BAB III PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG TAUBAT A....
Transcript of BAB III PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG TAUBAT A....
54
BAB III
PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG TAUBAT
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali dan Karya-karyanya
1. Riwayat hidup al-Ghazali
Nama asli al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad. Ia lahir pada tahun 450 H/1058 M di Ghazalah
Thus, suatu kota di Khurasan Persia (Ahmad, 1975: 27). Sesudah ia
berumah tangga mendapat putra laki-laki yang bernama Hamid, sehingga
ia dipanggil dengan sebutan Abu Hamid (bapak Hamid). Karena
pengetahuannya yang luas beliau mendapat gelar Hujjah al-Islam
(Zainuddin dkk, 1991: 7).
Nama al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dua z).
hal ini karena kata itu berasal dari ghazzal yang artinya tukang pintal
benang wol, karena pekerjaan ayah al-Ghazali adalah memintal benang
wol. Sedangkan al-Ghazali (dengan satu z) diambil dari kata ghazzalah,
nama kampung kelahiran al-Ghazali. Dari dua pendapat tersebut yang
terakhirlah yang banyak dipakai (Poerwantana dan Ahmadi Rosali, 1998:
166). Ayahnya tergolong orang yang hidup sederhana sebagai pemintal
benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti
terlihat pada simpatiknya kepada ‘ulama dan mengharapkan anaknya
menjadi ‘ulama yang selalu memberi nasihat kepada umatnya (Zainuddin,
1991: 7).
55
Al-Ghazali mempelajari banyak ilmu. Beliau mempelajari ilmu
fiqh dari Ahmad al-Radzkani dan Abu Nas al-Ismaili. Beliau belajar
tasawuf pada Yusuf al-Nassaj, dan belajar beberapa disiplin ilmu pada al-
Juwaini, yang dikenal dengan sebutan Imam al-Haramain. Dari al-juwaini
tersebut ia belajar ilmu teologi, dialektika, sains kealaman, filsafat dan
logika. Semua disiplin ilmu tersebut beliau kuasai dalam waktu yang
relatif singkat (Al-Quasem dan A. Kamil, 1975: 3-7).
Setelah al-Juwaini wafat, pengembaraan intelektual al-Ghazali
dilanjutkan ke daerah Muaskar dan bergabung dengan para intelektual di
sana dalam majelis seminar yang didirikan oleh Nizam al-Mulk. Setelah
melihat kedalaman ilmu pengetahuan yang dimiliki al-Ghazali, analisis
dan argumentasi yang dikemukakannya, Nizam al-Mulk tertarik untuk
mengangkat al-Ghazali sebagai guru besar di Perguruan tinggi Nizamiah
(Al-Quasem dan A. Kamil, 1975: 71-72).
Ia melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga banyak para
penuntut ilmu memadati halaqahnya. Namanya menjadi lebih dikenal di
kawasan itu, kareana berbagai fatwa agama yang dikeluarkannya. Di
samping mengajar, al-Ghazali juga menulis tentang fiqh, serta beberapa
kitab yang berisi sanggahan terhadap aliran-aliran bathiniah, isma’iliah,
dan falsafah (Poerwantana dan Ahmadi Rosali, 1998: 166).
Pada tahun 488 H/1095 M. al-Ghazali dilanda keragu-raguan
skeptis terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum, teologi, dan
filsafat), kegunaan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya,
56
sehingga ia menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena
itu al-Ghazali tidak dapat menjalani tugasnya sebagai guru besar di
madrasah Nizamiah. Akhirnya ia meninggalkan Baghdad dan menuju kota
Damaskus selama kira-kira dua setengah tahun. Di kota ini ia melakukan
uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian ia pindah ke Bait al-Maqdis
Palestina untuk melaksanakan ibadah haji dan menziarahi makam
Rasululah SAW. Sepulang dari tanah suci, al-Ghazali mengunjungi kota
kelahirannya yaitu Thus. Di sini ia tetap berkhalwat, keadaan skeptis al-
Ghazali berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah ia menulis
karyanya yang terbesar yaitu Ihya ‘Ulum al-Din (menghidupkan kembali
ilmu-ilmu agama).
Karena desakan penguasa Saljuk, al-Ghazali mengajar kembali
pada madrasah Nizamiyah di Nisabur, tetapi hanya berlangsung selama 2
tahun. Kemudian ia kembali ke Thus (untuk mendirikan madrasah bagi
para fuqaha dan sebuah zawiyah atau halaqah untuk para mutasawifin).
Dikota inilah ia wafat tahun 505 H/1111 M (Jaelani, 2000: 26).
2. Karya-karya al-Ghazali
Seperti lazimnya para ilmuwan dan ruhaniawan klasik lainnya,
pandangan-pandangan al-ghazali pun mencakup berbagai ilmu
pengetahuan yang ada pada zamannya serta mengemukakan asas-asas
ilmiah yang tetap menarik perhatian para ilmuwan modern dan ahli agama
generasi kemudian yang menjadikannya sebagai bahan kajian. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa karya-karya al-Ghazali bersifat
57
komprehensif dan mendasar, serta belum memisahkan secara tegas antara
agama dengan filsafat dan sains. Namun demikian harus diakui selama
hampir seribu tahun pandangan-pandangan beliau, terutama Ihya
‘Ulumuddin-nya, tetap popular dan up to date sebagai bahan yang
inspiratif bagi penelaahan para pakar timur dan barat (Bastaman, 1995:
76).
