BAB II TINJAUAN PUSTAKAkc.umn.ac.id/10734/4/BAB_II.pdf · yang bagus untuk direalisasikan menjadi...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKAkc.umn.ac.id/10734/4/BAB_II.pdf · yang bagus untuk direalisasikan menjadi...
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pre-Production
Pre-production atau pra produksi adalah tahap sebelum memulai proses shooting.
Semua persiapan harus direncanakan dengan matang pada saat pre-production.
Worthington (2009) mengatakan bahwa dalam tahap pra produksi produser
melakukan pengembangan anggaran secara lebih rinci. Menurutnya setelah
proyek telah siap berjalan, produser mempersiapkan transaksi untuk menyewa
peralatan, konsumsi dan semua keperluan untuk shooting. Worthington juga
mengatakan bahwa produser harus mengajukan anggaran yang telah dibuatnya
kepada sutradara, karena nantinya akan menyangkut soal visi kreatif sang
sutradara. Terkadang beberapa sutradara bersikeras untuk melakukan produksi di
lokasi penyewaan yang mahal atau di lokasi yang jauh sehingga membuat akses
sulit. Konflik-konflik akan mulai timbul pada tahap ini (hlm. 22).
Schenk dan Long (2012) yang mengatakan bahwa ketika telah memiliki
naskah yang sudah selesai (walaupun naskah tidak benar-benar selesai karena
akan ada banyak perubahan saat produksi dan pasca produksi), sudah saatnya
untuk memulai pengambilan gambar. Langkah awal dalam merealisasikan cerita
dari naskah ke dalam bentuk visual adalah membuat jadwal untuk produksi film
tersebut. Untuk membuat jadwal shooting yang realistis, pembuat film harus
menentukan sumber daya yang diperlukan dalam setiap adegan, jumlah halaman
naskah yang akan di ambil setiap harinya, dan urutan scene yang akan diambil.
5
Menurut mereka, dalam sebuah produksi film banyak variabel yang terlibat dalam
setiap produksi, yaitu: aktor, anggota tim, alat peraga, lokasi, cuaca, penyewaan
peralatan shooting yang terbatas anggaran, dan sebagainya.
Rea dan Irving (2010) berpendapat bahwa ketika naskah sudah terbentuk
dan dana sudah cukup untuk melakukan sebuah produksi maka sudah masuk
ketahap pra produksi. Menurut mereka, masa pra produksi adalah fondasi dari
sebuah film atau video. Meskipun produser dan sutradara berbagi tanggung jawab
besar namun mereka masing-masing memiliki lingkup fokusnya sendiri. Mereka
mengungkapkan bahwa produser dan sutradara terlibat bersama dalam keputusan
soal kreatif tetapi mengarah kepada pengorganisasian dan manajement produksi,
dan mereka terlibat dalam memilih lokasi dan produser yang akan menegosiasikan
kesepakatannya. Menurut mereka, produser haruslah bekerja keras untuk
mengeksekusi rencana kreatif yang telah didiskusikan bersama sutradara namun
sesuai dengan anggaran (hlm. 37).
Schenk dan Long (2012) mengatakan dalam membuat sebuah jadwal
shooting langkah pertama adalah menganalisa naskah yang telah dibuat dan
menentukan hal-hal yang dipelukan untuk setiap adegannya. Menurut mereka
dalam hal ini produser haruslah membuat sebuat breakdown naskah yang dimana
terdapat daftar-daftar penting yang diperlukan disetiap adegannya, seperti:
pemeran atau talent, tim produksi atau crew, lokasi, alat peraga, dan sumber daya
lainnya. (hlm. 26-27).
6
2.2. Production
Tahap production atau produksi merupakan tahap yang sangat penting dimana
proses pengambilan gambar dilakukan pada tahap ini. Worthington (2009)
mengatakan bahwa pada tahap produksi, proyek telah siap untuk shooting.
