BAB III Seleksi Beluntas ...
-
Upload
fransisca-kristi-astuti -
Category
Documents
-
view
131 -
download
2
description
Transcript of BAB III Seleksi Beluntas ...
31
SELEKSI DAUN BELUNTAS (Pluchea indica Less) SEBAGAI
SUMBER ANTIOKSIDAN ALAMI
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh tingkat ketuaan daun beluntas
yang paling potensial sebagai sumber antioksidan alami dan ketepatan pelarut
yang digunakan. Seleksi didasarkan pada tingkat ketuaan daun beluntas
(kelompok daun 1-3, 4-6 dan >6) dan jenis pelarut untuk mengekstrak daun
beluntas yang meliputi metanol, etil asetat, air, dan n-butanol. Hasil menunjukkan
bahwa senyawaan fitokimia, terutama fenolik lebih terkonsentrasi pada daun yang
lebih muda. Total fenol dan total flavonoid kelompok daun 1-3 > kelompok daun
4-6 > kelompok daun > 6. Daun beluntas mengandung grup senyawa flavonoid,
tanin, sterol, dan fenol hidrokuinon. Daun beluntas 1-6 dipilih sebagai sumber
antioksidan berdasarkan kemampuan menangkap radikal bebas DPPH. Hasil
seleksi berdasarkan perbedaan pelarut menunjukkan bahwa grup senyawa tanin,
flavonoid, dan fenol hidrokuinon ditemukan pada ekstrak metanolik daun beluntas
(EMB), fraksi etil asetat (FEA), fraksi air (FA), dan fraksi n-butanol (FNB),
sedangkan grup senyawa sterol tidak ditemukan pada FA. Senyawa fenolik
penyusun EMB sebagian besar bersifat semipolar, yang ditunjukkan oleh total
fenol dan total flavonoid terbesar dimiliki oleh FEA. Fraksi FEA lebih berpotensi
sebagai penangkap radikal bebas DPPH, dengan nilai IC50 dan AE (efisiensi
antiradikal) masing-masing sebesar 3.3 mg/L dan 0.00115.
Kata Kunci : beluntas (Pluchea indica Less), ketuaan daun, ekstrak metanolik,
fraksi etil asetat, fraksi air, fraksi n-butanol, dan DPPH.
Abstract This study was conducted to refer the age level of Pluchea leaves which
giving the most potential natural antioxidant source as well as the proper solvents
being utilized. The selection was based on the difference of the age level of the
leaves (1–3, 4–6, and >6 leaves groups) and the different type of solvents included
methanol, ethyl acetate, water, and n-butanol. The results showed that
phytochemical compounds, especially phenolic were more concentrated on the
younger leaves. Total phenol and total flavonoid of leaves were rank as 1-3 > 4-6
> >6 group, respectively. Pluchea leaves contained flavonoid, tannin, sterol, and
phenol hydroquinone compound groups. 1-6 age level leaves were chosen as a
source of natural antioxidants based on DPPH free radical scavenging activity.
Tannin, flavonoid, and phenol hydroquinone compound groups were found in
Pluchea leaves methanolic extract (EMB), ethyl acetate fraction (FEA), water
fraction (FA), and n-butanol fraction (FNB), while sterol compound group was
not found in the FA. FEA had the highest total phenol and flavonoid, which
showed that the major phenolic compounds of EMB were semi polar. This
fraction was potential as DPPH free radical scavenging, hence it IC50 and AE
(radical efficiency) value were 3.3 mg/L and 0.00115, respectively.
Keywords: Pluchea indica Less, leaf age, methanolic extract, ethyl acetate
fraction, water fraction, n-butanol fraction, and DPPH.
32
Pendahuluan
Beluntas (Pluchea indica Less) merupakan tanaman herba famili
Asteraceae yang telah dimanfaatkan sebagai pangan dan sediaan obat bahan alam
(Ardiansyah et al. 2003). Kandungan senyawaan fitokimia pada daun beluntas
mempunyai beberapa aktivitas biologis, salah satunya sebagai antioksidan.
Senyawaan fitokimia pada tanaman terdistribusi dengan kadar yang
berbeda pada setiap bagian. Perbedaan kadar senyawaan fitokimia pada daun dan
buah sangat dipengaruhi oleh tingkat ketuaan daun atau kematangan buah
(Navarro et al. 2006), kondisi tanah, pemberian pupuk serta stress lingkungan
baik secara fisik, biologi maupun kimiawi (Chludil et al. 2008). Kandungan dan
kadar senyawaan fitokimia yang berbeda akan mempengaruhi aktivitas
antioksidannya (Tachakittirungrod et al. 2007). Kubola & Siriamornpun (2008)
menyatakan bahwa bagian yang berbeda dari tanaman Thai bitter gourd
(Momordica charantia L) mempunyai aktivitas menangkap radikal bebas DPPH
berbeda, secara berturutan aktivitas antioksidan bagian daun > buah hijau >
batang > buah matang.
Senyawaan fitokimia pada tanaman dapat diekstrak dengan pelarut yang
sesuai. Tingkat kepolaran pelarut menentukan komponen senyawaan fitokimia
yang terekstrak. Metanol secara efektif dapat mengekstrak senyawa polar, seperti
gula, asam amino, dan glikosida (Houghton & Raman 1998), fenolik dengan berat
molekul rendah dan tingkat kepolaran sedang (Yu Lin et al. 2009), flavonoid
aglikon (Dehkharghanian et al. 2010), antosianin, terpenoid, saponin, tanin,
santosilin, totarol, kuasinoid, lakton, flavon, fenon, dan polifenol (Cowan 1999).
Air dapat mengekstrak senyawa sangat polar, seperti glikosida, asam
amino, dan gula (Houghton & Raman 1998), aglikon (Liu et al. 2011), antosianin,
pati, tanin, saponin, terpenoid, polipeptida, lektin (Cowan 1999). n-Butanol dapat
mengekstrak senyawa polar, seperti glikosida, aglikon, dan gula (Liu et al. 2011).
Sedangkan etil asetat dilaporkan dapat mengekstrak senyawa alkaloid, aglikon,
dan glikosida (Houghton & Raman, 1998), sterol, terpenoid, dan flavonoid
(Cowan 1999).
Potensi ekstrak tanaman sebagai sumber antioksidan dapat ditentukan
berdasarkan kemampuan menangkap radikal bebas DPPH. Pengujian DPPH
merupakan metode yang paling cepat dan sederhana untuk menentukan
33
kemampuan senyawa antioksidan mendonorkan atom hidrogen. Ekstrak yang
berpotensi menangkap radikal DPPH berfungsi sebagai antioksidan primer
(Pokorny et al. 2001; Qian & Nihorimbere 2004; Singh et al. 2007).
Perbedaan distribusi senyawa fitokimia pada tanaman dan perbedaan
kelarutan dalam berbagai pelarut yang mendasari dilakukannya seleksi daun
beluntas sebagai sumber antioksidan. Seleksi tersebut dilakukan berdasarkan
perbedaan tingkat ketuaan daun (kelompok daun 1-3, 4-6 dan >6) dan perbedaan
jenis pelarut (metanol, etil asetat, air, dan n-butanol). Seleksi ini diharapkan
diperoleh daun beluntas yang dapat menjadi sumber antioksidan alami untuk
mencegah WOF daging itik. Dengan demikian senyawa antioksidan daun beluntas
dapat menggantikan penggunaan antioksidan sintesis yang masih diragukan
tingkat keamanannya terhadap kesehatan (Chludil et al. 2008).
