BAB III DISKRIMINASI DALAM PEMBERIAN FORMULIR ......formulir pernyataan yang sama seperti sebelumnya...
Transcript of BAB III DISKRIMINASI DALAM PEMBERIAN FORMULIR ......formulir pernyataan yang sama seperti sebelumnya...
-
40
BAB III
DISKRIMINASI DALAM PEMBERIAN FORMULIR ORANG
SAKIT YANG MENGANDUNG KLASULA BAKU TERHADAP
PENYANDANG DISABILITAS
Bab ini akan secara khusus mengulas mengenai dua hal pokok yakni
klausula dalam formulir orang sakit oleh maskapai penerbangan dan pemberian
klausula dalam formulir orang sakit kepada penyandang disabilitas merupakan
tindakan diskiriminasi, yang terbagi menjadi 4 hal yaitu penyandang disabilitas
vs. orang sakit, pemberian klausula dalam formulir orang sakit menciderai hak
penyandang disabilitas, kewajiban maskapai penerbangan untuk menyediakan
formulir khusus penyandang disabilitas, tanggungjawab negara dalam pemberian
perlindungan hukum.
A. Klausula Baku dalam Formulir Orang Sakit oleh Maskapai
Penerbangan
Terkait dengan isu penulisan ini mengenai penyandang disabilitas, terdapat
Putusan Mahkamah Agung peninjauan kembali mengenai kontrak baku dengan
Nomor Perkara: 439 PK/Pdt/2017. Kasus ini melibatkan pihak yang bernama
Ridwan Sumantri berkedudukan sebagai Penggugat, Lion Mentari Airlines (Lion
Air), berkedudukan sebagai Tergugat I, PT (Persero) Angkasa Pura II
-
41
berkedudukan sebagai Tergugat II dan Kementrian Perhubungan Republik
Indonesia berkedudukan sebagai Tergugat III.1
Fokus isu penelitian ini pada kasus di atas dimulai dari pemberian lembar
formulir yang harus ditandatangani oleh Ridwan. Formulir tersebut berisi
persetujuan pihak yang menandatangani tentang penghilangan tanggungjawab
Lion Air dari kemungkinan hal-hal yang terjadi pada diri pihak yang
menandatangani selama penerbangan berlangsung dan tertulis hanya
diperuntukkan bagi orang sakit. Adapun bunyi dari formulir yang dimaksud
adalah "tanda tangan penumpang yang sakit atau orang yang dikuasakan
menandatangani surat keterangan ini untuk kepentingan si sakit. (jika si sakit
belum dewasa, surat keterangan ini harus ditanda tangani oleh orang tua atau
walinya)".
Ridwan berupaya menjelaskan kepada pramugari tersebut bahwa formulir
itu sebenarnya diperuntukkan bagi orang yang sakit dan menjelaskan bahwa
Ridwan bukanlah orang sakit. Kecacatan yang dialami Ridwan tidaklah bisa
disamakan dengan seseorang yang mengalami sakit penyakit.
Namun petugas pramugari pesawat Lion Air tersebut tetap bersikeras bahwa
ia hanya menjalankan tugas sesuai prosedur ditempatnya bekerja dan formulir itu
harus ditandatangani oleh Ridwan, dan menyatakan pesawat tidak akan
diterbangkan bila Ridwan belum menandatanganinya.
Buruknya pelayanan yang mengharuskan Ridwan untuk menandatangani
formulir pernyataan yang sama seperti sebelumnya yang disodorkan petugas
pramugari kembali dialami Ridwan ketika pada saat melakukan penerbangan dari
1 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 439 PK/Pdt/2017.
-
42
Denpasar menuju Jakarta, naik pesawat Lion Air tertanggal 14 April dengan
nomor penerbangan JT.15, jam keberangkatan dari Denpasar 16.40.
Klausula mengenai adanya persamaan antara orang sakit dan penyandang
disabilitas yang terdapat pada formulir pernyataan pengangkutan penumpang yang
nyatanya tidak hanya tersedia di maskapai Lion Air. Namun juga maskapai
lainnya Trigana Air dan lain sebagainya.
Baik maskapai Lion Air maupun maskapai lain seperti Trigana Air memiliki
bentuk dan bunyi yang sama pada klasula pernyataan penangkutan penumpang
yaitu pada poin ke-5 menyebutkan bahwa "tanda tangan penumpang yang sakit
atau orang yang dikuasakan menandatangani surat keterangan ini untuk
kepentingan si sakit. (jika si sakit belum dewasa, surat keterangan ini harus
ditanda tangani oleh orang tua atau walinya)".2
B. Pemberian Klausula Baku dalam Formulir Orang Sakit
kepada Penyandang Disabilitas merupakan Tindakan
Diskiriminasi
1. Penyandang Disabilitas vs. Orang Sakit
Sub bab ini akan menjelaskan mengenai pembedaan konsep penyandang
disabilitas dan orang sakit sebagai pemahaman awal terhadap dasar argumentasi
yang akan dijelaskan dalam sub bab berikutnya. Berikut beberapa pembahasan
dan pengertian mengenai orang sakit dengan merujuk pada peraturan yang ada di
Indonesia dan ilmu kedokteran.
