BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.Perlakuan...
Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.Perlakuan...
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1.Perlakuan Pendahuluan
4.1.1. Preparasi Sampel
Proses perlakuan pendahuluan yag dilakukan yaitu, pengecilan ukuran
sampel, pengecilan sampel batang jagung dilakukan dengan menggunakan
blender, ukuran partikel yang digunakan adalah ±40 mesh, atau 0,4 mm.
Sampel yang telah dicincang Sampel yang telah diblender
4.1.2. Delignifikasi
Delignifikasi merupakan salah perlakuan pendahuluan yang dapat
dilakukan dengan tujuan mempermudah proses hidrolisis. Kandungan lignin yang
terdapat dalam batang jagung dapat menghambat penguraian selulosa menjadi
monomer monosakarida. Delignifikasi dapat dilakukan dengan pengecilan ukuran,
meskipun tidak dapat merubah struktur molekul secara keseluruhan (Lynd, 2002
dalam Shofiyanto 2008), sedangkan menurut Resita, (2006 dalam shofiyanto,
2008), pengecilan ukuran menyebabkan rantai polimer yang panjang putus
menjadi rantai polimer yang lebih pendek , dan pengecilan ukuran juga dapat
meningkatkan daerah amorf, dengan kata lain menurunkan derajat kristalinitas
31
dan memisahkan sebagian lignin dari selulosa. Dengan demikian fungsi tahap
delignifikasi yaitu untuk memutuskan ikatan kuat yang mengikat lignin dan
selulosa sehingga mempermudah proses hidrolisis untuk menguraikan selulosa.
4.2. Hidrolisis
Hidrolisis dilakukan untuk menguraikan selulosa dan pada penelitian ini
dilakukan dengan metode hidrolisis asam. Hidrolisis dilakukan dengan
menggunakan larutan asam sulfat 2 %. Banyak sampel yang digunakan pada
hidrolisis adalah 50 gram, perbandingan jumlah sampel dengan larutan asam
adalah 1/20 gr ml-1
. Jadi sampel sebanyak 50 g digunakan larutan asam sulfat 2 %
sebanyak 1000 ml. Hidrolisis asam dilakukan selama 60 menit dengan suhu 100
◦C. Dalam hidrolisis asam proses penguraian ini berlangsung secara bertahap.
Pertama selulosa terurai menjadi selubiosa dan tahap selanjutnya akan mengubah
selubiosa menjadi glukosa dengan cara memutuskan ikatan glikosidanya. Dalam
hal pemutusan ikatan glikosida tidak ada pola tertentu, karena proses ini terjadi
secara acak. Hidrolisis secara asam memiliki beberapa kelemahan antara lain hasil
hidrolisis asam dapat menghasilkan furfural dan senyawa inhibitor yang lain yang
justru dapat menghambat proses fermentasi (Tahersadeh dan Karimi, 2007 dalam
Anonim 2011)
4.2.1. Analisa Kadar Glukosa
Analisa kadar glukosa dilakukan setelah dilakukannya tahap hidrolisis,
untuk mengetahui berapa kadar glukosa yang terbentuk dari penguraian selulosa.
Analisa kadar glukosa dilakukan degan metode Luff Schrool. Dari pengukuran
kadar glukosa didapatkan bahwa mg glukosa yang terkandung dalam filtrat hasil
32
hidrolisis adalah 9,7 mg. Kadar glukosa 9,7 mg diperoleh dengan melihat selisih
volume natrium tiosulfat yang digunakan untuk menitrasi blanko dan volume
natrium tiosulfat yang digunakan untuk menitrasi sampel. volume natrium
tiosulfat pada titrasi blanko yaitu 24,1 ml dan volume natrium tiosulfat pada titrasi
sampel yaitu 20,1 ml sehingga selisih volumenya yaitu 24,1 ml - 20,1 ml = 4.
