BAB II TINJAUAN TEORI A. Sectio...
Transcript of BAB II TINJAUAN TEORI A. Sectio...
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Sectio Caesarea
1. Pengertian
Sectio Caesarea adalah pelahiran janin melalui insisi yang
dibuat pada dinding abdomen dan uterus. (Reeder, Martin, & Griffin,
2011).
Sectio Caesarea adalah kelahiran janin melalui insisi pada
dinding abdomen ( laparatomi ) dan dinding uterus ( histerektomi ).
(Cunningham & dkk, 2012).
Sectio Caesarea merupakan kelahiran bayi melalui insisi trans
abdominal (Bobak et al, 2004).
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Sectio
Caesarea adalah suatu proses persalinan buatan untuk mengeluarkan
janin dari rahim ibu dengan melakukan insisi pada dinding abdomen
dan uterus.
2. Indikasi
Indikasi persalinan Sectio Caesarea yang dibenarkan terjadi secara
tunggal atau secara kombinasi, merupakan suatu hal yang sifatnya
relatif daripada mutlak, dan dapat diklasifikasikan dibawah ini :
a. Ibu dan janin
Distosia (kemajuan persalinan yang abnormal) adalah indikasi
paling umum kedua (30%), yang pada umumnya ditunjukkan
sebagai suatu “kegagalan kemajuan” dalam persalinan. Hal ini
mungkin berhubungan dengan ketidaksesuaian antara ukuran
panggul dengan ukuran kepala janin (disproporsi sefalopelvik),
kegagalan induksi, atau aksi kontraksi uterus yang abnormal.
CPD
Pada panggul ukuran normal, apapun jenisnya, yaitu
panggul ginekoid, anthropoid, android, dan platipelloid. Kelahiran
pervaginam janin dengan berat badan normal tidak akan
mengalami gangguan. Panggul sempit absolut adalah ukuran
konjungata vera kurang dari 10 cm dan diameter transversa kurang
dari 12 cm.
Oleh karena panggul sempit, kemungkinan kepala tertahan
di pintu atas panggul lebih besar, maka dalam hal ini serviks uteri
kurang mengalami tekanan kepala. Hal ini dapat mengakibatkan
inersia uteri serta lambatnya pembukaan serviks (Prawirohardjo,
2009).
b. Ibu
Penyakit ibu yang berat, seperti penyakit jantung berat, diabetes
mellitus, PEB atau eklamsia, kanker serviks, atau infeksi berat
(yaitu virus herpes simpleks tipe II atau herpes genitalis dalam fase
aktif atau dalam 2 minggu lesi aktif). Penyakit tersebut
membutuhkan persalinan Sectio Caesarea karena beberapa alasan :
untuk mempercepat pelahiran dalam suatu kondisi yang kritis,
karena klien dan dan janinnya tidak mampu menoleransi
persalinan, atau janin akan terpajan risiko bahaya yang meningkat
saat melalui jalan lahir.
c. Janin
Gawat janin, seperti janin dengan kasus prolaps tali pusat,
insufiensi uteroplasenta berat, malpresentasi seperti letak
melintang, janin dengan presentasi dahi, kehamilan ganda dengan
bagian terendah janin kembar adalah pada posisi melintang
bokong.
d. Plasenta previa
Pemisahan plasenta sebelum waktunya (solusio).
Indikasi kontroversial meliputi tidak diketahuinya jaringan
parut sebelumnya, presentasi bokong, kehamilan lewat bulan, dan
makromsomia janin (dengan perkiraan berat badan janin > 4.500
gram (Reeder, Martin, & Griffin, 2011).
3. Klasifikasi
a. Sectio caesarea transperitonealis
1) Sectio caesarea klasik yaitu pembedahan dilakukan dengan
sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10
cm. Keuntungan tindakan ini yaitu mengeluarkan janin lebih
cepat, tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
dan sayatan bisa diperpanjang proksimal dan distal.
Kerugiannya yaitu infeksi mudah menyebar secara intra
abdominal dan lebih sering terjadi ruptur uteri spontan pada
persalinan selanjutnya.
2) Sectio caesarea profunda disebut juga low cervical yaitu
sayatan pada segmen bawah rahim. Keuntungannya yaitu
penjahitan luka lebih mudah, kemungkinan rupture uteri spontan
lebih kecil dibandingkan dengan Sectio Caesarea dengan cara
klasik, sedangkan kelemahannya yaitu perdarahan yang banyak
dan keluhan pada kandung kemih post operatif tinggi.
b. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Sectio caesarea ekstraperitonealis, yaitu Sectio Caesarea berulang
pada seorang pasien yang pernah melakukan Sectio Caesarea
sebelumnya. Biasanya dilakukan di atas bekas luka yang lama.
Tindakan ini dilakukan dengan insisi dinding dan fasia abdomen
sementara peritoneum dipotong ke arah kepala untuk memaparkan
segmen bawah uterus sehingga uterus dapat dibuka secara
ekstraperitoneum. Pada saat ini pembedahan ini tidak banyak
dilakukan lagi untuk mengurangi bahaya infeksi puerperal.
4. Komplikasi
a. Infeksi peurperal
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama
beberapa hari dalam masa nifas, bersifat berat seperti peritonitis,
sepsis dsb.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika
cabang cabang arteri ikut terbuka, atau karena atonia uteri.
c. Komplikasi komplikasi lain seperti luka kandung kemih,
embolisme paru.
d. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang
kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan
berikutnya bisa terjadi ruptur uteri.
(Jitowiyono & Kristiyanasari, 2012)
5. Penatalaksanaan
a. Perawatan pre operasi Sectio Caesarea
1) Persiapan kamar operasi
a) Kamar operasi sudah di bersihkan dan siap untuk dipakai.
b) Peralatan dan obat –obatan telah siap semua termasuk kain
operasi.
2) Persiapan pasien
a) Pasien telah dijelaskan tentang prosedur operasi
b) Informed concent telah ditanda tangani oleh pihak keluarga
pasien
c) Perawat memberi support kepada pasien
d) Daerah yang akan di insisi telah dibersihkan (rambut pubis
dicukur dan sekitar abdomen telah dibersihkan dengan
antiseptik)
e) Pemeriksaan tanda tanda vital dan pengkajian untuk
mengetahui penyakit yang pernah di derita oleh pasien
f) Pemeriksaan laboratorium (darah, urine)
g) Pemeriksaan USG
h) Pasien puasa selama 6 jam sebelum dilakukan operasi
b. Perawatan post operasi Sectio Caesarea
1) Analgesia
Wanita dengan ukuran tubuh rata – rata dapat disuntik 75 mg
meperidin (IM) setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk
mengatasi rasa sakit atau dapat disuntikkan dengan cara serupa
10 mg morfin.
a) Wanita dengan ukuran tubuh kecil, dosis meperidin yang
diberikan 50 mg
b) Wanita dengan ukuran besar, dosis yang lebih tepat adalah
100 mg meperidin
c) Obat obat antiemetik, misalnya protasin 25 mg biasanya
diberikan bersama sama dengan pemberian preparat
narkotik
2) Tanda tanda vital
Tanda tanda vital harus diperiksa 4 jam sekali, perhatikan
tekanan darah, nadi, jumlah urine serta jumlah darah yang
hilang dan keadaan funfus harus diperiksa.
