BAB II TINJAUAN UMUM - ARKEOLOGI INFORMATIKA · PDF filepotensi strategis dari sudut pandang...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM - ARKEOLOGI INFORMATIKA · PDF filepotensi strategis dari sudut pandang...
BAB II
TINJAUAN UMUM
Istilah Maluku Utara merupakan penyebutan bagi kawasan Kepulauan
Maluku bagian utara dari sudut pandang geografis. Secara administratif kawasan
Maluku Utara meliputi beberapa Daerah Tingkat II di Propinsi Maluku Utara.
Secara astronomis, kawasan tersebut berada pada koordinat 124º – 129º BT dan 3º
LU – 3º LS.1 Kawasan Maluku Utara merupakan daerah kepulauan yang meliliki
potensi strategis dari sudut pandang keletakannya. Kawasan ini terletak di
simpang empat yang menghubungkan kawasan Filipina di utara, New Guinea
serta pasifik di Timur, Kepulauan Timor di selatan, dan Sulawesi serta kawasan
Indonesia barat lainnya di sebelah baratnya.2
1 D.D. Bintarti, J.R. Indraningsih, S.A. Kosasih, Laporan Hasil
Kepurbakalaan di Daerah Maluku Tengah (Pulau Ambon, Seram, dan Sekitarnya) No. 8 (Jakarta: Puslitarkenas, 1977), hal. 3. dan Bahar Andili, “Profil Daerah Maluku Utara”, dalam E.K.M Masinambouw ed., Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, Jilid VIII No. 1 Nomor Istimewa (III) Halmahera dan Raja Ampat, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hal. 3.
2 Lihat Peta 2.1.
26
Sumber : 3D World Atlas (1997) dan Microsoft Encarta Reference Library (2003), dengan modifikasi.
Peta 2.1. Kedudukan Maluku Utara dalam Kepulauan Indonesia
1000 km
U
27
Keletakannya yang berada di zona perantara (Wallacea)3 membuat
kawasan ini sangat baik untuk mengamati keragaman manusia dan budayanya dan
endemisme berbagai jenis flora dan fauna, baik yang disebabkan oleh pola
perpindahan maupun evolusi setempat. Untuk mengidentifikasi masalah
perpindahan manusia, dalam bagian ini akan dipaparkan latar belakang
lingkungan biotik dan abiotik di kawasan Maluku Utara.
A. KONDISI LINGKUNGAN KAWASAN MALUKU UTARA
1. Geomorfologi
Kawasan Maluku Utara adalah kawasan yang didominasi oleh perairan,
dengan perbandingan luas daratan dan laut adalah 1 : 3.4 Kawasan ini terdiri atas
353 pulau dengan luas kira-kira 32.000 km², yang tersebar di atas perairan seluas
3 Penyebutan nama Wallacea digunakan untuk menunjukkan pada
kawasan di daerah Indonesia bagian tengah, yang terletak di antara paparan-paparan kontinental daratan Sunda dan Sahul. Kawasan ini meliputi kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara) dari Lombok ke timur, Sulawesi, kepulauan Maluku dan bahkan juga Filipina, tidak termasuk kepulauan Palawan. Kawasan Wallacea telah berevolusi sebagai zona ketidakstabilan lapisan luar yang dahsyat dan sekarang muncul sebagai sejumlah pulau yang dipisahkan oleh dua cekungan samudra yang dalam, terutama laut Sulu, laut Sulawesi dan Laut Banda. Seluruh kawasan ini terbentuk oleh proses-proses pengangkatan dan penurunan yang cepat. Oleh sebab itu, kawasan ini tidak pernah menjadi jembatan darat yang berkelanjutan antara Asia dan Australia dan semua penyebaran flora, fauna serta manusia yang melaluinya tentunya harus melewati air. Sumber: Peter Bellwood, Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 10. dan Cliff D. Ollier, “The Geological Background to Prehistory in Island Southeast Asia”, Modern Quaternary Research of Southeast Asia, No. 9, (1985), hal. 35. Lihat peta 2.2.
