BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE … BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP...
Transcript of BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE … BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP...
81
BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA
TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina,
Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu kawasan
perdagangan bebas. Persetujuan tersebut resmi ditandatangani pada bulan
Oktober 2009 di Thailand. FTA ini akan menjadi kawasan FTA terbesar di
seluruh dunia karena akan menyebabkan terjadinya integrasi perekonomian yang
melibatkan jumlah konsumen yang sangat besar. Implikasi bagi Indonesia dan
negara lain yang terlibat adalah tentu saja harus menghadapi pasar bebas kawasan
ASEAN Plus Three dengan tingkat persaingan yang lebih ketat. Karena
hambatan-hambatan perdagangan yang salah satu bentuknya adalah tarif akan
dihapuskan. Dalam bab ini akan dibahas lebih dalam mengenai dampak dari
diberlakukannya FTA ASEAN Plus Three (Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura, Thailand, Cina, Jepang dan Rep. Korea) terhadap ekonomi makro dan
sektoral, khususnya bagi Indonesia.
6.1. Dampak ASEAN Plus Three Free Trade Area (FTA) terhadap Ekonomi Makro Indonesia Pengaruh penghapusan tarif terhadap beberapa peubah ekonomi makro di
masing-masing negara (ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea) sesuai dengan
kesepakatan kerjasama ASEAN Plus Three (ASEAN, Cina, Jepang dan Rep.
Korea) pada komoditi yang diperdagangkan dapat dilihat pada Tabel 6.2.
Penghapusan tarif berdampak pada peningkatan kesejahteraan semua negara
anggota ASEAN dan Cina, Jepang serta Rep. Korea yang terlihat dari adanya
peningkatan nilai equivalent variation pada masing-masing negara ASEAN Plus Three. Hal ini mengimplikasikan bahwa pembentukan kerjasama FTA ASEAN
Plus Three setidaknya memiliki pengaruh positif bagi negara yang terlibat.
Peningkatan kesejahteraan yang terjadi pada ASEAN Plus Three karena adanya
trade creation effect dimana kesejahteraan masyarakat meningkat karena
memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah. Trade creation adalah
penggantian produk domestik negara yang melakukan FTA dengan produk impor
yang lebih murah dari anggota lain. Jika seluruh sumber daya digunakan secara
82
full employment dan dengan melakukan spesialisasi berdasarkan comparative advantage, masing-masing negara akan memperoleh dampak positif berupa
peningkatan kesejahteraan masyarakat karena memperoleh barang dengan harga
yang relatif lebih murah. Indonesia mengalami peningkatan kesejahteraan sebesar
US$ 685.90 juta. Sementara peningkatan terkecil dialami oleh Filipina yaitu
sebesar US$ 148.85 juta dan peningkatan paling besar dialami oleh Jepang yaitu
sebesar US$ 8428.85 juta. Jika dibandingkan dengan negara sesama ASEAN
lainnya seperti Thailand dan Malaysia, Indonesia masih mengalami peningkatan
yang jauh lebih kecil. Hal ini mencerminkan bahwa trade creation effect di
Thailand dan Malaysia lebih berpengaruh positif dibanding di Indonesia.
Jika dilihat dampak FTA dalam skema ASEAN Plus Three terhadap
performa pertumbuhan nasional, maka secara keseluruhan terjadi peningkatan
Produk Domestik Bruto (PDB) riil di semua negara ASEAN Plus Three, kecuali
Singapura yang mengalami penurunan PDB riil sebesar 0.03 persen. Sebagai
negara berkembang yang masih mengandalkan ekspor sebagai instrumen untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi, peningkatan PDB riil yang dialami Indonesia
relatif kecil, yaitu hanya sebesar 0.18 persen. Lebih kecil dibanding Filipina,
Malaysia dan Thailand. Dimana Thailand mengalami peningkatan PDB riil paling
besar yaitu sebesar 1.34 persen. Di kawasan Asia Timur, Rep. Korea mengalami
peningkatan PDB riil paling besar, yaitu 0.56 persen. Sementara peningkatan PDB
riil pada Cina dan Jepang masing-masing hanya sebesar 0.13 persen dan 0.05
persen. Kuantitas PDB meningkat dengan besaran yang relatif kecil dan lebih
disebabkan oleh peningkatan konsumsi walaupun di satu sisi investasi meningkat,
tetapi peningkatannya relatif kecil untuk mendorong peningkatan PDB kuantitas
(volume). Uraian tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.2.
