BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitianeprints.umm.ac.id/51458/5/BAB IV.pdf ·...
Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitianeprints.umm.ac.id/51458/5/BAB IV.pdf ·...
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Mangrove Pantai
Cengkrong Kabupaten Trenggalek mengenai keanekaragaman Moluska,
menunjukkan hasil yang berbeda pada setiap stasiun dalam jumlah maupun
populasi. Moluska yang diidentifikasi merupakan dua kelas terbesar yaitu
Gastropoda dan Bivalvia. Pada bab ini peneliti akan menyajikan hasil penelitian
meliputi: 1) Kondisi lingkungan dengan parameter fisika dan kimia, 2)
Keanekaragaman Moluska dari kelas Gastropoda dan Bivalvia, 3) Hubungan antara
kondisi lingkungan dan keanekaragaman Moluska, dan 4) Kajian implementasi
hasil penelitian Keanekaragaman Moluska yang dikembangkan sebagai sumber
belajar Biologi.
4.1.1 Kondisi Lingkungan melalui Parameter Fisika dan Kimia di Hutan
Mangrove Pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek
Kondisi lingkungan sebagai data pendukung diukur untuk mendapatkan
gambaran tentang kondisi habitat Moluska di lokasi penelitian. Kondisi lingkungan
diukur melalui parameter fisika (suhu dan jenis substrat) dan parameter kimia (pH
dan salinitas). Adapun hasil pengukuran terdapat pada Tabel 4.1.
Tabel 4 1 Hasil Pengukuran Kondisi Lingkungan
Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Rata-rata
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Suhu 0C 29 30 30 30 31 30 31 31 30 30 30 31
pH 7 6,7 6,7 6,6 6,5 6,7 6,7 6,6 6.8 6,7 6,8 6,7
Salinitas (ppm) 29 30 30 31 30 29 30 31 29 30 30 30
Jenis substrat (Δ
USDA)
Liat Lumpur Lumpur berpasir -
41
Pengukuran parameter lingkungan bertujuan mengetahui kondisi
lingkungan yang ditempati oleh Moluska. Selain itu, pengukuran tersebut
digunakan untuk mengetahui kemungkinan adanya hubungan terhadap spesies
Moluska.
1. Suhu
Berdasarkan Tabel 4.1 pengukuran suhu pada kawasan hutan mangrove
pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek didapatkan hasil ketiga stasiun memiliki
perbedaan suhu yang relative kecil. Stasiun 1 memiliki rata-rata suhu 30 0C, rata-
rata suhu stasiun 2 yaitu 30 0C dan stasiun 3 rata-rata suhu 31 0C. Nilai rata-rata
suhu diperoleh dari pengukuran suhu dari ulangan 1, 2, dan 3 perstasiun.
2. pH
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat nilai rata-rata pH di kawasan hutan
mangrove pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek pada stasiun 1 sampai stasiun
3 memiliki pH yang tidak berbeda jauh. Pada stasiun 1 memiliki pH 6,7; stasiun 2
berkisar 6,8; dan nilai pH stasiun 3 yaitu 6,7. Derajat keasaman ketiga stasiun
tergolong netral.
3. Salinitas
Hasil pengukuran salinitas air di kawasan hutan mangrove pantai
Cengkrong Kabupaten Trenggalek disajikan pada Tabel 4.1 diketahui stasiun 1,
stasiun 2, dan stasiun 3 memiliki tingkat salinitas yang sama. Stasiun 1 memiliki
rata-rata salinitas 30 ppm, stasiun 2 berkisar 30 ppm, dan pada stasiun 3 yaitu 30
ppm.
42
4. Jenis Substrat
Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan jenis substrat yang ditemukan di
kawasan hutan mangrove pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek. Jenis substrat
yang ditemukan pada stasiun 1 berupa liat, stasiun 2 jenis substrat berlumpur, dan
stasiun 3 lumpur berpasir. Penentuan jenis substrat melalui Δ USDA.
4.1.2 Moluska yang ditemukan di Hutan Mangrove Pantai Cengkrong
Hasil penelitian di kawasan hutan mangrove pantai Cengkrong Kabupaten
Trenggalek, ditemukan Moluska dari dua kelas yaitu Gastropoda dan Bivalvia.
Kelas Gastropoda ditemukan 11 spesies dan kelas Bivalvia 2 spesies. Spesies
Moluska yang ditemukan disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4 2 Keanekaragaman Moluska di Kawasan Hutan Mangrove Pantai Cengkrong
Kabupaten Trenggalek
No
Class Ordo Family Genus Spesies ∑ Individu
dalam Stasiun
1 2 3
1 Gastropoda Caenogastropoda Cerithiidae Rhinoclavis Rhinoclavis
articulata
29 65 90
2 Gastropoda Caenogastropoda Potamididae Cerithidea Cerithidea
quadrata
36 14 17
3 Gastropoda Trochida Calliostomatidae Calliostoma Calliostoma olssoni 34 15 8
4 Gastropoda Cycloneritida Neritidae Nerita Nerita planospira 19 0 9
5 Gastropoda Littorinimorpha Littorinidae Littorina Littorina scabra 23 29 27
6 Gastropoda Caenogastropoda Pachychilidae Faunus Faunus ater 40 42 37
7 Gastropoda Cycloneritida Neritidae Theodoxus Theodoxus
coronatus
29 24 29
8 Gastropoda Littorinimorpha Cymatiidae Cymatium Cymatium
tranquebaricum
44 30 24
9 Gastropoda Cycloneritida Neritidae Neritina Neritina pulligera 16 61 42
10 Gastropoda Littorinimorpha Naticidae Natica Natica inexpectans 13 15 26
11 Gastropoda Littorinimorpha Naticidae Polinices Polinices catena 38 0 11
12 Bivalvia Nuculida Nuculidae Nucula Nucula sulcata 12 5 28
13 Bivalvia Venerida Mactridae Lutraria Lutraria lutraria 0 28 26
Jumlah 333 337 374
Berdasarkan Tabel 4.2 hasil penelitian yang dilakukan di tiga stasiun
didapatkan jumlah total moluska 1044. Jumlah spesies moluska terbanyak
ditemukan pada stasiun 3 dengan jumlah 374. Stasiun 2 ditemukan sebanyak 337,
43
dan stasiun 1 ditemukan 333. Spesies Rhinoclavis articulata pada stasiun 1
ditemukan 29 individu, stasiun 2 ditemukan 65 individu, dan stasiun 3 ditemukan
90 individu. Spesies Cerithidea quadrata di stasiun 1 terdapat 36 individu, stasiun
2 ditemukan 14 individu, dan stasiun 3 ditemukan 17 individu. Spesies Calliostoma
olssoni pada stasiun 1 ditemukan 34 individu, stasiun 2 terdapat 15 individu, dan
stasiun 3 terdapat 8 individu. Nerita planospira ditemukan diketiga stasiun, stasiun
1 ditemukan 19 individu, stasiun 2 ditemukan 9 individu, dan stasiun 3 ditemukan
9 individu. Spesies Littorina scabra pada staisun 1 ditemukan 23 individu, stasiun
2 ditemukan 29 individu, dan stasiun 3 ditemukan 27 individu. Faunus ater pada
stasiun 1 ditemukan 40 individu, stasiun 2 ditemukan 42 individu, dan stasiun3
ditemukan 37 individu. Spesies Theodoxus coronatus di stasiun 1 ditemukan 29
individu, stasiun 2 ditemukan 24 individu, dan stasiun 3 ditemukan 29 individu.
Spesies Cymatium tranquebaricum ditemukan di tiga stasiun. Stasiun 1 ditemukan
44 individu, stasiun 2 ditemukan 30 individu, dan stasiun 3 ditemukan 24 individu,
Neritina pulligera juga terdapat di tiga stasiun. Stasiun 1 ditemukan 16 individu
stasiun 2 ditemukan 61 individu, dan stasiun 3 ditemukan 42 individu. Spesies
Natica inexpectans pada stasiun 1 ditemukan sebanyak 13 individu, stasiun 2
ditemukan 15 individu, dan stasiun 3 ditemukan 26 individu. Spesies Polinices
catena hanya terdapat di dua stasiun. Stasiun 1 ditemukan 38 individu dan stasiun
3 ditemukan 11 individu. Spesies Nucula sulcata ditemukan di tiga stasiun. Stasiun
1 ditemukan 12 individu, stasiun 2 ditemukan 5 individu, dan stasiun 3 ditemukan
28 individu. Spesies Lutraria lutraria ditemukan di dua stasiun. Stasiun 2 terdapat
28 individu, dan stasiun 3 terdapat 26 individu.