2 Lampiran
-
43
Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor
PM 185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi
Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, pengertian orang sakit adalah
penumpang yang karena kondisi kesehatannya membutuhkan fasilitas tambahan
antara lain oxygen mask, kursi roda dan/atau stretcher, yang dalam hal ini dibatasi
tidak berlaku untuk penumpang dengan penyakit menular sesuai dengan ketentuan
yang berlaku3.
Serta Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia
Nomor PM 98 Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa
Transportasi Publik Bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus menjelaskan yang
dimaksud dengan sakit adalah berasa tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh
karena menderita sesuatu4.
Selanjutnya berdasarkan pada ilmu kesehatan Mulyono Notosiswoyo,
Sudibyo Supardi dan Winarsih sebagai Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Litbangkes) Departemen Kesehatan5 serta menurut dr. Sintarini
Utomo6 menyatakan yang pada intinya sakit adalah menyatakan bahwa sakit
adalah kondisi yang terjadi pada seseorang baik secara fisik maupun secara psikis
yang mana pikiran dan secara sosial yang dalam perkembangannya berkurang
atau terganggu dengan apa yang dirasakan bukan hanya proses terjadinya penyakit
3 Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor Pm 185
Tahun 2015 Tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga
Berjadwal Dalam Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1823). 4 Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98
Tahun 2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik Bagi
Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
1385). 5 Mulyono Notosiswoyo, dkk, Pengobatan Sendiri Terhadap Sakit Demam, Batuk, Pilek
dan pusing dengan Obat Kimia Dan Tradisonal Di Pedesaan, Media Litbangkes Vol. VIII No.
02/199811, h., 12. 6 Wawancara dengan Sintarini Utomo dokter umum di Poliklinik Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga, Salatiga, Kamis 11 Oktober 2018.
-
44
yang menimbulkan dampak seperti tidak mau makan, kerja terasa malas, tenaga
tidak kuat, badan terasa ngilu dan lemas, perasaan tidak enak, pening-pening,
muka pucat atau kurang gairah.
Faktor yang dapat dikatakan bahwa seseorang dikatakan sakit menurut dr.
Sintarini Utomo jika dilihat dari kacamata dokter adalah dilihat dari adanya gejala
yang timbul baik dialami maupun rasakan pada seseorang yang sakit dengan kata
lain disebut pasien, setelah itu dilakukan pemeriksaan fisik untuk melihat apakah
benar dengan apa yang dikeluhkan pasien. Jika hasil pemeriksaan menghasilkan
sakit maka memerlukan pemeriksan penunjang seperti cek laboratorium, rontgen,
USG. Kemudian dari hasil pemeriksaan dokter akan menyimpulkan bahwa pasien
atau seseorang tersebut sakit atau tidak. dr. Sintarini Utomo penyakit menjelaskan
bahwa sakit dibedakan menjadi 4 tipe yaitu penyakit menular, penyakit yang tidak
menular, penyakit kronis dan penyakit akut7.
Penyakit menular adalah penyakit yang mana penularannya dapat melalui
udara, air liur, darah, hubungan sex, lendir, sentuhan dan lain sebagainya sehingga
dapat menular ke orang lain. Contoh dari penyakit menular seperti flu, batuk,
bersin dan lain sebagainya. Penyakit yang tidak menular adalah penyakit yang
dialami oleh seseorang namun tidak dapat menular, contoh dari penyakit ini
adalah darah tinggi, kurang darah, leukimia dan lain sebagainya . Penyakit kronis
adalah penyakit yang dirasakan oleh pasien dalam kurun waktu yang lama bisa
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Sedangkan penyakit akut adalah penyakit
yang dirasakan pasien secara mendadak dan dalam kurun waktu yang singkat8.
7 Wawancara dengan Sintarini Utomo dokter umum di Poliklinik Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga, Salatiga, Kamis 11 Oktober 2018. 8 Ibid.
-
45
Selanjutnya berdasarkan ilmu kesehatan dr. Ferial H. yang merupakan saksi
ahli dalam perkara dengan nomor 231/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst.9 dan dr. Sintarini
Utomo10
menjelaskan perbedaan orang cacat dengan orang sakit yang pada intinya
adalah bahwa perbedaan antara orang sakit dan penyandang disabilitas yaitu
meliputi jika orang sakit mengalami penyimpangan dari struktur atau fungsi
normal pada bagian organ atau sistem yang ditandai dengan sekelompok gejala
dan tanda yang khas yang akan menimbulkan gejala sakitnya baik secara subjektif
yakni yang hanya dapat dirasakan oleh orang sakit tersebut seperti merasa pusing,
mual dan lain sebagainya. Maupun objektif yakni dapat dilihat oleh dokter dengan
melewati pemeriksaan kemudian terlihat hal-hal yang menunjang keluhan dari
orang sakit, sehingga dokter akan memberikan pengobatan ditahap selanjutnya.
