BAB IV STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG...
Transcript of BAB IV STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG...
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-1
BAB IV
STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PERHUBUNGAN
DI PROPINSI PAPUA BARAT
A. Angkutan Jalan
1. Jaringan Pelayanan Angkutan Jalan
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
pelayanan Minimal Bidang perhubungan daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota,
jenis pelayanan dasar adalah angkutan jalan, salah satu di antaranya adalah jaringan
pelayanan angkutan jalan. Standar pelayanan minimal yang ditetapkan dalam hal ini
adalah “tersedianya angkutan umum yang melayani wilayah yang tersedia jaringan
Propinsi. Nilai yang ditetapkan dengan batas waktu tahun 2014 adalah 100 %, yang
dilaksanakan oleh dinas Perhubungan Propinsi.
Jaringan lalu lintas dan angkutan jalan adalah serangkaian simpul dan/atau ruang
kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat
lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan. 1 Jaringan trayek
dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun berdasarkan: a. tata ruang
wilayah; b. tingkat permintaan jasa angkutan; c. kemampuan penyediaan jasa
angkutan; d. ketersediaan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e.kesesuaian
dengan kelas jalan; f. keterpaduan intramoda angkutan; dan g. keterpaduan antarmoda
angkutan. Jaringan trayek dan kebutuhan kendaraan bermotor umum disusun dalam
bentuk rencana umum jaringan trayek 2
Penyusunan rencana umum jaringan trayek dilakukan secara terkoordinasi dengan
instansi terkait. Rencana umum jaringan trayek terdiri atas: a. jaringan trayek lintas
batas Negara, b. jaringan trayek antarkota antarprovinsi, c. jaringan trayek antarkota
dalam provinsi; d. jaringan trayek perkotaan; dan e. jaringan trayek perdesaan. Rencana umum jaringan trayek dikaji ulang secara berkala paling lama 5 (lima)
tahun3. Untuk mewujudkan angkutan antar kota dalam propinsi dibutuhkan dua aspek
yaitu; a. jaringan jalan propinsi, dan b. angkutan yang disebut AKDP ( Angkutan kota
dalam propinsi). Ada kalanya, tersedia jaringan jalan propinsi namun belum dilayani
angkutan atau AKDP. Propinsi Papua Barat yang berumur kurang lebih 6 tahun
sekarang ini memiliki jaringan antarkota/kabupaten dalam propinsi sebanyak tigabelas
(13) jaringan jalan. Peranan jaringan jalan propinsi dan angkutan kota dalam propinsi
relatif besar untuk memobilisasi pergerakan barang dan penumpang antar kota dalam
propinsi, bahkan tidak kalah pentinya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
daerah.lebih jelasnya profil jaringan jalan Propinsi Papua Barat dapat dilihat pada
tabel berikut.
1 Undang – Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pada Pasal 1 2 Ibid, Pasal 144 3 Ibid, Pasal 145
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-2
Tabel 4.1. Jaringan Jalan Propinsi di Propinsi Papua Barat Dalam Tahun 2013 No Jaringan Jalan Yang Sudah Terlayani AKDP
1 Manokwari ( Kota Manokwari - Manokwari Selatan (Kab Manokwari
Selatan)
2 Manokwari (Kota Manokwari) – Manokwari Selatan (Kab
Manokwari ) – Pengunugan Arfak ( Kab Arfak )
3 Manokwari ( Kota Manokwari ) – Kembar ( Kab Trambrauw )
4 Sorong ( Kota Sorong ) – Teminambau ( Kab Sorong Selatan )
5 Sorong ( Kota Sorong ) – Mega ( Kab Tambrauw )
6 Sorong ( Kota Sorong ) – Ayamaru ( Kab Sorong selatan ) –Maybart
(Kab Maybart )
7 Sorong ( Kab Sorong ) - Aimas (Kan Sorong Selatan )
8 Manokwari (Kota Manokwari ) – Ransiki (Kab Manokwari Selatan)
9 Sorong ( Kota Sorong ) – Aimas ( Kab Sorong Selatan )
10 Sorong - Klamono – Ayamaru – Maruni ( Rencana )
11 Manokwari – Manuri – Mameh – Binturi ( Rencana )
12 Sorong – Malebon – Megan ( Rencana )
13 Fakfak – Hurumber – Bomben (Rencana)
Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Ditjen Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum, 2013
Jaringan jalan propinsi seperti dijelaskan sebelumnya, sebaiknya dimanfaatkan
sebagai prasarana angkutan seperti halnya AKDP. Artinya, jaringan jalan propinsi dan
angkutan adalah merupakan suatu sistem untuk mendorong adanya transportasi dan
pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional pada umumnya. Karena itu, jaringan jalan
propinsi harus dilayani adanya AKDP. Berdasarkan data dan informasi dari Dinas
Perhubungan & Informtika Propinsi Papua Barat, dari tiga belas jaringan propinsi
yang sudah dilayani AKDP hanya Sembilan (9) jaringan. Lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 4.2. Jaringan Jalan Propinsi Yang Sudah Terlayani AKDP DI Propinsi Papua
Barat Dalam Tahun 2013
No Jaringan Jalan Yang Sudah Terlayani
AKDP
Jmlh
AKDP
Yang
Ada
Kebutuhan
AKDP
Jmlh
AKDP
Belum
Terpenuhi
1 Manokwari (Kota Manokwari -
Manokwari Selatan (Kab Manokwari
Selatan)
4 5 1
2 Manokwari (Kota Manokwari)–
Manokwari Selatan (Kab Manokwari) –
Pengunugan Arfak (Kab Arfak)
4 4 -
3 Manokwari (Kota Manokwari) – Kembar
(Kab Trambrauw)
5 2 3
4 Sorong (Kota Sorong) – Teminambau
(Kab Sorong Selatan )
5 7 2
5 Sorong (Kota Sorong) – Mega ( Kab
Tambrauw)
2 4 2
6 Sorong (Kota Sorong) – Ayamaru (Kab
Sorong Selatan) –Maybart (Kab Maybart)
8 5 3
7 Sorong (Kab Sorong) - Aimas (Kan
Sorong Selatan)
6 4 2
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-3
No Jaringan Jalan Yang Sudah Terlayani
AKDP
Jmlh
AKDP
Yang
Ada
Kebutuhan
AKDP
Jmlh
AKDP
Belum
Terpenuhi
8 Manokwari (Kota Manokwari) – Ransiki
(Kab Manokwari Selatan)
6 4 2
9 Sorong (Kota Sorong) – Aimas (Kab
Sorong Selatan)
9 6 3
10 Sorong - Klamono – Ayamaru – Maruni
(Rencana)
- - -
11 Manokwari – Manuri – Mameh – Binturi
(Rencana)
- - -
12 Sorong – Malebon – Megan (Rencana) - - -
13 Fakfak – Hurumber – Bomben (Rencana) - - -
Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Ditjen Bina Marga- Kementerian Pekerjaan Umum, 2012
Berdasarkan data tersebut di atas, nilai capaian tersedianya angkutan umum yang
melayani wilayah yang telah tersedia jaringan jalan jalan propinsi dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut4;
% Pelayanan Angkutan Jalan
∑ Jaringan Jalan Propinsi Terlayani Angkutan Umum
= x 100 %
∑ Jaringan Jalan Propinsi
9
= x 100 %
13
= 69,23 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi, jaringan jalan propinsi
disetiap propinsi sudah terlayani hingga tahun 2014 dengan nilai 100 %. Namun
kenyataannya, hingga tahun 2012 nilai capaian hanya sebesar 69,23 %. Artinyam
masih ada jaringan jalan propinsi yang belum terlayani, dan hal ini disebabkan karena
masih banyak jaringan jalan yang dalam kondisi rusak. Akibatnya, para pengusaha
angkutan/pemilik kendaraan AKDP kurang berminat melayani jalan propinsi yang
sudah ada. Kondisi jalan dalam kondisi rusak sangat tidak layak dilintas AKDP.
Sebagai gambaran kondisi jalan dan AKDP sedang melintas jalan propinsi dapat
dilihat pada gambar berikut.
4 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-4
Gambar 4.1. Jaringan Trayek AKDP Provinsi Papua Barat
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-5
Gambar 4.2. Kondisi fisik jalan propinsi dan angkutan
Dalam kondisi jalan rusak, mengakibatkan kendaraan cepat rusak dan biaya
operasional akan tinggi disebabkan waktu tempuh semakin lama. Apalagi dalam
kondisi hujan, jalan menjadi berlumpur. Di lain pihak, kendaraan yang digunakan
mengakibatkan biaya pemeliharaan sangat tinggi dan mudah rusak.
Dalam rangka mengatasi permasalahan kerusakan jalan propinsi sekarang ini,
sebaiknya pemerintah daerah Propinsi Papua Barat mengalokasikan anggaran relatif
lebih banyak untuk perbaikan jalan propinsi. Karena dengan perbaikan jalan propinsi,
mobilisai pergerakan barang dan penumpang antar kabupaten/kota dalam Propinsi
Papua Barat semakin lancar. Akibatnya, akan berdampak positit terhadap peningkatan
nilai tambah berbagai komoditas antar kabupaten/kota yang ada di Propinsi Papua
Barat. Lebih jelasnya kondisi jalan propinsi dan kondisi jalan nasional maupun
kabupaten di Propinsi Papua Barat dapat dilihat pada gambar berikut.
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-6
Gambar 4.3. Kondisi perkerasan jalan di Propinsi Papua Barat, 2013
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-7
SKETSA KONDISI RUAS JALAN
MANOKWARI-SORONG
Snopy
Maruni
MANOKWARI
Warmare
Prafi
KM 96
Kebar KM 201
Klamono
SORONG
KM 498
KM 546
Keterangan : - ASPAL- KERIKIL- HUTAN
= 147 KM= 329 KM= 70 KM
Ayamaru
Kumurkek
Ayawasi
Susumuk
Kambuaya
Fategoni
KM 271KM 369
Ke Bintuni
Ke Bintuni
Ke Teminabuan
Gambar 4.4. Kondisi Ruas Perkerasan Jalan Sorong Manokwari
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-8
Gambar 4.5. Jaringan Jalan Provinsi Papua
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-9
2. Jaringan Prasarana Angkutan Jalan
Jaringan prasarana angkutan jalan dalam hal ini ditekankan pada ratio terminal Tipe A
terhadap jumlah jaringan nasional. Karena dengan adanya terminal tipe A, merupakan
indikasi adanya pegerekan penduduk dari satu propinsi ke propinsi lainnya. Terminal
penumpang tipe A berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota
antar propinsi dan/atau angkutan lintas batas negara, angkutan antar kota dalam
propinsi, angkutan kota dan angkutan pedesaan. Fasilitas utama terminal terdiri dari: a.
jalur pemberangkatan kendaraan umum; b. jalur kedatangan kendaraan umum; c.
tempat parkir kendaraan umum selama menunggu keberangkatan, termasuk di
dalamnya tempat tunggu dan tempat istirahat kendaraan umum; d. bangunan kantor
terminal; dan e. tempat tunggu penumpang dan/atau pengantar; f.menara pengawas; g.
loket penjualan karcis; h. rambu-rambu dan papan informasi, yang sekurang-
kurangnya memuat petunjuk jurusan, tarif dan jadual perjalanan; i. pelataran parkir
kendaraan pengantar dan/atau taksi. Sementara fasilitas penunjang adalah meliputi; a.
kamar kecil/toilet; b. musholla; c. kios/kantin; d. ruang pengobatan; e. ruang informasi
dan pengaduan; f. telepon umum; g. tempat penitipan barang; h. taman 5
Lokasi tapak terminal penumpang tipe A harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. terletak dalam jaringan trayek antar kota antar propinsi dan/atau angkutan lintas
batas negara;b terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas III
A; c. mempunyai akses jalan masuk dan/atau jalan keluar ke dan dari terminal dengan
jarak sekurang-kurangnya 100 m di Pulau Jawa dan 50 m di pulau lainnya, dihitung
dari jalan ke pintu keluar atau masuk terminal 6
Lokasi tampak terminal penumpang tipe A harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut; a. terletak dalam jaringan trayek antar kota antar propinsi dan/atau angkutan
lintas batas Negara, b. terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya
kelas III A, c. jarak antara 2 ( dua ) terminal penumpang tipe A, sekurang-kurangnya
20 km di Pulau Jawa, dan 30 Km di Pulau Sumatera dan 50 Km di Pulau Lainnya, d.
luas lahan yang tersedia sekurang-kurangnya 5 ha untuk terminal di Pulau Jawa dan
Sumatera, dan 3 Ha di Pulau lainnya, e. mempunyai akses jalan masuk atau jalan
keluar ke dan dari terminal dengan jarak sekurangnya-kurangnya 100 meter di Pulau
Jawa dan 50 meter dan 50 meter di pulau lainnya, dihitung dari jalan ke pintu keluar
atau masuk terminal 7
Berdasarkan data dan informasi dari Dinas Perhubungan & Informatika c.g Bidang
Program Propinsi Papua Barat jumlah ternyata terminal tipe A hingga sekarang belum
ada di Propinsi Papua Barat. Sementara jaringan jalan nasional terdapat satu (1) dan
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.
5 Keputusan Menteri Perhubungan N0. 31 Tahun 1995 tentang Terminal Transportasi pada Pasal 2 ayat
( 2), Pasal 4 dan Pasal 5 6 Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat No. SK.1361/AJ. 106/DRJD/2003 tentang Penetapan Simpul
Jaringan Transportasi Jalan Untuk Terminal Penumpang Tipe A di Seluruh Indonesia pada Pasal 5 7 Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat No. SK.76/AJ/102DRJD/2000 tentang Penetapan Simpul Jaringan
Transportasi Jalan Untuk Terminal Penumpang Tipe A di Seluruha Indonesia pada Pasal 5
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-10
Gambar 4.6. Jaringan Jalan Nasional Provinsi Papua
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-11
Berdasarkan data dalam peta tersebut di atas, ternyata jalan nasional/arteri terdapat
satu(1), sementara jumlah terminal tipe A di Propinsi Papua Barat hingga sekarang belum
ada. Berkenaan dengan itu, nilai capaian tersedianya terminal angkutan penumpang tipe
A pada setiap propinsi untuk melayani angkutan umum dalam trayek antarkota antar
propinsi (AKAP) atau angkutan lintas batas Negara (ALBN) dihitung dengan
menggunakan rumusan 8;
∑ Prasarana Penumpang Tipe A
= x 100 %
Jumlah Jaringan Pelayanan AKAP/ALBN
0
= x 100 %
1
= 0 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
pelayanan Mnimal Bidang Perhubungan untuk daerah Propinsi telah ditetapkan bahwa
dalam tahun 2014 nilai capaian ditetapkan sebesar 100 % . Hal ini tidak mungkin dapat
dicapai, mengingat Propinsi Papua Barat, baru terbentuk kurang lebih 5 tahun. Karena
itu, peluang untuk pembangunan Terminal Tipe A belum ada, apalagi dengan kondisi
sekarang, sulitnya mencari lahan untuk dijadikan terminal tipe A. Namun untuk beberapa
tahun mendatang ada kemungkinan bilamana masyaratakat setempat memiliki tingkat
kesadaran bahwa pembangunan berdampak positif dalam kehidupan masyarakat seperti
halnya pembangunan terminal Tipe A.
Gambar 4.7. Kondisi Salah Satu Terminal di Provinsi Papua Barat
8 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-12
Gambar 4.8. Rencana Pembangunan Terminal AKAP Provinsi Papua Barat
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-13
3. Fasilitas Perlengkapan Jalan
Fasilitas perlengkapan jalan yang telah dibangun di Propinsi Barat adalah meliputi; a.
rambu, b. marka, c. pagar pengaman, d. Deliniator , e. Cermin tikungan, f. paku jalan,
g. alat pemberi isiyarat lalu lalu lintas, dan lampu peneranga. Fasilitas perlengakapan
jalan telah dibangun pada ruas jalan jalan propinsi. Lebih jelasnya pembangunan
perlengkapan jalan di bebera ruas jalan propinsi dapat dilihat sebagai berikut;
a. Fasilitas Perlengkapan Rambu
Rambu-rambu lalu lintas di jalan yang selanjutnya disebut rambu adalah salah
satu dari perlengkapan jalan, berupa lambing, huruf, angka, kalimat dan/atau
perpaduan di antaranya sebagai peringatan, larangan, perintah atau petunjuk bagi
pemakai jalan9 Fasilitas perlengkapan rambu telah dibangun di jalan propinsi
pada ruas jalan sebanyak enambelas (16). Dari sejumlah kebutuhan perlengkapan
rambu di ruas jalan propinsi, ternyata hingga sekarang belum terpenuhi secara
keseluruhan, hal ini mungkin disebabkan karena keterbatasan anggaran yang
telah tersedia dan dilain pihak karena kondisi jalan yang masih banyak rusak.
Lebih jelasnya profil pembangunan/pemasangan rambu di ruas jalan propinsi
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.3. Fasilitas Pembangunan Rambu di Beberapa Ruas Jalan Propinsi
Papua Barat
No Ruas Jalan Panjang
(Km )
Kebutuhan
(Unit)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(Unit)
Sisa
(Unit)
1 Jln Yos Sudarso-Jln
Basuki Rahmat
( Sorong)
18,32 40 23 17
2 Bts Kota Sorong-
Klamodo 30,09 90 48 42
3 Klamodo-Bts Kab
Sorong- Sorong Selatan 60,08 200 - 200
4 Bts Kab Sorong
Selatan- Kambuaya 67,73 300 - 300
5 Kabuaya- Susumak 25,86 125 - 125
6 Susumak-Kumurkeh 12,34 88 - 88
7 Kumurkeh-Ayamasi-
Snopy- Bts Kab Sorong 137,81 450 - 450
8 Snopy Bts Kab Sorong
Selatan- manokware 145 420 127 298
9 Prafi-Warmare-Maruni 68,8 188 - 188
10 Maruni- Jln Drs Esau
Sesa ( Manokware) 40,12 140 103 37
11 Maruni-Oransbari 54,06 148 - 148
12 Oransbari- Ransiki 39,32 128 - 128
13 Ransiki- Mameh 53,21 200 - 200
14 Mameh- Buntuni 70,56 235 - 235
9 Keputusan Menteri Perhubungan No. 61 Tahun 1993 tentang Rambu-Rambu Lalu Lntas di Jalan pada
Pasal 1 point (1)
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-14
No Ruas Jalan Panjang
(Km )
Kebutuhan
(Unit)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(Unit)
Sisa
(Unit)
15 Bomberai- Baham-
Hurimber 113,28 310 - 310
16 Bts Kota Fakfak-
Hurimber - Kokas 26,65 45 - 45
TOTAL 869,51 3.107 278 2.829
Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Ditjen Bina Marga- Kementerian Pekerjaan Umum, 2013
Berdasarkan kebutuhan dan realisasi pembangunan/pemasangan rambu pada
beberapa ruas jalan proinsi, maka nilai capaian persentase perlengkapan rambu di
jalan Propinsi Papua Barat dapat dihitung dengan rumus 10
% Fasilitas perlengkapan rambu
∑ Fasilitas Perlengkapan Rambu Jalan Terpasang di Jalan Propinsi
= x 100 %
Total Kebutuhan Fasilitas Rambu di Jalan Propinsi
278 unit
= x 100 %
3.107 unit
= 8,94 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi , bawah tersedianya
fasilitas perlengkapan jalan termasuk rambu ditetapkan pada tahun 2014
mencapai nilai 60 %. Sementara nilai capaian tahun 2012 hanya 8,94 %.
Berkenaan dengan itu, nilai capaian yang harus dicapai hingga tahun 2014
terdapat 51,06 % ( 60 % - 8,94 % = 51,06 % ). Untuk mencapai nilai sebesar
51,06 %, Pemerintah Daerah Propinsi sebaiknya mengalokasikan dana yang
relatif besar, agar dapat mencapai ketertigalan tersebut.Di lain pihak, arus lalu
lalintas dan kecelakan juga akan dapat dihindarkan.
10 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-15
Gambar 4.9. Rambu yang terdapat di Provinsi
Papua Barat
b. Fasilitas Perlengkapan Marka
Marka jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan atau di atas
permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis
membujur, garis melintang, garis serong serta lambing lainnya yang berfungsi
untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas 11. Fasilitas perlengkapan marka memiliki peran untuk memberikan batasan
ruang lalu lintas kendaraan bermotor dan keselamatan berlalu lintas. Karena
itulah pembangunan/pemasangan marka telah diupayakan pembangunannya di
enambelas (16) ruas jalan propinsi di Papua Barat. Lebih jelasnya profil
pembangunan/pemasangan perlengkapan marka di ruas jalan Propinsi Papua
Barat dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 4.4. Fasilitas Pembangunan Marka di Beberapa Ruas Jalan Propinsi
Papua Barat
No
Ruas Jalan
Panjang
(Km )
Kebutuhan
(meter)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(meter)
Sisa
(meter)
1 Jln Yos Sudarso-Jln
Basuki Rahmat
( Sorong)
18,32 75.000 10.000 65.000
2 Bts Kota Sorong-
Klamodo 30,09 65.000 20.000 45.000
3 Klamodo-Bts Kab
Sorong- Sorong Selatan 60,08 128.000 - 128.000
4 Bts Kab Sorong
Selatan- Kambuaya 67,73 140.000 - 140.000
5 Kabuaya- Susumak 25,86 71.000 - 71.000
6 Susumak-Kumurkeh 12,34 32.000 - 32.000
7 Kumurkeh-Ayamasi-
Snopy- Bts Kab Sorong 137,81 250.000 - 250.000
8 Snopy Bts Kab Sorong
Selatan- manokware 145 350.000 - 350.000
9 Prafi-Warmare-Maruni 68,8 143.000 - 143.000
10 Maruni- Jln Drs Esau
Sesa ( Manokware) 40,12 82.000 - 82.000
11 Keputusan Menteri Perhubungan No. 60 Tahun 1993 tentang Marka Jalan Pada Pasal 1 point (1)
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-16
No
Ruas Jalan
Panjang
(Km )
Kebutuhan
(meter)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(meter)
Sisa
(meter)
11 Maruni-Oransbari 54,06 95.000 - 95.000
12 Oransbari- Ransiki 39,32 82.000 - 82.000
13 Ransiki- Mameh 53,21 100.000 - 100.000
14 Mameh- Buntuni 70,56 165.000 - 165.000
15 Bomberai- Baham-
Hurimber 113,28 243.000 - 243.000
16 Bts Kota Fakfak-
Hurimber - Kokas 26,65 54.000 - 54.000
TOTAL 869,51 1.985.000 30.000 1.955.000
Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Ditjen Bina Marga- Kementerian Pekerjaan Umum, 2013
Berdasarkan kebutuhan dan realisasi pembangunan/pemasangan marka pada
beberapa ruas jalan proinsi, maka nilai capaian persentase perlengkapan marka
jalan di Propinsi Papua Barat dapat dihitung dengan rumus 12
% Fasilitas perlengkapan marka
∑ Fasilitas Perlengkapan Marka Jalan Terpasang di Jalan Propinsi
= x 100
%
Total Kebutuhan Fasilitas Marka di Jalan Propinsi
30.000 meter
= x 100 %
1.985.000 metert
= 1,51 %
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi , bawah tersedianya
fasilitas perlengkapan jalan termasuk marka ditetapkan pada tahun 2014
mencapai nilai 60 %. Sementara nilai capaian tahun 2012 hanya 1,51 %.
Berkenaan dengan itu, nilai capaian yang harus dicapai hingga tahun 2014
terdapat 58,49 % ( 60 % - 1,51 % = 58,49 % ). Untuk mencapai nilai sebesar
58,49 %, Pemerintah Daerah Propinsi sebaiknya mengalokasikan dana yang
relatif besar, agar dapat mencapai ketertigalan tersebut. Di lain pihak, arus lalu
lintas dan kecelakan juga akan dapat dihindarkan.
12 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-17
Gambar 4.10. Kondisi Marka di Provinsi Papua Barat
c. Fasilitas Pagar Pengaman
Pagar pengaman berfungsi untuk melindungi daerah atau bagian jalan yang
membahayakan bagi lalu lintas, digunakan pada daerah seperti adanya: a. jurang
atau lereng dengan kedalaman lebih dari 5 (lima) meter; b. tikungan pada bagian
luar jalan dengan radius tikungan lebih dari 30 (tiga puluh) meter; dan c.
bangunan pelengkap jalan tertentu. Pagar pengaman secara fisik bisa berupa: a.
pagar rel yang bersifat lentur (guardrail); b. pagar kabel (wire rope); dan c. pagar
beton yang bersifat kaku seperti beton penghalang lalu lintas (concrete
barrier/jersey barrier). Pagar pengaman dipasang pada tepi luar badan jalan
dengan jarak paling dekat 0,6 (nol koma enam) meter dari marka tepi jalan.
