BAB V POSISI DAN PERAN PEREMPUAN DALAM RUMAH ADAT … · 5.1. Posisi dan peran Perempuan dalam...
Transcript of BAB V POSISI DAN PERAN PEREMPUAN DALAM RUMAH ADAT … · 5.1. Posisi dan peran Perempuan dalam...
45
BAB V
POSISI DAN PERAN PEREMPUAN DALAM RUMAH
ADAT SUMBA DAN KONDISI YANG MEMPENGARUHI
5.1. Posisi dan peran Perempuan dalam rumah adat Sumba
5.1.1. Posisi perempuan dalam rumah adat
Menurut Marwell dalam Budiman (1981-24), peran yang didasarkan atas
perbedaan seksual selalu terjadi, ini sudah menjadi kenyataan yang tidak dapat dibantah.
Pada setiap kebudayaan perempuan dan laki-laki diberi peran dan pola tingkah laku yang
berbeda untuk saling melengkapi perbedaan badaniah dari kedua makhluk ini. di dalam
satu keluarga, ada dua fungsi yang harus dikembangkan secara khusus, yakni mendidik
anak-anak dan memproduksikan makanan. Karena keluarga selalu terdiri dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, maka akan sangat menguntungkan kalau salah satu
fungsi ini diberikan kepada salah satu jenis seks, dan fungsi lainnya kepada jenis seks
lainnya. Dengan demikian laki-laki dan perempuan sudah dapat dididik ke arah fungsi
yang akan mereka mainkan ketika membentuk rumah tangga.
Dalam budaya masyarakat Sumba khususnya di kampung Tarung, pembagian
posisi antara laki-laki dan perempuan tidak saja terjadi pada pembagian bahwa
perempuan posisinya di rumah sebagai ibu rumah tangga yang mengurus segala
kebutuhan dapur dan laki-laki posisinya sebagai kepala rumah tangga dan bekerja di
luar sebagai pencari nafkah seperti yang dikatakan oleh Marwell diatas. Namun ada
pembagian lain yang meliputi posisi atau area mereka di dalam rumah adat.
Pembagian posisi tersebut bisa dikatakan sebagai keputusan laki-laki sebagai
kepala keluarga atas dasar laki-laki yang memiliki kuasa dalam rumah untuk menentukan
dimana saja posisi perempuan, tapi tidak demikian, menurut Rato Lado pembagian
tersebut, tidak ada pengaruh oleh laki-laki, berikut pernyataannya:
46
“Tidak ada pengaruh laki-laki dalam pembagian tersebut, laki-laki
hanya sebagai kepala keluarga sehingga adat istiadat tersebut
seolah-olah direkayasa oleh laki-laki, namun pada kenyataannya
memang datang dari para leluhur atau sang pencipta”16
Dari pernyataan di atas Rato Lado ingin menyampaikan bahwa memang ada
pembagian dalam rumah adat namun unsur tersebut semata-mata hanya berkaitan dengan
kepercayaan Marapu yang melarang beberapa tempat dalam rumah untuk dimasuki atau
lewati oleh istri dan anak mantu. Mereka hanya menjalankan tradisi tersebut yang
diyakini datang dari para leluhur atau sang pencipta tanpa mencari tahu alasan mengapa
hal tersebut terjadi. Beliau mengatakan bahwa pembagian tersebut tidak ada pengaruh
laki-laki dan memang begitu adanya karena tradisi tersebut sudah dijalankan sejak rumah
adat dibangun dan dijalankan turun-temurun.
Rato adat (imam) adalah seorang laki-laki sehingga keputusan untuk menentukan
posisi tersebut sering kali dianggap sebagai rekayasa dari laki-laki. Namun pembagian
tersebut bisa menimbulkan asumsi bahwa memang kekuasaan laki-laki atas perempuan
tetapi bukan dalam konteks pembagian tetapi dalam larangan itu bisa dilihat dari semua
larangan yang ada dalam rumah adat, laki-laki sama sekali tidak mendapatkan larangan
baik itu mengenai posisi atau hal-hal yang berhubungan dengan kesakralan. Kesakralan
hanya terjadi untuk perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu di dalam rumah adat.
Menurut Nasaruddin Umar, Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya.
(Umar 1999:35). Peranan gender pada penataan ruangnya tidak memiliki perbedaan yang
mencolok melainkan memiliki perbedaan peranan yang sama kuatnya. Hal ini bisa dilihat
pada posisi “jantung” rumah yang terletak tepat di bawah ruang Marapu, kita bisa
melihat tiang penyangga “menara” Marapu ada empat tiang utama. Tiang penyangga itu
sebagai tiang laki-laki dan perempuan, penempatannya sangat unik yaitu ditempatkan
berpasangan. Konsep rumah adat ini sedikit bisa menggambarkan posisi antara laki-laki
dan perempuan dalam rumah adat yang kurang lebih sama. Beberapa konsep gender pun
tampak pada pembagian ruang-ruang di dalam rumah adat, salah satunya pembagian
16
Wawancara bersama Rato Lado di Kampung Tarung tanggal 5-11-2016
47
ruang yang menjadikan dua bagian, yaitu mbalekatounga (ruang untuk laki-laki) dan kere
pandalu (ruang untuk perempuan) dengan pintunya masing-masing.
Secara harafiah pembagian tersebut meliputi hal-hal spiritual (sakral), dimana
ruang Mbalekatonga atau ruang untuk laki-laki merupakan ruang yang dipercayai
merupakan tempat yang sakral. Menurut Rato Lado fungsi dari pembagian ruang laki-laki
dan perempuan untuk membagi tempat sembayang atau ibadah (nobba) yang merupakan
tempat bersemayamnya Marapu, yaitu arwah-arwah nenek moyang dalam rumah adat.
Nobba tidak melibatkan perempuan karena nobba hanya dilakukan oleh seorang
Rato (imam) yaitu laki-laki. Pembagian ruang laki-laki mbalekatounga dan perempuan
kere pandalu membagi antara posisi perempuan dalam rumah adat, tetapi tidak untuk
semua perempuan ini hanya berlaku untuk istri dan menantu perempuan saja yang ketika
berada dalam rumah adat tidak diperbolehkan untuk masuk ke ruang laki-laki karena
tempat tersebut merupakan tempat yang paling sakral dalam sebuah rumah adat.
Kesakralan itu berkaitan langsung dengan Marapu, selain berhubungan dengan Marapu
larangan untuk istri dan anak mantu dikarenakan berhubungan dengan kerahasiaan
leluhur dari kabisu laki-laki dalam hal ini suami sebagai pemilik rumah.
Di atas loteng persis bagian tiang uratta terdapat gerabah anyaman yang
berbentuk bola yang bernama (nukku sara) dengan “Nukku” yang artinya bertahan atau
menanti sedangkan “Sara” artinya hukum yang merupakan tempat dari jiwa-jiwa atau
roh-roh para leluhur dari dulu kala menunggu kapan dia kembali kedunia untuk hidup.
Nukku sara juga merupakan tempat bertenggernya hukum-hukum adat, inilah mengapa
perempuan sangat dilarang untuk masuk ruang ini. Selain larangan untuk tidak memasuki
ruang laki-laki, perempuan juga tidak boleh memegang dua tiang dari ke empat tiang
yang ada yaitu tiang kanan depan dengan nama lain pari’i utta atau nama lainnya tiang
uratta dan tiang kanan belakang Pari’i woleta atau nama lainnya Pari’i tutungaba
balikatonga. Larangan-larangan untuk perempuan letaknya dari pintu utama
(mbalekatonga) lalu masuk ke ponnu karo tillu (ditengah yang merupakan tempat duduk)
sampai ke mbalekatonga yang berada dibelakang.
Selain memiliki alasan spriritual dan kesakralan, pembagian ruang diperlukan
untuk pertemuan keluarga atau ada urusan adat (formal), yang mengharuskan tempat
pembicaraan lebih nyaman dan eksklusif. Pembicaraan-pembicaraan adat yang berkaitan
48
dengan ritual adat sering melibatkan perempuan namun tidak mengharuskan mereka
memasuki ruang yang dilarangan tersebut, hanya laki-laki atau Rato yang melakukan dan
memulai ritual adat. Rato Lado menyatakan bahwa dalam rumah adat tidak ada maksud
untuk memisahkan tempat laki-laki dan perempuan. Berikut pernyataan Rato Lado;
“Perlu saya beritahu dalu bahwa dalam rumah adat tidak ada
maksud untuk membagi atau memisahkan tempat laki-laki dan
perempuan, jadi kalau ditanya pembagian ya tidak ada. Yang
ada hanya aturan atau adat istiadat yang melarang perempuan
untuk tidak diboleh di tempat-tempat yang sudah di
tentukan”17
Sama seperti apa yang diungkapkan Rato Lado sebelumnya tidak ada maksud
untuk memisahkan posisi atau tempat perempuan dan laki-laki dalam rumah adat, hal
tersebut terjadi karena adat istiadat yang melarang perempuan dalam hal ini istri dan anak
mantu untuk tidak boleh ditempat-tempat yang sudah ditentukan karena tempat-tempat
tersebut berada pada wilayah mbalekatounga yang merupakan tempat yang sakral dan
tempat yang sama sekali tidak boleh dilewati oleh perempuan dalam hal ini istri dan anak
mantu karena tepat di atas tiang-tiang yang berada di daerah mbalekatounga merupakan
tempat dari para leluhur (Nukku Sara) kabisu dari si pemiliki rumah sehingga untuk
menghormati dan menghargai tempat ini tidak boleh dilewati oleh perempuan dalam hal
ini istri dan anak mantu perempuan.
