BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam
-
Upload
muhammad-harir -
Category
Documents
-
view
1.163 -
download
9
description
Transcript of BAB III Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam
42
BAB III
PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN
MENURUT PAULO FREIRE
A. Konsep Pendidikan Paulo Freire
Konsep pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lebih menonjolkan
kemasalahan sosial. Sebagai realitas sosial, ilmu pengetahuan bukan barang
yang hanya dimiliki oleh segelintir orang, tetapi kemampuan atau
keterampilan untuk melihat dan mengerti kenyataan melalui bahasa yang
tepat. Pada tahap ini, secara tidak langsung, teori Freire membongkar
positifisme ilmu pengetahuan Barat yang mengasumsikan bahwa pengetahuan
adalah suatu yang positif, tetap dan pasti. Freire juga mengakui bahwa
pendidikan juga merupakan momen kesadaran kritis manusia terhadap
berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.56
Paulo Freire telah menempatkan manusia dalam berbagai perannya sebagai
subyek aktif. Baginya, pendidikan merupakan sebuah proyek percobaan dan
agen untuk melakukan perubahan guna membentuk masyarakat baru.
Menjadikan pendidikan sebagai proyek percoban, berarti kita berbicara
tentang sistem politik kebudayaan (cultural politics) yang menyeluruh dan
melampaui batas - batas teoritis dari doktrin politik tertentu, serta berbicara
tentang keterkaitan antara teori, kenyataan sosial dan makna emansipasi yang
sebenarnya. Sejatinya, politik kebudayaan telah mewakili wacana politik yang
56 Akhmad Muhaimim Azzet, op. cit., hlm. 14
42
43
mula-mula tujuannya untuk melawan semua bentuk dominasi baik yang
bersifat subyektif maupun objektif, serta perjuangan untuk menciptakan
pengetahuan, keterampilan dan bentuk–bentuk hubungan sosial yang
menjamin adanya emansipasi sosial dan tentu juga emansipasi individu.
Untuk melakukan perubahan pendidikan yang merupakan wadah dan “surat
perjanjian khusus” dengan masyarakat yang memegang dominasi untuk
menentukan kehidupan sosial di masa yang akan datang. Bagi Freire,
pendidikan juga memuat konsep sekolah. Sekolah yang berarti hanyalah salah
satu bagian yang memang cukup pentig di mana pendidikan mengambil
tempat. Yakni di mana laki-laki dan perempuan menciptakan, sekaligus
menjadi hasil, hubungan-hubungan sosial dan pedagogis.57
Realitas merupakan medium pembelajaran kritis bagi manusia. Dalam
realitas tersebut seluruh potensi manusia berproses sampai membentuk suatu
kondisi kepribadian tertentu. Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari konteks
sosial yang lebih luas di mana ia berada. Bahkan, disadari atau tidak,
sebenarnya pendidikan merupakan ajang pertarungan antara pelbagai ideologi
yang membentuk sosial. Setiap bentuk praktik pendidikan secara politis adalah
ruang yang diperebutkan. Jika demikian halnya, pendidikan tidak bisa
dipisahkan dari pertarungan antar kepentingan. Pendidikan harus mengambil
peranan dalam memproduksi dan menciptakan kehidupan umum, bukan hanya
sekedar beradaptasi dengan realitas sosial belaka. Dalam realitas sosial yang
57 Paulo Freire, Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan), op. cit., hlm. 6
44
sangat kompleks, telah didapati bermacam-macam masalah sosial mulai dari
kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, dan sebagainya.58
Konsep pendidikan yang dihadapkan pada realitas sosial bukan berarti
mencetak pesera didik menjadi robot atau mesin-mesin industri yang siap
bekerja demi kepentingan “kapitalisme global”. Bila demikian yang terjadi,
pendidikan justru akan menggerus nilai-nilai kemanusiaan yang semestinya
harus di merdekakan. Namun, pendidikan yang dihadapkan realitas sosial
adalah pendidikan yang membangun kesadaran kritis peserta didik dalam
menghadapi realitas sosial. Kesadaran kritis ini penting agar peserta didik
bisa menilai secara jernih sekaligus bisa bersikap untuk bisa menyelesaikan
masalah yang sedang dihadapinya.
B. Pendidikan Pembebasan Paulo Freire
1. Pengertian Pendidikan yang Mebebaskan
Pendidikan pembebasan menurut Pulo Freire merupakan proses bagi
seorang anak manusia untuk menemukan hal yang paling penting dalam
kehidupannya, yakni terbebas dari segala hal yang mengekang
kemanusiaannya menuju kehidupan yang penuh dengan kebebasan.59 Bila
merujuk pada pemikirannya Freire, pendidikan yang mebebaskan adalah
pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis yang mendorong
kemampuan peserta didik untuk memiliki kedalaman menafsirkan
58 Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan ; Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa, cet. ke-1, Yogyakarta, Pinus, 2008, hlm.82 59 Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit., hlm. 9
45
persoalan nyata dalam kehidupannya. Bila sudah demikian, pendidikan
yang membebaskan juga membangun kepercayaan pada diri pesera didik
untuk menyikapi keadaan yang terjadi. Oleh karena itu, proses pendidikan
dinilai lebih penting dari pada dengan hasilnya.
