BAB IV DAMPAK DARI SENGKETA AGRARIA AKIBAT PROYEK ... · menjunjung tinggi semangat gotong royong...
Transcript of BAB IV DAMPAK DARI SENGKETA AGRARIA AKIBAT PROYEK ... · menjunjung tinggi semangat gotong royong...
83
BAB IV
DAMPAK DARI SENGKETA AGRARIA AKIBAT PROYEK
RAWASRAGI DI KECAMATAN PALAS KABUPATEN
LAMPUNG SELATAN TAHUN 1983-2000
Kasus-kasus sengketa tanah banyak merupakan konflik yang bersifat
asimetris, artinya bahwa sengketa tanah yang terjadi berlangsung dalam
struktur relasi antara pihak yang tidak seimbang. Rakyat dalam hal ini berada
dalam posisi marginal oleh karena terbatasnya akses untuk melakukan
perlawanan. Rakyat di setiap sengketa tanah hampir selalu mengalami tindak
kekerasan, intimidasi dan teror baik yang dilakukan oleh aparat atau oleh
kelompok-kelompok tertentu yang sengaja digunakan untuk menumpas dan
merintangi perlawanan rakyat.1
Fungsi sosial tanah seringkali dijadikan alasan atau kedok untuk
melakukan pembebasan tanah milik rakyat. Posisi rakyat dalam hal ini sangat
lemah disebabkan berbagai tindakan kekerasan akan menimpanya jika
melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Berbagai kebiijakan
pemerintah seperti HPH, PMA, PMDN, HTI, PIR dan sebagainya telah
mengakibatkan tercabutnya petani dan tanah yang sebelumnya menjadi
tumpuan hidup dan kehidupannya.2 Sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal
33ayat 3 dinyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di
1 Tim Pussbik, Tanah Lampung,Sengketa Pertanahan dan Perjuangan
Rakyat Tani Lampung (Lampung: Pussbik, 2002), Hlm.25
2 Ibid, Hlm. 27
84
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Amanat tersebut mengisyaratkan bahwa negara
memiliki tanggung jawab untuk memberikan kemakmuran bagi rakyatnya
dengan melakukan pengelolaan sumber daya yang dimilikinya secara adil.
Amanat tersebut nampaknya saat ini semakin jauh untuk terpenuhi
sebagaimana diharapkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.3
Sebuah paradoks atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
telah memberikan pembenaran pada pemerintah sebagai representasi negara
dalam memberikan rasa keadilan, terutama kepada petani. Pemerintah yang
berkuasa selama ini justru mempraktekkan kebijakan yang memberikan ruang
lebih besar kepada investor asing untuk mengelola berbagai sumber daya
strategis, termasuk sumber daya agraria. Akibatnya banyak petani yang secara
sengaja harus mengalami pemiskinan massal karena dipaksa tercabut dari
tanah miliknya sebagai satu-satunya sumber penghidupan yang selama ini
memberinya harapan. Kebijakan yang dirasakan sangat tidak adil ini telah
menuai banyak protes, yang tidak jarang berujung ada tindakan-tindakan
kekerasan. Fenomena tindakan kekerasan dalam konflik agaria di Indonesia
sebenarnya bukan hal yang baru. Konflik agraria dalam konteks perebutan
lahan antara petani dan investor juga telah terjadi pada jaman pemerintahan
kolonial. Hal ini muncul karena pemerintah kolonial mengembangkan
3 Ibid, Hlm.27
85
kebijakan ekspansi perkebunan industri yang memaksa rakyat untuk
menyerahkan tanahnya demi kepentingan tersebut.4
Persoalan hak tanah bagi rakyat sangatlah penting dalam membuat dan
menentukan undang-undang agraria.5 Hak tanah bagi rakyat sangatlah
diutamakan untuk menjamin kemakmuran hidup mereka. Semenjak dikuasai
oleh Pemerintah Kolonial Belanda, hak rakyat atas kepemilikan tanah sangat
dibatasi demi kepentingan perekonomian kolonial. Hal itulah yang kemudian
menyebabkan sengketa tanah yang berkepanjangan.
Berpegang pada dasar-dasar yang digunakan untuk menentukan politik
agraria, maka ditetapkanlah dasar politik agraria sebagai berikut :
a. Tanah adalah sumber dan penghidupan setiap manusia
b. Bagi Indonesia tanah itu menjadi pokok pertama bagi sumber
dan tiang penghidupan dan kemakmuran serta kesejahteraan
rakyat
c. Politik tanah harus berdasarkan dan tujuan kemakmuran dan
kesejahteraan bagi rakyat.
4 Maria SW Sumardjono, Nurhasanah Ismail, Isharyanto, Mediasi
Sengketa Tanah, Kompas, Gramedia, Jakarta, 2008, hlm.3
5 Mochamad Tauchid, 1952, Masalah Agraria Sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia II, Jakarta: Tjarawala hlm.
