BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41884/3/jiptummpp-gdl-hestiakhsa-47310...Pembuangan Sampah...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/41884/3/jiptummpp-gdl-hestiakhsa-47310...Pembuangan Sampah...
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perilaku Membuang Sampah
2.1.1 Pengertian Perilaku
Perilaku menggambarkan kecenderungan seseorang untuk
bertindak, berbuat atau melakukan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa pengertian mengenai perilaku yang ditemukakan oleh para ahli
menurut Herri ZP dan Nomora LL (2010) dalam Aisyah (2015) meliputi :
1) Menurut JP Chaplin perilaku adalah reaksi, perbuatan aktivitas,
gabungan gerakan, tanggapan atau jawaban yang dilakukan seseorang
seperti proses berpikir, bekerja, hubungan seks dan sebagainya. 2) Menurut
Ian Pavlon perilaku adalah keseluruhan atau totalitas kegiatan akibat
belajar dari pengalaman sebelumnya dan dipelajari melalui proses
penguatan dan pengkodisian. 3) Menurut Bandura perilaku adalah reaksi
insting bawaan dari berbagai stimulus yang direseptor dalam otak dan
akibat pengalaman belajar.
Perilaku membuang sampah adalah membuang sampah pada
tempatnya, tapi saat situasi di sekelilingnya tidak mendukung sehingga
terpaksa buang sampah sembarang (Novita, 2007). Indonesia meludah dan
membuang sampah sembarangan kebiasaan yang lazim dilakukan, sampai-
sampai karena sering biasanya, masyarakat sudah sangat memakluminya,
9
orang yang sangat sadar etika dan keindahan, lebih sedikit jumlahnya
dibandingkan yang tidak sadar (Duha, 2014).
2.1.2 Teori Perilaku
Benyamin Bloom (1908), dalam Notoatmodjo (2003), dalam
Efendi & Makhfudli (2009), seorang ahli psikologi pendidikan membagi
perilaku manusia menjadi tiga domain, ranah atau kawasan yakni :
a. Pengetahuan (Knowledge)- Kognitif
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap objek tertentu.
Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan,
pendengaran, penghidung, perasa dan peraba. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang (over behavior).
Pengetahuan yang tercangkup dalam domain kognitif mempunyai
enam tingkatan sebagai berikut : 1) Tahu (know), diartikan sebagai
pengingat akan suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. 2)
Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar. 3) Aplikasi (application),
diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. 4) Analisis (analysis), adalah
suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu stuktur organisasi dan
10
masih ada kaitannnya satu sama lain. 5) Sintesis (syntesis), menunjukkan
kepada suatu kempuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-
bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6) Evaluasi
(evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk menjelaskan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
b. Sikap (Attitude) – Afektif
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu dalam
kehidupan sehari-hari merupkan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial. Sikap belum merupkan suatu tindakan atau aktifitas, akan
tetapi merupakan presdiposisi tindakan suatu perilaku.
Sikap sendiri atas berbagai tingkatan sebagai berikut Notoatmodjo
(2003), dalam Efendi & Makhfudli (2009). 1) Menerima (receiving), diartikan
bahwa seseorang (subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan
(objek). 2) Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu
indikasi dari sikap. 3) Menghargai (valuinting), mengajak orang lain untuk
mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap
tingkat tiga. 4) Bertanggung jawab (responsible) atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
11
c. Tindakan atau Praktik (Practice)- Psikomotor
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over
behaviour). Sikap diwujudkan menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan seperti fasilitas.
Sikap ibu yang positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari
suaminya, dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut
mengimunisasikan anaknya. Faktor fasilitas, juga diperlukan faktor
pendukung (support) dari pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orangtua
atau mertua, dan lain-lain.
Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan sebagai berikut
Notoatmodjo (2003) dalam Efendi & Makhfudli (2009). 1) Persepsi
(perception), adalah mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama. 2)
Respons terpimpin (guided response) adalah melakukan sesuatu sesuai
dengan urutan yang benat dan sesuai dengan contoh merupakan indikator
praktik tingkat kedua. 3) Mekanisme (mechanism) adalah seseorang telah
dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu
sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat
ketiga. 4) Adopsi (adoption), merupakan suatu praktik atau tindakan yang
sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah
dimodifikasikan tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
12
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut Green (1980) dalam Maulana (2009) faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap perilaku. Ia menyatakan bahwa perilaku sesorang
ditentukan oleh tiga faktor, yaitu :
a. Faktor Presdiposisi
Faktor predisposisi (predisposing factor) Faktor predisposisi adalah
faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibandingkan oleh individu untuk mengatasi stress (Muhith, 2015). Faktor
ini termasuk pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan, nilai-
nilai, norma sosial, budaya dan faktor sosiodemografi. Faktor yang
mempermudah terjadinya perilaku seseorang (Maulana, 2009).
Presdiposisi bertindak sebagai salah satu ciri pada emosi tidak serta
merta menjadikannya mudah untuk didefinisikan secara terminologis
(Hude, 2006). Mengubah faktor disposisi ini digunakan komunikasi
langsung dengan masyarakat atau individu. Faktor disposissi dapat
digunakan berbagai teknik dan media sebagaimana dikemukakan oleh
Edgar Dale (1946) yang gambar (poster, flannelgraph) atau media audio saja
(radio, tape) media audio visual (televisi, film, vidio tape dalam vidio
compact disc. bioskop) dan seterusnya (Nursalam & Efendi, 2008).
b. Faktor Pendorong
Faktor pendorong (reinforcing factor). Faktor yang memungkinkan
terjadinya perilaku. Hal ini berupa lingkungan fisik, sarana kesehatan atau
13
sumber-sumber khusus yang mendukung, dan keterjangkauan sumber dan
fasilitas kesehatan (Maulana, 2009).
Faktor pendorong adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan.
Seperti mendekati para ibu yang anaknya memerlukan imuniasasi sehingga
ibu-ibu menjadi paham mengenai pentingnya mencegah penyakit melalui
imunisasi (Noorkasiani, Heryanti & Ismail, 2009). Faktor pendorong
melalui diri sendiri atau keluarga yang memungkinkan seseorang untuk
melakuan penyimpangan tersebut (Waluya, 2007).
c. Faktor Penguat/ Pendukung
Faktor penguat atau pendukung (enabling factor), yang terwujudnya
dalam bentuk lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas
kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obat dan sebagainya (Anies, 2006).
Faktor penguat termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan,
baik dari pusat maupun daerah yang terkait dengan kesehatan. Perilaku
sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan
sikap positif serta dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan
keteladanan dari parayokoh masyarakat, tokoh agama dan petugas
kesehatan. Undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku
masyarakat tersebut (Nursalam & Efendi, 2008).
Salah satu contoh perilaku pemeriksaan hamil, serta kemudahan
memperoleh fasilitas pemeriksaan kehamilan, juga diperlukan peraturan
atau perundang-undangan yang mengharuskan ibu hamil melakukan
pemeriksaan kehamilan. Intervensi pendidikan hendaknya dimulai dengan
14
mendiagnosa tiga faktor penyebab (determinant) tersebut kemukinan
intervensinya juga diarahkan terhadap ketiga faktor tersebut. Namun
apabila sumber daya yang ada terbatas, maka dapat dipilih satu atau
beberapa perilaku yang akan menjadi fokus intervensi (Nursalam &
Efendi, 2008).
