BAB III

28
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Pengertian Istilah tetanus berasal dari bahasa Yunani “tetanus” yang artinya regangan, kekakuan atau kontraksi (stretch atau rigidity). Tetanus yang dikenal sebagai lockjaw dan Seven Day Disease adalah penyakit pada susunan saraf akibat adanya inhibisi interneuronal pada motor neuron yang ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat, inhibisi tersebut disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Kontraksi otot bersifat kaku dan nyeri, bisa terjadi lokal maupun general (Subandi & Danuaji, 2014). Gambar 3.1. Clostridium tetani dengan pengecatan Acridine jingga, yang dicirikan dengan gambaran seperti stik drum (Farrar et al, 2000) 3.2 Patogenesis 16

description

n

Transcript of BAB III

Page 1: BAB III

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pengertian

Istilah tetanus berasal dari bahasa Yunani “tetanus” yang artinya regangan,

kekakuan atau kontraksi (stretch atau rigidity). Tetanus yang dikenal sebagai

lockjaw dan Seven Day Disease adalah penyakit pada susunan saraf akibat adanya

inhibisi interneuronal pada motor neuron yang ditandai dengan spasme otot yang

periodik dan berat, inhibisi tersebut disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan

oleh Clostridium tetani. Kontraksi otot bersifat kaku dan nyeri, bisa terjadi lokal

maupun general (Subandi & Danuaji, 2014).

Gambar 3.1. Clostridium tetani dengan pengecatan Acridine jingga, yang dicirikan dengan gambaran seperti stik drum (Farrar et al, 2000)

3.2 Patogenesis

Clostridium tetani menghasilkan 2 jenis toksin yaitu tetanospasmin dan

tetanolisin. Tetanospasmin merupakan toksin yang berhubungan dengan gejala

tetanus, sedangkan tetanolisin diduga berperan dalam kerusakan jaringan dan

mengoptimalkan kuman untuk berkembang. (Subandi & Danuaji, 2014)

Tetanospasmin terdiri atas rantai berat (H-heavy) dan ringan (L-light) yang

dihubungkan oleh jembatan sulfide (S). Gambar 1 mengilustrasikan struktur

tetanospasmin. Rantai berat berperan dalam neuronal uptake dan transport toksin

16

Page 2: BAB III

pada motor neuron, sedangkan rantai ringan yang bertanggung jawab dalam

kerusakan interneuron dengan merusak synopthobrevin yang akan menghambat

sekresi neurotransmitter GABA dan Glisin.

Gambar 3.2. Skema dari struktur dan aktivasi dari neurotoksin tetanus (Cook et al, 2001).

Keterangan : toksin dihasilkan sebagai rantai polipeptida tunggal yang tidak aktif. Toksin akan diaktivasi selama pemecahan proteolitik selektif, dimana akan menghasilkan dua rantai disulfide. Tiga daerah ini akan memerankan fungsi yang berbeda dalam rantai L pada sitosol. L adalah sebuah zinc-endopeptidase spesifik untuk komponen protein dari apparatus neuroeksitosis (Cook et al, 2001).

Bila ada luka yang mempunyai suasana anaerob, kuman Clostridium tetani

akan berkembang dan memproduksi toksin. Toksin yang dihasilkan oleh spora

kuman akan menyebar dengan cara sebagai berikut:

1) Toksin masuk melalui otot yang terkena luka terutama luka dalam yang

kotor atau luka yang kurang caskularisasi.

2) Toksin akan menyebar ke otot-otot yang berdekatan di sekitarnya yang

selanjutnya menyebar melalui jalur neural secara retrograde dan

berakumulasi di ganglion radiks doraslis menuju inti intermediolateralis.

3) Toksin akan menyebar ke nodus leimfatikus regional menuju sistem

limfatik menuju aliran darah.

4) Toksin masuk aliran darah melalui sistem limfatik ataupun kapiler di dekat

deposit toksin.

