BAB III KONSEP PENDIDIKAN MORAL MENURUT LAWRENCE...
Transcript of BAB III KONSEP PENDIDIKAN MORAL MENURUT LAWRENCE...
88
BAB III
KONSEP PENDIDIKAN MORAL MENURUT
LAWRENCE KOHLBERG
A. Biografi Lawrence Kohlberg
Lawrence Kohlberg lahir pada tanggal 25 oktober tahun 1927 dan
dibesarkan di Brouxmille, New York. Pada tahun 1948, Kohlberg masuk
universitas Chicago, setahun kemudian dia mendapatkan gelar Bachelor
dengan bidang yang diambil adalah psikologi, dan tertarik dengan teori
Piaget. Pada tahun 1958 Kohlberg lulus S3 dengan disertasi: The
Development of Modes of Thinking and Choices in the year 10 to 16.
DisertasiS ini merupakan landasan teori perkembangan moral.1
Teori perkembangan moral Kohlberg terinspirasi oleh hasil kerja
psikologi Swiss yaitu Jean Piaget (1896 – 1980) tentang perkembangan
moral kognitif, selain Piaget, pemikiran – pemikiran Kohlberg melalui
tahap –tahap yang syarat dipengaruhi oleh John Dewey, Baldwin, dan
Emile Durkheim.2
Asal mula ketertarikan Kohlberg pada bidang moralitas berawal
pada pengalamanya dibawah masa tirani Nazi selama belajar di sekolah
berasrama dan collage. Saat menjadi mahasiswa di University of Chicago,
dia mempelajari etika Kant dan filsafat politik Locke, Jefferson dan John
1 Asina Christina Rasito Pasaribu. Hubungan antara religiusitas dengan penalaran moral pada
remaja akhir. Bandung: Unpad Press.2008. hlm 681. 2 Febriyanti. Perkembangan Model Moral Kognitif dan Relevansinya dalam Riset – Riset Akutansi.
Palembang: Jenius. 2011. hlm.65
89
Stuart Mill yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia universal.
Selama mempelajari psikologi, dia mulai merumuskan teori perkembangan
moralnya berdasarkan pemikiran Piaget dan Dewey. Pada 1958 dia
menyelesaikan program doktoralnya di University of Chicago dengan
menulis disertasi mengenai perkembangan modus pemikiran dan pilihan
moral pada remaja.
Setelah enam tahun dijurusan psikologi, dia pindah ke Graduate
School of Education di Harvard pada tahun 1968, dimana dia
menyelesaikan sebagian besar tulisan dan risetnya sampai meninggal pada
tahun 1987. Selama di Harvard, Kohlberg mengajar mahasiswa dan
peneliti yang akan meneruskan, mengembangkan,dan mengkritik
pemikiranya. dia juga menjalankan program – program rintisan pendidikan
moral disekolah, penjara, dan institusi – institusi lainya. Dua fokus
karyanya adalah riset empiris dan teoritis tentang perkembangan moral dan
penciptaan komunitas yang adil. Menurutnya model – model sekolah dan
penjara yang dibangun berdasarkan prinsip justice dan fairness yang
merepresentasikan tahap pemikiran moral paling maju.3
Sejak tahun 1971 secara pribadi Kohlberg melibatkan diri dalam
praksis pendidikan. Dia terlibat dalam sejumlah proyek pendidikan moral
yang dirancangnya sendiri. Dia mengadakan eksperimen pertamanya
dalam bidang pendidikan moral dipenjara Niantic, dan pada than 1974 dia
3 Joy A. Palmer. Ide-ide Brilian 50 Pakar Pendidikan. Yogyakarta: IRCISOD. 2015. Hlm 361
90
menyelenggarakan eksperimen sekolahnya yang pertama dengan
sekelompok kecil siswa dari sekolah menengah alternative.
Kohlberg sendiri seorang pria yang tidak suka formalitas. Saat
mengajar dia sering datang ke kelas hanya dengan mengenakan kaos ketat
dan celana bagg, seolah olah itu adalah hari liburnya. Dia biasanya
memulai kuliah dengan melontarkan pertanyaan seolah dia bertanya pada
diri sendiri. Di hari-hari pertama kuliahnya, para siswa tidak tahu apa yang
membuat dosenya berbuat demikian. Namun siswa-siswa itu segera bisa
melihat kalau mereka sedang berada didalam kondisi pengajaran yang
sesungguhnya. Di hadapan mereka berdiri seorang pria yang telah
merenung lama sekali dan sangat mendalam tentang masalah-masalah
kritis di dalam filsafat dan psikologi, dan Kohlberg mengundang
mahasiswanya untuk ikut memikirkan masalah-masalah ini bersamanya.
Di dalam kuliah dan tulisan-tulisanya dia banyak membantu orang lain
mengapresiasi kebijaksanaan para psikolog lama seperti “Rousseau, John
Dewey, dan James Mark Baldwin”.4
Pada ahir tahun 1973 ketika Kohlberg berada dalam puncak
kesuksesan dan pengaruh ilmiah, pada saat ia melakukan perjalan ke
Amerika Tengah dengan tujuan melakukan riset lintas budaya ia terkena
musibah yang fatal yaitu terkena infeksi parasite pada ususnya. Infeksi
tersebut berakibat fatal pada kehidupan Kohlberg karena sejak saat itu
kesehatan Kohlberg menurun drastis, setiap hari ia merasakan pusing dan
4 William Crain. Teori Perkembangan Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014.
Hlm 228
91
mual. Meskipun demikian sebagai orang yang memiliki sikap displin yang
tinggi, ia berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kesibukanya.
Namun karena sakitnya itu pula ia mengalami depresi.5
Kesehatan dan staminanya menurun, dokter mendiagnosa bahwa ia
terkena tumor otak yang ganas. Kohlberg yang sedang mengalami depresi
kini dilanda sakit yang mengakibatkan ia tidak bisa berpikir, menulis
bahkan membaca. Pada tanggal 17 Januari 1987 ia dilaporkan telah
menghilang dan ditemukan mobilnya dekat dengan rawa-rawa Boston
Harbor dekat dengan Logan Airpot. Ternyata Kohlberg masuk sungai dan
mati tenggelam pada usia 59 tahun. 6 Sepanjang karir ilmiahnya Kohlberg
mendambakan tiga hal:
1. Menyusun satu teori filosofis mengenai keadilan yang harus
dihubungkan dengan
2. Teori psikologi mengenai proses perkembangan moral lewat urutan
tahap invariant untuk menghasilkan,
3. Suatu teori pendidikan yang dapat memberikan berbagai usulan
yang berguna bagi pendidikan yang layak dan masuk akal. Dalam
bidang pendidikan moral bagi keluarga, sekolah, dan lembaga
pendidikan lainya.7
B. Karya – karya Lawrence Kohlberg
Karya Lawrence Kohlberg berpusat pada perkembangan keputusan
moral anak dan orang dewasa dengan menggunakan pendekatan
5 Lawrence. Kohlberg. Tahap-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta: Kanisius. 1995. Hlm 14
6 Lawrence. Kohlberg. Tahap-tahap Perkembangan Moral…..ibid. hlm 15
7 Lawrence. Kohlberg. Tahap-tahap Perkembangan Moral….ibid. hlm. 17
92
perkembangan kognitif dan melibatkan teori tahap dari piaget. Sisi lain
dari penelitianya membahan tentang perilaku moral, dan disinilah gagasan
tentang komunitas yang adil dan tindakan demokratis mendominasi
karyanya. Pengaruhnya pada praktek pendidikan ditemukan dalam
kurikulum pendidikan untuk perkembangan moral dan dalam model
pengelolaan dan penyelenggaraan sekolah (school administration dan
governance).
