Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM...
Transcript of Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM...
133
Bab VI
REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM
MASYARAKAT DI TANAH MINAHASA KINI DAN
DALAM KONTEKS NKRI1
1. Redefinisi dan Rekonstruksi Tou sebagai identitas sosial
tanah Minahasa kini
Dalam bab V telah dipaparkan bahwa Tou adalah ukuran
pencapaian hidup manusia Minahasa yang terkristalisasi dalam
tiga kualitas hidup, yakni keter (kuat secara fisik, memiliki
mental yang kuat, tegas dan memiliki kemampuan
kepemimpinan), nate’ (hati/kepekaan), dan nga’as (otak,
kejernihan dan ketajaman berpikir). Tiga kualitas hidup tersebut
nampak dalam kejernihan berpikir, kepekaan diri, keberanian
bertindak dan kemampuan menghargai manusia Minahasa
terhadap sesama dan ciptaan lainnya. Karenanya, Tou juga
dipahami sebagai identitas kultural yang sarat dengan
penghargaan terhadap kesataraan semua ciptaan. Tou menjadi
acuan dari upaya menata kembali kehidupan bersama antar
kelompok taranak (dalam wale, walak dan pakasaan) dan juga
dengan pendatang.
Dalam perkembangan kemudian, Tou juga dituturkan
dalam ucapan-ucapan tua seperti Tou Tumou Mawuali Tou
(manusia hidup untuk menjadi manusia sepenuhnya), Tou
Tumou tumou tou (manusia hidup untuk memanusiakan
manusia lainnya), Maesa-esaan (saling berrsatu), Maleo-leosan
(saling mengasihi dan menyayangi), dan lain-lain (sebagaimana
1 Yang saya maksudkan dengan tanah Minahasa, yakni derah-daerah yang
menjadi wilayah Minahasa awal dan kemudian meluas di zaman penjajahan
Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan Minahasa keseluruhan
(sekarang terbagi menjadi Minahasa induk, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara
dan Minahasa Selatan), ditambah dengan kota Manado yang di masa Minahasa awal
menjadi pintu masuk menuju ke pemukiman taranak Minahasa.
134 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
yang dipaparkan dalam Bab V). Ucapan-ucapan tua yang
menegaskan keharusan menjaga kehidupan bersama dengan
mengembangkan sikap hidup saling menghargai dan menopang.
Pemaknaan demikian, memposisikan Tou yang adalah
identitas bersama taranak Minahasa, melalui dialektika dalam
kumpulan taranak (dalam wale, walak dan pakasa’an), juga
menjadi identitas individu. Proses dialetika yang menempatkan
Tou sebagai identitas bersama Minahasa awal dan juga identitas
individu, inilah yang dijelaskan Petter Berger dalam teorinya
mengenai eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi
(penjelasan lengkap dalam Bab II).
Memakai dialetika Berger untuk membaca Minahasa
awal tersebut, tidak hanya menunjuk pada manusia-manusia
lokal tetapi juga meberi ruang pada semua orang—termasuk
pendatang-- yang berdialektika (hidup dan meghidupi tanah
Minahasa) dalam masyarakat Minahasa. Konsekuensi sosiologis
berdasar dialektika tersebut, yakni jika ada individu—
masyarakat lokal atau pendatang—yang tidak menghidupi
identitas Tou, maka individu/kelompok tersebut menciderai
dialektika yang membentuk identitas individu dan sosial di
tanah Minahasa. Dalam konteks Minahasa awal,
individu/masyarakat yang menciderai identitas akan di pantik
(diberi peringatan), di wantik (diberi tanda) dan jika tidak
memposisikan diri kembali dalam dialektika sosial akan
menerima sangsi hukuman (santi).
Pertanyaan mendasar dibalik dialektika yang
menghasilkan Tou sebagai identitas individu sekaligus identitas
Minahasa, yakni bagaimana Tou dalam konteks kini?
Tanah Minahasa kini telah terbagi dalam enam wilayah
pemerintahan, yakni kota Bitung, kabupaten Minahasa Utara,
kabupaten Minahasa, kota Tomohon, kabupaten Minahasa
Tenggara dan kabupaten Minahasa Selatan. Dalam lingkup
Propinsi Sulawesi Utara, ke enam kabupaten-kota di tanah
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 135
Minahasa berada bersama dengan kota Manado (sebagai ibu
kota propinsi), kabupaten kepulauan Sangihe, kabupaten
kepulauan Sitaro, kabupaten kepulauan Talaud, kabupaten
Bolaang Mongondow, kabupaten Bolaang Mongondow Utara,
kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow
Timur, dan kota Kotamobagu.
Di wilayah-wilayah tersebut di atas, tidak hanya hidup
masyarakat lokal, tetapi juga beragam orang dari etnis dan
agama berbeda. Keragamanan yang memberi ruang pada
interaksi sosial yang saling bertukar, mempengaruhi, dan
mendominasi. Karenanya, meskipun masyarakat Minahasa awal
terbentuk dari keragaman asal suku/bangsa, tetapi masyarakat
di tanah Minahasa kini lebih kental corak keragamannya.
Keragaman kultural demikian terdeskripsi dalam identifikasi
Tou untuk menunjuk orang Minahasa di masa kini, yang dalam
dialek melayu Manado disebut Tou Minahasa asli Tondano, Tou
Minahasa asli Tomohon, Tou Minahasa asli Tonsea, Tou
Minahasa asli Ratahan, Tou Minahasa asli Tountemboan, Tou
Minahasa kancingan2 Tonsea-Cina, Tou Minahasa kancingan
Tondano-Jawa, Tou Minahasa kancingan Ratahan-Sumatra, Tou
Minahasa kancingan Tomohon-bugis, Tou Minahasa kancingan
Tomohon-Belanda, Tou Minahasa kancingan Manado-Sanger,
Tou Minahasa kancingan Sonder-Spanyol, Tou Minahasa Borgo
(istilah lain untuk menunjuk orang Minahasa hasil perkawinan
campur dengan bangsa-bangsa lain), Tou Minahasa kancingan
Amurang-Batak, Tou Minahasa kancingan Tondano-Gorontalo,
Tou Minahasa kancingan Tonsea-Bolmong, dan ada juga yang
disebut sebagai Tou Minahasa plus (para pendatang yang tidak
kawin mawin dengan masyarakat lokal, tetapi kemudian
diangkat/ ditetapkan sebagai bagian dari Minahasa).
2 Kata kancingan adalah kata lokal yang biasa dipakai untuk menunjuk orang-
orang Minahasa hasil perkawinan campuran. Karenanya nama asal kampung di
Minahasa ditempatkan didepan menyusul nama asal suku atau daerah di luar
Minahasa atau bangsa lain. Misalnya Minahasa campuran Tomohon-Belanda,
Ratahan-Sumatera, dll.
136 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Kategorisasi Tou Minahasa kancingan inilah yang
dikemukakan Arnold Van Genep mengenai proses isolasi bagi
pendatang/orang asing. Proses isolasi yang menjadi ruang bagi
para orang asing/pendatang untuk membuktikan keseriusan
dan ketertarikan terhadap suku.3 Mengacu pada penjelasan
Genep, maka proses isolasi para leluhur Tou Minahasa
kancingan dan dilanjutkan dengan asimilasi secara turun
temurun rupanya telah memenuhi syarat untuk diterima sebagai
bagian dari masyarakat Minahasa. Sedangkan Tou Minahasa plus
diterima karena pertimbangan khusus, terutama terkait dengan
posisi ekonomi dan posisi legal mereka dalam komunitas atau
suku asalnya.4
Di tanah Minahasa kini, orang asing/pendatang plus
adalah mereka yang kemudian diterima/diangkat sebagai warga
kehormatan. Orang-orang asing/pendatang plus tersebut, pada
umumnya adalah para petinggi militer dan sipil yang sedang
bertugas atau pernah bertugas di Sulut, para pengusaha berhasil
yang memiliki bisnis di Sulut, tokoh-tokoh politik, dan tokoh
nasional lainnya.
Penetapan para warga kehormatan tersebut sebagai Tou
Minahasa dilakukan dengan ritual pemberian gelar adat.
Pemberian gelar adat demikian dapat menjadi diskusi menarik,
jika mengacu pada ritual pemberian gelar dalam konteks
Minahasa awal. Dalam bab IV telah dipaparkan data wawancara
mengenai bagaimana mekanisme pemberian gelar di masa
Minahasa awal. Gelar Tona’as, Walian, Waraney, Teterusan, dan
lain-lain tidak menunjuk pada jabatan atau posisi sosial tetapi
menunjuk pada fungsi dan kontribusi dalam masyarakat.
