BAB II TINJAUAN PUSTAKA - poltekkes-tjk.ac.idrepository.poltekkes-tjk.ac.id/2435/6/6. BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - poltekkes-tjk.ac.idrepository.poltekkes-tjk.ac.id/2435/6/6. BAB II.pdf ·...
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Depresi
1. Pengertian Depresi
Gangguan depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood
sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yaitu gangguan
episode depresi, gangguan distimia, gangguan depresi mayor dan gangguan
depresi unipolar serta bipolar (Depkes RI, 2007: 4).
a. Jenis Depresi
Gangguan depresi mayor (depresi unipolar) adalah gangguan perasaan
hati yang ditandai dengan munculnya satu atau lebih gejala episode gangguan
depresi seperti perasaan tertekan, kehilangan ketertarikan atau kenyamanan,
insomnia, agitasi psikomotor, fatigue, dan kehilangan konsentrasi untuk
berfikir tanpa adanya sejarah episode manik, hipomanik, atau campuran
keduanya selama lebih dari 2 minggu (Kando et al., 2005: 1235).
Gangguan depresi tipe manik (depresi bipolar) merupakan kebalikan dari
gangguan depresi. Hal ini ditandai dengan peningkatan suasana hati atau
euphoria. Gangguan tersebut dapat dipicu oleh stess dan tekanan dari
kehidupan sehari – hari, peristiwa traumatis, trauma fisik/cedera kepala
(Fisher, 2006: 8 ).
Gejala utama pada gangguan depresif ringan, sedang dan berat (Depkes,
2007: 11): Afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan dan
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas.
1) Episode depresi ringan
a) Terdapat sekurang-kurangnya 2 dari 3 gejala depresi diatas
b) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
c) Hanya sedikit kesulitan nyata dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
dilakukannya.
7
2) Episode depresi sedang
a) Terdapat sekurang-kurangnya 2 dari 3 gejala depresi diatas
b) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
c) Menghadapi kesulitan nyata dalam meneruskan kegiatan dan kegiatan social,
pekerjaan dan urutan rumah tangga.
3) Episode depresi berat tanpa gejala psikotik
a) Semua 3 gejala utama gagguan depresif
b) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu,
akan tetapi jika gejala sangat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan menegakkan diagnosis kurun waktu 2 minggu
c) Sangat tidak mngkin penderita akan mampu meneruskan kegiatan social,
pekerjaan, atau runah tangga kecuali tarif yang sangat terbatas.
4) Episode depresi disertai gejala psikotik
a) Gejala depresi yang disertai waham, halusinasi atau stupor. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam.
Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau
menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor
yang berat dapat menuju pada stupor.
5) Gangguan depresi berulang
a) Gangguan ini bersifat berulang dari episode depresi ringan, sedang, dan berat.
Episode masing-masing rata-rata sekitar 6 bulan akan tetapi frekuensinya
jarang
b) Episode masing-masing dalam berbagai tingkat keparahan, seringkali
dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh stress atau trauma mental
lain.
2. Epidemiologi (Kaplan dan Sadock, 1997: 779).
Gangguan depresif berat adalah suatu gangguan yang sering terjadi,
dengan prevalensi seumur hidup adalah kira-kira 15 persen, kemungkinan
setinggi 25 persen pada wanita. Insidensi gangguan depresif berat juga lebih
tinggi daripada biasanya pada pasien perawatan primer, yang mendekati 10
persen, dan pada pasien medis rawat inap yang mendekati 15 persen.
8
a. Jenis kelamin
Prevalensi gangguan depresif dua kali lebih besar terjadi pada wanita
dibandingkan laki-laki. Alasan adanya perbedaan telah didalilkan sebagai
melibatkan perbedaan hormon, efek kelahiran, perbedaan stressor psikososial
bagi wanita dan bagi laki-laki, dan model perilaku tentang keputusasaan yang
dipelajari.
b. Usia
Rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-kira
40 tahun, 50 persen dari semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan
50 tahun. Gangguan depresif berat juga mungkin memiliki onset selama
masa anak-anak atau lanjut usia. Beberapa data epidemiologi baru-baru ini
menyatakan bahwa insidensi gangguan depresif berat mungkin meningkat
pada orang yang berusia kurang dari 20 tahun. Hal ini mungkin terjadi akibat
meningkatnya penggunaan alcohol dan zat lain pada kelompok usia tersebut.
c. Status perkawinan
Gangguan depresif berat paling sering terjadi pada orang yang tidak
memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang bercerai atau berpisah.
3. Etiologi dan Patofisiologi Depresi
a. Etiologi
Etiologi gangguan depresi sangat komplek dan melibatkan banyak faktor,
seperti faktor sosial, perkembangan jiwa dan biologis, sehingga untuk
menjelaskannya tidak dapat dijelaskan dari satu macam faktor. Faktor-faktor
yang terlibat bisa muncul secara bersama-sama tetapi juga bisa sendiri-sendiri
(Kando et al., 2005: 1235).
1) Faktor biologi
Dilaporkan, pasien dengan gangguan mood mengalami kelainan di
metabolit amin biogenik, seperti asam 5-hydroxyindoleacetic (5-HIAA), asam
homovanilic (HVA), dan 3-methoxy-4-hydroxyphenil-glycol (MHPG) di
dalam darah, urin dan cairan serebrospinal (Siste dan Ismail, 2010: 229 ).
2) Faktor genetik (Siste dan Ismail, 2010: 230)
a) Penelitian dalam keluarga
Generasi pertama, 2 sampai 10 kali lebih sering mengalami depresi berat.
9
b) Penelitian yang berkaitan dengan adopsi
Dua dari tiga studi menemukan gangguan depresi berat diturunkan secara
genetik. Studi menunjukkan anak biologis dari orang tua yang terkena
gangguan mood berisiko untuk mengalami gangguan mood walaupunn anak
tersebut dibesarkan oleh keluarga angkat.
c) Penelitian yang berkaitan dengan anak kembar
Pada anak kembar dizigotik gangguan depresi berat terdapat sebanyak 13-
28%, sedangkan pada kembar monozigotik 53-69%.
3) Faktor psikososial (Siste dan Ismail, 2010: 230)
a) Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang tertekan (stress) dapat
mencetuskan terjadinya depresi.
b) Faktor kepribadian
Orang dengan gangguan kepribadian obsesi kompulsi, histrionic dan ambang,
berisiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan gangguan
kepribadian paranoid atau antisosial.
4) Faktor psikodinamika (Siste dan Ismail, 2010: 231)
Pemahaman psikodinamik depresi dikemukakan oleh Sigmund freud dan
dilanjutkan oleh karl Abraham dikenal sebagai pandangan klasik depresi.
Teori tersebut mencakup empat hal utama
a) Gangguan hubungan ibu-anak selama fase oral (10-18 bulan) menjadi faktor
predisposisi untuk rentan terhadap episode depresi berulang
b) Depresi dapat dihubungkan dengan cinta yang nyata maupun fantasi
kehilangan objek
c) Introjeksi merupakan terbangkitnya mekanisme pertahanan untuk mengatasi
penderitaan akibat kehilangan objek cinta
d) Kehilangan objek cinta, diperlihatkan dalam bentuk campuran antara benci
dan cinta, serta perasaan marah yang diarahkan pada diri sendiri
10
5) Formulasi lain dari depresi (Siste dan Ismail, 2010: 232)
a) Teori kognitif
Depresi merupakan hasil penyimpangan kognitif spesifik yang membuat
seseorang mempunyai kecenderungan menjadi depresi. Postulat aaron beck
menyatakan trias kognitif dari depresi mencakup:
(1) Pandangan terhadap diri sendiri berupa persepsi negatif terhadap dirinya
(2) Tentang lingkungan yakni kecenderungan menganggap dunia bermusuhan
terhadapnya
(3) Tentang masa depan yakni bayangan penderitaan dan kegagalan.
b. Patofisiologi
Patofisiologi depresi dijelaskan dalam beberapa hipotesis.
