BAB V GAMBARAN KEPUTUSAN HUTANG
Transcript of BAB V GAMBARAN KEPUTUSAN HUTANG
61
BAB V
GAMBARAN KEPUTUSAN HUTANG
Bagian ini akan diuraikan tentang gambaran umum karakteristik
pemilik usaha kain tenun, karakteristik usaha, karakteristik keputusan hutang,
dan persepsi pemilik usaha terhadap faktor penentu keputusan hutang.
1.1. Karakteristik Pemilik Usaha
Responden dalam penelitian ini berjumlah 177 pemilik usaha kain
tenun. Seluruh responden pemilik usaha berjenis kelamin perempuan, karena
usaha kain tenun di Sumba Timur pada umumnya dimiliki dan dilakukan
oleh perempuan. Karakteristik responden selengkapnya berdasarkan tingkat
pendidikan, usia, dan status pernikahan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.1
Karakteristik Pemilik Usaha berdasarkan
Tingkat Pendidikan, Usia, dan Status Pernikahan
Karakteristik Frekuensi %
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah 4 2,3
Tidak tamat SD 39 22,0
SD 75 42,4
Tidak tamat SMP 3 1,7
SMP 16 9,0
SMA 37 20,9
PT 3 1,7
Usia
≤ 14 0 0,0
15 – 64 172 97,2
>64 5 2,8
Status Pernikahan
Menikah 167 94,4
Tidak Menikah 10 5,6 Sumber: data primer diolah
62
Berdasarkan Tabel 5.1, dapat dilihat bahwa sebagian besar (66,7
persen) pemilik usaha kain tenun di Sumba Timur memiliki tingkat
pendidikan Sekolah Dasar (SD), tidak tamat SD, dan tidak sekolah. Data ini
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pemilik usaha kain tenun masih
relatif rendah. Hal tersebut sesuai dengan kondisi pendidikan penduduk
Sumba Timur yang sebagian besar tidak bersekolah lagi dan hanya
mengenyam pendidikan SD.
Dilihat dari usia, hampir seluruh (97,2 persen) pemilik usaha kain tenun
berada pada rentang usia 15-64 tahun, dimana merupakan usia produktif
penduduk. Hal ini sejalan dengan mayoritas penduduk Sumba Timur yang
berada pada usia produktif. Jika dilihat dari status pernikahan, hampir seluruh
pemilik usaha telah menikah yakni sebesar 94,4 persen.
1.2. Karakteristik Usaha
Karakteristik usaha dalam penelitian ini berupa lokasi usaha, asal
usaha, umur usaha, jumlah tenaga kerja, jenis tenun yang dihasilkan, yang
dapat dilihat pada Tabel 5.2. Dari 22 kecamatan yang terdapat di Kabupaten
Sumba Timur, tujuh kecamatan merupakan lokasi sentra produksi tenun baik
tenun songket maupun tenun ikat. Mayoritas pemilik usaha kain tenun yang
menjadi responden berada pada daerah sentra produksi yang terletak di
Kecamatan Umalulu (46,9 persen), sisanya tersebar pada enam kecamatan
lainnya. Hal ini sesuai dengan unit usaha kain tenun terbanyak berada pada
sentra produksi Kecamatan Umalulu.
Karakteristik asal usaha yang dimaksud adalah asal berdirinya usaha
apakah usaha warisan atau niat sendiri (merintis dari awal). Tabel 5.2
menunjukkan bahwa sebagian besar (sebanyak 75,1 persen) pemilik usaha
kain tenun yang menjadi sampel dalam penelitian ini memulai usaha karena
niat sendiri. Sisanya 24,9 persen hanya melanjutkan usaha yang merupakan
warisan keluarga. Berdasarkan karakteristik umur usaha, sebagian besar
63
usaha (48,9 persen) beroperasi antara 1-10 tahun. Hal tersebut dapat dilihat
22,6 persen usaha berumur antara 1-5 tahun dan 24,3 persen pada rentang
umur 6-10 tahun. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar usaha yang
menjadi responden merupakan perusahaan yang relatif muda.