2.1.4 Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku itu sendiri tidaklah terjadi secara langsung
melainkan melalui lima tahap yang oleh Lewin disebut sebagai tahap-tahap
“mencair sampai membeku kembali”. Suatu perilaku atau kebiasaan itu
dapat diibaratkan sebagai air yang membeku. Maka jika kebiasaan/perilaku
itu akan diubah, haruslah dicairkan dulu, diberi bentuk baru, untuk
kemudia dibekukan kembali dalam bentuknya yang baru itu. Proses
dimulai dengan : 1) Tahap pencairan, di mana individu mencari berbagai
informasi sehubungan dengan hal/perilaku baru tersebut, serta
menyiapkan diri untuk berubah kebiasaan lamanya. 2) Tahap diagnosa
masalah. Tahap ini individu mulai mengidentifikasi semua kemungkinan
yang berkaitan dengan perilaku yang baru, keuntungannya, hambatannya
dan resikonya jika perilaku itu diterima atau ditolaknya. 3) Tahap
penentuan tujuan, berdasarkan pertimbangan tadi maka individu
menentukan tujuan dari perubahan perilaku tersebut. 4) Tahap penerimaan
perilaku baru yang merupakan fase di mana individu mulai mencoba
mempraktekkan perilaku baru dan mengevaluasi dampak dari perubahan
perilaku tersebut. 5) Tahap pembekuan kembali, jika ternyata perilaku itu
15
berdampak positif dan nyata manfaatnya maka perilaku tersebut akan
diterima (Alhamda, 2012).
2.2 Sampah
2.2.1 Pengertian Sampah
Sampah atau waste (Inggris) memiliki banyak pengertian dalam
batasan ilmu pengetahuan. Namun pada prinsipnya, sampah adalah suatu
bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia
alam yang belum memiliki ekonomis. Bentuk sampah bisa berada dalam
sifat fase materi, yaitu padat, cair dan gas. Kehidupan manusia, sebagai
besar jumlah sampah berasal dari aktivitas industri, seperti konsumsi,
pertambangan dan manufuktur. Sumber sampah terbanyak berasal dari
pasar tradisional dan pemukiman. Volume tumpukan sampah memiliki
nilai sebanding dengan konsumsi masyarakat terhadap material yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Hartono, 2008).
Sampah (MSW) adalah termasuk materi kertas, sayuran, plastik,
logam tektil, karet dan kakaca. Pembuangan Sampah (MSW) adalah tugas
besar di negara-negara berkembang di seluruh dunia. Sampah tersebut
salah satudari industri produk mulai yang ramah lingkungan sampai yang
membahayakan. Analisis Pengkajian Siklus Hidup (LCA) sebagai tujuan
proses untu mengevalusi beban lingkungan yang terkait dengan produk
dihasilkan, masih sering masalah pembuangan akhir dan masalah daur
ulang sampah. Sampah sampai sekarang sangat bermasalah karena
kurangnya peraturan nasional/lemahnya penegak hukum mengenai
promosi daur ulang sampah (Nkwachukwu, Chidi & Charles, 2010).
16
2.2.2 Penggolongan Sampah
Jenis sampah yang ada di sekitar cukup beraneka ragam, ada yang
berupa sampah rumah tangga, sampah industri, sampah pasar, sampah
rumah sakit, sampah pertanian, sampah perkebunan, sampah perternakan,
sampah intitusi/kantor/sekolah dan sebagainya.
a. Sampah Organik
Sampah organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan
hayati yang dapat didegradasi oleh mikroba atau bersifat biodegrable.
Sampah ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Sampah
rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk
sampah organik misalnya sampah dapur, sisa-sisa makanan, pembungkus
(selain kertas, karet dan plastik), tepung, sayuran, kulit buah daun dan
ranting (Basriyanta, 2007).
Penanganan sampah organik ini amat penting, mengingat
produksinya yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sampah
anorganik. Semakin jauh dari pusat kota, yaitu 60-70 %. Sementara, di
peDesaan jumlahnya mencapai 70-75% dari total sampah. Sampah organik
selanjutnya diolah menjadi kompos melalui proses fermentasi (Guntoro,
2013).
b. Sampah Nonorganik
Sampah anoarganik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-
bahan non-hayati, baik berupa produk sintetik maupun hasil proses
teknologi pengelolahan bahan tambang. Sampah anorganik dibedakan
17
menjadi : sampah logam dan produk-produk olahannya, sampah plastik,
sampah kertas, sampah kaca dan keramik, sampah detergen. Sebagian
besar anorganik tidak dapat diuraikan oleh alam/mikroorganisme secara
keseluruhan (unbiodegrable). Sementara, sebagian lainnya hanya dapat
diuraikan dalam waktu yang lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah
tangga misalnya botol plastik, botol gelas, tas plastik dan kaleng
(Basriyanta, 2007).
Sampah anorganik pasti bukan berasal dari makhluk hidup. Prinsip
daur ulang (recyle) berlaku dalam proses pengelolahan sampah anorganik
seperi plastik dan logam. Ada beberapa bahan plastik yang hanya bisa
didaur ulang 1-2 kali. Namun, pada dasarnya plastik tidak boleh didaur
ulang lebih dari dua kali karena berbahaya bagi kesehatan (Mulyono, 2016).
c. Sampah Cair
Sampah cair adalah bahan cairan yang telah dipakai dan tidak
diperlukan lagi kemudian di buang ketempat pembuangan sampah.
Sampah cair ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu : 1) Limbah hitam, sampah
cair dari toilet. Sampah ini mengandung patagon yang berbahaya. 2)
Limbah rumah tangga, sampah cair yang dihasilkan dari dapur, kamar
madi dan tempat cucian. Sampah ini dimungkinkan mengandung patogen
(Pynkyawati & Whadamaputera, 2015).
Limbah cair merupakan sisa pembuangan yang dihasilkan dari
suatu proses yang sudah tidak dipergunakan lagi. Tidak semua limbah cair
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku penghasil biogas, hanya limbah
18
cair organik yang bisa digunakan sebagai bahan baku biogas. Pengelolahan
limbah cair untuk biogas dilakukan dengan anaerob yang diisi dengan
media penyangga yang berfungsi sebagai tempat melekatnya bakteri
anaerob (Hambali, et al. 2008).
2.2.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Sampah
Berikut beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah
sampah, yaitu :
a. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk bergantung pada aktivitas dan kepadatan
penduduk, sampah semakin menumpuk karena tempat atau ruang untuk
menumpuk sampah kurang. Semakin meningkat aktivitas penduduk,
sampah yang dihasilkan semakin banyak, misalnya pada aktivitas
pembangunan, perdagangan, industri, dan sebagainya (Chandra, 2007).
