BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/834/2/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/834/2/BAB...
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sibling Rivalry pada remaja akhir
1. Pengertian sibling rivalry pada remaja akhir
Persaingan antar saudara kandung oleh Amijoyo dalam Kamus
Indonesia-Inggris (2009) disebut sebagai sibling rivalry ini banyak terjadi pada
anak-anak. Sibling rivalry adalah keemburuan, persaingan dan pertengkaran
antara saudara laki-laki dan saudara perempuan. Hal ini terjadi pada orang tua
yang memiliki anak lebih dari satu (Lusa, 2010). Menurut kamus besar psikologi
sibling rivalry adalah satu kompetisi antar saudara kandung, adik dan kakak laki-
laki, adik dan kakak perempuan, atau adik perempuan dengan kakak laki-laki
(Chaplin, 2006).
Menurut Gichara (2006) sibling rivalry adalah sikap bermusuhan dan
cemburu diantara saudara kandung. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh
Shaffer (2002) sibling rivalry adalah suatu kompetisi, kecemburuan dan
kebencian antar saudara kandung, yang sering kali muncul saat hadirnya saudara
yang lebih muda.
Menurut Haritz (2008) bahwa persaingan antar saudara kandung biasa
terjadi pada anak usia balita dan usia sekolah, lalu berangsur-angsur berkurang
seiring dengan meningkatkan kedewasaan. Namun, tidak menutup kemungkinan
berlanjut hingga dewasa jika orang tua tidak segera mengatasinya. Apalagi jika
pemahaman keagamaan anak lemah, perselisihan saudara kandung bisa
14
berkelanjutan sepanjang hidup anak. Sibling rivalry terjadi jika anak merasa mulai
kehilangan kasih sayang dari orang tua dan merasa bahwa saudara kandung adalah
saingan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua (Setiawati,
2007).
Sibling rivalry kerap terjadi pada masa kanak-kanak namun
dimungkinkan berlanjut hingga dewasa (Yulia dan Priatna, 2006). Ketika individu
beranjak pada masa dewasa , individu harus melewati masa remaja akhir.
Menurut Monks (2006) remaja seringkali diartikan sebagai masa transisi dari
masa anak-anak ke masa dewasa. Anak remaja tidak termasuk golongan anak, tapi
tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Monks (2006) juga berpendapat
bahwa remaja dibagi menjadi empat bagian yaitu : pra-remaja usia 10-12 tahun,
masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja tengah usia 15-18 tahun, dan
masa remaja akhir usia 18-21 tahun. Menurut Santrock (2011) masa remaja dibagi
menjadi tiga yaitu remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja tengah usia 15-18
tahun dan masa remaja akhir 18-21 tahun..
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas peneliti menarik kesimpulan
mengenai pengertian dari sibling rivalry. Sibling rivalry yang dalam bahasa
Indonesia berarti persaingan antar saudara kandung ini, pengertian lebih lanjutnya
adalah sebuah bentuk persaingan, kecemburuan, kebencian dan kompetisi yang
terjadi diantara saudara kandung baik itu laki-laki atau perempuan pada keluarga
yang memiliki anak lebih dari satu , dikarenakan takut kehilangan kasih sayang
orangtua.
15
2. Aspek-aspek sibling rivalry pada remaja akhir
Menurut Yati dan Mangunsong (2008) aspek-aspek persaingan antar
saudara kandung, yaitu :
a) Aspek komunikasi
Berkaitan dengan tuntutan lingkungan dan orang tua terhadap diri
seseorang seorang anak. Komunikasi yang lancar diantara semua anggota
keluarga baik itu ibu, ayah maupun saudara kandung akan meminimalkan
kemungkinan terjadinya sibling rivalry.
b) Aspek afeksi
Afeksi yang diharapkan oleh seorang anak mencakup pengungkapan
kasih sayang juga perhatian yang diperolah dari orang tua atau keluarga.
Anak akan merasa aman ketika dia dapat mengungkapkan kasih sayangnya
dan juga mendapat perhatian dari kedua orang tuanya.
c) Aspek motivasi
Mencakup motivasi untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan
lingkungan juga keinginan diri. Terkadang tuntutan orang tua terhadap
anaknya akan mempengaruhi motivasi dari anak itu sendiri.
Menurut Hurlock (2002) ada 5 bentuk-bentuk dalam persaingan antar
saudara kandung, yaitu :
a) Tidak mau membantu dan bekerjasama antar saudara kandung.