3) Terapi cairan dan diet
Untuk pedoman umum, pemberian 3 liter larutan RL, terbukti
sudah cukup selama pembedahan dan dalam 24 jam pertama
berikutnya, meskipun demikian, jika output urine jauh dibawah
30 ml/jam, pasien harus segera dievaluasi kembali paling
lambat pada hari kedua
4) Vesica urinaria dan usus
Kateter dapat dilepaskan setelah 12 jam post operasi atau pada
keesokan paginya setelah operasi. Biasanya bising usus belum
terdengar pada hari pertama setelah pembedahan, pada hari
kedua bising usus masih lemah dan usus baru aktif kembali
pada hari ketiga
5) Ambulasi
Pada hari pertama setelah pembedahan, pasien dengan bantuan
dapat bangun dari tempat tidur sebentar, sekurang kurangnya
2x pada hari kedua pasien dapat berjalan dengan pertolongan.
6) Perawatan luka
Luka insisi di inspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang
alternatif ringan tanpa banyak plester sangat menguntungkan,
secara normal jahitan kulit dapat diangkat setelah hari keempat
setelah pembedahan. Paling lambat hari ketiga post partum,
klien dapat mandi tanpa membahayakan luka insisi.
7) Laboratorium
Secara rutin hematokrit diukur pada pagi setelah operasi
hematokrit tersebut harus segera di cek kembali bila terdapat
kehilangan darah yang tidak biasa atau keadaan lain yang
menunjukkan hipovolemia.
8) Perawatan payudara
Pemberian ASI bisa langsung diberikan setelah operasi pada
bayi dengan IMD terlebih dahulu.
9) Memulangkan pasien dari RS
Memulangkan pasien mungkin lebih aman bila diperbolehkan
pulang dari RS pada hari ke empat dan kelima post operasi,
aktivitas ibu seminggunya harus dibatasi hanya untuk
perawatan bayinya dengan bantuan orang lain (Jitowiyono &
Kristiyanasari, 2012)
6. Pathways keperawatan
Gambar 1.1 pathways SC (Jitowiyono & Kristiyanasari, 2012)
B. Nyeri
1. Pengertian
Nyeri merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang
menandakan adanya masalah, jika tidak ditangani menyebabkan
bahaya fisiologis dan psikologis bagi kesehatan dan penyembuhannya
(Kozier, ERB, Berman, & Snyder, 2010).
Nyeri adalah suatu pengalaman sensori atau emosional yang
tidak menyenangkan, berkaitan dengan adanya atau potensial adanya
lesi jaringan. Nyeri dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai suatu yang
kompleks, individual, dan fenomena multi faktor yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu fisiologis, biologis, sosiokultural dan
ekonomis The Taxonomy Commitee of the International Association
for the Study of Pain ( IASP) dalam (Maryunani, 2010).
Nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang
nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia
merasa nyeri (Potter & Perry, 2005).
2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Menurut (Potter & Perry, 2005) faktor yang mempengaruhi nyeri
diantaranya usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian,
ansietas, keletihan, pengalaman sebelumnya, gaya koping, dukungan
keluarga dan sosial.
a. Usia
Perbedaan perkembangan, yang ditemukan diantara kelompok usia
ini dapat mempengaruhi bagaimana anak anak dan lansia bereaksi
terhadap nyeri. Anak anak yang masih kecil mempunyai kesulitan
memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan perawat yang
menyebabkan nyeri. Sedangkan kemampuan lansia untuk
menginterpretasi nyeri dapat mengalami komplikasi dengan
keberadaan berbagai penyakit disertai gejala samar samar yang
mungkin mengenai bagian tubuh yang sama.
b. Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna
dalam berespon terhadap nyeri. Akan tetapi, toleransi terhadap
nyeri dipengaruhi oleh faktor faktor biokimia dan merupakan hal
yang unik pada setiap individu, tanpa memperhatikan jenis
kelamin.
c. Kebudayaan
Latar belakang etnik dan warisan budaya telah lama dikenal
sebagai faktor faktor yang mempengaruhi reaksi nyeri dan ekspresi
nyeri tersebut. Perilaku yang berhubungan dengan nyeri adalah
sebuah bagian dari proses sosialisasi. (Kozier, ERB, Berman, &
Snyder, 2010). Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa
yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi
bagaimana bereaksi terhadap nyeri. (Potter & Perry, 2005).
d. Makna nyeri
Beberapa klien dapat lebih mudah menerima nyeri dibandingkan
klien lain, bergantung pada keadaan dan interpretasi klien
mengenai makna nyeri tersebut. Seorang klien yang
menghubungkan rasa nyeri dengan hasil akhir yang positif dapat
menahan nyeri dengan sangat baik. Sebaliknya, klien yang nyeri
kroniknya tidak mereda dapat merasa lebih menderita. Mereka
dapat berespon dengan putus asa, ansietas, dan depresi karena
mereka tidak dapat mengubungkan makna positif atau tujuan nyeri
(Kozier, ERB, Berman, & Snyder, 2010).
e. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang
menurun (Potter & Perry, 2005).
f. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Stimulus nyeri
mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakini mengendalikan
emosi seseorang, khususnya ansietas.
g. Keletihan
Rasa keletihan atau kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin
intensif dan menurunkan kemampuan koping.
h. Pengalaman sebelumnya
Klien yang tidak pernah merasakan nyeri, maka persepsi pertama
nyeri dapat mengganggu koping pertama terhadap nyeri.
i. Gaya koping
Klien yang memiliki fokus kendali internal mempersepsikan diri
mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan
mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri.
j. Dukungan keluarga dan sosial
Individu dari kelompok sosiobudaya yang berbeda memiliki
harapan yang berbeda tentang orang, tempat mereka menumpahkan
keluhan mereka tentang nyeri, klien yang mengalami nyeri
seringkali bergantung pada anggota keluarga atau teman untuk
memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan. Apabila tidak
ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat
klien semakin tertekan.
3. Jenis – Jenis Nyeri
Menurut durasi, lokasi atau etiloginya nyeri dibagi menjadi 2 yaitu
nyeri akut da nyeri kronik.
Berikut ini perbedaan nyeri akut dan nyeri kronik (Mohamad, Sudarti,
& Fauziah, 2012).
Tabel 1.1 Jenis – jenis nyeri
Karakteristik
Tujuan/keuntungan
Awitan
Nyeri Akut Nyeri Kronik
Memperingatkan
adanya cedera atau
masalah.
Mendadak
Tidak ada
Terus/menerus atau
intermiten
Letaknya Superfisial, pada
permukaan kulit,
bersifat lokal
Dapat bersifat
superfisial ataupun
dalam, dapat berasal
dari organ organ dalam
mulai otot, dan bagian
lain.