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai Juni–Agustus 2009 di Laboratorium Kimia
SEAFAST IPB, Laboratorium Penyakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan IPB,
dan Program studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Kimia, NUS,
Singapura.
Bahan Penelitian
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah daun beluntas
diperoleh dari daerah Dramaga, Bogor. Teh hijau diperoleh dari Tea Factory di
Singapura (Lim Lam Thye PTE, LTD). Rosemari kering dibeli dari cold storage di
Singapura.
Bahan kimia untuk analisis, terdiri dari petroleum eter, metanol, n-butanol,
akuades, etil asetat, pereaksi Dragendoft, Mayer dan Wagner, kloroform, amoniak,
asam sulfat, natrium hidroksida, eter, asam asetat anhidrat, logam magnesium,
etanol, asam klorida, amil alkohol, besi triklorida, pereaksi Folin Ciocalteu Fenol,
natrium karbonat, asam gallat, katekin, natrium nitrit, aluminium klorida, BHT,
dan DPPH.
34
Metode Penelitian
Pada tahap pertama penelitian ini dilakukan seleksi daun beluntas sebagai
sumber antioksidan berdasarkan perbedaan tingkat ketuaan daun dan perbedaan
jenis pelarut. Pada tahap seleksi tingkat ketuaan daun dilakukan pengelompokan
daun beluntas menjadi 3 didasarkan perbedaan warna dan tekstur daun dengan
urutan dari pucuk (Gambar 13 & Gambar 14), yaitu daun 1-3, 4-6, dan > 6.
Gambar 13. Pengelompokan daun beluntas berdasarkan perbedaan tingkat
ketuaan daun
Selanjutnya masing-masing kelompok daun diekstraksi dengan metanol
menggunakan metode ekstraksi soxhlet. Daun yang berpotensi sebagai sumber
antioksidan diekstraksi kembali dengan cara yang sama dilanjutkan dengan
fraksinasi menggunakan beberapa pelarut yang berbeda tingkat kepolaran,
meliputi etil asetat (semi polar), n-butanol (polar), dan air (sangat polar) (Dorman
& Hiltunen 2004) (Gambar 15). Daun beluntas dan ekstrak atau fraksinya daun
beluntas yang dipilih sebagai sumber antioksidan didasarkan pada kemampuannya
dalam menangkap radikal bebas DPPH.
Gambar 14. Kenampakan ketiga kelompok daun beluntas
Kelompok daun 1-3
Kelompok daun 4-6
Kelompok daun > 6
4-6 >6 1-3
35
Gambar 15. Diagram alir proses ekstraksi dan pengujian aktivitas ekstrak
metanolik daun beluntas dan fraksinya (Modifikasi Dorman &
Hiltunen 2004).
Diuji rendemen, total fenol, total flavonoid, senyawaan fitokimia, dan DPPH
Daun Beluntas kering suhu kamar
Residu daun
Dimaserasi (suhu kamar, 24 jam) dengan 400 mL petroleum eter
Filtrat
Diuapkan pelarutnya dan dikeringkan pada suhu kamar
Diekstraksi soxhlet dengan 150 mL metanol pada suhu 65 oC selama 3 jam
Diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator
Ekstrak Metanolik
Dipartisi dengan H2O/Etil asetat (1:1 v/v) Pelarut diuapkan dengan
Rotary evaporator
Fraksi etil asetat Fase air
Dipartisi dengan n-
butanol (1:1 v/v)
Fraksi n-butanol Fraksi air
Ditepungkan dengan ukuran 40 mesh
Tepung daun beluntas 100 g Uji kadar air
Disaring
10 g Residu daun kering
Pelarut diuapkan dengan
Rotary evaporator Pelarut diuapkan dengan
Rotary evaporator
Ekstrak atau fraksi yang mempunyai aktivitas antioksidan terbesar dilakukan analisis sbb:
Kemampuan menangkap hidrogen peroksida, radikal superoksida dan hidroksil
Kemampuan mereduksi ion besi
Kemampuan mengkelat ion besi
Kemampuan menghambat oksidasi asam linoleat- -karoten
Kemampuan mencegah WOF daging itik
36
Ketiga kelompok daun beluntas yang telah dikeringkan pada suhu kamar
selama 7 hari ditepungkan dengan ukuran 40 mesh, lalu dianalisis kadar airnya
(Lampiran 1). Tepung daun setiap kelompok sebanyak 100 g dimaserasi dengan
petroleum eter pada suhu kamar selama 24 jam. Residu yang telah dikeringkan
sebanyak 10 g diekstrak dengan 150 mL metanol menggunakan metode ekstraksi
soxhlet pada suhu 65 oC selama 3 jam. Ekstrak diperoleh setelah pelarut metanol
diuapkan dengan rotary evaporator. Ekstrak dari masing-masing kelompok
disimpan pada suhu 4 oC dalam botol gelap sampai analisis selanjutnya.
Tepung daun beluntas kering sebanyak 1 kg dari setiap kelompok daun
yang mempunyai aktivitas tertinggi diekstraksi dengan cara yang sama. Ekstrak
metanol yang diperoleh dilarutkan dalam akuades dan selanjutnya dipartisi dengan
pelarut etil asetat 1:1 (v/v). Fase air yang diperoleh dipartisi dengan n-butanol
dengan perbandingan 1:1 (v/v). Selanjutnya fraksi etil asetat, n-butanol, dan air
diuapkan dengan rotary evaporator, untuk mendapatkan fraksi yang pekat.
Ekstrak daun beluntas dan fraksinya disimpan pada suhu 4 oC dan gelap sampai
analisis berikutnya, meliputi rendemen (Lampiran 3), total fenol (Lampiran 5),
total flavonoid (Lampiran 7), kemampuan menangkap radikal bebas DPPH
(Lampiran 9), dan senyawaan fitokimia (Lampiran 59).
Analisis Data
Data penelitian dinyatakan sebagai rata-rata ± SD dari dua ulangan. Semua
data dianalisis dengan prosedur sidik ragam (ANOVA) dengan bantuan program
SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 17. Apabila hasil analisis
sidik ragam menunjukkan ada perbedaan maka dilanjutkan dengan uji jarak
berganda Duncan (Duncan New Multiple Range Test /DMRT) pada taraf 5%.
37
Hasil dan Pembahasan
Seleksi Daun Beluntas sebagai Sumber Antioksidan Berdasarkan
Perbedaan Tingkat Ketuaan Daun
Senyawaan Fitokimia pada Ketiga Kelompok Daun Beluntas
Senyawaan fitokimia ketiga kelompok daun beluntas dianalisis setelah
tepung daun beluntas kering suhu kamar dihilangkan kandungan lipidanya
(defatted) dengan petroleum eter dan diekstraksi dengan metanol guna
menghilangkan minyak atsiri yang terkandung dalam daun beluntas sehingga
dapat meminimalkan aroma yang ditimbulkan. Pokorny et al. (2001) menyatakan
bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi suatu bahan dapat berfungsi sumber
antioksidan yang ideal adalah tidak mempengaruhi warna dan aroma bahan yang
ditambahkan. Petroleum eter digunakan didasarkan pada laporan Houghton &
Raman (1998) bahwa pelarut non polar ini dapat melarutkan wax, lemak, minyak
atsiri, dan klorofil.
Seperti telah dilaporkan oleh Traithip (2005) telah melaporkan bahwa
daun beluntas mengandung sejumlah senyawa volatil kelompok terpena, seperti
boehmeril asetat, HOP-17-(21)-en-3 -asetat, linaloil glukosida, linaloil apiosil
glukosida, linaloil hidroksi glukosida, pluseosida C, kuauhtermona, 3-(2’-3’-
diasetoksi-2’-metil-butiril), pluseol A, pluseol B, pluseosida A, pluseosida B,
pluseosida E, dan pterokarptriol. Senyawa volatil ini merupakan penyusun minyak
atsiri yang memberikan aroma tertentu pada daun beluntas.