44
4.1.3 Indeks Keanekaragaman Moluska
Perhitungan indeks keanekaragaman digunakan untuk mempelajari
pengaruh faktor kondisi lingkungan terhadap suatu komunitas. Keanekaragaman
Moluska di kawasan hutan mangrove pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek
disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4 3 Indeks Keanekaragaman Moluska
No Lokasi Spesies Pi ln pi
1 Stasiun1 Rhinoclavis articulata 0,21
2 Cerithidea quadrata 0,24
3 Calliostoma olssoni 0,23
4 Nerita planospira 0,16
5 Littorina scabra 0,18
6 Faunus ater 0,25
7 Theodoxus coronatus 0,21
8 Cymatium tranquebaricum 0,27
9 Neritina pulligera 0,15
10 Natica inexpectans 0,13
11 Polinices catena 0,25
12 Nucula sulcata 0,12
13 Lutraria lutraria 0
Rata-rata H’ = 2,41
1 Stasiun 2 Rhinoclavis articulata 0,32
2 Cerithidea quadrata 0,13
3 Calliostoma olssoni 0,14
4 Nerita planospira 0,10
5 Littorina scabra 0,21
6 Faunus ater 0,26
7 Theodoxus coronatus 0,19
8 Cymatium tranquebaricum 0,22
9 Neritina pulligera 0,31
10 Natica inexpectans 0,14
11 Polinices catena 0
12 Nucula sulcata 0,06
13 Lutraria lutraria 0,01
Rata-rata H’ = 2,06
1 Stasiun 3 Rhinoclavis articulata 0,34
2 Cerithidea quadrata 0,14
3 Calliostoma olssoni 0,08
4 Nerita planospira 0,00
5 Littorina scabra 0,19
6 Faunus ater 0,23
7 Theodoxus coronatus 0,20
8 Cymatium tranquebaricum 0,18
9 Neritina pulligera 0,25
10 Natica inexpectans 0,19
11 Polinices catena 0,10
45
No Lokasi Spesies Pi ln pi
12 Nucula sulcata 0,19
13 Lutraria lutraria 0,19
Rata-rata H’ = 2,27
Hasil perhitungan keanekaragaman spesies Moluska di hutan mangrove
pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek diketahui bahwa pada stasiun 1 memiliki
rata-rata keanekaragaman 2,41 , rata-rata keanekaragaman stasiun 2 yaitu 2,06 ; dan
stasiun 3 adalah 2,27.
4.1.4 Indeks Kemerataan Moluska
Perhitungan indeks kemerataan menunjukkan pola sebaran Moluka yaitu
merata atau tidak. Indeks kemerataan Moluska di kawasan Hutan Mangrove Pantai
Cengkrong Kabupaten Trenggalek disajikan pada Tabel berikut.
Tabel 4 4 Indeks Kemerataan Moluska
No Lokasi Indeks Kemerataan
1 Stasiun 1 0,94
2 Stasiun 2 0,80
3 Stasiun 3 0,89
Hasil perhitungan kemerataan pada Tabel 4.4 diketahui bahwa indeks
kemerataan Moluska di Hutan Mangrove Pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek
pada stasiun 1 memiliki kemerataan 0,94, stasiun 2 indeks kemerataan 0,80; dan
stasiun 3 memiliki kemerataan 0,89.
4.1.5 Indeks Nilai Penting (INP) Moluska
Indeks Nilai Penting merupakan indeks yang digunakan untuk
menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis di dalam komunitas. Perhitungan
Indeks Nilai Penting berdasarkan pada penjumlahan nilai kepadatan relatif dan
frekuensi relatif. Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies
yang tinggi, apabila komunitas tersebut tersusun oleh banyak spesies dan
46
kelimpahan spesies yang tinggi. Adapun Indeks Nilai Penting di stasiun 1, 2, 3
disajikan dalam Tabel 4.5.
Tabel 4 5 Indeks Nilai Penting Moluska
Stasiun 1
No Spesies INP
1 Rhinoclavis articulata 0,18
2 Cerithidea quadrata 0,23
3 Calliostoma olssoni 0,20
4 Nerita planospira 0,13
5 Littorina scabra 0,14
6 Faunus ater 0,22
7 Theodoxus coronatus 0,18
8 Cymatium tranquebaricum 0,25
9 Neritina pulligera 0,10
10 Natica inexpectans 0,06
11 Polinices catena 0,24
12 Nucula sulcata 0,06
13 Lutraria lutraria 0
Stasiun 2
No Spesies INP
1 Rhinoclavis articulata 0,34
2 Cerithidea quadrata 0,11
3 Calliostoma olssoni 0,09
4 Nerita planospira 0,05
5 Littorina scabra 0,18
6 Faunus ater 0,25
7 Theodoxus coronatus 0,17
8 Cymatium tranquebaricum 0,16
9 Neritina pulligera 0,35
10 Natica inexpectans 0,09
11 Polinices catena 0
12 Nucula sulcata 0,04
13 Lutraria lutraria 0,16
Stasiun 3
No Spesies INP
1 Rhinoclavis articulate 0,43
2 Cerithidea quadrata 0,09
3 Calliostoma olssoni 0,04
4 Nerita planospira 0,05
5 Littorina scabra 0,14
6 Faunus ater 0,22
7 Theodoxus coronatus 0,17
8 Cymatium tranquebaricum 0,13
9 Neritina pulligera 0,21
10 Natica inexpectans 0,14
11 Polinices catena 0,05
12 Nucula sulcata 0,17
13 Lutraria lutraria 0,16
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4.5 memperlihatkan Indeks Nilai
Penting Moluska perspesies memiliki nilai yang berbeda. Spesies yang memiliki
47
Indeks Nilai Penting tertinggi pada stasiun 1 adalah Cymatium tranquebaricum
dengan nilai 0,25; dan Indeks Nilai Penting terendah adalah spesies Nucula sulcata
dan Natica inexpectans dengan nilai 0,06. Indeks Nilai Penting pada stasiun 2
tertinggi pada spesies Neritina pulligera dengan nilai 0,35; dan terendah spesies
Nucula sulcata dengan nilai 0,04. Sedangkan pada stasiun 3 spesies yang memiliki
Indeks Nilai Penitng tertinggi adalah spesies Rhinoclavis articulata dengan nilai
0,43; dan terendah adalah spesies Calliostoma olssoni dengan nilai 0,04.
4.1.6 Hasil Hubungan Kondisi Lingkungan dan Keanekaragaman Moluska Di
kawasan Hutan Mangrove Pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek
1. Uji Regresi Stasiun 1
Hasil uji regresi hubungan kondisi lingkungan melalui parameter fisika
dan kimia terhadap keanekaragaman moluska disajikan melalui tabel berikut:
Tabel 4 6 Ringkasan Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Stasiun 1
Variabel Koefisien Koefisien
terstandarisasi Thitung Probabilitas
Konstanta 11,833 0,410 0,699
pH 1,833 0,483 1,071 0,333
Suhu -1,250 -0,884 -2,100 0,090
Salinitas 0,583 0,424 0,682 0,526
Fhitung = 7,745 Probabilitas = 0,025
Koefisien determinasi= 0,823
A. Pengujian Koefisien Deteriminasi
Kontribusi variabel pH, suhu, salinitas terhadap variabel keanekaragaman
moluska diketahui melalui koefisien determinasi atau R-squared yaitu 0,823. Nilai
R-squared tersebut menjelaskan bahwa kontribusi kondisi lingkungan pH, suhu,
salinitas terhadap keanekaragaman moluska sebesar 82,3% dan 17,7% adalah
kontribusi variabel lain yang tidak dibahas dalam penelitian.
48
B. Pengujian Hipotesis
1) Uji Hipotesis Simultan
Uji hipotesis simultan digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan variabel pH, suhu, salinitas terhadap variabel keanekaragaman moluska.
Kriteria dalam uji ini menggunakan perbandingan nilai probabilitas dengan nilai
ketetapan 0,05 atau Fhitung ≥ Ftabel. Jika probabilitas < 0,05 maka terdapat hubungan
dan jika probabilitas > 0,05 berarti tidak terdapat hubungan antara pH, suhu,
salinitas terhadap keanekaragaman moluska. Hasil pengujian hipotesis simultan
menghasilkan nilai probabilitas 0,025 < 0,05 yang berarti ada hubungan kondisi
lingkungan (suhu, pH, salinitas) terhadap keanekaragaman moluska.
