mencapai
186
cita-cita nasional yang jauh lebih tinggi daripada kemerdekaan dari penjajah. Selama
proses tersebut berlangsung terjadilah tindakan menjebol dan membangun,
membangun dan menjebol dalam dialektika yang dinamis. Kekuatan, motor
penggerak, dan sekaligus revolusi itu sendiri adalah rakyat Indonesia yang menderita
karena itulah Revolusi Indonesia bukan revolusi istana tetapi rakyat. Pada konteks
ini, peranan kaum tani dan buruh sangat besar, yaitu segai sokoguru revolusi. Sebagai
revolusi rakyat, revolusi Indonesia adalah revolusi kiri. Revolusi Indonesia yang
bergerak di dalam tiga bidang, yaitu sosial, politik, dan kebudayaan, sejalan dengan
dan menjadi bagian dari revolusi umat manusia sedunia karena itulah Revolusi
Indonesia juga bergerak di dalam bidang kemanusiaan.
8.2 D.N. Aidit : Revolusi Indonesia
Menurut Aidit (1964b: 39), revolusi adalah suatu perjuangan untuk
menumbangkan kekuasaan lama yang menghambat kemajuan material dan spiritual
dan membangun kekuasaan baru yang melapangkan jalan untuk mencapai kemajuan
dalam kehidupan politik, ekonomi, dan kebudayaan. Dalam ungkapan lain, Aidit
mengutip pendapat Presiden Soekarno:
Setjara tepat Presiden Soekarno merumuskan dalam Djarek tentang arti dan hakekat tiap-tiap Revolusi, jaitu Perombakan, pendjebolan, penghantjuran, pembinasaan dari semua apa jang kita tidak sukai, dan membangun segala apa jang kita sukai. Revolusi adalah perang melawan keadaan jang tua untuk melahirkan keadaan jang baru.
Bagi Aidit, revolusi sangat penting karena dapat mengubah susunan masyarakat lama
dan membangun susunan masyarakat baru:
187
Karena itu revolusi merupakan peristiwa jang penting, ia mengubah susunan masjarakat jang lama, dan membangun serta melapangkan djalan bagi pertumbuhan masjarakat jang baru, jang lebih madju[...] (hal. 39)
Aidit mengemukakan satu contoh, yaitu Revolusi Agustus 1945. Dengan menjebol
kekuasaan kolonial maka harus segera dibangun kekuasaan baru yang bertujuan
menghancurkan segala sistem ekonomi kolonial dan pengekangan-pengekangan
kolonial. Keadaan tersebut digantikan oleh sistem ekonomi nasional yang demokratis
untuk memenuhi persyaratan terciptanya kehidupan politik, ekonomi, dan
kebudayaan. Terhadap keadaan tersebut, Aidit mengemukakan bahwa Revolusi
Indonesia belum selesai:
[...]Dalam artian inilah kita sekarang menghadapi tugas menjelesaikan Revolusi Indonesia[....] (hal. 40)
Menurut Aidit, sifat-sifat revolusi ditentukan oleh hubungan produksi atau
sistem ekonomi masyarakatnya (hal. 40). Melalui hubungan produksi atau sistem
ekonomi, akan diketahui kelas-kelas mana yang menjadi tenaga-tenaga pokok atau
penggerak-penggerak utama; serta kelas-kelas mana yang menjadi musuh:
Dengan menentukan sifat atau watak suatu Revolusi, kita akan dapat pula menentukan golongan-golongan mana atau klas-klas mana jang mendjadi kekuatan pokok dan tenaga-tenaga penggerak revolusi, serta klas-klas mana jang mendjadi musuh-musuh revolusi[....] (hal 41)
Sejalan dengan itu, Aidit mengutip Manipol, bahwa yang menjadi kekuatan sosial
Revolusi Indonesia adalah seluruh rakyat dan kekuatan pokoknya adalah kaum buruh
dan kaum tani:
[...]kekuatan-kekuatan sosial Revolusi Indonesia adalah ...... seluruh Rakjat Indonesia dengan kaum tani dan kaum buruh sebagai kekuatan pokoknja tanpa melupakan peran penting dari golongan-golongan lain...(hal. 41)