Bahkan gelar-gelar khusus yang menjelaskan bagaimana fungsi
dan peran seorang pemimpin diberikan atau dikenakan pada
orang tersebut setelah dia meninggal. Dengan kata lain, gelar
3 Arnold Van Genep, The Rites of Passage, terjemahan Monika B. Vizedom and
Gabrielle L. Caffe (London and HenLey, Routledge and Kegan Paul. 1977), 35. 4 Ibid.
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 137
kultural di Minahasa awal adalah penghargaan terhadap
kontribusi seseorang dalam wale, walak dan pakasa’an selama
dia hidup dan diberikan kepadanya setelah dia meninggal. Hal
yang sama ditegaskan juga oleh Rikson Karundeng, salah
seorang anggota kelompok budaya Mawale movement, sebagai
berikut:
Di kampung-kampung di Minahasa lalu, tidak hanya Tona’as umbanua tetapi ada juga Tona’as bertanggung jawab untuk pertanian, Tona’as yang punya kemampuan mendengar suara burung, tonas untuk berburu, tetapi ada juga Tona’as untuk berperang. Ketika harus berhadapan dengan perang, harus ada Tona’as khusus yang memimpin. Bisa saja Tona’as perang itu, yakni Tona’as Umbanua, bisa juga teterusan yg dipercayakan sebagai pemimpin perang. Mengapa teterusan yang menjadi pemimpin perang? Karena dia yang tahu dan punya strategi berperang dan paling berani makanya dia yang dipercayakan untuk menjadi Tona’as itu. Jadi ada Tona’as Tona’as demikian. Saya sudah baca-baca, tapi saya tidak mengerti dengan gelar Tona’as wangko yang sering digunakan saat ini. Karena dulu tidak ada Tona’as wangko. Ton’aas kalau dia jadi Tona’as umbanua, dia harus jadi kelung umbanua (pelindung kampung). Pengetahuan dan tradisi yang harus dipegang seorang Tona’as umbanua, itu biasa tidak hanya kami dapat dari yang kami baca atau dengar, tetapi juga dari artefak situs-situs seperti waruga kita bisa melihat tentang pengetahuan itu. Kita kan kadang hanya melihat ornament-ornamen di waruga, padahal satu garis kecilpun punya arti. Kembali ke sebutan “Tona’as wangko, yang katanya Tona’as yang memimpin semua Tona’as, bagi saya ndak ada demikian. Karena di Minahasa itu kolektif kepemimpinanannya, ndak ada satu Tona’as memimpin semua Tona’as; tidak ada dalam tradisi Minahasa. Pemilihan dan penetapan Tona’as ada
138 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
prosesnya yang tidak hanya mengandalkan pengetahuan, tetapi juga ada intervensi dari yang Ilahi. Tona’as ketika sudah terpilih tidak langsung dilatik sebagai Tona’as umbanua, terlebih dahulu harus bertanya pada Empung Walian Wangko. Ada ritual bertanya, misalnya jika hendak memilih dan menetapkan Tona’as umbanua, maka kepada leluhur Tonaas umbanua yang terkenal di masa itulah kita harus bertanya. Kalau leluhur tidak setuju, maka berarti harus memilih yang lain. Lalu setelah leluhur setuju, kemudian bertanya pada Empung Waliaan Wangko. Untuk mengetahui apakah Empung Walian Wangko setuju atau tidak dengan cara mendengar suara burung. Jadi prosesnya tidak cepat, karena ada tahapan. Setelah terpilih lalu diadakan ritual untuk penetapan Tonaas.5
Di masa Minahasa awal penerimaan orang asing/
pendatang juga mempertimbangkan kontribusi yang bisa
mereka berikan. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di
sini, yakni penerimaan Kyai Modjo dan pengikutnya oleh para
Ukung Tondano. Penerimaan terhadap mereka menurut tradisi
lisan yang dituturkan turunannya pada saya (sebagaimana yang
telah dipaparkan dalam Bab IV), dimudahkan terutama karena
keterbukaan leluhur Minahasa terhadap para pendatang. Selain
itu, faktor ketrampilan pandai besi dan bertanam padi yang
dimiliki Kyai Modjo dan pengikutnya (para leluhur masyarakat
di Kampung Jawa-Tondano) menjadi faktor penting penerimaan
mereka.6 Dengan demikian, titik berat penerimaan tersebut
lebih pada kepentingan komunitas Minahasa awal.
Di sisi lain, para pendatang yang diterima menjadi
bagian Minahasa awal memang memperlihatkan dedikasi dan
kotribusi mereka yang konkrit bagi komunitas. Sebaliknya,
pemberian gelar adat yang menjadi tanda penerimaan para
5 Wawancara dengan Rikson Karundeng, Manado, 2015.
6 Hasil wawancara ini telah dipaparkan dalam Bab IV.
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 139
pendatang kini sebagai warga kehormatan lebih condong pada
kepentingan politik-ekonomi kalangan tertentu di SULUT.7
Sementara dari sisi para pendatang/orang asing, kesediaan
mereka menjadi warga kehormatan terkait dengan kepentingan
politik dan ekonomi mereka. Umumnya, kepentingan para warga
kehormatan berorientasi pada keinginan untuk mendapatkan
simpati dan dukungan bagi diri mereka, partai mereka atau
kelompok mereka; atau kepentingan untuk mendapatkan akses
yang luas dalam rangka pengembangan bisnis mereka di SULUT.
Kesimpulan demikian sejalan dengan penjelasan Daniel Bell
dalam tulisannya mengenai ethnicity and social change. Bell
menjelaskan, bahwa kecederungan pada hal-hal yang bersifat
kultural/etnik bukanlah fenomena primordial. Kecenderungan
kultural demikian, lebih tepat dipahami sebagai pilihan yang
strategis dalam rangka kekuasaan atau kesejateraan. Biasanya
pilihan etnisitas diambil untuk memperlancar kepentingan
ekonomi dan politik.8
Mengacu pada pemikiran Bell tersebut di atas, maka
dapat juga disimpulkan bahwa pemberian gelar adat yang
dilaksanakan kini lebih terkait dengan kepentingan
elite/kelompok tertentu dalam masyarakat dan pendatang.
Realitas demikianpun mengindikasikan bahwa ekspansi,
dominasi dan penetrasi nilai-nilai baru telah merembes jauh
dalam masyarakat dan menggeser fungsi dan makna yang
sebenarnya dari ritual penerimaan pendatang.
Di sisi lain, eksistensi tanah Minahasa sebagai bagian
dari NKRI membuat independensi penerimaan pendatang tidak
melulu ditentukan berdasar kriteria kultural. Hak untuk hidup
dan mencari penghidupan di seluruh wilayah Indonesia yang
7 Wawancara dengan Rinto Taroreh, Mando, 2014 di Warembungan. Bandingkan
juga dengan pernyataan resmi Lembaga Adat Minahasa yang diketuai oleh dr. Bert
Supit dalam www.suaramanado.com.
8 Daniel Bell, Ethnicity and Social Change, dalam John Hutchinson & Anthony
D. Smith, ed., Ethnicity (New York: Oxford University Press, 1996), 146.
140 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
diatur oleh undang-undang, menjadi salah satu pertimbangan
penerimaan pendatang di tanah Minahasa kini. Bersamaan
dengan itu, realitas di tanah Minahasa kini memaparkan, bahwa
kehadiran dan penerimaan pendatang tidak selalu tanpa gejolak.
Dalam bab pendahuluan dan bab IV telah dijelaskan,
bahwa keberadaan para pendatang di tanah Minahasa kini juga
melahirkan gesekan-gesekan sosial. Gesekan-gesekan sosial
tersebut telah meruncing pada klaim asli versus pendatang atau
Minahasa versus bukan Minahasa. Bahkan, klaim asli Minahasa
telah berkembang menjadi klaim Minahasa Kristen.
Data wawancara yang telah saya paparkan dalam bagian
pendahuluan menegaskan, bahwa gesekan-gesekan sosial yang
meruncing pada reduksi Tou dilatar-belakangi ketersinggungan
dan ketidaksenangan masyarakat lokal atas marginalisasi nilai-
nilai sosio-kultural mereka oleh pendatang kini.9
Ketersinggungan dan ketidaksenangan demikian semakin
menajam karena melihat pendatang yang mengekploitasi
masyarakat dan tanah leluhur semata-mata untuk kepentingan
ekonomi dan politik mereka.
