BAB III METODE PENELITIAN Pada bab III ini penulis memaparkan ...
BAB III
description
Transcript of BAB III
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pengertian
Istilah tetanus berasal dari bahasa Yunani “tetanus” yang artinya regangan,
kekakuan atau kontraksi (stretch atau rigidity). Tetanus yang dikenal sebagai
lockjaw dan Seven Day Disease adalah penyakit pada susunan saraf akibat adanya
inhibisi interneuronal pada motor neuron yang ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat, inhibisi tersebut disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani. Kontraksi otot bersifat kaku dan nyeri, bisa terjadi lokal
maupun general (Subandi & Danuaji, 2014).
Gambar 3.1. Clostridium tetani dengan pengecatan Acridine jingga, yang dicirikan dengan gambaran seperti stik drum (Farrar et al, 2000)
3.2 Patogenesis
Clostridium tetani menghasilkan 2 jenis toksin yaitu tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanospasmin merupakan toksin yang berhubungan dengan gejala
tetanus, sedangkan tetanolisin diduga berperan dalam kerusakan jaringan dan
mengoptimalkan kuman untuk berkembang. (Subandi & Danuaji, 2014)
Tetanospasmin terdiri atas rantai berat (H-heavy) dan ringan (L-light) yang
dihubungkan oleh jembatan sulfide (S). Gambar 1 mengilustrasikan struktur
tetanospasmin. Rantai berat berperan dalam neuronal uptake dan transport toksin
16
pada motor neuron, sedangkan rantai ringan yang bertanggung jawab dalam
kerusakan interneuron dengan merusak synopthobrevin yang akan menghambat
sekresi neurotransmitter GABA dan Glisin.
Gambar 3.2. Skema dari struktur dan aktivasi dari neurotoksin tetanus (Cook et al, 2001).
Keterangan : toksin dihasilkan sebagai rantai polipeptida tunggal yang tidak aktif. Toksin akan diaktivasi selama pemecahan proteolitik selektif, dimana akan menghasilkan dua rantai disulfide. Tiga daerah ini akan memerankan fungsi yang berbeda dalam rantai L pada sitosol. L adalah sebuah zinc-endopeptidase spesifik untuk komponen protein dari apparatus neuroeksitosis (Cook et al, 2001).
Bila ada luka yang mempunyai suasana anaerob, kuman Clostridium tetani
akan berkembang dan memproduksi toksin. Toksin yang dihasilkan oleh spora
kuman akan menyebar dengan cara sebagai berikut:
1) Toksin masuk melalui otot yang terkena luka terutama luka dalam yang
kotor atau luka yang kurang caskularisasi.
2) Toksin akan menyebar ke otot-otot yang berdekatan di sekitarnya yang
selanjutnya menyebar melalui jalur neural secara retrograde dan
berakumulasi di ganglion radiks doraslis menuju inti intermediolateralis.
3) Toksin akan menyebar ke nodus leimfatikus regional menuju sistem
limfatik menuju aliran darah.
4) Toksin masuk aliran darah melalui sistem limfatik ataupun kapiler di dekat
deposit toksin.
5) Toksin akan merembes melalui membrane permeable pembuluh drah
intramuskuler dan berdifusi menuju saraf terminal didalam selruuh otot
tubuh termasuk otot wajah, leher, punggung dan perut, selanjutnya toksin
akan naik sepanjang akson sel saraf di seluruh tubuh menuju sel alfa motor
neuron di medulla spinalis dan batang otak (Subandi & Danuaji, 2014).
17
3.3 Gejala Klinis
Masa inkubasi penyakit antara 3 hingga 21 hari, rata-rata 7 hari (Taylor,
2006). Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni
1. Lokalized tetanus ( Tetanus Lokal )
2. Cephalic Tetanus
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus. Kharekteristik dari tetanus
pada umumnya sebagai berikut:
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5
-7 hari.
• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya
• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari
leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw )
karena spasme Otot masetter.
• Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan
kuat .
• Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan
• Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap
baik.
• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis
( pada anak ) (Ritarwan, 2004).
Toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih
menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik
18
dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju
sistem saraf pusat.
Tetanospasmin yang merupakan zinc-dependent endopeptidase memecah
vesicle-associated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu
ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di
sinaps, sehingga pe-mecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya
mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid
(GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena
pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul
aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan
rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini
merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur
axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir,
mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,
aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya
terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini (Taylor,
2006).