Adapun kitab-kitab karya al-Ghazali di antaranya adalah,
Maqashid al-Falasifah (tujuan-tujuan para filosof), Tahafut al-Falasifah
(kerancuan pikiran para filosof), Mi’yar al-‘Ilm (kriteria ilmu-ilmu), Ihya
‘Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), Al-Munqidh
Min al-Dhalal (untuk mencapai kepada penyelamatan kesesatan),
Ma’rifah al-Aqliyah (pengetahuan yang rasional), Misykat al-Anwar
(lampu yang bersinar banyak), Minhaj al-Abidin (jalan mengabdi diri
kepada Allah SWT), Ayyuha al-Walad (hai anakku), Al-Mustasyfa
(pilihan), Iljam al-‘Awwam ‘An ‘Ilm al-Kalam (menghalangi orang awam
dari ilmu kalam), Mizan al-Amal (timbangan amal) (Zainuddin, 1991: 19-
21).
B. Pemikiran Al Ghazali Tentang Manusia
Pandangan dan ajaran al-Ghazali mengenai manusia berangkat dari
pemahaman beliau mengenai penciptan manusia, seperti diungkapkan dalam
al-Qur’an :
58
و هتيوفإذا ساجدينس وا لهوحي فقعر فيه من تفخ29(ن(
Artinya : “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (QS. Al-Hijr, 15: 29).
Dari ayat di atas, Bastaman (1995: 77) memberikan penjelasan tentang
ayat tersebut, bahwa peristiwa tersebut mengisyaratkan :
1. Terjadinya proses penggabungan unsur materi yang berasal dari saripati
tanah dengan unsur ruh yang berasal dari Tuhan yang berlangsung pada
saat embrio sudah siap dan matang menerimanya. Dan pada saat
perpaduan ini terjadi, maka terjadilah makhluk baru manusia yang
“meraga-ruhani”, yakni selama ini masih hidup : raganya meruhani, dan
ruhnya meraga. Hanya kematianlah yang memisahkan keduanya.
2. Sekalipun ruh manusia berasal dari Allah SWT. dan bahkan disebut “ruh-
Ku”, tetapi ia bukannya Tuhan ataupun “bagian” dari Tuhan, melainkan
semata-mata ciptaan-Nya yang hubungannya dengan Tuhan sering
dikiaskan sebagai sinar matahari dengan sang surya. Dengan demikian
harus dihapus anggapan bahwa ajaran al-Ghazali mengenai manusia
bercorak phanteisme.
3. Karena ruh berasal dari alam ketuhanan, yakni alam malakut dan alam
amr, maka sifat asli (fitrah) ruh adalah suci dan selalu mencari
pengetahuan tentang Tuhan dan jalan ketuhanan sebagai bekal kembali
lagi kepada-Nya.
59
Menurut al-Ghazali pada hakikatnya manusia itu tersusun dari unsur
materi dan immateri atau jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan
khalifah di bumi. Al-Ghazali menekankan pengertian dan hakikat kejadian
manusia pada rohani atau jiwa manusia itu sendiri. Manusia itu pada
hakikatnya jiwanya, karena dengan jiwa manusia bisa berpikir, berkemauan,
dan berbuat. Tegasnya, jiwa adalah yang menjadi hakekat yang hakiki dari
manusia karena sifatnya yang latif, rohani, rabbani, dan abadi sesudah mati.
Keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat banyak
bergantung pada keadaan jiwanya. Karena jiwalah yang pada hakikatnya taat,
durhaka atau ingkar kepada Allah. Jadi unsur jiwa sangat ditekankan al-
Ghazali dalam konsepnya tentang manusia dari unsur badan (materi) (Jaelani,
2000: 26).
Al-Ghazali dalam Bastaman (1995: 78) membahas empat unsur utama
struktur kejiwaan manusia, yakni (al-Qalb), ruh (al-Ruh), akal (al-‘Aql), dan
nafsu (al-Nafs). Menurut al-Ghazali keempat unsur itu masing-masing
memiliki dua arti, yakni arti jasmaniah dan rohaniah.
Pertama, al-Qalb dalam arti jasmani digambarkan al-Ghazali sebagai
segumpal daging berbentuk lonjong seperti buah shanubar yang terletak
dalam rongga dada sebelah kiri yang terus menerus berdetak selama manusia
masih hidup. Al-Qalb dalam artian ini terdapat pada manusia dan juga pada
hewan. Sedangkan kalbu dalam artian rohaniah menurut al-Ghazali adalah
kekuatan atau potensi untuk mengenal dan mengetahui segalanya, serta
60
menjadi sasaran perintah, cela, hukuman, dan tuntunan dari Tuhan (Bastaman,
1995: 78).
