BAB IV TANGGUNG JAWAB GEREJA DALAM PENDIDIKAN...
Transcript of BAB IV TANGGUNG JAWAB GEREJA DALAM PENDIDIKAN...
BAB IV
TANGGUNG JAWAB GEREJA
DALAM PENDIDIKAN ORANG DEWASA DAN
PENDIDIKAN BAGI PERKEMBANGAN KELUARGA MUDA
DI GKJ MANAHAN KLASIS KARTASURA
Untuk menjawab pertanyaan bagaimana tanggung jawab gereja dalam
pendidikan keluarga muda yang dilaksanakan di gereja Kristen jawa Manahan
Klasis Kartasura maka diperlukan analisa. Analisa tersebut dilakukan dengan
menilai hasil penelitian pada bab III dengan menggunakan barometer teori yang
dipaparkan pada bab II tentang Pendidikan Agama Kristen Untuk Dewasa dan
mengenai teori perkembangan usia dewasa muda. Oleh karena itu, dalam bab ini
analisa akan diuraikan sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas.
IV.1. Tanggung Jawab Gereja Dalam Pendidikan
Sesuai dengan tugas panggilan gereja yang terdapat dalam Tata Gereja GKJ1
mulai pasal 38 tentang Tugas Pemeliharaan Keselamatan
“Salah satu tugas panggilan Gereja sebagai buah dan sekaligus
alat keselamatan Allah yang berpusat di dalam diri Yesus Kristus
atas manusia adalah pemeliharaan keselamatan”
Dalam pasal 39 tentang Hakikat Pemeliharaan Keselamatan
“Hakikat pemeliharaan keselamatan adalah segala upaya Gereja
melaksanakan perintah Tuhan Yesus Kristus untuk menggembalakan
orang-orang yang telah menerima keselamatan”
1 Sinode GKJ, Himpunan PPA GKJ, Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ , Peraturan Pembimbingan dan ujian Calon Pendeta dan peraturan Kesejahteraan Pendeta dan Karyawan, Salatiga, 2005, 126-127
Dalam pasal 40 tentang Tujuan Pemeliharaan Keselamatan
“Tujuan pemeliharaan keselamatan adalah upaya Gereja
melaksanakan penggembalaan warga gereja, agar dalam perjalanan
hidupnya yang penuh dengan pencobaan dapat mencapai
keselamatan yang sempurna yaitu persekutuan dengan Allah dalam
kemuliaan-Nya di sorga.”
Jadi tugas pemeliharaan keselamatan itu adalah upaya gereja dalam
melaksanakan perintah Tuhan Yesus untuk menggembalakan warga gereja,
agar dalam perjalanan hidupnya dapat mencapai keselamatan sempurna.
Tentunya, untuk melakukan tugas penggembalaan dengan baik perlu
dipikirkan hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan atau pendidikan yang
terstruktur, sistematis dan berkesinambungan. Selaras dengan itu dalam
Kolose 11:28, bahwa gereja harus menolong jemaat untuk bertumbuh
kearah kedewasaan dalam Kristus. Demikian pula dalam Efesus 4:12-13,
gereja harus melayani jemaat agar pembangunan Tubuh Kristus terlaksana
seperti apa yang dikehendaki Tuhan.
GKJ Manahan telah berusaha melaksanakan tugas tersebut dengan
jalan membuat Rencana Strategis Gereja tahun 2012-2016. Langkah
pertama yang dilakukan adalah dengan menetapkan visi dan
menjabarkannya kedalam beberapa misi yang bertujuan mendorong jemaat
bertumbuh dewasa dalam iman dan kasih. Sedangkan untuk menjalankan
misi tersebut telah dibuat pula tema-tema tahunan termasuk didalamnya
setiap program yang dibuat oleh komisi. Tidak hanya itu, melalui rentra
yang ada, majelis gereja memperbaharui struktur gereja pada tahun 2015
dengan melihat kebutuhan warga gereja dengan harapan semua komponen
gereja tumbuh dan dapat dirasakan kehadirannya ditengah masyarakat.
Secara umum, tanggung jawab gereja dalam mendidik warga gereja
telah terlaksana dengan baik melalui program-program yang dilakukan oleh
komisi-komisi yang ada, seperti dalam bentuk ibadah, liturgi, pembinaan
secara insidental dan kategorial. Program yang disusun tidak hanya bersifat
rutin, namun juga bersifat pembinaan dan mengembangkan jejaring dengan
mempertimbangkan minat, bakat dan kemampuan warga gereja untuk ambil
bagian dalam tanggung jawab gereja.
Namun demikian, untuk program pembinaan atau pendidikan kepada
warga dewasa belum maksimal dijalankan oleh Majelis Gereja. Belum
maksimalnya tanggung jawab gereja dalam mendidik warga dewasa
khususnya kepada warga dewasa muda disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Gereja sebagai organisasi belum dapat menjalankan tata organisasinya
secara “luwes” (Fleksibel), tetapi masih sebagai organisasi yang beku
dan kaku. Berdasarkan pada sistem pemerintahan yang digunakan oleh
GKJ yang presbiterial sinodal yang memungkinkan setiap presbyteros
untuk mengatur dan melaksanakan tugas pelayanan berdasarkan
kebutuhan jemaat setempat tanpa meninggalkan asas kebersamaan
ditingkat Klasikal maupun Sinodal. Selain itu dengan sistem
pemerintahan ini dimungkinkan keterlibatan warga jemaat yang
sebesar-besarnya untuk memenuhi panggilan pelayanan. Maka, dalam
persekutuan warga gereja, fleksibilitas sangat perlu ditonjolkan.
Artinya, program dan kegiatan serta pokok bahasan tidak dijadwalkan
kaku. Bahkan, bagi sebagian jemaat, hal itu lebih banyak bergantung
pada pimpinan Roh Kudus.2 Namun dalam kenyataannya tidak
demikian, dalam hal pembuatan program, pengambilan keputusan,
penggunaan anggaran yang bersifat mendesak, masih harus berhadapan
dengan tatanan birokrasi yang kaku. Konsekuensi dari sistem
presbiterial sinodal adalah semua keputusan yang menyangkut hal
”prinsip” harus melalui persidangan Gerejawi terlebih dahulu baru
diberlakukan. Hal ini berlaku juga pada hal-hal yang tidak “prinsip”
seperti penggunaan anggaran yang tidak terlalu banyak, penanganan
terhadap kegiatan yang diprogramkan dan barangkali perlu ada
perubahan dan penambahan oleh komisi, harus selalu dikonsultasikan
kepada Majelis dalam sidang Majelis Gereja. Akibatnya, mekanisme
mengambil kebijakan terlalu lama dan lemah.