Biasanya ini terjadi pada seorang kakak yang ketika diminta oleh
adaiknya membantu melakukan sesuatu tetapi sang kakak tidak mau
membantu, menolak bahkan mengabaikan si adik.
16
b) Tidak mau berbagi dengan saudara kandung
Membagi sesuatu itu umum atau biasa terjadi antar saudara kandung.
Terutama pada saudara kandung yang tidak ada sibling rivalry diantara
mereka. Namun bagi mereka saudara kandung yang mengalami sibling
rivalry untuk berbagi dengan saudara kandungnya merupakan hal yang sulit.
c) Adanya serangan agresif terhadap saudara kandung
Serangan-serangan agresif ini biasa terjadi ketika persaingan antar
saudara kandung itu kemudian berubah menjadi perkelahian. Adapun
serangan agresif itu bermacam macam bentuknya : ada agresifitas verbal
yang berupa mengejek, memarahi, berteriak, membentak, dan menuduh
sedangkan agresifitas non verbal biasanya berupa memukul, menendang,
menampar, menjambak rambut, mendorong atau melemparkan sebuah
benda
d) Saling mengadukan kesalahan saudara kandung pada orang tua
Demi mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari orang
tua, saudara kandung cenderung melakukan segala hal salah satunya adalah
dengan mengadukan kesalahan dari saudaranya dengan tujuan mendapatkan
perhatian orang tua atau penilaian orang tua terhadap saudaranya berubah.
e) Merusak barang milik saudara kandung
Merusak barang milik saudaranya merupakan bentuk persaingan atau
rasa iri yang jelas diperlihatkan pada saudara kandungnya.
Berdasarkan pengertian – pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
aspek – aspek dari sibling rivalry menurut Yati dan Mangunsong (2008) ada tiga
17
yaitu aspek komunikasi, aspek afeksi dan aspek motivasi sedangkan menurut
Hurlock (2002) aspek dari sibling rivalry dibagi menjadi lima yaitu : tidak mau
membantu dan bekerja sama dengan saudara kandungnya, tidak mau berbagi
dengan saudara kandungnya, adanya serangan agresif terhadap saudara kandung,
saling mengadukan kesalahan saudara kandung kepada orang tua, dan merusak
barang milik saudara kandung. Aspek-aspek sibling rivalry yang akan digunakan
oleh peneliti adalah aspek sibling rivalry menurut Hurlock (2002) karena aspek-
aspek tersebut dinilai oleh peneliti lebih nyata , lebih terperinci dan lebih mungkin
digunakan dalam skala penelitian.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry pada remaja
Menurut Hurlock (2002) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
hubungan antar saudara kandung adalah sebagai berikut, yaitu :
a) Sikap orang tua
Sikap orang tua pada anaknya dipengaruhi oleh sejauh mana anak
mendekati keinginan dan harapan orang tua. Sikap orang tua juga
dipengaruhi oleh sikap dan perilaku anak terhadap anak yang lain dan
terhadap orang tuanya.
b) Urutan posisi dalam keluarga
Semua anak diberi peran menurut urutan kelahiran dan mereka
diharapkan memerankan peran tersebut. Jika anak menyukai peran yang
diberikan kepadanya, semua berjalan dengan baik. Tetapi peran itu peran
yang diberikan, bukan peran yang dipilih sendiri, maka kemungkinan terjadi
perselisihan besar sekali.
18
c) Jenis kelamin saudara kandung
Anak laki-laki dan perempuan bereaksi sangat berbeda terhadap
saudara laki-laki atau perempuan. Misalnya dalam kombinasi perempuan-
perempuan, terdapat lebih banyak iri hati daripada dalam kombinasi laki-
perempuan atau laki-laki. Seorang kakak perempuan kemungkinan lebih
cerewet dan suka mengatur terhadap adik perempuannya daripada adik
lelakinya.
d) Perbedaan usia antar saudara kandung
Perbedaan usia pada saudara kandung akan mempengaruhi cara
mereka bereaksi satu terhadap yang lain dan cara orang tua memperlakukan
mereka. Bila perbedaan usia antar saudara itu besar, baik jika anak berjenis
kelamin sama maupun berlainan, hubungan mereka lebih ramah , koperatif,
dan kasih mengasihi terjalin daripada bila usia mereka berdekatan.
e) Jumlah saudara
Jumlah saudara yang lebih sedikit cenderung menghasilkan hubungan
yang lebih banyak perselisihan daripada jumlah saudara yang besar. Bila
anak banyak saudara, disiplin cenderung otoriter. Bahkan bila ada
antagonisme dan permusuhan, ekspresi terbuka perasaan ini dikendalikan
dengan ketat. Hal ini tua santaim permisif terhadap perilaku anak,
memungkinkan antagonisme dan permusuhan yang dinyatakan dengan
terbuka, sehingga tercipta suasana yang diwarnai perselisihan.
