BAB III PEMBAHASAN 3.1. Perlindungan Bagi Pekerja ...repository.untag-sby.ac.id/1583/4/Bab...
Transcript of BAB III PEMBAHASAN 3.1. Perlindungan Bagi Pekerja ...repository.untag-sby.ac.id/1583/4/Bab...
36
36
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Perlindungan Bagi Pekerja Rumah Tangga Oleh Lembaga Jaminan Sosial
Secara umum dapat dijelaskan bahwa pengertian Perlindungan hukum adalah
tindakan melindungi atau memberikan pertolongan dalam bidang hukum.32
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut
diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang
diberikan oleh hukum.33 Sedangkan menurut Philipus M.Hadjon, perlindungan
hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap
hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan
hukum dari kesewenangan.34
Pandangan Philipus Hadjon bahwa perlindungan hukum adalah segala sesuatu
yang memungkinkan seseorang dapat melaksanakan dan mempertahankan hak-
haknya yang ditentukan oleh hukum. Dengan tindakan pemerintah sebagai titik
sentral jika dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi rakyat maka Philipus M.
Hadjon, mengemukakan bahwa ada 2 (dua) macam perlindungan hukum bagi
rakyat, yaitu :
1. Perlindungan hukum yang preventif
Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan
untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
32 WJS. Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, jakarta, 1959), h. 224
33Satjipto Raharjo, Penyelengaraan keadilan dalam masyarakat yang sedang
berubah,1993,Jurnal Masalah Hukum.
34 Philipus M.Hadjon, Op.Cit, h.1
37
37
pemerintah mendapat bentuk yang difinitif. Dengan demikian, perlindungan
preventif bertujuan mencegah terjadinya sengketa.
2. Perlindungan hukum yang represif
Perlindungan hukum yang represif, rakyat diberikan kesempatan mengajukan
keberatan setelah adanya akibat dari suatu keputusan pemerintah yang definitif
dalam arti bahwa perlindungan represif bersifat menyelesaikan masalah.35
Dalam Konvensi ILO sebagai salah satu produk hukum dari Internasional
Labour Organization yang terbentuk bulan April 1919 terdapat empat prinsip
pokok yang melandasi perlindungan adalah:
1) Buruh atau pekerja bukanlah barang komoditas
2) Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat sangat diperlukan bagi
kemajuan yang berkesinambungan;
3) Kemiskinan di satu tempat merupakan ancaman bagi kemakmuran di mana-
mana;
4) Setiap manusia tanpa memandang ras, kepercayaan atau jenis kelamin
berhak mengejar kesejahteraan material dan kemajuan spiritual dalam
kondisi yang menghargai kebebasan, harkat martabat manusia untuk
memperoleh keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama.36
Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :”.....
kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara indonesia
yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial....” merupakan jaminan konstitusi sebagai kontraktual
negara dalam rangka memberikan perlindungan, kesejahteraan dan sekaligus
35 Ibid, h.20 36 Asri Wijayanti 2012. Sinkronisasi Hukum Perburuhan terhadap Konvensi ILO, analisis
kebebasan Berserikat dan Penghapusan Kerja Paksa di Indonesia, Karya Putra Darwati, Bandung,
2012, h. 54
38
38
keadilan bagi manusia termasuk pekerja rumah tangga dan harus menjadi regulasi
mendasar di indonesia sejak merdeka. Selain dasar hukum diatas, ada juga konvensi
internasional. Convention International Labour Organization (ILO) dan Economic,
Socil and Cultural Right (ECOSOC) yang telah diratifikasi melalui Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta
Convention On The Elimination Of All Forms Against Women (CEDAW) yang
telah diratifikasi indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang
Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan Berbagai bentuk perlindungan regulasi tersebut sudah selayaknya
pekerja rumah tangga dapat menjalankan pekerjaanya secara aman, nyaman dan
sejahtera, yang berarti melindungi hak ekosocnya.
Untuk menjamin hak-hak tenaga kerja pekerja rumah tangga tersebut maka
diperlukan upaya pelaksanaan perlindungan hukum tenaga kerja tanpa terkecuali.
Perlindungan hukum tenaga kerja tercantum di dalam pasal 28 D ayat (2) Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945, yang menyatakan bahwa “ setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja “. Dalam hal ini seorang pengusaha maupun seorang pemberi
kerja wajib memberikan imbalan atas pekerjaan yang sudah dikerjakan oleh
pekerjanya sebagai jasa yang sudah diberikan.
Tetapi dalam kenyataannya negara belum sepenuhnya dapat memenuhi hak atas
pekerjaan sesuai dengan amanat konstitusi. Negara belum mampu mengurangi
tingkat pengangguran yang ada di indonesia. Sehingga banyak masyarakat yang
bekerja seadanya, apapun pekerjaan yang mereka dapatkan akan mereka kerjakan,
39
39
termasuk menjadi pekerja rumah tangga. hal tersebut dikarenakan Minimnya
lapangan pekerjaan yang tersedia. Pada awalnya sebuutan untuk pekerja rumah
tangga adalah pembantu rumah tangga tetapi semakin berkembangnya zaman
istilah pembantu rumah tangga menjadi pekerja rumah tangga. profesi sebagai
pekerja rumah tangga sangat rentan terhadap terjadinya tindak kekerasan,
kejahatan, dan diskriminasi.oleh karena itu pemerintah harus melindungi pekerja
rumah tangga, setidaknya mereka mendapatkan jaminan hari tua, jaminan kematian
dan jaminan sosial.
Jaminan sosial merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban negara
untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan
kondisi kemampuan keuangan negara, Indonesia sebagai negara berkembang,
mulai mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security,
yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat
pekerja di sektor formal.37 Dengan adanya perlindungan bagi pekerja rumah tangga
dapat menjamin bagi pekerja rumah tangga dalam mendapatkan jaminan sosial
yang sudah menjadi hak dasar sebagai pekerja. Dalam mendapatkan perlindungan
bagi pekerja rumah tangga tentunya harus ada peraturan yang mengatur.