1) Hipotesis Biogenik Amin
Hipotesis ini menyatakan bahwa depresi disebabkan karena
kekurangan (defisiensi) jumlah neurotransmitter norepinefrin (NE), serotonin
(5-HT) dan dopamine (DA) dalam otak (Teter et al., 2007: 778 ). Oleh
karena itu, depresi dapat dikurangi oleh obat yang dapat meningkatkan
kesediaan serotonin, dan noradrenalin, misalnya SSRI, MAO inhibitor atau
antidepresan trisiklik.
a. Hipotesis Sensitivitas Reseptor
Hipotesis ini menjelaskan bahwa depresi merupakan hasil perubahan
patologis pada reseptor yang diakibatkan oleh terlalu kecilnya stimulasi oleh
monoamin. Saraf post-sinapsis akan berespon sebagai kompensasi terhadap
besar kecilnya stimulasi oleh neurotransmiter. Jika stimulasi terlalu kecil
maka saraf akan menjadi lebih sensitif (supersensitivity) atau jumlah reseptor
akan meningkat (upregulation). Jika terjadi stimulasi yang berlebihan saraf
akan menjadi kurang sensitif (desentivity) atau jumlah reseptor akan
berkurang (down regulation) (Kando et al., 2005: 1236).
Hipotesis amina biogenik berkembang sebagai hasil dari beberapa
pengamatan yang dilakukan pada awal 1950-an. Telah dicatat bahwa reserpin
obat antihipertensi menghabiskan butiran penyimpanan neuron NE, 5-HT,
dan DA dan menghasilkan depresi yang signifikan secara klinis pada 15%
atau lebih dari pasien. Selain itu, ditemukan bahwa asam halusin dioksida
11
asam diethylamide memblokir reseptor serotonin perifer, dan diusulkan
bahwa efek pengubahan pikiran dari dietilamid asam lisergik adalah efek
sekunder yang serupa pada reseptor serotonin sistem saraf pusat (CNS).
b. Hipotesis Disregulasi
Gangguan depresi dan psikriatik disebabkan oleh ketidak teraturan
neurotransmiter, antara lain gangguan regulasi mekanisme homeostasis
gangguan pada ritmik sirkadian, gangguan pada sistem regulasi sehingga
terjadi penundaan level neurotransmiter untuk kembali ke baseline (Kando et
al., 2005: 1236).
c. Hipotesis Permisif
Memberikan gambaran bahwa kontrol emosi diperoleh dari
keseimbangan antara serotonin (5-HT) dan norepinefrin (NE). Serotonin (5-
HT) mempunyai fungsi regulasi terhadap norepinefrin (NE) sehingga dapat
menentukan kondisi emosi apakah terjadi depresi atau manik. Teori ini
mempostulatkan bahwa serotonin (5-HT) yang rendah dapat menyebabkan
kadar norepinefrin (NE) menjadi tidak normal yang dapat menyebabkan
gangguan mood. Jika kadar norepinefrin (NE) rendah akan terjadi depresi,
dan jika kadarnya tinggi akan terjadi manik. Menurut hipotesis ini
meningkatkan kadar serotonin (5-HT) akan memperbaiki kondisi sehingga
tidak muncul gangguan mood (Kando et al., 2005: 1236).
4. Gejala klinis
Gejala depresi pada setiap orang berbeda – beda, hal ini tergantung
pada berat atau ringannya gejala ( Depkes, 2007: 7). Gejala yang ditemui
pada pasien depresi yaitu gejala emosional, gejala fisik, gejala intelektual atau
kognitif dan gangguan psikomotor.
Gejala emosi ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk
menikmati kesenangan, kehilangan minat, kegiatan, hobi yang biasa
dikerjakan, tampak sedih, pesimis, tidak ada rasa percaya diri, merasa tidak
berharga, perasaan cemas yang berlebihan, merasa bersalah yang tidak
realistis, dan berhalusinasi (Kando et al.,2005:1237 ).
Gejala fisik yang biasa muncul adalah kelelahan, nyeri ( terutama
sakit kepala), gangguan tidur (sulit tidur, terbangun di malam hari), ganguan
12
nafsu makan, keluhan pada sistem pencernaan, keluhan pada sistem
kardiovaskular (terutama palpitasi) dan hilangnya gairah seksual (Kando et
al.,2005: 1237)
Gejala intelektual atau kognitif, meliputi: penurunan kemampuan
untuk berkonsentrasi, ingatan yang lemah terhadap kejadian yang baru terjadi,
kebingungan dan ketidakyakinan. Gejala psikomotorik yang biasanya muncul
yaitu, retardasi psikomotorik (perlambatan gerakan fisik, proses berpikir, dan
bicara) atau agitasi psikomotor (Sukandar dkk., 2008: 215).
5. Penatalaksanaan terapi
Tujuan terapi depresi adalah untuk mengurangi gejala depresi akut,
meminimalkan efek samping, memastikan kepatuhan pengobatan, membantu
pengembalian ketingkat fungsi sebelum depresi, dan mencegah episode lebih
lanjut (Sukandar dkk., 2008: 217). Banyaknya jenis terapi pengobatan,
keefektivitan pengobatan juga akan berbeda-beda antara orang yang satu
dengan orang yang lain. Psikater biasanya memberikan medikasi dengan
menggunakan antidepresan untuk menyeimbangkan kimiawi otak
penderita.Terapi yang digunakan untuk pasien dipengaruhi oleh hasil evaluasi
riwayat kesehatan serta mental pasien ( Depkes, 2007:17).
13
Pasien depresi yang sehat secara fisik tanpa
kontraindikasi terhadap antidepresan
SSRI
Respon parsial
Respon
penuh/sembuh
Respon penuh/ sembuh
Respon parsial Gagal
Pemelihara terapi minimal
sampai 4-6 bulan
Pertimbangkan penambahan
antipsikotik, lithium, hormone
tiroid, SSRI + TCA atau alihkan
ke alternative lain (TCA atau
SSRI)
Gagal karena tidak ada
respon atau ada respon atau
ada reaksi efek samping
Alihkan ke alternative lain
(SSRI yang lain,
nafazodon, mirtazapine,
bupropion, venlafaksin)
Sembuh
Alihkan ke alternative lain
(mirtazapine, bupropion,
venlafaksin)
Alihkan ke alternative
lain (SSRI yang lain,
venlafaksin, bupropion,
mirtazapine)
Pelihara terapi minimal
sampai 4-6 bulan Pertimbangan penambahan
antipsikotik, lithium, hormone
tiroid, SSRI + TCA atau alihkan
alternative lain (nefazodon,
mirtazapine, bupropion,
venlafaksin)
Pemelihara terapi minimal
sampai 4-6 bulan
Gagal Respon parsial
Gambar 2.1 Algoritma Terapi Depresi Mayor Tanpa Komplikasi (Kando et al., 2005)
14
a. Terapi non farmakologi
1) Psikoterapi
Psikoterapi adalah terapi pengembangan yang digunakan untuk
menghilangkan atau mengurangi keluhan – keluhan serta mencegah
kambuhnya gangguan pola perilaku maladatif (Depkes, 2007: 18). Teknik
psikoterapi tersusun seperti teori terapi tingkah laku, terapi interpersonal, dan
terapi untuk pemecahan sebuah masalah. Dalam fase akut terapi efektif dan
dapat menunda terjadinya kekambuhan selama menjalani terapi lanjutan pada
depresi ringan atau sedang. Pasien dengan menderita depresi mayor parah dan
atau dengan psikotik tidak direkomendasikan untuk menggunakan
psikoterapi. Psikoterapi merupakan terapi pilihan utama utuk pasien dengan
menderita depresi ringan atau sedang (Teter et al.,2007:780)
2) Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy adalah terapi dengan mengalirkan arus listrik
ke otak. Terapi menggunakan ECT biasa digunakan untuk kasus depresi berat
yang mempunyai resiko untuk bunuh diri (Depkes, 2007: 18). Terapi ECT
terdiri dari 6 – 12 treatment dan tergantung dengan tingkat keparahan pasien.
Terapi ini dilakukan 2 atau 3 kali seminggu, dan sebaiknya terapi ECT
dilakukan oleh psikiater yang berpengalaman (Mann. 2005: 1830). Electro
Convulsive Therapy akan kontraindikasi pada pasien yang menderita
epilepsi, TBC miller, gangguan infark jantung, dan tekanan tinggi intra
karsial (Depkes, 2007: 18).
b. Terapi farmakologi
Antidepresan adalah obat-obat yang mampu memperbaiki suasana jiwa
atau mood dengan menghilangkan atau meringankan gejala keadaan murung,
yang tidak disebabkan oleh kesulitan sosial-ekonomi, obat-obatan atau
penyakit (Tjay dan Rahardja, 2007: 462).