Managemen tata
laksana
Obat analgesik sebaga
alternatif
Mengobati dan
memperbaiki penyebab
altenatif utama
Intensitas Ringan – berat Ringan – berat
Durasi Singkat ( beberapa
detik – 6 bulan )
Lama (> 6 bulan )
Respon otonom Konsisten
dengan respon
stress simpatis
Frekuensi
jantung
meningkat
Volume
sekuncup
meningkat
Tekanan darah
meningkat
Dilatasi pupil
Otot – otot
meregang
Sistem tubuh mulai
beradaptasi
Dapat berupa lokal
adaptasi sindrom
ataupun general
adaptasi sindrom
Motilitas usus
turun
Saliva
berkurang
Komponen psikologis Ansietas Depresi
Mudah marah
Menarik diri
Gangguan tidur
Libido
menurun
Nafsu makan
menurun
Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker
Nyeri dapat dikategorikan menurut asalnya meliputi nyeri kutaneus,
nyeri somatik profunda, nyeri viseral (Kozier, ERB, Berman, &
Snyder, 2010).
a. Nyeri kutaneus
Berasal dari kulit atau jaringan subkutan.
Contoh : teriris kertas yang menyebabkan nyeri tajam dengan
sedikit terbakar
b. Nyeri somatik profunda
Berasal dari ligamen, tendon, tulang, pembuluh darah dan saraf.
Nyeri somatik profunda menyebar dan cenderung berlangsung
lebih lama dibandingkan nyeri kutaneus.
Contoh : keseleo pergelangan kaki.
c. Nyeri viseral
Berasal dari stimulasi reseptor nyeri rongga abdomen, kranium,
dan thoraks. Nyeri viseral cenderung menyebar dan sering kali
terasa seperti nyeri somatik profunda, yaitu rasa terbakar, nyeri
tumpul atau merasa tertekan. Nyeri viseral seringkali disebabkan
oleh peregangan jaringan, iskemia, aau spasme otot.
Contoh : obstruksi usus akan menyebabkan nyeri viseral.
4. Tanda dan gejala nyeri
Tanda dan gejala nyeri ada bermacam – macam perilaku yang
tercermin dari pasien. Secara umum orang yang mengalami nyeri akan
didapatkan respon psikologis berupa :
a. Suara : Menangis, merintih, menarik/menghembuskan nafas
b. Ekspresi wajah : Meringiu mulut
c. Menggigit lidah, mengatupkan gigi, dahi berkerut, tertutup
rapat/membuka mata atau mulut, menggigit bibir
d. Pergerakan tubuh : Kegelisahan, mondar – mandir, gerakan
menggosok atau berirama, bergerak melindungi bagian tubuh,
immobilisasi, otot tegang.
e. Interaksi sosial : Menghindari percakapan dan kontak sosial,
berfokus aktivitas untuk mengurangi nyeri, disorientasi waktu
(Mohamad, Sudarti, & Fauziah, 2012).
5. Fisiologi nyeri
Pemahaman tentang sumber nyeri, proses terjadinya nyeri dan
bagaimana status psikologis pasien sangatlah penting untuk diketahui,
karena pemahaman ini akan berdampak pada pengkajian dan intervensi
nyeri, juga akan memberikan keuntungan dan membatasi kerugian dan
keterbatasan dari setiap intervensi nyeri yang dilakukan.
Salah satu teori Gate Control Theory oleh Wall tahun 1978
menjelaskan bagaimana aktivitas aktivitas tertentu menurunkan
persepsi nyeri. Contoh : sesorang yang mengalami luka bakar dari
korek api, maka reaksi pertama adalah memasukkan jarinya kedalam
mulut atau ke dalam air dingin, tindakan lain yang dilakukan biasanya
menekan daerah yang lebih proksimal. Aksi ini bertujuan menstimulasi
serabut non nyeri (non-nosiseptif) dalam tempat reseptor yang sama
dengan serabut nyeri (nosiseptor) diaktifkan. Stimulasi dari sejumlah
besar serabut non-nosiseptor bersinap pada serabut inhibitor dalam
karnus dorsalis akan menghambat transmisi sensasi nyeri dalam jaras
asenden (Mohamad, Sudarti, & Fauziah, 2012)
Proses fisiologis yang berhubungan dengan persepsi nyeri
digambarkan sebagai nosisepsi. Empat proses yang terlibat dalam
nosisepsi : transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi.
a. Transduksi
Transduksi adalah proses dari stimulus nyeri yang diubah ke
bentuk yang dapat diakses oleh otak (Turk & Flor, 1999 dalam
Harahap, 2007). Selama fase transduksi, stimulus berbahaya
(cedera jari tangan) memicu pelepasan mediator biokimia (misal.,
prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin, zat P) (Kozier, ERB,
Berman, & Snyder, 2010). Proses transduksi dimulai ketika
nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nociceptor) merupakan
sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti
kerusakan jaringan (Ardinata, 2007).
b. Transmisi
Impuls nyeri berjalan dari serabut saraf tepi ke medulla spinalis.
Zat P bertindak sebagai neurotrasmiter, yang meningkatkan
pergerakan impuls menyebrangi setiap sinaps saraf dari neuron
aferen primer ke neuron ordo kedua di kornu dorsalis medulla
spinalis. Transmisi dari medulla spinalis dan asendens, melalui
traktus spinotalamikus, ke batang otak dan talamus. Lalu
melibatkan trasnmisi sinyal antara talamus ke korteks sensorik
somatik terpat terjadinya persepsi nyeri (Kozier, ERB, Berman, &
Snyder, 2010).
c. Persepsi
Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri.
Stimulus nyeri ditransmisikan naik ke medulla spinalis ke talamus
dan otak tengah. Dari talamus, serabut menstransmisikan pesan
nyeri ke berbagai area otak, termasuk korteks sensori dan korteks
asosiasi (dikedua lobus parietalis), lobus frontalis, dan sistem
limbik. Ada sel sel di dalam limbik yang diyakini mengontrol
emosi, khususnya ansietas (Potter & Perry, 2005). Selanjutnya
diterjemahkan dan ditindak lanjut berupa tanggapan terhadap nyeri
tersebut.
d. Modulasi
Proses ini terjadi saat neuron dibatang otak mengirimkan sinyal
menurun i kornu dorsalis medulla spinalis. Serabut desendens ini
melepaskan zat seperti opioid endogen, serotonin, dan norepinefrin
yang dapat menghambat naiknya impuls berbahaya (menyakitkan)
dikornus dorsalis. Tindakan ini meningkatkan fase modulasi yang
membantu menghambat naiknya stimulus yang menyakitkan
(Kozier, ERB, Berman, & Snyder, 2010).
Gambar 1.2 Proses Fisiologis Nyeri
6. Pengkajian nyeri
Tidak ada cara yang tepat untuk menjelaskan seberapa berat nyeri
seseorang. Individu yang mengalami nyeri adalah sumber informasi
terbaik untuk menggambarkan nyeri yang dialaminya. (Mohamad,
Sudarti, & Fauziah, 2012). Beberapa hal yang haeus dikaji untuk
menggambarkan nyeri seseorang antara lain :
a. Riwayat nyeri
Pengingat OLDCART
O : Onset (awitan)
L : Lokasi
D : Durasi
C : Karakteristik
A : Aggravating Factors (faktor yang memperburuk)
R : Radiasi
T : Terapi (apa yang sebelumnya tidak efektif dan apa yang telah
meredakan nyeri
Pengingat PQRST
1) P : Provokasi (apa yang menyebabkan nyeri)
Tenaga kesehatan harus mengkaji tentang penyebab
terjadinya nyeri pada penderita, bagian tubuh mana yang
mengalami cidera termasuk menghubungkan antara nyeri yang
diderita dengan faktor psikologisnya karena bisa terjadi
terjadinya nyeri hebat karena dari faktor psikologis bukan dari
lukanya.