Peningkatan PDB riil Indonesia dan negara ASEAN Plus Three lainnya
lebih disebabkan karena peningkatan investasi dan konsumsi rumah tangga.
Namun investasi yang terjadi di Indonesia jauh lebih kecil dari yang terjadi di
Malaysia dan Thailand. Ini menunjukkan bahwa daya tarik Investasi di Indonesia
lebih lemah jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand. Hal ini diperkuat
dengan data Global Competitiveness Index dalam World Economic Forum (2010),
dimana peringkat Indonesia jauh berada di bawah Malaysia dan Thailand.
83
Indonesia berperingkat 44, sementara Thailand berada pada peringkat 38 dan
Malaysia peringkat 26.
Jika dilihat hasil simulasi penghapusan tarif terhadap PDB deflator atau
tingkat inflasi di negara ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea meski
meningkatkan inflasi, namun peningkatannya relatif kecil, bahkan untuk Malaysia
dan Filipina terjadi penurunan tingkat inflasi yakni masing-masing sebesar 0.29
persen dan 0.17 persen. Sedangakan Indonesia meningkat sebesar 0.25 persen,
Singapura sebesar 1.12 persen, Thailand sebesar 3.53 persen. Untuk Cina, Jepang
dan Rep. Korea meningkat masing-masing sebesar 0.35 persen; 1,07 persen dan
1.58 persen. Meningkatnya PDB deflator di negara-negara ASEAN ini, termasuk
Indonesia, salah satunya karena masih tingginya tingkat ketergantungan beberapa
komoditi impor khususnya dari Cina yang harganya menjadi meningkat sehingga
mempengaruhi indeks harga umum. Secara umum hal tersebut mengartikan
bahwa antar sesama negara ASEAN Plus Three mengalami saling ketergantungan
terhadap barang-barang impor dari sesama negara ASEAN Plus Three itu sendiri.
Dengan adanya saling ketergantungan tersebut, ketika tarif impor dihapuskan,
maka permintaan terhadap barang-barang impor dapat dipastikan langsung
meningkat, sehingga harganya pun akan meningkat menyesuaikan tingkat
permintaan dan mempengaruhi indeks harga umum.
Variabel Term of Trade (TOT) atau kurs riil mencerminkan harga relatif
barang-barang antara dua negara. Dari hasil simulasi, TOT negara ASEAN
menjadi meningkat karena adanya penghapusan tarif impor (kecuali Filipina).
Kurs riil atau TOT tinggi mencerminkan barang-barang impor relatif lebih murah
dan barang-barang domestik di negara-negara ASEAN relatif lebih mahal. Hal ini
berarti dengan adanya penghapusan tarif impor maka negara ASEAN semakin
turun daya saingnya, dimana dalam hal ini Thailand yang paling besar mengalami
peningkatan TOT. Sedangkan TOT Cina, menurun sebesar 0.004 persen, yang
menandakan produk yang diperdagangkan dari Cina sedikit meningkat daya
saingnya dengan penghapusan tarif di negara-negara ASEAN, Cina, Jepang dan
Rep. Korea.
Lebih jauh, dampak kenaikan atau penurunan ekspor dan impor secara
total masing-masing sektor di negara ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea
maupun sebaliknya berdampak pada neraca perdagangan di hampir seluruh negara
84
yang terlibat. Pada Tabel 6.2 terlihat bahwa neraca perdagangan semua negara
mengalami penurunan, namun sebenarnya dengan adanya FTA ini justru
memperbaiki neraca perdagangan diantara sesama negara ASEAN Plus Three.
Karena pada kondisi awal sebelum diberlakukannya FTA neraca perdagangan di
hampir seluruh negara yang terlibat sudah mengalami defisit yang jauh lebih besar
(Tabel 6.1). Pada Tabel 6.1 terlihat perbedaan neraca perdagangan antara sebelum
FTA dan sesudah FTA. Pada umumnya neraca perdagangan setiap negara menjadi
lebih baik setelah adanya FTA, kecuali yang dialami oleh Thailand. Perubahan
neraca perdagangan yang relatif paling baik dialami oleh Singapura, yaitu dari
US$ -3,950.80 juta menjadi US$ -97.69 juta. Sementara Indonesia berubah dari
US$ -4,959.60 juta menjadi US$ -491.09 juta. Karena semakin kecilnya defisit
neraca perdagangan, hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya FTA mampu
memperbaiki kinerja perdagangan masing-masing negara yang terlibat.