188
Sehubungan dengan kekuatan rakyat dalam revolusi Indonesia, Aidit mengutip
kembali pandangan Presiden Soekarno bahwa Revolusi Indonesia bukan revolusi
istana tetapi revolusi rakyat. Hal itu sejalan dengan pandangan Aidit bahwa sebuah
revolusi tidak mungkin terjadi jika tidak didukung oleh kekuatan massa rakyat:
[...]revolusi tidaklah mungkin ditjetuskan oleh bagian ketjil masjarakat, jang tidak bersandar pada massa Rakjat[....] (hal 41)
Aidit juga mengutip pendapat Lenin mengenai revolusi rakyat, bahwa revolusi adalah
pesta pesta rakyat yang tertindas, rakyat yang berabad-abad ditindas dan diisap, untuk
mencapai kebebasan.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, yang menjadi musuh yang harus
dilawan oleh Revolusi Indonesia adalah imperialisme, feodalisme untuk mencapai
Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis. Aidit memandang bahwa kekuasaan
modal Amerika semakin kuat seiring dengan semakin meningkatnya investasi di
Indonesia, khususnya di bidang pertambangan. Karena itu, Amerika adalah musuh
utama yang paling berbahaya bagi rakyat Indonesia dan dunia:
[...] maka dewasa ini musuh utama dan jang paling berbahaja dari Rakjat Indonesia, dan djuga dari Rakjat-rakjat seluruh dunia, adalah imperialisme Amerika Serikat jang langsung mendukung projek neokolonialis dari imperialisme Inggris, yaitu ”Malaysia”[...] (hal. 49)
Sehubungan dengan kekuasaan imperialisme Amerika di bidang ekonomi, Aidit
mengecam politik kaum imperialis di Indonesia:
Djelaslah, bahwa politik kaum imperialis dilapangan ekonomi jalah: berusaha terus mendjadikan Indonesia sebagai tempat penanaman modal monopoli, sebagai pasar barangdagangannja dan sebagai sumber bahan mentah untuk industrinja[...] (hal. 50).
Bagi Aidit, kekuasaan imperialisme di dalam lapangan ekonomi juga berpengaruh
dalam lapangan politik. Kekuasaan imperialis di Indonesia tidak terlepas dari peranan
189
kaum komprador (agen-agen orang Indonesia) yang mengabdi kepada kepentingan
imperialis:
Untuk mendjamin keselematan kapitalnja dan memudahkan eksploitasinja terhadap Rakjat Indonesia, kaum imperialis menggunakan komprador-komprador (agen-agen) di-kota-kota dan unsur-unsur tuantanah didesa-desa. Kaum komprador adalah pembantu-pembantu imperialis jang mendjalin kepentingannja dengan kepentingan imperialis, jang mengabdi kepada kepentingan-kepentingan imperialis[...] (hal. 50)
Di samping karena peranan komprador-komprador, kaum feodal juga turut membantu
berkuasanya imperialis di Indonesia. Karena itu, Aidit mengemukakan bahwa
feodalisme merupakan dasar kemasyarakatan bagi imperialisme dan kaki tangan-kaki
tangannya. Aidit menegaskan bahwa perjuangan menumpas imperialisme harus
disertai dengan perjuangan menumpas sisa-sisa feodalisme:
[...]Pada dasarnya kaum imperiali di Indonesia berkuasa dengan bantuan kaum feodal. Sampai kini sisas-sisa feodalisme tetap merupakan dasar kemasjarakatan bagi imperialisme dan kakitangan-kakitangannja (DI-TII, PRRI-Permesta”, gerombolan Kahar Muzakar, kegiatan-kegiatan subversif dll). Oleh karenaja, perdjuangan menumpas imperialisme harus dibarengi dengan perdjuangan menumpas sisa-sisa feodalisme.