Nukku sara merupakan tempat dari arwah para leluhur yang berada di dalam
rumah, nukku sara tidak saja ditempati oleh si pemilik rumah yang berjenis kelamin laki-
laki, perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu juga mendapatkan tempat di atas sana,
jadi bisa dikatakan bahwa larangan tersebut hanya berlaku selama istri dan anak mantu
hidup dan tinggal di dalam rumah adat karena ketika mereka meninggal mereka boleh
masuk dan tinggal di atas di dalam Nukku sara dan bergabung dengan para leluhur.
Kesakralan dalam rumah adat berbeda dengan pandangan Durkheim yang
mengatakan bahwa sesuatu yang dipercayai masyarakat sebagai sesuatu yang sakral
berlaku untuk semua orang tidak memandang gender, sedangkan dalam konteks rumah
adat Sumba kesakralan tentang nukku sara berbeda dengan dikatakan oleh Durkheim
17
Wawancara bersama Rato Lado di Kampung Tarung tanggal 5-11-2016
49
karena sakral yang dimaksud oleh masyarakat di Sumba khususnya yang berada di
kampung terkait posisi perempuan yaitu sakralnya hanya berlaku untuk perempuan dalam
hal ini istri dan anak mantu. Sehingga konsep sakral menurut Durkheim ini perlu
diperluas dalam konteks kesakralan dalam rumah adat Sumba, bahwa sakral dalam rumah
adat Sumba hanya berlaku untuk perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu.
Kesakralan ini juga berhubungan dengan kerahasian karena ketika ditanya mengapa
hanya istri dan anak mantu saja menadapat larangan dalam rumah adat, Rato sebagai
ketua adat tidak menyampaikan secara eksplisit terkait hal pertanyaan tersebut.
Walaupun memiliki larangan dalam rumah adat perempuan pun memiliki tempat
atau ruang khusus untuk mereka selain dapur dan perapian (tempat memasak) di dalam
rumah adat,ini membuktikan bahwa pembagian ruang dalam rumah adat Sumba tidak
hanya untuk kepentingan laki-laki tetapi mementingkan juga untuk kebutuhan
perempuan. Tempat atau ruang untuk perempuan dalam rumah adat terletak dibagian
belakang rumah laddo poddu yaitu tempat atau ruang untuk melahirkan dan memberi
nama anak.
Pembagian posisi perempuan dalam rumah adat hanya diperuntukan untuk
perempuan yang dalam hal ini istri dan menantu, lalu bagaimana dengan anak perempuan
kandung dalam rumah adat, anak perempuan kandung tidak mendapatkan larangan yang
sama yang diterima oleh ibunya karena ia memiliki hak yang sama dengan laki-laki
dalam rumah, sama-sama memiliki kebebasan baik dalam tempat perempuan kere
pandalu maupun tempat laki-laki mbalekatounga dengan kata lain seluruh rumah.
Berikut penjelasan Rato Lado mengenai anak kandung perempuan :
“Anak perempuan merupakan anak yang lahir dalam rumah dan
memiliki kebebasan yang sama dengan sang ayah atau kepala
rumah tangga, jadi dalam rumah tersebut larangan-larangan
tersebut tidak apa-apa untuk mereka, tetapi ketika mereka
menikah dan keluar dari rumah mereka akan mendapatkan
perlakuan yang sama”18
18
Wawancara bersama Rato Lado di Kampung Tarung tanggal 5-11-2016
50
Anak perempuan mendapatkan kebebasan yang sama seperti sang ayah membuat
mereka bebas untuk masuk ke dalam mbalekatounga namun kebebasan tersebut tidak
berlaku untuk bagian loteng yang merupakan tempat untuk para leluhur dan benda-benda
pusaka hampir sama dengan apa yang dialami oleh istri dan anak mantu perempuan.
Laki-laki dalam rumah adat memiliki kebebasan tidak sama seperti perempuan
dalam hal ini istri dan menantu, peran laki-laki fleksibel atau luas dalam sebuah rumah
dikarenakan mereka sebagai kepala keluarga yang melakukan segala aktifitas penunjung
kehidupan baik dari kebutuhan pangan,sandang dan papan. Hal tersebut membuat laki-
laki semakin terlihat superior karena mereka ingin melakukan semua hal yang mereka
anggap bisa dan perempuan tidak bisa sehingga timbul anggapan bahwa perempuan
hanya sebagai ibu rumah tangga saja dan mengurusi urusan dapur sehingga tidak
memerlukan tempat atau akses yang luas dalam rumah adat. Secara posisi dan peran
memang posisi istri dan suami terpisah namum mereka bekerja sama saling melengkapi
sehingga pada gilirannya mampu menghasilkan kesuburan, kelangsungan hidup dan
kekayaan. Berikut di bawah ini pernyataan Rato Lado terkait alasan mengapa laki-laki
memiliki kebebasan dalam rumah adat dan sebaliknya perempuan memiliki larangan-
larangan:
“Laki-laki dalam rumah adat dibebaskan karena peran antara
laki-laki dan perempuan tidak boleh sama, karena laki-laki
sebagai kepala keluarga, jika perempuan bebas untuk masuk ke
tempat laki-laki berarti peran mereka dalam rumah adat sama”19
Pernyataan di atas mempertegas praktek budaya patriarki terjadi dalam rumah
adat Sumba. Laki-laki tidak ingin peran mereka sama dengan perempuan, itu membuat
mereka terasa tersaingi dan merasa bahwa jika perempuan memasuki tempat dari laki-
laki berarti peran mereka akan sama dan tidak ada beda. Sebagai seorang kepala keluarga
dan pencari nafkah laki-laki melihat itu sebagai sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.
Laki-laki menganggap bahwa perannya tidak boleh sama dengan perempuan, perempuan
harus melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan sepeti memasak dan mengurusi
anak.
19
Wawancara bersama Rato Lado di Kampung Tarung tanggal 5-11-2016
51
5.1.2. Peran Perempuan dalam rumah adat
Struktur sosial masyarakat yang membagi-bagi mengenai peran antara laki-laki
dan perempuan seringkali merugikan perempuan. Perempuan diharapkan dapat
mengurus dan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga, walaupun mereka bekerja
di luar rumah tangga, sebaliknya tanggung jawab laki-laki dalam mengurus rumah
tangga sangat kecil namun tidak demikian yang terjadi dalam rumah adat Sumba
khususnya yang terjadi di kampung Tarung laki-laki mempunyai tanggung jawab yang
lebih besar dari perempuan itu bisa dilihat dalam posisi dan aksesnya dalam rumah yang
lebih luas sehingga perannya lebih banyak dalam rumah adat.
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa, tugas-tugas rumah tangga dan
pengasuhan anak adalah tugas perempuan, walaupun perempuan tersebut bekerja.
Aktivitas domestik ini sudah sejak lama dilekatkan pada perempuan. Hal itu kemudian
menjadi budaya dan adat istiadat. Perempuan selalu dikonotasikan sebagai manusia
pekerja domestik yang dinilai tidak dapat berkontribusi secara aktif di luar rumah
sehingga perannya tidak lebih dari sekadar aktivitas dalam rumah. Namun panadangan
tersebut berbeda denga yang terjadi dalam masyarakat Sumba, dalam konteks perempuan
Sumba di kampung Tarung peran yang dilakukan oleh perempuan bukan hanya pada
aktifitas-aktifitas rumah tangga saja tetapi mereka meiliki peran yang lebih besar
terhadap bertahannya Marapu itu sendiri. Peran mereka bisa terlihat pada saat mereka
menjaga adat istiadat yang terdapat pada marapu dengan mengikuti aturan-aturan yang
berkaitan dengan kesakralan dari marapu di dalam rumah adat. Seperti yang
diuangkapkan istri dari Rato Yusuf Lele Wadda ;
“Selamanya kita masih hidup dan tinggal di rumah adat, kita tidak
boleh melanggar atau merubah, karena dengan mematuhi larangan
tersebut, merupakan cara kita untuk menghargai dan menghormati
adat dan budaya”20
Pembagian ruang dalam rumah adat Sumba sepenuhnya tidak menyulitkan peran
perempuan, mereka tetap beraktifitas seperti biasa layaknya ibu-ibu rumah tangga pada
umumnya, seperti memasak, mengurus anak, memberikan makan ternak, memetik sayur
20
Wawancara bersama istri dari nenek Rato Yusuf di desa dokaka tanggal 16-12-2016
52
untuk menjual ke pasar dan penyiapkan segala kebutuhan-kebutuhan rumah tangga
lainnya. Alasan sederhananya, karena segala aktifitas mereka tidak berada pada area
yang dilarangan untuk mereka, contohnya dapur dan tempat memasak (perapian), letak
dapur berada pada kere pandalu (ruang perempuan), sedangkan letak tungku (perapian)
ditengah-tengah rumah diapit oleh empat tiang utama. Seperti yang diungkapkan ina
Laka terkait perannya dalam rumah adat:
“Pada saat kita kerja tidak ada masalah, karena kita punya
pekerjaan rumah tangga tidak sampai pada tempat larangan-
larangan itu”21
Pernyataan di atas sama dengan hasil observasi bahwa dalam aktifitas perempuan
yang dalam hal ini istri dan anak mantu perempuan, tidak terlihat pengaruh pembagian
posisi dalam rumah adat. Mereka beraktifitas seperti biasa layaknya ibu rumah tangga
pada umumnya dengan kebiasaan tersebut ina Laka merasa bahwa tidak ada yang yang
harus dipermasalahkan baik mengenai posisi maupun peran, karena kalau posisi tersebut
menyulitkan peran perempuan bisa saja membuat mereka kesusahan dalam melakukan
aktifitas dalam rumah.