Al-Qalb dalam arti ini merupakan karunia Tuhan berupa substansi
halus dan indah (latifah al-Rabbaniyah), berasal dari Tuhan dan bersifat
rohaniah. Lathifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri manusia yang
berpotensi untuk memiliki daya tangkap atau persepsi, yang mengetahui dan
mengenal yang ditujukan kepada segala pembicaraan dan penilaian dan yang
dikecam dan dimintai pertanggungjawaban (Rahmat, 2000: 205-206).
Menurut para sufi, al-Qalb juga merupakan bagian dari diri yang dapat
menyingkap ilmu-ilmu yang gaib. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa diri
mempunyai dua pasang mata, yaitu mata lahir yang berada di kepala dan mata
batin yang ada di dalam al-Qalb. Karena al-Qalb adalah lathifah yang
mempunyai mata untuk bisa melihat atau menembus hal-hal gaib. Dengan hati
juga Tuhan dapat dilihat. Hati dapat membawa kepada ilmu mukasyafah,
yakni ilmu untuk menyingkap hal-hal gaib (Rahmat, 2000: 206).
Kedua, al-Ruh yang juga mempunyai dua arti. Pertama al-Ruh yang
berkaitan dengan tubuh yang erat kaitannya dengan jantung yang beredar
bersama peredaran darah. Kalau darah sudah tidak beredar lagi, dan jantung
sudah berhenti, al-Ruh itu tidak ada. Dengan kata lain al-Ruh itu nyawa bagi
makhluk hidup. Selain itu al-Ruh mempunyai arti yang sama dengan hati,
yaitu lathifah al-Rabaniyah (Rahmat, 2000: 206).
61
Ketiga. Adalah al-‘Aql, yang mempunyai dua makna, yaitu al-‘Aql
sebagai daya pikir atau potensi inteligensi, dan yang kedua al-‘Aql diartikan
sama dengan al-Qalb sebagai lathifah al-Rabaniyah (Bastaman, 1995: 78)
Keempat, al-Nafs yang mempunyai dua arti, pertama adalah nafsu-
nafsu rendah yang erat kaitannya dengan raga dan kejiwaan, seperti dorongan
agresif (al-ghadhab) dan dorongan erotik (syahwat) yang keduanya dimiliki
oleh hewan dan manusia. Adapun nafsu dalam artian kedua adalah Nafsu
Muthmainnah yang lembut, halus, suci, dan tenang yang diundang oleh Tuhan
sendiri dengan lembutnya untuk masuk ke dalam surga-Nya (QS. Al-Fajr: 27-
28) yang lebih menggambarkan Ruh dan Akal masing-masing mengandung
pengertian fisik-biologis, mental-psikologis, dan spiritual religius. Dalam
artian metafisik keempat unsur tadi semuanya semakna dan tak dibedakan satu
dari lainnya; semua bersifat ruhaniah, suci, mampu mengenali dan memahami
sesuatu, diciptakan Tuhan dengan sifat keka, serta merupakan inti
kemanusiaan yang disebut dengan bermacam-macam nama, antara lain al-
latigah al-ruhaniyyah atau al-latifah al rabbaniyyah (Bastaman, 1995: 78).
Unsur jiwa dalam konsepsi al-Ghazali tentang manusia sama sekali
tidak berarti mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga ia
pentingkan, karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan
kewajibannya beribadat kepada Allah SWT. dan menjadi khalifah di bumi.
Seseorang tidak akan mungkin sampai kepada Allah SWT. dan beramal
dengan baik di dunia selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang
sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Dengan
62
menghubungkan kehidupan jasmani dan kehidupan dunia, maka dunia akan
menjadi ladang bagi kehidupan akhirat, dan merupakan salah satu faktor
penyebab turunnya hidayah Allah SWT.
Dari deskripsi di atas jelas bahwa jiwa merupakan hakikat, diri, dan
zat manusia karena fungsinya yang besar dalam kehidupan, dan penentu nasib
baik atau buruknya manusia di dunia dan akhirat. Ibarat kerajaan atau
kendaraan, jiwa adalah raja atau pengemudi yang amat menentukan
keselamatan atau kesengsaraan rakyat atau penumpangnya. Sementara
jasmani adalah alat jiwa untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Untuk bisa mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, maka
diperlukan kriteria-kriteria sebagai berikut :
1. Adanya keseimbangan antara jasmani dan rohani dalam kehidupan
manusia
2. Memiliki ketinggian akhlak dan kesucian jiwa
3. Memiliki ma’rifah dan tauhid kepada Allah SWT.
Orang yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di dalam dirinya
disebut sebagai insan al-Kamil. Menurut al-Ghazali, faktor keseimbangan dan
ketinggian akhlak merupakan kriteria pokok dalam menentukan insan kamil
(Jaelani, 2000: 41). Keseimbangan yang dimaksud al-Ghazali adalah
keseimbangan dalam menggunakan potensi syahwah, ghadab, dan al-‘Aql.
Keseimbangan tersebut membuahkan ketinggian akhlak dan kesucian jiwa.