84-85
86
d. Hukum tanah menjadi pokok-pokok dasar mengatur
pemakaian tanah, sesuai dengan tujuan dan politik tersebut
diatas6
Semua peraturan perundang-undangan tentang pemakaian tanah dan
sebagainya yang berhubungan dengan tanah selalu mengutamakan
kemakmuran rakyat. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan pernyataan bahwa
tanah atau sumber daya agraris lainnya dalam suatu masyarakat agraris tidak
hanya menjadi salah satu faktor produksi, tetapi juga memiliki arti penting
lainnya baik menyangkut aspek sosial maupun politik.7
Sengketa agraria akibat Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas
mengakibatkan beberapa dampak yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Dampak tersebut antara lain :
1. Dampak di bidang sosial
Secara makro dampak sosial dari sengketa tanah adalah dua macam
krisis yang sangat merugikan masyarakat, yaitu krisis lingkungan dan krisis
legitimasi pembangunan. Pengambilalihan tanah rakyat untuk kepentingan
proyek-proyek pembangunan baik yang dikelola oleh pemerintah maupun
swasta menimbulkan implikasi berupa eksploitasi sumber daya alam secara
besar-besaran tanpa memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Eksploitasi
sumber daya alam tersebut selanjutnya mengakibatkan kerusakan lingkungan
6 Ibid, hlm. 85
7 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, 1998, Petani dan
Konflik Agraria, Bandung: Yayasan Akatiga, hlm.1
87
hidup yang dampaknya merupakan social cost yang harus ditanggung oleh
rakyat.8
Pengambilalihan hak tanah atas rakyat oleh pemilik modal
menyebabkan disparitas sosial yang semakin tajam. Kondisi tersebut dalam
jangka panjang dapat menyebabkan kerawanan sosial yang berakhir pada
terjadinya ledakan konflik yang dalam banyak kasus justru melenyapkan
simbol-simbol pembangunan itu sendiri. Pada tataran inilah pada hakikatnya
pembangunan telah kehilangan legitimasinya.9
Penduduk Indonesia adalah masyarakat yang berorientasi pada
pertanian. Tanah adalah sumber penghidupan yang paling utama, ketika tanah
relatif melimpah dibandingkan dengan jumlah penduduk maka para petani
dengan leluasa berpindah tempat, mengubah lahan primer menjadi lahan-
lahan pangan mereka. Seiring dengan pergantian waktu, lahan pertanian
menjadi menetap pada lahan pertanian yang dianggap subur untuk dikerjakan
dan diwariskan pada keturunannya kelak. Perbedaan kepadatan penduduk dari
waktu ke waktu menjadi semakin nyata. Sistem kepemilikan tanah komunal
berkembang pada beberapa daerah.10
Ketimpangan struktur agraria yang terdapat pada kasus-kasus sengketa
lahan pada gilirannya memberi dampak yang cukup luas, khususnya di
8 Herlambang Perdana, 2001, Penindasan Atas Nama Otonomi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm.19
9 Tim Pussbik, Tanah Lampung,Sengketa Pertanahan dan Perjuangan
Rakyat Tani Lampung (Lampung: Pussbik, 2002), hlm. 25
10 Sedino MP Tjondronegoro, 1999, Sosiologi Agraria, Bandung:
Akatiga, hlm. 28
88
pedesaan. Ciri-ciri masyarakat desa yang guyub dan rukun menjadi berubah
ketika mereka dihadapkan dengan kondisi yang mengharuskan mereka
mempertahankan apa yang menjadi hak mereka. Sengketa muncul kembali
tahun 1998 dengan dilatarbelakangi reformasi, membuat sikap mental
masyarakat desa mengalami perubahan.
Reformasi seakan menjadi dorongan untuk kembali mendapatkan
lahan-lahan pertanian yang sudah jatuh ke tangan orang lain akibat
pelaksanaan pembagian lahan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah.
Gerakan-gerakan petani pembuka lahan yang terkesan radikal ini memiliki
tujuan jangka panjang untuk memperjuangkan hak-hak atas lahan pertanian
yang dulu tidak mereka dapatkan. Petani pembuka lahan melakukan gerakan
reclaiming yaitu gerakan mengambil alih kembali tanah-tanah mereka yang
sudah mereka buka dan mereka usahakan namun tidak jatuh ke tangan
mereka.11
Gerakan petani terdapat tiga tipologi perbedaan gerakan petani12
, yaitu
: pertama, tipologi premanisme (maling), yakni tindakan orang atau
sekelompok orang yang mengambil milik orang lain secara sembunyi-
sembunyi tanpa ijin atau dengan tidak sah. Tujuannya sederhana hanya
mengambil manfaat ekonomi untuk kepentingan dirinya sendiri atau
kelompoknya tanpa memperdulikan kepentingan komunitas lainnya, yang
menjadi sasaran tidak pandang bulu. Kedua, tipologi perbanditan sosial
11
Siti Rahmana Mary Herwati dan Dodi Stiadi, 2005, Memahami Hak
Atas Tanah dalam Praktek Advokasi, Surakarta: CakraBook, hlm, 32 12
Herlambang Perdana, 2001, Penindasan Atas Nama Otonomi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 19
89
(sosial banditry movement), yakni tindakan yang terpaksa dilakukan oleh
rakyat akibat keterdesakan krisis ekonomi yang lur biasa, sehingga
mengkondisikan rakyat untuk mengambil sesuatu demi mempertahankan
hidupnya. Masyarakat dalam melakukan tindakannya seringkali dilakukan
secara bersama-sama, terbuka, dan untuk kepentingan orang banyak
khususnya kaum miskin. Sasarannya adalah kaum tuan tanah, pemilik modal
perkebunan dan hutan yang dikuasai perhutani, maupun pihak swasta. Ketiga,
tipologi gerakan reclaiming (reclaiming movement), yang sama sekali tidak
dapat diidentifikasi dengan penjarahan karena mereka yang melakukan
tindakan sesungguhnya merupakan korban dari penjarahan itu sendiri.