3.3.1 Kekakuan dan Spasme Otot
Gejala yang paling umum adalah adanya kekakuan otot, awalnya terjadi
pada otot masseter yang menyebabkankesulitan membuka mulut yang dikenal
trismus atau lockjaw. Kekakuan yang terjadi pada otot-otot wajah memberikan
gambaran ekspresi wajah yang khas yang dikenal rhesus sardonicus atau rhesus
smile. Pada otot-otot perut menyebabkan prut seperti papan. Sedangkan pada otot
faring dan laring menimulkan kesulitan menelan dan sesak nafas dan bila berat
menyebabkan respiratory failure. Adanya kekakuan pada otot batang tubuh
seperti leher dan punggung dikenal opistotonus (Subandi & Danuaji, 2014)
Spasme ditandai adanya kontraksi otot-otot yang bersifat tonik, periodic
dan disertai rasa nyeri yang hebat. Spasme dapat timbul akibat rangsangan raba,
19
suara, cahaya ataupun emosional. Frekuensi dan beratnya spasme bervariasi.
(Subandi & Danuaji, 2014)
3.3.2 Gangguan Saraf Otonom
Gangguan otonom yang terjadi melibatkan komponen simpatis dan
parasimpatis yang menimbulkan gangguan pada sistem kardiovaskuler,
gastrointestinal dan ginjal. Gejala yang sering muncul antara lain aritmia,
takikardi, bradikardi, henti jantung, hyperhidrosis, peningkatan dan penurunan
tekanan darah yang ekstrem, hipersalivasi, reflek vagal, ileus, stasis lambung,
diare, hipermetabolisme katekolamin dan gagal ginjal.
Berdasarkan luas dan beratnya gejala klinis dapat dibagi menjadi tetanus
lokal, sefalik dan general. Pada umumnya yang sering ditemukan adalah tipe
general (Subandi & Danuaji, 2014).
1. tetanus lokal (lokalized Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten,
pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator).
Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan
biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi
dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga
lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau
dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian
profilaksis antitoksin. (Ritarwan,2004)
2. Cephalic tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk
adanya benda asing dalam rongga hidung (Ritarwan, 2004).
20
3. Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala
timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering
dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter,
bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku
kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus
(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot
punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia.
Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan
didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi
begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun
hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita
biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis
(Ritarwan, 2004).
4. Neotal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali
pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk
disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, seperti
penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora Clostridium tetani.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat
tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam
terjadinya neonatal tetanus. Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus
dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus.(8) Biasanya ditolong melalui tenaga
persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus
( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui
dokter 6 kasus (7, 32 %) (Ritarwan, 2004).
21
3.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang khas.
Anamnesis terhadap adanya luka baru atau lama dilakukan untuk mencurigai
adanya port d’enty dan masa inkubasi, seperti luka tusuk, luka dalam yang kotor,
luka bakar, infeksi gigi dan telinga, dan riwayat operasi. Tabel 1. Menunjukkan
kriteria jenis luka yang rentan dan tidak rentan tetanus. Selain itu perlu ditanyakan
riwayat imunisasi, persalinan dan perawatan tali pusat pada bayi. Gejala klinis
yang khas seperti trismus dan opistotonus menjadi dasar untuk mendiagnosis
tetanus.
Tabel 3.1 Kriteria Jenis Luka
Luka Rentan Tetanus Luka Tidak Rentan Tetanus
6-8 jam < 6 jam
Kedalaman luka >1cm Superficial (<1cm)
Terkontaminasi Bersih
Bentuk stelat, avulsi atau hancur
(ireguler)
Bentuk linear, tepi tajam
Denervasi, iskemik Neuro/vaskuler intak
Terinfeksi (purulent, jaringan
nekrotik)
Tidak terinfeksi
3.4.1 Kriteria Diagnosis
Hipertoni dan spasme otot
- Trismus, risus sardonikus, otot leher kaku dan nyeri, opistotonus,
dinding perut tegang, anggota gerak spastik.
- Lain-lain : Kesukaran menelan, asfiksia dan sianosis, nyeri pada otot-
otot di sekitar luka
Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu
Umumnya ada luka/ riwayat luka
Retensi urine dan hiperpireksia
22
Tetanus lokal (Perdossi, 2013).
Gambar 3.3. Risus sardonicus (Cook et al, 2001).
Gambar 3.4. Opistotonus berat pada tetanus neonatorum (Cook et al, 2001).