Program jaminan sosial merupakan program perlindungan yang bersifat dasar
bagi pekerja. Tujuannya untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap
risiko-risiko sosial ekonomi. Program ini merupakan sarana penjamin arus
penerimaan penghasilan bagi pekerja dan keluarganya dari terjadinya risiko-risiko
37 Agusmidah, 2010, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Ghalia
Indonesia, Bogor, h. 127
40
40
sosial dengan pembiayaan terjangkau oleh pengusaha dan pekerja.38 Berdasarkan
Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945, menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum”. Berdasarkan pasal tersebut negara menjamin
pemberian jaminan kepada setiap warga negaranya termasuk pekerja rumah tangga
yang merupakan warga negara indonesia dan unsur negara serta berhak mendapat
perlakuan yang sama dimata hukum. Dalam hal ini pekerja rumah tangga informal
juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum seperti halnya
pekerja dalam sektor formal pada umumnya.
Dalam rangka memberikan perlindungan jaminan sosial bagi pekerja rumah
tangga, Kementrian tenaga kerja menerbitkan peraturan yang mengatur tentang
perlindungan bagi pekerja rumah tangga yang diatur dalam Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015, regulasi ini mulai diimplementasikan pada 16
januari 2015 lalu. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan pekerja rumah tangga tersebut mengatur tentang hak dan kewajiban
pekerja rumah tangga dan pengguna atau majikan, dan Lembaga penyalur pekerja
rumah tangga
Lahirnya Peraturan Menteri tenaga kerja tersebut mengatur tentang hak-hak
yang harus dipenuhi oleh lembaga penyalur maupun majikan kepada pekerja rumah
tangga. Adapun hak-hak yang harus dipenuhi oleh lembaga penyalur maupun
majikan dalam merekrut atau memakai pekerja rumah tangga, adalah sebagai
38 Bunyamin Najmi, Jaminan Sosial, http://jamsostek.blogspot.com/2010/10/apa-itujaminan-
sosial.html, diakses pada tanggal 24 juni 2016, pukul 10.15 Wib
41
41
berikut : didalam peraturan menteri tenaga kerja tersebut diharapkan mengatur
bahwa pekerja rumah tangga setidaknya mendapatkan cuti, upah dan jaminan sosial
sesuai kesepakatan dan perlakuan yang manusiawi. Regulasi tersebut juga
mengatur eksistensi lembaga penyalur pekerja rumah tangga yang ada di indonesia
dengan melibatkan pemerintah daerah provinsi sebagai penyaring yayasan dan
pengawas ketenagakerjaan di sektor pekerja rumah tangga.39 Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 tersebut mengatur perlindungan bagi semua
pekerja rumah tangga, baik pekerja rumah tangga yang di rekrut oleh badan
penyalur maupun yang langsung dari perorangan. Termasuk mengatur standarisasi
penampungan milik lembaga penyalur, tetapi peraturan menteri tenaga kerja
tersebut tidak mengatur bagaimana proses penyelesaian perselisihan antara majikan
dan pekerja rumah tangga jika para pihak terdapat perselisihan, diskriminasi
maupun kekerasan dan penganiayaan yang pada kenyataannya banyak dialami oleh
pekerja rumah tangga, tetapi peraturan menteri tenaga kerja tersebut hanya
mengatur tentang hak, kewajiban pengguna maupun pekerja dan lembaga penyalur
pekeja rumah tangga serta mengatur cara atau proses lembaga penyalur tenaga kerja
dalam merekrut pekerja rumah tangga.
Untuk memenuhi UU SJSN, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Yang selanjutnya
disingkat UU BPJS). UU BPJS tersebut merupakan lembaga yang dbentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial di indonesia dan program tersebut akan
39 http://industri.bisnis.com/read/20150119/12/392270/pemerintah-terbitkan-permen-
perlindungan-prt, diakses tanggal 25 juni 2016, pukul 20.26 Wib
42
42
menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di indonesia yaitu PT.
ASKES (Persero), PT. JAMSOSTEK (Persero), PT. ASABRI (Persero) dan PT.
TASPEN (Persero) akan bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS). Undang-Undang Undang mengenai Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Nomor 24 Tahun 2011 telah menetapkan PT.ASKES (Persero) untuk
bertransformasi menjadi Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
dan PT. JAMSOSTEK (Persero) akan bertransformasi menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. .40
Perubahan terakhir dari serangkaian proses transformasi Badan BPJS adalah
perubahan budaya organisasi. Reposisi kedudukan peserta dan kepemilikan dana
dalam tatanan penyelenggaraan jaminan sosial mengubah perilaku dan kinerja
badan penyelenggara.
Dimana pada Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang
BPJS mewajibkan BPJS memisahkan aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial.
Pada Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS
menegaskan bahwa aset Dana Jaminan Sosial bukan merupakan aset BPJS. Dengan
adanya penegasan dari Pasal 40 ayat (3) Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011
Tentang BPJS ini memastikan bahwa Dana Jaminan Sosial merupakan dana amanat
milik seluruh peserta yang tidak merupakan aset (BPJS).41
40 Fiki Ariyanti (7 Maret 2013). Persiapan Pelaksanaan BPJS, Askes dan Jamsostek
Konsolidas. Liputan6.com. Dikses tanggal 24 Mei 2016.