Peran perempuan tak hanya di dalam rumah saja, terkadang perempuan juga
membantu laki-laki untuk bertani dan berkebun seperti menanam padi dan sayur-
sayuran. Dalam ritual-ritual adat di kampung, perempuan memiliki peran untuk
menyiapkan segala sesuatu keperluan yang dibutuhkan dalam acara adat, seperti sirih
pinang, makan dan minum. Jika ada pembicaran mengenai urusan adat misalnya dalam
perkawinan perempuan dilibatkan. Berikut pernyataan Rato Lado terkait keterlibatan
perempuan dalam pengambilan keputusan:
Dalam pengambilan keputusan perempuan dimintai pendapat
agar keputusan ini bisa menjadi keputusan bersama, walau pada
akhirnya yang memutuskan semua di tangan laki-laki.22
Dalam proses pengambilan keputusan, biasanya yang lebih dominan adalah laki-
laki hal itu tidak bisa dipungkiri dan terjadi dalam masyarakat Sumba, seperti yang
21
Wawancara bersama ina Laka di kampung Tarung tanggal 9-11-2016 22
Wawancara bersama Rato Lado di Kampung Tarung tanggal 9-11-2016
53
diungkapkan oleh Rato Lado, biasanya setiap perundingan perempuan diberi hak untuk
berbicara dan diminati pendapat, tujuannya agar ada masukan dari perempuan terkait hal
yang dibahas dan pada akhirnya bisa menjadi keputusan bersama. Dari sini kita bisa
mengetahui bahwa dalam setiap proses pengambilan keputusan yang dilakukan dalam
perundingan adat Sumba walupun perempuan diberikan kesempatan bicara dan dimintai
pendapat pada akhirnya keputusan tersebut lebih berat pada keputusan laki-laki.
Aktifitas-aktifitas sehari-hari yang perempuan lakukan selain sebagai ibu rumah
tangga, mereka melakukan suatu karya tangan yang memiliki nilai kesenian yang tinggi
yaitu menenun kain dan membuat ayaman pandan untuk dijadikan kaleku, mblola dan
lain-lain. Kain bagi orang Sumba memiliki makna yang ganda, pertama ia adalah barang
kebutuhan sehari-hari yang fungsi praktisnya adalah sebagai penutup tubuh. Kedua ia
adalah simbol benda ikonik yang terkait dengan praktek-praktek sosioreligius. Kain juga
dalam beberapa ritual adat salah satunya dalam proses pernikahan kain tenun yang
diberikan pihak perempuan saat melepas anak gadis mereka adalah simbol naungan dan
perlindungan, yang diharapkan akan selalu diberikan oleh pihak laki-laki, namun sewasa
ini tenun bermakna ekonomis, sebagai tambahan penghasilan yang bisa dianggap remeh.
Proses pembuatan tergantung dari besar kain yang ditenun. Seperti selendang perlu waktu
tiga hari penenunan. Sedangkan kain, memakan waktu sampai dua minggu.
Biasanya penjualan kain tenun hanya dilakukan di kampung Tarung, ditawarkan
pada turis, tapi masih lebih banyak turis asing dari pada turis domestik yang tertarik
untuk membeli kain tenun asli buatan perempuan Sumba ini. Turis asing biasanya berasal
dari Perancis, Amerika, dan Belgia. Setiap ada turis, para penjual kerajinan pun
bermunculan dan mengerubungi wisatawan dan mulai menawarkan kain tenun mereka,
tapi mereka tidak memaksa agar turis-turis ini harus membeli. Menurut nene Ledda Goko
tentang tenunnya :
“Kalau ada setiap orang yang berkunjung di Kampung
Tarung kita hanya menawarkan. Kalau tidak dibeli, tidak
apa-apa. Yang penting kita sudah menunjukan tenunan yang
kita buat”23
23
Wawancara bersama nene Ledda Goko terkait kain tenun di kampung Tarung Tanggal 12-11-2016
54
Peran perempuan Sumba dalam bekerja memang harus diberi apresiasi, mereka
bekerja membantu sang suami, dan melakukan secara suka rela berdasarkan passion yang
dimiliki oleh mereka, salah satunya menghasilkan kain tenun khas Sumba Barat yang
dibuat dengan cara tradisional tentu dengan corak yang menarik. Keuntungan dalam
penjulan bisa saja menjadi lebih baik jika dipasarkan di luar namun kebanyakan dari
perempuan di Kampung tidak menjual di luar, mereka hanya menjual kain tenun di dalam
kampung Tarung dan menawarkan kepada turis yang datang berkunjung ke kampung
Tarung. Hal ini justru menarik bagi mereka kalau memang turis tertarik atau tidak, bukan
menjadi persoalan karena dengan memperkenalkan kain tenun, bercerita mengenai
sejarah dan menunjukan cara menenun bagi mereka itu sudah cukup. Maka tak heran
kalau setiap turis yang datang sesekali mereka diperlihatkan cara menenun secara
langsung. Seperti yang dilakukan oleh ina Lakadoru dibawah ini :
Gambar. 5.1
Aktivitas Menenun
Sumber Foto penelti
5.1.3. Perempuan Dalam Pandangan Orang Sumba
Peran perempuan sangatlah penting selain sebagai ibu dalam rumah tangga,
kehadiran perempuan sangat berarti bagi laki-laki Sumba karena dukungan yang
perempuan berikan membuat laki-laki mendapatkan kekuatan tersendiri untuk bekerja
lebih keras lagi demi keluarga. Seperti perumpaan “Di balik kesuksesan seorang pria,
pasti ada wanita hebat di belakangnya.” Seperti inilah yang tergambar pada kehidupan
55
masyarakat di Sumba, perempuan selalu menjadi salah satu faktor yang mendasari
kesuksesan seorang laki-laki.
Walaupun Dalam rumah adat perempuan memiliki banyak larangan, tetapi tidak
menyulutkan peran perempuan dalam rumah adat, karena segala jenis persiapan dalam
rumah adat pasti selalu ada campur tangan perempuan tidak bisa hanya diurus oleh
seorang laki-laki saja. Seperti yang diungkapkan Lango Manpele tentang perempuan
Sumba:
“Perempuan bukan hanya sebagai pendamping didalam rumah
tangga, tetapi sebagai penopang yang kuat, bagi seorang suami,
karena tidak ada laki-laki yang sukses sendiri tanpa dukungan dan
kerja keras seorang istri”24
Menurut Lango Manpele tokoh masyarakat kampung Tarung, rumah adat yang
berada di kampung Tarung memiliki makna yang begitu berkaitan dengan perempuan,
seperti Uma Mawinne, yang nama lainnya adalah rumah perempuan yang fungsinya
sebagai penentu tibanya bulan suci untuk ritual wulla poddu bagi orang Loli, ritual ini
bertujuan untuk memohon berkat, sebagai sarana mengucap syukur dan untuk
menceritakan asal usul nenek moyang dan menggambar proses penciptaan manusia. Di
kampung Tarung ritual ini hanya bisa ditentukan oleh uma mawinne atau rumah
perempuan untuk menentukan kapan tibanya bulan suci, seperti layaknya perempuan
yang mengetahui soal kegenapan bulan kelahiran yaitu bulan kesembilan. Ini lah yang
menjadikan perempuan sebagai sosok yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
Sumba khususnya masyarakat kampung Tarung.
Dalam pembagian posisi dan peran perempuan dalam rumah adat bukan saja
membagi tempat bagi seorang ibu dan seorang istri, tetapi pembagian tersebut membuat
perempuan menjalankan adat-istiadat dan larangan dalam rumah adat untuk menjaga adat
Marapu dalam hal ini berkaitan juga dengan eksistensi dari Uma Mawinne. Perempuan
menerima dan menjalankan larangan-larangan dalam rumah adat bukan ingin
menunjukan bahwa laki-laki lebih berkuasa atas perempuan dan perempuan tunduk
terhadap laki-laki, melainkan perempuan ingin mempertahankan simbolisasi kekuasaan
24
Wawancara bersama Langa Manpele Tokoh masyarakat Kampung Tarung tanggal 3-12-2016
56
perempuan dalam Uma mawinne (rumah perempuan) yang merupakan satu-satunya
rumah adat yang menentukan kapan tibanya bula suci bagi masyarakat Loli atau yang
sering disebut dengan Wulla poddu.