3.4.2 Derajat Tetanus
Derajat tetanus dapat ditentukan dengan Philips Score atau Ablett’s.
dengan mengetahui skor tersebut dapat memberikan rencana penatalaksanaan dan
prognosis.
Tabel 3.2 Skor Philips (Farral et al, 2000)
Faktor Risiko SkorMasa Inkubasi
- <48 jam- 2-5 hari- 5-10 hari- 10-14 hari- >14 hari
54321
Lokasi Infeksi
23
- Umbilicus dan internal- Kepala, leher, dinding tubuh- Perifer proksimal- Perifer distal- Tidak diketahui
54321
Status proteksi- Tidak ada- Sebagian imunisasi waktu kehamilan- >10 tahun- <10 tahun- Lengkap
108420
Komplikasi- Luka atau kondisi mengancam kehidupan- Luka berat atau kondisi tidak mengancam kehidupan- Luka sedang atau kondisi tidak mengancam kehidupan- Luka kecil- ASA grade 1
108420
Keterangan :- Skor tetanus ringan : <9- Skor tetanus sedang : 9-16- Skor tetanus berat : >16
Tabel 3.3 Klasifikasi Ablet terhadap tingkat keparahan Tetanus (Cook et al,
2001).
Stadium Gejala klinisI Ringan : trismus ringan hingga sedang; spastisitas general; tidak
ada keterlibatan sistem respirasi; tidak ada spasme; tidak ada disfagia atau ringan
II Sedang : trismus ringan; rigiditas yang jelas; spasme ringan atau sedang tapi sebentar; keterlibatan sistem respirasi yang sedang dengan peningkatan laju nafas lebih dari 30 kali; disfagia ringan.
III Berat : trismus berat; spastisitas generalisata; refleks spasme yang lama; laju nafas lebih dari 40 kali; apneic spells; disfagia berat; takikardi yang lebih dari 120.
IV Sangat berat : stadium III dan gangguan otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskular. Hipertensi berat dan takikardi bergantian dengan hipotensi relatif dan beradikardi, yang mana akan menjadi persisten.
Tabel 3.4 Dakar Skor (Farrar et al, 2000).
Faktor Dakar score
24
prognosisScore 1 Score 0
Periode inkubasi <7 hari ≥ 7 hari atau tidak diketahui
Periode onset <2 hari ≥ 2 hari
Tempat masuk Umbilicus, luka bakar, uterus, fraktur
terbuka, luka operasi, injeksi IM
Selain dari yang telah disebut,
atau tidak diketahui
Spasme Ada Tidak ada
Demam >38,4oC <38,4oC
Takikardi Dewasa > 120 kali/menit
Neonatus > 150 kali/menit
Dewasa <120 kali/menit
Neonatus < 150 kali/menit
Keterangan : - Dakar score 0-1, ringan (mortalitas 10%)- 2-3, sedang (mortalitas 10-20%)- 4 berat (mortalitas 20-40%)- 5-6 sangat berat (mortalitas >50%)
Ada juga grading berdasarkan kriteria Pattel Joag, yaitu sebagai berikut:
Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot tulang
belakang
Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria 4 : waktu onset antara 48 jam atau kurang
Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal 100oF atau aksila sampai 99oF (atau 37,6oC)
Dari kriteria di atas dibuat tingkatan derajat sebagai berikut:
Derajat 1 : kasus ringan minimal 1 kriteria K1 atau K2, mortalitas 0%.
Derajat 2 : kasus sedang, minimal 2 kriteria (K1+K2), biasanya inkubasi lebih
dari 7 hari, onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10%.
Derajat 3 : kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang dari
7 hari, onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%.
Derajat 4 : kasus sangat berat, minimal 4 kriteria, mortalitas 60%
Derajat 5 : bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus
puerpurium, mortalitas 84%.
25
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Anamnesis terhadap adanya luka baru atau lama dilakukan untuk
mencurigai adanya port d’entry, seperti luka tusuk, luka dalam yang kotor, luka
bakar, infeksi gigi dan telinga, dan riwayat operasi. Gejala klinis yang khas
menjadi dasar untuk mendiagnosis tetanus.
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik. Pemeriksaan EKG, darah
rutin, fungsi faal ginjal, elektrolit, analisa gas darah, kultur untuk infeksi
dilakukan untuk membantu mengatasi penyulit yang mungkin terjadi. (Subandi &
Danuaji, 2014)
Blia memungkinkan, periksa bakteriologik untuk menemukan C.tetani. EKG bila
ada tanda-tanda gangguan jantung. Sedangkan foto toraks bila ada tanda
komplikasi paru-paru (Perdossi, 2013).