Hasil analisis kualitatif senyawaan fitokimia ketiga kelompok daun
beluntas ditunjukkan pada Tabel 4. Senyawaan fitokimia yang teridentifikasi pada
ekstrak metanolik daun beluntas meliputi grup senyawa tanin, sterol, flavonoid,
dan fenol hidrokuinon. Pengujian secara kualitatif menunjukkan keberadaan grup
senyawa tanin, sterol, flavonoid, dan fenol hidrokuinon pada ekstrak metanolik
daun beluntas masing-masing ditunjukkan oleh terbentuknya warna biru tua atau
hijau kehitaman, hijau, merah, dan merah, seperti yang diperoleh pada penelitian
Harbone (1996).
Data menunjukkan bahwa intensitas senyawaan fitokimia yang ditemukan
pada ketiga kelompok daun berbeda, perbedaan ini dapat memberikan gambaran
tentang perbedaan kadar senyawaan fitokimia yang ada. Grup senyawa tanin,
38
sterol, dan flavonoid ditemukan pada ketiga kelompok daun, tetapi intensitasnya
semakin berkurang dengan meningkatnya ketuaan daun. Penentuan intensitas
warna didasarkan pada perbandingan kepekatan warna yang diamati secara visual
dari semua senyawa fitokimia yang teruji (Gambar 16).
a b c d
Gambar 16. Penentuan intensitas warna pada pengujian grup senyawa sterol
(a = ++++, b = +++, c = ++ dan d = +)
Tabel 4. Hasil analisis kualitatif senyawaan fitokimia pada ketiga kelompok
daun beluntas
Kelompok daun
Intensitas warna senyawaan fitokimia
Tanin Sterol Flavonoid Fenol hidrokuinon
1-3 ++++ ++++ +++ +
4-6 +++ +++ ++ -
> 6 ++ ++ + -
Keterangan : ∑+ = menunjukkan intensitas warna, ∑+ = didasarkan pada perbandingan intensitas
warna secara visual, + = positif lemah, ++ = positif, +++ = positif kuat, ++++ =
positif sangat kuat, - = negatif.
Berdasarkan hasil pengujian kualitatif atas warna yang dihasilkan
menunjukkan bahwa grup senyawa fenol hidrokuinon hanya ditemukan pada daun
1-3. Fenol hidrokuinon lebih terkonsentrasi pada daun yang masih muda karena
menurut Harbone (1996), senyawa ini mempunyai struktur molekul paling
sederhana (C6) diduga sebagai senyawa dasar pembentuk senyawa fenolik jenis
lain.
Kubola & Sariamornpun (2008) menyatakan bahwa tidak semua senyawa
fenolik tertentu (asam p-kaumarat, asam gallat, asam ferulat, asam tanat, asam
bensoat, asam kafeat, dan (+)-katekin) ditemukan pada daun, batang, buah muda,
dan buah matang dari Thai bitter gourd (Momordica charantia L.). Asam gallat
banyak ditemukan pada seluruh bagian tanaman tersebut, asam kafeat banyak
ditemukan di daun, asam p-kaumarat banyak ditemukan di batang, asam ferulat
hanya ditemukan di batang dan buah muda sedangkan asam bensoat tidak
39
ditemukan di daun dan batang. Navarro et al. (2006) juga menginformasikan
bahwa perbedaan kadar senyawaan fitokimia pada daun dan buah sangat
dipengaruhi oleh tingkat ketuaan atau kematangan.
Kadar Air dan Rendemen pada Ketiga Kelompok Daun Beluntas
Kadar air dan rendemen ketiga kelompok daun beluntas ditunjukkan pada
Tabel 5. Kadar air ketiga kelompok daun beluntas berbeda signifikan, hal ini
terlihat bahwa perbedaan ketuaan daun mempengaruhi kadar air. Berdasarkan
kadar air tersebut diperoleh kadar rendemen basis kering berbeda secara nyata
antara ketiga kelompok daun. Kelompok daun yang lebih muda mempunyai
rendemen lebih tinggi dibandingkan kelompok daun yang lebih tua. Kondisi ini
seiring dengan hasil uji total fenol (TP) dan total flavonoid (TF), dimana
komponen terbesar yang terekstrak oleh metanol adalah senyawa fenol.
Tabel 5. Kadar air dan rendemen pada ketiga kelompok daun beluntas
Kelompok daun Rendemen (% b/b)
1 Kadar air (% b/b)
2
1-3 22.37c ± 0.78 14.57
b ± 0.13
4-6 19.08b ± 0.00 14.01
a ± 0.14
> 6 16.44a ± 0.46 15.38
c ± 0.01
Keterangan : 1 = satuan berat per berat basis kering,
2 = satuan berat per berat,
a-c = huruf
superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf 5%.
Total Fenol dan Total Flavonoid pada Ketiga Kelompok Daun Beluntas
Hasil pengujian total fenol (TP) dan total flavonoid (TF) pada ketiga
kelompok daun ditunjukkan pada Tabel 6. Kadar TP dan TF pada ketiga
kelompok daun beluntas berbeda secara signifikan. Daun 1-3 mempunyai kadar
TP dan TF paling tinggi, diikuti oleh daun 4-6 dan kadar terendah dimiliki oleh
daun > 6. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa fenolik dan flavonoid lebih
terkonsentrasi pada daun yang lebih muda. Kondisi ini didukung oleh hasil
analisis kualitatif senyawaan fitokimia pada ketiga kelompok daun yang
ditunjukkan pada Tabel 4.
Tingginya kadar TP dan TF serta intensitas senyawaan fitokimia pada
daun yang lebih muda terkait dengan fungsi senyawa tersebut dalam tanaman
yaitu melindungi diri dari serangan herbivora dan penyakit (Hagerman et al.
1998). Navarro et al. (2006) menyatakan untuk mempertahankan
40
keberlangsungannya, maka daun yang lebih muda mengandung TP dan TF lebih
tinggi.
Tabel 6. Kadar total fenol, total flavonoid, dan IC50 pada ketiga kelompok daun
beluntas
Kelompok daun Total fenol
(mg GAE/100 g bk)
Total flavonoid
(mg CE/100 g bk)
IC50
(mg/L)
1-3 415.11c ± 4.06 287.38
c ± 0.04 3.71
a ± 0.19
4-6 146.33b ± 3.42 118.65
b ± 1.52 6.85
a ± 0.18
> 6 38.27a ± 1.02 32.22
a ± 1.70 41.76
b ± 3.01
Keterangan : IC50 = konsentrasi penghambatan 50%, GAE = ekuivalen asam gallat,
CE = ekuivalen katekin, a-c
= huruf superskrip pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf 5%.
Kemampuan Menangkap Radikal Bebas DPPH pada Ketiga Kelompok Daun
Beluntas
Kadar TP dan TF ketiga kelompok daun beluntas (Tabel 6) nampaknya
berkorelasi dengan kapasitasnya menangkap radikal bebas DPPH (Gambar 17).
Penambahan ekstrak metanolik daun beluntas 1-3 pada konsentrasi 5 ppm telah
menunjukkan kemampuan penghambatan terhadap radikal bebas DPPH. Pada
konsentrasi yang sama, penambahan ekstrak metanolik kelompok daun 4-6 dan >
6 belum menunjukkan kemampuan penghambatan terhadap DPPH mencapai
maksimum.