Reclaiming merupakan sebuah tindakan perlawanan yang dilakukan oleh
rakyat tertindas untuk memperoleh kembali hak-haknya seperti tanah, air, dan
sumber daya alam serta alat-alat produksi lainnya secara adil demi terciptanya
kemakmuran rakyat.13
Gerakan Reclaiming, rakyat memiliki nilai-nilai dasar
dan alasan pembenar.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat perbedaan yang melatarbelakangi
gerakan reclaiming bukan dalam rangka niat mengambil sesuatu tanpa dasar
melainkan pilihan tindakan yang memiliki alasan pembenaran nilai-nilai dasar
yang melengkapi dalam reclaiming. Gerakan perlawanan petani merebut
kembali status hak lahan pertanian merupakan aksi yang bersumber dari
adanya kekuasaan penguasa. Penguasa yang tidak memenuhi hak-hak kaum
tani yang dipengaruhi berbagai macam kepentingan bagi para penguasa itu
sendiri.
13
Siti Rahmana, Opcit, hlm.19
90
Sengketa yang pada akhirnya melibatkan sesama petani ini kemudian
memperjelas terjadi perubahan sikap mental masyarakat desa yang
menjunjung tinggi semangat gotong royong dan kekeluargaan. Lahan
pertanian yang subur dengan didukung sistem irigasi yang baik membuat
lahan pertanian Rawasragi memiliki nilai prestise yang sangat tinggi bagi
keberlangsungan perekonomian petani. Hal ini juga yang melatarbelakangi
petani pembuka lahan untuk kembali mendapatkan lahan pertanian mereka,
tidak peduli dengan kondisi lahan pertanian yang sudah jatuh pada petani
pemilik sertifikat.14
Terjadinya ketegangan sosial antara warga masyarakat menyebabkan
terhambatnya kerjasama diantara mereka. Dalam hal konflik yang terjadi
antara masyarakat dengan pemerintah, menyebabkan terhambatnya koordinasi
kinerja publik yang baik. Selain itu, terjadi penurunan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah berkenaan dengan pelaksanaan program
pemerintah yang melibatkan masyarakat khususnya dalam hal pertanian. Di
samping itu, selama konflik berlangsung, ruang atas suatu wilayah dan atas
tanah yang menjadi objek konflik biasanya berada dalam keadaan status quo
sehingga ruangan atas tanah yang bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan,
akibatnya terjadi penurunan kualitas sumber daya lingkungan yang dapat
merugikan kepentingan banyak pihak.15
14
Wawancara dengan Dulhawi sebagai Petani, Pada Tanggal 8
Agustus 2015 15
Maria SW Sumardjono, Nurhasanah Ismail, Isharyanto, Mediasi
Sengketa Tanah, Kompas, Gramedia, Jakarta, 2008, hlm.3
91
Tanah yang memiliki nilai sangat tinggi dan merupakan faktor utama
dalam produksi pertanian membuat masyarakat petani tidak lagi memiliki
toleransi terhadap petani lainnya. Perebutan lahan yang terjadi antara petani
pembuka lahan dan petani pemilik sertifikat pada akhirnya menimbulkan
dampak lain di Kecamatan Palas, yakni kemanan. Suasana desa menjadi
tegang dikarenakan petani pembuka lahan kerap kali melakukan tindakan
berupa ancaman-ancaman untuk kembali mendapatkan lahan pertanian.
Kedua kubu yang bersengketa baik petani pembuka lahan atau petani
pemilik sertifikat sama-sama melakukan pengamanan di sekitar rumah
mereka masing-masing. Ketegangan ini berlangsung cukup lama sehingga
kehidupan bersosialisasi antar masyarakat menjadi terganggu. Kehidupan
bermasyarakat diwarnai rasa saling curiga sehingga komunikasi antar
masyarakat menjadi terganggu. Sistem bermasyarakat yang didasari rasa
kekeluargaan menjadi tersampingkan dikarenakan faktor ingin kembali
memiliki atau mempertahankan lahan pertanian mereka.
Berbanding terbalik dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh
sengketa agraria di Kecamatan Palas dalam bidang komunikasi antara
masyarakat yang bersengketa, komunikasi antara masyarakat yang memiliki
nasib yang sama kian erat. Petani pemilik sertifikat yang tidak ingin
kehilangan lahan pertaniannya kerap kali melakukan pertemuan-pertemuan
untuk mendiskusikan langkah-langkah yang akan mereka lakukan untuk
mempertahankan lahan pertanian mereka. Di sisi lain, petani pembuka lahan
juga melakukan komunikasi antar sesama petani yang ingin kembali
mendapatkan lahan pertanian.
92
Sengketa yang terjadi juga menimbulkan dampak dalam struktur sosial
masyarakat. Masyarakat petani yang kembali mendapatkan lahan pertanian
mereka kemudian status sosialnya naik dari petani penggarap lahan menjadi
petani pemilik lahan. Kepemilikan lahan ini kemudian menaikan derajat hidup
masyaratakat petani dikarenakan mereka memiliki secara penuh hasil lahan
tanpa harus dibagi seperti ketika mereka menggarap lahan pertanian milik
orang lain.
Tidak hanya petani yang kembali mendapatkan lahannya, namun
petani yang kehilangan lahannya juga mengalami perubahan status sosial di
masyarakat. Meskipun sebagian besar petani yang rela kehilangan lahannya
memiliki profesi lain seperti guru atau PNS, mereka tetap mengalami
perubahan status sosial. Bagi masyarakat Kecamatan Palas, bertani
merupakan profesi utama, sehingga kepemilikan atas lahan pertanian menjadi
sebuah status yang prestise.