Jumlah penduduk di kabupaten malang terus meningkat dari tahun 2010
yaitu 2.451.997 menjadi 2.544.315 pada tahun 2015 menjadi laju yang
sangat tinggi dan menjadi urutan ketiga di Jawa Timur (BPS Jatim, n.d).
b. Sistem Pengumpulan Atau Pembuangan Sampah Yang Dipakai
Pengumpulan sampah dengan menggunakan gerobak lebih lambat
jika dibandingkan dengan truck (Chandra, 2007). Kendala utama yang
dihadapi adalah terbatasnya anggaran yang tersedia di dalam pengelolahan.
Penggunaan dana dilapangan terbesar diserap untuk kegiatan
pengumpulan dan pengangkutan, yaitu sekitar 60-80% dari retribusi
19
sehingga peningkatan pelayanan yang dapat disediakan terbatas (Sejati,
2009).
c. Pengambilan Bahan-Bahan Yang Ada Pada Sampah Untuk Dipakai Kembali
Metode itu dilakukan karena bahan tersebut masih memiliki nilai
ekonomi bagi golongan tertentu. Frekuensi pengambilan dipengaruhi oleh
keadaan, jika harganya tinggi, sampah yang tertinggal sedikit (Chandra,
2006). Daur ulang merupakan bidang kontroversi lainnya dalam polusi
tanah. Produk daur ulang, seperti plastik, menimbulkan masalah. Sebagai
contoh sebagian besar tutup botol plastik mengandung vingl yang dapat
merusak daur ulang normal (Griffin & Ebert, 2007).
d. Faktor Geografis
Lokasi tempat pembuangan apakah di daerah pegunungan,
lembah, pantai, atau di dataran rendah (Chandra, 2006). Daerah pedesaan
atau lokasi yang jauh dari perkotaan akan terbatas dari permasalahan
sampah. Sampah dimanapun akan menjadi masalah jika tidak dikelola
dengan baik (Mutawakil, 2007).
e. Faktor Waktu
Bergantung pada faktor harian, mingguan, bulanan, atau tahunan.
Jumlah sampah per hari bervariasi menurut waktu. Faktor waktu
contohnya jumlah sampah pada siang hari lebih banyak daripada jumlah di
pagi hari, sedangkan sampah di daerah pedesaan tidak begitu bergantung
pada faktor waktu (Chandra, 2006).
20
f. Faktor Sosial Ekonomi dan Budaya
Dampak sosial-budaya pada sampah banyaknya pemulung
membuat kebiasaan masyarakat untuk mengabaikan masalah pengelolahan
sampah. Dampak ekonomi bermasalah yaitu tempat pembuangan akhir
(Sutiyono, 2007). Contoh : adat-istiadat dan taraf hidup dan mental
masyarakat (Chandra, 2006).
g. Pada Musim Hujan
Sampah mungkin akan tersangkut pada selokan, pintu air, atau
penyaringan air limbah (Chandra, 2006). Saluran drainase yang semestinya
untuk mengalir air, justru penuh sampah sehingga aliran air terhambat.
Pada saat musim hujan tiba, sering kali diiringi pula dengan datangnya
musim banjir (Mutawakil, 2007).
h. Kebiasaan Masyarakat
Pada tingkat tertentu, cara, kebiasaan atau budaya buang sampah
tradisional itu masih bisa dimaklumi dan tidak terlalu ditakuti pengaruh
buruknya. Sikap maklum demikian tidak bisa diterapkan dalam masyarakat
yang banyak bersentuhan dengan kehidupan teknologi tinggi atau
kehidupan yang banyak tergantung produk dunia industri. Kehidupan
sebuah kota budaya, buang sampah yang benar harus menjadi indikator
kemajua dari kota tersebut (Brata, 2008). Salah satu contoh jika seseorang
suka mengonsumsi satu jenis makanan atau tanaman, sampah makanan
akan meningkat (Chandra, 2006).
21
i. Kemajuan Teknologi
Jenis dan jumlah sampah semakin meningkat seiring dengan
kemajuan teknologi dan tingkat kemajuan kebudayaan masyarakat
(Chandra, 2009). Akibat kemajuan ekonomi, jumlah sampah dapat
meningkat. Contoh, plastik, kardus, rongsokan, AC, TV, kulkas, dan
sebagainya (Chandra, 2006).
2.2.4 Dampak Sampah
2.2.4.1 Dampak Positif
Penggololaan sampah yang baik akan memberikan
pengaruh yang positif terhadap masyarakat dan lingkungannya
antara lain: 1) Sampah dapat dipergunakan untuk menimbun tanah
seperti rawa-rawa dan daratan. 2) Sampah dapat dimanfaatkan
untuk pupuk. 3) Dapat diberikan untuk makanan ternak melalui
proses pengelolaan yang telah ditentukan lebih dahulu untuk
mencegah pengaruh yang buruk dari sampah ternak. 4)
Berkurangnya tempat untuk berkembangbiak serangga atau
binatang pengerat. 5) Menurunkan insiden penyakit menular yang
erat hubungan dengan sampah. 6) Keadaan estetika lingkungan
yang bersih menimbulkan kegairahan hidup bagi masyarakat
(Chandra, 2009).
Pemanfaatan sampah dapat dilakukan dengan teknik
pengelolahan menjadi yang berguna antara lain kompos, dan gas
bio. 1) Kompos adalah pengelolahan sampah secara biologis dan
22
berlangsung dalam suasana aerobik (berjalan relatif cepat dan tidak
menimbulkan bau dan anaerobik (berjalan lambat dan
menimbulakan bau). 2) Gas bio adalah bahan bakar yang diperoleh
dari bahan-bahan organik, termasuk kotoran manusia, kotoran
hewan sisa-sia pertanian ataupun campuran, melalui proses
fermentasi dan pembusukan oleh bakteri anaerobik pada alat yang
dinamakan penghasil bio (Chandra, 2009).
2.2.4.2 Dampak Negatif
Dampak negatif sampah sebagai berikut :
a. Terhadap Kesehatan
Sampah terhadap kesehatan yaitu : 1) Pengelolaan sampah
yang kurang baik akan menjadi tempat berkembangbiak bagi
vektor penyakit seperti lalat atau tikus sehingga insiden penyakit
tertentu akan meningkat. 2) Kecelakaan-kecelakaan timbul karena
membuang sampah secara sembarangan, misalnya luka oleh benda
tajam seperti besi, kaca dan lain-lain. 3) Gangguan psikosomatis
seperti sesak nafas, insomnia, stress dan lain-lain menurun
(Chandra, 2009).