Pemilihan jenis pagar pengaman harus empertimbangkan: 1). kecepatan rencana;
2). ruang yang tersedia untuk mengakomodasikan defleksi pagar saat terjadi
tabrakan; 3). memiliki kekuatan yang bisa menahan laju kendaraan yang hilang
kendali; 4). dapat mengurangi dampak tabrakan tanpa menimbulkan kecelakaan
yang lebih parah; 5). dapat mengarahkan kembali kendaraan yang hilang kendali
ke jalur lalu lintas dengan baik. Pagar pengaman dilengkapi dengan tanda dari
bahan bersifat reflektif dengan warna sesuai dengan warna patok pengarah pada
sisi yang sama 13
Fasilitas perlengkapan pagar pengaman memiliki peran yang relatif besar untuk
memberikan keamanan bagi pengendara kendaraan bermotor dan keselamatan
berlalu lintas. Karena itulah pembangunan/pemasangan pagar pengaman telah
diupayakan dibeberapa ruas jalan yang dianggap berbahaya bagi kendaraan
bermotor. Namun dari semua kebutuhan yang telah ditetapkan, hingga sekarang
belum semuanya terealisir. Lebih jelasnya gambaran dan realisasi
pembangunan/pemasangan pagar pengaman di beberapa ruas jalan Propinsi
Papua Barat dapat dilihat pada tabel berikut
13 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan
Kriteria Perencanaan Teknis Jalan Pada Pasal 36
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-18
Tabel 4.5. Fasilitas Pembangunan Pengaman di Beberapa Ruas Jalan Propinsi
Papua Barat
No
Ruas Jalan
Panjang
(Km )
Kebutuhan
(meter)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(meter)
Sisa
(meter)
1 Jln Yos Sudarso-Jln
Basuki Rahmat
( Sorong)
18,32 - - -
2 Bts Kota Sorong-
Klamodo
30,09 634 - 634
3 Klamodo-Bts Kab
Sorong- Sorong Selatan
60,08 852 - 852
4 Bts Kab Sorong
Selatan- Kambuaya
67,73 - - -
5 Kabuaya- Susumak 25,86 - - -
6 Susumak-Kumurkeh 12,34 765 230 535
7 Kumurkeh-Ayamasi-
Snopy- Bts Kab Sorong
137,81 1.587 - -
8 Snopy Bts Kab Sorong
Selatan- manokware
145 1.100 - -
9 Prafi-Warmare-Maruni 68,8 - - -
10 Maruni- Jln Drs Esau
Sesa ( Manokware)
40,12 - - -
11 Maruni-Oransbari 54,06 - - -
12 Oransbari- Ransiki 39,32 124 - -
13 Ransiki- Mameh 53,21 - - -
14 Mameh- Buntuni 70,56 - - -
15 Bomberai- Baham-
Hurimber
113,28 1.354 - -
16 Bts Kota Fakfak-
Hurimber - Kokas
26,65 - - -
TOTAL 869,51 6.416 230 6.186
Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Ditjen Bina Marga- Kementerian Pekerjaan Umum, 2013
Dari perolehan data kebutuhan dan realisasi pembangunan/pemasangan pagar
pengaman pada beberapa ruas jalan propinsi, maka nilai capaian persentase
perlengkapan pagar pengaman di jalan Propinsi Papua Barat dapat dihitung
dengan rumus 14
% Fasilitas perlengkapan pagar pengaman;
∑ Fasilitas Perlengkapan Pagar Pengaman Jalan Terpasang di Jalan Propinsi
= x 100 %
Total Kebutuhan Fasilitas Pagar Pengaman di Jalan Propinsi
230 meter
= x 100 % = 3,58 %
6.416 meter
14 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-19
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi telah ditetapkan,
bawah tersedianya fasilitas perlengkapan jalan termasuk Pagar Pengaman di jalan
propinsi ditetapkan pada tahun 2014 mencapai nilai 60 %. Sementara nilaian
capaian pada tahun 2012 hanya 3,5 %. Berkenaan dengan itu, nilai capaian yang
harus dicapai hingga tahun 2014 terdapat 56,42 % ( 60 % - 3,58 % = 56,42 % ).
Untuk mencapai nilai sebesar 56,42 %, Pemerintah Daerah Propinsi sebaiknya
mengalokasikan dana yang relatif besar, agar dapat mencapai ketertigalan dan di
lain pihak, keamanan dan kelancaran lalu lintas angkutan jalan dapat direalisir..
Gambar 4.11. Pagar Pengaman di Provinsi Papua Barat
d. Fasilitas Perlengkapan Jalan Deliniator
Patok tanda tikungan (delineator) adalah suatu unit konstruksi yang diberi tanda
yang dapat memantulkan cahaya (refeltif) berfungsi sebagai pengarah dan
sebagai peringatan bagi pengemudi pada waktu malam hari, bahwa di sisi kiri
atau kanan delineator adalah daerah berbahaya. Unit konstruksi dapat berupa
pipa besi atau pipa plastik yang diberi tanda yang dapat memantulkan cahaya
(reflektif ) 15. Karena itu, peranan delineator sebagai pengaman bagi pengendara
kendaraan bermotor sangat diperlukan. Melihat perananan tersebut cukup besar,
maka di Propinsi Papua Barat telah dilakukan pembangunan/pemasangan dan
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.6. Fasilitas Pembangunan Deliniator di Beberapa Ruas Jalan Propinsi
Papua Barat
No Ruas Jalan Panjang
(Km )
Kebutuhan
(meter)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(meter)
Sisa
(meter)
1 Jln Yos Sudarso-Jln
Basuki Rahmat
( Sorong)
18,32 - - -
2 Bts Kota Sorong-
Klamodo 30,09 - - -
3 Klamodo-Bts Kab
Sorong- Sorong
Selatan
60,08 - - -
4 Bts Kab Sorong
Selatan- Kambuaya 67,73 - -
15 Keputusan Menteri Perhubungan No. 3 Tahun 1994 tentang Pengendali Pengamanan Pemakai Jalan
Pada Pasal 22
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-20
No Ruas Jalan Panjang
(Km )
Kebutuhan
(meter)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(meter)
Sisa
(meter)
5 Kabuaya- Susumak 25,86 - - -
6 Susumak-Kumurkeh 12,34 - - -
7 Kumurkeh-Ayamasi-
Snopy- Bts Kab
Sorong
137,81 1.100 200 900
8 Snopy Bts Kab Sorong
Selatan- manokware 145 - - -
9 Prafi-Warmare-Maruni 68,8 - - -
10 Maruni- Jln Drs Esau
Sesa ( Manokware) 40,12 578 150 428
11 Maruni-Oransbari 54,06 - - -
12 Oransbari- Ransiki 39,32 - - -
13 Ransiki- Mameh 53,21 - - -
14 Mameh- Buntuni 70,56 - - -
15 Bomberai- Baham-
Hurimber 113,28 - - -
16 Bts Kota Fakfak-
Hurimber - Kokas 26,65 - - -
TOTAL 869,51 1.678 350 1.326
Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Ditjen Bina Marga- Kementerian Pekerjaan Umum, 2013
Dengan data kebutuhan dan realisasi pembangunan/pemasangan deliniator pada
beberapa ruas jalan provinsi seperti telah dijelaskan sebelumnya, maka nilai
capaian persentase perlengkapan delineator di jalan Propinsi Papua Barat dapat
dihitung dengan rumus 16
% Fasilitas perlengkapan deliniator;
∑ Fasilitas Perlengkapan Deliniator Jalan Terpasang di Jalan Propinsi
= x 100 %
Total Kebutuhan Fasilitas delineator di Jalan Propinsi
350 meter
= x 100 %
1.678 meter
= 20,85 %
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi telah ditetapkan,
bawah tersedianya fasilitas perlengkapan jalan termasuk Pagar Pengaman di jalan
propinsi ditetapkan pada tahun 2014 mencapai nilai 60 %. Sementara nilai
capaian perlengkapan delineator pada tahun 2012 hanya 20,8 %. Haol ini berarti,
16 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Standar Pelayanan Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten /Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-21
nilai capaian yang harus dicapai hingga tahun 2014 terdapat 39,15 % ( 60 % -
20,85 % = 39,15 % ). Untuk mencapai nilai sebesar 39,15 %, Pemerintah Daerah
Propinsi sebaiknya mengalokasikan dana yang relatif besar, agar dapat mencapai ketertinggalan.
Gambar 4.12. Kondisi Delinearator di
Provinsi Papua Barat
e. Fasilitas Perlengkapan Jalan Cermin Tikungan
Cermin tikungan adalah kelengkapan tambahan pada jalan yang berfungsi
sebagai alat untuk menambah jarak pandang pengemudi kendaraan bermotor.
Kelengakapan tambahan dapat berupa suatu unit konstruksi yang terdiri dari
cermin , bingkai cermin, tiang penyangga dan pengikatnya. Cermin tikungan
dipasang pada tepi jalan pada lokasi-lokasi dimana pandangan pengemudi
kendaraan bermotor sangat terbatas atau terhalang khususnya pada tikungan
tajam dan persimpangan jalan . Pembuatan cermin tikungan dapat menggunakan
cermin cembung dari bahan plastic 17. Dengan memperhatikan peranan
perlengkapan cermin tikungan dalam operasional kendaraan, maka di Propinsi
Papua Barat telah dilakukan pembangunan/pemasangan. Namun ternyata belum
semua ruas jalan propinsi terpenuhi adanya perlengkapan jalan cermin tikungan,
dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.7. Fasilitas Pembangunan Cermin Tikungan di Beberapa Ruas Jalan
Propinsi Papua Barat
No Ruas Jalan Panjang
(Km )
Kebutuhan
(unit)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(unit)
Sisa
(unit)
1 Jln Yos Sudarso-Jln
Basuki Rahmat
( Sorong)
18,32 - - -
2 Bts Kota Sorong-
Klamodo
30,09 - - -
3 Klamodo-Bts Kab
Sorong- Sorong Selatan
60,08 - - -
4 Bts Kab Sorong
Selatan- Kambuaya
67,73 10 - 10
5 Kabuaya- Susumak 25,86 - - -
6 Susumak-Kumurkeh 12,34 - - -
17 Keputusan Menteri Perhubungan No. 3 Tahun 1994 tentang Pengendali Pengaman Pemakai Jalan
Pada Pasal 18 s/d Pasal 20
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-22
No Ruas Jalan Panjang
(Km )
Kebutuhan
(unit)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(unit)
Sisa
(unit)
7 Kumurkeh-Ayamasi-
Snopy- Bts Kab Sorong
137,81 - - -
8 Snopy Bts Kab Sorong
Selatan- manokware
145 - -
9 Prafi-Warmare-Maruni 68,8 4 - 4
10 Maruni- Jln Drs Esau
Sesa ( Manokware)
40,12 - - -
11 Maruni-Oransbari 54,06 - - -
12 Oransbari- Ransiki 39,32 - - -
13 Ransiki- Mameh 53,21 - - -
14 Mameh- Buntuni 70,56 - - -
15 Bomberai- Baham-
Hurimber
113,28 - - -
16 Bts Kota Fakfak-
Hurimber - Kokas
26,65 - - -
TOTAL 869,51 14 - 14
Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Ditjen Bina Marga- Kementerian Pekerjaan Umum, 2013
Dari gambaran kebutuhan dan realisasi cermin tikungan di beberapa ruas jalan
sebanyak enam belas (16), hingga sekarang belum ada yang terpasang cermin
tikungan. Sementara jumlah kebutuhan terdapat sebanyak dua puluh satu (14)
unit . Dengan demikian, nilai capaian persentase perlengkapan cermin tikungan
di jalan Propinsi Papua Barat dapat dihitung dengan rumus 18
% Fasilitas perlengkapan cermin tikungan;
∑ Fasilitas Perlengkapan Cermin Tikungan Terpasang di Jalan Propinsi
= x 100 %
Total Kebutuhan Fasilitas Cermin Tikungan di Jalan Propinsi
0 unit
= x 100 %
14 unit
= 0 %
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi telah ditetapkan,
bawah tersedianya fasilitas perlengkapan jalan termasuk Pagar Pengaman di jalan
propinsi pada tahun 2014 ditetapkan mencapai nilai 60 %. Sementara nilai
capaian pada tahun 2012 hanya sebesar 0 %. Berkenaan dengan itu, nilai capaian
yang harus dicapai hingga tahun 2014 terdapat 60 % . Padahal, nialai capaian
pada tahun 2012 hanya 0 %, hal ini berarti yang harus dicapai hingga tahun
18 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Perhitungan Standar Pelayanan
Bidang Perhubungan
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-23
adalah sebesar 60 %. Artinya, perhatian Pemerintah Daerah Propinsi Papua Barat
terhadap pemasangan cermin tikungan selama ini belum ada. Karena itu, untuk
mencapai pembangunan/pemasangan cermin tikungan sebesar 60 % , Pemerintah
Daerah Propinsi Papua Barat sebaiknya ada perhatian dan mengalokasikan dana
agar dapat mencapai ketertigalan. Dengan adanya, cerminj tikungan diharapkan
lalu lintas kendaraan bermotor akan semakin lancer dan di lain pihak, angka
kecelakaan dapat dihindarkan.
f. Fasilitas Perlengkapan Jalan Paku Jalan
Paku jalan adalah salah satu perlengkapan jalan untuk menjamin keselamatan
lalu lintas. Paku jalan harus diperhatikan para pengendara, dan ditaati pada saat
mengendara. Paku jalan dengan memantul cahaya berwarna kuning digunakan
untuk pemisah jalur atau jalur lalu lintas. Paku jalan dengan pemantul cahaya
berwarna kuning digunakan untuk pemisah jalan atau lajur lalu lintas jalan
dengan memantul cahaya berwarna merah ditempatkan pada garis batas di sisi
jalan. Sementara paku jalan yang berwarna putih ditempatkan pada garis batas
sisi kanan jalan. Paku jalan sebagai tandar pada permukaan jalan tidak boleh
menonjol lebih dari 15 millimeter di atas permukaan jalan, dan apabila paku jalan
dilengkapi dengan reflector tidak boleh menonjol lebih dari 40 millimeter di atas
permukaan jalan 19. Paku jalan dapat ditempatkan: 1) batas tepi jalur lalu lintas,
2) paku jalan dengan pemantul cahaya berwarna kuning digunakan untuk
pemisah jalan atau lajur lalu lintas, 3) paku jalan dengan pemantul cahaya
berwarna mereh ditempatkan pada garis sisi batas sisi kiri jalan, 4) paku jalan
dengan pemantul cahaya berwarna putih ditempatkan pada garis sisi batas sisi
kanan jalan 20 . Melihat peranan paku jalan untuk menjaga keselamatan
berkendaraan, di Propinsi Papua Barat telah membangun/memasang paku jalan
dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.8. Fasilitas Pembangunan Paku Jalan di Beberapa Ruas Jalan Propinsi
Papua Barat
No
Ruas Jalan
Panjang
(Km )
Kebutuhan
(unit)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(unit)
Sisa
(unit)
1 Jln Yos Sudarso-Jln
Basuki Rahmat
( Sorong)
18,32 24.500 12.000 12.500
2 Bts Kota Sorong-
Klamodo
30,09 18.300 - 18.300
3 Klamodo-Bts Kab
Sorong- Sorong Selatan
60,08 12.986 - 12.986
4 Bts Kab Sorong
Selatan- Kambuaya
67,73 25.769 - 25.769
5 Kabuaya- Susumak 25,86 9.987 - 9.987
6 Susumak-Kumurkeh 12,34 11.600 - 11.600
7 Kumurkeh-Ayamasi-
Snopy- Bts Kab Sorong
137,81 22.879 - 22.879
19 Keputusan Menteri Perhubungan No. 60 Tahun 1993 tentang Marka Jalan Pada Pasal 16 dan Pasal 17 20 Lampiran III Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat No. SK.116/AJ.404/DRJD/97
tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Paku Jalan
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-24
No
Ruas Jalan
Panjang
(Km )
Kebutuhan
(unit)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(unit)
Sisa
(unit)
8 Snopy Bts Kab Sorong
Selatan- manokware
145 10.654 - 10.654
9 Prafi-Warmare-Maruni 68,8 21.132 - 21.132
10 Maruni- Jln Drs Esau
Sesa ( Manokware)
40,12 9.865 - 9.865
11 Maruni-Oransbari 54,06 11.239 - 11.239
12 Oransbari- Ransiki 39,32 11.000 - 11.000
13 Ransiki- Mameh 53,21 14.432 - 14.432
14 Mameh- Buntuni 70,56 20.765 - 20.765
15 Bomberai- Baham-
Hurimber
113,28 65.965 - 65.965
16 Bts Kota Fakfak-
Hurimber - Kokas
26,65 16.654 - 16.654
TOTAL 869,51 307.727 12.000 295.72
Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Ditjen Bina Marga- Kementerian Pekerjaan Umum, 2013
Berdasarkan data kebutuhan dan realisasi perlengkapan paku jalan seperti
dijelaskan sebelumnya pada beberapa ruas jalan sebanyak enambelas (16), nilai
capaian persentase perlengkapan paku jalan di jalan Propinsi Papua Barat dapat
dihitung dengan rumus 21
% Fasilitas perlengkapan paku jalan;
∑ Fasilitas Perlengkapan Paku Jalan Terpasang di Jalan Propinsi
= x 100 %
Total Kebutuhan Fasilitas Paku Jalan di Jalan Propinsi
12.000 unit unit
= x 100 %
307.727 unit
= 3,89 %
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi, tersedianya fasilitas
perlengkapan jalan termasuk Paku jalan di jalan propinsi pada tahun 2014
ditetapkan mencapai nilai 60 %. Sementara nilai capaian pada tahun 2012 hanya
3,89 %. Artinya, nilai capaian yang harus dicapai hingga tahun 2014 terdapat
56,11 % ( 60 % - 3,89 % = 56,11 % ). Untuk mencapai nilai sebesar 56,11 %,
Pemerintah Daerah Propinsi sebaiknya memiliki perhatian dan mengalokasikan
dana yang relatif besar, agar dapat mencapai ketertigalan.Karena paku jalan tidak
kalah pentinya dalam konteks pembangunan.
21 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-25
Gambar 4.13. Kondisi Paku Jalan di Provinsi
Papua Barat
g. Fasilitas Perlengkapan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas
Alat pemberi isyarat lalu lalu lintas adalah perangkat peralatan teknis yang
menggunakan isyarat lampu untuk mengatur lalu lalulintas orang/atau kendaraan
di persimpangan atau pada ruas jalan. Fungsi alat pemberi isyarat lalu lintas
adalah ; a. lampu warna hijau menyala setelah lampu warna merah padam,
mengisyaratkan kendaraan harus berjalan, b. lampu warna kuning menyala
setelah lampu warna hijau padam, mengisyaratkan kendaraan yang belum sampai
pada batas berhenti atau sebelum alat pemberi isyarat lalu lalintas, bersiap untuk
berhenti dan bagi kendaraan yang sudah sedemikian dekat dengan batas berhenti
sehingga tidak dapat berhenti lagi dengan aman dapat berjalan, c. lampu warna
merah menyala setelah lampu kuning padam, mengisyaratkan kendaraan harus
berhenti sebelum batas berhenti dan apabila jalur lalu lintas tidak dilengkapi
dengan batas berhenti, kendaraan harus berhenti sebelum alat pemberi isyarat
lalu lalintas 22. Demikian halnya di Propinsi Papua Barat,
pembangunan/pemasangan perlengkapan alat pemberi isyarat lalu lintas telah
dilakukan, namun dalam kenyataannya realisanya belum sepenuhnya tercapai.
Lebih jelasnya perkembangan perlengkapan isyarat lalu lalintas dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 4.9. Alat pemberi Isyarat Lalu Lintas di Beberapa Ruas Jalan propinsi
Papua Barat
Ruas Jalan
Panjang
(Km)
Jlh/
Simpang
/R.jalan
(Titik)
Kebutuhan
(APIL/WL
(1set/Titik)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpa-
sang
(unit)
Sisa
(unit)
1. Jln Yos Sudarso-Jln
Basuki Rahmat
( Sorong
18,32 2 WL=2 - WL=2
2. Bts Kota Sorong-
Klamodo
30,09 1 WL=1 - WL=1
3.Klamodo-Bts Kab
Sorong- Sorong
Selatan
60,08 3 WL=3 - WL=3
4.Bts Kab Sorong 67,73 3 WL=3 - WL=3
22 Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 62 Tahun 1993 tentang Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas pada
Pasal 1 ayat (1) dan pasal 8
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-26
Ruas Jalan
Panjang
(Km)
Jlh/
Simpang
/R.jalan
(Titik)
Kebutuhan
(APIL/WL
(1set/Titik)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpa-
sang
(unit)
Sisa
(unit)
Selatan- Kambuaya
5.Kabuaya- Susumak 25,86 2 WL=2 - WL=2
Susumak-Kumurkeh 12,34 2 WL=2 - WL=2
6.Kumurkeh-
Ayamasi- Snopy-
Bts Kab Sorong
137,81 1 WL=1 - WL=1
7.Snopy Bts Kab
Sorong Selatan-
manokware
145 1 WL=1 - WL=1
8. Prafi-Warmare-
Maruni
68,8 1 WL=1 - WL=1
9.Maruni- Jln Drs
Esau Sesa
(Manokware)
40,12 3 WL=3 - WL=3
10. Maruni-Oransbari 54,06 2 WL=2 - WL=2
11 Oransbari-
Ransiki
39,32 2 WL=2 - WL=2
12.Ransiki- Mameh 53,21 2 WL=2 - WL=2
13 Mameh- Buntuni 70,56 1 WL=1 - WL=1
14.Bomberai-
Baham- Hurimber
113,28 1 WL=1 - WL=1
15.Bts Kota Fakfak-
Hurimber - Kokas
26,65 3 WL=3 - WL=3
TOTAL 869,51 30 30 - 30
Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Ditjen Bina Marga- Kementerian Pekerjaan Umum, 2013
Bertitik tolak dari data kebutuhan dan realisasi perlengkapan Alat Pember Isyarat
Lalu Lintas jalan seperti dijelaskan sebelumnya pada beberapa ruas jalan
sebanyak limabelas (15) , maka nilai capaian persentase perlengkapan Alat
Pemberi Isyarat Lalu Lalulintas di Propionsi Papua Barat dapat dihitung dengan
rumus 23
% Fasilitas perlengkapan paku jalan;
∑ Fasilitas Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas Terpasang di Jalan Propinsi
= x 100 %
Total Kebutuhan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas di Jalan Propinsi
0 unit
= x 100 % = 0 %
30 unit
23 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan Standar Pelayanan
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-27
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi telah ditetapkan,
bawah tersedianya fasilitas perlengkapan jalan termasuk Alat Pemberi Isyarat
Lalu Lintas di jalan propinsi pada tahun 2014 ditetapkan mencapai nilai 60 %.
Sementara nilai capaian yang dicapai pada tahun 2012 hanya sebesar 0 %, artinya
nilai capaian yang harus dicapai hingga tahun 2014 masih 60 %. Untuk mencapai
nilai sebesar 60 %, Pemerintah Daerah Propinsi sebaiknya memiliki perhatian
dan mengalokasikan dana yang relatif besar, agar dapat mencapai ketertigalan.
h. Fasilitas Perlengkapan Jalan Lampu Penerangan
Lampu penerangan jalan adalah bagian dari bangunan perlengkapan jalan yang
dapat diletakkan atau dipasang di kiri/kanan jalan dan atau di tengah (di bagian
mediun jalan) yang digunakan untuk menerangi jalan mapun lingkungan di
sekitar jalan yang diperlukan termasuk persimpangan jalan, jalan laying,
jembatan dan jalan di bawah tanah. Atau juga dapat disebut lampu penerangan
adalah suatu unit lengkap yang terdiri dari sumber cahaya, elemen optok, elemen
elektronik dan struktur penopang serta tiang lampu 24.
Penerangan jalan di kawasan perkotaan mempunyai fungsi antara lain ; a.
menghasilkan kekontrasan antara objek dan permukaan jalan, b. sebagai alat
bantu navigasi pengguna jalan, c. menghilangkan keselamatan dan kenyamanan
pengguna jalan, khususnya pada malam hari, d. mendukung keamanan
lingkungan dan e. memberikan keindahan lingkungan jalan 25.
Berdasarkan informasi dari Dinas Perhubungan dan Informatika c.q. Bidang
Program Propinsi NTT, standar jenis lampu yang digunakan di jalan pada
propinsi adalah mengacu pada SNI (Standar Nasional Indonesia) dan lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.10. Lampu Penerangan di Beberapa Ruas Jalan Propinsi Papua Barat
No
Ruas Jalan
Panjang
(Km )
Kebutuhan
(unit)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(unit)
Sisa
(unit)
1 Jln Yos Sudarso-Jln
Basuki Rahmat
( Sorong)
18,32 180 180 -
2 Bts Kota Sorong-
Klamodo 30,09 300 70 230
3 Klamodo-Bts Kab
Sorong- Sorong Selatan 60,08 600 34 566
4 Bts Kab Sorong
Selatan- Kambuaya 67,73 670 26 644
5 Kabuaya- Susumak 25,86 250 - 250
6 Susumak-Kumurkeh 12,34 120 - 120
7 Kumurkeh-Ayamasi-
Snopy- Bts Kab Sorong 137,81 1.370 242 1.128
8 Snopy Bts Kab Sorong 145 1450 500 950
24 Badan standar Nasional, SNI ( Standar Nasional Indonesia ), ICS 93.080.40, SNI 7391 pada hal 2: 2008 25 Badan Standar Nasional, SNI ( Standar Nasional Indonesia ), ICS 93.080.40, SNI 7391 pada hal 4, 2008
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-28
No
Ruas Jalan
Panjang
(Km )
Kebutuhan
(unit)
Terpasang Hingga
Tahun 2012
Terpasang
(unit)
Sisa
(unit)
Selatan- manokware
9 Prafi-Warmare-Maruni 68,8 680 - 680
10 Maruni- Jln Drs Esau
Sesa ( Manokware) 40,12 400 400 -
11 Maruni-Oransbari 54,06 540 - 540
12 Oransbari- Ransiki 39,32 390 - 390
13 Ransiki- Mameh 53,21 530 - 530
14 Mameh- Buntuni 70,56 700 - 700
15 Bomberai- Baham-
Hurimber 113,28 1.130 - 1.130
16 Bts Kota Fakfak-
Hurimber - Kokas 26,65 260 86 174
TOTAL 869,51 9.570 1.530 8.040
Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Ditjen Bina Marga- Kementerian Pekerjaan Umum, 2013
Dari data kebutuhan dan realisasi perlengkapan Alat Pember Isyarat Lalu Lintas
jalan seperti dijelaskan sebelumnya pada beberapa ruas jalan sebanyak
enambelas ( 16) , maka nilai capaian persentase perlengkapan Alat Pemberi
Isyarat Lalu Lalulintas di Propionsi Papua Barat dapat dihitung dengan rumus 26
% Fasilitas perlengkapan lampu penerangan;
∑ Fasilitas Lampu Penerangan Yang Terpasang di Jalan Propinsi
= x 100 %
Total Kebutuhan Lampu Penerangan di Jalan Propinsi
1.530 unit
= x 100 %
9.530 unit
= 16,05 %
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi tersedianya fasilitas
perlengkapan jalan termasuk Lampu Penerangan di jalan propinsi ditetapkan
pada tahun 2014 mencapai nilai 60 %. Namun dalam kenyataannya pada tahun
2012 nilai capaian hanya 16,05 %. Artinya, nilai capaian yang harus dicapai
hingga tahun 2014 terdapat 43,95 % ( 60 % - 16,05 % = 43,95 % ). Untuk
mencapai nilai sebesar 43,95 %, Pemerintah Daerah Propinsi sebaiknya memiliki
perhatian dan mengalokasikan dana yang relatif besar, agar dapat mencapai
ketertigalan dan di lain pihak lalu lintas angkutan jalan serta kecelakaan dapat
terhindar.