Gambar 4
Foto Lahan Pertanian Rawasragi
Sumber : Dokumentasi Penulis
93
Dampak sosial lain akibat konflik berupa kohesi sosial dan intimitas
hubungan sosial intern masyarakat maupun antara masyarakat tersebut dengan
komunitas yang lebih luas. Dampak sosial ini berupa rasa tidak aman dari
masyarakat yang bermukim di daerah sekitar sengketa. Dampak sosial seperti
ini terjadi ketika sengketa memasuki tahap konfrontasi langsung antara pihak
petani pembuka lahan dengan petani pemilik sertifikat. Protes yang dilakukan
rakyat dalam menuntut pengembalian hak atas lahan pertanian mereka
dilakukan dengan berbagai cara mulai dari cara-cara yang lunak seperti
dialog, perundingan dan sebagainya hingga cara-cara yang lebih keras seperti
demonstrasi dan tindakan-tindakan berupa pengancaman. Tindakan-tindakan
kekerasan tersebut pada akhirnya akan menimbulkan efek traumatik yang
hampir sama baik di pihak petani pembuka lahan atau pihak petani pemegang
sertifikat.
2. Dampak di bidang ekonomi
Dampak dari sengketa lahan pertanian Proyek Rawasragi di bidang
ekonomi sangat dirasakan oleh masyarakat Kecamatan Palas, Kabupaten
Lampung Selatan. Mulai dari tahun 1983 ketika proses pembagian lahan
pertanian dijalankan oleh tim agraria, sebagian dari petani pembuka tidak
mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Sejak dibukanya
lahan pertanian tahun 1981, selama dua tahun mereka telah mengusahakan
lahan yang mereka buka dengan cara ditanami padi. Lahan yang subur dan
didukung oleh sistem pengirigasian yang baik membuat lahan pertanian
proyek Rawasragi ini menjadi salah satu lumbung padi terbesar di Provinsi
94
Lampung. Petani yang mengusahakan lahannya merasakan perekonomian
mereka membaik dikarenakan dalam satu tahun mereka bisa memanen lahan
pertanian mereka sebanyak tiga kali.
Gambar.5
Tugu Tani Perlambang Kejayaan Pertanian di Rawasragi
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Sengketa yang awalnya melibatkan rakyat dan pemerintah ini semakin
tidak jelas ujungnya dikarenakan pemerintah yang lepas tangan. Petani yang
tidak mendapatkan lahan sejak proses pembagian lahan kemudian mencoba
mendapatkan kembali lahan yang telah mereka buka dan mereka garap
meskipun kepemilikannya kini sudah beralih kepada petani yang
mendapatkan lahan pada proses pembagian lahan proyek Rawasragi. Sengketa
95
yang pada akhirnya terjadi antar sesama petani ini kemudian mengakibatkan
lahan yang disengketakan tidak bisa ditanami padi.16
Peningkatan kesejahteraan taraf hidup petani pembuka lahan tidak
berlangsung lama dikarenakan proses peridstribusian lahan yang dilakukan
tim agraria berlangsung pada tahun 1983. Banyak dari petani pembuka lahan
kehilangan hak atas lahan yang telah mereka buka dan telah mereka usahakan
dikarenakan tidak masuk kedalam daftar penerima lahan yang telah disiapkan
oleh tim agraria. Petani yang kehilangan lahan pertaniannya kemudian
berubah status dari pemilik lahan pertanian menjadi buruh tani yang berkerja
pada pemilik baru lahan pertanian mereka. Kemunduran ini mengakibatkan
kesejahteraan kehidupan petani mengalami penurunan.17
Perekonomian rakyat yang utamanya berasal dari pertanian menjadi
goyah. Petani tidak dapat menanami lahan yang disengketakan dikarenakan
petani penuntut mendatangi sawah-sawah milik petani pemilik sertifikat.
Mereka tidak hanya mendatangi petani yang tengah menggarap sawahnya,
tetapi mereka juga melakukan ancaman-ancaman agar tuntutan mereka
dipenuhi. Petani pemilik sertifikat yang merasa risih dengan ancaman-
ancaman tersebut kemudian tidak pergi ke sawah dalam beberapa waktu.
Mereka memilih untuk tetap di rumah selama proses pengaduan mereka ke
BPN dan Pemerintah Daerah diproses.18
16
Data diolah dari wawancara masyarakat Kecamatan Palas, Juli 2015 17
Wawancara dengan Badarudin sebagai Petani, Pada Tanggal 8
Agustus 2015 18
Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 10
Juli 2015
96
Lahan yang tidak mereka tanami padi kemudian mengakibatkan
mereka mengalami kemunduran secara ekonomi. Musim panen yang
seharusnya bisa 3 kali dalam setahun bahkan lebih, terpaksa tidak mereka
rasakan. Petani yang kehilangan hasil pertanian, akibatnya tidak bisa
memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Memasuki tahun 2000 ketika
sengketa mencapai puncaknya, petani yang mengupayakan berbagai cara agar
mendapatkan lagi haknya mulai menyerah. Berita acara yang dikeluarkan tim
sengketa lahan terkesan berpihak kepada petani penuntut.
Ketegangan di area sengketa masih terjadi antara petani penuntut dan
petani pemilik sertifikat. Petani penuntut sebagian tetap bersekiras bertahan di
atas tanah yang di klaim milik mereka dan sebagian lagi melepas perjuangan
mereka dikarenakan pihak petani pemilik sertifikat juga tetap bersikeras tidak
mau mengikuti hasil berita acara tersebut. Disisi lain, sebagian dari petani
pemilik sertifikat juga mulai melepaskan pelan-pelan lahan yang menjadi hak
mereka lantaran merasa terganggu dengan ancaman-ancaman yang datang
dari pihak petani penuntut.