Paul L. Brass dalam tulisannya mengenai Ethnic Groups
and Ethnic Identity Formation menjelaskan bahwa seringkali
konflik antar etnis berbeda tercetus karena kompetisi di bidang
politik, ekonomi, dan status sosial elit-elit etnis. Kompetisi di
sektor-sektor demikian kemudian dieksploitasi menjadi konflik
9 Reaksi ketersinggungan dan ketidaksenangan masyarakat lokal terhadap
marginalisasi nilai-nilai kultural Minahasa terutama menajam pada tahun 2000. Di
tahun itu, selain semakin banyak pendatang yang datang ke tanah Minahasa dan
tidak mau memahami nilai kultural yang ada, ketersinggungan dan ketidaksenangan
demikian juga diperparah oleh arah politik nasional yang dinilai mulai
menampilkan wajah Islam sektarian. Konflik Poso dan Ambon menjadi salah satu
faktor penting yang mendorong lahirnya gerakan masyarakat lokal dalam bentuk
Ormas adat. Ormas-ormas adat tersebut berkembang dan mengalami perpecahan di
atara mereka, tetapi bersamaan dengan itu menjadi bidan bagi kelahiran Ormas-
Ormas adat lainnya. Dalam observasi pelaksanaan ritual di Bitung, saya mencatat
bahwa Ormas adat yang secara resmi di undang untuk mengikuti kegiatan tersebut
berjumlah 25 kelompok Ormas adat. Data Observasi, 27 Juli 2016, di Bitung.
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 141
karena perbedaan etnis, padahal tidak sepenuhnya demikian.10
Dalam konteks tanah Minahasa kini, saya juga melihat bahwa
apa yang dikemukakan Brass menjadi catatan penting dalam
upaya mencermati gerakan-gerakan protes terhadap para
pendatang yang dilakukan beberapa Ormas adat. Perasaan
terancam secara ekomomi dan mulai merasa tergeser secara
politik, tidak dapat dipungkiri adalah juga salah satu alasan
beberapa Ormas adat melakukan gerakan-gerakan budaya.
Meskipun demikian, secara umum gerakan-gerakan kelompok-
kelompok lokal, terutama sebagai reaksi terhadap marginalisasi
nilai-nilai kultural oleh pendatang karena kepentingan
penguasaan ekonomi dan politik.
Tantangan sosial demikianlah yang dihadapi oleh
masyarakat lokal di tanah Minahasa kini dengan meletakkan
adat sebagai pusat dari usaha perlawanan, sekaligus sebagai
upaya identifikasi diri orang Minahasa kini. Perlawanan adat
tersebut, selanjutnya terpolarisasi pada dua pilihan. Kelompok
pertama, yakni masyarakat dengan jumlah relatif kecil yang
berusaha mengembangkan sikap positif terhadap pendatang,
sekaligus bersikap kritis terhadap reduksi Tou. Sikap positif
tersebut, antara lain terungkap dalam wawancara dengan Denny
Pinontoan dari Kelompok budaya Mawale Movement. Menurut
Pinontoan memang perlu bersikap kritis terhadap pendatang
yang memiliki agenda tersembunyi, tetapi tidak berarti harus
menggeneralisasi semua pendatang. Selanjutnya Pinontoan
menjelaskan:
saya kira sebagaimana makna Tou Tumou yang bertumbuh kembang artinya kan dia berkreasi. Salah satu jalan yang dipilih leluhur sejak zaman lampau adalah membuka diri; dari 3 sub etnis, menjadi 4 lalu kemudian menjadi 9. Bahkan sekarang jadi lebih banyak karena ada juga yang
10 Paul R. Brass, Ethnic Groups and Ethnic Identity Formation, dalam John
Hutchine, Ethnicity, 86, 89.
142 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
disebut Minahasa plus. Karena dalam rangka kehidupan berlanjut, sehingga keterbukaan terhadap orang lain tidak dianggap sebagai ancaman. Karena Minahasa/malesung adalah itu. Karena Lumimuut-Toar itu kan dari luar. Saya kira cerita tentang Lumimuut-Toar yang berputar mengelilingi gunung dan kemudian bertemu, itu adalah simbolisasi terhadap perjumpaan-perjumpaan. Cerita Lumimuut-toar sekarang ini yang ditemukan ada 50-an, lisan dan tulisan. Bahkan masing-masing komunitas mengembang-kan. Nah, apa artinya itu? Menurut saya, Minahasa itu multi interpretatif, menjadi persoalan jika ditunggalkan karena karakter keterbukaanya. Justru karena keterbukaan tersebut Minahasa mau berdialog dengan pendidikan modern Eropa; dia mau menerima kekristenan. Pada saat-saat tertentu sebagaimana dibuktikan dengan perang-perang tersebut, bahwa ternyata punya prinsip juga, yakni tentang kesetaraan. Karenanya, sangat sulit untuk memahami Minahasa tanpa mengaitkannya dengan keterbukaan dan penerimaan terhadap pendatang.
Sikap kelompok budaya yang demikian, memperlihatkan
bahwa meskipun jumlah mereka relatif kecil tapi cukup
mendeskripsikan kegelisahan dan keprihatinan mereka
terhadap reduksi Tou dalam rangka menanggapi gesekan sosial
dengan pendatang. Kelompok kedua, yakni masyarakat yang
memilih mereduksi Tou pada klaim manusia Minahasa asli,
bahkan mulai mengerucut pada klaim Minahasa Kristen.
Kelompok-kelompok ini juga sempat mewacanakan
pemeriksaan KTP agar bisa mengkontrol keberadaan orang
asing/pendatang di tanah Minahasa kini. Wacana ini memang
tidak terlaksana karena tidak mendapat dukungan pemerintah
dan pihak keamanan, tetapi cukup menciptakan keresahan
dalam masyarakat.
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 143
Pilihan sikap yang diambil oleh kelompok (kedua)
tersebut di atas, bisa dimengerti dengan melihat kondisi terkini
pada sektor ekonomi di kota Manado dan juga di kabupaten-
kota di tanah Minahasa kini. Realitas sosial-ekonomi di kota
Manado dan di tanah Minahasa kini, dengan gamblang
memaparkan dominasi sentra bisnis oleh para pendatang, baik
di pusat-pusat bisnis moderen maupun pasar-pasar tradisional
besar di kota Manado.
Imbas dari realitas sosio-ekonomi demikian, yakni
keterpinggiran masyarakat lokal tidak hanya dalam peran di
sektor-sektor ekonomi, tetapi juga secara fisik menjadi manusia-
manusia yang hidup dipinggiran-pinggiran kota. Sebaliknya,
pendatang-pendatang sebagai pemilik baru—yang membeli
tanah dari masyarakat lokal, mengembangkan tanah-tanah
tersebut sebagai tempat bermacam-macam usaha produktif.
Karenanya, saya menilai perlawanan kelompok lokal yang
memakai kekuatan budaya dan mereduksi Tou untuk
kepentingan perjuangan mereka sebagai pilihan sadar
berhadapan dengan kenyataan kini. Artinya, mereka memilih
dengan sengaja karena sadar bahwa perjuangan dengan
memakai budaya dan juga mengaitkannya dengan issu agama
(Tou Minahasa Kristen) akan menjadi senjata ampuh untuk
memperjuangkan tuntutan mereka sebagai masyarakat lokal.
Mengkaji reaksi dan gejolak sosial demikian, saya
mengacu pada teori Max Weber mengenai kekuatan agama,
khususnya protestantisme yang menjadi faktor perubahan
sosial. Weber dalam studinya menyimpulkan, bahwa
Protestantisme yang menjadi bidan bagi kelahiran kapitalisme
awal (sebagaimana yang telah saya paparkan dalam Bab II).
Tentu saja saya sadar bahwa latar-belakang masyarakat yang
menjadi titik simpul dari teori Weber sangat berbeda dengan
realitas sosial yang digumuli masyarakat lokal Minahasa kini.
Karenanya akan terkesan sangat naif, jika tergesa-gesa
144 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
menyimpulkan bahwa realitas yang dihadapi Weber dan realitas
Minahasa kini memiliki kesamaan.
Teori Weber menjadi penting dalam memahami realitas
Minahasa kini dan gejolak di dalamnya, dari sudut signifikansi
semangat protestantisme yang ditekankannya. Weber
menemukan bawa ajaran protestanlah yang telah mendidik,
membentuk etos kerja dan mendorong umatnya untuk
memperjuangkan kehidupan yang berkualitas dalam
masyarakat dan selanjuttnya melahirkan kapitalisme.