1) Antidepresan Trisiklik (TCA)
Antidepresan trisiklik (TCA) merupakan antidepresan yang mekanisme
kerjanya menghambat pengambilan kembali amin biogenik seperti
norepinerin (NE), Serotonin (5 – HT) dan dopamin didalam otak, karena
menghambat ambilan kembali neurotransmitter yang tidak selektif,sehingga
15
menyebabkan efek samping yang besar. Efek samping yang sering
ditimbulkan TCA yaitu efek kolinergik seperti mulut kering, sembelit,
penglihatan kabur, pusing, takikardi, ingatan menurun, dan retensi urin. Obat-
obat yang termasuk golongan TCA antara lain Amitripilin, Clomipramine,
Doxepin, Imipramine, Desipiramine, Nortriptyline (Kando et al., 2005: 1242).
2) Selectif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
Selectif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) merupakan golongan obat
yang secara spesifik menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin di
dalam otak (Depkes RI, 2007: 23). SSRI memiliki efikasi yang setara dengan
TCA pada penderita depresi mayor. SSRI dapat diberikan kepada pasien
depresi yang tidak berespon terhadap TCA. Untuk kasus depresi mayor yang
parah atau depresi melankolis, efikasi TCA lebih tinggi daripada SSRI,
namun untuk kasus depresi bipolar, SSRI lebih tinggi efikasinya daripada
TCA karena TCA dapat memicu terjadinya mania atau hipomania (Mann,
2005: 1821).
Obat antidepresan yang termasuk dalam golongan SSRI seperti
Citalopram, Escitalopram, Fluoxetine, Fluvoxamine, Paroxetine, dan
Sertraline (Teter et al.,2007: 782). Fluoxetine merupakan antidepresan
golongan SSRI yang memiliki waktu paro yang lebih panjang dibandingkan
dengan antidepresan golongan SSRI yang lain, sehingga fluoxetine dapat
digunakan satu kali sehari (Mann, 2005: 1821). Efek samping yang
ditimbulkan Antidepresan SSRI yaitu gejala gastrointestinal (mual, muntah,
dan diare), disfungsi sexsual pada pria dan wanita, pusing, dan gangguan
tidur. Efek samping ini hanya bersifat sementara (Kando et al., 2005: 1242).
3) Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor (SNRI)
Antidepresan golongan Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor
(SNRI) mekanisme kerjanya mengeblok monoamin dengan lebih selektif
daripada antidepresan trisiklik, serta tidak menimbulkan efek yang tidak
ditimbulkan antidepresan trisiklik ( Mann, 2005: 1821). Antidepresan
golongan SNRI memiliki aksi ganda dan efikasi yang lebih baik
dibandingkan dengan SSRI dan TCA dalam mengatasi remisi pada depresi.
16
Obat yang termasuk golongan SNRI yaitu Venlafaxine dan Duloxetine.
Efek samping yang biasa muncul pada obat Venlafaxine yaitu mual, disfungsi
sexual. Efek samping yang muncul dari Duloxetine yaitu mual, mulut kering,
konstipasi, dan insomnia (Teter et al., 2007: 786)
4) Antidepresan Aminoketon
Antidepresan golongan aminoketon adalah antidepresan yang memiliki
efek yang tidak begitu besar dalam reuptake norepinefrin dan serotonin.
Bupropion merupakan satu-satunya obat golongan aminoketone. Bupropion
bereaksi secara tidak langsung pada sistem serotonin, dan efikasi Bupropion
mirip dengan antidepresan trisiklik dan SSRI. Bupropion digunakan sebagai
terapi apabila pasien tidak berespon terhadap antidepresan SSRI. Efek
samping yang ditimbulkan Bupropion yaitu mual, muntah, tremor, insomnia,
mulut kering, dan reaksi kulit ( Teter et al., 2007: 786).
5) Antidepresan Triazolopiridin
Antidepresan triazolopiridin, contohnya trazodon dan nefazodon.
Mekanisme kerjanya bertindak sebagai antagonis 5-HT2 dan penghambat 5-
HT, serta dapat meningkatkan 5-HT1A. Trazodone digunakan untuk
mengatasi efek samping sekunder seperti pusing dan sedasi, serta peningkatan
availabilitas alternatif yang dapat diatasi ( Teter et al., 2007: 785).
Efek samping yang ditimbulkan oleh Trazodone adalah sedasi, gagguan
kognitif, serta pusing. Sedangkan efek samping yang ditimbulkan
Nefazodone yaitu sakit kepala ringan, ortostatik hipotensi, mengantuk, mulut
kering, mual, dan lemas ( Teter et al., 2007: 786).
6) Antidepresan Tetrasiklik
Mirtazapin adalah satu-satunya obat antidepresan golongan tetrasiklik.
Mekanisme kerjanya sebagai antagonis pada presinaptic α2-adrenergic
autoreseptor dan heteroreseptor, sehingga meningkatkan aktivitas
nonadrenergik dan seratonergik. Mirtazapin bermanfaat untuk pasien depresi
dengan gangguan tidur dan kekurangan berat badan. Efek samping yang
ditimbulkan berupa mulut kering, peningkatan berat badan, dan konstipasi
(Teter et al., 2007: 785).
17
7) Mono Amin Oxidase Inhibitor ( MAOI )
Mono Amin Oxidase Inhibitor adalah suatu enzim komplek yang
terdistribusi didalam tubuh, yang digunakan dalam dekomposisi amin
biogenik (norepinefrin, epinefrin, dopamin, dan serotonin) (Depkes, 2007:
26). MAOI bekerja memetabolisme NE dan serotonin untuk mengakhiri
kerjanya dan supaya mudah disekresikan. Dengan dihambatnya MAO, akan
terjadi peningkatan kadar NE dan serotonin di sinap, sehingga akan terjadi
perangsangan SSP.
Enzim pada MAOI memiliki dua tipe yaitu MAO-A dan MAO-B.
Kedua obat hanya akan digunakan apabila obat-obat antidepresan yang lain
sudah tidak bisa mengobati depresi (tidak manjur). Moclobomida merupakan
suatu obat baru yang menginhibisi MAO-A secara ireversibel, tetapi apabila
pada keadaan overdosis selektivitasnya akan hilang. Selegin secara selektif
memblokir MAO-B dan dapat digunakan sebagai antidepresan pada dosis
yang tinggi dan beresiko efek samping. MAO-B sekarang sudah tidak
digunakan lagi sebagai antidepresan (Tjay & Rahardja, 2007: 468).
Obat-obat yang tergolong dalam MAOI yaitu Phenelzine,
Tranylcypromine, dan Selegiline. Efek samping yang sering muncul yaitu
postural hipotensi (efek samping tersebut lebih sering muncul pada pengguna
phenelzine dan Tranylcypromine ), penambahan berat badan, gangguan
sexual (penurunan libido, anorgasmia) ( Teter et al., 2007: 786).
Hipotensi ini dapat diminimalisir dengan pemberian dosis terbagi.
Efek antikolinergik berupa mulut kering dan konstipasi. Efek samping ini
sering terjadi namun lebih ringan daripada yang disebabkan oleh
antidepresan trisiklik (Kando et al., 2005: 1242).
Secara umum MAOI dibatasi penggunaannya bagi pasien yang tidak
memberikan respon pada pengobatan antidepresan lainnya karena MAOI
berpotensi menimbulkan efek samping yang serius dan penggunaannya
membutuhkan pembatasan konsumsi makanan tertentu. Biasanya SSRI
digunakan sebagai terapi awal karena mempunyai efek samping yang lebih
bisa diterima oleh pasien (Kando et al., 2005: 1243).
18
Pada penggunaan MAOI bersamaan dengan makanan, perlu
diperhatikan pola makan pasien. Pasien diperingatkan untuk tidak memakan
makanan dengan kandungan tiramin tinggi karena dapat terjadi krisis
hipertensi. Contoh makanan dengan kandungan tiramin tinggi yaitu keju,
yogurt, hati sapi atau ayam, anggur merah, buah seperti pisang, alpukat,
coklat, ginseng, kafein (Anonim, 2007)
c. Terapi Tambahan
Digunakannya terapi tambahan yang untuk meningkatkan efek
antidepresan serta mencegah terjadinya mania.