Sampah dapat menyebabkan berbagai macam penyakit
seperti diare, tifus, muntaber, demam berdarah, dan sebagainya
yang dapat menyebar dengan sangat cepat karena virus yang
berasal dari sampah dengan pengelolaan yang tidak tepat. Sampah
mengandung merkuri atau raksa yang dibuang ke laut atau sungai,
akan dapat mengkotaminasi makhluk hidup yang tinggal di
perairan tersebut, misal ikan. Ikan akan nantinya dikonsumsi
23
manusia, maka merkuri atau raksa yang mengandung dalam ikan
itu pun juga akana mengkontaminasi tubuh manusia. Selain itu, ada
pula penyakit yang dapat menyebar melalui rantai makanan,
misalnya penyakit yang dijakitnya oleh cacing pita (Basriyanta,
2007).
b. Terhadap Lingkungan:
Sampah terhadap lingkungan yaitu : 1) Estetika lingkungan
menjadi kurang sedap dimata. 2) Proses pembusukan sampah oleh
mikroorganisme akan menghasilkan gas-gas tertentu yang
menimbulkan bau busuk. 3) Pembakaran sampah dapat
menimbulkan pencemaran udara dan bahaya kebakaran yang lebih
luas. 4) Pembuangan sampah ke saluran-saluran air akan
menyebakan aliran terganggu dan saluran air akan menjadi dangkal.
5) Bila hujan tiba akan menyebabkan banjir dan mengakibatkan
pencemaran pada sumber air permukaan atau sumur menjadi
dangkal menurun (Chandra, 2009).
Sampah cair atau cairan rembesan sampah yang masuk
kedalam aliran sungai atau aliran air tanah, yang dapat mencemari
air. Berbagai organisme termasuk ikan dapat mati sehingga
beberapa spesies akan lenyap, mengakibatkan berubahnya
ekosistem perairan biologis. Penguraian sampah yang dibuang ke
dalam air akan menghasilkan asam organik dan gas cair organik,
seperti metana. Selain berbau kurang sedap, gas ini dalam
konsentrasi tinggi dapat meledak (Basriyanta, 2007).
24
c. Terhadap Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat
Sampah terhadap sosial ekonomi dan budaya masyarakat
yaitu : 1) Pengelolaan sampah yang kurang baik mencerminkan
keadaan sosal budaya masyarakat setempat. 2) Keadaan lingkungan
yang kurang baik dan jorok, akan menurunkan minat dan hasrat
wisatawan untuk datang berkunjung ke daerah tersebut. 3) Angka
kesakitan meningkat dan mengurangi hari kerja sehingga
menyebabkan produktifitas masyarakat menurun (Chandra, 2009).
Pengelolahan sampah yang kurang baik akan membentuk
lingkungan yang kurang menyenagkan bagi masyarakat, bau yang
tidak sedap, dan pemandangan yang buruk. Pembuangan sampah
padat ke badan air dapat menyumbat aliran air sehingga
mengakibatkan banjir. Disamping itu, juga meningkatkan jumlah
biaya/dana yang harus dikeluarkan untuk pengelolahan air.
Pengelolahan sampah yang kurang baik juga akan memberikan
dampak negatif bagi perkembangan pariwisata (Basriyanta, 2007).
2.2.5 Pengelolahan Sampah
a. Tahap Pengumpulan dan Penyimpanan
Sampah disimpan pada tempat sementara, yaitu tempat sampah di
kantor, rumah tangga, hotel, restoran dan lain-lain. Sebaiknya sampah
basah dan sampah kering dikumpulakan dalam tempat yang berbeda untuk
memudahkan pemusnahannya (Chandra, 2009). Pewadahan merupakan
tempat pengumpulan sampah pertama dari sumbernya. Wadah yang
25
digunakan bisa berupa tong besar, bak sampah dari beton, serta tong
sampah dari fiber atau plastik (Suryati, 2014).
Sampah yang telah dikumpulkan kemudian dibawa ke tetempat
penampungan sementara dengan menggunakan gerobak RT/RW (Suryati,
2014). Syarat-syarat tempat penyimpanan sementara (tempat sampah)
yaitu: kontruksi kuat, tidak bocor, mempunyai tutup dan mudah dibuka
tanpa mengotori tangan dan ukuran sesuai sehingga mudah diangkut oleh
satu orang (Chandra, 2009). Sampah dari tempat penampungan sementara
kemudian diangkut dengan menggunakan truk pemerintah daerah untuk
dibuang ke tempat pembuangan akhir (Suryati, 2014).
b. Tahap Pemusnahan
Pengelolahan sampah terutama di kawasan perkotaan, dewasa ini
dihadapkan pada berbagai permasalahan yang kompleks. Permasalahan-
permasalahan tersebut meliputi tingginya laju timbulan sampah yang
tinggi, kepeduliaan masyarakat yang masih sangat rendah, serta
pembuangan akhir sampah yang dapat menimbulkan permaslahan
tersendiri (Sejati, 2009). Tempat pembuangan akhir (tempat atau lahan
yang digunakan untuk membuang dan memusnakan sampah secara aman
dan menyehatkan) kemudian dilakukan pemilahan sampah berdasarkan
keperluan. Misalnya, sampah dipilah-pilah berdasarkan jenisnya, seperti
sampah plastik, karton, logam atau kaca (Suryati, 2014).
Beberapa cara pemusnahan sampah yang dapat dilakukan oleh
institusi atau individu dan penggunaan teknologi pemanfaatan sampah
antara lain: 1) Sanitary land-fill, pemusnahan sampah dengan jalan
26
menimbun sampah dengan tanah yang dilakukan lapis demi lapis dan
tanah tersebut harus padatkan. 2) Incinerator adalah alat untuk membaar
sampah secara terkendali melalui pembakaran dengan suhu tinggi dan
merupakan salah satu metode pembuangan sampah yang dapat
diterapakan di daerah perkotaan atau daerah yang sulit mendapatkan tanah
untuk membuang sampah (Chandra, 2009).
2.3 Konsep Kejadian Penyakit Berbasis Lingkungan
2.3.1 Kejadian Penyakit
Kajian utama epidemologi adalah hubungan kasus klasik dengan
masalah kesehatan masyarakat, karena epidemologi tidak mempelajari
tentang rasa sakit tetapi mempelajari tentang penyakit. Penyebab penyakit
adalah kejadian. Kondisi, sifat ataupun kombinasi dari faktor-faktor
tersebut di atas yang berperan penting dalam kejadian penyakit (Rajab,
2009). Hubungan interaktif antara manusia serta perilakunya dengan
komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit, juga dikenal
sebagai proses kejadian penyakit. Proses kejadian penyakit satu dengan
yang lain masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri (Anies, 2006).
Proses kejadian penyakit, termasuk penyakit menular, pada
hakikatnya dapat diuraikan dalam empat simpul. Simpul 1 adalah sumber
penyakit, dalam hal ini berupa virus, bakteri, parasit atau yang lain. Simpul
2, merupkan komponen lingkungan yang merupakan media transmisi
penyakit tersebut, misalnya udara, air, atau binatang pembawa penyakit
tersebut. Simpul 3 adalah penduduk dengan variabel kependudukan,
misalnya pendidikan, kepadatan, perilaku dan sebagainya. Simpul ini
27
seringkali terlupakan karena tingkat pngetahuan dan pendidikan maupun
perilaku tertentu dari masyarakat mempunyai potensi tinggi untuk
menimbulkan kejadian penyakit pada sejumlah penduduk. Simpul 4 adalah
penduduk yang dalam keadaan sehat atau sakit, setelah mendapat paparan
(exposure) dengan komponen biologis berupa virus atau bakteri (Anies,
2006).