2) Q : Quality
Kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subyektif yang
diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendiskripsikan nyeri
dengan kalimat nyeri seperti situsuk, dibakar, sakit nyeri atau
superfisial atau bahkan seperti di gencet.
3) R : Region
Untuk mengkaji lokasi, tenaga kesehatan meminta
penderita untuk menunjukkan semua bagian/ daerah yang
dirasakan tidak nyaman. Untuk melokalisasi lebih spesifik
maka sebaiknya tenaga kesehatan meminta untuk
menunjukkan daerah yang nyerinya minimal sampai daerah
yang nyerinya sangat berat. Namun hal ini akan akan sulit jika
nyeri yang dirasakan menyebar atau difuse.
4) S : Severe
Tingkat keparahan merupakan hal paling subyektif yang
dirasakan penderita, karena akan diminta bagaimana kualitas
nyeri, kualitas nyeri harus bisa digambarkan menggunakan
skala yang sifatnya kuantitas.
1.3 Numeric Pain Intensity Scale
(Kozier, ERB, Berman, & Snyder, 2010)
5) T : Time
Yang harus dikaji adalah awitan, durasi, dan rangkaian
nyeri. Perlu ditanyakan kapan mulai muncul adanya nyeri,
berapa lama merasakannya, seberapa sering untuk kambuh.
7. Pengukuran skala nyeri
a. Pasien dapat berkomunikasi
1) Numeric Rating Scale (NRS)
Skala penilaian numerik lebih digunakan sebagai pengganti
alat pendeskripsi kita. Dalam hal ini, klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0 – 10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi terapeutik (Potter & Perry, 2005).
1.4 Numeric Rating Scale (NRS)
2) Deskriptif / Verbal Rating Scale / Verbal Descriptor
Scale(VRS)/ (VDS)
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran
keparahan nyeri yang lebih obyektif. VRS merupakan sebuah
garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang
tersusun dengan jarak yang sama sepanjang garis. Pendeskripsi
ini dirangking dari “tidak nyeri” sampai nyeri tidak
tertahankan.
1.5 Verbal Rating Scale (VRS)
Keterangan:
0 : tidak nyeri
1-3 : nyeri ringan (secara obyektif klien dapat
berkomunikasi dengan baik
4-6 : nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik).
7-9 : nyeri berat (secara obyektif klien terkadang tidak
dapat mengikuti perintah tetapi masih respon terhadap
tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi,
nafas panjang dan distraksi.
10 : nyeri sangat berat (klien tidak mampu
berkomunikasi, memukul.
3) Visual Analog Scale (VAS)
Skala berupa garis lurus yang panjangnya biasanya 10 cm
(atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada masing
masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka
10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - < 4 : nyeri ringan, 4 - < 7 :
nyeri sedang, 7 – 10 : nyeri berat.
1.6 Visual Analog Scale (VAS)
b. Pasien tidak dapat berkomunikasi
1) Wong - Baker Facial Gramace Scale (FGS) / Skala nyeri “
muka “
Skala wajah biasanya digunakan untuk anak-anak
yang berusia kurang dari 7 tahun. Pasien diminta untuk
memilih gambar wajah yang sesuai dengan nyerinya. Pilihan
ini kemudian diberi skor angka. Skala wajah Wong-Baker
menggunakan 6 kartun wajah yang menggambarkan wajah
tersenyum, wajah sedih, sampai menangis. Dan pada tiap
wajah ditandai dengan skor 0 sampai dengan 5.
1.7 Faces Rating Scale (FRS)
2) Skala nyeri dari FLACC
FLACC SCALE (Face, Legs, Activity, Cry, Consolability)
Skala FLACC merupakan alat pengkajian nyeri yang dapat
digunakan pada pasien secara non verbal yang tidak dapat
melaporkan nyerinya.
1.2 Tabel skala nyeri FLACC
Kategori Skor
0 1 2
Muka Tidak ada
ekspresi/
senyuman
tertentu,
mencari
perhatian.
Wajah
menyeringai,
dahi berkerut,
menyendiri
Sering dahi
tidak konstan,
rahang
menegang, dagu
gemetar.
Kaki Tidak ada posisi
atau relaks.
Gelisah, resah
dan menegang
Menendang atau
kaki disiapkan
Aktivitas Berbaring,
posisi normal,
mudah bergerak
Menggeliat,
menaikkan
punggung dan
maju, menegang
Menekuk, kaku
atau
menghentak
Menangis Tidak menangis
(saat bangun
maupun saat
tidur)
Merintih atau
merengek,
kadang kadang
mengeluh
Menangis keras,
berpekik atau
sedu sedan,
sering
mengeluh.
Hiburan Isi, relaks Kadang kadang
hati tentram
dengan
sentuhan,
memeluk,
berbicara untuk
mengalihkan
perhatian.
Kesulitan untuk
menghibur atau
kenyamanan.
Total skor 0 – 10
(Mohamad, Sudarti, & Fauziah, 2012)
3) Critical – Care Pain Observasion Tool (CPOT)
Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) adalah
sebuah skala sikap yang disarankan oleh para ahli untuk menilai
nyeri pada pasien-pasien kritis yang tidak dapat berkomunikasi
secara verbal. Skala ini dikembangkan di Prancis, memiliki 4
bagian dengan setiap bagian memiliki kategori sikap yang berbeda,
yaitu, ekspresi wajah, pergerakan badan, tegangan otot dan
keteraturan dengan ventilator untuk pasien terintubasi atau
vokalisasi untuk pasien yang tidak terintubasi. Setiap bagian
memiliki skor 0 sampai 2, dengan jangkauan kemungkinan nilai 0 –
8.
1.2 Tabel skala nyeri CPOT
Indikator Kondisi dan Skor Deskripsi
Ekspresi wajah
Gerakan tubuh
Aktivasi alarm
ventilator mekanik
Santai, netral 0
Tegang 1
Meringis 2
Tidak ada gerakan
abnormal 0
Perlindungan /
lokalisasi nyeri 1
Gelisah 2
Pasien kooperatif
terhadap kerja
ventilator mekanik
0
Tidak ada ketegangan otot yang
terlihat
Merengut, alis menurun, orbit
menegang dan mengerutkan
kening
Menggigit selang ETT
Tidak bergerak (tidak
kesakitan)/ posisi normal(tidak
ada gerakan lokalisasi nyeri)
Gerakan hati hati, menyentuh
lokasi nyeri, mencari perhatian
melalui gerakan
Mencabut ETT, mencoba untuk
duudk, tidak mengikuti
perintah, mengamuk, mencoba
keluar dari tempat tidur
Alarm tidak berbunyi
Batuk, alarm berbunyi tetapi
Berbicara jika
pasien diekstubasi
Ketegangan otot
Alarm aktif tapi
mati sendiri 1
Alarm selalu aktif 2
Berbicara dalam
nada normal atau
tidak ada suara 0
Mendesah,
mengerang 1
Menangis 2
Tidak ada
ketegangan otot 0
Tegang, kaku 1
Sangat kaku/
tegang 2
berhenti secara spontan
Alarm selalu berbunyi
Bebicara dengan nada pelan
Mendesah, mengerang
Menangis, berteriak
Tidak ada ketegangan
Gerakan otot pasif
Gerakan sangat kuat
Jumlah
8. Penalatalaksanaan nyeri
Penatalaksaan nyeri dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi
a. Penatalaksanaan nyeri farmakologi
Penatalaksanaan nyeri farmakologi mencakup penggunaan opioid
(narkotik), obat obatan anti inflamasi nonopioid/nonsteroid
(NSAIDS), dan analgesik penyerta atau koanalgesik (Kozier, ERB,
Berman, & Snyder, 2010).