4 Profil Propinsi Republik Indonesia: Maluku, (Jakarta: PT. Intermasa, 1992), hlm. 26.
28
107.381 km².5 Kawasan kepulauan ini berbatasan dengan Samudra Pasifik di
utara, Samudra Indonesia dan Laut Arafura di selatan, Pulau Sulawesi di barat dan
Pulau Irian di timur.6
Gugusan kepulauan di kawasan Maluku Utara terbentuk oleh relief-relief
yang besar, Palung-palung Samudra, dan Punggung Pegunungan yang sangat
mencolok saling bersambung silih berganti.7 Secara umum struktur fisiografi
kawasan Maluku Utara terbentuk dari zona pertemuan dua sistem bentang alam.
Kedua sistem bentang alam tersebut antara lain adalah Sistem Bentang Alam
Sangihe dan Sistem Bentang Alam Ternate, dengan batasnya adalah Cekungan
Celebes di barat dan Cekungan Halmahera di timur.
Pada kedua sistem bentang alam tersebut terdapat dua busur pegunungan
yang bersifat vulkanik dan non vulkanik.8 Pada Sistem Bentang Alam Sangihe
terdapat:
1. Busur dalam vulkanik : Busur kepulauan Sangihe
2. Busur luar non vulkanik : Busur kepulauan Talaud-Maju
Sistem Bentang Alam Ternate terdiri dari:
1. Busur dalam vulkanik : Busur kepulauan Zona Ternate, Morotai-Bacan,
termasuk bagian barat Pulau Halmahera utara
2. Busur luar non vulkanik : Busur kepulauan Sellius-Maju-Obi
5 Bahar Andili, ibid., hlm. 3. 6 Ibid., hlm. 25. 7 Profil Propinsi Republik Indonesia: Maluku, op.cit., hlm. 17. 8 R.W. Van Bemmelen, The Geology of Indonesia, Volume IA: General
Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, ( The Hague: Martinus Nijhoff, 1977), hlm. 47-48. Lihat peta 2.2.
29
Sumber: Van Bemmelen, (1977), dengan modifikasi.
Laut Maluku yang terletak di antara Sistem Bentang Alam Sangihe dan
Sistem Bentang Alam Ternate merupakan zona benturan dua sistem bentang alam
tersebut. Zona benturan Laut Maluku merupakan bagian yang paling rumit di
kawasan ini. Lempeng Laut Maluku, yaitu sebuah lempeng benua kecil
mengalami tumbukan ke Palung Sangihe di bawah Busur Sangihe di barat dan ke
arah timur di bawah Halmahera, sedangkan di sebelah selatannya terikat oleh
Patahan Sorong. Busur dalam Halmahera yang bersifat vulkanis berkembang di
Peta 2.2. Fisiografi Maluku Utara
30
sepanjang pantai barat Halmahera dan menghasilkan pulau-pulau lautan yang
bersifat vulkanis, antara lain adalah: Ternate, Tidore, Makian dan Moti. Mare
terbentuk dari material vulkanis yang terangkat, sedangkan Kayoa berasal dari
terumbu karang yang terangkat. Mayu dan Tifore yang terletak di sepanjang gigir
tengah Laut Maluku yang meninggi merupakan keping Melange aktif .9
Bentang lahan pada pulau-pulau di kawasan Maluku Utara mayoritas
merupakan perbukitan dan pegunungan. Paparan dataran rendah yang tidak terlalu
luas hanya dapat dijumpai di sepanjang pantai dan muara sungai. Pada beberapa
barisan pegunungan terdapat puncak-puncak gunung berapi, dan beberapa
diantaranya masih aktif. Gunung api yang paling aktif adalah Gunung Gamalama
atau Gunung Kie-Tobona (Piek Van Ternate) di pulau Ternate dan Gunung Kie-
Mutubu di Pulau Tidore, yang termasuk dalam Kepulauan busur vulkanik Zona
Ternate.10
2. Iklim dan Musim
Kawasan Maluku Utara yang dilalui garis katulistiwa, memiliki iklim
tropis musiman. Iklim di kawasan ini sangat dipengaruhi oleh angin muson yang
berasal dari pemanasan yang terjadi pada massa daratan Asia dan Australia. Iklim
di kawasan ini bersifat musiman dengan curah hujan yang rendah, kecepatan
9 Kathryn A. Monk, Yance De Fretes, Gayatri Reksodihardjo-Lilley, ”Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku”, Seri Ekologi Indonesia, Buku V, (Jakarta: Prenhallindo, 2000), hlm. 44.
