BAB III KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM TEKS … · Mumsika>n bi>dzira>‘iha> bi>‘anfin...
Transcript of BAB III KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM TEKS … · Mumsika>n bi>dzira>‘iha> bi>‘anfin...
305
BAB III
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM TEKS NOVEL
BANA>TU‘R-RIYA>DH KARYA RAJA>’ ASH-SHA>NI‘I: KAJIAN KRITIK
SASTRA FEMINIS PSIKOANALISIS HELENE CIXOUS
Penelitian kritik sastra feminis psikoanalisis dalam karya sastra adalah
penelitian sebuah karya sastra dengan memfokuskan kajian pada tulisan-tulisan
perempuan karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya
mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada tokoh
perempuan, sedangkan tokoh perempuan tersebut pada umumnya merupakan
cermin penciptanya (Wiyatmi, 2012:26). Penelitian ini membahas kekerasan
terhadap perempuan dalam teks novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i
dengan menggunakan kajian kritik sastra feminis psikoanalisis menurut Helene
Cixous. Helene Cixous adalah seorang novelis, penulis drama dan kritikus
feminis. Dalam teorinya, Cixous memusatkan perhatiannya pada dua macam,
yaitu a). Hegemoni oposisi biner dalam kebudayaan barat, dan b). Praktik
penulisan feminim yang dikaitkan dengan tubuh (Moi via Ratna, 2013:200-201).
Latar cerita novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i terjadi di kota
Riyadh (Saudi Arabia-Timur Tengah), maka penelitian ini difokuskan pada
praktik penulisan feminim khususnya yang membahas mengenai bentuk-bentuk
kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam teks novel Bana>tu‘r-Riya>dh.
Adapun tahapan penelitian ini yaitu sebagai berikut.
Pertama, interpretasi yaitu upaya memahami karya sastra dengan
memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra itu. Dalam arti sempit,
interpretasi adalah usaha untuk memperjelas arti bahasa dengan sarana analisis,
305
306
parafrasa dan komentar. Sedangkan, dalam arti luas, interpretasi adalah
menafsirkan makna karya sastra berdasarkan unsur-unsur beserta aspek-aspeknya
yang lain, seperti jenis sastranya, aliran sastranya, efek-efeknya, serta latar
belakang sosial historis yang mendasari kelahirannya (Abrams dan Pradopo via
Wiyatmi, 2012:3-4). Kedua, analisis yaitu penguraian karya sastra atas bagian-
bagaian atau norma-normanya (Pradopo via Wiyatmi, 2012:4). Ketiga, penilaian
yaitu usaha untuk menentukan kadar keindahan (keberhasilan) karya sastra yang
dikritik. Penilaian terhadap karya sastra juga dilakukan tidak dengan semena-
mena, tetapi berdasarkan pada fenomena yang ada dalam karya sastra yang dinilai,
kriteria dan standar penilaian, serta pendekatan yang digunakan (Wiyatmi,
2012:4).
A. Definisi Kekerasan terhadap Perempuan
Tindak kekerasan yang terkait dengan perbedaan jenis kelamin dikenal
dengan istilah gender based violence (La Pona via Sugihastuti, 2007:171).
Menurut Saraswati (via Sugihastuti, 2007:171), kekerasan adalah tindakan yang
dilakukan terhadap pihak lain, yang pelakunya perseorangan atau lebih, yang
dapat mengakibatkan penderitaan bagi pihak lain. Kekerasan tersebut dibedakan
dalam dua bentuk, yaitu kekerasan fisik yang dapat mengakibatkan luka pada fisik
hingga mengakibatkan kematian, dan kekerasan psikologis yang berakibat pada
timbulnya trauma berkepanjangan pada korban terhadap hal-hal tertentu yang
telah dialaminya.
Dalam pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di
Nairobi pada tahun 1985, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan
terhadap perempuan adalah sebagai berikut.
307
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat pada penderitaan perempuan
secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau pemerasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik
yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi
(Sugihastuti, 2007:172).
Menurut La Pona (via Sugihastuti, 2007:172), kekerasan terhadap
perempuan adalah tindakan seorang laki-laki atau sejumlah laki-laki dengan
mengerahkan kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian atau penderitaan
secara fisik, seksual, atau psikologis pada seorang perempuan atau sekelompok
perempuan, termasuk tindakan yang bersifat memaksa, mengancam, dan atau
berbuat sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat
maupun dalam kehidupan pribadi di ruang domestik dan publik.
B. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan
Berdasarkan situs terjadinya, kekerasan terhadap perempuan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kekerasan yang terjadi pada arena domestik atau
kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan pada arena publik. Pembedaan
antara kedua ranah ini didasarkan atas unsur relasi sosial antara korban dan
pelaku (Landes via Sugihastuti, 2007:172). Oleh karena itu, kekerasan yang
dilakukan oleh pelaku yang memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan
perkawinan, meskipun dilakukan di sektor publik, di pasar misalnya, kekerasan
tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan domestik. Sebaliknya, bila
kekerasan dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan atau
perkawinan, meskipun dilakukan di dalam rumah, dikategorikan sebagai
kekerasan sektor publik (Sugihastuti, 2007:172-173).
308
Hasbianto (via Sugihastuti, 2007:173) menyatakan bahwa kekerasan
dalam rumah tangga (selanjutnya disebut kekerasan domestik) adalah suatu
bentuk penganiayaan secara fisik maupun emosional atau psikologis, yang
merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah
tangga. Meiyanti (via Sugihastuti, 2007:173) menjelaskan jenis-jenis kekerasan
domestik terhadap perempuan sebagai berikut.
Pertama, kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan dalam melakukan
hubungan seksual, pemaksaan selera seksual sendiri, dan tidak memperhatikan
kepuasan pihak istri. Kedua, kekerasan fisik adalah segala macam tindakan yang
mengakibatkan kekerasan fisik pada perempuan yang menjadi korbannya (La
Pona via Sugihastuti, 2007:173). Kekerasan fisik dilakukan dengan
menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya
seperti memukul, menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut
dengan rokok, serta melukai dengan barang atau senjata. Ketiga, kekerasan
ekonomi seperti tidak memberikan uang belanja, dan memakai atau
menghabiskan uang istri. Keempat, kekerasan emosional yang meliputi mencela,
menghina, mengancam atau menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan
kehendak, serta mengisolasi istri dari dunia luar.
Kekerasan terhadap perempuan dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu
kekerasan seksual dan nonseksual (Dzuhayatin dan Yuarsi via Sugihastuti,
2007:173-174). Perbedaan antara kedua jenis kekerasan tersebut adalah ada atau
tidaknya unsur kehendak seksual. Jika terdapat unsur kehendak seksual, maka
kekerasan tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Sebaliknya,
309
jika unsur tersebut tidak dominan, maka kekerasan tersebut termasuk dalam
kategori kekerasan non seksual.
Berdasarkan uraian tersebut di atas secara rinci dapat dilihat pada diagram
di bawah ini.
Gambar 4. Skema Kekerasan terhadap Perempuan
(Teori Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis Helene Cixous)
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pada penelitian ini dibahas
mengenai dua jenis kekerasan terhadap perempuan dalam teks novel Bana>tu‘r-
Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i, yaitu a). Kekerasan domestik (yang meliputi
Diagram Kekerasan terhadap Perempuan
Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis (Helene Cixous)
1. Hegemoni Oposisi Biner
dalam Kebudayaan Barat
2. Praktik Penulisan Feminim
yang Dikaitkan dengan Tubuh
Langkah-langkah Analisis
Kekerasan terhadap Perempuan
1. Interpretasi 2. Analisis 3. Penilaian
Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan
1. Kekerasan Domestik 2. Kekerasan Publik
2. Emosional
1. Fisik 3. Ekonomi 1. Seksual 2. Non Seksual
1. Fisik 2. Emosional
310
kekerasan fisik, emosional dan ekonomi), dan b). Kekerasan publik yang terdiri
dari kekerasan seksual dan non seksual (yang meliputi kekerasan emosional dan
fisik). Akan tetapi, tidak seluruhnya diaplikasikan karena disesuaikan dengan
bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam teks novel Bana>tu‘r-Riya>dh. Hasil
penelitian ini diuraikan sebagai berikut.
1. Kekerasan Domestik
Kekerasan domestik, yaitu tindak kekerasan terhadap perempuan dalam
lingkup rumah tangga yang terdapat dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh. Berdasarkan
pembacaan terhadap novel Bana>tu‘r-Riya>dh, kekerasan domestik terhadap
perempuan yang terdapat dalam novel ini meliputi kekerasan fisik, emosional
dan ekonomi. Adapun bentuk-bentuk kekerasan tersebut diuraikan sebagai
berikut.
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah segala macam tindakan yang mengakibatkan
penderitaan fisik pada korbannya (La Pona via Sugihastuti, 2007:179). Selain itu,
Meiyanti (via Sugihastuti, 2007:179), menjelaskan bahwa kekerasan fisik
melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh seperti memukul, menampar,
meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, serta melukai
dengan benda atau senjata. Setelah pembacaan terhadap novel Bana>tu‘r-Riya>dh,
ditemukan bahwa tokoh perempuan yang menerima bentuk kekerasan fisik
adalah Qamrah. Adapun tindak kekerasan fisik terhadap tokoh perempuan
Qamrah dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i diuraikan
sebagai berikut.
311
1. Kekerasan Fisik terhadap Tokoh Qamrah
Dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i, tokoh perempuan
Qamrah mendapat kekerasan fisik dari suaminya (Ra >syid). Adapun bentuk-bentuk
kekerasan fisik yang dilakukan oleh Ra >syid terhadap Qamrah tersebut dijelaskan
sebagai berikut.
a. Cengkeraman dengan Kasar
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Ra >syid mencengkeram lengan
Qamrah dengan kasar saat dia marah adalah sebagai berikut.
(.7002881 نع،ا....)ممسكا بذراعها بعنف(.... )الصMumsika>n bi>dzira>‘iha> bi>‘anfin (Ash-Sha>ni‘i, 2007:18).
Artinya: Ra >syid mencengkeram lengan istrinya dengan kasar (Ash-
Sha>ni‘i, 2007:18).
Berdasarkan data tekstual di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk kekerasan
fisik pertama yang menimpa Qamrah, yaitu Ra>syid mencengkeram lengannya
dengan kasar. Tindak kekerasan fisik yang dilakukan oleh Ra>syid tersebut terjadi
saat keduanya bertengkar di apartemen. Pertengkaran tersebut terjadi karena
kemarahan Ra>syid pada Qamrah yang mendatangi Karey di sebuah hotel tempat
Karey singgah. Maksud kedatangan Qamrah ke tempat Karey tersebut adalah
untuk memperingatkannya agar dia tidak mengganggu kehidupan rumah tangga
Qamrah dengan Ra>syid. Hal itu dilakukan oleh Qamrah karena dia curiga,
cemburu dan kecewa setelah melihat foto-foto mesra Ra>syid bersama Karey yang
disimpan oleh Ra>syid di komputer miliknya. Akan tetapi, setelah mengetahui
bahwa Qamrah mendatangi Karey, Ra>syid sangat marah dan bersikap kasar pada
312
Qamrah, yaitu Ra>syid mencengkeram lengan Qamrah dengan kasar (Ash-Sha>ni‘i,
2007:18).