Produksi film atau video dapat menghabiskan banyak waktu hingga berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Saat tahap
produksi yang akan terlibat secara langsung dengan dengan sutradara adalah
penata kamera, aktor, maupun kru lainnya (hlm. 25). Rea dan Irving (2010)
berpendapat bahwa sudah menjadi sebuah tanggung jawab produser untuk
memastikan bahwa dari awal shooting semua orang yang terlibat memiliki ide
yang bagus untuk direalisasikan menjadi sebuah film atau video. Semua orang
yang terlibat harus mengetahui apa yang mereka lakukan, kapan dan dimana
mereka seharusnya melakukannya, dan yang paling penting mereka harus
memiliki sumber daya yang diperlukan (hlm. 225).
2.3. Post-Production
Post-production atau pasca produksi adalah tahapan setelah proses shooting, bisa
disebut juga dengan tahap editing. Rea dan Irving (2010) mengatakan bahwa
dalam tahap pasca-produksi produser mempunyai tujuan dalam menemukan editor
dan tim kreatif yang tepat untuk membantu sutradara menyelesaikan filmnya.
Menurut mereka tim ini tidak hanya mencakup editor yang tepat, tetapi seluruh
kru pasca-produksi seperti tim efek suara, hingga komposer. Worthington (2009)
juga mengatakan bahwa di dalam pasca-produksi yang merupakan tahap akhir
7
dalam proses produksi, footage akan diedit hingga menjadi sebuah film yang utuh.
Masalah yang mungkin terjadi ketika pasca produksi seperti biaya tak terduga
karena adanya shooting tambahan (reshoots) atau penggunaan terlalu banyak stok
footage yang dapat memakan anggaran pasca produksi dan memakan lebih
banyak waktu, bahkan bisa lebih dari deadline yang ditentukan (hlm. 27).
2.4. Video Editing
Video editing merupakan proses mengedit klip-klip video hasil dari proses
shooting. Eve Light Honthaner (2010) menyatakan bahwa sistem digital editing
bersifat nonlinear yang memungkinkan editor untuk menciptakan suatu adegan
yang nyata. Penambahan musik dengan kualitas visual yang baik juga menambah
kesan nyata pada suatu adegan dalam satu sequence. Sebelum final-cut yang
disetujui oleh sutradara, proses editing masih bisa berubah. Komponen yang
dibutuhkanpun ditambahkan untuk melengkapi proses editing yang belum
sempurna. Unsur dari komponen itu meliputi: reshots, efek suara, musik, elemen-
elemen visual dan credits title. Setelah semua selesai, barulah produk film ini bisa
dipublikasikan (hlm. 466).
Ben Long dan Sonja Schenk (2000) menjelaskan bahwa proses editing
film saat ini sangat dipengaruhi oleh video musik, dokumenter, dan iklan. Fast-
cutting, visual effect, dan jump-cut adalah ciri khas yang bisa dibilang “cool”.
Style editing adalah salah satu ciri khas dari editor film. Style editing juga
dipengaruhi oleh alur atau jalan cerita yang akan di visualkan dalam film.
Baiknya, style editing harus berjalan lurus dengan konsep cerita dan visi sutradara
yang akan direalisasikan pada sebuah film. Ben Long dan Sonja Schenk memberi
8
contoh film yang sesuai dengan konsep filmnya, yaitu “The Matrix” dan “Run
Lola Run”. Konsep film yang “cool” juga tercermin pada style editing yang bagus
(hlm. 307 - 308).