Tabel 6.1. Neraca Perdagangan Sebelum dan Setelah ASEAN Plus Three FTA (Juta dolar)
Negara Neraca Perdagangan
Sebelum FTA Neraca Perdagangan
Setelah FTA
Indonesia -4,959.60 -491.09 Malaysia -4,743.90 -1,136.65 Filipina -1,543.80 -289.05 Singapura -3,950.80 -97.69 Thailand -5,824.90 -13,730.20 Cina -18,840.20 -3,521.26 Jepang -23,105.50 -2,732.31 Korea -12,090.10 -2,231.78
Sumber: Data Base GTAP versi 7.0 (diolah)
Peningkatan TOT (term of trade) atau kurs riil mengakibatkan barang-
barang dan jasa Indonesia relatif lebih mahal dibandingkan barang dan jasa dari
luar negeri. Hal ini mengakibatkan peningkatan impor Indonesia masih lebih
besar dari peningkatan ekspornya (Tabel 6.2). Walaupun demikian, perubahan
penurunannya tergolong kecil dibandingkan Malaysia dan Thailand serta lebih
kecil juga dibandingkan negara-negara Asia Timur. Neraca perdagangan yang
negatif juga merupakan signal bahwa peningkatan investasi dibiayai oleh saving
(tabungan). Secara teoritis, kenaikan permintaan investasi akan menurunkan
tabungan bersih dan mengurangi persediaan rupiah yang diinvestasikan ke luar
85
negeri, sehingga kurs riil keseimbangan akan meningkat dan mengakibatkan kurs
rupiah mengalami apresiasi, barang-barang domestik menjadi relatif lebih mahal
terhadap barang luar negeri, dan ekspor netto turun. Pada gilirannya, hal ini
mengakibatkan neraca perdagangan menjadi negatif.
Dilihat dari neraca perdagangan dengan negara-negara selain ASEAN Plus
Three maka terjadi peningkatan. Misalnya pada rest of Asia dan rest of the World.
Hal ini menunjukkan bahwa defisit neraca perdagangan yang dialami oleh negara-
negara yang terlibat dalam ASEAN Plus Three FTA dapat dikompensasi apabila
negara-negara tersebut melakukan perdagangan dengan kawasan lain.
Variabel investasi pada masing-masing negara menunjukkan performa
yang berbeda-beda akibat skema FTA ASEAN Plus Three. Diharapkan dengan
FTA ASEAN Plus Three akan memberikan fasilitas bagi penanam modal. Bentuk
fasilitas yang diberikan kepada penanam modal sesuai dengan Undang-Undang RI
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Bab X Pasal 4(a) pajak
penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu
terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu, (b)
pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau
peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri,
(c) pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong
untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu,
(d) pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) atas impor
barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi di dalam negeri
selama jangka waktu tertentu, (e) penyusutan atau amortisasi yang dipercepat, (f)
keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Berdasarkan hasil simulasi yang
ditunjukkan pada Tabel 6.2, investasi Indonesia meningkat relatif kecil yaitu
sebesar 1.57 persen, sedangkan Thailand mengalami peningkatan terbesar
mencapai 36.81 persen dan Malaysia sebesar 10.01 persen. Walaupun untuk
Indonesia peningkatan investasi relatif kecil diharapkan dapat memperluas
kesempatan kerja yang disertai dengan peningkatan keahlian dan keterampilan
sehingga dalam jangka panjang output dapat ditingkatkan dan efisiensi dapat
tercapai. Dengan peningkatan output domestik maka dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri dan akan mengurangi volume impor.
86
Jika seluruh sumber daya digunakan secara penuh dan dengan melakukan
spesialisasi berdasarkan comparative advantage, masing-masing negara akan
memperoleh dampak positif akibat liberalisasi berupa peningkatan kesejahteraan
karena memperoleh barang dengan harga yang relatif murah. Efek positif dari
trade creation tidak hanya berlaku bagi masyarakat yang melakukan konsumsi
namun Pemerintah yang juga melakukan belanja negara, juga mengalami
peningkatan. Pengeluaran Pemerintah menjadi meningkat dengan adanya
penghapusan tarif impor. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan
pengeluaran Pemerintah yang positif dialami kedua belah pihak yaitu negara-
negara ASEAN maupun Cina, Jepang dan Rep. Korea. Pengeluaran pemerintah
yang terbesar terjadi pada negara Thailand yaitu sebesar 6.63 persen, diikuti
Jepang dan Rep Korea masing-masing sebesar 1.16 persen dan 2.49 persen.
