BAB V LAWAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: MASYARAKAT …
Transcript of BAB V LAWAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN: MASYARAKAT …
171
BAB V
LAWAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN:
MASYARAKAT PALANG KANTOR DAN
INFRASTRUKTUR MILIK PEMERINTAH
MENGGUNAKAN SIMBOL ADAT
Pembangunan tidak melulu pada membangun infrastruktur,
tidak pula hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata dalam
melaksanakan pembangunan, sementara masyarakat hanya
ditempatkan pada posisi pengguna, penikmat hasil pembangunan.
Keutamaan dalam pembangunan adalah bagaimana manusia dilibatkan
dalam proses pembangunan sebagai subyek, artinya masyarakat diberi
ruang untuk berproses sejak dini dalam merancang strategi
pembangunan di daerah. Kekeliruan yang terjadi hingga saat ini adalah
masyarakat dipandang sebagai obyek pembangunan, dalam hal ini
masyarakat dipandang memiliki ketidaktahuan dalam segala hal, bukan
sebaliknya masyarakat dilihat sebagai makhluk yang memiliki
keinginan mengetahui, ingin terlibat berproses bersama pemerintah
untuk merancang serta melaksanakan pembangunan. Kenyataannya,
masyarakat masih dijadikan sebagai makhluk penunggu dalam wilayah
mereka untuk membeli atau bertransaksi dengan pemerintah soal
program pembangunan suatu daerah. Sebagai pembeli program,
terkadang masyarakat berada pada posisi tawar yang sangat lemah
sehingga membuka sejumlah peluang masalah bisa terjadi dalam proses
pembangunan.
Pada bagian ini, penulis akan menguraikan kebijakan pemerintah
daerah Kabupaten Kaimana yang berhubungan langsung dengan
kebijakan pembangunan dan bagaimana masyarakat bereaksi terhadap
kebijakan tersebut dengan menggunakan simbol-simbol adat.
172
Pengaruh Simbol dalam Diri Manusia
Setiap gerakan manusia pasti memberi arti dan makna menurut
apa yang dia rasakan. Penulis meminjam bahasa iklan kecap
bango“karena rasa tidak pernah bohong”1. Seorang bayi yang belum
bisa berbicara, ketika ingin menyampaikan apa yang dia rasakan
kepada orang lain, cara menyampaikan tentu berbeda dengan orang
yang sudah bisa berbicara. Dengan cara menangis, seorang bayi
menyampaikan pesan simbol kepada orangtuanya bahwa mungkin dia
lapar, atau mungkin popoknya basah, atau mungkin si bayi masuk
angin. Penulis menggunakan kata “mungkin” karena hanya si bayi
itulah yang tauh bersama ibunya yang bisa mengerti bahasa bayi
tersebut.
Setelah anak itu mulai belajar berbicara, dengan mengucap kata-
kata yang tidak habis terucap, maka pesan simbol yang disampaikan
akan mengalami perubahan dengan berbagai macam cara. Misalnya,
ketika seorang anak mulai belajar berbicara dan dia meminta makan
saat lapar, maka bahasa yang digunakan lebih kurang seperti ini, ma’
am (ma=mama am=makan), di wilayah Timur Indonesia seorang bayi
cenderung menggunakan pesan simbol seperti ini. Setelah anak
tersebut bisa berbicara dengan jelas, maka pesan bahasa simbol akan
semakin jelas.
Dari uraian ini dipastikan, bahwa simbol yang digunakan
manusia untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain, selalu
mengalami evolusi berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi
sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kebutuhan yang diinginkan.
Walaupun terjadi evolusi terhadap simbol-simbol yang digunakan oleh
manusia, namun yang pasti adalah, bahwa simbol yang digunakan
untuk menyampaikan pesan kepada orang lain akan selalu
berhubungan dengan sesuatu dalam diri manusia.
Bagitu kuatnya pengaruh simbol dalam diri manusia, hal itu
menunjukan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa simbol. Jika
1 Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=gcerTjpsPxw diunduh pada tanggal 4 Februari 2018
173
ditelusuri secara mendalam, maka peran simbol dapat disamakan
dengan “password”2 rahasia yang dipasang pada setiap file atau folder, maka untuk membuka file atau folder diharuskan penggunannya
mengetahui dengan benar kode “password” yang digunakan.
Simbol yang oleh penulis menyamakannya seperti “password” dalam kehidupan masyarakat adat, tidak hanya terdiri dari satu macam
simbol, berbagai macam simbol ada dan dimiliki oleh mereka, salah
satunya adalah simbol marga/klan. Pada bagian ini penulis akan
menguraikan beberapa sub judul terkait dengan penggunaan simbol
oleh masyarakat lokal di “Negeri 1001 Senja” atas implementasi
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Marga sebagai simbol identitas masyarakat adat
Penggunaan nama pada sebagian masyarakat di “Negeri 1001 Senja” rasanya tidak lengkap jika tidak disertai dengan sebutan
marga/klan pada bagian akhir nama seseorang. Mungkin pada orang
yang tidak menggunakan nama marga/klan akan menganggap hal
tersebut biasa-biasa saja, namun pada komunitas lain yang
menggunakan marga/klan, nilai dari sebutan marga sangat mulia dan
2 Pada awal tahun 1960-an, Fernando Corbato mengubah dunia. Ia mengembangkan sistem password komputer pertama untuk sebuah proyek di Massachusetts Institute of Technology (MIT), di mana beliau mencoba untuk menciptakan akun terpisah di antara para peneliti yang ada di sana. Dari situlah terciptanya sebuah password di komputer. Perubahan ini tak hanya memberikan pemahaman tentang bagaimana kita menggunakan teknologi, tetapi juga memaksa kita untuk memikirkan tentang privasi ketika menggunakannya. Tapi sekarang, di era Internet, mantan profesor MIT ini percaya bahwa password telah menjadi mimpi buruk yang nyata. Dalam sebuah wawancara dengan The Wall Street Journal, Corbato mengatakan bahwa sistem password menjadi `mimpi buruk` untuk World Wide Web. Ia pun percaya bahwa password telah menciptakan masalah yang tak hanya untuk hacker, tetapi juga kepada pemilik password itu sendiri. “Sulit membayangkan bahwa ada orang yang bisa mengingat semua password yang mereka miliki. Ini menimbulkan masalah besar,” kata Corbato seperti dikutip dari blog The Wall Street Journal. Sumber: http://tekno.liputan6.com/read/2060472/mengenal-si-pencipta-password-di-komputer Password adalah sandi yang harus dimasukan kedalam suatu sistem baik itu sistem komputer yang menggunakan system operasi windows atau bukan yang berupa karakter tulisan, suara, atau ciri-ciri khusus yang harus diingat. Sumber : http://www.g-excess.com/504/pengetahuan-pengertian-password, diunduh pada tanggal 4 Februari 2018
174
memiliki maksud yang luar biasa. Ada alasan mendasar yang
menyebabkan mengapa nama marga/klan tidak bisa dihilangkan pada
komunitas penggunanya. Jika hal itu ditanyakan kepada komunitas
yang paham benar tentang alasan penggunaan marga/klan, maka
jawaban yang disampaikan adalah “marga/klan kami adalah nama leluhur kami, ada pula yang mengatakan bahwa marga/klan yang kami gunakan itu berasal dari nama gunung, ada pula yang menjelaskan nama kami berasal dari pohon, unggas, binatang melata, dan ada banyak hal bisa mereka sampaikan, tetapi ada pula yang tidak bisa menjelaskan, hal itu dikarenakan pada kalangan masyarakat tertentu, penjelasan merga/klan terhadap orang yang berada di luar komunitas mereka, hal itu masih dianggap sakral jika disampaikan pada orang yang berada di luar komunitas mereka”.
Menurut salah satu tokoh masyarakat berinisial DM, saat
dilakukan wawancara menjelaskan sebagai berikut:
“sebenarnya simbol-simbol adat yang dimiliki suku Irarutu3 cukup banyak termasuk nama marga. Sama juga dengan marga-marga yang digunakan oleh suku Kuri4 dan Mairasi5. Nama marga memiliki tujuan masing-masing sesuai dengan asal-usul marga yang digunakan. Tujuan penggunaan marga untuk kita suku Irarutu sebenarnya memiliki tujuan untuk menunjukan asal suku, batas wilayah dan asal-usul leluhur masing-masing. Kalau tidak ada marga yang kita gunakan, maka kita menjadi orang asing disuatu tempat. Misalnya, kalau marga yang saya gunakan seperti marga Ruwe, maka orang akan mengetahui bahwa saya berasal dari suku Irarutu, kalau saya dari suku Irarutu, maka semua orang mengetahui asal-usul saya dan saya punya milik tanah sampai di mana. Karena itu, marga yang kami gunakan memiliki tujuan tentang kejelasan asal usul, batas-batas wilayah agar tidak menguasai hak milik orang lain atau suku lain”6.
3 Salah satu nama suku dari delapan suku yang berada di Kabupaten Kaimana. Irarutu berasal dua kata yaitu Iraru = bahasa/bicara tuturan, dan Tu = benar, sesungguhnya dengan demikian, kata Irarutu mengandung pengertian bahasa yang benar, bicara yang benar 4 Salah satu nama suku dari delapan suku yang berada di Kabupaten Kaimana. Kuri artinya perempuan/ibu 5 Salah satu nama suku dari delapan suku yang berada di Kabupaten Kaimana. Mairasi artinya laki-laki hitam keriting. 6 Wawancara tanggal 8 Januari 2017
175
Penjelasan ini memberi gambaran bahwa penggunaan nama
marga tidak hanya sebatas pada sebuah tanda yang menjelaskan asal-
usul komunitas tertentu, melainkan melalui nama marga/klan,
seseorang dapat mengetahui asal-usul dirinya (dari mana dia berasal),
otoritas marga (kewenangan dan kekuasaan marga), milik pusaka
(kepemilikan tanah adat), dan batas-batas kekuasaan (hak-hak dalam
komunitas).
Karena itu dipahami pula, bahwa nama marga/klan merupakan
alat kontrol yang berfungsi sebagai pengingat yang menandai seseorang
bahkan komunitas tertentu untuk tidak serakah, tidak mementingkan
diri sendiri, tidak berlaku semena-mena terhadap orang lain. Pada
fungsi yang lain, nama marga/klan juga berfungsi sebagai sabuk
pengikat suatu komunitas. Dalam fungsi tersebut, penggunaan nama
marga/klan bertujuan memberi kepastian hidup yang berhubungan
dengan harapan-harapan akan masa depan, yang mengharuskan
seseorang dalam komunitasnya untuk wajib tunduk dan mengamankan
segala kekayaan yang dimiliki dalam sebuah komunitas marga tertentu.
Fenomena yang masih terlihat hingga sekarang ini, bahwa dalam
kehidupan masyarakat adat di beberapa kampung, masih ada
masyarakatnya yang menggunakan hanya satu marga/klan. Walaupun
mungkin telah ada tambahan beberapa marga/klan dalam satu
komunitas tertentu, namun secara pasti dijelaskan oleh DM bahwa:
“dulu setiap kampung hanya ada satu marga dalam suatu komunitas, dari marga tersebut menunjukan bahwa mereka hanya memiliki satu moyang atau leluhur. Sekarang ini muncul juga beberapa marga lain dalam sebuah komunitas tertentu, ceritanya begini; dulu itu, leluhur kita mengembara, pada saat mengembara mereka selalu lakukan “honge”. Karena leluhur kami mengembara, maka seringkali terjadi pertemuan leluhur yang satu dengan leluhur yang lain, biasanya leluhur yang telah menempati tempat tertentu, mengajak leluhur yang mengembara untuk tinggal bersama di tempat tersebut. Kalau dalam konteks ini, maka leluhur yang diajak tinggal tidak bisa menghilangkan marga yang dia gunakan. Berbeda jika mereka melakukan honge, kalau ada orang yang tertangkap dari pihak musuh, maka orang yang ditangkap wajib mengubah nama marganya. Alasan mereka mengubah marga orang yang dibawa dari tempat honge, agar orang yang dibawa
176
bisa mengambil bagian dalam komunitas baru, dan bisa mendapat hak waris dari marga yang dia gunakan7”.
Melalui penjelasan tersebut dipahami bahwa penggunaan
marga/klan pada masa lalu sangat selektif, seorang bisa saja bergabung
dalam suatu komunitas namun ada persyaratan yang harus dipatuhi,
yaitu harus disetujui dan disepakati bersama oleh komunitas penerima.
Jika komunitas penerima setuju menerima individu tersebut maka
nama marga/klan asal yang digunakan tetap melekat dalam diri
individu tersebut, dalam konteks ini muncul kesepakatan bersama
“saling menerima dan mengakui”
Tetapi jika seseorang diterima dalam satu komunitas yang baru
dan diubah nama marga/klan sesuai dengan marga/klan yang berlaku
dalam komunitas tersebut maka orang tersebut merupakan hasil dari
peristiwa honge (perang keseimbangan antar suku).