Gambar 2.1. Poster Film “The Matrix”
(Sumber: Amazon.com)
Gambar 2.2. Poster Film “Run Lola Run”
(Sumber: Alamy.com)
9
Ray DiZazzo (2004) menjelaskan bahwa ketika proses editing dimulai,
sutradara atau produser beserta editor membuka file footage hasil shooting dan
mulai memindahkan footage sesuai dengan urutan adegan. Semua file hasil
shooting ditata dengan rapi kedalam “program timeline” atau biasa disebut jadwal
program. Kemudian setelah itu barulah editor bisa memulai sequence pertama,
menyambungkan shot satu dengan shot lainnya menjadi sebuah sequence. Jika
pada suatu titik tertentu diperlukan sebuah dissolve, editor bisa mengambilnya
pada effect palette yang terdapat pada software editing video. Setelah memilih
efek dissolve, editor tinggal menariknya ke dalam table editing. Editor dan
sutradara bisa melihat langsung hasil dari penambahan transisi dan bisa langsung
memutuskan apakah sesuai dengan keinginan atau tidak. Lalu proses berlanjut
sampai keseluruhan film selesai dibuat (hlm. 228 – 229). Didalam proses editing
sebuah video bisa mencangkup teknik color correction, ritme, dan teknik split
screen.
2.5. Color correction
Color correction dibutuhkan untuk membuat kesan cool pada footage yang ada.
Teknik color correction dibutuhkan untuk membuat warna dan cahaya dari shot
satu dengan shot yang lain menjadi sama. Hullfish dan Fowler (2009) menyatakan
ada dua tujuan utama dalam Basic Color Correction. Yaitu menyeimbangkan
warna dari shot satu ke shot lainnya. Tujuan yang lain yaitu membantu membuat
mood cerita yang sesuai dengan alur film yang diproduksi. Salah satu cara
menyeimbangkan warna ialah dengan cara menyocokan contrast, yaitu
memaksimalkan warna abu-abu antara warna hitam yang paling gelap dan warna
10
putih yang paling terang. Mengoreksi contrast harus memperhatikan warna shot
agar tetap pada posisi yang netral, tidak underexposure atau overexposure.
Menyeimbangkan warna untuk membantu membuat mood cerita, yaitu dengan
mengeleminasi warna tertentu. Contohnya, jika mood film ingin warna sejuk
seperti warna biru, maka warna hangat seperti warna merah atau kuning harus
dihilangkan. Biasanya warna merah atau kuning muncul ketika salah
menggunakan filter atau light temperatur yang tidak sesuai (hlm. 2).
Gambar 2.3. Color Correction on Film
(Sumber: Thehurlblog.com)
Alexis Van Hurkman (2014) menyatakan bahwa proses digital colorist’s
tidak lagi sekedar soal menyeimbangkan, memperbaiki, dan mengoptimalkan
warna. Saat ini proses pembuatan film sering menggunakan metode lama atau
bahkan mencari metode yang benar-benar baru yang belum pernah digunakan
sebelumnya. Hal ini bertujuan untuk membedakan film yang akan diproduksi
dengan film lainnya yang sudah lebih dulu beredar. Proses shooting dan pasca
produksi adalah waktu yang tepat untuk memilkirkan warna apa saja yang akan
muncul pada film yang akan dibuat. Proses penentuan warna ini sangat
11
berpengaruh pada saat proses editing, terutama pada saat proses editing color
correction berlangsung. Hal ini untuk memudahkan film editor membentuk mood
warna yang diinginkan oleh filmmaker (hlm. 49).
Gambar 2.2. Color Palettes Film “The Royal Tenenbaums”
(Sumber: Digitalsynopsis.com)
Glenn Kennel (2007) berpendapat bahwa perbedaan mendasar antara warna
film dan warna video adalah karakteristik yang mengendalikan warna dan kontras
gambar yang diproduksi. Proses pengendalian warna pada editing film disebut
juga color timing atau color grading. Warna pada film dikendalikan dengan
menentukan warna putih, abu-abu, dan hitam. Menyesuaikan tingkat exposure
pada shot merupakan proses dari color timing atau color grading. Tingkat
kecerahan dan warna pada footage harus disesuaikan agar warna antara shot satu
dengan yang lainnya seimbang. Color timing merupakan proses kreatif dimana
pemilihan warna bisa direncanakan melalui kerjasama antara film editor dan ahli
sinematografi. Color grading atau color timing juga digunakan secara kreatif
untuk mengkomunikasikan emosi atau memberikan konteks dalam sebuah cerita.