Ketinggian akhlak dan kesucian jiwa merupakan modal untuk mencapai
ma’rifah dan tauhid kepada Allah SWT.
63
C. Pemikiran Al Ghazali Tentang Taubat
1. Hakikat taubat
a. Pengertian taubat
Taubat merupakan pengertian yang tersusun dari tiga perkara,
yaitu ilmu, keadaan, dan perbuatan. Yang pertama menjadi penyebab
bagi timbulnya yang kedua, dan yang kedua menimbulkan yang ketiga
(Al-Ghazali, 1983: 3). Artinya jika seseorang bertaubat, tentu
memiliki ilmu, dalam hal ini adalah iman dan yakin, karena iman
merupakan suatu pengertian yang membenarkan bahwa dosa adalah
suatu hal yang merusakkan. Jikalau dalam hati telah menyala api
penyesalan, maka ia akan merasa sedih, sebab dengan cahaya iman itu
ia mengetahui bahwa di hatinya terhijab dari yang dicintainya.
b. Kewajiban taubat
Telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Hadits, bahwa taubat
wajib dilakukan oleh setiap orang. Hal ini dapat dilihat dari ayat dan
hadits di bawah ini :
ياأيها الذين ءامنوا توبوا إلى الله توبة نصوحا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya”. (QS. At-Tahrim, 66: 8).
64
إن الله يحب التوابني ويحب المتطهرين
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Al-Baqarah, 2: 222).
Taubat hendaklah dilakukan dengan segera, artinya jika telah
mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan hal yang
dilarang oleh Allah, maka hukum taubat adalah wajib dan harus segera
dilaksanakan (Al-Ghazali, 1983:15 ).
Seseorang dikatakan telah melaksanakan kewajiban bertaubat,
apabila telah mengetahui dan menyadari, yang kemudian dengan
kesadarannya itu menyebabkan dirinya menghindarkan barang-barang
yang terlarang. Kesadaran demikian bukanlah termasuk ilmu
mukasyafat yang tidak ada hubungannya dengan amal sebaliknya
termasuk ilmu mualamat. Karena setiap ilmu dimaksudkan agar
menjadi pendorong bagi seseorang untuk beramal, maka seseorang
yang berilmu belum lepas tanggungannya selama ilmunya belum jadi
pendorong baginya untuk berbuat sesuatu amal (Al-Ghazali, 1983
:16).
Seseorang tidaklah akan pernah lepas dari kewajiban
bertaubat, karena telah jelas Allah berfirman kepada manusia :
وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون لعلكم تفلحون
Artinya : “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nur, 24: 31).
65
Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa arti taubat adalah
kembali dari jalan yang menjauhkan dari Allah dan mendekat kepada
syetan menuju jalan yang Allah ridhai.
Al-Ghazali memberikan pengertian, bahwa seseorang
bertaubat juga tidak lepas dari adanya petunjuk hati nurani. Artinya
naluri (gharizah) dan akal tidak bisa sempurna kecuali sesudah
sempurnanya syahwat dan marah serta sifat-sifat tercela lainnya yang
menjadi senjata syaitan untuk menyesatkan para manusia. Namun jika
akal telah sempurna dan kuat, maka akan mudah mematahkan bujuk
rayu syetan untuk dibawa ke arah ibadat. Inilah makna taubat, yaitu
kembali dari jalan yang berdalilkan syahwat dan berimankan syaitan,
menuju ke jalan Allah SWT (Al-Ghazali, 1983: 20).
Jadi dengan demikian, maka semua orang dewasa dalam
keadaan kafir dan bodoh, ia wajib baginya untuk bertaubat dan
kembali dari kebodohan serta kekufuran.
Kewajiban bertaubat memang harus dilaksanakan terus
menerus (istiqomah) dan setiap waktu, artinya setiap pribadi manusia
tidak akan sunyi dari kemaksiatan anggota-anggota badannya, sebab
para nabipun tidak sunyi dari padanya pula. Oleh karena itu al-Quran
dan khabar-khabarnya telah menceritakan kesalahan para Nabi, dan
hal taubat serta ratapan mereka terhadap kesalahan-kesalahan itu (Al-
Ghazali, 1983: 21).
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
66
رواه (واهللا انى الستغفراهللا واتوب اليه فى اليوم أكثرمن سبعني مرة
)البخاري عن اىب هريرة
Artinya : “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar selalu
membaca istighfar dan bertaubat kepada Allah tiap hari, lebih dari tujuh puluh kali”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah RA.)
Dari sabda Nabi di atas bisa di ambil penjelasan, bahwa jika
Nabi Muhammad SAW. mempunyai sikap seperti tersebut, bagaimana
dengan manusia biasa yang telah jelas tidak mendapatkan jaminan dari
Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya :
رأخا تمو بكذن من مقدا تم الله لك فرغلي
Artinya : “Untuk Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan ni`mat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus”. (QS. Al-Fath, 48: 2).
c. Syarat di kabulkannya taubat
Orang-orang yang bisa melihat dengan cahaya hati nuraninya
yang diterangi al-Qur’an, merakalah orang-orang yang diterima di sisi
Allah dan berbahagia. Dan mereka tahu bahwasanya hati pada asalnya
dijadikan dengan selamat, hal ini dapat diketahui bahwa setiap anak
dilahirkan dalam keadaan suci. Hanya saja kesucian itu bisa keruh dan
kotor akibat noda dan dosa.
