BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA -...
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian, teori diperlukan agar peneliti memiliki kerangka
ketika terjun ke lapangan. Dalam Bab 2 ini, peneliti akan mengulas teori-
teori yang digunakan penelitin untuk membangun kerangka pemikiran.
Teori yang akan diulas dalam bab ini akan berangkat melalui gender yang
merupakan hasil konstruksi sosial budaya, konsep relasi laki-laki
perempuan secara khusus, proses pengambilan keputusan, hingga kajian
Psikologi Transpersonal.
A. GENDER SEBAGAI KONSTRUKSI SOSIAL BUDAYA
Berbeda dengan jenis kelamin (seks) yang sifatnya biologis,
gender merupakan sebuah hasil dari konstruksi sosial yang ada dalam
masyarakat (Mead, 1935, dalam Ufi 2009 ; Fakih, 2013). Jika seks
adalah pembagian kategori jenis kelamin yang ditentukan secara
biologis, maka gender adalah peran ataupun tuntutan sosial dari
individu dengan kategori jenis kelamin tersebut. Misalnya perempuan
secara biologis memiliki vagina dan alat reproduksi seperti rahim,
maka muncul ekspektasi sosial pada masyarakat dalam peran
perempuan (sesuai kodrati biologisnya) untuk kemudian menjadi ibu
yang mampu melahirkan dan menyusui.
Ekspektasi sosial yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki
sesuai dengan jenis kelamin yang dimilikinya berbeda-beda sesuai
dengan budaya tempatnya tinggal. Ufi (2009) mengulas betapa
panjangnya proses pembedaan gender laki-laki dan perempuan yang
terjadi, melalui sosialisasi, penguatan, bahkan melalui kekuasaan
negara. Dikarenakan panjang dan lamanya proses “genderisasi” secara
20
sosial budaya, sehingga lambat laun perbedaan gender laki-laki dan
perempuan yang sejatinya merupakan hasil dari konstruksi sosial
budaya menjadi seolah-olah merupakan ketentuan dari Tuhan yang
bersifat kodrati sehingga tidak dapat dirubah lagi. Gender kemudian
memengaruhi keyakinan masyarakat tentang bagaimana seharusnya
laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak.
Pada sebagian besar kelompok manusia, kemampuan fisik laki-laki
yang cenderung lebih kuat dahulu kala membuat laki-laki cenderung
dapat berburu dengan lebih baik, sedangkan perempuan kebagian jatah
meramu. Setelah turun temurun hal tersebut melahirkan konstruksi
sosial tertentu yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah,
dan perempuan sebagai pengurus domestik. Konstruksi tersebut masih
bertahan dan terus diwariskan diberbagai budaya di dunia, dan
kemudian melahirkan tuntutan-tuntutan tertentu dari masyarakat
kepada individu dengan jenis kelamin laki-laki terhadap perannya
sebagai pencari nafkah, dan perempuan terhadap peran domestiknya.
Sehingga tidak jarang ketika laki-laki gagal mencari nafkah untuk
keluarganya akan dianggap sebagai laki-laki yang gagal, dan
perempuan atau masyarakat berhak menuntutnya secara moral tanpa
mau bertukar peran. Demikian juga perempuan yang gagal tidak
mampu mengelola domestiknya dengan baik seperti merawat
kebersihan, memasak, dan merawat anak dianggap tidak sempurna,
dan berhak mendapat tuntutan moral maupun sosial.
Gender merupakan alat analisis yang baik untuk memahami
persoalan diskriminasi terhadap perempuan dan laki-laki (Oakley,
dalam Narwoko & Suryanto, 2004). Perbedaan gender tidak akan
menjadi masalah selama tidak memunculkan ketidakadilan. Namun
21
halnya demikian, perbedaan gender oleh masyarakat sering kali
melahirkan ketidakadilan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Contohnya dalam pekerjaan, beberapa pekerjaan dianggap tidak
universal sehingga kecilnya peluang untuk melakukan pertukaran
peran, ataupun stigma sosial yang menempatkan pertukaran peran
tersebut sebagai suatu hal yang tidak sepatutnya dilakukan. Beberapa
persoalan yang muncul akibat perbedaan gender (Dewayanti dkk.,
2004, dalam Ufi 2009; Ufi & Pelu, 2005, dalam Ufi 2009) diantaranya
adalah marginalisasi-eksploitasi perempuan, stereotipe yang
merugikan, subordinasi perempuan, dan kekerasan terhadap
perempuan.
Berdasarkan uraian Ufi (2009), proses marginalisasi perempuan
adalah proses pemiskinan dan peminggiran perempuan yang
disebabkan oleh pembedaan gender. Hal ini bisa berupa kebijakan
agama, tradisi/budaya, dan sebagainya. Sebagai contoh sistem
pemberian upah dan tunjangan di beberapa perusahaan yang timpang.
Dengan alasan peran laki-laki sebagai pencari nafkah, dengan posisi
pekerjaan yang sama sering kali laki-laki mendapat gaji yang lebih
tinggi dan juga tunjangan yang tidak diperoleh perempuan.
Ketimpangan tersebut juga terjadi dalam masalah subordinasi
perempuan. Contohnya, pemberian pendidikan dalam keluarga lebih
diprioritaskan kepada laki-laki dari pada perempuan dalam rangka
menunjang peran laki-laki di kemudian hari yang oleh masyarakat
sering kali ditempatkan sebagai pemimpin keluarga sekaligus pencari
nafkah. Ufi menjelaskan bahwa pendekatan sosial budaya melihat
bahwa persoalan subordinasi perempuan berakar pada konstruksi
sosial budaya yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki.
22
Terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu
emosional, irasional, tidak bisa tampil memimpin atau mengambil
keputusan sehingga ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Jika
menilik hal tersebut tidaklah heran jika dalam permasalahan
berikutnya terkait perbedaan gender –yaitu masalah kekerasan
terhadap perempuan, perempuan banyak yang tidak melawan, atau
merasa tidak mampu melawan, atau lebih parah lagi merasa dirinya
tidak seharusnya melawan. Tidak mengherankan juga jika banyak kita
lihat perempuan korban kekerasan tidak mengambil (atau menunda)
keputusan apapun terkait hal tersebut.
Ufi memaparkan ulasan kekerasan dapat dihasilkan dari berbagai
sumber, termasuk karena perbedaan gender. Menurut Ufi, hal tersebut
bisa terjadi karena ketidaksetaraan kekuatan dan kekuasaan dalam
masyarakat. Kekerasan berbasis gender ini uniknya dapat terjadi mulai
dari lingkup rumah tangga hingga negara, mulai dari penganiayaan
istri hingga eksploitasi. Kerugian-kerugian akibat ketimpangan ini juga
kerap kali diakibatkan oleh stereotip gender yang tentunya bermula
dari konstruksi sosial masyarakat. Stereotip oleh Ufi diulas sebagai
pelabelan terhadap pihak tertentu yang sering kali berakibat merugikan
pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan, dalam hal ini pelabelan
dilakukan berdasarkan kategorisasi gender. Sebagai contoh mengenai
lokalisasi, penghakiman sosial lebih banyak diterima oleh perempuan
yang menjadi tuna susila dibandingkan dengan kaum laki-laki yang
datang mengunjunginya. Dalam kasus-kasus kekerasan, stereotip
gender ini yang sering kali juga membuat sukarnya penanganan
terhadap korban maupun pelaku, bahkan kesadaran dari masyarakat
bahwa hal ini sangat mendesak untuk ditangani.