Ada beberapa hal yang membuat seseorang mengubah atau
diubah marga/klan aslinya, pertama: agar dia bisa diterima dalam
komunitas baru, kedua: seseorang menjadi pemilik hak waris dari
marga/klan dari komunitas baru, ketiga: menjadi bagian dari janji
leluhur tentang masa depan berdasarkan cerita sakral yang dipelihara
dan dijaga oleh komunitas baru.
Dalam penjelasan lanjut, DM menuturkan sejarah marga
“Ruwead – Farisa”,8 Cerita sejarah Ruwead–Farisa, sebagai sebuah
7 Wawancara tanggal 8 Januari 2017 8 Mengapa marga Farisa memanggil kakak terhadap kami marga Ruwe, ceritanya pada masa lalu, sebenarnya moyang Farisa ini dia punya nama asli itu ada tapi saya tidak bisa cerita untuk anak pendeta, moyang ini orang sebut dia Farisa karen kalau dia perang honge dia selalu bergoyang seperti orang kemasukan. Pada masa honge, leluhur Farisa melakukan perang dari kepala air sampai ke muara Teluk Arguni, dan turun sampai masuk wilayah Rauna. Di wilayah Rauna, Farisa bertemu dengan seorang perempuan bernama Maru, dia punya mama namanya Weni. Weni memiliki sifat kanibal, pada saat Farisa bertemu dengan Maru yang sementara menebang pohon untuk berkebun, Maru mengajak Farisa untuk tinggal bersama, karena mamanya memiliki sifat kanibal, maka Maru menyembunyikan Farisa dalam gulungan tikar. Pada saat Wenu kembali dari perjalanan mencari makan, dia mencium bauh manusia dan menanyakan kepada anaknya, “maru ko simpan manusia di mana, mama ada cium bau manusia di sekitar ini”, tetapi Maru bilang untuk dia pung mama, “mama jangan kah.., saya cape tebang kayu sendiri, jadi mama jangan makan dia, saya mau dia bantu
177
model dari sejarah masa lalu yang memiliki kaitan dengan simbol
marga/klan di mana seorang individu tidak mengubah marganya ketika
diminta bergabung dengan komunitas baru.
Asal mula marga digunakan sebagai simbol
Penggunaan marga/klan dalam suatu komunitas tertentu tidak
bisa terpisah dari sisi cerita tentang asal mulanya. Hal ini menjadi
sangat penting karena cerita asal mula penggunaan marga/klan selalu
identik dengan muatan aturan-aturan atau kaidah-kaidah tertentu yang
menjadi alasan bagi komunitas tersebut untuk menggunakannya.
Jika diperhatian secara baik maka marga/klan yang digunakan
merupakan potongan sebuah kata yang menerangkan sesuatu benda
dan memiliki kaitan dengan benda-benda yang berada disekitar
lingkungan penggunanya. Kondisi seperti ini memberi gambaran
seakan manusia atau komunitas pengguna marga/klan memiliki
hubungan yang sangat kuat dengan alam, alam menjadi sahabat, alam
menjadi petunjuk, alam menjadi sumber kehidupan, bahkan alam dan
manusia keduanya merupakan representasi satu dengan yang lain (alam
Papua merupakan representasi dari manusia Papua begitu pula manusia
Papua merupakan representasi dari alam Papua).
saya”, walaupun begitu, mamanya terus mencari dan menghancurkan tempat tinggal mereka untuk mencari Farisa yang disembunyikan oleh Maru, pada saat itu Farisa berdiri dan bilang sama Maru, “ko bilang sama ko punya mama, saya jalan keliling hutan besar ini tidak ada orang yang biking (buat) susah saya”, walaupun Maru sudah bilang sama dia punya mama, tetapi mamanya terus melempar Farisa dengan tombak (bahasa Irarutu = gaim, akirnya pace farisa pung (punya) papan pele-pele badan seperti pace-pace (bapa-bapak) polisi biasa pakai kalau ada demo (tameng) yang digunakan Farisa pecah, saat itu juga Farisa marah dan melempar gaim (tobak) di Weni dan akirnya Weni mati. Setelah itu Farisa mengambil Maru menjadi istrinya. Pada saat mereka dua mau kembali ke hulu sungai, tiba-tiba kabut tutup mereka dua punya jalan, lalu dorang dua ingat Maru pung mama, kalau menurut kepercayaan kita suku Irarutu, berarti mereka harus kembali untuk menyimpan Weni pung mayat baik-baik barulah nereka lanjutkan. Pada saat mereka dua melakukan perjalanan pulang, dekat Jasu mereka bertemu dengan Ruwead. Ruwead ini sementara kerja dia punya busur, lalu Farisa bilang sama Maru, ooo.. ko lihat negeri di atas sana, itu gunung Sawi, lalu Ruwead bilang kepada Farisa, tidak usah pulang, ko tinggal dengan saya di sini sudah, jangan ko pulang sudah.
178
Dalam konteks masyarakat asli, alam dimaknai dapat memberi
pesan-pesan khusus bagi mereka. Pesan-pesan ini dibawa dan
disampaikan lewat sejarah asal mula nama marga/klan yang mereka
gunakan. Misalnya, jika komunitas tertentu pengguna marga/klan yang
berhubungan dengan nama hewan, dan tanpa sengaja bertemu dengan
hewan tersebut dalam hutan belantara, maka mereka akan memaknai
peristiwa itu sebagai sesuatu yang berbeda (peristiwa tersebut bisa
dipahami positif tetapi bisa juga negatif) berdasarkan cerita asal mula
mereka tentang cerita hewan tersebut. Untuk mengetahui maksud
serta pesan yang muncul dari persitiwa tersebut, maka peristiwa itu
dicocokan dengan cerita leluhur masa lalu.
Menurut DR saat dilakukan wawancara menjelaskan sebagai
berikut:
“marga yang kami gunakan punya cerita sendiri-sendiri, ada nama marga yang berasal dari binatang, pohon, dll, misalnya: kalau marga Ruwe9, kita pakai moyang punya nama, nama ini diambil dari nama pohon. Ada juga marga yang diambil dari nama binatang seperti marga Kambesu10. Selain itu, ada marga yang diambil dari jenis unggas seperti marga Wamburye11, penggunaan marga masing-masing didasarkan pada cerita leluhur. Kalau kami yang menggunakan marga Ruwe, dasarnya karena nenek moyang kami selalu menggunakan pohon kayu ruwe sebagai senjata. Dulu moyang kami kalau mau honge dia (moyang) hanya potong dahang pohon kayu ruwe lalu dia bicara-bicara dengan kayu itu, trus nanti potongan kayu itu cari musuh dan berperang sendiri, bunuh musuh yang datang.12
Ada pesan khusus dari cerita penggunaan marga/klan yang
digunakan oleh komunitas tertentu di “Negeri 1001 Senja”. Jika dilihat
dari sisi sejarah, penggunaan marga/klan oleh komunitas tertentu,
sebutan itu datang dari pihak lain yang disesuaikan dengan kebiasaan
9 Pohon kayu yang termasuk jenis pohon yang sangat keras. Dulu saat berperang, leluhur mereka hanya memotong sebagian dari batang pohon kayu ruwe lelu menyruh potongan pohon kayu tersebut berperang melawan musuh. 10 Nama marga/klen yang diambil dari nama jenis binatang kanguru yang disebut dalam bahasa suku Irarutu artinya Amor. 11 Nama marga/klen ini diambil dari jenis unggas kelewar, dalam bahasa suku Irarutu disebut Kakuri. 12 Wawancara tanggal 8 Januari 2017
179
leluhur tersebut. Hal ini terlihat jelas dari sebutan nama Ruwe yang
diambil dari kebiasaan leluhur yang selalu menggunakan pohon kayu
ruwe sebagai senjata pada masa perang honge. Tujuan menyebut nama
Ruwe sesungguhnya memberi keterangan bahwa: pertama, terkait
dengan kebiasaan leluhur Ruwe yang selalu menggunakan kayu ruwe
sebagai senjata; kedua, secara etis untuk menyebutkan nama asli
leluhur hal itu dianggap sangat tabu dan bisa dihukum atau kena sanksi
adat, karena itu lebih etis mereka menyebutkan nama yang
berhubungan dengan kebiasaannya; tiga, keterkaitan dengan hal kedua,
menyebut tokoh tersebut dengan kebiasaannya, maka mereka menjaga
identitas keaslian leluhur tersebut dari pihak lain di luar komunitas
mereka. Keadaan ini masih kuat terasa dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat adat di “Negeri 1001 Senja”.
Dalam perkembangan lebih lanjut, nama marga/klan yang
digunakan tidak hanya sebatas melengkapi sebuah nama dari setiap
individu dan komunitas tertentu. Dalam sejarah penggunaan simbol
marga/klan oleh sebagian komunitas suku di Kabupaten Kaimana,
dapat diistilahkan dengan simbol aksidental yang oleh Arthur Asa
Berger menjelaskan sifatnya lebih individual, tertutup dan
berhubungan dengan sejarah kehidupan seseorang Berger (2000a:85).
Dengan demikian penggunaan marga/klan sebagai simbol baru hanya
digunakan setelah komunitas pengguna marga/klan terbentuk dalam
satu komunitas dengan tujuan untuk menyampaikan pesan kepada
orang lain13. Pesan-pesan simbolik yang disampaikan dengan
menggunakan simbol marga/klan, secara prinsip merupakan tindakan
13 Misalnya, saya ini kan marga Ruwe, dengan demikian kalau saya ambil salah satu keluarga punya barang di kabun, mungkin pisang, atau sayur, maka untuk kasih tahu saya punya sodara, tidak perlu saya pergi ke sodara itu punya kampung, cukup saya ambil daun pohon kayu ruwe dan saya letakan pada tempat di mana saya mengambil barang milik sodara saya itu. Trus saya buat busur kecil dua, dan gata-gata papeda dua saya taruh sama-sama dengan daun pohon kayu ruwe, nanti kalau saya punya sodara datang di kebun dia akan lihat tanda simbol yang saya pasang. Mengapa saya pasang daun pohon kayu ruwe, karena saya punya marga ruwe, lalu mengapa saya pasang busur kecil dua, karena saya punya anak laki-laki dua trus kenapa saya pasang gata-gata papeda, karena saya punya anak perempua dua. Nah dari tanda simbol itu, maka sodara itu akan tahu kalau orang yang ambil dia punya hasil kebun itu marga ruwe punya anak laki dua dan perempuan dua
180
etis yang pada satu sisi menyampaikan pesan kepada orang lain, tetapi
pada sisi lain karena berhubungan dengan pengalaman leluhur, maka
pesan simbol itu sendiri menunjukan sifat komunitas pengguna yang
sangat menghargai leluhur mereka.
Pada saat dilakukan wawancara DM menjelaskan sebagai
berikut:
“penggunaan marga yang kami pakai dalam komunitas, kami sadar bahwa hal itu berkaitan dengan leluhur kami, sehingga dalam penggunaannya kami harus menjaga nama baik marga tersebut. Hal penting yang harus kami perhatikan adalah ketika kami menggunanakn marga sebagai nama dalam keluarga, hal itu menunjukan bahwa kami memiliki hubungan darah dengan leluhur kami. Pengakuan ini penting karena itu, kami dalam keluarga harus menjaga nama baik leluhur kami. Ada juga kalau kami mengambil sesuatu barang dari keluarga, entah di kebun atau di tempat lain, kami gunakan marga kami sebagai tanda, hal itu menunjukan bahwa kami ada kasih tinggal leluhur kami di tempat itu, seperti yang saya katakan pada bagian awal tadi, karena kami marga Ruwe maka kalau kami ambil sesuatu di kebun orang lain, maka kami harus taruh tanda dengan cara begini; kami ambil ranting kayu ruwe taruh di tempat itu artinya yang ambil hasil kebun itu marga ruwe, setelah itu kami buat juga busur panah artinya yang ambil hasil kebun itu marga ruwe yang punya anak laki-laki, kalau anak laki-laki dua, maka busurnya harus dua, seandainya keluarga tersebut punya anak perempuan ada maka harus buat tanda entong nasi atau tanda lain yang menampakan ciri khas perempuan. Cara membaca tada yang di taruh itu begini: “yang ambil hasil kebun keluarga marga ruwe, punya anak laki-laki dua dan anak perempuan” pemilik kebun akan mengetahui secara pasti siapa sesungguhnya yang ambil hasil kebun14.
Lebih lanjut dijelaskan oleh DM bahwa melalui simbol yang
digunakan maka orang lain akan membaca simbol tersebut dan
memastikan bahwa yang mengambil hasil kebun adalah keluarga ruwe, hal itu terbaca dari material simbol yang digunakan.