Pada akhirnya, proses kepemilikan tanah banyak mengalami
perubahan. Petani pemilik sertifikat sebagian menyerahkan atau terpaksa
menjual sertifikat mereka kepada petani pembuka lahan. Dari segi ekonomi,
petani pemilik sertifikat meskipun menerima pembayaran dari pembelian
sertifikat, mereka tetap mengalami kerugian dikarenakan kehilangan lahan
yang sangat produktif dengan harga yang jauh dari harga jual tanah pada
umumnya. Petani penuntut yang mendapatkan kembali hak yang mereka
97
klaim atas tanah tersebut, membuat mereka bisa menaikkan tingkat
pendapatan mereka dari hasil pertanian tersebut.
Terjadinya perunahan pada kepemilikan tanah kemudian merubah
sebagian profesi petani. Petani yang semula hanya menggarap lahan orang
lain, kini memiliki lahan pertanian sendiri yang berhasil mereka dapatkan dari
petani pemilik sertifikat. Berubahnya status dari buruh tani menjadi petani
pemilik lahan membuat tingkat perekonomian mereka mengalami
peningkatan. Dengan memiliki tanah pertanian sendiri, mereka mendapatkan
hasil bersih dari pertanian mereka. Di sisi lain, petani pemilik sertifikat yang
kehilangan lahan pertaniannya kemudian beralih profesi menjadi pedagang
atau pekerjaan lain guna menyambung kehidupan mereka.
3. Pandangan Masyarakat Terhadap Status Lahan yang Disengketakan
Sengketa pertanahan pada masa Orde Baru dapat dikatakan
mengalami sengketa yang berkepanjangan, karena kebijakan pemerintah yang
kapitalistik dan cenderung mengabaikan standar lokalitas terkait hukum adat
dalam penguasaan dan kepemilikan tanah seperti hak garap dan hak ulayat.
Rezim yang otoriter membuat pergerakan petani tidak dapat membuahkan
hasil bagi keuntungan mereka. Berbagai perlawanan yang mereka lakukan
kerap kali menemukan jalan buntu dikarenakan pemerintah yang didukung
penuh oleh kekuatan militer akan langsung menghentikan pergerakan mereka.
Kepentingan umum seringkali dijadikan alasan untuk mengambil
tanah rakyat baik itu secara paksa melalui militer atau melalui manipulasi
kebijakan negara. Keadaan masyarakat yang miskin dan terdesak kebutuhan
98
hidup telah membuat masyakat menggunakan berbagai cara demi
mendapatkan hak atas tanah mereka. Tuntutan masyarakat akhirnya muncul
sebagai upaya untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah atas tanah yang
mereka buka dan mereka garap sebelum diakui tanpa melalui dialog oleh
pemerintah.
Mereka menuntut pembagian lahan pertanian yang merata dan adil
sehingga petani pembuka lahan mendapatkan hak atas tanah mereka.
Pelaksanaan Landreform yang menurut petani tidak adil inilah yang menjadi
alasan terjadinya kaum petani tak bertanah yang memicu terjadinya sengketa
tanah secara umum, termasuk di dalamnya adalah tanah yang menjadi Proyek
Rawasragi di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan.
Pendidikan masyarakat yang semakin tinggi membuat masyarakat
yang sudah mengalami sengketa berkepanjangan mulai berani menyuarakan
hak-haknya. Pendampingan yang dilakukan oleh mahasiswa melalui LSM
meskipun tidak total juga perlahan memupuk mental warga yang ingin
memperjuangkan haknya. Kepemilikan hak atas tanah didasarkan pada
sejarah turun temurun penguasaan tanah dan kepemilikan tanah. Jadi,
siapapun yang secara turun temurun memiliki hak atas tanah dan menguasai
tanah maka merekalah sebetulnya pemilik sah hak atas tanah. Berbeda dengan
pandangan hukum secara formal, yaitu pandangan hukum terhadap
kepemilikan hak atas tanah didasarkan pada akta kepemilikan atau sertifikat
dan penguasaan terhadap akta tanah tersebut, sehingga siapapun yang
memiliki akta kepemilikan tanah (sertifikat tanah) atas nama pemilik tanah
tersebut maka dia adalah pemilik sah hak atas tanah secara hukum.
99
Dua pemahaman yang berbeda inilah yang kemudian memicu adanya
sengketa kepemilikan hak atas tanah pertanian, sehingga perebutan hak atas
lahan pertanian proyek rawasragi bagi masyarakat setempat berdasarkan pada
fakta-fakta kepemilikan secara pembukaan lahan dan garapan secara turun
temurun, sementara pandangan hukum formal berpedoman pada kepemilikan
tanah dengan dasar kepemilikan sertifikat tanah.
Era reformasi benar-benar dimanfaatkan oleh petani yang ingin
memperjuangkan haknya. Meskipun tanah yang mereka buka dan garap sudah
diatas namakan orang lain, mereka tetap berusaha untuk kembali
mendapatkan tanah tersebut meskipun dengan cara-cara yang tergolong
radikal. Bagi sebagian besar masyarakat Kecamatan Palas, pertanian
merupakan sektor yang sangat erat dengan kelangsungan hidup mereka. Oleh
sebab itu, lahan pertanian merupakan bagian yang sangat pokok dalam
menunjang kehidupan mereka.