41 Ridwan Khairandy, Tanggung Jawab BPJS Ketenagakerjaan dan Asuransi Tanggung Jawab
Sebagai Instrumen Perlindungan Hukum Kepada Pekerja, Jurnal Hukum Bisnis Vol 26,2008,
Jakarta, h. 20-21
43
43
BPJS memiliki 2 jenis program yaitu progran BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. Banyak orang yang belum mengetahui perbedaan antara BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Penting untuk kita ketahui perbedaan antara
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. sejak awal tahun 2014 ini kartu BPJS
Kesehatan bisa digunakan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan sasaran
dari program ini adalah seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali , berbeda dengan
program BPJS Ketenagakerjaan yang diperuntukkan bagi pekerja ( tenaga kerja
penerima upah ) dan pegawai. Selain dari pesertanya , dari cara mendaftar untuk
menjadi peserta juga berbeda.
BPJS tersebut adalah badan hukum publik menurut Undang-Undang BPJS.
BPJS merupakan badan hukum publik karena memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Dibentuk dengan Undang-Undang (Pasal 5 UU BPJS).
b. Untuk menyelenggarakan kepentingan umum, yaitu sistem jaminan sosial
nasional (SJSN) yang berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia (Pasal 2 UU BPJS)
c. Diberi delegasi kewenangan untuk membuat aturan yang mengikat umum
(Pasal 48 ayat (3) UU BPJS)
d. Bertugas mengelola dana public, yaitu dana jaminan sosial untuk
kepentingan peserta (Pasal 10 huruf d UU BPJS)
e. Berwenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan
peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan
44
44
ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional (Pasal 11
huruf c Undang-Undang BPJS)
f. Bertindak mewakili Negara Republik Indonesia sebagai anggota organisasi
atau lembaga internasional (Pasal 51 ayat (3) UU BPJS); dan
g. Berwenang mengenakan sanksi administratif kepada pesera atau pemberi
kerja yang tidak memenuhi kewajibannya (Pasal 11 huruf f UU BPJS)
h. Pengangkatan anggota dewan pengawas dan anggota direksi oleh presiden,
setelah melalui proses seleksi publik (Pasal 28 s/d Pasal 30 UU BPJS);42
3.1.1 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Jenis program BPJS kesehatan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program kesehatan, yang mana didalam ketentuan umum Pasal
1 Ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan memberikan beberapa pengertian antara lain :
1 : Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang
telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
2 : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disingkat
BPJS kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program Jaminan Kesehatan.
Antara BPJS dan Jaminan Kesehatan Nasional berbeda, BPJS merupakan badan
penyelenggara jaminan kesehatan yang kinerjanya akan diawasi oleh dewan
jaminan sosial nasional, kalau jaminan kesehatan nasional merupakan program
pelayanan kesehatan terbaru yang sistemnya menggunakan sistem asuransi, artinya
42 http://www.jamsosindonesia.com/identitas/bpjs_badan_hukum_publik_menurut_uu_bpjs,
diakses pada tanggal 07 mei 2016, Pukul: 10.07 Wib.
45
45
seluruh warga indonesia nantinya wajib menyisahkan sebagian kecil uangnya untuk
jaminan kesehatan di masa depan.
Semua penduduk indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan yang
dikelola BPJS Kesehatan termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat 6
bulan di indonesia dan telah membayar iuran. Kepesertaan BPJS wajib meskipun
yang bersangkutan sudah mempunyai jaminan kesehatan lain. Mengenai Iuran yang
harus disetorkan ke BPJS Pun berbeda-beda jumlahnya untuk setiap tingkat
fasilitas kesehatan.
Pelaksanaan program sosial perlindungan pekerja rumah tangga yang diberikan
negara berupa penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang penerima bantuan iuran.
Untuk mendapatkan jaminan kesehatan ini, peserta harus terdaftar sebagai peserta
BPJS Kesehatan,peserta dibagi menjadi dua kelompok, yaitu peserta penerima
bantuan iuran (PBI), dan bukan penerima bantuan iuran (Non PBI) jaminan
kesehatan,yaitu, antara lain :
a. Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang meliputi orang yang tergolong fakir
miskin dan orang tidak mampu. Penetapan Peserta PBI Jaminan Kesehatan
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,dalam
hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang PBI Jaminan
Kesehatan.
Namun untuk orang yang tergolong miskin atau tidak mampu yang
belum mendapatkan kartu PBI tetap bisa mendapatkannya dengan cara
mengurusnya sendiri ke kantor BPJS terdekat.
46
46
Kriteria untuk fakir miskin dan orang tidak mampu dalam peraturan
pemerinth nomor 76 tahun 2015 tentang penerima bantuan iuran jaminan
kesehatan, adalah :
1. Pekerja yang mengalami PHK dan belum bekerja setelah lebih dari 6
bulan
2. Korban bencana pascabencana
3. Pekerja yang memasuki masa pensiun
4. Anggota keluarga dari pekerja yang meninggal dunia;
5. Bayi yang dilahirkan oleh ibu kandung dari keluarga yang terdaftar
sebagai penerima bantuan iuran jaminan kesehatan;
6. Tahanan/warga binaan pada rumah tahanan negara/lembaga
pemasyarakatan; dan/atau
7. Penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Dalam kriterian tersebut pekerja rumah tangga termasuk sebagai
penyandang masalah kesejahteraan sosial karena kehidupan pekerja
rumah tangga
Cara untuk membuat kartu BPJS-PBI adalah dengan melengkapi berkas
yang akan diajukan yaitu sebagai berikut :
a) Kartu keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) seluruh anggota
keluarga
b) Surat keterangan tidak mampu dari RT dan Kelurahan
c) Surat pengantar dari puskesmas.43
Prosedur pendaftaran Peserta BPJS PBI, adalah sebagai berikut :
a) Peserta membawa FC KTP/KK seluruh anggota keluarga
b) Calon peserta datang ke kelurhan untuk meminta surat keterangan tidak
mampu dari RT dan Kelurahan,
c) Setelah mendapatkan surat keterangan tidak mampu maka calon peserta
datang ke puskesmas terdekat untuk meminta surat pengantar dari
puskesmas sebagai dasar untuk mendaftarkan sebagai peserta di BPJS.