Penjelasan tersebut menunjukan betapa kuatnya aspek
keterikatan manusia dengan alam, antara generasi masa lalu dengan
generasi masa sekarang. Dalam konteks ini, simbol memiliki
14 Wawancara tanggal 8 Januari 2017
181
kemampuan untuk meredam konflik, sebagai rujukan dan jalan keluar
serta memiliki kekuatan pengikat antar generasi.
Permainan Simbol Anak Negeri
Sebagai sebuah wilayah pemerintahan yang baru, sudah tentu
persoalan yang dihadapi oleh pemerintahan di “Negeri 1001 Senja”
sangat multi dimensi, bahkan untuk membedakan mana masalah
prioritas dan bukan prioritas sangatlah sulit diidentifikasi. Karena itu
pemerintah mengupayakan berbagai solusi untuk mengatasi persoalan
multi dimensi yang menjadi tantangan bagi pemerintah.
Salah satu upaya yang dibuat oleh pemerintah dalam
menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi adalah peningkatan
SDM (Sumber Daya Mansia) melalui jalur pendidikan, baik pendidikan
dalam daerah maupun pendidikan di luar daerah termasuk mengirim
anak-anak asli dari delapan suku untuk belajar di luar negeri.
Optimisme pemerintah melalui kebijakan di dunia pendidikan
diharapkan dapat menjawab persoalan multi dimensi yang dihadapi.
Walau demikian, kebijakan yang dibuat selalu di pandang oleh
masyarakat dengan cara pandang yang berbeda. Ada sebagian
masyarakat yang memandang kebijakan dengan sudut pandang oposisi,
ada pula yang memandang kebijakan pemerintah dari sudut pandang
kualisi. Artinya, cara pandang oposisi masyarakat selalu diidentikan
sebagai cara pandang yang mengontrol kebijakan pemerintah,
sementara cara pandang kualisi adalah cara pandang masyarakat yang
memiliki keinginan bersama pemerintah mendukung dan menjalankan
program perencanaan pembangunan.
Dua pandangan yang berbeda ini ketika bertemu pada satu
muara yang sama maka muncullah perbedaan dan gesekan arus yang
kuat. Berangkat dari fenomena tersebut, muncul reaksi dan gelombang
protes terhadap berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah di
“Negeri 1001 Senja” terkait dengan dunia pendidikan. Pada bagian ini
akan diuraikan kebijakan pemerintah tentang pendidikan di beberapa
kampung termasuk pendidikan ke delapan di Jerman.
182
Palang rumah di sudut sekolah
Permasalahan pendidikan merupakan persoalan yang
diakibatkan pada multi faktor, dalam pengertian bahwa penyebab
persoalan dalam dunia pendidikan tidak disebabkan hanya pada satu
atau dua faktor persoalan semata. Dalam hal ini permasalahan selalu
dititikberatkan pada kesadaran orang tua murid diperkampungan.
Sederhananya begini, kalau seorang guru ditanya, bagaimana dengan
perkembangan pendidikan di sekolah, jika guru tersebut bertugas di
wilayah pedalaman, maka jawabannya akan seperti ini “anak-anak
negeri di sini belum memiliki kesadaran tentang pendidikan”. Tidak
ada yang salah dari cara guru tersebut memberi jawaban, sebab
jawaban tersebut merupakan bagian dari 1001 macam keluhan yang
sudah dan akan disampaikan oleh guru.
Menghadapi persoalan pendidikan yang multi faktor, terkadang
pemerintah lebih senang menempuh solusi yang sangat klasik seperti
melakukan mutasi ketimbang mengambil langkah-langkah pembinaan
dan penyadaran terhadap oknum guru yang tidak betah melaksanakan
tanggung jawab sebagai seorang guru di tempat tugas.
Mutasi merupakan hal yang sangat penting, namun terkadang
mutasi yang dilakukan jika telah terjadi persoalan-persoalan antara
guru dan masyarakat, jika tidak terjadi persoalan maka segala sesuatu
dianggap aman-aman saja, sementara pada sisi lain, terkadang banyak
guru mengeluh terhadap persoalan-persoalan yang mereka rasakan.
Jika didalami secara baik, penempatan tenaga guru SD di wilayah
Distrik Teluk Arguni dan Distrik Teluk Arguni Bawah (SD YPK Barari,
SD YPK Jawera dan SD Inpres Bofuwer) banyak mengalami persoalan.
Persoalan yang seringkali terjadi adalah berkaitan dengan fungsi serta
tugas guru sebagai kepala sekolah yang seringkali meninggalkan tempat
tugas.
Menurut penjelasan masyarakat dari Kampung Bofuwer,
persoalan pemalangan rumah kepala sekolah penyebabnya karena
kepala sekolah meninggalkan tempat tugas. Hal ini dijelaskan oleh AK
bahwa:
183
“pemalangan rumah kepala sekolah sebenarnya disebabkan kepala sekolah SD Inpres Bofuwer empat bulan tidak menjalankan tugas, sebagai orang tua kami merasa rugi kalau anak-anak kami tidak mendapat pelayanan pendidikan dengan baik, kitong (kita) orang tua ini sudah bodoh jadi kitong (kita) berharap jangan sampai anak-anak kami ini bodoh seperti kami. Bapa guru kepala sekolah ini tra (tidak) tahu dia kemana sampai empat bulan tra (tidak) tugas, bukan saja itu guru-guru lain juga sama saja. Tetapi kalau kepala tenang di tempat tugas tentu ekor juga bisa tenang”15.
Menyikapi kebiasaan kepala sekolah bersama beberapa guru
bantu yang sering meninggalkan tempat tugas, masyarakat mengambil
sikap tegas dengan melakukan pemalangan terhadap rumah kepala
sekolah, hal tersebut dijelaskan oleh AK sebagai berikut:
“untuk masalah ini saya dengan beberapa orang tua buat rencana pemalangan, hari itu saya pergi lapor di POLSEK Bofuwer, saya ketemu dengan pak RR saya bilang “mohon ijin komandan, kami mau melapor bahwa hari ini kami akan melakukan pemalangan sekolah SD Inpres Bofuwer, setelah keluar dari dari kantor POLSEK Bofuwer kami sama-sama menuju sekolah, saat itu anak-anak sementara sekolah, dan sementara hanya ada satu guru (ibu guru AS). Karena anak-anak sementara belajar, ibu guru bilang “jangan kamu palang sekolah sebab ada aktivitas belajar”. Akhirnya kami batal melakukan pemalangan sekolah, kami langsung menuju sudut sekolah ada rumah kepala sekolah dan kami palang rumah itu16”.
Aksi pemalangan yang dilakukan para orang tua terhadap rumah
kepala sekolah SD Inpres Bofuwer merupakan aksi kontrol masyarakat
terhadap penyelenggaraan pendidikan. Hal ini dilakukan ketika fungsi
kontrol pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan terasa kendor.
Mungkin saja aksi pemalangan dinilai brutal atau tidak beretika, tetapi
terlepas dari etis atau tidak etis suatu tindakan, hal tersebut sangat
tergantung pada situasi di mana tindakan itu terjadi.
Masalah pemalangan rumah kepala sekolah pada titik
penyelesaiannya harus berada di meja pimpinan POLSEK Teluk
Arguni. Dalam pengurusan permasalahan tersebut AK menjelaskan
sebagai berikut:
15 Wawancara tanggal 21 Mei 2017 16 Wawancara tanggal 21 Mei 2017
184
“waktu beliau lapor ke POLSEK Bofuwer lalu kami urusan, kepala sekolah mengancam kami dan dia bilang akan malapor di POLRES Kaimana, saya katakan silahkan saya siap kalau saudara lapor di POLRES Kaimana. Lalu dia menjelaskan bahwa dia tidak berada di tempat tugas karena dia menjalankan tugas perjalanan dinas dan ada Disposisi Kepala Dinas Pendidikan, saya katakan kepada kepala sekolah itu ko (kau) jangan pikir kami ini orang kampung jadi kami ini bodoh, ko (kau) mau tipu siapa, ko (kau) dapat aturan dari mana seorang kepala sekolah bisa menjalankan perjalanan dinas sampai empat bulan, ko (kau) kira kami masyarakat tidak tahu aturan kha, ko (kau) mau saya turun lapor ko (kau) di kepala dinas juga? Dari debat tersebut beliau minta maaf lalu kami cabut palang itu.”17
Dari informasi yang disampaikan responden, munculkan kesan
di sana seakan masyarakat dianggap sebagai individu yang masih belum
paham tentang peran fungsi tugas seorang guru. Sikap seperti ini
menunjukan bahwa seorang guru belum sanggup memainkan perannya
sebagai pengajar yang baik bagi masyarakat di mana dia berada dan
melaksanakan tugasnya sebagai aparatur pemerintah. Selain itu pula
dalam kasus ini ternyata masyarakat masih dipandang sebelah mata
oleh petugas pemerintah. Masyarakat dilihat sebagai makhluk sosial
yang tidak paham soal aturan perjalanan dinas.
Sementara untuk pemalangan SD YPK Jawera di wilayah Distrik
Teluk Arguni Bawah, menurut beberapa responden yang diwakili oleh
FR, bahwa sebenarnya sudah lama masyarakat ingin melakukan
pemalangan, tetapi masyarakat masih punya kesabaran, hal itu
diuraikan lebih lanjut bahwa:
“kami orang tua marah saat itu karena guru-guru semua kasih tinggal sekolah selama satu tahun ajaran. Anak-anak tidak sekolah tiba-tiba mereka datang di kampung langsung bawa beberapa anak utuk ikut Ujian Nasioanl. Kami orang tua pikir-pikir apakah anak-anak bisa lulus ikut ujian atau tidak? Kalau mereka bisa saja lulus, tetapi apakah mereka bisa masuk sekolah di SMP? Jangan sampai di SMP mereka tidak bisa bertahan dan pulang kembali ke kampung, sebab banyak anak-anak yang dari kampung masuk SMP tetapi mereka pulang kembali ke kampung karena mereka belum bisa baca secara baik. Lalu kami bersama kepala Kampung Jawera menghadap kepala dinas, kami
17 Wawancara tanggal 21 Mei 2017
185
lapor dan minta tenaga guru baru. Pergantian guru baru juga sama, dia naik tunjuk muka saja lalu dia pulang ke dia punya kampung sampai mau ujian baru dia naik, akhirnya kami marah dan palang itu rumah kepala sekolah”18.
Munculnya permasalahan guru di wilayah terpencil tidak hanya
disebabkan pada satu faktor, ada banyak faktor sebagai indikator
penyebab yang membuat seorang guru tidak betah melaksanakan tugas.
Karena itu sikap dinas dalam menyikapi laporan masyarakat dengan
menggunakan solusi mutasi sebagai satu-satunya tindakan tidak akan
pernah menyelesaikan persoalan. Untuk tiba pada keputusan akhir,
dinas terkait butuh kajian dan analisa yang tepat mendahului tindakan
konkrit dilapangan.
Persoalan yang sama dihadapi juga di SD YPK Barari. Hal ini
dijelaskan oleh para responden, mereka menggunakan istilah “duluan
libur, telat masuk”. Istilah ini mengindikasikan bahwa aktivitas belajar
mengajar selalu melenceng dari kalender pendidikan. Artinya, masa
libur sekolah selalu lebih cepat dilaksanakan, sementara pada saat
kalender sekolah dimulai, kegiatannya selalu telat. Inilah fenomena
pendidikan di Papua khususnya di wilayah-wilayah pedalaman di
“Negeri 1001 Senja”, karena itu masyarakat tidak lagi kaget soal
kebiasaan ini.
Menghadapi situasi seperti ini, responden MN yang diwawancari
oleh penulis menjelaskan cara mereka menanggapi persoalan tersebut
sebagai berikut.
