BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …
Transcript of BAB IV RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA …
84
BAB IV
RELIGIOSITAS MASYARAKAT MUSLIM URBAN PASCA REFORMASI
Mencermati perkembangan Islam mula-mula dari sisi spasialitasnya, bisa
dikatakan bahwa Islam di Semarang berkembang sesuai dengan kebanyakan pola
penyebaran di Jawa. Kota Semarang, secara umum, merepresentasikan formasi
kebudayaan yang multikultur. Sebagai kawasan pesisiran, interaksi lintas budaya
merupakan tipologi yang melekat. Pertemuan budaya satu dengan budaya lainnya
sangat kental mewarnai Semarang. Relasi kelompok Muslim dengan pelbagai
kebudayaan menjadi sebuah aktivitas yang menjangkar kuat. Kebudayaan Arab,
Tionghoa, Belanda, Melayu, Jawa, Banjar dan lainnya menjadi identitas masyarakat
Semarang.1 Sehingga prinsip-prinsip ritual dalam aktivitas keberagamaan
masyarakat Muslim urban di tengah penduduknya yang beragam, salah satu cara
bagaimana kita mengenal Kota Semarang. Religiositas Muslim urban Pasca
Reformasi, di sini menunjukkan ada proses di mana masyarakat mengalami
kontruksi di era demokratis ini, termasuk Kota Semarang tentunya. Religiositas
masyarakat urban merupakan rumusan identitas Muslim di kota Semarang pasca
reformasi. Di mana perkembangan masyarakat religius menjadi pengingat atas
kebebasan demokrasi di Indonesia pasca reformasi 1998. Menilik munculnya sebuah
1 Tedi Kholiludin, Menjaga Tradisi Di Garis Tepi; Identitas, Pertahanan dan Perlawanan
Kultural Masyarakat Etno-Religius (Semarang: eLSA Press, 2018), 65.
85
ciri khusus berkembangnya Islam di Indonesia dengan mencuatnya kegemaran
terhadap tradisi mistik dan ibadah tasawuf (sufisme). Kebangkitan sufisme,
terutama di kalangan muslim perkotaan, di era ini melawan arus modernisme Islam
skripturalis yang begitu kuatnya memusuhi sufisme pada abad lalu. Bahkan para
pembaharu modernis yang menonjol di perkotaan dalam organisasi-organisasi, misal
Muhammadiyah, umumnya berpikir bahwa tasawuf mendorong pelanggaran-
pelanggaran terhadap doktrin keesaan Tuhan melalui pujian yang berlebihan melalui
tarekat. Muslim modernis juga menentang beberapa amalan para sufi.2 Mengutip
John Saliba, ia mengatakan bahwa agama menjadi kekuatan integrasi, suatu ikatan
yang mempersatukan yang memberi kontribusi terhadap stabilitas sosial dan kontrol
sosial dan berkontribusi terhadap preservasi pengetahuan.3
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa narasi dialektika
keberagamaan masyarakat muslim urban dengan tradisi lokal menguat pasca
reformasi di Indonesia. Komponen penting dalam masyarakat urban di kota
Semarang, tampak menguatnya peran ekonomi tradisional (pasar tradisional yang
masih dominan) dan karakteristik keberagamaan tradisionalis Muslim telah
dikemukakan pada bab III. Maka, pada bab ini penulis fokus pada deskripsi analisis
kritis bagaimana interaksi ritus-ritus dan simbol-simbol keagamaan dengan
2 Greg Fealy&Sally White, Ustadz Seleb, Bisnis Moral dan Fatwa Online; Ekspresi Islam
Kontemporer (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), 39. 3 John Saliba, Understanding New Religious Movement (second edition)
(Walnut Creek: Altamira Press, 2003), 148.
86
kebudayaan masyarakat Muslim urban di kota Semarang tersebut terus
berkembang, sehingga terjadi proses pembentukan sebuah identitas baru pasca
reformasi.