Pembukaan lahan yang mereka lakukan sebelum proyek Rawasragi
diresmikan, merupakan kegiatan yang sah-sah saja. Pasalnya, mereka
beranggapan bahwa proses pembukaan lahan hanya didasarkan pada perizinan
pihak desa, sehingga batas-batas kepemilikan lahan didasarkan oleh surat-
surat yang dikeluarkan oleh kepala-kepala kampung. Pemikiran seperti inilah
yang dimiliki masyarakat Kecamatan Palas, hingga Pemerintah mengeluarkan
surat keputusan untuk mencabut seluruh surat-surat atas tanah yang
dikeluarkan oleh kepala-kepala kampung dan mengakui tanah tersebut
merupakan tanah miik negara yang proses pengolahannya akan didasarkan
pada peraturan negara.
100
Bagi petani, perebutan secara paksa dan sebagian besar lahan proyek
pemerintah yang tidak dibagikan kembali kepada mereka merupakan sebuah
penindasan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah yang terkesan
mengabaikan aduan masyarakat membuat masyarakat bertindak langsung
dengan merebut kembali lahan yang dulu telah mereka garap meskipun yang
dihadapi adalah sesama petani yang seharusnya mendapatkan hak yang sama.
Sengketa agraria akibat Proyek Rawasragi yang sebagian besar telah
diselesaikan, ternyata tetap meninggalkan ketidakpuasan dari masyarakat
Kecamatan Palas hingga saat ini. Masyarakat Kecamatan Palas yang
kehilangan lahannya merasa dirugikan meskipun mereka tetap tidak bisa
melakukan perjuangan kembali. Pada akhirnya penyelesaian yang diharapkan
saling menguntungkan kedua belah pihak tidak terjadi hingga akhir ini.
101
BAB V
KESIMPULAN
Sengketa agraria atas lahan proyek Rawasragi berlatar belakang pada
landreform dengan pembagian tanahnya. Pangkal permasalahannya adalah
tanah yang dijadikan proyek Rawasragi merupakan tanah yang dibuka oleh
masyarakat atas instruksi pemerintah tahun 1983. Pemerintah
menginstruksikan untuk membuka lahan yang dulunya merupakan sebuah
rawa itu untuk digunakan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat.
Masyarakat yang menjadi pembuka dijanjikan akan mendapatkan lahan
pertanian secara gratis lewat penyaluran tanah yang pelaksanaannya
dilakukan oleh tim bentukan pemerintah.
Selama proses pembukaan lahan, lahan yang sudah dibuka kemudian
dimanfaatkan oleh para pembuka lahan untuk bertani. Lahan yang mereka
garap merupakan lahan yang mereka buka. Hal itu berlangsung dari waktu ke
waktu sampai pemerintah mulai menyalurkan lahan tersebut. Tahun 1983
pemerintah mulai mendata masyarakat yang akan diberikan lahan pertanian
tersebut. Pemerintah mendasarkan pembagian itu pada daftar pemilu yang
diharapkan benar-benar mendapatkan data yang valid akan penduduk yang
sudah mendiami Kecamatan Palas sejak tahun 1971.
Proses pembagian lahan pertanian ditandai dengan pemberian kartu
hijau kepada masyarakat yang dianggap layak mendapatkan lahan pertanian
tersebut. Jumlah lahan yang dibagikan juga terbatas. Masing-masing petani
102
akan mendapatkan minimal 1 hektare dan maksimal 2 hektare. Proses
penertiban tanah ini membuat lahan pertanian para pembuka mengalami
pergeseran dan penyempitan. Banyak dari petani pembuka mengeluhkan
tanah yang mereka kelola selama ini lebih subur dan lebih strategis
dibandingkan lahan yang mereka dapatkan dari proses penyaluran tanah.
Kepemilikan kartu hijau kemudian menimbulkan sengketa antara
petani dan pemerintah. Petani yang merasa tidak mendapatkan haknya
kemudian menuntut hak mereka dengan cara mendatangi langsung kantor
Pemerintah Daerah dan Badan Pertanahan Tingkat II Kalianda, Kabupaten
Lampung Selatan. Mereka mendesak pemerintah untuk segera
mengembalikan lahan yang menjadi hak mereka. Pemerintah yang terus
didesak warga tidak kunjung memenuhi apa yang dituntut oleh masyarakat.
Sengketa yang semakin tidak menemukan titik terang ini justru menimbulkan
sengketa baru.
Warga yang tidak mendapatkan lahan melalui sistem penyaluran
tanah, mulai berusaha mendapatkan hak mereka dengan cara mereka sendiri.
Mereka mendatangi lahan yang diakui sebagai lahan mereka meskipun sudah
berpindah kepemilikan. Warga yang merasa memiliki sertifikat atas tanah
tersebut merasa terganggu dengan tekanan-tekanan dan ancaman-ancaman
yang datang dari pihak petani penuntut. Mereka kemudian mengadukan hal
tersebut kepada Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah melalui tim
penyelesaian sengketa berusaha mempertemukan kedua pihak yang
bersengketa. Perundingan yang terjadi menghasilkan berita acara yang
ditandatangani oleh ketua tim penyelesaian sengketa.
103
Perundingan yang terjadi justru membuat sengketa semakin
meruncing. Poin terakhir dari berita acara yang berisi bahwa pihak penuntut
dan pihak yang dituntut harus membagi sebagian darri tanah yang
disengketakan selama proses penyelesaian dilakukan. Petani yang memiliki
sertifikat merasa dirugikan oleh keputusan tersebut hingga mereka menggelar
aksi di depan kantor Pemerintahan Daerah. Lambatnya respon pemerintah
terhadap sengketa ini menyebabkan sengketa ini terus berlarut-larut.