Di dalam kampung Tarung, ritual wulla poddu merupakan salah satu ritual yang
sangat besar. Ritual wulla poddu ini hanya ditentukan oleh Uma mawinne atau rumah
adat yang melambangkan perempuan. Jika perempuan melanggar adat dan istiadat yang
ada dalam rumah adat, secara tidak langsung perempuan menghilangkan kesakralan dari
Uma mawinne. Dengan melanggar dan menghilangkan kesakralan dalam rumah adat,
dengan begitu makna dan fungsi dari Uma mawinne pun runtuh dan tatanan budaya dari
masyarakat Sumba pun runtuh.
5.2. Pemahaman Perempuan Mengenai Posisi Dan Perannya Dalam
Rumah Adat
5.2.1. Pemahaman Perempuan mengenai Posisi
Pemahaman perempuan mengenai posisi mereka dalam rumah adat sudah
dipahami sejak mereka kecil, tentang pemahaman bahwa ada larangan-larangan untuk
mereka dalam rumah adat. Seperti yang dikatakan Rato Yusuf Lele Wadda, “Setiap
perempuan Sumba harus mengerti terhadap budayanya bahkan sebelum ia memasuki
mbalekatonga karena mbalekatonga merupakan tempat paling sakral dan tidak sembarang
untuk dimasuki, dilewati dan disentuh.” Pemahaman yang sudah diberitahu sejak kecil
akhirnya membuat mereka terbiasa untuk hal-hal yang mungkin menurut orang pada
umumnya menyulitkan perempuan. Salah satunya bahwa mereka seumur hidupnya tidak
diperbolehkan untuk masuk kedalam rumah melalui pintu utama atau pintu laki-laki.
Berikut pernyataan Ina Laka, ”Mungkin karena sudah terbiasa, jadi tidak ada masalah apa-
apa, mau lewat pintu samping terus juga tidak apa-apa.” Pemahaman bahwa mereka sudah
terbiasa untuk larangan dalam rumah adat, bukan saja diungkapkan oleh Ina Laka saja,
begitu juga dengan Nenek Lidda Mawo Mude mengungkapkan bahwa, “Posisi sebagai
istri dan menantu sudah seperti ini dari dulu, ada tempat-tempat yang tidak boleh kita
lewati atau diinjak dan ada juga tempat yang boleh lewati atau diinjak.” beliau juga
menambahkan bahwa itu bukan menjadi persoalan yang berarti;
57
“Tidak ada masalah dengan aturan-aturan yang melarang, apa yang
sudah menjadi larangan dari nenek moyang, itulah yang harus kita
taat. Dan ini bisa jadi pedoman buat generasi penerus agar tetap di
pertahankan”25
Tidak pernah melanggar aturan, karena sudah dari awal saat
memasuki rumah sudah diberitahukan, ada aturan-aturan untuk
tidak boleh menyentuh dan melewati tempat yang di larang.
Termasuk saat membersihkan loteng rumah, saat membersihkan
tidak boleh melihat ke atas.26
Bagi perempuan Sumba, peraturan yang berlaku bagi mereka itu sakral dan tidak
boleh untuk dilanggar termasuk posisi mereka dalam rumah adat. Karena ada keyakinan
mereka jika melanggar akan terkena sanksi adat seperti mengalami kesialan atau hal-hal
yang tidak diinginkan jika melanggar. Sehingga ketakutan akan hal tersebut membuat
untuk tidak melanggar dan menjaga batasan-batasan mereka di dalam rumah adat.
Dengan aturan dan sanksi yang ada membuat perempuan Sumba yang tinggal dalam
rumah adat sudah terbiasa dengan aturan tersebut, dimana mereka punya batasan-batasan
untuk dilewati di dalam rumah adat bahkan pemahaman tersebut sudah jauh diketahui
sebelum menikah dan masuk dalam rumah adat.
Namun larangan tersebut bukan menjadi masalah yang besar karena larangan
tersebut merupakan bentuk dari menghormati adat yang sudah ada. Bahkan ketika mereka
melanggar baik sengaja maupun tidak sengaja larangan tersebut mereka siap menerima
sanksi yang akan menimpa mereka yang melanggar, biasanya untuk meminta maaf
karena sudah melanggar diberitahui kepada Rato adat dengan membawa satu ayam untuk
disembeli dan didoakan . Seperti yang dikatakan oleh Ina Laka mengenai kesialan atau
sanksi ;
“Tidak masalah, karena larangan itu sudah ada dari leluhur sampai
saat ini. Soal melanggar itu adalah kesalahan kita sendiri karena
sudah diingatkan untuk tidak melanggar, tapi masih melanggar
peraturan tersebut.”27
Pemahaman perempuan mengenai posisi dan dampak jika melanggar tempat-
tempat yang dilarang sudah diberitahui dan diingatkan, jadi ketika perempuan memasuki
25
Wawancara bersama Nenek Lidda Mawo Mude di kampung Tarung tanggal 21-11-2016 26
Wawancara bersama Ina Nonce di Kampung Tarung tanggal 22-11-2016 27
Wawancara bersama ina Laka di kampung Tarung tanggal 9-11-2016
58
rumah mereka sudah tau tempat-tempat yang tidak boleh dilewati dan dampak apa yang
mereka terima jika melanggar. Pemahaman ini membuat mereka terbiasa untuk
melakukan aktifitas-aktifitas tanpa merasa terganggu dengan batasan-batasan posisi
mereka dalam rumah adat. Berbedanya perlakuan terhadap laki-laki dalam rumah adat
membuat perempuan menanggapi bahwa peran laki-laki yang mendominasi dalam rumah
adat merupakan sesuatu hal yang wajar karena bagi mereka laki-laki merupakan kepala
keluarga sehingga tidak ada tempat terlarang bagi laki-laki di dalam rumah adat. Posisi
perempuan di dalam rumah adat adalah posisi kedua, bukan berarti mereka tidak punya
hak di dalam rumah adat untuk menegur laki-laki. Seperti yang diungkapkan oleh Ina
Laka bahwa ;
“Memang mereka (kaum laki-laki) bebas, dan kita tidak, namun
ketika suami atau kepala keluarga keluar rumah, kita sebagai orang
nomor dua di dalam rumah berhak untuk menegur laki-laki jika
berbuat kesalahan. Bukan berarti karena kita banyak dilarang tapi
tidak punya hak dalam rumah. Kalau tetang posisi laki-laki lebih
bebas dari perempuan, memang sudah seperti itu sejak jaman
dahulu maka kami sudah terbiasa sejak kecil.”28
Dari keterangan Ina Laka di atas perempuan dalam rumah adat juga memiliki hak
untuk menegur ketika laki-laki melakukan kesalahan. Mereka tidak mempermasalahkan
ketika mereka menjadi posisi kedua di dalam rumah karena pemahaman tentang posisi
mereka sudah diketahui sejak kecil. Mereka merasa nyaman dengan keadaan mereka
yang memiliki batasan-batasan dalam rumah adat, karena sudah terbiasa. Perempuan
selalu menghindarai pelanggaran tersebut karena tahu bahwa larangan tersebut berkaitan
dengan tiga unsur yang pertama menjaga kekuasaan perempuan melalui simbolisasi Uma
Mawinne yang jika dilanggar maka Uma Mawinne akan runtuh dan hilang. Unsur kedua
yaitu menjaga keutuhan Marapu yang terletak pada Nukku Sara. Unsur yang ketiga rasa
takut akan sanksi atau kesialan merupakan unsur yang membuat perempuan menghindari
perempuan untuk melanggar. Berikut wawancara dengan Ina Nonce yang telah 10 tahun
tinggal di dalam rumah adat ketika ditanya mengenai pemahaman mereka tentang peran
mereka dalam rumah adat:
28
Wawancara bersama ina Laka di kampung Tarung tanggal 9-11-2016
59
“Kalau dari posisi memang ada tempat-tempat yang tidak boleh
dengan sembarangan untuk kita injak, karena memang sudah dari
dulu aturannya seperti itu. Jika aturan yang berlaku dalam rumah
adat itu sudah tidak ditaati atau sudah hilang, itu berarti hal-hal
adat yang ada di dalam rumah ini juga akan hilang.29
”
Pemahaman perempuan mengenai aturan adat membuat mereka memahami jika
aturan tersebut dilanggar dan dihilangkan maka adat istiadat Sumba yang dalam hal ini
Uma Mawine dan kepercayaan Marapu pun akan hilang dan pun runtuh, pernyataan
diatas semakin meyakinkan bahwa memang peran perempuan dalam menjaga simbolisasi
kekuasaannya melalui rumah adat Uma Mawinne dan menjaga keutuhan dari marapu itu
sangat nyata yaitu dengan menjalankan aturan-aturan tersebut.