Sementara itu pengeluaran pemerintah yang terjadi bagi Indonesia meningkat
sebesar 0.53 persen.
Dibukanya perdagangan antara ASEAN, Cina, Jepang dan Rep Korea
mempunyai konsekuensi yang luas terhadap perekonomian, salah satunya
terhadap konsumsi (consumption effect). Secara teori, salah satu pengaruh pada
konsumsi masyarakat adalah bergesernya garis Consumption Possibility Frontier
(CPF) ke atas. Ini berarti bahwa adanya perdagangan membuat masyarakat bisa
mengkonsumsi dalam jumlah yang lebih besar daripada sebelum adanya
perdagangan. Dengan kata lain bahwa pendapatan riil masyarakat (yaitu
pendapatan yang diukur dari berapa jumlah barang yang bisa dibeli oleh jumlah
uang tersebut) meningkat dengan adanya perdagangan. Hasil simulasi kebijakan
menunjukkan bahwa konsumsi di negara ASEAN Plus Three naik akibat
dihapusnya tarif impor dikedua belah pihak. Konsumsi Indonesia mengalami
peningkatan sebesar 0.5 persen. Persentase peningkatan konsumsi tertinggi
diduduki oleh Thailand sebesar 6.25 persen. Sementara konsumsi di negara
Filipina hanya akan meningkat sebesar 0.17 persen. Cina, jepang dan Rep Korea
juga mengalami peningkatan konsumsi, yaitu masing-masing sebesar 0.57 persen,
1.13 persen dan 2.03 persen. Seluruh informasi mengenai dampak ASEAN Plus Three FTA terhadap konsumsi pada masing-masing negara ditunjukkan pada
Tabel 6.2.
87
Tabel 6.2. Dampak FTA dalam Skema ASEAN Plus Three terhadap Peubah Ekonomi Makro
Negara Neraca
Perdagangan (US$ juta)
Kesejahteraan (US$ juta)
PDB riil (%)
Term of trade (%)
PDB Deflator
(%)
Investasi (%)
Pengeluaran Pemerintah
(%)
Konsumsi Rumah
Tangga(%) Indonesia -491.09 685.90 0.18 0.18 0.25 1.57 0.53 0.5
Malaysia -1136.65 1811.13 0.99 0.15 -0.29 10.01 1.08 0.55
Filipina -289.05 148.85 0.25 -0.18 -0.17 2.39 0.19 0.17
Singapura -97.69 697.90 -0.03 0.44 1.12 1.08 1.21 1.19
Thailand -13730.20 4437.77 1.34 1.95 3.53 36.81 6.63 6.25
Cina -3521.26 2629.35 0.13 -0.004 0.35 1.04 0.5 0.57
Jepang -2732.31 8428.85 0.05 1.08 1.07 0.45 1.16 1.13
Rep. Korea -2231.78 5965.90 0.56 0.92 1.58 2.44 2.49 2.03
Rest Of Asia 1708.21 -4402.81 -0.04 -0.43 -0.68 -0.75 -0.76 -0.75
Rest Of World 25353.07 -13015.75 -0.01 -0.14 -0.36 -0.43 -0.38 -0.38
Sumber: Hasil Analisi GTAP
88
Dampak FTA secara makro ekonomi tersebut sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan Oktaviani, et al (2007) yang mengalisis dampak FTA
ASEAN-Cina dan ASEAN-Rep. Korea. Hasil penelitian tersebut menyebutkan
antara lain PDB negara-negara ASEAN meningkat walaupun relatif kecil.
Peningkatan PDB lebih banyak didorong oleh pengeluaran atau konsumsi
masyarakat yang lebih tinggi. Dengan adanya penghapusan tarif impor negara
ASEAN semakin turun dayasaingnya, terlihat dari peningkatan TOT.
6.2. Dampak Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three terhadap Ekonomi Sektoral Dampak terhadap ekonomi sektoral dapat dijelaskan dengan melihat
dampak FTA ASEAN, Cina, Jepang dan Rep Korea terhadap ekspor, impor,
output dan harga masing-masing komoditi. Tabel 6.3 menunjukkan pengaruh
penghapusan tarif impor di ASEAN Plus Three terhadap beberapa peubah
ekonomi sektoral di Indonesia sesuai dengan kesepakatan kerjasama ASEAN Plus
Three FTA pada komoditi yang diperdagangkan.