Tiga macam ukuran yang digunakan dalam epidemiologi, yaitu: 1)
Ukuran frekuensi penyakit: mengukur kejadian penyakit, cacat atau
kematian pada populasi. 2) Ukuran dari akibat pemaparan : mengukur
keeratan hubungan statistik antara faktor tertentu dan kejadian penyakit
yang diduga merupakan akibat pemaparan tersebut. 3) Ukuran dari potensi
dampak: menggambarkan kontribusi dari faktor yang diteliti terhadap
kejadian suatu penyakit dalam populasi tertentu (Hidayat, 2008).
2.3.2 Penyakit Berbasis Lingkungan
Menurut Achmadi (2005) dalam Dinkes Lumajang (2015), penyakit
merupakan suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi dan atau
morfologi suatu organ dan atau jaringan tubuh. Sedangkan menurut
Sumirat (1996) dalam Dinkes Lumajang (2015), Lingkungan adalah segala
sesuatu yang ada disekitarnya (benda hidup, mati, nyata, abstrak) serta
suasana yang terbentuk karena terjadi interaksi antara elemen-elemen di
alam tersebut. Penyakit Berbasis Lingkungan adalah suatu kondisi
patologis berupa kelainan fungsi atau morfologi suatu organ tubuh yang
disebabkan oleh interaksi manusia dengan segala sesuatu disekitarnya yang
memiliki potensi penyakit.
28
Menurut R.E Soeriatmadja (1997) dalam Pongtuluran (2015),
penyakit dapat diklasifikan ke dalam beberapa kategori sifat jalur sebab-
akibatnya yang berhubungan dengan keadaan lingkungan hidup manusi
berbeda yaitu : 1) Penyakit alergi yang ada kaitannya dengan faktor
lingkungan. 2) Penyakit yang berhubungan dengan keadaan sosial manusia,
seperti keadaan makanan. 3) Penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteria, protozoa, cacing, jamur dan virus. 4) Penyakit disebabkan
pencemaran alam, seperti emfisema.
2.3.3 Faktor – Faktor Timbulnya Penyakit Berbasis Lingkungan
Menurut teori Blum (1969) dalam Ryadi & Wijayanti (2011), status
kesehatan masyarakat di suatu tempat dipengaruhi setidaknya oleh empat
faktor utama yaitu 1) Faktor herediter. 2) Faktor health system atau health
infrastucture. 3) Faktor perilaku masyarakat. 4) Faktor lingkungan.
Pengertian herediter adalah faktor berasal dari orang tuanya, pada
zaman dahulu faktor ini lebih banyak dianut untuk menjelaskan kesehatan
masayarakat di suatu tempat. Konsep mengendalian pada faktor ini kini
ditinggalkan, khususnya setelah pediatri/rekayasa genetik mulai
berkembang dalam dunia kesehatan. Definisi health system di sini adalah
antara lain sistem pelayanan kesehatan, fasilitas yang tersedia, peraturan-
peraturan yang berlaku untuk memudahkan orang mendapatkan
pelayanan, kebijakan-kebijakan operasional yang diterapkan dan lain-lain
(Ryadi & Wijayanti, 2011).
Perilaku masyarakat sesungguhnya ditentukan pada umumnya
ditentukan pada tingkat pendidikan dan kesadaran untuk menjalankan
29
hidup sehat. Padahal, kita mengenal konsep “KAP” untuk dapat
menjelaskan hubungan tingkat pendidikan dengan kesadaran untuk hidup
sehat. Faktor lingkungan disini harus diartikan disini harus diartikan
sebagai lingkungan dalam arti luas meliputi lingkungan fisik, biologi, sosial
dan ekonomi. Makin kearah faktor lingkungan makin besar pengaruhnya
terhadap peningkatan status kesehatan masyarakat. Pengaruh faktor
lingkungan dan perilaku masyarakat secara bersama-sama memberikan
kontribusi 70 % terhadap peningkatan status kesehatan masyarakat (Ryadi
& Wijayanti, 2011).
Gambar 2.1 Teori Blum
2.3.4 Penyebaran Penyakit Berbasis Lingkungan
Konsep epidemiologi tentang penyakit yang berhubungan atau
mempengaruhi segitiga epidemiologi antara lain 1) Benda tak hidup adalah
benda yang mempunyai peran dalam penularan penyakit, seperti pakaian,
Lingkungan
Herediter
Status
Kesehatan
Masyarakat
Sistem
kesehatan
Perilaku
30
sampah dan air benda mati lainnya. 2) Vektor adalah serangga mislanya
lalat, kutu dan hewat pengerat lain. Vektor adalah setiap makhluk hidup
selain manusia yang membawa penyakit yang menyebarkan dan menjalani
proses penularan penyakit. 3) Reservoir adalah manusia, hewan,
tumbuhan. Manusia sering sebagai reservoir sekaligus sebagai penjamu.
Carier mengandung, penyebaran dan merupakan tempat persinggahan
organisme infeksi (Effendy & Makhfudli, 2009). Salah satunya PHBS
masyarakat pada tatanan rumah tangga mengenai cuci tangan
menggunakan air bersih dan sabun sebesar 52,9% (Taufiq, Nyorong &
Riskiyani, 2013).
Cara penyebaran atau mode of transmission penyakit infeksi kepada
manusia yang sensitif dapat melalui beberapa cara, baik terjadi secar
langsung atau tidak langsung. Ditinjau dari aspek epidemiologi, cara
penyebaran di masyarakat dapat bersifat lokal, regional maupun
internasional, yaitu : 1) Melalui langsung dariari orang ke orang contoh
scabies. 2) Melalui udara. 3) Melalui air atau makan contoh virus dan bakteri
. 4) Melalui hewan. 5) Melalui vektor arthropoda (Chandra, 2009).
2.3.5 Jenis- Jenis Penyakit Berbasis Lingkungan
2.3.5.1 Konsep Diare
a. Pengertian Diare
31
Penyakit diare merupakan suatu masalah yang mendunia.
Seperti sebagian besar penyakit anak-anak lainnya, penyakit diare
tersebut jauh lebih banyak terdapat di negara berkembang daripada
negara maju, yaitu 12,5 kali lebih banyak di dalam kasus mortalitas
(WHO/EIP, yang tidak dipublikasikan) (Apriningsih, 2009). Diare
merupakan keadaan buang air besar yang terjadi terlalu sering
dengan feses yang banyak air. Diare yang berlangsung lama
menyebabkan dehidrasi. Diare dapat ditularkan melalui feses yang
mengandung kuman penyebab diare. Feses tersebut dikeluarkan
disembarang tempat. Feses akan mencemari lingkungan, misalnya
tanah, sungai, atau air sumur (Abdullah, Saktiyono & Lutfi, 2007).