12
Contoh pada film "Out of Sight" karya sutradara Steven Soderbergh, tergambar
pemandangan Florida yang panas dan lembab diwarnai dengan warna kuning dan
jalan-jalan yang dingin di Detroit berwarna biru tua (hlm. 9 – 16).
Gambar 2.3. Film “Out of Sight” Set on Florida
(Sumber: Podcastingthemsoftly.com)
Gambar 2.4. Film “Out of Sight” Set on Detroit
(Sumber: Podcastingthemsoftly.com)
Ben Long dan Sonja Schenk (2000) menjelaskan bahwa pemahaman
tentang color correction untuk seorang film editor adalah sesuatu yang berharga.
Mengoreksi dan memperbaiki white balance yang salah lalu menambah lebih
banyak warna biru untuk mendapatkan tone yang sesuai adalah salah satu cara
yang bisa dilakukan seorang film editor pada proses color correction. Color
13
correction tidak selalu dilakukan karena kesalahan warna saat pengambilan shot,
bisa saja color correction dilakukan untuk mendapatkan warna artistic yang
sesuai dengan konsep film yang akan dibuat. Film editor bisa saja mengubah
warna merah atau biru pada shot untuk menimbulkan tone dengan emosional atau
mood tertentu (hlm. 338 – 343). Didalam color correction terdapat contrast dan
color balance yang digunakan untuk mengatur gelap-terang cahaya.
Gambar 2.5. Tone Color
(Sumber: color-wheel-artist.com)
2.5.1. Contrast
Glenn Kennel (2007) berpendapat bahwa istilah contrast memiliki banyak arti.
Pada proses film editing sendiri, istilah contrast mengacu pada rasio warna putih
terhadap warna hitam yang gelap. Proses penyeimbangan antara warna putih dan
hitam dinamakan color grading yang menghasilkan warna abu-abu. Contast pada
film juga dikenal dengan sebutan gamma. Cara pengukuran tingkat contrast pada
sebuah shot yaitu dengan cara mengukur rasio maksimum warna putih dan rasio
14
minimum warna hitam. Keseimbangan antara warna putih dan warna hitam
menghasilkan warna abu-abu sebagai tolak ukur dari proses color correction.
Pengukuran tingkat rasio ini dapat mempermudah proses penyeimbangan warna
pada color grading (hlm. 11).
Gambar 2.6. Contrast Film
(Sumber: Sprawls.org)
Steve Hullfish dan Jaime Fowler (2009) menyatakan bahwa tingkat
kehitaman pada suatu shot adalah hal utama yang harus diseimbangkan. Warna
hitam sendiri menjadi tumpuan atau dasar dari penyeimbangan warna cahaya.
Tolak ukur dari seimbangnya kontras suatu shot sendiri bisa dilihat dari berapa
banyak warna hitam pada shot tersebut. Kebanyakan software editing menghitung
tingkat cahaya dari warna hitam yang ada pada frame. Lebih mudah lagi jika shot
tersebut memilki midtones dan highlight yang jelas, sehingga proses
penyeimbangan warna atau cahaya menjadi lebih cepat (hlm. 114).
15
2.5.2. Correcting Color Balance
Steve Hullfish dan Jaime Fowler (2009) menyatakan bahwa langkah yang paling
banyak dipakai oleh film editor untuk mengoreksi warna adalah dengan cara
menyeimbangkan warna. Proses penyeimbangkan warna pada editing yaitu
dengan cara menghilangkan warna yang tidak diinginkan. Dengan kata lain,
warna yang tidak sesuai dengan mood film akan dihapus dan diganti dengan
warna yang sesuai mood atau konsep film. Terkadang seorang film editor amatir
merasa kesulitan untuk menentukan warna yang realistis pada saat proses
pengoreksian warna di editing. Cara yang paling mudah untuk menentukan warna
yang realistis adalah melihat warna kulit actor atau subject, jika warna kulit
subject terasa berbeda, berarti warna pada gambar tidak realistis (hlm. 14).