Pendidikan yang membebaskan merupakan upaya memperoleh
pengetahuan dan menjadi proses transformasi yang diuji dalam kehidupan
antara peserta didik mesti terjadi dalam hubungan timbal balik.
Sumbangan pemikiran menjadi salah satu model pedidikan pembebasan
yang dikembangkan Freire dalam masyarakat yang cenderung terbelakang
dan miskin. Sebuah kebebasan memiliki batasan-batasan tertentu,
kebebasan tanpa batas akan membentur hak-hak orang lain dan akhirnya
menimbulkan anarki dan mendistorsi makna pembebasan, terkait dengan
upaya proses pendidikan yang selalu mengedepankan “kebebasan” sebagai
ruh spirit dalam melakukan pemaknaan akan keberadaan manusia sebagai
manusia yang benar-benar manusiawi. Kebebasan bukanlah cita-cita yang
letaknya diluar manusia; bukan pula sepotong gagasan yang kemudian
menjadi mitos. Kebebasan lebih merupakan syarat yang tak bisa ditawar-
tawar lagi agar manusia dapat memulai perjuangan untuk menjadi manusia
utuh.60
60 Paulo Freire, Ivan Illich, et. all,. Menggugat Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, cet ke-7, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, hlm. 438
46
2. Tujuan Pendidikan yang Membebaskan
Hal yang paling mendasar dari pendidikan yang membebaskan adalah
pendidikan yang memanusiakan manusia. Freire berpendapat bahwa
pendidikan yang membebaskan memang harus dijadikan sebagai
pendidikan humanis dan libertarian (merdeka).61 Untuk itu maka
pendidikan harus menjadi jalan menuju pembebasan umat manusia, karena
tujuan tertinggi manusia adalah humanisasi. Sedangkan humnisasi dalam
pegertian Freire bukanlah pencarian kebebasan individu semata,
melainkan (karena tujuan humanisasi) sosial.
Pendidikan yang memanusiakan manusia yaitu pendidikan yang
berpusat kepada kepentingan peserta didik dan sesuai dengan
perkembangan dan potensi yang dimiliki oleh perserta didik agar tumbuh
dan berkembang menjadi manusia yang merdeka. Karena hanya manusia
merdekalah yang bisa merasakan kebahagiaan dalam hidup. Inilah hal
mendasar dalam pendidikan yang membebaskan.62 Pendidikan yang
humanis akan mereduksi dehumanisasi, dengan demikian dalam
praktiknya akan bisa menghargai hubungan dialektis antara kesadaran
manusia dan dunia, atau antara manusia dan dunianya.
Pada dasarnya salah satu perbedaan utama antara pendidikan sebagai
sebuah kewajiban humanis dan pembebasan, disatu sisi dengan dominasi
dan dehumanisasi, di sisi yang lain adalah bahwa dehumanisasi merupakan
proses pemindahan ilmu pengetahuan, sedangkan humanisasi merupakan
61 Ibid., h. 446 62 Akhmad Muhaimin Azzet, op. cit., hlm. 22
47
proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Memang
keduanya saling berlawanan, yang otomatis juga menciptakan prosedur
yang juga berlainan, yang berkisar pada hubungan antara kesadaran
manusia dan dunia.
Dalam hubungannya dengan kesadaran manusia dan dunia, pendidikan
yang dilihat sebagai bentuk dominasi menganggap kesadaran manusia
semata-mata merupakan wadah kosong yang harus diisi ilmu pengetahuan,
bila wadah itu sudah penuh, maka berhasillah pendidikan itu. Sedangkan
pendidikan sebagai sebuah proses pembebasan dan humanisasi
memandang kesadaran itu sebagai sebuah hasrat terhadap dunia.
Bila demikian peserta didik akan selalu menjadi objek, sedangkan
pendidik menjadi subjek. Perserta didik tidak pernah ditanya apa yang
dibutuhkan dan disenanginya, namun pendidikan terus memberikan apa
saja yang dinilainya penting dibutuhkan oleh peserta didik. Peserta didik
mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima dan menjalani
proses pendidikan yang diberikan oleh sang pendidik atau lembaga
pendidikan yang diikutinya.
Dengan demikian dapatlah disebutkan bahwa pendidikan dalam
pandangan Freire tidak lebih dari sekedar jalan dalam rangka
membebaskan manusia dari dominasi sang penindas. Pendidikan berusaha
semaksimal mungkin untuk menyentuh penyadaran conscientizacao
sehingga manusia menyadari akan keharusannya mencapai tingkat
48
kebebasan sosial untuk kepentingan kemanusiaan melalui aktivitas yang
revolusioner.