Aidit mengemukakan pandangannya mengenai Revolusi 17 Agustus 1945
(Proklamasi 17 Agustus 1945), bahwa revolusi tersebut tidak berhasil mengubah
masyarakat Indonesia yang semifeodal menjadi masyarakat demokratis. Hal itu
disebabkan oleh tidak dilaksanakannya landreform secara radikal. Sejalan dengan itu,
untuk mencapai tujuan revolusi maka landreform radikal harus dilaksanakan, yaitu
dengan menerapkan UUPA dan UUPBH secara konsekuen:
Revolusi Agustus 1945 tidak berhasil mengubah masjarakat semi-feodal mendjadi masjarakat demokratis, karena selama revolusi itu tidak dilaksanakan landreform jang radikal. Oleh karena itu pulalah tugas ini masih harus kita laksanakan. Dewasa ini paling kurang kita harus melaksanakan setjara konsekwen UUPA dan UUPBH. (hal 52)
190
Melalui landreform (yang terkait erat dengan UUPA dan UUPBH) Aidit
menjelaskan konsepnya mengenai peranan penting kaum tani dalam Revolusi
Indonesia. Kaum tani adalah mayoritas dari seluruh penduduk Indonesia dan sebagai
tenaga produktif yang paling menentukan dan paling penting dalam usaha mencukupi
ketersediaan pangan. Dalm hal ini Aidit sepaham dengan pandangan Presiden
Soekarno bahwa kaum tani adalah sokoguru utama Revolusi Indonesia. Kaum tani
hanya bisa menjalankan tugasnya dalam revolusi jika kaum tani memiliki tanah
garapan karena mereka secara objektif membutuhkan tanah:
Kaum tani jang merupakan majoritet penduduk Indonesia adalah tenaga produktif jang bersifat menentukan dalam mensukseskan salah satu dari Triprogram Pemerintah, jang paling penting, jaitu mentjukupi sandang-pangan. ”Kaum tani adalah sokoguru jang utama daripada Revolusi” demikian antara lain dinjatakan oleh Bung Karno pada pembukaan Konfrenas BTI pada pertengahan September 1964. Tetapi untuk dapat melaksanakan tugasnja sebagai sokoguru utama ini diperlukan sjarat, jaitu jang paling penting adalah tanah garapan. Sebagai konsekwensi dari pernjataannja sendiri, maka Presiden Soekarno menegaskan didalam pidato Taviv-nja bahwa: ”kaum tani itu objektif membutuhkan tanah garapan” dan bahwa ”Kaum tani itu wataknja ngukuhi tanah”. (hal. 53)
Dengan demikian, peran kaum tani dalam Revolusi Indonesia sangat penting karena
kaum tani bersama seluruh rakyat memiliki tugas melawan imperialisme dan
feodalisme. Dalam hal ini, Aidit menegaskan bahwa imperialisme hanya bisa
dikalahkan jika kaum tani yang menderita karena penindasan dan pengisapan tuan
tanah feodal, bisa dibangkitkan untuk melaksanakan landreform yang radikal:
Kaum tani sebagai majoritet penduduk Indonesia mempunjai tugas untuk bersama-sama seluruh Rakjat melawan musuh-musuhnja, imperialisme dan feodalisme. Tetapi tidak boleh kita lupakan, bahwa imperialisme hanja dapat digulingkan djika massa Rakjat, terutama kaum tani jang hidup menderita dibawah penindasan tuantanah feodal dapat dibangkitkan. Dan kaum tani hanja dapat dibangkitkan dengan hebat dalam melawan penindasan feodal untuk landreform jang radikal. (hal. 54)
191
Pada sudut pandang Aidit, dengan pelaksanaan landreform yang radikal, Revolusi
Indonesia telah mencapai watak demokratis. Dalam hal ini, Aidit menguraikan
pengertian demokratis tersebut, yaitu kebebasan demokrasi yang diberikan kepada
kaum tani karena selama ini, hak-hak demokrasi mereka sangat sempit dan terbatas
akibat dominasi kekuasaan tuan tanah feodal. Tuan tanah telah menjadikan kaum
tani hidup dalam keterbelakangan. Keterbelakangan ini hanya bisa dilawan dengan
melakukan revolusi agraria, yang merupakan aspek antifeodal atau aspek demokratis
dari Revolusi Indonesia. Hal ini juga dikaitkan oleh Aidit dengan watak nasional
demokratis dari Revolusi Indonesia, bahwa pada hakikatnya Revolusi Indonesia
adalah revolusi agraria.