26 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan Standar Pelayanan
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-29
Gambar 4.14. Kondisi Penerangan Jalan di
Provinsi Papua Barat
4. Keselamatan
Keselamatan dalam hal ini adalah ditekankan pada keselamatan lalu lintas angkutan
umum yang melayani trayek antarkota dalam propinsi (AKDP) pada Propinsi Papua
Barat. Keselamatan. Keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan adalah suatu keadaan
terhindarnya setiap orang dari resiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan
oleh manusia, kendaraan, jalan, dan/atau lingkungan 27. Karena itu, setiap kendaraan
yang berlalu lintas diperlukan adanya kelaikan kendaraan.
Keselamatan lalu lintas maksudnya adalah standar keselamatan bagi angkutan umum
yang melayani trayek Antar Kota Dalam Propinsi Papua Barat (AKDP). Sementara
keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan adalah suatu keadaan terhindarnya setiap
orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia,
kendaraan, jalan, dan/atau lingkungan 28. Karena itu, perusahaan angkutan umum
wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi: a. keamanan; b.
keselamatan; c. kenyamanan; d. keterjangkauan; e. kesetaraan; dan f. keteraturan.29.
Angkutan adalah perpindahan orang/atau barang dari satu tempat ke tempat lain
dengan menggunakan kendaraan umum di ruang lalu lintas jalan. Di lain pihak,
angkutan umum adalah angkutan orang/atau barang yang menggunakan kendaraan
umum dengan dipungut bayaran. Keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan adalah
suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari resiko kecelakaan selama berlalu lintas
yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan, dan/atau lingkungan30 .
Pelayanan angkutan antar kota dalam propinsi dilaksanakan dengan ciri-ciri sebagai
berikut; a. mempunyai jadwal tetap, trayek tercantum dalam jam perjalanan dan pada
kartu pengawasan mobil bus yang dioperasikan. b. pelayanan angkutan dilakukan
27 Peraturan Menteri Perhubungan No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian
Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Pada Hal 10
28 Undang – Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pada Pasal 1 ayat (31) 29 Ibid 30 Peraturan Menteri Perhubungan No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan
Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota pada Halaman 10
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-30
bersifat cepat atau lambat, c. dilayani dengan mobil bus besar atau sedang, baik untuk
pelayanan ekonomi mapun pelayanan non ekonomi, d. tersedia terminal penumang
sekurang-kurangnya tipe B, pada awal pemberangkatan, persilangan, dan terminal
tujuan, e. prasarana jalan yang dilalui dalam pelayanan angkutan antar kota dalam
propinsi tercantum dalam izin trayek yang telah ditetapkan 31.
Di daerah yang sarana transportasinya belum memadai, pengankutan orang dapat
dilakukan dengan mobil barang. Pengangkutan orang dengan menggunakan mobil
barang, wajib memenuhi persyaratan; a. ruangan muatan dilengkapi dengan dinding
yang tingginya sekurang-kurangnya 0,6 m, b. tersedia luas lantai ruang muatan
sekurang-kurangnya 0,4 m2 per penumpang, c. memiliki dan membawa surat
keterangan mobil barang mengangkut penumpang 32
Kendaraan yang digunakan untuk antar kota dalam propinsi harus dilengkapi; a. nama
perusahaan dan nomor urut kendaraan yang dicantumkan, dan belakang kendaraan. b.
papan trayek yang memuat asal dan tujuan serta kota yang dilalui dengan dasar putih
tulisan hitam yang ditempatkan di bagian depan dan belakang kendaraan. c. jenis
trayek yang dilayani ditulis secara jelas dengan huruf balok, melekat pada badan
kendaraan sebelah kiri dan kanan dengan tulisan” Angkutan Antar Kota Dalam
Propinsi, e. jati diri pengemudi yang ditempatkan pada dashboard yang dikeluarkan
oleh masing-masing perusahaan angkutan, f. fasilitas bagasi sesuai kebutuhan, tulisan
standar pelayanan, daftar tarif yang berlaku, g. dilengkapi dengan adanya kotak obat
dengan isinya, h. alat pemantau untuk kerja pengemudi, yang sekurang-kurangnya
dapat merekam kecepatan kendaraan dan perilaku pengemudi dalam mengoperasikan
kendaraan.33.
Dalam hal pengoperasian angkutan, pengusaha angkutan yang telah memperoleh izin
trayek diwajibkan mengutamakan keselamatan dalam pengoperasikan kendaraan
sehingga tidak terjadi kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa 34 . Untuk
memperoleh izin operasi, pemohon wajib memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis. Dalam persyaratan teknis tel;ah ditegaskan pemohon diwajibkan
memiliki atau menguasai kendaraan bermotor yang laik jalan yang dibuktikan dengan
fotokopi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sesuai domisili perusahaan dan
fotokopi Buku Uji 35
Untuk menjamin keselamatan, kelaikan kendaraan untuk operasional harus dipastikan
siap pakai. Artinya, semua komponen yang diharuskan diuji secara berkala harus
dipastikan sudah terpenuhi. Pelaksanaan uji berkala kendaraan dimaksudkan untuk 36;
a. memberikan jaminan keselamatan secara teknis terhadap penggunaan kendaraan
bermotor di jalan, b. melestarikan lingkungan dari kemungkinan pencemaran yang
diakibatkan oleh pengguna kendaraan bermotor di jalan. Beberapa komponen yang
31 Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di
Jalan Dengan Kendaraan Umum pada Pasal 19 32 Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan pada Pasal 3 33 Ibid Pasal 19 34 Ibid Pasal 62 point j 35 Ibid Pasal 67 point c 36 Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.71 Tahun 1993 tentang Pengujian Berkala Kendaraan
Bermotor Pada Pasal 2 ayat (1)
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-31
diharuskan diuji secara berkala adalah sebagai berikut 37; a. uji suspense roda (Pit
wheel Suspension Tester ) dan kondisi teknis bagian bawah kendaraan, b. uji rem, c.
lampu utama, d. speedometer, e. uji emisi gas buang meliputi; uji karbon monoksida
(CO), hidro karbon (HC), dan ketebalan asap gas buang, f. berat kendaraan, g. kincup
roda depan (side slip tester), h. suara (sound level meter), i. dimensi kendaraan (lebar,
panjang, tinggi dan sumbu roda), j. tekanan udara (kompressor rem, tekanan udara
ban), k. kaca film.
Untuk menjamin keselamatan para penumpang, setiap kendaraan dilengkapi dengan
fasiliats tanggap darurat. Fasilitas tanggap darurat dalam hal ini adalah berupa; a. alat
pemukul/pemecah kaca (martil), b. alat pemadam kebakaran, c. alat kendali darurat
pembuka pintu utama yang dirancang dan ditempatkan sedemikian rupa sekurang-
kurangnya dua buah pada setiap kanan kiri sisi dalam kendaraan bermotor sehingga
mudah dioperasikan dari dalam baik oleh awak kendaraan mapun penumpang yang
bekerja secara otomatis 38. Kelengkapan fasilitas tanggap darurat standar kendaraan
bermotor angkutan penumpang, wajib dipenuhi dengan persyaratan teknis:
a. Jumlah tempat keluar darurat sekurang-kurangnya 39:
1) Satu tempat keluar darurat pada setiap sisi kanan kiri, jika muatannya tidak
lebih dari 26 penumpang
2) Dua tempat keluar darurat pada setiap sisi kanan kiri, jika muatannya antara
27 dan 50 penumpang
3) Tiga tempat keluar darurat pada setiap sisi jika muatannya antara 51 dan 80
penumpang
4) Empat tempat keluar darurat pada setiap sisi jika muatannya lebih dari 80
penumpang
b. Khusus untuk mobil penumpang yang jumlah muatannya lebih dari 27
penumpang, diwajibkan memiliki pintu darurat minimal 2 buah pada sisi kiri-
kanan
c. Pada sisi kiri, jumlah tempat keluar dapat dikurangi dengan satu, jika pada dinding
belakang tempat pintu yang lebarnya paling sedikit 430 millimeter
d. Tempat keluar darurat berupa jendela harus memenuhi persyaratan:
1) Memiliki ukuran minimum 600 millimeter x 430 milimeter dan apabila
memiliki ukuran sekurang-kurangnya 1.200 millimeter x 430 millimeter
disamakan dengan memiliki dua tempat keluar darurat
2) Mudah dan cepat dapat dibuka atau dirusak atau dilepas
3) Sudut-sudut jendela yang berfungsi sebagai tempat keluar darurat tidak
runcing
4) Tidak dirintangi oleh tongkat-tongkat atau jeruji pelindung
e. Tempat keluar darurat berupa pintu yang dipasang pada dinding samping kanan,
harus memenuhi persyaratan:
1) Memiliki lebar sekurang – kurangnya 430 millimeter
2) Mudah dibuka setiap waktu dari dalam
37 Ibid, Pasal 12 ayat (1) 38 Keputusan DSirektur Perhubungan Darat No. SK.1763/AJ.501/DRJD/1003 tentang Petunjuk teknis
Tanggap Darurat Kecelakaan Kendaraan Bermotor Angkutan Penumpang pada Pasal 5 39 Ibid, Pasal 6
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-32
f. Tempat keluar darurat diberi tanda atau petunjuk dengan tulisan yang menjelaskan
tempat keluar darurat dan tata cara membukanya
g. Tempat duduk di dekat tempat keluar darurat harus mudah dilepas atau dilipat dan
diberi warna tempat duduk yang berbeda dari warna tempat duduk lainnya
h. Kaca mobil bus wajib menggunakan kaca keselamatan (Safety Glass), dengan
ketentuan sebagai berikut;
1) Kaca bagian depan harus memakai jenis Laminated
2) Kaca bagian samping kiri-kanan dan belakang memakai jenis tempered
Berdasarkan berbagai peraturan seperti telah dijelaskan sebelumnya, selanjutnya akan
dijadikan sebagai patokan penilaian dan/atau pengecekan terhadap beberapa AKDP
yang ada di Terminal Kota Kupang. Beberapa pendekatan yang dilakukan adalah;
a. Melakukan wawancara terhadap Sopir AKDP di Terminal Wossi
Terminal Wossi berada di Kota Manokwari. Terminal ini digunakan sebagai
persinggahan dan/ atau naik turun penumpang ke Kabupaten Pengunungan Arfak
dan Kabupaten Monokwari Selatan. Sekilas gambar terminal dan jenis armada
yang digunakan sebagai AKDP dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 4.15. Terminal Wossi di Kota Manokwari Gbr. AKDP
Di terminal Wossi dilakukan wawancara terhadap enam (6) Sopir AKDP dan
tentang AKDP yang dugunakan. Ternyata dari hasil wawancara, AKDP yang
dibawa secara berkala dilakukan uji berkala. Hal ini dibuktikan dengan adanya
Buku Uji Kendaraan Bermotor dan Stiker di badan mobil AKDP. Beberapa aspek
yang terlihat dalam Buku Uji Kendaraan adalah adanya kata-kata baik pada
komponen yang diuji. Lebih jelasnya komponen yang diuji dapat dilihat pada
tabel berikut.
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-33
Tabel 4.11. Kelengkapan Komponen Persyaratan Kelaikan AKDP Di Propinsi
Papua Barat
No Komponen Persyaratan Kebaradaan di AKDP
Di Propinsi NTT
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Suspensi Roda (Pit Wheel Suspension Tester
Rem)
Lampu Utama
Speedometer
Emisi Gas Buang :
a. a. Uji Karbon Monoksida (CO)
b. b. Hidro Karbon (HC)
c. c. Ketebalan Asap Gas Buang
d. Berat Kendaraan
e. Kincup Roda Depan (Side Slip Tester)
f. Suara (Sound Level Meter)
g. Dimensi Kendaraan (Lebar, Panjang, Tinggi
dan Sumbu Roda)
h. Tekanan Udara (Kompressor Rem, Tekanan
Udara Ban)
i. Kaca Film
Memenuhi persyaratan
Memenuhi persyaratan
Memenuhi persyaratan
Memenuhi persyaratan
Memenuhi persyaratan
- memenuhi persyaratan
- memenuhi persyaratan
- memenuhi persyaratan
Memenuhi persyaratan
Memenuhi persyaratan
Memenuhi persyaratan
Memenuhi persyaratan
Memenuhi persyaratan
Sumber: Hasil Wawancara dan pengamatan terhadap 6 orang sipir & 6 kendaraan
Dapat disimpulkan, bahwa AKDP yang ada di Kota Manokwari telah layak
operasional. Keharusan melakukan uji kendaraan bermotor secara berkala di
Propinsi Papua Barat telah ditetapkan oleh Dinas Perhubungan & Informatika
Propinsi Papua Barat. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin keselamatan
berkendaraan bermotor. Di lain pihak, razia terhadap kendaraan dilakukan secara
rutin per bulan, dengan maksud agar pemilik AKDP selalu waspada terhadap
keselamatan.
b. Melakukan wawancara dengan pihak DLLAJ (Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan)
Dari hasil wawancara dengan LLAJ yang sedang bertugas di jalan, ternyata
petugas LLAJ secara rutin melakukan razia per bulan. Dari hasil uji dan/atau
pemeriksaan secara berkala untuk AKDP diharapkan akan terjamin keselamatan
bagi para penumpang. Di lain pihak, dari hasil uji kendaraan akan dapat diketahui
komponen kendaraan yang perlu diperbaiki atau diganti. Bilamana AKDP tidak
melakukan uji berkala secara rutin sesuai dengan ketentuan, AKDP tidak
diperkenankan beroperasi, dan tentunya sebelumnya sudah ada beberapa kali surat
peringatan. Kelaikan operasional kendaraan merupakan persyaratan utama,
apalagi pada daerah yang berbukit, dan naik turun. Sebelumnya, dalam proses
pengurusan perizinan ,kelaikan operasional AKDP adalah merupakana salah satu
ketentuan yang telah disepakati oleh pengusaha AKDP. Kelaikan kendaraan
AKDP pada hakekatnya merupakan keharusan untuk menamin keselamatan
operasional yang secara imlisit para penumpang.
c. Melakukan wawancara dengan Dinas Perhubungan dan Infromatika c.q. Bidang
Angkutan Darat Propinsi Papua Barat.
Dari hasil wawancara dengan Dinas Perhubungan dan Informatika c.q. Bidang
Darat, telah ditegaskan bahwa kelaikan operasional AKDP merupakan keharusan
dalam rangka menjamin keselamatan para penumpang. Bilamana berdasarkan
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-34
hasil pemeriksaan dari petugas LLAJ masih terdapat AKDP yang belum
memenuhi kelaikan operasional, maka konsekwensinya izin operasional dapat
dicabut. Namun sebelumnya pengusaha angkutan tersebut diberikan surat
peringatan dan/atau dipanggil untuk diperingati. Tetapi, harus diakui, pada
umumnya kendaraan yang sudah berusia lama atau tua, sering ditemukan kurang
taat melakukan uji berkala Karena itulah, secara rutin dilakukan razia dengan
masud untuk tetap taat melakukan uji berkala baik yang sudah berumur tua
maupun yang relatif masih baru. Berdasarkan informasi dari Dinas Perhubungan
Informatika c.g Bidang Perhubungan Darat, jumlah AKDP di Propinsi Papua
Barat terdapat 524 unit. Dari jumlah AKDP tersebut, dipastikan secara rutin
melakukan uji berkala. Bilamana AKDP tidak melakukan uji berkala akan terlihat
di Stiker yang dipasang dalam badan AKDP dan biasanya dihentikan oleh
DLLAJ.
Berdasarkan hasil wawancara maka nilai capaian terpenuhinya standar
keselamatan bagi angkutan umum yang melayani trayek antarkota dalam propinsi
(AKDP) pada Propinsi Papua Barat dapat dihitung dengan menggunakan rumus 40;
∑ Angkutan umum AKDP memenuhi standar keselamatan
X 100 %
∑ Total angkutan umum AKDP dalam propinsi
524 unit
= x 100 %
424 unit
= 100 %
Bertitik tolak dari Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi, terpenuhinya
standar keselamatan bagi angkutan umum yang melayani trayek antarkota dalam
propinsi (AKDP) hingga tahun 2014 ditetapkan 100 %. Hal ini berarti, nilai
capaian sudah tercapai pada saat sekarang ini (tahun 2013).
Untuk mencapai nilai 100 % perlu dipertahankan adanya razia secara rutin
diberbagai daerah Propinsi Papua Barat, sehingga bagi AKDP di daerah maupun
yang perkotaan tetap memiliki kesadaran melakukan uji berkala kelaikan
kendaraan yang dalam hal ini AKDP. Di samping, itu perlu dilakukan dan
diintensifkan uji kelaikan kendaraan bermotor berjalan. Artinya, petugas uji
kendaraan bermotor melakukan uji kendaraan di jalan, tentunya petugas harus
membawa peralatan uji kendaraan bermotor. Kegiatan uji kendaraan bermotor di
beberapa titik jalan tertentu, harus ada kerjasama antara Balai Uji Kendaraan
Bermotor dengan petugas DLAJ. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan efek
jera bagi pengusaha AKDP, agar selalu hati-hati dalam keselamatan operasional
kendaraan, sehingga secara rutin melakukan uji berkala kendaraan bermotor.
40 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-35
Berdasarkan peraturan seperti telah dijelaskan sebelumnya, untuk menjamin
keselamatan para penumpang, setiap kendaraan harus dilengkapi dengan fasilitas
tanggap darurat. Fasiliats tanggap darurat yang sesuai dengan aturan diperlukan
bagi angkutan umum termasuk AKDP kemudian ini dijadikan sebagai acuan
untuk mengecek atau melihat apakah AKDP yang ada di Propinsi Papua Barat
memiliki fasilitas tanggap darurat dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
berikut
Tabel 4.12. Keberadaaan Fasilitas Tanggap Darurat di AKDP Propinsi Papua
Barat Dalam Tahun 2013
No Fasilitas Tanggap Darurat Sesuai Dengan
Peraturan Pada Angkutan Umum
Keberadaan
Fasilitas
Pada AKDP
1
2
3
4
5
6
7
Alat pemukul/Pemecah Kaca ( Martil )
Alat Pemadam Kebakaran
Alat Kendali Darurat Pembuka Pintu Utama
Yang Dirancang dan ditempatkan pada setiap
kanan kiri sisi dalam kendaraan bermotor secara
otomatis
Kelengkapan fasilitas tanggap darurat standar
kendaraan bermotor meliputi:
a. Satu (1) tempat keluar darurat pada setiap sisi
kanan kiri, jika muatannya muatannya tidak
lebih dari 26 penumpang
b. Dua (2) tempat keluar darurat pada setiap sisi
kanan kiri, jika muatannya antara 27 dan 50
penumpang
c. Tiga tempat keluar darurat pada setiap sisi jika
muatannya antara 51 dan 80 penumpang
d. Empat (4) tempat keluar darurat pada setiap
sisi jika mauatnnya lebih dari 80 penumpang
Mobil penumpang yang jumlah muatannya lebih
dari 27 penumpang diwajibkan memiliki pintu
darurat minimal 2 buah pada sisi kiri-kanan
Pada sisi kiri, jumlah tempat keluar dapat
dikurangi dengan satu (1), jika pada dinding
belakang tempat pintu lebarnya paling sedikit 430
millimeter
Tempat keluar darurat berupa jendela harus
memenuhi persyaratan:
a. memiliki ukuran minimum 600 millimeter x
430 millimeter apabila memiliki ukuran
sekurang kurangnya 1.200 millimeter x 430
millimeter disamakan dengan memiliki dua (2)
tempat keluar darurat
b. mudah dan cepat dapat dibuka atau dirusak
dan/atau dilepas
c. sudut-sudut jendela yang berfungsi sebagai
tempat keluar darurat tidak runcing
d. tidak dirintangi oleh tongkat-tongkat atau
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-36
No Fasilitas Tanggap Darurat Sesuai Dengan
Peraturan Pada Angkutan Umum
Keberadaan
Fasilitas
Pada AKDP
8
9
10
11
jeruji pelindung
Tempat keluar darurat berupa pintu yang
dipasang pada dinding kanan, harus memenuhi
persyaratan;
a. memiliki lebar sekurang-kurangnya 430
millimeter
b. mudah dibuka setiap waktu dari dalam
Tempat keluar darurat diberi tanda atau petunjuk
dengan tulisan yang menjelaskan tempat keluar
darurat dan tata membukanya
Tempat duduk di dekat tempat keluar darurat
harus mudah dilepas atau dilipat dan diberi warna
tempat duduk yang berbeda dari warna tempat
duduk lainnya
Kaca mobil wajib menggunakan kaca
keselamatan ( Safety Glass ), dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Kaca bagian depan harus memakai jenis
Laminated
b. Kaca bagian samping kiri-kanan dan belakang
memakai jenis tempered
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
Sumber: Kumpulan dari berbagai peraturan terkait dengan fasilitas Tanggap darurat
Hasil wawancara dan pengamatan pada AKDP
Dari 11 (sebelas) persyaratan yang diharuskan sebagai fasilitas darurat ditetapkan
hanya enam (6) AKDP sebagai sampel di Terminal Wosi. Dari hasil pengamatan,
yang ada hanya martil dan pemadam kebakaran, serta kaca bagian depan
menggunakan laminated serta kaca bagian samping kiri – kanan menggunakan
jenis Tempered.
5. Sumber Daya Manusia ( SDM )
Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah tersedianya
SDM yang memiliki kompetensi sebagai pengawas kelaikan kendaraan pada
perusahaan angkutan umum, pengelola terminal dan pengelola perlengkapan jalan 41 .
Lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:
a. Tersedianya SDM Yang Memiliki Kompetensi Sebagai Pengawas Kelaikan
Kendaraan Pada Perusahaan
Untuk menjamin kelaikan kendaraan setiap hari, dipersyaratkan setiap perusahaan
angkutan memiliki SDM yang mempunyai kompetensi memperbaiki kendaraan
pada saat kendaraan sampai di pool usai melakukan operasional. Tugas SDM
41 Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Bidang perhubungan
Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota pada Lampiran hal 2
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-37
adalah memeriksa secera keseluruhan kendaraan secara rutin setelah usai
beroperasi, apakah laik operasional atau tidak dan/atau perlu pergantian beberapa
komponen. Apalagi, jika ada keluhan sopir, diharuskan sesegera mungkin dapat
melakukan pemeriksaan dan perbaikan. Dengan demikian, kendaraan layak
operasional dan diharapkan keselamatan para penumpang dapat lebih terjamin.
Hal ini adalah sesuai dengan persyaratan standar pelayanan angkutan orang,
dimana setiap perusahaan angkutan umum wajib memenuhi standar yang terdiri
dari; a. keamanan, keselamatan dan kenyamanan 42. Setiap perusahaan yang
memiliki izin trayek, diwajibkan memenuhi persyaratan admistratif dan teknis.
Persyaratan administratif adalah meliputi beberapa aspek, antara lain; a.
menguasai fasilitas penyimpanan /pool kendaraan bermotor yang dibuktikan
dengan gambar lokasi dan bangunan serta surat keterangan mengenai pemilikan
atau penguasaan, b. memiliki atau bekerjasama dengan pihak lain yang mampu
menyediakan pemeliharaan kendaraan bermotor sehingga dapat merawat
kendaraan untuk tetap dalam kondisi laik jalan 43
Berdasarkan wawancara dengan Dinas Perhubungan Propinsi Papua Barat c.q.
Bidang Program, jumlah pengusaha angkutan antar kota dalam Propinsi Papua
Barat dalam tahun 2013 terdapat sebanyak 5 (lima). Sesuai dengan aturan seperti
telah dijelaskan sebelumnya, setiap perusahaan angkutan diwajibkan memiliki
SDM yang memiliki kompetensi sebagai pengawas kelaikan kendaraan yang pada
dasarnya berada dalam lingkungan perusahaan angkutan tersebut atau bekerja
sama dengan pihak lain untuk menjamin kelaikan operasional kendaraan. Tetapi
dalam kenyataannya, sebagian besar perusahaan tersebut cenderung memilih
kerjasama dengan pihak lain, dan sebagian lagi justru memiliki SDM yang
memiliki pompetensi dalam perbaikan kendaraan yang langsung berada dalam
naungan perusahaan angkutan.