Kohlberg adalah peneliti objektif dan pendukung nilai serta
institusi demokratis dan liberal. Kohlberg berujar karakteristik utama teori
atau program riset saya adalah interdisipliner dengan menggunakan data
antroplogi dan psikologi empiris untuk menyusun klaim-klaim filsafat, dan
memakai asumsi filosofis untuk mendefinisikan serta menafsirkan data
pendidikan, antropologi dan psikologi. (Kohlberg 1985, hlm. 505).8
Dalam proses mewujudkan tahap perkembangan moralnya,
setidaknya Kohlberg telah mengalami 3 tahap pemikiran yang sarat
dipengaruhi oleh John Dewey, Baldwin, Jean Pieget, dan Emile Durkheim:
1. Periode pertama, tahun 1958-1970. Dimana Kohlberg
mengembangkan pendekatan kognitif-developmental. Disini dia
berhasil menelurkan karyanya: “Stage and Sequence” (1969).
2. Periode kedua, tahun 1970-1976. Kohlberg disini
mengkonsentrasikan pemikirannya pada pengembangan
strukturalisme Pieget dengan konsekuen penerapannya pada
8 Joy A. Palmer. Ide-ide Brilian 50 Pakar Pendidikan….ibid. Hlm.360.
93
perkembangan longitudinal individu. Pada periode dia mencoba
untuk melakukan „revisi‟ atas karya sebelumnya dan
munculah,”Moral Stage and Moralization” (1976).
3. Periode ketiga, 1975 hingga wafatnya (1987). Kohlberg mencirikan
pemikirannya pada peralihan „naturalistis‟ terhadap „tindakan moral‟
dalam konteks kelompok atau „suasana moral‟ yang terlembaga.
Kritiknya atas penjelasan yang sosiologis-irasional Durkheim yang
kemudian ditarik kembali, secara tidak langsung dia terpengaruh atas
itu, dan menjadi ilham baru atas pemikirannya mengenai „suasana
moral‟. Pada periode ini Kohlberg mengeluarkan karyanya yang
berjudul “The Moral Atmosphere of High School: A Comparative
Study” (1984).
Pada tahun 1960-1970 Kohlberg mulai melakukan pematangan atas
paradigma baru di dunia psikologi yang dia cetuskan berdasarkan hasil
penelitian empirisnya bernama teori kognitif-developmental-nya. Teori
kognitif-developmental menegaskan bahwa pada intinya moralitas
mewakili seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku
untuk setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan manusia dan prinsip
keadilan. Menurut Kohlberg bahwasanya prinsip keadilan merupakan
komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian
diterapkan dalam proses pendidikan moral.
Kohlberg adalah seorang penulis produktif yang telah menerbitkan
berbagai buku mengenai psikologi, pendidikan, dan filsafat. Karya-karya
94
uta manya terdiri dari tiga seri yaitu, The Philosophy of Moral
Development (San Fransisco, California: Harper & Row, 1981), The
Philosophy of Moral Development (San Fransisco, California: Harper &
Row, 1984), dan Lawrence Kohlberg’s Approach to Moral Education
(New York: Columbia University Press, 1989, dengan C.Power dan A.
Higgins). Dengan A. Colby, Kohlberg menulis dua jilid buku panduan
pengukuran, The Measurement of Moral Judgement (Cambridge,
Massachusetts: Center for Moral Education. Harvard University, 1987).
Adapun buah pemikiran Lawrence Kohlberg mengenai 3 tingkat
dan 6 tahap perkembangan moral manusia, menurut Prof. Dr. K. Bertens
dalam bukunya “Etika”, yang kemudian menjadi sebuah teori moral yang
mempengaruhi dunia psikologi dan filsafat moral atau etika, yakni:
1. Tingkat Pra-Konvensional
a. Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan. Pada tahap ini anak
dalam hal melakukan suatu tindakan akan memiliki orientasi atas
hukuman yang merupakan konsekuensi atas tindakan itu, serta
kepatuhan dari seseorang dalam hal ini orang yang dituakan atau
kepatuhan terhadap hukum.
b. Tahap orientasi relativis-instrumental. Pada tahap anak tetap
menilai sesuatu berdasarkan kemanfaatan, kesenangan, atau
sesuatu yang buruk menjadi keburukan, namun disini si anak sudah
mampu belajar memperhatikan harapan dan kepentingan orang
lain.
95
2. Tingkat Konvensional
a. Tahap penyesuaian dengan kelompok atau orientasi untuk menjadi
“anak manis”. Pada tahap selanjutnya, terjadi sebuah proses
perkembangan kearas sosialitas dan moralitas kelompok.
Kesadaran dan kepedulian atas kelompok akrab, serta tercipta
sebuah penilaian akan dirinya dihadapan komunitas/kelompok.
b. Tahap orientasi hukum dan ketertiban. Pada kondisi ini dimana
seseorang sudah mulai beranjak pada orientasi hukum
legal/peraturan yang berfungsi untuk menciptakan kondisi yang
tertib dan nyaman dalam kelompok/komunitas.
3. Tingkat Pasca Konvensional
a. Orientasi kontrak-sosial legalistik. Tahap ini merupakan suatu
kondisi dimana penekanan terhadap hak dan kewajiban cukup
ditekankan,sehingga proses demokratisasi terjadi.Pada tahap ini
juga muncul sebuah sikap cinta tanah air dan pemerintahan yang
berdaulat.
b. Orientasi prinsip etika universal. Pada situasi ini dimana orang
dalam melakukan tindakan mencoba untuk sesuai dengan nurani
serta prinsip-prinsip moral universal. Adapun syarat atas prinsip
moral universal menurut Kohlberg, yakni: komprehensif, universal,
dan konsisten (tidak ada kontradiksi dalam penerapannya).
Sedangkan prinsip universal itu ialah keadilan, prinsip perlakuan
96
timbal balik (reciprositas), kesamaan, dan penghormatan terhadap
martabat manusia.
Perkembangan moral Kohlberg memiliki sifat/karakter khusus,
diantaranya:
a. Perkembangan setiap tahap-tahap selalu berlangsung dengan
cara yang sama, dalam arti si anak dari tahap pertama berlanjut
ke tahap kedua.
b. Bahwa orang (anak) hanya dapat mengerti penalaran moral satu
tahap di atas tahap dimana ia berada.
c. Bahwa orang secara kognitif memiliki ketertarikan pada cara
berfikir satu tahap di atas tahapnya sendiri.