23
Konstruksi sosial khususnya dalam budaya patriarki, menjadikan
figur laki-laki terlihat seharusnya lebih mendominasi perempuan –
dalam konteks ini perihal romansa (Ferlita, 2008). Perempuan
kemudian dianggap sebagai makhluk lemah, penurut, dan perlu
mengutamakan kepentingan laki-laki. Perempuan dari jaman dahulu
telah menjadi subordinat yang lemah dan harus tunduk pada laki-laki.
Oleh sebab itu, ketika menerima kekerasan, banyak korban perempuan
yang merasa tidak dapat melawan ataupun tidak sepatutnya melawan.
B. PACARAN: ANTARA CINTA DAN LUKA
1. Cinta Dalam Ragam Teori
Cinta merupakan salah satu dari bentuk emosi manusia (Baron
& Byrne, 2004), oleh karenanya seperti berbagai emosi manusia,
cinta sering kali bersifat fluktuatif. Seperti halnya terdapat individu
yang mengalami kesukaran dalam menjelaskan secara definitif
mengenai perasaan marah, sedih, dan benci terdapat juga mereka
yang kurang mampu mendefinisikan cinta dengan baik dalam
kehidupan sehari-hari.
Fromm (2005, dalam Abdullah, 2016) membahas cinta dengan
hubungannya terhadap eksistensi manusia. Bagi Fromm, manusia
memiliki kesadaran akan dirinya, sesama, masa lalu, kemungkinan
akan masa depannya, kesadaran akan eksistensinya, serta
kesadaran bahwa hal-hal tersebut tadi merupakan sesuatu yang
terpisah. Kesadaran manusia akan keterpisahan tersebut kemudian
menjadi faktor utama munculnya kegelisahan dan kecemasan.
Kebutuhan untuk mengatasi keterpisahan dan kesendiriannya
inilah yang menurut Fromm menjadi salah satu kebutuhan manusia
yang paling dalam. Fromm kemudian mengungkap cinta sebagai
24
jawaban dari masalah eksistensi manusia, cinta kemudian oleh
manusia digunakan untuk mengatasi keterpisahan yang
dirasakannya. Fromm mengulas, bahwa dalam cinta terdapat
jawaban utuh yang terletak pada pencapaian penyatuan antar
pribadi dan peleburan dengan pribadi lain.
Sternberg (1986, dalam Indriastuti & Nawangsari, 2014) dalam
Teori Segitiga Cinta mengulas cinta dari komponen yang terdapat
di dalamnya. Teori tersebut disebut Teori Segitiga Cinta karena
Sternberg berpendapat bahwa dalam hubungan cinta yang ideal
terkandung tiga komponen. Komponen yang pertama adalah
keintiman. Keintiman merupakan elemen emosinal yang meliputi
perasaan yang menunjukkan adanya kedekatan, keterikatan, dan
keterkaitan secara emosional kepada pasangan. Di dalam
keintiman terdapat perasaan yang menimbulkan kehangatan dan
kepercayaan dalam hubungan percintaan. Komponen yang kedua
adalah gairah. Gairah merupakan elemen motivasional yang
dipenuhi hasrat yang mengacu pada romantisme, serta ketertarikan
secara fisik dan seksual dalam hubungan cinta. Walster (1981,
Indriastuti & Nawangsari, 2014), menyatakan bahwa di dalam
gairah terdapat kerinduan untuk bersatu dengan hal yang lain.
Komponen cinta yang ketiga adalah komitmen. Komitmen
merupakan elemen kognitif dari cinta. Dalam jangka pendek,
komitmen mengacu pada keputusan seseorang untuk mencintai
pasangannya. Sedangkan untuk jangka panjang, komitmen
mengacu pada bagaimana seseorang menjaga serta
mempertahankan cintanya ataupun hubungannya. Menurut Acker
dan Davis (1992, dalam Indriastuti & Nawangsari, 2014),
25
komitmen sangat berperan penting dalam penentuan suatu
hubungan berlangsung lama atau tidak. Jika meniliki teori
Sternberg, maka pacaran yang ideal tentunya perlu memiliki tiga
komponen tersebut.
2. Konsep Pacaran
Oleh berbagai tokoh, pacaran didefinisikan bermacam-macam
namun kurang lebih memiliki inti yang sama. Benokraitis (1996)
berpendapat bahwa pacaran adalah proses dimana seseorang
bertemu dengan seseorang lainnya dalam konteks sosial yang
bertujuan untuk menjajaki kemungkinan sesuai atau tidaknya
orang tersebut untuk dijadikan pasangan hidup. Juga mengulas
mengenai pertemuan antara dua orang, DeGenova & Rice (2005)
berpendapat bahwa pacaran merupakan sebuah kegiatan dalam
menjalankan suatu hubungan dimana dua orang bertemu dan
melakukan serangkaian aktivitas bersama agar dapat saling
mengenal satu sama lain. Wijayanto (dalam Safitri & Sama’i,
2013) menjelaskan pacaran juga sebagai sebuah hubungan sosial
yang disebabkan oleh ketertarikan tertentu, baik fisik (jasmani)
maupun non-fisik (pribadi, karakter). Wijayanto menambahkan
bahwa hubungan sosial tersebut dibangun atas komitmen, dengan
syarat ataupun tanpa syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh kedua
belah pihak. Berbeda dengan dua definisi oleh tokoh lainnya,
Wijayanto secara spesifik membatasi konsep pacaran pada
mahkluk sosial yang berlainan jenis.
Menilik berbagai definisi-definisi yang telah disampaikan,
dapat disimpulkan bahwa pacaran merupakan sebuah hubungan
sosial dengan keterikatan tertentu, yang biasanya diawali oleh
26
ketertarikan satu sama lain, dan di dalamnya terdapat aktivitas
yang bertujuan untuk lebih mengenal satu sama lain.
DeGenova dan Rice (2005) mengemukakan bahwa hubungan
pria dan wanita sebelum munculnya pacaran dilakukan secara
formal, dimana pria datang mengunjungi pihak wanita dan
keluarganya. Proses pacaran kemudian mulai muncul sejak
pernikahan mulai menjadi keputusan yang lebih individual
dibandingkan keputusan keluarga, sejak adanya rasa cinta dan
saling ketertarikan satu sama lain antara pria dan wanita lebih
menjadi dasar utama seseorang untuk menikah. Dari masa ke masa
konsep bagaimana dan apa yang harus dilakukan orang dalam fase
pacaran terus berubah. Menurut DeGenova dan Rice hal tersebut
disebabkan karena berkurangnya tekanan dan orientasi untuk
menikah pada pasangan yang berpacaran dibandingkan dengan
sebagaimana budaya pacaran pada masa lalu.
Pada era 1700-an, pertemuan pria dan wanita yang dilakukan
secara kebetulan dan tanpa mendapat pengawasan akan mendapat
hukuman jika tidak dilakukan sesuai etika moral yang disepakati
lingkungan. Wanita tidak akan pergi sendiri untuk menjumpai pria
begitu saja dan tanpa memilih-milih. Pria yang memiliki keinginan
untuk menjalin hubungan dengan seorang wanita diharuskan
menjumpai keluarga wanita tersebut, secara formal
memperkenalkan diri dan meminta izin untuk berhubungan dengan
wanita tersebut sebelum mereka dapat melangkah ke hubungan
yang lebih jauh lagi. Pada era tersebut orangtua dan keluarga
memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mempertimbangkan
keputusan untuk sebuah pernikahan.