1) Mood Stabilizer (Mann, 2005: 1825)
Lithium dan Lomotrigin biasa digunakan sebagai mood stabilizer. Litium
adalah suatu terapi tambahan yang efektif pada pasien yang tidak
memberikan respon terhadap pemberian monoterapi antidepresan. Lomotrigin
adalah antikonvulsan yang mereduksi glutamateric dan juga digunakan
sebagai agen terapi tambahan pada depresi mayor.
Beberapa mood stabilizer yang lain yaitu Valproic acid, Divalproex dan
Carbamazepin ini semua digunakan untuk terapi mania pada bipolar disorder.
Divalproex dan Valproate digunakan untuk mencegah kekambuhan kembali.
2) Antipsikotik
Antipsikotik digunakan untuk meningkatkan efek antidepresan. Ada 2
macam antipsikotik yaitu tipikal antipsikotik dan atypical antipsikotik. Obat–
obat yang termasuk tipikal antipsikotik yaitu Chorpromazine, Fluphenazine,
dan Haloperidol. Antipsikotik tipikal bekerja memblok dopamine D2
reseptor. Atypical antipsikotik hanya digunakan untuk terapi pada depresi
mayor resisten (Kennedy, 2003: 40) dan bipolar depresi (Keck, 2005: 35).
Obat – obat yang termasuk dalam Atypical antipsikotik clozapine, olanzapine,
dan aripripazole (Mann, 2005: 1825)
19
Tabel 2.1 Antidepresan yang Tersedia Saat ini dan Digunakan Untuk
Terapi (Kando et al., 2007)
Nama generic Dosis awal
(mg/ hari)
Dosis lazim
(mg/hari)
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors
Citalopram
Escitalopram
Fluoxetine
Fluvoxamine
Paroxetine
Sertraline
20
10
10-20
50
20
50
20-60
10-20
10-80
50-300
20-50
100-200
Serotonine/Norefinefrin Reuptake Inhibitors
Venlafaxine
75
75-375
Aminoketone
Bupropion
200
300-450
Triazolopyridines
Nefazodone
Trazodone
200
50-150
300-600
150-400
Tetracycline
Maprotiline
Mirtazapine
50-75
15
100-225
15-45
Tricyclic antidepressants
Tertiary amines
Amitriptilin
Clomipramine
Doxepin
Imipramine
Trimipramine
Secondary amines
Desipramin
Nortriptyline
Protriptyline
50-75
25
50-75
50-75
50-75
50-75
25-50
10-20
100-300
100-250
100-300
100-300
100-300
100-300
50-150
15-60
Dibenzoxazepine
Amoxapine
50-150
100-400
20
Monoamine oxidase inhibitors
Phenelzine
Tranylcypromine
15
20
15-90
20-60
B. Interaksi Obat
1. Interaksi obat-obat
Interaksi obat terjadi ketika efek suatu obat yang berubah akibat
adanya obat lain, makanan, minuman, atau agen kimia lingkungan lain yang
dapat meningkatkan, menurunkan, atau peniadaan efek obat. Mekanisme
interaksi obat dibagi menjadi interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik
(Baxter, 2008:1-2).
a. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat mempengaruhi
proses obat diabsorpsi, didistribusikan, dimetabolisme dan diekskresikan
(ADME) (Baxter,2008: 3). Lama dan intesitas efek obat merupakan
fungsionalisasi kadar obat dalam plasma, yang secara langsung berkaitan
dengan kecepatan ADME. Sat atau lebih kecepatan dapat diubah oleh
pemberian obat sebelumnya/bersamaan, faktor diet dan pemaparan zat kimia
di sekitar. Faktor fisik seperti suhu yang berubah-ubah dan efek suatu
penyakit (misalnya demam) juga dapat mengubah sifat-sifat farmakokinetik
obat (Sastramihardja, 2012: 84).
1) Interaksi pada absorpsi obat
Sebagian besar obat diberikan secara oral untuk penyerapan melalui
selaput lendir saluran pencernaan, dan sebagian besar interaksi yang
berlangsung didalam usus menghasilkan penurunan penyerapan daripada
peningkatan. Perbedaan yang jelas harus dibuat antara mereka yang
mengurangi tingkat penyerapan dan mereka yang mengubah jumlah total
yang diserap. Obat yang diberikan untuk jangka panjang, dalam dosis ganda
(misalnya antikoagulan oral) laju penyerapan biasanya tidak penting, asalkan
jumlah obat yang diserap tidak berubah secara nyata. Sedangkan obat yang
diberikan dalam dosis tunggal, dimaksudkan untuk diserap dengan cepat
(misalnya hipnotik atau analgesik), konsentrasi tinggi yang dicapai dengan
21
cepat diperlukan, pengurangan laju penyerapan dapat mengakibatkan
kegagalan untuk mencapai efek yang memadai (Baxter, 2008: 3)
a) Efek perubahan pH gastrointestinal
Bagian obat melalui selaput lendir oleh difusi pasif sederhana
tergantung pada sejauh mana mereka ada dalam bentuk larut-lipid yang tidak
terionisasi. Oleh karena itu, penyerapan diatur oleh pKa obat, kelarutan
lemaknya, pH isi usus dan berbagai parameter lain yang berkaitan dengan
formulasi obat farmasi. Secara teori, mungkin diharapkan bahwa perubahan
pH lambung yang disebabkan oleh obat-obat seperti antagonis reseptor H2
akan memiliki efek yang jelas pada penyerapan, tetapi dalam praktiknya
hasilnya sering tidak pasti karena sejumlah mekanisme lain juga ikut
berperan, seperti khelasi, adsorpsi dan perubahan motilitas usus, yang dapat
sangat mempengaruhi apa yang sebenarnya terjadi. Namun, dalam beberapa
kasus pengaruhnya bisa signifikan (Baxter, 2008: 3)
b) Adsorpsi, khelasi dan mekanisme pengompleks lainnya
Arang aktif dimaksudkan untuk bertindak sebagai agen penyerap di
dalam usus untuk pengobatan akibat overdosis obat atau untuk
menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat memengaruhi penyerapan
obat yang diberikan dalam dosis terapi. Antasida juga dapat menyerap
sejumlah besar obat, tetapi sering kali mekanisme interaksi lain juga terlibat.
Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat dikhelat dengan sejumlah ion
logam divalent dan trivalent, seperti kalsium, aluminium, bismuth dan besi
untuk membentuk kompleks, yang keduanya diserap dengan buruk dan
mengurangi efek antibakteri. Ion logan ditemukan dalam produk susu dan
antasida. Memberi jarak saat mengonsumsinya selama 2 hingga 3 jam
dilakukan untuk mengurangi efek interaksi jenis ini (Baxter, 2008: 3).
c) Perubahan motilitas gastrointestinal
Sebagian besar obat diserap di bagian atas usus kecil. Obat-obat yang
mengubah tingkat motilitas pada saat perut kosong dapat memengaruhi
penyerapan. Propantheline misalnya menunda pengosongan lambung dan
mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminophen), sedangkan
metoklorpramid memiliki efek sebaliknya. Namun, jumlah total obat yang
22
diserap tetap tidak berubah. Apa yang sebenarnya terjadi kadang-kadang
sangat tidak dapat diprediksi karena hasil akhir mungkin merupakan hasil dari
beberapa mekanisme yang berbeda (Baxter, 2008: 3)
d) Induksi atau penghambatan protein pengangkut obat
Bioavailabilitas obat oral dari beberapa obat dibatasi oleh aksi protein
pengangkut obat yang mengeluarkan obat yang telah menyebar melintasi usus
kembali ke usus. Saat ini, pengangkut obat yang paling dikenal adalah P-
glikoprotein. Digoxin adalah substrat P-glikoprotein dan obat-obat yang
menginduksi protein ini (seperti rifampisin) dapat mengurangi bioavailabilitas
digoxin (Baxter, 2008: 3).
e) Malabsobsi yang disebabkan oleh obat-obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi, mirip dengan yang terlihat
pada sari buah non-tropis. Efeknya adalah mengganggu penyerapan sejumlah
obat termasuk digoxin dan methotrexate (Baxter, 2008: 3).
2) Interaksi pada distribusi obat
a) Interaksi pengikat protein
Setelah penyerapan, obat-obat didistribusikan dengan cepat ke seluruh
tubuh melalui sirkulasi. Beberapa obat benar-benar larut dalam air plasma,
tetapi banyak obat lainnya yang diangkut hanya sebagian molekul dalam
larutan dan sisanya terikat pada protein plasma, terutama albumin. Tingkat
pengikatan ini sangat bervariasi tetapi beberapa obat sangat terikat (Baxter,
2008: 4).