Petani yang memiliki sertifikat semakin merasa terganggu dengan
tekanan-tekanan yang dilakukan pihak petani yang ingin mendapatkan lahan
mereka. Pihak petani tanpa sertifikat menjadikan berita acara tersebut sebagai
senjata untuk mendapatkan sebagian lahan yang disengketakan. Sengketa ini
terus berlanjut dan sempat menimbulkan ketegangan antar kedua belah pihak.
Terlebih, yang bersengketa merupakan dua suku bangsa yang berbeda yaitu
suku bangsa Jawa dan Bali. Isu SARA sempat terbawa meskipun tidak terlalu
melebar.
Sengketa yang tak kunjung menemukan titik terang ini kemudian
berakhir dikarenakan kedua belah pihak mulai menyerah. Pihak petani
pemilik sertifikat yang merasa tidak aman ketika mengelola lahan pertanian
mereka mulai melepas separuh bahkan sebagian lahan mereka kepaada pihak
petani penuntut. Pihak petani penuntut juga sebagian menyerah dengan
perjuangan mereka dan merelakan lahan yang mereka perjuangkan.
104
DAFTAR PUSTAKA
Arsip
Keputusan Rapat Kerja Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri.
Jakarta : Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan. Jakarta : Koleksi
Arsip Nasional Indonesia.
Peta Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan Tahun 1985. Lampung :
Koleksi Kecamatan Palas
Peta Saluran Irigasi Proyek Rawasragi, Kecamatan Palas Tahun 1985.
Lampung : Koleksi Arsip BPN Tk. II Lampung Selatan
Kecamatan Palas dalam Angka Tahun 1983. Lampung Selatan : Badan Pusat
Statistik.
Kecamatan Palas dalam Angka Tahun 1984. Lampung Selatan : Badan Pusat
Statistik.
Kecamatan Palas dalam Angka Tahun 1986. Lampung Selatan : Badan Pusat
Statistik.
Kecamatan Palas dalam Angka Tahun 1988. Lampung Selatan : Badan Pusat
Statistik.
Kecamatan Palas dalam Angka Tahun 1989. Lampung Selatan : Badan Pusat
Statistik.
Kecamatan Palas dalam Angka Tahun 1990. Lampung Selatan : Badan Pusat
Statistik.
Kecamatan Palas dalam Angka Tahun 1992. Lampung Selatan : Badan Pusat
Statistik.
Kecamatan Palas dalam Angka Tahun 1994. Lampung Selatan : Badan Pusat
Statistik.
Kecamatan Palas dalam Angka Tahun 1996. Lampung Selatan : Badan Pusat
Statistik.
105
Kecamatan Palas dalam Angka Tahun 1998. Lampung Selatan : Badan Pusat
Statistik.
Kecamatan Palas dalam Angka Tahun 2000. Lampung Selatan : Badan Pusat
Statistik.
Pernyataan Sikap STN Lampung, Lampung Post Edisi 11 Februari 2000 dan
Trans Sumatera 11 Februari 2000
Buku
Anwas Adiwilaga.1985. Ilmu Usaha Tani. Bandung: Alumni
Bachsan Mustofa. 1998. Hukum Agraria dalam Perspektif. Bandung: Remaja
Karya
Burger, D.H. 1970. Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia. Jakarta: Pradjnja
Paramita.
Darmansyah, dkk. 1986. Ilmu Sosial Dasar : Kumpulan Essai. Surabaya :
Usaha Nasional.
Eddy Ruchiat. 1999. Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Baru.
Bandung: PT Alumni
Endang Suhendar. 1995. Tanah, Buruh dan Usaha Kecil dalam Proses
Perubahan : Kumpulan Hasil Penelitian Akatiga. Bandung : Akatiga.
Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni. 1998. Petani dan Konflik
Agraria. Bandung : Akatiga.
Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian. Jakarta : Bhatara Karya Aksara
Gottschalk, Loius. 1985. Mengerti Sejarah (Terjemahan Nugroho
Notosusanto). Jakarta : UI Press.
Gunawan Wiradi. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria dalam
Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta : PT Gramedia
Gunawan Wiradi. 2000. Reforma Agraria :Pernyataan yang Belum Berakhir.
Yogyakarta : INSIS PRESS.
____________.2009. Metodologi Studi Agraria : Karya Terpilih Gunawan
Wiradi. Bogor : Sajogya Institute.
106
G.V Vink. 1984. Dasar-dasar Usaha Tani di Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Herlambang Perdana. 2001. Penindasan Atas Nama Otonomi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Imam Soetikno. 1985. Politik Agraria Nasional. Yogyakarta ; Gadjah Mada
University Press.
John Salindeho. 1994. Manusia, Tanah, Hak dan Hukum. Jakarta : Sinar
Grafika.
Kono, Hiroyoshi. 1997. “Tanah dan Pajak, Hak Milik dan Konflik : Tinjauan
Sejarah Perbandigan” Dalam Noer Fauzi (penyunting), Tanah dan
Pembangunan. Surakarta : UNS PRESS.
Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Kuntowijoyo. 1993. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Benteng.
Landsberger, Hery A dan Yu G Alexandrov. 1998. Pergolakan Petani dan
Perubahan Sosial. Jakarta : CV Rajawali.
Louis Malasih. 1981. Dunia Pedesaan : Pendidikan dan Perkembangannya.
Jakarta : Gunung Agung.
Mochamad Tauchid. 1952. Masalah Agraria : Sebagai Masalah Penghidupan
dan Kemakmuran Rakyat Indonesia jilid I. Jakarta : Tjakrawala.