2) Uji Hipotesis Parsial
Uji hipotesis parsial digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan pH, suhu, salinitas terhadap keanekaragaman moluska. Kriteria
pengujian melalui perbandingan nilai thitung ≥ ttabel atau nilai probabilitas dengan
nilai ketetapan 0,05. Hasil pengujian hipotesis secara parsial menggunakan uji T
didapatkan nilai Ttabel 3,18. Uji T bertujuan untuk mengetahui signifikansi
koefisien-koefisien dari variabel pH, suhu, salinitas. Variabel pH terhadap
keanekaragaman moluska mengahsilkan thitung sebesar 1,071; suhu terhadap
keanekaragaman moluska menghasilkan thitung -2,100; dan salinitas menghasilkan
thitung 0,682. Nilai thitung variabel pH, suhu, salinitas terletak diantara Ttabel yaitu 3,18,
maka H0 diterima.
Adapun persamaan regresi linier berganda, sebagai berikut:
“Y=B0+B1X1+B2X2+B3X3” yaitu Y= 11,833 + 1,833 X1 – 1,250 X2 + 0,583 X3.
49
Dari persamaan tersebut menunjukkan setiap penambahan 1 pH akan meningkatkan
keanekaragaman sebesar 1,833; setiap penambahan -1 suhu mengurangi
keanekaragaman sebesar 1,250; dan setiap penambahan 1 salinitas akan
meningkatkan keanekaragaman sebesar 0,583.
.
Gambar 4 1 Grafik Empirik Regresi Linier Berganda Keanekaragaman Moluska
dengan pH Stasiun 1
Gambar 4 2 Grafik Empirik Regresi Linier Berganda Keanekaragaman Moluska
dengan Suhu Stasiun 1.
11,833
1,833
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
0 0.5 1 1.5 2 2.5Kea
nek
arag
am M
olu
ska
pH
Keanekaragaman Moluska dan pH
11,833
-1,250 0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
00.511.522.5
Kea
nek
arag
aman
Mo
lusk
a
Suhu
Keanekaragaman Moluska dan Suhu
Y= 11,833-1,250 R2= 0,823
Y=11,833+1,833 R2= 0,823
50
Gambar 4 3 Grafik Empirik Regresi Linier Berganda Keanekaragaman Moluska
dengan Salinitas Stasiun 1.
2. Uji Regresi Stasiun 2
Tabel 4 7 Ringkasan Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Stasiun 2
Variabel Koefisien Koefisien
terstandarisasi Thitung Probabilitas
Konstanta 35,741 2,885 0,03
pH 2,119 0,406 2,824 0,037
Suhu -1,544 -0,720 -2,991 0,030
Salinitas 0,009 0,008 0,034 0,974
Fhitung =18,964 Probabilitas = 0,004
Koefisien determinasi= 0,919
A. Pengujian Koefisien Deteriminasi
Kontribusi variabel pH, suhu, salinitas terhadap variabel keanekaragaman
moluska diketahui melalui koefisien determinasi atau R-squared yaitu 0,919. Nilai
R-squared tersebut menjelaskan bahwa kontribusi kondisi lingkungan pH, suhu,
salinitas terhadap keanekaragaman moluska sebesar 91,9% dan 8,1% adalah
kontribusi variabel lain yang tidak dibahas dalam penelitian.
11,833
0,583
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
0 0.5 1 1.5 2 2.5Kea
nek
arag
aman
Mo
lusk
a
Salinitas
Keanekaragaman Moluska dan Salinitas
Y= 11,833+0,583 R2= 0,823
51
B. Pengujian Hipotesis
1) Uji Hipotesis Simultan
Uji hipotesis simultan digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan variabel pH, suhu, salinitas terhadap variabel keanekaragaman moluska.
Kriteria dalam uji ini menggunakan perbandingan nilai probabilitas dengan nilai
ketetapan 0,05 atau Fhitung ≥ Ftabel. Jika probabilitas < 0,05 maka terdapat hubungan
dan jika probabilitas > 0,05 berarti tidak terdapat hubungan antara variabel pH,
suhu, salinitas terhadap variabel keanekaragaman moluska. Hasil pengujian
hipotesis simultan menghasilkan nilai probabilitas 0,004 < 0,05 yang berarti ada
hubungan kondisi lingkungan (suhu, pH, salinitas) terhadap keanekaragaman
moluska.
2) Uji Hipotesis Parsial
Uji hipotesis parsial digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan pH, suhu, salinitas terhadap keanekaragaman moluska. Kriteria
pengujian melalui perbandingan nilai thitung ≥ ttabel atau nilai probabilitas dengan
nilai ketetapan 0,05. Hasil pengujian hipotesis secara parsial menggunakan uji T
didapatkan nilai Ttabel 3,18. Uji T bertujuan untuk mengetahui signifikansi
koefisien-koefisien dari variabel pH, suhu, salinitas. Variabel pH terhadap
keanekaragaman moluska menghasilkan thitung sebesar 2,824; suhu terhadap
keanekaragaman moluska menghasilkan thitung -2,991; dan salinitas menghasilkan
thitung 0,034. Nilai thitung variabel pH, suhu, salinitas terletak diantara Ttabel yaitu 3,18,
maka H0 diterima.
52
Adapun persamaan regresi linier berganda, sebagai berikut:
“Y=B0+B1X1+B2X2+B3X3” yaitu Y= 35,741 + 2,119 X1 – 1,544X2 – 0,009 X3.
Dari persamaan tersebut menunjukkan setiap penambahan 1 pH akan meningkatkan
keanekaragaman sebesar 2,119; setiap penambahan -1 suhu mengurangi
keanekaragaman sebesar 1,544; dan setiap penambahan -1 salinitas akan
mengurangi keanekaragaman sebesar 0,009.
Gambar 4 4 Grafik Empirik Regresi Linier Berganda Keanekaragaman Moluska
dengan pH Stasiun 2.
Gambar 4 5 Grafik Empirik Regresi Linier Berganda Keanekaragaman Moluska
dengan Suhu Stasiun 2.
35,741
2,119
0
10,000
20,000
30,000
40,000
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Kea
nek
arag
aman
Mo
lusk
a
pH
Keanekaragaman Moluska dan pH
35,741
-1.544
0
10,000
20,000
30,000
40,000
00.511.522.5
Kea
nek
arag
aman
Mo
lusk
a
Suhu
Keanekaragaman Moluska dan Suhu
Y= 35,741-1,544 R2= 0,919
Y= 35,741+2,119 R2= 0,919
53
Gambar 4 6 Grafik Empirik Regresi Linier Berganda Keanekaragaman Moluska
dengan Salinitas Stasiun 2.
3. Uji Regresi Stasiun 3
Tabel 4 8 Ringkasan Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Stasiun 3
Variabel Koefisien Koefisien
terstandarisasi Thitung Probabilitas
Konstanta 17,919 1,229 0,274
pH 1,292 0,398 1,570 0,177
Suhu -0,346 -0,252 -1,282 0,256
Salinitas -0,379 -0,390 -1,846 0,124
Fhitung =23,401 Probabilitas = 0,002
Koefisien determinasi = 0,934
A. Pengujian Koefisien Deteriminasi
Kontribusi variabel pH, suhu, salinitas terhadap variabel keanekaragaman
moluska diketahui melalui koefisien determinasi atau R-squared yaitu 0,934. Nilai
R-squared tersebut menjelaskan bahwa kontribusi kondisi lingkungan pH, suhu,
salinitas terhadap keanekaragaman moluska sebesar 93,4% dan 6,6% adalah
kontribusi variabel lain yang tidak dibahas dalam penelitian.
35,741
-0,009
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
40,000
00.511.522.5
Kea
nek
arag
aman
Mo
lusk
a
Salinitas
Keanekaragaman Moluska dan Salinitas
Y= 35,741-0,009 R2= 0,919
54
A. Pengujian Hipotesis
1) Uji Hipotesis Simultan
Uji hipotesis simultan digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan variabel pH, suhu, salinitas terhadap variabel keanekaragaman moluska.
Kriteria dalam uji ini menggunakan perbandingan nilai probabilitas dengan nilai
ketetapan 0,05 atau Fhitung ≥ Ftabel. Jika probabilitas < 0,05 maka terdapat hubungan
dan jika probabilitas > 0,05 berarti tidak terdapat hubungan antara variabel pH,
suhu, salinitas terhadap variabel keanekaragaman moluska. Hasil pengujian
hipotesis simultan menghasilkan nilai probabilitas 0,002 < 0,05 yang berarti ada
hubungan kondisi lingkungan (suhu, pH, salinitas) terhadap keanekaragaman
moluska.