Kemudian melihat tabel penetapan gula menurut Luff Schrool dapat ditentukan
mg glukosa yang terkandung dalam sampel. Penetapan gula menurut Luff Schrool
dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam suatu bahan **)
ml 0,1 N
Thio
*)
Glukosa, fruktosa, gula
invert mg C6H12O6
ml 0,1 N
thio
*)
Glukosa, fruktosa, gula
invert mg C6H12O6
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
2,4
4,8
7,2
9,7
12,2
14,7
17,2
19,8
22,4
25,0
27,0
30,3
2,4
2,4
2,5
2,5
2,5
2,5
2,6
2,6
2,6
2,6
2,7
2,7
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
33,0
25,7
38,5
38,5
44,2
47,1
50,0
53,0
56,0
59,1
62,0
-
2,7
2,8
2,8
2,9
2,9
2,9
3,0
3,0
3,1
3,1
-
-
*) ml 0,1 N Thio = titrasi blanko-titrasi sampel (Sudarmaji, 1989)
**) analisis dengan metode Luff Schoorl
Dari tabel dapat dilihat bahwa mg glukosa yang terdapat pada hidrolisat
hasil hidrolsis asam pada sampel batang jagung adalah 9,7 mg berdasarkan selisih
hasil titrasi. Dengan hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dari proses
hidrolisis asam selulosa yang ada pada batang jagung telah terurai menjadi
monosakarida walaupun dalam hal ini kadar yang dihasilkan masih sedikit. Ini
33
disebabkan karena adanya lignin yang masih terikat pada selulosa. Di dalam
jaringan tanaman lignin sulit didegradasi karena mempunyai struktur yang
kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa
(Anindyawati, 2010). Perhitungan % kadar glukosa dari rumus berikut
% kadar glukosa = Kadar Glukosa X Faktor Pengenceran
Berat Sampel X 1000 mg x 100 %
didapatkan bahwa dari hidrolisis sampel sebanyak 50 g kadar glukosa yang
terkandung dalam filtrat hasil hidrolisis batang jagung adalah sebanyak 0,324 %
4.3.Pembuatan starter fermentasi
Tahap fermentasi diawali dengan menyiapan starter, yaitu menyiapkan
biakan mikroba S. cerevisiae yang akan digunakan dalam fermentasi. Starter
dibuat dengan cara mengambil akuades sebanyak 300 ml kemudian memasukan
kedalam gelas kimia, selanjutnya ditambahkan PDB (Potatoe Dextroxe Broth)
sebanyak 7,2 g. Pemakaian PDB berdasarkan ketetapan pemakaian PDB, yaitu 24
g dalam 1 liter larutan. Pada pembuatan kali ini larutan sebanyak 300 ml maka
ketetapan PDB yang akan digunakan ditentukan sebagai berikut :
300 ml x 24 gr
1000 ml = 7,2 g
PDB yang digunakan untuk membuat starter sebanyak 300 ml adalah 7,2 g.
PDB dilarutkan pada 300 ml akuades, kemudian larutan dipanaskan sambil diaduk
hingga mendidih. Setelah mendidih larutan dipindahkan kedalam erlenmeyer,
yang selanjutnya ditutup rapat dengan kapas dan aluminiumfoil agar terhindar dari
kontaminasi kapang, atau mikroba yang lain. Kemudian memasukan larutan
kedalam otoklaf untuk sterilisasi. Prinsip kerja otoklaf adalah pemanasan dengan
34
cara panas basah, tujuannya adalah untuk sterilisasi yaitu pembebasan dari
mikroorganisme lain yang dapat menghambat kinerja mikroba yang diinginkan.
Pada pemanasan lembab (cara panas basah) Sel sel vegetativ bakteri mati pada
suhu 60 ◦C dalam waktu 5-10 menit. Spora ragi fungi mati diatas 80
◦C, dan spora
bakteri pada 120 ◦C (15 menit) (Schlegel, 1994). Setelah dicapai suhu 121
◦C
dihentikan kerja autoclave dan larutan didinginkan sampai suhu 30 ◦C. Kemudian
dimasukan biakan S. cerevisiae sebanyak 30 ml, labu erlenmeyer kembali ditutup
rapat, dan selanjutnya larutan starter diinkubasi selama 2 hari di inkubator goyang
(Shaker).