27
Sekarang ini, pacaran sendiri telah bergeser dan dalam
pelaksanaannya semakin mandiri. Meskipun pada budaya timur
intervensi orang tua sering kali masih dilibatkan, namun etika
ataupun aturan lingkungan yang disepakati secara tidak langsung
oleh lingkungan sudah tidak begitu ketat. Banyak tindakan ataupun
keputusan yang dijalani dalam proses berpacaran, tidak lagi
diambil oleh pihak ke tiga seperti orang tua melainkan secara
mandiri oleh pasangan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa komponen dari pacaran juga alasan seorang individu untuk
berpacaran juga ikut bergeser sesuai jaman.
Menurut Karsner (2001) pada era ini, ada empat komponen
penting dalam menjalin hubungan pacaran. Kehadiran komponen-
komponen tesebut dalam hubungan cenderung mempengaruhi
kualitas dan kelanggengan hubungan pacaran yang dijalani.
Komponen pertama adalah kesalingpercayaan satu sama lain.
Kepercayaan dalam suatu hubungan akan menentukan apakah
suatu hubungan akan berlanjut atau akan dihentikan. Kepercayaan
ini meliputi pemikiran-pemikiran kognitif individu tentang apa
yang sedang dilakukan oleh pasangannya. Komponen kedua adalah
komunikasi, bagaimana individu mengkomunikasikan dirinya
kepada pasangan. Komunikasi dianggap sebagai dasar dari
terbinanya suatu hubungan yang baik (Johnson dalam Supraktik,
1995).
Komponen ke tiga menurut Karsner adalah keintiman,
bagaimana individu berusaha menjaga romansa dalam hubungan
tetap hidup. Keintiman dianggap sebagai perasaan dekat terhadap
pasangan (Stenberg, 1996), yang tidak hanya terbatas pada
28
kedekatan fisik saja. Adanya kedekatan secara emosional dan rasa
kepemilikan terhadap pasangan juga merupakan bagian dari
keintiman. Oleh karena itu, pacaran jarak jauh juga tetap memiliki
keintiman, yakni dengan adanya kedekatan emosional melalui
kata-kata mesra dan perhatian yang diberikan melalui SMS (short
messege service), telepon, surat atau email. Sedangkan komponen
terakhir adalah komitmen. Menurut Kelly (dalam Stenberg, 1996)
komitmen lebih merupakan tahapan dimana seseorang menjadi
terikat dengan sesuatu atau seseorang dan terus bersamanya hingga
hubungannya berakhir. Individu yang sedang pacaran, tidak dapat
dibenarkan secara konsep untuk melakukan hubungan spesial
dengan pria atau wanita lain selama ia masih terikat hubungan
pacaran dengan seseorang.
Jika Karsner mengulas mengenai komponen yang dirasa
penting dalam menjalin pacaran di era ini, Collins (2007, dalam
Siagian, 2010) mengulas mengenai hal-hal yang membuat sebuah
hubungan dapat dikatakan dalam kategori pacaran. Hal pertama
adalah keterlibatan. Dalam keterlibatan mencakup apakah seorang
individu tersebut berpacaran, usia individu memulai pacaran, juga
konsistensi serta frekuensi individu tersebut dalam berpacaran. Hal
kedua adalah pemilihan pasangan. Hal ini berkaitan dengan siapa
yang mereka pilih menjadi pasangan atau pacar. Sebagai contoh
adalah berapa usia pacar, apakah suku dan agama yang dianut satu
sama lain sama, dan bagaimana status sosial ekonomi pasangan.
Hal ketiga adalah content, atau muatan yang terjadi di dalam
berpacaran. Content mencakup hal-hal apa saja yang dilakukan
bersama-sama, keberagaman aktivitas yang dilakukan bersama,
29
ataupun situasi yang dihindari mereka bersama. Hal ke empat
adalah kualitas. Kualitas terkait hal dimana hubungan tersebut
menghasilkan suatu pengalaman yang menguntungkan, seperti
keintiman, afeksi, dan nurturance (kepedulian dan perawatan
secara fisik dan emosional kepada seseorang), ataukah justru
konflik yang tinggi, gangguan, permusuhan, kebencian, dan
perilaku pengendalian pasangan. Hal yang ke lima adalah proses
kognitif dan emosional. Proses kognitif emosional juga mencakup
mengenai apakah pasangan memberikan respons emosional yang
merusak, persepsi, harapan, skema, dan atribusi atas diri sendiri
yang lebih didasarkan pada emosi.
3. Kekerasan Dalam Berpacaran
Jika menilik mengenai konsep berpacaran dalam ulasan
sebelumnya, pacaran tentunya ada dikarenakan tujuan yang
dianggap baik, yaitu mempersiapkan individu memasuki
pernikahan, dan penjajakan kecocokan satu sama lain. Seringkali
dengan memiliki seorang kekasih, semangat hidup seseorang dapat
bangkit, seseorang dapat merasa tidak sendirian, dan dapat
menemukan perasaan positif seperti menemukan jiwa yang sama
yang diidam-idamkan (Amiruddin, 2005). Namun halnya
demikian, tidak semua hubungan pacaran berlangsung secara ideal.
Hubungan yang seharusnya diharapkan penuh cinta, justru
terkadang malah penuh luka. Seperti yang telah diulas pada latar
belakang penelitian ini, tidak sedikit dari kita pernah mengalami
kekerasan dalam pacaran, baik sebagai korban maupun sebagai
pelaku.
30
Sugarman dan Hotaling (2001, dalam Siagian, 2010)
mendefinisikan kekerasan dalam berpacaran (KDP) sebagai
tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang
dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan berpacaran ke
anggota lainnya. Murray (2007) menyimpulkan definisi KDP dari
berbagai hasil penelitian sebagai tindakan yang disengaja, yang
dilakukan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik, untuk
memperoleh kekuatan dan kontrol terhadap pasangan atau
pacarnya. Dalam ulasannya Murray menambahkan bahwa perilaku
kekerasan yang dilakukan oleh seseorang kepada pasangannya
tersebut tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelakulah
yang memutuskan untuk melakukan perilaku kekerasan atau tidak.
National Clearinghouse on Family Violence and Dating
Violence dan American Psychological Association (dalam Siagian,
2010) dengan secara lebih spesifik mendefinisikan KDP sebagai
serangan secara seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan
kepada pasangan, pada masa berpacaran. Senada dengan itu,
American Psychological Association juga menyebut KDP sebagai
kekerasan psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan
untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas
pasangannya.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kekerasan dalam berpacaran merupakan sebuah tindakan dalam
hubungan berpacaran yang dilakukan oleh pelaku hubuungan
tersebut, yang bersisikan baik kekerasan fisik, psikis, maupun
seksual, yang ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan
kekuatan atas pasangannya.
31
a. Bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran
Ada berbagai bentuk kekerasan yang dapat dapat terjadi
dalam relasi berpacaran. Secara garis besar berbagai kekerasan
tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga; verbal dan
emosional, seksual, dan fisik.
i. Kekerasan verbal dan emosional
Kekerasan verbal dan emosional oleh Siagian (2010)
dikategorikan sebagai ancaman yang dilakukan pasangan
terhadap pacarnya dengan perkataan ataupun mimik wajah.