Kohlberg menekankan pada pendidikan moral yang menggunakan
system „kurikulum tersamar‟, dimana dia menekankan bahwa pengajar
atau guru dalam hal ini mampu mewujudkan suatu kondisi pribadi yang
mencerminkan moral terhadap peserta didik. Dalam proses penelitiaannya
Kohlberg, dkk. mengambil sampel anak-anak dan remaja. Sebagai sebuah
realita, dimana fase tersebut merupakan fase yang tepat dalam mengambil
sebuah kesimpulan guna menemukan teori moral yang mendekati teori
moral yang ideal. Kohlberg mengantisipasi atas nuansa relativitas moral
yang pada saat ini didominasi oleh kaum Durkheimian, dan para psikologi
yang beraliran relativisme ekstrem. Makanya, dalam kondisi ini dia lebih
mengambil jalan tengah. Masih menurutnya, bahwa dalam proses
perkembangan moral disini, dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan
97
keluarga sebagai sebuah faktor dominan dalam membentuk moralitas si
anak. Maka, pendidikan umum moralitas yang ditekankan Kohlberg sangat
diutamakan.
Karya emprisnya ditulis dalam monograf riset, A Longitudinal
Study of Moral Judgements (Chicago, Illinois: University of Chicago Press
for the Society for Research in Child Development, 1983, bersama A.
Colby, J. Gibbs, dan M. Liebermann). Kaji ulang komprehensif terhadap
teori perkembangan moral dan synopsis serta tanggapan terhadap para
pengkritik termuat dalam L. Kohlberg, C. Levine, dan A. hewer, Moral
Stages: A. Current Formulation and Response to Critics (New York:
Karger 1983).9
C. Pemikiran – Pemikiran Lawrence Kohlberg
Salah satu contoh riset yang menakjubkan di dalam tradisi
Piagetian adalah karya Lawrence Kohlberg (1927-1987). Kohlberg
memfokuskan risetnya pada perkembangan moral dan penyediaan teori
pentahapan pemikiran moral yang menyempurnakan rumusan awal
Piaget.8 Dalam aliran psikologi kognitif, Piaget dan Kohlberg menyatakan
bahwa pemikiran moral seorang anak, terutama ditentukan oleh
kematangan kapasitas kognitifnya sementara lingkungan sosial hanyalah
sebagai pemasok material mentah yang akan diolah oleh ranah kognitif
anak secara aktif.
9 Joy A. Palmer. Ide-ide Brilian 50 Pakar Pendidikan…..ibid. hlm 366.
98
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg
menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran
yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas
spontan pada anak-anak.
Sementara Kohlberg lebih menekankan penalaran moral sebagai
konstruk. Istilah konstruk serupa dengan konsep akan tetapi ada
perbedaan. Konsep mengekspresikan suatu bentuk abstraksi melalui
generalisasi dari suatu yang spesifik. Dalam psikologi konsep-konsep lebih
abstrak, misalnya “achievement” merupakan abstraksi dari berbagai
observasi tentang tingkah laku anak yang ada hubungannya dengan
penguasaan dan belajar serta tugastugas sekolah. Tetapi sebagai suatu
konstruk intelegensi mengandung pengertian bahwa ilmuan
menggunakannya dengan dua tujuan yaitu: pertama, dipakai dalam suatu
skema teoritis dan berhubungan dengan konstruk lainnya dalam berbagai
macam cara. Kedua, intelegensi didefenisikan secara sfesifik sedemikian
rupa sehingga ia dapat diobservasi dan diukur. Sehingga konstruk adalah
konsep yang memiliki arti tambahan.
Kohlberg mengutarakan bahwa konsep moralitas lebih merupakan
konsep yang filosofis (etis) daripada sekedar konsep tingkah laku. Dengan
analisa filosofis Kohlberg sampai pada suatu kesimpulan bahwa struktur
esensial moralitas adalah prinsip keadilan (the principle of justice) dan
bahwa inti dari keadilan adalah distribusi hak dan kewajiban yang diatur
99
oleh konsep “equality” dan “reciprocity”. Kohlberg mengemukakan
bahwa:
“Juctice is not a rule or a set of rules: its is a moral
principle. By a moral principle we mean a mode of choosing
which which is universal, a rule of choosing which we want all
people to adopt always in all situations. We know its all right to be
dishonest and steal to save a life because a man’s right to property.
We know its sometimes right to kill, because its sometimes just. The
German who triad to kill Hitler were doing right because respect
for the equal values of lives demands that we kill someone
murdering others in orders in order to sasve their lives. There are
exceptions to rules, than, but no exceptions to principle. A moral
obligations is an obligations to respect the right or clime of
another person. A moral principle for resolving competing claims,
yiu versus me, you versus a third person. There is only one
principles basis for resolving claims: justice or equality. Treat
every man’s claim impartially regardless of the man. A moral
principle is not only a rule of action but a reason for action. As a
reason for actions, justice is called resfect for persons”.10
Dari kutipan tersebut jelas bahwa prinsip moral adalah keadilan,
juga jelas anggapan Kohlberg bahwa prinsip moral bukan merupakan
aturan-aturan untuk suatu tindakan, tetapi merupakan alasan untuk suatu
tindakan. Oleh karena itu Kohlberg memakai istilah “moral reasoning”
atau “moral judgment” secara bergantian dalam pengertian yang sama.
Istilah-istilah tersebut diterjemahkan oleh penulis dengan istilah
“penalaran moral”. Anggapan Kohlberg bahwa prinsip moral merupakan
alasan untuk suatu tindakan, sesuai dengan teori perkembangan kognitif
yang dianutnya, ialah memandang penalaran moral sebagai struktur, bukan
isi (contens). Jadi penalaran moral bukannya apa yang baik atau buruk,
10 Kusdwirarti Setiono, Psikologi Perkembangan Kajian Teori Piaget, Selaman, Kholberg
dan Terapannya dalam Riset, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 41.
100
melainkan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu itu
baik atau buruk. Hal ini berarti bahwa penalaran moral merupakan suatu
alasan atau pertimbangan, mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk.
Salah satu kritik terhadap teori Kohlberg adalah bahwa teori
tersebut terlalu menekankan pada keadilan dan mengabaikan norma yang
lainnya. Konsekuensinya, teori itu tidak akan menilai secara adekuat orang
yang menggunakan aspek moral lainnya dalam bertindak. Carol Gilligan
berargumentasi bahwa teori Kohlberg terlalu androsentrik. Teori Kohlberg
semula dikembangkan berdasarkan penelitian empiris yang menggunakan
hanya partisipan lelaki; Giligan berargumentasi bahwa hal tersebut
membuat tidak teori itu dalam menggambarkan pandangan
seorangperempuan. Walaupun penelitian secara umum telah menemukan
tidak adanya perbedaan pola yang signifikan antar jenis kelamin, teori
perkembangan moral dari Gilligan tidak memusatkan perhatiannya pada
norma keadilan. Ia mengembangkan teori penalaran moral alternatif
berdasarkan norma perhatian.
Psikolog lain mempertanyakan asumsi bahwa tindakan moral
dicapai terutama oleh penalaran formal. Salah satu kelompok yang
berpandangan demikian, social intuitionists, mengemukakan bahwa orang
sering membuat keputusan moral tanpa mempertimbangkan nilai-nilai
seperti keadilan, hukum, hak asasi manusia, dan norma etika yang abstrak.