Secara fisik, susunan tulang laki-laki ukurannya lebih besar dari tulang
perempuan. Selain itu, perimbangan pada otot di tubuh laki-laki juga lebih banyak
daripada kandungan lemaknya (An-Nu‘aimi, 2000:17). Sehingga, tindakan Ra>syid
terhadap Qamrah, yaitu Ra>syid mencengkeram lengan Qamrah dengan kasar
tersebut menyakiti fisik Qamrah. Maka, tindakan Ra>syid tersebut termasuk tindak
kekerasan fisik terhadap perempuan. Kekerasan fisik adalah tindak kekerasan
yang melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh seperti seperti memukul,
menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, serta
melukai dengan benda atau senjata (Meiyanti via Sugihastuti, 2007:179). Hal itu
sebagaimana yang dilakukan Ra>syid, yaitu dia mencengkeram lengan Qamrah
dengan kasar sehingga menyakiti fisik Qamrah.
Berdasarkan uraian di atas dapat dimaknai bahwa tindakan Ra>syid, yaitu
dia mencengkeram lengan Qamrah dengan kasar tersebut menyakiti fisik Qamrah.
Sehingga, hal tersebut termasuk tindak kekerasan fisik terhadap perempuan.
Karena mencengkeram lengan istri dengan kasar melibatkan penggunaan alat atau
anggota tubuh, yaitu tangan. Dalam Islam, seorang suami seharusnya menjadi
pelindung bagi istriya, baik itu dari perlakuan buruk dirinya sendiri maupun dari
orang lain. Hal tersebut sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an (4:34) yang
artinya, ‘‘Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari
313
hartanya....’’. Maka, tindakan Ra>syid tersebut bukanlah tindakan yang melindungi
perempuan sebagaimana yang Allah perintahkan kepada laki-laki (suami)
terhadap perempuan (istrinya), karena tindakan tersebut bersifat menyakiti
perempuan secara fisik.
b. Mendorong Tubuh dengan Keras
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Ra>syid mendorong tubuh Qamrah
dengan keras saat keduanya berada di kamar tidur adalah sebagai berikut.
....وإذا بو يفاجئها بفعل مل خيطر ذلا على بال ! كانت ردة فعلها ادلفاجئة لو وذلا (. 702881 صفعتو بقوة ! )الصانع، يف حينها أن
....Wa idza> bi>hi yufa>ja’uha> bi>fi‘lin lam yakhthir laha> ‘ala> ba>lin! Ka>nat raddatu fi‘liha> al-mufaja’atu lahu wa laha> fi> chi>niha> anna shaf‘atahu bi>quwwatin! (Ash-Sha>ni‘i, 2007:6).
Artinya: ....Ra >syid melakukan sesuatu yang sama sekali tak pernah
diduganya. Dia mendorong kembali dengan keras (Ash-Sha>ni‘i,
2007:6).
Berdasarkan data tekstual di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk kekerasan
fisik kedua yang menimpa Qamrah, yaitu Ra>syid mendorong tubuh Qamrah saat
keduanya berada di kamar tidur. Hal tersebut dikarenakan kemarahan Ra>syid
terhadap Qamrah yang mendekatinya untuk melakukan hubungan biologis, tetapi
Ra>syid menolaknya dengan amarah dan sikap kasar pada istrinya. Kemudian dia
mengenakan pakaiannya dan pergi meninggalkan Qamrah yang menangis di
kamar tidur (Ash-Sha>ni‘i, 2007:6).
Biasanya, laki-laki kelelahan setelah menghabiskan banyak waktunya
untuk bekerja setiap hari di luar rumah. Maka, ketika pulang ke rumah, dia
membutuhkan istirahat dan ketenangan. Karena itu, laki-laki menjauhkan diri dari
perempuan ketika bekerja di luar rumah dan ketika pulang ke rumah. Akan tetapi,
314
meskipun penjauhan diri tersebut jelas sebabnya, hal tersebut tidak membuat
perempuan senang. Karena penjauhan diri tersebut membuat perempuan merasa
diabaikan dan merasa tidak dicintai oleh suaminya (An-Nu‘aimi, 2000:472). Hal
itu sebagaimana yang terjadi dengan Qamrah dan Ra>syid, yaitu Qamrah
mendekati suaminya untuk berhubungan biologis dengannya. Hal itu dia lakukan
karena dia berpikir bahwa Ra>syid tidak menyentuh istrinya sejak mereka
bermalam di Roma dikarenakan dia malu untuk memulai hubungan biologis
tersebut dengannya. Akan tetapi, saat Qamrah mendekatinya, Ra>syid marah dan
bersikap kasar padanya, yaitu dia mendorong tubuh Qamrah dengan keras di
tempat tidur. Kemudian, dia mengenakan pakaiannya lalu pergi meninggalkan
Qamrah yang menangis di kamar tidur. Tindakan Ra>syid tersebut dilakukannya
karena saat itu dia kelelahan setelah bekerja seharian di luar rumah sehingga dia
membutuhkan istirahat dan ketenangan. Selain itu, tindakan tersebut juga
dikarenakan Ra>syid tidak mencintai Qamrah sehingga dia bersikap acuh pada
istrinya termasuk dalam kehidupan seksual di antara keduanya.
Akan tetapi, meskipun tindakan Ra>syid terhadap Qamrah tersebut
memiliki alasan, yaitu dia ingin beristirahat dan membutuhkan ketenangan,
tindakan tersebut tetap merupakan tindak kekerasan fisik terhadap perempuan
dikarenakan tindakan tersebut menyakiti fisik perempuan, yaitu tubuhnya.
Kekerasan fisik adalah tindak kekerasan yang melibatkan penggunaan alat atau
anggota tubuh (Meiyanti via Sugihastuti, 2007:179). Hal itu sebagaimana yang
dilakukan Ra>syid terhadap Qamrah, yaitu dia mendorong tubuh Qamrah dengan
kasar.
315
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa Ra>syid sebagai
seorang suami tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik, salah satunya yaitu
menafkahi kebutuhan batin istrinya dengan cara yang patut sebagaimana yang
Allah perintahkan dalam Al-Qur’an (2:223) yang artinya, ‘‘Istri-istrimu adalah
ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu
sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya....’’.
c. Menampar Pipi
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Ra>syid menampar pipi kanan
Qamrah saat keduanya bertengkar adalah sebagai berikut.
أتتها الصفعة مدوية على خدىا األمين ! Atatha> ash-shaf‘atu mudwiyyatan ‘ala> khaddiha> al-aiman (Ash-Sha>ni‘i, 2007:18).
Artinya: Dia (Ra>syid) menampar pipi kanan Qamrah (Ash-Sha>ni‘i,
2007:18).
Berdasarkan data tekstual di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk kekerasan
fisik ketiga yang menimpa Qamrah, yaitu Ra>syid menampar pipi kanan Qamrah
saat mereka bertengkar. Pertengkaran tersebut terjadi setelah Ra>syid mengetahui
bahwa Qamrah menemui Karey di hotel tempat Karey singgah. Qamrah
mendatangi Karey karena dia merasa curiga, cemburu dan sakit hati dengan
Ra>syid yang ternyata mempunyai hubungan khusus dengan Karey. Karena itulah
Qamrah mencaci Karey di depan Ra>syid. Akan tetapi, Ra>syid yang merasa kesal
dan tidak terima atas perkataan Qamrah mengenai Karey tersebut, seketika itu dia
menampar pipi Qamrah (Ash-Sha>ni‘i, 2007:18).
316
Seorang anak perempuan yang tumbuh menjadi remaja, maka
pandangannya pada hal di sekitarnya akan berubah. Perempuan mulai melihat
laki-laki sebagai orang yang dia butuhkan dalam kehidupannya. Dia
mengharapkan laki-laki tersebut bisa memberikan perhatian padanya, menghargai
keperempuanannya, dan menghormati dirinya yang selalu ingin bersama laki-laki
tersebut (An-Nu‘aimi, 2000:128-129). Hal tersebut sebagaimana perasaan Qamrah
terhadap Ra>syid, yaitu dia ingin laki-laki yang dicintainya bisa memberikan
perhatian padanya, menghargai keperempuanannya, dan menghormati dirinya
yang selalu ingin bersama laki-laki tersebut. Dengan demikian, tindakan Ra>syid
menampar pipi Qamrah tersebut merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan Qamrah terhadap Ra>syid. Karena, tindakan tersebut dinilai
sebagai tindakan yang tidak menghargai dan tidak menghormati seorang
perempuan.
Tindakan seorang suami yang menampar istrinya merupakan tindakan
yang menyakiti fisik istri. Sehingga, sikap yang demikian itu merupakan tindak
kekerasan fisik terhadap perempuan. Menurut La Pona (via Sugihastuti,
2007:179), kekerasan fisik adalah segala macam tindakan yang mengakibatkan
penderitaan fisik pada korbannya. Selain itu, Meiyanti (via Sugihastuti,
2007:179), menjelaskan bahwa kekerasan fisik melibatkan penggunaan alat atau
anggota tubuh seperti memukul, menampar, meludahi, menjambak, menendang,
menyulut dengan rokok, serta melukai dengan benda atau senjata. Hal itu
sebagaimana yang dialami oleh Qamrah, yaitu dia menjadi korban kekerasan fisik
berupa tamparan yang dilakukan oleh suaminya.
317
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa tindak
kekerasan fisik yang dilakukan oleh Ra>syid terhadap Qamrah tersebut
dikarenakan kemarahan Ra>syid terhadap Qamrah. Kemarahan merupakan emosi
yang paling berbahaya, karena ada kemungkinan orang yang marah berusaha
menyakiti target kemarahannya (Ekman, 2003:188). Hal itu sebagaimana yang
dilakukan Ra>syid, yaitu dia marah dan kemarahannya itu membuatnya menyakiti
Qamrah dengan tamparan.
d. Meludahi
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Ra>syid meludahi Qamrah sebelum
meninggalkan apartemen pada saat mereka bertengkar adalah sebagai berikut.
(.7002881وتبصق عليو باستحقار )الصانع، Watabashshaqa ‘alaihi bi>stichqa>rin (Ash-Sha>ni‘i, 2007:18).
Artinya: Ra >syid meludahinya (Qamrah) (Ash-Sha>ni‘i, 2007:18).
Berdasarkan data tekstual di atas dapat dijelaskan bahwa kekerasan fisik
keempat yang menimpa Qamrah, yaitu Ra>syid meludahi Qamrah sebelum
meninggalkan apartemen saat mereka bertengkar (Ash-Sha>ni‘i, 2007:18).