“kami di kampung ini hanya lakukan pemalangan pada pintu pagar masuk, karena tanah yang kami kasih untuk bangun sekolah SD YPK ini moyang-moyang kasih dengan gratis, dengan harapan guru-guru serius mengajar. Bukan sekolah yang kami palang, sekolah itu bangunan pemerintah, tetapi tanah ini kami punya. Seandainya guru-guru mengajar dengan baik, tidak mungkin kami tidak lakukan pemalangan seperti ini. Saat ini guru yang mengajar hanya ada satu guru tenaga honorer, ade perempuan dia dari kampung ini dan dibiayai oleh dana kampung. Kami hanya minta guru-guru tolong bertugas baik-baik, sebab ada beberapa anak yang telah dibawah oleh orang mereka untuk
18 Wawancara tanggal 12 Maret 2017
186
turun pergi kasih sekolah di Kota Kaimana, mereka takut anak-anak mereka tidak bersekolah dengan baik.19
Menelusuri sejarah Pendidikan Dasar di Papua, khususnya di
wilayah-wilayah pedalaman yang menjadi basis PI (Pekabaran Injil),
pada saat itu banyak sekolah-sekolah dasar di bangun oleh YPK
(Yayasan Pendidikan Kristen). Pada masa itu, masyarakat merespon
dengan memberikan tanah secara gratis, dan sikap masyarakat saat itu
menunjukan keinginan masyarakat menyambut kehadiran pendidikan
untuk bersekolah sangat tinggi. Terlepas dari konteks masa lalu dengan
munculnya persoalan-persoalan pendidikan seperti sekarang ini,
masyarakat menjadi marah karena tujuan pendidikan yang digumuli
bersama antara para penginjil dengan para leluhur mereka sudah tidak
terlihat. Karena itulah, masyarakat mulai berpikir untung rugi dari apa
yang mereka berikan dengan apa yang akan mereka terima, hal
tersebut tidak lagi menjadi nilai yang berdampak postif bagi generasi
mereka. Solusi akhir yang ambil oleh masyarakat adalah melakukan
sikap pemalangan.
Upaya memahami sikap masyarakat tersebut, peneliti melakukan
pendekatan terhadap dinas pendidikan sebagai instansi teknis yang
yang menangani pendidikan di “Negeri 1001 Senja” untuk mengetahui
sejauh mana langkah-langkah yang dibuat dalam menyikapi
permasalahan pendidikan dasar. Menurut penjelasan Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten Kaimana LR saat dilakukan wawancara
menjelaskan bahwa:
“memang persoalan pendidikan di setiap kampung sangat beragam. Kendisis ini mengakibatkan banyak guru yang bertugas di daerah-daerah terisolir terkadang tidak bisa bertahan sehingga mengakibatkan masyarakat melakukan penolakan. Namun saya perlu menjelaskan bahwa tenaga guru yang kami cari untuk ditempatkan di setiap kampung memang sangat susah, karena fasilitas untuk tenaga guru masih sangat minim dari apa yang harus disiapkan oleh pemerintah. Mulai dari fasilitas perumahan, kebutuhan sekolah dan masih banyak lagi yang menjadi kendala bagi tenaga guru yang bertugas di wilayah pedalaman. Karena itu ketika guru-guru dari kampung datang di kota, pasti mereka berlama-lama. Kalau saya bertemu dengan mereka dan
19 Wawancara tanggal 22 April 2017
187
bertanya kapan pulang ke tempat tugas, mereka hanya menjawab “maaf pak kami masih urusan”, kalau jawaban seperti ini sangatlah manusiawi dan kita beri waktu untuk mereka siapkan apa yang harus dibawa ke tempat tugas. Yang berikut perlu saya jelaskan bahwa kebiasaan masyarakat kita di wilayah pedalaman adalah mereka selalu meniru apa yang dibuat sodara mereka di kampung yang lain kalau berhadapan dengan kasus-kasus seperti ini”.20
Senada dengan permasalahan tersebut di atas, penulis melakukan
wawancara terhadap kepala BAPPEDA Kabupaten Kaimana ARP, saat
diwawancara oleh penulis beliau menjelaskan sebagai berikut:
“persoalan pendidikan dasar di Kabupaten Kaimana sangat berbeda antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya. Jika ada fenomena orang menangis meminta tenaga guru disatu wilayah maka tidak berarti di daerah yang lainnya juga sama. Justru kita menemukan kalau satu daerah minta guru, yang lainnya menolak guru. Disatu daerah orang tua menyuruh anaknya ke sekolah, sementara pada wilayah lain mereka pergi jemput paksa anaknya keluar dari ruang kelas untuk bawa masuk ke hutan. Ini persoalan yang sulit ditangani secara merata oleh pemerintah. Karena itu pemerintah daerah khususnya instansi teknis harus lebih sabar dalam melihat aspek pendidikan yang sementara terjadi di wilayah-wilayah perkampungan. Kalau berkaitan dengan pemalangan baik dalam bentuk simbol adat maupun dalam bentuk simbol umum, secara kasar saya dapat mengatakan bahwa itu bawaan masyarakat yang sulit mereka hindari, kita jujur harus bilang bahwa itulah senjata mereka, jangankan pemerintah, agama pun di beberapa tempat di wilayah Kabupaten Kaimana bahkan kalah menandingin konsep masyarakat adat tersebut. Karena itu sebagai pemerintah, kita diminta untuk tetap sabar, kalau tidak sabar maka semua petugas tidak akan betah melakukan tugas pelayanan pemerintahan di wilayah-wilayah pedalaman atau pada wilayah-wilayah masyarakat yang masih terisolir”21.
Dari penjelasan ARP, penulis menarik benang merah dari
penekanan yang disampaikan, bahwa masalah pendidikan dasar yang
berada di wilayah-wilayah pedalaman sangat beragam. Keberagaman
masalah pendidikan dasar tersebut menyulitkan pemerintah khususnya
instansi teknis untuk melakukan tindakan penanggulangan secepat
20 Wawancara tanggal 23 Maret 2017 21 Wawancara tanggal 27 Maret 2017
188
mungkin. Memahami konteks seperti ini, pemerintah mencoba untuk
bersabar menghadapi sikap masyarakat.
Bahasa simbol “percepatan pembangunan” melirik peluang belajar di
Negeri der Panzer
Kebijakan pemerintah di “Negeri 1001 Senja” untuk mengirim
delapan anak asli Kaimana mengikuti pendidikan di negeri “der Panzer” merupakan kebijakan yang harus diberi acungan jempol.
Mengapa tidak, sebab dalam sejarah delapan suku besar yang mendiami
hutan belantara “Negeri 1001 Senja” menjadi bagian dari Kabupaten
Fakfak, belum pernah ada anak Kaimana diberi kesempatan
mengenyam pendidikan di luar negeri.
Pemerintah Kabupaten Kaimana memang memiliki target
khusus soal kebijakan mengirim delapan anak suku asli Kaimana untuk
belajar di luar negeri. Target pendidikan ke luar negeri yang dibidik
Pemerintah Kabupaten Kaimana tentu bermuara pada upaya
peningkatkan dan pengembangkan SDM yang bertujuan untuk
mengejar ketertinggalan daerah dari beberapa daerah lain di Provinsi
Papua Barat.
Upaya mengejar ketertinggalan daerah, Bupati Kaimana periode
2010-2015 berupaya menciptakan program ideal untuk nemajukan
dunia pendidikan di “Negeri 1001 Senja” hal itu terbukti dengan
dikirimnya delapan anak bersekolah di Jerman. Dari program ideal
tersebut menurut kepala BAPPEDA Kabupaten Kaimana, kami
termasuk salah satu kabupaten yang memiliki kemampuan bersaing
dengan kabupaten-kabupaten tua di Provinsi Papua Barat ujar kepala
BAPPEDA Kabupaten Kaimana ARP22 saat dilakukan wawancara oleh
penulis.
Sesungguhnya program studi ke negara yang dijuluki“der Panzer”, sudah diikuti oleh sebagian anak-anak Papua, namun hanya
sebatas pada keluarga yang memiliki kemampuan finansial yang
mapan. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
22 Wawancara tanggal 17 Maret 2017
189
Kebupaten Kaimana yang mengandalakan keuangan APBD untuk
mengirim delapan anak suku asli Kaimana berangkat studi ke luar
negeri untuk mengikuti pendidikan. Kebijakan ini pada awalnya
mendapat tanggapan dan respon positif dari masyarakat lokal delapan
suku, walaupun dalam kenyataannya ada sebagian kelompok
masyarakat tertentu yang melihat program studi ke negeri “der Panzer”
sebagai bentuk kebijakan politik menjelang PILKADA (Pemelihan
Kepala Daerah) 2015-2020.
Sangatlah wajar jika ada pihak yang menilai kebijakan Bupati
Kaimana untuk mengirimkan delapan anak asli Kaimana mengikuti
pendidikan di negeri “der panzer“ sebagai sebuah kebijakan politik
untuk kepentingan politik, hal ini disebabkan karena kebijakan
tersebut dilakukan menjelang akhir masa bakti 2010-2015 dan
menjelang PILKADA periode 2015-2020. Karena itu, ketika memasuki
periode 2016-2020 muncul gejolak masa yang memprotes kebijakan
Bupati Kaimana ketika empat orang anak dipulangkan kembali ke
Indonesia.
Demonstrasi massa yang dilakukan terhadap Pemerintah Daerah
Kabupaten Kaimana dengan menggunakan simbol adat meminta Bupati
Kaimana memperjelas kepulangan empat anak ke Indonesia
menimbulkan ragam tanggapan masyarakat diantaranya tanggapan SA
salah satu kepala suku ketika di wawancara menjelaskan sebagai
berikut:
“sebenarnya kalau kita bicara soal maju mundurnya Kabupaten Kaimana ini bukan hanya tergantung pada Bupati Kaimana dan jajarannya saja, sebenarnya semua suku harus berperan. Pada waktu itu dong (mereka) mau palang, lalu saya bilang, kamu mau palang tetapi persoalannya apa dulu, nah karena saya menghalangi mereka, lalu mereka bilang bahwa; “ah.. kepala suku Napiti dia selalu menghalangi pemalangan. Sebenarnya saya bukan menghalangi tetapi kita lihat persoalannya apa dulu, bukan karena Matias Mairuma Bupati Kaimana, itu anak dari suku Napiti jadi saya menghalangi, tetapi sebaiknya kita lihat pada persoalannya dulu”23.
23 Wawancara tanggal 11 Maret 2017
190
Lebih lanjut dia menegaskan duduk persoalan tersebut dengan
meminta DPRD Kabupaten Kaimana untuk lebih transparan soal
kepulangan keempat anak yang dipulangkan dari Jerman dengan
mengatakan sebagai berikut:
“kemarin, kenapa saya salahkan DPRD, mereka terima persoalan itu kan cuman dua anak saja, bukan semua delapan anak itu, kalau hanya dua saja, itu berarti persoalan pribadi, jadi DPR harus cek kembali. Setelah saya bicara itu baru mulai kita gali sana, gali sini baru ketemu, persoalannya anak yang satu, pencuri teman-teman punya uang, kumpul teman-teman punya kartu-kartu, dia mulai ambil satu punya, satu punya, tinggal mabok begitu, yang satu baku ikut dengan satu teman Afrika mabok, di sana kan sepeda taruh di depan rumah saja, jadi mau enak pake, pake saja, tapi kembalikan, harus taruh di situ lagi, dia tidak, bawa sepeda di situ, jatuh dan luka, karena mabok pung kerja (akibat mabok), baku ikut dengan teman, terus luka masuk rumah sakit, rumah sakit di sana itu, bukan ko (kau) masuk saja, tapi dia punya meteran pembayaran jalan, baru selesai periksa keluar bayar, tetapi dia keluar terus dia kabur, ini negara luar, dia di kejar, dia lari, akhirnya PEMDA Kabupaten Kaimana yang rugi, bayar lagi di sana, masalah rumah sakit di sana. Kalau mau kembali sekolah kan tidak mungkin, sudah malu. Itu persoalannya”24.
Karena itu menurutnya:
“cuma DPRD Kabupaten Kaimana juga salah, dorang sedikit beban karena dorang mau tonjokan Matias dengan berbagai persoalan. Bicara masalah dana, kita cek dana dari 22 miliar yang disidangkan dari tahun 2014, yang terpakai baru 12 milyard sekian-sekian untuk studi Jerman, bahkan dana itu bukan hanya diperuntukan untuk delapan orang itu saja, tapi untuk dokter Vivi yang kuliah di Jerman juga, itu kan dari dana itu juga. Karena itu saya paksakan untuk ketua DPRD supaya putar kaset yang dari Jerman supaya jelas semuanya, tapi ketua DPRD Kaimana tidak mau, kok bagitu? Saya bilang, kok hanya dua anak saja satu dari suku Napiti dan satunya dari suku Madewana biking Kaimana ini goyang”25.