d) Dan jika semuanya sudah lengkap maka calon peserta datang ke kantor
BPJS untuk mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS, Biasanya calon
peserta hari pertama ke kantor BPJS, hanya mengisi formulir dan
mengumpulkan berkas-berkas pengajuan menjadi peserta BPJS, selesai
proses tersebut calon peserta diberi waktu beberapa hari untuk
pengmbilan kartu BPJS, kartu BPJS tidak langsung jadi dikarenakan
43 http://www.pasiensehat.com/2015/01/cara-membuat-kartu-indonesia-sehat-bpjs.html,
diakses tanggal 18-07-2016, pukul 15.37 Wib
47
47
banyak orang yang mendaftarkan diri untuk mengikuti program
tersebut.
b. Bukan PBI Jaminan Kesehatan,yaitu orang yang tidak tergolong fakir
miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas:
a) Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya;
b) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya;dan
c) Bukan Pekerja dan anggota keluarganya.44
Yang dimaksud dengan pekerja penerima upah adalah orang yang bekerja pada
pemberi kerja dengan menerima gaji/upah secara rutin seperti pegawai negeri sipil,
anggota TNI, anggota POLRI, pejabat negara, pegawai pemerintah non pegawai
negeri, pegawai swasta dan semua pekerja yang menerima upah. Kalau pekerja
bukan penerima upah adalah setiap orang yang bekerja/berusaha atas resiko sendiri,
seperti pekerja diluar hubungan kerja/pekerja mandiri/pekerja lain yang memenuhi
kriteria pekerja bukan penerima upah.
Dalam hal Pembayaran iuran BPJS Kesehatan juga terbagi menjadi beberapa
bagian, antara lain :
a. Bagi peserta Penerima Bantun Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan iuran dibayar
oleh Pemerintah.
b. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga
Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri,
pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri sebesar 5%
(lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan : 3% (tiga
persen) dibayar oleh pemberi kerja dan 2% (dua persen) dibayar oleh
peserta.
44 http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/410, diakses tanggal 18 juli 2016, pukul
14.49 Wib
48
48
c. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD
dan Swasta sebesar 5% ( lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan
ketentuan : 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1% (satu
persen) dibayar oleh Peserta.
d. Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari
anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar
sebesar 1% (satu persen) dari dari gaji atau upah per orang per bulan,
dibayar oleh pekerja penerima upah.
e. Iuran bagi kerabat lain dari pekerja penerima upah (seperti saudara
kandung/ipar, asisten rumah tangga, dll); peserta pekerja bukan penerima
upah serta iuran peserta bukan pekerja adalah sebesar:
a) Sebesar Rp. 25.500,- (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per orang
per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b) Sebesar Rp. 51. 000,- (lima puluh satu ribu rupiah) per orang per bulan
dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II.
c) Sebesar Rp. 80. 000,- (delapan puluh ribu rupiah) per orang per bulan
dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
f. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan janda,
duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan,
iurannya ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari 45% (empat puluh lima
49
49
persen) gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa
kerja 14 (empat belas) tahun per bulan dibayar oleh pemerintah.45
3.1.2 Kepesertaan dalam BPJS
Mengenai kepesertaan dalam BPJS telah diatur dalam pasal 14 UU BPJS Yaitu“
setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan
diindonesia, wajib menjadi peserta program jaminan sosial”.meliputi :46
(1). Penerima bantuan iuran , Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) :
fakir miskin dan orang tidak mampu, dengan penetapan peserta sesuai
ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2). Bukan penerima bantuan iuran, yang terdiri dari : pekerja penerman upah dan
anggota keluarganya.
a. Pegawai Negeri sipil
b. Anggota TNI
c. Anggota polri
d. Pejabat negara
e. Pegawai pemerintah non pegawai negeri
f. Pegawai swasta
g. Pekerja yang tidak termasuk huruf a s/d f yang menerima upah, termasuk
warga negara asing yang bekerja di indonesia paling sedikit 6 (enam) bulan.
(3). Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya
a. Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan
b. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.
Termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
(4). Bukan pekerja dan anggota keluarganya
a. Investor;
b. Pemberi Kerja;
c. Penerima Pensiun, terdiri dari :
- Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
- Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
- Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
- Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun yang mendapat
hak pensiun;
- Penerima pensiun lain; dan
- Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun lain yang
mendapat hak pensiun.
d. Veteran;
45 http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/post/read/2016/388/Iuran-BPJS-Kesehatan,
diakses tanggal 18-07-2016, pukul 08.07 Wib
46 http://health.liputan6.com/read/788613/pertanyaan-pertanyaan-dasar-seputar-jkn-dan-bpjs,
diakses tanggal 07 mei 2016, Pukul 10.53 Wib
50
50
e. Perintis Kemerdekaan;
f. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan;
dan
g. Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sd e yang mampu membayar
iuran.
a) Anggota keluarga yang ditanggung :
(a) Pekerja Penerima Upah :
- Keluarga inti meliputi istri/suami dan anak yang sah (anak
kandung, anak tiri dan/atau anak angkat), sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang.
- Anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak
angkat yang sah, dengan kriteria:
Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai
penghasilan sendiri;
Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia
25 (dua puluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan
formal.
(b) Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja : Peserta dapat
mengikutsertakan anggota keluarga yang diinginkan (tidak terbatas).
(c) Peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga tambahan, yang
meliputi anak ke-4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua.
(d) Peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga tambahan, yang
meliputi kerabat lain seperti Saudara kandung/ipar, asisten rumah
tangga, dll.