Murbyanto. 1983. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta :
Sinar harapan.
___________. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : LP3ES.
Noer Fauzi. 1997. Tanah dan Pembangunan: Risalah dari Konferensi INFID
ke 10. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa : Perjalanan Politik Agraria di
Indonesia. Yogyakarta : INSIST, KPA dan Pustaka Pelajar.
Nugroho Notosusanto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta :
Yayasan Indayu
Ricklefs. M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta :
Serambi.
107
Robert Redfield. 1993. Masyarakat Petani dan Kebudayaan Terjemahan D.
Dhakidah. Jakarta ; rajawali Press.
Sadikin Sorwan S. 2007. Konflik Keseharian di Pedesaan Jawa. Bandung :
Akatiga.
Sartono Kartodirdjo. 1984. Ratu Adil. Jakarta : Sinar Harapan.
Sartono Kartodirdjo. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888 Kondisi,
Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya : Sebuah Studi Mengenai
Gerakan Sosial di Indonesia. Jakarta : Pustaka Jaya.
Sartono Kartodirdjo. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Soediono M.P. Tjondronegoro. 1999. Sosiologi Agraria. Bandung : Yayasan
Akatiga.
____________. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah di Jawa Dari Masa Ke
Masa. Jakarta : PT Gramedia.
Siti Rahmana Mary Herwati dan Dodi Stiadi. 2005. Memahami Hak Atas
Tanah dalam Praktek Advokasi . Surakarta : CakraBook.
Sudarto Gautama. 1973. Masalah Agraria Berikut Peraturan dan Contoh.
Bandung : Alumni.
Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Wiradiputra R. 1951. Agraria Hukum Tanah. Jakarta : Djambatan
SKRIPSI
Erni Rahmawati. 2006. “Sengketa Agraria Atas Lahan PT. Perkebunan IX
(PTPN 1) Afdeling Kepoh Sambirejo, Sragen 1982 – 2004”. Skripsi
Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas
Maret.
Hasrie Fathonantin Purwanita. 2011. “Sengketa Lahan Perekbuna
Swarubuluroto di Desa Karangrejo Kecamatan Garum, Kabupaten
Blitar Tahun 1960-1997”. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sebelas Maret.
Sutrisna Lestari. 2010. “Sengketa Tanah Bekas Perkebunan Tembakau
Bandar Chalipah, Kabupaten Deli Serdang Tahun 1947-1960”. Skripsi
108
Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Rusnal Effendi
Umur : 60 Tahun
Pekerjaan :Kepala Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan
Masyarakat BPN Lampung Selatan
Alamat : Jl. Ryacudu Perum Korpri Bandar Lampung
2. Nama : Nicholas
Umur : 45 Tahun
Pekerjaan : Kepala Bidang Advokasi BPN Lampung Selatan
Alamat : Kalianda, Lampung Selatan
3. Nama : Darmawan
Umur : 49 Tahun
Pekerjaan : Perangkat Kecamatan
Alamat : Desa Palas Bangunan Kecamatan Palas Lampung
Selatan
4. Nama : H. Dulhawi
Umur : 80 Tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Desa Rejomulyo Kecamatan Palas Lampung Selatan
5. Nama : Fatno Wahid, S.Pd
Umur : 55 Tahun
Pekerjaan : Petani dan Guru
109
Alamat :Desa Rejomulyo Kecamatan Palas. Lampung Selatan
6. Nama : Darussalam
Umur : 56 Tahun
Pekerjaan : Ketua Badan Pertanian Kecamatan Palas Kabupaten
Lampung Selatan
Alamat : Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan
7. Nama : Lehan
Umur : 65 Tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Desa Bali Agung Kecamatan Palas Lampung Selatan
8. Nama : Parman
Umur : 70 Tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Desa Bali Agung Kecamatan Palas Lampung Selatan
9. Nama : Badarudin
Umur : 76 Tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Desa Candi Puro, Kecamatan Palas, Lampung Selatan
10. Nama : Tarno
Umur : 55 Tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Desa Palas Aji, Kecamatan Palas, Lampung Selatan
110
Lampiran 1. Keputusan Rapat Kerja Direktorat Jendral Agraria Departemen
Dalam Negeri.
111
112
113
114
115
116
117
Lampiran 2. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan.
118
119
120
121
122
123
Lampiran 3. Peta Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan Tahun 1985
124
Lampiran 4. Banyaknya Penduduk dalam Wilayah Kecamatan Palas Tahun
1985 Berdasarkan Mata Pencahariannya
125
Lampiran 5. Banyaknya Penduduk dalam Wilayah Kecamatan Palas Tahun
1985 Menurut Jenis Kelamin
126
Lampiran 6. Luas Tanah Sawah Menurut Jenisnya di Kecamatan Palas Tahun
1999.
127
Lampiran 7. Banyaknya Luas Tanah Sawah di Wilayah Kecamatan Palas
Tahun 1985
128
Lampiran 8. Banyaknya Luas Tanah Sawah dan Jenis Pengairan dalam
Wilayah Kecamatan Palas Tahun 1985.
129
Lampiran 9. Luas Tanah Kering yang Ditanami dan Tidak di Tanami Padi dan
Palawija dirindi Tanah Kering di Kecamatan Palas tahun 1999.
130
Lampiran 11. Banyaknya Alat-alat Pertanian menurut Jenis dan Keadaannya
di Kecamatan Palas Tahun 1999.
131
Lampiran 12. Pernyataan Sikap STN Lampung, Lampung Post Edisi 11
Februari 2000 dan Trans Sumatera 11 Februari 2000
132
133
134
135