19
f) Jenis disiplin
Hubungan antar saudara kandung tampak jauh lebih rukun dalam
keluarga yang menggunakan disiplin otoriter dibandingkan dengan keluarga
yang mengikuti disiplin permisif. Bila anak dibiarkan bertindak sesuka hati,
hubungan antar saudara kandung kerap kali menjadi tidak terkendali.
Disiplin yang demokratis dapat mengatasi sebagian kekacauan akibat
disiplin permisif, tetapi dampaknya tidak sebesar disiplin otoriter. Tetapi
secara keseluruhan disiplin demokratis menciptakan hubungan yang lebih
menyenangkan dan sehat.
g) Pengaruh orang luar
Tiga cara orang luar keluarga langsung mempengaruhi hubungan antar
saudara, yaitu kehadiran orang luar di rumah, tekanan orang luar pada
anggota keluarga, dan perbandingan anak dengan saudaranya oleh orang
luar. Hal ini mungkin sekali menimbulkan perselisihan baru atau
memperhebat perselisihan antar saudara yang sudah ada
Selain teori yang dipaparkan oleh Hurlock (2003), adapula teori
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry menurut Priatna dan
Yulia (2006). Menurut Priatna dan Yulia sibling rivalry dipengaruhi oleh :
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri anak-anak.
Adapun jenisnya adalah sebagai berikut :
20
a. Tempramen
Seorang anak yang bertempramen keras akan sulit untuk
mengalah dari saudaranya. Mereka akan selalu berusaha menjadi yang
pertama dan tidak mau dikalahkan oleh saudarannya. Akan lebih baik
jika hanya salah satu dari mereka yang bersaudara yang memiliki
tempramen tersebut tetapi jika keduanya juga memiliki tempramen
tersebut maka mereka akan sering terlibat dalam pertengkaran yang
dan menimbulkan persaingan.
b. Perbedan jenis kelamin
Berbeda jenis kelamin memang bukan hal yang bisa ditentukan
oleh manusia itu sendiri tetapi dengan adanya perbedaan tersebut
mungkin dapat memunculkan kecemburuan. Karena berbeda jenis
kelamin tentunya orng tua akan memperlakukan mereka secara
berbeda. Tidak hanya perlakuan yang berbeda tetapi peran merekapun
akan berbeda.
c. Perbedaan usia
Usia akan membuat tuntutan orang tua terhadap anak menjadi
beraneka ragam disesuaikan dengan usianya. Anak dengan usia yang
lebih tua akan diberi tuntutan yang lebih banyak dibandingkan dengan
anak yang usianya lebih muda. Hal tersebut yang kemudian banyak
menimbulkan kecemburuan dan berkibat pada timbulnya sibling
rivalry.
21
2. Faktor Eksternal
Faktor ekternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan atau diluar
diri anak-anak, diantaranya adalah
a. Urutan kelahiran
Urutan kelahiran dimungkinkan juga menjadi penyebab
munculnya perilaku sibling rivalry. Anak dengan urutan kelahiran
pertama sebelum memiliki saudara menerima kasih sayang orang
tuanya secara penuh tetapi ketika kehadiran saudara baru mereka
merasakan kasih orang tua mereka mulai berkurang. Hal tersebut yang
kemudian menimbulkan kecemburuan.
b. Jumlah saudara
Semakin banyak jumlah saudara dalam keluarga akan membuat
orang tua sedikit berkurang dalam memperhatikan anak yang satu
dengan yang lainnya, semakin banyak pula cinta yang harus dibagi
pada semua anaknya.
c. Pengetahuan ibu
Seorang ibu yang pengetahuan mengenai sibling rivalryny
rendah akan kesulitan ketika menghadapi anaknya yang berperilku
sibling rivalry. minimnya pengetahuan ibu mengenai hal tersebut
membuat ibu memberikan pemecahan permasalah yang salah atau
tidak sesuai dengan keadaan yang ada.