Dalam Konvensi ILO Nomor 189 mendefinisikan pekerjaan rumah tangga
sebagai “pekerjaan yang dilaksanakan di atau untuk sebuah atau beberapa rumah
tangga”. Seorang pekerja rumah tangga mungkin bekerja atas dasar penuh
waktu atau paruh waktu, mungkin dipekerjakan oleh sebuah rumah tangga atau
oleh beberapa majikan (rumah tangga), mungkin tinggal di rumah tangga majikan
(pekerja tinggal di dalam) atau mungkin tinggal di tempat tinggalnya sendiri
(tinggal di luar). Seorang pekerja rumah tangga, dan mungkin bekerja di sebuah
negara dimana dia bukan merupakan warganya. Seluruh pekerja rumah tangga
dicakup oleh Konvensi Nomor 189 tentang kondisi kerja layak pekerja rumah
tangga, meskipun negara-negara bisa memutuskan untuk mengecualikan beberapa
kategori, dengan syarat yang sangat ketat. Oleh karena itu dalam Konvensi ILO
51
51
nomor 189 tentang kerja layak bagi pekerja rumah tangga memberikan standart
perlindunga pekerja rumah tangga termasuk didalamnya adalah perlindungan
jaminan sosial tetapi dikarenakan posisi pekerja rumah tangga yang lemah dengan
perjanjian lisan maka kebanyakan pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerja rumah
tangganya dalam program jaminan sosial sehingga kepesertaan pekerja rumah
tangga masuk dalam sektor PBI.
3.1.3 Jaminan Sosial bagi Pekerja Rumah Tangga
Tujuan jaminan sosial adalah menjaga dan meningkatkan taraf kehidupan warga
negara dalam menjalani kehidupannya. Ruang lingkup jaminan sosial adalah sangat
luas, antara lain meliputi adanya jaminan pangan, pendidikan, kesehatan, papan,
makan siang di tempat kerja, dana untuk rekreasi guna mengobati stres dan masih
banyak lagi macamnya yang menjamin kesinambungan ekonomi atau penghasilan
seseorang meskipun terjadi suatu resiko pada dirinya. Program jaminan sosial
adalah jaminan yang menjadi bagian dari program jaminan ekonomi suatu bangsa.
Karakteristik dari program jaminan sosial, yaitu:
a. Program jaminan sosial biasanya ditentukan oleh pihak pemerintah sebagai
penyelenggara negara.
b. Program jaminan sosial memberikan kepada perorangan dengan
pembayaran tunai sebagai ganti rugi akibat suatu resiko.
c. Pendekatan pelaksanaan program jaminan sosial, yaitu berupa pelayanan
umum, bantuan sosial, dan asuransi sosial.
Jaminan sosial juga merupakan salah satu upaya yang dilakukan Indonesia
sebagai negara kesejahteraan untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mewujudkan :
a. keadilan sosial berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam Sila Kelima Pancasila
52
52
dan Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
mengandung konsekuensi bahwa setiap orang harus diperlakukan secara
adil tanpa ada perkecualian, baik di mata hukum maupun pemerintah,
dalam hal pemenuhan hak-haknya. Keadilan sosial berkehendak
mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat Indonesia.
b. Hak atas jaminan sosial tersebut diatur dalam Pasal 28 H ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen yang menyatakan,
"Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat".
Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap orang harus diperlakukan
secara adil tanpa ada perkecualian dalam hal pemenuhan hak atas
jaminan sosialnya, dan pemenuhan hak atas jaminan sosial ini menjadi
kewajiban negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 34 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Amandemen yang menyatakan
bahwa, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Tujuan akhir dari pemenuhan
hak atas jaminan sosial adalah terselenggarakannya kesejahteraan
umum dan terwujudnya keadilan sosial berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 dan Pancasila.
Menurut Konvensi ILO Nomor 189 tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah
Tangga, PRT harus mempunyai paling sedikit perlindungan hukum yang
mencakup:
53
53
a. Secara jelas mendefinisikan tentang jam kerja harian dan waktu istirahat;
b. Standar yang jelas mendefinisikan tentang kerja malam dan kerja lembur,
termasuk kompensasi yang memadai dan waktu istirahat yang pantas;
c. Secara jelas mendefinisikan tentang istirahat mingguan dan periode cuti
(cuti tahunan, libur umum, cuti sakit dan cuti melahirkan);
d. Upah minimum dan pembayaran upah;
e. Standar tentang penghentian kerja (periode pemberitahuan, alasan
penghentian, uang pesangon); dan
f. Aksi menentang PRT anak.
Mengenai Pekerja Rumah Tangga anak harus diberi perlindungan khusus
termasuk: kejelasan tentang umur minimum menurut hukum untuk bekerja;
potongan jam kerja sehubungan dengan umur pekerja; waktu istirahat; pembatasan
yang jelas tentang lembur dan kerja malam; otorisasi legal untuk bekerja (dari orang
tua dan dari otoritas buruh); kewajiban pemeriksaan medis; dan akses paling tidak
ke sekolah dasar atau pelatihan kejuruan.”47
Selama ini program jaminan sosial yang diselenggarakan pemerintah belum
sepenuhnya memberikan manfaat yang penuh oleh masyarakat luas. Kebanyakan
yang ikut dalam program BPJS adalah pegawai negeri dan pekerja di sektor formal,
sedangkan untuk pekerja sektor informal secara umum belum dapat menikmati
jaminan sosial yaitu BPJS.
3.2. Permasalahan Yuridis Dalam Pemberian Jaminan Sosial Bagi Pekerja
Rumah Tangga
Secara yuridis Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga telah mengatur tentang program jaminan
sosial bagi pekerja rumah tangga, program jaminan sosial bagi pekerja rumah
tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 11 huruf g menyatakan bahwa
47 Ramirez-Machado, penelitian ILO, 2003, h. 69.
54
54
“mengikutsertakan dalam program jaminan sosial” yang merupakan kewajiban
pengguna adapun keikutsertaan sebagaimana pengguna memiliki kekuatan hukum
tetap yang memuat perjanjian antara pengguna dan pekerja rumah tangga. dan
keberadaan pekerja rumah tangga itu sendiri secara formal melalui rekruitment
yang dilaksanakan oleh lembaga penyalur rumah tangga yang selanjutnya disingkat
LPPRT, berdasarkan pasal 2, yang menyatakan bahwa “ pengguna dapat merekrut
calon pekerja rumah tangga secara langsung atau melalui LPPRT.