Diterimanya taubat merupakan suatu karunia dari Allah SWT.,
maka orang yang tidak mampu mengetahui dengan pasti, bahwa hati
itu bisa dipegaruhi maksiat dan taat yang dipengaruhi itu bertentangan,
67
maka seolah-olah agamanya baginya hanyalah kulit dan nama belaka,
sedangkan dihatinya ada tutup tebal yang menghalanginya mengetahui
hakikat agamanya, bahkan hakikat, sifat dan kebodohan dirinya
sendiri. Oleh karena itu oleh al-Ghazali (1983: 30) dikatakan“barang
siapa meragukan tidak diterimanya taubat yang memenuhi syarat,
maka sama halnya meragukan bisanya cahaya matahari mengusir
kegelapan”. Artinya bahwa taubat bisa diterima Allah jika syarat-
syarat dilaksanakan.
Sebagaimana firman Allah SWT :
وهو الذي يقبل التوبة عن عباده ويعفو عن السيئات
Artinya : “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan…”. (QS. Asy-Syuura, 42: 25).
Adapun syarat-syarat taubat menurut al-Ghazali ada 4 (empat)
di antara adalah sebagai berikut :
1. Meninggalkan dengan sekuat hati dan sekuat azam, berarti tidak
akan kembali mengerjakan hal-hal seperti itu sama sekali.
2. Menghentikan dan meninggalkan semua dosa yang dikerjakan
sebelum ia taubat, karena jika tidak melaksanakan dosa seperti
yang lalu namanya itu adalah menjaga, bukan taubat.
3. Bahwa dosa yang dilakukannya itu harus setimpal dengan dosa
yang ditinggalkannya sekarang. Contoh seorang pencuri, maka ia
harus meninggalkan perbuatan mencuri tersebut.
68
4. Harus meninggalkannya karena mengagungkan Allah SWT. bukan
takut karena apa-apa, tetapi dimurkai Allah SWT. dan takut
hukumannya yang pedih (Al-Ghazali, 1983: 52-53).
2. Masalah Dosa
Taubat adalah meninggalkan dosa, maka dalam pembahasan
tentang taubat tidak mungkin lepas dari pengertian dosa itu sendiri. Dalam
hal ini yang dinamakan dosa adalah semua yang menyalahi perintah Allah
SWT. baik tentang maninggalkan sesuatu atau memperbuatnya (Al-
Ghazali, 1983: 36).
a) Sifat dosa
1) Sifat ketuhanan (rububiyah)
Sifat ketuhanan adalah seperti sombong, bermegah-
megahan, berkepala besar, gila pujian, sanjungan, kemuliaan dan
kekayaan, senang kekekalan, berusaha mengatasi atau
mengendalikan orang-orang lain, sehingga seolah-olah ia
mengatakan : “sayalah Tuhanmu yang Maha Tinggi”
2) Sifat kesyaitanan (syaithaniyah)
Sifat kesyaitanan yaitu seperti timbul sifat-sifat dengki,
penyelewengan, penipuan, merintahkan kerusakan dan
kemungkaran, termasuk pula ke dalamnya penipuan, kemunafikan,
mengajak kepada kesesatan, dan kebid’ahan.
3) Sifat kebinatangan (bahimiyah)
69
Sifat kebinatangan adalah dosa yang dari padanya timbul
sifat keinginan kuat untuk memenuhi tuntutan syahwat perut dan
kelamin. Dari sini timbullah perzinaan dan liwat (zina lewat
dubur). Pencurian, memakan harta anak yatim, dan mengumpulkan
harta demi kepentingan syahwat.
4) Sifat keserigalaan (sabu’iyah)
Sifat keserigalaan, yang daripadanya akan timbul sifat
marah, dengki dan menghancurkan orang lain, baik dengan
memaki, memukul, membunuh ataupun merusakkan hartanya (Al-
Ghazali, 1983: 37).
Sifat-sifat dosa di atas merupakan induk dan pangkal berbagai
dosa, karena dari padanyalah timbul dosa-dosa yang disalurkan lewat
anggota badan manusia. Sebagian khusus di hati seperti kufur,
kebid’ahan, kemunafikan, dan berniat jahat terhadap manusia.
Sebagian tersalur kepada mata dan telinga, sebagian kepada lidah,
sebagian kepada perut dan kelamin, sebagian kepada kedua tangan dan
kaki, dan sebagian lainnya kepada seluruh badan (Al-Ghazali, 1983:
37).
b) Jenis dosa
1) Dosa antara manusia dengan Allah SWT
Dosa yang kedudukannya terletak antara manusia dengan
Tuhan asalkan tidak berbentuk syirik, bisa diharapkan dan dekat
sekali dimaafkan-Nya.