Sementara yang dikatakan penyandang disabilitas ialah suatu keadaan yang mana
sudah memiliki kekurangan secara fisik terlihat namun orang tersebut tidak
mengeluh sakit11
.
Sedangkan yang dimaksud penyandang disabilitas yaitu jika ada organ di
dalam yang tidak berfungsi misalnya lumpuh, maka itu bukan sakit tetapi
kecacatan karena penyakitnya sudah lewat, yang ada hanyalah residunya.
Contohnya kalau salah satu panca indra tidak berfungsi misal tuna rungu itu
termasuk kacacatan bukan sakit. Orang sakit harus melalui pemeriksaan medis,
orang sakit boleh naik pesawat kecuali sakit tertentu yang mengganggu, tertentu
seperti flu burung tetapi orang cacat boleh naik pesawat, jadi ada aspek proteksi
9 Putusan Mahkamah Agung Nomor: 231/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst, h.,29.
10 Wawancara dengan dr. Sintarini Utomo dokter umum di Poliklinik Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga, Salatiga, Kamis 11 Oktober 2018. 11
Wawancara dengan dr. Sintarini Utomo dokter umum di Poliklinik Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga, Salatiga, Kamis 11 Oktober 2018.
-
46
dan juga menurut Undang-undang. Namun penyandang disabilitas dapat juga
mengeluh karena sakit yang dirasakan12
.
Setelah melihat penjelasan mengenai orang sakit diatas maka konsep dari
orang sakit itu sendiri adalah suatu keadaan yang mana orang sakit tersebut
merasa tidak nyaman dengan kondisi yang diderita serta menimbulkan dampak
pada kesehatan dan pola aktivitas sehari-hari seperti mudah lesu, tidak mau makan
dan lain sebagainya. Sedangkan konsep dari penyandang disabilitas yang terdapat
pada Bab II subbab a adalah suatu keterbatasan yang dialami oleh seseorang baik
secara fisik maupun mental yang berakibat pada terhambatnya dalam melakukan
segala aktivitas sosial bermasyarakat. Yang mana kondisi tersebut berbeda dengan
kondisi orang normal pada umumnya atau yang tidak mengalami disabilitas.
Perbedaan konsep antara penyandangan disabilitas dan orang sakit diperkuat
dengan kasus Sonia Chacón Navas vs Eurest Colectividades SA yaitu bermula
pada saat Ms Chacón Navas dipekerjakan oleh Eurest, khusus untuk menangani
katering. Pada 14 Oktober 2003 dia dinyatakan tidak layak untuk bekerja atas
dasar penyakit yang ia derita dan menurut layanan kesehatan masyarakat yang
merawatnya, dia tidak dalam posisi untuk kembali bekerja dalam jangka pendek.
Pada 28 Mei 2004, Eurest memberikan pemberitahuan tertulis kepada Chacon
Navas tentang pemecatannya, tanpa menyebutkan alasan apa pun. Pada 29 Juni
2004, Chacon Navas membawa tindakan untuk melawan Eurest, untuk
mempertahankan bahwa pemecatannya batal karena perlakuan yang tidak setara
dan diskriminasi yang menjadi subjeknya, yang berasal dari fakta bahwa ia telah
12
Wawancara dengan dr. Sintarini Utomo dokter umum di Poliklinik Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga, Salatiga, Kamis 11 Oktober 2018.
-
47
cuti dari pekerjaannya untuk delapan bulan.13
Adapun dalam putusan Hakim
berpendapat bahwa:
Should it be concluded that disability and sickness are two separate
concepts and that Community law does not apply directly to sickness, the
referring court suggests that it should be held that sickness constitutes an
identifying attribute that is not specifically cited which should be added to
the ones in relation to which Directive 2000/78 prohibits discrimination14
. "....The two concepts cannot therefore simply be treated as being the
same".15
Pada pernyataan di atas intinya menjelaskan bahwa bahwa disabilitas dan
penyakit adalah dua konsep yang terpisah sehingga penerapan hukum terhadap
kedua hal tersebut harus berbeda pula. Putusan pengadilan tersebut semakin
menegaskan bahwa orang sakit dan penyandang disabilitas tidak dapat
diperlakukan sama.