22
d. Pengaruh orang luar
Pengaruh orang luar dalam artian orang yang bukan anggota
keluarga inti seperti nenek dsb, terkadang justru memperparah kondisi
sibling rivalry yang diciptakan oleh anak-anak. Orang diluar keluarga
inti dapat berpengaruh menurunkan intensitas ataupun menaikkan
intensitas sibling rivalry.
e. Pola asuh
Pola asuh orang tua yang terbagi menjadi 3 yaitu pola asuh
otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif. Dalam
penelitian ini peneliti memilih pola asuh permisif sebagai objek yang
akan dikaji lebih dalam. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Rofi’ah (2013) dengan tema penelitian “Pola
asuh orang tua dengan kejadian sibling rivalry pada anak usia 1-5
tahun”. Dimana hasil penelitian itu mengatakan bahwa ada hubungan
pola asuh orang tua dengan kejadian sibling rivalry pada anak usia 1-5
tahun dengan kekuatan korelasi sebesar 0,608. Adapula penelitian
serupa juga dilakukan oleh Bjorkqvist dkk (2007) dengan tema
penelitian “ Sibling Rivalry Among Adolescents” dengan hasil
penelitian dimana tidak ada perbedaaan antara remaja laki-laki dengan
remaja perempuan terhadap intensitas munculnya perilaku sibling
meskipun dari usia 15 tahun sampai 18 tahun terjdi penurunan
intensitas munculnya perilaku sibling rivalry dari beberapa episode
dalam seminggu hingga sesekali dalam satu bulan.
23
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor
yang mempengaruhi sibling rivalry menurut Hurlock (2002) adalah sikap orang
tua, urutan posisi dalam keluarga, jenis kelamin saudara kandung, perbedaan usia,
jumlah saudara, jenis disiplin dan pengaruh orang luar, sedangkan menurut
Priatna dan Yulia (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry dibagi
menjadi 2 jenis yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri
atas tempramen, perbedaan usia dan perbedaan jenis kelamin, sedangkan faktor
eksternal terdiri atas nomor urut kelahiran, jumlah saudara, pengaruh orang luar,
pengetahuan ibu serta pola asuh yang lebih spesifik menjadi pola asuh permisif .
Faktor-faktor yang mempengaruhi sibling rivalry menurut Priatna dan Yulia
(2006) dipilih peneliti sebagai kajian dalm penelitian ini dikarenakan faktor-faktor
tersbut dirasa lebih mendekati dengan data yang didapat peneliti dilapangan.
Faktor yang mempengaruhi sibling rivalry pada remaja yang akan dipilih oleh
peneliti sebagai variabel penelitian adalah pola asuh permisif yang kemudian
dikaitkan dengan persepsi, dan dijadikan variabel penelitian sebagai persepsi
terhadap pola asuh permisif.
4. Sibling Rivalry pada Remaja Akhir
Persaingan antar saudara kandung oleh Amijoyo dalam Kamus Indonesia-
Inggris (2009) disebut sebagai sibling rivalry ini banyak terjadi pada anak-anak.
Sibling rivalry adalah keemburuan, persaingan dan pertengkaran antara saudara
laki-laki dan saudara perempuan. Hal ini terjadi pada orang tua yang memiliki
anak lebih dari satu (Lusa, 2010). Menurut kamus besar psikologi sibling rivalry
24
adalah satu kompetisi antar saudara kandung, adik dan kakak laki- laki, adik dan
kakak perempuan, atau adik perempuan dengan kakak laki-laki (Chaplin, 2006).
Menurut Gichara (2006) sibling rivalry adalah sikap bermusuhan dan
cemburu diantara saudara kandung. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh
Shaffer (2002) sibling rivalry adalah suatu kompetisi, kecemburuan dan
kebencian antar saudara kandung, yang sering kali muncul saat hadirnya saudara
yang lebih muda.