Lalu bagaimana dengan posisi anak kandung perempuan ketika berada dalam
rumah adat, bagi anak perempuan di dalam rumah adat tidak mendapat larangan ketika
masih tinggal di dalam rumah adat bersama dengan kedua orang tuanya, meraka bebas
mau kemana saja tapi tidak semua tempat bisa mereka lewati atau tempati seperti loteng
dalam rumah dan uma kabbu. Hal ini ditanggapi oleh Ina Laka sebagai ibu yang tinggal
di dalam rumah adat. Ina Laka menyatakan bahwa ;
“Memang mereka (anak perempuan ) tidak dilarangan, tapi
ketika mereka keluar dari rumah orang tua, mereka juga akan
mendapatkan posisi yang sama dengan kita ketika tinggal dalam
rumah adat bersama suaminya. Tapi jangan salah mengartikan
bahwa anak perempuan bebas berada di dalam rumah adat bukan
berarti semua tempat dapat di akses oleh mereka. Ada tiga
tempat yang tidak boleh dilalui atau diinjak oleh anak perempuan
yaitu loteng dalam rumah, tempat ronggeng atau menari dan
Uma kabbubu yaitu tempat sakral yang berada tepat di depan
rumah (luar rumah).”30
Posisi anak kandung perempuan dalam rumah adat bisa dikatakan memiliki
keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan istri dan anak mantu dalam rumah adat,
mereka bisa saja dengan leluasa mengelilingi rumah adat tanpa mendapatkan larangan.
Mereka juga sudah memahami bahwa ada juga tempat-tempat yang mereka tidak boleh
29
Wawancara bersama Ina Nonce di Kampung Tarung tanggal 22-11-2016 30
Wawancara bersama Ina Laka di kampung Tarung tanggal 9-11-2016
60
tempati. Berikut pernyataan dari Ina lakadoru yang merupakan anak kandung perempuan
yang tinggal dalam rumah adat mengenai posisinya;
Sebagai anak langsung saya bebas mau kemana saja, mau
melangkah kemana saja bebas, tetapi ada juga tempat-tempat yang
tidak boleh ditempati. Walaupun saya sudah kawin dan keluar dari
rumah saya tetap bebas ketika memasuki rumah.31
Pemahaman perempuan mengenai posisi mereka tidak saja ketika mereka berada
dalam rumah, ketika diluar rumah pun dalam hal ini di kampung mereka mengetahui
posisi-posisi mereka yang tidak boleh dilewati atau tempati. Anak kandung perempuan
memang tidak menadapatkan larangan yang sama seperti ibunya, namun bukan berarti
semua tempat sakral yang ada di Kampung Tarung boleh diakses oleh mereka, Di bagian
tengah dari kampung Tarung ada satu rumah kecil. Yang bernama „Uma Kabubu’ atau
rumah suci dimana leluhur Marapu bersemayam. Tidak sembarang orang yang bisa
masuk ke dalamnya termasuk perempuan baik anak langsung maupun istri dan menantu.
Hanya „Rato‟ atau tetua adat yang boleh masuk ke dalam dan biasanya hal itu dilakukan
saat „Wulla Poddu‟, bulan suci bagi masyarakat Sumba dimana mereka tidak boleh
membunyikan apa pun, tidak boleh mengadakan pesta kelahiran, perkawinan atau
kematian.
Gambar 5.2
Uma Kabubu
Foto hasil penelitian
31
Wawancara bersama Ina Laka Doru di Kampung Tarung tanggal 22-11-2016
61
Dengan pemahaman-pemahaman perempuan mengenai posisi mereka dalam
rumah adat bisa dikatakan bahwa perempuan Sumba dalam hal ini istri dan menantu
sudah memahami posisi mereka dalam rumah adat jauh sebelum ia menikah dan
memasuki rumah adat, karena pemahaman terkait posisi mereka dalam rumah adat sudah
diberitahu sejak kecil. Pemahaman mereka tentang posisinya dalam rumah adat membuat
mereka nyaman dan tidak pernah berfikir untuk meninggalkan tradisi dan adat isriadat
tersebut. Berikut pernyataan ina Laka ;
“Memang tidak pernah terfikir dan terlintas untuk merubah dan
meninggalkan tradisi ini, orang dari luar negeri saja, buang uang
banyak-banyak hanya untuk mau datang lihat ini adat dengan
budaya, kenapa kita harus kasih hilang Seharusnya kita
mempertahan dan melestarikan”.32
Pernyataan diatas seakan menjadi jawaban kenapa kampung Tarung masih
begitu kokoh dan tetap menajalankan adat istiadat dan ritual-ritual adat, karena bagi
mereka apa yang sudah seharusnya kita jaga dan kita pertahankan sudah seharusnya
dilakukan bukan terpengaruhi oleh medernisasi. Maka tak heran banyak beberapa
kampung yang sudah mulai mengganti atap dari jerami menjadi seng. Bagi orang
tarung satu saja bagian dari rumah adat yang diganti atau dihilangkan maka akan
perpengaruh pada kesakralan dalam rumah adat itu sendiri dan bisa saja rumah adat
tersebut tidak disebut lagi sebagai rumah adat bagi orang-orang yang menganut
kepercayaan Marapu.
5.2.2. Pemahaman Perempuan mengenai Peran
Sama halnya dengan posisi perempuan dalam rumah adat, pemahaman perempuan
mengenai peran sudah mereka tahu sebelum mereka menikah bahkan ketika mereka
masih kecil. Menjadi orang hanya bekerja dirumah dan tidak memiliki peran yang sama
seperti kaum laki-laki, tidak menjadi masalah bagi mereka, peran mereka memang harus
dibedakan dengan laki-laki agar bisa saling mengisi satu sama lain, seperti laki-laki
bekerja diluar mencari nafkah lalu perempuan beperan sebagai ibu rumah tangga yang
siap untuk menyidankan makanan untuk disantap bersama.
32
Wawancara bersama Ina laka di kampung Tarung tanggal 9-11-2016
62
Mereka sangat menghormati aturan adat yang sudah berlaku sejak dahulu itu bisa
dilihat pada peran mereka yang bisa saja dibatasi oleh posisi yang dibagi yang hanya
untuk membagi tempat untuk melakukan aktifitas kerohanian (sakral). Mereka menjalani
peran mereka dalam rumah adat walaupun ada pembagian posisi bagi mereka istri yang
menikah lalu masuk ke dalam rumah sang Suami dan tinggal bersama, bagi mereka tidak
menjadi masalah jika peran mereka dibatasi oleh posisi yang telah dibagi untuk mereka
dan laki-laki dalam rumah adat. Aktifitas mereka sebagai ibu rumah tangga tetap berjalan
dari memasak sampai membersihkan rumah, yang menjadi menarik disini yaitu ketika
mereka membersihkan rumah, bagian yang dilarang tersebut tidak lagi menjadi
kewajiban mereka untuk membersihkan karena sudah dari awal mereka diberi
pemahaman agar tidak memasuki ruang-ruang yang dilarang sekali pun untuk
membersihkan. Seperti ini ungkapkan ina Nonce mengenai perannya ketika Ia tidak boleh
memasuki dan melewati tempat-tempat yang dilarang:
“Saat menyediakan minum tidak boleh melewati batas yang sudah
di tentukan, untuk menyapu halaman depan rumah pun tidak boleh
melewati”.33
Pernyataan diatas menggambarkan salah satu contoh bahwa dalam rumah adat
yang dibagi memang ada beberapa hal yang setelah dijalankan dalam rumah ada sedikit
kesan perempuan mengalami kesulitan. Sebenarnya kesulitan tersebut tidak terjadi terus
menerus itu hanya tergantung dimana posisi dari tamu berada kalau memang berada
dibagian yang dilarang maka memang perempuan dalam hal ini istri hanya memebrikan
dari seberang bambu saja tanpa melanggar batas larangan tersebut. Untuk membersihkan
dihalaman depan rumah saja sudah tidak boleh apa lagi dibagian dlam rumah tentu lebih
tidak boleh. Biasanya tempat yang dilaranga untuk istri tersebut dibersihkan oleh suami
atau anak-anak mereka.
Perempuan bisa dikatakan sebagai salah satu faktor yang sangat penting dalam
menjaga adat dan kebudayaan Marapu. Peran mereka dalam menjaga keutuhan Marapu
bisa dilihat pada ketaatan mereka dalam menjaga agar ruang mbalekatonga atau ruang
yang merupakan tempat dari arwah para leluhur tidak dilanggar, alasan mengapa
33
Wawancara bersama ina Nonce di kampung Tarung 22-11-2016
63
perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu perempuan dilarang tidak begitu jelas
namun setelah dianalisis kelihatan karena perempuan berasal dari luar atau orang luar
yang masuk kedalam rumah adat dan tinggal didalamnya . Selain menjaga keutuhan dari
Marapu perempuan juga memiliki peran yang sangat penting dalam setiap upacara-
upacara adat. Berikut pernyataan ini Laka ;
Peran-peran mereka ketika acara adat seperti pada Bulan Poddu
yaitu menyiapkan tarian dengan berbagai perlengkapan tarian
seperti kapouta (ikat kepala), giring-giring, katoupo (parang),
sarung dan kain adat. 34
Hal ini juga bisa berarti ketika acara adat, perempuan juga berperan untuk
memeriahkan acara adat dengan tarian-tarian adat yang akan ditampilkan. Selain itu
peran mereka ketika acara adat berlangsung yaitu menyiapkan nasi yang pamali (sakral)
atau sesajen dengan syarat bahwa sesajen itu tidak boleh jatuh, biasanya sesajen ini di
adakan pada saat bulan Poddu. Tak hanya itu peran Perempuan-perempuan dalam rumah
adat juga menyiapkan sirih pinang untuk para tamu yang datang. Untuk peran mereka
sehari-hari di dalam rumah adat tidak ada bedanya dengan ibu rumah tangga pada
umumnya yang menyiapkan segala sesuatu di dalam rumah seperti makan dan minum
serta kebutuhan lain untuk digunakan oleh penghuni rumah.