70
2) Dosa yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat
Dosa yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat yaitu
seperti meninggalkan zakat, membunuh jiwa orang
menyelewengkan harta, mencela kehormatan orang lain, setiap
perebutan dari hak orang lain baik berupa jiwa, anggota badan,
harta, kehormatan, agama, ataupun kedudukan. Juga setiap
perampasan agama, baik dengan cara mengajak kepada
kebid’ahan, melangsungkan kemaksiatan, ataupun sengaja
mengobarkan hal-hal yang menyebabkan menentang Allah SWT.
3) Dosa yang berhubungan dengan manusia itu sendiri
Dosa yang berhubungan dengan manusia ini diperoleh
karena meninggalkan perintah Allah seperti meninggalkan shalat,
puasa dan kewajiban-kewajiban yang khusus baginya (Al-Ghazali,
1983: 38).
c) Dosa kecil dan dosa besar
Suatu dosa bisa dikatakan besar jika dipandang dari segi dosa
lain yang lebih kecil. Bisa pula dikatakan dosa kecil bila ditinjau dari
dosa yang lebih besar. Misalnya seseorang yang bertidur-tiduran
dengan jenis lain yang bukan mahramnya adalah dosa besar,
dibandingkan dengan memandangnya saja. Bisa pula dikatakan dosa
kecil dibandingkan dengan berbuat zina dengannya. Seseorang yang
memotong tangan orang muslim lain adalah berdosa besar
dibandingkan dengan perbuatan memukul. Bisa dikatakan berdosa
71
kecil dibandingkan dengan perbuatan membunuh (Al-Ghazali, 1983:
41).
Memang seseorang boleh memutlakan bahwa setiap perbuatan
yang diancam dengan api neraka adalah dosa besar. Boleh mengatakan
besar itu sebab siksa api neraka itu adalah dahsyat. Boleh pula
memutlakkan bahwa setiap perbuatan yang mewajibkan siksa atau
hukuman dunia adalah dosa besar (Al-Ghazali, 1983: 42).
Sebagaimana dalam firman Allah
من كسب سيئة وأحاطت به خطيئته فأولئك أصحاب النار هم فيها )81(خالدون
Artinya : “Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah, 2: 81).
Firman Allah pula :
مإال اللم احشالفواإلثم و ائرون كبنبتجي الذين
Artinya : “(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil “. (QS. An-Najm, 53: 32).
d) Hal yang menyebabkan seseorang jatuh ke dalam dosa
Peranan taubat dalam mencegah gangguan kejiwaan terletak
pada usaha orang yang bertaubat untuk meghindarkan dirinya dari
dosa-dosa lahir dan batin serta pengaruh-pengaruh dosanya pada masa
yang lalu. Dalam hal ini al-Ghazali (1983: 135-137) menerangkan
72
tentang sebab-sebab seseorang jatuh ke dalam dosa adalah sebagai
berikut :
Pertama, sebab siksa yang diancamkannya itu tidak kelihatan
dan tidak datang seketika. Sedang watak dari nafsu adalah lebih
tertarik kepada hal-hal yang sekarang dari pada yang akan datang.
Maka perhatian kepada hukuman yang sekarang daripada hukuman
yang akan datang itu kurang dibandingkan dengan perhatiannya
kepada apa yang terjadi masa sekarang.
Kedua, sebab kelezatan syahwat yang mendorong itu
terlaksana seketika dan terjadi pada waktu itu juga. Hal ini bisa
bertambah kuat kalau jadi kebiasaan. Sedang menghindari kelezatan
sekarang karena takut siksa masa datang adalah berat bagi nafsu.
Ketiga, hampir-hampir tidak ada seorang mu’min berbuat dosa
yang tidak berazam (berniat) berbuat taubat dan menghapus
keburukannya itu dengan kebaikan. Hanya saja angan-angan yang
melantur-lantur bisa mengalahkan hal itu, sehingga tiada henti-
hentinya taubat dan penghapusan itu tertunda. Malahan karena
harapan pertolongan diterima taubatnya inilah yang kadang-kadang
justeru mendorongnya berbuat dosa, walaupun iman tetap ada
padanya.
Keempat, hampir-hampir setiap mu’min yang percaya,
semuanya beranggapan bahwa tidak ada dosa yang secara pasti
mewajibkan siksa yang tak mungkin terampunkan lagi. Ia berbuat
73
dosa dan mengharapkan ampunan atas dosanya itu dengan
mengandalkan kemurahan Allah, hal inilah yang mengakibatkan
seseorang terus menerus berkecimpung di dalam dosa, padahal pokok
iman tetap ada padanya.
Kelima, yaitu meragukan akan kebenaran Rasulullah SAW.
dan inilah yang menyebabkan kufur. Sama halnya seperti orang sakit
yang dilarang dokter memakan yang membahayakan penyakitnya,
namun tetap dimakan.
3. Syarat kesempurnaan taubat
Taubat sebagaimana dijelaskan di atas ialah rasa menyesal yang
diakibatkan oleh kesadaran bahwa maksiat itu bisa menjadi penghalang
antara seseorang dengan Tuhannya. Menyesal dan kembali kepada
Allahpun tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan, maka agar
rasa penyesalan semakin kuat dan yakin bahwa Allah akan menerima
taubatnya, maka dalam hal ini perlu dijelaskan tentang syarat
kesempurnaan taubat.