4.4.Penyiapan Filtrat Fermentasi
Hidrolisat batang jagung yang telah dihidrolisis diambil sebanyak 600 ml,
yang selanjutnya akan difermentasi. Sebelum difermentasi kedalam hidrolisat
ditambahkan urea sebanyak 0,48 g dan amonium sulfat sebanyak 0,9 g,
penambahan urea dan amonium sulfat berfungsi sebagai nutrisi yang digunakan
sebagai mikroba pada saat fermentasi berlangsung. Mikroba membutuhkan unsur
karbon dan nitrogen dalam perkembangbiakannya, dalam hal ini unsur karbon
yang nantinya digunakan mikroba dalam perkembangbiakannya yaitu berasal dari
gula hasil hidrolisis yang terkandung pada hidrolisat batang jagung. Unsur karbon
dapat meningkatkan energi dan biosintesis sehingga persediaan sumber karbon
yang cukup, dibutuhkan dalam proses fermentasi. Unsur nitrogen digunakan oleh
mikroba untuk mempercepat pertumbuhan sel dalam fermentasi. dan dalam hal ini
dengan menambahkan urea dan amonium sulfat kedalam hidrolisat batang jagung.
Setelah dilakukan penambahan nutrisi kemudian dilakukan pengukuran pH.
35
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan Indikator pH universal. 600 ml
Hidrolisat batang jagung yang telah ditambahkan nutrisi dimasukan kedalam gelas
kimia 1000 ml, diatur pHnya berkisar antara 4-5, pengukuran awal menunjukan
hidrolisat memiliki pH 1, untuk menaikan pH hidrolisat yang bersifat asam
digunakan larutan basa natrium hidroksida 20 %, sambil diaduk dengan stirer
ditambahkan larutan natrium hidroksida secara perlahan kemudian di ukur
kembali pH hidrolisat sampai pH berkisar pada 4-5. pH 4-5 merupakan kisaran
pH yang optimal dalam fermentasi, pH dibawah dari 4 akan memperlambat
fermentasi, ini disebabkan karena pH di bawah 4 mempengaruhi aktivitas enzim
yang dihasilkan mikroorganisme, selain itu juga dapat menyebabkan denaturasi
sehingga menurunkan aktivitas enzim. Selanjutnya setelah hidrolisat telah
mencapai pH 4-5 kemudian, dimasukan kedalam 3 buah erlenmeyer 250 ml,
masing-masing 200 ml, untuk variasi fermentasi tiga hari, lima hari, dan tujuh
hari.
4.5.Fermentasi
Sebelum difermentasi hidrolisat yang telah diberi label variasi fermentasi tiga
hari, lima hari, dan tujuh hari terlebih dahulu di sterilisasi di dalam autoclave dan
dipanaskan sampai suhu 121 ◦C. Kemudian didinginkan hingga suhu 30
◦C,
selanjutnya kedalam masing-masing erlenmeyer fermentasi dimasukan larutan
starter fermentasi sebanyak 10 % volume larutan atau hidrolisat yang akan
difermentasi. Hidrolisat yang difermentasi adalah 200 ml sehingga volume starter
yang ditambahkan adalah sebanyak 20 ml pada masing-masing labu fermentor.
Selanjutnya fermentor (Labu erlenmeyer 250 ml) ditutup rapat dengan kapas dan
36
aluminium foil sehingga tidak ada udara yang dapat masuk. Fermentasi yang kali
ini dilakukan dengan cara anaerob (tanpa menggunakan oksigen). Fermentor
diinkubasi pada inkubator goyang pada suhu kamar atau berkisar pada 20 ◦C -30
◦C. S. cerevisiae merupakan organisme bernafas aerob akan tetapi untuk proses
fermentasi diperlukan kondisi anaerob karena pada kondisi anaerob S. cerevisiae
akan mengubah glukosa menjadi etanol dan karbondioksida. Menurut Fessenden
(1997 dalam Budhiutami, 2011 :12) dari satu molekul glukosa akan terbentuk dua
molekul alkohol dan dua molekul karbondioksida. Reaksi yang terjadi adalah
C6H12O6 2CO2 + 2C2H5OH
4.6.Kadar Etanol
Hasil fermentasi selanjutnya didestilasi yaitu pemisahan yang didasarkan pada
perbedaan titik didih. Hasil fementasi dimungkinkan masih merupakan campuran
antara etanol, air, dan pengotor yang lain, sehinnga dilakukan diestilasi untuk
memperoleh etanol yang lebih murni.