Dengan istilah lain intisari dari pendidikan yang membebaskan adalah
pemanusiaan manusia seutuhnya, dan ini sangat punya keterkaitan dengan
upaya pendidikan pembebasan dan menempatkan manusia sebagai nilai
yang tertinggi (humanisasi). Pendidikan yang membebaskan merupakan
laku-laku pemahaman (acts of cognition), bukannya pengalihan
pengetahuan atau informasi belaka.63 Didalamnya tidak ada hubungan
kontradiktif antara pendidik disatu sisi dan peserta didik disisi lain.
Melainkan mencerminkan hubungan yang dialogis, egaliter dan
demokratis, disamping pendidikan dan pembebasan selalu berupaya
menyingkap akan realitas secara terus menerus dengan melibatkan
kesadaran kritis.
Demikianlah, pendidikan semestinya membangun kesadaran peserta
didik untuk berani bersiap kritis terhadap status quo. Hal ini bukan berarti
membangun kesadaran peserta didik agar selalu berfikir untuk
memberontak terhadap status quo. Sama sekali bukan, akan tetapi
kesadaran untuk berani bersikap dan kritis terhadap status quo ini sangat
penting agar jangan sampai manusia yang satu ditindas oleh manusia
lainnya. Jangan sampai kelompok yang satu mengebiri kemerdekaan
kelompok lainnya. Sudah barang tentu, pendidikan tidak boleh
membiarkan penindasan terjadi, apalagi mendukung keberadaannya.
63 Paulo Freire, Pendidikan kaum Tertindas, op. cit., hlm. 61
49
Disinilah pentingnya membangun kesadaran peserta didik untuk berani
bersikap dan kritis terhadap status quo itu. Sebab pendidikan berkewajiban
membawa kehidupan manusia untuk senantiasa sejalan dengan hakikat
kemanusiaannya.64
3. Komponen Pendidikan yang Membebaskan
a. Guru / pendidik
Tugas para pendidik progresif revolusioner, menurut Freire,
membuka kesempatan dan menumbuhkan harapan kepada peserta
didik. Disamping itu juga bisa mencarikan cara yang tepat bagi peserta
didik untuk belajar, dan bantuan yang paling tepat dan bisa ditawarkan
kepada peserta didik, sehingga mereka dapat memerankan diri sebagai
subjek belajar selama mengikuti pendidikan untuk memberantas buta
huruf. Pendidikan minimal memuat empat hal yaitu guru, siswa, isi
(kurikulum) dan cara penyampaian isi (metode). Dalam pengertian ini,
cukup jelas bahwa Freire membatasi pendidikan dalam pengertian
pengajaran. Dari empat hal pokok itu dapat dilihat apakah suatu sistem
pendidikan itu demokratis atau otoriter memberdayakan atau
membelenggu peserta didik.
Sebagai sebuah proses, pendidikan adalah proses mencari
pengalaman. Seperti juga berlaku bagi simbol lain di atas, memperoleh
pengalaman hal yang utama. Peserta didik bukan makhluk yang
64 Paulo Freire, Ivan Illich, et. all,. Menggugat Pendidikan,op. cit., hlm. 457
50
termarjinalkan, mereka seharusnya memiliki kesempatan seluas-
luasnya untuk mengaktualisasikan dirinya dan pengalaman. Di sini
tugas pendidik bukan menggunakan alat dan cara tersebut untuk
menemukan objek pengetahuan dan kemudian menawarkan secara
paternalistik kepada peserta didik, karena ini berarti mengingkari usaha
peserta didik untuk memperoleh pengetahuan.65
Sehubungan dengan pendidikan dipandang sebagai nila-cara, maka
pendidikan harus menjadi aksi atau tindakan kultural untuk
pembebasan dan revolusi kultural.66 Nilai dan cara pertama yang harus
diusahakan oleh pendidik adalah praksis peningkatan kesadaran bahwa
pendidikan merupakan proses. Maka tidak salah lagi jika Freire
memandang pendidikan sebagai alat paling penting untuk mencapai
perubahan-perubahan sosial.67
Karenanya dalam proses pembelajaran pola penyadaran haruslah
ditekankan dengan sebaik mungkin. Sebagai contoh dalam pendidikan
yang membebaskan dari Tomoe Gakuen dalam novel yang berjudul
Totto Chan ; The Little Girl at The Windows (Totto Chan ; Gadis Cilik
di Jendela), yang mana dalam novel tersebut ditulis atas kisah nyata
seorang gadis cilik (Totto Chan) yang saat itu bersekolah di Tomoe
Gakuen. Sekolahan tersebut telah berhasil mendidik murid-muridnya
65 Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Proses, op. cit., hlm. 11 66 Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, cet. ke-3, Yogyakarta, Pustaka pelajar, 2011, hlm. xvi 67 Ibid., h. 128
51
dengan cara dan model pendidikan yang membebaskan. Di samping itu
novel tersebut juga mengenang Sosaku Kuboyasi (seorang pria yang
mendirikan dan mengelola sekolah Tomoe Gakuen).
