BAB II TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH …repository.radenfatah.ac.id/6914/2/Skripsi Bab...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PENCURIAN OLEH …repository.radenfatah.ac.id/6914/2/Skripsi Bab...
21
BAB II
TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA
PENCURIAN OLEH ANAK
A. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Oleh Anak
1. Pengertian Anak
a. Menurut Hukum Positif di Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil
amandemen (hingga amandemen keempat) tidak memberikan batasan umur
terhadap usia anak. Rumusan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mempunyai makna khusus terhadap pengertian status anak
adalah sebagai subjek hukum dari sistem hukum nasional yang harus dilindungi,
dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Pasal 28 B ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan
bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, Pasal
34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.42
Pengertian menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan pengertian politik yang melahirkan UUD atau menonjolkan hak-
hak yang harus dipenuhi anak dari masyarakat, bangsa dan negara, dengan kata
yang tepat pemerintah dan masyarakat lebih bertanggungjawab terhadap masalah
sosial yuridis dan politik yang ada pada seorang anak. Sebagaimana diketahui,
kedua ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menghendaki agar kepentingan-kepentingan pembangunan bangsa dan
negara harus memprioritaskan anak sebagai sumber aspirasi untuk lahirnya
42
Andika Wijaya dan Wida Peace Ananta, Darurat Kejahatan Seksual (Jakarta:
Sinar Grafika, 2016), 82.
22
generasi-generasi baru pewaris bangsa yang besar peradaban yang
berkemampuan ilmu dan teknologi yang tinggi dan kemudian dapat
menyejahterakan masyarakat Indonesia.43
Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia
Pengertian terhadap anak dapat pula ditemukan dalam ketentuan Pasal 1
angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, yang memberikan definisi atas anak sebagai setiap manusia yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak
yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.44
Menurut Konvensi Tentang Hak-Hak Anak
Pasal 1 Konvensi tentang Hak-Hak Anak menentukan: Untuk tujuan-
tujuan Konvensi ini, seseorang anak berarti setiap manusia dibawah umur 18
(delapan belas) tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak,
kedewasaan dicapai lebih awal.45
Undang-Undang tentang Perlindungan Anak
Pengertian tentang anak dapat ditemukan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (disingkat UU Perlindungan Anak). Pasal 1 angka 1 UU
Pelindungan Anak memberikan pengertian atas anak sebagai seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.46
43
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak
(Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000), 17. 44
Wijaya dan Ananta, Darurat Kejahatan Seksual, 83. 45
R. Wiyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, 13. 46
Undang-Undang Perlindungan Anak UU RI No. 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak.
23
Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan
Pengertian tentang anak dalam konteks hukum ketenagakerjaan Indonesia
terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka 31 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana anak didefinisikan
sebagai setiap orang yang berumur di bawah 18 (delepan belas) tahun.47
Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak
Pasal 1 angka 2 UU No. 4 Tahun 1979 menentukan : Anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
pernah kawin.48
Dari pengertian anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka
2 UU No. 4 Tahun 1979 tersebut dapat diketahui bahwa seseorang dapat disebut
anak jika memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan
2. Belum pernah kawin
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgerlijk wetboek)
dalam pasal 330, bagian kesatu tentang kebelum dewasaan. Yang belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (genap dua puluh satu) tahun dan
tidak kawin sebelumnya.49
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) usia maksimal
tentang anak berbeda-beda. Dalam pasal 45 KUHP tentang hal-hal yang
menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan pidana, dan pasal 72 KUHP
tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-
kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan, usia maksimal anak adalah 16
tahun. Pasal 283 KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan, menawarkan
47
Undang-Undang Ketenagakerjaan UU RI No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. 48
Undang-Undang Kesejahteraan Anak UU RI No. 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak. 49
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 2002), 90.
24
memberikan, memperlihatkan tulisan, gambar atau benda yang melanggar
kesusilaan, usia maksimal anak adalah 17 tahun. Sedangkan pasal 287 KUHP
tentang kejahatan terhadap kesusilaan, bersetubuh dengan wanita dibawah umur,
usia maksimal anak adalah 15 tahun.50
b. Pengertian Anak Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam anak-anak adalah anak yang belum mencapai akil
baliq. Anak laki-laki mencapai akil baliq setelah usia 15 tahun penuh. Sebagian
berpendapat anak laki-laki mencapai akil baliq. Sementara anak perempuan
dianggap akil baliq ketika usia 10 tahun atau kurang.51
Menurut Kompilasi
hukum Islam Pasal 98 ayat 1 menyebutkan batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri atau dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik
maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 47, yang dimaksud anak
dalam UU perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun.52
Menurut jumhur ulama, umur dewasa itu adalah 15 tahun bagi anak laki-
laki dan perempuan. Menurut Abu Hanifah, umur dewasa untuk laki-laki adalah
18 tahun, sedangkan bagi perempuan adalah 17 tahun. Bila seseorang tidak
mencapai umur tersebut, maka belum berlaku padanya beban hukum atau taklif.53
Dalam ketentuan hukum Islam hanya mengenai perbedaan antara masa
anak-anak dan masa baliq. Seseorang dikategorikan sudah baliq ditandai dengan
adanya tanda-tanda perubahan badaniah, baik terhadap seorang pria maupun
wanita. Seseorang pria dikatan sudah baliq apabila ia sudah mengalami mimpi
yang dialami oleh orang dewasa. Seorang wanita dikatan sudah baliq apabila ia
telah mengalami haid atau menstruasi. Dalam Pandangan hukum Islam,
seseorang yang dikategorikan memasuki usia baliq merupakan ukuran yang
digunakan untuk menentukan umur awal anak kewajiban melaksanakan syariat
50
Anonim, KUHAP dan KUHP, (Efata Publising, 2014), 158, 167, 249, 252. 51
Ibrahim Amini, Asupan Ilahi (Jakarta: Al-Huda, 2011), 77. 52
Undang-Undang Perkawinan UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 53
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2008), 391.
25
Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, terhadap mereka yang telah
baliq dan berakal, berlakulah seluruh ketentuan hukum Islam.54
2. Pengertian Pencurian
a. Menurut Hukum Positif di Indonesia
Pencurian berasal dari kata “curi” mendapatkan awalan pe- dan akhiran -
an yang artinya proses, cara, perbuatan mencuri. Mencuri artinya melakukan
dengan sembunyi-sembunyi dan berusaha supaya tidak diketahui orang lain.55
Dalam hukum positif pencurian dijelaskan dalam Bab XXII KUHP Pasal 36256
,
yaitu
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pecurian, dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”
Melihat dari rumusan pasal tersebut dapat kita ketahui, bahwa kejahatan
pencurian itu merupakan delik yang dirumuskan secara formal dimana yang
dilarang dan diancam dengan hukuman, dalam hal ini adalah perbuatan yang
diartikan “mengambil”. Dalam artian kata “mengambil” (wegnamen) dalam arti
sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya,
dan mengalihkannya ke lain tempat.57
Jadi pengertian secara umum mengenai
pencurian adalah mengambil barang orang lain.
b. Menurut Hukum Pidana Islam
Secara etimologis pencurian berasal dari kata sariqah, yang berarti
melakukan sesuatu terhadap orang lain secara sembunyi. Secara terminologis
pencurian yaitu mengambil harta milik orang lain dengan cara diam-diam, yaitu
dengan jalan sembunyi-sembunyi.58
54
Marsaid, Perlindungan Hukum Anak Pidana, 59-60. 55
Anonim, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 225. 56
Anonim, KUHAP dan KUHP (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), 121. 57
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Bandung:
PT Refika Aditama, 2010), 14. 58
Asep Saepuddin Jahar, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis (Jakarta:
PrenadaMedia Grup, 2003), 167-168.