Tabel 5.2 juga menunjukkan sebagian besar atau sebanyak 57,1 persen
pemilik usaha melakukan sendiri kegiatan produksi kain tenun, hanya
sebagian kecil yang menggunakan tenaga kerja. Hal ini dapat dikaitkan
dengan kenyataan bahwa tidak semua orang dapat melakukan usaha kain
tenun, karena dibutuhkan keterampilan tersendiri, yang diyakini oleh
masyarakat Sumba sebagai warisan dari nenek moyang. Data ini juga
menunjukkan bahwa usaha kain tenun dapat dikategorikan sebagai industri
mikro, karena berdasarkan klasifikasi BPS, industri yang memiliki tenaga
kerja di bawah 4 orang merupakan industri mikro.
64
Tabel 5.2
Karakteristik Usaha berdasarkan Lokasi Usaha,
Asal Usaha, Umur Usaha, Jumlah Tenaga Kerja,
dan Jenis Kain Tenun yang Dihasilkan
Karakteristik Frekuensi %
Lokasi Usaha
Kota Waingapu 23 13,0
Kambera 18 10,2
Kanatang 10 5,6
Pandawai 20 11,3
Umalulu 83 46,9
Rindi 10 5,6
Pahunga Lodu 13 7,3
Asal Usaha
Warisan 44 24,9
Niat sendiri 133 75,1
Umur Usaha
1 – 5 40 22,6
6 – 10 43 24,3
11 – 15 32 18,1
16 – 20 20 11,3
21 – 25 13 7,3
> 25 29 16,4
Jumlah Tenaga Kerja
Tidak ada 101 57,1
Antara 1 – 2 52 29,4
> 2 24 13,6
Jenis Tenun Yang Dihasilkan
Kain panjang 24 13,6
Sarung & Selendang 81 45,8
Keduanya 72 40,7 Sumber: data primer diolah
Jenis kain tenun yang dihasilkan oleh pemilik usaha umumnya adalah
sarung (45,8 persen), disusul gabungan sarung dan kain panjang (40,7
persen), dan sisanya hanya menghasilkan kain panjang. Hal ini erat kaitannya
responden terbanyak yang berada pada Kecamatan Umalulu, dimana
merupakan sentra produksi kain tenun songket (lihat Tabel 4.7). Produk
65
sarung lebih banyak dihasilkan, dapat disebabkan waktu proses produksi
sarung yang cenderung lebih cepat dibanding kain panjang.
5.3. Karakteristik Keputusan Hutang
Keputusan hutang yang dimaksud dalam penelitian ini adalah besarnya
proporsi jumlah hutang dibanding dengan modal total yang digunakan
pemilik usaha dalam menjalankan usahanya. Jumlah hutang yang digunakan
adalah jumlah hutang terakhir yang belum dilunasi hingga saat pengambilan
data. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, proporsi hutang terendah
sebesar 0,17 (17 persen) dan proporsi hutang tertinggi 0,99 (99 persen) serta
rata-rata proporsi hutang sebesar 0,607 (60,7 persen). Jika proporsi hutang
digambarkan dalam rentang tertentu, maka dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar (74 persen) pemilik usaha
menggunakan hutang dengan proporsi di atas 0,4 (40 persen) dalam
menjalankan usahanya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemilik
usaha kain tenun masih mengandalkan hutang sebagai sumber pendanaan
dalam menjalankan usahanya.
Tabel 5.3
Proporsi Jumlah Hutang
Proporsi Hutang Jumlah (%)
≤ 0,20 4 2,3
0,21 – 0,40 42 23,7
0,41 – 0,60 32 18,1
0,61 – 0,80 62 35,0
≥ 0,81 37 20,9 Sumber: data primer diolah
Gambaran sumber pemberi hutang bagi pemilik usaha kain tenun
disajikan pada Tabel 5.4. Tabel tersebut menunjukkan bahwa mayoritas
pemilik usaha kain tenun (72,90 persen) menggunakan hutang yang berasal
66
dari sumber lembaga keuangan informal yaitu hutang dari Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan pemerintah (dalam bentuk Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat). Sisanya 27,10 persen menggunakan sumber
lembaga keuangan formal (bank, koperasi, dan pegadaian). Hal ini sejalan
dengan apa yang dinyatakan Tambunan (2012) bahwa usaha mikro di
Indonesia cenderung menggunakan pinjaman atau hutang dari sumber-
sumber informal.