Sebagian besar obat (terutama yang bersifat asam) terikat pada protein
plasma, maka pergeseran tempat ikatan protein plasma sering meningkatkan
pelepasan obat bebas (tidak terikat) sehingga terjadi peningkatan efek
farmakologinya yang kadang-kadang kompleks dan sukar diduga. Keadaan
ini penting pada obat-obatan yang sebagian besar (>90%) terikat pada protein
plasma seperti antikoagulan kumarin, sulfonamide, salisilat, indometasin dan
NSAID lainnya (Sastramihardja, 2012: 87).
Interaksi juga terjadi pada tempat ikatan protein jaringan yang
mengalami pergeseran akibat kompetisi. Kinidin aka menggeser digoksin dari
23
tempat ikatan di jaringan (kinidin juga mengganggu ekskresi digoksin oleh
ginjal), sehingga toksisitas digoksin meningkat (Sastramihardja, 2012: 87).
b) Induksi atau penghambatan protein transportasi tinggi
Semakin diakui bahwa distribusi obat ke otak dan beberapa organ lain
seperti testis, dibatasi oleh aksi protein pengangkut obat seperti P-
glikoprotein. Protein-protein ini secara aktif mengangkut obat keluar dari sel
ketika mereka secara pasif berdifusi. Obat-obat yang merupakan penghambat
transporter ini dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak,
yang dapat meningkatkan efek SSP yang merugikan atau bermanfaat (Baxter,
2008: 4).
3) Interaksi metabolisme obat (biotranformasi)
Beberapa metabolisme obat berlangsung dalam serum, ginjal, kulit
dan usus, tetapi bagian terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan dalam
membrane reticulum endoplasma sel-sel hati. Terdapat dua jenis utama reaksi
metabolism obat. Pertama, disebut reaksi fase I (melibatkan oksidasi, reduksi
dan hidrolisis) yang mengubah obat menjadi lebih banyak senyawa polar,
sedangkan reaksi fase II melibatkan penggabungan obat dengan bebrapa
bahan lain (misalnya asam glutamate yang dikenal sebagai glukuronidasi)
biasanya untuk membuat senyawa tidak aktif (Baxter, 2008: 4).
Sebagian besar reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim yang
mengandung sitokrom P450. Isoenzim yang paling penting adalah : CYP1A2,
CYP2C9, CYP2C19,CYP2D6, CYP2E1 dan CYP3A4. Enzim lain yang
terlibat dalam metabolisme fase I yaitu monoamine oksidase dan epoksida
hydrolase. Kurang diketahui tentang enzim yang bertanggung jawab untuk
reaksi konjugasi fase II, namun contohnya adlah UDP-glucuronyltransferase
(UGT), methyltransferase, dan n-acetyltranferases (NAT) (Baxter, 2008: 4).
a) Perubahan pada metabolisme fase pertama
(1) Perubahan aliran darah melalui hati
Setelah penyerapan di usus, portal sirkulasi membawa obat langsung
ke hati sebelum didistribusikan oleh aliran darah ke seluruh tubuh. Sejumlah
obat yang sangat larut dalam lemak menjalani biotransformasi besar-besaran
selama fase pertama melalui dinding usus dan hati serta ada beberapa bukti
24
bahwa beberapa obat dapat memiliki efek nyata pada tingkat metabolisme
fase pertama dengan mengubah aliran darah melalui hati. Namun, ada
beberapa contoh yang relevan secara klinis tentang hal ini, dan banyak yang
dapat dijelaskan dengan mekanisme lain, biasanya mengubah metabolisme
hati (Baxter, 2008: 5).
(2) Penghambatan atau induksi metabolisme fase pertama
Dinding usus mengandung enzim metabolisme, terutama isoenzim
sitokrom P450. Selain metabolisme yang berubah yang disebabkan oleh
perubahan aliran darah di hati, ada bukti bahwa beberapa obat dpat memiliki
efek yang nyata pada tingkat metabolisme fase pertama dengan menghambat
atau menginduksi isoenzim sitokrom P450 dalam dinding usus di hati
(Baxter, 2008: 5).
b) Induksi enzim
Fenomena stimulasi enzim atau induksi ini tidak hanya menjelaskan
kebutuhan akan dosis yang meningkat tetapi jika obat lain yang
dimetabolisme oleh kisaran enzim yang sama, metabolisme enzimatiknya
juga meningkat dan dosis yang lebih besar diperlukan untuk mempertahankan
efek terapi yang sama. Jalur metabolisme yang paling umum diinduksi adlah
oksidasi fase I yang dimediasi oleh isoenzim sitokrom P450 (Baxter, 2008:
5).
c) Penghambatan enzim
Penghambatan enzim mengakibatkan berkurangnya metabolisme obat
sehingga dapat mulai menumpuk didalam tubuh, efeknya biasanya sama
seperti ketika dosis ditingkatkan. Tidak seperti induksi enzim, yang mungkin
membutuhkan beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu untuk
berkembang sepenuhnya. Penghambatan enzim dapat terjadi dalam 2 hingga
3 hari yang mengakibatkan perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur
metabolisme yang paling sering dihambat adalah oksidasi fase I oleh
isoenzim sitokrom P450. Metabolisme konjugatif fase II juga bisa dihambat.
Signifikasi klinis dari banyak interaksi penghabatan enzim tergantung pada
sejauh mana kadar serum obat meningkat. Jika kadar serum tetap dalam
25
kisaran terapeutik, interaksi mungkin tidak penting secara klinis (Baxter,
2008: 6).
d) Faktor genetik dalam metabolisme obat
Pemahaman genetika yang meningkat telah menunjukan bahwa
beberapa sitokrom isoenzim P450 tunduk pada polimorfisme genetic, yang
berarti bahawa beberapa populasi memiliki varian isoenzim dengan aktivitas
berbeda. Contoh paling dikenal adalah CYP2D6, sebagian kecil populasi
memilki varian dengan aktivitas rendah dan digambarkan sebagai metabolizer
yang lambat (sekitar 5 hingga 10% pada kaukasia putih, 0 hingga 2% pada
orang asia dan orang kulit hitam). Kemampuan yang bervariasi untuk
memetabolisme obat-obat tertentu dapat menjelaskan mengapa bebarapa
pasien mengalami toksisitas ketika diberi obat, sementara yang lain tetap
bebas gejala (Baxter, 2008: 7).
e) Sitokrom P450 isoenzim dan memprediksi interaksi obat
Sangat menarik untuk mengetahui isoenzim tertentu manan yang
bertanggung jawab untuk metabolisme obat karena dengan melakukan tes in
vitro dengan enzim hati manusia seringkali mungkin untuk menjelaskan
mengapa dan bagaimana bebrapa obat berinteraksi. Sebagai contoh,
siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, dan kita tahu bahwa rifampisin
adalah penginduksi kuat dari isoenzim ini, sedangkan ketokenazol
menghambat aktivitasnya. Sehingga tidak mengherankan jika rifampisin
mengurangi efek siklosporin dan ketokenazole meningkatkannya. Beberapa
obat dapat dimetabolisme oleh lebih dari satu isoenzim sitokrom P450,
beberapa obat dan metabolitnya dapat menginduksi isoenzim tertentu dan
dimetabolisme olehnya, dan beberapa obat (atau metabolitnya) dapat
menghambat isoenzim tertentu tetapi tidak dimetabolisme olehnya (Baxter,
2008: 7).
4) Interaksi pada ekskresi obat
Darah yang memasuki ginjal disepanjang arteri ginjal, pertama-tama
dikirim ke glomeruli tubulus, molekul yang cukup kecil untuk melewati pori-
pori membran glomerulus (misalnya garam, air, beberapa obat) disaring ke
dalam lumen pada tubulus. Molekul yang lebih besar, seperti protein plasma
26
dan sel darah disimpan di dalam darah. Aliran darah kemudian berpindah ke
bagian-bagian yang tersisa dari tubulus ginjal, sistem transport yang
menggunakan energi aktif mampu mengeluarkan obat-obat dan metabolitnya
dari darah dan mengeluarkannya ke dalam filtrate tubular. Sel tubular ginjal
juga memiliki sistem transport aktif dan pasif untuk reabsorpsi obat.