Signifikansi ajaran protestan demikian, yang saya ambil
sebagai dasar untuk menganalisis primordial agama yang
diangkat kelompok-kelompok budaya di tanah Minahasa kini.
Menurut saya, kelompok-kelompok budaya tersebut tidak hanya
mengklaim diri sebagai Minahasa Kristen, tetapi juga mengklaim
semangat kemakmuran sebagai orang Kristen.
Pada tataran berpikir demikian semangat kemakmuran
tersebut tidak akan terlaksana karena dominasi pendatang di
sektor ekonomi dan politik. Imbasnya, keberadaan pendatang
dieksploitasi sebagai ancaman dan kekuatan yang menghambat
perkembangan ekonomi masyarakat lokal, bahkan yang
menyebabkan mereka menjadi masyarakat yang terpinggirkan.
Bahkan kebijakan pemerintah yang terkesan tidak peka
terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat lokal, juga dipakai
sebagai dasar untuk menunjuk kuatnya pengaruh pendatang
pada kebijakan pemerintah. Karenanya, kemampuan kelompok
lokal di tanah Minahasa kini membaca dan memanfaatkan issu
agama sebagai modal dalam perlawanan mereka, memperkuat
teori Weber tersebut.
Di sisi lain, perlu juga secara terbuka menunjuk
kelemahan dari reduksi Tou, apalagi ketika issu agama mulai
dieksploitasi untuk kepentingan primordial. Karena reduksi Tou
sebagai bentuk perlawanan masyarakat, justru mende-
konstruksi Tou dari identitas sosio-kultural yang egaliter--
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 145
sebagai hasil anyaman keragaman Minahasa sejak awal--
menjadi ideologisasi identitas untuk kepentingan primordial.
Dekonstruksi demikian yang dikuatirkan Stuart Hall dalam
penjelasannya mengenai konsep-konsep kunci yang hilang
karena ideologisasi identitas.11 Karenanya, mengacu pada
penjelasan Hall, maka redefinisi dan rekonstruksi Tou sebagai
identitas sosial harus selalu mengacu pada konsep-konsep
kunci, yakni bahwa Tou adalah produk dari tenunan
keragamaman kultural sejak Minahasa awal.
Tou merupakan tenunan kultural yang memberi ruang
setara pada perbedaan yang dikandung tanah Minahasa karena
keragaman yang dimiliki. Tenunan kultural yang dibangun di
atas dasar kesepakatan bersama yang telah diikrarkan sebagai
Tiwa Lumimuut-Toar (janji keturunan Lumimuut-Toar) dan
disyairkan sebagai Esa cita waya, tou peleng masu’at. Cawana si
parukuan cawana si pakuruan, pute waya tou maesa cita (Satu
kita semua. Tidak boleh menyembah dan disembah sesama.
Semua manusia itu sama).12
Realitas tanah Minahasa kini, jika mengacu pada teori
mengenai batas-batas etnis Frederik Barth, juga bertolak
belakang dengan apa yang dijelaskan Barth. Dalam Bab II telah
dipaparkan penjelasan Barth, bahwa dalam interaksi antar etnis,
batasan-batasan etnis dipertahankan dengan teguh karena
batasan-batasan tersebut adalah juga batasan sosial. Bahkan
dalam interaksi dengan yang lain, batasan-batasan etnis dikelola
oleh komunitasnya sebagai identitas yang menunjuk
keanggotaan. Karenanya, intensitas interaksi yang terjadi antara
orang berbeda etnis akan memperkecil perbedaan, tetapi
kekhasaan kultural akan tetap kuat jika terus terimplikasi dalam
11 Stuart Hall. Introduction: Who Needs Identity. Dalam Stuart Hall dan Paul du
Gay, Questions of Cultural Identity (New Delhi: Sage Publications, 2003), 3,5.
12
Taroreh, Manado, 2014; Wowor, Manado, 2015; kelompok Mawale
Movement, Manado, 2015.
146 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
perilaku.13 Yang terjadi pada masyarakat di tanah Minahasa kini,
Tou sebagai identitas sosio-kultural semakin tergerus oleh
ekspansi nilai sosio-kultural baru. Nilai-nilai baru yang
mengedepankan semangat sektarian dan membatasi relasi-
relasi sosial sebatas relasi permukaan. Nilai-nilai baru yang
membelenggu dialektika sosial dalam rangka penguatan Tou
yang egaliter.
Perbedaan-perbedaan tersebut di atas, rupanya terletak
pada signifikansi penguatan lokal yang terjebak pada tindakan
mereduksi Tou (meskipun tidak semua, tetapi kelompok ini
lebih agresif dibanding bagian masyarakat lokal lainnya).
Akibatnya, penguatan lokal menjadi sektarian dan tercabut dari
makna asali yang telah diturun-temurunkan dalam masyarakat.
Karenanya, tidaklah berlebihan jika saya menyimpulkan bahwa
interaksi kutural di tanah Minahasa kini justru berjalan
melawan arah yang sebenarnya. Interaksi yang terjadi justru
menepikan nilai-nilai Tou, dan sebaliknya memberi ruang luas
bagi pengembangan nilai-nilai kultural baru yang mengancam
integritas sosial. Seharusnya, interaksi antara nilai-nilai kultural
Minahasa dan nilai-nilai lainnya konstruktif terhadap Tou.
Interaksi tersebut memang dapat membuat pemaknaan Tou
mengalami transformasi, tetapi transformasi yang konstruktif
dan memperluas pemaknaan tersebut bukan mengingkis dan
mengganti dengan nilai-nilai baru.
Dalam lingkup yang lebih spesifik, intervensi dan
dominasi nilai baru, terbaca juga pada perubahan relasi
perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Nilai-nilai demikian
secara spesifik menampakkan diri dalam model relasi yang
patriarki. Fakta-fakta tersebut antara lain, dapat terlihat pada
kasus-kasus pembatasan akses ke posisi-posisi kepemimpinan
dalam masyarakat dan agama.14 Jika pun ada peran-peran sosial
13 Frederik Barth, Ethnic Group…, 15.
14 Salah satu contoh yang bisa saya kemukakan di sini, yakni kepemimpinan di
GMIM. Data pendeta GMIM perempuan sampai 2017 berjumlah 1.059 orang,
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 147
yang bisa diakses oleh perempuan, maka peran tersebut hanya
sebatas posisi yang oleh masyarakat dianggap sebagai posisi
perempuan atau lebih tepat diberikan pada perempuan.
Sekalipun dalam pemerintahan Sulawesi Utara kini, ada 5
perempuan yang menjadi Bupati, satu orang wakil walikota
serta pejabat-pejabat perempuan di beberapa Dinas dan Badan,
jumlah tersebut belum berbanding lurus dengan jumlah
perempuan yang tidak mendapat akses berdasar spesialisasinya
karena pertimbangan jenis kelamin.
Pembagian kerja yang memposisikan laki-laki dan
perempuan berdasar jenis kelamin bertolak belakang dengan
pembagian kerja yang dimaksudkan Durkheim sebagai dasar
perubahan sosial dari masyarakat mekanik ke organik.
Durkheim menjelaskan bahwa perubahan dari masyarakat
mekanik ke organik dimungkinkan karena pembagian kerja
berdasarkan spesialisasi. Karenanya relasi-relasi yang terjadi
adalah relasi ketergantungan fungsional yang setara sebab
setiap individu memiliki peran-peran khusus berdasar
spesialisasi atau kualitas diri.15
Mengacu pada penjelasan Durkheim yang demikian dapat
dikatakan, bahwa Minahasa awal (yang menurut pembagian
masyarakat menurut Durkheim tergolong masayarakat
mekanik) justru telah mulai menyemaikan pembagian kerja
berdasar pada spesialisasi, meskipun tidak sepenuhnya
mengikuti kaidah-kaidah pembagian kerja masyarakat organik
sebagaimana teori Durkheim. Sebaliknya, Dalam konteks tanah
Minahasa kini, pembagian kerja berdasar perbedaan jenis
pendeta laki-laki 406 orang. Dalam perbandingan jumlah demikian, struktur Badan
Pekerja Majelis Sinode yang terdiri dari 15 orang, perempuan haya mengisi 2
posisi. Posisi pertama sebagai salah satu Wakil bendahara dan posisi ke dua sebagai
anggota utusan Komisi Wanita Kaum Ibu (para ketua Komisi Ibu, Bapak, Pemuda,
Remaja dan Anak secara otomatis menjadi anggota BPMS). Dalam perjalanan
sebagai gereja, belum pernah seorangpun dari pendeta perempuan yang menjadi
Ketua Sinode.