Berbeda dengan penjelasan DR, salah satu tokoh suku Irarutu
beliau menjelaskan bahwa;
24 Wawancara tanggal 11 Maret 2017 25 Wawancara tanggal 11 Maret 2017
191
“sebenarnya masalah pendidikan bagi putra putri Kaimana di Jerman merupakan program yang sangat bagus, tetapi mengapa masyarakat lakukan demonstrasi, mereka hanya meminta kepada Bupati Kaimana untuk memperjelas dan meluruskan persoalan tersebut. Mereka demo bukan mau bunuh orang, mereka hanya minta kepada Bupati Kaimana kalau boleh datang dan dudukan serta jelaskan persoalan ini. Anak-anak yang pergi sekolah di Jerman itu pakai uang OTSUS (otonomi khusus), uang OTSUS itu untuk masyarakat Papua, karena itu mereka memiliki hak untuk menuntut bapak Bupati Matias Mairuma agar bisa hadir dan jelaskan persoalan ini, mengapa dua orang ini bisa dikembalikan. Karena Bupati tidak memberi penjelasan maka masyarakat melakukan pemalangan dengan menggunakan simbol adat daun janur kelapa. Simbol ini di bawah oleh ketua Dewan Adat dengan rencana untuk melakukan pemalangan di kantor bupati. Mungkin dorang (mereka) takut masyarakat adat bunuh orang kah, jadi pemerintah bawa aparat kepolisian, saya mau bilang bahwa kalau saat itu bapak bupati bisa penuhi permintaan masyarakat dan menjelaskan kepada masyarakat, mungin saja tidak terjadi pemalangan tersebut, tetapi pemerintah bawa polisi maka semua jadi kacau. Menurut saya kalau bapak Bupati Kaimana hadir saat itu, semua pasti berjalan aman. Jangan takut, kami masyarakat tidak bunuh orang, tetapi karena demo itu juga dalam demokrasi dibolehkan maka apakah hal itu salah? Saya kira tidak. Sekali lagi saya katakan bahwa masyarakat adat hanya menuntut keadilan dan penjelasan dari Bupati Kaimana, kalau datang dan jelaskan dengan baik-baik maka mereka akan bubarkan diri secara baik-baik pula. 26
Berdasarkan informasi dari para informen bahwa dengan adanya
demonstrasi masa yang dipimpin oleh kepala suku Kuri yang
mengkritisi kebijakan pemerintah telah berdampak pada pelantikan
dirinya sebaga ketua Dewan Adat Kabupaten Kaimana. Hal tersebut
dijelaskan oleh responden TT bahwa:
“sebenarnya masalah demonstrasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat adat di Kabupaten Kaimana tahun 2016 akhir sudah berdampak juga pada proses pelantikan ketua Dewan Adat Kabupaten Kaimana. saya ini kurang mengerti, mengapa pemerintah harus melakukan pelantikan terhadap ketua Dewan Adat ini, pada hal antara pemerintah daerah dan pemerintah adat, kami sebagai masyarakat adat yang punya negeri ini, pemerintah ini kan baru datang di tanah ini, lalu mengapa seolah-olah pemerintah seakan-akan mau berkuasa dengan
26 Wawancara tanggal 8 Januari 2017
192
melantik kami pemeritahan adat. Apa mungkin karena pemerintah yang kasih uang untuk kegiatan Dewan Adat. Kalau seperti ini maka kami Dewan Adat tidak memiliki kekuatan lagi, saya memang akui bahwa kami di dalam Dewan Adat Kabupaten Kaimana terpecah pada waktu PILKADA, hal ini juga yang harus menjadi perhatian Dewan Adat untuk tidak boleh memberi dukungan terhadap pasangan tertentu, kami seharunya netral dan membantu pemerintah dalam persoalan pembangunan, tetapi kalau sudah seperti ini maka memang sulit untuk bapak Bupati Kaimana lantik bapak Yohan Werfete sebagai ketua Dewan Adat Kabupaten Kaimana. Kalau menyangkut pemalangan menggunakan simbol adat, itu memang benar, ada yang bilang mereka gunakan simbol adat janur kelapa itu suku Koiwae punya simbol, teapi saya jelaskan bahwa bukan kami punya melainkan suku Napiti mereka punya simbol adat itu”27.
Upaya penulis untuk menemukan simbol adat yang digunakan
memang sangat sulit didapat, hanya yang bisa penulis tampilkan
sebagai dokumentasi pada peristiwa demonstrasi massa saat itu hanya
dokumen foto berupa spanduk yang berisikan tulisan sebagai berikut:
Gambar 5.1. Gambar foto Demonstrasi Masyarakat adat Kabupaten Kaimana
diunduh pada tanggal 18 April 2017
Menurut Kapolres Kaimana AE memberi penjelasan berkaitan
dengan demonstrasi massa terhadap Bupati Kaimana, bahwa masalah
demonstrasi massa yang dilakukan disebabkan karena masyarakat
hanya memahami persoalan dari sisi Undang-Undang Otonomi Khusus
Nomor 21 Tahun 2001. Di wilayah Papua, kalau ada masalah
27 Wawancara tanggal 22 Mei 2017
193
masyarakat dengan pemerintah, maka undang-undang OTSUS selalu
dijadikan dasar pijakan untuk berdemonstrasi menuntut hak-hak OAP.
Ini masalah yang cukup rumit, sebab kalau kita dudukan semua
permasalahan yang seringkali terjadi antara masyarakat adat dengan
pemerintah, maka tidak hanya didasarkan pada undang-undang OTSUS
yang dijadikan dasar, masih ada undang-undang yang lain yang harus
diperhatikan dan ditaati oleh masyarakat. Kalau berhubungan dengan
masalah pendidikan anak-anak Kaimana di Jerman, sebenarnya bisa
diselesaikan, namun menangani persoalan tersebut masyarakat ingin
sekali menyelesaikan dengan cara-cara mereka sendiri. Kalau saja
permasalahan tersebut diserahkan kepada polisi, saya pikir bisa
diselesaikan secara baik-baik. Perlu saya jelaskan juga bahwa, sebagai
aparat kepolisian ketika berhadapan dengan masyarakat yang
melakukan demonstrasi dan menggunakan simbol-simbol adat, tentu
kami harus berhati-hati, karena hal ini berkaitan dengan adat. Karena
itu menurut Kapolres Kaimana saat diwawancara juga menjelaskan
bahwa Kami di Polres Kaimana sudah menyiapkan honai28, tujuannya
adalah agar ketika ada permasalahan masyarakat adat, sebelum kita
masuk pada hukum yang berlaku di negara ini, kita dahulukan hukum
adat, kita bicara-bicara terlebih dahulu siapa tahu ada solusi, kalau
memang tidak ada kesepakatan maka anak buah saya akan mengambil
langkah untuk diproses lebih lanjut. Sebab yang namanya demonstrasi
kalau sudah anarkis maka tindakan hukum harus diberlakukan.
Dari Simbol Adat Hingga Simbol Keranda Mayat
Ketidakpuasan manusia dapat diekspresikan dengan berbagai
cara dengan menggunakan simbol. Penggunaan simbol dalam
kemunitas tertentu akan sangat membantu mereka, karena dalam
simbol yang digunakan terdapat maksud serta tujuan yang hanya
diketahui oleh komunitas pemiliknya, sementar orang yang berada di
luar komunitas pemilik simbol tidak akan pernah mengerti tujuan
28 Rumah adat Papua khususnya suku Dani dan beberpa suku yang berada di wilayah Papua pegunungan
194
penggunaan simbol tersebut. Singkatnya adalah, dengan menggunakan
simbol kerahasiaan komunitas tertentu akan tetap terpelihara.
Di Kabupaten Kaimana yang dijuluki sebagai “Negeri 1001 Senja”
dalam perjalanan pemerintahan selama masa karakteker hingga
menjadi kabupaten definitif, hampir setiap aksi demonstrasi massa
selalu diakhiri dengan melakukan pemalangan dalam bentuk simbol.
Mulai dari menggunakan simbol “palang kayu biasa” hingga simbol
agama sampai simbol-simbol adat.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan
beberapa bentuk pemalangan seperti simbol “keranda mayat”, simbol
“janur kelapa (nggama)” dan simbol bambu digabung bersama daun
sagu yang dalam bahasa suku Irarutu disebut “kakur-utie ro”. Simbol
“keranda mayat” sesuai dengan fungsinya, berhubungan dengan konsep
kematian yang biasanya digunakan oleh umat Islam sebagai tempat
untuk menempatkan jenazah sebelum dimakamkan, sementara untuk
simbol janur kelapa “nggama”, digunakan oleh suku-suku asli Kaimana
yang berada di dekat pesisir pantai dan simbol “kakur – utie ro” digunakan oleh suku-suku asli Kaimana yang tinggal di wilayah pesisir
sungai/kali dan bagian wilayah pegunungan.
Yang menjadi permasalahan dalam menggunakan simbol-simbol
tersebut, seharusnya penggunaannya disesuaikan dengan tujuan
penggunaannya. Misalnya, ketika kita hendak masuk dalam sebuah
gedung yang di dalamnya terdapat satu kamar yang digunakan untuk
menyimpan “keranda mayat” maka sudah pasti pada bagian pintu
kamar tersebut terpasang simbol “keranda mayat”. Tujuannya adalah
agar setiap orang yang hendak masuk gedung tersebut ketika berdiri di
depan pintu yang telah terpasang simbol “keranda mayat” maka dia
pasti tauh bahwa isi dalam kamar tersebut terdapat “keranda mayat”.
Tetapi bayangkan saja jika di depan pintu masuk seorang Pimpinan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpasang simbol “keranda mayat”.
Selain simbol “keranda mayat”, beberapa simbol adatis milik
masyarakat lokal juga digunakan oleh masyarakat adat untuk
memalang dan menghentikan pekerjaan pembangunan jalan dan
195
kantor distrik milik pemerintah. Beberapa simbol tersebut antara lain,
simbol “nggama” digunakan oleh masyarakat untuk memalang
sejumlah alat berat milik kontraktor yang mengerjakan ruas jalan dari
ibukota Kaimana menuju Teluk Triton. Tidak ketinggalan pula simbol
“utie ro” yang digunakan oleh masyarakat adat di wilayah Teluk
Arguni untuk memalang kantor distrik dan kantor perusahan minyak
P.T. ChrisEnergi yang melakukan eksplorasi MIGAS di wilayah
tersebut.
Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan sejumlah data yang
ditemukan pada saat melakukan penelitian berkaitan dengan sikap
masyarakat adat terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang
diimplementasikan dalam kaitan dengan pembangunan.
Keranda mayat di depan ruang kerja Bupati dan Wakil Bupati Kaimana
Simbol “keranda mayat” yang terpasang di depan pintu masuk
ruang kerja Bupati Kaimana dan Wakil Bupati Kaimana pada tanggal 10
Oktober 2012 patut dipertanyakan, bukan pada pertanyaan siapa yang
memasang dan untuk apa “keranda mayat” itu diletakan pada pintu
masuk ruang kerja Bupati dan Wakil Bupati Kaimana. Tetapi yang
patut dipertanyakan adalah apa hubungan “keranda mayat” tersebut
sebagai sebuah simbol pada pintu masuk ruang kerja dengan isi ruang
kerja Bupati dan Wakil Bupati Kaimana.
Manusia sebagai makhluk simbol dan karena itu, manusia sangat
lihai dalam menciptakan dan memainkan simbol. Jika pada fungsi
pertama simbol “keranda mayat” hanya untuk menyimbolisasi sesuatu
yang berhubungan dengan upacara pemakaman manusia yang telah
meninggal dengan identitas agamanya adalah agama Islam, maka pada
penggunaannya sebagai simbol untuk menyegel ruang kerja Bupati
Kaimana fungsi utamanya mengalami perubahan. Hal ini jelas terlihat
dari lansiran berita media online Radar Sorong yang diunggah pada
Selasa, 23 Oktober 2012 | 04:21 menjelaskan sebagai berikut:
“usai meletakan KERANDA MAYAT, massa menyegel ruang kerja Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma. Massa juga menyegel ruang kerja wakil Bupati, Burhanudin Ombaier, S.Sos, dan Assisten I Setda Kaimana, Rita Teurupun, S.Sos. Setelah
196
melakukan aksi pemalangan ruang kerja Bupati, Wakil Bupati dan Asisten I Setdakab Kaimana, sebagian besar massa keluar menggelar orasi di halaman Kantor Bupati, sementara sejumlah warga lainnya bergerak menyegel tiap-tiap ruang kerja di Kantor Bupati Kaimana ini. Aksi itu menyebabkan sejumlah PNS yang sedang berada di dalam ruangan, langsung berhamburan keluar dan memilih untuk berada di luar ruangan. Selain menyegel kantor Bupati Kaimana, massa yang kecewa ini juga menyegel ruang Gedung DPRD Kaimana dan ruang Setwan. Koordinator aksi, Muhammad Karet, dalam orasinya di depan wakil rakyat yang menerima mereka, menegaskan kedatangan pihaknya ke Kantor Bupati dan DPRD sebagai bentuk kekecewaan terhadap proses pengurusan ke 39 calon jemaah haji asal Kaimana yang akhirnya batal berangkat menunaikan ibadah haji. “Kami minta DPRD agar membuat laporan ke pihak-pihak terkait soal permasalahan ini”. Warga asli Kaimana mempertanyakan mengapa pemerintah melakukan hal ini, memberikan pengurusan haji kepada mereka yang tidak berpengalaman dalam pengurusan keberangkatan haji, tegasnya. Rusli Ufnia, orator lainnya juga mendesak DPRD Kaimana segera memanggil Bupati Kaimana. Jika pemanggilan tersebut tidak diindahkan, maka DPRD segera membuat sidang paripurna istimewa untuk menidaklanjuti persoalan ini hingga tuntas, tukasnya”29.