Setelah dilihat pengertian penyandang disabilitas dan orang sakit diatas
penulis beranggapan bahwa kedudukan penyandang disabilitas dan orang sakit
adalah dua individu yang memiliki karakteristik berbeda. Sementara yang
dikatakan penyandang disabilitas ialah suatu keadaan yang mana sudah memiliki
kekurangan secara fisik terlihat namun orang tersebut tidak mengeluh sakit. Hal
ini berarti penyandang disabilitas bukanlah suatu penyakit jika tidak mengeluh
sakit, namun penyandang disabilitas juga bisa mengalami sakit.16
Sehingga penumpang penyandang disabilitas dan orang sakit memiliki hal
berbeda dalam penanganannya dimana orang sakit sebelum melakukan
penerbangan akan dilakukan pemeriksaan (dikarantina) terlebih dahulu oleh
13
The Court Of Justice Of The European Union, Judgment Of 11 Juli 2006, Case C-
13/05, diunduh https://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/PDF/?uri=CELEX:62005CJ0013
&from=PT, 11 Juli 2006, dikunjungi pada pada 11 Desember 2018 pukul 11.30.
15
Ibid. 16
Ibid.
-
48
dokter yang menangani di bandara untuk memastikan apakah penumpang tersebut
layak untuk dilakukan penerbangan sementara penumpang dengan penyandang
disabilitas sebelum melakukan penerbangan penumpang sudah harus
memberitahukan kepada staf bandara maupun maskapai penerbangan bahwa
penumpang merupakan penumpang disabilitas sehingga memerlukan fasilitas
khusus seperti kursi roda sesuai kebutuhan yang diperlukan serta mendapatkan
pendampingan dari pihak maskapai dan bandara sampai ke tempat tujuan dengan
selamat, aman dan nyaman.
Dengan demikian, kondisi sakit merupakan sakit adalah suatu kondisi yang
terjadi pada seseorang baik secara fisik maupun secara psikis yang mana pikiran
dan secara sosial serta perkembangannya berkurang atau terganggu dengan apa
yang dirasakan bukan hanya proses terjadinya penyakit, jika orang sakit maka
akan menimbulkan gejala sakitnya baik secara subjektif yakni yang hanya dapat
dirasakan oleh orang sakit tersebut seperti merasa pusing, mual dan lain
sebagainya17
.
2. Pemberian Klausula Baku dalam Formulir Orang Sakit
Menciderai Hak Penyandang Disabilitas
Pengaturan mengenai pengertian diskriminasi secara khusus terdapat pada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dalam
Pasal 1 angka (3) yang menegaskan bahwa diskriminasi adalah setiap pembedaan,
pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas dasar disabilitas yang
bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau peniadaan pengakuan,
17
Sintarini Utomo, Op.Cit.
-
49
penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang Disabilitas.18
Adapun pengertian
lain terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas mendefinisikan
diskriminasi sebagai:
“setiap pembedaan, pengecualian, atau pembatasan atas dasar disabilitas
yang bermaksud atau berdampak membatasi atau meniadakan pengakuan,
penikmatan atau pelaksanaan, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya
terhadap semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam
bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, sipil atau lainnya. Hal ini
mencakup semua bentuk diskriminasi, termasuk penolakan atas pemberian
akomodasi yang beralasan"19
.
Pemberian klausula baku dalam formulir orang sakit kepada penyandang
disabilitas merupakan suatu tindakan diskriminasi, yang berupa pembatasan.
Pembatasan yang dimaksud berupa adanya perbuatan yang membatasi antara
orang normal dengan orang sakit, yang berupa pemberian formulir orang sakit.
Namun dengan adanya pembatasan tersebut Penyandang disabilitas justru
disamakan dengan orang sakit, seperti yang dijelaskan pada subbab diatas bahwa
orang sakit dan penyandang disabilitas merupakan hal yang berbeda. Hal ini
mengakibatkan pada ketiadaan pengakuan mengenai penyandang disabilitas.
Selain itu pemberian formulir orang sakit kepada penyandang disabilitas
juga merupakan pelanggaran dari hak penyandang disabilitas sendiri yaitu Pasal 7
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yaitu hak
untuk hak bebas dari stigma yang meliputi hak bebas dari pelecehan, penghinaan,
18
Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5871). 19
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On
The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5251).
-
50
dan pelabelan negatif terkait kondisi disabilitasnya20
. Hal ini berarti masih adanya
pemahaman bahwa status orang sakit dan penyandang disabilitas adalah sama
padahal pada kenyataannya orang sakit dan penyandang disabilitas merupakan
dua hal yang berbeda.
Seperti yang terjadi kasus di atas yang mana Ridwan Sumantri
berkedudukan yang merupakan penyandang disabilitas saat menaiki maskapai
Lion Air. Ridwan dipaksa untuk harus menandatangani formulir pernyataan
pengangkutan penumpang untuk penumpang dengan status sakit. Seperti
penjelasan sebelumnya, bahwa orang sakit dan penyandang disabilitas merupakan
individu yang berbeda dalam hal pengertian dan pelayanan.