[...]pengertian yang sesungguh-sungguhnja tentang demokrasi bagi Rakjat adalah pertama-tama memberikan kebebasan demokratis kepada kaum tani jang merupakan majoritet jang sangat besar dari penduduk Indonesia.[...]betapa sempitnja hak-hak demokrasi didesa disebabkan karena dominasi tuantanah-tuantanah feodal jang telah membikin kaum tani hidup dalam keterbelakangan abad pertengahan. Keterbelakangan ini hanja bisa didobrak dengan adanja revolusi agraria, sebagai aspek anti feodal atau aspek demokratis daripada Revolusi Indonesia[....] (hal. 55)
[...]revolusi nasional demokratis di Indonesia sekarang ini pada hakekatnja adalah revolusi agraria jang harus membebaskan berdjuta-djuta kaum tani dari sisa-sisa feodalisme, maka kuntji kemenangan revolusi terutama terletak pada mampu atau tidaknja kita membangkitkan dan mengikutsertakan kaum tani dalam revolusi setjara aktif.[...] (hal. 78)
Hal itu dijelaskan lebih lanjut, bahwa pelaksanaan landreform secara radikal berarti
membebaskan kaum tani secara radikal pula dari penindasan feodal. Di samping itu,
juga akan membebaskan kaum tani dari rasa takut karena adanya kekuasaan
sewenang-wenang kaum penguasa feodal. Bagi Aidit, jalan keluar yang paling tepat
hanyalah kaum tani harus memiliki tanah garapannya sendiri. Dengan demikian
mereka tidak bekerja keras untuk tuan tanah, bebas dari rasa takut karena belum bisa
192
membayar sewa tanah, bebas dari kejaran lintah darat. Memiliki tanah garapan
sendiri bagi kaum tani adalah berarti kaum tani menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Keadaan ini akan membahagiakan kehidupan kaum tani dan keluarganya dan
meningkatkan produktivitas kerja mereka.
Pelaksanaan landreform setjara radikal berarti membebaskan kaum tani setjara radikal dari penindasan feodal, berarti membebaskan kaum tani dari rasa takut karena kekuasaan sewenang-wenang dari penguasa-penguasa feodal. Untuk ini kaum tani harus mempunjai miliktanah garapannja sendiri. Dengan demikian mereka bisa bebas dari pologoro, tidak lagi harus bekerdja rodi untuk tuantanah, tidak perlu lagi takut karena belum membajar sewatanah sewatanah kepada tuantanah atau dikedjar-kedjar oleh lintahdarat karena belum dapat mengangsur hutangnja jang sudah puluhan tahun tidak pernah lunas. Hanja jika kaum tani telah mendjadi tuan atas tanahnja sendiri maka akan lahir kegembiraan untuk meningkatkan produksi dan ini berarti mereka dengan sukarela melaksanakan sebagian azas ”mentjiptakan ekonomi jang berdiri diatas kaki sendiri”[...] (hal. 56)
Aidit mengembangkan konsep mengenai tahap-tahap revolusi berdasarkan
sasaran atau lawan yang dihadapi dan tujuan yang digariskan. Tahap pertama
Revolusi Indonesia adalah melenyapkan feodalisme dan menggantikannya dengan
hak milik perorangan kaum tani atas tanah. Tahap kedua adalah mengakhiri
kekuasaan imperialisme dengan cara mengakhiri kekuasaan kapitalis di Indonesia.
Tahap akhir revolusi adalah revolusi sosialis, yaitu menghapuskan segala
peningisapan manusia oleh manusia atau l’exploitation de l’homme par l’home (hal
57). Tahap-tahap revolusi tersebut disejajarkan oleh Aidit dengan mengutip pendapat
Presiden Soekarno mengenai tahap-tahap Revolusi Indonesia, yaitu (1) tahap
mencapai indonesia yang merdeka penuh (bersih dari imperialisme) dan demokratis
(bersih dari sisa-sisa feodalisme); (2) tahap mencapai Indonesia ber-Sosialisme
Indonesia (bersih dari kapitalisme dan exploitation de l’homme par l’homme:
Pertama: tahap mentjapai Indonesia jang merdeka penuh, bersih dari imperialisme –dan demokratis, bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap ini masih harus disempurnakan......