3.6 Diagnosis Banding
- Kejang karena hipokalsemia
- Reaksi dystonia
- Rabies
- Meningitis
- Abses retrofaringeal, abses gigi, subluksasi mandiula
- Sindrom hiperventilasi/reaksi histeri
- Epilepsi/kejang tonik klonik umum (Taylor, 2006; Perdossi, 2013)
3.7 Penatalaksanaan
Pada fase akut penatalaksanaan pasien tetanus adalah sebagai berikut
(Subandi & Danuaji, 2014):
1. Periksa jalan nafas, permbersihan dilakukan secara hati-hati dan pelan-
pelan untuk menghindari spasme laring yang berat. Pada tetanus berat jika
perlu dilakukan trakeostomi.
2. Oksigen diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia dan depresi
pernafasan.
26
3. Pemberian antispasme dengan diazepam dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari
atau pada spasme ringan 5-20 mg per oral setiap 8 jam bila perlu. Spasme
sedang 5-10 mg IV atau 10-40 mg/24 jam dalam bentuk drip/infus
kontinu. Spasme berat: 50-100 mg IV dalam 24 jam, dilarutkan dalam 500
ml dekstrose 5% atau dalam infus kontinu. Jika belum berhasil maka perlu
diberikan neuromuscular blocking agent dan ventilator.
4. Pemberian antitoksind engan Anti Tetanus Serum/ATS 10.000-20.000 IU
intramuskuler selama 3-5 hari atau Human Tetanus Immune
Globuline/HTIG 500-6000 IU intramuskuler sebagai dosis tunggal
5. Eradikasi kuman penyebab diberikan Metronidazole 500 mg setiap 6 jam
IV atau per oral selama 7-10 hari. Penicillin procain dapat diberikan
dengan dosis 1,2 juta/hari selama 10 hari. Penggunaan metronidazole
cukup efektif sehingga saat ini penggunaan penisilin procain mulai
ditinggalkan.
6. Pembersihan luka. Pemberian antitetanus profilaksis diberikan
berdasarkan luka yang rentan tetanus dan status imunisasi. Luka yang
rentan tetanus adalah luka terkontaminasi, onset 6-8 jam, kedalam > 1 cm,
bentuk avulsi atau ireguler, iskemik, dan terinfeksi (purulent disertai
jaringan nekrotik).
7. Pengendalian disfungsi otonom dapat diberikan propranolol, klonidin,
atropine dan magnesium sulfat sesuai indikasi.
8. Pemberian kortikosteroid dan pemberian vitamin C beberapa studi
melaporkan memberikan prognosis yang lebih baik dalam menurunkan
angka kematian.
Pada dasarnya, ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
(1) Membuang sumber tetanospasmin
(2) Menetralisasi toksin yang tidak terikat
(3) Perawatan penunjang (suportif ) sampai tetanospasmin yang berikatan
dengan jaringan telah habis dimetabolisme.
Membuang Sumber Tetanospasmin
27
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk
mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan
pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada pe-nelitian di Indonesia,
metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan.
Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan
dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif
mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat
diberikan penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika
hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari
(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).
Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian
penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari
direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan
bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin
dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).
Netralisasi Toksin yang Tidak Terikat
Antitoksin harus diberikan untuk menetral-kan toksin-toksin yang belum
berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera
diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis
yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis
tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit
intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal.
Sebagian dosis diberikan secara ini ltrasi di tempat sekitar luka; hanya
dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat
pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat
hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin
sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat
merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka
digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000 unit intra-
28
muskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan
40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.1,4,5
Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi
aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak
memiliki kekebalan.
Pengobatan Suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin
yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani
di ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme
paroksismal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di
ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan agar men-cegah pneumonia
aspirasi. Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas
darah penting sebagai penuntun terapi.
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring,
aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi
bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering.
Trakeostomi dituju-kan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus
dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.
Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi
otot respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi
lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya
mengalami spasme otot. Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas
tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang di-rekomendasikan adalah
0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang
direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis
2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per
rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat
badan ≥10 kg, atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah
spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai
29
keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis
awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus
tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepamditurunkan
bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis
maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai
spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak
dijumpai gangguan pernapasan. Tambahan efek sedasi bisa didapat dari
barbiturate khusus-nya phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine,
penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan otonom.
Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam
dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine
di-berikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg
bagi dewasa.5,10 Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan
sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.