Berdasarkan informasi dari beberapa pengusaha angkutan, pilihan bekerjasama
dengan pihak lain sangat menguntungkan, karena tidak setiap hari kendaraan
mengalami kerusakan, jika kendaraan mengalami kerusahaan SDM dari pihak
kerjasama dipanggil untuk memperbaiki. Sementara jika memiliki sendiri
biayanya relatif mahal, karena harus membeli peralatan dan menggaji setiap
bulan. Sementara dengan bekerjasama dengan pihak lain, pembayarannya hanya
sebatas waktu tenaga SDM tersebut digunakan dalam perbaikan kendaraan.
Makna memiliki SDM yang memiliki kompetensi sebagai pengawas kelaikan
kendaraan bermotor dalam perusahaan adalah sama dengan bekerjasa sama
dengan pihak lain dalam pemeliharaan kendaraan. Artinya, yang penting
kendaraan dapat laik operasional pada saat digunakan. Karena itu, persentase
capaian pengusaha AKDP yang memiliki komptensi dalam pengawasan kelaikan
kendaraan dapat dihitung dengan rumus 44;
42 Undang – Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalam pada Pasal 141 point
a,b dan c. 43 Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di
Jalan Dengan Kendaraan Umum pada Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) pada point c.d. dan e. 44 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-38
∑ Pengusaha Angkutan Yang Memiliki SDM Yang Berkompetensi
x100 %
∑ Pengusaha Angkutan AKDP Dalam Propinsi
5 pengusaha AKDP
= x 100 %
5
= 100 %
b. SDM Pengelola Terminal Tipe B
SDM pengelola terminal sangat diperlukan, mengingat terminal adalah merupakan
pangkalan kendaraan bermotor umum yang digunakan untuk mengatur
kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau
barang, serta perpindahan moda angkutan. Jumlah SDM seperti di Terminal
Wossi Tipe B, terdapat 15 orang. Di antara SDM yang berjumlah 15 orang,
terdapat 5 orang sebagai tenaga administrasi, dan satu (1) orang sebagai Kepala
Terminal, dan delapan (9) orang ditempatkan sebagai tenaga operasional di
terminal termasuk keamanan
Berdasarkan data dan informasi dari lapangan, setiap terminal kegiatan
dikelompokkan pada tiga bagian, yaitu regu I, regu II dan Regu III. Regu I
bertugas untuk mengawasai dan mengatur kedatangan kendaraan ke dalam
terminal. Regu II bertugas untuk mengawasi dan mengatur kendaraan dalam
terminal, dan Regu III bertugas mengawasai dan mengatur keberangkatan
kendaraan dari terminal. Dari hasil pengamatan di lapangan khususnya pada
terminal tipe B, Jumlah SDM pada setiap regu rata-rata ditempatkan 3 ( dua)
orang. Berdasarkan informasi dari Kepala Terminal Tipe B Wossi, dengan jumlah
15 orang, keteraturan keluar masuk AKDP dapat diwujudkan. Orang yang
ditempatkan pada setiap regu, pada umumnya sudah mendapat diklat dan/atau
pelatihan pengelolan terminal. Pada Umumnya, setiap terminal Tipe B di Propinsi
Papua Barat ( 15 ) orang, bahkan ada yang lebih dari sepuluh (15 ) orang. Di
Propinsi Papua Barat terdapat beberapa terminal Tipe B yang tersebar di berbagai
kabupaten/kota lebih jelasnya lihat tabel berikut.
Tabel 4.13. Jumlah Terminal Tipe B di Propinsi Papua Barat Per Kabupaten/Kota
Dalam Tahun 2013
No Kab/Kota Lokasi
Terminal
Nama
Terminal
Tipe Luas
( M2)
1
2
3
Manokwari
Kab Fakfak
Kab Sorong
Daerah bypas
Fakfak
Jln A.Yani
Wossi
Fakfak
Sorong
B
B
B
2.000
2.000
2.160
Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Statistik Ditjen Perhubungan Darat- Kementerian Perhubungan, 2012
Dengan menggunakan data jumlah Terminal Tipe B dan jumlah SDM pada setiap
terminal, dimana setiap Terminal Tipe B ditempatkan SDM sebanyak limabelas
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-39
(15) orang yang sudah dianggap memadai, maka dapat dihitung nilai persentase
capaian SDM pada Terminal Tipe B dapat dihitung dengan rumus 45;
% nilai capaian SDM pada terminal Tipe B
∑ Terminal Tipe B Yang Sudah Memiliki SDM Yang Profesional
= x 100%
Total Terminal Tipe B Dalam Propinsi
15
= x 100 %
15
= 100 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi ditetapkan capaian
kinerja terminal tipe B memiliki SDM yang professional sebagai pengelola dalam
tahun 2014 ditetapkan 100 %. Hal ini berarti, Propinsi Papua Barat dalam tahun
2013 sudah mencapai angka 100 %. Dengan adanya nilai tersebut, diharapkan
pengelolaan terminal tipe B di Propinsi Papua Barat lebih frofesional, artinya lalu
lalintas AKDP keluar masuk melalui terminal tipe B akan semakin baik.
c. SDM Pengelola Perlengkapan Jalan
Berdasarkan hasil wawancara dengan personil Bidang Program Dinas
Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat , SDM (Sumber Daya Manusia)
sebagai pengelola perlengkapan jalan berada pada Dinas Perhubungan &
Informatika. SDM tersebut ditempatkan di Bidang Perhubungan Darat khususnya
di Seksi Keselamatan dan Kenyamanan. Jumlah SDM yang khusus mengelola
perlengkapan jalan sekarang ini terdapat sepuluh (10) orang, dan berdasarkan
informasi dari Bidang Perhubungan Darat jumlah tersebut sudah mencukupi
bertitik tolak dari pengalaman selama ini. Jika ada kegiatan pengelolaan alat
perlengkapan jalan, maka dengan memberdayakan tenaga SDM sebanyak 10
orang, kegiatan perlengkapan jalan dapat diatasi dengan baik. Di antara SDM
tersebut sudah banyak mengikuti Diklat pengelolaan perlengkapan jalan baik yang
diselenggarakan Pemerintah Daerah maupun pemerintah pusat. Dengan demikian,
SDM pengelola perlengkapan jalan relatif sudah memiliki skill di bidang
perlengkapan jalan.
B. Angkutan Sungai dan Danau
Angkutan Sungai dan Danau hingga sekarang belum diberdayakan sebagai alat transportasi
di propinsi Papua Barat, karena itu bahasan tentang angkutan sungai dan danau belum ada
kajian.
45 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-40
C. Angkutan Penyeberangan
1. Jaringan pelayanan Angkutan Penyeberangan
Angkutan penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisanhkan
oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya. Di
Propinsi Papua Barat terdapat jaringan lintas angkutan penyeberangan, dan lebih
jelasnya dilihat tabel berikut.
Tabel 4.14. Jaringan Pelayanan Angkutan Penyeberangan Di Propinsi Papua Barat
Dalam Tahun 2013
No Jaringan Pelayanan
1 Sorong - Segat
2 Segat - Seremuk
3 Seremuk - Konda
4 Konda – Teminambun
5 Mugun - Kais
6 Kais - Inarwatan
7 Inanwatan - Kokonda
8 Bade - Mur - Kepi
9 Monokware - Numfor
11 Kais - Inawatan
12 Inawatan - Kokonda
13 Sorong – Saonek
14 Saonek - Kabarai
15 Kabarai - Waigima
16 Sorong - Waigima
17 Teminabuan - Mogem Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Berdasarkan informasi dari Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat,
jaringan yang sudah terlayani hingga tahun 2013 adalah seperti dalam tabel berikut.
Tabel 4.15. Jaringan Pelayanan Angkutan Penyeberangan Di Propinsi Papua Barat
Sudah Terlayani Dalam Tahun 2013
No Jaringan Pelayanan Kapal Yang
Melayani
1 Monokwari – Nufor (50 Mil) KMP Teluk Cendrawasih
2 Sorong – Saonek (40 Mil) KMP Kursi
3 Sorong – Karabai (60 Mil ) KMP Kursi
4 Sorong – Waigima (120 Mil) KMP Kursi
5 Sorong – Segat (40 Mil) KMP Kursi, KMP
Komodo
6 Segat – Seremuk (55 Mil) KMP Kursi
7 Seremuk – Konda (Teminabuan)/33 Mil KMP Kursi
8 Teminabuan – Mogem (75 Mil) KMP Komodo
Sumber: Kantor Cabang ASDP Propinsi Kupang, 2013
Berdasarkan data tersebut di atas, kebutuhan jaringan pelayanan angkutan
penyeberangan terdapat tujuh belas (17), sementara lintas angkutan penyeberangan
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-41
yang sudah terlayani hanya delapan han delapan (8) jaringan. Karena itu, nilaia
capaian tersedianya jaringan pelayanan angkutan penyeberangan yang beroperasi
pada lintas antarkabupaten/kota dalam Propinsi Papua Barat yang menghubungkan
jalan propinsi yang terputus oleh perairan dapat dihitung dengan rumus 46
% pelayanan angkutan penyeberangan
∑ Jaringan lintas yang telah terlayani angkutan penyeberangan
= x 100 %
∑ Jaringan lintas angkutan penyeberangan dalam propinsi
8
= x 100 %
17
= 47 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi untuk capaian tersedianya
lintas pelayanan angkutan penyeberangan yang beroperasi antarkabupaten/kota dalam
propinsi pada tahun 2014 nilai capaian ditetapkan 75 %. Sementara nilai capaian
hanya 47 %. Hal ini berarti, yang perlu diupayakan hingga dapat sasaran yang telah
ditetapkan sebesar 75 %, maka nilai capaian yang tertinggal yaitu sebesar 28 % (75
% - 47 % = 28 %) diperlukan adanya kerjasama antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah daerah.
2. Jaringan Prasarana Angkutan Penyeberangan
Dalam analisis jaringan prasarana angkutan penyeberangan difokuskan pada
pelabuhan penyeberangan. Dalam hal ini telah ditegaskan, bahwa pelabuhan
penyeberangan adalah pelabuhan yang digunakan untuk melayani kegiatan angkutan
penyeberangan. Karena angkutan penyeberangan berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan
oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya, maka
peranan prasarana angkutan penyeberangan sangat penting. Pelabuhan
penyeberangan di Propinsi Papua Barat hanya terdapat di dua (2) lokasi. Lebih
jelasnya jumlah pelabuhan penyeberangan di Propinsi Papua Barat dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 4.16. Nama-Nama Pelabuhan dan Lokasi di Propinsi Papua Barat Dalam
Tahun 2013 No Nama Pelabuhan Lokasi
1 Pelabuhan Manokwari Kota Manokwari
2 Pelabuhan Sorong Kabupaten Sorong
Sumber : Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Direktorat Lalu Lintas ASDP- Ditjen Perhubungan darat, Kementerian
Perhubungan, 2013
46 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-42
Dari hasil wawancara Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat hanya
dua(2) unit pelabuhan penyeberangan , sementara kebutuhan sesuai dengan lintas
pelayanan penyeberangan relatif cukup banyak. Lebih jelasnya kebutuhan pelabuhan
penyeberangan di Propinsi Papua Barat dapat dilihat pada tabel beriut.
Tabel 4.17. Kebutuhan Pelabuhan Penyeberangan di Propinsi Papua Barat Dalam
Tahun 2013
No Kebutuhan Pelabuhan Lokasi
1 Pelabuhan Segat Segat
2 Pelabuha Seremuk Seremuk
3 Pelabuhan Manokwari Manokwari
4 Pelabuhan Sorong Sorong
5 Pelabuhan Konda Konda
6 Pelabuhan Teminambun Teminambun
7 Pelabuhan Mugun Mugun
8 Pelabuhan Kais Kais
9 Pelabuhan Inanwatan Inanwatan
10 Pelabuhan Kokonda Kokonda
11 Pelabuhan Bade Bade
12 Pelabuhan Mur Mur
13 Pelabuhan Kepi Kepi
14 Pelabuhan Numfor Numfor
15 Pelabuhan Saonek Saonek
16 Pelabuhan Kabarai Kabarai
17 Pelabuhan Waigima Waigama
18 Pelabuhan Mogen Mogen Sumber: Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Direktorat ASDP, Ditjen Perhubungan Darat- Kemneterian Perhubungan, 2013
Berdasarkan data pelabuhan yang sudah ada yang belum terbangun sesuai dengan
kebutuhan, ternyata pelabuhan yang sudah ada hingga saat ini hanya dua (2) unit,
sementara kebutuhan pelabuhan penyeberangan secara keseluruhan di Propinsi Papua
Barat terdapat delapan belas (18) unit.
Dengan memperhatikan data pelabuhan penyeberangan seperti telah dijelaskan
sebelumnya, maka nilai capaian tersedianya pelabuhan penyeberangan pada setiap
ibukota kabupaten/kota yang memiliki pelayanan angkutan penyeberangan dapat
dihitung dengan menggunakan rumus 47;
% Pelabuhan penyeberangan dalam suatu propinsi
∑ Pelabuhan Penyeberangan Dalam Suatu Propinsi
x 100%
∑ Pelabuhan Kebutuhan Pelabuhan Penyeberangan Dalam Suatu Propinsi
47 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-43
2 unit
= x 100 %
18 unit
= 11,11 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi, untuk nilai capaian
tersedianya pelayanan pelabuhan penyeberangan pada tahun 2014 ditetapkan 75 %.
Sementara nilai capaian pada tahun 2012 hanya sebesar 11,11 %. Berkenaan dengan
itu, yang harus dicapai hingga tahun 2014 adalah sebesar 63,89 % (75 % - 11,11 % =
63 %). Untuk mewujudkan pelabuhan tersebut hingga tahun 2014, maka diperlukan
adanya kerjasama antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terutama dalam
pembiyaan. Di samping itu, juga diperlukan adanya komitmen pemerintah pusat dan
Pemerintah Daerah dalam pembangunan pelabuhan, mengingat daerah Propinsi Papua
Barat terdiri dari pulau. Salah satu alternatif yang dapat menghubungkan wilayah
PropinsI Papua Barat adalah dengan membangun pelabuhan penyeberangan, sehingga
arus pergerakan barang dan penumpang antar pulau dapat diwujudkan.
Berdasarkan Cetak Biru Transportasi Penyeberangan Direktorat LLASDP, 2010 -
2015, rencana pembangunan pelabuhan penyeberangan di Propinsi Papua Barat dapat
dilihat pada tebel berikut 48.
Tabel 4.18. Rencana Pembangunan Pelabuhan di Propinsi Papua Barat Dalam
Tahun 2010 – 2015 No Rencana Pembangunan
Pelabuhan
Lokasi
1 Waigeo Kab Raja Empat
2 Fakfak Kab Pakfak
3 Waisor Kab Teluk Wondama
Sumber: Cetak Biru- Direktorat LLASDP, Ditjen Perhubungan Darat-
Kementarian Perhubungan 2010 - 2015
Diharapkan dengan adanya rencana tersebut dan dapat terealisir hingga tahun 2014,
maka kinerja Propinsi Papua Barat dalam pembangunan/pengadaan pelabuhan
penyeberangan akan lebih meningkat.
3. Keselamatan
Keselamatan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah terpenuhinya keselamatan kapal
dengan ukuran di bawah 7 GT dan kapal yang beroperasi pada lintas penyeberangan
antar kabupaten/kota dalam propinsi. Berhubung di Propinsi Papua Barat belum ada
yang menggunakan kapal di bawah 7 GT sebagai angkutan penyeberangan, maka
dalam hal ini belum dapat dibahas. Karena itu, bahasan akan difokuskan pada kapal
angkutan penyeberangan, karena sekarang ini telah digunakan sebagai angkutan antar
kabupaten/kota dalam Propinsi Papua Barat. Lebih jelasnya jumlah kapal
penyeberangan di Propinsi Papua Barat dapat dilihat pada tabel berikut;
48 Direktorat LLASDP, Ditjen Perhubungan Darat – Kementerian Perhubungan, 2010
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-44
Tabel 4.19. Jumlah Kapal Penyeberangan di Propinsi NTT Dalam Tahun 2013 No
Nama Kapal GRT
1
KMP Teluk Cendrawasih 478
2
KMP Kursi 173
3
KMP Komodo 193
Sumber : Direktorat LLASDP, 2013
Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat 2013
Kapal tersebut telah melayani beberapa lintasan, dan lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 4.20. Jumlah Kapal Penyeberangan di Propinsi Papua Barat Dalam Tahun
2013
No
Nama Kapal GRT Lintas Yang Dilayani
1
Monakwari - Numfor 478 KMP Teluk Cendrawasih
II
2 Sorong - Saonek 173 KMP Kursi
3 Saonek - Karabai 173 KMP Kursi
4 Sorong - Waigama 173 KMP Kursi
5
Sorong – Seget 173/193 KMP Kursi, KMP
Komodo
6 Seget - Seremuk 173 KMP Kursi
7 Seremuk- Konda/Teminabuan 173 KMP Kursi
8 Teinabuan - Mogen 193 KMP Komodo Sumber : Direktorat LLASDP, 2013
Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat 2013
Kapal penyeberangan tersebut di atas, haruslah memenuhi persyaratan material,
konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan, serta
perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang
dibuktikan dengan adanya sertfikat setelah dilakukan pemeriksaan. Dari hasil
pengamatan dari 8 kapal angkutan penyeberangan dan wawancara dengan Kapten
Kapal Penyeberangan serta Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat
c.q Bidang Perhubungan Laut Propinsi Papua Barat ternyata semua aspek kapal
tersebut layak digunakan dan/atau memiliki persyaratan laik operasional, hal ini
dibuktikan dengan adanya sertifikat. Lebih jelasnya aspek keselamatan dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 4.21. Apek Keselamatan Yang Dibuktikan Dengan Adanya Sertifikat di
Propinsi Papua Barat
No Aspek Keselamatan Keberadaan Srtfikat
1
2
3
4
5
Material
Konstruksi
Bangunan
Permesinan dan Perlistrikan
Stabilitas
Ada sertifikast
Ada sertifikat
Ada sertifikat
Ada sertifikat
Ada sertifikat
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-45
No Aspek Keselamatan Keberadaan Srtfikat
6
7
8
9
Tata Susunan
Radio
Elektronik
Perlengkapan Alat Penolong
Ada sertifikat
Ada sertifikat
Ada sertifikat
Ada sertifikat
Sumber: SOLAS, 1974
Hasil wawancara dan pengamatan di lokasi studi
Definisi operasional adalah terpenuhinya standar keselamatan dalam prosentase baik
kapal di bawah 7 GT dan kapal yang beroperasi pada lintas penyeberangan
antarkabupaten/kota dalam propinsi terhadap total jumlah kapal angkutan di bawah 7
GT ditambah kapal yang beroperasi pada lintas penyeberangan antarkabupaten/kota
dalam propinsi.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kapal di bawah 7 GT belum ada yang digunakan
sebagai angkutan penyeberangan. Berkenaan dengan itu, nilai capaian terpenuhinya
standar keselamatan bagi kapal angkutan penyeberangan antarkabupaten/kota dalam
propinsi dihitung dengan menggunakan rumus berikut 49;
% Keselamatan Kapal
∑ Kapal dibawah 7 GT + Kapal penyeberangan memenuhi standar keselamatan
= x 100 %
∑ Kapal Dibawah 7 GT + Kapa penyeberangan lintas antar kab/kota dlm Prop
3
= x 100 %
3
= 100 %
Pengertian masing – masing aspek keselamatan adalah sebagai berikut;
a. Material
Persyaratan material adalah kapal yang berbedera Indonesia yang diwajibkan
melakukan klasifikasi kapal atau kapal yang wajib kelas dengan kententuan; a.
panjang > = 20 m dan atau, b. tonase > = 100 GT dan atau, c. mesin penggerak >
= 250 PK dan atau, d. yang melakukan pelayaran Internasional meskipun telah
memiliki sertifikat dari Biro Klasifikasi asing 50. Lingkup klasifikasi kapal
meliputi: a. lambung kapal, instalasi mesin, instalasi listrik, perlengkapan
jangkar, b. instalasi pendingin yang terpasang permanen dan merupakan bagian
49 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 50 Peraturan Menteri Perhubungan No. 7 Tahun Tahun 2013 tentang Kewajiban Klasifikasi Bagi Kapal
Berbendera Indonesia Pada Badan Klasifikasi Pasal 2
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-46
dari kapal, c. Semua perlengkapan dan permesinan yang dipakai dalam operasi
kapal, d. sistem konstruksi dan perlengkapan yang menentukan tipe kapal 51.
Sebelum kapal dapat diregistrasi di BKI, kapal tersebut harus memenuhi
persyaratan dan peraturan teknik BKI. Pemenuhan tersebut melalui proses
persetujuan gambar teknik yang selanjutnya dilakukan survey di lapangan. Untuk
kapal yang dibangun sesuai dengan persyaratan peraturan klasifikasi akan
ditetapkan notasi klas kapal tersebut pada saat selesainya pemeriksaan secara
keseluruhan melalui survey klasifikasi dengan hasil yang memuaskan. Untuk
kapal yang sudah dioperasikan, BKI juga melaksanakan survey periode untuk
menjamin bahwa kapal masih memenuhi persyaratan klasifikasi kapal.
Seandainya terjadi kerusakan yang mungkin berpengaruh terhadap kondisi
klasifikasi diantara masa survey periodik, maka pemilik kapal dan/atau
operatornya diwajibkan menginformasikan kerusakan tersebut kepada BKI.
Dalam melaksanakan proses klasifikasi, BKI mengimplementasikan peraturan
teknik meliputi; a. evaluasi teknis terhadap rencana desain dan dokumen yang
berkaitan dengan kapal yang akan dibangun untuk memeriksa pemenuhan
terhadap peraturan yang berlaku; b. melaksanakan survey dan pemeriksaan
proses konstruksi kapal di galangan kapal oleh surveyor klasifikasi dan juga
pemeriksaan pada fasilitas produksi yang menghasilkan komponen utama kapal,
seperti pelat baja, permesinan, generator, propeller dll untuk menjamin bahwa
kapal dan komponennya dibangun sesuai dengan persyaratan klasifikasi; c. pada
saat selesainya pembangunan tersebut diatas dan berdasarkan laporan hasil
pemeriksaan selama pembangunan, bila seluruh persyaratan dipenuhi, maka BKI
akan menerbitkan sertifikat klasifikasi; d. Pada saat kapal tersebut beroperasi/
berlayar, pemilik kapal harus mengikuti program survey periodik dan diluar
survey periodic untuk mempertahankan klasifikasinya.
Kapal yang sudah memiliki klasifikasi, diwajibkan untuk terus melaksanakan
survey yang dipersyaratkan untuk mempertahankan status klasifikasinya. Jenis-
jenis survey periodik ini, antara lain survey pembaruan kelas (class renewal),
survey tahunan, (annual survey), survey antara (intermediate survey) dan survey
dok (docking/bottom survey). Selain itu survey poros baling-baling, boiler,
permesinan dan survey khusus lainnya sesuai dengan persyaratan klasifikasi. BKI
akan menerbitkan survey status dan diinformasikan kepada pemilik.
Klasifikasi kapal dilaksanakan berdasarkan pengertian bahwa kapal dimuati,
dioperasikan dan dirawat dengan cara yang benar oleh awak kapal yang
kompeten dan kualifikasi. Pemilik kapal bertanggung jawab untuk menjamin
bahwa perawatan kapal dilakukan dengan cara yang benar hingga survey
periodik berikutnya sesuai dengan persyaratan. Juga menjadi kewajiban pemilik
kapal atau yang mewakilinya untuk menginformasikan kepada surveyor
klasifikasi saat survey diatas kapal, semua kejadian atau kondisi yang
berpengaruh terhadap status klasifikasi.
Bila kondisi mempertahankan klasifikasi ini tidak dipenuhi, maka BKI akan
menegguhkan (suspend) atau mencabut (withdrawn) status klasifikasinya
51 http://www.klasifikasiindonesia.com/ajax/lain.php?menuku=mpat,2013
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-47
berdasarkan referensi persyaratan klasifikasi. Kapal mungkin akan kehilangan
status kualifikasinya untuk sementara atau atau secara permanen. Demikian juga,
kapal yang tidak melaksanakan survey periodik tepat waktu sesuai dengan
peraturan klasifikasi,maka BKI akan menangguhkan (suspend) status
klasifikasinya.
Surveyor klasifikasi dalam melaksanakan survey meliputi ; a. keseluruhan
pemeriksaan item survey sesuai dengan daftar isian yang telah didesain sesuai
dengan persyaratan kualifikasi; b. pemeriksaan yang lebih mendetail terhadap
bagian-bagian tertentu; c. menyaksikan (witness) proses pengujian (testing),
pengukuran (measurement) dan percobaan (trial) untuk meyakinkan pemenuhan
terhadap persyaratan klasifikasi. Bila mana surveyor menemukan korosi,
kerusakan struktur atau kerusakan lambung kapal, permesinan dan peralatan
terkait dimana menurut opini surveyor akan mempengaruhi status klasifikasi
kapal tersebut, maka surveyor akan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasi
ketidaksesuaian tersebut diatas. Rekmendasi tersebut wajib dilaksanakan oleh
pemilik kapal untuk melakukan tindakan perbaikan dan repair pada periode
waktu tertentu dalam rangka mempertahankan klasifikasinya.
Semua status klasifikasi kapal, berupa sertifikat dan laporan survey yang
dikeluarkan oleh BKI dijadikan referensi dalam mengambil keputusan oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam operasional kapal tersebut. Pihak asuransi
mempergunakannya untuk menetapkan premi asuransi dan klaim asuransi, pihak
pemilik muatan mempergunakannya untuk jaminan bahwa muatannya diangkut
oleh kapal yang laik, pihak pemilik kapal mempergunakannya untuk mengetahui
status kondisi kapal dan perawatannya serta untuk kepentingan komersial
memasarkan jasanya angkutannya dan pihak Pemerintah mempergunakannya
sebagai law enforcemen untuk memberikan clearance atau surat ijin berlayar.