Penggunaan metode farmakologi untuk mengendalikan nyeri
membutuhkan perhatian terhadap enam benar yaitu benar obat,
benar dosis, benar jalur, benar waktu, benar pasien, dan benar
pendokumentasian. Selain itu observasi terhadap efek samping
obat merupakan tindakan keperawatan yang sangat penting.
Nonopioid mencakup asetaminofen dan obat antiinflamasi
nonsteroid sesuai untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang.
Opioid diperlukan untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat
(Hockenberry & Wilson,2009).
b. Penatalaksaan nyeri non farmakologi
Penalataksaan nyeri terdiri atas berbagai strategi
penalataksaan nyeri fisik dan kognitif perilaku. Intervensi fisik
meliputi stimulasi kutaneus, imobilisasi, stimulus saraf elektrik
transkutan (TENS), dan akupuntur. Intervensi pikiran tubuh
(kognitif-perilaku) meliputi aktivitas distraksi, teknik relaksasi,
imaginasi, meditasi, umpan balik biologis, hipnosis, dan sentuhan
terapeutik (Kozier, ERB, Berman, & Snyder, 2010).
Managemen nyeri non farmakologi yang lain yaitu nafas
ritmik, biofeedback, membina hubungan terapeutik, hipnosis,
accupresure, aromatherapi Sulistyo dalam Swandari (2014).
Berikut uraian penatalaksanaan nyeri non farmakologis
diantaranya :
1) Kesehatan holistik
Kesehatan holistik menjadi intervensi yang paling penting
untuk mempertahankan kesejaheraan individu. Kesehatan
holistik merupakan suatu kelangsungan kondisi kesejahteraan
yang melibatkan upaya merawat diri sendiri secara fisik, upaya
mengekspresikan emosi dengan benar dan efektif, dan upaya
untuk menggunakan pikiran dengan konstruktif, upaya untuk
secara kreatif terlibat dengan orang lain, dan upaya untuk
memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
2) Sentuhan terapeutik
Terdapat empat langkah dasar dalam melakukan teknik dengan
sentuhan terapeutik meliputi penggunaan tangan untuk secara
sadar melakukan pertukaran energi : empat teknik ini yaitu
pemusatan, pengkajian, terapi, dan evaluasi. Setiap tahap
umumnya melaju ke langkah berikutnya dan proses secara
keseluruhan berlangsung sekitar 25 menit. Karena penelitian
menunjukkan sifat analgesik pada sentuhan terapeutik yaitu
menciptakan respon relaksasi yang umum.
3) Akupresur
Akupresur dikembangkan dari sistem penyembuhan akupuntur
Cina kuno. Terapis menekankan jari pada titik – titik yang
berhubungan dengan banyak titik yang digunakan dalam
akupuntur.
4) Imajinasi terbimbing
Klien menciptakan kesan dalam pikiran, berkonsentrasi pada
kesan tersebut, sehingga secara bertahap klien kurang
merasakan nyeri. Perawat melatih klien dalam membangun
kesan berkonsentrasi pada pengalaman sensori.
5) Bimbingan antisipasi
Bimbingan antisipasi memberikan penjelasan yang jujur
tentang pengalaman nyeri. Pengetahuan tentang nyeri
membantu klien mengontrol rasa cemas dan secara kognitif
memperoleh penanganan nyeri dalam tingkatan tertentu.
Contoh bimbingan antisipasi ialah penyuluhan praoperasi.
6) Stimulasi kutaneus
adalah stimulasi yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri.
Massase, mandi air hangat, kompres untuk menggunakan
kantong es, dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS)
merupakan upaya – upaya untuk memenurunkan persepsi nyeri.
Salah satu pemikiran dalam stimulasi kutaneus bahwa cara ini
menyebbakan pelepasan endorfin, sehingga memblok transmisi
stimulus nyeri. Teori gate-control mengatakan bahwa stimulasi
kutaneus mengaktifkan transmisi serabut saraf sensori A-beta
yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini menurunkan
transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A berdiameter
kecil. Gerbang sinap menutup transmisi impuls nyeri (Potter &
Perry, 2005).
7) Imobilisasi
Mengimobilisasi atau membatasi pergerakan bagian tubuh yang
menyakitkan (misal., artritis sendi, trauma ekstremitas) dapat
membantu mengatasi episode nyeri akut. Penyangga harus
menahan sendi pada posisi fungsi yang optimum dan harus
digerakkan secara teratur sesuai dnegan protokol guna
memberikan latihan pergerakan sendi (Kozier, ERB, Berman,
& Snyder, 2010).
8) Biofeedback
Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu
informasi tentang respons fisiologis (mis., tekanan darah atau
ketegangan) dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap
respon tersebut. Terapi ini digunakan untuk menghasilkan
relaksasi dalam dan sangat efektif untuk mengatasi ketegangan
otot dan nyeri kepala migren. Ketika nyeri kepala ditangani,
elektroda dipasang secara eksternal di atas setiap pelipis.
Elektroda mengukur ketegangan kulit dalam mikrovolt. Mesin
poligraf terlihat mencatat tingkat ketegangan klien sehingga
klien dapat melihat hasilnya.
1.8 Gambar Biofeedback
9) Hipnosis diri
Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui
pengaruh sugesti pengaruh sugesti positif. Suatu pendekatan
holistik, hipnosis diri menggunakan sugesti diri dan kesan
tentang perasaan yang rileks dan damai.
10) Transeutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)
Transeutaneus electrical nerve stimulation (TENS) dilakukan
dengan stimulasi pada kulit dengan menggunakan arus listrik
ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar. Apabila pasien
merasa nyeri maka, transmiter dinyalakan dan menimbulkan
sensasi kesemutan atau sensasi dengung. Sensasi kesemutan
dapat biarkan sampai nyeri hilang (Potter & Perry, 2005).
11) Distraksi
Distraksi dapat dibagi menjadi empat yaitu distraksi visual
(membaca atau menonton televsi, menonton pertandingan,
imajinasi terbimbing), distraksi auditor (humor, mendengarkan
musik), distraksi taktil (pernafasan lambat, beirama,
massase/pijat, memegang hal yang disukai), distraksi
intelektual (teka teki silang, permainan kartu, hobi) (Kozier,
ERB, Berman, & Snyder, 2010).
12) Relaksasi
Relaksasi dan teknik imajinasi dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Teknik
relaksasi yang sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan
frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan mata
dan bernafas dengan perlahan dan nyaman.