Jika spasme tidak cukup terkontrol de ngan benzodiazepine, dapat dipilih
pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure ventilation
(IPPV). Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus,
rekomendasi didapatkan dari laporan kasus. Pancuronium harus dihindari karena
efek samping simpa-tomimetik.1 Atracurium dapat sebagai pilihan.
Vecuronium juga telah digunakan karena stabil pada jantung. Pasien tetanus
berat sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme
mereda. Insiden ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus
sebesar 52,6%.1 Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan
penyakit tetanus dan masih merupakan penyebab penting kematian. Pencegahan
komplikasi respirasi meliputi perawatan mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan
suction trakea. Sedasi adekuat selama prosedur invasif mencegah provokasi
spasme atau ketidakstabilan otonom.
Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum dan
fatality ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hiper-tensi labil, takikardia, dan
demam. Berbagai gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard
serta kolaps sirkulasi sering menyebabkan kematian.
30
Tanda overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif, hipertensi yang
kadang diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa hari
setelah onset spasme otot. Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan
dapat dipresipitasi oleh kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja
langsung toksin tetanus pada miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang
dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardi. Aktivitas parasimpatis ber-
lebihan dapat menyebabkan sinus arrest, di-katakan karena kerusakan langsung
nukleus vagus oleh toksin tetanus. Instabilitas otonom sulit diobati. Fluktuasi
tekanan darah membutuhkan obat-obat dengan waktu paruh singkat. Terapi
konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai terapi lini pertama, menggunakan
benzodiazepine dosis besar, morphine, dan/atau chlorpromazine. Saat ini,
magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan spasme dan disfungsi
otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/kg) IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam
sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan konsentrasi serum
2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis, dimonitor reflek patella.
Beta blocker dapat menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang tidak
membaik dengan penambahan volume intravaskular membutuhkan inotropik.1
Atropin dosis tinggi, lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan
bradikardia.3 Tidak ada regimen terapi yang dipercaya efektif secara universal
untuk instabilitas otonom. Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia
menyebabkan aktivitas simpatis berlebihan dan katabolisme protein sehingga
pemeliharaan nutrisi sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan
terjadi cepat karena disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan
metabolisme, menurunkan daya tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis.
Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah
cukup untuk mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme
protein. Formula asam amino sangat membantu membatasi katabolisme protein.
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian
obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda
31
dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian
khusus pada risiko aspirasi.
Emboli paru juga merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak
digunakan ntikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan; risiko
thromboemboli dan perdarahan harus dipertimbangkan.
Gerakan pasif harus terus diberikan jika digunakan pelumpuh otot.
3.8 Penyulit
- Asfiksia akibat depresi pernafasan, spasme jalan nafas
- Pneumonia aspirasi
- Kardiomiopati
- Fraktur kompresi
3.9 Prognosis
Angka kematian tetanus masih cukup tinggi. Prognosis kesembuhan dan
kematian berhubungan dengan derajat tetanus (Subandi & Danuaji, 2014).
Angka kematian tinggi bila
- Usia tua
- Masa inkubasi singkat
- Onset periode yang singkat
- Demam tinggi
- Spasme yang tidak cepat diatasi
Sebelum pasien keluar rumah sakit, diberikan tetanus toksoid (TT) 0,5 mg IM.
TT2 dan TT3 diberikan masing-masing dengan interval waktu 4-6 minggu
(Perdossi, 2013).
32
DAFTAR PUSTAKA
Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. 2001. Tetanus: a review of the literature.
British Journal of Anaesthesia, 87(3):477-487.
Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, Parry CM. 2000.
Tetanus. Journal Neurology Neurosurgery Psychiatry, 69:292-301.
Laksmi NK. 2014. Penatalaksanaan Tetanus. CDK, 41(11):823-826.
Perdossi. 2013. Standar Pelayanan Medik: Tetanus [online]. Dari URL:
http://kniperdossi.org/index.php/2013-10-21-11-57-48/download/doc_down
load/5-spm-neurologi diakses tanggal 21 April 2015.
Ritarwan K. 2004. Tetanus. Bagian Neurologi FK USU/RSU H. Adam Malik
[Online]. Dari URL: http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-
kiking2.pdf diakses tanggal 9 April 2015.
Subandi & Danuaji R. 2014. Neurologi untuk dokter umum. Surakarta: UNS
Press.
Taylor AM. 2006. Tetanus. Continuing Education in Anesthesia, Critical Care &
Pain, Vol 6(3):101-104.
33