Pada sertifikat telah terlihat material dengan kode sebagai berikut;
HTS ; Hight Tensile Steel
AL ; Alumuniun
FRP ; Fiber Reinforced
K ; Kayau
b. Konstruksi
Konstruksi kapal adalah kekuatan kapal untuk menahan terjangan air yang
mampu mengakibatkan tegangan-tegangan konstruksi kapal. Karena itu, haluan
sebuah kapal merupakan bagian yang paling besar mendapatkan tekanan dan
tegangan, sebagai akibat terjangan terhadap air dan pukulan-pukulan ombak.
Untuk mengatasi tegangan-tengangan tersebut, konstruksi haluan sebuah kapal
harus dibangun cukup kuat dengan cara sebagai berikut;
1) Di depan sekat pelanggaran bagian bawah, dipasang wrangwrang terbuka
yang cukup tinggi yang diperkuat dengan perkuatan-perkuatan melintang
dan balok-balok geladak
2) Wrangwrang dipasang membentang dari sisi yang satu ke sisi lainnya,
dimana bagian atasnya diperkuat lagi dengan sebuah flens. Pada bagian
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-48
tengah-tengah wrang secara membujur dipasang penguat tengah (center
girder) yang berhenti pada jarak beberapa gading linggi depan
3) Gading-gading pada haluan, biasanya jaraknya lebih rapat satu sama lain.
Pada jarak 15 % panjang kapal terhitung dari linggi depan, gading-gading
pada bagian bawah (deep framing) diperkuat, (20 % lebih kuat) kelinganya
lebih rapat, juga pelat lutut antara gadinggading dengan kulit kapal, dan
juga lajur-lajur di dekat lunas, pelatnya dipertebal
Untuk mengetahui, apakah kostruksi layak digunakan maka BKI selalu
melakukan pemeriksaan. Jika ternyata layak dan data tahannya baik, BKI
memberikan sertifikasi. Sertifikasi konstruksi kapal penyeberangan yang ada di
Bengkulu memperlihatkan adanya sertifikasi yang dikeluarkan BKI, artinya
persyaratan operasional masih terjamin.
c. Bangunan
Bangunan kapal adalah bentuk dan/atau ukuran sebuah kapal yang terdiri dari
ukuran membujur/memanjang (longtidunial) dan ukuran melintang/melebar
(transversal) sesuai dengan yang dipersyaratkan. Bangunan kapal harus mampu
mencerminkan kelaikan operasional kapal pada saat berlayar. Bangunan kapal
akan menggambarkan beberapa aspek:
1) Panjang;
a) LOA (Length Over All) artinya Panjang seluruhnya atau juga disebut
panjang maksimum kapal dari titik linggi haluan sampai pada titik
paling belakang pada linggi buritan
b) LBP (Length Between Perpartikuler), artinya jarak membujur titik
potong linggi haluan dengan garis air ( musim panas)
c) LOWL (Length On Board Water Line), artinya panjang membujur
sepanjang garis air (musim panas)
d) Panjang kapal dapat dikelompokkan pada tiga bagian yaitu: a. panjang
seluruhnya disebut LOA,b. Panjang menurut kelas, c. panjang terdaftar
/RB, d. panjang sepanjang garis air (LOWL)
2) Lebar :
a) Lebar terdaftar (Registered Breadth) ialah lebar seperti yang tertera di
dalam sertifikat kapal )
b) Lebar Tonase (Tonnage Breadth) ialah lebar sebuah kapal dari bagian
dalam wilayah keringat lambung yang satu sampai ke bagian dalam
wilayah keringat lambung lainnya, diukur pada lebar terbesar dan
sejajar lunas
3) Dalam :
a) Dalam (Depth) ialah jarak tegak diukur dari titik terendah badan kapal
sampai ke geladak lambung bebas. Jarak ini merupakan dalam menurut
Biro klasifikasi dimana kapal tersebut dikelaskan
b) Dalam Tonase ialah dalam yang dihitung mulai dari alas dasar sampai
geladak lambung
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-49
4) Ukuran Tegak (Vertikal):
a) Sarat kapal ialah jarak tegak diukur dari titik terendah badan kapal
sampai garis air. Jarak ini sering di istilahkan dengan sarat moulded
b) Lambung bebas (Free Board) ialah jarak tegak dari garis air sampai
geladak lambung bebas atau garis deck (Deck Line)
5) Tonase;
a) Kapal adalah sebuah benda terapung yang digunakan untuk sarana
pengangkutan di atas air. Besarnya kecilnya kapal dinyatakan dalam
ukuran memanjang, membujur, melintang, tegak dalam dan ukuran isi
maupun berat disebut tonase. Kegunaan ukuran – ukuran ini adalah
untuk mengetahui besar kecilnya sebuah kapal, besar kecilnya daya
angkut kapal dan besarnya bea yang akan dikeluarkan
b) Tonase sebuah kapal dapat dirinci sebagai ebrikut;
(1) Isi kotor (Gross Tonnage) GT
(2) Isi kotor besarnya tertera di sertifikasi kapal, isi kotor merupakan
jumlah
(3) Isi ruangan di bawah geladak ukur atau geladak tonase
(4) Isi ruangan/tempat-tempat antara geladak kedua dan geladak atas
(5) Isi ruangan-ruangan yang tertutup secara permanen pada geladak
atas atau geladak di atasnya
(6) Isi dari ambang palka (½ % dari BRT kapal)
(7) Isi atau volume ruangan ruangan di bawah geladak ukur
mengandung pengertian volume dari ruangan-ruangan yang
dibatasi:
(a) di sebelah atas oleh geladak jalan terus paling atas
(b) di sebelah bawah oleh bagian atas dari jalur dasar dalam
(c) di sebelah samping oleh bagian sebelah dalam gading-gading
Bangunan kapal, telah diformulasikan dalam bentuk gambar. Jika ada yang
kurang tepat, maka harus diperbaiki, sehingga opearsional kapal tidak mengalami
kendala. Oleh kapten kapal penyeberangan sebagai sampel studi telah
memperlihatkan sertifikasi bangunan, sebagai bukti bahwa bangunan kapal telah
laik digunakan dan laik berlayar.
d. Permesinan dan Perlistrikan
Mesin listrik merupakan alat listrik yang berputar dan dapat mengubah energi
mekanis menjadi energy listrik (menggunakan Generator AD/DC) serta dapat
mengubah energi listrik menjadi energy mekanis (menggunakan Motor AC/DC).
Di ain pihak juga dapat menditribusikan energy listrik dari satu rangkaian ke
rangkaian lain (menggunakan Transformator) dengan tegangan yang bias
berubah-ubah dan dengan frekuensi yang tetap melalui suatu medium berupa
medan magnet atas dasar prinsip Elektro Magnetis.52. mesin dan listrik adalah
52 www. national _ blogspot.com/2009/07/defenisi – mesin listrik.html, 2010
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-50
suatu yang hakiki dan sangat diperlukan dalam operasional kapal, karena itu
kelayakan mesin dan lsitrik harus disertifikasi. Dari ahsil wawancana dengan
Kapten Kapal angkutan penyeberangan telah memperlihatkan adanya sertifikasi
BKI dalam mesin dan lsirtik, artinya masin dan listrik yang digunakan masih
layak digunakan dalam operasional kapal.
e. Stabilitas
Stabilitas kapal adalah kemampuan kapal untuk menegak kembali sewaktu kapal
pada saat diapungkan, tidak miring ke kiri atau ke kanan, demikian pula pada
saat berlayar disebabkan oleh adanya pengaruh luar yang bekerja padanya pada
saat kapal diolengkan oleh ombak atau angin, kapal dapat tegak kembali.
Stabilitas kapal dapat dogolongkan dalam dua (2) jenis yaitu 53:
1) Stabilitas melintang kapal adalah kemampuan kapal untuk menegak kembali
sewaktu kapal menyenget dalam arah melintang yang disebabkan oleh
adanya pengaruh luar yang berdampak pada kapal.
2) Stabilitas membujur kapal adalah kemampuan kapal untuk menegak
kembali sewaktu kapal menyenget dalam arah membujur yang disebabkan
oleh adanya pengaruh luar yang berdampak pada kapal
Untuk menjaga stabilitas kapal dalam pelayaran diperlukan adanya beberapa
perangkat alat, yaitu 54:
1) Sirip lambung adalah sirip lunas atau disebut juga sebagai Bilge Keel yang
berfungsi untuk meningkatkan friksi melintang kapal sehingga lebih sulit
untuk terbalik dan menjaga stabilitas kapal. Bisanya digunakan pada kapal
dengan bentuk V
2) Tangki menyeimbang merupakan tangki yang berfungsi menstabilkan posisi
kapal dengan mengalirkan air ballast kapal dari kiri ke kanan kalau kapal
miring ke kiri dan sebaliknya kalau miring ke kanan tangki ini berfungsi
untuk menjaga stabilitas kapal
3) Sirip stabilisir merupakan sirip di lunas kapal yang dapat menyesuaikan
posisinya pada saat kapal oleng sehingga dapat menjaga stabilitas kapal
Mengingat stabilitas kapal sangat urgen bagi operasional, BKI selalu
mengingatkan perlu survey secara berkala, agar kapal dapat lebih nyaman, aman
serta selamat dalam pelayaran. Kapten kapal, telah memperlihatkan adanya
sertifikat stabilitas kapal penyeberangan, sebagai bukti bahwa secara berkala
telah dilakukan sertifikasi.
f. Tata Susunan
Tata susunan adalah penempatan alat-alat keselamatan sesuai dengan fungsinya
dan bilamana dibutuhkan secara cepat dapat didapatkan terutama dalam keadaan
53 SOLAS, 1984 54 htp;//pelayaran.net/tag/pengertian-stabilitas kapal, 2011
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-51
darurat. Tentunya harus dibantu dengan koridor yang tersedia diserta dengan
adanya tanda penujuk. Alat-alat penolong tersebut adalah sebagai berikut 55 ;
1) Alat penolong otomatis (inflatable liferafts), yaitu rakit penolong yang
ditiup secara otomatis. Alat peniupnya merupakan satu atau lebih botol
angina (asam arang) yang diletakkan diluar lantai rakit,
2) Alat-alat apung (Buoyant apparatus). Alat apung ini, dapat terapung, dan
dapat menahan orang-orang sehingga dapat tetap terapung. Alat apung
meliputi: Sekoci penolong Pelampung penolong, c.Rakit penolong yang
ditiup secara otomatis dan Baju penolong. Hal ini berguna untuk menolong
jiwa manusia pada waktu terjadi kecelakaan kapal yang sangat mendadak.
3) Line throwing apparatus (alat untuk melempar tali) . Alat ini gunanya untuk
melemparkan tali di atas kapal penumpang dan barang harus dilengkapi
dengan sebuah alat pelempar tali. Alat tersebut harus dapat melemparkan
tali paling sedikit sejauh 230 meter. Kegunaan alat pelempar tali itu ialah
untuk mengadakan hubungan tali antara kapal yang dalam keadaan
membutuhkan pertolongan dengan kapal lain, atau antara kapal yang kandas
dengan si penolong didaratan. Alat pelempar tali yang sering atau umum
dipergunakan oleh kapal kapal ialah jenis “Schermuly”.
4) Alat keselamatan pelayaran meliputi alat penolong yang terdiri dari; (1)
alat-alat penolong (live saving appliance), (2) sekoci (life boat) beserta
perlengkapannya, (3) alat-alat peluncur dewi-dewi (davits), (4) pelampung
penolong (life buoy), Baju penolong otomatis (life jacket or life belt), Rakit
penolong otomatis (inflatable life raft), Dan lainnya, (5) Alat-alat pemadam
kebakaran. (Fire Appliances) dan (6) Tanda-tanda bahaya dengan cahaya
atau suara (light and sound signals).
5) Pelampung Penolong (Life Buoy) meliputi dua (2) macam yaitu bantuk
lingkiran dan bentuk tapal kuda.
6) Dewi-Dewi (davits), adalah alat untuk meluncurkan sekoci dari kapal ke air,
yang terdiri dari; (1) dewi-dewi dengan system berputar (radial), dan (2)
dewi-dewi system menuang/brengsel (luffing davist). Dewi-dewi dengan
system berputar adalah digunakan untuk menurunkan sekoci-sekoci kerja,
dan melayani tali-tali. Sementara Dewi-Dewi dengan system menuang (
brengsel/ luffing davits) adalah digunakan sebagai sekoci penolong kapal
pelayaran samudra atau juga hal ini disebut system gravitasi atau kombinasi
antara dua system di atas.
7) Sekoci, adalah bagian dari perlengapak pelayaran yang harus dipenuhi pada
syarat-syarat pembuatan kapal termasuk konstruksi, mekanis
perlengkapannya untuk menurunkan dan mengankat sekoci. Sekoci ini
terdiri dari dua bagian yaitu sekoci penolong yang terbuka dengan lambung
dan tetap dan disisi dalamnya terdapat kotak-kotak udara, serta sekoci biasa
yang terbuka tanpa ada perubahan kotak-kotak udara sebagai alat penambah
daya apung. Ditinjau dari segi fungsinya, sekoci dikelompokkan tiga (3 )
bagian yaitu; (a) Sekoci penolong, untuk menolong awak kapal apabila
terjadi kecelakaan. (b) Sekoci penyeberang, gunanya untuk mengangkut
awak kapal dari tengah laut ke pantai atau sebaliknya. Pada kapal barang
kadang-kadang sekoci ini juga dipergunakan untuk menarik tongkang-
55 SOLAS ‘1960 ( International Convention for The Safety 0f at Life At Sea, 1960 )
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-52
tongkang muatan dari darat ke kapal dan sebaliknya dimana kebetulan tidak
ada motor boat yang tersedia. (c) Sekoci meja, untuk memindahkan barang-
barang yang berat dan untuk mengangkut perlengakapan perbaikan kapal.
Ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan sekoci penolong dan umumnya
mempunyai dasar yang rata. Tata susun peralatan tersebut ditempatkan
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh BKI ( Biro klasifikasi
Indonesia ), dan oleh Kapten Kapal Penyeberangan sebagai sampel studi
telah memperlihatkan penempatan alat keselamatan yang ada sesuai dengan
prosedur yang telah diisyaratkan.
Penempatan sekoci-sekoci penolong di atas kapal harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut 56;
1) harus ditempatkan sedemikian rupa hingga dapat diluncurkan atau
diturunkan keair, dalam waktu sesingkat mungkin dan tidak boleh lebih
dari.
2) dapat diturunkan dengan mudah, cepat dan aman walaupun miring 15o.
3) para pelayar harus dapat cepat dan aman masuk dalam sekoci.
4) tidak boleh dipasang pada sisi atau bagian belakang kapal,bilamana
diturunkan keair akan membahayakan karena dekat propeller.
5) di atas kapal penumpang penempatan sekoci-sekoci itu diperbolehkan satu
diatas lainnya atau berjejer dengan catatan apabila penempatan yang satu
diatas yang lainnya harus terdapat alat yang baik untuk menumpu serta
menjaga kerusakan pada sekoci yang dibawanya.
6) untuk kapal barang berukuran kecil, yang daerah pelayarannya terbatas,
yang praktis hanya dapat membawa satu sekoci penolong saja maka
penempatannya sedemikian rupa dapat diturunkan baik daris isi kiri atau
pun dari sisi kanan dengan mudah, umumnya ditempatkan pada Derek
dibelakang cerobongnya.
Dari hasil pengamatan di beberapa kapal menjadi yang menjadi sampel studi,
terlihat bahwa penempatan alat penolong telah ditempatkan sesuai dengan aturan,
dan kapten kapal telah menunjukkan sertfikasi tata susunan alat penlong. Karena
pentingnya tata susunan alat penolong tersebut, secara utin ada verifikasi dari
BKI , sehingga pada saat terjadi musibah, para awak kapal dapat dipastikan dan
para penumpang dapat menggunakan secara efektif. Semua alat penolong
tersebut , telah ditempatkan pada kapal penyeberangan yang beropearsi di
Propinsi Papua Barat.
g. Radio
Radio adalah teknologi yang digunakan untuk pengiriman sinyal dengan cara
modulasi dan radiasi ekeltromagnetik (gelombang elektromagnetik). Gelombang
ini melintasi dan merambat lewat udara dan bias juga merambat lewat ruang
angkasa yang hampa udara, karena gelombang ini tidak memerlukan medium
pengangkut seperti molekul udara 57. Radio sebagai salah satu media memiliki
56 Solas, 1974 57 Http://id.wikipedia.org/wiki/radio , 2011
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-53
karakteristik cepat dalam menyampaikan pesan, luas jangkauannya dalam arti
tidak mengenal medan, tidak terikat waktu, ringan dan dapat dibawa kemanapun,
murah dan tidak memerlukan banyak konsentrasi karena radio hanya untuk
didengarkan 58 Radio sangat berfungsi untuk operasional kapal, dan biasanya
jenis radio yang digunakan adalah ;
1) GMDSS (Global Maritime Distress Safety System)
GMDSS adalah satu paket keselamatan yang disetujui secara internasional
yang terdiri dari prosedur keselamatan, jenis-jenis peralatan, protocol-
protokol komunikasi yang dipakai untuk meningkatkan keselamatan dan
mempermudah saat menyelamatkan kapal dan perahu. GMDS terdiri dari
beberapa sistem dan system ini berfungsi untuk ; a. bersiap siaga ( termasuk
memantau posisi dari unit yang mengalami kecelakaan), b.
menggkoordinasikan Serach and Rescue, mencari lokasi ( mengevakuasi
korban untuk kembali kedaratan ), c. menyiarkan informasi maritime
mengenai keselamatan, komunikasi umum, dan komunikasi antar kapal.
Radio komunikasi yang spesifik diperlukan sesuai dengan daerah operasi
kapal, bukan berdasarkan tonase. Sistem tersebut juga terdiri dari peralatan
pemancar sinar berulang sebagai tanda bahaya serta memiliki sumber power
darurat untuk menjalan fungsinya 59
2) EPIRB (Emergency Position Indicating Radio Beacon)
EPIRB berfungsi untuk mendeteksi keberadaan/lokasi satu benda (kapal laut)
yang sedang mengalami distress atau musibah sehingga mempermudah tim
SAR atau tim penolong untuk mengetahui lokasi dimana kapal laut
mengalami distress atau musibah sehingga cepat untuk mengadakan
pertolongan atau bantuan. EPIRB adalah merupkan salah satu alat
keselamatan yang berada di atas kapal. Untuk kapal boat atau kapal kecil
biasanya ditempatkan di sisi luar main deck atau tempat untuk mudah di
realase 60
Dari hasil pengamatan di beberapa kapal sebagai sampel studi, kapal
penyeberangan yang ada di Propinsi Papua Barat telah menggunakan EPIRB.
Berdasarkan informasi dari kapten kapal, teknologi ini sangat akurat
digunakan dan penggunaannya juga relative lebih mudah. Karena radio
adalah merupakan salah satu alat keselamatan yang harus ada peda setiap
kapal, maka BKI ( Biro Klasifikasi Indonesia ) melakukan survey atau
memeriksa tentang kehandalan radio yang digunakan. Setelah dilakukan
survey, dan dinyatakan baik, maka selanjutnya diberikan sertifikat radio. Di
dalam kapal penyeberangan sebagai sampel studi, kapten kapal telah
menujukkan adanya sertifikasi radio, dan alat ini diharuskan diperiksa agar
dalam pelayaran terhindar dari permsalahan pada waktu digunakan.
58 http://Smartconsultingbandung.blongspot.com/2010/pengertian-radio , 2012 59 http://selatbangka.blogspot.com/2011/03/gmdss-global-maritime-distress 60 http://boeceng.blogspot.com/2012/05/epirb-apa-fungsi-dan-cara kerjanya
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-54
h. Navigasi
Kenavigasian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Sarana Bantu
Navigasi-Pelayaran, Telekomunikasi-Pelayaran, hidrografi dan meteorologi, alur
dan perlintasan, pengerukan dan reklamasi, pemanduan, penanganan kerangka
kapal, salvage, dan pekerjaan bawah air untuk kepentingan keselamatan
pelayaran kapal. Sementara Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran adalah peralatan
atau sistem yang berada di luar kapal yang didesain dan dioperasikan untuk
meningkatkan keselamatan dan efisiensi bernavigasi kapal dan/atau lalu lintas
kapal 61.
Pada setiap kapal diharuskan memiliki kenavigasian,dengan maksud untuk
menjamin keselamatan berlayar. Karena bernavigasi berfungsi melayarkan kapal
dari suatu tempat ketempat lain. Sistem navigasi di laut mencakup beberapa
aspek kegiatan pokok antara lain; a. menentukan tempat kedudukan ( posisi )
dimana kapal berada di permukaan bumi, b. mempelajari serta menentukan
rute/jalan yang harus ditempuh agar kapal dengan aman, cepat, selamatn, dan
efisien sampai ke tujuan, c. menentukan haluan antara tempat tolak dan tempat
tiba yang diketahui sehingga jauhnya/jaraknya dapat ditentukan, d. menentukan
tempat tiba bilamana titik tolak haluan dan jauh jauh diketahui 62 Karena itu,
navigasi adalah proses melayarkan kapal dari suatu tempat ke tempat lain dengan
lancer aman dan efisien. Alat navigasi dibagi menjadi dua (2) macam yaitu alat
navigasi konvensional dan elektronik. Di dalam kapal, yang digunakan adalah
navigasi elektronik yaitu radar. Radar singkatan dari “Radio Detection AND
Ranging “ yaitu peralatan navigasi elektronik yang berfungsi mendeteksi dan
mengukur jarak suatu objek dalam pelayaran. Di samping itu, juga memberikan
petunjuk adanya kapal, pelampung, kedudukan pantai dan objek lain disekeliling
kapal, alat ini juga dapat memberikan baringan dan jarak antara kapal dan objek-
objek lainnya. Mengingat peranan navigasi dalam pelayaran, secara periodek
diharus melakukan survey atau uji kelayakan, sehingga keamanan dan
keselamatan berlayar dapat lebih terjamin. Kapal yang ditetapkan sebagai sampel
studi telah memperlihatkan sertfikasi navigasi yang dikeluarkan oleh BKI.