Dalam hal tradisi keagamaan yang masih diselenggarakan oleh pendudukan
muslim Semarang misalnya tradisi selamatan atas syukuran, Yasinan, Tahlilan,
Khataman, Manaqiban, Berzanzii, Takbiran dan Dugderan. Selain tradisi keagamaan
umat Islam, di Kota Semarang juga memiliki tradisi ritual yang dikembangkan oleh
warga umat yang lain. terutama dari etnik Tionghua. Semenjak berakhirnya orde
baru, tradisi-tradisi budaya maupun ritual warga Tionghua kembali semarak hingga
sekarang ini. Tradisi tersebut seperti arak-arakan Dewa Bumi, perayaan Imlek, arak-
arakan Sam Po Kong dan larung sesaji untuk Dewa Samudra.4
A. Transformasi Religiositas Masyarakat Muslim Urban
Perbincangan mengenai genealogis kelas menengah Muslim dalam konteks
Indonesia mengalami transformasi nilai maupun bentuk, mulai dari kelas borjuis,
intelektualisme, lantas kemudian menjadi gaya hidup keseharian. Di antara berbagai
macam rupa tersebut, Islam kemudian tidak lagi diterjemahkan dalam konteks
kanonik, namun menjadi identitas kolektif yang mengikat setiap elemen anggota
4 Lihat Bab III, Catatan kaki no 30.
87
kelas tersebut.5 Identitas adalah aspek fundamental manusia yang telah banyak
dibahas dalam lingkup studi psikologis, sosial dan politik. Kompleksitas di sektor
publikasi pada lanskap konseptual dan geografis pembentukan identitas Muslim,
beberapa aspek seperti etnis dan religiusitas yang dianggap berpengaruh dalam
membentuk identitas Muslim. Wacana menyeluruh isu Muslim dalam masyarakat
multikultural di Eropa dan Amerika misalnya, identitas Muslim selalu diperhitungkan
dalam negosiasi wacana, integrasi, dan reaksi atau respon seolah-olah identitas
Muslim tersebut hanya fenomena sosial-politik.6 Di sini penulis tidak akan berbicara
identitas Muslim dalam konteks sosial politik meski hal ini akan sedikit disinggung,
namun fokus penelitian ini bagaimana sosial-kultural membentuk sebuah identitas
Muslim.
Ditilik dari sejarah pasca reformasi, dinamika keberagamaan masyarakat
Muslim urban mengalami perubahan secara signifikan. Pengaruh teknologi yang
terjejaring di dunia menjadi ladang ekspresi keagamaan sangat terbuka. Dukungan
televisi, media sosial yang memudahkan perkembangan ekspresi keagamaan,
terbukti maraknya dakwah - dakwah serta majlis dzikir sebagai salah satu aktivitas
spiritualitas masyarakat Muslim urban. Ungkapan - ungkapan sufisme baru di
Indonesia, misalnya yang mengandung tren global dalam pemikiran keagamaan dan
kultur sekuler telah menjadi menarik bagi Muslim kelas menengah dan kelas atas
5 Rofhani, “Budaya Urban Muslim Kelas Menengah”, Teosofi, Vol. 3, No. 1 (2013), 181-210. 6Derya Iner and Salih Yucel (Ed), Muslim Identity Formation in Religiously Diverse Societies
(England: Cambridge Scholars Publishing, 2015), viii.
88
sejak akhir abad yang lalu. Bentuk-bentuk sufisme ini telah dipromosikan melalui
jalur-jalur komunikasi baru, terutama institusi-institusi pendidikan Islam bergaya
universitas dan siaran-siaran di televisi islami.7
Aspek sosial keagamaan di atas bukanlah persoalan tunggal di Indonesia.
Laju politik yang kuat di negeri ini bukan tidak mungkin berpengaruh pada
karakteristik spiritualitas keagamaan masyarakat Muslim urban, dan potensi
turbulasi sosial pun akan sangat mudah meledak ditengah-tengah masyarakat.
1. Religiousitas Masyarakat Muslim Urban
Keberagamaan masyarakat urban cenderung rasional dan kental
dengan pengaruh modernitas sebuah kota di mana mereka bermukim.