Pelaksanaan pendidikan yang membebaskan di sekolahan tersebut
bisa dilihat ketika diawal jam pelajaran pertama, sang pendidik mulai
membuat daftar semua soal dan pertanyaan mengenai hal - hal yang
akan diajarkan. Kemudian guru berkata, “Sekarang, mulailah dengan
salah satu dari ini. Pilih yang kalian suka”. Dengan demikian, di
sekolah Tomoe, tidak akan menjadi masalah jika seorang murid
memulai dengan belajar bahasa, berhitung, menggambar atau yang
lain. Murid yang suka bahasa langsung membaca atau bahkan menulis
karangan sedangkan murid yang suka menghitung langsung memulai
pelajaran dari hari itu dengan menghitung. Metode belajar mengajar
yang seperti itu membuat para pendidik akan bisa sangat mengerti dan
sejalan dengan waktu ketika peserta didik melanjutkan ke jenjang kelas
yang lebih tinggi. Bidang apa yang diminati peserta didik, termasuk
cara berfikir dan karakter mereka. Sungguh, hal ini adalah cara yang
sangat ideal bagi para pendidik untuk benar - benar menganal para
peserta didik mereka dengan baik.
Dengan demikian, belajar di sekolah itu adalah hal yang bebas dan
mandiri. Peserta didik bebas untuk bertanya kepada gurunya kapan
saja yang dirasa mereka perlu. Pendidik akan senang hati mendatangi
peserta didik jika diminta dan menjelaskan setiap hal sampai peserta
52
didik itu benar-benar mengerti. Kemudian setelah itu baru diberi
latihan-latihan untuk dikerjakan sendiri dengan mata pelajaran yang
dipilihnya. Jika memperhatikan cara dan metode proses belajar
mengajar di sekolah Tomoe sebagaimana tersebut, berarti tidak ada
peserta didik yang hanya duduk menganggur dengan sikap tak peduli
kepada sang pendidik yang sedang menjelaskan pelajaran. Dengan
demikian, peserta didik seperti itulah bisa benar-benar secara aktif
dalam mengikuti pembelajaran. Jika seperti itu, maka peran seorang
pendidik tugasnya hanya mendampingi dan membimbing peserta didik
untuk belajar. Karena, kemerdekaan peserta didik dalam belajar adalah
hal yang sangat perlu diperhatikan dalam proses belajar mengajar.68
Peran pendidik seperti yang disebut di atas juga pernah dialami
Freire ketika berdiskusi langsung dengan para petani dan pekerja urban
di Amerika Latin. Posisi Freire pada waktu itu sebagai pengajar yang
lebih menekankan kepada pembimbingan atau pengarahan dan
bertugas menolong mereka untuk mempersoalkan kenyataan sosial
mereka dengan beberapa pertanyaan yang disodorkan dan prinsip
pertanyaan itu pun tidak termasuk menggurui. Usaha seperti itu akan
akan sangat membantu pendidik dan peserta didik untuk untuk
menyelesaikan realitas yang menyatu dan untuk mendapatkan
pemahaman tentang keseluruhan ilmu pengetahuan.69
68 Tetsuko Kuroyanagi, Totto Chan; Gadis Cilik di Jendela, cet. ke-9, terj. Widya Kirana, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 38 69 Paulo Freire, Politik Pendidikan, op. cit., hlm. 61
53
b. Peserta didik
Pendidikan yang membebaskan adalah sebuah model pendidikan
yang peserta didik bisa berperan aktif dalam proses belajar yang
sedang berlangsung. Seorang guru / pendidik yang lebih berperan aktif
dalam proses belajar mengajar dinilai tidak membuat pesrta didik
kurang bisa berkembang dengan baik dalam menjalani proses
pendidikan. Bila demikian yang terjadi, maka proses pembelajaran di
kelas hanya berjalan satu arah, yakni dari guru kepada peserta didik.
Model pendidikan seperti ini biasa disebut sebagai pendidikan yang
monologal. Pendidikan model seperti inilah yang dahulu dikritik Freire
sebagai model pendidikan yang tidak manusiawi. Artinya, pendidikan
semacam ini tidak semakin memanusiakan manusia (dehumanisasi)
terhadap peserta didik. Hal ini karena peserta didik berperan secara
pasif dalam pendidikan sehingga tidak bisa mengembangkan potensi
yang ada pada dirinya secara maksimal.
Dalam kritik Freire dikala itu, pendidikan di Brazil (dan mungkin
masih terjadi sampai kini di berbagai banyak negeri, termasuk di
Indonesia) telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan untuk
membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya
bahwa ia telah menderita dan tertindas. Sehingga Freire menyatakan
dalam bukunya Pedagogy Of The Oppressed bahwa :
Education thus becomes an act of depositing, in which the students are the depositories and the teacher is the depositor. Instead of communicating, the teacher issues communiques and makes deposits which the students patiently receive, memorize, and
54
repeat. This is the “banking” concept of education, in which the scope of action allowed to the students extends only as far as receiving, filing, and storing the deposits.70
Konsep pendidikan “gaya bank” adalah model pembelajaran dalam
pendidikan yang hanya satu arah (monologis). Asumsinya bahwa ilmu
pengetahuan adalah sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka
(baca; guru) yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka
(baca; peserta didik) yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-
apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain. Hal itu
menunjukkan sebuah ciri dari ideologi penindasan, yang berarti
mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian jati
diri manusia seutuhnya.