Tabel 5.4
Distribusi Responden berdasarkan
Sumber Pemberi Hutang
Sumber Pemberi Hutang Jumlah (%)
Bank 5 2,80
Koperasi 24 13,60
Pegadaian 19 10,73
Lain-lain (LSM, PNPM) 129 72,90 Sumber: data primer diolah
Sedikitnya pemilik usaha yang menggunakan sumber dana formal
seperti bank dan koperasi, dikarenakan terbatasnya jumlah bank & koperasi
yang dekat dengan sentra-sentra produksi tenun. Adapun bank yang terdapat
di Kabupaten Sumba Timur hanya terpusat di Kota Waingapu sebagai kota
kabupaten (BRI, BNI, Bank NTT, Bank Mandiri, dan Bank Danamon).
Sedangkan di sekitar sentra produksi kecamatan lainnya, hanya terdapat Bank
BRI dan Bank NTT, khususnya pada Kecamatan Umalulu. Pemilik usaha
yang berada di Kecamatan Kota Waingapu, Kambera, dan Pandawai
walaupun dekat dengan kota kabupaten, namun tidak memiliki akses karena
terkendala dalam hal jaminan. Kondisi ini juga ditunjukkan oleh rendahnya
frekuensi menggunakan hutang. Dalam 3 (tiga) tahun terakhir, frekuensi
menggunakan hutang sebagai modal usaha oleh sebagian besar pemilik usaha
kain tenun antara 1-2 kali (64,4 persen). Namun beberapa pemilik usaha telah
67
menggunakan lebih dari 5 kali. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 5.5
Frekuensi Menggunakan Hutang
Frekuensi Jumlah (%)
1 kali 73 41,2
2 kali 41 23,2
3 kali 25 14,1
4 kali 28 15,8
> 5 kali 10 5,7 Sumber: data primer diolah
5.4. Gambaran Faktor Penentu Keputusan Hutang
Gambaran hubungan antara variabel-variabel penelitian dapat dilihat
pada Tabel 5.6 yang merupakan hasil dari analisis korelasi dengan
menggunakan Pearson Correlation. Selain korelasi, dapat dilihat rata-rata dan
standar deviasi dari masing-masing variabel. Tabel 5.6 menunjukkan, bahwa
nilai rata-rata (mean) terendah untuk variabel-variabel laten adalah nilai rata-
rata variabel sikap terhadap hutang dengan nilai 4,529. Sedangkan yang
tertinggi adalah nilai rata-rata variabel niat berhutang dengan nilai 4,891.
Standar deviasi tertinggi terdapat pada variabel sikap terhadap hutang dengan
nilai 1,295 dan terendah terdapat pada variabel norma sosial dengan nilai
0,895.
Tabel 5.6 juga menunjukkan bahwa korelasi antar variabel seluruhnya
signifikan pada tingkat signifikansi (alfa) 0,001. Korelasi tertinggi terjadi
antara variabel norma sosial dan kontrol perilaku yang dipersepsikan dengan
nilai korelasi 0,798. Sedangkan korelasi terendah terjadi antara variabel
norma sosial dan keputusan hutang. Hasil yang signifikan juga menunjukkan
bahwa variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian memiliki
hubungan yang saling berkaitan satu sama lainnya dalam membentuk
perilaku keputusan hutang
68
Tabel 5.6
Mean, Standar Deviasi, dan Korelasi Antar Variabel Mean Standard
Deviation Sikap terhadap
Hutang
Norma Sosial
Kontrol Perilaku yang
Dipersepsikan
Niat Berhutang
Sikap terhadap Hutang
4,529
1,295
Norma Sosial 4,719 0,895 0,743** Kontrol perilaku
yang dipersepsikan
4,554
0,911
0,783**
0,798**
Niat Berhutang
4,891
1,278
0,667**
0,675**
0,599**
Keputusan
Hutang
0,607
0,213
0,589**
0,536**
0,611**
0,702**
**Correlation is significant at the 0.001 level (2-tailed)
5.5. Persepsi Pemilik Usaha Terhadap Faktor Penentu Keputusan
Hutang
Menurut Ferdinand (2013), dalam penelitian manajemen, peneliti dapat
mengetahui derajat persepsi responden terhadap variabel yang diteliti.