2. Sumber Daya Manusia (SDM) majelis gereja kurang memadai.
Seringkali terdengar ungkapan di kalangan warga gereja “Yang mau
menjadi majelis gereja bukan orang-orang yang mampu tetapi hanya
orang-orang yang penting mau”. Ungkapan ini hampir benar adanya,
kebanyakan mereka yang menjadi majelis gereja umumnya adalah
orang-orang yang sudah mulai memasuki usia senja (usia pensiun),
orang yang berpendidikan rendah, orang yang bekerja serabutan.
Sedangkan mereka yang berpendidikan tinggi, mempunyai pekerjaan
2 Sidjabat, op.cit., 29
baik, orang-orang usia produktif masih belum mau terlibat untuk
melayani gereja dengan alasan kesibukan di dunia kerja. Selain itu,
jangka waktu jabatan Majelis gereja ditentukan oleh periodisasi,
sehingga jika waktu pelayanan selesai maka akan digantikan dengan
orang baru yang harus beradaptasi kembali terhadap kegiatan, pola
pelayanan dan program gereja yang sedang dikembangkan. Sistem yang
dibangun di gereja sampai saat ini belum sepenuhnya dilihat sebagai
aturan yang harus dipatuhi dan disepakati oleh siapapun sekalipun harus
berganti orang.
3. Pemahaman Majelis Gereja tentang pembinaan atau pendidikan warga
gereja yang berhubungan dengan PAK dan khususnya PAK dewasa
pada umumnya masih kurang. Beberapa pemahaman tersebut
diantaranya PAK adalah metode pengajaran yang hanya cocok
diterapkan di sekolah-sekolah tidak digereja, sehingga gereja tidak
perlu menerapkan PAK di gereja; jika dilakukan pembinaan kepada
orang dewasa dianggap sama metodenya dengan pembinaan usia
lainnya. Sehingga dari dua pemahaman tersebut, dapat dipahami jika
pendidikan yang dijalankan terkesan seadanya, tanpa ada upaya untuk
mengembangkan sesuai dengan prinsip pendidikan bagi orang dewasa.
Pendidikan kepada warga dewasa berbeda sama sekali, karena orang
dewasa berbeda dalam banyak hal dengan anak-anak. Seharusnya
pendidikan orang dewasa dalam konteks gereja berlangsung dalam
berbagai dimensi, bentuk atau pendekatan namun tidak demikian yang
terjadi.
4. Terdapat paradigma yang masih kuat baik dikalangan Majelis Gereja,
pengurus komisi maupun sebagian besar warga gereja, bahwa
pelayanan yang dilakukan cukup untuk membangun iman, hal ini lebih
penting daripada yang lain. Sehingga majelis gereja lebih terfokus pada
melayani jemaat dengan tujuan tersebut sehingga kecenderungan
memisahkan yang teologi dan yang non teologi cukup besar. Padahal
dengan perubahan yang cukup pesat sekarang ini, pembinaan iman
perlu dilengkapi dengan pembinaan yang berkaitan dengan kebutuhan,
tanggung jawab dan masalah yang sedang dihadapi, sehingga iman pun
mampu menjawab tantangan yang terjadi setiap hari.
5. Dalam bidang PWG terdapat KWD yang dibentuk oleh Sinode GKJ
dalam keputusan sidang Sinode GKJ XXI tahun 1994. Pemahaman Para
Pendeta dan Majelis Gereja tentang latar belakang dan tujuan
pembentukan KWD yang dibentuk oleh Sinode masih kurang.
Keputusan Sinode untuk mengganti Komisi Wanita Jemaat (KWJ)
menjadi KWD didasari oleh beberapa pertimbangan yaitu pertama,
peningkatan pemahaman dan perwujudan Kemitraan Pria-Wanita dan
yang kedua, peningkatan kualitas pembinaan pria-wanita dan yang
ketiga, jika dihubungkan dengan pembinaan kategorial terjadi
kehilangan satu masa pertumbuhan manusia yang harus dibina.
Seharusnya setelah membina kaum muda dilanjutkan ke warga dewasa
setelah itu baru warga usia lanjut. Namun dalam kurun waktu yang
cukup lama, justru kaum perempuan yang lebih nyata keberadaannya,
sedangkan kaum laki-laki tidak terlibat dalam kegiatan gereja dalam
kegiatan orang dewasa. Lebih memprihatinkan lagi seperti yang
ditegaskan oleh Deputat Sinode GKJ XXI, Pdt. Retno Ratih3, kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh KWJ hanya mengadaptasi kegiatan
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Sayangnya, setelah ada
perubahan dari KWJ menjadi KWD, nuansa kegiatannya tetap sama
sebagai KWJ termasuk personalia pengurus KWD masih di dominasi
oleh kaum wanita dan bahkan para warga lanjut usia. Termasuk
didalamnya program-program yang direncanakan.
6. Dalam setiap program yang direncanakan oleh PWG khususnya di
Komisi Warga Dewasa belum sepenuhnya melibatkan orang dewasa.
Padahal orang dewasa harus mempunyai bagian yang kuat dalam
menentukan tema program atau keseluruhan PAK Dewasa.4 Seandainya
program tersusun, namun materi yang berhubungan dengan PAK
Dewasa kurang dipersiapkan dengan baik dan bertanggung jawab.
Bahkan Akibatnya, persekutuan yang telah dibentuk dengan banyak
anggota diawal perjumpaan, lama-kelamaan semakin menyusut.
7. Paradigma tentang orang dewasa tidak lagi memerlukan pendidikan,
tidak hanya jamak ditemui dalam masyarakat Indonesia, tetapi juga
terjadi ditengah jemaat. Program-program yang disusun lebih banyak 3 Wawancara dengan Pdt. Retno Ratih Suryaning Handayani, di Pastori I GKJ Manahan, pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2015, pada pukul 16.00 WIB 4 Nuhamara, Daniel, op.cit., 38
bersifat monolog (seperti: kebaktian padang, persekutuan, kebaktian
kebangunan rohani, ibadah alternatif, dsb) daripada yang dialog.