13) Aromaterapi
Merupakan salah satu terapi komplementer yang melibatkan
pengunaan wewangian berasal dari minyak esensial Broker
dalam Swandari (2014). Terdapat macam macam aromaterapi
seperti cendana, kemangi, kayu manis, kenanga, melati
cengkih, lavender, mawar dan lain lain. Efek aromanya dapat
menenangkan, menghilangkan rasa cemas dan relaksasi.
C. Aromaterapi Lavender
Nama lavender berasal dari bahasa latin “Lavera” yang berarti
menyegarkan. Bunga lavender memilki 25 – 30 spesies, beberapa
diantaranya adalah lavandula angustifolia, lavandula stoechas (farm.
Lamiaceae). Penampakan bunga ini adalah berbentuk kecil, berwarna
ungu kebiruan, dan tinggi tanaman mencapai 72 cm. Lavender berasal dari
wilayah selatan laut tengah Afrika tropis dan ke timur sampai India Ongan
dalam Swandari (2014).
Komponen kimia utama dalam lavender yaitu linalil asetat, linalool
(Andria, 2002). Secara teoritis aromaterapi lavender bekerja dnegan
mempengaruhi tidak hanya fisik tetapi juga tingkat emosi. Linalool adalah
kandungan aktif utama yang berperan pada efek anti cemas (relaksasi)
pada lavender. Selain itu lynalil asetat juga dapat menurunkan,
mengendorkan dan melemaskan secara spontan ketegangan yang
mengalami spasme otot pada intestinalnya (Nurachman, 2004).
Aromatererapi ini dapat dilakukan dengan berbagai macam metode
seperti pijat (massase), semprotan, inhalasi, mandi, kumur kompres juga
pengharum ruangan. Lavender mempunyai efek penyeimbang untuk
minyak kulit alami, jaringan bawah kulit dan efek antiseptiknya yang kuat
yang berhasil merawat banyak kondisi kulit. Lavender juga membantu
mengurangi pusing dan sakit kepala, rematik (Balkam, 2001).
Pada saat kita menghirup suatu aroma, komponen kimianya akan
masuk ke bulbus olfactory, kemudian ke limbic sistem pada otak. Limbic
adalah struktur bagian dalam dari otak yang berbentuk seperti cincin yang
terletak dibawah korteks serebral. Tersusun ke dalam 52 daerah dan 35
saluran atau tractus yang berhubungan dengannya, termasuk amygdala dan
hipocampus. Sistem limbic sebagai pusat nyeri, senang, marah, takut,
depresi, dan berbagai emosi lainnya. Sistem limbic menerima semua
informasi dari sistem pendengaran, sistem penglihatan, dan sistem
penciuman. Sistem ini juga dapat mengontrol dan mengatur suhu tubuh,
rasa lapar, dan haus. Amygdala sebagai bagian dari sistem limbic
bertanggung jawab atas respon emosi kita terhadap aroma. Hipocampus
bertanggung jawab atas memori dan pengenalan terhadap bau juga tempat
dimana bahan kimia pada aromaterapi merangsang gudang-gudang
penyimpanan memori otak kita terhadap pengenalan bau-bauan Buckle
dalam Dewi (2011).
Mekanisme massage pada tubuh dapat menstimulasi produksi
endhorpin di otak,sehingga dapat memblokir transmisi stimulus nyeri.
Sedangkan apabila minyak aromatherapi masuk ke rongga hidung melalui
penghirupan langsung akan bekerja lebih cepat karena molekul-molekul
minyak esensial mudah menguap oleh hipotalamus karena aroma tersebut
diolah dan dikonversikan oleh tubuh menjadi suatu aksi dengan pelepasan
subtansi neurokimia berupa zat endorphin dan serotinin sehingga
berpengaruh langsung pada organ penciuman dan dopersepsikan oleh otak
untuk memberikan reaksi yang membuat perubahan fisiologis pada tubuh.,
pikiran, jiwa, dan menghasilkan efek menenangkan pada tubuh
(Nurachman, 2004).
Zat endorphin merupakan zat kimia yang diproduksi tubuh hasil
dari stimulasi eksternal dan menghasilkan perasaan tenang, senang, rileks,
terangsang, serta melemaskan otot-otot yang tegang seperti rasa sakit,
gembira, dan pengerahan tenaga secara fisik. Sementara itu zat serotinin
adalah neurotransmiter yang mempengaruhi suasana hati, pola tidur, dan
selera makan Primadiarti dalam Swandari (2014).
1. Pelaksanaan Terapi
a. Topik : Pemberian Aromaterapi Lavender
b. Sasaran : Ibu post operasi Sectio Caesarea (SC) berusia 18 –
45 tahun, tidak memiliki riwayat dioperasi sebelumnya, dilakukan
penelitin hari ke-2 post operasi.
c. Tujuan : Mengetahui pengaruh aromaterapi lavender
terhadap intensitas nyeri pasien post operasi Sectio Caesarea (SC)
d. Metode : Menggunakan pembakar minyak dan tungku
selama 10 menit, responden diminta bernafas normal, tidak
melakukan aktivitas lain selama menghirup aromaterapi, dalam
kondisi ruangan yang tenang. Selanjutnya satu jam kemudian skala
nyeri diukur kembali
e. Media : pembakar minyak dan tungku, lilin, minyak
aromaterapi lavender, Verbal Descriptor Scale (VDS)
f. Waktu : 31 Maret 2015 pukul 15.00 WIB
1 April 2015 pukul 15.55 WIB
2 April 2015 pukul 08.50 WIB
g. Tempat : RS Roemani Semarang di ruang Ayub I kelas II
perempuan ruang maternitas.
h. Cara pemberian aromaterapi :
1) Fase orientasi
a) Memberikan salam kepada pasien dan mengklarifikasi
nama pasien
b) Memperkenalkan diri
c) Menjelaskan langkah prosedur tindakan
d) Menanyakan persetujuan dan kesiapan klien
e) Mencuci tangan
2) Fase kerja
a) Mengkaji skala nyeri klien sebelum dilakukan pemberian
aromaterapi lavender dengan menggunakan skala Verbal
Descriptor Scale (VDS)
b) Mendekatkan alat dan bahan pada pasien
c) Tuangkan 3 tetes minyak aromaterapi lavender kedalam
mangkok tungku kecil.
d) Panaskan minyak lavender selama 10 menit dengan lilin,
setelah 10 menit matikan api
e) Klien diminta bernafas normal, tidak melakukan aktivitas
lain selain menghirup aromaterapi, dan kondisi lingkungan
yang tenang.
f) Setelah 1 jam, kaji kembali tingkat nyeri pasien dengan
menggunakan skala Verbal Descriptor Scale (VDS)
g) Membereskan alat dan bahan
3) Fase Terminasi
a) Melakukan evaluasi tindakan
b) Berpamitan dengan klien
c) Mencuci tangan
d) Mendokumentasikan tindakan.
D. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien dan penanggung jawab
Meliputi nama, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agam,
alamat, status perkawinan, ruang rawat, nomor medical record,
diagnosa medik, yang mengirim, cara masuk, alasan masuk,
keadaan umum tanda vital.
b. Keluhan utama
Karakteristik nyeri pada pasien, durasi,intensitas, skala nyeri.