Berdasarkan hal ini, argumen yang telah dianalisis oleh Kohlberg dan
psikolog rasionalis lainnya dapat dianggap hanya merupakan rasionalisasi
101
dari keputusan intuitif. Ini berarti bahwa penalaran moral kurang relevan
terhadap tindakan moral dibanding apa yang dikemukakan oleh Kohlberg.
Disisi lain pembinaan moral merupakan suatu usaha untuk
mencapai cita-cita yang luhur, oleh karena itu memiliki dasar dan tujuan
pembinaan tersendiri. Dalam pembinaan moral tentunya banyak sekali
tuntutan yang menjadi dasar hukum seseorang agar selalu melaksanakan
pembinaan moral dalam rangka ikut membentuk dan mewujudkan
manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur atau berakhlak mulia.
Teori perkembangan moral dapat dilihat dalam tiga paradigma.
Pertama, teori genetik determination yang memandang bahwa moralitas
seseorang ditentukan secara genetik dan dibawa sejak lahir. Kedua, teori
social enforcement yang menyatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan
menanamkan ideologi dan moralitas seseorang melalui pemaksaan dan
indoktrinasi. Ketiga, teori education and development, yang memandang
bahwa seseorang berkembang penalaran moralnya melalui lingkungan
pendidikan (Lind G, 2002). Lawrence Kohlberg merupakan salah satu
tokoh psikologi yang menaruh perhatian terhadap masalah perkembangan
moral dalam paradigma yang ketiga.
Salah satu pandangan yang provokatif mengenai perkembangan
moral adalah pandangan Kholberg yang berpendapat bahwa
perkembangan moral di dasarkan pada penalaran moral yang kemudian
berkembang dalam enam tahap perkembangan. Keenam tahap
102
perkembangan tersebut dikelompokkan dalam tiga tingkat perkembangan
yaitu: prakonvensional, konvensional dan pascakonvensional.11
Kohlberg memliki keyakinan bahwa tahap-tahap ini merupakan
sebuah rangkaian dan berkaitan dengan usia. Sebelum usia 9 tahun,
sebagian besar anak menggunakan cara prakonvensional ketika
dihadapkan pada dilemma moral. Dimasa awal remaja, mereka bernalar
secara lebih konvensional. Sebagian besar remaja bernalar pada tahap 3
yaitu timbale balik dan relasi. Dimasa dewasa awal sejumlah individu
bernalar ditahap pascakonvensional.
Semua perubahan dalam penalaran moral yang berlangsung antara
masa remaja akhir dengan masa dewasa awal tampaknya berlangsung
secara gradual. Sebuah studi menemukan bahwa ketika orang-orang yang
berusia antara 16 hingga 19 tahun serta antara 18 hingga 25 tahun diminta
bernalar mengenai dilemma moral dalam kehidupan nyata dan diberi kode
sesuai dengan tahapan kholbrg, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan
dalam penalaran moral mereka.12
D. Konsep Pentahapan
Piaget, menyatakan bahwa tahap-tahap perkembangan mental yang benar
harus memenuhi beberapa kriteria. Tahap-tahap itu: (1) merupakan cara berfikir
yang secara kualitatif berbeda, (2) secara keseluruhan terstrukturkan, (3) bergerak
maju dalam urutan yang tetap, (4) bisa dikarakterisasikan sebagai integrasi-
integrasi hierarkis, (5) lintas budaya yang universal. Dari semua konsep
11
Lawrence. Kohlberg. Tahap-tahap Perkembangan Moral….ibid. hlm 80 12
John W. Santrock. Adolescence. Jakarta: Erlangga. 2007. Hlm.307
103
pentahapan Piaget di atas Kohlberg menerimanya dengan sangat serius, berusaha
menunjukkan bagaimana pentahapannya bisa memenuhi semua kriteria tersebut,
yang akan dibahas di bawah ini:
1. Perbedaan-perbedaan kualitatif
Pentahapan Kohlberg secara kualitatif berbeda satu sama lainnya.
Sebagai contohnya, respon-respon tahap 1 yang terfokus pada kepatuhan
terhadap otoritas, terdengar sangat berbeda dengan respon pada tahap 2 yang
berpendapat bahwa setiap orang bebas berkehendak sesuai dengan yang
diinginkannya.
2. Keseluruhan yang terstruktur
Maksud Kohlberg dengan keseluruhan yang terstruktur adalah
pentahapan bukan hanya respon-respon yang terisolasi, melainkan juga
sebagai pola-pola umum berfikir yang secara konsisten menunjukkan jenis
persoalan yang berbeda. Seseorang bisa saja merasakan kebenaran sewaktu ia
membaca manual penskorannya; dan menemukan jenis berfikir sama yang
muncul lagi di dalam pertanyaan yang berbeda. Seperti dalam dilema Heinz,
anak-anak tahap 1 sekali lagi menbicarakan akan kepatuhan terhadap
peraturan, sementara mereka yang berada di tahap 2, terfokus pada
pertukaran yang sesuai dengan kepentingan masing-masing. Dengan cara
yang sama ketika anak-anak melewati tahapan-tahapan yang ada, mereka
terus memberikan respons yang mirip dengan respons mereka terhadap
dilema Heinz.
104
3. Urutan yang tetap
Menurut Kohlberg pentahapanya berlangsung dalam urutan yang tetap.
Anak-anak selalu berangkat dari tahap ke 1 menuju tahap ke 2 kemudian
tahap ke 3 dan seterusnya. Dan mereka tidak melewati satu tahap pun, serta
bergerak dalam dalam bentuk yang baku.
4. Integritas hierarkis
Maksud pernyataan Kohlberg bahwa pentahapannya bersifat hierarkis
bahwa manusia tidak kehilangan wawasan yang dicapainya di usia awal
namun terintegrasikan ke dalam kerangka fikir baru yang lebih luas.
Misalnya seseorang yang telah berada pada tahap 4 masih bisa memahami
argumentasi tahap 3 namun mereka menundukkannya ke dalam
pertimbangan yang lebih luas.
Bagi Kohlberg konsep integritas hierarkis ini sangatlah penting karena
mampu menjelaskan arah urutan pentahapan. Dia bukalah seorang
pendukung dari konsep pendewasaan, dan tidak mudah baginya untuk
mengatakan bahwa pentahapan telah diatur oleh gengen.
5. Urutan universal
Kohlberg, seperti teorisi pentahapan lainnya, yakin kalau urutan
pentahapannya bersifat universal; urutan ini akan sama di semua budaya.
Awalnya, klaim ini terdengar mengejutkan. Bukankah budaya yang berbeda
mensosialkan anak-anak dengan cara yang berbeda, mengajari mereka
masalah-masalah moral yang sangat berbeda?.