Menurut Haritz (2008) bahwa persaingan antar saudara kandung biasa
terjadi pada anak usia balita dan usia sekolah, lalu berangsur-angsur berkurang
seiring dengan meningkatkan kedewasaan. Namun, tidak menutup kemungkinan
berlanjut hingga dewasa jika orang tua tidak segera mengatasinya. Apalagi jika
pemahaman keagamaan anak lemah, perselisihan saudara kandung bisa
berkelanjutan sepanjang hidup anak. Sibling rivalry terjadi jika anak merasa mulai
kehilangan kasih sayang dari orang tua dan merasa bahwa saudara kandung adalah
saingan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua (Setiawati,
2007).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas peneliti menarik kesimpulan
mengenai pengertian dari sibling rivalry. Sibling rivalry yang dalam bahasa
Indonesia berarti persaingan antar saudara kandung ini, pengertian lebih lanjutnya
adalah sebuah bentuk persaingan, kecemburuan, kebencian dan kompetisi yang
terjadi diantara saudara kandung baik itu laki-laki atau perempuan pada keluarga
yang memiliki anak lebih dari satu, dikarenakan takut kehilangan kasih sayang
orangtua
25
Sibling rivalry kerap terjadi pada masa kanak-kanak namun dimungkinkan
berlanjut hingga dewasa (Yulia dan Priatna, 2006). Ketika individu beranjak pada
masa dewasa , individu harus melewati masa remaja akhir. Menurut Monks
(2006) remaja seringkali diartikan sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke
masa dewasa. Anak remaja tidak termasuk golongan anak, tapi tidak pula
termasuk golongan orang dewasa. Monks (2006) juga berpendapat bahwa remaja
dibagi menjadi empat bagian yaitu : pra-remaja usia 10-12 tahun, masa remaja
awal usia 12-15 tahun, masa remaja tengah usia 15-18 tahun, dan masa remaja
akhir usia 18-21 tahun. Menurut Santrock (2011) masa remaja dibagi menjadi tiga
yaitu remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja tengah usia 15-18 tahun dan
masa remaja akhir 18-21 tahun.
Menurut Erikson (Santrock, 2011) remaja akhir yang berada dalam tahap
kelima teori kehidupan merupakan individu yang memiliki karakter ingin diakui
dan dianggap keberadaannya oleh orang-orang disekitarnya. Hal tersebut erat
kaitannya dnegan tugas-tugas perkembangan pada masa remaja akhir yaitu
menguasi kemampuan membina hubungan yang lebih matang dengan teman
sebaya atau lawan jenis, menguasi kemampuan melaksanakan peranan sosial
sesuai dengan jenis kelamin, menerima keadaan fisik dan mengaktualisasikan
secara aktif, mencapai kemerdekaan emosional dari orang tua dan orang dewasa
lainnya (Havinghurst dalam Prayitno, 2006).
Remaja akhir memiliki emosi yang berbeda bila dibandingkan dengan
individu pada masa kanak-kanak (Hurlock, 2002). Emosi-emosi yang biasa terjadi
pada kalangan remaja akhir yaitu emosi marah, takut, khawatir, cemburu, iri hati,
26
afeksi bahagia dan rasa ingin tahu (Hurlock, 2002). Remaja akhir mudah marah
jika dianggap sebagai anak kecil karena remaja kahir pada tahan tersebut sangat
ingin dianggap sebagai orang dewasa (Hurlock, 2002).
Sibling rivalry dapat terjadi pada remaja dikarenakan remaja mengalami
ketakutan apabila saudaranya menjadi lebih unggul bila dibandingkan dengan
dirinya. Ketakutan pada diri remaja mengarah pada hal-hal yang abstrak. Remaja
akhir mengalami ketakutan jika dirinya tidak diterima oleh anggota kelompok
sehingga remaja berusaha menjadi lebih unggul agar dapat diterima dan dinilai
baik oleh orang-orang disekitanya terutama orang tuanya (Hurlock, 2002).
Tidak hanya ketakutan saudara kandungnya akan menjadi lebih unggul
salah satu alasan sibling rivalry dapat terjadi pada remaja adalah karena
kekhawatiran remaja akhir berkaitan dengan status pergaulan sosial (Hurlock,
2002). Remaja akhir akan berlomba mendapatkan status yang kemudian akan
membuiat remaja akhir bangga akan dirinya, sebaliknya apabila remaja akhir tidak
berusaha mendapatkan status maka remaja kahir khawatir dirinya tidak akan
diterima oleh lingkungan sosialnya. Remaja akhir yang terlibat sibling rivalry
dengan saudara kandungnya akan cenderung menampakkan rasa cemburu yang
dimiliki dan melakukan penolakan atas lingkungan yang tidak sesuai dengan
egonya (Shiebler, 2003).