Adapun syarat kesempurnaan taubat yang diungkapkan al-Ghazali
adalah sebagai berikut :
a) Sikap yang dilakukan orang yang bertaubat benar-benar menyesal
akan perbuatan dosa yang telah dilakukannya, karena penyesalan yang
dalam bisa menghapus dosa.
74
b) Orang yang bertaubat merasakan dosa terasa pahit bukan manis seperti
sebelumnya, maka rasa condong kepada kemaksiatan berganti benci
dan rasa tertarik berganti menjauhi.
c) Bertaubat bukan sesaat, namun taubat yang dilakukan hendaklah
berlangsung sampai mati.
d) Selalu timbul dari dalam hatinya rasa penyesalan dan selalu ada hasrat
untuk memperbaiki diri, baik yang berhubungan dengan waktu
lampau, sekarang, maupun yang akan datang.
e) Memperbanyak fikiran tentang nikmat-nikmat akhirat, agar semakin
bertambah rindu kepada Allah SWT (Al-Ghazali, 1983: 79-99).
4. Pentingnya dakwah dari para ‘alim ulama’ tentang taubat
Al-Ghazali dalam hal ini menyatakan, bahwa orang yang berhak
berdakwah pada masalah taubat adalah para ulama’ yang menjadi pewaris
para nabi. Maka seorang pelaku maksiat yang menyadari kemaksiatannya
wajiblah baginya mencari seorang ‘alim agama. Andaikata ia tidak
menyadari bahwa perbuatannya itu adalah berdosa, maka orang ‘alim
itulah yang harus memberitahukan hal itu kepadanya. Dengan demikian
sikap orang ‘alim, baik di desa, kota, masjid ataupun dimanapun mereka
berada. Ia harus mengajarkan agama kepada penghuni tempat-tempat itu,
menunjukkan perbedaan antara yang bermanfaat bagi mereka, serta
menerangkan mana yang membahayakan dan mana pula yang
membahagiakan mereka.
75
Oleh karena itu sikap para da’i (‘alim ‘ulama) menurut pandangan
al-Ghazali yaitu janganlah sabar menunggu sampai orang-orang bertanya,
tapi seyogyanya ia mengajak orang-orang kepadanya.
Hal ini karena ‘ulama adalah pewaris para Nabi, sedang para Nabi
tidak membiarkan orang-orang menjadi bodoh. Bahkan mereka menarik
orang-orang ke dalam pertemuan-pertemuan yang mereka adakan,
malahan pada saat-saat pertama mereka berkeliling dari satu pintu ke pintu
lainnya, menemui orang-orang satu demi satu dan memberi penerangan
kepada mereka.
Hal-hal yang yang sebaiknya diberikan oleh para ‘alim ‘ulama
dalam memberikan dakwahnya menurut al-Ghazali hendaklah
menguraikan dalil-dalil yang mengandung pengharapan atau mengandung
ancaman, adalah dua macam obat yang pemakaiannya berbeda-beda.
Misalnya seseorang yang sudah demikian dikuasai rasa takut sehingga dia
menjauhkan diri dari dunia samasekali. Dan membebani dirinya dengan
beban yang tak terpikul serta menyempitkan penghidupan diri sendiri,
maka memberantas ketakutan yang berlebih-lebihan itu adalah tepat sekali
dengan menguraikan dalil-dalil yang mengandung pengharapan. Agar
kembali tegak dan lurus.
Demikian pula untuk mengobati orang yang terus-menerus
menjalankan dosa, yang merindukan taubat dan bisa berhenti dari dosanya
itu, tapi dirinya dikuasai oleh rasa putus asa sebab menganggap dosanya
terlalu besar, maka kepada orang inipun tepat jika diobati dengan uraian
76
yang mengandung pengharapan, sehingga berkobarlah keinginannya
untuk bertaubat (Al-Ghazali, 1983: 120).
Adapun untuk mengobati orang-orang yang tertipu dan selalu
tenggelam dalam perbuatan-perbuatan maksiat, maka menguraikan dalil-
dalil yang mengandung pengharapan kepadanya adalah seperti mengobati
orang sakit panas dengan madu. Demikian itu adalah perilaku orang
bodoh dan dungu (Al-Ghazali, 1983: 121).
Dari pengertian di atas, al-Ghazali (1983: 122-129) menerangkan
cara-cara yang seharusnya dilakukan oleh para da’i dalam melepaskan
seseorang dari ikatan dosanya yang terus menerus dalam melepaskan
seseorang dari ikatan dosanya yang terus menerus, dalam hal ini ada 4
(empat) macam.
Pertama, menerangkan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits yang
mengandung ancaman kepada orang-orang yang berdosa dan maksiat, di
antaranya seperti :
إن الله يمسك السموات واألرض أن تزوال ولئن زالتا إن أمسكهما من أحد من بعده
Artinya : “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan
lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah”. (QS. Fathir, 35: 41).