Artinya, navigasi yang ada di kapal penyeberangan tersebut laik digunakan, dan
berdasarkan informasi dari Kapten Kapal secara rutin harus diperikasa kelaikan
operasional penggunaan alat tersebut, sehingga tidak mengalami permasalahan
pada waktu kapal berlayar.
i. Alat pertolongan
Berdasarkan ketentuan SOLAS dengan kapal GT 300 - hingga 500 dengan jarak
lintasan yang dilayani 15–100 mil, harus memenuhi persyaratan keselamatan/alat
pertolongan sebagai berikut 63;
1) Resque Boat (Perahu Penyelamat) 1 unit
2) Life Raft (Rakit Penolong) untuk 100% awak kapal dan penumpang
(Inflatable life Raft with Light/rakit dengan cahaya)
3) Life Jacket (baju pelampung) untuk 100% awak kapal dan penumpang
4) Life Jacket with light (baju pelampung dengan cahaya)
61 Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian Pada Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) 62 SOLAS, 1974 63 SOLAS, 1974
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-55
5) Means Of Rescue (alat penolong)
6) Extra Life Jacket (tambahan baju pelampung/10%)
7) Helicopter Pick Up Area (area 55ystem55ter)
8) Marine Evacuation System/MES (sistem evakuasi)
9) Embarkation Ladder ( Tangga keberangkatan)
10) Two Way VHF(radio VHF penerima dan pemancar) ( 3 units)
11) SART (2 Unit)
12) Distress Flare 12
13) Emergency Communication (alat komunikasi darurat)
14) General Emergency Alarm (alarm darurat umum)
15) Public Address System (ystem informasi umum)
16) Life Buoys (pelampung) 8 unit
17) Muster list and Emergency instruction
(tanda berkumpul dan instruksi bahaya)
18) 1 Unit Survival Craft (perahu kerja)
19) 2 Life Boat in Board Places in Side Of Ship
20) (sekoci penolong pada dua sisi kapal)
Dari hasil wawancara dari Kapten Kapal Angkutan Penyeberangan persyaratan
bangunan kapal penyeberangan yang ada di Propinsi Papua Barat dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 4.22. Persyaratan Pelayanan Bangunan Kapal Penyeberangan Yang Ada
di Propinsi Papua Barat Sebagai Lokasi Studi
No Persyaratan Bangunan Kapal
Berdasarkan Aturan
Kapal di Propinsi Papua Barat
1
2
Pintu Rampa
a.Terdiri 2 pintu, dipasang bagian
haluan dan buritan ( Tipe RO-RO)
atau samping kiri dan kanan yang
berguna sebagai jalan keluar dan
masuk kendaraan
b.di lintas-lintas tertentu yang
mempunyai peralatan tangga
samping (elevated side-ramp),
kapal yang melayani harus
mempunyai gelakdak atas untuk
kendaraan (upper car deck ) dan
membuat dudukan atau tumpuan
untuk rampa dermaga sehingga
dapat langsung digunakan untuk
jalan keluar masuk kendaraan
Spesifikasi Teknis Pintu Rampa:
a.Panjang ; harus disesuaikan dengan
kondisi yang dilayani
b.Lebar: minimum 4 m
c.Kecepatan buka/tutup pintu:
- membuka penuh maksimal 2 menit
- menutup penuh maksimal 3 menit
-Daya dukung ; harus mampu
mendukung beban kendaraan
Pintu Rampa
a.Terdiri 2 pintu, dipasang bagian
haluan dan buritan ( Tipe RO-RO)
atau samping kiri dan kanan yang
berguna sebagai jalan keluar dan
masuk kendaraan
b.di lintas-lintas tertentu yang
mempunyai peralatan tangga samping
(elevated side-ramp),kapal yang
melayani harus mempunyai gelakdak
atas untuk kendaraan (upper car
deck) dan membuat dudukan atau
tumpuan untuk rampa dermaga
sehingga dapat langsung digunakan
untuk jalan keluar masuk kendaraan
Spesifikasi Teknis Pintu Rampa:
a.Panjang ; harus disesuaikan dengan
kondisi yang dilayani
b. Lebar: minimum 4 m
c. Kecepatan buka/tutup pintu:
- membuka penuh maksimal 2 menit
- menutup penuh maksimal 3 menit
-Daya dukung ; harus mampu
mendukung beban kendaraan
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-56
No Persyaratan Bangunan Kapal
Berdasarkan Aturan
Kapal di Propinsi Papua Barat
3
4
5
6
minimal:
JBB 17,50 ton
MST 8 ton
Ruang Untuk Kendaraan:
a.lantai ruang kendaraan harus
dirancang mampu menahan
kendaraan minimal JBB 17,50 ton
dan MST 8 ton untuk muatan
berat atau truk;
1) Kendaraan kecil/sedang
minimal 2,50 m
2) Kendaraan besar/truk dan
campuran minimal 3,80 m
3) Kendaraan trailer/peti
kemas minimal 4,70 m
Ruang kendaraan yang tertutup harus
disediakan lampu penerangan,
system sirkulasi udara, tangga/jalan
keluar/masuk bagi pengemudi, serta
harus ditempelkan/ditulisi tanda
larangan “Dilarang Merokok”, dan “
Penumpang Dilarang Tinggal di
Ruang Kendaraan” serta “Dilarang
Menghidupkan Mesin Kendaraan
Selama pelayaran Sampai Pintu
Rampa Dibuka Kembali”, yang dapat
terlihat jelas dan mudah dibaca
Jarak minimal antar kendaraan:
a. Jarak antara masing-masing
kendaraan pada sisi kiri dan kanan
adalah 60 cm
b. Jarak antara muka dan belakang
masing-masing kendaraan adalah
30 cm
c. Untuk kendaraan yang sisi
sampingnya bersebelahan dengan
dinding kapal, berjarak 60 cm
dihitung dari lapisan dinding
dalam atau sisi luar gading-gading
( frame)
d. Jarak sisi antara kendaraan
dengan tiang penyangga ( web
frames ), adalah 60 – 80 cm
Antara pintu rampa
haluan/buturian dengan batas
sekat pelanggaran, dilarang untuk
dimuati kendaraan
Untuk lintas-lintas peneberangan
yang kondisi lautnya berombak
minimal:
JBB 17,50 ton
MST 8 ton
Ruang Untuk Kendaraan:
a.lantai ruang kendaraan harus
dirancang mampu menahan
kendaraan minimal JBB 17,50 ton
dan MST 8 ton untuk muatan berat
atau truk;
4) Kendaraan kecil/sedang
minimal 2,50 m
5) Kendaraan besar/truk dan
campuran minimal 3,80 m
6) Kendaraan trailer/peti kemas
minimal 4,70 m
Ruang kendaraan yang tertutup harus
disediakan lampu penerangan, system
sirkulasi udara, tangga/jalan
keluar/masuk bagi pengemudi, serta
harus ditempelkan/ditulisi tanda
larangan “Dilarang Merokok”, dan “
Penumpang Dilarang Tinggal di Ruang
Kendaraan” serta “Dilarang
Menghidupkan Mesin Kendaraan
Selama pelayaran Sampai Pintu Rampa
Dibuka Kembali”, yang dapat terlihat
jelas dan mudah dibaca
5.Jarak minimal antar kendaraan:
a. Jarak antara masing-masing
kendaraan pada sisi kiri dan kanan
adalah 60 cm
b. Jarak antara muka dan belakang
masing-masing kendaraan adalah 30
cm
c. Untuk kendaraan yang sisi
sampingnya bersebelahan dengan
dinding kapal, berjarak 60 cm
dihitung dari lapisan dinding dalam
atau sisi luar gading-gading ( frame)
d. Jarak sisi antara kendaraan dengan
tiang penyangga ( web frames ),
adalah 60 – 80 cm
6.Antara pintu rampa haluan/buturian
dengan batas sekat pelanggaran,
dilarang untuk dimuati kendaraan
.Untuk lintas-lintas peneberangan
yang kondisi lautnya berombak kuat
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-57
No Persyaratan Bangunan Kapal
Berdasarkan Aturan
Kapal di Propinsi Papua Barat
7
kuat sehingga membuat sudut
kemiringan kapal mencapai lebih
dari 100 , kemiringan yang dimuat
dalam kapal harus dilengkapi
dengan system pengikatan
(lashing)
sehingga membuat sudut kemiringan
kapal mencapai lebih dari 100 ,
kemiringan yang dimuat dalam
kapal harus dilengkapi dengan
system pengikatan (lashing)
Sumber: Hasil wawancara dan pengamatan pada kapal di Propinsi Papua Barat, 2013
Artinya, kapal angkutan penyeberangan yang ada di Propinsi Papua Barat telah
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan sesuai dengan standar pelayanan
kapal angkutan penyeberangan.
D. Angkutan Laut
1. Jaringan Pelayanan Angkutan Laut
Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang
dan/atau barang dengan menggunakan kapal 64. Angkutan Laut adalah kegiatan
angkutan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut 65. Berdasarkan
informasi dari Dinas Perhubungan & Informatika c.q Bidang Program Propinsi Papua
Barat hingga sekarang belum ada angkutan laut yang melayani antar kabupaten/kota
dalam Propinsi Papua Barat. Angkutan laut yang melayani antarkota/kabupaten dalam
Propinsi Papua Barat adalah angkutan laut perintis. Pelayaran-Perintis adalah
pelayanan angkutan di perairan pada trayek-trayek yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk melayani daerah atau wilayah yang belum atau tidak terlayani oleh angkutan
perairan karena belum memberikan manfaat komersial 66.
Peraran kapal laut perintis sangat diperlukan pada daerah yang kondisi ekonomi
daerah dan masyarakat masih lemah. Karena itu, untuk memobilisasi pergerakan
masyarakat dan barang dari dan ke daerah tersebut diperlukan adanya kapal laut
perintis. Sekarang ini, jumlah kapal perintis di Propinsi Papua Barat terdapat sebanyak
tujuh (7) unit kapal utama dan enam (6) kapal pengganti. Dengan demikian, total
keseluruhan dua belas (12) unit, dan lebih jelasnya lihat tabel berikut.
Tabel 4.23. Jumlah Kapal Laut Perintis di Propinsi Papua Barat Dalam Tahun 2013
No Kode Trayek Pangkalan Kapal Utama Kapal
Pengganti
1 R - 55 Manokware KM Kasuari pasifik
I
2 R- 56 Manokwari KM Delta Mas II KM Bejo Maru
3 R - 57 Manokwari KM Kasuari pasifik
III
KM Bintang Jasa III
4 R - 58 Manokwari KM Meranti KM Bintang Satya
5 R - 59 Sorong KM Kasuari Pasifik
II
KM Kumala Bakti
6 R - 60 Sorong KM Raja Empat KM Jatim
64 Undang – Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pada Pasal 1 Ayat (3 ) 65 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan Pada Pasal 1 Ayat (2 ) 66 Undang – Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pada Pasal 1 ayat (8)
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-58
No Kode Trayek Pangkalan Kapal Utama Kapal
Pengganti
7 R- 61 Sorong KM. Silver Whale KM. Bintang Satya
Sumber : Dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat, 2013
Direktorat LALA, Ditjen Perhubungan Laut – Kementerian Perhubungan, 2013
Sementara jaringan trayek yang telah dilayani angkutan kapal laut perintis di Propinsi
Papua Barat dapat dilihat pada tabel berikut.
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-59
REALISASI JARINGAN KAPAL PERINTIS PROVINSI PAPUA BARAT DALAM TAHUN 2013
1 Manokwari R - 55 Manokwari -71- Saukorem -150-
Sorong -171- Arandai -80- Bintuni -40-
Babo -79- Kokas -80- Fak Fak -80-
Karas -130- Kaimana -130- Karas -80-
Fak Fak -80- Kokas -79- Babo -40-
Bintuni -80- Arandai -171- Sorong -
150- Saukorem -171- Manokwari
1.762 KM. Kasuari Pacific I /
500 DWT
16 HARI 23 Voyage
R - 56 Manokwari -140- Biak -140-
Manokwari -53- Ransiki -11- Yenbekiri
-9- Yamakan -17- Sabubar -31-
Yende -12- Asedane -19- Windesi -26-
Wasior -6- Ambumi -10- Dusner -10-
Ambumi -6- Wasior -26- Windesi -19-
Asedane -12- Yende -31- Sabubar -
17- Yamakan -9- Yenbekiri -11-
Ransiki -53- Manokwari
668 350 DWT / GT. 220
Coaster
12 HARI 31 Voyage
R - 57 Manokwari -71- Saukorem -24-
Wanden -17- Waibem -7- Wau -17-
Warmandi -18- Saubeba -14- Kwoor -
10- Hopmare -16- Werur -12-
Sausapor -71- Sorong -71- Sausapor
-12- Werur -16- Hopmare -10- Kwoor -
14- Saubeba -18- Warmandi -17-
Wau -7- Waibem -17- Wanden -24-
Saukorem -71- Manokwari -120-
Wasior -120- Manokwari
794 KM. Kasuari Pacifik III
/ 500 DWT
13 HARI 28 Voyage
R - 58 Manokwari -71- Saukorem -115-
Sausapor -74- Sorong -48- Waisai -
70- Kapadiri -24- P.Ayu -52- P.Fani -
52- P.Ayu -24- Kapadiri -70- Waisai -
48- Sorong -74- Sausapor -115-
Saukorem -71- Manokwari -120-
Wasior -120- Manokwari
1.148 KM. Kasuari Pacifik II
/ 500 DWT
13 HARI 29 Voyage
Lama Pelayaran 1
Round Voyage
Target Frekuensi
Per Tanggal
31/12/2013
Ukuran dan Type
Kapal *)No.
Provinsi/
Pangkalan
Kode
TrayekJaringan Trayek dan Jarak Mil
Jumlah Jarak
(Mil)
Tabel 4.24. Jaringan Kapal Perintis di Propinsi Papua Barat Dalam Tahun 2013
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-60
2 Sorong R - 59 Sorong -93- Yellu -77- Bula -64-
Geser -60- Gorom -35- Kesui -128-
Fak Fak -182- Kaimana -68- Teluk
Etna -200- Pomako PP
1.814 KM. Sabuk Nusantara
32/ GT. 1.200
15 HARI 25 Voyage
R - 58 Sorong -38- Waisai -30- Urbinasopen -
25- Yembekaki -12- Mneir -16-
Kabare -23- Lamlam (Kapadiri) -38-
P.Ayu -61- P.Fani -61- P.Ayu -25-
Kabare -16- Mneir -12- Yembekaki -
25- Urbinasopen -30- Waisai -38-
Sorong -37- Saonek -42- Waisilip -36-
Selfele -10- Manyaifun -12- Mutus -10-
Meosmengkara -24- Waisilip -42-
Saonek -37- Sorong -38- Waisai -15-
Wersamben -15- Waifoi -8- Beo -8-
Kabilol -41- Waisai -38- Sorong
863 350 DWT / GT. 220
Coaster
16 HARI 23 Voyage
R - 59 Sorong -43- Seget -40- Segun -56-
Seremuk -42- Saifi -8- Konda -12-
Teminabuan -68- Kais -10- Mugim -35-
Inanwatan -43- Kokoda -46- Arandai -
80- Bintuni -40- Babo -79- Kokas -36-
Kokoda -43- Inanwatan -35- Mugim -
10- Kais -68- Teminabuan -12- Konda
-8- Saifi -42- Seremuk -56- Segun -40-
Seget -43- Sorong
995 350 DWT / GT. 220
Coaster
14 HARI 26 Voyage
R - 60 Sorong -47- Mega -20- Sausapor -15-
Werur -14- Hopmare -10- Kwoor -14-
Saubeba -20- Warmandi -20- Wau -
10- Waibem -10- Imbuan -20-
Saukorem -20- Imbuan -10- Waibem -
10- Wau -20- Warmandi -20-
Saubeba -14- Kwoor -10- Hopmare -
14- Werur -15- Sausapor -20- Mega -
47- Sorong -85- Kabare -35- P.Ayu
(Dorekar) -80- P.Fani -80- P.Ayu
(Dorekar) -35- Kabare -85- Sorong -
38- Waisai 35- Selfele -15- P. Kawe -
21- P. Wayaf -15- P. Sayang -15- P.
Wayak -21- P. Kawe -15- Selfele -35-
Waisai -38- Sorong
1.048 500 DWT / GT. 325
Coaster
19 HARI 21 Voyage
R - 61 Sorong -74- Sausafor -115-
Saukorem -71- Manokwari -117-
Windesi -26- Wasior -26- Windesi -
117- Manokwari -71- Saukorem -115-
Sausafor -74- Sorong -93- Yellu -220-
Bintuni -40- Babo -79- Kokas -79-
Babo -40- Bintuni -220- Yellu -93-
Sorong
1.67 750 DWT / GT. 480
Coaster
17 HARI 22 Voyage
R - 62 Sorong -95- Kabare -35- P.Ayu -80-
P.Fani -80- P.Ayu -35- Kabare -85-
Sorong -43- Seget -40- Segun -93-
Teminabuan -110- Inanwatan -43-
Kokoda -36- Kokas -36- Kokoda -43-
Inanwatan -115- Teminabuan -93-
Segun -40- Seget -43- Sorong
1.145 750 DWT / GT. 480
Coaster
15 HARI 24 Voyage
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-61
Untuk mengetahui capaian tersedianya angkutan kapal perintis yang melayani per
jaringan di Propinsi Papua Barat dapat dilihat sebagai berikut;
a. Jaringan trayek dengan Kode R. 55
Untuk menghitung nilai capaian tersedianya angkutan laut kapal perintis yang
dengan Kode R.55, langkah pertama yang harus diketahui adalah kapasitas kapal
perintis. Berdasarkan data dan informasi, kapasitas kapal perintis Kode R.55
dengan nama KM. Kasuari Pasifik I memiliki 250 orang. Kapal tersebut memiliki
23 Voyage. Dengan demikian, kapasitas KM Kasuari pasifik I dalam satu (1)
tahun = 250 orang x 23 = 5.750 orang. Sementara jumlah penumpang yang
diangkut dalam tahun 2011 terdapat sebanyak 540 orang. Karena itu, nilai capaian
tersedianya angkutan kapal perintis yang melayani trayek dengan Kode R.55 dapat
dihitung dengan rumus 67;
% Jaringan Trayek Linier
∑ Rata-rata Muatan Penumpang Per Tahun
= x 100 %
∑ Rata – rata Kapasitas Penumpang Yang Tersedia Per Tahun
540 Orang
= x 100 %
5.700
= 9,47 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi telah ditetapkan
tersedianya kapal laut perintis yang beroperasi pada lintas antar Kabupaten/Kota
dalam propinsi pada wilayah yang memiliki alur dan tidak ada alternatif jalan
ditetapkan 100 % hingga tahun 2014. Sementara nilaian capain sekarang ini hanya
mencapai 9,47 %, artinya perkembangan penduduk yang menggunakan kapal
perintis belum begitu berkembang. Faktor lain mungkin disebabkan karena
perkembangan penduduk pada beberapa pulau sebagai daerah lintasan belum
begitu banyak, aktivitas penduduk antar daearah terutama sebagai lintasan kapal
laut perintis belum begitu berkembang dan di lain pihak pendapatan perkapitan
bagi masyarakat di daerah lintasan belum bergitu berkembang.
Aspek lain yang perlu diperhatikan, dengan angka nilai capaian 9,47 % dalam
tahun 2011, adalah bahwa kapal yang melayani trayek tersebut perlu
meningkatkan konektivitas ke beberapa pulau lainnya, sehingga keberadaan kapal
dapat menjangkau beberapa pulau lainnya. Pada trayek ini tidak perlu peningkatan
dan atau penambahan kapal, karena nilaian capaiannya masih relatif rendah yaitu
hanya 9,47 %. Kecuali jika nilaia capaiannya mencapai lebih besar dari 65 %
(enam puluh lima perseratus) dapat diizinkan penambahan 1 (satu) unit kapal
67 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-62
dalam satu jaringan trayek tersebut. Sementara jika lebih kecil dari 65 % tidak
akan diizinkan penambahan kapal dalam satu jaringan trayek tersebut 68
b. Jaringan trayek dengan Kode: R.56
Untuk menghitung nilai capaian tersedianya angkutan laut kapal perintis yang
melayani jaringan dengan Kode R.56, langkah pertama yang harus diketahui
adalah kapasitas kapal perintis tersebut. Berdasarkan data dan informasi, kode
trayek R .56 dengan KM Delta Mas II memiliki kapasitas 150 orang. Kapal
tersebut memiliki Voyage 31. Dengan demikian, kapasitas KM Delta Mas II
dalam satu (1) tahun terdapat 4.650 orang (31 Voyage x 150 orang = 4.650 orang).
Sementara di lain pihak, dalam tahun 2011, jumlah penumpang KM. Delta II
dalam tahun 2011 terdapat 1.844 orang. Karena itu, nilai capaian tersedianya
angkutan kapal laut perintis yang melayani trayek dengan Kode R.56 dapat
dihitung dengan rumus 69;
% Jaringan Trayek Linier
∑ Rata-rata Muatan Penumpang Per Tahun
= x 100 %
∑ Rata – rata Kapasitas Penumpang Yang Tersedia Per Tahun
1.844 Orang
= x 100 %
4.650 orang
= 39,65 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi ditetapkan tersedianya
kapal laut perintis yang beroperasi pada lintas antar Kabupaten/Kota dalam
propinsi pada wilayah yang memiliki alur dan tidak ada alternatif jalan ditetapkan
100 % hingga tahun 2014. Sementara nilaian capain sekarang ini baru mencapai
39,65 %, hal ini berarti perkembangan penduduk yang menggunakan kapal laut
perintis belum begi berkembang. Hal ini mungkin disebabkan karena keadaan
ekonomi masyarakat pada jaringan tersebut masih relatif rendah. Faktor lain,
mungkin disebabkan karena aktifitas antar pulau/daerah ke wilayah yang termasuk
dalam jaringan tersebut belum begitu berkembang. Bilamana dibanding nilai
capaian tersedianya kapal perintis angkutan laut sebesar 39,65 % terdapat standar
yang ditetapkan 100 % hingga tahun 2014, maka nilai yang harus dicapai adalah
60,35 % ( 100 % - 39,65 % = 60,35 %)
Aspek lain yang perlu diperhatikan, dengan angka nilai capaian 39,65 % dalam
tahun 2011, berarti kapasitas kapal yang tersedia masih banyak belum
dimanfaatkan. Pada jaringan tersebut, belum bias penambahan kapal, bahkan
68 Peraturan Menteri Perhubungan No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Pada hal 23 69 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-63
diperlukan penambahan konektivitas kapal Delta Mas II dan voayage sehingga
target yang ditetapkan hingga tahun 2014 sebesar 100 % dapat tercapai. Hal ini
adalah sesuai dengan ketentuan dimana nilai yang dicapai melampaui atau lebih
dari dari 65 % ( enam puluh lima perseratus ) diizinkan penambahan 1 ( satu ) unit
kapal dalam satu jaringan trayek tersebut. Sementara bilamana lebih kecil dari 65
% tidak akan diizinkan penambahan kapal dalam satu jaringan trayek tersebut 70 .
Dalam hal ini, karena kinerja kapal angkutan laut perintis belum maksimal, maka
sebaiknya jaringan pelayanan perlu ditambah.
c. Jaringan trayek dengan Kode R.57
Untuk menghitung nilai capaian tersedianya angkutan laut kapal perintis yang
melayani jaringan dengan Kode R.57, langkah pertama yang harus diketahui
adalah kapasitas kapal perintis. Berdasarkan data dan informasi, kapasitas kapal
perintis Kode R.577 dilayani dengan nama KM. Kasuria Pasisifik III terdapat
sebanyak 250 orang. Kapal tersebut memiliki 28 Voyage. Dengan demikian,
kapasitas KM Kausuari dalam satu (1) tahun terdapat sebanyak 7000 orang ( 250
orang x 28 Voyage = 7.000 orang ). Sementara jumlah penumpang yang diangkut
dalam tahun 2011 oleh KM.Kasuria PASIFIK III terdapat sebanyak 8.137 orang.
Karena itu, nilai capaian tersedianya angkutan kapal laut perintis yang yang
melayani trayek dengan Kode R.57 dapat dihitung dengan rumus 71;
% Jaringan Trayek Linier
∑ Rata-rata Muatan Penumpang Per Tahun
= x 100 %
∑ Rata – rata Kapasitas Penumpang Yang Tersedia Per Tahun
8.137 Orang
= x 100 %
7.000 orang orang
= 116 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi ditetapkan tersedianya
kapal laut perintis yang beroperasi pada lintas antar Kabupaten/Kota dalam
propinsi pada wilayah yang memiliki alur dan tidak ada alternatif jalan ditetapkan
100 % hingga tahun 2014. Sementara nilaian capain sekarang ini sudah mencapai
116 %, hal ini berarti kapsitas kapal angkutan laut perintis sudah melampaui,
dikarenakan perkembangan penduduk yang menggunakan kapal perintis relatif
cukup pesat.
Aspek lain yang perlu diperhatikan, dengan angka nilai capaian 116 % dalam
tahun 2011, berarti kapal yang melayani trayek tersebut perlu penambahan kapal,
70 Peraturan Menteri Perhubungan No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Pada hal 23 71 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-64
karena jumlah angkutan kapal sudah melampaui kapasitas. Hal ini telah sesuai
dengan ketentuan, bilamana nilaia capaian lebih besar dari 65 % dapat diizinkan
penambahan 1 ( satu ) unit kapal dalam satu jaringan trayek tersebut. Tetapi jika
dalam jaringan tersebut, belum melampaui angka 65 %, maka pada jaringan
tersebut belum diizinkan penambahan kapal 72
d. Jaringan trayek dengan Kode R.58
Untuk menghitung nilai capaian tersedianya angkutan laut kapal perintis yang
melayani jaringan dengan Kode R.58, langkah pertama yang harus diketahui
adalah mengetahui kapasitas kapal perintis tersebut. Berdasarkan data dan
informasi, kode trayek dengan R.58 yang dilayani dengan nama KM Meranti
memiliki kapasitas 125 orang. Trayek tersebut memiliki voyage 29. Dengan
demikian, kapasitas KM Meranti dalam satu (1) tahun terdapat 3.625 orang ( 125
orang x 29 voyage ). Sementara jumlah penumpang yang diangkut secara
keseluruhan dalam tahun 2011 terdapat sebanyak 12.889 orang. Dengan demikian,
nilai capaian tersedianya angkutan kapal perintis yang melayani trayek dengan
Kode R.58 dapat dihitung dengan rumus 73;
% Jaringan Trayek Linier
∑ Rata-rata Muatan Penumpang Per Tahun
= x 100 %
∑ Rata – rata Kapasitas Penumpang Yang Tersedia Per Tahun
12.889 Orang
= x 100 %
3.625 orang
= 355,55 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi ditetapkan tersedianya
kapal laut perintis yang beroperasi pada lintas antar Kabupaten/Kota dalam
propinsi pada wilayah yang memiliki alur dan tidak ada alternatif jalan ditetapkan
100 % hingga tahun 2014. Sementara nilai capain sekarang ini sudah mencapai
355,55 %, hal ini berarti sudah melampaui batas yang telah ditetapkan,
dikarenakan hasrat perkembangan penduduk menggunakan kapal laut perintis
sangat besar.
Perlu diperhatikan, dengan angka nilai capaian 355,55 % % dalam tahun 2011,
berarti pada trayek tersebut perlu penambahan kapal, kapasitas yang telah
ditetapkan sudah dilampaui kurang lebih tiga kali dari kapasitas yang ada. Hal ini
senada dengan ketentuan yang telah ditetapkan, bilamana nilaia capaian lebih
besar dari 65 % dapat diizinkan diizinkan penambahan 1 (satu) unit kapal dalam
72 Peraturan Menteri Perhubungan No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Pada hal 23 73 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-65
satu jaringan trayek tersebut. Namun bilamana nilai capaian kapal dalam suatu
jaringan, belum melampaui angka 65 %, maka pada jaringan tersebut belum
diizinkan penambahan kapal 74
e. Jaringan trayek dengan Kode R.59
Untuk menghitung nilai capaian tersedianya angkutan laut kapal perintis yang
melayani jaringan Kode R.59 dengan kapal KM. Kasuria Pasifik II, langkah
pertama yang harus diketahui adalah kapasitas kapal perintis tersebut.
Berdasarkan data dan informasi, kapasitas kapal perintis dengan nama KM.
Kasuari Pasifik memiliki kapasitas 250 orang. Kapal tersebut memiliki 25
Voyage. Dengan demikian, kapasitas KM. Kasuria Pasifik II dalam satu (1) tahun
terdapat sebanyak 6.250 orang ( 250 Voyage orang x 25 Orang = 6.250 orang.