193
Kedua: tahap mentjapai Indonesia ber-Sosialisme Indonesia, bersih dari kapitalisme dan dari exploitation de l’homme par l’homme. Tahap ini hanja bisa dilakukan dengan sempurna setelah tahap pertama sudah diselesaikan seluruhnja[...] (hal 59)
Menurut Aidit, Indonesia telah mencapai tahap kedua, yaitu mencapai sosialisme
Indonesia.
Aidit menjelaskan bahwa watak Revolusi Indonesia yang nasional demokratis
menuntut terselenggaranya kekuasaan yang menggabungkan semua unsur kekuatan
revolusioner. Kekuasaan ini terdiri atas semua unsur rakyat yang antiimperialis dan
antifeodal yang sanggup melaksanakan tugas-tugas revolusi untuk melapangkan jalan
menuju sosialisme (hari depan Revolusi Indonesia):
[...]Djadi kekuasaan itu harus terdiri dari semua unsur Rakjat jang anti-imperialis dan anti-feodal jang sanggup melaksanakan tugas-tugas revolusi sampai selesai serta mendjamin tersedianja sjarat-sjarat untuk terus ke Sosialisme, sebagai haridepan Revolusi Indonesia[...] (hal. 60)
Sosialisme yang dimaksud oleh Aidit adalah sosialisme yang disesuaikan dengan
kondisi-kondisi di Indonesia (keadaan rakyat, psikologi rakyat Indonesia, dan
kebudayaan). Jika Presiden Soekarno mengemukakan bahwa Revolusi Indonesia
adalah bagaian dari revolusi umat manusia di dunia maka Aidit mengemukakan
bahwa sosialisme sebagai hari depan Revolusi Indonesia tidak terlepas dari zaman
berlangsungnya revolusi sosialis dunia:
Djadi, ditindjau dari zaman berlangsungnja, Revolusi Indonesia adalah bagian jang takterpisahkan dari revolusi sosialis dunia. Dengan sendirinja, setjara objektif revolusi Indonesia bukanlah bertudjuan mendirikan masjarakat kapitalis sebagaimana halnja revolusi Perantjis, tetapi bertudjuan mendirikan masjarakat sosialis. (hal. 61)
Ulasan Aidit mengenai sokoguru Revolusi Indonesia, yaitu kaum buruh dan
kaum tani sejalan dengan pandangan Presiden Soekarno (Bab VII). Dalam pandangan
Presiden Soekarno, sebagaimana dikutip oleh Aidit (1964b: 69-70), kaum buruh dan
194
tani memiliki peranan yang sangat pokok dan mereka adalah mayoritas penduduk.
Karena itu harus menjadi kekuatan pokok dalam Revolusi Indonesia. Aidit
menambahi:
[...]Merekalah pentjipta nilai-nilai materiil dalam masjarakat, menghasilkan sandang, pangan dan perumahan bagi masjarakat. Disamping itu, kaum buruh dan tani adalah golongan jang paling menderita dan tertindas. Oleh sebab itu, merekalah jang paling berkepentingan akan pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakjat, mereka jang paling berkepentingan akan pelaksanaan revolusi setjara konsekwen sampai kepada tertjapainja masjarakat adil dan makmur. (hal. 70)
Sejalan dengan itu, Aidit menegaskan bahwa kunci kemenangan revolusi terletak
pada perjuangan kaum tani (hal. 70). Dalam hal ini, sekali lagi Aidit mengutip
pendapat Presiden Soekarno:
Seperti diketahui kaum tani sebagai sokoguru utama masjarakat adalah penjambung hidup bangsa kita, ”tani adalah penghasil pangan kita”. Makaitu landreform yang menguntungkan kaum tani penggarap tidak hanja merupakan sjarat mutlak bagi pembebasan tenaga produktif didesa, tetapi djuga sangat penting bagi perkembangan nasion Indonesia. Meningkatkan perjuangan revolusioner kaum tani untuk melaksanakan UUPA dan UUPBH achir-achir ini menandakan bahwa kaum tani telah mengambilbagian aktif dalam gerakan revolusioner jang mentjerminkan betapa tingginja kesadaran politik dan organisasi kaum tani[....] (hal. 71)
8.3 Struktur Masyarakat Indonesia yang sedang Menjalani Revolusi
Berdasarkan uraian mengenai Revolusi Indonesia yang bersumber dari
pandangan Presiden Soekarno (1964) dan Aidit (1964b), dapat diajukan suatu
simpulan bahwa kedua pemikiran tersebut memiliki banyak persamaan. Presiden
Soekarno dan Aidit sama-sama menginginkan perubahan yang dilakukan melalui
revolusi. Dalam hal ini yang membedakan Presiden Soekarno dan Aidit adalah
peranan mereka. Presiden Soekarno sebagai presiden dan Aidit sebagai ketua PKI.