Tindakan Ra>syid tersebut merupakan ungkapan kejijikannya terhadap Qamrah.
Kejijikan adalah sebuah perasaan keengganan terhadap sesuatu yang membuat
orang ingin meludah (Ekman, 2003:273). Hal itu sebagaimana yang terjadi
dengan Ra>syid, yaitu dia meludahi Qamrah karena perasaannya jijik terhadapnya.
Menurut La Pona (via Sugihastuti, 2007:179), kekerasan fisik adalah
segala macam tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik pada korbannya.
Selain itu, Meiyanti (via Sugihastuti, 2007:179), menjelaskan bahwa kekerasan
318
fisik melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh seperti memukul, menampar,
meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, serta melukai dengan
benda atau senjata. Hal itu sebagaimana tindak kekerasan fisik yang dilakukan
Ra>syid terhadap Qamrah, yaitu dia meludahinya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa sikap-sikap
sebagaimana yang ditampakkan oleh Ra>syid tersebut merupakan karakter laki-laki
yang tidak saleh. Karena, laki-laki yang saleh memperlakukan istrinya dengan
cara yang patut, meskipun terdapat hal-hal yang tidak dia sukai dari istrinya. Hal
itu sebagimana yang diperintahkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman
dalam Al-Qur’an (4:19) yang artinya, ‘‘Dan bergaullah dengan mereka dengan
cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan
yang banyak padanya’’.
e. Pemaksaan Penggunaan Alat Kontrasepsi Tertentu
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Ra >syid memaksa Qamrah untuk
mengkonsumsi obat anti hamil adalah sebagai berikut.
ظلت قمرة تبحث بني تلك الدقائق عن السبب احلقيقي لنفوره منها، السبب احلقيقي وراء استخفافو هبا، السبب الذي يدفعو إلجبارىا على تناول حبوب منع احلمل طوال ىذه األشهر، على الرغم من حترقها اإلجناب طفلة منو )الصانع،
7702881.) Zhallat Qamratu tabchatsu baina tilka ad-daqa>’iqi ‘ani‘s-sababil-chaqi>qiyyi li>nufu>rihi minha>, as-sababul-chaqiqiyyu wa ra>’a istikhfa>fihi bi>ha> as-sababu alladzi> yadfa‘uhu li>-ijba>riha> ‘ala> tana>wali chubu>bi man‘il-chamli thiwa>la ha>dzihil-asy-huri, ‘ala>‘r-raghmi min tuchchariqiha> al-inja>bi thiflatan minhu (Ash-Sha>ni‘i, 2007:11).
319
Artinya: Dia mencari tahu hal apa yang membuat Ra >syid
meremehkan dirinya. Tetapi di antara segala bentuk pencarian itu,
Qamrah penasaran mengapa Ra >syid memaksanya mengonsumsi
obat anti hamil pada saat keinginannya untuk memiliki momongan
tengah menggebu (Ash-Sha>ni‘i, 2007:11).
Berdasarkan data tekstual di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk kekerasan
fisik kelima yang menimpa Qamrah berupa pemaksaan penggunaan alat
kontrasepsi tertentu yang dilakukan oleh suaminya (Ra >syid), yaitu dia memaksa
istrinya (Qamrah) untuk mengkonsumsi obat anti hamil (Ash-Sha>ni‘i, 2007:11).
Meskipun, tindakan Ra >syid tersebut dilakukannya dengan alasan untuk
menunda memiliki anak hingga kuliahnya selesai, tetapi hal tersebut berdampak
buruk bagi kesehatan Qamrah. Karena, mengkonsumsi obat anti hamil merupakan
metode kontrasepsi buatan yang tidak baik untuk kesehatan perempuan. Hal itu
dikarenakan kontrasepsi buatan dapat menimbulkan efek negatif berupa
penambahan berat badan, munculnya jerawat serta flek hitam di sekitar hidung
dan pipi, migrain, hipertensi serta berkurangnya libido perempuan. Selain itu,
mengonsumsi obat-obatan pencegah kehamilan juga dapat menimbulkan
gangguan pada siklus menstruasi. Sehingga, darah haid tidak keluar selama
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, atau darah haid tersebut dapat keluar
sedikit demi sedikit, tetapi tidak teratur hingga mengganggu bagi perempuan
muslimah yang harus menunaikan kewajiban ibadah seperti salat dan puasa.
Sedangkan, efek paling berat dan serius dari penggunaan kontrasepsi buatan
tersebut, yaitu terjadinya infeksi rahim, pendarahan di luar waktu menstruasi,
kehamilan di luar kandungan serta meningkatnya risiko kanker payudara (Anton,
2008:147-148). Hal itu sebagaimana yang terjadi dengan Qamrah, yaitu dia
320
mengalami penambahan berat badan hingga menyebabkannya terlihat lebih tua
dari umurnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa Ra >syid
mementingkan dirinya sendiri tanpa mempertimbangan dampak buruk bagi
istrinya (Qamrah). Padahal, penggunaan metode kontrasepsi buatan tersebut, yaitu
mengkonsumsi obat anti hamil berdampak buruk bagi kesehatan Qamrah.
b. Kekerasan Emosional
Kekerasan emosional terhadap perempuan merupakan tindak kekerasan
yang melibatkan secara langsung kondisi psikologis perempuan yang menjadi
korbannya (Sugihastuti, 2007:183). Dari pembacaan terhadap novel Bana>tu‘r-
Riya>dh, ditemukan bahwa tokoh perempuan yang menerima bentuk kekerasan
emosional di lingkungan domestik adalah Qamrah, Ummi Nuwair dan Chafshah.
Adapun tindak kekerasan emosional terhadap tokoh perempuan dalam novel
Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i diuraikan sebagai berikut.
1. Kekerasan Emosional terhadap Tokoh Qamrah
Kekerasan emosional terhadap tokoh Qamrah dalam novel Bana>tu‘r-
Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i diuraikan sebagai berikut.
a. Mengacuhkan
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Qamrah diacuhkan oleh suaminya
(Ra>syid) adalah sebagai berikut.
ها أمام زوج ال يشعر باجنذاب حنوىا، بل أنو مل يلمسها منذ وىا ىي جتد نفس (.288107يف روما )الصانع، تلك الليلة ادلشؤومة
321
Waha> hiya tajidu nafsaha> ama>ma zaujin la> tas‘uru bi>njidza>bin nachwaha>, bal annahu lam yalmasha> mundzu tilkal-lailati al-masy’u>mati fi> Ru>ma> (Ash-Sha>ni‘i, 2007:2).
Artinya: Dan saat ini dia tinggal bersama seorang laki-laki yang
tidak merasakan ketertarikan cinta dan kelembutan, bahkan dia
tidak pernah menyentuhnya sejak malam terakhir yang
menjemukan di Roma (Ash-Sha>ni‘i, 2007:2).
Berdasarkan data tekstual di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk kekerasan
emosional pertama yang menimpa Qamrah, yaitu sikap Ra>syid yang acuh
terhadapnya. Sehingga, sikap acuh Ra>syid tersebut membuatnya tidak peka
terhadap istrinya, yaitu dia tidak merasakan ketertarikan cinta dan kelembutan
terhadap istrinya, bahkan dia tidak pernah menyentuhnya sejak malam terakhir
yang menjemukan di Roma (Ash-Sha>ni‘i, 2007:2). Hubungan biologis serta
kecenderungan untuk melakukannya bukan hanya keinginan laki-laki, tetapi juga
perempuan. Akan tetapi, terdapat perbedaan antara laki-laki dengan perempuan,
yaitu perempuan memiliki kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi oleh laki-laki
untuk membangkitkan keinginan biologisnya. Sehingga, laki-laki yang tidak
mengetahui hal tersebut, pada umumnya, dia akan berpandangan bahwa
perempuan tidak senang melakukan hubungan tersebut (An-Nu‘aimi, 2000:627).
Hal itu sebagaimana yang terjadi dengan Qamrah, yaitu ketika Ra>syid
tidak memenuhi kebutuhan istrinya secara biologis, maka hal tersebut membuat
Qamrah mengalami tekanan psikologis, yaitu munculnya perasaan tidak dicintai
dan tidak diinginkan oleh suaminya. Kekerasan emosional terhadap perempuan
(istri), yaitu tindak kekerasan yang melibatkan secara langsung kondisi psikologis
perempuan yang menjadi korbannya (Sugihastuti, 2007:183). Hal itu sebagaimana
kekerasan emosional yang dilakukan Ra>syid terhadap istrinya, yaitu berupa sikap
acuh yang membuatnya tidak peka dengan kebutuhan batin istrinya.
322
Berdasarkan uraian di atas dapat dimaknai bahwa yang dibutuhkan
seorang istri terhadap suaminya bukan hanya materi, tetapi juga kasih sayang. Hal
itu sebagaimana yang terjadi dengan Qamrah, yaitu dia merasa tidak bahagia
meskipun Ra>syid selalu mencukupi kebutuhan ekonominya bahkan tanpa diminta
sekalipun. Hal itu dikarenakan suaminya tidak merasakan ketertarikan cinta serta
kelembutan terhadapnya.
b. Tatapan Mata yang Penuh Amarah
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Ra>syid menatap Qamrah dengan
tatapan mata yang penuh amarah adalah sebagai berikut.
....التقت العيون يف حلظة رىيبة ! كانت عيناىا مليئتني باخلوف والذىول، مل تر مثلو من قبل. ابتعد عنها بسرعة وارتدى ثيابو وكانت عيناه مليئتني بغضب
(. 702881 على عجل وغادر الغرفة وسط دموعها واعتذاراهتا )الصانع،....Iltaqat al-‘uyu>nu fi> lachzhatin rahi>batin! Ka>nat ‘aina>ha> mali>’ataini bi>l-khaufi wa‘dz-dzuhu>li, wa ka>nat ‘aina>hu mali>’ataini bi>ghadhabin lam tara mitslahu min qablu. Ibta‘ada ‘anha> bi>sur‘atin wartada> tsiya>bahu ‘ala> ‘ajalin wa gha>dara al-ghurfata wasatha dumu>‘iha> wa‘tadza>ra>tiha> (Ash-Sha>ni‘i, 2007:6).
Artinya:....Mendadak kedua mata Qamrah dipenuhi rasa takut.
Kedua mata Ra >syid dikuasai amarah yang belum pernah dilihat
wanita itu sebelumnya. Segera, Ra >syid menjauhi tempat tidur dan
mengenakan pakaiannya (Ash-Sha>ni‘i, 2007:6).
Berdasarkan data tekstual di atas dapat dijelaskan bentuk kekerasan
emosional kedua berupa tindakan non verbal, yaitu tatapan kedua mata Ra >syid
yang dipenuhi amarah hingga membuat Qamrah ketakutan. Karena sebelumnya
dia belum pernah melihat suaminya semarah itu kepadanya. Kemudian Ra >syid
pergi meninggalkan Qamrah, setelah dia menjauhi tempat tidur dan mengenakan
pakaiannya. Kemarahan Ra >syid tersebut dikarenakan Qamrah mendekatinya
323
untuk berhubungan biologis dengannya, padahal dia tidak mencintai Qamrah dan
tidak berkeinginan untuk melakukannya (Ash-Sha>ni‘i, 2007:6).