Dari lansiran berita media Online Radar Sorong penulis
menggarisbawahi penggunaan simbol “keranda mayat” tidak lagi
berhubungan dengan fungsinya sebagai simbol pengusungan mayat,
tetapi lebih merujuk pada situasi yang berhubungan dengan gagal
berangkat tiga puluh sembilan CJH asal Kaimana. Dari simbol yang
digunakan tersebut tersirat pula pesan bahwa pemerintah seakan tidak
memiliki rasa kepekaan terhadap tanggungjawab kepengurusan tiga
puluh sembilan CJH yang gagal berangkat. Karena itu, sikap para
demonstran mencoba menampakan hal tersebut dengan menyegel
sejumlah ruang kerja yang dimulai dari ruang kerja bupati dan wakil
bupati hingga ruang kerja asisten satu dan ruangan kerja SETDA
Kaiman. Tidak ketinggalan pula Kantor DPRD dan Kantor SETWAN
Kabupaten Kaimana yang turut disegel.
29 Sumber http://www.radarsorong.com/read/2012/10/23/3387/Warga-Palang-Kantor-Bupati-dan-DPRD diunduh pada tanggal 14 November 2017
197
Gambar: 5. 2 Pemalangan Ruang Kerja Bupati dan Wakil Bupati Kaimana
dengan Keranda Mayat. Sumber Foto : Radar Sorong NIC diunduh pada
tanggal tanggal 14 November 2017
Jika ditelusuri kebijakan pemerintah daerah terakit dengan
memberangkatkan jemaah haji setiap tahun, sesungguhnya program
haji tidak pernah mengalami kegagalan. Namun di tahun 2012 baru
terjadi keberangkatan tiga puluh sembilan CJH mengalami kegagalan
berangkat. Melihat keadaan tersebut, banyak orang beropini kalau
pemerintah daerah sengaja melalaikan tanggungjawab mengurus
kelengkapan adminsitasri CJH ke tanah suci. Situasi ini berdampak
pada pemalangan kantor bupati Kaimana.
Dari data yang ditemukan oleh penulis berdasarkan lansiran
berita Kompas.com - 22/10/2012, 13:16 WIB Kontributor Kompas TV,
Budy Setiawan dari hasil wawancara via telpon dengan kordinator aksi
Mohamad Karet menjelakan bahwa:
“protes itu dilakukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap kebijakan Bupati Kaimana, yang gagal memberangkatkan 39 CJH. Padahal, keberangkatan haji ini merupakan program pemerintah daerah selama dua tahun, yakni tahun 2011 dan 2012 yang telah dianggarkan dalam APBD sebesar Rp 4 miliar. Selanjutnya Mohamad Karet, mengatakan, proses kepengurusan keberangkatan calon jemaah haji asal Kaimana yang dilakukan oleh pemda setempat memang jauh dari harapan. Pasalnya, dalam
198
mengurus keberangkatan ini, pihak pemda tidak melibatkan Kementerian Agama (Kemenag) Kaimana”30.
Penjelasan kordinator aksi Mohamad Karet sesuai lansiran berita
Kompas.Com, memberi penekanan bahwa tiga puluh sembilan CJH asal
Kaimana merupakan jumlah haji yang berasal dari tahun 2011 baru bisa
diberangkatkan dengan CJH tahun 2012 karena itu biaya sebesar empat
milyar merupakan dana yang cukup besar untuk membiayai perjalanan
CJH ke Tanah Suci. Keterangan kordinator lapangan yang disampaikan
melalui hasil lansiran berita Kompas.Com bahwa dalam mengurusi
keberangkatan CJH asal Kaimana, Pemerintah daerah tidak melibatkan
Kementerian Agama Kabupaten Kaimana.
Kasus gagal berangkat CJH dari tahun 2012 dalam upaya
pembuktian kelemahan dari implementasi kebijakan peemerintah
daerah Kabupaten Kaimana baru bisa mendapat titk terang di tahun
2017. Dari data yang diperolah penulis melalui media Online
Kabartriton.Com yang diunggah “Sunday, December 3 2017”
menjelaskan sebagai berikut:
KAIMANA, KT- Sidang Praparadilan terhadap Polres Kaimana atas penetapan tersangka RR dan HH dalam kasus program Bansos Haji Tahun Anggaran 2012 yang menyeret 4 tersangka, telah berlangsung di Pengadilan Negeri Kaimana Jalan PTT Telkom, dengan menghadirkan Hakim Ketua, Irvino SH. Dalam sidang lanjutan dengan agenda pembacaan dan pembuktian alat bukti dari termohon (Polres Kaimana) berlangsung dengan tertib dan lancar. Kasat Reskrim Polres Kaimana, AKP Walman S. Simalanggo SH sebagai termohon dalam kasus prapradilan ini, kepada wartawan koran ini usai persidangan mengatakan, dirinya sangat optimis untuk memenangkan prapradilan yang dilakukan tersangka RR dan HH sebagai pemohon.
“prapradilan itu adalah hak setiap warga Negara Indonesia, yang merasakan sangat dirugikan karena sesuatu kasus, sehingga
30 Sumber http://regional.kompas.com/read/2012/10/22/13161172/Batal.Berangkat.Haji..Kantor.Bupati.Kaimana.Diblokade. diunduh pada tanggal 14 November 2017
199
dengan alat bukti yang kami miliki, yang lebih dari dua alat bukti, saya sangat optimis dapat memenangkan sidang ini,” katanya.
Menyinggung soal prosedur penetapan RR dan HH sebagai tersangka, lanjut dia, hal itu telah sesuai dengan mekanisme penyidikan.
”Untuk kasus ini sudah sesuai dengan prosedurnya. Olehnya, kami penyidik bisa tetapkan RR dan HH sebagai tersangka, selain dua tersangka sebelumnya, yakni AK dan AS. Sebagai bukti tambahan, kami akan hadirkan satu saksi lagi dalam lanjutan sidang prapradilan Bansos Haji nanti,” tambahnya.
Dirinya pun berharap dalam pengambilan kesimpulan nantinya, hakim dapat menolak prapradilan pemohon. Di tempat yang sama, Tokoh Pemuda Kaimana, Modasir Bogra, sangat berharap agar Hakim Ketua dapat menolak prapradilan pemohon.
”Kami berharap dalam putusannya, Majelis Hakim bisa menolak praparadilan pemohon dan memenangkan pihak termohon, supaya mereka bisa lanjutkan untuk melengkapi berkas-berkas yang lain, sehingga bisa P21 dan segera mengiring ke empat tersangka yang menurut kami telah menipu orang tua-tua kami ke Pengadilan TIPIKOR di Manokwari, karena memang kasus ini sudah ada,” tegasnya.
Sidang akan dilanjutkan kembali pada Selasa (21/11) dengan agenda sidang lanjutan pembuktian berkas perkara Bansos Haji tahun anggaran 2011/2012.(eng-R1)31.
Dari lansiran berita Online Kabar Triton.Com diketahui bahwa
kebijakan Bupati Kaimana untuk memberangkatkan tiga puluh
sembilan CJH asal Kabupaten Kaimana sudah sesuai dengan prosedur.
Yang menjadi hambatan kegagalan CJH ke tanah suci ada pada tahapan
implementasi. Pada tahapan implementasi tersebut ada pihak-pihak
yang mencoba mengambil keuntungan dari kebijakan pemerintah
daerah Kabupaten Kaimana. Dengan demikian, kegagalan berangkat
CJH asal Kaimana harus masuk ranah hukum.
31 Sumber http://kabartriton.com/index.php/2017/11/22/5-alat-bukti-kasat-optimis-menangkan-sidang-prapradilan/ diunduh pada tanggal 14 November 2017
200
Memainkan simbol adat menghalangi mutasi
Pelaksanaan PILKADA merupakan pesta rakyat di daerah yang
selalu dinantikan setiap lima tahun. Menjelang pelaksanakan pesta
rakyat di daerah rakyat berbenah diri untuk menyampaikan hak
pilihnya kepada figur yang dirasakan pantas dipercaya menjadi
pimpinan di daerahnya. Namun pada sisi lain pesta rakyat tersebut
terkadang menimbulkan dampak negatif dan membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk menyembuhkan dampak negatif tersebut.
Heporia menyambut pelaksanakan PILKADA terkadang
membuat rakyat menjadi lupa kalau dari sejumlah pasangan yang
dianggap pantas dan layak menjadi kepala daerah, hanya ada satu
pasangan yang terpilih dan menjadi pemenang PILKADA. Dalam
konteks ini maka seharusnya rakyat diberi wejangan agar hasil
pelaksanaan PILKADA tidak dijadikan alasan pertikaian antara
kelompok yang memenangkan pelaksanaan PILKADA dengan
kelompok yang kalah. Sebab, dari sejumlah pelaksanaan PILKADA,
masa heporia yang dilakukan rakyat berubah menjadi ajang pertikaian
sehingga menggangu jalannya pelaksanaan pemerintahan terpilih.
Hasil pelaksanaan PILKADA yang menimbulkan kegaduhan pada
akhirnya menunjukan betapa lemahnya pendidikan politik terhadap
rakyat.
Ternyata bukan saja rakyat yang harus diajar untuk menerima
hasil akhir pelaksanakan PILKADA. ASN dalam konteks ini sudah
seharusnya menyadari bahwa dampak PILKADA terhadap keterlibatan
ASN akan turut memengaruhi mereka yang terlibat dalam politik
praktis, misalnya menjadi tim sukses kandidat yang ikut bertarung
dalam pesta PILKADA.
Upaya saling merebut simpati masyarakat oleh tim sukses dalam
Pilkada Kabupaten Kaimana ternyata menoreh kisah panjang.
Masyarakat Kabupaten Kaimana yang pada awalnya berada dalam satu
ikatan persaudaraan mulai membentuk kelompok oposisi dan
kelompok kualisi. Kelompok oposisi biasanya terdiri dari kelompok-
kelompok yang kalah dalam pelaksanaan PILKADA dan membentuk
kelompok tersendiri untuk mengontrol jalannya pemerintahan,
201
sementara kelompok kualitasi biasanya terdiri dari kelompok-
kelompok yang memenangkan palaksanaan PILKADA dan mendukung
jalannya kebijakan pembangunan.
Tahapan awal dalam menjalankan tugas pemerintahan adalah
penempatan figur untuk menduduki birokrasi pemerintah, seperti
penetapan kepala-kepala bagian. Untuk penetapan tersebut, yang harus
dilakukan oleh orang nomor satu di Kabupaten Kaimana adalah
melakukan kebijakan pergeseran/mutasi sejumlah kepala dinas dan
kepala distrik. Pada posisi inilah, kebijakan pergeseran atau mutasi
pegawai pemerintah mulai dinilai oleh kelompok oposisi. Tantangan
terberat yang dihadapi oleh pemerintah dalam menetapkan kebijakan
ini adalah, bagaimana pemerintah dapat meyakini kelompok oposisi,
bahwa kebijakan pergeseran pejabat pada lingkup pemerintah untuk
menduduki jabatan birokrasi pemerintah adalah benar-benar orang
yang memiliki keahlian pada bidangnya. Hal ini penting diperhatikan,
karena oposisi selalu menilai kebijakan rotasi pejabat yang dilakukan
oleh pemerintah hanya didasarkan pada rasa suka tidak suka.
Pada sisi lain, pejabat pemerintah yang notabene adalah orang
asli Kaimana selalu meminta hak-hak mereka untuk menduduki
jabatan-jabatan strategi dalam birokrasi pemerintah. Dan karena itu,
jika hal ini tidak terakomodir oleh pemerintah melalui sejumlah
kebijakan yang dibuat, maka akan muncul masalah.
Salah satu pejabat daerah yang terkena dampak
pergeseran/mutasi dalam jebatan sebagai kepala distrik adalah kepala
Distrik Teluk Arguni. Kebijakan kepala daerah Kabupaten Kaimana
memutasikan kepala Disterik Teluk Arguni menimbulkan kontrofersi
di antara masyarakat adat sehingga melahirkan kelompok pro kontra.
Kelompok pro yang berkiblat pada kebijakan kepala daerah tetap
mengharapkan ada pergantian kepala distrik, sementara kelompok
yang kontra tidak menghendaki adanya mutasi kepala Distrik Teluk
Arguni.