Pendidikan yang membebaskan terletak pada usaha ke arah
rekonsiliasi. Pendidikan seperti itu harus dimulai dengan pemecahan
masalah kontradiksi guru dan peserta didik tersebut. Dengan
merujukkan katup-katup dalam kontradiksi itu, sehingga kedua-duanya
secara bersamaan adalah guru dan peserta didik. Freire membangun
ide-idenya dengan cara mempertimbangkan dua hal yang kontradiktif.
Pikiran dialektis ini dimulai dengan ide atau praktek (tesis) yang harus
ditolak, kemudian diusulkan antitesisnya, yaitu ide atau praktek yang
terbalik atau melawan tesis yang ditolak. Istilah terkenal dalam
pemikiran Freire adalah konsep pendidikan “gaya bank”. Namun
ketika proses pembelajaran dengan memposisikan guru dan peserta
70 Paulo Freire, Paedagogy Of The Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos, New York, Continuum, 2006, pg. 72
55
didik sebagai phatnership, yang terjadi kemudian adalah proses
pendidikan yang memanusiakan manusia (humanis).71
Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan
“gaya bank” itu sebagai berikut:
1) The teacher teaches and the student are tought (Guru mengajar,
peserta didik diajar).
2) The teacher knows everyting and the students know nothing (Guru
tahu segalanya, peserta didik tidak tahu apa-apa).
3) The teacher thinks and the students are thought about (Guru
berpikir, peserta didik dipikirkan).
4) The teacher talks and the student listen – meekly (Guru bicara,
peserta didik mendengarkan).
5) The teacher disciplines and the students are disciplined (Guru
menentukan peraturan, peserta didik diatur).
6) The teacher chooses and enfores his choose, and the students
comply (Guru memilih dan melaksanakan pilihannya, dan peserta
didik menyetujui).
7) The teacher act and students have the illusion of acting trough the
action of the teacher (Guru bertindak, peserta didik
membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan
gurunya).
71 Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan, op. cit, hlm. 76
56
8) Te teacher chooses the program content, and the student (who
were not consulted) adapt to it (Guru memilih bahan apa yang
akan diajarkan, peserta didik menyesuaikan diri dengan pelajaran
itu).
9) The teacher confuses the authority of knowledge with this or her
own professional authority, which she and he sets in opposition to
the freedom of the students (Guru mencampuradukkan kewenangan
ilmu pengetahuan dengan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan
untuk menghalangi kebebasan peserta didik).
10) The teacher is the subject of the learning process, while the pupils
are mere object (Guru adalah subejek proses belajar, sedangkan
peserta didik objeknya belaka.72
Tidak mengherankan jika pendidikan “gaya bank” memandang
manusia hanya sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah
benda dan gampang diatur. Pendidikan banking tersebut berarti ilmu
pengetahuan yang ditransfer dari pendidik kepada peserta didik.
Mungkin peserta didik menerima pengetahuan seperti itu sebagai
hadiah atau barang dibeli. Tetapi peserta didik mendominasikan yang
harus menerima apa saja yang dikasih oleh gurunya.
Pendidikan yang menonjolkan masalah sosial dimulai dengan
asumsi-asumsi egaliter dimana setiap orang termasuk yang buta huruf
72 Paulo Freire, Paedagogy Of The Oppressed, op. cit., pg. 73
57
berharga dan mempunyai pandangan, pendekatan dan ilmu
pengetahuan sendiri. Teori banking hanya melaksanakan pendidikan
dalam suatu arah dari atas ke bawah, tanpa kesadaran bahwa pendidik
juga terbatas dan mempunyai ideologi kepentingan-kepentingan
sendiri. Pendidikan banking melaksanakan pandangan, teori atau
penafsiran sang pendidik supaya peserta didik hanya bisa menerima,
menghafal dan takluk kepada pendidiknya. Tetapi pendidikan yang
menonjolkan sosial, harus menghargai jati diri setiap orang yang
diberi tugas untuk membangun pengetahuan sendiri.73
Praktik dalam pendidkan “gaya bank”, pendidik harus mengganti
‘ekspresi diri’ dengan ‘penyetoran’ yakni menganggap peserta didik
sebagai modal (capital). Semakin efesien peserta didik dalam belajar,
berarti dia dianggap semakin terdidik. Padahal Praktik pendidikan
yang membebaskan tidak menempatkan pendidik pada posisi nomor
satu dan peserta didik pada nomer dua. Karena pendidik atau guru
adalah pihak yang memberi dan peserta didik adalah pihak yang
menerima. Akan tetapi, lebih ditekankan pada proses tanya jawab atau
berdiskusi dalam model pembelajarannya. Jika seorang pendidik
memberikan sesuatu kepada peserta didik, ini sesungguhnya tak lebih
dari proses berbagi kepada semua anak manusia perihal ilmu dan
pengetahuan.