Keping Melange Aktif adalah kedudukan keping-keping batuan yang acak sehingga tidak dapat dibedakan stratifikasi umur berdasarkan urutan pembentukan batuan. Fenomena tersebut terjadi pada zona tumbukan antar lempeng benua yang masih aktif.
10 Profil Propinsi Republik Indonesia: Maluku,, op.cit., hlm. 27-29.
31
angin yang tinggi dan intensitas penyinaran yang tinggi. Hal tersebut membuat
kawasan ini menjadi lebih kering, sedangkan iklim basah dengan curah hujan
yang melebihi penguapan tidak terjadi di sini.11 Curah hujan di kawasan Maluku
Utara rata-rata mencapai 3.000 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan antara
153-266 hari per tahun. Suhu udara rata-rata 26,3º C, dengan suhu udara
maksimum 30,1º C dan suhu minimum 23,5º C.12
Angin muson barat laut dimulai pada bulan Desember, bersifat basah
sehingga menyebabkan musim penghujan. Curah hujan maksimum terjadi pada
bulan Januari dan Februari. Peralihan musim terjadi pada bulan Maret dan April.
Angin pasat tenggara dimulai pada bulan April, bersifat kering sehingga
menyebabkan musim kemarau. Puncak musim kemarau terjadi pada bulan Juli
sampai Agustus, dan kemudian diikuti dengan peralihan musim yang terjadi pada
bulan September dan November.13
3. Flora dan Fauna
Persebaran flora dan fauna (biogeografis) secara alami sangat dipengaruhi
oleh faktor geologis. Namun demikian, persebaran yang disebabkan oleh faktor
manusia (translokasi) juga memiliki peranan yang sangat penting bagi
biogeografis. Kawasan Maluku Utara secara biogeografis termasuk dalam
kawasan Wallacea yang merupakan kawasan peralihan diantara dua wilayah besar
11 Kathryn A. Monk, Yance De Fretes, Gayatri Reksodihardjo-Lilley,
op.cit., hlm. 69. 12 Profil Propinsi Republik Indonesia: Maluku, op.cit., hlm. 34. 13 Kathryn A. Monk, Yance De Fretes, Gayatri Reksodihardjo-Lilley,
op.cit., hlm. 69-70. Lihat peta 2.3.
32
yaitu Oriental dan Australia.14 Proses endemisme15 yang sangat tinggi terjadi di
kawasan ini dan masih berlangsung hingga saat ini, sehingga menimbulkan
kerumitan bagi pemaparan asal-usul biogeografis di kawasan tersebut.
Berdasarkan penelitian baru-baru ini, Michaux berpendapat bahwa secara
biogeografis, kawasan Maluku Utara lebih dekat kaitannya dengan Papua.16
Secara umum fauna mammalia asli Maluku terdiri dari marsupial (binatang
14 Kawasan Oriental meliputi: India, Srilanka, Indo-Cina, Sumatra, Jawa,
Kalimantan, Formosa, dan Filipina. Biom utamanya adalah hutan tropik. Lihat peta 2.4.
Kawasan Australia meliputi: Australia, Tasmania, Irian, Papua, dan pulau-pulau di Pasifik Selatan. Biom utamanya adalah gurun, savana serta hutan tropik.