Menurut beberapa responden yang menolak kehadiran kepala
Distrik Teluk Arguni, saat melakukan wawancara kepada LF
menjelaskan sebagai berikut:
202
“walaupun saya Staf Distrik Teluk Arguni, namun sebagai anak negeri saya tidak setuju dengan cara-cara seperti ini. Memang Kepala Distrik yang diganti itu lawan politik, tetapi pesta rakyat ini sudah selesai, mengapa pemerintah masih dendam, terus lakukan pergantian. Sebagai anak negeri, kami lihat selama ini belum ada anak asli yang memimpin Distrik Teluk Arguni, hanya orang-orang luar saja yang menduduki jabatan kepala Distrik. Trus pemerintah bilang “kita harus menjadi tuan di negeri sendiri”, tetapi orang lain yang datang lalu jadi tuan di negeri kita, dan kita hanya sebagai penonton saja. Memang kepala distrik baru juga anak Kaimana dari kampung ini juga, tetapi dalam dirinya sudah mengalir dua macam darah, ada darah Papua dan darah Cina, jadi sebenarnya yang harus diutamakan adalah mereka yang asli dulu barulah anak-anak Papua yang peranakan. Karena Bupati Kaimana sudah buat keputusan maka kami anak negeri buat sikap penolakan dan kantor distrik kami palang menggunakan simbol adat”32.
Uraian wawancara bersama LF memberi gambaran jelas bahwa
masyarakat tidak menghendaki adanya pergantian kepala Distrik Teluk
Arguni. Pertanyaan yang dimunculkan adalah apakah benar penolakan
hingga pemalangan Kantor Distrik Teluk Arguni benar-benar
merupakan aspirasi warga masyarakat? Ataukah ada permainan lain.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti melakukan
wawancara terhadap salah satu responden dari kelompok yang
menolak mutasi kepala Distrik Teluk Arguni AK yang bertindak
sebagai salah satu eksekutor pemalangan Kantor Distrik Teluk Arguni,
dia menjelaskan kronologis peristiwa tersebut sebagai berikut:
“sebenarnya kitong (kita) tidak tahu persoalan ini (pergantian kepala distrik), awal mulanya ada informasi bahwa akan ada pergantian kepala Distrik Teluk Arguni dan memang itu betul, cuman waktu itu kita tidak tahu kenapa sampai bisa dipalang. Saya tidak tahu ada apa dibalik itu, akhirnya waktu itu saya bilang kalau begitu kita palang saja, akhirnya saya mulai dari tokoh-tokoh pemuda, dan petuanan semua di sini, mereka merasa bahwa mereka itu punya tempat, mereka itu petuanan, distrik ini berdiri di wilayah mereka, mereka sepakat tapi palangnya pakai simbol adat, jadi waktu itu, kantor distrik di
32 Wawancara tanggal 22 Mei 2017
203
palang dengan menggunakan simbol adat, daun kelapa, daun sagu dan bambu”33.
Hasil wawancara memberi kejelasan pemalangan Kantor Distrik
Teluk Arguni dilakukan oleh tokoh pemuda, para tua-tua kampung dan
pemilik tanah adat dari Kampung Warwasi. Hal itu dilakukan dengan
dasar bahwa tanah tempat kantor distrik di bangun merupakan tanah
milik masyarakat adat Kampung Warwasi yang diberikan kepada
pemerintah. Karena itu, sikap masyarakat dalam konteks ini
merupakan klaim atas kebijakan pemerintah memutasikam Kepala
Dustrik Teluk Arguni. Inilah alasan pertama masyarakat melakukan
pemalangan terhadap Kantor Distrik Teluk Arguni.
Dalam wawancara lanjutan dengan responden AK
mengungkapkan bahwa:
“setelah saya coba cari tahu ada apa dibalik semua ini, ternyata yang mempropokasi kami untuk pemalangan ini itu pak MB sendiri (kepala distrik), lalau saya mencoba menanggapinya secara positif; “oke-lah mungkin beliau merasa belum berbuat sesuatu di distrik sini, ok kami pahami itu”. Jadi pada waktu itu, saya yang ngotot “petuanan siapapun tidak boleh buka palang ini, kecuali bapak Bupti Kaimana sendiri”. Tetapi pada pertengahan urusan waktu itu bersama anggota DPRD Kabupaten Kaimana, muncul bahasa dari pak MB (kepala distrik), bahwa palang bisa dibuka sekarang, nanti kita punya aspirasi yang sudah kita sampaikan ke DPR nanti DPR akan sampaikan ke Bupati. Akhirnya setelah DPR dorang (mereka) turun ke kabupaten, proses pergantian kepala distrik di batalkan. Setelah dibatalkan, kitong (kami) coba telusuri kenapa sampai dibatalkan, ternyata pemalangan itu dibuat atas ajakan kepala distrik. Dan akhirnya masyarakat tahu bahwa pemalangan itu ada maksud “ada udang dibalik batu”, artinya dia hanya memperalat kita untuk kepentingannya”34.
33 Wawancara tanggal 21 Mei 2017 34 Wawancara tanggal 21 Mei 2017
204
Gambar 5.3 Foto Pemalangan Kantor Distrik Teluk Arguni dengan simbol adat
“KAKUR-UTI RO” Sumber foto: Karel Egu Staf Pegawai Puskesmas Teluk
Arguni
Dari penjelasan responden diketahui tujuan pemalangan kantor
Distrik Teluk Arguni bukan sekedar penyaluran aspirasi masyarakat
adat tetapi ada upaya oknum pejabat yang berlindung di balik sikap
penolakan yang dilakukan masyarakat.
Sesungguhnya penggunaan simbol adat oleh masyarakat adatis
merupakan upaya komunitas tertentu untuk menunjukan identitas.
Dalam kasus ini, penggunaan simbol adat sudah sangat positif karena
masyarakat adat ingin menyampaikan apa yang mereka rasakan dan
alami, bahwa anak negeri belum pernah menduduki jabatan kepala
distrik. Dari harapan masyarakat inilah, oknum tertentu memanfaatkan
situasi untuk berlindung dibalik simbol adat dengan cara-cara yang
tidak etis. Sebagai ASN yang terpanggil mengabdi kepada rakyat,
seharusnya yang bersangkutan tidak memanfaatkan kekuatan adat
untuk tujuan serta kepentingan pribadinya.
Kami sudah terlalu sabar dan bosan dengan janjian pekerjaan jalan
ini…
Terlihat sepintas ada yang aneh dengan sub judul yang
digunakan oleh penulis. Jika ada pertanyaan, dari mana dan apa alasan
penulis gunakan sub judul seperti ini, maka penulis akan menjawab
205
“penggalan sub judul diambil dari tulisan masyarakat yang dicetak
pada sebuah potongan tripleks berwarna hitam, dan ditancap pada
pinggir jalan menuju kampung Marsi”.
Memang ada yang aneh dari sub judul ini, karena tidak semua
tulisan diambil oleh penulis, alasan penulis mengambil sebagian dari
kalimat tersebut karena menurut penulis, potongan kalimat tersebut
merupakan pernyataan sikap masyarakat setempat terhadap dampak
dari pembangunan yang gencar dilaksanakan oleh pemerintah
Kabupaten Kaimana. Agar menjadi jelas dan lengkap keseluruhan sub
judul yang digunakan oleh penulis, maka pada bagian ini penulis akan
menampilkan foto tulisan papan tersebut.
Gambar 5.4 Foto Papan Pemalangan Jalan Darat Di Kampung Marsi. Sumber
foto: KT .
Pembangunan yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat
tidak hanya dimaknai sebagai tujuan untuk menjadikan manusia
Indonesia mencapai tingkat kesejahteraan hidup semata. Hal ini
disebabkan karena pembangunan merupakan sebuah proses
penyadaran manusia menuju pada tingkat kehidupan yang semakin
membaik. Karena itu pula, sangatlah keliru kalau orang mengatakan
dengan membangun infrastruktur manusia akan mencapai tingkat
kesejahteraan hidup. Dalam kenyataannya, ternyata pembangunan
infrastruktur yang tidak tertatah secara baik, memiliki dampak
206
kehancuran yang dahsyat bagi manusia. Dalam kenyataannya begitu,
pembangunan selalu menggeserkan manusia adatis dari tempatnya
semula hingga bergeser ke tempat-tempat kumuh yang sangat tidak
manusiawi.
Menarik sekali jika tulisan pada foto yang diambil oleh penulis
dihubungkan dengan manusia yang berada dalam suatu wilayah yang
menjadi sasaran pembangunan pemerintah. Paling tidak, dengan
adanya tulisan tersebut telah terkonsep hal-hal negatif dalam pikiran
orang luar yang menilai cara pikir, cara pandang dan cara
bertingkahlaku manusia yang sementara dibangun, tanpa terlebih
dahulu melakukan kajian terkait apa yang menjadi dasar munculnya
sikap masyarakat yang dituangkan dalam bentuk tulisan tersebut.
Karena itu penulis mencoba mendikte tulisan tersebut pada bagian ini
sebagai berikut:
“kami sudah terlalu sabar & bosan dengan janjian pekerjaan jalan ini terhitung mulai hari ini 1 minggu kedepan tidak ada tanggapan pemerintah kantor P.U. kami duduki (21 08 2015) – Dilarang lewat buat kendaraan plat “merah” di jln ini sebelum di aspal...! Kalau kedapatan kami sita.
Dari hasil dikte tulisan tersebut, tergambar sikap tegas
masyarakat adat tentang janji-janji pemerintah (Dinas PU) Kabupaten
Kaimana. Janji tersebut berkaitan dengan pengaspalan jalan yang
belum terealisasi. Bagi masyarakat adatis, pembangunan jalan yang
dilakukan sebatas pengerasan dengan menggunakan material lokal
yang dibangun melintas di wilayah mereka, tentu akan menimbulkan
kecemburuan ketika mereka membadingkan kondisi jalan tersebut
dengan jalan yang berada di wilayah perkotaan.
Dalam kondisi tersebut masyarakat adat selalu berpikir seperti
begini “negeri ini kami punya, mengapa pembangunan jalan diwilayah kami berbeda dengan wilayah perkotaan yang mayoritas dihuni oleh orang luar”. Cara dan gaya berpikir seperti ini sangat manusiawi,
bahkan siapapun yang mengalami konteks seperti ini pasti alam
pikirnya akan sama dengan apa mereka kanfaskan di atas papan hitam
yang diletakkan di pinggiran jalan.
207
Jika kita melakukan perbandingan antara generasi masa lalu
dengan generasi masa sekarang, ditemukan perbedaan dalam cara
pandang antara generasi Orde Baru dan generasi Orde Reformasi.
Artinya, pada masa orde baru, cara pandang masyarakat terbatas dalam
memberikan pernyataan atau penilaian terhadap pembangunan yang
dirasakan, sementara pada masa Orde Reformasi, masyarakat lebih
bebas menyampaikan apa yang dirasakannya tanpa dikurung oleh
ruang dan waktu. Pembangunan di masa orde baru, ketika terjadi
pelanggaran yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat adatis, hal
itu dianggap lumrah dalam proses pembangunan, karena itu walaupun
terlihat ada kebijakan pembangunan, namun rakyat tidak merasakan
kalau dirinya sementara dibangun, alasannya adalah karena
pembangunan itu sendiri memiliki tidak berampak positif terhadap
manusia dengan alamnya. Ketika masyarakat angkat bicara dan
bersikap tegas terhadap pemerintah, maka atas nama “demokrasi
terpimpin” rakyat dibungkam dengan alasan “demokrasi terpimpin”.
Setelah penulis menemukan dokumen foto yang berisikan
ketegasan sikap yang ditulisan masyarakat, penulis sempat berfikir;
bagaimana jika tulisan ini terjadi pada masa orde baru, masa yang
mengagumi simbol “demokrasi terpimpin”? singkat kata singkat cerita,
mungkin di sana hanya terdengar suara ayam jantan, riuh jengkrik
hutan melepas dan menyambut malam menyongsong pagi hingga
kembali terbenam berama keindahan senja dikala itu.
Dari tulisan dalam dokumen foto yang digunakan masyarakat,
muncul pula pertanyaan, mengapa masyarakat melakukan ancaman
terhadap pemerintah, jawaban atas pertanyaan tersebut dijelaskan oleh
KT sebagai berikut:
“pemalangan berupa tulisan yang mengandung nada ancaman tersebut merupakan ekspresi kemarahan waga kampung Marsi yang disampaikan kepada pemerintah melalui dinas PU Kabupaten Kaimana, “masyarakat itu marah karena jalan yang dikerjakan oleh kontraktor pada saat itu belum diaspal, alasannya adalah, karena mereka sudah menyerahkan tanah serta tanaman yang kena dampak pembangunan jalan, ternyata tidak ada realisasi pengaspalan jalan, mereka kesal dan melakukan pemalangan dengan menggunakan simbol adat memalang
208
sejumlah alat berat milik kontraktor disertai ancaman dalam bentuk tulisan”35.