Proses destilasi dilakukan dengan pengontrolan suhu, titik didih etanol
adalah 78,3 ◦C. Suhu yang digunakan pada proses destilasi antara 78-80
◦C. Hasil
destilasi pada sampel dengan waktu fermentasi tiga hari, berdasarkan pengukuran
awal dengan alkoholmeter (sebelum digunakan faktor koreksi) kadar etanol yang
dihasilkan adalah 5%. Pada destilasi dengan waktu fermentasi lima hari kadar
etanol yang dihasilkan pada pengukuran dengan alkoholmeter yaitu 3 %, begitu
pula pada pengukuran untuk sampel pada fermentasi tujuh hari kadar etanol yang
dihasilkan adalah 3%. % kadar etanol dengan alkoholmeter berdasakan faktor
koreksinya dihitung dengan mengguakan rumus berikut :
37
Pada fermentasi tiga hari :
Harga koreksi = % Etanol standar pada alkoholmeter
% etanol standar =
90 %96 % = 0,937
% Etanol = % etanol hasil fermentasi
Harga koreksi =
5 %
0,937 = 5,34 %
Pada fermentasi lima hari
% Etanol = % etanol hasil fermentasi
Harga koreksi =
3 %
0,937 = 3,2 %
Pada fermentasi hari ke tujuh
% Etanol = % etanol hasil fermentasi
Harga koreksi =
3 %
0,937 = 3,2 %
Tabel 4.2. kadar etanol hasil destilasi
No Waktu Fermentasi (Hari) Kadar Etanol (%)
1 3 5,34
2 5 3,2
3 7 3,2
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa % kadar etanol yang paling besar yaitu
pada waktu fermentasi tiga hari, ini menunjukan bahwa mikroba berada pada
masa pertumbuhan paling optimal sehingga menghasilkan etanol yang lebih besar.
Kadar etanol pada waktu fermentasi lima hari dan tujuh hari terjadi penurunan
kadar etanol, pada keaadaan ini kerja mikroba tidak optimal, ini disebabkan
karena, mikroba berada pada fase kematian, ketersediaan nutrisi bepengaruh pada
perkembangan mikroba. dan adanya alkohol bersifat toksik bagi mikroba sehingga
menyebabkan jumlah mikroba menurun dan mempengaruhi banyaknya etanol
yang dihasilkan.
38
4.7. Analisa Produk
4.7.1. Identifikasi Gugus Fungsi
Identifikasi gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri
infra merah (IR). Identifikasi dilakukan dengan melakukan pembacaan pada
bilangan gelombang, dimana suatu gugus fungsi memiliki range pada bilangan
gelombang tertentu yang akan menunjukan daerah serapan suatu gugus fungsi.
Daerah spektrum beberapa ikatan gugus fungsi dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Daerah spektrum beberapa ikatan gugus fungsi
Daerah Spektum
Ikatan yang
menyebabkan
absorpsi
Bilangan Gelombang
(⊽ cm-1
)
(Creswell,
1982) (Fessenden,
1986)
(Akbar,
2010)
3750 – 3000
-
3000 – 2700
1900 – 1650
1675 – 1500
3700-3000
900-1300
3000-2800
1640-1820
1600-1700
3550-3200
1260-1000
-
1870-1540
-
Regang O−H, N−H
C−O atau C−N
Regang C=O, (asam,
aldehida, keton,
amida, ester,
anhidrida)
Regang
(alifatik dan
aromatik)
Hasil identifikasi dengan IR pada fermentasi tiga hari dapat dilihat pada gambar
4.1.
C H
C C
C N
C
O
H
39
Gambar 4.1. Hasil IR Fermentasi Tiga Hari
Alkohol menunjukan serapan renggang O−H yang jelas pada 3000-3700
cm-1
. Pada gambar 4.1 dapat dilihat bahwa puncak pertama berada pada bilangan
gelombang 3371,73 cm-1
, ini termasuk daerah absorpsi gugus O-H alkohol.