2) Uji Hipotesis Parsial
Uji hipotesis parsial digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan pH, suhu, salinitas terhadap keanekaragaman moluska. Kriteria
pengujian melalui perbandingan nilai thitung ≥ ttabel atau nilai probabilitas dengan
nilai ketetapan 0,05. Hasil pengujian hipotesis secara parsial menggunakan uji T
didapatkan nilai Ttabel 3,18. Uji T bertujuan untuk mengetahui signifikansi
koefisien-koefisien dari variabel pH, suhu, salinitas. Variabel pH terhadap
keanekaragaman moluska mengahsilkan thitung sebesar 1,570; suhu terhadap
keanekaragaman moluska menghasilkan thitung -1,282; dan salinitas menghasilkan
thitung -1,846. Nilai thitung variabel pH, suhu, salinitas terletak diantara Ttabel yaitu
3,18, maka H0 diterima.
55
Adapun persamaan regresi linier berganda, sebagai berikut:
“Y=B0+B1X1+B2X2+B3X3” yaitu Y= 17,919+ 1,292 X1 – 0,346 X2 – 0,379 X3.
Dari persamaan tersebut menunjukkan setiap penambahan 1 pH akan meningkatkan
keanekaragaman sebesar 1,292; setiap penambahan -1 suhu mengurangi
keanekaragaman sebesar 0,346; dan setiap penambahan -1 salinitas akan
mengurangi keanekaragaman sebesar 0,379.
Gambar 4 7 Grafik Empirik Regresi Linier Berganda Keanekaragaman Moluska
dengan pH Stasiun 3.
Gambar 4 8 Grafik Empirik Regresi Linier Berganda Keanekaragaman Moluska
dengan Suhu Stasiun 3.
17,919
1,292
0
5,000
10,000
15,000
20,000
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Kea
nek
arag
aman
Mo
lusk
a
pH
Keanekaragaman Moluska dan pH
17,919
-0,346
0
5,000
10,000
15,000
20,000
00.511.522.5 Kea
nek
arag
aman
Mo
lusk
a
Suhu
Keanekaragaman Moluska dan Suhu
Y= 17,919-0,346 R2= 0,934
Y= 17,919+1,292 R2= 0,934
56
Gambar 4 9 Grafik Empirik Regresi Linier Berganda Keanekaragaman Moluska
dengan Salinitas Stasiun 3.
4.1.7 Pemanfaatan Hasil Penelitian sebagai Sumber Belajar Biologi
Pada penelitian keanekaragaman Phylum Moluska dari dua kelas tersebut
ditemukan 10 family dari 13 spesies. Spesies yang yang ditemukan meliputi
Rhinoclavis articulata, Cerithidea quadrata, Calliostoma olssoni, Nerita
planospira, Littorina scabra, Faunus ater, Theodoxus coronatus, Cymatium
tranquebaricum, Neritina pulligera, Natica inexpectans, Polinices catena, Nucula
sulcata, dan Lutraria lutraria. Hasil penelitian dapat berarti penting jika digunakan
sebagai sumber belajar yang dapat mempermudah pemahaman dan membantu
proses belajar siswa. Hasil penelitian ini akan digunakan sebagai sumber belajar
Biologi.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Kondisi Lingkungan melalui Parameter Fisika dan Kimia Hutan
Mangrove Pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek
1. Suhu
Suhu adalah salah satu faktor penting dalam mengatur kehidupan
organisme air. Menurut Putra, Hasan, & Purba (2016), suhu merupakan parameter
17,919
-0,379
0
5,000
10,000
15,000
20,000
00.511.522.5 Kea
nek
arag
aman
Mo
lusk
a
Salinitas
Keanekaragaman Moluska dan Salinitas
Y= 17,919-0,379 R2= 0,934
57
kondisi lingkungan yang sering diukur karena digunakan dalam mempelajari proses
fisika, kimiawi, dan biologis yang terjadi di perairan. Sementara Salim, Yuliyanto,
& Baharuddin (2017), berpendapat bahwa suhu dipengaruhi oleh suatu musim,
lintang (latitude), ketinggian permukaan laut (altitude), waktu dalam sehari,
sirkulasi udara (kelembaban), penutupan awan, dan aliran dari kedalaman air. Suhu
pada perairan dangkal lebih besar daripada perairan dalam. Hal tersebut
dikarenakan banyaknya pergolakan yang disebabkan oleh angin dan dinamika
osenografi fisika.
Perubahan suhu dapat berpengaruh pada proses fisika, kimia, dan biologi
perairan. Berdasarkan Tabel 4.1 rata-rata suhu pada stasiun 1 adalah 30 0C, stasiun
2 bersuhu 30 0C, dan stasiun 3 yaitu 31 0C. Perbedaan suhu diakibatkan karena
perbedaan intensitas cahaya yang masuk ke perairan dan juga tutupan vegetasi
mangrove. Pada stasiun 2 dan 3 vegetasi mangrove lebih sedikit (tidak rimbun)
karena adanya penebangan secara liar. Sedangkan pada stasiun 1 kondisi vegetasi
mangrove masih terlihat sangat rimbun, sehingga intensitas cahaya yang mengenai
perairan lebih tinggi stasiun 2 dan 3 dibandingkan stasiun 1. Menurut KEPMEN
LH (2004), menyatakan bahwa baku mutu suhu pada daerah mangrove berkisar
antara 28 0C – 32 0C. Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Jesus (2012), bahwa suhu hutan mangrove di sub district Liquisa Timor-Leste
berkisar 28 0C – 30 0C. Kisaran suhu tergantung kerapatan mangrove di daerah
tersebut. Kerapatan mangrove mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang
menembus perairan.
58
Suhu permukaan perairan berkisar 25 0C-36 0C, kisaran suhu tersebut
dapat ditoleransi oleh makrozoobenthos di ekosistem mangrove (Marpaung, 2013).
Sementara menurut Patty (2013), perairan di Indonesia memiliki suhu kisaran 28
0C-31 0C. Sedangkan suhu yang baik bagi kehidupan hewan laut berkisar 18 0C-30
0C (Mukhtasar, 2007). Berdasarkan pengertian tersebut, maka suhu pada stasiun 1
sampai stasiun 3 tergolong baik serta dapat mendukung kehidupan organisme
perairan.
2. pH
Nilai pH atau derajat keasaman merupakan indikator baik buruknya suatu
perairan. Menurut Ali (2013), kisaran nilai derajat keasaman yang stabil antara 7-
8,5. Demikian juga menurut KEPMEN LH (2004), menyatakan baku mutu air laut
untuk biota laut dengan parameter pH berkisar 7-8,5. Rendah dan tingginya pH
perairan dapat menyebabkan kematian organisme, karena organisme perairan tidak
dapat bertoleransi. Nilai pH perairan menggambarkan keseimbangan kandungan
asam dan basa dalam air yang diukur dari konsentrasi ion hidrogen.
Berdasarkan Tabel 4.1 Nilai pH dari ketiga stasiun memiliki perbedaan
yang sedikit. Stasiun 1 rata-rata pH 6,7; stasiun 2 rata-rata pH 6,8; sedangkan
stasiun 3 rata-rata nilai pH 6,7. Nilai pH ketiga stasiun tergolong stabil karena
mendekati nilai pH yang netral yaitu 7. Nilai pH yang bervariasi tersebut
disebabkan oleh adanya kadar bahan organik dan mineral pada tanah sedimen, serta
kandungan mineral air laut. Menurut Jesus (2012), menyatakan bahwa nilai pH 5,5-
6,5 termasuk perairan yang kurang produktif, perairan dengan nilai pH 6,5–7,5
termasuk dalam perairan yang produktif, dan pH 7,5-8,5 termasuk perairan
59
produktivitas tinggi. Kisaran nilai pH ketiga stasiun menandakan bahwa perairan
tersebut produktif. Sehingga nilai pH perairan hutan mangrove pantai Cengkrong
Trenggalek dikategorikan layak bagi kehidupan organisme perairan.
3. Salinitas
Salinitas merupakan konsentrasi total ion yang terdapat di sebuah perairan.
Menurut KEPMEN LH (2004), kadar salinitas pada air laut untuk biota laut
didaerah mangrove berkisar antara 28 ppm-34 ppm. Demikian juga yang dikatakan
oleh Patty (2013), bahwa perairan Indonesia memiliki nilai salinitas berkisar 28
ppm-35 ppm. Bedanya tingkat salinitas dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya pola sirkulasi air, curah hujan, penguapan air, aliran sungai, dan pasang
surut.