Pada penyandang disabilitasnya berlaku asas non-diskriminasi dan
perlakuan khusus. Yang mana pada asas non-diskriminasi menurut Sieghart pada
intinya adalah bahwa tidak mengharuskan semua orang untuk diperlakukan sama
terhadap semua keadaan, namun kesetaraan perlakuan diperlukan untuk
menghormati hak dan kebebasan21
. Pada kasus diatas hak yang dilanggar berupa
hak untuk bebas dari stigma terkait pelabelan negatif mengenai kondisi
disabilitasnya. Ini termasuk melanggar perlakuan khusus penyandang disabilitas
yang berupa hak untuk bebas dari stigma..
Ada 27 prinsip kesetaraan didasarkan pada konsep hukum yang telah
berkembang dalam yurisprudensi PBB, Regional, dan Nasional. Meskipun banyak
istilah yang digunakan dalam Deklarasi ini cukup mapan, konsepsi yang
20
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5871). 21
Paul Sieghart, Op.Cit. dikutip dari Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi
Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Maju Mandar, Bandung, 2015, h., 170-
171.
-
51
dihasilkan dari kesetaraan secara keseluruhan membuka ruang baru untuk
pengembangan standar dalam sistem hak asasi manusia Internasional.22
Sebagaimana didefinisikan oleh Deklarasi, hak atas persamaan memiliki unsur-
unsurnya kenikmatan yang sama dari semua hak asasi manusia, serta
perlindungan dan manfaat hukum yang sama.23
Yang paling penting, itu mencakup partisipasi yang setara di semua bidang
kehidupan di mana hak asasi manusia berlaku. Kesetaraan bukan hanya hak untuk
bebas dari segala bentuk diskriminasi, tetapi juga hak atas kesetaraan substantif
dalam praktiknya. Di bawah pendekatan ini, tindakan positif (afirmatif)
merupakan elemen penting dari hak atas kesetaraan.24
Selain melanggar hak penyandang disabilitas yaitu hak untuk bebas dari
stigma hal ini juga melanggar asas bagi penyandang disabilitas khususnya pada
Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
22
Petrova, D., “The Declaration of Principles on Equality: A Contribution to
International Human Rights,” in Declaration of Principles on Equality, Equal Rights Trust,
London, 2008, p. 31, dikutip dari NYU Global Institute for Advanced Study, Article 7: The
Equality and Non-Discrimination Provision. Appendix E to the Report of the Global Citizenship
Commission. Cambridge, UK: Open Book Publishers, 2016, h., 14, https://www.
openbookpublishers.com/shopimages/The-UDHR-21st-C-AppendixE3.pdf, dikunjungi pada 22
November 2018 pukul 13.35. 23
Principle 1 of the Declaration defines the right to equality: “The right to equality is
the right of all human beings to be equal in dignity, to be treated with respect and consideration
and to participate on an equal basis with others in any area of economic, social, political, cultural
or civil life. All human beings are equal before the law and have the right to equal protection and
benefit of the law” (Declaration of Principles on Equality, Equal Rights Trust, London, 2008,
Principle 1, p. 5.), dikutip dari NYU Global Institute for Advanced Study, Article 7: The Equality
and Non-Discrimination Provision. Appendix E to the Report of the Global Citizenship
Commission. Cambridge, UK: Open Book Publishers, 2016, h., 15 https://www.
openbookpublishers.com/shopimages/The-UDHR-21st-C-AppendixE3.pdf, dikunjungi pada 22
November 2018 pukul 13.35. 24
Principle 3 of the Declaration states: “To be effective, the right to equality requires
positive action. Positive action, which includes a range of legislative, administrative and policy
measures to overcome past disadvantage and to accelerate progress towards equality of particular
groups, is a necessary element within the right to equality.” (Declaration of Principles on Equality,
Equal Rights Trust, London, 2008, Principle 3, p. 5.), dikutip dari NYU Global Institute for
Advanced Study, Article 7: The Equality and Non-Discrimination Provision. Appendix E to the
Report of the Global Citizenship Commission. Cambridge, UK: Open Book Publishers, 2016, h.,
15, https://www.openbookpublishers.com/shopimages/The-UDHR-21st-C-AppendixE3.pdf.,
dikunjungi pada 22 November 2018 pukul 13.35.
-
52
Disabilitas yaitu asas penghormatan terhadap martabat adalah pengakuan terhadap
harga diri Penyandang Disabilitas yang harus dilindungi, dihormati, dan
ditegakkan. Dengan memberikan formulir orang sakit kepada penyandang
disabilitas tentu menciderai status penyandang disabilitas sendiri karena
penyandang disabilitas dianggap seperti orang sakit serta tidak dianggap sebagai
penyandang disabilitas. Bahwa seperti yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya
mengenai Penyandang Disabilitas vs. Orang Sakit maka Penulis dalam hal ini
berpendapat bahwa kedudukan antara orang sakit dan penyandang disabilitas
merupakan hal yang berbeda.