Ben Long dan Sonja Schenk (2000) menjelaskan bahwa tujuan dari
pengoreksian color balance untuk keseimbangan warna pada frame. Banyak
filmmaker tidak mau untuk melakukan re-take hanya karena salah menggunakan
filter pada kamera. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan warna pada shot
adalah dengan memperbaiki white balance melalui proses editing. Penggunaan
filter color correction pada proses editing untuk memperbaiki white balance
adalah hal yang penting. Warna pada gambar dapat dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu: highlight, midtones, dan shadows. Saat film editor mencoba memutuskan
bagaimana mengubah kategori warna sesuai dengan keinginan, film editor
memulai mengidentifikasi masalah dengan cara melihat warna apa saja yang tidak
sesuai dengan mood atau konsep film (hlm. 345).
16
Gambar 2.7. Color Settings
(Sumber: galacticmag.com)
2.6. Ritme
Menurut Ken Dancyger (2011) secara umum, ritme pada film bersifat individual
dan intuitif. Pada dasarnya sebuah film tidak memiliki ritme, sentuhan editing
pada film tersebut yang menarik perhatian sehingga membuat film tersebut
memiliki ritme. Ketika film memiliki ritme yang sesuai dengan alur cerita, hal itu
akan membuat penonton terlibat dengan karakter dan alur ceritanya. Intuisi saja
tidak cukup untuk membuat ritme pada film. Beberapa pertimbangan praktis
17
membantu membuat ritme pada film, misalnya menentukan panjang durasi shot
yang bisa dimasukan pada sequence. Informasi visual dalam shot sering
menentukan panjang shot pada proses cutting dalam satu sequence. Panjang
sebuah shot yang memiliki lebih banyak informasi visual, akan ditaruh lebih
banyak agar penonton dapat menyerap informasinya. Apalagi informasi itu adalah
informasi yang baru, maka seharusnya potongan shot itu akan lebih lama.
Pengambilan shot dengan teknik handheld sering dipanjangkan durasinya
ketimbang shot yang stastis sehingga memungkinkan penonton untuk menyerap
atau mendapatkan informasi visual pada film (hlm. 384).
Karen Pearlman (2009) menyatakan bahwa jenis pemikiran dan praktik
untuk membentuk suatu irama atau ritme adalah intuisi. Intuisi tidak sama dengan
naluri. Manusia terlahir dengan naluri, tetapi intuisi adalah sesuatu yang ada
dalam diri manusia yang bisa berkembang dari waktu ke waktu. Intuisi bisa
berkembang melalui pengalaman dari individu itu sendiri, intuisi bisa dipelajari
melalui pengalaman tersebut. Editor bisa menentukan dan memperkirakan intuisi
macam apa yang ada dalam film. Intuisi dibutuhkan pada proses editing untuk
membentuk potongan film atau shot yang baik. Terlalu banyak berfikir dalam
menentukan suatu adegan untuk dimasukan ke dalam sequence dapat mengurangi
intuisi editor dalam mengerjakan proses editing. Kurangnya diskusi untuk
menentukan irama yang tepat juga berpengaruh pada intuisi editor, hal ini bisa
berpengaruh pada ritme film (hlm. 1 - 2).
18
Gambar 2.8. Rhytmic Pattern Editor Film
(Sumber: Amazon.com)
Karel Reisz dan Gavin Millar (2010) menyatakan bahwa suatu keadaan
yang tegang dalam sebuah sequence dapat dibuat dengan cara memotong shot
secara variatif. Sutradara dan editor bertugas untuk membuat variasi shot yang
menarik. Variasi shot dan tingkat kecepatan pergantian shot bisa disebut dengan
ritme. Variasi kecepatan pemindahan shot sangat penting untuk mengumpulkan
minat penonton terhadap sebuah film. Kecepatan pemindahan shot yang dibuat
secara mekanis sangatlah berbeda dengan gambar yang muncul di layar. Jika
sebuah sequence yang memilki konflik dramatis tidak dibuat secara meyakinkan,
maka pengaruhnya terhadap penonton akan jauh lebih sedikit di banding dengan
sebuah sequence yang konflik dramatisnya dibuat bagus dengan konsep yang
matang (hlm. 201).