Berdasakan Pasal 1 Ayat 4, LPPRT adalah badan usaha yang telah mendapat
izin tertulis dari gubernur atau pejabat yang ditunjuk untuk merekrut dan
menyalurkan pekerja rumah tangga. Sesuai Pasal 13 Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor 2 Tahun 2015, LPPRT harus mengajukan permohonan secara tertulis
dengan melampirkan:
a. Copy akte pendirian dan / atau akte perubahan badan usaha yang telah
mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;
b. Copy anggaran dasar yang memuat kegiatan yang bergerak dibidang jasa
penyalur Pekerja rumah tangga;
c. Copy surat keterangan domisili perusahaan;
d. Copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
e. Copy bukti kepemilikan sarana dan prasarana kantor serta peralatan kantor
milik sendiri;
f. Bagan struktur organisasi dan personil; dan
g. Rencana kerja minimal 1 (satu) tahun.
Jika penyalur tidak mempunyai surat izin yang sudah menjadi persyaratan wajib
yang harus dimiliki oleh LPPRT sesuai Pasal 12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor 2 Tahun 2015 maka LPPRT akan mendapatkan sanksi administratif,
berdasarkan Pasal 27 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun
2015, yang menyatakan bahwa :” sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam pada ayat (1) berupa :
55
55
a. Peringatan tertulis,
b. Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha LPPRT,
c. Pencabutan izin.
Tetapi didalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tidak mengatur sanksi bagi pengguna pekerja
rumah tangga sehingga majikan/pengguna dapat semena-mena terhadap pekerja
rumah tangga.
Didalam peraturan menteri tenaga kerja nomor 2 tahun 2015 tentang
perlindungan pekerja rumah tangga juga mengatur tentang hubungan kerja antara
pekerja rumah tangga dan majikan. Dalam hal hubungan kerja diatur dalam Pasal 5
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga, yang menyatakan bahwa “ pengguna dan pekerja rumah
tangga wajib membuat perjanjian kerja tertulis atau lisan yang memuat hak dan
kewajiban dan dapat dipahami oleh kedua belah pihak serta diketahui oleh Ketua
Rukun Tetangga atau dengan sebutan lain”. Dengan adanya Pasal 5 Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah
Tangga tersebut, maka pekerja rumah tangga dapat membuat perjanjian meskipun
dengan perjanjian lisan, tetapi setidaknya perjanjian secara lisan antara pekerja
rumah tangga dan majikan disaksikan oleh ketua Rukun Tetangga. Tetapi hubungan
kerja yang dibuat secara lisanpun dapat menyulitkan pekerja dalam membuktikan
kebenaran dirinya sebagai pekerja rumah tangga yang bekerja pada majikan.
Hubungan hukum yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah hubungan
hukum keperdatan antara majikan dan pekerja rumah tangga. Dimana hubungan
56
56
antara majikan dan pekerja rumah tangga adalah hubungan perikatan yang
keduanya mengikatkan diri baik dalam kontrak tertulis maupun dalam kontrak lisan
yang telah disepakati oleh mereka.
Perjanjian kerja secara perorangan, jelas tidak akan menguntungkan pihak
pekerja rumah tangga, tetapi sebaliknya lebih menguntungkan majikan. Karena,
daya tawar seorang pekerja rumah tangga lebih tinggi daya tawar majikan. Hal ini
disebabkan, jumlah pengangguran yang terus meningkat tajam, sehingga jumlah
lapangan kerja dan tenaga kerja yang tidak seimbang, yang kemudian
mengakibatkan daya tawar terhadap syarat-syarat kerja seperti upah lebih banyak
ditentukan oleh majikan. Sedangkan pada umumnya pekerja rumah tangga selama
ini hanya tunduk pada kebijakan majikannya, sehingga pekerja rumah tangga dalam
hal ini merasa dirugikan karena pekerja rumah tangga tidak dapat mengungkapkan
keinginannya dalam hal pekerjaan seperti, gaji, waktu istirahat, cuti, dan jaminan
sosial.
Peran Pemerintah sangat penting dalam membuat kebijakan, penting bagi
pekerja rumah tangga untuk mendapatkan perlindungan. Namun, Pemerintah
sekarang ini semakin melepaskan peranannya dalam menciptakan hubungan kerja
yang harmonis antara pekerja rumah tangga dengan majikan. Pemerintah semakin
melepaskan campur tangannya dalam melindungi pekerja rumah tangga yang tidak
tau atau mempunyai daya tawar rendah dengan majikan.
Sehingga perjanjian kerja secara lisan, akan memicu terjadinya konflik antara
pekerja rumah tangga dengan majikan semakin terbuka lebar, dan yang
diuntungkan dari akibat perjanjian kerja lisan adalah majikan. Oleh karenanya,
57
57
perjanjian kerja lisan tidaklah relevan diterapkan di negara berkembang seperti
Indonesia, karena kondisi masyarakat Indonesia telah berubah, dan bukankah setiap
perjanjian kerja harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan secara tertulis sesuai
dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang
menyatakan bahwa :
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c) Suatu pokok persoalan tertentu
d) Suatu sebab yang tidak terlarang
Perjanjian kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang
berkenaan dengan hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban pekerja/buruh dan
hak dan kewajiban pekerja rumah tangga dan majikan. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 7,8,9 dan 10 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 Tentang
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yaitu :
Pasal 7 :
PRT Mempunyai hak :
a. Memperoleh informasi mengenai pengguna;
b. Mendapatkan perlakuan yang baik dari pengguna dan anggota
keluarganya;
c. Mendapatkan upah sesuai dengan surat perjanjian kerja;
d. Mendapatkan makanan dan minuman yang sehat;
e. Mendapatkan waktu istirahat yang cukup;
f. Mendapatkan hak cuti sesuai denga kesepakatan;
g. Mendapatkan kesempatan melakukan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya;
h. Mendapatkan Tunjangan Hari Raya; dan
i. Berkomunikasi dengan keluarganya.