3. Kewajiban Maskapai Penerbangan untuk Menyediakan
Formulir Khusus Penyandang Disabilitas
Pasal 7 huruf (a) dan (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen mengenai kewajiban pelaku usaha dalam hal ini adalah
maskapai penerbangan yaitu berbunyi, (a) "beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya; serta huruf (c) memperlakukan atau melayani konsumen
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif."25
Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen belum secara signifikan mengatur mengenai perlindungan bagi
penyandang disabilitas, namun pada Pasal 2 terdapat asas mengenai keadilan yang
berbunyi, "asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
25
Pasal 7 huruf (a) dan huruf (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
-
53
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil." 26
Yang mana hak konsumen yaitu Pasal 4 angka (1) dan angka (7) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu pada angka
(1) berbunyi, "hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa", serta angka (7) berbunyi,"hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif".27
Bentuk penerapan dari kewajiban pelaku usaha yang dalam hal ini adalah
maskapai penerbangan sebagaimana huruf (c) yaitu memperlakukan atau
melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,"28
yaitu
dengan pemberian formulir sesuai dengan karakter dari para penumpang.
Secara umum di Indonesia pengaturan mengenai perjanjian terdapat pada
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya pada Pasal 1313 mengatakan
bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.29
Sementara itu kontrak baku atau klausula baku adalah kontrak yang dibuat
secara sepihak dalam format tertentu dan massal (banyak) oleh pihak yang
mempunyai kedudukan dan posisi tawar-menawar yang lebih kuat, yang
didalamnya memuat klausula-klausula (pasal-pasal) yang tidak dapat dan tidak
mungkin dirundingkan atau diubah oleh pihak lainnya yang mempunyai
26
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3821). 27
Pasal 4 angka (a) dan angka (g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821). 28
Pasal 7 huruf (a) dan huruf (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821). 29
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
-
54
kedudukan atau posisi tawar-menawar yang lebih lemah selain menyetujui (take
it) atau menolaknya (leave it), yang bertujuan menghemat biaya, waktu dan tenaga
serta mempermudah praktik hukum perancangan dan pelaksanaan kontraknya.30
Kontrak baku digunakan tidak terkecuali dalam bidang penerbangan.
Dalam hal ini badan usaha angkutan penerbangan memiliki kewajiban untuk
mengangkut penumpang sebagaimana tertera dalam Pasal 140 Undang-Undang
No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang berbunyi: "badan usaha angkutan
udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah
disepakatinya perjanjian pengangkutan31
."
Dikaitkan dengan penelitian ini, kewajiban bagi maskapai penerbangan
untuk membuat formulir pernyataan pengangkutan khusus bagi penyandang
disabilitas menjadi penting. Sehingga tidak menimbulkan diskriminasi bagi
penyandang disabilitas.
Sebagaimana disebutkan pada Bab II subbab b bahwa diskriminasi adalah
setiap pembedaan, pengecualian pembatasan, pelecehan, atau pengucilan atas
dasar disabilitas yang bermaksud atau berdampak pada pembatasan atau
peniadaan pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak Penyandang
Disabilitas32
. Jika menyamakan penyandang disabilitas dan orang sakit maka
pihak maskapai sebagai pelaku usaha dan penyedia formulir pengangkutan
30
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif
Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju,
Bandung, 2016, h., 219. 31
Pasal 140 Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara
Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4956). 32
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5871).
-
55
merupakan bentuk pelanggaran diskriminasi yaitu memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif,"33
Hal ini sebagai penerapan dari asas pada Pasal 2 huruf (c) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yaitu asas adil dan merata yaitu
penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan
merata tanpa diskriminasi kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang
terjangkau oleh masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan keturunan serta
tingkat ekonomi34
.
4. Tanggungjawab Negara dalam Pemberian Perlindungan
Hukum
Pemberian perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia merupakan
kewajiban Negara terhadap masyarakatnya. Pada Undang-Undang Nomor 39
tahun 1999 tentang HAM Pasal 2 dinyatakan bahwa Indonesia mengakui dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak
yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia yang harus
dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan martabat manusia,
kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan. Oleh karena itu,
eksistensi HAM telah mendapat pengakuan secara hukum oleh negara Indonesia.
Pengingkaran terhadap HAM tentunya akan berimplikasi pada pelanggaran
33
Pasal 7 huruf (a) dan huruf (c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821). 34
Pasal 2 huruf (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4956)
-
56
hukum. Hal ini dikarenakan HAM adalah hak hukum yang pemenuhannya
menjadi tanggung jawab negara.35
Kewajiban Negara berkaitan dengan HAM yaitu untuk menghormati (to
respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak warga negara.