Respons Kohlberg adalah budaya-budaya yang berbeda itu memang
mengajari anak-anak kepercayaan yang berbeda, namun pentahapannya tidak
mengacu pada keyakinan-keyakinan tertentu melainkan pada mode penalaran
105
yang melandasinya. Sebagai contoh, suatu budaya bisa saja melarang
perkelahian fisik, sementara budaya yang lainnya mendukungnya. Akibatnya
anak-anak akan memiliki keyakinan khusus yang berbeda terhadap
perkelahian, namun mereka masih bisa menalarnya dengan cara yang sama
pada tahap yang sama. Anak pada tahap 1 contohnya, seorang anak mungkin
keliru untuk berkelahi meskipun diserang “karena kita akan dihukum
karenanya.” Sementara yang lain mungkin berkata “Boleh-boleh saja
berkelahi jika diserang; kita tidak akan dihukum.” Keyakinan ini berbeda,
namun kedua anak menalar perkelahian dengan cara yang sama-menurut
konsekuensi-konsekuensi fisik (hukuman). Mereka bertindak demikian
karena inilah yang bisa mereka raih secara kognitif.
Kohlberg (Nisan dan Kohlberg, 1982) menyatakan bahwa kita tidak bisa
memahami temuan ini di dalam kerangka teori Piagetian. Faktor-faktor
budaya tidak langsung membentuk pikiran moral anak anak, selain hanya
menstimulasi pemikiran. Pengalaman-pengalaman sosial dapat menantang
pemikiran anak-anak, menstimulasi mereka untuk sampai ke tahap yang lebih
baru.
E. Konsep Pendidikan Lawrence Kohlberg
Kohlberg memulai karir ilmiahnya sebagai peneliti dalam bidang
psikologi empiris, namun sejak awal niatnya sudah terpusat dalam dunia
pendidikan. Dalam hal ini, Kohlberg pernah mengatakan, ”dorongan saya
106
untuk menulis sesuatu pertama-tama bersifat pedagogis, pendidikanlah
yang merupakan praksis pokok, untuknya psikologi menjadi relevan.”13
Sesuai dengan teori perkembangan moral yang dikemukakannya,
pendekatan Kohlberg dalam pendidikan moral disebut pendekatan
kognitif-developmental. Asumsi dasar dari pendekatan model tersebut
adalah:
1. Pendidikan moral memerlukan gagasan filosofis tentang
moralitas.
2. Perkembangan moral melalui tahap-tahap kualitatif.
3. Rangsangan terhadap perkembangan moral didasarkan pada
rangsangan terhadap pemikiran dan pemecahan masalah.14
Dalam kaitan dengan pendidikan moral, Kohlberg menawarkan
metode diskusi ala Socrates yang membahas tentang isu-isu moral. 15
Dalam metode tersebut guru menawarkan permasalahan moral untuk
dibahas oleh siswa melalui metode diskusi. Siswa diberi kesempatan
seluas-luasnya untuk melihat dan menganalisis permasalahan moral dari
perspektif dirinya, kepentingannya, norma dan nilai di masyarakat, dan
lain-lain.
Pada akhirnya siswa harus menentukan keputusan apa yang akan
diambil oleh siswa. Apabila Kohlberg menawarkan isu moral fiktif, maka
untuk konteks bangsa Indonesia perlu dikemukakan isu-isu moral
13
John de Santo & Agus Cremers. Tahap-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta: Kanisius.
1955 Hlm. 33 14
John de Santo & Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Moral……ibid hlm. 65 15
John de Santo & Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Moral……ibid hlm. 66
107
kontemporer yang benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
hal ini yang perlu ditekankan adalah anak memiliki pengalaman yang
beranekaragam dalam masalah sosial. Anak juga harus dihadapkan pada
permasalahan moral dengan sudut pandang yang berbeda. Dengan
demikian beragamnya permasalahan moral, beragamnya sudut pandang
dalam memecahkan masalah moral akan merangsang perkembangan moral
anak menuju ke tahap yang lebih tinggi.
Berkaitan dengan hal tersebut tersebut, barangkali perlu dicatat
gagasan Paulo Freire tentang pendidikan hadap masalah. Dalam hal ini
Freire berpendapat bahwa pengintegrasian realitas sosial dalam pendidikan
merupakan salah satu upaya dalam membebaskan diri dari masalah-
masalah. Integrasi biasanya muncul dari kemampuan untuk menyesuaikan
diri dengan realitas, kemudian ditambah dengan kemampuan kritis untuk
membuat pilihan dan mengubah realitas.16
Nilai-nilai dari kehidupan manusia yang oleh Kohlberg dipercaya
sebagai nilai-nilai universal bagi seluruh manusia adalah: hukum dan
aturan (law and rules), hati nurani (conscience), kasih sayang (personal
roles of affection), kewibawaan (authority), keadilan (civil right),
perjanjian, kepercayaan, dan keadilan (contract, trust, and justice
exchange), hukuman (punishment), nilai-nilai hidup (the value of life) hak
milik (property right and values), dan kebenaran (truth).17
16
Firdaus M Yunus. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial: Paulo Freire dan YB Mangunwijaya.
Yogyakarta: Logung Press. 2004, hlm 2 17
Reimer, J., Paolitto, DP., Hersh, Richard H, Promoting Moral Growth: From Piaget to
Kohlberg. New York: Longman Inc. 1983, hlm. 84
108
Bagi Kohlberg, prinsip yang paling inti bagi perkembangan
pertimbangan moral dalam pendidikan adalah keadilan. Keadilan,
penghargaan utama terhadap nilai dan persamaan derajat, merupakan tolok
ukur yang mendasar dan universal. Penggunaan keadilan sebagai prinsip,
menjamin kebebasan dalam berkeyakinan, menggunakan konsep moralitas
yang dapat dibenarkan secara filosofis dan didasarkan atas fakta psikologis
dari perkembangan manusia.18
1. Pendidikan Moral
Kohlberg menyatakan bahwa orientasi moral individu
terbentang sebagai konsekuensi dari perkembangan kognitif. Anak-
anak dan remaja mennyusun pemikiran moralnya seiring dengan
perkembanganya dari satu tahap ke tahap berikutnya, dibandingkan
hanya secara pasif sekedar menerima norma-norma budaya
mengenai moralitas.
Kohlberg sependapat dengan Piaget yang menyatakan
bahwa sikap moral bukan hasil dari sosialisasi atau pelajaran yang
diperoleh dari pengalaman, tetapi tahap-tahap perkembangan moral
terjadi dari aktifitas spontan dari anak-anak. Anak-anak memang
berkembang melalui interaksi sosial, namun interaksi ini memiliki
corak khusus, dimana faktor pribadi yaitu aktifitas-aktifitas anak
ikut berperan.
18
John de Santo & Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Moral…ibid hlm. 67
109
Orang tua memiliki kewajiban memberikan kesempatan
untuk pengambilan peran dan mengalami konflik kognitif, namun
mereka menyediakan peran primer dalam perkembangan moral
bagi kawan-kawanya.19
Hal ini membuktikan bahwa orang tua dan
teman sebaya memiliki pengaruh yang besar terahadap
perkembangan moral anak.
Pendidikan moral kognitif merupakan sebuah konsep yang
didasarkan pada keyakinan bahwa para siswa sebaiknya belajar
menghargai nilai-nilai seperti demokrasi dan keadilan seiring
dengan perkembangan penalaran moral mereka. Pendidikan moral
Kohlberg telah menjadi dasar bagi pendidikan moral kognitif.