26
Menurut Kadar M. Yusuf, pencurian, yaitu mengambil hak milik orang
lain secara sembunyi-sembunyi atau tanpa diketahui oleh pemiliknya.59
Menurut
Sulaiman Rasjid, mencuri yaitu mengambil harta orang lain dengan jalan diam-
diam, diambil dari tempat penyimpanannya.60
Menurut Amran Suadi dan Mardi
Chandra, pencurian merupakan perbuatan orang mukallaf yang mengambil suatu
barang milik orang lain dari tempat penyimpanannya dengan niat untuk dimiliki
atau dikuasai dengan tanpa izin atau tanpa sepengetahuan pemiliknya (secara
sembunyi-sembunyi) dan dalam jumlah nishab tertentu.61
Definisi yang lebih lengkap adalah definisi yang dikemukakan oleh
Muhammad Abu Syahbah.
رقة شرعا , ىي أخذالمكلف مال الغي خفية إذاب لغ نصاب , من حرز من غي أن –أى البالغ العاقل -السهة ف ىذا المال المأخوذ يكون لو شب
Pencurian menurut syara‟ adalah pengambilan oleh seorang mukalaf -
yang baliq dan berakal- terhadap harta milik orang lain dengan diam-
diam, apabila barang tersebut mencapai nishab (batasan minimal), dari
tempat simpanannya, tanpa ada syubhat dalam barang yang diambil
tersebut.62
3. Pengertian Tindak Pidana Anak
a. Menurut Hukum Positif di Indonesia
Dalam hukum Islam, istilah hukum pidana disebut dengan fiqh jinayah.
Jinayah berarti “perbuatan yang dilarang oleh syara‟ baik perbuatan tersebut
mengenai jiwa, harta maupun lainnya”. Pengertian lain yang lebih operasional
adalah “segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal
yang dilakukan mukallaf (orang yang dibebani kewajiban), sebagai hasil dari
59
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum (Jakarta:
Amzah, 2011), 333. 60
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2014), 440. 61
Amran Suadi dan Mardi Chandra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan
Pidana Islam dan Ekonomi Syariah (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2016), 316. 62
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Geafika, 2016),
82.
27
pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari al-Quran dan hadis Nabi
Muhammad Saw.63
Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa, fiqh
jinayah adalah ilmu yang membicarakan tentang jenis-jenis hukum yang
diperintah dan dilarang al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw., serta
hukuman yang akan dikenakan kepada orang yang melanggar baik perintah
maupun larangan tersebut (tindakan kriminal). Yang dimaksud tindakan kriminal
adalah perbuatan kejahatan yang mengganggu ketertiban umum serta tindakan
melawan peraturan perundang-undangan.64
Pengertian tersebut sejalan dengan perspektif hukum konvensional tentang
hukum pidana, yakni “hukum mengenai delik yang diancam dengan hukuman
pidana” atau dengan kata lain “serangkaian peraturan yang mengatur masalah
tindak pidana dan hukumannya”.65
Ada dua kata yang sama-sama memiliki
pengertian melawaan hukum dalam pengertian tersebut yakni kata “delik” dan
“tindak pidana”. Delik atau bahasa latinnya delictum berarti tindak pidana atau
sering juga dipergunakan istilah lainnya yaitu strafbaar feit yang merupakan
istilah dalam hukum pidana Belanda.66
Istilah strafbaar feit juga diadopsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia (selanjutnya disebut KUHP Indonesia) yang diartikan sebagai
“perbuatan yang dilarang oleh undang-undang serta diancam dengan hukuman
bagi orang yang melanggarnya”. Beberapa literatur dan peraturan perundangan-
undangan yang ada di Indonesia dapat dijumpai istilah lain untuk
menterjemahkan strafbaar feit, antara lain: (1) peristiwa pidana, (2) perbuatan
pidana, (3) pelanggaran pidana, (4) perbuatan yang dapat dihukum, (5) perbuatan
yang boleh dihukum, dan lain-lain.67
63
Asep Saepudin et al., Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Jakarta: Kencana,
2013), 111. 64
Saepudin et al., Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, 111. 65
Saepudin et al., Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, 112. 66
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 86. 67
Marsaid, Perlindungan Hukum Anak Pidana, 66.
28
Beberapa arti dari strafbaar feit tersebut didasarkan pada berbagai
argumen yang melatarbelakangi muncul dan digunakan istilah tersebut. Hal ini
sesuai dengan pemahaman atas teknik pemahaman atas teknik interprestasi yang
digunakan sehingga muncul berbagai rumusan atau pengertian yang berlainan
pula.
Sudarto menggunakan istilah “tindak pidana” sebagai istilah lain dari
strafbaar feit, dengan alasan bahwa istilah “tindak pidana” sudah sering dipakai
oleh pembentuk undang-undang dan sudah diterima oleh masyarakat, jadi sudah
mempunyai sociologische gelding. Sementara itu, Utrecht dalam bukunya Hukum
Pidana I, menggunakan istilah “peristiwa pidana”. Alasannya, istilah tersebut
meliputi suatu perbuatan (handelen atau doenpositif) atau suatu melalaikan
(verzuim atau natalen, niet-doen negatif) atau akibatnya (keadaan yang
ditimbulkan oleh karena perbuatan itu).68
Moeljatno menyebutkan bahwa tindak (perbuatan) pidana adalah
“perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana,
barang siapa yang melanggarnya”.69
Hal tersebut sebagaimana dikemukakan
dalam pidatonya pada tahun 1955, yang berjudul “Perbuatan Pidana dan
Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana”. Alasannya, pebuatan adalah
keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan. Lebih
lanjut dikatakan bahwa perbuatan menunjuk baik pada akibatnya maupun yang
menimbulkan akibat. Ia menganggap kurang tepat menggunakan istilah
peristiwa pidana sebagaimana yang digunakan dalam Pasal 14 UUDS 1950 untuk
memberikan suatu pengertian yang abstrak. Peristiwa adalah pengertian yang
konkret, yang hanya menunjuk pada suatu kejadian yang tertentu saja. Hal
tesebut sama halnya dengan pemakaian istilah “tindak” dalam term “tindak
pidana”.70
68
Marsaid, Perlindungan Hukum Anak Pidana, 67. 69
Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidnana & Dua Prinsip Dasar Hukum
Pidana (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2016), 15-16. 70
Marsaid, Perlindungan Hukum Anak Pidana, 67.
29
Simons menerangkan, bahwa strafbaar feid adalah kelakukan (handeling)
yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan
dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung
jawab.71
Van Hamel merumuskan sebagai berikut: strafbaar feit adalah kelakukan
orang (menselijke gerdraging) yang dirumuskan dalam undang-undang (wet),
yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan
dengan kesalahan.72
Jika melihat pengertian-pengertian ini maka di situ dalam pokoknya
ternyata:
1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau
tingkah laku;
2. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang
yang mengadakan kelakuan tadi.73
Menurut Prof. Satochid Kartanegara, unsur delik terdiri atas unsur objektif
dan unsur subjektif. Unsur yang objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri
manusia, yaitu berupa
1. Suatu tindakan;
2. Suatu akibat, dan
3. Keadaan.
Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang. Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa:
1. Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan;
2. Kesalahan.74
Adapun Simon berpendapat bahwa unsur-unsur Strafbaar fiet adalah:
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat);
71
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 217. 72
Moeljatno, Asas-Asa Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), 61. 73
Moeljatno, Asas-Asa Hukum Pidana, 61. 74
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika,
2014), 10.