Menurut Boyle (dalam Vevandi dan Tairas, 2015) sibling rivalry adalah
perilaku antagonis atau permusuhan yang terjadi antar saudara kandung yang
sering kali ditandai dengan perselisihan dalam memperebutkan waktu, perhatian,
cinta dan kasih sayang dari kedua orang tua. Untuk memperoleh perhatian orang
27
tua tidak jarang remaja akhir membesar-besarkan suatu hal dengan menceritakan
saudaranya secara hiperbola kepada orang tuanya. Sibling rivalry pada remaja
akhir dapat memunculkan perilaku negatif yang berupa agresifitas. Hanya saja
agresifitas pada masa remaja akhir berbeda dnegan agresifitas pada masa kanak-
kanak. Pada masa remaja akhir agresifitas yang dimunculkan lebih banyak berupa
agresifitas verbal (Shiebler, 2003). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Bjorkqvist dkk (2007) dengan tema penelitian “ Sibling Rivalry Among
Adolescents” dengan hasil penelitian dimana tidak ada perbedaaan antara remaja
laki-laki dengan remaja perempuan terhadap intensitas munculnya perilaku sibling
rivalry meskipun dari usia 15 tahun sampai 18 tahun terjadi penurunan intensitas
munculnya perilaku sibling rivalry dari beberapa episode dalam seminggu hingga
sesekali dalam satu bulan.
B. Persepsi terhadap Pola Asuh Permisif
1. Pengertian persepsi terhadap pola asuh permisif
Menurut Robbins (2003) persepsi adalah kesan yang diperoleh oleh
individu melalui panca indra kemudian dianalisis (diorganisir), diintepretasi dan
kemudian di evaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna. Pendapat
serupa juga dikemukakan oleh Purwodarminto (1999) persepsi adalah tanggapan
langsung dari suatu serapan atau proses seseorang mengetahui beberapa hal
melalui pengindraan. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli,
peneliti menyimpulkan persepsi adalah hasil berupa kesan yang diperoleh melalui
panca indra setelah diproses, intepretasi dan dievaluasi oleh individu. Dalam
penelitian ini objek persepsi yang dikaji adalah pola asuh permisif.
28
Jenis pola asuh permisif adalah pola asuh yang diterapkan orang tua
dimana orang tua memberikan kebebasan yang lebih pada anak tanpa adanya
bimbingan dan arahan dari orang tua (Hurlock, 2002). Selain itu menurut Hurlock
(2002) pada pola asuh permisif ini anak yang akan lebih mendominasi hubungan
antara orang tua dan anak, bahkan anak akan lebih sering terlihat menekan orng
tua dibandingkan dengan sebaliknya.
Lain halnya dengan Santrock (2011) yang membagi pola asuh permisif
menjadi 2 jenis yaitu pola asuh permisif indifferent dimana orang tua benar-benar
tidak peduli bahkan ikut campur terhadap kehidupan anak sehingga anak dalam
kehisdupan sosialnya menjadi tidak terkendali. Orang tua mengembangkan pola
asuh tersebut dikarenakan orang tua menganggap ada lebih banyak aspek
kehidupan lainnya yang lebih penting dari pada kehidupan anak. Yang kedua
adalah pola asuh permisif indulgen yang artinya orng tua sangat terlibat dalam
kehidupan anaknya tetapi orang tua tidak memberikan batasan atau aturan kepada
si anak. Orang tua membiarkan anaknya melakukan apapun yang mereka sukai
dan mereka sehingga mengakibatkan anak menjadi kurang terkendali sikapnya,
cenderung manja dan selalu menuntut orang tua menuruti setiap permintaanya.
Pola asuh permisif lebih sering diciptakan oleh orang tua yang terlalu
baik kepada anak. Para orang tua akan memberikan kebebasan pada anak mereka
serta menerima dan memaklumi perilaku anak mereka, tetapi para orang tua
dengan pola asuh permisif ini kurang memberikan tuntutan tanggung jawab dan
perilaku yang baik sesuai dengan lingkungan (Lestari, 2012).
29
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi
terhadap pola asuh permisif adalah sebuah kesan mengenai pola asuh yang
diterapkan orang tu dalam kehidupan sehari-hari yang diperoleh oleh remaja
melalui panca indra, kemudian diinterpretasikan sebagai cara orang tua dalam
membimbing lebih erat lagi kaitannya dengan aturan dan kebebasan yang
diterapkan oleh orangtua.