Derajat persepsi responden dapat ditunjukkan dengan sebuah angka indeks.
Nilai indeks variabel diperoleh dari rata-rata nilai indeks masing-masing
indikator yang membentuk variabel tersebut. Nilai indeks variabel kemudian
diinterpretasi dengan menggunakan kriteria three-box method sebagai berikut
(disesuaikan dengan rentang angka skala 1-7 yang digunakan): 14,29 – 42,86
= Rendah; 42,87 – 71,44 = Sedang; 71,45 – 100,00 = Tinggi.
1.5.1. Sikap terhadap Hutang
Variabel sikap terhadap hutang dibentuk oleh tiga indikator yaitu
menggunakan hutang merupakan ide yang baik, menggunakan hutang dapat
menguntungkan usaha, dan menggunakan hutang merupakan tindakan yang
bijaksana. Nilai indeks dari masing-masing indikator dapat dilihat pada Tabel
69
5.7. Berdasarkan Tabel 5.7, dapat dilihat bahwa persepsi responden tertinggi
ada pada indikator kedua (hutang dapat menguntungkan usaha) dan terendah
pada indikator ketiga (menggunakan hutang merupakan tindakan bijaksana).
Data ini menunjukkan bahwa pemilik usaha kain tenun melihat hutang
sebagai sumber yang dapat menguntungkan usahanya. Nilai rata-rata angka
indeks variabel sikap terhadap penggunaan hutang sebesar 64,66 yang berada
pada kategori sedang. Hal ini berarti pemilik usaha memiliki persepsi yang
moderat terhadap variabel sikap.
Tabel 5.7
Nilai Indeks Variabel Sikap terhadap Hutang
Indikator Persentase Frekuensi Jawaban Responden* Nilai
Indeks
** 1 2 3 4 5 6 7
Ide yang baik 0,0* 20,4 40,8 76,8 166,5 111,6 35,7 64,54
Menguntungkan
usaha 0,0 17,0 40,8 108,4 118,5 115,2 55,3 65,03
Tindakan yang
bijaksana 0,0 19,2 47,4 92,8 118,5 121,8 51,1 64,40
Rata-rata Nilai Indeks Variabel 64,66
Sumber: data primer diolah
* % frekuensi jawaban responden x skor masing-masing
** Nilai rata-rata untuk masing-masing indikator
1.5.2. Norma Sosial
Variabel norma sosial dibentuk oleh empat indikator yaitu pengaruh
keluarga, pengaruh teman pengusaha, pengaruh teman, dan dukungan
pemerintah. Nilai indeks masing-masing indikator dapat dilihat pada Tabel
5.8. Berdasarkan Tabel 5.8, dapat dilihat bahwa persepsi responden tertinggi
ada pada indikator kedua (pengaruh teman pengusaha) dan terendah pada
indikator keempat (dukungan pemerintah). Data ini menunjukkan bahwa
pemilik usaha kain tenun menggunakan hutang karena melihat bahwa sesama
pengusaha tenun lainnya juga menggunakan sumber dana hutang. Meskipun
pemerintah banyak menyalurkan pinjaman bergulir, namun bagi pengusaha
kain tenun, pemerintah belum memberikan dukungan maksimal terhadap
70
usaha mereka. Hal tersebut dapat terlihat dari belum adanya program/
kebijakan pemerintah daerah yang menyentuh langsung usaha kain tenun
seperti yang disampaikan pada bab sebelumnya.
Rata-rata nilai indeks variabel norma sosial sebesar 67,44 yang
termasuk dalam kategori sedang. Hal ini berarti pemilik usaha memiliki
persepsi yang biasa terhadap variabel norma sosial.