Korelasi positif antara TP dengan kemampuan menangkap radikal DPPH
dari ekstrak bagian yang berbeda juga ditemukan pada tanaman Thai bitter guord
(Momordica charantia L) (Kubola & Siriamornpun 2008). Selain itu Fu et al.
(2009) menyatakan bahwa buah raspberry yang berwarna hijau mempunyai
aktivitas antioksidan lebih tinggi dari buah berwarna merah muda, hal ini
disebabkan kadar prosianidin pada buah yang hijau lebih tinggi.
Berdasarkan hasil perhitungan IC50 (kemampuan antioksidan yang
ditunjukkan dari konsentrasi antioksidan yang diperlukan untuk menangkap 50%
radikal bebas DPPH), menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan kelompok daun
1-3 tidak berbeda signifikan dengan kelompok daun 4-6, tetapi keduanya lebih
tinggi dan berbeda nyata dengan kelompok daun >6 (Tabel 6).
Selain keberadaan senyawa flavonoid yang mampu mendonorkan atom
hidrogen pada radikal DPPH, keberadaan senyawa tanin (tanin terhidrolisa dan
tanin terkondensasi) pada ekstrak daun beluntas 1-6 juga dapat mendonorkan
41
elektron pada radikal bebas DPPH, seperti yang dijelaskan oleh Hagerman et al.
(1998). Hasil analisis kualitatif senyawaan fitokimia menunjukkan bahwa
intensitas grup senyawa tanin pada ekstrak kelompok daun 1-6 cukup tinggi
dibandingkan daun > 6 (Tabel 4).
Gambar 17. Kemampuan menangkap radikal bebas DPPH dari ketiga kelompok
daun beluntas.
Adanya grup senyawa sterol pada ekstrak kelompok daun beluntas 1-6
juga dapat memberikan kontribusi kemampuannya menangkap radikal bebas
DPPH. Nystrom et al. (2007) dan Li et al.(2007) menyatakan bahwa grup
senyawa sterol, seperti (3β,22E)-stigmasta-5,22-dien-3-ol (stigmasterol) dan (3β)-
stigmast-5-en-3-ol (β-sitosterol) mampu mencegah oksidasi lemak dengan
memutus rantai oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Berdasarkan
kemampuan menangkap radikal bebas DPPH maka senyawa antioksidan yang
terkandung dalam ekstrak metanolik daun beluntas berfungsi sebagai antioksidan
primer, seperti yang dijelaskan oleh Pokorny et al. (2001); Qian & Nihorimbere
(2004) dan Singh et al. (2007).
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi Ekstrak Metanolik Daun Beluntas (ppm)
Pen
gham
bat
an ter
had
ap D
PP
H (
%)c
Daun 1-3 Daun 4-6 Daun > 6
42
Seleksi Daun Beluntas sebagai Sumber Antioksidan Berdasarkan
Perbedaan Jenis Pelarut
Daun beluntas dengan tingkat ketuaan terpilih (1-6) selanjutnya diuji
dengan beberapa jenis pelarut dengan tingkat kepolaran berbeda guna
memperoleh ekstrak yang potensial untuk diuji lebih lanjut. Pelarut yang
digunakan meliputi metanol, etil asetat, air, dan n-butanol.
Kadar Air dan Rendemen pada Ekstrak Metanolik Daun Beluntas dan
Fraksinya
Daun beluntas 1-6 yang sudah dikeringkan pada suhu kamar mempunyai
kadar air sebesar 10.38%, setelah dihilangkan lipidanya diekstraksi dengan
metanol diperoleh rendemen sebesar 15.22% bk (Tabel 7). Metanol digunakan
untuk mengekstrak komponen aktif dalam daun beluntas karena hasil beberapa
penelitian sebelumnya telah menginformasikan bahwa metanol efektif
mengekstrak senyawa fenolik dari jaringan tanaman segar (daun spesies
Etlingera), sehingga dihasilkan rendemen dan aktivitas antioksidan yang tinggi
(Chan et al. 2007a) serta menghambat polifenol oksidase yang dapat
mempengaruhi aktivitas antioksidan (Yao et al. 2004). Hasil uji rendemen ekstrak
metanolik daun beluntas segar sebesar 4.70% bb. Widyawati (2004) telah
melaporkan bahwa rendemen yang diperoleh dari ekstraksi daun beluntas segar
dengan etanol sebesar 1.40% bb.
Metanol juga menunjukkan efisiensi ekstraksi yang tinggi pada daun dan
bunga spesies Alphinia (Wong 2006a), daun muda dari Camelia sinensis (Chan et
al. 2007b). Rendemen ekstrak daun mulberry yang diperoleh dari pelarut metanol
(2.26%) > aseton (1.78%) > etil asetat (0.80%) > n-heksana (0.48%) (Yen et al.
1996). Chyau et al. (2002) menginformasikan bahwa ekstraksi daun Terminalia
catappa muda oleh metanol mempunyai rendemen (6.08%) > etil asetat (4.25%) >
n-pentana (3.97%) > diklorometana (2.36%). Kemampuan metanol dalam
mengekstrak jaringan tanaman disebabkan pelarut ini secara efektif dapat
melarutkan senyawa polar, seperti gula, asam amino, dan glikosida (Houghton &
Raman 1998), fenolik dengan berat molekul rendah dan tingkat kepolaran sedang
(Yu Lin et al. 2009), flavonoid aglikon (Dehkharghanian et al. 2010), antosianin,
terpenoid, saponin, tanin, santosilin, totarol, kuasinoid, lakton, flavon, fenon, dan
polifenol (Cowan 1999).
43
Fraksinasi ekstrak metanolik daun beluntas (EMB) dengan berbagai
pelarut yang berbeda kepolaran (etil asetat, n-butanol, dan air) menunjukkan
bahwa komponen penyusun EMB ada yang bersifat semipolar, polar, dan sangat
polar. Komponen yang bersifat sangat polar merupakan penyusun terbesar EMB,
yang ditunjukkan oleh kadar rendemen fraksi air (FA) lebih tinggi dibandingkan
fraksi lainnya.
Komponen sangat polar penyusun rendemen FA terdiri atas senyawa
glikosida, asam amino, dan gula (Houghton & Raman 1998) serta senyawa
aglikon (Liu et al. 2011; Dehkharghanian et al. 2010), vitamin C (Dalimarta 2003).
Rukmiasih (2011) melaporkan bahwa daun beluntas mengandung protein sebesar
17.78-19.02%, vitamin C sebesar 98.25 mg/100 g, dan -karoten sebesar 2.55
g/100 g. Dalimarta (2003) menginformasikan jenis asam amino penyusun daun
beluntas, meliputi leusin, isoleusin, triptofan, dan treonin.
Tabel 7. Kadar rendemen, total fenol, dan total flavonoid pada ekstrak metanolik
daun beluntas dan fraksinya
Sampel Rendemen (%) Total fenol
(mg GAE /100 g bk)
Total flavonoid
(mg CE /100 g bk)
EMB 15.22* 314.01c 16.14 118.38
c 0.20
FEA 30.48** 126.97b 1.61 58.69
b 1.10
FA 44.54** 42.58a 1.08 41.54
a 5.45
FNB 14.87** 55.63a 0.41 38.78
a 0.35
Keterangan : EMB = ekstrak metanolik daun beluntas, FEA = fraksi etil asetat, FA = fraksi air,
FNB = fraksi n-butanol, * = satuan % b/b daun beluntas bk, ** = satuan % b/b
ekstrak metanolik daun beluntas, a-c
= huruf superskrip pada kolom yang sama
menunjukkan perbedaan signifikan pada taraf 5%.
Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar komponen semipolar dan
polar dalam EMB lebih rendah dari komponen sangat polar. Hal ini ditunjukkan
oleh rendemen fraksi etil asetat (FEA) lebih rendah dari FA. Senyawa semipolar
yang dilaporkan dapat terekstrak oleh etil asetat, meliputi senyawa alkaloid,
aglikon, dan glikosida (Houghton & Raman 1998), sterol, terpenoid, dan
flavonoid (Cowan 1999). Senyawa yang bersifat polar merupakan komponen
penyusun EMB terendah yang dapat terekstrak oleh n-butanol (FNB), diduga
terdiri dari glikosida, aglikon, dan gula (Liu et al. 2011).
44
Senyawaan Fitokimia, Total Fenol, dan Total Flavonoid pada Ekstrak
Metanolik Daun Beluntas dan Fraksinya
Komponen aktif yang terekstrak oleh masing-masing pelarut yang berbeda
tingkat kepolaran selanjutnya dilakukan uji senyawaan fitokimia, total fenol, dan
total flavonoid. Hasil analisis kualitatif senyawaan fitokimia yang terdeteksi pada
daun beluntas 1-6 menunjukkan bahwa semua senyawaan fitokimia yang
teridentifikasi pada EMB ada pada FEA dan FNB, hanya pada FA tidak
ditemukan adanya grup senyawa sterol, yang ditunjukkan pada Tabel 8.
Perbedaan tingkat kepolaran air dan sterol diduga sebagai penyebab
fenomena tersebut. Grup senyawa sterol bersifat non polar (Nystrom et al. 2007)
dengan tingkat kepolaran mendekati pelarut heksana (Li et al. 2007) dan
konstanta dielektrik sebesar 1.88, sedangkan air bersifat sangat polar dengan
konstanta dielektrik sebesar 80 (Carey & Sundberg 2007). Houghton & Raman
(1998) menyatakan bahwa senyawa yang mempunyai polaritas sama akan saling
melarutkan (like dissolve like). Dehkharghanian et al. (2010) juga
menginformasikan bahwa perbedaan tingkat kepolaran pelarut menentukan
perbedaan jenis dan komposisi senyawaan fitokimia serta mempengaruhi aktivitas
antioksidannya.
Tabel 8. Senyawaan Fitokimia yang terdeteksi pada ekstrak metanolik daun
beluntas dan fraksinya
Sampel
Intensitas warna senyawaan fitokimia
Sterol Flavonoid Tanin Fenol hidrokuinon
EMB + + + +
FEA + + + +
FA - + + +
FNB + + + +
Keterangan : + = senyawa terdeteksi, - = senyawa tidak terdeteksi, EMB = ekstrak metanolik
daun beluntas, FEA = fraksi etil asetat, FNB = fraksi n-butanol, FA = fraksi air.
Hasil pengujian total fenol dengan pereaksi Folin Ciocalteu Fenol
diperoleh kadar TP yang diperoleh pada EMB sebesar 314.01 mg GAE/100 g
daun beluntas bk. Pengujian ini tidak spesifik untuk senyawa polifenol, tetapi
beberapa senyawa yang dapat teroksidasi oleh pereaksi Folin dapat terdeteksi.
Reaksi antara senyawa fenol dengan pereaksi Folin juga ditentukan oleh jumlah
dan posisi gugus hidroksi yang tersubstitusi pada cincin aromatis (Wong et al.
2006b). Kadar TP dari EMB dipengaruhi oleh komposisi senyawaan fitokimia
45
yang terekstrak yang berkontribusi pada reaksi redoks dengan pereaksi Folin.
Adanya gula, asam amino, vitamin C dan A dapat terlibat dalam reaksi redoks
dengan Folin sehingga mempengaruhi kadar TP terukur.
Metanol efektif mengekstrak senyawa fenolik dari daun beluntas
dibandingkan etanol. Hasil uji menunjukkan bahwa kadar TP ekstrak metanolik
daun beluntas segar sebesar 72.47 mg GAE/100 g daun beluntas bb, sedangkan
Widyawati (2004) menunjukkan bahwa ekstrak etanolik daun beluntas segar
sebesar 17,03 mg GAE/100 g daun beluntas bb.
Dugaan bahwa sebagian besar senyawa fenolik semipolar merupakan
penyusun ekstrak daun beluntas, didukung oleh Mariod et al. (2010) bahwa etil
asetat dapat mengekstrak senyawa fenolik dengan berat molekul rendah hingga
tinggi dengan tingkat kepolaran sedang, dalam bentuk aglikon maupun glikosida.
Anagnostopoulou et al. (2006) juga menyatakan bahwa fraksi etil asetat dari kulit
jeruk dapat mengekstrak senyawa fenolik dengan tingkat kepolaran sedang
(intermediate) dan fraksi ini mempunyai kadar TP tertinggi (105 mg GAE/100 g
sampel bk) dibandingkan fraksi n-butanol (42.7 mg GAE/100 g sampel bk), fraksi
dietil eter (17.2 mg GAE/100 g sampel bk), dan fraksi air (7.9 mg GAE/100 g
sampel bk).
Kemampuan Menangkap Radikal Bebas DPPH pada Ekstrak Metanolik
Daun Beluntas dan Fraksinya
Ekstrak metanolik daun beluntas (EMB) dan fraksinya diseleksi aktivitas
antioksidannya berdasarkan kemampuan menangkap radikal bebas DPPH. Pada
penelitian ini aktivitas antioksidan EMB dan fraksinya ditentukan dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan spektrometer stop flow UV-Vis serta
membandingkannya dengan antioksidan kontrol (ekstrak metanolik teh hijau
(EMT), ekstrak metanolik rosemari (EMR), dan BHT).
Kemampuan Menangkap Radikal Bebas DPPH dengan Spektrofotometer
UV-Vis
Pengujian aktivitas menangkap radikal DPPH oleh EMB dan fraksinya
dengan alat spektrofotometer UV-Vis hanya didasarkan pada konsentrasi ekstrak
atau fraksi yang digunakan untuk menghambat aktivitas DPPH sebesar 50%,
tanpa memperhitungkan kinetika reaksinya. Ukuran aktivitas antioksidan
46
ditunjukkan dengan nilai IC50 (konsentrasi penghambatan 50%), semakin rendah
nilai IC50 menunjukkan aktivitas antioksidannya semakin tinggi dan demikian
sebaliknya (Qian & Nihorimbere 2004).
EMB dan fraksinya menunjukkan kemampuan menangkap radikal bebas
DPPH dibandingkan antioksidan kontrol (Gambar 18 dan Tabel 9). FEA
mempunyai kemampuan menangkap radikal bebas DPPH lebih kuat dibandingkan
BHT, EMR, EMB, dan fraksi yang lain, walaupun aktivitasnya lebih rendah dari
EMT. Berdasarkan kemampuan penghambatan terhadap radikal DPPH,
penambahan EMT pada konsentrasi 3 ppm telah menunjukkan persentase
penghambatan mencapai maksimum, sedangkan pada FEA kondisi ini tercapai
pada penambahan konsentrasi sebesar 5 ppm. Kondisi maksimum penambahan
senyawa antioksidan yang lain baru tercapai pada penambahan konsentrasi > 7
ppm. Potensi FEA sebagai penangkap radikal bebas DPPH diduga karena
keefektifan senyawa fenolik yang bersifat semipolar dalam mendonorkan atom
hidrogen atau elektron pada radikal DPPH. Hasil yang diperoleh sejalan dengan
hasil yang diperoleh Singh et al. (2007). FEA berpotensi sebagai antioksidan
primer.