Berdasarkan Tabel 4.1 rata-rata salinitas ketiga stasiun sama yaitu 30 ppm.
Nilai salinitas yang sama dikarenakan adanya pasang maksimal dan surut maksimal
air laut pada daerah tersebut (Kalangi et al., 2013), mengatakan salinitas dapat
semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman suatu perairan. Selain itu juga
dipengaruhi oleh pasang surut, dimana saat terjadi pasang konsentrasi garam
mineral perairan lebih tinggi (Prasetia, 2017).
4. Jenis Substrat
Substrat merupakan karakteristik perairan yang sangat menentukan
penyebaran makrozoobentos. Jenis substrat pada perairan laut biasanya berlumpur,
berpasir, liat, berbatu, dan berkerikil (Saputra et al., 2016). Menurut Riniatsih &
Kushartono (2009), menyatakan penyebaran dan kelimpahan Gastropoda dan
Bivalvia berhubungan dengan diameter sedimen atau substrat. Jenis substrat dan
60
partikel adalah faktor lingkungan yang dapat berpengaruh pada distribusi hewan
bentos. Hal tersebut dikarenakan hewan bentos mempunyai cara hidup yang
berbeda-beda disesuaikan dengan jenis substrat dasar habitatnya.
Berdasarkan Tabel 4.1 jenis substrat di kawasan hutan mangrove pantai
Cengkrong Kabupaten Trenggalek pada stasiun 1 berjenis liat, stasiun 2 berlumpur,
dan stasiun 3 lumpur berpasir. Penentuan substrat tersebut melalui Δ USDA.
Daerah yang bersubstrat liat terletak dekat dengan daratan, daerah berlumpur
terletak diantara daerah dengan substrat liat dan pasir (peralihan), substrat berpasir
merupakan daerah yang dekat dengan perairan laut. Setiap substrat memiliki
komposisi makrozoobentos yang berbeda. Substrat berlumpur dan berpasir pada
lokasi penelitian ditemukan lebih banyak spesies beserta jumlahnya. Hal tersebut
sejalan dengan yang dikatakan Prasetia (2017), bahwa substrat berlumpur sampai
berpasir biasanya banyak dihuni oleh moluska, karena substrat tersebut dapat
memudahkan untuk mensuplai nutrisi dan air.
4.2.2 Moluska yang ditemukan di Hutan Mangrove Pantai Cengkrong
Keberadaan Moluska di suatu ekosistem perairan mangrove sangat
penting, karena memiliki potensi dan peran yang penting sebagai organisme kunci
dalam jaring-jaring makan dan sebagai dekomposer. Dekomposer merupakan
proses penting didalam ekologi. Organisme yang mati akan mengalami
penghancuran menjadi pecahan yang lebih kecil dan akhirnya menjadi partikel-
partikel yang lebih kecil. Menurut Munarto (2010), Moluska memiliki fungsi
sebagai pemakan detritus dan pemakan bangkai. Keberadaan Gastropoda di
ekosistem mangrove berperan dalam dinamika unsur hara. Daun mangrove yang
61
gugur pada permukaan substrat banyak mengandung unsur hara, daun tersebut tidak
langsung mengalami pelapukan (pembusukan) oleh mikroorganisme perairan,
tetapi memerlukan bantuan hewan makrozoobentos salah satunya Gastropoda.
Berdasarkan Tabel 4.2 spesies yang ditemukan saat penelitian di kawasan
hutan mangrove pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek didapatkan 13 spesies.
Spesies yang ditemukan tersebut termasuk dalam kelas Gastropoda sebanyak 11
spesies meliputi Rhinoclavis articulata, Cerithidea quadrata, Calliostoma olssoni,
Nerita planospira, Littorina scabra, Faunus ater, Theodoxus coronatus, Cymatium
tranquebaricum, Neritina pulligera, Natica inexpectans, Polinices catena (Abbot,
R.T, 1986). Kelas Bivalvia 2 spesies yaitu Nucula sulcata dan Lutraria lutraria
(Abbot, R.T, 1986). Spesies Moluska yang banyak ditemukan di tempat penelitian
yaitu Kelas Gastropoda daripada Kelas Bivalvia. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hartoni & Agussalim (2013), bahwa kelimpahan
Gastropoda banyak ditemukan daripada Bivalvia dikarenakan Gastropoda bergerak
lebih aktif daripada Bivalvia. Makrofauna yang terdapat pada hutan mangrove
biasanya sebagai pemakan detritus. Makrofauna yang dimaksud yaitu Gastropoda.
Sedangkan Bivalvia merupakan hewan pemakan plankton yang melayang di
perairan dan pemakan alga. Selain itu kemampuan Moluska bertahan pada
lingkungan disebabkan oleh kondisi yang mendukung seperti tekstur substrat.
Menurut Wahyuni et al. (2017), Phylum Moluska dari Kelas Gastropoda dan Kelas
Bivalvia hidup pada substrat lumpur atau lumpur berpasir dalam bentuk berkumpul
dan menyebar.
62
4.2.2.1 Identifikasi Moluska
Proses identifikasi moluska menggunakan buku Compendium of Seashells
(Abbot and Dance, 1986) dengan perbandingan gambar melalui ciri morfologi yaitu
bentuk, ukuran, dan warna cangkang. Selanjutkan mendeskripsikan spesies yang
ditemukan. Berikut deskripsi Moluska ditinjau dari ciri morfologi dan klasifikasi
spesies.
1. Rhinoclavis articulata (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 10 Rhinoclavis articulata: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto
literatur (Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Order : Caenogastropoda
Family : Cerithiidae
Genus : Rhinoclavis
Spesies :Rhinoclavis articulata (A. Adams & Reeve, 1850)
Hasil identifikasi Rhinoclavis articulata, ditemukan ciri-ciri morfologi
cangkang berwarna coklat gelap berukuran 2,5 cm, mempunyai spire yang
63
bergerigi, bentuk apex lancip mengerucut. Menurut Poutiers (1998), Rhinoclavis
articulata memiliki Body whorl dasar yang bulat dan lebar. Gastropoda dari Family
Cerithiidae ini banyak ditemukan di hutan mangrove dengan jenis substrat
berlumpur, berpasir, dan juga memanjat pada daun mangrove.
2. Cerithidea quadrata (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 11 Cerithidea quadrata: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto literatur
(Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Order : Caenogastropoda
Family : Potamididae
Genus : Cerithidea
Spesies : Cerithidea quadrata (G. B . Sowerby, 1866)
Hasil identifikasi Cerithidea quadrata, ditemukan ciri secara morfologi
cangkang berbentuk kerucut, tebal, kuat, berwarna coklat tua, dan berukuran
64
panjang 3,5 cm. Menurut Poutiers (1998), spesies Cerithidea quadrata mempunyai
spire (ulir) berjumlah banyak, cembung, bergerigi; apex berbentuk meruncing;
aperture berbentuk bulat lebar, dan terdapat body whorl lebar. Gastropoda ini
banyak ditemukan pada pohon Rhizophora, yaitu tumbuhan bakau yang berhabitat
tengah dan menuju darat dari hutan mangrove atau dari daerah laut menuju daerah
air payau.
3. Calliostoma olssoni (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 12 Calliostoma olssoni: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto literatur
(Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Order : Trochida
Family : Calliostomatidae
Genus : Calliostoma
Spesies : Calliostoma olssoni (Bayer, 1971)
Hasil identifikasi Calliostoma olssoni, ditemukan morfologi cangkang
berbentuk kerucut berukuran 1,2 cm, operkulum tipis dan bening. Menurut Dharma
65
(1992), Calliostoma olssoni mempunyai apex yang berbentuk meruncing, cangkang
berwarna putih kekuningan dengan diselingi warna coklat kemerahan disetiap
ulirnya. Habitatnya di batu karang sampai perairan laut dangkal.
4. Nerita planospira (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 13 Nerita planospira: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto literatur
(Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastopoda
Order : Cycloneritida
Family : Neritidae
Genus : Nerita
Spesies : Nerita planospira (Abbot, R.T, 1986)
Hasil identifikasi Nerita planospira, ditemukan ciri morfologi cangkang
pipih, bagian ujung tidak terlihat runcing, dan memiliki panjang 3 cm. Garis spiral
66
yang terbentuk di cangkang tidak terlalu banyak dan tidak dalam. Cangkang bagian
dalam terdapat bintik-bintik kecil dan juga bercak kehitaman. Menurut Oemardjati
(1990), warna pada cangkang didominasi warna cream dan di hiasi dengan garis
zigzag yang berwarna lebih tua pada bagian cangkang luar. Habitatnya pada daerah
tropis yaitu pada perairan air laut dan anggota family Neritidae hidup berkoloni
(Nuha, 2015).