Gangguan oleh obat dengan pH cairan tubulus ginjal dengan sistem transport
aktif dan dengan aliran darah ke ginjal dapat mengubah ekskresi obat lain
(Baxter, 2008: 7).
a) Perubahan pH urin
Seperti halnya penyerapan obat dalam usus, reabsopsi pasif obat
tergantung pada sejauhmana obat itu aada dalam bentuk terlarut lipid yang
tidak terionisasi, yang pada gilirannya tergantung pada pKa dan pH urin.
Hanya bentuk yang tidak terionisasi yang larut dalam lemak dan dapat
berdifusi kembali melalui membrane lipid dari sel tubulus. Jado pada nilai pH
tinggi (alkali), obat asam lemah (pKa 3 sampai 7,5) sebagian besar ada
sebagai molekul yang tidaka larut dalam lipid terionisasi, yang tidak dapat
berdifusi ke dalam sel tubulus dan karena itu akan tetap di dalam urin dan
dikeluarkan dari tubuh. Kebalikannya akan berlaku untuk basa lemah dengan
pKa 7,5 hingga 10,5. Jadi perubahan pH yang meningkatkan jumlah yang
terionisasi (urin alkali untuk obat-obat asam, urin asam untuk obat –obat
basa) dapat meningkatkan ekskresi obat, sedangkan perubahan pH pada arah
yang berlawanan akan meningkatkan reensi. Dalam kasus overdosis,
manipulasi pH urin secara sengaja telah digunakan untuk meningkatkan
ekskresi obat-obat seperti metroteksat dan salisilat (Baxter, 2008: 7).
b) Perubahan aktif pada ekskresi tubular
Obat-obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di
tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain untuk ekskresi. Transporter ABC
dan P-glikoprotein juga ada di ginjal, obat-obat ini dapat mengubah eliminasi
obat ginjal (Baxter, 2008: 8).
27
c) Perubahan aliran darah pada ginjal
Aliran darah melalui ginjal sebagian dikendalikan oleh produksi
prostaglandin vasodilatasi ginjal. Jika sintesis prostlagandin ini terhambat,
ekskresi bebrapa obat ginjal dapat berkurang (Baxter, 2008: 8).
d) Ekskresi bilier dan pintasan enterohepatic
(1) Resirkulasi enterohepatik
Sejumlah obat diekskresikan dalam empedu, bentuk tidak berubah atau
terkonjugasi membuatnya lebih larut dalam air. Beberapa konjugat
dimetabolisme menjadi senyawa utama oleh flora usus dan kemudian diserap
kembali. Proses daur ulang ini memperpanjang masa tinggal obat di dalam
tubuh, tetapi jika flora usus berkurang dengan adany antibakteri, obat tersebut
tidak didaur ulang dan diekskresikan lebih cepat (Baxter, 2008: 8).
(2) Pengangkut obat
Beberapa protein pengankut obat terbawa dalam ekstraksi pada hati dan
sekresi obat ke dalam empedu. Pompa ekspor garam empedu (ABCB11)
diketahui dihambat oleh berbagai obat termasuk siklosporin, glibenklamide,
dan bosentan. Penghambatan pompa ini dapat meningkatkan risiko kolestasis
(Baxter, 2008: 8).
5) Protein pengangkut obat
Protein pengangkut obat yang paling terkenal adlah P-glikoprottein yang
merupakan [produk dari gen MDRI (gen ABCB1) dan bagian dari
pengangkut efflux kaset pengikat ATP (ABC). Pengangkut ABC lainnya
adalah pompa ekspor gram empedu (BSEP atau ABCB11). Pengangkut lain
yang terlibat dalam beberapa interaksi obat adlah transporter anion organic
(OAT), polipeptida pengangkut anion organic (OATPs), dan transporter
kation organic (OCT) yang merupakan bagian pembawa zat terlarut (SLC)
dari pengangkut (Baxter, 2008: 8).
a) Interaksi P-glikoprotein
Semakin banyak bukti yang terakumulasi untuk menunjukkan bahwa
beberapa interaksi obat terjadi karena mereka mengganggu aktivitas P-
glikoprotein. Ini adlah pompa penghilang cairan yang ditemukan di
membrane sel tertentu, yang dapat mendorong metabolit dan obat keluar dari
28
sel dan berdamak pada tingkat penyerapan obat (melalui usus), distribusi (ke
otak, testis, atau plasenta), dan eliminasi ( dalam urine dan empedu). Jadi,
misalnya P-glikoprotein dalam sel-sel lapisan usus dapat mengeluarkan
beberapa molekul obat yang sudah diserap kembali ke usus sehingga
menghasilkan pengurangan jumlah total obat yang diserap. Dengancara ini P-
glikoprotein bertindak sebagai penghalang penyerapan. Aktivitas P-
gloikoprotein dalam sel endotel dari sawar darah-otak juga dapat
mengelluarkan obat-obat tertentu dari otak, sehingga membatasi penetrasi
dan efek SSP. Tindakan memompa P-glikoprotein dpat diinduksi atau
dihambat oleh beberapa obat. Dengan demikian induksi atau penghambatan
P-glikoprotein dapat berdampak pada farmakokinetik beberapa obat. Ada
tumpeng tindih antara CYP3A4 dan inhibitor P-glikoprotein, penginduksi dan
substrat. Oleh karena itu, kedua mekanisme dapat terlibat dalam banyak
interaksi obat yang secra tradisional p disebbakan oleh perubahan CYP3A4
(Baxter, 2008: 8).
b. Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah efek dari suatu obat diubah oleh
kehadiran obat lain ditempat kerjanya. Terkadang obat bersaing secara
langsung untuk reseptor tertentu ( misalnya agonis beta 2 seperti salbutamol
dan beta bloker seperti propranolol ) tetapi seringkali reaksinya secara tidak
langsung dan melibatkan gangguan pada mekanisme fisiologis (Baxter, 2008:
9).
1) Aditif atau interaksi sinergis
Jika dua obat memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersa,
efeknya dapat menjadi aditif. Efek aditif dapat terjadi baik dengan efek utama
obat naupun efek sampingnya, sehingga interaksi aditif dapat terjadi dengan
obat antiparkinson antimuskarinik (efek utama) atau bulyrophenone (efek
samping yang dapat mengakibatkan toksisitas antimuskarinik yang serius.
Terkadang efek aditif bersifat toksisk (misalnya ototoksisitas aditif,
nefrotoksisitas, depresi sumsung tulang belakang, perpanjangan interval
(QT)) (Baxter, 2008: 9).
29
Peningkatan efek terjadi karena proses sinergisme da jenisnya ada dua
macam, yaitu: (Sastramihardja, 2012: 81). Aditif atau sumasi adalah efek
yang dihasilkan merupakan jumlah aljabar efek masing-masing obat (2 + 2 =
4). Contohnya efek yang dihasilkan akibat interaksi betanidin dengan diuretic
tiazid dalam mengobati hipertensi. Potensiasi adalah efek yang dihasilkan
lebih kuat dari jumlah aljabar efek masing-masing obat (2 + 2 > 4).
Contohnya efek yang dihasilkan oleh interaksi trimetropin dengan
silfometoksazol dalam menghambat sintesa asam folat.
a) Sindrom serotonin
Pada 1950-an, reaksi toksik serius dan mengancam jiwa dilaporkan pada
pasien yang memakai iproniazid (MAOI) ketika mereka diberi pethidine
(meperidhine). Apa yang terjadi diduga disebabkan oleh stimulasi berlebih
dari reseptor 5-HT1A dan 5-HT2A dan kemungkinan reseptor serotonin lain
dalam sistem saraf pusat (khususnya di batang otak dan sumsum tulang
belakang) karena efek gabungan dari dua obat. Ini dapat terjadi secara luar
biasa setelah hanya menggunakan satu obat, yang menyebabkan stimulasi
berlebih dari reseptor 5-HT ini, tetapi jauh lebih biasanya berkembang ketika
dua atau lebih obat (disebut obat serotonergic atau serotomimetik) bekerja
bersamaan. Gejala khas (sekarang dikenal sebagai sindrom serotonin) jatuh
ke dalam tiga area utama, yaitu perubahan status mental (agitasi,
kebingungan, mania), disfungsi otonom (diaphoresis, diare, demam,
menggigil), dan kelainan neuromuskuler (hiperrefleksia, inkoordinasi,
mioklonus, getaran). Masih belum jelas mengapa banyak pasien dapat
menggunakan dua atau kadang-kadang beberapa obat serotonergic bersama-
sama tanpa masalah, semntara sejumlah kecil mengembangkan reaksi toksik
yang serius ini, tetapi jelas menunjukkan bahwa masih ada faktor lain yang
terlibat yang belum diidentifikasi (Baxter, 2008: 9).