5) Toksin akan merembes melalui membrane permeable pembuluh drah

intramuskuler dan berdifusi menuju saraf terminal didalam selruuh otot

tubuh termasuk otot wajah, leher, punggung dan perut, selanjutnya toksin

akan naik sepanjang akson sel saraf di seluruh tubuh menuju sel alfa motor

neuron di medulla spinalis dan batang otak (Subandi & Danuaji, 2014).

17

Page 3: BAB III

3.3 Gejala Klinis

Masa inkubasi penyakit antara 3 hingga 21 hari, rata-rata 7 hari (Taylor,

2006). Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni

1. Lokalized tetanus ( Tetanus Lokal )

2. Cephalic Tetanus

3. Generalized tetanus (Tetanus umum)

Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus. Kharekteristik dari tetanus

pada umumnya sebagai berikut:

• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5

-7 hari.

• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya

• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.

• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari

leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw )

karena spasme Otot masetter.

• Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )

• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis

tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan

kuat .

• Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,

tungkai dengan

• Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap

baik.

• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan

sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis

( pada anak ) (Ritarwan, 2004).

Toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih

menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik

18

Page 4: BAB III

dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju

sistem saraf pusat.

Tetanospasmin yang merupakan zinc-dependent endopeptidase memecah

vesicle-associated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu

ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di

sinaps, sehingga pe-mecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya

mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid

(GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena

pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul

aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan

rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini

merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur

axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir,

mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya

penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,

aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan

neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya

terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini (Taylor,

2006).

3.3.1 Kekakuan dan Spasme Otot

Gejala yang paling umum adalah adanya kekakuan otot, awalnya terjadi

pada otot masseter yang menyebabkankesulitan membuka mulut yang dikenal

trismus atau lockjaw. Kekakuan yang terjadi pada otot-otot wajah memberikan

gambaran ekspresi wajah yang khas yang dikenal rhesus sardonicus atau rhesus

smile. Pada otot-otot perut menyebabkan prut seperti papan. Sedangkan pada otot

faring dan laring menimulkan kesulitan menelan dan sesak nafas dan bila berat

menyebabkan respiratory failure. Adanya kekakuan pada otot batang tubuh

seperti leher dan punggung dikenal opistotonus (Subandi & Danuaji, 2014)

Spasme ditandai adanya kontraksi otot-otot yang bersifat tonik, periodic

dan disertai rasa nyeri yang hebat. Spasme dapat timbul akibat rangsangan raba,

19

Page 5: BAB III

suara, cahaya ataupun emosional. Frekuensi dan beratnya spasme bervariasi.

(Subandi & Danuaji, 2014)

3.3.2 Gangguan Saraf Otonom

Gangguan otonom yang terjadi melibatkan komponen simpatis dan

parasimpatis yang menimbulkan gangguan pada sistem kardiovaskuler,

gastrointestinal dan ginjal. Gejala yang sering muncul antara lain aritmia,

takikardi, bradikardi, henti jantung, hyperhidrosis, peningkatan dan penurunan

tekanan darah yang ekstrem, hipersalivasi, reflek vagal, ileus, stasis lambung,

diare, hipermetabolisme katekolamin dan gagal ginjal.

Berdasarkan luas dan beratnya gejala klinis dapat dibagi menjadi tetanus

lokal, sefalik dan general. Pada umumnya yang sering ditemukan adalah tipe

general (Subandi & Danuaji, 2014).

1. tetanus lokal (lokalized Tetanus)

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten,

pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator).

Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut

biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan

biasanya menghilang secara bertahap.

Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi

dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga

lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau

dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian

profilaksis antitoksin. (Ritarwan,2004)

2. Cephalic tetanus

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa

inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti

dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk

adanya benda asing dalam rongga hidung (Ritarwan, 2004).

20

Page 6: BAB III

3. Generalized Tetanus

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan

komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala

timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering

dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter,

bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku

kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus

(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot

punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot

pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia.

Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan

didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi

begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun

hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita

biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis

(Ritarwan, 2004).

4. Neotal tetanus

Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali

pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk

disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, seperti

penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora Clostridium tetani.

Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat

tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam

terjadinya neonatal tetanus. Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu

Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus

dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus.(8) Biasanya ditolong melalui tenaga

persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus

( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui

dokter 6 kasus (7, 32 %) (Ritarwan, 2004).

21

Page 7: BAB III

3.4 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang khas.

Anamnesis terhadap adanya luka baru atau lama dilakukan untuk mencurigai

adanya port d’enty dan masa inkubasi, seperti luka tusuk, luka dalam yang kotor,

luka bakar, infeksi gigi dan telinga, dan riwayat operasi. Tabel 1. Menunjukkan

kriteria jenis luka yang rentan dan tidak rentan tetanus. Selain itu perlu ditanyakan

riwayat imunisasi, persalinan dan perawatan tali pusat pada bayi. Gejala klinis

yang khas seperti trismus dan opistotonus menjadi dasar untuk mendiagnosis

tetanus.

Tabel 3.1 Kriteria Jenis Luka

Luka Rentan Tetanus Luka Tidak Rentan Tetanus

6-8 jam < 6 jam

Kedalaman luka >1cm Superficial (<1cm)

Terkontaminasi Bersih

Bentuk stelat, avulsi atau hancur

(ireguler)

Bentuk linear, tepi tajam

Denervasi, iskemik Neuro/vaskuler intak

Terinfeksi (purulent, jaringan

nekrotik)

Tidak terinfeksi

3.4.1 Kriteria Diagnosis

Hipertoni dan spasme otot

- Trismus, risus sardonikus, otot leher kaku dan nyeri, opistotonus,

dinding perut tegang, anggota gerak spastik.

- Lain-lain : Kesukaran menelan, asfiksia dan sianosis, nyeri pada otot-

otot di sekitar luka

Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu

Umumnya ada luka/ riwayat luka

Retensi urine dan hiperpireksia

22

Page 8: BAB III

Tetanus lokal (Perdossi, 2013).

Gambar 3.3. Risus sardonicus (Cook et al, 2001).

Gambar 3.4. Opistotonus berat pada tetanus neonatorum (Cook et al, 2001).

3.4.2 Derajat Tetanus

Derajat tetanus dapat ditentukan dengan Philips Score atau Ablett’s.

dengan mengetahui skor tersebut dapat memberikan rencana penatalaksanaan dan

prognosis.

Tabel 3.2 Skor Philips (Farral et al, 2000)

Faktor Risiko SkorMasa Inkubasi

- <48 jam- 2-5 hari- 5-10 hari- 10-14 hari- >14 hari

54321

Lokasi Infeksi

23

Page 9: BAB III

- Umbilicus dan internal- Kepala, leher, dinding tubuh- Perifer proksimal- Perifer distal- Tidak diketahui

54321

Status proteksi- Tidak ada- Sebagian imunisasi waktu kehamilan- >10 tahun- <10 tahun- Lengkap

108420

Komplikasi- Luka atau kondisi mengancam kehidupan- Luka berat atau kondisi tidak mengancam kehidupan- Luka sedang atau kondisi tidak mengancam kehidupan- Luka kecil- ASA grade 1

108420

Keterangan :- Skor tetanus ringan : <9- Skor tetanus sedang : 9-16- Skor tetanus berat : >16

Tabel 3.3 Klasifikasi Ablet terhadap tingkat keparahan Tetanus (Cook et al,

2001).

Stadium Gejala klinisI Ringan : trismus ringan hingga sedang; spastisitas general; tidak

ada keterlibatan sistem respirasi; tidak ada spasme; tidak ada disfagia atau ringan

II Sedang : trismus ringan; rigiditas yang jelas; spasme ringan atau sedang tapi sebentar; keterlibatan sistem respirasi yang sedang dengan peningkatan laju nafas lebih dari 30 kali; disfagia ringan.

III Berat : trismus berat; spastisitas generalisata; refleks spasme yang lama; laju nafas lebih dari 40 kali; apneic spells; disfagia berat; takikardi yang lebih dari 120.