Perubahan kota berpengaruh pada tingkat keberagamaan masyarakat
urban, baik pada wilayah interaksi maupun intensitas amalan
peribadatannya. Bagaimana mereka mencari sebuah identitas
keberagamaan yang dianggap berkontribusi dalam kehidupan mereka di
sebuah lingkungan perkotaan. Pola keberagamaan yang diciptakan
masyarakat urban tentu memiliki keunikan yang tidak ada dalam
masyarakat pedesaan.
Karakteristik keberagamaan masyarakat perkotaan memiliki
kecenderungan rasional dan paktis. Prinsip keagmaan yang dikembangkan
7 Ustadz Seleb; Bisnis Moral dan Fatwa Online (54
89
tidak sekhusyuk masyarakat pedesaan dengan kolektifitasnya. Dewasa ini
ruang publik menjadi panggung dominan bagi ekspresi keagamaan
masyarakat perkotaan. Sarana yang dicari masyarakat urban untuk
memenuhi kebutuhan religiositasnya, yakni majlis-majlis yang
teridentifikasi sebagai bagian dari diri mereka sebagai individu. Adanya
transformasi pemikiran transendental dalam iklim masyarakat perkotaan
yang serba modernis dan hedonistik merupakan suatu anomali tersendiri.
Transformasi ritus-ritus keagamaan masyarakat urban kental
dengan nuansa zaman yang terus berkembang. Pasca reformasi, kebebasan
berekspresi dan berserikat menjadi modal lebih bagi masyarakat
perkotaan. Sehingga bukan tidak mungkin jika muncul kelompok-kelompok
yang dengan leluas mengekspresikan keagamaannya di ruang publik.
Kebutuhan spiritualisme masyarakat urban yang semakin tinggi dibuktikan
dengan kian ramainya majlis pengajian di berbagai sudut kota. Munculnya
berbagai macam ekspresi religiositas yang ditampilkan masyarakat
perkotaan tersebut selain sebagai bentuk peningkatan religiositas juga
dapat dimaknai sebagai bentuk era rekontruksi agama, atau lebih tepatnya
90
gerakan agama. Gejala tersebut juga dapat diistilahkan sebagai bentuk dari
rekontruksi baru mengenai makna ketuhanan di tengah modernitas.8
Kemajuan teknologi yang berkembang telah membuat masyarakat
modern menjadi gamang. Ketika kemajuan teknologi menjadi besar dan
pengarusutamaan logika rasional menjadi utama menyebabkan
masyarakat mengalami kekeringan iman. Adanya rekayasa genetika dan
teknologi yang menjadi ikon manusia modern dalam menyelesaikan
masalah justeru tidak menemukan solusi yang kuratif. 9 Kesalehan sosial
secara sederhana dimaknai sebagai ekspresi dan praktik perilaku orang-
orang Islam yang peduli terhadap nilai-nilai Islam secara sosial, seperti
menyumbang dana bantuan berupa infaq, shadaqah, maupun amal jariyah,
namun cenderung “abai” terhadap ibadah pribadi. Munculnya praktik
kesalehan sosial tersebut merupakan bentuk ekspresi flantropis dan juga
spiritualis yang hendak dilakukan kelas menengah muslim Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi tinggi dengan semakin meratanya redistribusi
pendapatan berkelindan dengan kebutuhan akan donasi sosial tersebut.10
2. Kesalehan Sosial dalam Masyarakat Urban
8 Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES,
2017), 119-120. 9 John Naisbitt, High Tech, High Touch: Technology and Our Search for Meaning (New York:
Broadway, 1999). 10 Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah,,,101.
91
Religiositas masyarakat perkotaan tercermin pada interaksi
simbolik dan identitas sebagai kekuatan komunikasi di ruang publik.