2) Antagonis atau interaksi yang sering bertentangan
Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasangan obat dengan
aktivitas yang saling bertentangan. Sebgai contoh, kumarin dapat
memperpanjang waktu pembekuan darah dengan menghambat secara
kompetitif efek dari diet vitamin K. jika asupan vitamin K meningkat, efek
30
antikoagulan oral ditentang dan waktu prothrombin dapat kembali normal,
sehingga membatalkan manfaat terapeutik dari pengobatan antikoagulan
(Baxter, 2008: 9-10).
Penurunan efek terjadi karena proses antagonis dan jenisnya ada dua
macam, yaitu: (Sastramihardja, 2012: 82). Antagonis kompetitif adalah
penghambatan terjadi melalui kerjanya pada reseptor yang sama. Contohnya
antagonism morfin dengan nalokson. Antagonis non-kompetitif adalah
penghambatan terjadi melalui kerjanya pada reseptor yang berbeda.
Contohnya efek antagonis adrenalin terhadap efek histamin pada bronkus.
3) Interaksi penggunaan obat atau neurotransmitter
Sejumlah obat dengan aksi yang terjadi pada neuron adrenergic dapat
dicegah agar tidak mencapai tempat tindakan tersebut dengan adanya obat
lain. Antidepresan trisiklik mencegah pengambilan kembali noradrenalin
(norefinefrin) menjadi neuron adrenergic perifer. Misalnya penggunaan
guanethidine (dan obat-obat terkait guanoclor, betanidine, debrisoquine, dll.)
diblokir oleh chlorpromazine, haloperidol, tiotixene, sejumlah obat seperti
amphetamine dan antidepresan trisiklik, sehingga efek antihipertensi dicegah
(Baxter, 2008:10 ).
2. Interaksi obat-herbal
Pasar obat-obat herbal dan suplemen di dunia barat telah meningkat
pesat dalam bebrapa tahu n terakhir dan tidak mengherankan laporan interaksi
dengan obat konvensional telah muncul. Contoh paling terkenal dan
terdokumentasi adalah interaksi St. John’s wort (Hypericum perforatum)
dengaan berbagai obat (Baxter, 2008: 10).
3. Interaksi obat-makanan
Sudah diketahui bahwa mkanan dapat menyebabkan perubahan penting
secara klinis dan penyerapan obat melalui efek pada motilitas gastrointestinal
atau dengan pengikatan obat. Selain itu, telah diketahui bahwa tyramine
(terdapat pada bebrapa bahan makanan) dapat mencapai konsentrasi toksik
pada psien yang memakai ‘MAOIs’ (Baxter, 2008: 11).
31
a. Sayuran dan daging panggang arang
Sayuran seperti kecambah Brussel, kubis, dan brokoli mengandung zat
yang merupakan penginduksi dari sitokrom P450 isoenzim CYP1A2. Bahan
kimia yang dibentuk oleh daging terbakar juga memiliki sifat-sifat ini.
Makanan ini tampaknya tidak menyebabkan interaksi obat yang penting
secara klinis, tetapi konsumsi mereka dapat menambah variable lain untuk
studi interaksi obat, sehingga mempersulit interpretasi. Dalam studi interaksi
obat, perubahan CYP1A2 merupakan mekanismem yang diprediksi, mungkin
lebih baik bagi pasien untuk menghindari makanan ini selama penelitian
(Baxter, 2008: 11).
b. Jus grapefruit
Secara umum, jus grapefruit menghambat CYP3A4 usus, dan hanya
sedikit memengaruhi CYP3A4 hati, sediaan obat intravena yang
dimetabolisme oleh CYP3A4 tidak banyak terpengaruh, sedangkan sediaan
oral dari obat yang sama juga mengahasilkan peningkatan level obat.
Beberapa obat yang tidak dimetabolisme oleh CYP3A4 menunjukkan
penurunan kadar dengan jus grapefruit. Alasan yang mungkin untuk hal ini
adalah bahwa jus grapefruit merupakan penghambat bebrapa pengangkut
obat, dan mungkin memengaruhi polipeptida pengangkut organic (OATP),
walaupun penghambatan P-glikoprotein juga telah terjadi. Grapefruit
mengandung naringin yang mengalami degradasi selama pemrosesan menjadi
naringenin, zat yang dikenal menghambat CYP3A4 (Baxter, 2008: 11).
4. Tingkat Keparahan Interaksi Obat (Bailie, 2004: 6)
Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga level : minor, moderate, atau major.
a. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi
mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya
terhadap pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi
ciprofloxacin oleh antasida ketika dosis diberikan kurang dari dua jam
setelahnya.
32
b. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari
bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe
intervensi/monitor sering diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin
menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan
tambahan, perawatan di rumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal di
rumah sakit. Contohnya adalah dalam kombinasi vankomisin dan gentamisin
perlu dilakukan monitoring nefrotoksisitas.
c. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat
probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk
kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen.
C. Studi Literatur
1. Pengertian Studi Literatur
Penelitian studi literatur merupakan jenis penelitian kualitatif yang
pada umumnya tidak terjun ke lapangan dalam pencarian sumber datanya.
Penelitian studi literatur merupakan metode yang digunakan dalam pencarian
data, atau cara pengamatan (bentuk observasi) secara mendalam terhadap
tema yang diteliti untuk menemukan jawaban sementara dari masalah yang
ditemukan di awal sebelum penelitian ditindaklanjuti. Dengan kata lain
Penelitian studi literatur merupakan metode dalam pencarian, mengumpulkan
dan menganalisi sumber data untuk diolah dan disajikan dalam bentuk
laporan Penelitian studi literatur (Amin, 2012).
Studi literature ialah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti
untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang
akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah,
laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-
peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia dan sumber-
sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain (Setiawan, 2020).
Menurut Mardalis (1999) Penelitian studi literatur salah satunya
bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan
33
bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan, seperti:
buku-buku majalah, dokumen catatan dan kisah-kisah sejarah dan lain-
lainnya Pada hakikatnya data yang diperoleh dengan penelitian studi literatur
dapat dijadikan landasan dasar dan alat utama bagi pelaksanaan penelitian
lapangan. Masih menurut Mardalis (1999), penelitian ini dikatakan juga
sebagai penelitian yang membahas data-data sekunder.
2. Tujuan Studi Literatur
Penelti akan melakukan studi studi literatur baik sebelum maupun
selama dia melakukan penelitian. Studi studi literatur memuat sitematis
tentang kajian literatur dan hasil penelitian sebelumnya yang ada
hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dan diusahakan
menunjukkan kondisi mutakhir dari bidang ilmu tersebut “the state of the
art”, studi kepustakaan yang dilakukan sebelum malakukan penelitian yang
bertujuan untuk (Setiawan, 2020):
a. Menemukan suatu masalah untuk diteliti, dalam arti bukti-bukti atau
pernyataan bahwa masalah yang akan diteliti belum terjawab atau belum
terpecahkan secara memuaskan atau belum pernah diteliti orang mengenai
tujuan, data dan metode, analisa dan hasil untuk waktu dan tempat yang sama.
b. Mencari informasi yang relevan dengan masalah yang akan diteliti.
c. Mengkaji beberapa teori dasar yang relevan dengan masalah yang akan
diteliti, menggali teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian dan
melakukan komparasi-komparasi dan menemukan konsep-konsep yang
relevan dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian.