Ketika laki-laki mengalami fase diam dan mengasingkan diri dari
perempuan yang penyebabnya tidak bisa dipahami oleh perempuan, maka
perempuan akan merasa takut dan gelisah. Dia akan mulai bertindak serampangan
karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Pada saat itu, yang pertama terlintas
di benak perempuan adalah, laki-laki sadar akan keadaan jiwanya tersebut dan
sengaja memperlakukan perempuan (istrinya) dengan cara tersebut. Sehingga,
perempuan menduga bahwa dia telah melakukan kebodohan hingga menyebabkan
laki-laki (suaminya) marah kepadanya. Pada saat itu, perempuan akan mulai
melakukan beberapa upaya yang tidak masuk akal untuk membuat laki-laki
menerima dan memaafkan dirinya lalu kembali pada keadaan biasa (An-Nu‘aimi,
2000:239).
Hal tersebut di atas sebagaimana yang terjadi dengan Qamrah ketika
mendapati suaminya (Ra >syid) diam dan menjauhkan diri darinya, yaitu dia merasa
takut dan gelisah serta menduga bahwa dia telah berbuat salah kepada suaminya
hingga suaminya bersikap demikian terhadapnya. Maka, Qamrah pun akhirnya
bertindak serampangan, yaitu dia mendekatinya, hingga Ra >syid menjadi sangat
marah kepadanya karena tindakan Qamrah tersebut bagi Ra >syid adalah
mengganggu ketenangannya. Sikap Qamrah yang demikian itu menunjukkan
ketidakpahaman seorang istri mengenai kebutuhan seorang laki-laki (suaminya)
untuk diam dan mengasingkan diri dari perempuan pada suatu waktu. Sehingga,
respon Ra>syid yang demikian itu menjadi bentuk penegasan atas kemarahannya
terhadap Qamrah. Kekerasan emosional terhadap perempuan yaitu kekerasan yang
324
melibatkan secara langsung kondisi psikologis perempuan yang menjadi
korbannya (Sugihastuti, 2007:183). Hal itu sebagaimana kekerasan emosional
yang dilakukan Ra >syid terhadap Qamrah, yaitu dia melakukan tindakan non
verbal berupa tatapan mata yang penuh amarah terhadap Qamrah hingga membuat
istrinya itu ketakutan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa laki-laki
(suami), pada suatu ketika memang membutuhkan waktu untuk diam dan
mengasingkan diri dari perempuan (istri). Sedangkan, perempuan pada suatu
ketika juga membutuhkan waktu agar suaminya mendengarkannya dan mengerti
perasaannya. Akan tetapi, karena keduanya tidak memahami satu sama lain, maka
yang terjadi adalah kemarahan dan pertengkaran.
c. Tidak Toleran
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Ra >syid bersikap tidak toleran
terhadap Qamrah dalam hal cara berpakaian adalah sebagai berikut.
فوق ثياهبا مع حجاب أسود أو رمادي. كانت ترتدي عند خروجها معطفا طويال حىت لباسها ىذا أصبح بعد فرتة مصدر إزعاج لراشد. ليس ما تلبسني مالبس
نك تتعمدين حترجيين قدام أصدقائي هبذه ادلالبس أعادية مثل باقي احلرمي ؟ ك (.7702881 ادلبهذلة ! وتسأليين ليش ما أطلع معك ! )الصانع،
Ka>nat tartaddi> ‘inda khuru>jiha> mu‘thafa>n thawi>la>n fauqa tsiya>biha> ma‘a chija>bin aswada au rama>diyyan. Chatta> liba>suha> ha>dza> ashbacha ba‘da fatratin mashdara iz‘a>jin li>-Ra>syidin. Laisa ma> talbasi>na mala>bisa ‘a>diyatan mitsla ba>qi> al-chari>mi? Kaannaka tata‘ammadi>na tachriji>ni> qada>ma ashdiqa>’i> bi>ha>dzihi almala>bisi al-mubhadzilati! Watas’ali>ni> laisya ma> athla‘u ma‘aki! (Ash-Sha>ni‘i, 2007:11).
Artinya: Setiap kali keluar apartemen, Qamrah mengenakan mantel
panjang dengan hijab hitam. Ini sekadar bagian kecil dari
325
kenyataan yang dihadapi. Kebiasaan berpakaian seperti ini sering
memancing amarah Ra >syid. ‘‘Pakaian kumal itu lagi? Apa kamu
sengaja mempermalukan aku di depan teman-temanku? Biar
mereka semua mencibirku lantaran tidak becus memilih istri?’’
(Ash-Sha>ni‘i, 2007:11).
Berdasarkan data tekstual di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk kekerasan
emosional ketiga yang menimpa Qamrah berupa sikap Ra >syid yang tidak toleran
terhadapnya dalam hal cara berpakaian, yaitu Ra >syid seringkali memarahinya
karena dia memakai pakaian yang menutup seluruh tubuhnya termasuk wajahnya
sebagaimana kebiasaan perempuan Saudi pada umumnya (Ash-Sha>ni‘i, 2007:11).
Kebiasaan berpakaian perempuan Saudi, yaitu ketika berada di tempat umum,
mereka memakai jubah hitam tebal atau abayah. Selain itu, mereka juga memakai
syal untuk menutupi rambutnya dengan penutup wajah penuh. Mereka memakai
pakaian berwarna hitam untuk menutupi tubuhnya agar saat terkena cahaya
matahari, lekuk-lekuk tubuh mereka tidak terlihat. Karena, jika pakaian yang
digunakan berwarna cerah, maka saat terkena pancaran sinar matahari, lekuk-
lekuk tubuh mereka akan terlihat. Terlebih jika pakaian yang digunakan itu
transparan atau tidak tebal, maka akan lebih transparan saat terkena sinar matahari
(Diana, 2014:2-3). Hal itu sebagaimana yang dilakukan Qamrah, yaitu dia
memakai abaya hitam dan syal untuk menutupi rambutnya dengan penutup wajah
penuh. Hal itulah yang membuat Ra >syid seringkali marah kepadanya karena cara
berpakaian Qamrah yang demikian itu, menurut Ra>syid, tidak sesuai dengan
kebiasaan cara berpakaian perempuan Amerika sehingga dia merasa malu jika
teman-temannya di Amerika mengetahui penampilan istrinya yang demikian itu.
Sikap Ra >syid yang demikian itu termasuk salah satu bentuk tindak
kekerasan emosional yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Kekerasan
326
emosional yaitu kekerasan yang melibatkan secara langsung kondisi psikologis
perempuan yang menjadi korbannya (Sugihastuti, 2007:183). Hal itu sebagaimana
sikap Ra>syid yang tidak toleran terhadap cara berpakaian Qamrah, yaitu dia
memarahi dan mencaci Qamrah karena dia tidak menyukai cara berpakaiannya.
Sehingga, Qamrah tidak mendapat kebebasan dalam hal cara berpakaian.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab
terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga Qamrah dan Ra >syid adalah
perbedaan latar belakang antara Qamrah dan Ra >syid. Sedangkan, salah satu ciri
pernikahan yang bahagia, yaitu adanya kesamaan latar belakang masing-masing
individu (suami istri) (Wisnuwardhani, 2012:95-96). Hal itu sebagaimana yang
terjadi dengan Qamrah dan Ra >syid, yaitu perbedaan latar belakang antara
keduanya menimbulkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga mereka, berupa
terjadinya tindak kekerasan emosional yang dilakukan oleh Ra >syid terhadap
Qamrah. Qamrah sejak kecil terbiasa hidup di kota Riyadh, Saudi Arabia,
sehingga dia terbiasa mengikuti kebiasaan-kebiasaan masyarakat Saudi termasuk
cara berpakaian perempuan Saudi. Sedangkan, Ra >syid yang telah lama tinggal di
Amerika memiliki pandangan yang berbeda dari Qamrah dalam hal cara
berpakaian perempuan. Menurutnya, kebiasaan cara berpakaian perempuan
Amerika seperti pada umumnya, yaitu berpakaian terbuka dan tidak berjilbab itu
lebih menarik baginya dan sesuai perkembangan zaman.
d. Melepas Jilbab Istri di Tempat Umum dengan Paksa
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Ra >syid melepas jilbab Qamrah di
bioskop dengan paksa adalah sebagai berikut.
327
يام أن يصطحبها إ ى السينما. بعد أن وصال واختذا مقعده أحلت عليو يف أحد األفاجأتو بنزع معطفها وحجاهبا، ىي تبتسم خبجل يف القاعة وىي إ ى جانبو،
وحتاول قراءة أفكاره يف تلك اللحظة. بعد أن تأملها بطرف عينو لبضع ثوان قال (. 7702881 احلجاب أرحم.... )الصانع، -ذلا جبالفة 0
Allachat ‘alaihi fi> achadil-ayya>mi an yashthachabi>ha> ila>‘s-si>nima>. Ba‘da an washala> wattakhadza>n maq‘adahu fi>l-qa‘a>ti wa hiya ila> ja>nibihi, faja’atahu bi>naz‘i mi‘thafiha> wachija>bi>ha>, hiya tabtasimu bi>khajalin watacha>wala qira>’ata afka>rihi fi> tilkal-lachzhati. Ba‘da an ta’ammalaha> bi>tharfi ‘ainihi li>bidh‘a tsawa>nin qa>la laha> bi>jila>fatin al-chija>bu archamu....! (Ash-Sha>ni‘i, 2007:11).
Artinya: Suatu hari Qamrah merengek untuk ditemani pergi ke
bioskop. Pada saat keduanya telah sampai di sana dan duduk
bersebelahan, tiba-tiba Ra>syid melepas mantel Qamrah dan
membuka hijabnya. Qamrah berusaha memberikan senyuman dan
membaca pikiran Ra>syid sambil menunggu apa sebenarnya yang
dia inginkan. ‘‘Jangan kenakan pakaian kumal itu lagi...!’’ (Ash-
Shani‘i, 2007:11).
Berdasarkan data tekstual di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk kekerasan
emosional keempat yang menimpa Qamrah berupa tindakan Ra >syid yang melepas
jilbab Qamrah dengan paksa saat keduanya menonton film di bioskop. Selain itu,
dia juga memarahi serta mencaci maki Qamrah karena dia tidak suka istrinya
berpakaian yang menutup seluruh tubuhnya sebagaimana cara berpakaian
perempuan muslimah di Saudi (Ash-Shani‘i, 2007:11). Otak laki-laki sulit sekali
berubah secara cepat dari keadaan berpikir dan berkonsentrasi kepada keadaan
berperasaan dan bersimpati. Sementara otak perempuan mudah melakukan hal
tersebut, yaitu berperasaan dan bersimpati (An-Nu‘aimi, 2000:27). Hal itu
sebagaimana saat Ra >syid melepas jilbab Qamrah pada waktu keduanya menonton
film di bioskop. Saat itu, Qamrah tersenyum karena perasaannya bersimpati pada
tindakan Ra>syid tersebut. Perasaan tersebut muncul karena dia mengira Ra >syid
ingin melakukan sesuatu sebagaimana selayaknya perlakuan seorang suami ketika
328
dia berhasrat terhadap istrinya. Akan tetapi, sebagaimana uraian yang tersebut di
atas, ternyata tindakan Ra >syid itu tidak seperti apa yang dipikirkan Qamrah.