Gambar 18. Kemampuan menangkap radikal bebas DPPH dari senyawa
antioksidan (EMB = ekstrak metanolik daun beluntas, FEA = fraksi
etil asetat, FNB = fraksi n-butanol, FA = fraksi air, EMT = ekstrak
metanolik teh hijau, EMR = ekstrak metanolik rosemari, BHT =
butil hidroksi toluena).
-20
0
20
40
60
80
100
120
0 2 4 6 8 10
Konsentrasi Antioksidan (ppm)
Pen
gham
bat
an ter
had
ap D
PP
H (
%) c
c
EMB FEA BHT EMT EMR FA FNB
47
Tabel 9. Kemampuan penghambatan 50% (IC50) dari senyawa antioksidan uji
Senyawa antioksidan IC50 (mg/L)
EMB 4.3d ± 0.0
FEA 3.3b ± 0.0
FA 8.0f ± 0.0
FNB 3.7c ± 0.0
EMT 1.9a ± 0.1
EMR 3.9c ± 0.1
BHT 5.7e ± 0.3
Keterangan : EMB = ekstrak metanolik daun beluntas, FEA = fraksi etil
asetat, FNB = fraksi n-butanol, FA = fraksi air, EMT = ekstrak
metanolik teh hijau, EMR = ekstrak metanolik rosemari, BHT =
butil hidroksi toluena, a-c
= huruf superskrip menunjukkan
perbedaan signifikan pada taraf 5%.
FEA yang mempunyai kadar TP dan TF lebih rendah dari EMB ternyata
mempunyai kemampuan menangkap radikal DPPH lebih tinggi. Hal ini
dimungkinkan seperti yang dijelaskan oleh Huang et al. (2010) bahwa senyawa
antioksidan semipolar mempunyai aktivitas menangkap radikal DPPH lebih tinggi
dibandingkan senyawa antioksidan polar dan sangat polar. Selain itu Conforti et
al. (2009) menginformasikan bahwa tipe atau jenis senyawa fenolik yang
terkandung dalam ekstrak lebih menentukan aktivitas antioksidan dibandingkan
kadarnya. Perbedaan aktivitas antioksidan dari ekstrak tanaman disebabkan oleh
perbedaan kualitatif dan kuantitatif komposisi senyawa fenolik (asam fenolik,
flavonoid maupun turunannya). Aktivitas antioksidan asam fenolik dan
turunannya sangat tergantung pada jumlah dan posisi gugus hidroksil pada cincin
aromatis dalam molekul.
Kemampuan Menangkap Radikal Bebas DPPH dengan Spektrofotometer
Stop Flow UV-Vis
Cara kedua untuk menentukan potensi EMB dan fraksinya dalam
menangkap radikal DPPH dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer stop
flow UV-vis. Pada pengujian ini aktivitas antioksidan ditentukan oleh EC50
(konsentrasi efektif) dan waktu reaksi yang diperlukan untuk mencapai kondisi
steady state (kinetika reaksi) (TEC50). EC50 yaitu jumlah konsentrasi antioksidan
yang diperlukan untuk mereduksi konsentrasi DPPH awal (t=0) yang dinyatakan
dalam mg/g DPPH sebesar 50%. Parameter EC50 adalah pengukuran kuantitatif
secara langsung dari aktivitas antioksidan, semakin tinggi aktivitas antioksidan
48
(efektif) ditunjukkan dengan nilai EC50 rendah dan sebaliknya (Qian &
Nihorimbere 2004).
Gambar 19. Penurunan Absorbansi vs waktu dari DPPH˙ pada penambahan
antioksidan (EMB = ekstrak metanolik daun beluntas, FEA = fraksi
etil asetat, FNB = fraksi n-butanol, FA = fraksi air, EMT = ekstrak
metanolik teh hijau, EMR = ekstrak metanolik rosemari, BHT = butil
hidroksi toluena) pada konsentrasi 0.05 mg/mL (a) dan 0.10 mg/mL
(b).
Berdasarkan data pada Gambar 19, dilakukan perhitungan aktivitas
senyawa antioksidan uji terhadap persentase penghambatan yang ditunjukkan
pada Gambar 20. EMT dan FEA pada konsentrasi yang sama mempunyai
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20
Waktu (detik)
Ab
sorb
ansi
EMT FEA EMR BHT FA FNB EMB
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.50
0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20
Waktu (detik)
Ab
sorb
ansi
EMT FEA EMR BHT FA FNB EMB
b
a
49
kemampuan menangkap radikal DPPH (antiradikal) hampir sama dan relatif lebih
tinggi dibandingkan antioksidan lain, yang ditunjukkan dengan persentase
penghambatannya lebih tinggi. EMT dan FEA pada konsentrasi 200 mg/L
aktivitas penghambatannya lebih tinggi dari 50%, sedangkan antioksidan yang
lain lebih rendah dari 50%. Hasil ini seiring dengan pengujian kemampuan EMT
dan FEA menangkap radikal DPPH dengan spektrofotometer UV-Vis bahwa
kedua bahan tersebut lebih efektif mendonorkan atom hidrogen/elektron terhadap
radikal DPPH (Qian & Nihorimbere 2004; Singh et al. 2007). Gambar 20 juga
menanjukkan bahwa kemampuan menangkap radikal DPPH EMB dan fraksinya
secara berturutan sebagai berikut : FEA> FA ~ EMB > FNB.
Penurunan absorbansi radikal DPPH karena penambahan berbagai
antioksidan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi dan lama reaksi yang ditunjukkan
pada Gambar 19. Data menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi senyawa
antioksidan yang ditambahkan kemampuan menurunkan absorbansi warna ungu
yang dimiliki oleh radikal DPPH semakin tinggi dan waktu yang diperlukan untuk
bereaksi dengan radikal DPPH semakin pendek yang ditandai dengan waktu
mencapai kondisi steady state semakin singkat.
Gambar 20. Kemampuan menangkap radikal bebas DPPH dari senyawa
antioksidan (EMB = ekstrak metanolik daun beluntas, FEA = fraksi
etil asetat, FNB = fraksi n-butanol, FA = fraksi air, EMT = ekstrak
metanolik teh hijau, EMR = ekstrak metanolik rosemari, BHT =
butil hidroksi toluena) pada waktu reaksi 1 detik.
0
10
20
30
40
50
60
70
0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25
Konsentrasi (mg/ml)
Pen
gham
bat
an ter
had
ap D
PP
H (
%)
c
EMT EMR EMB FEA FA FNB BHT
50
EMR
0
20
40
60
80
100
120
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Waktu (detik)
Ko
nse
ntr
asi D
PP
H
(%)
50 ppm 100 ppm 150 ppm 200 ppm
FEA
0
20
40
60
80
100
120
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Waktu (detik)
Ko
nse
ntr
asi D
PP
H
(%)
50 ppm 100 ppm 150 ppm 200 ppm
BHT
0
20
40
60
80
100
120
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Waktu (detik)
Kon
sentr
asi D
PP
H
(%)
50 ppm 100 ppm 150 ppm 200 ppm
FNB
0
20
40
60
80
100
120
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Waktu (detik)
Ko
nse
ntr
asi D
PP
H
(%)
50 ppm 100 ppm 150 ppm 200 ppm
EMT
0
20
40
60
80
100
120
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Waktu (detik)
Ko
nse
ntr
asi
DP
PH
(%)
50 ppm 100 ppm 150 ppm 200 ppm
FA
0
20
40
60
80
100
120
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Waktu (detik)
Ko
nse
ntr
asi D
PP
H
(%)
50 ppm 100 ppm 150 ppm 200 ppm
EMB
0
20
40
60
80
100
120
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
Waktu (detik)
Ko
nse
ntr
asi
DP
PH
(%)
50 ppm 100 ppm 150 ppm 200 ppm
Gambar 21. Penurunan konsentrasi radikal bebas DPPH pada penambahan senyawa
antioksidan (EMB = ekstrak metanolik daun beluntas, FEA = fraksi etil
asetat, FNB = fraksi n-butanol, FA = fraksi air, EMT = ekstrak
metanolik teh hijau, EMR = ekstrak metanolik rosemari, BHT = butil
hidroksi toluena) pada waktu reaksi 1 detik.