Dari pemahan-pemahan perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu
mengenai posisi dan peran mereka dalam rumah adat diatas bisa dilihat bahwa ada dua
versi yaitu yang pertama perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu paham
mengenai posisi mereka dalam rumah adat dan menerima secara total aturan tersebut,
secara total disini yang dimaksudkan adalah penerimaan itu disadari bahwa larangan
itu adalah bentuk dari menjalankan dan mempertahankan adat istiadat dan simbolisasi
keuasaan perempuan melalui Uma Mawinne. Mereka menerima dan menjalani dengan
senang dan rasa nyaman, walau ada larangan-larangan tersebut. Sedangkan versi yang
kedua mereka memahami posisi mereka dan menjalakan aturan-auturan itu sebagai
mana yang sudah seharusnya dilakukan dan memahami bahwa ada efek yang terjadi
kepada mereka jika mereka melanggar. Jadi penerimaan itu bisa juga didasari bahwa
ada sesuatu hal yang ditakutkan yaitu sanksi. Namun seiring berjalannya waktu dan
34
Wawancara bersama Ina laka di kampung Tarung tanggal 9-11-2016
64
sudah tinggal lama dalam rumah adat membuat pemahaman yang bersi kedua tadi
seakan dianggap hal yang biasa dan tidak menjadi masalah yang berarti bagi mereka
yang tinggal dalam rumah adat dengan status istri dan anak mantu. Berikut pernyataan
ina Nonce yang berasal dari suku anakalang dan beragama Kristen yang menikah
dengan sang suami yang beragama Marapu, lalu dia memutuskan untuk masuk dalam
agama sang suami yaitu Marapu, ketika masuk pertama kali dan mulai tinggal dalam
rumah adat :
“Pas pertama dikasih tau larangan-larangannya dan sanksi, saya
langsung hafal memang, dari situ sudah saya tau ada aturan-
aturan yang harus di patuhi, dari situ tidak ada rasa kaget lagi”
“Kita sudah menyatu dengan rumah adat, jadi tidak ada hal yang
harus dipermasalahkan untuk tidak bebas atau tidak mempunyai
tempat yang luas dalam rumah”35
Seperti pernyataan di atas yang disampaikan ina Nonce memang pada awalnya
pada saat masuk, dia merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan kebiasan yang dia
lakukan dalam rumah sebelum dia menikah, pada awalnya dia merasa kaget dengan
posisinya dalam rumah adat namun ketika dia diberitahu bahwa ada tempat-tempat
yang tidak boleh dilewati dan disentuh jika melanggar akan terkena sanksi dia
menerima perlahan-lahan untuk menjalankan laranga-larangan tersebut, setelah
diberikan pemahaman kepada ina Nonce dan dia tidak pernah bertanya mengapa
larangan itu bisa ada dan kenapa hanya saya (istri) yang mendapatkan larangan
tersebut. Rasa takut beliau pun ada ketika dia tahu bahwa jika larangan tersebut
dilanggar maka dia akan terkena sial bahkan bisa sakit dan gila, sperti ini yang
diungkapkan ina Nonce “Saya tidak pernah melanggar, karena saya takut”.
Setelah tinggal lama dalam rumah adat membuat membuat ina Nonce sudah
terbiasa dan sudah merasa nyaman walupun ada larangan-larangan tersebut membatasi
posisinya di dalam rumah adat. Beliau merasa sudah menyatu dan nyaman dengan
rumah adat karena semua perempuan di kampung tersebut yang berstatus istri juga
melakukan hal yang sama.
35
Wawancara bersama ina Nonce di kampung Tarung 22-11-2016
65
5.2.3. Pembagian Kerja antara Perempuan dan laki-laki Dalam Perspektif Ruang
dalam Rumah Adat
Dari pemahaman-pemahaman perempuan diatas mengenai posisi dan peran
mereka dalam rumah, bisa dikatakan bahwa perempuan sudah sangat memahami
mengenai posisi dan peran mereka dalam rumah adat. Maka dalam sub bagian ini
ingin menjelaskan bagaimana pemahan itu dilihat pada perspekktif ruang dalam
rumah adat. Dalam pembagaian ruangan bisa dilihat bahwa posisi perempuan dan
laki-laki dibedakan menjadi ruang domestik untuk laki-laki dan ruang domestik untuk
perempuan. Perempuan dilarang untuk memasuki ruang domestik laki-laki. Namun
sebaliknya laki-laki tidak dilarang untuk memasuki ruang domestik perempuan.
Jika dilihat dari kaca mata gender bisa dikatakan bahwa perempuan tidak
mendapatkan keadilan mengenai posisi mereka dalam rumah adat, namun jika
melihat lebih jauh sebenarnya pernyataan bahwa perempuan tidak mendapatkan
keadilan itu sepenuhnya tidak begitu dirasakan, karena setelah dibagi ruang tersebut
baik laki-laki dan perempuan sama-sama mengurus ruangnya masing-masing. Tidak
bisa laki-laki dalam hal ini suami menyuruh istrinya untuk membersihkan dan
membereskan ruang domestik dari laki-laki. Ini membuktikan bahwa perempuan
dalam rumah adat tidak sepenuhnya dikatakan tidak mendapatkan keadilan.
Lalu jika perempuan dalam hal ini istri dan laki-laki dalam hal ini suami sama-
sama memiliki ruang domestik, dimanakah letak ruang publik untuk mereka bertemu
dalam rumah adat. Berikut gambar yang menggambarkan ruang bertemua antara
suami dan istri.
66
Gambar 5.3
Konstruksi Ruang Kesetaraan
Perempuan dan Laki-laki dalam Rumah adat
Gambar diatas bisa memperjelas posisi antara istri dan suami, garis dibagian
tengah itu merupakan garis pembatas antara posisi ruang domestik laki-laki dan ruang
domestik perempuan yang dalam hal ini istri. Jika seorang istri tidak bisa memasuki
ruang domestik sang suami maka pertemuan mereka pada ruang publik untuk mereka
yaitu kamar tidur untuk suami dan istri. Ruang tidur ini bisa dikatakan sebagai ruang
keadilan dimana disanalah suami dan istri bertemu.
Peran istri bisa dilihat pada area atau ruang domestiknya saja dalam rumah adat,
Ia hanya bergerak pada area atau ruang tersebut sedangkan sang suami bebas untuk
memasuki area atau ruang dari istri. Gambar diatas juga memperjelas bahwa laki-laki
dalam hal ini sang suami memiliki kekbebasan dalam rumah adat, dia bisa masuk
dalam ruang istri dan dia juga masuk pada ruang keadilan dimana disana merupakan
salah satu tempat yang paling privat untuk suami dan istri dalam rumah adat.
Dalam aktifitas peran dan kerjanya istri tidak akan melakukan aktifitas-aktifitas
dalam rumah adat yang dimana tempat-tempat tersebut dilarang untuk mereka. Walau
sekalipun peran itu sering diberikan untuk mereka dalam hal ini seorang istri, seperti
membersihkan dan membereskan rumah di area atau ruang dari sang suami, bagi mereka
itu tidak boleh. Bahkan untuk halaman rumah saja mereka tidak akan membersihkan jika
tempat tersebut sudah masuk dalam area atau ruang laki-laki.
67
5.3. Kondisi yang Mempengaruhi Posisi Perempuan Dalam Rumah
Adat
5.3.1. Kesadaran Perempuan
Seperti yang telah dijelaskan pada pemahaman perempuan mengenai posisi
mereka dalam rumah adat. Perempuan menyadari bahwa posisi dan larangan yang tertuju
untuk mereka memang merupakan hal yang berhubungan dengan adat istiadat dan
kesakralan dalam rumah adat.
Perempuan menjalankan larangan tersebut dengan kesadaran penuh seperti yang
diungkapakan oleh istri dari nenek Rato Yusuf lihat pada catatan kaki nomer 20. Beliau
mengatakan dengan tegas bahwa mereka menjalankan larangan terkait posisi ini adalah
untuk menjaga adat dan istiadat, ini membuat perempuan melakukan ini secara sadar
tanpa ada desakan oleh laki-laki untuk perempuan mematuhi laranga-larangan tersebut.