Ternyata, Ra>syid melakukan hal tersebut karena ketidaksukaannya serta
kemarahannya terhadap cara berpakaian Qamrah yang tidak seperti apa yang dia
inginkan. Selain itu, Ra >syid juga tetap berkonsentrasi dengan film yang dia tonton
saat itu meskipun Qamrah tersenyum padanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dimaknai bahwa sikap Ra >syid,
yaitu melepas jilbab istri di depan umum dengan paksa menampakkan
kepribadiannya sebagai seorang suami yang tidak toleran terhadap istrinya dalam
hal cara berpakaian. Selain itu, sebagai seorang muslim, dia (Ra >syid) juga bukan
laki-laki yang saleh. Hal itu dikarenakan dia melarang istrinya memakai jilbab
padahal itu adalah perintah Allah sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an
(33:59) yang artinya sebagai berikut.
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘‘Hendaklah mereka
menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu
agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak
diganggu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (Al-
Qur’an, 2010 [33]:59).
e. Menekan Batin Istri
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Qamrah mengalami tekanan
disebabkan jauhnya jarak antara dia dan Ra >syid adalah sebagai berikut.
عندما زارت قمرة الرياض يف عطلة رأس السنة مل يكن راشد معها. قضت بني ة بعد أن ميل الوحدة، أىلها ما يقارب الشهرين آملة أن يطلب منها راشد. العود
إال أنو مل يسأذلا يوما أن تعود، بل إن إحساسها كان يقول ذلا أنو يتمين أن تبقى (.7702881الصانع، يف الرياض والتعود ! )
329
‘Indama> zarat Qamratu Ar-Riya>dhi fi> ‘uthlati ra’si‘s-sannati lam yakun Rasyidun ma‘aha>. Qadhat baina ahliha> ma> yuqa>ribu asy-syahraini a>milatun an yathluba minha> Ra>syidun. Al-‘audatu ba‘da yamalla al-wachdata, illa annahu lam yas’alha> yauma>n an ta‘u>da, bal inna ichsa>saha> ka>na yaqu>lu laha> annahu yatamanna> an tabqa> fi>‘r-Riya>dhi wa la> ta‘u>du! (Ash-Sha>ni‘i, 2007:11).
Artinya: Ketika Qamrah mengunjungi Riyadh pada liburan awal
tahun, Ra >syid tak bersamanya. Dia (Qamrah) menghabiskan
liburan dengan keluarganya selama dua bulan sesuai
permintaannya pada Ra >syid. Setelah sebulan kepulangannya
(Qamrah), dia (Ra>syid) seharipun tidak menanyakan kapan dia
(Qamrah) akan kembali, tetapi perasaannya (Qamrah) mengatakan
bahwa Ra >syid berharap dia (Qamrah) menetap di Riyadh dan tidak
kembali (Ash-Sha>ni‘i, 2007:11).
Berdasarkan data tekstual tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk
kekerasan emosional keenam yang menimpa Qamrah berupa tekanan batin dari
Ra>syid, yaitu ketika Qamrah mengunjungi Riyadh pada liburan awal tahun,
Ra>syid tidak bersamanya. Sehingga, Qamrah sendirian menghabiskan liburan
dengan keluarganya di Riyadh selama dua bulan sesuai permintaannya pada
Ra>syid. Akan tetapi, Ra >syid tidak pernah menanyakan kabar Qamrah serta kapan
dia akan kembali ke Amerika. Hal tersebut membuat Qamrah tertekan dan merasa
bahwa Ra>syid berharap dia (Qamrah) tetap berada di Riyadh dan tidak kembali
lagi ke Amerika bersama Ra >syid (Ash-Sha>ni‘i, 2007:11).
Sikap Ra>syid terhadap Qamrah tersebut membuat Qamrah tertekan karena
merasa ditolak dan diabaikan oleh suaminya (Ra >syid). Perasaan tertolak dan
diabaikan adalah perasaan yang menyakitkan bagi perempuan. Karena, secara
tidak disadari dia merasa dirinya tidak berhak menerima pemberian dari laki-laki.
Perasaan semacam ini telah ada pada perempuan semenjak dia masih kanak-
kanak. Yaitu ketika perempuan harus menyembunyikan perasaannya,
kebutuhannya dan keinginannya. Perasaan yang tersembunyi pada perempuan ini
330
secara tidak sadar menimbulkan perasaan takut ketika membutuhkan orang lain
karena dia merasa tidak mungkin mendapatkan sesuatu yang diinginkannya (An-
Nu‘aimi, 2000:143). Hal itu sebagaimana yang terjadi dengan Qamrah, yaitu dia
menyembunyikan keinginannya agar Ra >syid menghubunginya serta menanyakan
kabarnya ketika dia berada di Riyadh pada liburan awal tahun. Perasaan tersebut
muncul karena dia merasa tertolak dan diabaikan oleh suaminya (Ra >syid).
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa perasaan
Qamrah yang demikian itu merupakan tabiat perempuan. Akan tetapi, hal itu
bukan berarti pembenaran terhadap sikap laki-laki (suami) yang tidak peduli
terhadap perasaan istrinya. Karena salah satu kewajiban laki-laki adalah
bertanggungjawab untuk memberi dan memperhatikan istrinya.
f. Intensitas Pertemuan yang Rendah
Data tekstual yang menunjukkan bahwa intensitas pertemuan Ra >syid dan
Qamrah sangat rendah adalah sebagai berikut.
(. 7702881 كانت لقاءاهتا وراشد معدودة....)الصانع،Ka>nat liqa>’a>tuha> wa Ra>syidun ma‘du>datun.... (Ash-Sha>ni‘i, 2007:16).
Artinya: Intensitas pertemuan Ra >syid dan Qamrah sangat rendah....
(Ash-Sha>ni‘i, 2007:16).
Berdasarkan data tekstual tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk
kekerasan emosional ketujuh yang menimpa Qamrah berupa rendahnya intensitas
pertemuan Ra>syid dengannya (Qamrah). Hal itu dikarenakan kesibukan Ra >syid di
kampus sehingga dia terkesan sering meninggalkan Qamrah sendiri di apartemen
(Ash-Sha>ni‘i, 2007:16).
331
Laki-laki mengira bahwa setelah harta tercukupi, maka keluh kesah serta
gelisah tidak akan mengusik perasaan perempuan. Dia juga mengira bahwa
pemberian harta yang cukup akan membuat perempuan selalu bahagia. Hal
tersebut dikarenakan ketidakpahaman laki-laki terhadap realitas bahwa harta tidak
bisa menggantikan perasaan bosan, gelisah dan mengeluh pada perempuan. Harta
tidak bisa menghilangkan semua perasaan tersebut karena baik ketika dalam
keadaan kaya atau miskin, gelombang kejiwaan perempuan memiliki karakter
tetap. Sehingga, ketika gelombang perasaan tersebut bergerak turun ke tingkat
paling bawah, keadaan jiwa perempuan menunjukkan tanda-tanda bosan jengkel
dan banyak mengeluh (An-Nu‘aimi, 2000:331-332). Sebagaimana yang terjadi
terhadap Qamrah, yaitu dia tetap merasa kesal, gelisah, bahkan tidak bahagia
meskipun suaminya Ra >syid selalu mencukupi kebutuhan ekonominya. Hal itu
dikarenakan uang yang Ra >syid berikan kepada Qamrah tersebut tidak bisa
menggantikan kasih sayang yang dibutuhkan oleh Qamrah dari Ra >syid.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa kasih sayang
dari orang yang dicintai tidak bisa digantikan dengan uang. Demikian pula dalam
kehidupan berumah tangga, uang bukan solusi untuk segala permasalahan.
g. Meremehkan dan Serakah
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Ra >syid bersikap meremehkan
terhadap istrinya dan serakah dalam hal kepemilikan apartemen adalah sebagai
berikut.
332
أغاظها تصرفو كثريا خاصة عندما أظهر عدم اكرتاثو بثورهتا. كان كمن يقول أن ال الشقة، وكأهنا شقتو وحده ! )الصانع، شأن ذلا يف حتديد أساسيات ىذه
2881 077.) Agha>zhaha> tasharrufuhu katsi>ra>n kha>shatan ‘indama> azhara ‘adama iktira>tsihi bi>tsu>ratiha>. Ka>na kaman yaqu>lu an la> sya’na laha> fi> tachdi>di asa>siyya>ti ha>dzihi‘sy-syaqqati, wa kaannaha> syaqqatuhu wachdahu! (Ash-Sha>ni‘i, 2007:16).
Artinya: Sikap Ra >syid yang meremehkan dan menafikan pekerjaan
orang lain, sering membuat istrinya marah. Memang Ra >syid pernah
mengatakan bahwa Qamrah tidak berperan dalam pengaturan
apartemennya. Semuanya seakan menunjukkan bahwa apartemen
itu adalah milik Ra >syid sendiri (Ash-Sha>ni‘i, 2007:16).
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk
kekerasan emosional kedelapan yang menimpa Qamrah, yaitu sikap Ra >syid yang
meremehkannya dan sikap serakah Ra>syid dalam hal kepemilikan apartemen.
Seakan-akan apartemen itu miliknya sendiri (Ash-Sha>ni‘i, 2007:16).
Dalam pernikahan diperlukan adanya kerjasama antara suami dan istri
termasuk dalam hal berpikir, berencana dan mengambil keputusan penting secara
bersama-sama yang juga berkaitan langsung dengan perjalanan hidup keduanya
untuk masa depan (An-Nu‘aimi, 2000:21). Oleh karena itu, ketika salah satu pihak
meremehkan atau serakah dalam hal kepemilikan yang terdapat dalam rumah
tangga, maka hal tersebut akan menimbulkan tekanan batin bagi pihak yang lain.
Selain itu, juga menimbulkan permasalahan antara suami dan istri sehingga
memicu terjadinya ketidakharmonisan rumah tangga. Hal itu sebagaimana yang
terjadi dengan Qamrah, yaitu dia merasa tertekan ketika suaminya (Ra >syid)
meremehkannya dan tidak melibatkannya dalam pengaturan sehingga seolah-olah
apartemen tersebut milik Ra >syid sendiri.
333
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa sikap laki-laki
(suami) yang serakah dan meremehkan perempuan (istri) menyebabkan terjadinya
tekanan batin pada istri seperti munculnya perasaan tidak berguna, diperlakukan
tidak adil dan tidak dihargai oleh pasangan hidupnya.
h. Ancaman
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Ra >syid mengancam akan
mengembalikan Qamrah pada keluarganya di Saudi adalah sebagai berikut.