Diare sering terjadi pada anak-anak dari umur 13 sampai 36
bulan dan 7 sampai 12 bulan. Faktor yang mempengaruhi kejadian
diare disebabkan kondisi ekonomi yang buruk (misalnya tingkat
pendidikan, diet atau akses ke fasilitas kesehatan) membuat sanitasi
tidak memadai di tempat tinggalnya dan lama pemberian Asi
eklusif yang kurang dari 2 tahun (Genser, et al. 2006). Diare
disebabkan 30 bakteri patogen dalam tinja seperti Salmonella,
Typhirium Serovar, Salmonella Serover Heidelberg, Salmonella Subgeneus
dan lain-lain. Studi Amerika-Eropa dari orang yang mengalami
diare akut pada proporsi lebih tinggi dari bakteri patogen (Denno,
et al. 2012).
b. Penyebab Diare
Penyebab utama penyakit diare adalah infeksi bakteri atau
virus. Jalur masuk utama infeksi tersebut melalui feses manusia
32
atau binatang, makanan, air, dan kontak dengan manusia. Kondisi
Lingkungan yang menjadi habitat atau pejamu untuk patogen
tersebut menjadi resiko utama penyakit ini. Sanitasi dan kebersihan
rumah tangga yang buruk, kurangnya air minum yang aman, dan
pajanan pada sampah padat (misalnya, melalui pengambilan
sampah atau akumalasi sampah lingkungan) yang kemudian
mengakibatkan penyakit diare. Semua hal ini kemudian sering
diasosiakan dengan fasilitas menajemen sampah dan air yang
buruk, prosedur yang aman didalam sistem persediaan makanan
(misalnya selama menajemen di pertenakan, penyimpanan
makanan dan penjualan makanan eceran) yang kurang memadai,
dan pengendalian polusi lingkungan (misalnya dengan limbah
pertanian) yang tidak memadai (Apriningsih, 2009). Diare juga
dapat bisa di hindari salah satunya PHBS masyarakat pada tatanan
rumah tangga mengenai cuci tangan menggunakan air bersih dan
sabun sebesar 52,9% (Taufiq, Nyorong & Riskiyani, 2013).
c. Jenis-Jenis Diare
Menurut Tjay & Rahardja (2007), penyebab dapat
dibedakan beberapa jenis gastroenteritis dan diare : 1) Diare akibat
virus, misalnya influenza perut dan travellers diarrhoea yang disebabkan
antara lain oleh ratavirus dan adenovirus. Diare yang terjadi bertahan
terus sampai beberapa hari sesudah virus lenyap dengan sendirinya,
biasanya dalam 3-6 hari. 2) Diare bakterial invasif (bersifat
menyerbu) agak sering terjadi, tetapi mulai berkurang berhubung
semakin meningatnya derajat higiene masyarakat. Penyebab dari
33
bakteri E. Coli Spec, Shigella, Salmonella dan Camylobacter, diare ini
akan sembuh dengan sendirinya selama 5 hari tanpa pengobatan. 3)
Diare parasiter akibat protozoa seperti Entamoeba Histolytica dan
Giardia Lamblia, yang terutama terjadi di daerah tropis. Gejala
dapat berupa nyeri perut, demam anoreksia, nausea, muntah-
muntah dan rasa letih umum (malaise). 4) Diare akibat penyakit
misalnya Colitis Ulcerosa, p. Crohn, Irritable Bowel Syndrome (IBS),
kanker kolon dan infeksi HIV serta akibat alergi terhadap
makanan/minuman. 5) Diare akibat obat yaitu digoksin, kinidin
garam-Mg dan litium. Semua obat ini dapat menimbulkan diare
baik tanpa kejang perut dan pendarahan. 6) Diare akibat keracunan
makanan sering terjadi, disebabkan konsumsi makanan atau
minuman yang tercemar meluas.
d. Klasifikasi Diare
Menurut WHO (2013), mengklasifikasikan jenis diare
menjadi 3 kelompok yaitu: 1) Diare akut: berlangsung beberapa
jam atau hari, dan termasuk kolera. Diare yang berlangsung (< 48-
72 jam) disebabkan keracunan makanan (Davey, 2006). 2) Disentri;
berdarah akut. Diare yang disertai darah dalam tinja atau diarenya
bercampur darah (Hidayat, 2008). 3) Diare persisten; diare
berlangsung 14 hari atau lebih Diare dikelompokkan menjadi dua
kategori yaitu persisten berat apabila ditemukan adanya tanda
dehidrasi dan diare persisten ringan apabila tidak ditemukan
adanya tanda dehidrasi (Hidayat, 2008).
34
2.3.5.2 Konsep Penyakit Kulit
Penyakit kulit biasa dikenal dengan nama kudis, skabies,
gudik, budugen. Penyebab penyakit kulit ini adalah tungau atau
sejenis kutu yang yang sangat kecil yang bernama Sorcoptes Scabies.
Tungau ini berkembang biak dengan cara menembus lapisan
tanduk kulit kita dan membuat terowongan di bawah kulit sambil
bertelur. Cara penularan penyakit ini dengan cara kontak langsung
atau melalui peralatan seperti baju, handuk, sprei, tikar, bantal, dan
lain-lain. Sedangkan cara pencegahan penyakit ini dengan cara
antara lain : 1) Menjaga kebersihan diri, mandi dengan air bersih
minimal 2 kali sehari dengan sabun, serta hindari kebiasaan tukar
menukar baju dan handuk. 2) Menjaga kebersihan lingkungan,
serta biasakan selalu membuka jendela agar sinar matahari masuk
penyakit (Dinkes Lumajang, 2012).
Pengalaman klinis menunjukkan bahwa pasien sering
berkonsulitasi dengan dokter gatal akut, tetapi lebih sering dibilang
gatal kronis. Penyakit kulit akan menyebabkan gejala gatal jika tidak
ditangani penyebab gatal kronis muncul, faktor mempengaruhi
gatal bervariasi tergantung usia, etnis, karakteristik daerah. Gejala
gatal sebagai tantangan untuk dokter, stuktur daerah sistem
kesehatan dan aksebilitas bagi team kesehatan, terutama negara-
negara non barat. Team kesehatan harus sering melihat layanan
kesehatan di masyarakat dan membuat perencanaan perubahan
35
untuk menurunkan gejala gatal kronis (Weisshaar & Dalgard,
2009).
2.3.5.2.1 Penyakit Kulit Akibat Parasit
a. Kudis
Kudis adalah penyebab kulit yang menyebabkan
gatal dan sangat menular disebabkan oleh Infestasi Tungau
Sarcoptes Scabiei. Kudis disebabkan parasit tungau berkaki
delapan kecil dengan ukuran 1/3 milimeter dalam liang
ke dalam kulit untuk menghasilkan rasa gatal, yang
cenderung lebih buruk di malam hari. Tungau kudis
merangkak tetapi tidak dapat terbang atau melompat.
Mereka bergerak pada suhu di bawah 20 derajat celcius,
dan mereka dapat bertahan hidup untuk waktu lama pada
suhu tersebut (Andareto, 2015).
Penyebaran kudis biasanya membutuhkan waktu
yang lama, kontak kulit ke kulit yang memberikan waktu
tungau merangkak dari satu orang ke orang lain. Barang-
barang – barang pribadi bersama, seperti tempat tidur
atau handuk, mungkin bisa menjadi penyebab. Kudis
dapat ditularkan dengan mudah antara anggota keluarga
atau pasangan seksual. Tetap tidak mungkin untuk
menyebar melalui jabat tangan cepat atau pelukan.