Selain dari kesadaran perempuan dalam menjalankan posisi tersebut, sebenarnya larangan
ini berhubungan dengan sebuah keteraturan dari struktur masyarakat Sumba. Dimana
Keteraturan ini bisa menjaga agar adat dan budaya masyarakat Sumba khusunya di
kampung Tarung tetap terjaga walau berada ditengah arus modernisasi. Keteraturan ini
bisa dikatakan sebagai kosmologi masyarakat Sumba.
5.3.2. Kuatnya Budaya Patriarki
Pada umumnya masyarakat Sumba menganut budaya patriaki. Budaya Patriarki
merupakan dominasi laki-laki dalam segala hal termasuk pengambilan keputusan.
Perempuan dianggap hanya sebagai "pelengkap". Patriarki merupakan dominasi atau
kontrol laki-laki atas perempuan; atas badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, perannya
dan statusnya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Menurut Walby (1990:20-
21) patriarki sebagai struktur sosial dan prakteknya dimana laki-laki mendominasi,
mengoperasiakan dan mengeksploitasi perempuan. Ia juga mengidentifikasikan adanya
enam struktur patriarki yaitu, produksi rumah tangga ,pekerjaan yang dibayar, negara,
kekerasan laki-laki, seksualitas dan budaya yang bersama-sama berperan untuk dapat
menangkap kedalam, kegunaan dan keterlibatan subordinasi perempuan.
68
Pengertian ini kemudian dibakukan dalam budaya-budaya yang menganut sistem
patriarki, sistem ini seakan-akan menjadi ideologi masyarakat dan sebagai tolak ukur
dalam membagi fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Namun kebudayaan
atau tradisi yang secara tidak langsung telah menciptakan ruang ketidakadilan gender.
Sebagian perempuan tidak menyadari bahwa pada hakikatnya mereka memiliki hak
untuk tampil bersama pria dalam setiap bidang kehidupan. Sistem adat dan tradisi yang
dihidupi patriarki terkadang mereka larut dalam penguasaan kaum pria. Bahkan
perempuan merasa cukup puas dengan keadaan, kebiasaan atau tradisi yang dihidupi.
Hal-hal yang berhubungan dengan patriarki dalam rumah adat membuat
perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu merasa nyaman dan biasa saja dengan
keaadan mereka ketika berada dalam rumah adat. Kekuasaan laki-laki menjadi salah satu
kondisi yang mempengaruhi posisi perempuan dalam rumah adat. hal ini bisa dilihat pada
tidak ada larangannya terhadap anak mantu laki-laki ketika bertamu ke rumah sang istri,
mereka tidak dianggap sebagai orang luar yang sama dengan anak mantu perempuan.
Anak mantu laki-laki tidak mendapatkan larangan, ia memiliki kebebasan ketika
memasuki rumah adat dari sang istri dengan alasan bahwa mereka (anak mantu laki-laki)
sangat dihargai, selain karena dia telah mengambil istri di rumah tersebut, dia juga telah
memenuhi kewajibannya dalam membelis sang istri. Beda halnya dengan sang istri atau
anak mantu perempuan, ketika ia sah dan memasuki rumah adat dengan berbagai prosesi
yang telah dilewatinya, dia tetap saja mendapatkan larangan untuk tidak menempati atau
melewati beberapa tempat dalam rumah ada dengan alasan bahwa tempat tersebut sakral
untuk mereka dalam hal ini istri dan anak mantu, bisa dikatakan bahwa mereka belum
sepenuhnya menjadi pemilik rumah atau mengikuti suku dari sang suami. Hal ini
beralasan karena ketika mereka meninggal barulah mereka boleh melewati tempat-tempat
yang dilarangan sepanjang mereka hidup. Berikut pernyataan dari nenek Yusuf Wadda
Rato :
“Laki-laki bebas karena dia kepala rumah tangga maka dia yang
mengurusi semua hal. Ketika hidup ibu atau anak mantu tidak
boleh melewati balikatonga, namun ketika dia meninggal dia harus
keluar melewati balikatonga. Mayatnya di dudukkan di tempat
yang di larang untuk di doakan dan jiwanya di ikat ditiang pala
69
(Parii woleta) agar tidak pergi mengikuti jenasah dalam kuburan
namun jiwa akan bersemayam di dalam nukku sara” 36
Kebebasan ini semakin menunjukan bahwa memang dalam rumah adat laki-laki
memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Melebihi perempuan, bahkan laki-laki tidak mau
disamakan peran mereka dengan perempuan karena jika perannya sama atau perempuan
boleh bebas masuk ketempat laki-laki berarti peran mereka dalam rumah adat sama dan
tidak ada bedanya. Disini bisa kita lihat bahwa memang laki-laki menginginkan peran
mereka dengan perempuan berbeda karena mereka yang lebih bisa menjaga rumah adat
dan menjalankan ritual-ritual adat.
Bila dilihat dari pernyataan Nenek Rato Yusuf mengenai perempuan dalam hal
ini istri dan anak mantu yang ketika meninggal baru boleh memasuki tempat yang
dilarang karena jiwanya akan di doakan lalu jiwanya naik diatas nukku sara. Dari sini
bisa kita lihat bahwa perempuan dalam hal ini istri dan anak dalam rumah adat dia akan
bergabung dengan para leluhur terdahulu di dalam nukku sara dalam rumah adat ketika
dia sudah meninggal.
5.3.3. Kuatnya Struktur Adat
Menurut Koentjaraningrat (1987:85) nilai budaya adalah nilai budaya terdiri dari
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat
dalam hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu
masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai
budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam mengambil alternative, cara-
cara, alat-alat dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia. Koentjaraningrat (2000: 180)
Pada perkembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilai-nilai
yang melekat dimasyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan.
Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Pemahaman nilai budaya yang di
uangkapkan oleh Koentjaraningrat seakan mempertegas bahwa nilai budaya yang terjadi
dalam rumah adat merupakan konsepsi-konsepsi dari masyarakat Sumba khususnya yang
36
Wawancara bersama nenek Rato Yusuf di desa dokaka tanggal 16-12-2016
70
berada di kampung yang menanggap bahwa larangan-larangan yang dibuat berhubungan
dengan sesuatu yang dianggap mulia atau sakral.
Durkheim mengatakan bahwa pembagian antara yang sakral dan yang profan ini
menjadi ciri khas pemikiran religius. Kepercayaan, mitos, dogma dan legenda-legenda
merupakan representasi atau sistem representasi yang mengekspresikan hakikat hal-hal
yang sakral, kebaikan, dan kekuatan-kekuatan yang dihubungkan padanya; sejarah dan
hubungan antara sesama hal-hal yang sakral sama dengan hubungannya dengan hal-hal
yang profan. Hal-hal yang sakral tidak bisa disederhanakan dengan mengatakannya
sebagai sesuatu yang personal yang disebut dewa-dewi atau roh-roh. Batu, pohon, mata
air, batu kerikil, potongan kayu, rumah, pokoknya segala sesuatu bisa saja menjadi hal
yang sakral. Sebuah ritus bisa saja memiliki kesakralan; dan memang, pada tingkat
tertentu tidak ada ritus yang tidak memilikinya. Ada kata, ungkapan, mantra-mantra
tertentu yang hanya bisa diucapkan oleh figur yang sakral, ada juga gestur-gestur tubuh
dan gerakan-gerakan tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang
(Durkheim, 1992: 65-67).
Namun kelihatannya kesakralan yang dimaksud oleh Durkheim bisa saja akan
menjadi luas makna dan bisa berubah dalam konteks rumah adat. Durkheim berpendapat
bahwa sesuatu yang sakral itu bersifat universal dan tidak mengenal gender atau dengan
kata lain bahwa sakral dalam konteks rumah adat seharusnya tidak hanya pada
perempuan saja harusnya semua yang tinggal dalam rumah adat tidak boleh memasuki
tempat-tempat tersebut tetapi laki-laki juga. Ini bisa menjadi bahwa sakral dalam konteks
rumah adat bisa bersifat luas dan tidak statis seperti yang dingkapkan oleh Durkheim.
Menurut rato Yusuf Lele Wadda sebagai rato tertua loli, Sejarah rumah adat dan
pembagian posisinya, sudah dimulai sejak nenek moyang di Tanjung Sasar, pada saat
terciptanya rumah adat beserta adat istiadatnya. Dalam adat istiadat tersebut membagi
tempat laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan dua kayu yang tidak diikat atau
tidak dikenakan tali, satu dibagian atas yang merupakan simbol kayu laki-laki dan
satunya dibagian bawah adalah simbol kayu perempuan. Sama hal yang diungkapkan
Rato Lado Lado sebagai Rato adat di kampung Tarung, adat istiadat dalam rumah adat
71
termasuk aturan-aturan dalam rumah adat untuk perempuan sudah ada sejak berdirinya
rumah adat, dengan tujuan membagi tempat dalam agar ada tempat untuk aktifitas sehari-
hari dan tempat untuk aktifitas rohanian (spriritual), yang jika dilanggar akan mendapat
kesialan atau hal-hal yang tidak di inginkan”.