Sehingga muncul kelompok keagamaan atau gerakan keagamaan yang
terlembagakan, sebagaimana dijelaskan di atas, yakni majlis-majlis sebagai
realitas ekspresi keagamaan masyarakat urban. Dorongan spiritualitas
masyarakat urban melalui perilaku amal merupakan salah satu elemen
pribada yang tertanam dalam manusia religius. Dalam konteks kapitalisme
industri, menyediakan adanya permintaan kebutuhan yang aktif
mengkontruksi cita rasa, imaji, nalar dan selera sebagai bagian dari gaya
hidup masyarakat modern. Maka semakin meningkatnya jumlah kelas
menengah (urban) muslim diberbagai negara di dunia, memunculkan
hasrat dan kenikmatan gaya hidup lainnya sebagaimana layaknya ikon gaya
hidup masyarakat modern. Kelas menengah muslim ini memunculkan cita
rasa tersendiri dalam memenuhi hasrat dan kebutuhan spiritualnya pula
yang sama sekali bisa berbeda dengan tradisi keberagamaan sebelumnya.
Sebagaimana terlihat misalnya pada kasus menjamurnya majelis-majelis
dzikir di kelas menengah muslim perkotaan (urban society).11
Masyarakat kota yang sarat dengan gaya hidup modern barangkali
menjadi pusat penentu dalam dimensi masyarakat pada umumnya. Dan
11 Lihat Abdur Rozaki, “Komodifikasi Islam; Kesalehan dan Pergulatan Identitas di Ruang
Publik, Jurnal Dakwah” Vol. XIV, No. 2 Tahun 2013, 201-202.
92
identitas merupakan wacana yang mengharuskan kita menjadi terafiliasi
dengan simbolisme yang mengikat pada diri seseorang. Hal inilah yang
kemudian acap kali menjadi pola sedimentasi sekaligus pula segregasi
antara “dia” dan “mereka”. Adanya kesenjangan interaksi yang timbul dari
proses tersebut dikarenakan adanya perbedaan simbol melekat pada diri
seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Permasalahan
identitas sebenarnya gejala post-modernisme maupun post-strukturalisme
yang menggejala dalam masyarakat selama iklim globalisasi. Adanya
dualisme yang melekat pada pola diskursus identitas tersebut merupakan
bentuk dari suatu pelarian gejala modernisasi yang sudah mendekati rasa
jenuh dalam masyarakat.12
Eksternalisasi merupakan proses awal dalam konstruksi sosial. Ia
merupakan momen adaptasi diri dengan dunia sosi-kultural. Dalam momen
ini, sarana yang digunakan adalah bahasa dan tindakan. Manusia
menggunakan bahasa untuk melakukan adaptasi dengan sosio-kulturalnya.
Pada momen ini pula, terkadang dijumpai orang yang mampu beradaptasi
dan juga ada yang tidak mampu beradaptasi. Penerimaan dan penolakan
tergantung eqri mampu tidaknya individu untuk menyesuaikan dengan
12 Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah,,153.
93
dunia sosio-kultrual tersebut. Secara konseptual, momen penyesuaian diri
dengan dunia sosio - kultural tersebut.13
Dalam konteks pencapaian keagamaan masyarakat muslim sarat
dengan nilai-nilai amalan sebagai kesalehan sosial, baik material maupun
non-material. Dalam Islam kita mengenal shadaqah ataupun infak sebagai
salah satu aktifitas keagamaan, yang diproyeksikan sebagai nilai-nilai
kesalehan sosial. Pada aspek ini, secara substansi masyarakat muslim
didorong oleh norma agama untuk saling memberi pada sesama manusia.
Bagi masyarakat Muslim urban, barangkali ini bagian dari komunikasi
simbolik sebagai ekspresi keagamaan yang kerap menjadi prioritas
dibanding praktik keagamaan secara personal. Komunikasi masyarakat
urban melalui tanda (bahasa) mampu membangun simbol-simbol yang
dapat diabstraksikan dari pengalaman sehari-hari, juga mengembalikan
simbol-simbol itu sebagai unsur-unsur obyektif dalam kehidupan sehari-
hari. Dengan demikian, simbolisme dan bahasa simbolik menjadi unsur-
unsur esensial dari kenyataan hidup sehari-hari masyarakat urban.14
Kesalehan sosial merupakan bagian dari sebuah proses
pendefinisian ibadah agama Islam secara terapan dalam konteks kekinian.