15 Lihat pemaparan lebih lengkap dalam Bab II.
148 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
kelamin tidak sejalan dengan dasar moral masyarakat modern
sebagaimana yang dijelaskan Durkheim dengan teorinya
mengenai masyarakat organik. Masyarakat di tanah Minahasa
kini seharusnya mengembangkan relasi berdasar pembagian
kerja fungsional dan setara, sebagaimana seharusnya diterapkan
dalam masyarakat moderen.
Relasi berdasar pembagian kerja fungsional yang setara—
yang telah disemai oleh leluhur-- seharusnya semakin kuat
karena ditunjang oleh semangat modernitas kini. Penyimpangan
sosial dalam masyarakat di tanah Minahasa kini, menegaskan
bahwa dominasi nilai patriarki, juga memangkas nilai-nilai Tou
yang egaliter yang telah dimulai para leluhur Minahasa.
Pertanyaan mendasar bertolak dari realitas tanah
Minahasa kini, yakni mengapa terjadi penyimpangan sosial
demikian? Mengacu pada pemikiran Linda Martin Alcoff
mengenai konstruksi identitas, penyimpangan demikian dapat
terjadi. Alcoof menjelaskan, bahwa seringkali individu/
masyarakat dapat membentuk identitasnya berdasarkan
pilihannya sendiri. Sebaliknya, tidak jarang identitasnya tidak
ditentukan oleh individu/masyarakat, melainkan ditentukan
antara lain oleh kondisi kolonialisme, rasial, subordinasi jenis
kelamin, konflik bangsa, dan lain-lain.16 Dalam realitas sosio-
kultural di tanah Minahasa kini, ekspansi dan dominasi nilai
kultural patriarki menekan dan menggeser nilai Tou yang
egaliter. Ekspansi dan dominasi nilai kultural patriarki membuat
masyarakat terdesak dan terkonstruksi menjadi patriarkal.
Perubahan demikianlah yang merubah masyarakat, termasuk
merubah pola relasi perempuan dan laki-laki.
Perubahan sosial demikian, terbaca pada sikap
masyarakat di tanah Minahasa kini yang cenderung tidak peduli
terhadap ketimpangan tersebut. Bahkan terkesan kuat
16 Linda martin Alcoff and Eduardo Mendieta, eds., Identity: Race, Class,
Gender, and Nationality (United Kingdom: Blackwell publishing, 2003), 3.
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 149
masyarakat mulai terbiasa menerima ketimpangan relasi antara
perempuan dan laki-laki sebagai hal yang wajar. Saya melihat
kecenderungan sosial demikian, justru mengantar masyarakat di
tanah Minahasa kini pada apa yang disebut Marx sebagai
kesadaran palsu. Memang kesadaran palsu dalam teori Marx
bertolak dari konteks masyarakat dengan tekanan berbeda,
yakni proletar yang teralienasi karena sistim sosial yang lebih
memprioritaskan kepentingan borjuis. Meskipun demikian,
penjelasan Marx mengenai kesadaran palsu menjadi relevan
untuk mendorong lahirnya kesadaran sosial di tanah Minahasa
kini. Kesadaran bahwa penyimpangan-penyimpangan sosial
harus ditanggapi dengan upaya mengklaim kembali nilai-nilai
kultural Tou yang egaliter.
Tesis-tesis di atas semakin memperkuat tujuan akhir dari
penelitian dan penulisan disertasi ini, yakni bahwa kepentingan
redefinisi dan rekonstruksi Tou sebagai identitas sosial
masyarakat di tanah Minahasa kini terletak pada upaya
mengkalim kembali Tou dan memposisikan kembali sebagai
identitas sosial. Mengapa redefinisi dan rekonstruksi Tou?
Dalam masyarakat di tanah Minahasa kini yang plural
harus ada identitas sosial yang akan menjadi dasar moral
bersama. Kebutuhan terhadap identitas sosial yang dapat
mengurai ketersinggungan dan ketidaksenangan masyarakat
lokal melihat nilai-nilai kulturalnya diabaikan oleh pendatang. Di
sisi lain, identitas sosial yang akan dipilihpun tidak akan
menyebabkan masyarakat di tanah Minahasa kini menjadi
negara dalam NKRI. Dengan kata lain, identitas sosial tersebut
harus juga memperhitungkan hak pendatang untuk menetap
dan mencari kebutuhan hidupnya di semua wilayah NKRI
sebagaimana dijamin undang-undang.
Kebutuhan akan identitas sosial tersebut mengantar
saya pada kesadaran bahwa Tou adalah nilai kulural yang bisa
menjawab kebutuhan tersebut di atas. Mengapa? Karena nilai-
nilai yang dikandung Tou tidak hanya menekankan mengenai
150 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
pengaturan bersama kepentingan kelompok-kelompok dalam
komunitas. Nilai-nilai Tou terutama menyangkut kecerdasan,
ketajaman dan kesadaran semua elemen dalam mengelola
keragaman, disertai keberanian berkomitmen terhadap
konsesus yang dibuat.
Redefinisi dan rekonstruksi Tou ada dalam posisi
demikian, mengklaim kembali, memahami secara baru dan
mengkonstruksi Tou sebagai identitas sosial. Artinya, redefinisi
dan rekonstruksi Tou sebagai identitas sosial akan
mengembalikan Tou sebagaimana para leluhur mendefinisikan
dan mengkonstruksinya sebagai identitas sosial. Apa yang telah
saya kerjakan dalam Bab IV dan Bab V menjelaskan bahwa
redefinisi Tou mensyaratkan kesediaan memahami moral
kultural yang diemban para leluhur ketika merumuskan Tou
sebagai identitas bersama para taranak.
Intinya, rekonstruksi Tou harus merujuk pada kesadaran
moral sosial yang kuat bahwa Tou adalah pilihan strategis yang
diambil para leluhur Minahasa dalam upaya mengolah
keragaman mereka. Karenanya, paparan Dalam Bab IV dan V
diharapkan cukup untuk menyediakan semua kebutuhan
redefinisi dan rekonstruksi Tou sebagai identitas sosial
masyarakat di tanah Minahasa kini. Selanjutnya, rekonstruksi
Tou tidak bisa tidak harus dapat menjalin kembali keretakan
sosial karena marginalisisi nilai-nilai kultural Tou oleh
pendatang dan reduksi Tou oleh masyarakat lokal.
Pada tataran demikian, jelas bahwa gerakan perlawanan
masyarakat lokal yang telah meletakkan Tou sebagai sentral
rekonstruksi identitas sudah menjadi langkah awal yang baik.
Meskipun demikian, titik berat sebagian masyarakat pada
identitas primordial yang mempolarisasikan masyarakat pada
Tou Minahasa asli versus bukan asli, Tou Minahasa kristen
versus bukan kristen harus dicatat secara tegas sebagai
memperuncing gesekan dan bertentangan dengan makna hakiki
Tou. Hal demikian juga yang dikuatirkan Durkheim, yakni ketika
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 151
kesadaran kolektif menguat pada kelompok-kelompok dalam
masyarakat dan mengabaikan kesadaran kolektif secara umum.
Karena jika demikian yang terjadi, maka solidaritas sosial
masyarakat organik akan lemah, bahkan dapat menjadi anomi.
Di pihak lain, marginalisasi nilai kultural Minahasa oleh
pendatang menjadi catatan penting, bahwa kehadiran pendatang
yang tidak mengerti signifikansi identitas Tou merupakan fakta
yang tidak terhindarkan. Karenanya, kesadaran mengenai
pentingnya melakukan redefinisi dan rekonstruksi Tou sebagai
identitas sosial harus menjadi gerakan moral sosial. Gerakan
moral sosial yang memilih dengan sadar untuk mengklaim
kembali Tou sebagai identitas dari masyarakat di tanah
Minahasa kini. Mengklaim kembali Tou sebagai nafas hidup yang
memungkinkan masyarakat di tanah Minahasa kini yang plural
agama, suku dan ras hidup dan berproses bersama sebagai
masyarakat. Inilah juga yang dimaksudkan Durkheim dengan
penjelasannya mengenai bagaimana mengelola penyimpangan
sosial secara positif. Durhkeim pecaya, bahwa penyimpangan
sosial dapat dikelola sebagai kekuatan yang menggerakan
masyarakat untuk menegaskan kembali nilai-nilai moral di mana
solidaritas itu berpijak. Dengan kata lain, masyarakat perlu di
dorong untuk membuat peraturan yang dapat meminimalisir
penyimpangan dan juga kesadaran untuk terus-menerus
memperkuat kembali dasar moral.17
2. Tou sebagai identitas sosial tanah Minahasa dalam
konteks NKRI
Dalam bagian 1 Bab ini saya telah menjelaskan bahwa
pilihan untuk meredefinisi dan merekonstruksi Tou sebagai
identitas sosial, merupakan pilihan strategis berhadapan dengan
penyimpangan sosial di tanah Minahasa kini. Karenanya,
redefinisi dan rekonstruksi Tou adalah upaya mengklaim
17 Doyle, Teori Sosiologi…, 195.
152 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
kembali pemaknaan Tou sebagaimana dimaksudkan para
leluhur. Redefinisi dan rekonstruksi Tou adalah juga upaya
menemukan kembali identitas diri dan sosial yang menjadi
dasar berpijak dalam keberadan sebagai masyarakat di tanah
Minahasa dan juga sebagai warga NKRI.