(seperti:sarasehan, ceramah, pelatihan, dsb).
8. Setiap pembuatan program gereja tidak disertai hasil dari evaluasi
program-program sebelumnya. Evaluasi yang dimaksud bukan hanya
berkaitan dengan terlaksananya program tersebut atau tidak, tidak
hanya dilihat dari jumlah kehadiran warga gereja, tidak hanya dari
keterserapan dana yang diberikan oleh Majelis gereja, namun yang
lebih penting adalah mengetahui kebutuhan yang sesuai dan mengetahui
pertumbuhan warga gereja dalam kedewasaan iman dan tanggung
jawabnya.
9. Warga GKJ Manahan khususnya bagi keluarga muda cenderung tidak
lagi tinggal di wilayah pembagian kelompok pelayanan yang sudah ada.
Tempat tinggal mereka cenderung di pinggiran wilayah kota solo.
Tempat tinggal yang jauh tersebut hampir sebagian besar bukan karena
keinginan pribadi tetapi karena beberapa faktor seperti hunian di kota
solo sudah semakin padat, harga perumahan diluar kota solo yang jauh
lebih murah, pekerjaan, mengikuti suami. Sehingga dengan kondisi
yang demikian, Majelis Gereja mengalami kesulitan untuk memberikan
pelayanan yang maksimal dan kesulitan untuk mengadakan kegiatan
secara rutin karena jangkauan yang cukup luas.
Gereja adalah ladang yang subur bagi pengembangan kehidupan iman,
spiritual dan sumber daya manusia. Sebagai ladang, gereja mempunyai
peran besar mengupayakan diri untuk menjadi tempat bertumbuhnya
kehidupan jemaat secara maksimal dan utuh. Dalam kaitannya dengan
pendidikan iman Kristen, tugas mendidik warga gereja adalah bagian yang
sentral dalam menjalankan panggilan Tuhan. Ruang lingkup PAK
mencakup semua bentuk pelayanan pendidikan dan/atau pembinaan Kristen
untuk semua lapisan usia yang menjadi tanggung jawab dan
diselenggarakan oleh gereja secara teratur, bertujuan, dan terus menerus.5
Demikian pula hal itu berlaku bagi PAK Dewasa di gereja.
Oleh karenanya, Pendidikan Warga Gereja sangat penting
dilakukan sebagai sarana menumbuhkan dan memperlengkapi jemaat agar
gereja secara kesatuan bertumbuh ke arah kedewasaan dalam Kristus dan
pembangunan tubuh Kristus tercapai sesuai dengan panggilan gereja.
Selain itu menolong warga gereja menjalankan panggilannya dalam
keseimbangan antara membangun jemaat dan melayani masyarakat.6
Andar Ismail, dalam bukunya “Awam dan Pendeta”, Mitra Membina
Gereja, mengatakan bahwa setiap orang percaya diberi mandat oleh Allah
untuk melayani orang-orang lain, untuk mengekspresikan imannya dalam
tindakan sosial yang bermanfaat dan dengan demikian
mengkomunikasikan kekuasaan Injil7 Artinya bahwa pengajaran ini
mempunyai konsekuensi-konsekuensi sosial dan eklesiologis yang
5 Borrong, Robert P., dkk (Ed), Berakar didalam Dia dan Dibangun diatas Dia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 108 6 Institut Oikumene Indonesia, Pembinaan Warga Gereja Memasuki Masa Depan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 94 7 Andar Ismail, Awam dan Pendeta : Mitra Membina Gereja (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000),
hal. 3.
mendalam. Secara sosial, tidak ada perbedaan mendasar antara orang-
orang Kristen yang saleh dan sekuler, antara orang awam dan rohaniwan.
Semua mempunyai kewajiban yang sama untuk menerima panggilan
Tuhan. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama yang dibangun terus
menerus di dalam kehidupan orang-orang percaya untuk mewujudkan
panggilannya bagi dunia. Kerjasama yang dibangun terus menerus dalam
konteks pendidikan warga gereja dewasa hendaknya mempertimbangkan
keterlibatan orang dewasa dalam merencanakan, menjalankan dan
mengevaluasi kegiatan yang dilakukan secara bersama.
Oleh karena itu perlu dipikirkan, direncanakan, dikembangkan
bahkan jika perlu ada perubahan, supaya tanggung jawab gereja terhadap
pendidikan dapat dilakukan dengan baik. Beberapa hal dibawah ini bisa
menjadi pertimbangan majelis gereja dalam melakukan tanggung jawab
pendidikan kepada warga gereja yang berusia dewasa:
1. Sistem pemerintahan Gereja yang presbiterial Sinodal dengan
memungkinkan keterlibatan semua warga gereja hendaknya dapat
diterjemahkan dengan baik pada level pemangku jabatan bersama
dengan warga jemaat pada umumnya. Kalau sistem presbiterial-
sinodal tersebut dapat ditempatkan sebagai sarana untuk pembinaan
gereja dengan melibatkan warga gereja maka dalam penerapan struktur
gereja dan birokrasi yang kaku perlu diperbaharui. Barangkali gereja
perlu belajar tentang wacana Gereja Diaspora yang pernah
dikemukakan oleh Romo Mangun. Seperti diingatkan oleh Romo
Mangun, kita perlu menyadari bahwa saat ini warga gereja dihadapkan
pada situasi diaspora. Istilah diaspora yang dipakai oleh Romo
Mangunwijaya adalah benih-benih yang serba tersebar, terpencar.
Tidak kompak dalam satu tempat.8 Tidak terisolasi dan terkonsentrasi
dalam satu wilayah tertutup yang padat. Kehidupan umat yang
tersebar, tidak saja secara geografis, tetapi terutama juga secara
psikologis dan kultural. Maka, struktur organisasi Gereja yang kaku,
birokratis, dan hirarkis, perlu disempurnakan, diperbaharui, dan
disegarkan dengan pola kehidupan baru. Dalam hal ini, Romo Mangun
membicarakan Gereja sebagai organisme, untuk mengganti struktur
organisasi yang beku, sistem jaringan yang melengkapi sistem hirarkis
dan sebagainya agar kebutuhan pelayanan rohani dapat dipenuhi sesuai
dengan tuntutan zaman.9 Selain itu pelayanan teritorial-tradisional
perlu dilengkapi dengan pelayanan khusus bagi umat yang terdiaspora.