73 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, op. cit., hlm. 50
58
c. Materi / isi pelajaran
Menurut Freire, isi pelajaran atau kurikulum memang senantiasa
harus dikritisi. Pendidik dan peserta didik perlu bekerja sama dalam
menentukan isi yang mau dipelajari. Dalam pendidikan hadap masalah
problem posing dengan jelas bahan itu ditentukan peserta didik
sementara pendidik mengambil keadaan dari situasi hidupnya.
Pendidik seharusnya mengemban transformatif dengan cara “berdialog
dengan yang lain” bukan berusaha mewakilinya. Hubungan yang ideal
antara pendidik dan peserta didik bukanlah hierarkikal sebagaimana
dalam “pendidikan gaya bank”, tetapi merupakan hubungan dialogikal.
Melalui hubungan yang bersifat dialogikal, (the teacher-of-the-
students and the students-of-the-teacher cease to exist and a new term
emerges: teacher-student with students-teachers).74 Jadi, Guru bukan
semata-mata sosok tunggal yang mengajar, tetapi orang yang mengajar
dirinya melalui dialog dengan para peserta didik, yang pada gilirannya
di samping diajar mereka juga mengajar. Peserta didik bukan hanya
pendengar yang semata-mata patuh, tetapi juga rekan penyelidik yang
kritis dalam dialog bersama guru. Guru bertugas mengedepankan
suatu materi di hadapan murid-muridnya untuk meminta pertimbangan
mereka tentang materi tersebut. Guru mempertimbangkan ulang
materi ketika peserta didik mengekspresikan perspektif mereka tentang
materi tersebut.
74 Paulo Freire, Paedagogy Of The Oppressed, op. cit., pg. 80
59
Peserta didik, bagi Freire yaitu “Students, as they are increasingly
posed with problems relating to themselves in the world and with the
world, will feel increasingly challenged and obliged to respond to that
challenge”.75 Murid diharapkan tidak demikian saja menerima
keberadaannya, tetapi berani untuk secara kritis mempertanyakan
keberadaannya, bahkan mengubahnya. Menurut Freire, tugas
pendidikan yang demokratis adalah membantu kelompok-kelompok
mengembangkan bahwa mereka sendiri bukan bahasa yang dibuat oleh
pendidik atau atasan mereka sendiri perlu menciptakan bahasa lewat
kehidupan dan peristiwa mereka sehari-hari. Cara yang digunakan
adalah dengan dialog dan kerja sama antar guru dan siswa.
d. Metode
Gaya mengajar atau cara bagaimana suatu mata pelajaran itu
disampaikan asih dinilai memperlihatkan kondisi yang statis, Sehingga
dalam proses pendidikan membawa kelesuan-kelesuan bagi peserta
didik. Akibat ulah dari para guru yang tidak tahu metode pengajaran
yang baik sampai harus mengorbankan peserta didik. Metode seperti
itu merupakan hasil dari metodologi warisan dari kolonial yang
sebenarnya sudah usang. Metodologi konservatif merupakan metode
pendidikan yang ditujukan untuk “belajar pada guru”. Pendidikan yang
menjadikan guru sebagai pusat kegiatan belajar mengajar merupakan
75 Ibid., p. 81
60
jebakan dalam metode pembelajaran “gaya bank” yang mana dalam
siklus metode belajarnya hanya berpusat pada guru atau trainer.
Banyak fasilitator, yang meskipun menggunakan istilah atau
mengklaim sebagai fasilitator sejati tetapi kenyataan dalam praktiknya
sama halnya seperti guru yang selalau memberikan model
pembelajaran yang monologis kepada peserta didik.76
Menurut Freire, kebalikan dari pendidikan yang monologis yaitu
pendidikan yang berjalan dua arah atau pendidikan yang dialogis.
Pendidikan yang dua arah ini adalah senantiasa menempatkan peserta
didik sebagai sahabat dalam proses belajar mengajar. Dalam
pendidikan yang bersifat dialogis, sudah tidak lagi menempatkan
seorang pendidik sebagai subyek yang menentukan semuanya,
sedangkan peserta didik sebagai objek yang pasif dan tinggal
menerima segala apa yang telah dibuat dan diberikan oleh pendidik.
Salah satu tujuan pendidikan Freire adalah keadilan. “Keadilan berasal
dari fakta bahwa fase-fase perkembangan merupakan sebuah ukuran
universal untuk menilai eksistensi manusia, karena keadilan berasal
dari proses dialogis yang melahirkan pertumbuhan”77. Konsekuensi
dari hal itu, keadilan akan mendorong pertumbuhan menuju aktualisasi
diri, integrasi atau tingkat kesadaran, sedangkan ketidak adilan
menghambat pertumbuhan.