3. Permasalahan Studi Literatur
Biasanya dalam penelitian kepustakaan memiliki permasalahan
teknis yang berkaitan dengan pencarian sumber data, pengumpulan data, dan
dalam menganalisis data. Hal ini bisa terjadi karena terjadi kesenjangan jarak
dan waktu antara peneliti dan sumber penelitian. Berikut beberapa kesalahan
atau permasalahan yang mungkin dilakukan saat melakukan Telaah Pustaka
(Amin, 2012):
a. Terlalu rakus dalam mengumpulkan Pustaka Terlalu fokus mencari dan
menelusuri dapat menyebabkan menyebabkan peneliti tidak mulai menulis
34
laporan penilitian bahkan mungkin membuat fokus pada topik penelitian
menjadi berubah. Langkah yang ideal adalah kumpulkan bahan pustaka, baca
dan dilanjutkan dengan menelaahnya .
b. Sumber Pustaka kurang terpecaya
c. Biasanva sumber pustaka yang bisa dikatakan kurang memuaskan adalah
terutama bila menemukan sumber dari Internet atau buku/junal yang
merupakan hasil teriemahan. Seringkali sumber internet dapat diakses dalam
waktu terbatas.
4. Sumber Studi Literatur
Ada beberapa macam sumber informasi yang dapat digunakan
peneliti sebagai bahan studi kepustakaan diantaranya sebagai berikut:
a. Jurnal Penelitian
Dalam jurnal ini beberapa hasil penelitian terpilih diterbitkan sehingga dapat
digunakan sebagai acuan begi perkembangan ilmu pengetahuan yang baru.
b. Buku
Buku merupakan sumber informasi yang sangat penting karena sebagian
bidang ilmu yang erat kaitannya dengan penelitian diwujudkan dalam bentuk
buku yang ditulis oleh seorang penulis yang berkompeten di bidang ilmunya.
c. Surat Kabar Dan Majalah
Media cetak ini merupakan sumber pustaka yang cukup baik dan mudah
diperoleh di mana-mana.
d. Internet
Kemajuan teknologi membawa dampak yang sangat signifikan di bidang
informasi, para peneliti dapat langsung mengakses intrernet dan mendapatkan
informasi yang diinginkan dari berbagai negara dengan sangat cepat.
35
D. Medscape
1. Pengertian Medscape
Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/File:Medscape_Logo.svg
Gambar 2.2 Logo Medscape
Medscape adalah situs web yang menyediakan akses informasi medis
untuk dokter; organisasi ini juga menyediakan pendidikan berkelanjutan
untuk dokter dan profesional kesehatan.Ini merujuk pada jurnal artikel medis,
CME (Continuing Medical Education), sebuah versi dari database MEDLINE
National library of medicine, berita medis dan informasi obat (Medscape
drug reference, MDR) (Wikipedia).
2. Pengertian drug interaction checker
Alat ini menjelaskan apa interaksi itu, bagaimana interaksi terjadi,
tingkat signifikansi (besar, sedang dan kecil) dan biasanya merupakan
tindakan yang disarankan. Medscape juga akan menampilkan interaksi antar
obat pilihan anda dan makanan, minuman, atau kondisi medis (Wikipedia).
Cara melihat interaksi obat dengan aplikasi drug interaction checker
pada Medscape:
a. Klik Medscape.com di mesin pencari
b. Pilih drug interaction checker
Sumber : https://reference.medscape.com/
Gambar 2.3 Drug Interaction Checker
36
c. Ketik nama obat yang akan dilihat potensi interaksinya
Sumber: https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker
Gambar 2.4 Drug Interaction Checker
d. Kemudian lihat potensi interaksi obatnya
Sumber: https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker
Gambar 2.5 Drug Interaction Checker
37
E. Kerangka Teori
Gambar 2.6 Kerangka Teori
Sumber: Kando, et al.(2005), Mann (2005), Prihati, dkk.(2017)
Depresi
Penatalaksanaan pasien depresi
Antidepresan
1) Antidepresan Trisiklik (TCA)
2) Selectif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
3) Serotonin /Norepinephrin Reuptake Inhibitor
(SNRI)
4) Antidepresan Aminoketon
5) Antidepresan Triazolopiridin
6) Antidepresan Tetrasiklik
7) Mono Amin Oxidase Inhibitor
( MAOI )
(Kando et. al., 2005)
Terapi farmakologi
1. Psikoterapi
2. Electro Convulsive
Therapy (ECT)
Terapi non farmakologi Terapi tambahan
1. Mood stabilizer
2. Antipsikotik
(Mann, 2005)
Potensi interaksi obat
1. Sosiodemografi (jenis
kelamin, usia, pendidikan,
pekerjaan
2. Asal rekam medik (rawat inap
atau rawat jalan)
3. Golongan obat
4. Jenis/item obat
5. Jenis interaksi obat
6. Fase interaksi obat
(Prihati, dkk., 2017)
• Medscape
• Drugs.com
38
F. Kerangka Konsep
Gambar 2.7 Kerangka Konsep
Penggunaan dan
potensi interaksi
obat pasien depresi
1. Karakteristik sosiodemografi (jenis
kelamin, usia, pendidikan dan
pekerjaan) pasien depresi
2. Frekuensi karakteristik golongan obat
dalam resep pasien depresi
3. Frekuensi karakteristik jenis obat dalam
resep pasien depresi
4. Frekuensi potensi interaksi obat pada
pasien depresi
5. Jenis potensi interaksi obat berdasarkan
tingkat keparahan pada pasien depresi
6. Fase potensi interaksi berdasarkan
mekanisme potensi interaksi obat pada
pasien depresi
39
G. Definisi Operasional
Tabel 2.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara
Ukur
Alat
Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
1. Karakteristik sosiodemografi
a. Usia
Usia dihitung dari
tahun pasien
hingga saat pasien
berobat
Artikel /
skripsi
penelitian
Lembar
checklist
1. 15-40 Tahun
2. 41-65 Tahun
3. > 65 Tahun
(Depkes RI, 2009)
Nominal
b. Jenis
kelamin
Identitas gender
pasien
Artikel /
skripsi
penelitian
Lembar
checklist
1. Laki-laki
2. Perempuan
Nominal
c. Pendidikan
Pendidikan
terakhir yang
ditempuh pasien
Artikel /
skripsi
penelitian
Lembar
checklist
1. S1
2. D3
3. SMA
4. SMP
5. SD
6. Tidak
bersekolah
Nominal
d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan
yang dilakukan
pasien
Artikel /
skripsi
penelitian
Lembar
checklist
1. Tidak bekerja
2. IRT
3. Buruh
4. Swasta
5. Wiraswasta
6. PNS
7. BUMN
8. Petani
9. Lain-lain
10. Tidak diketahui
Nominal
2.
Penggolongan
obat berdasarkan
efek
farmakologinya
Golongan obat
berdasarkan efek
farmakologinya
Artikel /
skripsi
penelitian
Lembar
checklist
1. SSRI
2. SNRI
3. TCA
4. Tetrasiklik
5. Antipsikotik
6. Antimuskarinik
7. Antiansietas
8. Vitamin &
mineral
9. Antibiotic
Nominal
40
10. Ekspektoran
3.
Jenis obat pada
pasien depresi
Obat berdasarkan
zat aktif yang
digunakan oleh
pasien depresi
Artikel /
skripsi
penelitian
Lembar
checklist
1. Amitriptilin
2. Fluoxetine
3. Sertraline
4. Escitalopram
5. Maprotilin
6. Haloperidol
7. Risperidone
8. Chlorpromazine
9. Trifluoperazin
10. Klozapin
11. Olanzapine
12. Seroquel
13. Quetiapine
14. Trihexyphenidil
15. Clobazam
16. Merlopam
17. Lorazepam
18. Diazepam
19. Vitamin B6
20. Mersibion
21. Curcuma
22. Amoksisilin
23. Siprofloxasin
24. Ammonium
chloride
Nominal
5.
1.
Potensi interaksi
obat
Potensi aksi suatu
obat diubah atau
dipengaruhi oleh
obat lain yang
diberikan secara
bersamaan.
Artikel /
skripsi
penelitian
Lembar
checklist
dan
Medscape
(aplikasi
digital)
1. Ada
2. Tidak ada
Ordinal
6.
Jenis potensi
interaksi obat
Jenis potensi
interaksi obat yg
dipengaruhi oleh
obat lain
Artikel /
skripsi
penelitian
Lembar
checklist
dan
Medscape
(aplikasi
digital)
1. Mayor
2. Moderate
3. Minor
Ordinal
7.
Fase potensi
interaksi obat
Fase atau tempat
mekanisme
terjadinya potensi
interaksi obat
Artikel /
skripsi
penelitian
Lembar
checklist
dan
Medscape
(aplikasi
digital)
1. Farmakokinetik
2. Farmakodinamik
Nominal