Seperti pada uraian sebelumnya, dampak ASEAN Plus Three FTA
mengakibatkan neraca perdagangan di hampir seluruh negara yang terlibat
menjadi lebih baik, terlihat dari semakin kecilnya defisit neraca perdagangan,
kecuali untuk negara Thailand. Walaupun Indonesia banyak melakukan ekspor
pada sektor-sektor tertentu, seperti batu bara, minyak mentah, produk kimia, karet
dan plastik serta logam dan barang-barang dari logam, namun hampir keseluruhan
impor Indonesia meningkat dengan peningkatan antara 1.35 hingga 31.81 persen.
Impor Indonesia dari sektor kimia, karet dan plastik, mesin dan peralatannya,
peralatan elektronik serta kilang minyak dan produk batu bara juga merupakan
komoditi andalan ekspor bagi Indonesia ke pasar ASEAN Plus Three. Hal
demikian dapat terjadi karena selama ini Indonesia masih dilindungi oleh tingkat
tarif impor yang relatif tinggi (Bab V). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi
pada sektor makanan olahan, dimana tarif rata-rata sebelum FTA adalah 11.86
persen. Ketika tarif ini dihilangkan, maka yang terjadi adalah meningkatnya impor
Indonesia akan makanan olahan yakni sebesar 14.24 persen. Kemudian untuk
kendaraan bermotor dan suku cadangnya, tarif rata-rata yang berlaku sebelum
FTA adalah sebesar 8.74 persen. Ketika tarif dihapuskan, maka impor kendaraan
89
bermotor meningkat sebesar 9 persen. Berbeda halnya pada sektor yang tingkat
tarifnya relatif kecil seperti pada minyak mentah dan mineral, dengan rata-rata
tingkat tarif masing-masing sebesar 0.63 persen dan 1.92 persen (Tabel 5.4 Bab
V). Peningkatan impor yang dialami oleh sektor tersebut juga relatif kecil yakni
untuk sektor minyak mentah sebesar 2.67 persen dan mineral sebesar 1.35 persen.
Ekspor di masing-masing komoditi ada yang mengalami peningkatan dan
ada pula yang mengalami penurunan. Penurunan yang akan terjadi berkisar antara
-0.2 hingga -12.1 persen. Peningkatan terbesar terjadi pada komoditi makanan
olahan yaitu sebessar 12.36 persen, diikuti mesin dan perlengkapannya dan
tanaman pangan masing-masing sebesar 8.29 persen dan 7.87 persen. Komoditi-
komoditi yang merupakan andalan ekspor Indonesia ke pasar ASEAN Plus Three
yang diharapkan akan mengalami peningkatan namun tidak terjadi pada seluruh
komoditinya, misalnya pada komoditi batu bara, gas alam, mineral, serta minyak
nabati dan hewani. Namun penurunan yang terjadi hanya berkisar -0.2 persen
hingga 0.59. Sektor andalan ekspor Indonesia yang mengalami peningkatan cukup
besar diantaranya adalah adalah kilang minyak (6.54 persen), produk kimia, karet
dan plastik (5.78 persen) serta peralatan elektronik (6.5 persen).
Fenomena dibalik menurunnya ekspor andalan Indonesia salah satunya
adalah karena pengaruh tarif. Sebelum terjadi FTA, tarif Indonesia di negara-
negara ASEAN Plus Three lainnya untuk sektor andalan ekspor Indonesia sudah
relatif rendah (Tabel 5.3 Bab V). Seperti sektor batu bara (1,05 persen), gas alam
(0.13 persen) dan mineral (0.59 persen). Oleh sebab itu ketika tarif dihapuskan,
maka tidak akan terlalu berpengaruh terhadap performa ekspor sektor-sektor
tersebut.
Dampak terhadap perubahan impor Indonesia juga dapat dilihat dalam
Tabel 6.3. Secara keseluruhan, impor Indonesia mengalami peningkatan.
Peningkatan terbesar justru terjadi pada komoditi gas alam (31.81 persen) yang
merupakan komoditi andalan ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three.
Peningkatan impor yang besar juga terjadi pada komoditi makanan olahan dan
tekstil yang meningkat masing-masing sebesar 14.24 persen dan 10.35 persen.