51
Gambar 22. Fraksi konsentrasi DPPH dalam larutan pada kondisi steady state vs
konsentrasi antioksidan (mg antioksidan / g DPPH˙) (EMB =
ekstrak metanolik daun beluntas, FEA = fraksi etil asetat, FNB =
fraksi n-butanol, FA = fraksi air, EMT = ekstrak metanolik teh hijau,
EMR = ekstrak metanolik rosemari, BHT = butil hidroksi toluena).
Penurunan absorbansi larutan DPPH tergantung pada kecepatan reaksi
antara DPPH dengan senyawa antioksidan (Yang et al. 2007). Kecepatan reaksi
sangat ditentukan oleh konsentrasi, semakin tinggi konsentrasi maka waktu yang
diperlukan semakin singkat dan waktu steady state semakin cepat tercapai.
Gambar 21 menunjukkan penurunan konsentrasi DPPH vs waktu reaksi dari
berbagai sampel uji. Konsentrasi DPPH (%) dihitung dengan persamaan : persen
(%) [DPPH˙] = ([DPPH˙]t / [DPPH˙]t=0) x 100%, dimana [DPPH˙]t adalah
konsentrasi DPPH pada t=t dan [DPPH˙]t=0 adalah konsentrasi DPPH pada t = 0.
[DPPH˙]t ditentukan berdasarkan persamaan berikut : A517 nm = 10.11 [DPPH˙]t −
0.011. Fraksi konsentrasi DPPH (x) pada kondisi steady state ditentukan dengan
persamaan x = %[DPPH˙]t / %[DPPH˙]t=0 pada kondisi steady state. Dengan
memplot fraksi konsentrasi DPPH (x) pada kondisi steady state vs konsentrasi
sampel (mg antioxidant/g DPPH˙) (Gambar 22), dapat ditentukan nilai EC50 untuk
setiap sampel melalui perhitungan regresi liniernya (Tabel 10). Berdasarkan data
EC50, kemampuan menangkap radikal DPPH secara berturutan adalah sebagai
berikut : FEA > EMT > EMR > FA > EMB > FNB > BHT.
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000
Konsentrasi Antioksidan (mg/g DPPH)
Fra
ksi
Ko
nse
ntr
asi D
PP
H p
ada
Ko
ndis
i cccc
Ste
ad
y S
tate
EMB FNB FA BHT EMR FEA EMT
52
Qian & Nihorimbere (2004) mengatakan bahwa potensi senyawa
antioksidan menangkap radikal bebas DPPH (antiradikal) ditentukan oleh
rendahnya nilai EC50, waktu reaksinya lebih singkat dan efisiensi antiradikalnya
paling tinggi (AE). Berdasarkan parameter EC50, hasil menunjukkan bahwa BHT
mempunyai aktivitas antiradikal paling rendah diantara sampel uji. Parameter
efisiensi antiradikal (AE) lebih dapat menentukan potensi antioksidan
dibandingkan nilai EC50 (Sanchez-Moreno et al. 1997). Dengan pertimbangan
bahwa selain EC50, waktu yang dibutuhkan untuk bereaksi hingga mencapai
kondisi steady state dari konsentrasi EC50 (TEC50), berpengaruh pada kapasitas
antiradikal, dimana AE=1/(EC50 x TEC50).
Aktivitas antiradikal sampel uji berdasarkan AE secara berturutan sebagai
berikut : BHT> EMT> FEA> EMR> EMB> FNB> FA. Pada perhitungan ini,
BHT mempunyai aktivitas antioksidan paling tinggi dari ekstrak metanolik dan
fraksi-fraksi, sesuai pendapat Huang et al. (2010) bahwa BHT adalah antioksidan
sintetik yang efektif menangkap radikal bebas, sehingga dapat memutus rantai
oksidasi akibat radikal bebas. Paramater AE lebih efektif menyeleksi antioksidan
dibandingkan EC50.
Tabel 10. Kemampuan penghambatan (EC50) dan efisien antiradikal (AE) dari
senyawa antioksidan uji
Senyawa
antioksidan
EC50
(mg/g
DPPH)
Interval waktu mencapai steady
state untuk berbagai
konsentrasi antioksidan (detik) TEC50 (detik) AE
EMT 3888.89 0.06-0.22 0.11 0.00225
FEA 3780.00 0.19-0.28 0.23 0.00115
EMR 6966.67 0.28-0.42 0.26 0.00055
BHT 10200.00 0.09-0.19 0.02 0.00467
FA 7560.00 0.30-0.39 0.27 0.00048
FNB 10000.00 0.31-0.45 0.20 0.00051
EMB 7760.00 0.11-0.22 0.25 0.00052
Keterangan : EMT = ekstrak metanolik teh hijau, FEA = fraksi etil asetat, EMT = ekstrak
metanolik rosemari, BHT = butil hidroksi toluena, FA = fraksi air, FNB = fraksi n-
butanol, EMB = ekstrak metanolik daun beluntas.
Berdasarkan IC50 maupun AE menunjukkan bahwa FEA lebih berpotensi
menangkap radikal DPPH dibandingkan EMB dan fraksi lainnya. Oleh karena itu
FEA dipilih untuk pengujian berikutnya.
53
Simpulan
Senyawaan fitokimia yang terkandung dalam daun beluntas adalah tanin,
flavonoid, sterol, dan fenol hidrokuinon. Senyawaan fitokimia, terutama fenolik
lebih terkonsentrasi pada daun yang lebih muda, secara berturutan kadar total
fenol dan total flavonoid kelompok daun 1-3 > kelompok daun 4-6 > kelompok
daun > 6.
Kemampuan menangkap radikal bebas DPPH kelompok daun 1-3 tidak
berbeda nyata dibandingkan kelompok daun 4-6 dan lebih tinggi dari kelompok
daun > 6. Daun beluntas 1-6 berpotensi sebagai sumber antioksidan.
Ekstrak metanolik daun beluntas dan fraksinya sangat dipengaruhi oleh
tingkat kepolaran pelarut. Ekstrak metanolik daun beluntas, fraksi etil asetat,
fraksi air, dan fraksi n-butanol mengandung grup senyawa tanin, flavonoid, dan
fenol hidrokuinon. Grup senyawa sterol tidak ditemukan pada fraksi air. Senyawa
fenolik penyusun ekstrak metanolik daun beluntas umumnya bersifat semipolar.
Fraksi etil asetat lebih berpotensi sebagai penangkap radikal DPPH
dibandingkan ekstrak metanolik daun beluntas dan fraksi lainnya, dengan nilai
IC50 (konsentrasi penghambatan 50%), dan AE (efisiensi antiradikal) masing-
masing sebesar 3.3 mg/L dan 0.00115.
Daftar Pustaka
Anagnostopoulou MA et al. 2006. Radical scavenging activity of various extracts
and fractions of sweet orange peel (Citrus sinensis). Food Chemistry 94 : 19–25.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1990. Official methods of
analysis of association of official analytical chemists. Edition ke-15. USA :
Kenneth Helrich.