IV Sangat berat : stadium III dan gangguan otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskular. Hipertensi berat dan takikardi bergantian dengan hipotensi relatif dan beradikardi, yang mana akan menjadi persisten.

Tabel 3.4 Dakar Skor (Farrar et al, 2000).

Faktor Dakar score

24

Page 10: BAB III

prognosisScore 1 Score 0

Periode inkubasi <7 hari ≥ 7 hari atau tidak diketahui

Periode onset <2 hari ≥ 2 hari

Tempat masuk Umbilicus, luka bakar, uterus, fraktur

terbuka, luka operasi, injeksi IM

Selain dari yang telah disebut,

atau tidak diketahui

Spasme Ada Tidak ada

Demam >38,4oC <38,4oC

Takikardi Dewasa > 120 kali/menit

Neonatus > 150 kali/menit

Dewasa <120 kali/menit

Neonatus < 150 kali/menit

Keterangan : - Dakar score 0-1, ringan (mortalitas 10%)- 2-3, sedang (mortalitas 10-20%)- 4 berat (mortalitas 20-40%)- 5-6 sangat berat (mortalitas >50%)

Ada juga grading berdasarkan kriteria Pattel Joag, yaitu sebagai berikut:

Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot tulang

belakang

Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya

Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang

Kriteria 4 : waktu onset antara 48 jam atau kurang

Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal 100oF atau aksila sampai 99oF (atau 37,6oC)

Dari kriteria di atas dibuat tingkatan derajat sebagai berikut:

Derajat 1 : kasus ringan minimal 1 kriteria K1 atau K2, mortalitas 0%.

Derajat 2 : kasus sedang, minimal 2 kriteria (K1+K2), biasanya inkubasi lebih

dari 7 hari, onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10%.

Derajat 3 : kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang dari

7 hari, onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%.

Derajat 4 : kasus sangat berat, minimal 4 kriteria, mortalitas 60%

Derajat 5 : bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus

puerpurium, mortalitas 84%.

25

Page 11: BAB III

3.5 Pemeriksaan Penunjang

Anamnesis terhadap adanya luka baru atau lama dilakukan untuk

mencurigai adanya port d’entry, seperti luka tusuk, luka dalam yang kotor, luka

bakar, infeksi gigi dan telinga, dan riwayat operasi. Gejala klinis yang khas

menjadi dasar untuk mendiagnosis tetanus.

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik. Pemeriksaan EKG, darah

rutin, fungsi faal ginjal, elektrolit, analisa gas darah, kultur untuk infeksi

dilakukan untuk membantu mengatasi penyulit yang mungkin terjadi. (Subandi &

Danuaji, 2014)

Blia memungkinkan, periksa bakteriologik untuk menemukan C.tetani. EKG bila

ada tanda-tanda gangguan jantung. Sedangkan foto toraks bila ada tanda

komplikasi paru-paru (Perdossi, 2013).

3.6 Diagnosis Banding

- Kejang karena hipokalsemia

- Reaksi dystonia

- Rabies

- Meningitis

- Abses retrofaringeal, abses gigi, subluksasi mandiula

- Sindrom hiperventilasi/reaksi histeri

- Epilepsi/kejang tonik klonik umum (Taylor, 2006; Perdossi, 2013)

3.7 Penatalaksanaan

Pada fase akut penatalaksanaan pasien tetanus adalah sebagai berikut

(Subandi & Danuaji, 2014):

1. Periksa jalan nafas, permbersihan dilakukan secara hati-hati dan pelan-

pelan untuk menghindari spasme laring yang berat. Pada tetanus berat jika

perlu dilakukan trakeostomi.

2. Oksigen diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia dan depresi

pernafasan.

26

Page 12: BAB III

3. Pemberian antispasme dengan diazepam dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari

atau pada spasme ringan 5-20 mg per oral setiap 8 jam bila perlu. Spasme

sedang 5-10 mg IV atau 10-40 mg/24 jam dalam bentuk drip/infus

kontinu. Spasme berat: 50-100 mg IV dalam 24 jam, dilarutkan dalam 500

ml dekstrose 5% atau dalam infus kontinu. Jika belum berhasil maka perlu

diberikan neuromuscular blocking agent dan ventilator.