Untuk mendapatkan kembali makna asali Tou, saya telah
melakukan kajian terhadap data-data kultural—termasuk di
dalamnya mengakomodir data dari ritual kampetan yang
dilakukan para Tona’as yang menjadi sumber data penelitian ini.
Dalam bab IV telah saya jelaskan bahwa ritual ini merupakan
ritual yang menjadi primadona dikalangan pelaku-pelaku
budaya Minahasa kini. Ritual ini menjadi cara untuk
menghubungkan kembali para pelaku budaya kini dengan para
leluhur yang merasuki tubuh Tona’as. Selain itu, ritual demikian
dilaksanakan dalam rangka memelihara hubungan dengan masa
lalu/leluhur dan juga dalam rangka melestarikan identitas moral
kelompok, dan bukan karena tujuan tertentu.18
Dalam pelaksanaan ritual kampetan, biasanya Tona’as
yang telah mengalami kesurupan (trance) akan menyampaikan
nasihat-nasihat dari para leluhur untuk dilakukan para
turunannya (masyarakat lokal di tanah Minahasa). Ucapan-
ucapan leluhur yang menggunakan bahasa Minahasa tua dapat
dimengerti oleh para peserta ritual karena diterjemahkan oleh
pembantu Tona’as.19 Dalam bab IV saya menjelaskan, bahwa
penuturan Tona’as yang kesurupan saya terima sebagai data
karena demikianlah mereka menggambarkan dan menuturkan
mengenai pemahaman mereka tentang diri, komunitasnya,
masyarakat dan dunia mereka. Berdasar observasi dan
wawancara yang saya lakukakan, saya menyimpulkan bahwa
18 Ibid, 533.
19 Orang-orang Minahasa yang tinggal di kampung-kampung pada umumnya
masih menggunakan bahasa Minahasa sebagai bahasa komunikasi, terutama yang
berusia 55 tahun ke atas. Pada umumnya, meskipun mereka tidak fasih lagi
menggunakan bahasa Minahasa dalam percakapan, tetapi sebagian besar mengerti
apa yang diucapkan orang lain dalam percakapan.
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 153
ritual-ritual, termasuk kampetan adalah cara mereka
mengekpresikan perasaan, realitas yang mereka hadapi dan
pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban-jawaban
segera.
Kesimpulan demikian, sejalan dengan penjelasan Victor
Turner, bahwa ritual selalu terkait atau merupakan ekspresi
komunitas mengenai apa yang mereka alami, rasakan dan
harapkan. Karenanya, menurut Turner semakin tinggi frekuensi
pelaksanaan ritual berkorelasi dengan kompleksitas konflik
yang dialami komunitas suku.20 Apa artinya? artinya, semua
yang terpapar dalam realitas sosial sangat terkait erat dengan
ritual. Oleh karena itu, ritus tidak hanya dipahami sebagai
prosesi upacara keagamaan semata, tetapi juga menyangkut
prosesi hidup sebagai masyarakat. Bagaimana masyarakat
berelasi, memahami relasi yang berlangsung, dan menerima
perubahan-perubahan dalam relasi sebagai prosesi ritual.21 Pada
posisi demikian, ritus adalah juga tahapan yang menggambarkan
bagaimana realitas sosial dirajut. Sejalan dengan Turner, Genep
juga memberi penekanan yang sama terhadap pelaksanaan
ritual. Bagi Genep pelaksanaan ritual sangat terkait dengan
realitas hidup yang dihadapi masyarakat. Karenanya, seluruh
tahapan manusia selalu terkait dengan ritus (telah dijelaskan
dalam Bab III).
Durkheimpun melihat hal yang sama, bahwa ritus
dilaksanakan dalam rangka menyatukan komunitas, dan juga
mengikat mereka dalam pengalaman yang sama. Pengalaman
yang sama yang akan terulang setiap kali mereka melakukan
ritual. Mengacu pada Turner, Genep dan Durkheim, maka dapat
disimpulkan, bahwa ritual kampetan, adalah juga cara
masyarakat lokal mengelola keinginan dan harapan mereka
terhadap kehidupan yang mereka jalani sebagai bagian dari
20 Ibid, 6,10.
21
Ibid, 7.
154 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
masyarakat di tanah Minahasa kini, masyarakat Sulawesi Utara
dan juga sebagai bagian dari NKRI.
Dengan memaparkan kembali proses pengklaiman Tou
yang demikian, saya ingin menegaskan bahwa Tou adalah tanah,
manusia, alam dan semua yang berjejalin dengan spitualitas
khas dalam wale, walak, pakasa’an, dan yang kemudian menjadi
Minahasa. Tou adalah bagian yang turut bersepakat ketika
Negara Indonesia merdeka akan dibetuk. Tou adalah identitas
kultural yang termanifestasi dalam cara pikir, perilaku dan
tindakan orang-orang di tanah Minahasa yang menyatakan diri
sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengklaim kembali Tou adalah cara masyarakat
membangun kembali solidaritas sosial melalui ritual kepada The
Sacred. Singkatnya, ritual menjadi sarana untuk menghidupkan
kembali pengalaman-pengalaman bersama sebagai masyarakat
lokal Minahasa yang menyatu dalam NKRI. Solidaritas sosial
yang demikian mempertegas pemikiran Durkheim mengenai
keterkaitan yang kuat antara pengalaman-pengalaman sosial
yang dihadapi masyarakat dengan ritual kepada The Sacred.
Pengalaman-pengalaman sosial yang tidak hanya mengikat
masyarakat sebagai kesatuan, tetapi juga menegaskan bahwa
pengalaman-pengalaman tersebut adalah juga pengalaman
religius.
Mengacu pada Durkeim dapat disimpulkan, bahwa NKRI
sebagai buah solidaritas sosial tidak sekedar wadah bersama
dari kepelbagian masyarakat yang menyatakan diri sebagai
Indonesia. Karenanya, meskipun dalam bahasa politis,
penggabungan Minahasa ke dalam NKRI dipahami sebagai klaim
negara terhadap etnik. Klaim negara yang telah mengerakkan
masyarakat etnis untuk rela bergabung membentuk komunitas
yang setara dan mengeyampingkan latar-belakang rasial, agama
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 155
atau bahasa yang berbeda.22 Lebih dari itu, NKRI adalah realitas
yang kudus yang menjadi ruang bersama dari kepelbagian
masyarakat, termasuk identitas Tou Minahasa. Kekudusan NKRI
sebagai ruang bersama, turut juga menegaskan kekudusan
identitas Minahasa. Karenanya, mengancam solidaritas sosial
NKRI dan identitas Tou Minahasa adalah juga ancaman terhadap
kekudusan bermasyarakat dan berbangsa.
Penjelasan di atas penting dipaparkan, dalam rangka
memposisikan kembali Tou sebagai identitas sosial di tanah
Minahasa kini dalam konteks NKRI dengan Pancasila sebagai
identitas kebangsaan.
Dalam Bab II, telah saya deskpripsikan historisitas
Penetapan Pancasila sebagai dasar Negara. Penetapan yang telah
melewati pergulatan pemikiran, terutama antara kalangan
nasionalis dan Islam. Karenanya penetapan Pancasila sebagai
dasar negara dan juga penghapusan tujuh kata dalam
mukadimah UUD 1945, menegaskan bahwa persoalan
pengutamaan kelompok tertentu telah selesai. Pancasila menjadi
payung yang mengatasi identitas-identitas sosial (lokal) di
Indonesia dan meletakan semuanya pada tataran sejajar.