Tingkat pengetahuan pasien tentang managemen nyeri post
operasi, bagaimana ekspresi wajah pasien, kondisi tanda tanda vital
pasien,
c. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien
multipara
Apakah nyeri sebelumnya sama dengan nyeri persalinan
selanjutnya, tindakan apa yang sudah dilakukan untuk
menanggulangi nyeri.
d. Data Riwayat penyakit
1) Riwayat kesehatan sekarang.
Meliputi keluhan atau yang berhubungan dengan gangguan
atau penyakit dirasakan saat ini dan keluhan yang dirasakan
setelah pasien operasi, managemen nyeri sebelum dibawa ke
rumah sakit.
2) Riwayat Kesehatan Dahulu
Apakah ada penyakit penyerta yang meningkatkan sensasi
nyeri pada pasien. Penyakit yang lain yang dapat
mempengaruhi penyakit sekarang, Maksudnya apakah pasien
pernah mengalami penyakit yang sama (Plasenta previa).
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah riwayat keluaraga dengan pyekit penyerta yang sama
dan sensasi nyeri yang sama. Penyakit yang diderita pasien dan
apakah keluarga pasien ada juga mempunyai riwayat persalinan
plasenta previa.
4) Keadaan klien meliputi :
a) Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi.
Kemungkinan kehilangan darah selama prosedur
pembedahan kira-kira 600-800 ml.
b) Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai
tanda kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan
sebagai wanita. Menunjukkan labilitas emosional dari
kegembiraan, ketakutan, menarik diri, atau kecemasan.
c) Makanan dan cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet ditentukan).
d) Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesi
spinal epidural.
e) Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karena
trauma bedah, distensi kandung kemih , efek - efek
anesthesia, nyeri tekan uterus mungkin ada.
f) Pernapasan
Bunyi paru - paru vesikuler dan terdengar jelas.
g) Keamanan
Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan
utuh.
h) Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran
lokhea sedang.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri
(histamin, prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam
pembedahan (section caesarea).
b. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan
dengan penurunan masukan / penggantian tidak adekuat ,
kehilangan cairan berlebih ( muntah , hemoragi , peningkatan
keluaran urine ).
c. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake inadekuat, anoreksia
d. Gangguan eliminasi BAB: Konstipasi berhubungan dengan
penurunan tonus otot sekunder terhadap anestesi, kurang masukan,
nyeri perineal / rektal
e. Intoleransi aktivitas b/d tindakan anestesi, kelemahan, penurunan
sirkulasi
f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka
kering bekas operasi.
g. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
prosedur pembedahan, penyembuhan dan perawatan post operasi.
h. Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik akibat tindakan anestesi
dan pembedahan
i. Potensial terhadap peningkatan pengetahuan ibu tentang perawatan
bayi baru lahir.
3. Rencana Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri
(histamin, prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam
pembedahan (section caesarea)
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan nyeri klien berkurang / terkontrol dengan kriteria hasil :
1) Mengungkapkan nyeri dan tegang di perutnya berkurang
2) Skala nyeri 0-1 ( dari 0 – 10 )
3) TTV dalam batas normal ; Suhu : 36-37 0
C, TD : 120/80
mmHg, RR :18-20x/menit, Nadi : 80-100 x/menit
4) Wajah tidak tampak meringis
5) Klien tampak rileks, dapat berisitirahat, dan beraktivitas sesuai
kemampuan
Intervensi:
a) Pastikan klien mengalami nyeri pada saat awal pengkajian. Jika
ada nyeri lakukan dan dokumentasikan pengkajian nyeri secara
komprehensif dan implementasikan intervensi penatalaksanaan
nyeri untuk mencapai kenyamanan. Komponen awal
pengkajian: lokasi, lokasi, lokasi, durasi/onset, riwayat
sementara, faktor pengganggu dan penurun nyeri dan efek pada
fungsi dan kualitas hidup.
Rasional :
Pengkajian awal penting untuk mengetahui penyebab mendasar
dari nyeri dan efektivitas perawatan.
b) Kaji tingkat nyeri klien menggunakan alat pengkaji nyeri
individu yang terpercaya seperti skala analog visual (VAS) dan
Verbal Descriptor Scale (VDS) atau penilaian skala nyeri
menggunakan angka 0 – 10.
Rasional :
Langkah pertama pengkajian nyeri adalah memastikan jika
klien dapat menyediakan laporan individual. Alat pengukur
skala nyeri termasuk alat yang berlaku dan terpercaya untuk
mengukur tingkat intensitas nyeri.
c) Tentukan lokasi dan karakteristik ketidaknyamanan perhatikan
isyarat verbal dan non verbal seperti meringis.
Rasional:
Pasien mungkin tidak secara verbal melaporkan nyeri dan
ketidaknyamanan secara langsung. Membedakan karakteristik
khusus dari nyeri membantu membedakan nyeri paska operasi
dari terjadinya komplikasi.
d) Berikan informasi dan petunjuk antisipasi mengenai penyebab
ketidaknyamanan dan intervensi yang tepat.
Rasional:
Meningkatkan pemecahan masalah, membantu mengurangi
nyeri berkenaan dengan ansietas.
e) Evaluasi tekanan darah dan nadi ; perhatikan perubahan
perilaku.
Rasional:
Pada banyak pasien, nyeri dapat menyebabkan gelisah, serta
tekanan darah dan nadi meningkat. Analgesik dapat
menurunkan tekanan darah.
f) Perhatikan nyeri tekan uterus dan adanya atau karakteristik
nyeri.
Rasional:
Selama 12 jam pertama paska partum, kontraksi uterus kuat
dan teratur dan ini berlanjut 2 – 3 hari berikutnya, meskipun
frekuensi dan intensitasnya dikurangi faktor-faktor yang
memperberat nyeri penyerta meliputi multipara, overdistersi
uterus.
g) Ubah posisi pasien, kurangi rangsangan berbahaya dan berikan
terapi atau meode non farmakologi mengontrol nyeri seperti
massage dan gunakan teknik pernafasan dan relaksasi dan
distraksi, imagery, lingkungan yang nyaman.
Rasional:
Merilekskan otot dan mengalihkan perhatian dari sensasi nyeri.
Meningkatkan kenyamanan dan menurunkan distraksi tidak
menyenangkan, meningkatkan rasa sejahtera. Strategi perilaku
kognitif dapat mengembalikan pengontrolan diri sendiri pada
klien, efisiensi perorangan dan partisipasi aktif dalam
perawatan dirinya sendiri.
h) Implementasikan dan ajarkan intervensi non farmakologi
menggunakan aromaterapi lavender.
Rasional:
Intervensi non farmakologi sebaiknya digunakan sebagai
tambahan bukan pengganti intervensi farmakologi.
i) Berikan analgesik yang diresepkan untuk meningkatkan
peredaan yang optimal.