Karena itulah, keduanya berada di dalam jalur revolusi masing-masing. Walaupun
195
karena strategi politik, PKI memberi dukungan sepenuhnya kepada kebijakan-
kebijakan Presiden Soekarno dan demikian juga sebaliknya (Mortimer, 2011: 75-76,
98), namun revolusi yang digerakkan oleh PKI tidak pernah lebur ke dalam revolusi
Presiden Soekarno. Karena itu, bangsa Indonesia pada masa pemerintahan Presiden
Soekarno menjalani dua revolusi, yaitu revolusi yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno dan revolusi yang digerakkan oleh PKI pimpinan Aidit. Kedua revolusi itu
pada akhirnya terhenti karena meletusnya Tragedi 1965 (G.30 S). Sejak hari-hari itu
gegap gempita revolusi semakin surut dan pada akhirnya padam. Sehubungan dengan
kehancuran PKI dalam peristiwa berdarah itu, analisis Tornquist (2011: 5) terhadap
gerakan PKI selama periode 1952-1965 sampai kepada simpulan bahwa segala
kebijakan PKI yang telah disusun dan dilaksanakan ternyata berakhir dengan bencana
karena peluang yang sudah bisa digenggam pada akhirnya gugur sebelum waktunya
(Mortimer, 2011: 5)
Dari pemikiran Presiden Soekarno dan Aidit mengenai revolusi dirumuskan
struktur masyarakat Indonesia, yaitu struktur masyarakat yang sedang menjalankan
revolusi, yang digunakan sebagai kerangka dalam penelitian ini untuk mengkaji
pararelitas puisi-puisi dan cerpen-cerpen Lekra dengan teks nonsastra (disajikan
dalam Bab IX). Struktur masyarakat tersebut dibangun oleh unsur-unsur: (1) adanya
amanat penderitaan rakyat, (2) perjuangan melawan musuh-musuh revolusi, (3)
tujuan akhir revolusi (masyarakat adil makmur). Aidit memahami amanat penderitaan
rakyat melalui ajaran Marxis, yaitu adanya kelas tertindas dan terisap oleh kelas lain
196
dalam masyarakat (lihat Bab IV). Berdasarkan ajaran tersebut, kelas yang tertindas di
Indonesia adalah kelas kaum tani dan buruh beserta rakyat jelata pada umumnya.
Yang menindas dan mengisap mereka adalah kaum tuan tanah feodal, imperialis,
kaum komprador, dan kabir (kapitalis birokrat). Untuk membebaskan diri dari
penindasan dan pengisapan tersebut, kaum tani dan buruh melakukan revolusi atau
perjuangan kelas untuk mencapai tujuan yaitu masyarakat tanpa kelas (sosialisme).
Masyarakat tanpa kelas akan dicapai jika alat-alat produksi (terutama tanah) tidak
lagi dikuasai oleh tuan-tuan tanah tetapi diberikan kepada seluruh kaum tani. Hal
inilah yang menjadi landasan bagi PKI yang secara gigih memperjuangkan revolusi
agraria atau landrferom dan partai ini menuntut pelaksanaan UUPBH dan UUPA
secara konsekuen. Dari segi ini revolusi yang dikembangkan oleh PKI sangat jelas
dan khusus, yaitu suatu revolusi agraria. Revolusi ini digerakkan oleh kaum tani
bergandengan dengan kaum buruh dan kekuatan-kekuatan revolusioner lainnya. Hal
itu tampak sejalan dengan pandangan Tornquist (2011: 2) mengenai PKI bahwa
partai ini berjuang keras melawan feodalisme dan imperialisme dan mempersatukan
jutaan rakyat Indonesia yang tertindas dalam satu perjuangan untuk pembebasan.
197