19
2.6.1. Timing
Karen Pearlman (2009) menyatakan bahwa timing adalah suatu irama yang
muncul pada diri seorang film editor. Seorang film editor dapat menentukan kapan
cut pada setiap shot itu terjadi atau dilakukan. Menurut Karen Pearlman ada tiga
aspek timing yang harus dipertimbangkan saat membahas ritme pada proses film
editing, yaitu: choosing a frame, choosing duration, dan choosing the placement
of the shot. Yang pertama adalah choosing a frame atau memilih frame mana yang
harus di cut, pemilihan frame ini menciptakan hubungan frame-to -frame yang
spesifik dari dua shot. Pemilihan frame yang tepat akan mempengaruhi
pembentukan suatu makan pada sebuah sequence (hlm. 44). Choosing duration
atau memilih durasi, Karen Pearlman berpendapat bahwa memilih durasi berbeda
dengan memilih frame. Timing sering mengacu pada durasi atau lamanya proses
pengambilan shot. Saat audience merasakan panjang atau pendek sebuah shot,
inilah yang dinamakan ritme pada sebuah film. Fungsi timing pada ritme adalah
untuk membuat sebuah sequence menjadi terasa lama atau terasa singkat
tergantung keinginan dari filmmaker. Terakhir adalah choosing the placement of
the shot atau memilih penempatan shot, keputusan untuk memilih shot juga
disebut timing. Pemilihan shot yang benar sangat berpengaruh terhadap sence of
timing yang berguna untuk mengungkapkan punch line pada suatu sequence.
Timing sangat penting dalam pembentukan ritme film (hlm. 45 – 46).
Ross Hockrow (2015) dalam bukunya yang berjudul out of order:
Storytelling Techniques for Video and Cinema Editors menyatakan bahwa timing
mengacu pada keputusan kapan harus memotong shot dan kapan harus
20
menyambungnya dengan shot lain. Bisa dibilang indra keenam seorang editor
adalah timing. Memotong dan menyatukan shot satu dengan shot yang lain
membutuhkan sebuah pengalaman, kunci dari kesuksesan sebuat timing adalah
pengalaman. Sebuah film yang baik melalui proses yang panjang dan
membutuhkan waktu yang lama pada proses editing. Film yang diedit secara
terburu-buru tidak akan pernah mencapai potensinya. Begitu pula pengalaman,
untuk mencapai sebuah pengalaman dibutuhkan proses yang panjang. Jadilah film
editor yang disiplin dan memiliki kesabaran untuk mengedit sebuah film sampai
terasa benar-benar sempurna (hlm. 112 – 113).
Ken Dancyger (2011) berpendapat bahwa salah satu unsur dari kecepatan
mengedit film adalah timing. Penempatan shot yang tepat sangat bergantung pada
timing yang dibuat oleh editor. Keberhasilan suatu film untuk membuat penonton
terhibur adalah pemilihan shot yang tepat. Keputusan editor untuk memilih shot
dapat mempengaruhi masalah efektivitas dramatis film itu sendiri. Pemahaman
yang dimiliki editor tentang tujuan keseluruhan konsep film dapat membantu
membuat keputusan ini. Dalam hal ini, editor harus memutuskan berapa banyak
shot yang diambil dan berapa banyak adegan yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan dari konsep keseluruhan film. Editor harus memutuskan apakah akan
mengambil strategi pengeditan langsung atau menggunakan strategi tidak
langsung dan berlapis. Misalnya, dalam film komedi, strategi editing untuk
kejutan mungkin paling tepat. Dalam komedi, kejutan sangat penting. Jika hasil
edit tidak tepat timing nya, maka komedi tersebut akan hilang. Kejutan juga
21
berguna dalam genre thriller. Cara pengeditan yang umumnya digunakan adalah
cara yang mudah dan biasa (hlm. 382).