5. Littorina scabra (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 14 Littorina scabra: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto literatur
(Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Order : Littorinimorpha
Family : Littorinidae
Genus : Littorina
Spesies : Littorina scabra (Linnaeus, 1758)
Hasil identifikasi Littorina scabra, ditemukan ciri dari segi morfologi
cangkang, apex berbentuk mengerucut dan aperture berbentuk bulat, dan
67
operkulum tipis. Panjang cangkang berukuran sangat kecil dan terdapat spire coklat
tidak beraturan yang membedakan dari genus pada family Littoridae (Poutiers,
1998). Littorina scabra dapat ditemukan pada daerah berpasir dan berlumpur yang
terdapat pasang surut (Nuha, 2015).
6. Faunus ater (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 15 Faunus ater: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto literatur
(Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Order : Caenogastropoda
Family : Pachychilidae
Genus : Faunus
Spesies : Faunus ater (Linnaeus, 1758)
Hasil identifikasi Faunus ater memilki ciri morfologi berupa cangkang
berwarna coklat kehitaman sampai hitam legam. Bentuk tubuh ramping, panjang,
68
dan runcing dengan panjang 7 cm. Menurut Alvin (2011), warna aperture putih,
bulat telur, dan memenuhi seperlima panjang cangkang. Family Pachychilidae ini
merupakan kerluarga siput air tawar, tetapi Faunus ater merupakan spesies yang
hidup di air berkadar garam.
7. Theodoxus coronatus (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 16 Theodoxus coronatus: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto
literatur (Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Order : Cycloneritida
Family : Neritidae
Genus : Theodoxus
Spesies : Theodoxus coronatus (Leach, 1815)
Hasil identifikasi Theodoxus coronatus, memiliki cangkang berwarna
hitam, bentuk tubuhnya melingkar, dan terdapat duri yang menghiasi cangkang.
69
Panjang tubuh berukuran sangat kecil berkisar 1 cm. Menurut Henk (1988), sisi luar
Theodoxus coronatus mengkilap dan halus atau sedikit bergerigi. Tepi mulut
cangkang tajam, bentuk operkulum separuh dari lingkaran. Gastropoda ini termasuk
dalam family Neritidae, satu kelompok dalam siput yang memiliki ukuran kecil
sampai sedang. Habitat dari Theodoxus coronatus di perairan payau dan laut.
8. Cymatium tranquebaricum (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 17 Cymatium tranquebaricum: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto
literatur (Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Order : Littorinimorpha
Family : Cymatiidae
Genus : Cymatium
Spesies :Cymatium tranquebaricum (Lamarck, 1823)
Berdasarkan hasil identifikasi diketahui morfologi cangkang besar, tebal,
serta memiliki ukuran 4 cm. Tekstur cangkang kasar, apex berbentuk meruncing,
70
aperture berwarna putih, mempunyai duri tumpul yang mengelilingi punggung, dan
berwarna putih dengan corak garis hitam. Cymatium tranquebaricum banyak
ditemukan di pesisir yang digenangi oleh air pada saat terjadi surut (Morris, 1975).
9. Neritina pulligera (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 18 Neritina pulligera: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto literatur
(Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Order : Cycloneritida
Family : Neritidae
Genus : Neritina
Spesies : Neritina pulligera (Linnaeus, 1767)
Hasil identifikasi Neritina pulligera, ditemukan ciri morfologi cangkang
berwarna hitam, permukaan luar cangkang halus, dan memiliki panjang 1,4 cm.
71
Menurut Oemardjati (1990), cangkang Neritina pulligera tertutup oleh operkulum.
Habitat dari Neritina pulligera di laut, perairan payau, dan juga perairan tawar.
Spesies ini hidup pada perairan tropis (hangat) dan dapat hidup di perairan yang
bersuhu dingin.
10. Natica inexpectans (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 19 Natica inexpectans: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto literatur
(Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Kalsifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gatropoda
Order : Littorinimorpha
Family : Naticidae
Genus : Natica
Spesies : Natica inexpectans (Olsson, 1971)
Hasil identifikasi Natica inexpectans bentuk shell kurus dan kasar dengan
puncak menara yang tinggi. Memiliki operkulum berkapur dengan 2 spiral
72
(Carpenter, Kent H, 1998). Warna cangkang coklat dengan garis berwarna coklat
tua. Cangkang Natica inexpectans memiliki panjang maksimal 3-4 cm. Spesies dari
Family Naticidae ini berhabitat di perairan berpasir.
11. Polinices catena (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 20 Polinices catena: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto literatur
(Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Kalsifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Order : Littorinimorpha
Family : Naticidae
Genus : Polinices
Spesies : Polinices catena (da Costa, 1778)
Hasil identifikasi spesies Polinices catena merupakan siput di daerah
berlumpur, menempel pada pohon atau kayu, dan melekat pada rumput yang berada
73
di air. Siput ini hidup di habitat rawa, sawah, hingga air laut. Siput ini disebut shell
univalve, karena cangkangnya yang tebal dan berkapur (Marwoto, 1997).
Cangkangnya terdapat garis berwarna coklat yang melingkar. Memiliki panjang
3,5–4,0 cm. Cangkang kerucut dengan spiral melingkar di poros tengah. Ujung
cangkang berbentuk bulat kecil.
12. Nucula sulcata (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 21 Nucula sulcata: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto literatur
(Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Bivalvia
Order : Nuculida
Family : Nuculidae
Genus : Nucula
Spesies : Nucula sulcata (Bronn, 1831)
Hasil identifikasi spesies Nucula sulcata memiliki lebar 5 cm. Cangkang
berwarna coklat kekuningan dengan bentuk cangkang sama seimbang antara kanan
74
dan kiri. Tekstur cangkang luar kasar. Menurut Sugianto (2014), Family Nuculidae
ini dapat ditemukan kedalaman kurang lebih 100 ml di daerah rawa, sungai,
perairan laut dengan substrat lumpur, pasir, dan kerikil. Nucula sulcata hidup
dengan kisaran suhu 30 0C-32 0C.
13. Lutraria lutraria (Abbot, R.T, 1986)
(a)
(b)
Gambar 4 22 Lutraria lutraria: (a) Gambar hasil pengamatan, (b) foto literatur
(Sumber: Abbot, R.T, 1986)
Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Bivalvia
Order : Venerida
Family : Mactridae
Genus : Lutraria
Spesies : Lutraria lutraria (Linnaeus, 1758)
Berdasarkan hasil identifikasi speries Lutraria lutraria memiliki lebar 5
cm. Ciri morfologi cangkang memanjang dengan permukaan yang kasar dan
75
membentuk garis vertikal. Memiliki warna cangkang hijau kecoklatan. Lutraria
lutraria mempunyai cangkang yang tidak sama panjang kanan dan kiri. Menurut
Suwignyo (1998), spesies Lutraria lutraria memiliki gigi lateral dan gigi
pseudocardinal terpisah oleh umbonal cavity.
4.2.3 Indeks Keanekaragaman Moluska
Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman yang tinggi jika
semua spesies yang ditemukan memiliki kelimpahan yang hampir sama.
Berdasarkan Tabel 4.3 rata-rata keanekaragaman Moluska dapat disajikan dalam
bentuk grafik sebagai berikut.
Gambar 4 23 Grafik rata-rata keanekaragaman Moluska di Hutan Mangrove
Pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek.
Hasil perhitungan keanekaragaman didapatkan data stasiun 1 memiliki
nilai keanekaragaman 2,41; stasiun 2 nilai keanekaragaman 2,06; dan stasiun 3 nilai
keanekaragaman 0,27. Menurut perhitungan indeks diversitas Shannon-Wiener,
apabila H’<1 menunjukkan keanekaragaman yang rendah, 1<H’<3 menunjukkan
keanekaragaman sedang, dan H’ >3 menunjukkan keanekaragaman tinggi. Kisaran
keanekaragaman pada Gambar 4.14 menggambarkan Moluska pada kawasan hutan
2.41
2.062.27
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3
ind
eks
ke
ane
kara
gam
an
76
mangrove pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek di tiga stasiun memiliki
keanekaragaman yang sedang.