Karena itu, para pemangku jabatan gereja hendaknya juga memahami
dan memaklumi, seandainya ada umat yang tidak bisa aktif dalam
aneka kegiatan gereja maupun kelompok karena “kediasporaan”-nya.
Di lain pihak, para pemangku jabatan sebagai pribadi kiranya juga
perlu mempersiapkan diri menjadi “gembala diaspora” bagi sahabat-
kenalan dari lain lingkungan dan gereja. Namun, Romo Mangun
berkeyakinan bahwa pelayanan teritorial-tradisional (termasuk
lingkungan) ini tetaplah perlu karena hal ini justru menggambarkan 8 Mangunwijaya, Y.B., Gereja Diaspora, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 27 9 Sudiarja, A.(Ed.), Tinjauan Kritis atas Gereja Diaspora Romo Mangunwijaya, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 21
kesatuan umat yang beragam dan juga memang ada beberapa sektor
yang tetap membutuhkan pelayanan teritorial, seperti anak-anak dan
remaja, dunia sekolah, mereka yang sakit, cacat, dan jompo. Dalam hal
ini, Romo Mangunwijaya hendak mengajak gereja khususnya katolik
dan umumnya (barangkali) bisa digunakan di gereja protestan yang
menghadapi tantangan yang sama yaitu terseraknya (diaspora) warga
gereja di kota-kota besar. GKJ Manahan menghadapi tantangan
tersebut, seperti yang tertulis dalam bab sebelumnya, banyak diantara
jemaat yang usia produktif tersebar kemana-mana baik karena tempat
tinggal ataupun pekerjaan. Oleh karenanya, pendidikan kepada warga
gereja perlu mempertimbangkan pembinaan kategorial yang diaspora,
dengan jalan membuat program kegiatan yang dapat menjangkau
warga gereja yang telah terserak kemana-mana. Program kegiatan
tersebut dapat dijalankan secara fleksibel tanpa harus terpusat di gereja
dan dengan suasana yang kaku. Metodologinya harus berubah
menyesuaikan diri, tetapi tetap mempertahankan identitas diri dan
aturan yang sudah disepakati bersama. Mengambil elemen gereja
jaringan yang ditawarkan oleh Romo Mangun yaitu membangun
komunikasi akrab non formal, suasana kekeluargaan, keguyuban,
susunan kerja sama yang melewati jalan lorong yang teratur, tetapi
dengan multi-connection yang luwes, mampu mengatasi persoalan
relevan dan aktual tanpa terhambat oleh birokrasi.10 Gereja jaringan itu
10 Mangunwijaya, op.cit., 97
bhinneka, namun terkoordinasi tunggal, yang saling berdialog, baik top
down, dari atas ke bawah maupun bottom up, dari bawah ke atas. Ia
bahkan sebenarnya tanpa hubungan yang didominasi status atas bawah;
atau lebih tepat, dalam bahasa sekarang, suatu kinergi dan kinerja yang
saling melengkapi dan mendewasakan, mandiri, tetapi tidak liar
menjadi sekte-sekte yang serba sempal.11 Secara ringkas, gereja
khususnya GKJ Manahan dan GKJ pada umumnya perlu senantiasa
mengembangkan model pelayanan yang tidak hanya terkungkung oleh
struktur kaku warisan zending, tetapi selalu dapat “beradaptasi” pada
perubahan dan kebutuhan perkembangan warga gerejanya. Sekaligus
mempersiapkan pendamping atau pelayanan kategorial yang sudah
tersebar atau diaspora, agar dapat menjangkau keberadaan dan
menumbuhkan keterlibatan warga gereja dewasa.
2. Bentuk-bentuk pendidikan orang dewasa pada level jemaat masih
sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah para pemimpin gereja
dalam hal ini Majelis gereja (Pendeta, Penatua dan Diaken) masih
sangat terbatas dalam pemahamannya terhadap PAK dewasa, sehingga
tidak dapat menyentuh aspek-aspek yang dibutuhkan oleh orang
dewasa. Sedangkan sebab lain, karena tradisi pelayanan yang
dikembangkan oleh gereja selama ini masih berasal dari warisan
zending yang hanya mengutamakan soal keimanan. Jika gereja ingin
mengembangkan pelayanan Pembinaan atau Pendidikan warga Dewasa
11 Ibid.
perlu pemahaman yang jelas tentang PAK Dewasa dan
signifikansinya.12 Signifikansi yang dimaksud adalah berkaitan
pentingnya pendidikan orang dewasa bagi gereja, memahami orang
dewasa sebagai agen dari pelaksanaan tugas panggilan gereja,
karakteristik pembelajaran orang dewasa, mengantisipasi perubahan-
perubahan yang terjadi di sekitar dan dunia, dan pentingnya memahami
bahwa orang dewasa tetap membutuhkan pendampingan dalam
pertumbuhan hidup dan imannya sampai mereka mengerti bagaimana
seharusnya hidup dan memikul tanggung jawab sebagai orang dewasa.
Fakta terbatasnya pemahaman Majelis Gereja terhadap tanggung jawab
pendidikan warga dewasa dapat dilihat melalui Komisi Warga Dewasa
(KWD) yang dibentuk melalui persidangan Klasis tahun 1994. KWD
pada sisi lain adalah bukti kesadaran Sinode GKJ dalam
memperhatikan pembinaan orang dewasa secara utuh, akan tetapi di
sisi lain pada level jemaat lokal dan di tingkat Majelis Gereja masih
kurang jelas apa yang dikerjakannya. Apalagi dalam sejarah
pembentukan KWD dilatarbelakangi oleh bayang-bayang kegiatan
wanita jemaat yang lebih responsif terhadap kegiatan “kumpul-
kumpul” (berorganisasi) dibandingkan dengan keterlibatan para laki-
laki. Seperti yang dikatakan oleh Pdt. Ratih Suryaning Handayani
bahwa gereja-gereja belum benar-benar menangkap tujuan
dibentuknya KWD di gereja, akibatnya sampai sekarang gereja belum
12 Nuhamara, Daniel, PAK Dewasa, (Bandung : Jurnal Info Media, 2008), 18
dapat mengembangkan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan orang
dewasa.13 Akibat lainnya, ketiadaan kurikulum yang dirancang khusus
untuk membina orang-orang dewasa di gereja. Kurikulum yang
dimaksud berkaitan dengan apapun baik materi, waktu, metode dan
sebagainya. Sekalipun kurikulum tersebut dirancang sederhana, tetapi
tetap mempertimbangkan kebutuhan belajar dan pertumbuhan orang
dewasa.