Murray (2007) menyebut setidaknya 12 jenis kekerasan
yang masuk kategori kekerasan verbal dan emosional,
yaitu:
- Name calling (penamaan/nama panggilan)
Contoh dari name calling ini seperti mengata-ngatai
pacarnya bodoh, gendut, jelek, salah, tidak ada
pria/wanita lain yang menginginkan pacarnya, orang-
orang akan muntah melihat pacarnya. Sebagian korban
yang menerima kekerasan jenis ini cenderung tidak
memiliki self-esteem yang baik, sehingga tidak bisa
membantah pasangan/pelaku dengan kalimat seperti,
“Jika saya jelek, mengepa kamu mau bersama saya
sekarang?”
- Intimidating looks (penampilan yang mengintimidasi)
Jenis kekerasan ini adalah bagaimana seseorang sengaja
menampilkan sebuah intimidasi kepada pasangannya,
bahkan tanpa perlu menyatakan hal apapun. Sebagai
contoh adalah ketika pasangan atau pacar menunjukkan
32
wajah kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa dia
marah atau kecewa dengan pasangannya, sehingga
pihak untuk mengetahui dirinya marah atau tidak
adalah dari ekspresi wajah atau gestur yang
ditunjukkan.
- Use of pagers and cell phones (menggunakan pager
atau telepon)
Seorang pacar yang menjadikan telepon sebagai alat
agar pacarnya terus dapat menghubungi dirinya, bahkan
tidak segan untuk memberi telepon kepada pacarnya
agar alasan lebih kuat, dapat dikatakan melakukan
kekerasan emosional. Dengan menggunakan perangkat
komunikasi sebagai alat yang memampukan dirinya
untuk memeriksa keadaan pacarnya sesering mungkin,
marah ketika ada orang lain menghubungi pacarnya
karena dirasa mengganggu kebersamaan mereka, dan
selalu melihat siapa saja dan mengapa orang lain
menghubungi pacarnya, sering kali membuat
pasangannya tertekan.
- Making a boy/girl wait by the phone (membuat
pasangan sengaja menunggu telepon)
Murray bahkan mengkategorikan hal ini sebagai bentuk
kekerasan emosional. Contoh yang masuk kategori ini
adalah seperti seorang pacar yang berjanji akan
menelepon pasangannya pada jam tertentu akan tetapi
sang pacar tidak menghubungi juga sehingga
pasangannya terus menerus menunggu, membawa
33
telepon kemana saja di dalam rumah, tidak mau
menerima telepon dari temannya, dan tidak berinteraksi
dengan orang lain.
- Monopolizing a girl’s/ boy`s time (memonopoli waktu
pasangan)
Hal ini terjadi jika sampai seseorang kehabisan waktu
untuk melakukan aktivitas pribadi, aktivitas dengan
teman atau keluarganya, bahkan waktu untuk mengurus
keperluannya, hanya dikarenakan selalu “diharuskan”
untuk menghabiskan waktu bersama pacarnya.
- Making a girl`s/ boy`s feel insecure (membuat
pasangan merasa tidak aman)
Seringkali pelaku KDP terus menerus mengkritik
pasangannya, dan beralasan bahwa hal tersebut
dilakukan karena mereka sesungguhnya menyayangi
pasangannya, juga menginginkan yang terbaik untuk
pasangannya. Namun halnya demikian, hal tersebut
justru membuat pasangan mereka merasa tidak nyaman.
Ketika pasangan terus menerus dikritik, mereka akan
merasa bahwa semua yang ada pada diri mereka adalah
buruk, dan tidak ada peluang ataupun kesempatan untuk
meninggalkan pelaku KDP.
- Blaming (menyalah-nyalahkan)
Tindak kekerasan ini adalah ketika pasangan terus
melimpahkan semua kesalahan yang terjadi sebagai
perbuatan dari pasangannya, bahkan pasangan tersebut
sering mencurigai pasangannya atas perbuatan yang
34
belum tentu disaksikannya, seperti menuduhnya
melakukan perselingkuhan.
- Manipulation/making him/herself look pathetic
(manipulasi, atau memperlihatkan diri seakan
menyedihkan)
Hal ini adalah ketika seorang pasangan sengaja
mengatakan suatu hal yang konyol tentang kehidupan.
Sebagai contoh jika seseorang menyatakan bahwa
pasangannya adalah orang yang satu-satunya mengerti
dirinya sehingga dia akan bunuh diri jika tidak bersama
pasangannya lagi.
- Making threats (mengancam)
Ancaman sering kali tidak hanya berdampak kepada
pasangan namun juga kepada orang tua, dan teman dari
pasangan. Contoh ancaman adalah jika seseorang
berkata kepada pasangannya bahwa jika dia melakukan
suatu hal, dia akan melakukan sesuatu pada
pasangannya tersebut.
- Interrogating (menginterogasi)
Interograsi seringkali membuat pasangan tidak nyaman.
Seseorang yang pencemburu, posesif, suka mengatur,
cenderung terus menerus menginterogasi pacarnya
dalam setiap kesempatan. Sebagai contoh ketika
seseorang sedang pergi melakukan kegiatan, pacarnya
terus menanyai dimana dia berada, siapa sajakah yang
bersamanya, berapa laki-laki/perempuan yang
35
bersamanya, dan/atau mengapa dia tak kunjung
membalas pesan dari pacarnya.
- Humiliating her/him in public (mempermalukan
pasangan di depan umum)
Mempermalukan pasangan di depan umum atau di
depan teman-temannya sering kali menyakiti pasangan
tersebut secara emosional.
- Breaking treasured items (merusak hal-hal yang berharga
bagi pasangan)
Tindakan ini adalah ketika seseorang tidak memedulikan
perasaan atau barang-barang milik pacar/pasangan
mereka, dan menganggap bahwa merupakan suatu
kebodohan jika pasangan menangis karena hal tersebut.
ii. Kekerasan seksual
Murray (2007) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai
suatu tindakan yang meliputi pemaksaan untuk melakukan
kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak
menghendakinya. Pada kasus-kasus yang pernah terjadi,
pria lebih sering melakukan tindak kekerasan jenis ini
dibandingkan perempuan (Hamby, Sugarman, & Boney-
McCoy, dalam Siagian, 2010). Menurut Murray terdapat
beberapa kategori kekerasan jenis ini, diantaranya adalah:
- Date rape (pemerkosaan pada waktu kencan)
Kekerasan ini terjadi ketika seseorang melakukan
hubungan seks tanpa seijin pasangannya atau dengan
kata lain disebut dengan pemerkosaan. Biasanya
pasangan mereka tidak mengetahui apa yang akan
dilakukan pasangannya pada saat itu.
36
- Unwanted touching (sentuhan yang tidak diinginkan)
Sentuhan yang tidak diinginkan adalah sentuhan yang
dilakukan tanpa persetujuan pasangannya, atau
sentuhan yang tidak disukai pasangannya, atau
membuat pasangannya tidak nyaman. Sentuhan ini
kerap kali terjadi di bagian dada, bokong, dan daerah-
daerah sensitif lainnya.
- Unwanted kissing (ciuman yang tidak diinginkan)
Mencium pasangannya tanpa persetujuan pasangannya
ataupun dengan paksaan dapat dikategorikan sebagai
tindakan kekerasan seksual. Hal ini dapat terjadi di area
publik maupun di tempat yang tersembunyi.
iii. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perilaku disengaja yang
mengakibatkan pasangan terluka secara fisik. Contoh
perilaku ini adalah seperti memukul, menampar,
menendang, dan lain sebagainya. Kekerasan jenis ini tidak
hanya banyak dilakukan oleh laki-laki, banyak kasus
ditemui bahwa perempuan juga banyak melakukan jenis
kekerasan ini. Namun halnya demikian, konsekuensi fisik
yang dihasilkan mayoritas tidak berbahaya seperti yang
dilakukan laki-laki terhadap perempuan (Cantos, Neidig, &
O’Leary, 1994; Cascardi, Langhinrichsen, & Vivian, 1992;
Stets & Straus, dalam Mita, 2011).