30
2. Diancam dengan dengan pidana;
3. Melawan hukum;
4. Dilakukan dengan kesalahan;
5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.75
Selanjutnya, Van Hamel menyebutkan pula unsur-unsur Strafbaar feit,
yaitu:76
1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
2. Melawan hukum;
3. Dilakukan dengan kesalahan;
4. Patut dipidana.
Adapun unsur-unsur tindak pidana menurut Mezger adalah :
1. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);
2. Sifat melawan hukum;
3. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;
4. Diancam dengan pidana77
b. Menurut Hukum Pidana Islam
Selain ada istilah delictum dan strafbaar feit dalam hukum konvensional,
di dalam hukum pidana Islam juga dikenal istilah Jinayah dan Jarimah.
Meskipun kedua istilah tersebut sama, tetapi kebanyakan fukaha memakai kata
jinayah untuk perbuatan yang terkait dengan jiwa, seperti; membunuh, melukai,
memukul, dan menggugurkan kandungan. Sedangkan kata jarimah dipergunakan
untuk menyebut selain pelanggaran terhadap jiwa. Sebenarnya, baik kata
delictum dan strafbaar feit maupun jinayah dan jarimah memiliki benang merah
yang kuat, yakni bermakna tindak kejahatan.78
Hukum pidana Islam dalam bahasa Arab disebut dengan jarimah atau
jinayah. Secara etimologis jarimah berasal dari kata jarama-yajrimu-jarimatan,
75
Marsaid, Perlindungan Hukum Anak Pidana, 69. 76
Marsaid, Perlindungan Hukum Anak Pidana, 69. 77
Marsaid, Perlindungan Hukum Anak Pidana, 69-70. 78
Saepudin et al., Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, 112.
31
yang berarti “berbuat” dan “memotong”. Kemudian, secara khusus digunakan
terbatas pada “perbuatan dosa” atau “perbuatan yang dibenci”. Kata jarimah juga
berasal dari kata ajrama-yajrimu yang berarti “melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kebenaran, keadilan, dan meyimpang dari jalan yang
lurus”.79
Secara terminologis, jarimah yaitu larangan-larangan syara‟ yang diancam
oleh Allah dengan hukuman hudud dan takzir.80
Menurut Qanun No. 6 Tahun
2014 tentang Hukum Jinayat, bahwa yang dimaksud dengan jarimah adalah
perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam yang dalam qanun ini diancam dengan
uqubah hudud dan / atau takzir.81
Menurut Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang
Hukum Acara Jinayat, jarimah adalah melakukan perbuatan yang dilarang dan /
atau tidak melaksanakan perbuatan yang diperintahkan oleh syariat Islam dalam
Qanun Jinayat diancam dengan „uqubah hudud, qisash, diyat dan takzir.82
Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi
adalah sebagai berikut.
ها بد أوت عزير الل الرائم مظورات شرعية زجر ت عال عن
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang
diancam oleh Allah dengan hukuman had atau takzir.83
Secara etimologis, jinayah berasal dari kata jana-yajni-jinayatan, yang
berarti berbuat dosa.84
Secara terminologis, Jinayah yaitu perbuatan yang
dilarang oleh syara‟, baik perbuatan itu merugikan jiwa, harta benda atau
79
Mardani, Hukum Pidana Islam (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2019), 1. 80
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),
1. 81
Pemda Aceh, Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukuman Jinayat, Bab I
Ketentuan Umum, Pasal 1 angka (16). 82
Pemda Aceh, Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, Pasal I
angka (36). 83
Mardani, Hukum Pidana Islam, 1. 84
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam: Fiqh Jinayah
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), 15.
32
lainnya.85
Menurut Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila, fiqh al-jinayah
digunkan secara teknis dalam hukum Islam sebagai hukum yang mengatur
persoalan yang berhubungan dengan tindak pidana (kejahatan).86
Menurut Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, hukum
jinayat adalah hukum yang mengatur tentang jarimah dan „uqubat
(hukumannya).87
Menurut Suparma Usman, hukum pidana yaitu ketentuan-ketentuan yang
mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut tindak
pidana atau kejahatan terhadap badan, jiwa, kehormatan, akal, harta benda dan
lainnya.88
Menurut Muhammad Daud Ali, hukum jinayat, yaitu hukum yang memuat
aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman
baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah takzir.89
Menurut Abdul Qadir Audah dalam termibologi syara‟ mengandung
pembahasan perbuatan pidana yang luas, yaitu pelanggaran terhadap jiwa, harta,
atau lainnya. Selain itu, terdapat fukaha yang membatasi istilah jinayah kepada
perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qisash, tidak termasuk
perbuatan yang diancam dengan takzir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah
jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara‟ yang diancam dengan
Allah hukuman had dan takzir.90
85
Mardani, Hukum Pidana Islam, 1. 86
Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila, Hukum Pidana Islam Sebuah
Alternatif (Yogyakarta: Lab Hukum FH UII, 2008), 6. 87
Pemda Aceh, Qanun No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat, Pasal I
angka (34). 88
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 41. 89
Mardani, Hukum Pidana Islam, 3. 90
Suadi dan Chandra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam
dan Ekonomi Syariah, 298.
33
Unsur-unsur umum dari pada tindak pidana Pidana dalam hukum Islam
menurut Abdul Qodir Audah, dalam bukunya “At-Tas‟ri‟ul Jinaaiyyul-
Islamiyyu” ada tiga, yaitu:
1. Hendaknya ada nash yang mengancam tindak pidana yang dapat
menghukuminya, (Unsur Formil).
2. Melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana, baik dengan
melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan, (Unsur Materil).
3. Hendaknya pelaku pidana kejahatan itu mukallaf atau bertanggung jawab
atas tindak pidana itu, (Unsur Moril).91
Penulis membuat kesimpulan dari penjelasan diatas bahwa yang dimaksud
dengan tindak pidana pencurian oleh anak adalah perbutan anak yang dilakukan
dengan cara mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
yang pada hakikatnya merugikan perkembangan si anak sendiri serta merugikan
masyarakat.
B. Macam-Macam Pencurian yang dilakukan oleh Anak
1. Menurut Hukum Positif di Indonesia
Jenis-jenis tindak pidana pencurian dalam hukum pidana Indonesia dapat
dibagi menjadi 5 macam, sesuai dengan yang diatur dalam pasal 362-367 KUHP,
antara lain:
a. Pencurian Biasa
Pencurian dalam bentuk pokok (biasa) sebagaimana diterangkan pada
pasal 362 KUHP :
Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau pidana denda paling banyak enam puluh ratus rupiah.92
91
Juhaya S. Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana
Di Indonesia (Bandung: Angkasa, 2007), 81. 92
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta: Bumi Aksara,
2016), 128.
34
Berdasarkan rumusan Pasal 362 KUHP, maka unsur-unsur pencurian biasa
adalah :
1) Mengambil
2) Suatu barang
3) Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain
4) Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum
b. Pencurian Dengan Pemberatan
Pencurian dengan pemberatan dapat diterjemahkan sebagai pencurian
khusus atau pencurian dengan kualifikasi (gequalificeerde deifstal) yaitu
sebagai suatu pencurian dengan cara-cara tertentu sehingga bersifat lebih
berat hukuman yang di terima. Pencurian dalam bentuk pemberatan
sebagaimana diterangkan pada pasal 363 KUHP :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. pencurian ternak;
2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan banjir, gempa
bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal
terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan
atau bahaya perang;
3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan
oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak
dikehendaki oleh yang berhak;
4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;
5. pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan,
atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan
dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan
memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian
jabatan palsu.
(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam 3 disertai dengan salah
satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.93
93
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 128-129.