Pendidikan moral ini memiliki tujuan agar siswa memiliki
kepercayaan dan mampu mengembangkan gagasan-gagasan yang
lebih tinggi.
Kohlberg menyadari bahwa suasana disekolah memiliki
pengaruh yang penting dibandingkan dengan yang lainya. Seperti
contohnya, sebuah studi menemukan bahwa bahan kuliah
pendidikan moral yang diberikan selama satu semester yang
didasarkan pada teori Kohlberg berhasil dalam meningkatkan
pemikiran moral di tiga sekolah demokratis, namun tidak berhasil
disekolah yang memiliki iklim otoriter.
19
John W. Santrock. Adolescence, … ibid, hlm 321
110
2. Tujuan Pendidikan Moral
Pendidikan moral merupakan salah satu aspek yang
menarik perhatian Lawrence Kohlberg. Dengan teori the cognitive-
developmental of moralization, Kohlberg menetapkan bahwa
tujuan pendidikan moral adalah pencapaian orientasi etika
universal, dimana dalam tahap ini seseorang dapat memahami,
menerima dan melaksanakan aturan berdasarkan hati nuraninya.
Bahkan sangat dimungkinkan siswa mengkritisi aturan yang
mengabaikan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran demokrasi, dan
prinsip-prinsip lainnya.
Pendidikan moral merupakan salah satu aspek yang
menarik perhatian Lawrence Kohlberg. Dengan teori the cognitive-
developmental of moralization, Kohlberg menetapkan bahwa
tujuan pendidikan moral adalah pencapaian orientasi etika
universal, dimana dalam tahap ini seseorang dapat memahami,
menerima dan melaksanakan aturan berdasarkan hati nuraninya.
Bahkan sangat dimungkinkan siswa mengkritisi aturan yang
mengabaikan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, demokrasi, dan
prinsip-prinsip lainnya.
Walaupun Kohlberg memulai karier ilmiahnya sebagai
peneliti dalam bidang psikologi empiris, namun sejak awal niatnya
sudah terpusat dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini, Kohlberg
(John de Santo, 1995: 33) pernah mengatakan, ”dorongan saya
111
untuk menulis sesuatu pertama-tama bersifat pedagogis. ...
pendidikanlah yang merupakan praksis pokok, untuknya psikologi
menjadi relevan.”
Sesuai dengan teori perkembangan moral yang
dikemukakannya, pendekatan Kohlberg dalam pendidikan moral
disebut pendekatan kognitif-developmental. Asumsi dasar dari
pendekatan model tersebut adalah: (1) pendidikan moral
memerlukan gagasan filosofis tentang moralitas, (2) perkembangan
moral melalui tahap-tahap kualitatif, dan (3) rangsangan terhadap
perkembangan moral didasarkan pada rangsangan terhadap
pemikiran dan pemecahan masalah.20
Pendidikan moral menurut Kohlberg tidak perlu
dimasukkan dalam struktur kurikulum. Kohlberg menyebut dengan
istilah hidden curriculum untuk menunjuk pada kurikulum yang
tersamar dimana pembelajaran tercipta melalui komunikasi,
diskusi, dan hubungan antara murid-guru.
Dalam kaitan dengan hal tersebut Kohlberg ingin
menekankan adanya tauladan dari guru kepada siswa-siswanya.
Melalui tauladan guru itulah siswa dapat mengidentifikasi nilai dan
moralitas yangbaik dan sesuai dengan karakter masyarakat dan
bangsanya.
20
John de Santo & Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Moral…ibid hlm 65
112
3. Metode Pendidikan Moral
Dalam kaitan dengan pendidikan moral, Kohlberg
menawarkan diskusi ala Socrates yang membahas tentang isu-isu
moral21
. Dalam metode tersebut guru menawarkan permasalahan
moral untuk dibahas oleh siswa melalui metode diskusi. Siswa
diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melihat dan menganalisis
permasalahan moral dari perspektif dirinya, kepentingannya,
norma dan nilai di masyarakat, dan lain-lain.
Metode diskusi dilema moral Kohlberg adalah suatu
metode yang dikembangkan oleh Kohlberg dan rekan-rekannya
untuk mengetahui tingkat perkembangan penalaran/pertimbangan
moral seseorang. Dari berbagai riset yang telah mereka lakukan
telah terbukti bahwa pertumbuhan dalam pertimbangan moral
(moral judgment) merupakan proses perkembangan bukan proses
mencetak aturan-aturan dan keutamaan-keutamaan dengan cara
memberi teladan, nasihat, member hukuman dan ganjaran, tetapi
suatu proses pembentukan struktur kognitif.
Pada akhirnya siswa harus menentukan keputusan apa yang
akan diambil oleh siswa. Apabila Kohlberg menawarkan isu moral
fiktif, maka untuk konteks bangsa Indonesia perlu dikemukakan
isu-isu moral kontemporer yang benar-benar terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini yang perlu ditekankan adalah
21
John de Santo & Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Moral…ibid hlm 66
113
anak memiliki pengalaman yang beranekaragam dalam masalah
sosial. Anak juga harus dihadapkan pada permasalahan moral
dengan sudut pandang yang berbeda. Dengan demikian
beragamnya permasalahan moral, beragamnya sudut pandang
dalam memecahkan masalah moral akan merangsang
perkembangan moral anak menuju ke tahap yang lebih tinggi.
Nilai-nilai dari kehidupan manusia yang oleh Kohlberg
dipercaya sebagai nilai-nilai universal bagi seluruh manusia adalah:
hukum dan aturan (law and rules), hati nurani (conscience), kasih
sayang (personal roles of affection), kewibawaan (authority),
keadilan (civil right), perjanjian, kepercayaan, dan keadilan
(contract, trust, and justice exchange), hukuman (punishment),
nilai-nilai hidup (the value of life) hak milik (property right and
values), dan kebenaran (truth).
Bagi Kohlberg, prinsip yang paling inti bagi perkembangan
pertimbangan moral dalam pendidikan adalah keadilan. Keadilan,
penghargaan utama terhadap nilai dan persamaan derajat,
merupakan tolok ukur yang mendasar dan universal. Penggunaan
keadilan sebagai prinsip, menjamin kebebasan dalam
berkeyakinan, menggunakan konsep moralitas yang dapat
dibenarkan secara filosofis dan didasarkan atas fakta psikologis
dari perkembangan manusia.22
22
John de Santo & Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Moral…ibid hlm 67
114
4. Materi Pendidikan Moral
Kohlberg menggunakan cerita untuk mengetahui
perkembangan moral seorang anak. Cerita tentang Heinz
merupakan salah satu dari sebelas cerita yang dibuat Kohlberg
untuk menyelidiki sifat dasar dari pemikiran moral. Setelah
membaca kisah tersebut, anak-anak yang diteliti oleh Kohlberg
menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilemma moral.
Berdasarkan jawaban-jawaban anak-anak terhadap dilema
moral tersebut, Kohlberg mengembangkan tiga tingkat
perkembangan moral yang masing-masing terdiri dari dua tahap.