شويف يا حرمة ! اجلّية بتجني واالعتذار بتعتذرين، ومن بعدىا برتكبني أول طيارة وتطسني على بيت أىلتس وال عاد أبغي أشوف خشتس ىنا مرة ثانية )الصأنع،
7002881.) Syu>fi> ya> charamatu! Al-jayyatu bi>taji>n wal-i‘tidza>ru bi>ta‘dziri>n wa man ba‘daha> bi>tarkabi>n awwalu thayya>ratin watathsi>n ‘ala> baiti ahlatsin wala> ‘a>da abghi> asyu>fu khasyatas huna> marratan tsa>niyyatan (Ash-Sha>ni‘i, 2007:18).
Artinya: Selanjutnya suara Ra >syid datar tapi sangat mewakili
kemarahan. ‘‘Apa kamu ingin aku pesankan tiket ke Saudi dan
kamu tidak akan kembali lagi selamanya?’’(Ash-Sha>ni‘i, 2007:18).
Berdasarkan data tekstual tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk
kekerasan kesembilan yang menimpa Qamrah berupa ancaman yang dilakukan
oleh Ra>syid, yaitu dia mengancam akan mengembalikan Qamrah pada
keluarganya di Saudi dan tidak mengizinkannya untuk kembali bersamanya ke
Chicago selamanya (Ash-Sha>ni‘i, 2007:18). Sikap Ra >syid yang mengancam
istrinya tersebut dapat dimaknai bahwa Ra >syid akan menceraikan Qamrah apabila
Qamrah tidak mengikuti semua peraturan Ra >syid termasuk tidak
mempermasalahkan hubungannya dengan Karey. Dalam Islam, hak untuk
menceraikan berada pada laki-laki (suami). Hal itu sebagaimana firman Allah
334
dalam Al-Qur’an (65:1) yang artinya ‘‘Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan
istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) masa iddah-nya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu, serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu’’.
Ancaman yang dilakukan Ra >syid tersebut merupakan bentuk perlawanan
Ra>syid terhadap sikap Qamrah yang mempermasalahkan hubungannya dengan
Karey. Secara psikologis, perempuan berupaya mengadakan perubahan dan
penyempurnaan diri pada diri laki-laki dengan berbagai cara, dengan keyakinan
bahwa usahanya tersebut menunjukkan cintanya pada laki-laki. Namun, yang
dirasakan oleh laki-laki adalah perempuan ingin menguasai dirinya dan tidak
menerima dirinya apa adanya (An-Nu‘aimi, 2000:374). Hal itu sebagaimana yang
dilakukan Qamrah terhadap Ra >syid yang menjalin hubungan dengan perempuan
lain. Sehingga, dengan kesabarannya, Qamrah ingin agar Ra >syid mengakui
kesalahannya dan mengakhiri hubungannya dengan Karey. Akan tetapi, karena
Ra>syid tidak mencintai Qamrah dan tidak menyukai banyak hal dalam dirinya,
maka Ra>syid berkeinginan untuk menceraikan istrinya dengan ungkapan berupa
ancaman.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa tindakan Ra >syid
dengan mengancam Qamrah tersebut membuat Qamrah merasa takut, tertekan dan
memberontak pada sikap Ra >syid yang mengkhianati Qamrah, yaitu menjalin
hubungan dengan Karey.
335
i. Tidak Bertanggungjawab
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Ra >syid tidak mau
bertanggungjawab atas kehamilan istrinya (Qamrah) adalah sebagai berikut.
ت ورقة الطالق إ ى والد قمرة بعد وصوذلا للرياض تأ....وكما حدث مع سدمي، (.2702881)الصانع، .... بأسبوعني
Wa kama> chadatsa ma‘a Sadi>m, atat waraqatu‘th-thala>qi ila> wa>lidi Qamratu ba‘da wushu>liha> li>‘r-Riya>dh bi>-usbu‘i>na (Ash-Sha>ni‘i, 2007:21).
Artinya: Sebagaimana yang terjadi pada Sadi >m, dia (Ra >syid)
memberikan surat cerai pada ayah Qamrah dua minggu setelah
kedatangan Qamrah di Riyadh (Ash-Sha>ni‘i, 2007:21).
Berdasarkan data tekstual di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk kekerasan
emosional kesepuluh yang menimpa Qamrah berupa sikap Ra >syid yang tidak
bersedia untuk bertanggungjawab atas kehamilannya. Sikap Ra >syid yang tidak
bersedia untuk bertanggungjawab tersebut ditampakkan melalui tindakan-
tindakannya, yaitu dia memarahi, memaki dan menampar pipi Qamrah ketika
Qamrah mengatakan padanya bahwa dia hamil. Setelah itu, terjadi pertengkaran
antara Qamrah dan Ra >syid, kemudian Ra >syid menyuruh Qamrah pulang sendirian
ke Riyadh. Akan tetapi, dua minggu setelah kedatangan Qamrah di Riyadh, dia
(Ra>syid) mengirimkan surat cerai kepada ayah Qamrah sebagai tanda putusnya
hubungan pernikahan mereka (Ash-Sha>ni‘i, 2007:21).
Qamrah memberitahu Ra >syid mengenai kehamilannya dengan perasaan
takut karena sebelumnya Ra >syid pernah mengatakan bahwa dia tidak siap
memiliki anak selama masa kuliahnya belum selesai. Oleh karena itu, Ra >syid
memaksa Qamrah untuk mengkonsumsi obat anti hamil. Sehingga, Qamrah
merasa terbebani dengan kenyataan bahwa Ra >syid tidak ingin memiliki anak.
336
Namun, sesuai tabiatnya, perempuan ketika merasa terbebani dan memikirkan
suatu permasalahan, maka dia tanpa melalui pemikiran akan merasa perlu
seseorang yang dapat diajak bicara. Perempuan melakukan hal tersebut untuk
mencari kepuasan pikiran, karena setelah dia mengungkapkan apa yang ada dalam
hatinya, maka dia akan merasakan ketenangan (An-Nu‘ami, 2000:114-115). Hal
itu sebagaimana yang dilakukan Qamrah, yaitu dia memberitahukan mengenai
kehamilannya pada Ra >syid. Akan tetapi, Ra >syid betul-betul tidak bersedia untuk
bertanggungjawab terhadap bayi yang dikandung Qamrah tersebut. Oleh karena
itu, Ra>syid menyuruh Qamrah pulang ke Riyadh, kemudian dia menceraikannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa sikap Ra >syid
tersebut merupakan salah satu bentuk sikap seorang laki-laki (suami) yang tidak
bertanggungjawab pada keluarganya. Sehingga sikap emosional laki-laki (suami)
yang demikian itu melukai perasaan istri.
2. Kekerasan Emosional terhadap Tokoh Ummi Nuwair
Kekerasan emosional terhadap tokoh Ummi Nuwair dalam novel
Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i diuraikan sebagai berikut.
a. Penganiayaan Terhadap Anak
Data tekstual yang menunjukkan bahwa suami Ummi Nuwair menganiaya
anaknya (Nuwair) adalah sebagai berikut.
....أن األب مسع من اجلريان كالما عن ابنو اشتاط لو غضبا فدخل على ابنو يف حجرتو واهنال عليو بالضرب بيديو ورجليو حىت أصيب الولد بكسور يف القفص
(. 702881الصدري واألنف وإحدى الذراعني.... )الصانع،
337
....Anna‘l-abba sami‘a minal-ji>ra>ni kala>ma>n ‘an‘ibnihi isyta>tha lahu ghadhaba>n fa>dakhala ‘ala> ibnihi fi> chujratin wanha>la ‘alaihi bi>‘dh-dharbi bi>yadaihi wa rijlaihi chatta> ushi>ba al-waladu bi>kusu>rin fi>l-qafshi ash-shadri> wal-anfi wa ichda> adz-dzira>‘aini.... (Ash-Sha>ni‘i, 2007:5).
Artinya: ....Ayahnya mendengar perkataan tetangganya mengenai
perbuatan anak laki-lakinya (Nuwairy), sehingga sang ayah pun
masuk ke kamar Nuwairy dengan marah dan memukul
menggunakan tangan dan kakinya sehingga Nuwairy mengalami
retak tulang iga, hidung, dan salah satu lengannya.... (Ash-Sha>ni‘i,
2007:5).
Berdasarkan data tekstual tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk
kekerasan emosional pertama yang menimpa Ummi Nuwair, yaitu tindakan
suaminya yang menganiaya anak laki-lakinya (Nuwair). Peristiwa itu terjadi
setelah sang ayah mendengar perkataan tetangganya mengenai perbuatan Nuwair
yang suka bergaya dan berpenampilan seperti anak perempuan. Kemudian, sang
ayah pun masuk ke kamar Nuwairy dengan marah dan memukul menggunakan
tangan dan kakinya. Sehingga, Nuwairy mengalami retak tulang iga, hidung, dan
salah satu lengannya (Ash-Sha>ni‘i, 2007:5).
Tindak kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami Ummi Nuwair terhadap
Nuwairy tersebut berdampak buruk pada psikologis Ummi Nuwair. Karena,
secara psikologis, perempuan bersifat emosional dan mudah menangis (Nurhayati,
2012: 29-30). Hal itu sebagaimana yang dialami oleh Ummi Nuwair, yaitu ketika
melihat dan mengingat anaknya yang dianiaya oleh ayahnya, maka dia marah,
merasa tidak tega, sedih dan menangis. Sikap tersebut terjadi karena melihat orang
yang dicintai menderita dan dia tidak bisa menolongnya, merupakan hal yang
sangat menyakitkan dan melukai perasaannya sebagai seorang ibu.
338
Berdasarkan uraian di atas dapat dimaknai bahwa tindakan suami Ummi
Nuwair yang menganiaya anak laki-lakinya (Nuwairy) tersebut tidak hanya
menimbulkan luka fisik pada Nuwairy. Di samping itu, hal tersebut juga
menyebabkan luka batin bagi Ummi Nuwair yang menyaksikan penderitaan
Nuwairy yang dianiaya oleh ayah kandungnya sendiri. Selain itu, tindakan suami
Ummi Nuwair tersebut menampakkan bahwa dia berkepribadian kasar dan
pemarah. Lazimnya, sebagai kepala rumah tangga, seharusnya laki-laki
mengayomi, menjadi teladan dan melindungi keluarganya sebagaimana firman
Allah dalam Al-Qur’an (4:34) yang artinya, ‘‘Laki-laki (suami) itu pelindung bagi
perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan
nafkah dari hartanya....’’.
b. Tidak Adil dalam Berpoligami (Menikah Lebih dari Satu)
Data tekstual yang menunjukkan bahwa suami Ummi Nuwair bersikap
tidak adil terhadapnya adalah sebagai berikut.