35
c. Pencurian Ringan
Pencurian Ringan adalah pencurian yang memiliki unsur-unsur dari
pencurian didalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan
unsur-unsur lain (yang meringankan), sehingga ancaman pidananya
diperingan. Pencurian dalam bentuk ringan sebagaimana diterangkan pada
pasal 364 KUHP :
Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4,
begitupun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila
tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima
rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak enam puluh rupiah.94
d. Pencurian Dengan Kekerasan
Pencurian dengan kekerasan sebagaimana diterangkan pada pasal 365
KUHP:
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian
yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk
memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk
tetap menguasai barang yang dicurinya.
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah
atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau
dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;
3. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau
memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu
atau pakaian jabatan palsu;
4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
5. Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
6. Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika
perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan
94
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 129.
36
oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh
salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.95
e. Pencurian dalam keluarga sebagaimana diterangkan pada pasal 367 KUHP
:
(1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab
ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak
terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka
terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan
tuntutan pidana.
(2) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau
terpisah harta kekayaan, atau jika dia keluarga sedarah atau
semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat
kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan
penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
(3) Jika menurut lembaga matriarkhal kekuasaan bapak dilakukan oleh
orang lain daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat
di atas berlaku juga bagi orang itu.96
Jadi jenis pencurian dalam hukum pidana Indonesia yang terdapat dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dikelompokan menjadi 5
macam menurut jenis-jenisnya, adapun perinciannya sebagai berikut:
a. Pencurian dalam bentuk pokok (biasa) diatur dalam Pasal 362
KUHP.
b. Pencurian dalam bentuk pemberatan diatur dalam Pasal 363KUHP.
c. Pencurian dalam bentuk ringan diatur dalam Pasal 364 KUHP.
d. Pencuriandengan kekerasan diatur dalam Pasal 365 KUHP.
e. Pencurian dalam keluarga diatur dalam Pasal 367 KUHP.
2. Menurut Hukum Pidana Islam
Ulama Fikih membagi kejahatan terhadap benda ini ke dalam dua kategori,
yaitu pencurian yang diancam dengan hukuman had dan pencurian yang diancam
dengan hukuman ta‟zir. Pencurian yang diancam dengan hukuman had dapat
95
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 129-130. 96
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 130-131.
37
dibagi kepada dua jenis, yaitu pencurian ringan (غرى رقة الص ) dan pencurian berat (الس
رى رقة الكب 97.(الس
Perbedaan antara pencurian ringan dan pencurian berat adalah bahwa
dalam pencurian ringan, pengambilan harta itu dilakukan tanpa sepengetahuan
pemilik dan tanpa persetujuannya. Sedangkan dalam pencurian berat,
pengambilan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan pemilik harta tetapi tanpa
kerelaannya, disamping terdapat unsur kekerasan. Dalam istilah lain, pencurian
berat ini disebut jarimah hirabah atau perampokan.98
Pencurian yang hukumannya ta‟zir juga dibagi kepada dua bagian sebagai
berikut.
a. Semua jenis pencurian yang dikenai hukuman had, tetapi syarat-syaratnya
tidak terpenuhi, atau ada syubhat. Contohnya seperti pengambilan harta
milik anak oleh ayahnya.
b. Pengambilan harta milik orang lain dengan sepengetahuan pemilik tanpa
kerelaannya dan tanpa kekerasan. Contohnya seperti menjambret kalung
dari leher seorang wanita, lalu penjambret itu melarikan diri dan pemilik
barang tersebut melihatnya sambil berteriak memintak bantuan.99
C. Unsur-Unsur dalam Tindak Pidana Pencurian
1. Menurut Hukum Positif di Indonesia
a. Mengambil barang
Unsur pertama dari tindak pidana pencurian adalah perbuatan
mengambil barang. Kata mengambil (wegnemen) dalam arti sempit
terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang
barangnya, dan mengalihkan ketempat lain.100
97
Mardani, Hukum Pidana Islam, 68-69. 98
Muslich, Hukum Pidana Islam, 82. 99
Muslich, Hukum Pidana Islam, 82. 100
Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, 15.
38
b. Barang yang diambil
Oleh karena sifat tindak pidana pencurian adalah merugikan kekayaan
si korban, maka barang yang diambil harus berharga.101
c. Tujuan memiliki barangnya dengan melanggar hukum
Memiliki barang berarti menjadikan dirinya pemilik. Dan, untuk
menjadi pemilik suatu barang harus menurut hukum. Setiap pemilik
barang adalah pemilik menurut hukum. Maka, sebenarnya tidak
mungkin orang memiliki barang orang lain dengan melanggar hukum,
karena kalau hukum dilanggar, tidak mungkin orang tersebut menjadi
pemilik barang.102
d. Wujud perbuatan memiliki barang
Perbuatan ini dapat berwujud macam-macam seperti menjual,
menyerahkan, meminjamkan, memakai sendiri, mengadaikan, dan
sering bahkan bersifat negatif, yaitu tidak berbuat apa-apa dengan
barang itu, tetapi tidak mempersilahkan orang lain berbuat sesuatu
dengan barang itu tanpa persetujuannya.103
2. Menurut Hukum Pidana Islam
Dari definisi yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa unsur-unsur
pencurian itu ada empat macam, yaitu sebagai berikut:104
a. Pengambilan secara diam-diam.
b. Barang yang diambil itu berupa harta.
c. Harta tersebut milik orang lain.
d. Adanya niat melawan hukum.
a. Pengambilan secara Diam-Diam
Pengambilan secara diam-diam terjadi apabila pemilik (korban) tidak
mengetahui terjadinya pengambilan barang tersebut dan ia tidak merelakanya.
101
Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, 16. 102
Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, 17. 103
Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, 18. 104
Muslich, Hukum Pidana Islam, 82.
39
Contohnya, seperti mengambil barang-barang milik orang lain dari dalam
rumahnya pada malam hari ketika ia (pemilik) sedang tidur. Dengan demikian,
apabila pengambilan itu sepengetahuan pemiliknya dan terjadi tanpa kekerasan
maka perbuatan tersebut bukan pencurian melainkan perampasan (ikhtilas).
Untuk terjadinya pengambilan yang sempurna diperlukan tiga syarat, yaitu
sebagai berikut.
1) Pencuri mengeluarkan barang yang dicuri dari tempat simpananya.
2) Barang yang dicuri dikeluarkan dari kekuasaan pemilik.
3) Barang yang dicuri dimasukkan ke dalam kekuasaan pencuri.105
b. Barang yang Diambil Berupa Harta
Salah satu unsur yang sangat penting untuk dikenakannya hukuman potong
tangan adalah bahwa barang yang dicuri itu harus barang yang bernilai mal
(harta). Apabila barang yang dicuri itu bukan mal (harta), seperti hamba sahaya,
atau anak kecil yang belum tamyiz maka pencuri tidak dikenai hukuman had.
Akan tetapi, Imam Malik dan Zhahiriyah berpendapat bahwa anak kecil yang
belum tamyiz bisa menjadi objek pencurian, walaupun bukan hamba sahaya, dan
pelakunya bisa dikenai hukuman had.106
Dalam kaitan dengan barang yang dicuri, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi untuk bisa dikenakan hukuman potong tangan. Syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut.
1) Barang yang dicuri harus berupa mal mutaqawwim.
2) Barang tersebut harus barang bergerak.
3) Barang tersebut adalah barang yang tersimpan.
4) Barang tersebut mencapai nishab pencurian.107
105 Jaenal Arifin et al., Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Jakarta: Kencana,
2013), 169.
106 Arifin et al., Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, 169. 107 Muslich, Hukum Pidana Islam, 83-84.
40
1) Barang yang Dicuri Harus Mal Mutaqawwim
Pencurian baru dikenai hukuman had apabila barang yang dicuri itu barang
yang mutaqawwim, yaitu barang yang dianggap bernilai menurut syara‟. Barang-
barang yang tidak bernilai menurut pandangan syara‟ karena zatnya haram,
seperti bangkai, babi, minuman keras dan sejenisnya, tidak termasuk mal
mutaqawwim, dan orang yang mencurinya tidak dikenai hukuman.