Sumber: Peter Farb, Ekologi, Pustaka Alam Time-Life Books Inc. (Jakarta: Tira Pustaka, 1981), hlm. 184-185.
15 Keberadaan organisme atau taksa yang distribusinya terbatas pada kawasan atau lokasi geografis tertentu, seperti pulau atau benua. Sumber: Abercrombie, M., M. Hickman, M.L. Johnson and H. Thain, Kamus Lengkap Biologi, Edisi ke-8, Terjemahan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993), hlm. 203.
16 Peter Farb op.cit., hlm. 313.
Peta 2.3. Batas Biogeografi di
Kawasan Wallacea
Sumber: Kathryn A. Monk, Yance De Fretes, Gayatri Reksodihardjo-Lilley, (2000), dengan
modifikasi.
33
berkantung), tikus pengerat dan kelelawar. Fauna tersebut sama dengan fauna
mamalia yang kini mendominasi kawasan Papua dan Australia. Jumlah mamalia
darat di kawasan ini hanya 10 jenis, sedangkan spesies mamalia udara berjumlah
25 jenis.17 Di Maluku utara terdapat beberapa jenis kuskus (Phalangeridae)
endemik, yaitu Phalanger pelengensis di Kepulauan Sula, Phalanger ornatus di
Kep. Halmahera, Phalanger rothschildi di Pulau Obi dan Phalanger alexandrae
di Pulau Gebe. Selain itu, Phalanger orientalis dan Spilocuscus maculatus
kemungkinan didatangkan dari Papua.18 Kehadiran Phalanger orientalis dan
bajing terbang (Petaurus breviceps) yang tersebar luas di kawasan ini
kemungkinan besar diperkenalkan oleh manusia dari Papua.19
Menurut Flannery20, di Maluku Utara fauna tikus yang asli kawasan ini
sangat langka dan berbeda dengan dua kawasan di sekitarnya, Sulawesi dan
Papua. Rattus moroteiensis dan beberapa jenis endemik lainnya memiliki
hubungan kekerabatan dengan jenis Melanesia, sedangkan Rattus elaphinus di
Kepulauan Sula memiliki hubungan dengan Sulawesi. Satu-satunya tikus wirok
yang masih bertahan hidup hingga kini adalah Rhynchomeles prattorum yang ada
17 Alfred Russel Wallace, Menjelajah Nusantara, Ekspedisi: Alfred
Russel Wallace abad ke-19, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 217. 18 T.F. Flannery, “Mamalia Maluku”, dalam Kathryn A. Monk, Yance De
Fretes, Gayatri Reksodihardjo-Lilley, ”Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku”, Seri Ekologi Indonesia, Buku V, (Jakarta: Prenhallindo, 2000), hlm. 370. dan T.F. Flannery, P. Bellwood, J.P. White, T. Ennis, G. Irwin, K. Scubert, and K. Balasubramaniam, “Mammals from Holocene Archaeologycal Deposit on Gebe and Morotai Islans, Northern Moluccas, Indonesia”, Australian Mammalogy, Vol. 20 Num. 3 (1998). Hlm.395.
19 Alfred Russel Wallace, op.cit., hlm. 217. 20 T.F. Flannery, loc. cit.
34
di Pulau Seram. Tikus wirok dan wallabi (Dorcopsis) diperkirakan mulai punah di
Halmahera sejak 5.000 tahun yang lalu, dan tidak ada satu pun yang hidup sejak
rusa (Cervidae), babi (Suidae), anjing (Canidae), luwak (Viverridae), dan celurut
(Soricidae) diperkenalkan oleh manusia dari Asia.