4. Pemberian antitoksind engan Anti Tetanus Serum/ATS 10.000-20.000 IU

intramuskuler selama 3-5 hari atau Human Tetanus Immune

Globuline/HTIG 500-6000 IU intramuskuler sebagai dosis tunggal

5. Eradikasi kuman penyebab diberikan Metronidazole 500 mg setiap 6 jam

IV atau per oral selama 7-10 hari. Penicillin procain dapat diberikan

dengan dosis 1,2 juta/hari selama 10 hari. Penggunaan metronidazole

cukup efektif sehingga saat ini penggunaan penisilin procain mulai

ditinggalkan.

6. Pembersihan luka. Pemberian antitetanus profilaksis diberikan

berdasarkan luka yang rentan tetanus dan status imunisasi. Luka yang

rentan tetanus adalah luka terkontaminasi, onset 6-8 jam, kedalam > 1 cm,

bentuk avulsi atau ireguler, iskemik, dan terinfeksi (purulent disertai

jaringan nekrotik).

7. Pengendalian disfungsi otonom dapat diberikan propranolol, klonidin,

atropine dan magnesium sulfat sesuai indikasi.

8. Pemberian kortikosteroid dan pemberian vitamin C beberapa studi

melaporkan memberikan prognosis yang lebih baik dalam menurunkan

angka kematian.

Pada dasarnya, ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:

(1) Membuang sumber tetanospasmin

(2) Menetralisasi toksin yang tidak terikat

(3) Perawatan penunjang (suportif ) sampai tetanospasmin yang berikatan

dengan jaringan telah habis dimetabolisme.

Membuang Sumber Tetanospasmin

27

Page 13: BAB III

Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk

mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.

Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan

pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada pe-nelitian di Indonesia,

metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan.

Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan

dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif

mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat

diberikan penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika

hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari

(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).

Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian

penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari

direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan

bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin

dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).

Netralisasi Toksin yang Tidak Terikat

Antitoksin harus diberikan untuk menetral-kan toksin-toksin yang belum

berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera

diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis

yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis

tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit

intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal.

Sebagian dosis diberikan secara ini ltrasi di tempat sekitar luka; hanya

dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat

pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat

hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin

sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat

merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak tersedia maka

digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000 unit intra-

28

Page 14: BAB III

muskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan

40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.1,4,5

Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi

aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak

memiliki kekebalan.

Pengobatan Suportif

Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin

yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani

di ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme

paroksismal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di

ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan agar men-cegah pneumonia

aspirasi. Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas

darah penting sebagai penuntun terapi.

Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring,

aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi

bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering.

Trakeostomi dituju-kan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus

dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.

Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi

otot respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.

Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi

lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya

mengalami spasme otot. Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas

tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang di-rekomendasikan adalah

0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang

direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis

2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per

rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat

badan ≥10 kg, atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah

spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai

29

Page 15: BAB III

keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis

awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus

tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepamditurunkan

bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis

maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai

spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak

dijumpai gangguan pernapasan. Tambahan efek sedasi bisa didapat dari

barbiturate khusus-nya phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine,

penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan otonom.

Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam

dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine

di-berikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg

bagi dewasa.5,10 Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan

sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.

Jika spasme tidak cukup terkontrol de ngan benzodiazepine, dapat dipilih

pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure ventilation

(IPPV). Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus,

rekomendasi didapatkan dari laporan kasus. Pancuronium harus dihindari karena

efek samping simpa-tomimetik.1 Atracurium dapat sebagai pilihan.

Vecuronium juga telah digunakan karena stabil pada jantung. Pasien tetanus

berat sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme

mereda. Insiden ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus

sebesar 52,6%.1 Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan

penyakit tetanus dan masih merupakan penyebab penting kematian. Pencegahan

komplikasi respirasi meliputi perawatan mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan

suction trakea. Sedasi adekuat selama prosedur invasif mencegah provokasi

spasme atau ketidakstabilan otonom.

Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum dan

fatality ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hiper-tensi labil, takikardia, dan

demam. Berbagai gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard

serta kolaps sirkulasi sering menyebabkan kematian.

30

Page 16: BAB III

Tanda overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif, hipertensi yang

kadang diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa hari

setelah onset spasme otot. Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan

dapat dipresipitasi oleh kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja

langsung toksin tetanus pada miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang

dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardi. Aktivitas parasimpatis ber-

lebihan dapat menyebabkan sinus arrest, di-katakan karena kerusakan langsung

nukleus vagus oleh toksin tetanus. Instabilitas otonom sulit diobati. Fluktuasi

tekanan darah membutuhkan obat-obat dengan waktu paruh singkat. Terapi

konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai terapi lini pertama, menggunakan

benzodiazepine dosis besar, morphine, dan/atau chlorpromazine. Saat ini,

magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan spasme dan disfungsi

otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/kg) IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam

sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan konsentrasi serum

2 sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis, dimonitor reflek patella.

Beta blocker dapat menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang tidak

membaik dengan penambahan volume intravaskular membutuhkan inotropik.1

Atropin dosis tinggi, lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan

bradikardia.3 Tidak ada regimen terapi yang dipercaya efektif secara universal

untuk instabilitas otonom. Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia

menyebabkan aktivitas simpatis berlebihan dan katabolisme protein sehingga

pemeliharaan nutrisi sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan

terjadi cepat karena disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan

metabolisme, menurunkan daya tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis.

Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah

cukup untuk mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme

protein. Formula asam amino sangat membantu membatasi katabolisme protein.

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian

obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya

dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda

31

Page 17: BAB III

dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian

khusus pada risiko aspirasi.

Emboli paru juga merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak

digunakan ntikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan; risiko

thromboemboli dan perdarahan harus dipertimbangkan.

Gerakan pasif harus terus diberikan jika digunakan pelumpuh otot.

3.8 Penyulit

- Asfiksia akibat depresi pernafasan, spasme jalan nafas

- Pneumonia aspirasi

- Kardiomiopati

- Fraktur kompresi

3.9 Prognosis

Angka kematian tetanus masih cukup tinggi. Prognosis kesembuhan dan

kematian berhubungan dengan derajat tetanus (Subandi & Danuaji, 2014).

Angka kematian tinggi bila

- Usia tua

- Masa inkubasi singkat

- Onset periode yang singkat

- Demam tinggi

- Spasme yang tidak cepat diatasi

Sebelum pasien keluar rumah sakit, diberikan tetanus toksoid (TT) 0,5 mg IM.

TT2 dan TT3 diberikan masing-masing dengan interval waktu 4-6 minggu

(Perdossi, 2013).

32

Page 18: BAB III

DAFTAR PUSTAKA

Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. 2001. Tetanus: a review of the literature.

British Journal of Anaesthesia, 87(3):477-487.

Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, Parry CM. 2000.

Tetanus. Journal Neurology Neurosurgery Psychiatry, 69:292-301.

Laksmi NK. 2014. Penatalaksanaan Tetanus. CDK, 41(11):823-826.

Perdossi. 2013. Standar Pelayanan Medik: Tetanus [online]. Dari URL:

http://kniperdossi.org/index.php/2013-10-21-11-57-48/download/doc_down

load/5-spm-neurologi diakses tanggal 21 April 2015.

Ritarwan K. 2004. Tetanus. Bagian Neurologi FK USU/RSU H. Adam Malik

[Online]. Dari URL: http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-

kiking2.pdf diakses tanggal 9 April 2015.

Subandi & Danuaji R. 2014. Neurologi untuk dokter umum. Surakarta: UNS

Press.

Taylor AM. 2006. Tetanus. Continuing Education in Anesthesia, Critical Care &

Pain, Vol 6(3):101-104.

33