37
b. Dampak negatif dari kekerasan dalam berpacaran
Kekerasan dalam berpacaran dalam praktiknya berdampak
negatif terutama bagi korbannya. Safitri dan Sama’I (2013)
mengulas bahwa KDP dapat berdampak secara fisik, seksual,
psikologis, maupun sosial.
Berdasarkan ulasan Safitri dan Sama’I, secara fisik,
dampak yang biasa terjadi pada korban KDP dibagi menjadi
kategori luka ringan dan luka berat. Luka ringan yang sering
terjadi antara lain adalah lebam, memar, luka, lecet, patah
tulang. Sedangkan luka berat yang terjadi sering kali
mengakibatkan cacat permanen sampai kematian. Sedangkan
secara seksual, KDP sering kali mengakibatkan trauma,
perasaan terkejut, mati rasa, disorganisasi, depresi, takut dan
cemas terkait dengan hubungan seksual.
Menurut Safitri dan Sama’I, secara psikologis, dampak
yang sering terjadi akibat KDP antara lain adalah depresi, stres,
kecemasan, sulit berkonsentrasi, kecenderungan bunuh diri,
memiliki masalah tidur, dan merasa harga dirinya rendah.
Sedangkan dampak sosial yang sering dialami oleh korban
antara lain adalah korban mulai menutup diri dari pergaulan
yang akhirnya membuat korban enggan pergi dari pasangan
yang merupakan pelaku kekerasan dalam berpacaran.
C. PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pengambilan keputusan adalah proses pengumpulan informasi
mengenai alternatif-alternatif yang relevan dan membuat pilihan yang
sesuai (Atwater & Duffy, 2004), artinya membuat pilihan-pilihan dari
dua alternatif atau lebih (Robbins & Judge, 2007). Pembuatan
38
keputusan muncul sebagai reaksi atas sebuah masalah. Artinya ada
ketidaksesuaian antara perkara saat ini dan keadaan yang diinginkan,
yang membutuhkan pertimbangan untuk membuat beberapa tindakan
alternatif. Masalah yang dimaksud dalam hal ini adalah
ketidaksesuaian antara perkara saat ini dan keadaan yang diinginkan.
Setiap keputusan membutuhkan interpretasi dan evaluasi
informasi. Biasanya, data diperoleh dari banyak sumber dan data-data
tersebut harus disaring, diproses, dan diinterpretasikan untuk
kemudian digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan
keputusan. Individu cenderung lebih mudah untuk mengambil
keputusan menggunakan pengalaman masa lalu dan mengambil
kesimpulan berdasarkan yang dirasa sebagai pilihan terbaik dari
sejumlah alternatif (O.H. Maclin, M.K. Maclin & Solso, 2008).
Kebanyakan dari keputusan sehari-hari diambil hanya dengan
menggunakan sedikit usaha dikarenakan oleh kebiasaan dan rutinitas
sehari-hari, misalnya seperti memutuskan hendak sarapan apa ataupun
jam berapa. Namun individu juga akan dihadapkan dengan keputusan-
keputusan penting dalam hidup seperti; pilihan untuk mengambil
sekolah medis atau hukum, berpindah pekerjaan dalam pertengahan
karir, pilihan untuk menikah, bercerai, membeli rumah, pilihan
berpartisipasi dalam pergerakan politik ataupun kampanye, bahkan
untuk melakukan aborsi dan banyak lagi. Segala bentuk keputusan
yang seperti tadi (baik yang dilakukan oleh individu dalam peran
mereka sebagai suami atau istri, pencari nafkah atau pembuatan
kebijakan eksekutif) menimbulkan proliferasi (pertumbuhan dan
pertambahan) atau membuat munculnya cabang baru dalam keputusan.
Dalam hal itu, pembuat keputusan berkomitmen untuk garis tertentu
39
tindakan saat ia menghadapi serangkaian pilihan berikutnya selama
waktu yang relatif lama. (Simon, 1976 dalam Susilowati, 2013).
Ketika dihadapkan pada pilihan yang tidak biasa ataupun ketika
menghadapi pilihan hidup yang penting, individu akan sadar bahwa
pengambilan keputusan adalah perlu dilakukan dan menjadi sebuah
kebutuhan. Ketika keputusan yang penting dalam kehidupan harus
diambil oleh individu, maka individu akan melakukan pertimbangan
mental yang lebih berat dibandingkan ketika harus mengambil
keputusan sehari-hari yang ringan. Individu akan dihadapkan pada
pilihan yang berat dan membawanya dalam penderitaan mental yang
memaksa individu untuk mempertimbangkan setiap konsekuensi yang
akan terjadi dari pilihannya, bahkan konsekuensi yang terjadi ketika
pengambilan keputusan ditunda. Pengambilan keputusan yang diambil
individu dipengaruhi oleh seberapa yakin penguasaan individu
terhadap kontrol pada kejadian-kejadian dalam kehidupannya. Sarana
untuk menjalankan kontrol pribadi atau penguasaan diri adalah melalui
keputusan-keputusan yang dibuat, pilihan-pilihan dasar dalam
kehidupan setiap hari (Atwater & Duffy, 2004).
Dalam pengambilan keputusan terdapat cara yang terburu-buru.
Hal tersebut biasa dilakukan untuk segera menyelesaikan proses
pengambilan keputusan. Cara yang terburu-buru dalam pengambilan
keputusan memiliki resiko tersendiri. Resikonya adalah kemungkinan
bahwa keputusan yang diambil merupakan “keputusan yang buruk”
dan semakin membesar. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengambilan
keputusan yang dilakukan dengan cepat belum tentu diikuti dengan
hasil yang tepat. Penelitian menunjukan bahwa individu yang
tampaknya menunda-nunda pengambilan keputusan sebenarnya lebih
40
sistematis dan mencari lebih banyak informasi sebelum mereka
membuat keputusan. Sikap menunda dalam konteks untuk lebih
memberikan perhatian kepada masalah bukanlah sesuatu yang buruk
(Ferrari & Dovidio, 2000 dalam Atwater & Duffy, 2004).
1. Tahapan Proses Pengambilan Keputusan
Beberapa Psikolog telah merumuskan sebuah sistem guna
membuat keputusan yang bijaksana. Festinger (1964, dalam
Susilowati, 2013) menyatakan bahwa sebagian besar analisa dari
pengambilan keputusan pribadi membedakan dua fase utama di
dalam proses pengambilan keputusan, yaitu: periode sebelum
pengumuman keputusan dan periode yang mengikutinya. Tetapi
ketika orang mengadopsi haluan baru dari tindakan, biasanya
mereka melalui lebih dari dua tahap yang berbeda.
a. Tahapan proses pengambilan keputusan menurut Atwater
dan Duffy (2004)
i. Menghadapi tantangan
Tahap dimana individu menyadari masalah ataupun
tantangan apa itu, berjaga-jaga tentang baik dan buruknya
resiko dari menyederhanakan masalah, efek jika individu
tidak melakukan apapun, tidak berubah dan tidak
memutuskan sesuatu.
ii. Mencari alternatif-alternatif
Yang paling dibutuhkan dalam tahap ini dari individu
adalah sikap yang terbuka dan penuh kefleksibelan atau
mampu dengan mudah menyesuaikan keadaan dengan cara
memperhatikan informasi tentang segala alternatif yang
mungkin, yang nyata/jelas atau tidak.