Babun (Cynopthecus nigrescens) yang ada di pulau Bacan dan Jailolo
diperkirakan didatangkan oleh manusia dari Sulawesi. Satu-satunya karnivora di
kawasan ini adalah musang (Viverra tangalunga), yang ditemukan di pulau
Bacan, Buru dan beberapa pulau kecil lainnya. Menurut Wallace, hewan ini
didatangkan oleh manusia dari Filipina dan pulau besar lainnya di Indonesia
barat.21 Selain itu, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan rusa (Cervus
timorensis) yang terdapat di kawasan tersebut juga didatangkan oleh manusia.22
Untuk mengetahui kondisi paleoekologi di kawasan Maluku Utara, telah
didapat sampel pollen dari Laut Banda. Endapan pollen berasal dari akumulasi
serbuk sari tumbuhan yang hidup pada masa lampau. Proses pembentukan
endapan pollen di Laut Banda berkaitan erat dengan iklim muson dan pola
sirkulasi arus laut yang terjadi di kawasan tersebut sehingga mengendapkan
serbuk sari di Laut Banda. Berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh tersebut
dapat diketahui bahwa sebagian besar sampel pollen tersebut berasal dari
Sulawesi, Maluku dan Australia Utara.23 Sampel pollen yang berasal dari Kala
21 Alfred Russel Wallace, op.cit., hlm. 217-218. 22 Kathryn A. Monk, Yance De Fretes, Gayatri Reksodihardjo-Lilley,
ibid., hlm.319. 23 Sander van der Kaars, Xuan Wang, Peter Kershaw, Francois Guichard,
Duddy Arifin Setiabudi, ”A Late Quaternary palaeoecological from the Banda
35
Holosen sebagian besar meliputi pollen tumbuhan jenis Macaranga, Mallotus,
Nauclea, Moraceae, Urticaceae, dan Trema. Dari beberapa sempel tersebut dapat
diketahui bahwa vegetasi yang mendominasi kawasan Indonesia Timur sejak Kala
Holosen adalah vegetasi yang berasal dari hutan kayu dan padang rumput, dengan
sedikit tanaman hutan hujan tropis.24
Pada saat ini, jenis-jenis tanaman yang telah dibudidayakan di Maluku
Utara adalah jenis tanaman pangan, antara lain adalah: padi, jagung, kacang
kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, sayur mayur dan buah-buahan. Selain
itu juga beberapa tanaman perkebunan, antara lain adalah: pala, kopi, cengkeh,
kelapa, jambu mete, coklat, tebu dan karet. Hasil hutan dari kawasan tersebut
antara lain adalah: sagu, bambu dan rotan.25
4. Catatan Etnografi
Menurut penelitian Martodirdjo26, di Maluku Utara, khususnya di Pulau
Halmahera dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dua kelompok rumpun
bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Austronesia di bagian selatan dan bahasa Non-
Austronesia (Papua) di bagian Utara. Sejumlah 9 bahasa lokal di Halmahera
Sea, Indonesia: patterns of vegetation, climate and biomass burning in Indonesia and northern Australia”, Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, No. 155, (Elsevier Science, 2000), hlm. 141.
24 Ibid., hlm 149. 25 Profil Propinsi Republik Indonesia: Maluku, op.cit., hlm. 43. 26 Lihat: Haryo S. Martodirdjo, “Perkembangan Bahasa dan Budaya
Daerah Perbatasan Rumpun Bahasa Austronesia dan Non-Austronesia di Halmahera”, dalam Sudaryanto dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia, (Yogyakarta: PSAP-UGM, 2000), hlm. 57-76.
36
Selatan termasuk rumpun bahasa Austronesia yang memiliki persamaan genetik
dengan kerabat bahasa Austronesia lainnya di Indonesia Timur dan 12 bahasa
lokal di Halmahera Utara termasuk rumpun bahasa Papua yang berkerabat dengan
bahasa Papua yang dituturkan di daerah Kepala Burung.27
Sumber: Haryo S. Martodirdjo, (2000).