ترك األب ادلنزل بعد ىذه احلادثة ليعيش مع زوجتو الثانية.... )الصانع، 702881 .)
Taraka al-abbu al-manzila ba‘da ha>dzihi‘l-cha>ditsati li>ya‘i>sya ma‘a zaujatihi ats-tsa>niyyati.... (Ash-Sha>ni‘i, 2007:5).
Artinya: Setelah kejadian itu, sang ayah meninggalkannya dan
hidup bersama istri kedua.... (Ash-Sha>ni‘i, 2007:5).
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk kekerasan
emosional kedua yang menimpa Ummi Nuwair, yaitu sikap suaminya yang tidak
adil dalam berpoligami. Sikap tidak adil suami Ummi Nuwair tersebut
ditampakkan melalui tindakan-tindakannya terhadap Ummi Nuwair dan anak laki-
339
lakinya (Nuwairy) , yaitu setelah dia melakukan penganiayaan terhadap Nuwairy,
dia memilih untuk hidup bersama istri keduanya dan tidak peduli lagi dengan
keadaan Ummi Nuwair beserta Nuwairy yang menderita akibat perbuatannya
(Ash-Sha>ni‘i, 2007:5).
Sikap suami Ummi Nuwair yang tidak adil tersebut merupakan kezaliman
terhadap perempuan (istri) karena, ketika dia memilih hidup bersama istri kedua
dan tidak peduli dengan keadaan istri pertamanya (Ummi Nuwair), berarti dia
tidak memenuhi hak-hak Ummi Nuwair seperti kebutuhan finansial, pakaian,
biologis, perhatian dan kasih sayang, baik yang bersifat lahir maupun batin. Selain
itu, dia juga tidak bertanggungjawab dalam membiayai pengobatan, pendidikan
dan kebutuhan Nuwairy sehari-hari. Sehingga, semua tanggungjawab tersebut
ditanggung oleh Ummi Nuwair sendiri. Dengan demikian, dia tidak memenuhi
syarat untuk beristri lebih dari satu sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an
(4:3) yang artinya sebagai berikut.
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka
nikahilah perempuan lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
nikahilah seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu
miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat
zalim (Al-Qur’an, 2010[4]:3).
Ketika permasalahan terjadi dan perempuan menyalahkan laki-laki,
biasanya, laki-laki tidak banyak mempedulikan tuduhan tersebut. Hal itu
disebabkan laki-laki membayangkan perempuan sebentar lagi dapat mendalami
pemikirannya untuk melihat masalah sebenarnya, yaitu kebenaran bahwa dirinya
(laki-laki) tidak bersalah dan perempuanlah yang bertanggungjawab atas
permasalahan yang terjadi. Laki-laki bertindak seperti itu karena dia
340
membayangkan perempuan juga berpikir seperti dirinya (An-Nu‘aimi, 2000:210-
211). Sebagaimana sikap suami Ummi Nuwair, yaitu dia merasa dirinya tidak
bersalah sehingga dia melimpahkan tanggung jawab pada istrinya (Ummi
Nuwair).
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa kehidupan
rumah tangga adalah tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Oleh karena
itu, dalam membangun rumah tangga keduanya memiliki hak dan kewajiban yang
seharusnya ditunaikan bersama agar kehidupan rumah tangga berlangsung
harmonis.
3. Kekerasan Emosional terhadap Tokoh Chafshah
Kekerasan emosional terhadap tokoh Chafshah dalam novel Bana>tu‘r-
Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i diuraikan sebagai berikut.
a. Tidak Memperhatikan dan Tidak Menghiraukan Istrinya
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Kha>lid tidak memperhatikan dan
tidak menghiraukan Chafshah adalah sebagai berikut.
والرقة أثناء فرتة ادللكة، حتول بعد الزواج زوجها خالد الذي كان يف غاية الدماثة (.2702881 إ ى شخص آخر. ال يعبأ هبا وال يلتفت لرغباهتا )الصانع،
Zaujuha> Kha>lidun alladzi> ka>na fi> gha>bati ad-dama>tsati wa‘r-riqati atsna>’a fatratil-malikati, tuchawwilu ba‘da‘z-zawa>ji ila> syakhshin a>kharin. La> ya‘bi’u bi>ha> wa la> yaltafat li>raghiba>tiha> (Ash-Sha>ni‘i, 2007:21).
Artinya: Suaminya (Chafshah), yaitu Kha>lid memiliki pembawaan
ramah dan lembut sepanjang waktu, tetapi setelah menikah dia
berubah menjadi sosok yang lain. Dia tidak memperhatikan dan
tidak menghiraukan keinginannya (Chafshah) (Ash-Sha>ni‘i,
2007:21).
341
Berdasarkan data tekstual di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk kekerasan
emosional pertama yang menimpa Chafshah, yaitu sikap suaminya (Kha>lid) yang
tidak memperhatikan dan tidak menghiraukan keinginannya. Sebelumnya, Kha>lid
memiliki pembawaan ramah dan lembut tetapi setelah menikah dia berubah
menjadi sosok yang lain. Dia tidak memperhatikan dan tidak menghiraukan
keinginannya (Chafshah) (Ash-Sha>ni‘i, 2007:21).
Secara psikologis, dunia luar perempuan adalah dunia penuh kedamaian,
cinta, kasih sayang dan tolong menolong. Oleh karena itu, perempuan terlihat
banyak memberi perhatian pada sisi cinta, hubungan dengan orang lain,
berbincang-bincang panjang lebar, berorganisasi, saling menolong dan memiliki
ketenangan jiwa (An-Nu‘aimi, 2000:32-33). Hal itu sebagaimana kepribadian
Chafshah, yaitu dia banyak memberi perhatian pada sisi cinta, hubungan dengan
orang lain dan ketenangan jiwa. Maka, ketika suaminya tidak lagi perhatian dan
tidak menghiraukan keinginannya, dia pun merasa kecewa terhadap perubahan
sikap suaminya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dimaknai bahwa perempuan butuh
diperhatikan dan dihiraukan oleh laki-laki (suaminya). Hal itu dikarenakan tabiat
perempuan yang senang dengan perhatian pada sisi cinta, hubungan dengan orang
lain dan saling tolong menolong.
b. Tidak Peduli dengan Keadaan Istri
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Kha>lid tidak peduli dengan
keadaan Chafshah adalah sebagai berikut.
342
إذا ما غضبت وال يذىب هبا إ ى الطبيب إذا مرضت. أثناء محلها فهو ال يهتمكانت تذىب مع والدهتا دلتابعة تطور احلمل، وكانت تذىب مع أختها الكربى
(. 2702881 )الصانع،.... نفلة لشراء مستلزمات الطفلة بعد الوالدة،Fa>huwa la> yahtammu idza> ghadhibat wa la> yadzhabu bi>ha> ila>‘th-thabibi idza> maridhat Atsna>’a chamliha> ka>nat tadzhabu ma‘a wa>lidatiha> li>-muta>bi‘ati tathawwuril-chamli, wa ka>nat tadzhabu ma‘a ukhtiha> al-kubra> Naflata li>-syira>’i mustalzama>ti ath-thiflati ba‘da al-wila>dati.... (Ash-Sha>ni‘i, 2007:21).
Artinya: Dia (Kha>lid) tidak memahami apabila istrinya (Chafshah)
marah dan dia juga tidak mengantarkannya ke dokter apabila
istrinya sakit. Sewaktu dia hamil, dia pergi bersama ibunya untuk
memeriksakan perkembangan kehamilannya, dan dia pergi bersama
kakak perempuannya, Naflah, untuk belanja keperluan bayi setelah
kelahiran.... (Ash-Sha>ni‘i, 2007:21).
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk
kekerasan emosional kedua yang menimpa Chafshah berupa ketidakpedulian
Kha>lid terhadapnya. Ketidakpedulian Kha>lid tersebut ditampakkan melalui sikap-
sikapnya, yaitu dia (Kha>lid) tidak memahami, apabila istrinya (Chafshah) marah
dan dia juga tidak mengantarkannya ke dokter, apabila istrinya sakit. Sewaktu
istrinya hamil, Kha>lid tidak menemaninya untuk memeriksakan perkembangan
kehamilannya sehingga Chafshah pergi bersama ibunya. Sedangkan, untuk
belanja keperluan bayi, Chafshah pergi bersama kakak perempuannya, Naflah
(Ash-Sha>ni‘i, 2007:21).
Pada masa kehamilan, penting bagi perempuan untuk lebih menjaga
kesehatan dan perkembangan janin. Sehingga, pada masa kehamilan, perempuan
membutuhkan hal-hal penting, yaitu 1). Kondisi dan lingkungan kehamilan yang
mendukung, 2). Sikap orang-orang yang berarti, 3). Mengikuti tips sehat masa
kehamilan, 4). Memperhatikan nutrisi penting bagi ibu hamil, dan 5). Sikap suami
yang siaga (memahami perubahan psikologis istri, memberi perhatian yang lebih,
343
dan membantu melayani istri. Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang suami
yang bertanggung jawab akan memberi perhatian yang lebih terutama ketika
istrinya sedang hamil (Jahja, 2013:160-168).
Sikap Kha>lid yang tidak peduli terhadap keadaan istrinya tersebut dapat
dinilai sebagai salah satu karakter suami yang tidak saleh. Karena dia sengaja
menyusahkan istrinya yang berbakti kepadanya. Sedangkan dalam Islam, laki-laki
(suami) berkewajiban melindungi, memberi nafkah baik lahir maupun batin serta
tidak mencari-cari alasan untuk menyusahkan istri yang taat kepadanya. Hal itu
sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an (4:34) yang artinya sebagai berikut.
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan
yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga
diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan
nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah
mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah
mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Maha
tinggi, Maha besar (Al-Qur’an, 2010 [4]:34).
Berdasarkan uraian di atas dapat dimaknai bahwa sikap Kha>lid yang tidak
peduli terhadap keadaan istrinya (Chafshah) tersebut dapat dinilai sebagai salah
satu sikap seorang laki-laki yang tidak bertanggungjawab. Karena, dalam Islam,
suami diperintahkan untuk berbuat baik kepada istrinya.
c. Pelit terhadap Istri
Data tekstual yang menunjukkan bahwa Kha>lid bersikap pelit terhadap
istrinya adalah sebagai berikut.
344
....وإمنا اوأكثر ما كان يغيظها يف خالد ىو خبلو ادلستفز وتقتريه غري ادلربر عليه (. 2702881 كان يعطيها عندما تلح يف الطلب حىت تشعر بادلهانة )الصانع،
Wa aktsaru ma> ka>na yaghi>zhuha> fi> Kha>lidin huwa bakhiluhu al-mustafizzu wa taqti>ruhu ghairul-mubarrari ‘alaiha>.... wa innama.... ka>na yu‘thi>ha> ‘indama> talichchu fi>‘th-thalabi chatta> tasy‘uru bi>l-muha>nati (Ash-Sha>ni‘i, 2007:21).