Pasal 8
PRT Mempunyai Kewajiban :
a. Melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan perjanjian kerja;
b. Menyelesaikan pekerjaan dengan baik;
c. Menjaga etika dan sopan santun didalam keluarga pengguna;
58
58
d. Memberitahukan kepada pengguna dalam waktu yang cukup apabila
PRT akan berhenti bekerja.
Pasal 10:
Hak pengguna:
a. Memperoleh informasi mengenai PRT;
b. Mendaptkan PRT yang mampu bekerja dengan baik;
c. Mendapatkan hasil kerja yang baik.
Pasal 11
Kewajiban pengguna :
a. Membayar upah sesuai perjanjian kerja
b. Memberikan makanan dan minuman yang sehat;
c. Memebrikan hak istirahat yang cukup bagi PRT;
d. Memberikan kesempatan melakukan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianut;
e. Memberikan tunjangan hari raya sekali dalam setahun;
f. Memberikan hak cuti sesuai dengan kesepakatan;
g. Mengikutsertakan dalam program jaminan sosial
h. Memperlakukan PRT dengan baik, dan
i. Melaporkan pengguna jasa PRT kepada Ketua Rukun Tetangga dan
Ketua Rukun Warga.
profesi pekerja rumah tangga sudah jelas mengenai hak, kewajiban satu sama
lain dan hubungan kerja antara pekerja rumah tangga dan majikan diatur dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga, tetapi sebaliknya hubungan pekerja rumah tangga dan
majikan bisa dibuat berdasarkan perjanjian lisan dan kepercayaan. Hubungan kerja
yang lahir dari perjanjian kerja dan yang hanya dibuat secara lisan, mengakibatkan
terjadinya penipuan terhadap PRT yang dipekerjakan tidak sesuai dengan perjanjian
kerja, misalnya diperjanjikan sebagai Pekerja rumah tangga namun ternyata
dijadikan pekerja seks atau dipekerjakan pekerjaan lain selain menjadi pekerja
rumah tangga. Kalaupun terjadi perjanjian tertulis, yang kebanyakan dibuat bersifat
standar yang isinya dibuat oleh majikan. Kontrak semacam ini sangat merugikan
pekerja rumah tangga yang berada dalam posisi subordinat. Dengan adanya surplus
tenaga kerja dibanding permintaan, tidak ada pilihan lain bagi pekerja kecuali
59
59
menerima syarat-syarat kerja yang ditawarkan majikan meski tidak permisif
baginya.
Pola hubungan kerja antara pekerja rumah tangga dan majikan yang tidak jelas,
Dengan demikian, nasib pekerja rumah tangga memiliki tingkat ketidakpastian
yang tinggi. Karena pada kenyataannya hubungan kerja antara pekerja rumah
tangga dan majikan tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2
Tahun 2015 Tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Dalam hubungan yang
demikian tidak hanya terjadi hubungan kekeluargaan tetapi juga hubungan sosial.
Pada satu sisi, pekerja rumah tangga menawarkan kesetiaan, disisi lain pekerja
rumah tangga tidak mendapatkan keuntungan berupa bantuan-bantuan sosial seperti
bantuan biaya pendidikan anak dan kesehatan yang mungkin dibutuhkan pada saat-
saat kritis. Dengan adanya kegiatan-kegiatan ekonomi yang berlangsung diluar
sektor formal yang teregulasi maka nasib pekerja sangat bergantung pada kebaikan
hati majikan.
Dengan ketidak jelasan aturan hubungan kerja antara majikan dan pekerja rumah
tangga dapat mengakibatkan pekerja rumah mendapatkan upah yang rendah bahkan
tidak dibayar, sistem jam kerja panjang dan tidak ada jaminan sosial sebagaimana
pekerja formal. Di sisi lain, hubungan kerja pekerja rumah tangga majikan juga
bersifat subordinatif, dimana konsep hubungan ini didasarkan pada relasi
kekuasaan yang timpang, majikan berada pada posisi superior, sementara pekerja
rumah tangga pada posisi subordinat, inferior. Posisi asimetris ini, dikuatkan
dengan ketergantungan pekerja rumah tangga terhadap majikan secara ekonomis,
terlebih mereka juga membutuhkan pekerjaan, sehingga pekerja rumah tangga tidak
60
60
mempunyai daya tawar dan bersedia diupah rendah. Ruang gerak pekerja rumah
tangga yang sempit untuk menyuarakan kepentingannya, menyebabkan tidak
adanya keberanian untuk melawan, ketika mendapatkan perlakuan tidak manusiawi
dari majikan maupun agen penyalur yang mengambil keuntungan atas situasi ini.