Indeks keanekaragaman Moluska yang tergolong sedang di tiga stasiun
berkaitan dengan kondisi lingkungan dan jenis substrat yang sesuai dengan
habitatnya. Kondisi lingkungan di hutan mangrove pantai Cengkrong yang
tergolong normal dapat menjadi habitat yang baik untuk kelangsungan hidup
moluska. Adanya eksploitasi berupa penebangan hutan secara liar tidak
berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, dikarenakan hutan yang rusak berat tidak
mencapai setengah dari luas keseluruhan hutan bakau. Menurut (Romdhani,
Sukarsono, & Susetyarini, 2016), indeks keanekaragaman yang tergolong sedang
menandakan kondisi lingkungan hutan mangrove baik bagi kehidupan hewan
akuatik. Keanekaragaman tidak hanya tergantung dari jumlah spesies dalam suatu
komunitas, tetapi tergantung dari kelimpahan (kepadatan) setiap jenis (Ira,
Rahmadani, & Nur, 2015). Demikian juga dikatakan Odum (1993),
keanekaragaman spesies tidak hanya sinonim dengan banyaknya spesies, tetapi
sifat komunitas yang menentukan banyaknya spesies serta kelimpahan individu tiap
spesies.
4.2.4 Indeks Kemerataan Moluska
Indeks kemerataan digunakan untuk menunjukkan sebaran Moluska di
kawasan hutan mangrove pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek. Berdasarkan
Tabel 4.4 indeks kemerataan Moluska dapat disajikan dalam bentuk grafik sebagai
berikut.
77
Gambar 4 24 Grafik indeks kemerataan Moluska di Hutan Mangrove Pantai
Cengkrong Kabupaten Trenggalek.
Nilai indeks kemerataan Moluska stasiun 1 sebesar 0,94; stasiun 2
memiliki nilai indeks kemerataan 0,80; dan stasiun 3 sebesar 0,89. Menurut Odum
(1993), jika indeks kemerataan mendekati nol, maka organisme dalam komunitas
tidak merata dan apabila indeks kemerataan mendekati 1 maka organisme dalam
suatu komunitas merata. Berdasarkan kriteria tersebut, indeks kemerataan ketiga
stasiun tergolong merata. Indeks kemerataan digunakan untuk mengetahui
kemerataan spesies didalam komunitas. Selain itu, Indeks kemerataan juga
digunakan sebagai indeks kestabilan komunitas dalam ekosistem (Romdhani et al.,
2016). Marpaung (2013), mengatakan kemerataan menunjukkan penyebaran
individu dari setiap spesies dalam suatu komunitas. Indeks kemerataan
berhubungan erat dengan ketahanan hidup dan daya saing antar spesies. Daya tahan
hidup berkaitan dengan kualitas lingkungan dan dalam hal saing antar spesies dalam
hal mencari makan.
0.94
0.8
0.89
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3
Ind
eks
Ke
me
rata
an
78
4.2.5 Indeks Nilai Penting Moluska
Berdasarkan Tabel 4.5 Indeks Nilai Penting Moluska di kawasan hutan
mangrove pantai Cengkrong dapat disajikan dalam bentuk grafik sebagai berikut.
Gambar 4 25 Grafik Indeks Nilai Penting Moluska di Hutan Mangrove Pantai
Cengkrong Kabupaten Trenggalek Stasiun 1.
Gambar 4 26 Grafik Indeks Nilai Penting Moluska di Hutan Mangrove Pantai
Cengkrong Kabupaten Trenggalek Stasiun 2.
0.18
0.230.20
0.13 0.14
0.220.18
0.25
0.100.06
0.24
0.06
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
Ind
eks
Nila
i Pe
nti
ng
Stasiun 1
0.34
0.11 0.090.05
0.18
0.25
0.17 0.16
0.35
0.09
0.04
0.16
0.000.050.100.150.200.250.300.350.40
Ind
eks
Nila
i Pe
nti
ng
Stasiun 2
79
Gambar 4 27 Grafik Indeks Nilai Penting Moluska di Hutan Mangrove Pantai
Cengkrong Kabupaten Trenggalek Stasiun 3.
Indeks Nilai Penting digunakan untuk mengetahui kedudukan ekologis
suatu spesies dalam komunitas. Nilai indeks penting tertinggi pada stasiun 1 yaitu
spesies Cymatium tranquebaricum. Spesies ini banyak ditemukan dipesisir yang
bersubstrat kering pada saat terjadi surut air laut (Morris, 1975), sedangkan indeks
nilai penting terendah terdapat pada spesies Natica inexpectans dan Nucula sulcata.
Menurut Carpenter (1998), Natica inexpectans merupakan gastropoda yang
berhabitat di perairan berpasir, sehingga kurang mendukung jika spesies tersebut
hidup dihabitat substrat liat. Indeks Nilai Penting tertinggi pada stasiun 2 adalah
spesies Neritina pulligera, hal tersebut dikarenakan habitat pada stasiun 2
mendukung kehidupan Neritina pulligera. Susbtrat stasiun 2 yaitu lumpur dengan
kondisi lingkungan yang tergolong normal. Menurut Oemardjati (1990), Neritina
pulligera dapat hidup di perairan payau, laut, hingga tawar. Sedangkan indeks nilai
penting terendah spesies Nucula sulcata. Rendahnya Nucula sulcata disebabkan
spesies ini termasuk dalam kelas Bivalvia yang pada umumnya kelas Bivalvia
0.43
0.090.040.05
0.14
0.220.17
0.13
0.21
0.14
0.05
0.170.16
0.000.050.100.150.200.250.300.350.400.45
Ind
eks
Nila
i Pe
nti
ng
Stasiun 3
80
merupakan hewan pemakan plankton dan alga, sehingga Bivalvia banyak
ditemukan di daerah dekat dengan air laut atau substrat berpasir. Sedangkan pada
stasiun 3 spesies yang memiliki Indeks Nilai Penting tertinggi adalah spesies
Rhinoclavis articulata. Rhinoclavis articulata merupakan gastropoda yang dapat
hidup di berbagai substrat di hutan mangrove mulai dari berlumpur, berpasir, dan
juga memanjat pada daun bakau (Poutiers, 1998). Sehingga substrat berpasir pada
stasiun 3 merupakan habitat yang mendukung bagi kehiudpannya. Indeks nilai
penting terendah adalah spesies Calliostoma olssoni dikarenakan spesies ini banyak
ditemukan pada daerah batu karang sampai perairan laut dangkal (Dharma, 1992).
Nilai indeks penting tertinggi dari ketiga stasiun termasuk dalam kelas
gastropoda. Menurut Hartoni & Agussalim (2013), moluska yang termasuk dalam
kelas gastropoda memiliki gerakan lebih aktif dan merupakan hewan pemakan
detritus di hutan mangrove. Indeks nilai penting terendah pada stasiun 1 dan stasiun
2 yaitu spesies dari kelas Bivalvia. Bivalvia merupakan hewan yang memiliki cara
hidup menggali substrat, menempel pada substrat, dan membenamkan diri pada
kerangka karang batu. Umumnya kelas Bivalvia merupakan hewan pemakan
plankton dan alga, sehingga Bivalvia banyak ditemukan di daerah dekat dengan air
laut. Substrat merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi
distribusi hewan makrozoobentos. Masing-masing makrozoobentos mempunyai
cara hidup yang berbeda disesuaikan dengan substrat dasar.
4.2.6 Hubungan Kondisi Lingkungan dengan Keanekaragaman Moluska Di
kawasan Hutan Mangrove Pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek
Kondisi lingkungan dalam penelitian ini diukur melalui parameter fisika-
kimia berupa suhu, pH, dan salinitas. Sedangkan keanekaragaman Moluska diambil
81
dua kelas terbesar dari Phylum moluska yaitu kelas Gastropoda dan Bivalvia. Hasil
pengukuran kondisi lingkungan melalui parameter fisika dan kimia serta
perhitungan keanekaragaman kemudian dihitung menggunakan SPSS dengan uji
regresi untuk mengetahui adakah hubungan yang signifikan antara kondisi
lingkungan terhadap keanekaragaman Moluska. Ketiga stasiun menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara kondisi lingkungan terhadap
keanekaragaman moluska, dimana suhu yang terdapat pada lokasi penelitian
tergolong normal yaitu 30 0C-31 0C. Patty (2013), mengatakan suhu yang normal
perairan di Indonesia berkisar 28 0C-31 0C. Suhu tersebut tergolong baik untuk
kehidupan hewan laut termasuk Moluska. Menurut Mukhtasar (20107), suhu yang
baik bagi kehidupan makrozoobentos berkisar 18 0C-30 0C. Derajat keasaman pada
kawasan penelitian tergolong normal karena menunjukkan nilai pH yang mendekati
netral yaitu 7. Menurut KEPMEN LH (2004), derajat keasaman yan baik untuk
biota laut berkisar 7-8,5. Kadar salinitas air yang terdapat di kawasan hutan
mangrove pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek tergolong normal sehingga
dapat ditoleransi oleh moluska. Salinitas yang terdapat di lokasi penelitian yaitu 30
ppm. Patty ( 2013), mengatakan kadar garam atau salinitas yang normal diperairan
laut Indonesia berkisar 28 ppm–35 ppm. Kondisi lingkungan yang tergolong normal
memiliki keanekaragaman yang sedang atau tinggi dikarenakan habitat sangat
mendukung bagi kehidupan Moluska. Keanakeragaman moluska yang tergolong
sedang dengan kondisi lingkungan yang normal menjadikan habitat yang baik bagi
kelangsungan hidup moluska.