41
iii. Mengevaluasi alternatif-alternatif
Tahap selanjutanya adalah tahap dimana individu kemudian
mengevaluasi segala pilihan dan memperhatikan praktek
serta konsekuensi yang harus ditempuh. Misalnya tentang
berbagai macam resiko, biaya atau harga yang harus
dikeluarkan, dan kemungkinan-kemungkinan dari
sebaliknya
iv. Membuat komitmen
Biasanya individu akan memilih alternatif yang
memberikan keuntungan maksimal dengan harga atau
usaha yang minimal. Dalam tahap ini individu harus
mampu mengimplementasikan alternatif terbaik yang dia
pilih. Dalam tahap ini, setelah berhak untuk
mempertimbangkan, individu harus mampu untuk
bertindak atas keputusan tersebut.
v. Menilai keputusan yang telah diambil
Setelah individu bertindak atas keputusan yang diambilnya,
individu dapat belajar tentang kemampuan
pembuatan/pengambilan keputusan dengan cara menilai
kualitas, hasil dan konsekuensi dari keputusan yang
diambil.
b. Tahapan proses pengambilan keputusan menurut Janis
dan Mann (1976)
i. Menilai tantangan
Sampai individu tertantang oleh informasi yang
mengganggu atau kejadian yang menarik perhatiannya
terhadap kerugian nyata yang segera bisa terjadi, individu
42
akan cenderung mempertahankan sikap puas terhadap
tindakan apapun (atau tidak bertindak) yang telah dia kejar.
Terkenanya individu oleh ancaman atau peluang yang
efektif, menandai dimulainya pengambilan keputusan.
Informasi yang menantang menghasilkan krisis pribadi jika
indiividu mulai meragukan kebijakan dari dijalannya hal
tersebut. Sekali individu pengambil keputusan memberikan
respon positif pada pertanyaan kunci, dia akan mulai
mencari alternatif-alternatif. Pertanyaan kunci dalam tahap
ini adalah apakah resikonya serius jika individu tidak
mengambil keputusan.
ii. Meninjau alternatif-alternatif
Setelah kepercayaan diri seseorang dalam hasratnya pada
kebijakan lamanya terguncang oleh informasi yang
mengandung tantangan, individu kemudian cenderung lebih
memusatkan perhatian terhadap satu alternatif atau lebih.
Setelah mendapat tantangan, individu mulai mencari dalam
benak, alternatif-alternatif tindakan dan untuk mencari
saran dan informasi dari individu lain mengenai bagaimana
cara mengatasi masalah tersebut. Pertanyaan kuncinya
dalam tahap ini adalah apakah alternatif (menonjol) yang
dimiliki dapat digunakan sebagai cara untuk mengatasi
tantangan/masalahmya, dan apakah individu sudah cukup
meninjau alternatif-alternatif yang tersedia.
iii. Menimbang alternatif yang lebih berat
Individu dalam tahap ini berpores pada pencarian dan
evaluasi yang lebih menyeluruh, teliti, fokus kepada pro
43
dan kontra dari setiap alternatif yang bertahan dalam usaha
untuk memilih tindakan terbaik yang tersedia. Pertanyaan
kunci dalam tahap ini adalah alternatif manakah yang
terbaik, apakah alternatif tersebut dapat memenuhi syarat-
syarat penting dalam mengatasi masalah.
iv. Berunding tentang komitmen
Setelah memberitahu dirinya sendiri bahwa individu akan
memakai rencana yang baru dalam tindakan, individu mulai
mulai membicarakan tentang pelaksanaan dan
menyampaikan niatnya kepada orang lain. Individu sadar
bahwa cepat atau lambat, orang-orang terkait akan tahu
tentang hal tersebut. Sebagai pengambil keputusan yang
waspada, individu cenderung kuatir terhadap kemumgkinan
tidak diterimanya dia atau keputusan yang diambil yang
mungkin tidak dipikirkan sebelumnya. Pertanyaan kunci
dalam tahap ini adalah, haruskah individu
mengimplementasikan alternatif terbaik yang dia pilih
tersebut dan membiarkan orang lain mengetahui
pilihannya.
v. Mengikutinya meskipun tanggapan negatif
Beberapa keputusan yang diambil ada yang melalui
periode-periode menyenangkan dimana individu senang
terhadap keputusan yang dia ambil dan diimplementasikan
tanpa ada penyesalan ataupun keraguan. Namun yang
menarik adalah ketika terdapat juga setelah keputusan
diambil diinterupsi dengan kendala-kendala baru. Tahap
ke-5 ini menjadi setara dengan tahap pertama, dalam artian
44
kejadian yang tidak disukai atau komunikasi yang
kemudian mendatangkan tanggapan negatif, sangat
berpotensi untuk menjadi tantangan baru untuk mengambil
keputusan yang baru, sehingga tahapan yang sebelumnya
bisa terulang kembali. Dalam tahap ini individu
mempertimbangkan untuk mengubah keputusan atau tidak
terkait tanggapan yang diterima. Pertanyaan kunci pada
tahap ini adalah, apakah resikonya serius jika individu tidak
merubah keputusan/pilihan, dan apakah resikonya serius
jika individu merubah keputusan/pilihan.
2. Elemen Kritis dalam Proses Pengambilan Keputusan
Dalam proses pengambilan keputusan, terdapat elemen-elemen
kritis yang harus diwaspadai guna pengambilan keputusan yang
tepat dan sesuai kebutuhan. Elemen-elemen kritis tersebut
diantaranya adalah pengolahan data atau informasi, dan
postdecisional regret atau perasaan menyesal pasca pengambilan
keputusan.
a. Pengolahan data (informasi)
Dalam proses pengambilan keputusannya, individu perlu
untuk mencari sumber-sumber informasi, mengambil waktu
untuk mengetahui dan mengertinya, dan berbicara kepada
orang-orang yang bisa membantu. Hal tersebut menjadikan
tahap ini fase yang penting bagi proses pengambilan keputusan
itu sendiri.
Janis dan Mann (1979, dalam Susilowati, 2013) menulis
bahwa elemen kritis dalam proses pengambilan keputusan
adalah bagaimana proses pengolahan data yang hebat.
45
Mengumpulkan informasi dianggap sebagai suatu kegiatan
yang memakan waktu dan energi, mengganggu rutinitas dan
membangun tekanan serta konflik, sehingga bisa menjadikan
hal tersebut bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk
dilakukan. Namun demikian individu akan terus mencari
informasi baru jika mengharapkan manfaat besar dari
keputusan yang diambil. Sehingga usaha yang dikeluarkan
dalam proses pencarian informasi sebanding dengan manfaat
dari keputusan yang diambil nantinya.
Dikarenakan pengumpulan ataupun pengolahan informasi-
informasi pendukung untuk pengambilan keputusan terkadang
bukanlah proses yang menyenangkan, sebagian dari keputusan
yang diambil oleh individu dilakukan dengan pencarian
ataupun pengolahan informasi yang kurang. Sangat mudah bagi
individu untuk menggunakan jalan pintas dalam pengambilan
keputusan, terutama jika individu sedang terdesak, terburu-
buru, sibuk ataupun ketika individu sedang dalam kondisi
kelelahan.