Rasional:
Analgesik lebih efektif bila diberikan pada awal siklus nyeri.
j) Berikan kembali skala pengkajian nyeri
Rasional:
Memungkinkan pengkajian terhadap keefektifan analgetik
menidentifikasi kebutuhan terhadap tindak lanjut bila tidak
efektif.
k) Catat keparahan nyeri yang dirasa pasien
Rasional:
Membantu dalam menunjukkan kebutuhan analgetik tambahan
pendekatan alternatif terhadap penatalaksaan nyeri.
b. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan
dengan penurunan masukan / penggantian tidak adekuat ,
kehilangan cairan berlebih ( muntah , hemoragi , peningkatan
keluaran urine )
Tujuan : Tidak terjadi devisit volume cairan, meminimalkan devisit
volume cairan
KH : Membran mukosa lembab, kulit tak kering Hb 12gr %
Intervensi :
1) Ukur dan catat pemasukan pengeluaran
Rasional: Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam
mengidentifikasikan pengeluaran cairan atau kebutuhan
pengganti dan menunjang intervensi.
2) Berikan bantuan pengukuran berkemih sesuai lab, misal
privesi, posisi duduk , mengalir dalam bak
Rasional : Meningkatkan relaksasi otot perineal dan
memudahkan upaya pengosongan
3) Catat munculnya mual /muntah
Rasional : Masa post operasi semakin lama durasi anestesi
semakin besar beresiko untuk mual.
4) Periksa pembalut , banyaknya pendaraan
Rasional : Perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada
hemoragi
5) Beri cairan infus sesuai program
Rasional : Mengganti cairan yang telah hilang
c. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan intake inadekuat, anoreksia
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil: BB normal, porsi makan habis
Intervensi :
1) Pantau masukan makanan setiap hari
Rasional: Penurunan berat badan secara terus-menerus dalam
keadaan masukan kalori yang cukup merupakan indikasi
kegagalan terhadap terapi antiiroid
2) Timbang berat badan setiap hari dan bandingkan dengan berat
badan saat penerimaan
Rasional: membuat data dasar, membantyu dan memantau
keefektifan aturan terapeutik dan menyadarkan perawat
terhadap ketidaktepatan kecenderungan dalam
penurunan/penambah berat badan.
3) Dorong / motivasi pasien menghabiskan diet
Rasional: kalori dan protein di butuhkan untuk
mempertahankan berat badan, kebutuhan memenuhi metabolic
dan meningkatkan penyembuhan.
4) Dorong pasien untuk duduk saat makan
Rasional: duduk dapat membantu mencegah aspirasi dan
membantu pencernaan yang baik
5) Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diet TKTP
Rasional: kalori, protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan metabolic. mempertahankan
berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.
d. Gangguan eliminasi BAB: Konstipasi berhubungan dengan
penurunan tonus otot sekunder terhadap anestesi, kurang masukan,
nyeri perineal / rektal (Doenges, 2001)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi
gangguan eliminasi BAB: Konstipasi.
Kriteria Hasil : Klien mendapatkan kembali pola fungsi usus yang
normal.
Intervensi :
1) Auskultasi terhadap adanya bising pada keempat kuadran
Rasional : Menentukan kesiapan terhadap pemberian makan
per oral.
2) Palpasi abdomen, perhatikan distensi atau ketidaknyamanan
Rasional : Menandakan pembentukan gas dan akumulasi atau
kemungkinan ileus paralitik.
3) Anjurkan cairan oral adekuat (6-8 gelas / hari), peningkatan
diet makanan serat.
Rasional : Cairan dan makanan serat (buah-buahan dan
sayuran) dapat merangsang eliminasi dan mencegah konstipasi.
4) Anjurkan latihan kaki dan pengencangan abdominal,
tingkatkan ambulasi dini.
Rasional : Latihan kaki mengencangkan otot-otot abdomen dan
memperbaiki motilitas abdomen.
5) Kolaborasi pemberian pelunak feses
Rasional : Melunakkan feses, merangsang peristaltik, dan
membantu mengembalikan fungsi usus.
e. Intoleransi Aktivitas b.d kelemahan, penurunan sirkulasi
Tujuan : Kllien dapat melakukan aktivitas tanpa adanya komplikasi
Kriteria Hasil : klien mampu melakukan aktivitasnya secara
mandiri
Intervensi :
1) Kaji respon pasien terhadap aktivitas
Rasional : Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada klien
dalam keluhan kelemahan, keletihen yang berkenaan dengan
aktivitas.
2) Catat tipe anestesi yang di berikan pada saat intra partus pada
waktu klien sadar
Rasional : Pengaruh anestesi dapat mempengaruhi aktivitas
klien.
3) Anjurkan klien untuk istirahat
Rasional : Dengan istirahat dapat mempercepat pemulihan
tenaga untuk beraktivitas, klien dapat rileks.
4) Bantu dalam pemenuhan aktivitas sesuai kebutuhan
Rasional : Dapat memberikan rasa tenang dan aman pada klien
dan memenuhi kebutuhan klien terpenuhi.
5) Tingkatkan aktivitas secara bertahap
Rasional : Dapat meningkatkan proses penyembuhan dan
kemampuan koping emosional.
f. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka bekas
operasi (SC)
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil :
1) Tidak terjadi tanda - tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor,
fungsio laesea)
2) Suhu dan nadi dalam batas normal ( suhu = 36,5 -37,50 C,
frekuensi nadi = 60 -100x/ menit)
3) WBC dalam batas normal (4,10-10,9 10^3 / uL)
Intervensi:
1) Observasi tanda-tanda vital
Rasional : Demam menunjukkan infeksi
2) Kaji adanya tanda – tanda infeksi seperti kemerahan, oedema,
panas, bau, adanya pus, dan nyeri.
Rasional : Deteksi dini kemungkinan adanya infeksi sehingga
infeksi lanjut dapat dihindari
3) Lakukan perawatan luka dengan teknik septik dan antiseptik
Rasional : teknik aseptik dan antiseptik meminimalkan luka
terkontaminasi kuman atau infeksi
4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotik
Rasional : pemberian antibiotik secara teratur mencegah
terjadinya infeksi
g. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
prosedur pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam Pasien paham terhadap proses penyakit atau operasi dan
harapan operasi dan Cemas berkurang.
KH : Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat yang dapat
diatasi, Menunjukkan strategi koping efektif/ketrampilan
pemecahan masalah.
Intervensi :
1) Kaji ulang tingkat pemahaman pasien.
Rasional: mengetahui tingkat pemahaman klien.
2) Gunakan sumber – sumber bahan pengajaran sesuai keadaan.
Rasional: untuk mengetahui sumber teori.
3) Informasikan kepada klien, keluarga atau orang terdekat tentang
prosedur tindakan dan kesehatan
Rasional: meminimalkan tingkat kecemasan keluarga.
4) Beri motivasi pada klien dan keluarga agar klien tidak
mengalami ansietas dalam proses pengobatan.
Rasional: mengurangi ansietas
h. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik,
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam diharapkan
pasien dapat melakukan perawatan dri secara mandiri dengan
Kriteria hasil : klien tampak rapi, klien merasa nyaman.
Intervensi
1) Kaji faktor penyebab ketidakmampuan klien,
2) Tingkatkan partisipasi seoptimal mungkin untuk memudahkan
kita dalam memberikan tindakan, bantu klien untuk menyibin
agar klien merasa nyaman, dorong klien untuk melakukan
kegiatan mandiri secara bertahap agar tidak ketergantungan.
3) Monitor kebersihan kuku, kulit dan tubuh
4) Monitor kemampuan klien dalam perawatan diri ketika
memandikan
5) Berikan talk pada lipatan kulit
6) Libatkan keluarga dalam perawatan diri pada pasien