3. Orang dewasa merupakan pribadi-pribadi yang terus menerus
mengalami perubahan. Sekalipun secara fisik orang dewasa tidak lagi
mengalami perkembangan, dalam arti pertumbuhan, justru terjadi
penurunan apalagi setelah berusia 40 tahun. Akan tetapi, dalam segi
pengalaman, mereka terus berubah dalam perjalanan waktu yang
mengikat. Setiap hari mereka berinteraksi dengan sesamanya dan
memasuki peristiwa-peristiwa penting. Mereka pun memberi makna
atas peristiwa yang dilihat maupun yang dialaminya.14 Melalui
pemahaman yang demikian, Majelis gereja hendaknya mau membuka
kemungkinan-kemungkinan model pendidikan yang dapat merubah
paradigma gereja dalam mendidik warganya. Shared Christian praxis
mengandung keyakinan bahwa pengalaman konkret manusia sangat
berharga. Pengalaman orang-orang pada masa kini dapat berdialog
dengan pengalaman atau cerita Alkitab di masa lalu. Melalui dialog
tersebut dapat memberikan pemahaman makna pengalaman konkrit 13 Wawancara dengan Pdt. Retno Ratih Suryaning Handayani, di Pastori I GKJ Manahan, pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2015, pada pukul 16.00 WIB 14 Sidjabat, op.cit., 33
hidup manusia melalui sudut pandang Alkitab. Pada saat yang sama,
semakin memahami makna pesan Alkitab dalam terang pengalaman
hidup masa kini.
Thomas H. Groome mendefinisikan Shared Christian Praxis sebagai :
“A partipative and dialogical pedagogy in which people reflect
critically on their own historical agency in time and place and on
their sociocultural reality, have access together to Christian
Story/vision, and personally appropriate it in community with the
creative intent of renewed praxis in Christian faoth toward God’s
reign for all creation.”15
Dari definisi Groome tersebut, kita dapat melihat bahwa Shared
Christian Praxis merupakan sebuah ilmu pendidikan yang partisipatif
dan dialogis. Partisipatif berarti melibatkan setiap orang yang ada di
dalamnya, baik pengalaman, pemikiran, maupun refleksi kritis orang
tersebut. Dialogis berarti terjadi dialog di dalam kegiatan tersebut baik
antarpeserta maupun antara pengalaman masa kini dan cerita Alkitab.
Hasil dialog tersebut, kemudian, menjadi praksis baru bagi iman
Kristen dalam mewujudkan kerajaan Allah. Shared Christian Praxis
adalah ilmu pendidikan untuk konasi (conation). Kata “konasi”
merupakan istilah kuno dalam bahasa latin dan disengaja. Kata kerja
“konasi” berarti dengan sengaja membuat sebuah usaha. Dalam
bahasa Yunani: kinesis, artinya gerakan, dan kinoun yang berarti
pelaku yang aktif. Konasi bukan sekedar mengetahui tetapi berbuat.
Misalnya, tidak sekedar mengetahui tentang keadilan tetapi berlaku
15 Groome, Thomas, Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry, (Louisville: Southern Baptist Theological seminary, 1991), 135
adil, tidak sekedar mengetahui tentang kasih tetapi berbuat belas
kasih. Konasi Kristen adalah keberadaan diri kita sebagai orang
Kristen dan melakukan nilai-nilai kristiani.16 Groome memiliki
maksud tertentu ketika ia memilih istilah Shared Christian Praxis
sebagai pendekatan yang ia kemukakan ini. Kata “berbagi” (Shared)
menekankan hubungan yang terjadi di antara peserta, yaitu hubungan
kemitraan yang saling melengkapi. Kata shared juga mengharapkan
adanya partisipasi aktif setiap peserta didik sehingga terjadi dialog.
Dialog yang dimaksud adalah terjadi percakapan antara pengalaman
hidup dan tradisi Kristen; dari kehidupan ke iman, dan kembali ke
kehidupan (life-faith-life). Pemikiran Groome dalam shared Christian
praxis dapat diwujudkan melalui pertemuan-pertemuan iman atau
yang disebut persekutuan. Metode sharing pengalaman iman, hidup
sehari-hari dengan tanggung jawab dan permasalahan yang dihadapi
mampu menguatkan kelompok orang dewasa di gereja, apalagi jika
dalam setiap program persekutuan dibuat dalam tema-tema yang
sesuai dengan kebutuhan keluarga seperti menjadi suami yang baik,
istri yang tangguh, orang tua teladan, parenting, perkawinan langgeng,
hubungan mertua-mantu, seks, dsb.
16 Kurniawati, Maryam, Pendidikan Kristiani Multikultural, (Tangerang: Bamboo Bridge press), 2014, 77
IV.2 Pendidikan Bagi Perkembangan Keluarga Muda
Pendidikan kepada usia dewasa muda (keluarga muda) yang
biasanya efektif dan jamak dilakukan oleh gereja adalah ketika mereka
hendak memasuki hidup berkeluarga. Program katekisasi pra-nikah atau
bimbingan pra-nikah adalah program andalan untuk membekali pasangan-
pasangan muda dalam menjalani hidup berkeluarga. Biasanya program
pembinaan ini dilaksanakan selama 6 bulan bahkan ada yang hanya 3
bulan sebelum pelaksanaan pernikahan. Sedangkan metode pembelajaran
yang digunakan dalam katekisasi pra-nikah menggunakan metode
pengajaran model “Bank Transfer”. Berupa mengkotbahi atau bercerita.