2) Barang Tersebut Harus Barang yang Bergerak
Untuk dikenakanya hukuman had bagi pencuri maka disyaratkan barang
yang dicuri harus barang atau benda bergerak. Hal ini karena pencurian itu
memang menghendaki dipindahkannya sesuatu dan mengeluarkannya dari
tempat simpanannya. Hal ini tidak akan terjadi kecuali pada benda yang
bergerak.
3) Barang Tersebut Tersimpan di Tempat Simpanannya
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa salah satu syarat untuk dikenakannya
hukuman had bagi pencuri adalah bahwa barang yang dicuri harus tersimpan di
tempat simpanannya. Sedangkan Zhahiriyah dan sekelompok ahli hadis tetap
memberlakukan hukuman had, walaupun pencurian bukan dari tempat
simpanannya apabila barang yang dicuri mencapai nishab pencurian.108
Dasar hukum disyaratkannya tempat simpanan (hirz) ini adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Rafi‟ ibn Khadij bahwa Rasulullah saw. bersabda:
لا قطع ف ثر ولا كثر )رواه أحمد والأ ربعة(“Tidak ada hukuman potong tangan dalam pencurian buah-buahan dan
kurma”. (Hadis diriwayatkan oleh Ahmad dan empat ahli hadis)109
Adapun yang dimaksud dengan buah-buahan ( شر) dalam hadis tersebut
adalah buah-buahan atau kurma yang masih bergantung di pohonnya sebelum
dipetik dan disimpan. Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa pencurian dari
108
Muslich, Hukum Pidana Islam, 84. 109
Muslich, Hukum Pidana Islam, 84.
41
pohonya tidak dikenai hukuman, karena pohon bukan tempat simpanan bagi
buah-buahan.
Hirz atau tempat simpanan ada dua macam, yaitu sebagai berikut.
a) Hirz bil makan atau hirz binafsih.
b) Hirz bil hafizh atau hirz bigairih.
Pengertian hirz bil makan adalah setiap tempat yang disiapkan untuk
penyimpanan barang, di mana orang lain tidak boleh masuk kecuali dengan izin
pemiliknya, seperti rumah, warung, gedung, dan sebagainya. Tempat ini disebut
tempat simpanan ( حرز) karena bentuk dan perlengkapannya dengan sendirinya
merupakan tempat simpanan tanpa memerlukan penjagaan.
Adapun yang dimaksud dengan hirz bil hafizh atau hirz bigairih adalah
setiap tempat yang tidak disiapkan untuk penyimpanan barang, di mana setiap
orang boleh masuk tanpa izin, seperi jalan, halaman, dan tempat parkir.
Hukumannya sama dengan lapangan terbuka jika di sana tidak ada orang yang
menjaganya. Artinya, tempat tersebut baru dianggap sebagi hirz apabila ada
orang yang menjaganya. Itulah sebabnya tempat tersebut disebut hirz bil hafizh
atau hirz bigairih. Sebagai contoh adalah seseorang yang memarkir
kendaraannya di pinggir jalan tanpa penjaga dianggap memarkir bukan pada hirz
atau tempat simpanannya. Akan tetapi, apabila di tempat tersebut terdapat
penjagaan seperti satpam maka jalan tersebut dianggap sebagai hirz bil hafizh
atau hirz bigairih.
4) Barang Tersebut Mencapai Nishab Pencurian.
Tindak pidana pencurian baru dikenakan hukuman bagi pelakunya apabila
barang yang dicuri mencapai nishab pencurian. Ketentuan ini didasarkan kepada
hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Nasa‟i dan
Ibnu Majah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ارق إلا ف ربع دي نارفصاعدا لات قطع يد الس
42
“Tangan pencuri tidak potong kecuali dalam pencurian seperempat dinar
ke atas”.110
Selain hadis tersebut terdapat pula hadis lain yang isinya sama, yaitu hadis
riwayat Imam Bukhari dengan redaksi sebagai berikut.
ت قطع اليد ف ربع دي نار فصاعدا
“Tangan pencuri dipotong dalam pencurian seperempat dinar ke atas”.111
Di samping itu, masih terdapat pula hadis lain yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dari Aisyah ra. yang isinya lebih tegas dengan redaksi sebagai
berikut.
اقطعوا ف ربع دي نار ولا ت قطعوا فيما ىوأدن من ذلك
“Potonglah (tangan pencuri) dalam pencurian seperempat dinar dan
janganlah kamu memotongnya dalam pencurian yang kurang dari jumlah
tersebut”.112
Berdasarkan hadis-hadis tersebut, jumhur fuqaha berpendapat bahwa
hukuman potong tangan baru diterapkan kepada pencuri apabila nilai barang
yang dicurinya mencapi seperempat dinar emas atau tiga dirham perak.113
Akan
tetapi, beberapa ulama seperti Imam Hasan Basri, Abu Dawud Azh-Zhahiri, dan
kelompok Khawarij berpendapat bahwa pencuri baik sedikit maupun banyak
tetap harus dikenai hukuman potong tangan. Mereka ini di samping berpegang
kepada mutlaknya ayat 38 Surah Al-Maidah, juga berpegang kepada hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
ارق يسرق الب يضة ف ت قطع يده ويسرق البل ف ت قطع ي الل لعن ده الس
110
Muslich, Hukum Pidana Islam, 85. 111
Muslich, Hukum Pidana Islam, 85. 112
Muslich, Hukum Pidana Islam, 86. 113
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: Amza, 2015), 104.
43
“Allah mengutuk pencuri, yang mencuri telur tetap harus dipotong
tangannya dan yang mencuri tali juga harus dipotong tangannya”.114
Di kalangan jumhur ulama sendiri tidak ada kesepakatan mengenai nishab
(batasan minimal) pencurian ini. Di samping pendapat yang menyatakan nishab
pencurian itu seperempat dinar emas atau tiga dirham perak, yang dikemukankan
oleh Imam Malik, Imam Syafi‟i. Dan Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa nishab pencurian itu adalah sepuluh dirham yang setara
dengan satu dinar. Pendapat ini dadasarkan kepada hadis Nabi dari Ibn Abbas ia
berkata:
الل صلى الل عليو وسلم يد رجل ف من قيمتو دي نار أوعشرة درا ىم )رواه أبو داود( سول قطع ر “Rasulullah saw. memotong tangan seorang laki-laki dalam pencurian
tameng (perisai perang) yang harganya satu dinar atau sepuluh dirham”.
(Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud)115
Sebenarnya masih terdapat pendapat-pendapat lain yang beraneka ragam
mengenai nishab pencurian ini, di antaranya yang tertinggi yaitu empat dinar atau
40 (empat puluh) dirham, yang dikemukankan oleh Imam An-Nakha‟i, namun
pendapat ini tidak ada dasarnya.116
c. Harta Tersebut Milik Orang Lain
Untuk terwujudnya tindak pidana pencurian yang pelakunya dapat dikenai
hukuman had, disyaratkan barang yang dicuri itu merupakan hak milik orang
lain. Apabila barang yang diambil dari orang lain itu hak milik pencuri yang
dititipkan kepadanya maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai pencurian,
walaupun pengambilan tersebut dilakukan secara diam-diam.
Pemilikan pencuri atas barang yang dicurinya yang meyebabkan dirinya
tidak dikenai hukuman harus tetap berlangsung sampai dengan saat dilakukannya
pencurian. Dengan demikian, apabila pada awalnya ia menjadi pemilik atas
barang tersebut, tetapi beberapa saat menjelang dilakukannya pencurian ia
114
Muslich, Hukum Pidana Islam, 86. 115
Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, 105. 116
Muslich, Hukum Pidana Islam, 86-87.