Namun Dalam Posisi dan peran perempuan dalam rumah adat yang terjadi di
kampung Tarung tentunya memiliki faktor yang mempengaruhi kondisi-kondisi terkait
posisi dan peran perempuan dalam rumah adat. Salah satunya Adat dan istiadat yang
dipertahankan masyarakat di kampung Tarung, itu terlihat jelas dengan eksistensi rumah
adat yang masih terjaga dan ritual-ritual adat yang masih terus dijalankan, itulah
sebabnya kenapa kampung Tarung masih tradional, seperti yang dikatakan Rato Lado ;
“Banyak Rumah adat di Sumba yang sudah mulai berganti dan mulai menghilang itu
karena mereka tidak melakukan ritual, jadi hilang sudah adat istiadatnya”. Kondisi
budaya yang begitu kental dan masih terjaga sehingga mempengaruhi posisi perempuan
dalam rumah adat. Menurut Rato Lado;
“Faktor ada larangan-larangan atau aturan terkait posisi dan peran
perempuan dalam rumah adat itu dari leluhur-leluhur sampai
kepada nenek moyong dan turun temurun sampai sekarang, dan
dilakukan disetiap kabissu di Loli, ini berkaitan dengan
kepercayaan terhadap Marapu.37
Bentuk dari kesakralan dalam rumah adat terletak pada Marapu yang berada
dalam rumah, dalam konteks rumah adat wujud Marapu biasanya dalam bentuk benda-
benda pusaka dan Nukku Sara yang merupakan tempat dari jiwa-jiwa atau roh-roh para
leluhur dalam rumah adat tersebut. Inilah yang menyebabkan sehingga adanya kesakralan
dalam rumah adat. Kesakralan ini juga ikut dijaga dan dihargai oleh orang-orang yang
berada dikampung Tarung yang sudah memeluk agama yang diakui oleh Negara seperti
yang terlihat pada table 4.2 pada halaman 25.
Ajaran marapu sebagai falsafah dasar segala urusan dalam kehidupan masyarakat
Sumba khusunya di Kampung Tarung. Marapu merupakan suatu keperayaan kepada
arwah para leluhur yang diyakini mampu memberikan keselamatan dan ketentraman serta
kekuatan tertinggi yang disebut amawolu amarawi yang secara harafiah berarti yang
37
Wawancara bersama Rato Lado di kampung Tarung tanggal 5-11-2016
72
membuat dan yang menciptakan, kekuatan tertinggi ini diistilahkan sebagai Ndapa
Nunga Ngara, Ndapa Teki Tamo : tak disebut nama, tak ada bandingannya. Namanya tak
boleh disebut karena Ia berbeda dengan manusia biasa, karena Dialah yang disebut wolu
tou raibada atau mawou tou marawi bada: yang menciptakan manusia dan selain
manusia.
Roh para leluhur yang telah meninggal dunia dipercaya masih tetap menentukan
kehidupan masyarakat sehingga mereka memperlakukan arwah nenek moyang tersebut
sebagai dewa (Marapu). Marapu biasanya disimbolkan dengan benda-benda sakral yang
telah dikuduskan sehingga tidak seorang pun boleh menyentuhnya kecuali Rato yang
telah ditentukan.
5.4. Refleksi Penelitian
Dalam penelitian ini, ada hal-hal yang ingin direfleksikan oleh peneliti , terkait
posisi perempuan dan pemahaman perempuan tentang posisi dan peran mereka dalam
rumah adat.
Mengenai posisi perempuan dalam rumah adat bisa dilihat bahwa masyarakat di
kampung Tarung mempertahankan tradisi. Bagi masyarakat di kampung Tarung tradisi
ini merupakan tradisi yang turun temurun dan dijalankan sejak rumah adat Sumba ini
dibangun dengan mempertahankan tradisi dan menjalankan tradisi tersebut merupakan
satu-satunya cara agar tetap adat dan budaya yang dalam bentuk Marapu tetap eksis
ditengah derasnya arus moderniasasi. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa
modernisasi adalah suatu proses, dimana berlangsung transformasi disegala bidang
termasuk kultural atau adat istiadat. Di mana modernisasi mengangap bahwa perlu
adanya merombak dasar, susunan dan corak masyarakat lama, yang statis dan
terbelakang, yang bersifat tradisional, dan menginginkan masyarakat yang baru, yang
bersifat rasional dan modern.
Dalam konteks rumah adat modernisasi tidak begitu nampak pengaruhnya baik
secara fisik maupun tatanan budaya masyarakat di kampung Tarung. Namun dalam
pemahaman perempuan mengenai posisi perempuan dalam rumah mendapat kesan ketika
perempuan dalam hal istri dan anak mantu menjelaskan terkait sanksi adat terkait
73
larangan-larangan dalam rumah adat tersebut. Kesan yang ditunjukan seolah-olah ada
sebuah keinginan untuk “memprotes” karena merasa takut terhadap sanksi adat.
Ina Nonce yang merupakan seorang istri yang asalnya dari luar kampung Tarung,
beliau berasal dari Suku Anakalang dan sebelumnya beliau sudah beragama Kristen
setelah menikah beliau masuk Marapu mengikuti sang suami. Beliau mengungkapkan
bahwa tradisi yang dijalankan membuat mereka menganggap bahwa hal tersebut biasa
saja dan beliau juga mengatakan bahwa adanya ketakutan untuk melakukan pelanggaran
terhadap adat “kita takut untuk melanggar adat karena ada sanksi yang akan diterima
nantinya” Namun beliau mulai menyadari bahwa sebenarnya ini bukan hanya
permasalahan posisi dan sanksi adat saja tetapi “ini adat dan istiadat yang harus dijaga”.
Kesadaran ini sama seperti yang terjadi pada perempuan yang tinggal dalam
kampung Tarung pada umumnya, perempuan menyadari bahwa yang mereka jalani ini
bukan hanya larangannya saja tetapi sebenarnya perempuan menjalankan larangan ini
semata-mata untuk menjaga adat istiadat. Selain itu larangan ini sebenarnya merpakan
sebuah keteraturan yang mengatur masyarakat Sumba agar adat dan istiadatnya tetap
terjaga dan dilestarikan oleh generasi selanjutnya. Dengan kata lain keteraturan ini
merupakan kosmologi masyarakat Sumba.
Bila dilihat dari hasil wawancara terhadap perempuan ada dua pandangan terkait
posisi perempuan dalam rumah adat, yang pertama menerima secara total karena posisi
tersebut merupukan manifestasi dari adat istiadat masyarakat di kampung sehingga adat
ini harus dijaga karena adat ini berkaitan dengan hubungan spriritual masyarakat disana
dengan sang pencipta (Marapu). Pandangan yang kedua ada yang menerima hal tersebut
juga melihat dari sisi adat dan istiadat namun menjalankannya karena atas dasar takut
terhadap sanksi adat. Namun seiring berjalannya waktu pandangan tentang menerima
tetapi takut pada sanksi adat pun mulai luntur karena hal tersebut berkaitan dengan adat
dan esksistensi perempuan dalam mempertahankan kekuasaanya melalui simbolisasi
Uma Mawinne.
Adat dan istiadat ini masih bertahan karena semua hal yang berkaitan dengan adat
istiadat dan ritul-ritual adat tersebut dianggap sakral bagi masyarakat Sumba khususnya
74
yang berada dikampung Tarung. Kesakralan itu tepat berada pada hal-hal yang berhungan
dengan Marapu. Masyarakat disana bahwa mengangap bahwa Marapu merupakan satu
satunya cara agar terjaganya keseimbangan yang mencakup tata kehidupan alam semesta
(weemaringu wee malala). Keseimbangan dipercaya mendatangkan keselamatan.
Keselamatan akan bermuara pada kebahagiaan. Karena itu harus senantiasa dijaga agar
tidak menimbulkan goncangan yang dapat merusak tata kehidupan. Hal ini tercermin
dari gelaran upacara-upacara adat yang pada dasarnya dimaksudkan untuk
mempertahankan hubungan yang harmonis/seimbang antara sesama manusia dan alam
semesta serta dengan dewa-dewa marapu dan roh para leluhur. Di kampung Tarung
sendiri tradisi-tradisi dan upacara-upacara adat masih dilakukan, dan masih dilestarikan
dari tradisi rumah adat sampai pada upacara-upacara adat salah satunya adalah Wulla
Poddu.
Dan refleksi terakhir dalam penelitian ini berkaitan dengan peran perempuan
dalam menjaga adat istiadat dan eksistensi Uma mawinne. Perempuan menerima dan
melakukan tradisi melalui larangan-larangan dalam rumah adat bukan untuk menunjukan
posisi dan kekuasaan laki-laki, melainkan mereka ingin mempertahankan kekuasaannya
lewat simbolisasi Uma mawinne sebagai satu-satunya rumah adat yang menentukan
kapan tibanya bula suci bagi masyarakat Loli atau yang sering disebut dengan Wulla
poddu. Dari sini bisa kita lihat bahwa sebenarnya perempuan menjalankan larangan
tersebut untuk memepertahankan Uma mawinne sebagai rumah adat kekuasaan
perempuan. Sebab jika perempuan melanggar adat tetang posisinya, secara tidak
langsung perempuan menghilangkan kesakralan Uma mawinne. Dengan begitu makna
dan fungsi dari Uma mawinne dan tatanan budaya dari masyarakat Sumba pun runtuh.