76 Mansour Fakih, Roem Topatimasang, Toto Rahardjo, et. all., Pendidikan Popular, op. cit., hlm. 63 77 William A. Smith, Concientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, hlm. 117
61
Pembelajaran yang masih menggunakan gaya mengajar statis, tidak
ada prinsip dialogis dan partisipatoris dalam tiap-tiap
pembelajarannya, yang terjadi kemudian peserta didik dalam posisi
sebagai objek tertekan untuk menerima transfer nilai-nilai keilmuan
dari guru. Malah peran guru semakin dioptimalkan dengan sekaligus
memberikan kesan kalau guru itu sosok yang maha tahu. Hal ini
tentunya akan menciptakan jurang pemisah antara guru dan peserta
didik. Kesenjangan ini dalam pendidikan semakin menciptakan kondisi
yang statis dalam proses pembelajaran.
Jika secara dialog tidak mengharapkan apa-apa dari sebagian
hasil dialog mereka, maka perkumpulan itu menjadi sesuatu yang
kosong, hampa, birokratis dan menjemukan.
Dan akhirnya, dialog sejati tidak akan terwujud kecuali dengan
melewatkan pemikiran kritis yang melihat suatu hubungan yang tak
tepisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan dikotomi antar
keduanya pemikiran yang memandang realitas sebagai proses dan
perubahan, bukannya entitas yang statis. Pemikiran kritis senantiasa
bergumul dengan problematika dan realitas sosial tanpa gentar
menghadapi resiko. Pemikiran kritis berlawanan dengan pemikiran
naif, pemikiran yang melihat waktu sejarah sebagai sebuah beban dan
bersikap reserve dan menerima begitu saja (taken for grated). Hanya
dialoglah yang menuntut adanya pemkiran kritis, yang mampu
melahirkan pemikiran kritis. Karena itulah nilai-nilai kemanusiaan
62
dalam proses dialog memiliki pengaruh yang sangat substansial karena
itu pula sifat biologis dari pendidikan sebagai praktek pembebasan.
4. Tahap–tahap Pendidikan yang Membebaskan
Pendidikan bagi Freire, adalah jalan menuju pembebasan umat manusia
yang permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah masa
dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka dan melalui
praksis merubah kesadaran itu. Tahap kedua dibangun atas yang pertama
dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang memang benar-benar
membebaskan.
Tahap pertama dalam pendidikan pembebasan Paulo Freire ialah upaya
penyadaran (consientization) akan ketertindasannya dari berbagai macam
penindasan baik berupa pembodohan, perbudakan ganda, kebisuan dan
monolog, sehingga ia dapat keluar dari kemelut itu menuju terciptanya
manusia yang bebas, merdeka tanpa penindasan. Maka penyadaran
bukanlah tujuan sederhana yang harus dicapai, tetapi merupakan tujuan
puncak dari pendidikan untuk kaum tertindas.78
Adapun tahap kedua dimaksudkan sebagai tindak lanjut atas
penyadaran itu dalam rangka pembudayaan sikap pemanusiaan manusia
yang sesuai dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Intinya adalah disebut
dengan humanization, ketika manusia membuat dirinya mampu
menyingkap kenyataan aktif realita sosial sehingga mereka mengetahui
78 Ibid, h. 5
63
dan memahami apa yang sudah diketahuinya.79 Dari dua tahap yang sudah
disebutkan diatas itulah yang nantinya akan mengantarkan para subjek
penddikan untuk menjadi manusia yang seutuhnya.
C. Filosofi Pendidikan Pembebasan Paulo Freire
Bertolak dari pandangan filsafat Freire yang revolusioner tentang manusia
dan dunia, kemudian merumuskan gagasan-gagasannya tentang hakikat
pendidikan dalam suatu demensi yang sifatnya sama sekali baru dan
pembaharu. Bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan
realitas diri manusia dan diri sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya
bersifat objektif atau subjektif, tetapi harus kedua-duanya. Kebutuhan objektif
untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan
subyektif (kemampuan subjektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan
yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang objektif. Objektivitas
dan subjektifitas dalam pengetian ini menjadi duan hal yang tidak saling
bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis.
Kesadaran subjektif dan kemampuan objektif adalah suatu fungsi dialektif
yang tetap dalam diri manusia hubungannya dengan kenyataan yang saling
bertentangan yang harus dihadapinya. Memandang kedua fungsi ini tanpa
dialektika semacam itu menjebak dalam kerancuan berfikir. Objektifitas pada
pengertian si penindas bisa saja berarti subyektifitas pada pengertian si
tertindas dan sebaliknya. Jadi hubungan dialektis tersebut tidak berarti
79 Paulo Freire, Politik Pendidikan, op. cit., hlm. 289
64
persoalan mana yang lebih benar atau lebih salah. Dan menurut Freire bahwa
melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang konstan,
yaitu:
1. Pengajar
2. Pelajar atau anak didik
3. Realitas dunia
Yang pertama dan yang kedua adalah subjek yang sadar (cognitive),
sementara yang ketiga adalah objek yang tersadari atau disadari (cognizable).
Lebih jelasnya, yang melandasi pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan
pembebasan yaitu relitas yang dialami sebagian besar manusia yang menderita
lantaran ketidakadilan dan pendistorsian nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu
Freire berusaha untuk rehumanisasi agar tidak menjadi produk “budaya bisu”.