Artinya telah terjadi tafsir baru dalam memahami agama Islam pada kasus
13 Nur Syam, Islam Pesisir,, 249-250. 14 Peter L Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan,, 55.
94
kalangan kelas menengah muslim. Ritual kesalehan sosial menjadi definisi
baru bagi ritual keagamaan kelas menengah muslim dewasa ini, di mana
melahirkan Islam gaya baru yang disesuaikan dengan tingkat religiositas
kelas menengah Muslim Indonesia. Kejenuhan hidup manusia modern
kemudian berupaya menoleh pada agama nampaknya telah menjadi suatu
indikator dalam memasuki trend paska modernisasi. Sedangkan cara
keberagamaan sufisme memberikan penguatan atas gejala tersebut.
Karena kenyataannya cara ini ditempuh bukan saja oleh para penganut
agama Islam, tetapi oleh hampir setiap penganut agama di berbagai
belahan dunia. Di sana terdapat bagian umat dengan berbekal kesadaran
baru yang sengaja mendalami spiritual secara spesifik.15
Dalam konteks religiusitas masyarakat kelas menengah Muslim
Indonesia, muncul istilah urban sufisme di perkotaan sebagai kontruksi
keimanan baru kelas menengah muslim. Sufisme dapat diartikan sebagai
bentuk ritual untuk mendekatkan diri secara intim kepada sang kholik.
Tujuan pendekatan diri ini adalah mencari ketenangan dan solusi atas
segala permasalahan hidup. Pada umumnya, orang menjalani kegiatan
sufisme untuk mencari solusi atas masalah setelah rasio dan akal tidak
berhasil menyelesaikannya. Hal inilah yang mendorong masyarakat mencari
15 Lihat juga hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, ”Sufi
Perkotaan”( Jakarta: 2009), 67-68.
95
solusi melalui jalan spiritual. Adanya transformasi pemikiran transendental
dalam iklim masyarakat perkotaan yang serba modernis dan hedonistik
merupakan suatu anomali tersendiri.16 Persoalan modernisasi yang paling
besar dan mendasar bagi Islam barangkali bukan apakah ia dapat memberi
sumbangan pada modernisasi politik, keluarga atau personal, melainkan
apakah ia dapat secara efektif memenuhi berbagai kebutuhan religius kaum
Muslim modern itu sendiri.17
B. Islam dan Identitas Komunal dalam Masyarakat Multikultural
Perkembangan Islam di Jawa mengalami perubahan secara signifikan dan
dinamis. Interaksi kebudayaan lokal dengan prinsip-prinsip Islam tradisional lahir
sebagai warna ritual keberagamaan masyarakat Muslim urban di Kota Semarang.
Sehingga kekuatan tradisi ritual yang berkembang dalam prinsip-prinsi pluralisme
beragama dalam konteks masyarakat multikultural. Di sini, pluralisme dalam
beragama erat berkaitan dengan ciri masyarakatnya yang beragam. Masyarakat
Muslim urban dengan hibriditas kebudayaannya merupakan kekuatan kultural
dalam aktivitas keberagamaannya. Ciri kota dengan karkter penduduk yang beragam
dapat membentuk sikap keberagamaan masyarakatnya yang cenderung inklusif atau
moderat. Seperti munculnya berbagai macam praktik kesalehan di atas sosial yang
16 Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah,,119-121 17 Robet N. Bellah, Beyond Belief on Religion in a Post-Tradisionalist World (Jakarta:
Paramadina, 200), 235.