Tungau kudi tidak bisa melompat atau terbang, dan
merangkak sangat lambat. Beberapa gejala non spesifik
36
kudis munkin termasuk : Umumnya merasa tidak sehat,
kelelahan, kehilangan nafsu makan, diare, demam, nyeri
sendi dan otot, pendarahan didaerah kulit (Andareto,
2015).
2.3.5.2.2 Penyakit Kulit Akibat Jamur
a. Panu
Panau atau panu atau Tinea Versicolor merupakan
salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur.
Tanda dan gejala dari penyakit panu biasanya akan timbul
ruam kulit dalam berbagai ukuran dan warna, lalu di tutupi
oleh sisik halus dengan rasa gatal. Terkadang timbul tanpa
adanya keluhan dan hanya gangguan kosmetik saja. Warna-
warna ruam kulit pada penyakit panu ini tergantung dari
pigmen normal kulit penderita, paparan sinar matahari dan
lamanya penyakit. Namun, terkadang warna ruam kulit
sulit untuk terlihat. Biasanya panu terdapat pada bagian
atas dada, lengan, leher, perut, kaki ketiak, lipatan paha,
muka dan kepala (Andareto, 2015).
Penyebab panu sangat beragam dan bisa juga
ditularkan dari penggunaan sabun, pakaian atau alat
kecantikan dengan penderita yang lain. Faktor penyebab
panu : 1) Kondisi lembab dan panas lingkungan,
penggunaaan pakaian ketat atau pakaian yang tidak
menyerap keringat. 2) Munculnya keringat berlebihan
37
karena beraktifitas fisik atau sekedar kegemukan. 3)
Karena fiksi atau trauma minor, yang biasanya disebabkan
gesekan pada paha orang gemuk. 4) Terganggunya
keseimbangan flora tubuh. Hal ini disebabkan karena
pakaian antibiotik, atau obat hormonal dalam waktu
yanga lama (Andareto, 2015).
b. Kurap
Kurap disebut juga ringworm adalah infeksi kulit
yang disebakan oleh jamur (bukan cacing) yang hidup
didalam kulit mati, rambut dan jaringan kuku. Awalnya,
kulit menjadi kemerahan dan bersisik, lama-kelamaan
akan terbentuk pola cincin, kulit menjadi terkelupas,
merah, gatal dan melepuh. Kurap tumbuh subur ditempat
yang hangat, atau daerah tubuh yang lembab. Kurap
dapat menular melalui barang-barang seperti handuk,
sikat dan barang pribadi lainnya. Kurap pada kaki ini
disebabkan Trychopyton atau Epidermiphyton, yaitu jamur
yang bisa tumbuh didaerah lembab dan hangat diantara
jari-jari (Sitompul, 2014).
Kurap kaki sangat umum terjadi dan dapat
menyebabkan goresan ekstrim dan retak antara jari-jari
kaki, hal ini menyebabkan sangat mudah untuk menyebar.
Kurap kulit kepala mungkin dimulai dari jerawat kecil,
sebagian kurap menyebabkan kulit kepala berubah
38
menjadi bewarna kuning dan rambut menjadi rapuh dan
mudah patah, kebotakan sementara di daerah tersebut
dapat terjadi (Sitompul, 2014). Gejala utama dari kurapan
adalah adanya bagian-bagian kulit yang hilang warna
terbentuk koin. Tanda-tanda khas dari kelainan kulit
kurap ini adalah batas sangat jelas dari koin-koin
keputihan ini disertai dengan sisik-sisik halus, biasanya
merah gelap, bagian tubuh yang terkena biasanya:
punggung, ketiak, lengan bagian atas, dada dan leher dan
gatal-gatal (Krishna, 2013).
2.3.5.2.3 Penyakit Kulit Akibat Alergi
a. Dermatitis
Dermatitis atau sering disebut ekzema adalah
peradangan kulit dengan morfologi khas namun
penyebabnya bervariasi. Kulit yang mengalami dermatitis
memiliki ciri khas warna kemerahan, bengkak, vesikuler
kecil berisi cairan, dan pada tahap akut mengeluaran
cairan. Pada tahap kronis, kulit menjadi bersisik,
mengalami likenifikasi, menebal, retak dan dapat berubah
warna (Jeyaratnam & Koh, 2010).
Dermatitis kontak iritan merupakan bahan yang
secara langsung merusak kulit yang menjadi lokasi kontak
atau aplikasi. Dermatitis imunologi adalah reaksi radang
39
imunologi akibat kontak dengan alergen. Berbeda kontak
iritan, reaksi radang terjadi melalui proses imunologi
(Jeyaratnam & Koh, 2010).
Alergi dapat juga dari 1) Kutu debu. Kutu debu
ini mempunyai mempengaruhi 90 % orang menderita
alergi. 2) Hewan peliharaan adalah penyebab terbesar
ketiga reaksi alergi. Empat puluh persen anak penderita
asama alergi terhadap protein yang dikeluarkan kelenjar.
3) Makanan, bahan pangan yang paling sering
menyebabkan alergi (Robertus, 2009).
2.3.6 Manajemen Penyakit Berbasis Lingkungan.
Manajemen penyakit tidak semestinya dilakukan hanya pada
manusia atau sejumlah penduduk yang mengalami suatu penyakit.
Manajemen demikian tidak akan menyelesaikan problem penyakit yang
bersangkutan karena hanya berupa pendekatan kuratif, yaitu penangan
pada tingkat hilir. Seharusnya penanganan suatu penyakit, termasuk
penyakit menular, yang peling tepat diterapkan adalah manejemen penyakit
berbasis lingkungan. Manajemen berbasis lingkungan, faktor-faktor
lingkungan sangat dominan dalam proses kejadaian suatu penyakit
sehingga harus dilibatkan upaya-upaya pencegahan maupun pengendalian
(Anies, 2006).
Menurut Umar Fahmi, Achmadi (2005) dalam Sudarma (2008)
pengendalian penyakit berbasis wilayah adalah tatanan yang
menggambarkan adanya rangkaian berbagai komponen yang memiliki
40
hubungan serta tujuan bersama secara serasi, terkoordinasi yang bekerja
atau berjalan dalam waktu tertentu dan terencana. Merujuk dari sistem
maka tenaga medis saling berkaitan dalam layanan kesehatan. Perhatian
utama pada faktor penyebab, media tramisi sera memperhatikan faktor
penduduk sebagai objek penularan, sebelum penangan pada manusia yang
menderita penyakit (Anies, 2006).