Peningkatan impor yang terjadi pada seluruh komoditi ini adalah akibat dari
90
penghapusan tarif impor, sehingga harga barang-barang impor menjadi lebih
murah, yang pada akhirnya tingkat permintaan pun semakin meningkat.
Dampak penghapusan tarif terhadap output juga dapat dilihat pada Tabel
6.3. Hasilnya adalah terjadi penurunan output pada hampir seluruh komoditi yang
diperdagangkan Indonesia ke ASEAN, Cina, Jepang dan Rep Korea. Kecuali pada
komoditi tanaman pangan; peternakan, kehutanan, perikanan; produk kimia, karet,
plastik; peralatan elektronik; serta mesin dan peralatannya. Penurunan terbesar
terjadi pada komoditi kendaraan bermotor dan suku cadang yakni sebesar -9.09
persen dan diikuti logam besi sebesar -4.44 persen. Untuk kendaraan bermotor
dan suku cadangnya menunjukkan bahwa jika dibukanya FTA ASEAN Plus
Three industri kendaraan bermotor dan suku cadang domestik dapat semakin
terpuruk karena tingginya permintaan impor. Hal ini disebabkan karena daya
saing indutri ini belum dapat menandingi negara-negara lain khusnya dari Jepang,
Cina dan Rep Korea. Terlihat dari nilai RCA yang rendah pada industri ini (Bab 5,
Tabel 5.5). Hal yang sama dapat terjadi pada industri logam besi Indonesia. Bagi
komoditi-komoditi yang mengalami peningkatan ouput maka dapat dikatakan
bahwa komoditi ini masih mempunyai potensi untuk berdaya saing baik di pasar
domestik ataupun di pasar impor.
Pada tabel yang sama dapat pula dilihat dampak FTA ASEAN Plus Three
terhadap harga output. Harga ouput pada sektor-sektor yang diperdagangkan
Indonesia secara keseluruhan mengalami kenaikan antara 0.27 hingga 1.08 persen.
Penurunan harga ouput juga terjadi khususnya pada komoditi-komoditi yang
menjadi impor terbesar Indonesia, seperti kendaraan bermotor dan suku cadang.
Peningkatan harga output dan penurunan output pada sebagian besar komoditi
yang diperdagangkan Indonesia ASEAN Plus Three menunjukkan Indonesia
belum siap melakukan Free Trade Area dengan ASEAN Plus Three. Liberalisasi
akan memberikan guncangan di sektor riil. Walaupun beberapa komoditi
outputnya mengalami peningkatan, namun secara total neraca perdagangan pun
menunjukkan nilai yang negatif.
Sementara itu, jika dilihat dampak FTA ASEAN, Cina, Jepang dan Rep.
Korea terhadap jumlah tenaga kerja, maka pada sebagian besar industri terjadi
penurunan jumlah tenaga kerja (kesempatan kerja) baik tenaga kerja yang terdidik
91
maupun yang tidak terdidik. Penurunan tersebut terjadi pada industri yang
outputnya mengalami penurunan, seperti industri kendaraan bermotor dan suku
cadang, industri logam besi dan sebagian pada industri manufaktur lainnya.
Sedangkan peningkatan jumlah tenaga kerja yang terdidik maupun yang tidak
terdidik terjadi pada sektor pertanian, seperti tanaman pangan, peternakan,
kehutanan dan perikanan, serta industri tekstil, kimia, karet, plastik dan peralatan
elektronik. Hal tersebut wajar terjadi, karena peningkatan output akan
menyebabkan produsen memerlukan tambahan tenaga kerja baik yang terdidik
maupun tidak terdidik demikian pula sebaliknya.
Peningkatan jumlah tenaga kerja terbesar terjadi pada sektor industri
peralatan elektronik, yaitu sebesar 5.54 persen untuk tenaga kerja yang terdidik
dan 5.44 persen pada tenaga kerja yang tidak terdidik. Hal ini menyebabkan ouput
peralatan elektronik meningkat sebesar 6.5 persen. Sementara itu peningkatan
yang cukup besar terjadi juga pada sektor industri mesin dan peralatannya yaitu
sebesar 3.86 persen untuk tenaga kerja yang terdidik dan 3.76 persen pada tenaga
kerja yang tidak terdidik yang menyebabkan ouput pada industri ini meningkat
sebesar 8.29 persen.