82
4.2.7 Pemanfaatan Hasil Penelitian sebagai Sumber Belajar Biologi
Sumber belajar merupakan segala sesuatu yang sengaja dirancang atau
sudah tersedia yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran. Sumber
belajar dapat mencakup apa saja yang digunakan untuk membantu tenaga pengajar
dalam menyampaikan materi pembelajaran. Menurut Ikhsan et al. (2017), sumber
belajar adalah sesuatu yang dimanfaatkan untuk membantu siswa agar mencapai
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Sumber belajar dapat berupa pesan,
manusia, alat, teknik, dan data (Abdullah, 2012).
Hasil penelitian studi keanekaragaman Moluska di Kawasan Hutan
Mangrove Pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek dapat dimanfaatkan sebagai
sumber belajar melalui beberapa syarat. Syarat tersebut meliputi kejelasan potensi,
kejelasan tujuan, kejelasan sasaran, kejelasan informasi yang diungkap, kejelasan
pedoman eksplorasi, dan kejelasan perolehan (Munajah & Susilo, 2015). Hasil
penelitian harus disesuaikan dengan materi yang ada pada Kurikulum 2013.
Penelitian mengenai keanekaragaman Moluska ini sesuai dengan kompetensi dasar
materi pokok “Dunia Hewan (Animalia)“ mata pelajaran Biologi SMA Kelas X.
Adapun syarat dari sumber belajar yang telah dipaparkan diatas adalah sebagai
berikut:
4.2.7.1 Kejelasan potensi
Kejelasan potensi adalah kejelasan suatu objek yang ditentukan dari
ketersediaan dan permasalahan. Berdasarkan data yang diperoleh, hasil penelitian
ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Hasil penelitian digunakan sebagai
informasi tambahan dalam proses pembelajaran. Identifikasi Moluska sangat jarang
83
dibahas dalam buku atau materi, sehingga dapat membantu siswa untuk lebih
mengenal berbagai macam spesies dari Moluska.
Berdasarkan Kurikulum 2013, Moluska termasuk dalam materi dunia
hewan (Animalia) SMA Kelas X dengan Kompetensi Inti (KI) 3 memahami,
menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya,
dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan
prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan untuk
memecahkan masalah. Kompetensi dasar dari kompetensi inti tersebut terdapat
pada KD 3.8 yaitu menerapkan prinsip klasifikasi untuk menggolongkan hewan ke
dalam Phylum berdasar pengamatan anatomi dan morfologi serta mengaitkan
peranannya dalam kehidupan.
4.2.7.2 Kejelasan Tujuan
Kejelasan tujuan dalam proses pembelajaran melibatkan kemampuan
afektif, kognitif, dan psikomotorik. Kejelasan yang dimaskud yaitu hasil penelitian
keanekaragaman Moluska termasuk dalam materi kelas X yaitu Dunia hewan
(Animalia) pada kurikulum 2013. Tujuan yang akan dicapai tercantum pada
Kompetensi Dasar (KD) 3.8. Penelitian ini melibatkan kemampuan dari segi afektif,
kognitif, dan psikomotorik karena dalam penelitian tidak terlepas dari aktivitas
observasi merumuskan masalah, mengukur, menghitung, mengumpulkan data, dan
menyatakan hasil serta kesimpulan. Sumber belajar dapat mengembangkan segi
afektif, kognitif, dan psikomotorik pada siswa.
84
Tabel 4 9 Kesesuaian Hasil Penelitian dengan Tujuan Pembelajaran
Hasil penelitian dikaitkan dengan tujuan pembelajaran materi pokok
Moluska yaitu Dunia Hewan (Animalia) Kurikulum 2013.
No Tujuan Pembelajaran Kesesuaian Kurikulum 2013
Sesuai Tidak sesuai
1 Mengidentifikasi dan mengelompokkan Moluska ke
dalam dua kelas terbesar
V -
2 Keterampilan berdiskusi dan berkomunikasi dengan
mengamati bentuk morfologi dari moluska
V -
3 Keterampilan berdiskusi dan berkomunikasi
mengamati habitat (substrat yang ditempati) Moluska
V -
4 Mengaitkan ciri morfologi Moluska dengan habitatnya
(substrat)
V -
Berdasarkan data pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa keempat tujuan
pembelajaran yang diharapkan sesuai dengan Kurikulum 2013.
4.2.7.3 Kejelasan sasaran
Kejelasan sasaran adalah hasil yang diharapkan dari tujuan. Kejelasan
sasaran materi Dunia Hewan (Animalia) memiliki subjek dan obyek. Subjek dari
penelitian ini adalah siswa SMA/MA kelas X dan obyek yaitu Moluska dari kelas
Gastropoda dan Bivalvia yang diperoleh dari hasil penelitian di kawasan hutan
mangrove pantai Cengkrong Kabupaten Trenggalek.
4.2.7.4 Kejelasan Informasi yang diungkap
Kejelasan informasi yaitu informasi yang disampaikan harus sesuai
dengan fakta yang ada. Informasi yang didapat dari penelitian ini adalah
keanekaragaman Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) pada kawasan Hutan
Mangrove Pantai Cengkrong Trenggalek yang telah mengalami eksploitasi berupa
penebangan pohon bakau. Setelah mengetahui keanekaragaman Moluska yang
tergolong sedang, diharapkan siswa dapat menganalisis upaya agar
keanekaragaman Moluska meningkat dengan cara menjaga ekosistem Mangrove.
85
4.2.7.5 Kejelasan Pedoman Eksplorasi
Kejelasan pedoman eksplorasi diperlukan dalam prosedur kerja saat
melakukan penelitian. Prosedur kerja meliputi penentuan letak penelitian, alat,
bahan, cara kerja, dan pengolahan data. Berdasarkan silabus kurikulum 2013 SMA
Kelas X mata pelajaran Biologi materi Dunia Hewan (Animalia), kegiatan
eksplorasi bagi siswa adalah mengumpulkan data untuk topik yang akan di
diskusikan bersama yaitu berbagai kelas dalam Phylum Moluska. Siswa di tugaskan
untuk mengumpulkan informasi dan menganalisis keanekaragaman Moluska.
Selanjutnya siswa berdiskusi dan menyimpulkan hasil diskusi kelompok.
4.2.7.6 Kejelasan Perolehan yang Diharapkan
Kejelasan perolehan berarti penelitian memiliki kejelasan dalam
membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran. Produk penelitian yang digunakan
sebagai sumber belajar berdasarkan tiga aspek dalam tujuan pembelajaran,
diantaranya (1) afektif, (2) kognitif, dan (3) psikomotorik. Berdasarkan keenam
syarat pemanfaatan penelitian sebagai sumber belajar, maka hasil penelitian ini
menjadi potensi sumber belajar materi Dunia Hewan (Animalia) kelas X. Sumber
belajar yang dibuat harus memuat Kompetensi Inti (KI) 3 pada KD 3.8 yaitu
menerapkan prinsip klasifikasi untuk menggolongkan hewan ke dalam Phylum
berdasar pengamatan anatomi dan morfologi serta mengaitkan peranannya dalam
kehidupan.
Berdasarkan keenam syarat yang digunakan dalam pemanfaatan penelitian
sebagai sumber belajar, maka penelitian mengenai keanekaragaman Moluska dapat
digunakan sebagai sumber belajar biologi. Hal tersebut dilihat dari segi proses dan
86
produk penelitian dapat mencapai tujuan pembelajaran. Segi proses berkaitan
dengan pengembangan keterampilan belajar biologi pada siswa, dan segi produk
berkaitan dengan pengembangan fakta yang ada di alam