Sementara jumlah penupang yang diangkut dalam tahun 2011 terdapat 13.381
orang. Berkenaan dengan itu, nilai capaian tersedianya angkutan kapal laut
perintis yang melayani trayek dengan Kode R.59 dapat dihitung dengan rumus 75;
% Jaringan Trayek Linier
∑ Rata-rata Muatan Penumpang Per Tahun
= x 100 %
∑ Rata – rata Kapasitas Penumpang Yang Tersedia Per Tahun
13.381 Orang
= x 100 %
2.250 orang
= 214 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi ditetapkan tersedianya
kapal laut perintis yang beroperasi pada lintas antar Kabupaten/Kota dalam
propinsi pada wilayah yang memiliki alur dan tidak ada alternatif jalan ditetapkan
100 % hingga tahun 2014. Sementara nilai capain sekarang sudah mencapai 214
%, hal ini berarti sudah melampaui batas kapasitas yang ada dikarenakan
perkembangan penduduk yang menggunakan kapal perintis relatif mengalami
peningkatan.
Faktor lain yang perlu diperhatikan, dengan angka nilai capaian 214 % dalam
tahun 2011, berarti pada trayek tersebut perlu penambahan kapal, karena kapasitas
sudah melampaui batas. Penambahan kapal pada jaringan trayek ini, adalah sesuai
dengan ketentuan, dimana apabila nilai capaian lebih besar dari 65 % , maka
diizinkan penambahan 1 (satu) unit kapal dalam satu jaringan trayek tersebut
74 Peraturan Menteri Perhubungan No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Pada hal 23 75 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-66
termasuk kapasitas yang lebih besar. Sementara bilamana nilai capaian di bawah
65 %, maka pada jaringan tersebut tidak perlu penambahan kapal laut perintis. 76
f. Jaringan trayek dengan Kode R. 60
Dalam rangka menghitung nilai capaian tersedianya angkutan laut kapal perintis
yang melayani jaringan dengan Kode R.60, langkah pertama yang harus diketahui
adalah kapasitas kapal perintis. Berdasarkan data dan informasi, kapasitas kapal
perintis Kode R.60 dilayani dengan nama KM. Raja Ampat terdaat 150 orang.
Kapal tersebut memiliki 23 Voyage. Dengan demikian, kapasitas kapal KM. Raja
Ampat dalam satu (1) tahun terdapat 3.450 orang ( 23 Voyage x 150 orang ) .
Sementara jumlah penumpang yang diangkut kapal KM. Raja Empat dalam satu
(1) tahun terdapat 2.980 orang. Karena itu, nilai capaian tersedianya angkutan
kapal perintis yang melayani trayek dengan Kode R.60 dapat dihitung dengan
rumus 77;
% Jaringan Trayek Linier
∑ Rata-rata Muatan Penumpang Per Tahun
= x 100 %
∑ Rata – rata Kapasitas Penumpang Yang Tersedia Per Tahun
2.980 Orang
= x 100 %
3.450 orang
= 86,37 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi ditetapkan tersedianya
kapal laut perintis yang beroperasi pada lintas antar Kabupaten/Kota dalam
propinsi pada wilayah yang memiliki alur dan tidak ada alternatif jalan ditetapkan
100 % hingga tahun 2014. Sementara nilai capain sekarang sudah mencapai 86,37
%, hal ini berarti perkembangan penduduk yang menggunakan kapal perintis
sudah mulai meningkat.
Di lain pihak, dengan angka nilai capaian 86,37 % dalam tahun 2011, berarti pada
jaringan tersebut diperlukan penambahan kapal. Hal ini disebabkan karena sudah
melampuai kapasitas dan penambahan kapal tersebut adalah sesuai dengan
ketentuan , dimana apabila nilai capaian lebih besar dari 65 % maka dapat
diizinkan penambahan 1 ( satu ) unit kapal dalam pada jaringan trayek tersebut.
Sementara jika nilai capaian kurang dari 65 %, maka pada jaringan tersebut belum
dapat diizinkan penambahan kapal 78. Sekarang, nilai capaian kapal laut perintis
76 Peraturan Menteri Perhubungan No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Pada hal 23 77 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 78 Peraturan Menteri Perhubungan No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Pada hal 23
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-67
dalam tahun 2011 sudah mencapai 86,37 %, berarti perlu penambahan satu (1)
unit kapal laut perintis.
g. Jaringan trayek dengan Kode R. 61
Untuk menghitung nilai capaian tersedianya angkutan laut kapal perintis yang
melayani jaringan dengan Kode R.61, langkah pertama yang harus diketahui
adalah kapasitas kapal perintis. Berdasarkan data dan informasi, kapasitas kapal
perintis Kode R.61 dilayani dengan nama KM. Silver Whale dengan kapasitas
terdaat 150 orang. Kapal tersebut memiliki 26 Voyage. Dengan demikian,
kapasitas kapal KM. Silver Whale dalam satu (1) tahun terdapat 3.900 orang ( 26
Voyage x 150 orang ) . Sementara jumlah penumpang yang diangkut KM. Silver
Whale dalam tahun 2011 terdapat sebanyak 4.380 orang. Karena itu, nilai capaian
tersedianya angkutan kapal laut perintis yang melayani trayek dengan Kode R.61
dapat dihitung dengan rumus 79;
% Jaringan Trayek Linier
∑ Rata-rata Muatan Penumpang Per Tahun
= x 100 %
∑ Rata – rata Kapasitas Penumpang Yang Tersedia Per Tahun
4.380 Orang
= x 100 %
3.900 orang
= 112,31 %
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi ditetapkan tersedianya
kapal laut perintis yang beroperasi pada lintas antar Kabupaten/Kota dalam
propinsi pada wilayah yang memiliki alur dan tidak ada alternatif jalan ditetapkan
100 % hingga tahun 2014. Sementara nilai capain sekarang sudah mencapai
112,31 %, hal ini berarti perkembangan penduduk yang menggunakan kapal
perintis terus mengalami peningkatan. Akibatnya, jumlah angkutan sudah
melampaui kapasitas yang telah ditetapkan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan, dengan angka nilai capaian 112,31 % dalam
tahun 2011, berarti pada jaringan tersebut diperlukan penambahan kapal. Hal ini
adalah sesuai dengan ketentuan, dimana apabila nilai capaian lebih besar dari 65
% diizinkan penambahan 1 (satu) unit kapal dalam satu jaringan trayek tersebut.
Sementara jika nilai capaian kurang dari 65 %, maka pada jaringan tersebut belum
dapat diizinkan penambahan kapal 80 . Sekarang, nilai capaian kapal laut perintis
dalam tahun 2011 sudah mencapai 112,31 %, berarti perlu penambahan satu (1)
79 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 80 Peraturan Menteri Perhubungan No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Pada hal 23
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-68
unit kapal laut perintis berikut kapasitas. Secara singkat jaringan pelayanan kapal
angkutan laut perintis dapat dilihat pada tabel berikut.
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-69
Gambar 4.16. Jalur Trayek R-74 Pangkalan Manokwari
MANOKWARISORONG
SAUKOREM
P. FANI
P. AYU
KAPADIRI
WAISAI
SAUSAPOR
WASIOR
Pangkalan Manokwari (Provinsi Papua Barat)
Trayek R-74
Manokwari -71- Saukorem -115- Sausapor -74- Sorong -48-Waisai -70- Kapadiri -24- P.Ayu -52- P.Fani -52- P.Ayu -24-Kapadiri -70- Waisai -48- Sorong -74- Sausapor -115-Saukorem -71- Manokwari -120- Wasior -120- Manokwari
Jarak : 1.148 Mil
Lama Pelyaran : 13 Hari
Frekuensi : 29 Voyage
Ukuran Kapal : 500 DWT
Nama Kapal : KM. KASUARI PASIFIK II
Kontraktor :
Domisili Perusahaan :
Kontrak :
NOR :
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-70
Gambar 4.17. Jalur Trayek R-73 Pangkalan Manokwari
MANOKWARISORONG
HOPMARE
WASIOR
Pangkalan Manokwari (ProvinsiPapua Barat)
Trayek R-73
Manokwari -71- Saukorem -24- Wanden -17- Waibem -7- Wau -17-Warmandi -18- Saubeba -14- Kwoor -10- Hopmare -16- Werur -12-Sausapor -71- Sorong -71- Sausapor -12- Werur -16- Hopmare -10- Kwoor-14- Saubeba -18- Warmandi -17- Wau -7- Waibem -17- Wanden -24-Saukorem -71- Manokwari -120- Wasior -120- Manokwari
Jarak : 794 Mil
Lama Pelyaran : 13 Hari
Frekuensi : 28 Voyage
Ukuran Kapal : 500 DWT
Nama Kapal : KM. KASUARI PASIFIK III
Kontraktor :
Domisili Perusahaan :
Kontrak :
NOR :
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-71
Gambar 4.18. Jalur Trayek R-75 Pangkalan Sorong
SORONG
BULA
GESER
GOROM
KESUI
FAK FAK
KAIMANA
TELUK ETNA
POMAKO
YELLU
Pangkalan Sorong (Provinsi Papua Barat)
Trayek R-75
Sorong -93- Yellu -77- Bula -64- Geser -60- Gorom -35- Kesui -128- Fak Fak -182- Kaimana -68- Teluk Etna -200- Pomako PP
Jarak : 1.814 Mil
Lama Pelyaran : 15 Hari
Frekuensi : 25 Voyage
Ukuran Kapal : 1200 GT
Nama Kapal : KM. SABUK NUSANTARA 32
Kontraktor :
Domisili Perusahaan :
Kontrak :
NOR :
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-72
Gambar 4.19. Jalur Trayek R-76 Pangkalan Sorong
MUTUSMANYAIPUN
SELFELE
SAONEK
MEOSMENGKARA
WERSAMBIN
KABILOL
BEO
WAIFOI
URBINASOPEN
MNIER
YEBENKAKI
LAMLAM
P. AYU
P.FANI
SORONG
Pangkalan Sorong (Provinsi Papua Barat)
Trayek R-76
Sorong -38- Waisai -30- Urbinasopen -25- Yembekaki -12-Mneir -16- Kabare -23- Lamlam (Kapadiri) -38- P.Ayu -61-P.Fani -61- P.Ayu -25- Kabare -16- Mneir -12- Yembekaki -25-Urbinasopen -30- Waisai -38- Sorong -37- Saonek -42- Waisilip-36- Selfele -10- Manyaifun -12- Mutus -10- Meosmengkara -24- Waisilip -42- Saonek -37- Sorong -38- Waisai -15-Wersamben -15- Waifoi -8- Beo -8- Kabilol -41- Waisai -38-Sorong
Jarak : 863 Mil
Lama Pelyaran : 16 Hari
Frekuensi : 23 Voyage
Ukuran Kapal : 350 DWT
Nama Kapal :
Kontraktor :
Domisili Perusahaan :
Kontrak :
NOR :
WAISAI
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-73
2. Jaringan Prasarana Angkutan Laut
Di Propinsi Papua Barat , hingga sekarang belum ditemukan adanya pelabuhan kapal
angkutan laut antarkota/kabupaten dalam propinsi. Ditemukan adalah pelabuhan kapal
laut perintis antarkabupaten/kota dalam propinsi. Karena itulah, yang menjadi kajian
dalam hal ini adalah jaringan prasarana (pelabuhan) kapal laut perintis. Pelabuhan
adalah tempat yang terdiri dari atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas
tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau
bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang
pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi 81.
Sementara angkutan laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya
melayani kegiatan angkutan laut kapal perintis. Dalam angkutan laut, haruslah tersedia
alur pelayaran di laut, artinya alur pelayaran dari segi kedalaman, lebar, dan bebas
hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayani kapal
angkutan laut. Untuk menjamin kelancaran berlabuh, diperlukan adanya dermaga,
yaitu sebagai tempat kapal bersandar untuk naik turun penumpang dan/atau bongkar
muat barang.
Propinsi Papua Barat terdiri dari beberapa pulau, karena itu angkutan laut sangat
diperlukan, dimana sebelumnya harus tersedia adanya prasarana pelabuhan. Jumlah
pelabuhan kapal perintis tersebar di wilayah Propinsi Papua Barat. Lebih jelasnya
pelabuhan kapal angkutan laut kapal perintis dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.25. Nama-Nama Pelabuhan Kapal Laut Perintis di Propinsi Papua Barat
Dalam Tahun 2013
No Nama
Pelabuhan Fasilitas Eksisting Status
1 Manokwari
Gedung Kantor Pelabuhan, Terminal,
Dermaga (100x20)m2, Trestle (62x10)
m2, Rumah Dinas, Instalasi Air dan
Listrik, Mooring Dolphin, Perkerasan
area darat paving block, Dermaga
Sheetpile 90m',
Dermaga (35x12) M2
Trestle (9x4)
Minimal operasional terpenuhi
2 Sorong
Dermaga, Trestle pemancangan tiang pancang baja
Ø609 mm, t = 12,7 mm pada dermaga
termasuk pengadaan dan pemasangan
cathodic protection sebanyak 11 titik,
pemancangan tiang pancang baja
Ø711 mm, t = 12,7 mm pada dermaga
termasuk pengadaan dan pemasangan
cathodic protection sebanyak 57 titik,
pemancangan tiang pancang baja
Ø914 mm, t = 14,3 mm pada dermaga
termasuk pengadaan dan pemasangan
cathodic protection sebanyak 19 titik,
dan pemancangan tiang pancang baja
81 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan pada Pasal 1 ayat (1 )
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-74
No Nama
Pelabuhan Fasilitas Eksisting Status
Ø609 mm, t = 12,7 mm pada trestle
termasuk pengadaan dan pemasangan
cathodic protection sebanyak 18 titik
(Minimal Operasional Terpenuh
(Minimal Operasional Terpenuhi)
3 Saukorem Dermaga (35x12) M2
Trestle (9x4
(Minimal operasional
terpenuhi)
4 Waisor Dermaga (195x10)m2, Causeway I
(127x6)m2, Trestle I (47x6)m2 Gedung
Kantor, terminal, Causeway II
(160x8)m2, Area Darat, Pagar BRC,
Gudang, Lapangan Penumpukan Beton
Pembangunan 2 unit Pos Jaga
(6x6)m2,
Gudang (15x40)m2, Menara air
(3,5x1,75) m2 + 2 unit tangki air
1.0 liter, termasuk sumur bor (1
titik),
2,0pompa air (1 unit) dan rumah
pompa (1 unit), 2 unit Gapura dan
Pintu
Gerbang, Pengadaan dan instalasi
Genset
30 Kva termasuk Pembangunan
Rumah
Genset (6x5)m2 (Minimal
Operasional Terpenuhi)
5 Pulau Fani Causeway Trestle (24,5x4)m2,
tiangpancang dermaga
Pekerjaan Upperstructure Dermaga
(35x8)m2 (Minimal
OperasionalTerpenuhi
6
7
Fakfak
Kaimana
Dermaga (100x20)m2, Gedung Kantor
Pelabuhan, Rumah Dinas, Gudang,
Reklamasi untuk Area Darat,
Pengaspalan Area Darat, Perkerasab
Beton Area Darat
Pagar tembok, Kantor
Pelabuhan,Perkerasan lapangan
penumpukan (100 x 20) m2, gudang
(30x10)m2, Instalasi air&listrik, Jalan
lingkungan pelabuhan, Lapangan
Parkir, Dermaga (80x10)m2, dermaga
(45 x 10) m2
pembangunan dermaga (70 x 20)
m2, pekerjaan perkerasan beton
untuk lapangan penumpukkan 4.500
m2, pekerjaan pembangunan
retaining wall sepanjang 115 m’,
dan pekerjaan pagar BRC sepanjang
110 m’ (Minimal Operasional
terpenuhi)
(Minimal Operasional Terpenuhi)
8 Pamoko Terminal Penumpang, Pagar, Dermaga
(73x12,5)m2, Trestle I (104x8)m2,
Trestle II (72x8), Causeway (24x8)m2,
Lapangan Penumpukan Kontainer,
Perkerasan Area Reklamasi
(150x120)m2
Reklamasi (110 x 70)m2, perkerasan
beton area reklamasi K-300 t = 25
cm seluas 1.865 m2, perkerasan
jalan beton K-300 t = 25 cm seluas
3.940 m2, saluran sepanjang 940 m’,
gorong – gorong sepanjang 65 m’,
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-75
No Nama
Pelabuhan Fasilitas Eksisting Status
pagar beton 112 m’, pagar BRC 200
m’, dan aksesoris dermaga
(Minimal operasional terpenuhi)
9 Waisai
Gedung Terminal dan Kantor Terpadu,
Pagar, Lapangan Penumpukan, Trestle,
Dermaga (100x10)m2
Causeway (7,5x6) M2,
Dermaga (100x10)m2, trestle
(24x6)m2 (Minimal Operasional
Terpenuhi)
10
Kabare Causeway (7,5x6) M2 Trestle (17,5x4) M2
11 Saonek
Trestle, Dermaga (70x8)m2, Kantor
(Minimal Operasional Terpenuhi)
12 Segun
Causeway (24x6)m2, Trestle
(48x6)m2, Dermaga (50x8)m2
kantor pelabuhan (15 x 10) m²,
pembangunangedung
serbaguna/terminal (15 x 10) m²,
pembangunan gudang pelabuhan (20
x 15) m², pembangunan pos jaga (3
x 3) m², dan pekerjaan talud (60 x
50) m², pagar BRC 314 m’, pintu
gerbang (1 unit), dan lampu
penerangan tenaga surya 9 unit
(Minimal Operasional Terpenuhi
13 Wersimar
Teminabuan
Dermaga (50x8)m2, Trestle,
Causeway, Kantor Pelabuhan,
Terminal, Timbunan Tanah, Jalan
lingkungan pelabuhan
Pekerjaan timbunan+pemadatan
tanah pilihan area darat dengan
volume timbunan 23.482,5m3
hingga elevasi +3,00mLWS seluas
8.800m2 dan talud pasangan batu
188m’ (Minimal Operasional
Terpenuhi)
14 Bintumi
Gedung Kantor, Asrama pegawai,
pagar BRC, Trestle (12x6)m2,
Dermaga (70x8)m2
(Minimal Operasional Terpenuhi)
15 Kokas
Mess staf, Gedung Kantor Pelabuhan,
Terminal Penumpang (23,5x12,5)m2,
Area Darat (100x50)m2, Perkerasan
paving block area darat
3.403,9m2,Pekerjaan Jalan Beton tebal
25cm (148x8)m2, Pagar BRC 334m',
gapura, tangki BBM, pos jaga
(4,5x4,5)m2, tower air dan reservoir
20m3, genset100KVA & rumah genset
30m2, Dermaga (75x10)m2, trestle
(40x6)m2
(Minimal Operasional
Terpenuhi)
16 Windesi Pagar BRC, Talud, Gedung Kantor
Sumber: Kantor Syahbandar Propinsi Papua Barat, 2013
Ditjen Perhubungan Laut c.q Direktorat LALA, 2013
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-76
Sementara rencana pembangunan pelabuhan kapal laut perintis di Propinsi Papua
Barat dalam tahun 2013 s/d 2014 per trayek dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 4.26. Rencana Pembangunan Pelabuhan Kapal Laut Perintis Per Kode Trayek
di Propinsi Papua Barat Dalam tahun 2013 s/d 2014
Pangkalan Kode Trayek Pelabuhan Jumlah
Pelabuhan
Manokwari
Sorong
R- 71
R- 72
R- 73
R- 74
R- 75
R.76
R.77
R.78
R.79
R.80
Arandai ,babo, Keras
Yenbekri, Yamankan, Sabubar,
Yende, Asedane, Ambumi, Dusner
Wanden, Waiben, Wau, Warmandi,
Saubeta, Kwoor
Kapadiri, P. Ayu
Yellu , Teluk Etna
Urbinasopen, Yembekaki, Lamian(
Kepadiri ), P. Ayu, Waisilip, Selfele,
Manyaifun, Mutus, Meosmengkera,
Wersamben, Waifoi, Kebilol
Seremuk, Saifi, Konda, Kais, Mugim,
Inawatan, Aradai, Kokoda
Werur, Hopmare, Kwoor, Saubeba,
Warmandi, Wau, Weibem, Imbuan,
Kwoor, Sausapor, P. Ayu (Dorekar),
Selfele, P.Kawe, Wayaf. P. Sayang,
P.Wayah
Yellu, Babo
P. Ayu, Inawatan, Kokoda
3
7
8
2
2
13
8
16
2
3
Jumlah
64
Sumber: Kementerian Perhubungan – Ditjen perhubungan Laut, Direktorat Pelabuhan &
Pengerukan, 2013
Berdasarkan data tersebut , jumlah kebutuhan pelabuhan kapal laut perintis terdapat 80
unit, di antaranya pelabuhan yang sudah terbangun 16 unit sementara rencana
pembangunan pelabuhan kapal laut perintis ditetapkan 64 unit. Berkenaan dengan itu,
nilai capaian tersedianya pelabuhan/dermaga kapal laut perintis dapat dihitung dengan
rumus 82:
82 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-77
% Tingkat Pelayanan
∑ Dermaga dalam satu propinsi
= x 100 %
∑ Kabupaten/Kota dalam propinsi yang memiliki alur pelayaran dan
Tidak ada alternative jalan
16 unit.
= 100 %
80 unit
= 20 %
Berdasarkan peraturan Menteri Perhubungan No. 81 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan telah ditetapkan, bahwa tersedianya
pelabuhan/dermaga kapal laut perintis hingga tahun 2014 mencapai 100 %. Karena
itu, nilai yang harus dicapai hingga tahun 2014 adalah sebesar 80 % ( 100 % - 20 % =
80 %). Untuk mewujudkan pembangunan pelabuhan/dermaga tersebut perlu adanya
kerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terutama dalam pembiaan
dan pengadaan tempat sebagai lokasi pelabuhan/dermaga.
3. Keselamatan
Keselamatan kapal dalam hal ini adalah difokuskan kepada kapal di bawah 7 GT.
Keselamatan dalam hal ini, adalah terpenuhinya persyaratan material, konstruksi,
bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan, serta perlengkapan
termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan
dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian 83
Setiap kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 ( < GT7 ) yang dioperasikan
hanya di perairan daratan ( sungai dan danau ) dilakukan: a. pengawasan keselamatan
kapal, b. pengukuran kapal, c. penertiban pas perairan daratan, d. pencatatan kapal
dalam buku register pas perairan daratan, e. pemeriksaan konstruksi kapal, f.
pemeriksaan permesinan kapal,g. pemeriksaan perlengkapal kapal, h. penerbitan
sertifikat keselamatan kapal, i. penerbitan dokumen pengawakan kapal, j. pemberian
Surat Izin Berlayar dilaksanakan dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/Kota di tempat
pemberangkatan kapal sebagai tugas desentralisasi, k. pemberian izin berlayar berlaku
hanya 1 ( satu ) kali perjalanan. Pelaksanaan urusan ini dilaksanakan oleh petugas
pemegang fungsi keselamatan pelayaran angkutan sungai dan danau pada dinas
Kabupaten/Kota 84
Berdasarkan informasi dari dinas Perhubungan & Informatika Propinsi Papua Barat
Jumlah Kapal dibawah 7 GT di Propinsi Papua Barat relative banyak, dan
diperkirakan kurang lebih 86 unit, dengan berbagai ukuran di bawah GT 7.
83 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 84 Peraturan Menteri Perhubungan No. 58 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri
Perhubungan No. Km 73 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sungai dan Danau Pada Pasal 6 s/d Pasal 8
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-78
Berdasarkan informasi, kapal di bawah 7 GT belum pernah memiliki surat ukur. Hal
ni disebabkan, karena SDM yang memiliki keahlian pengkuran boleh dikatakan belum
ada. Sebelumnya ada, namun semenjak otonomi daerah, SDM tersebut pindah ke
Kantor Kesyahbandaran. Karena itu, dari hasil wawancara dan pengamatan di lokasi
studi persyaratan keselamatan yang meliputi; material, konstruksi, bangunan,
permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan, serta perlengkapan termasuk
perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, belum dapat menunjukkan
dan/atau memperlihatkan sertifikat. Karena untuk mengetahui, apakah kapal di bawah
GT 7 memiliki persyaratan keselamatan yang dibuktikan dengan sertifikat, telah
dilakukan wawancana terhadap 4 juru mudi kapal dibawah GT 7 . Pertanyaanya
adalah sekitar kepemilikan sertifikat masing-masing persyaratan keselamatan kapal di
bawah GT 7 dan jawabannya ke lima juru mudi tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut;
Tabel 4.27. Keberadaan Sertifikasi Pada Kapal di Bawah GT 7 Di Propinsi Papua
Barat
No Aspek Keselamatan Keberadaan
Sertifikat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Material
Konstruksi
Bangunan
Permesinan & Perlistrikan
Stabilitas
Tata Susunan
Alat Penolong
Radio
Elektronik Kapal
Alat penolong:
a. Jaket
b. Pelampung
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada dalam kapal
Tidak ada dalam kapal
Sumber; Hasil Wawancara Dengan Juru Mudi di Propinsi Papua Barat, 2013
Solas, 1974
Mengingat kapal di bawah 7 GT tidak memiliki ruang yang sempit, maka tata susunan
yang telah ditetapkan tampaknya kurang memungkinkan. Karena itu, aturan SOLAS,
seperti telah disebutkan sebelumnya menyangkut tata susunan kurang relevan. Namun
yang perlu dimiliki setiap kapal dibawah 7 GT adalah beberapa persyaratan seperti
dalam tabel berikut.