Penurunan jumlah tenaga kerja yang terbesar terjadi pada industri
kendaraan bermotor dan suku cadang, yaitu turun sebesar 9.07 persen pada tenaga
kerja yang terdidik dan 9.17 persen pada tenaga kerja yang tidak terdidik. Hal ini
menyebabkan ouput pada industri ini mengalami penurunan yang cukup besar
yaitu turun sebesar 9.09 persen. Kemudian menyebabkan ekspor industri ini
mengalami penurunan. Kebutuhan domestik akan barang-barang kendaraan
bermotor dan suku cadang lebih banyak diperoleh dari impor, terlihat dari
peningkatan impor kendaraan bermotor dan suku cadang yang cukup besar yaitu
sebesar 9 persen. Hal yang serupa terjadi pula pada industri logam besi, dimana
jumlah tenaga kerjanya menurun menyebabkan ouput dan ekspornya mengalami
penurunan, sementara impornya mengalami peningkatan.
92
Tabel 6.3. Dampak Free Trade Area dalam Skema ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea terhadap Ekspor, Impor, Output dan Harga Domestik Indonesia (perubahan persen)
Sektor Ekspor (qxw)
Impor (qiw)
Output (q0)
Harga ouput (ppd)
Tenaga Kerja
Terdidik Tidak Terdidik
Tanaman pangan 7.87 3.38 0.01 1.08 0.05 0.04 Peternakan, kehutanan dan perikanan 3.54 2.89 0.19 0.8 0.25 0.23 Batu bara -0.47 10.21 -0.25 0.44 -0.36 -0.37 Minyak mentah 3.45 2.67 -0.1 0.73 -0.15 -0.16 Gas alam -0.2 31.81 -0.23 0.49 -0.33 -0.34 Mineral -0.36 1.35 -0.15 0.77 -0.16 -0.18 Makanan olahan 12.36 14.24 -0.09 0.65 -0.07 -0.15 Minyak nabati dan hewani -0.59 3.18 -0.55 0.84 -0.51 -0.6 Tekstil 7.49 10.35 0.64 -0.8 0.67 0.57 Kilang minyak 6.54 2.93 -0.42 0.53 -0.43 -0.53 Kimia, karet dan plastik 5.78 5.85 0.18 0.38 0.2 0.1 Logam besi -0.8 2.13 -4.44 0.31 -4.43 -4.53 Logam non besi 1.92 9.8 -0.42 -0.05 -0.39 -0.49 Kendaraan bermotor dan suku cadang -12.1 9.00 -9.09 -0.37 -9.07 -9.17 Peralatan transportasi 6.15 2.34 -0.81 0.28 -0.79 -0.89 Peralatan elektronik 6.5 2.76 5.53 -0.17 5.54 5.44 Mesin dan peralatannya 8.29 2.76 3.84 -0.37 3.86 3.76 Industri manufaktur lain 0.77 6.76 -0.23 0.27 -0.21 -0.31 Listrik, gas, air bersih -1.86 2.16 1.1 0.28 1.13 1.02 Jasa transportasi dan komunikasi -2.9 1.46 0.08 0.62 0.14 0.01 Jasa lain -3.9 2 -0.13 0.81 -0.13 -0.23
.
93
Hasil analisis dampak sektoral dari adanya FTA tersebut juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani, et al (2007), yang menganalisis
dampak FTA ASEAN-Cina dan ASEAN-Rep.Korea. Dalam penelitian itu
menyebutkan bahwa terjadi penurunan hampir keseluruhan pada output yang
diperdagangkan Indonesia ke Cina yang menunjukkan Indonesia belum siap
melakukan FTA dengan Cina. Walaupun beberapa komoditi outputnya mengalami
peningkatan, namun secara total neraca perdagangan pun menunjukkan nilai yang
negatif. Demikian juga FTA ASEAN-Rep. Korea, walaupun penurunnya relatif
lebih kecil dibandingkan FTA ASEAN-Cina. Harga output yang diperdagangkan
Indonesia secara keseluruhan mengalami kenaikan. Peningkatan kesempatan
kerja, baik tenaga kerja yang terdidik maupun yang tidak terdidik, terjadi pada
sektor-sektor yang outputnya mengalami peningkatan.