Tabel 5.8
Nilai Indeks Variabel Norma Sosial
Indikator Persentase Frekuensi Jawaban Responden Nilai
Indeks 1 2 3 4 5 6 7
Pengaruh
keluarga 0,0 4,6 37,2 76,8 166,5 172,8 28,0 69,41
Pengaruh
Teman
pengusaha
0,0 0,0 8,4 54,4 127,0 220,2 150,5 80,07
Pengaruh
teman 0,0 6,8 35,7 99,6 192,0 118,8 11,9 66,40
Dukungan
pemerintah 7,9 44,0 25,5 42,8 243,0 13,8 0,0 53,86
Rata-rata Nilai Indeks Variabel 67,44
Sumber: data primer diolah.
1.5.3. Kontrol Perilaku yang Dipersepsikan
Variabel kontrol perilaku yang dipersepsikan dibentuk oleh lima
indikator: kemampuan menyediakan jaminan, kemampuan membayar bunga
hutang, kemampuan melunasi hutang tepat waktu, kemampuan memiliki
modal sendiri yang cukup, dan kemudahan mendapatkan hutang. Nilai indeks
dari kelima indikator tersebut disajikan dalam Tabel 5.9.
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 5.9, nilai indeks variabel kontrol
perilaku yang dipersepsikan menghasilkan nilai 65,06 yang berada pada
kategori sedang. Hal ini berarti persepsi pemilik usaha cenderung biasa pada
variabel tersebut. Persepsi responden tertinggi terdapat pada indikator kelima
(kemudahan mendapatkan hutang) yang berarti bahwa pemilik usaha
memandang bahwa mereka mudah mendapatkan hutang apabila memiliki
71
hubungan yang baik dengan pemberi pinjaman. Persepsi terendah pada
indikator keempat (kemampuan memiliki modal sendiri) menunjukkan
bahwa pemilik usaha melihat modal sendiri sebagai kendala utama dalam
memperoleh sumber dana hutang.
Tabel 5.9
Nilai Indeks Variabel Kontrol Perilaku yang Dipersepsikan
Indikator Persentase Frekuensi Jawaban Responden Nilai
Indeks 1 2 3 4 5 6 7
Kemampuan
menyediakan
jaminan
0,0 0,0 86,4 52,0 282,5 10,2 0,0 61,59
Kemampuan
membayar
bunga hutang
0,0 12,4 55,8 61,2 133,0 152,4 55,3 67,16
Kemampuan
melunasi
hutang tepat
waktu
0,0 2,2 71,1 72,4 141,0 125,4 55,3 66,77
Kemampuan
memiliki
modal sendiri
yang cukup
0,0 29,4 47,4 219,2 73,5 0,0 0,0 52,79
Kemudahan
mendapatkan
hutang
0,0 2,2 15,3 92,8 76,5 213,6 138,6 77,00
Rata-rata Nilai Indeks Variabel 65,06
Sumber: data primer diolah.
1.5.4. Niat Berhutang
Variabel niat berhutang dibentuk oleh tiga indikator yaitu bermaksud
untuk menggunakan hutang, mencoba untuk menggunakan hutang, dan
berupaya untuk menggunakan hutang. Nilai indeks dari masing-masing
indikator tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
72
Tabel 5.10
Nilai Indeks Variabel Niat Berhutang
Indikator Persentase Frekuensi Jawaban Responden Nilai
Indeks 1 2 3 4 5 6 7
bermaksud untuk
menggunakan
hutang
0,0 2,2 47,4 76,8 130,0 166,2 71,4 70,57
mencoba untuk
menggunakan
hutang
0,6 8,0 42,3 88,0 133,0 149,4 55,3 68,09
berupaya untuk
menggunakan
hutang
0,0 2,2 45,9 86,0 110,0 166,2 86,8 71,01
Rata-rata Nilai Indeks Variabel 69,89
Sumber: data primer diolah.
Berdasarkan Tabel 5.10, perhitungan rata-rata nilai indeks variabel Niat
Berhutang menghasilkan nilai 69,89 berada pada kategori sedang mendekati
tinggi. Hal ini berarti pemilik usaha memiliki persepsi yang tinggi pada
variabel tersebut. Persepsi responden tertinggi ada pada indikator ketiga
menunjukkan bahwa upaya menggunakan hutang merupakan faktor motivasi
utama dalam niat berhutang. Sedangkan faktor motivasi terendah yaitu
mencoba menggunakan hutang, yang ditunjukkan dengan rendahnya persepsi
pemilik usaha pada indikator kedua.