Karel Reisz dan Gavin Millar (2010) menyatakan bahwa sutradara dan
editor memilki kemampuan untuk memperpanjang atau memperpendek durasi
dalam sebuah sequence. Mengurangi durasi pada sebuah sequence sangat
diperlukan jika adegan yang muncul pada shot tidak terlalu penting dan bisa
dipotong untuk mempersingkat durasi. Pemotongan durasi shot bisa digunakan
untuk tujuan yang lebih positif ketimbang harus membuat durasi yang panjang
tetapi tidak memiliki makna. Tetapi jika shot tersebut adalah adegan yang
dramatis, tidak seharusnya editor memotong shot untuk mempersingkat durasi.
Untuk mendapatkan visual shot yang penuh, mungkin seorang editor harus
mempertimbangkan untuk tidak memotong durasi shot apalagi jika adegan
tersebut penting dan memberikan banyak informasi (hlm. 193 – 194).
Gambar 2.9. Choosing Shot on Timing in Film Editing
(Sumber: Studiobinder.com)
22
2.7. Split screen
Jennifer Van Sijll (2005) menyatakan bahwa split screen berguna untuk
memvisualkan dua shot secara berdampingan dalam satu frame. Layaknya
intercutting, split screen memberikan gagasan atau konsep visual tentang suatu
tindakan dalam beberapa shot secara bersamaan. Pada tahun 1950an dan 1960an,
split screen adalah bahan pokok yang sering digunakan untuk menggambarkan
percakapan telepon. Jennifer Van Sijll juga memberikan contoh film yaitu “Pillow
Talk” yang dibintangi oleh Rock Hudson dan Doris Day. Split screen ini juga
sering digunakan pada film bergenre horor klasik. Yang artinya penggunaan split
screen tidak terbatas, genre apapun bisa menggunakan teknik editing split screen
asalkan konsep dan gagasannya jelas (hlm. 58).
Gambar 2.10. Poster Film ”Pillow Talk”
(Sumber: Rottentomatoes.com)
23
Gambar 11. Scene Telephone on Film “Pillow Talk”
(Sumber: thecine-files.com)
Gael Chandler (2009) menjelaskan bahwa split screen hadir pada tahun
1970 pada film “Woodstock”. Sejak kehadirannya pada tahun 1970, split screen
sering terlihat dilayar hiburan dan acara-acara televise lainnya. Split screen dapat
memproyeksikan beberapa shot yang berbeda dalam satu frame. Setiap shot yang
mempunyai prespektif berbeda, bisa digabungkan menjadi satu frame. Dua
prespektif yang berbeda ini membuat penonton bisa mendapatkan makna baru dari
hasil penggabungan shot. Informasi yang didapatkan oleh penonton pun menjadi
lebih banyak dan berfariatif. Salah satu tujuan split screen yaitu memberikan
banyak informasi dengan durasi yang lebih singkat. Pemotongan durasi bertujuan
agar penonton lebih cepat memahami makna film dan juga penonton bisa
menikmati film tanpa harus merasa bosan (hlm. 364).
24
Gambar 2.12. Split screen on “Woodstock” Film
(Sumber: Jonathanrosenbaum.net)
Michael Allen (2007) menyatakan bahwa penggunaan teknik split screen
pada proses editing menghasilkan ketegangan dan kontras dramatis antara dua
tempat atau lebih pada waktu yang bersamaan. Split screen sangat efektif untuk
menunjukan suatu ketegangan adegan yang dinamis dalam satu frame. Split
screen menciptakan gaya visual yang unik dan menciptakan konektivitas naratif di
antara alur cerita yang real-time. Pada film “The third Memory”, split screen
menjadi bagian yang penting dari proses penceritaan. Pada film tersebut split
screen berguna untuk memvisualkan isu terorisme, keadaan politik dan situasi
perkotaan yang ada dalam film (hlm. 35 – 47).
Gambar 2.13. Split screen on Film “The Third Memory”
(Sumber: annasandersfilms.com)