Dalam suatu hadits diriwayatkan oleh Umar Ibnul-Khattab r.a.
disebutkan bahwa tiap Arasy digantungkan sebuah stempel. Jika
77
seseorang melanggar larangan, maka Allah memerintahkan sehingga hati
orang itu tertempel dengan perbuatan yang dilanggar itu.
Kedua, yaitu hikayat-hikayat para Nabi dan para Salafsalihin serta
musibah-musibah yang menimpa mereka akibat kesalahan-kesalahan yang
mereka lakukan, karena hal itu besar pengaruhnya untuk menaklukkan
hati manusia. Seperti hal maksiat yang dilakukan Adam A.S. Serta
peristiwa pengusiran dari surga yang dialaminya.
Ketiga, yaitu hendaknya ditekankan mereka bahwa segera jatuhnya
balasan itu di dunia adalah disebabkan karena dosa, dan setiap musibah
yang menimpa seseorang adalah disebabkan karena pelanggaran-
pelanggaran yang pernah dilakukannya. Adapun orang yang taat, maka
berkat ketaatannya itu, semua nikmat yang ditemui merupakan balasan
atas ketaatannya dan bersyukurlah ia atasnya, karena setiap kecelakaan
atau bala yang ditemuinya merupakan penebus atas dosa-dosanya dan
malah menambah derajatnya.
Keempat, yaitu menerangkan apa balasan dan siksaan masing-
masing dosa itu. Seperti minum minuman keras, mencuri, membunuh,
mengumpat, sombong, dan dengki.
5. Kesehatan mental menurut al-Ghazali
Memahami masalah kesehatan mental secara luas dan mendalam
adalah penting pada zaman kemajuan ilmu dan teknologi dewasa ini
walaupun kemajuan ilmu teknologi dan industri dapat memberikan
kemudahan dan kesenangan hidup kepada manusia. Tetapi semuanya itu
78
belum tentu dapat menjamin kesejahteraan, ketenteraman dan kebahagiaan
hidup karena kemajuan ilmu teknologi dan industri membawa kepada
perubahan dalam bidang sosial dan budaya manusia, yang sudah barang
tentu mempengaruhi kehidupan mentalnya. Semakin maju kebudayaan
dan peradaban manusia semakin meningkat pula kebutuhan hidupnya.
Jika kebudayaan dan peradaban manusia yang semakin maju
tersebut tidak diimbangi dengan sikap mental keagamaan yang kuat maka
manusia akan mudah terkena gangguan kejiwaan. Al-Ghazali (1983: 5)
mengatakan, bahwa manusia akan mudah sekali terganggu jiwanya jika ia
jauh dari sang penciptanya. Oleh karena itu mental yang sehat menurutnya
adalah seseorang yang bisa menggunakan akalnya untuk mengetahui suatu
kebenaran dan kebenaran itu dilaksanakannya, serta mengetahui bahwa
dosa-dosa itu menyebabkan seseorang jauh dari yang dicintainya.
Al-Ghazali (1983: 120) juga menjelaskan, bahwa seseorang yang
terkena penyakit jiwa, sebenarnya mereka tidak menyadari sakitnya.
Artinya mereka tidak tahu apakah yang mereka lakukan itu benar atau
tidak, seperti halnya orang yang sakit sopak di mukanya, tanpa memiliki
cermin ia tidak akan bisa melihat penyakitnya itu di mukanya. Oleh
karena itu al-Ghazali mendiskripsikan mengapa seseorang mengalami
sakit jiwa. Hal ini karena, pertama orang yang sakit jiwa tidak menyadari
bahwa dirinya sedang menderita sakit. Kedua akibat dari penyakit ini
tidak tampak di dunia. Artinya jika penyakit jasmani bisa dilihat dengan
mata kepala, tetapi apa yang terjadi sesudah mati tentu tidak bisa
79
disaksikan. Akibat dari dosa yaitu matinya hati, tidak bisa disaksikan di
alam dunia ini. Ketiga penyakit jiwa juga bisa mengenai pada orang-orang
yang pintar sekalipun.
Dokter penyakit jiwa adalah para ‘ulama, tetapi pada masa
sekarang mereka juga menderita penyakit yang sangat dan tidak bisa
diobati sendiri, justeru mereka melupakan penyakit yang merata ini,
sehingga tidak tampak kekurangan mereka itu, akhirnya mau tidak mau
mereka mencelakakan orang lain, bahkan lebih parah sakitnya daripada
penyakitnya sendiri. Adapun penyakit yang menyebabkan mental mereka
rusak adalah penyakit cinta dunia (Al-Ghazali, 1983: 120).
Oleh Karena itu, kesehatan mental dapat timbul jika adanya
keserasian hidup dari diri sendiri, lingkungan yang berlandaskan
keimanan dan ketaqwaan. Artinya memahami masalah kesehatan mental
yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan penyesuaian
diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungan atau masyarakat, hanya
dapat terwujud dan tercapai secara sempurna apabila usaha itu
berdasarkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Jadi faktor agama
memainkan peranan penting dalam mencapai kesejahteraan dan
kesetabilan mental.