Umumnya masih dijumpai monolog dari pengajar, dan pendekatan yang
deduktif dengan “content-centered curriculum” sedangkan katekisan
tinggal mendengarkan dan menghafal. Metode pembelajaran untuk orang
dewasa belum menggunakan metode sesuai dengan pengajaran kepada
orang dewasa. Setelah program katekisasi atau bimbingan pra-nikah
selesai, praktis tidak ada program pendidikan yang dapat membimbing
keluarga muda dalam menghadapi pertumbuhan dan tanggung jawabnya.
Kebanyakan gereja menganggap bahwa materi katekisasi pra-nikah
yang diberikan dianggap sudah cukup untuk seluruh hidup kemudian.
Pengetahuan yang diberikan dirasa sudah mencukupi bagi bekal kehidupan
keluarga. Bahkan karena anggapan Majelis dan warga yang lebih tua
usianya, seringkali muncul dorongan yang kurang tepat terhadap
keterlibatan keluarga muda di gereja, misalnya seperti permintaan agar
para keluarga muda bisa langsung mengikuti kegiatan-kegiatan yang sudah
ada, baik di blok atau kegiatan di gereja melalui pemahaman Alkitab atau
persekutuan doa atau mengambil tanggung jawab lain dalam pelayanan di
gereja. Akibatnya, banyak dari keluarga muda yang enggan untuk
mengikuti kegiatan yang tidak sesuai kebutuhan mereka, seperti yang
diungkapkan oleh Pdt. Fritz Yohanes Dae Pany.17
Padahal jika Majelis Gereja melihat data jumlah keluarga muda
dengan usia pernikahan 0-10 tahun di GKJ Manahan, dari tahun 2005
sampai dengan tahun 2015 tercatat ada 278 pasang. Itu artinya ada 556
orang yang termasuk umur dewasa muda yang telah berkeluarga. Jumlah
yang cukup banyak untuk dibina bahkan menjadi potensi yang besar bagi
perkembangan gereja. Namun demikian, sejak direncanakan adanya
kegiatan persekutuan keluarga muda, jumlah kehadiran mereka yang
hanya 10-20 pasang tidak sebanding dari total pasangan keluarga muda.
Dalam pertemuan FGD hampir sebagian besar dari anggota keluarga muda
masih mengalami kesulitan untuk tegak berdiri di atas kaki sendiri, mereka
membutuhkan pertolongan dalam hal mengelola keuangan keluarga,
mengasuh anak, menghadapi persoalan-persoalan hidup, belum
sepenuhnya lepas dari bantuan orang tua secara finansial maupun dalam
hal lain, rentan terhadap godaan, masih kesulitan untuk mengendalikan
emosi, dsb.18
17 Wawancara dengan Pdt. Fritz Yohanes Dae Pany, pada hari Kamis tanggal 29 Oktober 2015 di rumah pastori GKJ Manahan pada pukul 19.30 WIB. 18 Wawancara dengan keluarga muda dalam FGD
Ketika gereja tidak dapat menyediakan wadah yang dapat menjawab
persoalan mereka, biasanya yang dilakukan adalah mencari tahu
persoalannya kepada teman sebaya, kepada rekan kerja, melalui media
elektronik, menyibukkan diri dengan pekerjaan dan hobi, dsb.19 Akibatnya,
yang pertama, banyak di antara keluarga muda yang kemudian semakin
menjauh dan asing dengan kegiatan gereja; yang kedua, gereja mengalami
kesulitan ketika mengundang mereka untuk mengikuti kegiatan termasuk
ketika seharusnya keluarga muda ambil bagian dalam pelayanan seperti
menjadi Majelis gereja menggantikan generasi tua.
Persoalan-persoalan inilah yang seharusnya dapat diperhatikan oleh
gereja dalam mengembangkan pembinaan kepada orang-orang dewasa
khususnya kepada keluarga muda. Mereka membutuhkan wadah bukan
hanya untuk tumbuh di dalam iman tetapi tumbuh dalam pengetahuan dan
tanggung jawabnya. Jika gereja mendasarkan tugas pelayanannya dalam
kerangka mendidik warga gereja maka pembinaan kepada orang dewasa di
dalam dan melalui warga gereja tidak lepas dari pembelajaran. Istilah
pembelajaran mengandung arti ‘pengelolaan kegiatan sedemikian rupa,
secara sadar tujuan, sehingga setiap peserta yang mengikuti kegiatan
pembinaan dapat mengalami proses belajar’. Melalui proses belajar,
diharapkan pula tiap-tiap peserta binaan mengalami perubahan, apakah
19 Ibid.
dalam aspek pengetahuan, sikap, ketrampilan, relasi atau dalam
keseluruhan aspek itu secara integral.20
Pendidikan Orang Dewasa (POD) diperlukan oleh gereja karena
merupakan bidang pelayanan yang sangat strategis oleh karena
bagaimanapun orang dewasa adalah orang Kristen garis depan yang
menghadapi dunia ini dengan segala tantangannya.21 Sedangkan dunia di
mana orang Kristen dan gereja ditempatkan adalah dunia yang penuh
dengan berbagai permasalahan. Oleh karena itu orang dewasa perlu
diperlengkapi dengan pemahaman terhadap permasalahan-permasalahan
tersebut dan mencoba meninjaunya dari perspektif atau sudut pandang
kristiani yang berdasarkan Alkitab serta didorong untuk turut serta dalam
penanggulangannya.22 Dalam hal ini POD tidak perlu dipandang sebagai
ancaman terhadap metode pembinaan lain yang sudah dikembangkan oleh
gereja tetapi POD ditempatkan sebagai pembimbing terhadap tugas dan
tanggung jawab gereja dalam mendidik warga dewasa dalam praktiknya.
Melalui penelitian yang telah dilakukan, ada hal-hal yang perlu
menjadi perhatian gereja dalam mendidik warga gereja dewasa khususnya
keluarga muda, yaitu :
1) Kesiapan seorang pendamping, dalam hal ini pendeta dan Majelis
Gereja termasuk di dalamnya pengurus KWD ketika membuat
program kegiatan persekutuan keluarga muda. Kesiapan tersebut
meliputi materi yang digunakan, dana yang harus dikeluarkan, 20 Sidjabat, op.cit. 177-178 21 Nuhamara, op.cit. 9 22 Ibid.
komitmen dan kesetiaan dalam mendampingi keluarga muda sampai
keluarga muda menemukan “dunia nyamannya” dalam kegiatan
persekutuan dan dengan kelompok seusia mereka. Mendampingi
orang dewasa membutuhkan kesabaran dan kesetiaan, khususnya
kepada keluarga muda yang sedang “disibukkan” dengan masa
penyesuaian dalam segala tugas dan tanggung jawabnya.