96
dijelaskan di atas sangat erat kaitannya dengan munculnya pemahaman Islam
moderat. Dalam konteks Indonesia pilihan kata tersebut merujuk pada terbentuknya
Islam Indonesia yang insklusif dan mampu menjadi pedoman nilai dalam
menentukan peradaban bangsa. Secara politis, Islam moderat ini merupakan
respons dan juga sinergitas antara Islam Nusantara yang dipelopori oleh Nahdlatul
Ulama dengan Islam Berkemajuan yang diinisiasi oleh Muhammadiyah. Dengan
demikian, Islam moderat dapat dimaknai sebagai tampilan Islam khas Indonesia
yang insklusif dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. 18
Berbasis jaringan global yang semakin ketat, lokalitas dan identitas semakin
terkikis, di mana yang terjadi kemudian adalah krisis identitas sekaligus kehilangan
makna kehidupan. Tidak dapat dipungkiri, kehidupan modern yang terglobalkan
telah memarjinalisir beberapa segmen masyarakat dan menimbulkan disorientasi
hingga krisis sosial. Keadaan ini menurut Habermas bisa menganggu kemandirian
integrasi masyarakat, yaitu integrasi sistem dan integrasi sosial. Integrasi sistem
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup melalui kerja
dan berproduksi. Sedangkan integrasi sosial berkaitan dengan tatanan normatif,
identitas sosial yang stabil, makna simbolis, dan tujuan dalam hidup.26 Dalam
pandangan Habermas, munculnya gerakan sosial baru (new social movement)
18 Warsito Raharjo Jati, Politik Kelas Menengah,,103
97
berkaitan dengan perjuangan terhadap bentuk-bentuk baru pengetahuan
instrumental dan komunikatif serta perubahan sosial ekonomi.19
Kesadaran komunal masyarakat Muslim urban diiringi dengan tumbuhnya
komunitas-komunitas pengajian di Masjid-Masjid. Bangkitnya modernitas yang
diiringi dengan munculnya budaya global pada akhirnya menimbulkan alienasi
hingga melahirkan krisis kepercayaan dan identitas pribadi. Dengan perkembangan
dunia yang serba modern, kepercayaan terhadap prinsip impersonal maupun
terhadap orang lain yang tidak dikenal menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan
dari eksistensi sosial.20 Hal ini dikuatkan oleh Gidden bahwa di era modern
kepercayaan pada level personal menjadi suatu proyek yang dikerjakan oleh pihak-
pihak yang terlibat, dan hal itu semua membutuhkan keterbukaan seorang individu
terhadap orang lain. Ketika tidak dapat dikontrol oleh aturan-aturan normatif yang
tetap, maka kepercayaan harus diperoleh, sedangkan sarana untuk mencapainya
adalah kehangatan dan keterbukaan. Lebih lanjut Gidden memberikan penjelasan
tentang hubungan yang didasarkan atas kepercayaan, di mana kepercayaan bukan
sesuatu yang telah ada sebelumnya, melainkan sesuatu yang harus dikerjakan, dan
kerja yang dimaksud dalam hal ini adalah proses timbal balik kerterbukaan diri.21
Tuntutan untuk bersikap terbuka ini tidak jarang menimbulkan ketakmampuan dan
19 Rofhani, “Budaya Urban Muslim Kelas Menengah”, Teosofi, Vol. 3, No. 1 (2013), 195. 20 Rofhani, “Budaya Urban Muslim Kelas Menengah”, Teosofi, Vol. 3, No. 1 (2013), 191-192. 21 Anthony Giddens, The Consequences of Modernity, terj. Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2011),169-160.
98
ketakberdayaan, maka yang terjadi kemudian adalah keterasingan diri. Untuk
menghindarinya, mereka mencoba menjelma menjadi orang lain supaya lebih
dikenal. Interpretasi pencarian identitas diri ini cenderung menghasilkan sikap narsis
dan bergaya hedonis.22
Ini sejalan dengan pendapat Erich Fromm yang menyatakan bahwa perilaku
seseorang itu selalu diiringi oleh dua modus atau motif, yaitu “mempunyai” dan
“menjadi”. Pada kondisi khusus seseorang mempunyai keinginan menunjukkan
eksistensi dirinya, di mana yang ini adalah kebutuhan inheren untuk mengatasi
keterasingan seseorang dengan jalan menyatukan diri dengan orang lain.
Selanjutnya Fromm menegaskan bahwa kebudayaan dapat menumbuhkan
ketamakan, yang berarti eksistensi “memiliki” satu potensi manusia, dan pada sisi
lainnya kebudayaan juga dapat menumbuhkan keadaan “menjadi” atau “membagi”.