Pembangunan akses ruas jalan darat banyak mengalami
persoalan diberbagai tempat di Provinsi Papua dan Papua barat, dan
Kabupaten Kaimana merupakan salah satu wilayah yang banyak
mengalami persoalan pemalangan. Berangkatan dari penjelasan
responden, maka perlu ditarik benang merah bahwa masyarakat telah
membuka diri dengan menyerahkan tanah adat untuk pekerjaan
pembangunan akses jalan darat, dengan harapan pembangunan jalan
harus diselesaikan secara cepat untuk bisa digunakan oleh masyarakat.
Pada sisi lain, pemerintah melalui kontraktor sebagai pemilik modal
dalam mengerjakan sebuah proyek seperti membuka akses jalan harus
mengikuti regulasi yang berlaku. Dalam konteks inilah, pihak
masyarakat dan pemerintah melalui kontraktor berada dalam
ketegangan dengan masyarakat.
Ketegangan tersebut pada akhirnya melahirkan konflik antara
kedua pihak, hal ini dijelaskan oleh KT, berkaitan dengan pemalangan
alat berat milik kontraktor sebagai berikut:
“Sebenarnya pemalangan alat berat milik kontraktor yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Marsi dengan menggunakan simbol adat, tidak bisa kita menyalahkan penuh masyarakat dan kontraktor. Kedua pihak sama-sama benar dan juga sama-sama memiliki kekurang dalam persoalan ini. Perlu diketahui bahwa areal jalan yang dibuat oleh pemerintah selalu berhadapan dengan permasalahan ganti rugi tanah, tanaman serta melakukan ritual sinara. Ke tiga hal ini butuh uang, sementara kontraktor diharuskan menyelesaikan dan melegkapi berkas administrasi yang sudah menjadi kewajiban kontraktor. Dalam hal ini dinas PU tidak memiliki kewenangan membayar ganti rugi, tugas dinas PU hanya mendata hak-hak masyarakat yang berkaita dengan ketiga hal tadi dan menyerahkannya kepada dinas pertanahan. Mengikuti birokrasi seperti ini pasti butuh waktu dan biasanya masyarakat tidak sabar menunggu, mereka ingin cepat. Kondisi inilah yang menjadi penyebab pemalangan alat berat milik kontrakor”36.
35 Wawancara tanggal 24 Juni 2017 36 Wawancara tanggal 24 Juni 2017
209
Menggaris bawahi apa yang disampaikan oleh responden, maka
pokok permasalahan yang menyebabkan pemalangan terhadap
sejumlah alat berat milik kontraktor disebabkan pada miskomunikasi
serta pelayanan birokrasi yang sulit diakses oleh masyarakat menjadi
indikator munculnya sikap pemalangan tersebut.
Gambar. 5.5 Foto Pemalangan Alat Berat Menggunakan Simbol “NGGAMA”.
Sumber foto: KT
Simbol masyarakat adat tidak hanya dilihat sebagai kekayaan
budaya yang dimiliki masyarakat adat. Karena dalam sebuah simbol
adat terdapat sejumlah maksud serta tujuan yang digunakan oleh
masyarakat adatis untuk mempertahankan diri dan identitasnya dalam
menjalani kehidupan secara kolektif. Jika dalam kenyataan masyarakat
menggunakannya sebagai alat perlawanan terhadap pihak-pihak
tertentu termasuk pemerintah, maka hal itu menunjukan bahwa
masyarakat sementara merasakan sesuatu yang sementara mengancam
masa depan mereka. Hal tersebut dijelaskan oleh salah satu tokoh adat
YW bahwa:
“kitong (kita) orang Papua khususnya di Kaimana, kalau jalan dimana saja bisa orang tahu mereka kenal dari marga yang kitong (kita) gunakan, marga itu berasal dari alam. Kalau marga dari alam seperti nama binatang, pohon, sungai, gunung, itu kitong (kita) harus pantang barang-barang itu, jadi kitong (kita) tidak boleh kasih rusak alam ini. Alam ini sudah yang kasih makan kitong (kita), ibarat alam ini kitong (kita) punya “Adena”,
210
bagaimana bisa kitong (kita) kasih rusak alam. Pemerintah juga harus perhatikan, kalau bangun sesuatu di tanah ini jangan cuman asal bangun, tanah ini kalau kitong (kita) pung “Adena”, lalau kitong (kita) bangun dia tra (tidak) betul pasti kitong (kita) dapat marah. Pembangunan ini dia berjalan mau bilang bagus juga salah, mau bilang salah tapi kitong (kita) sendiri tra (tidak) bisa bangun, mesti harap pemerintah juga. Kalau memang masyarakat dong (mereka) palang jalan atau palang apa saja yang pemerintah buat, tentu ada yang salah, mungkin pemerintah salah atau mungkin masyarakat yang salah, masing-masing ada kurang dan ada lebihnya”37.
Apapun yang dibuat manusia, dapat dipastikan itulah yang
dipikirkan oleh manusia itu juga. Artinya, antara perbuatan atau
tindakan yang dilakukan manusia sudah pasti lahir dari gaya pikir yang
dimilikinya. Hal ini bisa terhubung dengan kebiasaan dalam budaya
manusia itu sendiri. Filosofi manusia menjadi titik dasar bagaimana dia
beraktifitas dan menuangkan apa yang dipikirkan. Pandangan manusia
Papua tentang tanah sebagai perempuan/”Adena” yang selalu
menyediakan kebutuhan sehari-hari dapat memicu prilaku manusia itu
sendiri, ketika tanah diperlakukan sesuka hati oleh pihak lain yang
berada di luar komunitas mereka.
Dari sikap masyarakat tersebut maka ada pesan yang ingin
disampaikan oleh masyarakat kepada pemerintah sebagaimana
dijelaskan oleh kepala suku TT salah satu tokoh adat suku “Koiwae”:
“kalau masyarakat sudah pasang simbol seperti itu maka siapapun juga dia, jangan coba-coba buat komentar, lebih baik ikut masyarakat punya mau dulu (punya keinginan dahulu). Mungkin saja ada janji yang tidak ditepati oleh kontraktor atau pemerintah. Untuk bisa menyelesaikan masalah seperti ini, maka sebaiknya duduk di atas tikar adat lalu kita selesaikan masalah, sebab untuk mau buka simbol adat yang masyarakat pasang maka harus melalui adat itu punya cara dan aturan yang sudah berlaku”38.
37 Wawancara tanggal 10 Januari 2017 38 Wawancara tanggal 24 Juni 2017
211
Untuk menyelesaikan masalah pemalangan adat yang dilakukan
oleh masyarakat adat terhadap sejumlah alat berat milik kontraktor,
maka solusinya harus disesuaikan dengan prosedur yang berlaku dalam
aturan adat. Terkadang dalam menghadapi konteks seperti ini, berbagai
cara dilakukan dengan cara yang tidak terpuji, misalnya dengan
pendekatan securiti (kemanan), atau pendekatan uang. Bisa saja
pendekatan seperti ini digunakan walapun hal tersebut sesungguhnya
telah melanggar etika yang berlaku dalam konteks budaya tersebut.
Patut diakui juga bahwa pada saat melakukan pendekatan ada
konsekwensi tuntutan untuk membayar sejumlah barang termasuk
uang, tetapi minimal prosedur pendekatan penyelesaian masalah harus
diawali dengan pendekatan yang berlaku dalam etika budaya
dimaksud. Hal ini penting karena dengan cara duduk bersama di atas
tikar adat, banyak hal yang bisa ditemukan melalui proses demokrasi di
atas tikar adat. Pemberian barang atau uang haruslah dilihat hanya
sebagai momentum yang menandai bahwa segala permasalahan telah
diselesaikan sesuai prosedur.
Dalam konteks ini juga, banyak pihak menggunakan kelemahan
masyarakat adat dengan cara memberikan sejumlah barang atau janji
dengan tujuan agar pihak masyarakat adat menyudahi permasalahan
yang dihadapi. Sikap seperti ini hanya akan menjadi sebuah kebiasaan
buruk dalam melaksanakan pembangunan di Tanah Papua secara
khusus di “Negeri 1001 Senja”.
Simpulan bab
Pembangunan yang dilakukan selalu bertujuan untuk
mensejahterakan rakyat. Karena itu, pembangunan harus
menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan, bukan
sebaliknya menjadikan manusia sebagai obyek pembangunan.
Dalam kenyataannya, masyarakat selalu ditempatkan sebagai
subyek pembangunan. Hal ini mengakibatkan rakyat diposisikan
sebagai komunitas yang hanya pasif dalam pembangunan.
212
Dalam memosisikan peran masyarakat sebagai obyek
pembangunan, maka pemerintah membuka ruang serta kesempatan
secara negatif kepada masyarakat untuk melakukan perlawanan. Kasus
demonstrasi massa di Kabupaten Kaimana memberi pesan bahwa posisi
rakyat berada sebagai obyek pembangunan.
Sebagai masyarakat adat yang memegang teguh pada nilai-nilai
adat, menghadapi situasi kebijakan pembangunan yang dianggap
bermasalah, terbuka ruang bagi masyarakat untuk melawan kebijakan
pemerintah dengan menggunakan simbol-simbol adat.
Ciri khas masyarakat Indonesia yang berada di wilayah Timur
Indonesia seperti Papua, penggunaan marga/klan menjadi sangat
penting. Karena penggunaan marga/klan mencerminkan otoritas
manusia baik secara individu, atau kelompok marga/klan dalam
kehidupan suku tertentu. Karena itu, ketiadaan marga/klan dalam
penggunaan nama seseorang terasa masih ada yang kurang.
Penggunaan marga/klan dalam kehidupan manusia adat,
mencerminkan juga keterhubungan manusia dengan alam. Karena itu
kita dapat menyebut, bahwa dalam diri manusia adat yang
menggunakan nama marga/klan terdapat unsur-unsur alam. Dari unsur
alam inilah, manusia memiliki kesanggupan untuk membangun
komunikasi dengan alam. Terkadang pula orang manganggap “alam
tidak bisa mengenal kompromi”, namun bagi manusia adat, kompromi
dengan alam bisa saja dilakukan, seperti yang dikatakan tadi, karena
dalam diri manusia ada unsur alam yang saling berhubungan.
Kalau suatu saat anda melalui suatu wilayah yang memiliki nilai
sakral yang dihargai dan ditakuti oleh warga setempat, maka solusi
untuk bisa melewati wilayah tersebut hanya ada satu cara, gunakanlah
orang yang memiliki hubungan (marga/klan) dengan wilayah tersebut.
Jika anda menggunakan orang yang tidak memiliki keterhubungan
dengan wilayah tersebut, maka mereka akan menolak membantu anda,
alasannya sederhana, karena di dalam dirinya tidak ada unsur alam dari
wilayah setempat dalam diriya.
213
Dalam keterhubungan tersebut, masyarakat adat akan menjadi
marah, jika pembangunan yang dilakukan pemerintah atau pihak-
pihak lain membawa dampak kehancuran (alam dieksploitasi)
atasnama pembangunan.
Berbagai kebijakan pembangunan pemerintah Kabupaten
Kaimana yang diimplementasikan, sesungguhnya tidak harus dilawan
dengan cara massa melakukan demonstrasi dan berakhir dengan
kegiatan pemalangan terhadap infrastruktur milik pemerintah, jika saja
hal-hal ini diberi perhatian oleh pihak-pihak yang melakukan
pembangunan, misalnya untuk pembangunan aksesbilitas.
Pembangunan aksesbilitas dan kegiatan eksplorasi migas serta
penebangan hutan oleh pemegang HPH sangat mungkin menimbulkan
dampak, karena wilayah kerjanya yang berhubungan alam sekitar
(tanah, air, gung dan pohon), yang oleh masyarakat setempat tidak
hanya dilihat sebagai sumber ekonomi, tetapi lebih dari itu relasi
kekuatan mereka seakan dihancurkan di depan mata mereka. Beberapa
kasus seperti penyanderaan kendaraan roda empat oleh masyarakat di
Teluk Arguni Kaimana, pemalangan kantor milik P.T. CrisEnergi dan
pemalangan alat berat milik kontarktor yang mengerjakan jalan
Kaimana–Triton membuktikan bahwa antara manusia dengan alam
memiliki hubungan yang sangat kuat.
Sikap masyarakat ini, seakan memberi gambaran ke luar bahwa
antara alam dan manusia setempat telah ada perjanjian untuk saling
menghargai dan saling menghormati. Hal tersebut nyata tersirat dalam
sikap keseharian mereka untuk pantang makan jenis-jenis binatang
tertentu atau tidak boleh ke wilayah-wilayah tertentu, jika belum
menjalankan syarat-syarat atau ritual-ritual adat yang sudah menjadi
ketetapan dalam kehidupan masyarakat adat setempat di bumi “Negeri 1001 Senja”.