Ardiansyah, Nuraida L, Andarwulan N. 2003. Aktivitas antimikroba daun
beluntas (Pluchea indica Less) dan stabilitas aktivitasnya pada berbagai
konsentrasi garam dan tingkat pH. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 14(2) :
90-97.
Carey F, Sundberg RJ. 2007. Advanced Organic Chemistry Part A: Structure and
Mechanisms. Fifth edition. New York : Springer Science+Business Media, LLC
Chan EWC, Lim YY, Omar M. 2007a. Antioxidant and antibacterial activity of
leaves of Etlingera species (Zingiberaceae) in Peninsular Malaysia. Food
Chemistry 104 : 1586-1593.
54
Chan EWC, Lim YY, Omar M. 2007b. Antioxidant activity of leaves of Camelia
sinensis leaves and tea from a lowland plantation in Malaysia. Food Chemistry
102 : 1214-1222.
Chludil HD, Corbino GB, Leicarh SR. 2008. Soil quality effects on Chenopodium
album flavonoid content and antioxidant potential. Journal of Agricultural and
Food Chemistry. 56 : 5050–5056.
Chyau CC, Tsai SY, Ko PT, Mau JL. 2002. Antioxidant properties of solvent
extracts from Terminalia catappa Leaves. Food Chemistry 78 : 483-488.
Conforti F et al. 2009. The protective ability of Mediterranean dietary plants
against the oxidative damage : The role of radical oxygen species in inflammation
and the polyphenol, flavonoid and sterol content. Food Chemistry 112 : 587-594.
Cowan MM. 1999. Plant product as antimicrobial agents. Journal of Microbiology
Reviews 12(4) : 564-582.
Brand-Williams W, Cuvelier M E, Berset C. 1995. Use of a free radical method
to evaluate antioxidant activity, Lebensmittel-Wissenschaft und-Technologie 28 :
25–30.
Dalimarta S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jakarta : Trubus Agriwidya.
Dehkharghanian M, Adenier H, Vijayalakshmi MA. 2010. Analytical methods
study of flavonoids in aqueous spinach extract using positive electrospray
ionisation tandem quadrupole mass spectrometry. Food Chemistry 121 : 863–870.
Dorman HJD, Hiltunen R. 2004. Fe(III) reductive and free radical-scavenging
properties of summer savory (Satureja hortensis l.) extract and subfractions. Food
Chemistry 88 : 193–199.
Fu M et al. 2009.Antioxidant properties and involved compounds of daylily
flowers in relation to maturity. Food Chemistry 114 : 1192–1197.
Hagerman AE et al. 1998. High molecular weight plant polyphenolics (tannins) as
biological antioxidants. Journal of Agricultural and Food Chemistry 46 : 1887-
1892.
Harbone JB. 1996. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah,
Bandung : Institut Teknologi Bandung.
Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of
Natural Extracts. New York : Chapman & Hall.
Huang B et al. 2010. Antioxidant activity of bovine and porcine meat treated with
extracts from edible lotus (Nelumbo nucifera) rhizome knot and leaf. Meat
Science 87(1) : 46–53.
55
Kubola J, Siriamornpun S. 2008. Phenolic contents and antioxidant activities of
bitter gourd (Momordica charantia L.) leaf, steam, and fruit fraction extracts in
vitro. Food Chemistry 110 : 881-890.
Li C et al. 2007. Flavonoid composition and antioxidant activity of tree peony
(Paeonia section moutan) yellow flowers. Journal of Agricultural and Food
Chemistry 57 : 8496–8503.
Liu J et al. 2011. The antioxidant and free-radical scavenging activities of extract
and fractions from corn silk (Zea mays L.) and related flavone glycosides. Food
Chemistry 126 : 261–269.
Ljubuncic P et al. 2005. Antioxidant activity and cytotoxicity of eight plants used
in traditional Arab medicine in Israel, Journal of Ethnopharmacology 99 : 43–47.
Mariod AA, Ibrahim RM, Ismail M, Ismail N. 2010. Antioxidant activities of
phenolic rich fractions (PRFs) obtained from black mahlab (Monechma ciliatum)
and white mahlab (Prunus mahaleb) seedcakes. Food Chemistry 118 : 120–127.
Navarro JM, Flores P, Garrido C, Martinez V. 2006. Changes in the contents of
antioxidant compounds in pepper fruits at different ripening stages, as affected by
salinity. Food Chemistry 96 : 66–73.
Nystrom L et al. 2007. A comparison of the antioxidant properties of steryl
ferulates with tocopherol at high temperatures. Food Chemistry 101 : 947–954.
Pokorny J, Yanishlieva N, Gordon M. 2001. Antioxidants in Food Practical
Applications. New York : Woodhead Publishing Limited.
Qian H, Nihorimbere V. 2004. Antioxidant power of phytochemicals from
Psidium guajava leaf, Journal Zhejiang University SCI 5(6) : 676-683.
Rukmiasih. 2011. Penurunan bau amis (off-odor) daging itik lokal dengan
pemberian daun beluntas (Pluchea indica Less) dalam pakan dan dampaknya
terhadap performa [disertasi] Bogor : Program Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Sanchez-Moreno C, Larrauri JA, Saura-Calixto F. 1997. A procedure to measure
the antiradical efficiency of polyphenols. Journal of Agricultural and Food
Chemistry 76 : 270-276.
Sahreen S, Khan MR, Khan RA. 2010. Evaluation of antioxidant activities of
various solvent extracts of Carissa opaca fruits. Food Chemistry 122 : 1205–1211.
Singh R, Singh S, Kumar S, Arora S. 2007. Studies on antioxidant potential of
methanol extract/fractions of Acacia auriculiformis A. Cunn. Food Chemistry
103 : 505-511.
56
Tachakittirungrod S, Okonogi S, Chowwanapoonpohn S. 2007. Study on
antioxidant activity of certain plants in Thailand : Mechanism of antioxidant
action of guava leaf extract. Food Chemistry. 103 : 381-388.
Traithip A. 2005. Phytochemistry and antioxidant activity of Pluchea indica.
[thesis] Thailand : Mahidol University.
Widyawati PS. 2004. Aktivitas antioksidan tanaman herba kemangi (Ocimum
Basicillum Linn) dan beluntas (Pluchea Indica Less) dalam sistem model asam
linoleat- -karoten [Laporan Penelitian Wima Grant] Surabaya : Unika Widya
Mandala Surabaya.
Wong LF. 2006a. Antioxidant and antimicrobial activities of Alpinia species
[thesis] Malaysia : Monash University Malaysia.
Wong SP, Leong LP, Koh JHW. 2006b. Antioxidant activities of aqueous extracts
of selected plants. Food Chemistry 99 : 775–783.
Yang D et al. 2007. Antioxidant activities of various extracts of lotus (Nelumbo
nuficera Gaertn) rhizome, Asia Pacific Journal Clinic Nutrition 16(Suppl 1) :
158-163.
Yao L et al. 2004. HPLC analysis of flavonols and phenolic acids in the fresh
young shoot of tea (Camellia sinensis) grown in Australia. Food Chemistry 84 :
253-263.
Yen GC, Wu SC, Duh PD. 1996. Extraction and identification of antioxidant
components from the leaves of mulberry (Morus alba L.). Journal of Agricultural
and Food Chemistry 44 : 1687-1690.
Yu Lin H, Kuo YH, Lin YL, Chiang W. 2009. Antioxidative effect and active
component from leaves of lotus (Nelumbo nucifera). Journal of Agricultural and
Food Chemistry 57 : 6623-6629.