Konsep yang penting dalam memahami perkembangan moral
adalah internalisasi yaitu perubahan perkembangan dari perilaku
yang awalnya dikontrol secara eksternal menjadi perilaku yang
dikontrol secara internal.23
Kohlberg beranggapan bahwa tingkatan dan tahapan moral
tersebut merupakan sebuah rangkaian dan berkaitan dengan usia
anak. Pada usia 9 tahun anak akan menggunakan cara pra
konvensional ketika dihadapkan pada dilemma moral. Dimasa
remaja awal, anak akan bernalar secara lebih konvensional.
Sebagian besar remaja bernalar pada tahap 3 dengan menggunakan
indikasi tahap 2 dan 4. Pada dewasa awal individu akan bernalar
menggunkan tahap pasca konvensional.
23
John W. Santrock. Adolescence, … ibid, hlm 304
115
Perkembangan moral Kohlberg memiliki sifat/karakter
khusus, diantaranya:
a. Perkembangan setiap tahap-tahap selalu berlangsung dengan cara
yang sama, dalam arti si anak dari tahap pertama berlanjut ke tahap
kedua.
b. Bahwa orang (anak) hanya dapat mengerti penalaran moral satu
tahap di atas tahap dimana ia berada.
c. Bahwa orang secara kognitif memiliki ketertarikan pada cara
berfikir satu tahap di atas tahapnya sendiri.
Kohlberg menekankan pada pendidikan moral yang
menggunakan system „kurikulum tersamar‟, dimana dia
menekankan bahwa pengajar atau guru dalam hal ini mampu
mewujudkan suatu kondisi pribadi yang mencerminkan moral
terhadap peserta didik. Dalam proses penelitiaannya Kohlberg,
dkk. mengambil sampel anak-anak dan remaja. Sebagai sebuah
realita, dimana fase tersebut merupakan fase yang tepat dalam
mengambil sebuah kesimpulan guna menemukan teori moral yang
mendekati teori moral yang ideal. Kohlberg mengantisipasi atas
nuansa relativitas moral yang pada saat ini didominasi oleh kaum
Durkheimian, dan para psikologi yang beraliran relativisme
ekstrem. Makanya, dalam kondisi ini dia lebih mengambil jalan
tengah. Menurutnya, bahwa dalam proses perkembangan moral
disini, dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan keluarga sebagai
116
sebuah faktor dominan dalam membentuk moralitas si anak. Maka,
pendidikan umum moralitas yang ditekankan Kohlberg sangat
diutamakan.
5. Pendidik Dan Peserta Didik
Menurut Kohlberg pendekatan yang baik yang harus
dilakukan untuk memahami perilaku moral harus didasari
pemahaman tentang tahapan-tahapan perkembangan moral.
Dijelaskan pula bahwa tujuan pendidikan moral adalah untuk
mendorong individu-individu untuk mencapai tahapan- tahapan
moral selanjutnya. Dalam keadaan ini maka guru tidak hanya
menyajikan materi pelajaran kepada siswa, akan tetapi secara terus
menerus harus dapat mendorong perkembangan berpikir dan
perubahan – perubahan perilaku menuju tahap perkembangan yang
lebih tinggi. Yang penting sebagai guru harus mengajarkan tentang
nilai-nilai moral.
Kohlberg mencoba merevisi dan memperluas teori
perkembangan moral yang di jelaskan oleh Piaget. Dalam
perluasan teori ini Kohlberg tetap menggunakan pendekatan dasar
Piaget yaitu menghadapkan anak-anak dengan serangkaian cerita-
cerita yang menyangkut tentang moral. Namun cerita-cerita yang
di kembangkan Kohlberg kira-kira lebih kompleks dari cerita-cerita
yang di gunakan oleh Piaget.
117
6. Perkembangan Moral
Kohlberg menyatakan bahwa proses perkembangan
penalaran moral merupakan sebuah proses alih peran, yaitu proses
perkembangan yang menuju ke arah struktur yang lebih
komprehensif, lebih terdiferensiasi dan lebih seimbang
dibandingkan dengan struktur sebelumnya. Melihat pentingnya
perkembangan penalaran moral dalam kehidupan manusia, maka
berbagai penelitian psikologi di bidang ini dilakukan. Lawrence
Kohlberg, memperluas penelitian Piaget tentang penalaran aturan
konvensi sosial, menjadi tiga tingkat penalaran moral yang terdiri
dari prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional.
Perkembangan moral anak terbentuk melalui fase-fase atau
periode-periode seperti halnya perkembangan aspek-aspek lainya.
Tiap fase perkembangan mempunyai cirri-ciri moralitas yang telah
dapat dicapai oleh anak, sekalipun dalam hal ini tidak ada
perbedaan atas batas-batas yang jelas dan lebih bergantung pada
setiap individu dari pada norma-norma umunya yang terjadi pada
anak-anak.
Tahap-tahap perkembangan penalaran moral dibagi menjadi
3 tingkat, yang terdiri dari prakonvensional, konvensional, dan
pascakonvensional. Tiga tingkat tersebut kemudian dibagi atas
enam tahap.24
24
Lawrence. Kohlberg. Tahap-tahap Perkembangan Moral….ibid. hlm 80
118
a. Penalaran Prakonvensional, menurut Kohlberg adalah tingkatan
terendah dalam teori perkembangan moral. Pada tingkatan ini
individu belum memperlihatkan adanya internalisasi dari nilai-nilai
moral, penalaran moral dikontrol oleh hadiah dan hukuman
eksternal.
Tahap 1. Moralitas heteronom (heteronom morality), adalah
orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tidak
dipersoalkan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi. Akibat fisik
tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya menentukan
sifat baik dan sifat buruk dari tindakan itu.25
Sebagai contoh,
anak-anak berfikir bahwa mereka harus mentaati orang dewasa
karena orang dewasa mengatakan mereka harus taat.
Tahap 2. Individualism, tujuan instrumental, dan pertukaran
(individualism, instrumental purpose, and exchange), adalah
tahap kedua dari perkembangan moral prakonvensional.
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara
instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan
kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia
dipandang sebagai hubungan timbal balik, unsur kewajaran dan
persamaan pembagian. Orang bersikap ramah kepada orang
lain supaya orang lain juga bersikap manis kepada kita.
25
Lawrence. Kohlberg. Tahap-tahap Perkembangan Moral….ibid. hlm 81
119
b. Penalaran Konvensional menurut Kohlberg adalah penalaran
tingkat kedua atau menengah dalam teori perkembangan.
Internalisasi yang dilakukan bersifat menengah. Individu –
individu mengikuti standart-standart tertentu (internal), namun
standart-standart itu ditetapkan oleh orang lain (eksternal),
misalnya oleh orang tua atau pemerintah.
Tahap 3. Orientasi “anak manis”. Perilaku yang baik adalah
perilaku yang menyenangkan atau yang membantu orang lain
dan yang disetujui oleh mereka.26
Ditahap ini anak-anak yang sekarang memasuki usia remaja
melihat moralitas lebih dari pada hanya urusan-urusan
sederhana. Mereka percaya manusia mestinya hidup menurut
harapan keluarga dan komunitas dan bertindak dengan cara-
cara yang baik. Tingkah laku yang baik berarti memiliki motif
dan perasaan antar pribadi yang baik seperti kasih, empati, rasa
percaya dan kepedulian pada orang lain.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya terdapat kemiripan ketiga
tahapan pertama Kohlberg dan dua tahapan Piaget. Pada
mereka terdapat suatu pergeseran dari kepatuhan tak bersyarat
menuju pandangan yang relativistic dan kepedulian akan motif-
motif yang baik. Namun bedanya, menurut Kohlberg
pergeseran ini terjadi dalam tiga tahapan, bukan dua.