2.4 Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan
Menurut WHO, terdapat 17 ruang lingkup kesehatan lingkungan, yaitu
sebagai berikut : 1) Penyediaan air bersih. 2) Pengelolaan air buangan (limbah)
dan pengendalian pencemaran. 3) Pembuangan sampah padat. 4) Pengendalian
vektor. 5) Pencegahan atau pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta
manusia. 6) Higiene makanan, termasuk higiene susu. 7) Pengendalian
pencemaran udara. 8) Pengendalian radiasi. 9) Kesehatan kerja. 10) Pengendalian
kebisingan. 11) Perumahan dan pemukiman. 12) Aspek kesehatan lingkungan
dan transportasi udara. 13) Perencanaan daerah atau perkotaan. 14) Pencegahan
Kecelakaan 15) Rekreasi umum dan pariwisata. 16) Tindakan-tindakan sanitasi
yang berhubungan dengan keadaan epidemi (wabah), bencana alam, dan
perpindahan penduduk. 17) Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk
menjamin lingkungan (Efendi & Makhfudli, 2009).
Menurut Pasal 22 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992,
terdapat 8 ruang lingkup kesehatan lingkungan yaitu: 1) Penyehatan air dan
udara. 2) Pengamanan limbah padat atau sampah. 3) Pengamanan limbah cair. 4)
Pengamanan limbah gas. 5) Pengamanan radiasi. 6) Pengamanan kebisingan. 7)
41
Pengamanan vektor penyakit. 8) Penyehatan dan pengamanan lainnya seperti
situasi pasca bencana (Efendi & Makhfudli, 2009).
2.5 Hubungan Antara Perilaku Membuang Sampah dengan Kejadian
Penyakit Berbasis Lingkungan (Diare dan Penyakit Kulit)
Perilaku membuang sampah sangatlah penting dimasyarakat untuk dibahas,
karena problematika sampah daerah-daerah yang sering membuang sampah masih
banyak, pemerintahan negara didunia menekankan membuang sampah dengan
membuat peraturan mengenai membuang sampah sembarangan tetapi juga masih
banyak yang membuang sampah tanpa sepengetahuan (Oluyinka & Balogun, 2011).
Membuang sampah mempunyai faktor yang mempengaruhinya yaitu ketersediaan
tong sampah, jenis kelamin, usia, kehadiran sampah sebelumnya, keyakinan moral
dan agama, status perkawinan, pendapatan, tingkat pendidikan dan pengetahuan.
Sampah sembarangan membuat dampak sosial, kesehatan, ekonomi, estetika, dan
masalah lingkungan yang kota diseluruh dunia menghadapi. Ini merupakan ancaman
serius bagi kesehatan manusia dan kesejahteraan melalui paparan infeksi dan
kontaminan biologis, gangguan bau, dan peningkatan jumlah hama (tikus dan
serangga) yang berkembangbiak dan bertindak sebagai vektor penyakit (Oluyinka &
Balogun, 2013).
Pentingnya kesehatan manusia tidak pernah bisa ditekankan. Tidak ada orang
yang bisa berfungsi di luar keadaan kesehatannya. Salah satunya masalah pembuangan
sampah yang tidak tepat merupakan masalah kesehatan masyarakat dan dengan
demikian negatif pada manusia (Lucas & Gilles , 1990 dalam Wokekoro & Inyang,
2014). Tumpukan sampah tidak semestinya dibuang sembarangan dapat
meningkatkan hewan pengerat, vektor dan bau sampah yang menimbulkan berbagai
42
bentuk penyakit (Lucas & Gilles, 2003 dalam Wokekoro & Inyang, 2014). Tempat
sampah yang tidak tertutup maupun tempat sampah yang diletakkan berdekatan
dengan kegiatan memasak dapat juga menimbulkan bibit penyakit. Bibit penyakit
akan semakin berkembang akibat udara yang lembab dan kebiasaan masyarakat yang
kurang peduli terhadap personal hygiene.
Kehadiran hewan juga sebagai faktor resiko untuk kepadatan lalat dan diare
akan hadir. Hewan yang rentan membuang air sembarangan membuat makanan yang
disediakan akan mudah terhinggap oleh lalat menginggap. Faktor yang lain adalah
penggunaan jamban dalam ruangan dan kedekatan hewan pada tempat tinggal juga
menjadi menyebabkan kepadatan lalat dan diare. Jumlah keluarga juga menjadi faktor
resiko diare, jika salah satu anggota keluarga terkena pada periode tertentu
disebabkan kepadatan jumlah kamar anggota keluarga (Adler, et al. 2015). Anak-anak
yang tumbuh di area pertenakan sebagian besar dapat terkena penyalit kulit yang
disebabkan jamur lingkungan dan bakteri dengan dibandingkan anak-anak dalam
kelompok lain (Ege, et al. 2011).
Perilaku membuang sampah dapat perubahan kualitas air dan lingkungan
yang khawatir bagi kesehatan (Kusrini, 2015). Menurut Purbowarsito (2011) penyakit
kulit dapat dipindahkan ke orang lain melalui air, menyebar langsung dari feses ke
mulut atau lewat makanan kotor atau tercemar, sebagai akibat kurang air bersih untuk
keperluan pribadi. Menurut Kusnoputranto (2000) dalam Aminah, Naria &
Marsaulina (2013), terbatasnya ketersediaan jumlah air, bersih sehingga masyarakat
tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik dapat menyebabkan penularan
penyakit. Penyakit karena kurangnya air untuk kebersihan seseorang antara lain :
infeksi kulit, dan selaput lendir, infeksi oleh insekta parasit pada kulit.
43
Penyakit yang sering menyerang orang-orang di negara berkembang yaitu
penyakit kulit kudis yang disebabkan oleh penyebaran tungu. Penyakit ini disebakan
faktor kepadatan penduduk dan kemiskinan, iklim tropis kualitas hidup seseorang
yang buruk dan banyaknya penularan seseorang yang parah (Engelman, et al. 2013).
Penyakit kulit kurap timbul karena iklim yang panas dan tropis lembab. Kurap timbul
karena tidak higienis kelompok yang sosial-ekonomi rendah, pekerja, sering migrasi
buruh dan sering beriwisata yang mempunyai kontribusi terbesar. Kurap disebabkan
oleh Tinea Cruris, Tinea Corpis dan Tinea Pedis ( Bhatia & Sharma, 2014). Faktor-faktor
yang mempengaruhi terhadap panu Tinea Vescolorr berdasarkan letak musim dan
geografik, letak musim keri 1 % dan pada musim tropis 50 %. Faktor resiko lainnya
adalah usia remaja dan dewasa muda, panas, lembab, kehamilan dan timbul pada
kulit yang tertutup pakaian (Varada, Dabate & Loo, 2013). Dermatitis alergi yang
memiliki prevalensi dari 2 kali lipat di negara industri tanpa sebab yang jelas, pasisen
infeksi kulit sering Staphylococcus Aureus berbudaya dari kulit dan non lesi (Ledyde, et
al. 1974 dalam Kong, et al. 2012).
Pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya perilaku membuang
sampah yang sembarangan mengakibatkan tumbuh dan berkembangnya
mikroorganisme dan bibit penyakit. Bibit penyakit dapat menular melalui vektor
udara dan lalat, maupun media lainnya seperti, peralatan makan, pakaian dan sumber
air. Vektor yang membawa bakteri maupun jamur akan tumbuh menjadi gejala
penyakit. Penyakit yang sering timbul adalah diare dan penyakit kulit (kudis, kurap
panu dan alergi).