Menurut Asbjorn Eide pada intinya mengatakan bahwa kewajiban negara untuk
menghormati (to respect) merupakan kewajiban untuk menghormati
mengharuskan negara untuk tidak melakukan apa pun yang melanggar integritas
individu atau melanggar kebebasannya, termasuk kebebasan untuk menggunakan
sumber daya material yang tersedia bagi individu tersebut dengan cara yang
menurutnya paling baik untuk memenuhi kebutuhan dasar36
.
Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban untuk melindungi (to protect),
Asbjorn Eide berpendapat pada intinya merupakan kewajiban untuk melindungi
mensyaratkan dari negara tindakan yang diperlukan untuk mencegah individu atau
kelompok lain dari pelanggaran integritas, kebebasan atau tindakan, atau hak asasi
manusia lainnya dari individu-termasuk pencegahan pelanggaran sumber daya
materialnya.37
Sedangkan kewajiban negara yang ketiga yaitu memenuhi (to fulfill)
menurut Asbjorn Eide yang pada intinya merupakan kewajiban untuk memenuhi
mensyaratkan negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan setiap orang dalam jurisdiksinya untuk memperoleh kepuasan atas
kebutuhan tersebut, diakui dalam instrumen hak asasi manusia, yang tidak dapat
dijamin dengan upaya pribadi. 38
35
Andreay Sujatmoko, Op.Cit., h. 40. 36
Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., h. 130. 37
Ibid. 38
Ibid., h. 131.
-
57
Di Indonesia dalam penerapan kewajiban negara terhadap HAM yaitu untuk
menghormati (to respect) serta untuk melindungi (to protect) secara kelembagaan
ada 2 institusi yang mempunyai peran yang sangat penting, yaitu Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Pengadilan HAM39
.
Komnas HAM didirikan berdasarkan Keppres No.50 Tahun 1993 tentang
Komnas HAM, dengan tujuan untuk membantu pengembangan kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan HAM serta meningkatkan perlindungan HAM. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut Komnas HAM melakukan sejumlah kegiatan yang
pada intinya meliputi 3 hal, yaitu penyebarluasan wawasan HAM kepada
masyarakat Indonesia dan internasional; pengkajian berbagai instrumen HAM
PBB dalam rangka aksesi/ratifikasi; pemantauan dan penyelidikan pelaksanaan
HAM40
.
Pada tahun 1999, keberadaan Komnas HAM didasarkan pada Undang-
undang, yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang juga menetapkan
keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotaan, asas, kelengkapan serta tugas dan
wewenang Komnas HAM. Disamping kewenangan tersebut, menurut Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999, Komnas HAM juga berwenang melakukan
penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia41
.
Lembaga Komnas HAM telah bekerja sama baik secara Nasional maupun
Internasional. Adapun bentuk kerjasama secara Internasional Komnas HAM yakni
39
Andreay Sujatmoko, Op.Cit., h. 41. 40
Ibid. 41
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Tentang Komnas HAM,
https://www.komnasham.go.id/index.php/about/1/tentang-komnas-ham.html, dikunjungi pada
tanggal 5 November 2018 pukul 10.14.
-
58
MoU Komnas HAM dengan The Office Of The United Nations High
Commissioner For Refugees (UNHCR) yang ditandatangani di Jakarta pada
tanggal 28 Juli 2015. Kerja sama ini bertujuan dengan mempertimbangkan
perbedaan dan sifat yang saling melengkapi mandat dan tanggungjawab masing-
masing institusi, sepakat untuk memastikan kerja sama yang erat dan upaya untuk
saling mendukung dalam bidang-bidang yang menjadi tanggungjawab masing-
masing.
Kerjasama Komnas HAM secara Internasional yaitu MoU Komnas HAM
dengan Foundation for International Human Rights Reporting Standards
(FIHRRST) yang ditandatangi pada tanggal 31 Juli 2015. Kerja sama ini
dimaksudkan untuk mempromosikan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.
Selain kerjasama secara Internasional Komnas HAM memiliki kerjasama
dalam lingkup Nasional yang diantaranya perjanjian kerjasama Kepolisian Resort
Metro Jakarta Utara dengan Komnas HAM tentang pelaksanaan kerjasama
pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia yang
ditandatangani pada tanggal 2 November 2015 di Jakarta Utara.
Kemudian perjanjian kerjasama Kepolisian Daerah Jawa Tengah dengan
Komnas HAM tentang pelaksanaan pemajuan hak asasi manusia ditandatangani
pada tanggal 21 Agustus 2017. Selanjutnya MoU Komnas HAM dengan
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat tentang kerjasama pemajuan,
perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia ditandatangani pada
tanggal 17 April 2018. Serta perjanjian kerjasama Komnas HAM dan PT Kompas
Media Nusantara tentang survei kesiapan partai politik dan perangkat pemilu
-
59
dalam penghapusan diskriminasi ras dan etnis ditandatangani pada tanggal 11 Juli
2018.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia, Komnas HAM adalah lembaga yang berwenang menyelidiki
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melakukan penyelidikan ini
Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Hak Asasi
Manusia dan unsur masyarakat42
.