Pada kondisi inilah nilai-nilai hedonis terpupuk dan pada gilirannya sikap narsis
bermunculan, dan pada satu titik mengakibatkan kekaburan identitas.23
The two sides differed in the ways they thought human beings could be saved from the danger of being transformed into things. The romantics on the right believed that the only way to stop the unhindered “progress” of the industrial system and to return to prevous forms of the social order, though with some modifications. The protest from the left may be called radical humanism, even though it was sometimes expressed in theistic and sometimes in nontheistic terms. The socialists believed that the economi development not be halted, that one could return to a prevous from of
22 Giddens, The Consequences 23 Lihat juga, Erich Fromm, To Have or To Be (Continuum: London - New York, 1976), 124-
126.
99
social order, and that the only way to salvation lay in going forward and creating a new society that would free people from alienation, from submission to the machine, from the fate of being dehumanized. Socialism was the synthesis of medieval religious tradition and the post-Renaissance spirit of scientific thinking an political action. It was, like Buddhism, a “religious” mass movement that, even though speaking in secular and atheistic terms, aimed at the liberation of human beings from selfshiness and greed.
Gejala modernisme di atas berdampak pada kedangkalan dalam beragama,
bersosial dan identitas Indonesia. Mempertahankan tradisi lokalitas yang
dirumuskan di publik merupakan identitas baru masyarakat urban sebagai eksistensi
sosialnya. Sehingga kesadaran komunal sebagai identitas masyarakat urban dapat
dielaborasi dengan lahirnya hibriditas kebudayan serta kolektifitas masyarakat
urban dalam multikulturalisme ini. Karenanya, Kota Semarang sebagai kota
multikultural dapat dirumuskan melalui relasi kebudayaan antar etnis yang telah
berkembang menjadi sebuah identitas baru.
1. Hibriditas Kebudayaan masyarakat Muslim Urban
Konsep budaya harus bersedia untuk menerima kontradiksi juga
mampu memahami bentuk hibrida, menoleransi perbedaan dan menerima
konsekuensi potensi kontruksi atas realitas yang ada.24 Masyarakat Muslim
di Kota Semarang mampu merumuskan ruang bersama dalam membangun
kekuatan kultural sebagai masyarakat urban. Berkembangnya perayaan
24 Claudio Baraldi (ed.), Andrea Borsari (ed.), Augusto Carli (ed.), Hybrids, Differences,
Visions On The Study of Culture (The Davies Group, 2011), 1.
100
kebudayaan etnis di Kota Semarang tak lepas dari kontribusi relasi etnisitas
masyarakat urban yang begitu beragam. Adanya kampung-kampung etnis
dengan struktur ruang kota turut berkontribusi membangun karakteristik
masyarakatnya. Sebagaimana rumah-rumah rakyat di Jawa, rumah asli
orang Semarang pada umumnya sama dengan rumah orang-orang
kebanyakan di daerah lain. Namun yang sedikit membedakan adalah
struktur pembagian ruang, dinding, dan daun pintu. Pembagian ruang
rumah orang Jawa pedalaman apalagi kaum priyayi sangat detil. Menurut
Kevin Lynch, kota sebagai tempat pemukiman, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi
dianggap baik bila anak-anak dapat tumbuh dan berkembang. Jadi,
merupakan tempat mereka membangun kepercayaan diri dan menjalani
kegiatannya di dunia mereka, menjadi mandiri dan mampu mengatur
pekerjaan mereka.25
Identitas dan karakteristik masyarakat urban di kota Semarang
adalah salah satu ekspresi keberagamaan dalam multikulturalisme di
Indonesia. Di samping itu masyarakatnya yang mayoritas pedagang, kota
Semarang secara geografis juga merupakan salah satu kota dengan nuansa
kampung santri dari sekian banyak kota di Indonesia. Meminjam apa yang
25 Lynch, A Theory,, 22-23.
101
disampaikan Djawahir Muhammad, budayawan terkemuka di Semarang
bahwa Semarang sebagai kota yang disiapkan Belanda sebagai kota
perdagangan, masyarakatnya selain kosmopolit juga punya spirit sebagai
pedagang. Pasalnya pedagang memiliki prinsi bahwa lebih baik jadi juragan
kecil daripada jadi kacung besar. Hal ini yang kemudian berpengaruh
terhadap pola keberislamannya.26
2. Kolektifitas masyarakat Muslim Urban dalam Multikulturalisme
Kenyataan sosial masyarakat multikultural menjadi salah satu
alasan kuat solidaritas sosial itu terbentuk. Mengingat bahwa solidaritas
sosial diperlukan dalam konteks pergumulan nasional dan internasional.