Praktik hubungan kerja pekerja rumah tangga dan majikan dalam realitasnya,
memang berbeda dengan hubungan kerja pada umumnya. Hubungan kerja pekerja
rumah tangga dan majikan bersifat semiformal, artinya disamping berorientasi
pada tugas, juga bersifat kekeluargaan, sehingga dalam menentukan lingkup
pekerjaan, pelaksanaan perintah maupun penentuan Upah jarang dituangkan dalam
Perjanjian Kerja (tertulis) layaknya hubungan hukum yang bercirikan hubungan
kerja yang zakelijk. Dalam ilmu hukum, hubungan demikian disebut sebagai
hubungan hibridis karena hubungan ini tidak semata-mata dimaksudkan sebagai
hubungan hukum, yang mempunyai akibat hukum melainkan lebih mengedepankan
hubungan yang bersifat kekeluargaan. Mekanisme kontrol yang menonjol dalam
hubungan demikian adalah norma-norma sosial dan norma hukum kurang
diprioritaskan oleh para pihak, karena bagi kedua belah pihak yang terpenting
adalah hubungan kerja diantara mereka berjalan sebagaimana mestinya. Prinsip no
work no pay dalam hubungan ini, tidak secara ketat diberlakukan manakala pekerj
rumah tangga tidak mengerjakan pekerjaan karena berbagai alasan seperti pamit
pulang kampung melampaui waktu yang telah disepakati dan bahkan sering tanpa
kabar. Sebaliknya, pekerja rumah tangga juga harus bekerja tanpa mengenal batas
waktu kerja dengan imbalan yang tidak sepadan. Kedua pihak, juga menanggung
berbagai kemungkinan resiko yang seringkali tidak ada ketentuan hukumnya,
61
61
seperti ketika pekerja rumah tangga merusak barang milik majikan,
pertanggungjawaban hukum seringkali tidak diminta atau seringkali majikan justru
melepaskan haknya untuk menuntut pertanggungjawaban. Sebaliknya ketika
pekerja rumah tangga mendapat perlakuan yang tidak manusiawi seperti kekerasan,
ketidakadilan dan eksploitasi, juga tidak melakukan tindakan apapun, kecuali diam,
ikhlas, menceritakan kepada teman, keluarga di kampung atau jalan terakhir yang
dilakukan kebanyakan keluar dari pekerjaannya, pulang kampung.
Meskipun pola hubungan kerja pekerja rumah tangga dan majikan dalam
realitasnya demikian, namun secara teoretik dapat dijelaskan bahwa, hubungan
pekerja rumah tangga dan majikan hakekatnya dapat dikualifikasikan sebagai
hubungan kerja dan pekerja rumah tangga secara jelas dapat dikategorisasikan
sebagai pekerja.48
Oleh karena itu sebenarnya, perdebatan yang tidak kunjung selesai terkait
eksistensi normatif pengkategorisasian pekerja rumah tangga tersebut, terjadi
karena keengganan budaya masyarakat untuk memformalkan hubungan pekerja
rumah tangga dan majikan, dan adanya anggapan bahwa hubungan pekerja rumah
tangga Majikan bukan hubungan hukum namun merupakan hubungan dalam
wilayah kekeluargaan yang bersifat pribadi49 sehingga dianggap di luar batas
jangkauan intervensi Negara.
Seharusnya Hubungan kerja Pekerja Rumah Tangga dan majikan tidak
dilakukan dengan lisan tetapi hanya bisa dilakukan dengan tertulis karena
48 Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia,
Grahadika Binangkit Press, Jakarta, 2004, h. 15.
49 Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesian (LBH APIK), Kertas Posisi Usulan
Revisi Perda DKI Jakarta No 6 Thn 1993 tentang Pramuwisma , LBH APIK, 2002, jakarta, h. 1
62
62
perjanjian secara lisan dapat merugikan pekerja rumah tangga. karena resiko
dengan dilakukannya perjanjian lisan sangatlah besar untuk diingkari oleh kedua
belah pihak meskipun perjanjian lisan tersebut disaksikan oleh ketua Rukun
Tetangga. Jika dilakukan secara tertulis maka kedua belah pihak antara majikan dan
pekerja rumh tangga dapat tunduk pada perjanjian yang sudah disepakati oleh kedua
belah pihak.
Terkait permasalahan yuridis dalam pemberian jaminan sosial bagi pekerja
rumah tangga dikarenakan belum disahkannya RUU pekerja rumah tangga.
Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga mendorong
Indonesia membuat draft Rancangan Undang-Undang PRT yang dapat menjadi
dasar hukum pengaturan Pekerja rumah tangga dikarenakan Pekerja Rumah Tangga
(PRT) rentan terhadap ekploitasi dan perlakuan semena-mena, seperti gaji rendah
dan penganiayaan, karena mereka dianggap bukan pekerja formal dan tidak berhak
mendapatkan kondisi kerja seperti pekerja di sektor formal. Untuk itu, Konvensi
ILO No. 189 disetujui dalam sidang ILO di Geneva, Swiss, Konvensi yang
merupakan perlindungan bagi pekerja rumah tangga di seluruh dunia ini akan
menjadi landasan untuk memberi pengakuan dan menjamin Pekerja Rumah Tangga
mendapatkan kondisi kerja layak sebagaimana pekerja di sektor lain.50 Demi
tercapainya perlindungan bagi pekerja rumah tangga maka dibutuhkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur. langkah pertama yang harus ditempuh
pemerintah agar mengesahkan RUU PRT adalah Pemerintah dan DPR harus
50 http://www.gajimu.com/main/gaji/pekerja-rumah-tangga, diakses tanggal 26-08-2016, Pukul 20.15 Wib.
63
63
meratifikasi Konvensi Kerja Layak PRT selanjutnya untuk bahan acuan dan
lahirnya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Rancangan Undang-Undang
Pekerja Rumah Tangga sudah ada, yaitu RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
yang masuk Program Legislasi Nasional pada tahun 2004. Enam tahun kemudian,
menjadi Prioritas Prolegnas. Bahkan Komisi IX telah melakukan pembahasan
hingga studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina pada 27-31 Agustus 2012.
Hasil dari studi banding tersebut adalah RUU ini diperdengarkan kepada
masyarakat (Uji Publik) pada 27 Februari 2013. Empat bulan kemudian, masuk
tahap harmonisasi di Badan Legislatif. Dalam beberapa tahap tersebut sudah jelas
bahwa uji RUU PRT sudah ada kemajuan.