44
memindahkan hak milik atas barang tersebut kepada orang lain maka ia tetap
dikenai hukuman had, karena pada saat dilakukannya pencurian barang tersebut
sudah bukan miliknya lagi.
Dalam kaitan dengan unsur yang ketiga ini, yang paling penting adalah
barang tersebut ada pemiliknya, dan pemiliknya itu bukan di pencuri melainkan
orang lain. Dengan demikian, apabila barang tersebut tidak ada pemiliknya
seperti benda-benda yang mubah maka pengambilannya tidak dianggap sebagai
pencurian, walaupun dilakukan secara diam-diam.
Demikian pula halnya orang yang mencuri tidak dikenai hukuman had
apabila terdapat syubhat (ketidakjelasan) dalam barang yang dicuri. Dalam hal
ini pelaku hanya dikenai hukuman ta‟zir. Contohnya seperti yang dilakukan oleh
orang tua terhadap anaknya, sehingga terdapat syubhat dalam hak milik. Hal ini
ini didasarkan kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir
bahwa Rasulullah saw. bersabda:
انت وما لك لأبيك
“Engkau dan hartamu milik ayahmu”.117
Demikian pula halnya orang yang mencuri tidak dikenai hukuman had
apabila ia mencuri harta yang dimiliki bersama-sama dengan orang yang menjadi
korban, karena hal itu juga dipandang sebagai syubhat. Pendapat ini
dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, Imam Ahmad, dan
golongan Syi‟ah. Akan tetapi, menurut Imam Malik, dalam kasus pencurian harta
milik bersama, pencuri tetap dikenai hukuman had apabila pengambilannya itu
mencapai nishab pencurian yang jumlahnya lebih besar dari pada hak miliknya.118
Pencurian hak milik umum menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i,
Imam Ahmad, dan golongan Syi‟ah Zaidiyah, sama hukumannya dengan
pencurian hak milik bersama, karena dalam hal ini pencurian dianggap
117
Muslich, Hukum Pidana Islam, 87. 118
Muslich, Hukum Pidana Islam, 88.
45
mempunyai hak sehingga hal ini juga dianggap sebagai syubhat. Akan tetapi
menurut Imam Malik, pencuri tetap dikenai hukuman had.119
d. Adanya Niat yang Melawan Hukum
Unsur yang keempat dari pencurian yang dikenai hukuman had adalah
adanya niat yang melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku pencurian
mengambil suatu barang padahal ia tahu bahwa barang tersebut bukan miliknya,
dan karenanya haram untuk diambil. Dengan demikian, apabila ia mengambil
barang tersebut dengan keyakinan bahwa barang tersebut adalah barang yang
mubah maka ia tidak dikenai hukuman, karena dalam hal ini tidak ada maksud
melawan hukum.
Di damping itu, untuk terpenuhnya unsur ini disyaratkan pengambilan
tersebut dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang yang dicuri. Apabila
tidak ada maksud untuk memiliki maka dengan sendirinya tidak ada maksud
melawan hukum, oleh karena itu ia tidak dianggap sebagai pencuri.
Demikian pula halnya pelaku pencurian tidak dikenai hukuman apabila
pencurian tersebut dilakukan karena terpaksa (darurat) atau dipaksa oleh orang
lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 173:
ر ب غ ولاعاد فلا إث عليو إن الل غفور رحيم )ابقرة : (١٣٧ ...فمن اضطر غي .....Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 173)120
Berbeda dari Abdul Qadir Audah yang menyatakan rukun pencurian ada
empat, Imam Al-Nawawi dalam Raudah Al-Talibin mengemukakan rukun
pencurian ada enam, yaitu (1) harta yang dicuri mencapai nisab; (2) harta yang
dicuri bukan milik pelaku; (3) harta yang dicuri memiliki nilai nominal; (4) harta
dimiliki korban secara sempurna, bukan harta rampasan; (5) tidak terdapat unsur
119
Muslich, Hukum Pidana Islam, 88. 120
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahnya: Surah Al-Baqarah (2) Ayat
173 (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2006), 20.
46
syubhat dari sisi kepemilikan antara pelaku dan korban; dan (6) harta disimpan di
tempat penyimpanan. Imam Al-Nawawi hanya menyoroti harta yang dicuri.
Mengenai cara pengambilan, apakah sembunyi-sembunyi atau terang-terangan,
tidak dijelaskan, bahkan pada awal pembahasan, tidak terdapat pengertian dan
batasan pencurian. Di samping itu, rukun melawan hukum juga tidak dijelaskan.
Hal ini dapat dipahami bahwa ulama-ulama klasik, seperti Al-Nawawi, belum
terpengaruh oleh konsep ilmu hukum modern, sebagaimana yang dialami oleh
Abdul Qadir Audah yang berkebangsaan Mesir dan hidup setelah terjadi interaksi
intensif dengan Prancis akibat kolonialisasi.121
D. Pembuktian untuk Tindak Pidana Pencurian
1. Menurut Hukum Positif di Indonesia
Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari, menemukan dan
menggali kebenaran materil (Materieele Waarheid) atau kebenaran yang
sesungguh-sungguhnya. Dengan demikian, dalam hukum acara pidana tidaklah
dikenal adanya kebenaran formal (Formelele Waarheid) yang didasarkan semata-
mata ditujukan pada formalitas-formalitas hukum. Akan tetapi, ternyata usaha
mencari kebenaran materil tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan oleh
kebanyakan orang.122
Dalam menemukan kebenaran materil memang cukup rumit, karena di
dalam pratiknya sangat bergantung kepada pembagian aspek dan dimensi.
Apabila ingin mengkaji konteks ini melalui optik dan visi R.Wirjono
Prodjodikoro yang menyatakan:123
Kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan yang tertentu yang
sudah lampau. Makin lama waktu lampau itu, makin sukar bagi hakim untuk
menyatakan kebenaran atas keadaan-keadaan itu. Oleh karena roda pengalaman
121
Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, 120-121. 122
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Hukum Acara
Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), 118. 123
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia (Bandung:
Sumur, 1974), 89.
47
di dunia tidak mungkin diputar balikan lagi, maka kepastian seratus persen,
bahwa apa yang akan diyakini oleh hakim tentang suatu keadaan, betul-betul
sesuai dengan kebenaran, tidak mungkin dicapai. Maka, acara pidana sebetulnya
hanya dapat menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak
mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran yang sejati. Untuk
mendapatkan keyakinan ini, hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan
lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu”.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disebutkan secara kongkret
bahwasannya jika hakim telah dapat menetapkan perihal adanya kebenaran,
aspek ini merupakan “pembuktian” tentang suatu hal. Tegasnya, “pembuktian”
melalui hukum pembuktian yang meliputi dimensi:124
a. Penyebutan alat-alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim untuk
mendapatkan gambaran dari peristiwa yang sudah lampau itu (op somming
van bewijsmiddelen);
b. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan
(bewijsvoering);
c. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti itu (bewijskracht der
bewijsmiddelen).
Dalam rangka menerapkan ”pembuktian” atau “hukum pembuktian”
hakim lalu bertitik tolak pada “sistem pembuktian” dengan tujuan mengetahui
bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang
sedang diadilinya. Untuk itu, secara teoritis guna menerapkan sistem pembuktian
asasnya dalam ilmu pengetahuan hukum acara pidana dikenal adanya teori-teori
tentang sistem pembuktian.
124
Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Hukum Acara Pidana
Indonesia, 119.
48
M Yahyah Harapan125
menyebutkan bahwa sistem pembuktian itu terdiri
dari 4 teori yaitu, teori pembuktian berdasarkan berdasarkan undang-undang
secara positif (positive Wettelijk Bewijstheorie), teori pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim melulu (conviction intime), teori pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee), sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk).
1) teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positive
wettelijk bewijstheorie)
Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang
disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan
undang-undang secara positif (positive wettelijk bewijstheorie). Menurut M
Yahya Harahap,126
dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada
undang-undang melulu artinya, jika telah telah terbukti suatu perbuatan sesuai
dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim
tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini juga disebut teori pembuktian formal.
2) Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (conviction
intime)
Teori ini disebut juga conviction in time. Sistem ini yang menentukan
kesalahan terdakwa sementara ditentukan penilaian keyakinan hakim, kelemahan
sistem ini adalah besar keyakinan hakim tanpa dukungan alat bukti yang cukup.
Ada kecenderungan hakim untuk menerapkan keyakinanya membebaskan
terdakwa dari dakwaan tindak pidana walaupun kesalahannya telah terbukti.
Jadi, dalam sistem pembuktian conviction in time, sekalipun kesalahan
terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat
dikesampingkan keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa
tidak terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan
125
M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali) (Jakarta:
Sinar Grafika, 2000), 277. 126
Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), 277.
49
bersalah, semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang
menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.127
3) teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang
logis (conviction raisonee)
Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasarkan keyakinanya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar
pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan
kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan
dengan suatu suatu motivasi.
Keyakinan hak ini dalam sistem conviction raisonee harus dilandasi
reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable” yakni
berdasarkan alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai
dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-
mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.128
4) sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif
(negatief wettelijk).
Teori atau sistem ini dapat dilihat dalam Pasal 183 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981, bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-
undang, yaitu alat bukti yang sah dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti
tersebut. Hal ini juga dapat dilihat pada Undang-Undang Tentang Kekuasaan
Kehakiman No. 4 Tahun 2004. Pasal 6 ayat (2) yang berisi sebagai berikut:
Tidak seorang pun dapat di jatuhi pidana kecuali apabila pengadilan
karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat
keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertannggung jawab
telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
127
Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), 277. 128
Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), 254.
50
Menurut D simon, dalam sistem atau teori pembuktian ini, pemidanaan di
dasarkan pada bukti berganda (dubel en grondslag) yaitu pada peraturan undang-
undang, dan keyakinan hakim, hakim yang bersumber dari undang-undang.
Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem
pembuktian secara negatif sebaiknya tetap dipertahankan berdasarkan 2 alasan,
pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang
kesalahan terdakwa, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan
hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaedah jika ada
aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-
patokan yang harus diturut oleh hakim.129
Penulis membuat kesimpulan dari penjelasan diatas bahwa yang paling
cocok digunakan dalam sistem pembuktian di Indonesia adalah negatief wettelijk
karena memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan
terdakwa dan berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun
keyakinannya, agar ada patokan-patokan yang harus diturut oleh hakim.
2. Menurut Hukum Pidana Islam
Tindak pidana pencurian dapat dibuktikan dengan tiga macam alat bukti,
yaitu dengan saksi, pengakuan, dan sumpah.
a. Dengan Saksi
Saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana pencurian,
minimal dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
Apabila saksi kurang dari dua orang maka pencuri tidak dikenai hukuman.
Imam Abu Hanifah menambah persyaratan, yaitu bahwa persaksian
tersebut belum kadaluwarsa. Namun demikian, hal itu tidak menghalangi
pengambilan barang yang dicuri atau harganya. Akan tetapi, ulama-ulama yang
129
Jur. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2016), 255-257.
51
lain tidak mengakui kadaluawarsa ini. Dengan demikian, menurut mereka (selain
Hanafiyah) persaksian tetap diterima baik kadaluwarsa maupun tidak.130
Di samping itu, Imam Abu Hanifah juga mensyaratkan untuk diterimanya
persaksiaan, adanya pengaduan atau tuntutan dari orang yang memiliki atau
mengusai barang yang dicuri. Akan tetapi, ulama-ulama yang lain tidak
mensyaratkan hal tersebut.131
b. Dengan Pengakuan
Pengakuan merupakan salah-satu alat bukti untuk tindak pidana pencurian.
Menurut Zhahiriyah, pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu
diulang-ulang. Demikian pula pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan
Imam Syafi‟i. Akan tetapi Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad, dan Syi‟ah Zaidiyah
berpendapat bahwa pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali.132
c. Dengan Sumpah
Di kalangan Syafi‟iyah berkembang suatu pendapat bahwa pencurian bisa
juga dibuktikan dengan sumpah yang dikembalikan. Apabila dalam suatu
peristiwa pencurian tidak ada saksi dan tersangka tidak mengakui perbuatannya
maka korban (pemilik barang) dapat memintak kepada tersangka untuk
bersumpah bahwa ia tidak melakukan pencurian. Apabila tersangka enggan
bersumpah maka sumpah dikembalikan kepada penuntut (pemilik barang).
Apabila pemilik barang mau bersumpah maka tindak pidana pencurian bisa
dibuktikan dengan sumpah tersebut dan keengganan bersumpah tersangka,
sehingga ia (tersangka) dikenai hukuman had. Akan tetapi, pendapat yang kuat di
kalangan Syafi‟iyah dan ulama-ulama yang lain tidak menggunakan sumpah
yang dikembalikan sebagai alat bukti untuk tindak pidana pencurian.133
130
Muslich, Hukum Pidana Islam, 88. 131
Muslich, Hukum Pidana Islam, 89. 132
Muslich, Hukum Pidana Islam, 89. 133
Muslich, Hukum Pidana Islam, 88.
52
E. Hukuman untuk Tindak Pidana Pencurian yang dilakukan oleh Anak
1. Menurut Hukum Positif di Indonesia
Hukuman tindak pidana pencurian menurut hukum positif di Indonesia
telah dijelaskan di atas pada bagian macam-macam pencurian. Adapun
perinciannya sebagai berikut:
a. Pencurian dalam bentuk pokok (biasa) sebagaimana diterangkan pada
pasal 362 KUHP :
Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau pidana denda paling banyak enam puluh ratus rupiah.134
b. Pencurian dalam bentuk pemberatan sebagaimana diterangkan pada pasal
363 KUHP :
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. pencurian ternak;
2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan banjir, gempa
bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal
terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan
atau bahaya perang;
3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan
oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak
dikehendaki oleh yang berhak;
4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;
5. pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan,
atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan
dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan
memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian
jabatan palsu.
(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam 3 disertai dengan salah
satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.135
134
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 128. 135
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 128-129.
53
c. Pencurian dalam bentuk ringan sebagaimana diterangkan pada pasal 364
KUHP :
Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4,
begitupun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila
tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima
rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak enam puluh rupiah.136
d. Pencurian dengan kekerasan sebagaimana diterangkan pada pasal 365
KUHP:
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian
yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk
memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk
tetap menguasai barang yang dicurinya.
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah
atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau
dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu;
3. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau
memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu
atau pakaian jabatan palsu;
4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
5. Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
6. Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika
perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan
oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh
salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.137
e. Pencurian dalam keluarga sebagaimana diterangkan pada pasal 367 KUHP
:
136
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 129. 137
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 129-130.
54
(1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab
ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak
terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka
terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan
tuntutan pidana.