26
Lawrence. Kohlberg. Tahap-tahap Perkembangan Moral….ibid. hlm 81
120
Tahap 4. Moralitas sistem sosial (social system morality)
Orientasi terhadap otoritas, peraturan yang pasti dan
pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah
menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap
otoritas dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata
aturan itu sendiri. Orang mendapatkan rasa hormat dengan
berperilaku menurut kewajibanya.27
Dalam tahap ini penilaian moral didasarkan pada pemahaman
mengenai keteraturan sosial hokum, keadilan dan tugas.
Contohnya, remaja berpikir agar komunitas dapat bekerja
secara efektif, maka komunitas perlu dilindungi oleh hokum
yang ditaati oleh para anggotanya.
c. Penalaran Pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dalam teori
perkembangan moral menurut Kohlberg. Pada tingkat ini moralitas
sepenuhnya diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-
standar orang lain. Individu mengenali kembali alternatif pelajaran-
pelajaran moral, mengeksplorasi pilihan-pilihanya dan kemudian
menentukan aturan-aturan moral personalnya. Tingkat ini terdiri
dari dua tahap yaitu:
Kontrak sosial atau kegunaan dan hak-hak individu pada tahap
ini individu bernalar bahwa berbagai nilai, hak dan prinsip
perlu melandasi atau melampaui hokum. Seseorang
27
Lawrence. Kohlberg. Tahap-tahap Perkembangan Moral….ibid. hlm 82
121
mengevaluasi validitas dari hokum yang ada, dan sistem sosial
dapat dinilai menurut sejauh mana system sosial tersebut
menjamin dan melindungi hak-hak dan nilai-nilai individu.
Prinsip etika universal menurut Kohlberg dalam tahap ini
seseorang mengembangkan sebuah standart moral berdasarkan
hak-hak manusia universal. Ketika dihadapkan pada sebuah
konflik antara hokum dan suara hati, seseorang bernalar bahwa
suara hati sebaiknya diikuti, meskipun keputusanya mungkin
memiliki risiko.
Kohlberg memliki keyakinan bahwa tahap-tahap ini
merupakan sebuah rangkaian dan berkaitan dengan usia. Sebelum
usia 9 tahun, sebagian besar anak menggunakan cara
prakonvensional ketika dihadapkan pada dilemma moral. Dimasa
awal remaja, mereka bernalar secara lebih konvensional. Sebagian
besar remaja bernalar pada tahap 3 yaitu timbale balik dan relasi.
Dimasa dewasa awal sejumlah individu bernalar ditahap
pascakonvensional.
Semua perubahan dalam penalaran moral yang berlangsung
antara masa remaja akhir dengan masa dewasa awal tampaknya
berlangsung secara gradual. Sebuah studi menemukan bahwa
ketika orang-orang yang berusia antara 16 hingga 19 tahun serta
antara 18 hingga 25 tahun diminta bernalar mengenai dilema moral
dalam kehidupan nyata dan diberi kode sesuai dengan tahapan
122
kohlber, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam
penalaran moral mereka.28
7. Faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Moral
a. Kesempatan mengambil peran
Perkembangan penalaran moral meningkat ketika seseorang
terlibat dalam situasi yang memungkinkan seseorang mengambil
perspektif sosial seperti situasi dimana seseorang sulit untuk menerima
ide, perasaan, opini, keinginan, kebutuhan, hak, kewajiban, nilai dan
standar orang lain.
Pergaulan dengan teman sebaya lebih dapat membuat individu
memainkan perannya dibanding dengan keluarga dirumah. Hal ini
menjadi lebih penting karena lebih berpengaruh akibat adanya
kesempatan mengambil peran.29
b. Situasi moral
Setiap lingkungan sosial dikarakteristikkan sebagai hak dan
kewajiban yang fundamental yang didistribusiakan dan melibatkan
keputusan. Dalam beberapa lingkungan, keputusan diambil sesuai
dengan aturan, tradisi, hukum, atau figur otoritas (tahap 1). Dalam
lingkungan yang lain, keputusan didasarkan pada pertimbangan pada
system yang tersedia (tahap 4 atau lebih tinggi). Tahap penalaran
moral ditunjukkan oleh situasi yang menstimulasi orang untuk
menunjukkan nilai moral dan norma moral.
28
John W. Santrock. Adolescence. … ibid hlm 307 29
Mohammad Iksan. Konsep moral menurut Kohlberg dan al-ghazali: sebuah studi perbandingan,
… ibid hlm 159
123
c. Konflik moral kognitif
Konflik moral kognitif merupakan pertentangan penalaran moral
seseorang dengan penalaran orang lain. Dalam beberapa studi, subjek
bertentangan dengan orang lain yang mempunyai penalaran moral
lebih tinggi maupun lebih rendah. Anak yang mengalami pertentangan
dengan orang lain yang memiliki penalaran moral yang lebih tinggi
menunjukkan tahap perkembangan moral yang lebih tinggi dari pada
anak yang berkonfrontasi dengan orang lain yang memiliki tahap
penalaran moral yang sama dengannya.
Kohlberg mengemukakan bahwa penalaran moral seseorang
dipengaruhi oleh guru. Guru adalah model moral pada tahap
perkembangan kognitif yang tinggi dan berinteraksi dengan guru
merupakan pengalaman sosio-moral tersendiri yang ada di lingkungan
sekolah yang berpengaruh terhadap perkembangan moral.
d. Keluarga
Kohlberg (dalam Janssens, 1992) memandang bahwa pengaruh
utama dari keluarga adalah pada diskusi antara orang tua dengan anak
mengenai nilai-nilai dan norma, dari pada pengalaman anak sendiri
akan disiplin, hukuman, dan hadiah dari orangtua. Interaksi antara
orangtua dan anak dalam berbagai situasi menunjukkan 3 faktor umum
di atas. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penalaran moral
anak.
124
Perkembangan moral seseorang anak banyak dipengaruhi dari
lingkungan dimana dia tinggal. Anak akan memperoleh nilai-nilai
moral dari lingkungan di tempat mereka tinggal, anak akan
memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungan terutama dari orang
tuanya. Anak akan belajar mengenai nilai-nilai dan perilaku sesuai
dengan nilai yang diperoleh. Peran orang tua dalam pembentukan
moral anak sangat penting.
e. Pendidikan
Kohlberg juga menyatakan bahwa penalaran moral dipengaruhi
oleh tahap perkembangan kognitif yang tinggi (seperti pendidikan) dan
pengalaman sosiomoral. Pendidikan adalah prediktor yang kuat dari
perkembangan penalaran moral, karena lingkungan pendidikan yang
lebih tinggi menyediakan kesempatan, tantangan dan lingkungan yang
lebih luas yang dapat merangsang perkembangan kognitif.