27 Lihat peta 2.5.
Peta 2.4. Peta bahasa di Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya
37
Adanya dua rumpun bahasa yang digunakan di Maluku Utara
mengindikasikan adanya dua kelompok budaya yang berbeda. Pada kenyataannya
masyarakat yang berbicara bahasa Austronesia biasanya tidak memahami
pembicaran dalam bahasa Non-Austronesia (Papua), begitu juga sebaliknya. Hal
ini seperti yang terjadi pada masyarakat Makian Barat dan Makian Timur, yang
tinggal di pulau kecil Makian. Akibat dari gejala tersebut di Maluku Utara
berkembang bahasa perantara (Lingua Franca) yang digunakan dalam pergaulan
sehari-hari antarkelompok masyarakat yang saling berbeda bahasa dan budayanya.
Bahasa tersebut adalah bahasa Melayu Pasar yang berlaku di seluruh Halmahera
Selatan dan Utara. Bahasa tersebut merupakan bentuk lokal dari bahasa Melayu
standar dengan 45% kosa katanya berasal dari bahasa Ternate yang termasuk
dalam rumpun bahasa Non-Austronesia .28
Mahirta29 telah mendokumentasikan etnografi mengenai pelayaran antar
pulau yang masih dapat dijumpai di kepulauan Maluku Utara. Pelayaran tersebut
digunakan untuk mendistribusikan gerabah Mare, satu-satunya produsen gerabah
di kepulauan Maluku Utara yang masih ada hingga saat ini, ke seluruh kawasan
kepulauan tersebut. Sampai saat ini terdapat tiga rute utama yang masih dilakukan
dalam pelayaran-perdagangan tersebut, yaitu: pelayaran di sepanjang pulau-pulau
sebelah barat Halmahera, pelayaran sepanjang Pulau Halmahera-Morotai, dan
pelayaran ke (Sorong) Kepala Burung dan berputar di sepanjang Teluk Weda.
28 Ibid., hlm. 70. 29 Lihat: Mahirta, “The Development of Mare Pottery in the Northern
Moluccas Context and its Recent Trading Network”, Thesis, (Canberra: ANU, 1996).
38
Walaupun dalam penelitian tersebut yang menjadi fokus kajian adalah
pelayaran antar pulau sebagai media distribusi gerabah Mare, tetapi disamping itu
juga berhasil diungkapkan pemerataan distribusi produk-produk ke seluruh
kawasan kepulauan Maluku Utara yang penduduknya hanya berkonsentrasi pada
sumber-sumber tertentu saja dari lingkungan sekitarnya. Seperti misalnya:
penduduk Pulau Mare menghasilkan gerabah, Bacan menghasilkan ikan, Moti
menghasilkan buah-buahan dan sayur mayur, Halmahera menghasilkan kerang
yang berharga, seperti misalnya kapis-kapis (Pinctada sp.) dan bialola (Trocus
sp.), tanduk rusa, dan taring hiu, Weda menghasilkan kopra, cengkeh, dan pala.
B. KONDISI LINGKUNGAN PULAU KAYOA
1. Gambaran Umum
Pulau Kayoa merupakan sebuah pulau koral di kawasan Maluku Utara
dengan panjang 20 km, lebar 7 km, dan luas 150 km².30 Pulau ini berjarak 30 km
di sebelah barat Pulau Halmahera, pulau terbesar di kawasan ini. Pulau Kayoa
berada di antara Pulau Makian di sebelah utara dan Pulau Bacan di sebelah
selatan.31 Pulau ini menghasilkan padi, jagung dan sedikit kapas, serta buah-
30 D.D. Bintarti, J.R. Indraningsih, S.A. Kosasih, ibid., hlm. 20. dan Peter
Bellwood, Excavations in Uattamdi Rockshelters, Kayoa Island, (Tidak dipublikasikan), hlm. 1.