Beberapa individu cenderung untuk mencari informasi
melalui media seperti televisi, internet ataupun koran. Namun
media masa seperti tadi justru bisa membuat individu salah
dalam mengambil keputusan dikarenakan apa yang disuguhkan
adalah sesuatu yang kurang representatif terhadap dunia nyata
atau keadaan sehari-hari. Sehingga sesungguhnya lebih baik
bagi individu untuk mengumpulkan informasi dari berbagai
variasi sumber yang mungkin untuk dikombinasikan sehingga
menghasilkan keputusan yang lebih realistik dan penuh
46
informasi (Anastasio, Rose, dan Chapman, 1999 dalam
Atwater dan Duffy, 2004).
b. Postdesicional regret (perasaan menyesal pasca
pengambilan keputusan)
Elemen lain dalam pembuatan keputusan yang juga penting
adalah postdecisional regret atau perasaan menyesal setelah
keputusan diambil yang biasanya terjadi atas keputusan-
keputusan yang sulit. Sangat normal bagi individu untuk
merasa menyesal setelah mengambil keputusan ketika individu
kemudian merasa bahwa pilihan yang diambil adalah pilihan
yang salah ataupun pilihan yang buruk (Connolly &
Zeelenberg, 2002, dalam Atwater & Duffy, 2004).
Menurut Atwater dan Duffy (2004) penyesalan dalam
pengambilan keputusan dikontributori oleh kurang lebih dua
komponen yaitu ketika hasil yang didapat dari keputusan yang
diambil jauh dibawah dari yang diharapkan sebelumnya, dan
penyalahan atas diri sendiri (self-blame) atas keputusan buruk
yang diambil oleh individu. Lebih lanjut individu cenderung
jarang melakukan antisipasi diri untuk postdecisional regret
meskipun individu sudah memiliki pengalaman-pengalaman
mengenai postdecisional regret dari kejadian-kejadian
sebelumnya (Crawford, McConnel, Lewis dan Sherman, 2002
dalam Atwater dan Duffy, 2004). Berdasarkan beberapa hasil
penelitian, keputusan yang diambil dengan waktu
pertimbangan yang lebih singkat cenderung lebih banyak
menghasilkan penyesalan, dibandingkan dengan keputusan
yang diambil lebih lama (Gilovoch. Medvec & Husted, 1995,
47
dalam Atwater & Duffy, 2004). Penelitian lain menunjukkan
bahwa individu cenderung akan lebih mengalami penyesalan
jika dalam proses pengambilan keputusan dirinya tidak
bertindak dari pada jika dirinya bertindak (Feldman, Miyamoto
& Loftus, 1999, dalam Atwater & Duffy, 2004)
Atwater dan Duffy menjelaskan bahwa beberapa psikolog
menyebut perasaan tidak nyaman yang muncul akibat rasa
menyesal ini dengan istilah cognitive dissonance. Sebagian
individu dapat tetap hidup dengan cognitive dissonance
tersebut, terutama individu yang telah mempertimbangkan
dengan sungguh-sungguh ataupun individu yang telah berhasil
menyesuaikan diri dengan penyesalannya. Ketika perasaan
menyesal itu berhasil diatasi, individu akan lebih lagi
mempertimbangkan keputusan-keputusan yang akan diambil
berikutnya dalam kehidupan.
Melalui uraian tersebut dapat dilihat bagaimana proses
pengambilan keputusan individu terutama keputusan berat yang
menguras energi mental, biasanya melalui tahapan-tahapan atau fase-
fase teretantu. Baik Janis dan Mann, maupun Atwater dan Duffy,
dalam tahapan pengambilan keputusan yang dirumuskannya juga
mencantumkan tahap-tahap dimana tahap tersebut merupakan elemen
kritis dalam pengambilan keputusan. Kerangka proses pengambilan
keputusan beserta letak elemen kritis dalam pengambilan keputusan
dapat dilihat melalui gambar berikut:
48
D. KAJIAN PSIKOLOGI TRANSPERSONAL
Menurut Noesjirwan (2000), Psikologi Transpersonal diartikan
sebagai suatu studi terhadao potensi tertinggi umat manusia dan
dengan pengakuan, pemahaman, dan perealisasian keadaan-keadaan
kesadaran yang mempersatukan antara spiritual dan transenden.
Psikologi transpersonal secara khusus memberikan perhatian kepada
studi ilmiah yang empiris dan kepada implementasi yang bertanggung
jawab dari penemuan-penemuan yang relevan bagi pengaktualisasian
diri, transendentasi diri, kesadaran kosmis, fenomenafenomena
transendental yang terjadi pada (atau dialami oleh) perorangan-
perorangan atau sekelompok orang (Sutich, dalam Noesjirwan, 2000).
49
McWaters (1975, dalam Mujidin, 2005) sebagai salah satu tokoh
Psikologi Transpersonal menuliskan pengamatan banyaknya para
psikolog transpersonal mengakui bahwa ada banyak pengalaman
manusia yang dapat kita catat, tidak hanya merupakan pengalaman
empiris –inderawi atau kognitif-logik, tapi lebih dari itu, yaitu
pengalaman batin (spiritual). Mereka mencoba membawa realitas
spiritual ini termasuk dalam bagian domain psikologi.
Mujidin (2005) mengulas bahwa objek psikologi pada garis
besarnya lebih banyak berkutat seputar psikofisik manusia,
psikokognitif dan psikohumanistik manusia. Kecenderungan
penggalian terhadap dimensi transpersonal dari pribadi yang
“terdalam” dalam diri manusia kurang atau bahkan tidak mendapat
porsi dalam kajian psikologi pada umumnya. Mujidin juga
menambahkan pendapat Marshal (2003, dalam Mujidin, 2005)
mengenai Psikologi Transpersonal, bahwasanya Psikologi
Transpersonal sebenarnya ingin melihat potensi manusia secara utuh,
menyeluruh dan menggali potensi manusia yang terdalam, salah
satunya adalah Spiritual Question (SQ). Menurut Mujidin, Psikologi
Transpersonal berusaha melakukan penggalian dan pengembangan
manusia secara utuh sebagai pribadi, dalam segala dimensi dan
kompleksitasnya. Jangan hanya pertumbuhan sebagai realisasi yang
terfokus pada yang simpel tentang aspek fisik/emosi atau intelektual
dari pribadi dengan meninggalkan lebih banyak alam ke-dalam-an
yang tak tergali, dan karenanya tak terealisasikan. Pandangan multi
dimensi dari kemanusiaan menurut Psikologi Transpersonal
digambarkan oleh Mujidin melalui gambar berikut:
50
Gambar 2.2. Tingkat Kesadaran dan Fungsi Manusia Menurut Mujidin
Dalam diagram ini Mujidin mengulas bahwa lingkaran 1 mewakili
dimensi fisik dari energi manusia, lingkaran 2 emosi, lingkaran 3
intelektual, gambar 1,2 dan 3 mewakili kekuatan mental dari manusia
lingkaran 4 mewakili integrasi dari 1,2, dan 3 dalam proses fungsi
harmonisasi dari tingkat pribadi. Lingkaran 5 mewakili dimensi
instuisi, yang samar-samar, pengalaman cepat dari persepsi trans-
sensasi, mulai datang ke kesadaran , lingkaran 6 kemudian mewakili
dimensi psikis-spiritual, sebagai pengalaman individu yang jelas
tentang dirinya yang melebihi kesadaran sensasi, dan secara serempak
merealisasikan integrasi dengan lapangan energi yang lebih luas,
seperti kemanusiaan. Lingkaran 7 mewakili cara pribadi merasakan
pengalaman yang tertinggi, penyatuan mistik, pencerahan diri melebihi
dan bergabung dengan semuanya pada tingkat tujuh yang disebutkan
ada tingkat yang lebih jauh menyatukan pribadi dari segala dimensi
yang dialami secara serempak.