2) Berusaha untuk mengubah paradigma yang kurang mengukur dampak
positif dari suatu program maupun kegiatan yang dilaksanakan.
Karena pada umumnya gereja masih mengukur keberhasilan sebuah
kegiatan jika dana yang dikeluarkan sebanding dengan jumlah
kehadiran dalam penyelenggaraan. Hal ini berdampak pada kekurang
perhatian pada pertumbuhan rohani dan aspek lain yang justru lebih
penting bagi kehidupan. Contoh, ketika keluarga muda melakukan
kegiatan yang lebih bersifat refreshing, sudah muncul “kasak-kusuk”
yang mengatakan bahwa keluarga muda maunya hura-hura. Bahkan
menganggap bahwa kegiatan tersebut hanya menghambur-hamburkan
uang, sedangkan jika ada kegiatan yang lebih serius tidak mau datang.
3) Pemilihan Personalia Bidang Pembinaan Gereja belum sesuai dengan
keahlian, minat dan bakat. Berlaku juga terhadap kepengurusan
Komisi Warga Dewasa, unsur-unsur yang duduk dalam personalia
belum mewakili usia dewasa muda. Sehingga seringkali terjadi
kesalahpahaman terhadap apa yang sedang dilakukan oleh keluarga
muda. Pembicaraan ditingkat pengurus menjadi timpang, karena tidak
mengetahui kebutuhan keluarga muda.
4) Pengaruh orang tua para keluarga muda, baik dalam cara mendidik
anak, mengelola kehidupan rumah tangga, sampai pada keterlibatan
mereka dalam kegiatan di gereja masih nampak. Hal ini perlu
dipahami karena budaya timur dengan hubungan kekerabatan cukup
erat menjadi faktor kunci dalam mempengaruhi bagaimana orang
dewasa awal menjalani kehidupan barunya. Walaupun secara hukum
telah lepas dari tanggung jawab orang tua, namun dalam hidup sehari-
hari masih terdapat ketergantungan, terutama ketika belum stabil
secara ekonomi dan ketika mempunyai anak. Perasaan “pekewuh”
(tidak enak hati) kepada orang tua mereka, seringkali mempengaruhi
cara keluarga muda untuk menyatakan tanggung jawabnya baik secara
iman maupun hidup sehari-hari secara mandiri.
Jika pembinaan yang dikembangkan oleh gereja sesuai dengan
kebutuhan mereka maka hasilnya akan berbanding lurus pada sikap
partisipatif keluarga muda di gereja. Maksudnya adalah gereja perlu
mendesain setiap kegiatan yang dilaksanakan dengan melibatkan
sebanyak-banyaknya orang dewasa dalam merencanakan, dan
melaksanakannya. Oleh karena itu Gereja perlu mengembangkan Model
Pendidikan warga gereja seperti:23
23 Sidjabat, B.S, Pendewasaan……………….., 104-116
1. Pengembangan sikap kritis gereja karena biasanya di kelompok usia
ini cenderung menanggapi informasi dengan cara kritis, tidak asal
menerima, tetapi mempertanyakan mengapa harus demikian. Hal-hal
yang didapatkan dalam pembinaan tersebut dirasakan dapat
memperluas wawasan dan meningkatkan pemahaman mereka. Jika
tidak demikian, kegiatan pembinaan dipandang tidak membawa
manfaat. Pengalaman penulis ketika mengadakan FGD dengan
kelompok keluarga muda di gereja yang diteliti, menjelaskan
keadaan yang demikian. Dalam diskusi kelompok terarah (FGD)
menunjukkan perhatian yang cukup besar. Ketika tema diskusi
merupakan hal baru, terbuka ruang diskusi yang dinamis dan diajak
untuk bersama-sama berpikir tentang hal-hal yang dapat dilakukan
untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya, mereka menemukan
kembali karakteristik sebagai orang dewasa muda.
2. Peran Kelompok Sebaya. Seperti kegiatan kategorial lainnya,
demikian pula persekutuan keluarga muda membutuhkan peran dan
dukungan dari mereka yang mempunyai kebutuhan yang sama.
Peran kelompok sebaya mampu membawa suasana keterbukaan,
saling menerima, saling mendukung, dan saling membutuhkan satu
dengan yang lain. Prinsip homogentitas berlaku ketika mereka
mempunyai kebutuhan yang sama.
3. Pembinaan Pasangan Suami Istri
Pembinaan terhadap pasangan suami istri adalah upaya gereja untuk
memperkaya kehidupan pernikahan dan harmonisnya hubungan
suami-istri. Berbagai tema berkaitan dengan kasih, komunikasi
suami-istri atau komunikasi dalam keluarga, seks, relasi suami-istri,
kesehatan reproduksi, dsb, dapat menjadi tema-tema pembinaan
pasangan suami-istri.
4. Pengembangan Spiritualitas
Pembinaan bagi orang dewasa juga berkaitan dengan masalah iman
(faith) karena iman menjadi dasar atau fondasi dalam kehidupan.
Berkaitan dengan pembinaan iman, James Fowler mengingatkan
bahwa gereja tidak boleh terpaku pada isi atau content iman, tetapi
juga pada cara beriman. Menurut teori Fowler, orang dewasa awal
lazimnya memiliki cara beriman sintetik konvensional dan cara
beriman pribadi dan reflektif.24 Walaupun demikian, teori James
Fowler bukan satu-satunya dasar pemahaman gereja dalam melihat
perkembangan iman orang dewasa awal seperti yang sudah
ditelitinya. Hal ini mengingat perbedaan relasi, tradisi dan budaya
barat dan timur sehingga perlu ada penelitian khusus akan hal ini.