Tabel 4.28. Keberadaan Sertifikasi Pada Kapal di Bawah GT 7 Di Propinsi Nusa
Tengara Timur No Aspek Keselamatan Keberadaan
Sertifikat
1
2
3
4
5
6
7
8
Material
Konstruksi
Bangunan
Permesinan & Perlistrikan
Stabilitas
Radio
Alat penolong:
a. Jaket
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada sertifikat
Tidak ada dalam kapal
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-79
No Aspek Keselamatan Keberadaan
Sertifikat
b. Pelampung Tidak ada dalam kapal
Sumber: SOLAS, 1974
Pengamatan dan wawancara terhadap juru mudi kapal di bawah 7 GT
Definisi operasional dalam konteks kapal di bawah 7 Gt adalah terpenuhinya standar
keselamatan kapal dengan ukuran di bahwa 7 GT dan kapal yang beroperasi
antarkabupaten/kota dalam propinsi atau daerah pelayaran perairan daratan. Karena
itu, nilai capaian tersedianya kapal dengan ukuran di bawah 7 GT yang beroperasi
antarkabupaten/kota dalam propinsi dan/atau daerah pelayaran daratan yang
memenuhi standar keselamatan kapal dihitung dengan rumus sebagai berikut 85;
% Keselamatan Kapal
∑ Kapal di bawah 7 GT yang memenuhi standar keselamatan
= x 100 %
∑ Kapal di bawah 7 GT
0
= x 100 %
86 unit
= 0 %
Sementara nilai capaian persentase pemenuhan alat keselamatan kapal dengan ukuran
di bawah 7 GT yang beroperasi antarkabupaten/kota dalam propinsi dan/atau daerah
pelayaran perairan daratan yang memenhi standar keselamatan dihitung dengan
menggunakan rumus 86 :
% Pemenuhan Alat Keselamatan
∑ Alat Keselamatan Yang Dipenuhi Kapal Dibawah 7 GT
= x 100%
∑ Alat Keselamatan Yang Wajib Dipenuhi
0
= x 100 % = 0 %
8
Nilai capaian jumlah pemerikasa keselamatan kapal/marine inspector yang disebut
pejabat pemeriksa keselamatan kapal yang akan melakukan pemeriksaan dan
85 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 86 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-80
pengujian terhadap jumlah kapal di bawah 7 GT sebagai pemenuhan persyaratan
keselamatan kapal dapat dihitung dengan dihitung dengan rumus 87 :
∑ Kapal di Bawah 7 GT x 4 Jam/ hari
Pejabat Pemeriksa = x 1 Orang
Keselamatan Kapal 8 Jam/Hari
86 unit x 4 Jam/hari
= x 1 Orang
8 Jam /hari
= 344 Jam /hari = 43 Jam
8 Jam / hari
Mengenai alat penolong sebagai salah satu persyaratan keselamatan, sangat diperlukan
bagi kapal di bawah GT 7. Hal ini disebabkan, karena kapal di bawah GT 7 yang
berlayar di perairan propinsi Barat digunakan sebagai angkutan penumpang.
Sementara kondisi gelombang di perairan tersebutt sering membahayakan bagi kapal-
kapal kecil. Artinya, kelaikan operasional yang ditentukan oleh Dinas Perhubungan
Kota/Kabupaten benar-benar diawasi.
Untuk menjamin keselamatan, alat pertolongan seperti jaket dan pelampung
diharuskan ada dalam kapal di bawah GT 7, tentunya disesuikan dengan jumlah
penumpang. Mengingat ukuran kapal sangat kecil, maka setiap penumpang yang akan
masuk kapal langsung dibagikan dan dipakai setiap penumpang termasuk pelampung
dengan ukuran skala kecil. Dengan demikian pada waktu perlayaran jaket sudah
dipakai penumpang termasuk pelampung dipegang. Hal ini disebabkan, pada waktu
terjadi kecelakaan kapal, tidak ada lagi kesempatan juru mudi kapal membagi-bagikan
jaket dan pelampung, karena juru mudi juga sudah ikut langsung terjungkal. Karena
itu, untuk menjamin keselamatan kapal dibawah GT 7 sebaiknya mengikuti
persyaratan yang disesuaikan dengan jumlah penumpang yaitu sebagai berikut; Bagi
kapal dengan GT hingga 300 dengan jarak lintasan yang dilayani hingga 15 mil, harus
memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan ketentuan SOLAS yaitu sebagai
berikut 88;
a) Resque Boat (Perahu Penyelamat) 1 unit
b) Life Raft (Rakit Penolong) untuk 100% awak kapal dan penumpang
c) Inflatable life Raft with Light/rakit dengan cahaya)
d) Life Jacket (baju pelampung) untuk 100% awak kapal dan penumpang
e) Life Jacket with light (baju pelampung dengan cahaya)
f) Means Of Rescue (alat penolong)
g) Extra Life Jacket (tambahan baju pelampung/10%)
h) Helicopter Pick Up Area (area 80ystem80ter)
i) Marine Evacuation System/MES (sistem evakuasi)
j) Embarkation Ladder (Tangga keberangkatan)
87 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 88 SOLAS, 1974
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-81
k) Two Way VHF(radio VHF penerima dan pemancar) (2 units)
l) SART (1 Unit)
m) Distress Flare 12
n) Emergency Communication (alat komunikasi darurat)
o) General Emergency Alarm (alarm darurat umum)
p) Public Address System (81ystem informasi umum)
q) Life Buoys (pelampung) 4 unit
Di antara persyaratan tersebut, dikaitkan dengan keterbatasan ruang kapal di bawah 7
GT sebaiknya mengharuskan memiliki alat penolong sebagai berikut; a. Life Jacket
(baju pelampung) untuk 100% awak kapal dan penumpang, dan b. Life Jacket with
light (baju pelampung dengan cahaya
Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, penyebab terjadinya kapal di
bawah GT 7 tidak meemnuhi persyaratan keselamatan dan alat penolong adalah
karena:
a) Karena di daerah khususnya di Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten belum
memiliki SDM yang memiliki kahlian pengukuran kapal dan atau Marine
Inspector.
b) Karena SDM yang memiliki keahlian pengukuran kapal dan/atau marine
inspector pada waktu Kakanwil sudah pindah ke Kantor Kesyahbandaran setelah
otonomi daerah.
c) Karena peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah terkait dengan uji kelaikan
kapal di bawah GT 7 masih ambivalen dan/atau tidak tegas diharuskan. Hal ini
dapat dilihat dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 73 Tahun 2004 yang
menyatakan:
1) Setiap kapal yang memiliki ukuran di bawah GT 7 ( < 7 GT ) yang akan
dioperasikan untuk melayani angkutan sungai dan danau dapat diukur,
didaftarkan dan memenuhi persyaratan kelaikan kapal dan pengawakan
kapal, dan 2) Setiap kapal yang memiliki ukuran mulai dari GT 7 ke atas (> 7 GT) yang
akan dioperasikan untuk melayani angkutan sungai dan danau wajib diukur,
didaftarkan, memenuhi persyaratan kelaikan kapal, persyaratan pengawakan
kapal, dan dapat diberikan tanda kebangsaan 89. Kata dapat diukur untuk
kapal di bawah 7 (< 7 GT) dapat diartikan didak diwajibankan dan/atau
harus diukur. Semnetara untuk kapal di atas GT 7 (≥ 7 GT) terdapat kata
wajib diukur, artinya harus diukur. Bagi public yang membaca ini, dapat
diartikan bahwa kapal di bawah GT 7 (< 7 GT) tidak diharuskan diukur,
atau bias tidak diukur dan bias diukur
Sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. 65 Tahun 2009 tentang Standar
Kapal Non Convensi Berbendera Indonesia (Non Covention Vessel Standard) dan
keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. UM.008/20/9/DJPL-2012 tentang
Pemberlakuan Standard dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kapal Non Konvensi
89 Keputusan Menteri Perhubungan No. 73 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sungai dan
Danau Pada Pasal 5 ayat ( 1 dan 2 )
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-82
Berbendera Indonesia alat keselamatan untuk kapal 7 GT dan dibandingkan dengan
keberadaanya di kapal dibawah 7 GT dapat dilihat pada tabel berikut;
Tabel 4.29. Alat Keselamatan Yang Dipenuhi Kapal Di Bawah 7 GT Dan Belum
dipenuhi Berdasarkan Pengamatan di Lapangan No Peralatan Keselamatan Keberadaan di Kapal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pedoman Magnet
Pelorus atau Alat Baring
Peta Laut
Publikasi Nautika
Alat Ukur Kecepatan
Perum Gema
Indikator Sudut daun Kemudi
Corong Pemberitahuan
Lampu Isyarat
Reflector
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sumber; -Permmenhub No.65 Tahun 2009 tentang Kapal Non Konvevensi Berbendera
Indonesia (Non Convention Vessel Standard)
-Hasil wawancara dengan Juru Mudi Kapal di Bawah 7 GT
Setiap kapal termasuk di bawah 7 GT diharuskan memiliki alat keselamatan seperti
dijelaskan sebelumnya, karena alat tersebut berfungsi untuk menjamin keselamatan
berlayar. Dengan demikian, defenisi operasional adalah terpenuhinya standar
keselamatan kapal dengan ukuran di bahwa 7 GT dan kapal yang beroperasi
antarkabupaten/kota dalam propinsi atau daerah pelayaran perairan daratan. Karena
itu, nilai capaian tersedianya kapal dengan ukuran di bawah 7 GT yang beroperasi
antarkabupaten/kota dalam propinsi dan/atau daerah pelayaran daratan yang
memenuhi standar keselamatan kapal dihitung dengan rumus sebagai berikut 90;
% Keselamatan Kapal
∑ Kapal di bawah 7 GT yang memenuhi standar keselamatan
= x 100 %
∑ Kapal di bawah 7 GT
0
= x 100 %
86 unit
= 0 %
Sementara nilai capaian persentase pemenuhan alat keselamatan kapal dengan ukuran
di bawah 7 GT yang beroperasi antarkabupaten/kota dalam propinsi dan/atau daerah
pelayaran perairan daratan yang memenhi standar keselamatan dihitung dengan
menggunakan rumus 91:
90 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 91 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-83
% Pemenuhan Alat Keselamatan
∑ Alat Keselamatan Yang Dipenuhi Kapal Dibawah 7 GT
= x 100%
∑ Alat Keselamatan Yang Wajib Dipenuhi
0
= x 100 %
10
= 0 %
Nilai capaian jumlah pemeriksa keselamatan kapal/marine inspector yang disebut
pejabat pemeriksa keselamatan kapal yang akan melakukan pemeriksaan dan
pengujian terhadap jumlah kapal di bawah 7 GT sebagai pemenuhan persyaratan
keselamatan kapal dapat dihitung dengan dihitung dengan rumus 92 :
∑ Kapal di Bawah 7 GT x 4 Jam/ hari
Pejabat Pemeriksa = x 1 Orang
Keselamatan Kapal 8 Jam/Hari
86 unit x 4 Jam/hari
= x 1 Orang
8 Jam /hari
344 Jam /hari
=
8 Jam / hari
= 43 Jam
Penjelasan masing-masing alat keselamatan adalah sebagai berikut;
1) Pedoman Magnet
Pedoman adalah sebuah navigasi yang digunakan untuk menetapkan arah di laut,
baik berupa haluan kapal maupun baringan. Kompas biasanya disebut pedoman,
yang digunakan untuk menentukan arah/haluan kapal serta untuk mengetahui
arah benda lain dari kapal ( baringan ) sehingga posisi kapal dapat diketahui 93.
Pedoman Magnet atau juga disebut Kompas Magnetik terbagi atas kompas
magnetic kemudi, kompas magnatik standar. Persyaratan umum pedoman
magnetic ( kompas magnetic ) : a) ditempatkan sedemikian rupa sehingga
pandangan ke depan dari posisi kemudi, sedapat mungkin tidak terhalangi,
berada pada bujur minimal 1150 dari kanan depan pada kedua sisi kapal, b)
ditempatkan di depan kemudi/control sedemikian rupa sehingga dapat mudah
dibaca dari posisi kemudi norma, c) dipasang dengan penerangan yang efisien
92 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penerapan dan Pencapaian Standar
Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 93 SOLAS, 1974
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-84
bersama-sama dengan alat untuk peredup pencahayaan, ditopang dengan alas
datar sehingga tetap pada posisi horizontal ketika rumah kompas dimiringkan 400
ke arah manapun, d) dipasang pada posisi sedemimian rupa sehingga mudah
dilakukan penyesesuaian ( penimbalan ), e) tepat guna dan dipasang di bidang
tegak melalui garis tengah membujur kapal ( center lines ). Tempat pemasangan
pedoman termasuk unsure magnit untuk keperluan navigasi dan pengawasan dan
pengawasan harus sedemikian sehingga alat ini tidak mengalami gangguan yang
berarti dari massa besi dan aliran listrik yang ditempatkan didekatnya, f.
penempatan pedoman magnet, tidak boleh menghalangi pandangan bebas yang
meliputi suatu busur cakrawala sekurang-kurangnya 2300 dihitung dari arah lurus
ke depan sampai 250 di belakang garis melintang kapal pada setiap sisi 94
2) Pelorus atau Alat Baring
Poisi adalah tempat kapal berada pada suatu yang dinyatakan dalam lintang dan
bujur atau juga disebut baraingan dan jarak dari suatu titik referensi dihitung
berdasarkan metode-metode pengambilan posisi . Metode penentuan posisi atau
baring meliuti tiga (3) yaitu: a)Visual, b) Astronomi, c) Elektronika. Kegunaan
baring adalah:
a) Menjamin keselamatan kapal
b) Menentukan elemen-elemen hydrometeo ( angin dan arus )
c) Menentukan perhitungan lintas laut
d) Memberikan gambaran situasi taktis
3) Peta Laut
Peta laut adalah sebagai perangkat peta terdiri dari atas peta pelayaran, jalur
perairan dunia, peta ikhtisar, peta cuaca, petunjuk pelayaran/buku kepanduan
bahari, daftar suar, daftar pasang surut, daftar stasiun radio, tabel navigasi,
choronometer, clinometers, stpwath, jangka, penggaris parallel/mister jajar,
segitiga, pensil, karet penghapus, pemberat kertas, tabel logaritma, berita pelaut
Indoensia/NTM, tabel arus, daftar peta, dan daftar koreksi peta 95. Persyaratan
teknis neliuti: 96
a) Peta-peta yang digunakan untuk navigasi biasanya berupa peta
meractorial/lintang bertumbuh, peta “proyeksi lingkaran besar/genomonis
b) Kertas yang digunakan untuk peta harus memiliki susut minimal sehingga
jarak antar titik tidak melebar atau menyempit akibat suhu
c) Pensil yang digunakan yang tanda-tanda yang dibuat di atas peta umumnya
dapat dihapus tanpa merusak kertas (pensil jenis 2 B atau yang lembut)
d) Peta harus dimutahirkan dengan informasi resmi, misalnya informasi dari
radio, berita pelaut Indonesia (edisi mengguan)/notice to mariners
e) Peta-peta navigasi, jalur perairan dunia, peta cuaca, petunjuk pelayaran,
daftar lampu penerangan, daftar pasang surut, daftar sinyal radio, tabel
94 Peraturan Menteri Perhubungan No. 65 Tahun 2009 tentang Standar Kapal Nonkonvensi ( Non Convention Vessel standard Berbendera Indonesia ) Chapter II hal 10 95 Peraturan Menteri Perhubungan No. 65 Tahun 2009 tentang Standar Kapal Non Konvensi ( Non
Convention Vessel Standard Berbendera Indonesia ) Chapter II hal III - 8 96 Ibid, Chapter II hal 9
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-85
navigasi, berita pelaut Indonesia, dan daftar arus harus diterbitkan secara
berkala oleh organisasi pelayaran resmi untuk tujuan navigasi
f) Chronometer harus diuji dan dikalibrasi oleh layanana merologi dan harus
disesuaikan atau dicatat oleh nahkoda kapal setiap hari
4) Publikasi Nautika
Publikasi navigasi (Penertbitan Navigasi) adalah publis buku-buku dan bahan-
bahan penting yang diterbitkan dan disiarkan untuk membantu seorang navigator
dalam melayarkan kapalnya dengan sebaik-baiknya. Buku-buku dan bahan
tersebut antara lain; a) peta laut yang erat hubungannya dengan peta laut yaitu
berupa catalog peta, b) almanak nautika, c) buku-buku navigasi, d) daftar
meliput: suar, daftar pasang surut, daftar ilmu pelayaran, daftar pelampung-
pelampung, daftar rambu, daftar isiyarat radio, daftar jarak, dan e) peta khusus
seperti peta pandu, peta cuaca, peta arus, peta angin, f) berita pelaut ( BP ) atau
Notice to Mariners, g) berita peringatan navigasi ( navigational warning ) 97
5) Alat Ukur Kecepatan
Alat ukur kecepatan adalah menghitung jarak yang harus ditempuh oleh kapal
dalam suatu haluan tertentu dan/atau jarak/jauh yang ditempuh oleh kapal dalam
1 jam.
6) Perum Gema
Perum gema adalah suatu alat yang dirancang untuk mengukur kedalaman laut .
Alay tersebut salah satunya adalah “Echosounder yaitu suatu alat navigasi
elektronik dengan menggunakan system gema yang dipasang pada dasar kapal
yang berfungsi untuk mengukur kedalaman perairan, mengetahui bentuk dasar
suatu perairan dan untuk mendeteksi gerombolan ikan dibagian bawah kapal
secara vertical 98
7) Indikator Sudut Daun Kemudi
Indikator sudut daut kemudi adalah gay dan momen yang bekerja pada kemudi
serta gaya dan momen pada kapal ketika kapal berbelok akan berbeda dari jenmis
kemudi. Besarnya gaya yang dihasilkan oleh kemudi tergantung pada modifikasi
desain (chamber) dan sudut serang (angle of attack). Bisanya untuk 30 sampai 40
derajat untuk luas 25 % bagian yang tetap ( fixed portion ) dan 75 % bagian yang
bergerak (movable) akan menghasilkan lebih dari 90 % gaya gaya angkat
daripada jenis kemudi
97 SOLAS, 1974 & Peraturan Menteri Perhubungan No. 65 Tahun 2009 tentang Standar Kapal Non
Konvensi ( Non Convention Vessel Standar Berbendera Indonesia ) 98 SOLAS, 1974 & Peraturan Menteri Perhubungan No. 65 Tahun 2009 tentang Standar Kapal Non
Konvensi ( Non Convention Vessel Standar Berbendera Indonesia )
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-86
8) Corong Pemberitahuan
Corong pemberitahuan adalah suatu alat yang digunakan untuk memberitahukan
kepada para penumpang pengumuman tiba kapal dan/atau sedang mengalami
kerusakan dan juga digunakan untuk mengumkan keberangkatan kepal.
9) Lampu Isyarat
Untuk kapal motor dengan panjang 20 meter atau lebih, lampu tiang harus
ditempatkan sebagai berikut; a) lampu tiang depan, atau jika hanya ada satu
lampu tiang, maka lampu tersebut dengan tinggi di atas lambung kapal tidak
kurang 6 meter, dan jika lebar kapal lebih dari 6 meter, maka tinggi lampu tiang
di atas lambung kapal tidak boleh kurang dari ukuran lebar kapal, namun lampu
tidak perlu dipasang dengan tinggi lebih dari 12 meter di atas lambing kapal.b)
bilamana kapal memiliki dua (2) lampu, maka lampu yang dibelakang harus
sekurang-kurangnya 4,5 meter tegak lurus lebih tinggi dari pada yang di depan .
Tetapi dalam hal ini perlu diperhatikan sebagai berikut 99:
a) Pemisah secara tegak lampu – lampu tiang pada kapal motor harus dibuat
sedemikian rupa sehingga dalam kondisi tinggi normal, lampu belakang akan
tampak di atas dan terpisah dari lampu depan pada jarak 1000 m dari tinggi
muka ketika dilihat dari pemukaan laut
b) Lampu tiang kapal motor dengan panjang 12 meter atau lebih namun kurang
dari 20 meter harus ditempatkan tinggi di atas bordu kapal namun tidak
kurang dari 2,5 meter
c) Sebuah kapal motor dengan panjang kurang dari 12 meter boleh memasang
lampu yang paling atas dengan tinggi kurang dari 2,5 meter di atas bordu jika
lampu tiang tersebut merupakan tambahan dari lampu dari lampu lambung (
sesuai Auran 23 ( c ) (i) tentang COLREG/KEPRES No.5 Tahun 1979 dan
lampu buritan maka lampu tiang demikian harus dipasang sekurang-
kurangnya 1 meter lebuh tinggi di atas lampu – lampu lambung
d) Salah satu dari dua (2) atau tiga lampu-lampu tiang yang ditentukan untuk
kapal motor ketika digunakan untuk menunda atau mendorong kapal lain
harus ditempatkan pada posisi yang sama dengan lampu tiang belakang
asalkan bahwa, jika dipasang sekurang-kurangnya harus vertical 4,5 meter
lebih tinggi dari lampu tiang depan ; (1) lampu atau lampu-lampu tiang
sebagaimana ditetapkan pada aturan 23 (a) ( COLREG/KEPRES No. 50
Tahun 1979 harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga berada di atas dan
bebas dari semua lampu dan bebas rintangan lainnya kecuali seperti
diuraikan dalam klausul aturan 23 (a) (ii) (COLREG/KEPRES No. 50 tahun
1979), (2) jika tidak memungkinkan untuk menempatkan lampu keliling
seperti ditetapkan dalam aturan 27 (b) (i) atau aturan 28 CORLEG ialah di
bawah lampu – lampu tiang, maka lampu-lampu tersebut boleh dipasang di
atas lampu belakang atau secara vertical di antara lampu tiang depan dan
lampu tiang belakang
Pada waktu malam hari, satu sama lain di dalam alur pelayaran atau air
pelayarann yang sempit, dimana kapal bermaksud menyesul kapal lain, maka
99 SOLAS , 1974 & Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2009 tentang Standar Kapal Non Convensi ( Non
Convention Vessel Standard Berbendera Indonesia) Pasa hal Chapter III hal 38
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-87
harus menunjukkan a) isyarat – isyarat pada sulingnya; (1) dua ( 2 ) bunyi lanjut
disusul oleh satu bunyi pendek yang berarti “ saya bermaksud untuk menyusulmu
pada sisi lambung kananmu ( I intend to overtake you on your staboard side ), (2)
dua (2) bunyi lanjut disusul dua bunyi pendek yang berarti “ saya bermaksud
menyusulmu. Kapal yang akan disusul, harus menunjukkan persetujuannya
dengan dengah isyarat berikut pada serulingnya : satu (1) bunyi lanjut, satu bunyi
pendek, satu lanjut dan satu pendek dalam urutan itu 100
4. Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia (SDM) maksudnya adalah tersedianya SDM yang mempunyai
kompetensi sebagi awak kapal angkutan laut dengan ukuran di bawah 7 GT.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. 70 Tahun Tahun 1998 telah
ditegaskan, bahwa jumlah Perwira Kapal Berdasarkan GT.500 s.d < 500 dan KW <
750 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.30. Jumlah Perwira Kapal Berdasarkan GT.500 s.d < 500 dan KW <
750 No JABATAN GT < 500
JML DOC COP
1 MASTER 1 ANT - IV 9c1) ( b-h)
2 CHIEF OFFICER 1 ANT - IV 9c (2-7 )
3 2nd OFFICER - - -
4 3rd OFFICER - - -
5 RADIO OFFICER 1 ORU/REK -II -
6 BOATSWAIN - - -
7 QUARTER MASTER 1 - 9f
8 SAILOR - - -
9 COOC 1 - 9g
10 MESS BOY - - -
NO
JABATAN
KW < 750
JML COC COP
1 CHIEF ENGINEER 1 ATT-IV 10c(2-5)
2 2nd ENGINEER 1 ATT-IV 10c(2-5)
3 3rd OFFICER 1 ATT-IV 10c(2-5)
4 4th OFFICER - - -
5 ENG.FOREMAN 1 - 10d
6 OILER 3 - 10d
7 WIPER - - -
Sumber : Lampiran II Keputusan Menteri Perhubungan No. 70 Tahun 1998 tentang Perwira
Kapal Niaga Pelayaran Kawasan indonesia
Mengingat kapal di bawah 7 GT relatif kecil dan daya tampungnyapun juga tidak
terlalu banyak, maka untuk kapal di bahwa 7 GT cukup memiliki dua (2) awak kapal.
Kedua awak kapal tersebut yaitu Ahli Nautika tingkat V (ANT – V) sebanyak satu (1)
orang , sementara satu (1) orang sebagai Ahli Teknik Tingkat V ( ATT V). AHLI
Nautika Tingkat V (ANT V) adalah perwira untuk kapal – kapal kecil yang digunakan
antar pulau. Sementara Ahli Teknik Tingkat V( ATT V ) adalah sebagai ahli mesin
100 SOLAS, 1974
“Studi Evaluasi Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan di
Beberapa Daerah Provinsi di Indonesia”
Laporan Akhir IV-88
untuk kapal pelayaran terbatas ( AMKPT ) atau masinis untuk kapal-kapal kecil antar
pulau 101.
Berdasarkan wawancara dari pihak Dinas Perhubungan & Informatika c.q Bidang
Angkutan Laut maupun Bidang Angkutan darat Propinsi Papua Barat serta wawancara
dengan pihak pengelola kapal dibawah 7 GT ke bawah melalui perairan ternyata awak
kapal tersebut tidak memiliki sertifikat sebagai awak kapal. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut sebaiknya perlu dibuatkan aturan yang jelas, baik dari
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi serta Kabupaten/ Kota mengharuskan
setiap awak kapal di bahwah 7 GT yang melintasi perairan laut harus memiliki
keahlian sebagai Mualim Pelayaran Terbatas dan keahlian bidang mesin kapal
pelayaran terbatas. Hal ini dimaksudkan, untuk menghindarkan kecelakaan kapal yang
membawa manusia sebagai penumpang.
101 http://id.wikipedia.org/wiki/ Pelaut , 2011