Pengadilan HAM dibentuk sebagai amanat Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM untuk mengadili pelanggaran berat HAM. Selanjutnya
dibuat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia sebagai dasar hukum pengadilan HAM. Pelanggaran berat yang
dimaksud hanya meliputi "genocide" dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity).43
Selain 2 lembaga diatas, Indonesia memiliki pengaturan yang mengatur
mengenai HAM. Diantaranya diatur pada Pasal 28 huruf (A) sampai dengan Pasal
28 huruf (J) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011
tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities
(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan lain sebagainya.
Di tingkat Internasional, masalah penegakkan hukum HAM tidak lepas dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB). PBB memiliki peran
42
Ibid. 43
Andreay Sujatmoko, Op.Cit., h. 42.
-
60
sentral maupun konstribusi yang sangat penting bagi perlindungan dan
penghormatan terhadap HAM di dunia44
. Menurut Thomas Buergrnthal,45
hal
tersebut secara historis terlihat dari upaya-upaya yang telah dilakukan PBB
berkaitan dengan perkembangan hukum HAM internasional modern seperti:
dalam pembentukan norma (the normative foundation), pada tahap pertama ini
proses dimulai dengan berlakunya piagam PBB dan berlanjut hingga disahkannya
"Universal Declaration Of Human Rights" tahun 1948 dan 2 konvenan ICCPR
(International Covenant on Civil and Political Rights) dan ICESCR (International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) tahun 1966; tahap kedua
pembentukan kelembagaan (institution building).
Kemudian pada kewajiban negara yang ketiga yaitu untuk memenuhi (to
fulfill). Dalam pemenuhan HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
khususnya untuk penyandang disabilitas pada tempat umum maupun dalam
transportasi publik yaitu dengan menyiapkan aksesibilitas yang siap dan layak
digunakan. Bentuk-bentuk dari aksesibilitas yang digunakan diatur dalam
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98 Tahun 2017
tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik bagi
Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus yaitu pada Pasal 3 mengenai aksesibilitas
bagi pengguna jasa berkebutuhan khusus pada sarana transportasi paling sedikit
meliputi:46
a) alat bantu untuk naik turun dari dan ke sarana transportasi;
44 Andreay Sujatmoko, Op.Cit., h. 45.
45 Thomas Buergrnthal, International Human Rights In A Historical Perspective, dalam
Janusz Symonides, (ed.), Human Rights: Concept and Standards, Burlington, USA: Ashgate
Publishing Company and UNESCO, 2000, h., 10-16 dikutip dari Andreay Sujatmoko, Hukum
HAM dan Hukum Humaniter, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, h.,45. 46
Pasal 3, Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98 Tahun
2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik bagi Pengguna
Jasa Berkebutuhan Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1385).
-
61
b) pintu yang aman dan mudah diakses;
c) informasi audio/visual tentang perjalanan yang mudah di akses;
d) tanda/petunjuk khusus pada area pelayanan di sarana transportasi yang
mudah di akses;
e) tempat duduk prioritas dan toilet yang mudah diakses; dan
f) penyediaan fasilitas bantu yang mudah di akses, aman dan nyaman.
Pada subbab ini penulis menyimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia telah
maksimal dalam melakukan dan memenuhi tanggungjawab dalam pemenuhan
HAM untuk warga negara. Baik kewajiban untuk menghormati (to respect),
melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak warga negara. Baik dalam
bentuk sarana maupun prasarana telah dibangun oleh Pemerintah untuk memenuhi
dan menunjang kewajiban HAM warga negara.
Pengaturan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia untuk mengatur dalam
pemenuhan kewajiban Indonesia sebagai negara terkait HAM antara lain yaitu
Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J mengenai Hak Asasi Manusia di Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Undang-
Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas, Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 tentang Komnas
HAM, Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98 Tahun
2017 tentang Penyediaan Aksesibilitas Pada Pelayanan Jasa Transportasi Publik
bagi Pengguna Jasa Berkebutuhan Khusus dan lain sebagainya.
-
62
Negara sebagai pemegang kewajiban terhadap pemenuhan HAM memiliki
tanggungjawab dalam terselenggaranya HAM sebagaimana terdapat dalam Pasal
28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama
Pasal 28I ayat (2) yaitu, "hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu," dalam hal ini terkait perlakuan
diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
Negara berkewajiban untuk memastikan penyandang disabilitas untuk dapat
menikmati haknya yaitu terbebas dari tindak diskriminasi. Negara dapat
mengeluarkan regulasi formulir khusus penyandang disabilitas dalam transportasi
umum khususnya penerbangan serta melakukan pengawasan terhadap maskapai
penerbangan dalam memperlakukan penumpang disabilitas.