Meskipun demikian tidak dengan begitu saja gerakan-gerakan
lokal turut berakhir. Dalam perjalanan berbangsa dan
bernegara, persoalan pengelolaan relasi antara pemerintah
NKRI dengan masyarakat lokal, masih menjadi penyebab
menguatnya kembali gerakan-gerakan lokal di beberapa tempat
di Indonesia.
Gerakan lokal yang terjadi di tanah Minahasa dalam
kaitan dengan NKRI, yakni gerakan rakyat yang menyebut diri
sebagai PERMESTA (Perjuangan Rakyat Semesta). Kelahiran
PERMESTA dilatar-belakangi oleh kekecewaan terhadap
perkembangan bernegara di era 1950-an, yang cenderung
22 David Brown, Ethnic Conflict and Nationalism, dalam John Hutchinson,
Ethnicity, 307.
156 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
memprioritaskan Jawa dan mengabaikan kepentingan daerah-
daerah luar Jawa. George McT. Kahin menyimpulkan
kekecewaan rakyat diluar Jawa sebagai ekspresi dari kesadaran
politik bahwa mereka diabaikan dan dibedakan dari suatu kasta
pimpinan nasional yang semakin Jawa sentris di Jakarta.23
Kompleksitas permasalahan semakin berkembang,
karena kepentingan politik, ekonomi dan kesejahteraan rakyat
di luar Jawa—khususnya di Sulawesi sangat jauh dari yang
diharapkan. Barbara Sillars Harvey dalam bukunya yang
berjudul PERMESTA Pemberontakan Setengah hati, memberi
contoh kasus harga penjualan kopra dan pengurusan distribusi
kopra yang tidak memenuhi ekspetasi masyarakat di Sulawesi,
khususnya Minahasa.24
Permesta awalnya direncanakan oleh orang-orang sipil
yang tergabung dalam Partai Kedaulatan Rakyat (PKR). Anggota-
anggota PKR ini memegang jabatan-jabatan penting dalam
pemerintahan di Sulawesi—termasuk di dalamnya Gubernur
Sulawesi, Andi Burhanuddin. Pada bulan Februari 1957 Andi
Burhanuddin mengatasnamakan rakyat Sulawesi menyampai-
kan kepada Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri
tuntutan agar Provinsi Sulawesi diberi status otonom dalam
tempo satu bulan. Harvey mencatat tuntutan-tuntutan tersebut
sebagai berikut:
Supaya disediakan uang untuk proyek-proyek pembangunan di provinsi; dan supaya diberi prioritas bagi suatu pembagian penghasilan provinsi, yaitu 70% dari penghasilan ditahan oleh daerah, dan 30 % untuk pemerintah pusat. …dia telah membicarakan dengan Menteri tentang
23 George McT. Kahin, Kata Pendahuluan, dalam Barbara Sillars Harvey,
PERMESTA Pemberontakan Setengan Hati. Terjemahan oleh Inkultra (Jakarta:
Grafiti Pers, 1984), 2.
24
Pejelasan lengkap mengenai kekecewaan Sulawesi, termasuk Sulawesi Utara
terhadap pemerintah pusat dapat di baca dalam tulisan Barbara Sillars Harvey,
PERMESTA Pemberontakan Setengan Hati, 49-53.
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 157
keinginan rakyat Sulawesi untuk membagi pulau ini menjadi dua provinsi otonom…Gubernur mengatakan, sangat diharapkan untuk mengangkat orang-orang Sulawesi menduduki jabatan-jabatan administrasi dalam provinsi, sebab orang-orang setempat lebih menyadari adat dan tradisi setempat, yang membuat pekerjaan lebih lancar.25
Gejolak dalam masyarakat di Sulawesi semakin menguat,
karena tuntutan-tuntutan mereka tidak ditanggapi oleh
pemerintah pusat. Kekecewaan mendorong PKR untuk
melakukan gerakan-gerakan yang lebih kuat, khususnya
membangun komitmen dan kesadaran yang sama dengan
kelompok-kelompok lain. Harvey menjelaskan bahwa selama
bulan Februari 1957 telah dilakukan rapat-rapat dengan
kelompok-kelompok pemuda, sipil yang lebih tua, dan perwira
militer setempat (yakni dengan Letnan Saleh Lahade yang
kemudian menjadi penghubung dengan para perwira militer
senior asal Indonesia Timur).26
Pada 2 Februari 1957, Saleh Lahade mewakili Sulawesi
membacakan Piagam Perjuangan Semesta Alam. Piagam ini
menuntut otonomi provinsi, perhatian pada perkembangan
wilayah, alokasi dana yang lebih adil dari penghasilan dan
devisa asing, pengesahan dan perdagangan barter,
pembangunan Indonesia Timur sebagai daerah pertahanan
territorial dan pemberian suatu mandat untuk penyelesaian
keamanan di daerah.27
Penting untuk dicatat, bahwa gerakan lokal tersebut
kemudian menyebabkan perang saudara antara pemerintah
pusat dan pemerintah Sulawesi. Perang tersebut kemudian
terpusat di Manado-Minahasa karena pusat komando
25 Ibid, 62,63.
26
Ibid, 64.
27
Ibid, 70.
158 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
PERMESTA yang dipindahkan dari makasar ke Manado-
Minahasa. Maret 1957, Ventje Sumual membacakan Deklarasi
politik PERMESTA dengan tetap meletakkan gerakan tersebut
dalam bingkai Negara Republik Indonesia.28 Suatu deklarasi
politik yang menginginkan perubahan mendasar di wilayah
Sulawesi.
Memaparkan PERMESTA sebagai gerakan rakyat adalah
upaya untuk menunjuk kegagalan pengelolaan relasi identitas
ethnic-nation yang pernah terjadi antara NKRI dan Minahasa.
Kajian-kajian yang dilakukan Harvey, menjelaskan bahwa ada
kesalahan pengurusan administrasi negara dalam relasi dengan
kepentingan lokal. Kajian ini sejalan dengan penjelasan Brown
bahwa relasi identitas etnik dengan identitas bangsa sangat
tergantung pada kapasitas negara mengelola administrasi.29 Jika
negara mampu mengelola manajemen relasinya dengan
masyarakat etnis secara proporsional, maka konflik dapat
diminimalisir. Di sisi lain, Brown juga mengingatkan bahwa
dalam relasi identitas bangsa dan identitas etnis seringkali
negara bersikap ambigu. Negara memberi perhatian pada warga
negara yang memiliki atribut kultural yang kuat, dan
memarginalisasi kepentingan masyarakat yang memiliki atribut
kultural yang lemah.
Kasus PERMESTA bisa saja dilihat dari sudut teori
Brown di atas, mengingat penggabungan ke NKRI
mengharuskan penguatan solidaritas nasional, sementara itu
basis-basis kultural yang awalnya kuat mulai diminimalisir. Di
sisi lain, kasus PERMESTA juga mengindikasikan, bahwa
kekuatan-kekuatan kultural dapat dibangkitkan oleh kesadaran
bersama mengenai kepentingan lokal mereka yang tergerus.
Kesadaran yang kemudian mendorong masyarakat Minahasa
melalui PERMESTA untuk merebut kembali hak atas tanah, hak
28 Ibid, 165.
29
Brown, Ethnic…, 306.
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 159
atas kehidupan yang sejahtera dan setara sesuai tujuan
penyatuan dengan NKRI.
Gerakan berbasis kultural, kembali terjadi melalui
pelaksanaan Konggres Minahasa Raya pada 5 Agustus 2000.
Konggres ini diprakarsai oleh Tua-tua Adat, Tua-tua kampung
dari 7 pakasa’an, tokoh agama dan masyarakat, kalangan
masyarakat umum dan para pejabat lokal (al. Wakil Gubernur
Fredy Sualang dan Bupati Minahasa Dolvie Tanor). Konggres
Minahasa Raya dilaksanakan sebagai reaksi terhadap
kecederungan politik nasional yang berwajah sektarian Islam,
terutama terkait dengan rencana MPR untuk memasukkan
Piagam Jakarta dalam amandemen UUD’45. Selanjutnya,
Konggres ini merumuskan Rekomendasi Sidang sebagai berikut:
Satu. Menpertegas kembali komitmen ke-Minahasaan di dalam ke-Indonesiaan, di dalam negara Republik Indonesia sebagai yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 berdasarkan Undang-undang dasar 1945. Penegasan ini bersumber dari kesadaran bahwa sejak berdirinya republik ini, komponen-komponen rakyat Minahasa sudah terlibat dalam peran aktif tanpa pamrih. Bahkan tidak sedikit jiwa dan raga rakyat Minahasa yang telah dipersembahkan bagi tegaknya negara RI.