(2) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau
terpisah harta kekayaan, atau jika dia keluarga sedarah atau
semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat
kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan
penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
(3) Jika menurut lembaga matriarkhal kekuasaan bapak dilakukan oleh
orang lain daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat
di atas berlaku juga bagi orang itu.138
2. Menurut Hukum Pidana Islam
Apabila tindak pidana pencurian telah dapat dibuktikan maka pencuri
dapat dikenai dua hukuman, yaitu sebagai berikut.
a. Penggantian kerugian (Dhaman)
b. Hukuman potong tangan.
a. Penggantian kerugian (Dhaman)
Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya penggantian kerugian
dapat dikenakan terhadap pencuri apabila ia tidak dikenai hukuman potong
tangan. Akan tetapi, apabila hukuman potong tangan dilaksanakan maka pencuri
tidak dikenai penggantian kerugian. Dengan demikian menurut mereka, hukuman
potong tangan dan penggantian kerugian tidak dapat dilaksanakan sekaligus
bersama-sama. Alasannya adalah bahwa Al-Qur‟an hanya menyebutkan
hukuman potong tangan untuk tindak pidana pencurian, sebagaimana yang
tecantum dalam surah Al-Maaidah ayat 38, dan tidak menyebut-nyebut
penggantian kerugian.139
Menurut Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad, hukuman potong tangan dan
penggantian kerugian dapat dilaksanakan bersama-sama. Alasan mereka adalah
bahwa dalam pencurian terdapat dua hak yang disinggung, pertama hak Allah
138
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 130-131. 139
Muslich, Hukum Pidana Islam, 90.
55
(masyarakat) dan kedua hak manusia. Hukuman potong tangan ditujukan sebagai
imbangan dari hak Allah (masyarakat) sedangkan penggantian kerugian
dikenakan sebagai imbangan dari hak manusia.140
Menurut Imam Malik dan murid-muridnya, apabila barang yang dicuri
sudah tidak ada dan pencuri adalah orang yang mampu maka ia diwajibkan untuk
mengganti kerugian sesuai dengan nilai barang yang dicuri, di samping ia dikenai
hukuman potong tangan. Akan tetapi, apabila ia tidak mampu maka ia hanya
dijatuhi hukuman potong tangan dan tidak dikenai penggantian kerugian.141
b. Hukuman potong tangan.
Hukuman potong tangan merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana
pencurian. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah dalam surah Al-
Ma‟idah ayat 38:
ا ايدي هما جزاء با كس ارقة فاقطعو ارق والس والس ن الله ز حكيم با ن كالا م عزي ﴾٧٣﴿ والله “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” 142
Hukuman potong tangan merupakan hak Allah yang tidak bisa digugurkan,
baik oleh korban maupun oleh ulil amri, kecuali Syi‟ah Zaidiyah. Meurut
mereka, hukuman potong tangan bisa gugur apabila dimaafkan oleh korban
(pemilik barang).143
Hukuman potong tangan dikenakan terhadap pencurian yang pertama,
dengan cara memotong tangan kanan pencuri dari pergelangan tangannya.
Apabila ia mencuri untuk yang kedua kalinya maka ia dikenai hukuman potong
kaki kirinya. Apabila ia mencuri lagi untuk ketiga kalinya maka para ulama
berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, pencuri tersebut dikenai
140
Muslich, Hukum Pidana Islam, 90. 141
Muslich, Hukum Pidana Islam, 90. 142
Departemen Agama, Al-Qur‟an Ar-Rasyid Mushaf Terjemah: Surah Al-
Ma‟idah (5) Ayat 38 (Jakarta: Al-Hadi Media Kreasi, 2015), 114. 143
Muslich, Hukum Pidana Islam, 91.
56
hukuman ta‟zir dan dipenjarakan. Sedangkan menurut Imam yang lainnya, yaitu
Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad, pencuri tersebut dikenai hukuman
potong tangan kiri. Apabila ia mencuri untuk keempat kalinya maka potong kaki
kanannya. Apabila ia masih mencuri untuk kelima kalinya maka ia dikenai
hukuman ta‟zir dan dipenjara seumur hidup (sampai ia mati) atau sampai ia
bertobat.144
Pendapat jumhur ulama ini didasarkan kepada hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dai Abu Hurairah, Nabi bersabda dalam kaitan
dengan hukuman bagi pencuri:
ارق إن سرق فا قطعوا يده ث إن سرق فا قطعوا رجلو، ث إن سرق فا قطعوا يده ، ث إن سرق فا قطعوا والس رجلو
Jika ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri lagi
potonglah kakinya (yang kiri), jika ia mencuri lagi potonglah tangannya
(yang kiri), kemudian apabila ia mencuri lagi potonglah kakinya (yang
kanan).145
Adapun batas pemotongan menurut ulama yang empat, yaitu Imam Malik,
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad adalah dari pergelangan
tangan. Sedangkan menurut Khawarij pemotongan dari pundak. Alasan jumhur
ulama adalah karena pengertian minimal dari tangan itu adalah telapak tangan
dan jari. Alasan Khawarij adalah karena pengertian tangan itu mencakup
keseluruhan dari sejak ujung jari sampai batas pundak.146
144
Muslich, Hukum Pidana Islam, 91. 145
Muslich, Hukum Pidana Islam, 91. 146
Muslich, Hukum Pidana Islam, 92.
57
F. Hal-Hal yang Menggugurkan Hukuman Pencurian yang dilakukan
oleh Anak
1. Menurut Hukum Positif di Indonesia
Di dalam hukum pidana kita mengenal perbuatan-perbuatan pidana yang
merupakan pelanggaran/kejahatan yang tidak dapat dihukum. Tentang tidak
dapat dihukumnya ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu sebagai berikut.147
a. Karena sebab yang ada pada diri orang itu sendiri, tercantum dalam Pasal
44 ayat (1) KUHP:
Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau
karena sakit berubah akal, tidak boleh dihukum.
b. Karena sebab dari luar keadaan si pembuat. Sesuatu perbuatan tidak dapat
dihukum karena sebab atau oleh keadaan sekitarnya (uitwendige ooraak),
yang termasuk di sini adalah:
1) dalam keadaan berat lawan (overmacht) dalam Pasal 48 KUHP;
Seseorang yang melakukan perbuatan yang dapat dihukum karena
terdorang oleh sebab paksaan, orang tersebut tidak dapatdi hukum.
2) dalam keadaan darurat (noodtoestand) dalam Pasal 49 ayat (2)
KUHP;
Pembelaan yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
guncangan jiwa yang hebat karena serangan itu, tidak dipidana.
3) karena pembelaan terpaksa (noodweer) dalam Pasal 49 ayat (1)
KUHP;
Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan
karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang
melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap
kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang
lain, tidak dipidana.
147
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2015), 243.
58
4) karena melaksanakan peraturan perundang-undangan dalam Pasal
50 KUHP;
Orang yang melakukan perbuatan untuk menjalankan undang-
undang, tidak dihukum.
5) karena melaksanakan perintah jabatan dalam Pasal 51 ayat (1)
KUHP.
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang, tidak dipidana.
2. Menurut Hukum Pidana Islam
Hukuman potong tangan dapat gugur karena hal-hal berikut ini.
a. Karena orang yang barangnya dicuri tidak mempercayai pengakuan
pencuri atau tidak mempercayai para saksi. Ini menurut Imam Abu
Hanifah.
b. Karena adanya pengampunan dari pihak korban, tetapi pendapat ini
hanya dikemukakan oleh Syiah Zaidiyah.
c. Karena pencuri tersebut menarik kembali pengakuannya. Ini berlaku
apabila pembuktiannya hanya dengan pengakuan.
d. Karena dikembalikannya barang yang dicuri sebelum perkaranya
diajukan ke pengadilan. Pendapat ini hanya dikemukakan oleh Imam
Abu Hanifah.
e. Karena pencuri tersebut berusaha memiliki barang yang dicuri,
sebelum adanya keputusan pengadilan.
f. Karena pencuri tersebut mengaku bahwa barang yang dicurinya
adalah miliknya.148
148
Muslich, Hukum Pidana Islam, 92.