Namun yang pasti bahwa iman bukan sesuatu yang pasif, dan obyek
24 Cara beriman Sintetik-konvensional, ditandai dengan cara melihat, mengamati, meniru, dan mencari masukan dari orang lain termasuk teman sebaya, guru, mentor, orang-orang terkenal, juga dari literature (bahan bacaan). Mereka membuka diri pada pribadi dan kelompok yang dianggap dan dirasakan memeberikan perhatian dan dukungan. Sedangkan cara beriman individual-reflektif ditandai dengan kecenderungan untuk menyatakan iman dengan menekankan pengalaman, pengertian, dan pemahaman dirinya sendiri. Mereka mampu bersikap kritis terhadap dirinya juga mengenai keyakinan (ideology) yang diterimanya selama ini.
yang statis. Tetapi sesuatu yang dinamis, dan dapat berkembang.
Sekalipun perkembangan iman itu juga tidak seragam pada semua
orang dan walaupun semua orang menempuhnya dari taraf yang
rendah ke taraf yang lebih tinggi. Bahkan ada orang-orang yang
imannya mengalami stagnasi, walaupun aspek-aspek lain
berlangsung normal.25 Namun melalui studi Fowler tentang iman
kembali menegaskan bahwa tiap-tiap individu adalah unik dalam
segi perkembangan iman kepercayaan.26
5. Pertolongan dalam menghadapi Krisis.
Kelompok dewasa awal membutuhkan pengajaran dan bimbingan
krisis, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah keluarga,
pekerjaan, dan relasi-relasi sosial. Erickson memandang bahwa
perjalanan hidup manusia itu selalu diwarnai krisis psikologis
(emosional dan mental) sebagai hasil interaksi sosialnya dari
lingkungan terdekat (keluarga) hingga jauh (masyarakat luas). Untuk
orang dewasa awal, krisis kehidupan yang menonjol adalah
bagaimana membangun penerimaan dan harga diri yang sehat.
Adapun krisis lain yang mengemuka ialah bagaimana memelihara
keakraban (intimasi) dengan orang-orang yang dikasihi pada satu sisi
dan pada sisi lain bagaimana menghindari perasaan terasing (isolasi)
dalam persahabatan.27
25 Hadinoto, Atmadja, op.cit., 236 26 Ibid, 237 27 Sijabat, op.cit.115-116
6. Bantuan Menghadapi Stres.
Stres, depresi atau pikiran tertekan adalah bagian hidup manusia.
Kehidupan yang berat, krisis yang berkepanjangan, dan harapan-
harapan yang keliru atau tidak dapat tercapai kerap kali membuat
orang dewasa awal pun masuk ke dalam lembah stres yang
berkepanjangan atau depresi. Cara mengatasi stress dan mengadapi
depresi patut diperbincangkan bersama dengan kelompok orang
dewasa awal.
Bahkan Sidjabat mengutip pendapat Warren N. Wilbert
mengemukakan bahwa, dalam konteks gereja, pendidikan orang dewasa
itu pada prinsipnya memiliki tiga tujuan utama. Selain untuk pemberitaan
Injil (proclamation), pendidikan itu juga berguna untuk membangun
persekutuan (fellowship) sesama orang percaya serta untuk pembangunan
hidup atau pengasuhan (nurture) para peserta.28 Selain tujuan tersebut,
gereja juga harus mampu mewujudkan pendidikan untuk proses
transformasi bagi warga gereja, karena sebenarnya itu pula yang menjadi
karakter gereja. Transformasi pada dasarnya adalah sebuah proses
perubahan yang mendasar pada diri manusia. Pembelajaran atau
pendidikan yang transformatif adalah pembelajaran atau pendidikan yang
menghasilkan perubahan mendasar pada diri peserta didik (warga
28 Ibid.,
gereja).29 Dalam Injil Matius 4:18-22 (Lukas 5:1-11; Markus 1:16-20),
tatkala Tuhan Yesus memanggil Simon dan teman-temannya untuk
mengikut Dia, Yesus mengatakan : “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan
Kujadikan penjala manusia.” Selama 3 tahun, Tuhan Yesus telah
mengubah mereka dari penjala ikan, orang biasa, menjadi orang yang
berani untuk membuat perubahan dalam dirinya dan mewartakan kabar
keselamatan kepada semua orang.
Kemudian jika merujuk kepada teks 2 Timotius 3:15-17 proses
pendidikan jemaat dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan jemaat terdiri
atas beberapa hal yakni: pertama, menjadikan jemaat percaya dan
mengenal Alkitab; kedua, proses penemuan kebenaran firman Tuhan yang
pada gilirannya jemaat mengalami pembaharuan tingkah laku dan
menghidupi kebenaran; ketiga, menjadikan umat Tuhan menjadi pribadi
yang bijaksana dengan menghidupi iman di dalam Kristus; keempat,
dengan pendidikan kepada jemaat diharapkan warga gereja diperlengkapi
dan mengalami perubahan perbuatan menuju kesempurnaan kehidupan.
Melalui kegiatan pembinaan atau pendidikan yang diselenggarakan
oleh gereja dengan mempertimbangkan pendidikan orang dewasa dan
perkembangan manusia diharapkan membantu kelompok usia dewasa
muda (keluarga muda) untuk mengerti dirinya, menolong dalam masa
penyesuaiannya, mengembangkan pemahaman iman dan tanggung jawab
dalam kehidupan sehari-hari, ditengah jemaat dan masyarakat. Pembinaan 29 Moedzakir, djauzi, M., http://berkarya.um.ac.id/2010/02/konsep-dan-strategi-pembelajaran-transformasi-untuk-pls-oleh-m-djauzi-moedzakir-ketua-jurusan-pls-fip-um/, diakses pada tanggal 31 Januari 2015 pada jam 11.24 WIB.
warga gereja dituntut, direncanakan, dan perlu dikembangkan secara
kreatif mengingat banyak faktor yang mempengaruhi iman dan cara
beriman mereka. Pembinaan pemimpin dan pengerja di jemaat merupakan
keperluan yang berkesinambungan supaya mampu merespons tantangan
zaman mereka. Dalam hal ini, bukan hanya teologi dan Alkitab yang patut
dipelajari oleh para pembina. Mereka juga harus membuka diri dan belajar
ilmu pengetahuan sosial serta mendengarkan kontribusinya dalam
memahami tugas perkembangan manusia dan caranya belajar.30
30 Sidjabat, op.cit., 274