2. Aspek-Aspek Persepsi Pola Asuh Permisif
Aspek-aspek persepsi pola asuh permisif dalam penelitian ini mengacu
pada aspek-aspek objek persepsi yaitu pola asuh permisif. Menurut Hurlock
(2002) aspek-aspek pola asuh permisif dirumuskan sebagai berikut:
a) Kontrol terhadap anak kurang
Hal ini lebih erat kaitannya dengan orangtua yang tidak memberikan
aturan yang mengikat kepada anak mengenai segala hal termasuk cara
bersikap atau berperilaku yang sesuai dengan norma masyarakat. Pada
aspek ini orang tua juga tidak memperdulikan kepada siapa anak mereka
berteman.
b) Pengabaian keputusan
Orang tua tidak merasa perlu ikut campur dalam kehidupan anak-anak
mereka. Orang tua akan membiarkan anak mereka membuat keputusan baik
itu keputusan besar ataupun keputusan kecil. Maka dari itu anakpun tidak
merasa perlu meminta pertimbangan orang tua ketika mereka akan membuat
sebuah keputusan.
30
c) Orang tua bersifat masa bodoh
Orang tua tidak akan memberikan hukuman kepada anak mereka yang
melanggar aturan atau norma. Orang tuapun tidak merasa perlu
memperdulikan anak-anak mereka baik itu ketika anak mereka berbuat baik
ataupun membuat kesalahan. Orang tua akan sangat mengabaikan anak-anak
mereka.
d) Pendidikan bersifat bebas
Pendidikan yang diberikan orang tua lebih pada keinginan anak
mereka. Mereka tidak akan memberikan nasihat atau referensi mengenai
pendidikan yang harus diterima oleh anak-anakny. Pendidikan agama dn
norma menjadi hal yang kurang diperhatikan oleh orang tua dengan pola
asuh permisif.
Berdasarkan uraian aspek-aspek sibling rivalry dari Hurlock (2002)
kontrol terhadap anak kurang, pengabaian keputusan, orang tua bersikap masa
bodoh, dan pendidikan yang bersifat bebas. Aspek-aspek tersebut yang kemudian
akan digunkan peneliti pada penelitian ini. Alasan peneliti memilih aspek tersebut
dikarena aspek-aspek tersebut yang lebih mendekati keadaan lingkungan tempat
peneliti akan melakukan penelitian.
C. Hubungan antara Persepsi terhadap Pola Asuh Permisif dengan Sibling
Rivalry pada remaja akhir.
Setiap informasi yang diperoleh oleh individu akan diperoses dan
dipersepsikan sesuai dengan pemahaman dan pengetahuan individu tersebut.
persepsi sendiri merupakan suatu tanggapan langsung atau serapan dari sutu
31
proses pengolahan informasi yang diperoleh melalui panca indra (Purwodarminto,
1999). Pola asuh permisif merupakan objek kajian dari persepsi itu sendiri. Pola
asuh permisif menurut Hurlock (2002) dijelaskan sebagai suatu jenis pola asuh
yang diterapkan orang tua, dimana orang tua memberikan kebebasan yang lebih
pada anak tanpa adanya bimbingan dan arahan dari orang tua.
Persepsi remaja akhir terhadap pola asuh orang tua, dimana pola asuh
tersebut diterima dan diserap remaja melalui proses pengindraan akan
menghasilkan penilaian remaja akhir terhadap pola asuh yang diterima. Persepsi
terhadap pola asuh permisif ini dapat menimbulkan respon negatif dan juga
respon positif yang berkaitang dengan hubungan antar saudara kandung. Hal ini
didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Rofi’a (2013) dengan tema
penelitian “Pola asuh orang tua dengan kejadian sibling rivalry pada anak usia 1-5
tahun” dimana hasil penelitian menyebutkan ada korelasi antara pola asuh dengan
kejadian sibling rivalry.
Respon negatif yang dimungkinkan timbul akibat persepsi terhadap pola
asuh permisif adalah meningkatnya kejadian sibling rivalry. sibling rivalry adalah
sikap bermusuhan dan cemburu diantara saudara kandung (Gichara, 2006).
Sibling rivalry juga diartikan sebagai persaingan antar saudara kandung yang
biasa terjadi pada masa kanak-kanak dan akan berangsur-angsur berkurang seiring
meningkatnya kedewasaaan seseorang (Haritz, 2008). Namun hal tersebut
dimungkinkan pula akan berlanjut hingga usia dewasa jika persepsi anak terhadap
pola asuh permisif yang diterapkan orang tua merupakan persepsi yang negatif.
Persepsi negatif akan membentuk sebuah respon negatif pula (Haritz, 2008).
32
Respon negatif tersebut muncul dikarenakan orang tua dengan pola asuh
permisif akan cenderung tidak memperdulikan anak-anaknya, sehingga anak akan
melakukan apapun untuk memperoleh perhatian dari orangtua mereka (Santrock,
2011). Pola asuh permisif yang diterapkan orang tua akan membuat orang tua
kurang memberikan kontrol terhadap anak-anak mereka termasuk ketika anak-
anak bertengkar dengan saudara kandungnya (Rofi’a, 2013).