Pada level nasional, Indonesia berjuang untuk membangun kehidupan
bersama berdasarkan pancasila. Pada tataran politik, pancasila menjadi
kekuatan struktural. Hanya saja, ideologi nasional itu tidak berperan tanpa
solidaritas sosial. Pancasila hanya menyediakan landasan filosofis bernegara
dan menginspirasi produk hukum nasional. Membatasi hubungan hanya
berdasarkan filosofi bernegara dan aturan hukum saja berarti memasung
relasi sosial dalam kerangka legalitas formal, yang berarti hubungan
dibangun karena kekuatan yang memaksa. Proses politik gagal menciptakan
solidaritas communion of communities. Relasi sosial dibatasi pada kelompok
26Lihat Bab III, catatan kaki no 6.
102
monokultur, kebenaran dikerdilkan dengan single story dan dogma
primordial dipaksakan pada ruang publik.27 Pada situasi demikian kerap
terjadi persinggungan antara identitas primordial-nasional yang saling
mendominasi, karenanya perlu ada formulasi yang tepat untuk menjadikan
dua identitas (primordial dan nasional) itu untuk tidak saling
berpunggungan.
Prinsip religiositas masyarakat Muslim urban di Kota Semarang
juga memiliki ritual-ritual simbol keagamaan yang dilaksanakan sebagai
tradisi masyarakat. Selain ritual ibadah yang telah diwajibkan agama
masing-masing, ritual tersebut telah mentradisi dan dilakukan kolektif oleh
masyarakat secara turun-temurun dengan tata cara tertentu. Melalui
proses tersebut terjadi akulturasi antara nilai-nilai agama yang dianut
dengan budaya etnik tertentu, bahkan ada yang merupakan akulturasi
multikultural (hibryd culture). Terlebih dalam sejarahnya Kota Semarang
menjadi kota banyak disinggahi dari berbagai etnis pendatang dari berbagai
negara.28 Desiminasi sebuah tradisi melalui simbol-simbol lokalitas etnis
salah satu upaya membangun solidaritas sosial keagamaan. Di Kota
27Izak Y. M. Lattu, Menolak Narasi Tunggal; Diskursus Agama, Pluralisme dan Demokrasi
(Salatiga: UKSW Press, 2018), 132-133 28 Lihat Bab III, catatan kaki no 45.
103
Semarang, hal tersebut tumbuh sdengan proses yang panjang sejak kota
tersebut dibentuk.29
Relasi sosial keagamaan melalui tradisi yang berkembang di Kota
Semarang ini menunjukkan bahwa tradisi masyarakat Muslim urban tetap
terjaga. Warna keislaman masyarakat urban Kota Semarang memiliki
kekhasan dengan basis Islam tradisional yang masih kuat di wilayah pinggir.
Tradisi ini juga merupakan ritual yang dapat menguatkan solidaritas sosial
masyarakat urban di Kota Semarang. Hal demikian mampu merumuskan
simbol-simbol ritual warisan leluhur sebagai tameng tradisi yang kuat
sebagai masyarakat urban. Masyarakat urban membangun tradisi kolektif
tidak melulu dihubungkan dengan pembagian kerja, namun di Kota
Semarang masyarakatnya masih memiliki perayaan kebudayaan mengikat
sebagai solidaritas sosial.30
29 Lihat Bab III,,,. 30 Lihat Bab III, catatan kaki no 51.
104
Dukungan historis tentang semarang dan Islam di Semarang
Hibriditas Muslim urban bagian dari identitas urban
Sosiologi perkotaan
Mobilisasi sosial dari masjid k masjid
Proses sosial masyarakat urban di kota semarang
Terbentuknya identitas muslim urban:
Majlis-Masjlis di Masjid
Tasawuf urban/Sufisme urban