Dibukanya kerjasama FTA ASEAN Plus Three membawa konsekuensi
dibukanya liberalisasi perdagangan barang. Salah satu sarana untuk mencapainya
adalah dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif bea masuk yang
merupakan salah satu pos dalam pendapatan negara. Oleh karena itu dampaknya
dapat terlihat turunnya penerimaan Pemerintah dari pos tarif bea masuk. Namun
demikian, sesuai dengan tujuan dari liberalisasi perdagangan, melalui
pengurangan/penghapusan hambatan tarif maka akan terjadi peningkatan volume
perdagangan barang yang mencakup ekspor dan impor barang diantara negara-
negara anggota maupun meningkatnya kegiatan investasi. Walaupun untuk saat
ini neraca perdagangan Indonesia menunjukkan nilai negatif namun untuk
investasi menunjukkan nilai yang positif. Dengan meningkatnya volume
perdagangan maka akan mendatangkan multiplier effect terhadap kegiatan
ekonomi lainnya yang selanjutnya akan membawa perubahan terhadap
penerimaan negara dari sektor pajak. Sehingga diharapkan penerimaan
Pemerintah dalam jangka panjang akan meningkat.
Namun yang perlu mendapat perhatian khusus Pemerintah Indonesia
bahwa ASEAN Plus Three FTA dapat dilakukan namun dengan beberapa
persyaratan, yaitu:
1. ASEAN Plus Three FTA dibuka hanya bagi sektor sektor yang memiliki
dayasaing tinggi (competitive), seperti sektor gas alam, minyak nabati dan
94
hewani atau sektor batu bara. Jadi Pemerintah harus memiliki komitmen tinggi
untuk membuka perdagangan bagi sektor-sektor yang berdayasaing,
sedangkan yang belum memiliki daya saing perlu mendapat dukungan untuk
pengembangan kapasitas kelembagaan ekspor seperti memfasilitasi promosi
tetap, peningkatan kemampuan negosiasi, dan usaha membangun kepercayaan
internasional.
2. Sektor yang lebih padat karya (menyerap tenaga kerja banyak) apabila belum
mempunyai kemampuan untuk berkompetisi atau berdayasaing tinggi
hendaknya jangan dibuka FTA dahulu, mengingat apabila dibuka FTA maka
sektor yang belum mampu bersaing akan terancam gulung tikar, sehingga
berpengaruh terhadap nasib tenaga kerja yang dipekerjakan (pengangguran
akan meningkat).
3. Indonesia harus meningkatkan dayasaing pada sektor-sektor non primer,
seperti sektor industri pengolahan agar dapat berkompetisi dalam perdagangan
global, sebab sektor tersebut lebih memiliki nilai tambah jika dibandingkan
sektor-sektor primer. Jika Indonesia mampu mengekspor lebih banyak pada
produk-produk dari sektor industri pengolahan maka keuntungan yang didapat
Indonesia tentunya akan lebih besar.
FTA ASEAN Plus Three nantinya harus dipahami oleh Pemerintah
dengan perspektif yang lebih luas. Terlepas dari pilihan mana yang akan diambil,
apakah memandang keluar guna mempromosikan ekspor dan menganut
perdagangan bebas atau sebaliknya memandang ke dalam sambil menjalankan
kebijakan proteksionis atau berusaha menjalankan keduanya sekaligus,
Pemerintah harus memahami kondisinya yang ada sekarang ini serta prospeknya
di masa yang akan datang di tengah-tengah pergaulan masyarakat dunia.
Membuka perekonomian dengan perdagangan dunia itu baik, namun ada
batasnya. Karena selain mengandung manfaat dan keuntungan, FTA juga
membawa resiko yang harus diperhitungkan, yaitu:
1. Karena Indonesia tidak mempunyai pilihan, yang mana harus terlibat secara
aktif dalam perdagangan global, maka alternatif terbaik adalah menyesuaikan
arah atau orientasi perdagangan internasional, yakni lebih mengutamakan
kerjasama atau hubungan dagang dengan sesama negara ASEAN Plus Three.
95
Bagi Indonesia akan sangat baik seandainya memperkuat upaya integrasi
ekonomi diantara sesama demi menggalang kekuatan, memaksimalkan skala
ekonomis, dan juga memperbesar pasar.
2. FTA ASEAN Plus Three dibuka hanya bagi komoditi Indonesia yang
memiliki daya saing tinggi (competitive). Jadi Pemerintah harus memiliki
komitmen tinggi untuk membuka perdagangan bagi sektor yang berdaya
saing sedangkan yang belum memiliki dayasaing perlu mendapat dukungan
untuk pengembangan kapasitas kelembagaan ekspor seperti memfasilitasi
promosi tetap, peningkatan kemampuan negosiasi, dan usaha membangun
kepercayaan internasional.