Hurlock (2002) memaparkan dalam pola asuh permisif memiliki empat
aspek yatu kontrol terhadap anak kurang, pengabaian keputusan, orang tua
bersifat masa bodoh dan pendidikan yang bersifat bebas. Aspek pola asuh
permisif yang pertama adalah kontrol terhadap anak kurang yang diartikan
sebagai orang tua tidak melibatkan kuasanya terhadap anak. Orang tua cenderung
membebaskan dan tidak menentang kemauan anak, dalam hal ini orang tua tidk
memperdulikan kepada siapa anak mereka berteman. Kontrol yang kurang dari
orang tua terhadap anaknya dimungkinkan anak meningkatkan kejadian sibling
rivalry dikarena tanpa kontol dari orang tua, anak-anak akan bersikap sesuka hati
kepada saudara mereka (Fleming, 2007). Tingkat persaingan akan menjadi
semakin tinggi dikarenakan anak merasa tidak adanya keadilan dan kebijaksanaan
dari orang tua terhadap perbuatan yang mereka lakukan.
Aspek pola asuh permisif yang kedua adalah pengabain keputusan.
Pengabaian keputusan ini orang tua kan memberikan kebebasan pada anak-
anaknya dalam membuat keputusan tanpa perlu memberikan pertimbangan atau
nasihat berkaitan dengan keputusan tersebut (Hurlock, 2002). Ketika anak-anak
terlibat sibling rivalry dengan saudara mereka, orang tua mereka tidak akan
33
memberi nasihat atau mengingatkan jika hal tersebut tidak sebaiknya dilakukan.
Hal yang tersebut yang kemudian menjadikan anak bertindak dan membuat
keputusan mengenai saudara mereka sesuka hati. Mereka tidak akan segan-segan
membuat keputusan menyakiti saudara mereka, karena mereka paham orang tua
mereka akan selalu mengikuti setiap keputusan yang dibuat.
Aspek pola asuh permisif yang ketiga adalah orang tua bersifat masa
bodoh. Bersifat masa bodoh ini dikarenakan orang tua merasa ada hal lain yang
lebih penting didunia ini selain anak-anak mereka (Hurlock, 2002). Anak-anak
tanpa teguran dan nasihat dari orang tua akan menjadi tidak terkendali sikap dan
perilaku mereka terhadap orang lain termasuk saudara kandung mereka. Sibling
rivalry akan menjadi tidak terkontrol lagi ketika orang tua bersifat masa bodoh
dan tidak memperdulikan kehidupan anak-anak mereka. Anak dengan kekuasan
yang lebih akan semakin menindas saudara mereka yang lemah, terlebih orang tua
mereka yang tidak memperdulikan segala hal yang terjadi pada anak-anak mereka
(Fleming, 2007).
Yang terakhir adalah aspek pendidikan yang bersifat bebas, dimana
orang tua membiarkan anak-anak mereka memilih pendidikan yang mereka sukai.
Pendidikan tentunya akan membut pola berpikir anak yang berubah. Baik itu
pendidikan yang sesuai ataupun yang tidak sesuai dengan anak-anak. Sibling
rivalry menjadi tinggi intensitasnya ketika anak tidak memperoleh pendidikan
yang baik mengenai hubungan antar saudara kandung, norma dan agama. Anak-
anak menjadi tidak memiliki pegangan atau pandangan hidup yng baik. mereka
hanya akan berpegang pada prinsip dan aturn yang mereka buat (Hurlock, 2002).
34
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa persepsi tergadap
pola asuh permisif memiliki hubungan positif dengan perilaku sibling rivalry.
Persepsi terhadap pola asuh permisif dapat menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan meningkatnya perilaku sibling rivalry, dikarenakan orang tua
dengan pola asuh tersebut orang tua membebaskan anak-anaknya dalam berbuat
maupun mengambil keputusan.
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis terdapat
hubungan yang positif antara persepsi terhadap pola asuh permisif dengan sibling
rivalry remaja akhir. Artinya semakin permisif pola asuh dipersepsikan oleh
remaja akhir maka perilaku sibling rivalry pada remaja akhir akan cenderung
semakin tinggi. Sebaliknya, semakin tidak permisif pola asuh dipersepsikan oleh
remaja maka perilaku sibling rivalry pada remaja akhir akan cenderung semakin
rendah.