Bagi Freire pendidikan harus beririentasi pada pengenalan realitas diri
manusia dan relitas diri sendidri secara subjektif dan objektif.80
Pola pendidikan juga harus mampu merubah penafsiran seseorang terhadap
situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu merubah relitas dirinya
sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta, sehingga
mudah dipahami mengapa suatu revolusi paling revolusioner sekalipun pada
awal mulanya, tetap digerakkan oleh orang-orang yang dihasilakn oleh sistem
pendidikan yang mapan seperti itu, yang pada akhirnya hanyalah
80 Paulo Freire, Politik Pendidikan (Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan), op. cit., hlm. ix
65
menggantikan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang sebenarnya
terkadang jauh lebih buruk.
Akhirnya, Paulo Freire sampai pada formulasi filsafat pendidikannya
sendiri, yang dinamakan sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem
pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan kaum
penindas, bukan diperuntukkan bagi kaum tertindas. Sistem pendidikan
pembaharu ini, kata Paulo Freire, adalah pendidikan untuk penguasaan
(dominasi). 81
Dalam epistemologi pendidikan pembebasan, Paulo Freire bertitik tolak
dari filosofi kemanusiaan. Segala konsep yang ia gagas khusunya dalam
konteks pendidikan, telah diarahkan untuk menciptakan suatu kesadaran yang
benar-benar kodrati bagi manusia, yang dengan ini akan mengantarkan
manusia pada pemahaman tentang hakikat penciptanya. Manusia sebagai tema
sentral dalam konsepsi pendidikan Paulo Freire di tempatkan sebagai tokoh
kunci yang perannya sangat menentukan terhadap bagaimana tatanan dunia ini
kedepan, baik buruknya struktur dan sistem dunia beserta isinya ditentukan
oleh sejauh mana manusia bisa mngaktualisasikan potensinya dengan
kesadaran yang ia miliki untuk menjadi sutradara dalam realitas kehidupan.
Pada dasarnya Freire lebih memperlihatkan eksistensi itu sendiri, apakah
manusia memiliki sense of belonging terhadap fenomena atau sesuatu yang
ada di alam ini dan melakukan refleksi atas respon yang dilakukan atu menjadi
masyarakat bisu, yang tidak memiliki hasrat untuk memaknai dunia ini.
81 Ibid., h. xii
66
Manusia memainkan peranan yang menentukan perwujudan dan penggantian
kurun-kurun sejarah. Dapat tidaknya manusia menangkap tema-tema
zamannya dan terutama, bagaimana mereka menangani realitas yang
melahirkan tema-tema itu.
Sebagian besar akan menentukan apakah mereka mengalami humanisasi
atau dehumanisasi. Hanya bila manusia mampu menangkap tema-tema
zamnnya, akan dapat campur tangan dalam realitas, tidak lagi tinggal diam
sebagai pengamat semata-mata. Dan hanya dengan terus-menerus
mengembangkan sikap kritis, manusia dapat mengatasi kecendrungan
menyesuaikan diri dan menjadi terintegrasi dengan semangat zamannya.
Landasan pendidikan Freire yang menjadikan manusia sebagai pijakan
utama berangkat dari sebuah pemahaman bahwa eksistensi manusia memang
tidak pernah terpisah dari dunia. Ada sebuah simbiosis mutualisme antara
manusia dan realitas dunia.82 Dsamping itu, filsafat pendidikan Paulo Freire
mempunyai visi filosofis yakni manusia yang terbebaskan (liberated
humanity). Visi ini berpijak pada penghargaan terhadap manusia dan
pengakuan bahwa harapan dan masa depan yang disampaikan kepada kaum
tertindas tidak hanya menjadi hiburan, sebagai mana juga bukan untuk terus
menerus mengecam dan menentang kekuatan objektif kaum tertindas.
Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial
budaya. Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan arena itu secara
metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni
82 Umiarso, Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, cet. ke -1, 2011, hlm. 148
67
prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi
simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas
dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut. Inilah makna
dan hakikat makna praxis itu:
Tindakan (Action) Kata = Kata = Praxis (word) (word) Pikiran (reflection) Dengan kata lain, “praxis” adalah manunggal karsa, kata dan karya. Karena,
manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berfikir, bicara dan
berbuat. Ketiga fungsi atau aspek tersebut sebagai bagian yang tak
terpisahkan, tetapi padu dalam gagasan maupun cara wujud seseorang sebagai
manusia seutuhnya. Jika hal tersebut dibuat terpisah, akan ada dua kutub
ekstrem yang terjadi, yakni pendewaan berlebihan pada kerja, atau pendewaan
berlebihan pada kerja. Prinsip “praxis” inilah yang menjadi kerangka dasar
sistem dan metodologi pendidikan kaum tertindasnya Paulo Freire. Setiap
waktu dalam prosesnya, pendidikan ini merangsang ke arah direfleksikan
kembali, dan dari refleksi itu diambil tindakan baru yang lebih baik. Demikian
seterusnya, sehingga proses pendidikan merupakan suatu daur bertindak dan
berfikir yang berlangsung terus menerus sepanjang hidup seseorang.