31 Lihat Peta 2.6.
39
buahan berupa pepaya dan nanas.32 Selain itu, pulau ini juga merupakan penghasil
rempah-rempah utama selain Pulau Ternate, Tidore, Makian, dan Moti.33
Sumber: Microsoft Encarta Reference Library (2003), dengan modifikasi
32 Alfred Russel Wallace, op.cit., hlm. 178. 33 Profil Propinsi Republik Indonesia: Maluku, op.cit., hlm. 2.
Peta 2.5. Pulau Kayoa dan pulau-pulau lainnya di Laut Maluku
40
2. Kondisi Fisik
Berdasarkan pada sejarah pembentukannya, Pulau Kayoa merupakan
sebuah pulau atol yang berasal dari terumbu karang yang terangkat naik pada
Periode Kuarter, kira-kira sejak dua juta tahun yang lalu.34 Bentuk lahan di pulau
ini berupa pegunungan dengan tanahnya yang berbatu-batu.35 Secara geologis
pulau ini termasuk dalam rangkaian busur dalam vulkanis Zona Ternate, yaitu
jajaran kepulauan vulkan dari Morotai sampai Bacan termasuk Halmahera barat
bagian Utara. Walaupun demikian pulau ini temasuk pulau vulkanik yang tidak
aktif.
Titik tertinggi di pulau ini adalah Gunung Tigalalu dengan ketinggian 422
m, yang merupakan sebuah gunung api tua yang masih mempertahankan ciri
gunung apinya dengan kerucut dalam dan lingkar luar kawahnya. Batuan vulkanik
Tigalalu berumur Plestosen akhir, sedangkan bagian timur pulau ini terdiri dari
batuan vulkanik dari Kala pra-Miosen. Selain itu, sepanjang pesisir barat pulau ini
terbentuk dari terumbu karang yang terangkat naik pada Kala Pleistosen.
Setidaknya ada tiga tingkatan koral yang terangkat naik, dengan tebing-tebing
rendah. Bagian barat pulau ini merupakan pantai pasir koral dan tanjung koral,
sedangkan sepanjang pesisir timur merupakan daerah rawa.36
34 Kathryn A. Monk, Yance De Fretes, Gayatri Reksodihardjo-Lilley,
ibid., hlm. 43. dan Van Bemmelen, op.cit., hlm. 384. 35 Alfred Russel Wallace, op.cit., hlm. 50-51. 36 Peter Bellwood, Excavations in Uattamdi Rockshelters, Kayoa Island,
(tidak dipublikasikan, a), hlm. 1.
41
Keterangan: Tomb : Formasi Bacan, dengan komposisi: breksi gunung api, lava andesit, bersisipan dengan
batu pasir dan batu lempung. QI : Batu gamping, terumbu karang terangkat.
3. Manusia dan Bahasa
Menurut Wallacea yang mengunjungi pulau Kayoa pada tahun 1858,
penduduk Pulau Kayoa memiliki ciri ras campuran antara Mongoloid dan
Melanesid. Mereka memiliki pertalian darah yang erat dengan penduduk di
Peta 2.6. Kondisi Geologi Pulau Kayoa
Sumber: Aswan Yasin, Peta Geologi Lembar Bacan, Maluku (1980), dengan
modifikasi.
5 km
42
Ternate dan Jailolo. Mata pencaharian mereka sebagian besar adalah berladang
dan membuat perahu.37
Berdasarkan hasil penelitian para ahli linguistik yang memetakan bahasa-
bahasa di kawasan Maluku Utara, sampai saat ini penduduk Pulau Kayoa
menggunakan bahasa Kayoa yang termasuk dalam sub-stratum bahasa
Austronesia.38 Walaupun demikian bahasa Kayoa lebih khusus yang disebabkan
oleh perbedaan dialek, interaksi dengan bahasa Non-Austronesia yang ada di
Maluku Utara bagian utara, dan hasil perkembangan lokal.
37 Alfred Russel Wallace, op.cit., hlm. 178. 38 Haryo S. Martodirdjo, op.cit., hlm. 76. Lihat juga Peta 2.5.