Artinya: dan yang paling membuatnya (Chafshah) marah pada
Kha>lid adalah sifat pelitnya dan dia bersikap pelit tanpa ada alasan
padanya (Chafshah).... dan ketika dia memberikan yang diminta
oleh istrinya, dia menghina hingga istrinya merasa terhina (Ash-
Sha>ni‘i, 2007:21).
Berdasarkan data tekstual tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk
kekerasan emosional ketiga yang menimpa Chafshah berupa sifat pelit suaminya
(Kha>lid) yang tanpa disertai alasan terhadapnya. Kepribadiannya yang pelit itu
ditampakkan melalui sikap-sikapnya, yaitu dia tidak memberi istrinya (Chafshah)
uang belanja saat istrinya meminta kepadanya, dan apabila dia mau memberi uang
belanja, maka uang itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan Chafshah. Hal itu
sering membuat Chafshah marah karena Kha>lid memiliki penghasilan lebih dari
cukup bahkan terkadang dia menggunakan uangnya bersama teman-temannya.
Sikap Kha>lid tersebut membuat Chafshah merasa terhina apabila minta uang atau
kebutuhan padanya (Ash-Sha>ni‘i, 2007:21).
Bagi perempuan, kebutuhannya pada orang lain adalah hal yang
membingungkan. Yang paling celaka adalah apabila dia memiliki permintaan,
tetapi ditolak oleh laki-laki atau dia mengalami kegagalan dalam mendapatkan
keinginan tersebut. Keadaan ini akan mengakar kuat dan mengendap di alam
bawah sadar perempuan (An-Nu‘aimi, 2000:145). Hal itu sebagaimana yang
terjadi terhadap Chafshah, yaitu ketika dia meminta uang belanja kepada
suaminya (Kha>lid), tetapi Kha>lid tidak memberinya, atau suaminya memberi uang
345
belanja kepadanya, tetapi dengan jumlah yang tidak cukup sehingga tidak dapat
mencukupi kebutuhan Chafshah. Sikap Kha>lid yang demikian itu mengakar kuat
dalam benak Chafshah sehingga dia merasa terhina marah dan kecewa terhadap
suaminya.
Dalam Islam, sikap Kha>lid yang demikian itu merupakan sikap yang
dinilai tidak benar karena seorang suami berkewajiban menafkahi istrinya
termasuk dalam kebutuhan ekonomi. Hal itu sebagaimana firman Allah dalam Al-
Qur’an (2:233) yang artinya, ‘‘Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan
pakaian mereka dengan cara yang patut’’.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa memberi nafkah
merupakan kewajiban suami kepada istri, baik istrinya meminta ataupun tidak
meminta. Maka, suami yang baik tentu memberikan nafkah bagi istrinya tanpa
perlu diminta dan tidak membuat istrinya merasa terhina.
d. Sikap Ibu Mertua yang Mendukung Tindakan Anaknya
Data tekstual yang menunjukkan bahwa ibu Kha>lid mendukung tindakan
Kha>lid terhadap Chafshah adalah sebagai berikut.
! تلقبها تساعده وتصفق لو يف تقتريه وتنكيده عليها ....كانت أمو العقربة كما (. 2702881 )الصانع،
....Ka>nat ummuhu al-aqrabatu kama> tulaqqabuha> tusa>‘iduhu wa tashfiqu lahu fi> taqti>rihi wa tanki>dihi ‘alaiha! (Ash-Sha>ni‘i, 2007:21).
Artinya: Ibu Khalid yang sering dipanggil ‘Aqrabah
(kalajengking)’ oleh Khalid seringkali mendukung tindakan
anaknya dan perlakuannya kepada Hafshah (Ash-Sha>ni‘i,
2007:21).
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk
kekerasan emosional keempat yang menimpa Chafshah tidak hanya dilakukan
346
oleh suaminya (Kha>lid), tetapi juga dilakukan oleh ibu mertua Chafshah yang
sering ikut campur dalam urusan rumah tangganya bersama Kha>lid. Bentuk
kekerasan emosional yang menimpa Chafshah tersebut berupa sikap ibu Kha>lid
yang mendukung tindakan Kha>lid terhadap Chafshah (Ash-Sha>ni‘i, 2007:21).
Secara psikologis, laki-laki berpandangan bahwa dengan meminta
pertolongan berarti bahwa perempuan percaya kepadanya dan mengharapkan agar
dia (laki-laki) mengerahkan upayanya untuk mewujudkan permintaan tersebut.
Dengan demikian, perasaan ini membuat laki-laki kuat dan mendorongnya untuk
lebih banyak memberi kepada perempuan (An-Nu‘aimi, 2000:144-145). Hal itu
sebagaimana yang terjadi dengan Chafshah dan Kha>lid, yaitu permintaan
Chafshah kepada Kha>lid agar dia memberi uang belanja kepadanya, hal itu berarti
bahwa dia mengharapkan agar suaminya mengerahkan upaya untuk mewujudkan
permintaan tersebut sehingga kebutuhannya dapat tercukupi.
Dalam Islam, sikap ibu Kha>lid yang mendukung tindakan Kha>lid terhadap
Chafshah tersebut merupakan sikap yang tercela karena tolong menolong
diperbolehkan hanya dalam mengerjakan kebajikan dan takwa. Hal itu
sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an (5:2) yang artinya, ‘‘Dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah
sungguh Allah sangat berat siksa-Nya’’.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa sikap ibu
Kha>lid yang mendukung tindakan Kha>lid terhadap Chafshah tersebut merupakan
347
sikap yang tercela. Selain itu, dia sebagai orangtua seharusnya menasehati
anaknya agar tidak bersikap buruk terhadap istrinya.
2. Kekerasan Publik
Kekerasan publik adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang yang
tidak memiliki hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan korban meskipun
kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah (wilayah domestik) (Sugihastuti,
2007:172-173). Setelah melalui pembacaan teks novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya
Raja>’ Ash-Sha>ni‘i, ditemukan adanya tindak kekerasan publik non seksual yang
bersifat emosional terhadap tokoh Sadi>m. Adapun kekerasan emosional yang
menimpa tokoh Sadi>m tersebut diuraikan sebagai berikut.
4. Kekerasan Emosional terhadap Tokoh Sadi>m
Kekerasan emosional terhadap tokoh Sadi>m dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh
karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i diuraikan sebagai berikut.
a. Wali>d Sulit Dihubungi (Tidak Bertanggungjawab)
Data tektual yang menunjukkan bahwa Wali >d sulit dihubungi oleh Sadi>m
adalah sebagai berikut.
ختلت عن ثباهتا واتصلت بو لتجد ىاتفو النقال مقفال ثابرت على االتصال بو على مدار األسبوع ويف أوقات خمتلفة علها تنجح يف الوصول إليو ولكن ىاتفو
)الصانع، ....النقال ظل مقفال وخط غرفتو الثابت مشغول باستمرار !102881.)
Takhallat ‘an tsaba>tiha> wattashalat bi >hi li>tajida ha>tifahu an-naqa>la muqfala>n tsa>barat ‘ala>‘l-ittisha>li bi>hi ‘ala> mada>ril-usbu>‘i wa fi> auqa>tin mukhtalifatin ‘allaha> tanjachu fi>l-wushu>li ilaihi walakin ha>tifahu an-naqa>la zhalla muqfila>n wa khaththa ghurfatahu‘ts-tsa>bita masyghu>lun bi>stimra>rin ! (Ash-Sha>ni, 2007:7).
348
Artinya: Dia (Sadi>m) kecewa atas kesetiaannya. Dia
menghubunginya (Wali >d) tetapi handphone-nya tidak aktif. Dia
tetap menghubunginya terus selama seminggu dan pada waktu-
waktu yang berbeda, dia semakin sering menghubungi Wali >d,
tetapi handphone-nya tetap tidak aktif dan jaringan tetap sibuk
terus-menerus (Ash-Sha>ni, 2007:7).
Berdasarkan data tekstual di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk kekerasan
emosional yang menimpa Sadi>m, yaitu sikap Wali >d yang tidak bertanggungjawab
terhadap Sadi>m setelah keduanya melakukan hubungan terlarang selayaknya
suami istri. Sikap Wali >d yang demikian itu ditampakkan melalui tindakan-
tindakannya, yaitu dia sengaja menghindari Sadi>m sehingga ketika dihubungi,
handphone-nya tidak aktif (Ash-Sha>ni, 2007:7).
Bagi laki-laki, hubungan seksual adalah sesuatu yang bisa membuat laki-
laki merasakan cinta dan dia memerlukannya. Sedangkan, bagi perempuan
segalanya bertolak belakang, perempuan merasa membutuhkan dan ingin
melakukan hubungan seksual, apabila dia telah mendapatkan perasaan cinta
(romantis). Maka dapat dikatakan bahwa cinta bagi perempuan adalah kunci agar
dia bisa merasakan kebutuhan dan keinginan untuk melakukan hubungan seksual
(An-Nu‘aimi, 2000:588). Hal itu sebagaimana yang terjadi dengan Sadi>m, yaitu
dia melakukan hubungan biologis dengan Wali >d karena dia telah mendapatkan
perasaan cinta dengan Wali >d. Akan tetapi sikap Sadi>m tersebut membuatnya
menyesal karena hubungan tersebut dilakukannya tidak dalam ikatan pernikahan.
Sikap Wali >d tersebut membuat Sadi>m merasa kecewa karena dia tidak
bersedia bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukannya bersama
Sadi>m, ternyata Wali >d tidak sebaik yang dipikirkan olehnya selama ini. Kecewa
dengan tindakan orang lain juga membuat seseorang marah, khususnya apabila
349
orang tersebut adalah orang yang sangat dipedulikan. Memang tampak aneh,
apabila seseorang marah pada orang yang dicintai, tetapi pada kenyataannya,
orang yang dicintai juga orang yang bisa sangat menyakiti dan mengecewakan.
Pada tahap awal hubungan yang romantis, orang mungkin menghibur banyak
fantasi tentang orang yang dicintai, maka orang tersebut menjadi marah, ketika
orang yang dicintai gagal memenuhi fantasi yang dia idealkan (Ekman, 2003:184-
185). Hal itu sebagaimana yang dialami oleh Sadi>m, yaitu kekecewaannya
terhadap Wali >d juga membuatnya marah pada laki-laki itu. Kemarahan Sadi>m
tersebut dikarenakan Wali >d menyakiti perasaan Sadi>m dan dia tidak sesuai
dengan apa yang dikhayalkan oleh Sadi>m selama ini, yaitu dia tidak bersungguh-
sungguh untuk menikahi Sadi>m padahal mereka telah melakukan hubungan
seksual di luar pernikahan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimaknai bahwa sikap Wali >d
tersebut menampakkan kepribadian Wali >d sebagai laki-laki yang tidak
bertanggungjawab. Sehingga, sikap Wali >d tersebut melukai perasaan perempuan
serta merugikan perempuan sebagai korban kekerasan emosional yang dilakukan
oleh laki-laki.