Dua. Menolak segala kecederungan dan usaha yang hendak memecah-belah keutuhan dan kebersamaan bangsa Indonesia di dalam NRI dengan cara memasukkan gagasan “Piagam Djakarta” dan bentuk-bentuk sejenisnya dalam bentuk apapun ke dalam UUD 1945-Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya. Keinginan politik sektarian berbasis agama seperti ini hanya akan membatalkan seluruh komitmen kebangsaan Indonesia yang telah melahirkan NRI bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Jika keinginan untuk membatalkan komitmen proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan
160 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
UUD 1945 diluluskan atau bahkan dikompromikan sedikitpun, maka pada saat yang sama eksistensi keberadaan NKRI berakhir. Pada saat itu juga rakyat Minahasa terlepas dari seluruh ikatan dengan ke-Indonesiaan dan berhak membatalkan komitmen ke-Minahasaan dalam ke-Indonesiaan. Dengan demikian, maka rakyat Minahasa berhak menentukan nasibnya sendiri untuk masa depan.
Tiga. Menentang dan mengutuk segala bentuk kekerasan yang dijadikan alat politik untuk mempertentangkan komponen-komponen bangsa Indonesia, serta mendesak seluruh unsur pimpinan negara di Jakarta (eksekutif, legislatif, dan judikatif serta militer) untuk menyelesaikan konflik-konflik dan kerusuhan-kerusuhan yang telah dijadikan bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) serta menutup segala kemungkinan munculnya konflik-konflik dan kerusuhan-kerusuhan serupa terjadi.30
Mengacu pada rumusan rekomendasi Konggres tersebut
di atas, jelas bahwa gerakan berbasis identitas lokal Minahasa
dilakukan sebagai upaya mengklaim kembali kesepakatan
Minahasa-NKRI pada saat menyatakan diri menjadi bagian NKRI.
Hal menarik lainnya yang juga tercetus dalam Konggres
Minahasa tersebut, yakni wacana Minahasa Merdeka digemakan
sebagai tindakan lanjutan yang akan diambil rakyat Minahasa
jika MPR tetap memasukkan Piagam Jakarta dalam amandemen
UUD’45. Wacana tersebut memang tidak mendapat tanggapan
serius dari pemerintah pusat karena hanya dilihat sebagai
seruan yang tidak menjadi penanda gerakan makar terhadap
NKRI. Meskipun demikian, wacana Minahasa Merdeka
mendeskripsikan dengan jelas kegusaran dan kekritisan
masyarakat lokal Minahasa terkait dengan pengelolaan relasi
nation-etnis di Indonesia.
30 https://m.facebook.com.
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 161
Wacana Minahasa Merdeka kembali didengungkan oleh
beberapa kelompok masyarakat kini, sebagai tanggapan
terhadap pergulatan politik nasional berbasis SARA yang
menguat di Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia sejak awal
tahun 2017.31 Meskipun wacana tersebut hanya dilakukan oleh
beberapa kelompok, tetapi cukup mendeskripsikan mengenai
relasi identitas keminahasaan yang terus berdialektika dengan
identitas kebangsaan.
Kecenderungan sosial demikian semakin mengugah
kesadaran bahwa redefinisi dan rekonstruksi Tou berhadapan
dengan identitas NKRI merupakan kebutuhan mendesak.
Redefinisi dan rekonstruksi Tou berhadapan dengan identitas
NKRI adalah juga bagaimana masyarakat di tanah Minahasa kini
memahami Tou sebagai identitas sosial keminahasaan yang
mengindonesia. Saya merekam harapan Ketua Aliansi
Masyarakat Adat Nasional Sulut, Allan Sumele sebagai berikut:
Bagi saya generasi masa kini adalah generasi yang bertugas mencari hal-hal baik yang pernah ada di masa lampau dan kemudian menilai apa yang baik yang ada di masa Kini supaya ada yang bisa diwariskan lagi bagi generasi di masa depan. Selanjutnya menurut saya, pergeseran-pergeseran dalam masyarakat kita terjadi al. karena penguasaan-penguasaan negara melalui kebi-jakan-kebijakannya yang merubah pengakuan terhadap lokal dan mengenyampingkan nilai-nilai lokal. Kemudian bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut tidak bertolak-belakang dengan kearifan lokal, sehingga menyebabkan banyak hal terjadi. Kita juga perlu memperkuat diri dengan nilai-nilai
31 Wacana Minahasa Merdeka kembali didengungkan, terutama berkaitan dengan
gerakan-gerakan sektarian Islam yang berusaha menekan pemerintah Pusat dan
masyarakat DKI terkait dengan pelaksanaan PILKADA DKI. Tekanan-tekanan
yang dilakukan yang telah mendiskreditkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahya
Purnama dan mengkaitkan dengan keberadaanya sebagai orang Kristen telah
menyinggung perasaan kebangsaan masyarakat Minahasa. Gerakan-gerakan
sektarian tersebut dinilai telah mencederai kesetaraan sebagai warga bangsa.
162 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
budaya agar kita tidak gampang ikut arus, dan dapat bersikap. Seperti lalu di masa-masa awal sebagai bagian NKRI, gerakan Permesta yang dilakukan tua-tua kita karena mereka ingin memiliki hak atas pengelolaan tanah.32
Pemaparan dalam Bagian ini semakin mempertegas
pentingnya redefinisi dan rekonstruksi Tou sebagai identitas
sosial di tanah Minahasa dalam konteks NKRI. Saya mencatat
bahwa kepentingan redefinisi dan rekonstruksi Tou bertujuan
menjadikan masyarakat di tanah Minahasa sebagai warga NKRI
yang hidup dan dihidupi oleh nilai Tou.
Redefinisi dan rekonstruksi Tou dalam hadap-hadapan
dengan NKRI adalah juga upaya memahami kembali identitas
diri dan identitas keminahasaannya dalam rangka
memposisikan diri secara proporsional dalam konteks NKRI. Hal
demikian sangat dimungkinkan, karena nilai-nilai Tou yang
egaliter menyediakan kebutuhan-kebutuhan masyarakat di
tanah Minahasa untuk setia pada komitmen NKRI dengan
berbasis pada penguatan-penguatan lokal keminahasaan.
Bersamaan dengan itu, nilai-nilai Tou yang egaliter akan terus
merangsang negara untuk memeriksa kembali manajemen
relasinya dengan etnis dan kelompok-kelompok lokal lainnya.
Mengapa manajemen relasi NKRI dengan etnisitas penting?
Karena jika tidak, manajemen yang rapuh dapat menjadi
penyebab pencideraan terhadap NKRI.
Dalam bagian sebelumnya, mengacu pada pemikiran
Durkheim mengenai keterkaitan solidaritas sosial, ritual pada
The Sacred, saya menjelaskan bahwa disepakatinya
pembentukan NKRI dengan Pacasila sebagai dasar negara tidak
hanya mengikat masyarakat sebagai kesatuan. Lebih dari itu,
kesepakatan yang melewati pergulatan intelektual dan batin
adalah juga pengalaman relijius sebagai bangsa. Dengan
32 Wawancara dengan Allan Sumele, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
SULUT, Manado, 2015.
Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 163
demikian, NKRI sebagai buah solidaritas sosial tidak sekedar
wadah bersama dari kepelbagian masyarakat yang menyatakan
diri sebagai Indonesia. NKRI merupakan realitas yang kudus
karena dibidani oleh pengalaman relijius sebagai bangsa. NKRI
demikian yang menjadi ruang bersama dari kepelbagian
masyarakat, termasuk identitas Tou Minahasa. Karenanya,
kekudusan NKRI sebagai ruang bersama, turut juga menegaskan
kekudusan identitas Tou Minahasa. Itu artinya, tindakan-
tindakan yang membahayakan solidaritas NKRI—termasuk di
dalamnya pengelolaan relasi dengan masyarakat etnis oleh
pemerintah- dapat menjadi ancaman terhadap kekudusan
berbangsa. Bersamaan dengan itu, reduksi identitas dan
pengabaian identitas Keminahasaan dalam konteks NKRI adalah
juga tindakan yang sama membahayakan bagi NKRI. Karena
pada dasarnya, identitas Minahasa adalah juga salah satu tiang
yang menyangga kekokohan bangunan NKRI. Pentingnya
redefinisi dan rekonstruksi Tou ada dalam posisi ini, yakni
bagaimana mengembalikan Tou sebagai identitas sosial
Minahasa yang mengokohkan bangunan NKRI.