Alkohol juga menunjukan serapan C−O dalam daerah sidik jari. Daerah sidik jari
berada dikanan 1400 cm-1
daerah serapan.. Akan tetapi pada hasil analisis tidak
ditemukan adanya serapan pada rentan bilangan gelombang C − O yang
menunjukan daerah sidik jari alkohol, hanya serapan gugus ikatan C=O. Adanya
serapan ikatan C=O ini disebabkan etanol hasil fermentasi telah teroksidasi
menjadi asam asetat sehingga yang ada pada pembacaan adalah ikatan C=O yaitu
pada puncak kedua dengan bilangan gelombang 1639 cm-1
. Hasil yang serupa
dapat dilihat pula pada pada pembacaan IR fermentasi lima hari dan tujuh hari.
Bilangan Gelombang cm-1
Abso
rban
si
40
Gambar 4.2. Hasil IR Pada Fermentasi Lima Hari
Pada gambar 4.2 dapat dilihat bahwa puncak pertama berada pada
bilangan gelombang 3371, 35 cm-1, ini menunjukan pada rentang gugus O-H dan
punck kedua berada pada bilangan gelombang 1639,95 cm-1
, bilangan gelombang
ini berada pada rentang absorpsi gugus C=O.
Gambar 4.3. Hasil IR pada fermentasi tujuh hari
Bilangan Gelombang cm-1
Abso
rban
si
Bilangan Gelombang cm-1
Abso
rban
si
41
Seperti halnya fermentasi tiga hari dan lima hari, pada fermentasi tujuh
hari puncak pertama dapat dilihat bilangan gelombang yang diberikan berada pada
3365,65 cm-1
, dan puncak kedua yang lebih kecil berada pada bilangan
gelombang 1642,12 cm-1
. ini menunjukan daerah absorpsi gugus O-H, dan C=O.
4.7.2. Analisis dengan Kromatografi Gas
Pengukuran kadar etanol dengan menggunakan kromatografi gas
dilakukan dengan membandingkan waktu retensi sampel dengan dengan waktu
retensi standar etanol. Standar etanol yang digunakan dengan konsentrasi 100%.
Hasil analisis dengan kromatografi gas dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.4. Hasil analisis dengan kromatografi gas
No Nama Contoh Uji Hasil Satuan Metode
1 Destilat 3 Hari < 0,0004 % GC-FID
2 Destilat 5 hari < 0,0004 % GC-FID
3 Destilat 7 hari < 0,0004 % GC-FID
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kadar etanol dari destilat fermentasi
tiga hari, lima hari dan tujuh hari menunjukan hasil kadar etanol yang diperoleh
adalah < 0,0004 %. Nilai ini sangat kecil, dan kurang bersesuaian dengan hasil
pengukuran pada perhitungan kadar etanol dengan menggunakan alkoholmeter.
Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan waktu pengukuran. Pengukuran
dengan menggunakan alkoholmeter dilakukan pada saat setelah sampel di
destilasi akan tetapi pada pengukuran dengan menggunakan kromatografi gas
dilakukan 2 minggu setelah destilasi. Jadi kemungkinan yang terjadi kadar etanol
yang terdapat dalam sampel telah berkurang (menguap) pada saat pengukuran
42
dengan menggunkan kromatografi gas sehingga etanol yang terdeteksi sangatlah
kecil. Hasil kromatogram dapat dilihat pada lampiran I.
Jenis alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi dapat diamati dengan
cara reaksi kimia, diantaranya adalah mereaksikan suatu alkohol dengan hidrogen
halida. Menurut Fessenden (1982) telah teramati bahwa alkohol sekunder dan
alkohol tersier kadang-kadang mengalami penataan ulang bila diolah dengan HX.
sedangkan kebanykan alkohol primer tidak mengalami ini. Hasil reaksi yang
tejadi dari penataan ulang akan terbentuk suatu hidrokarbon jenuh. Dengan cara
ini dimungkinkan akan dapat diidentifikasi jenis alkohol yang didapatkan dari
proses fermentasi.