Menurut Mujidin, melalui ketujuh tingkat atau lapisan yang
disebutkan, ada lagi tingkat pengembangan potensial dimana semua
tingkat atau lapis dihayati secara simultan, maka terjadilah
Keterangan:
1. Fisik
2. Emosi
3. Intelektual
4. Integritas Personal
5. Intuisi
6. Psikis-spiritual
7. Mistik
8. Integritas Transpersonal
51
pengintregasian antara yang personal dengan yang transpersonal.
Dengan demikian spektrum/ dimensi komponen kesadaran manusia
tidak terbatas hanya psiko-fisik, psiko-kognitif dan psikohumanis,
namun ada dimensi yang lebih dalam dari sekedar itu semua, yaitu
kesadaran batin, dimensi mistis manusia dan atau lebih terkenalnya
sebagai dimensi spiritual kesadaran manusia.
1. Asumsi Dasar Psikologi Transpersonal
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, Psikologi
transpersonal dianggap telah memberikan cara pandang yang baru
mengenai manusia dan kesadarannya. Psikologi Transpersonal
dianggap revolusioner dikarenakan dalam Psikologi Transpersonal
terdapat asumsi-asumsi dasar yang berbeda dengan mazhab-
mazhab dalam psikologi sebelumnya. Asumsi-asumsi dasar
tersebut oleh Vaughan, Wittine, dan Walsh (1996, dalam Wibowo,
2008) dirumuskan ke dalam 4 buah asumsi, yaitu:
a. Asumsi Pertama
Psikologi transpersonal adalah sebuah pendekatan kepada
penyembuhan dan pertumbuhan yang melingkupi semua
tingkat spektrum identitas-prapersonal, personal, dan
transpersonal. Tahap prapersonal dimulai dalam rahim sampai
usia 3-4 tahun. Pada tahap ini, kesadaran didorong oleh
keinginan untuk bertahan hidup, memperoleh perlindungan,
dan merasa terikat. Tahap personal meliputi kesadaran diri
(sense of self) yang kohesif dan stabil. Sedang pada tahap
transpersonal, individu menjadi pribadi yang sadar tentang
kerinduannya akan pengetahuan diri yang lebih mendalam.
52
b. Asumsi kedua
Psikologi transpersonal mengakui terurainya kesadaran diri
serta pandangan dunia spiritualnya sebagai hal yang utama
dalam membentuk sifat proses. Aumsi ini merupakan ciri khas
Psikologi Transpersonal yang mengharuskan terapis psikologi
dalam terapi yang menggunakan sudut pandang ini untuk
memberikan komitmen pada orientasi spiritualnya terhadap
kehidupan.
c. Asumsi ketiga
Psikologi Transpersonal adalah proses kebangkitan atau
pencerahan (awakening) dari identitas mikro menuju identitas
makro. Psikologi transpersonal menganggap bahwa apa yang
disebut dengan spiritual emergency merupakan proses spiritual
yang akan membimbing orang menuju pertumbuhan
kepribadian yang lebih besar dan fungsi yang lebih tinggi.
d. Asumsi keempat
Psikologi Transpersonal akan membantu proses kebangkitan
atau pencerahan (awakening) dengan menggunakan teknik-
teknik yang mempertajam intuisi dan memperdalam kesadaran
personal dan transpersonal tentang diri. Kearifan dan intuisi
dibina dan dikembangkan melalui teknik-teknik seperti
meditasi, pencitraan, mimpi, dan altered state of
consciousness.
2. Konsep Dasar Psikologi Transpersonal
John Davis (dalam Syahrurrohim, 2013) merumuskan 6
konsep dasar dalam kajian Psikologi Transpersonal, yaitu:
53
a. Pengalaman puncak
Pengalaman puncak, yakni istilah yang mula-mula dipakai
oleh maslow. Ia bermaksud meneliti pengalaman mistikal serta
pengalaman-pengalaman lain pada keadaan kesehatan
psikologis yang optimal, tetapi ia merasa bahwa konotasi-
konotasi keagamaan dan spiritual akan terlalu membatasi. Oleh
karena itu mulai menggunakan pengalaman puncak sebagai
istilah yang netral. Penelitian tentang pengalaman puncak telah
mengidentifikasi frekuensi, factor-faktor pemicu, factor-faktor
psikososial, yang berkaitan dengannya, dan konsekuensi dari
pengalaman puncak.
b. Transendensi diri
Transendensi diri, yakni keadaan yang disitu rasa tentang
diri meluas melalui defenisi-defenisi sehari-hari dan citra-citra
diri kepribadian individual bersangkutan. Transendensi diri
mengacu langsung akan suatu koneksi, harmoni atau kesatuan
yang mendasar dengan orang lain dan dengan alam semesta.
c. Kesehatan optimal
Kesehatan optimal, yang melampaui apa yang
dimungkinkan dalam pendekatan-pendekatan lain dalam
psikologi. Kesehatan jiwa biasanya dilihat sebagai penanganan
yang memadai dari tuntutan-tuntutan lingkungan dan
pemecahan konflik-konflik pribadi, namun pandangan
psikologi transpersonal juga memasukan kesadaran, pemhaman
diri, dan pemenuhan diri.
54
d. Kedaruratan spiritual
Kedaruratan spiritual, yakni suatu pengalaman yang
mengganggu yang disebabkan oleh suatu pengalaman (atau
‘kebangkitan”) spiritual. Pada umumnya, psikologi
transpersonal berpendapat bahwa krisis-krisis psikologis dapat
menjadi bagian dari suatu kebangkitan yang sehat dan bahwa
kejadian-kejadian itu tidak selalu merupakan tanda-tanda
psikopatologi.
e. Spektrum perkembangan
Spektrum perkembangan, yakni suatu pengertian yang
memasukkan banyak konsep psikologi dan filsafat kedalam
kerangka transpersonal. Secara filosofis, model ini adalah
contoh dari filsafat perennial. Pandangan ini mengisyaratkan
adanya tingkatan-tingkatan realitas dari tingkat material
melalui tingkat yang berturutan mencakup sifat-sifat dari
tingkat-tingkat sebelumnya bersama-sama sifat-sifat yang
muncul.
f. Meditasi
Meditasi, yakni berbagai praktek untuk memusatkan atau
menenangkan proses-proses mental dan memupuk keadaan
transpersonal. Sama seperti conditioning merupakan metode
kunci dalam behaviorisme, interprestasi serta katarsis
merupakan metode kunci dalam psikoanalisa, maka meditasi
adalah metode kunci bagi metode psikologi transpersonal.
55
3. Pengambilan Keputusan dalam Kajian Psikologi
Transpersonal
Menurut John Davis (2003), Psikologi Transpersonal adalah
ilmu yang menghubungkan psikologi dengan spiritualitas. Davis
mengungkap bahwa Psikologi Transpersonal merupakan salah satu
bidang psikologi yang mengintegrasikan konsep, teori dan metode
psikologi dengan kekayaan-kekayaan spiritual dari bermacam-
macam budaya dan agama secara disiplin ilmu maupun praktiknya.
Berdasarkan uraian Davis, nama Psikologi Transpersonal diberikan
bagi kekuatan yang baru timbul dalam bidang psikologi, dibentuk
oleh sejumlah psikolog dan ahli-ahli bidang lain yang mempunyai
perhatian terhadap kemampuan-kemampuan dan kesanggupan-
kesanggupan tertinggi manusia yang selama ini tidak dipelajari
secara sistematis oleh aliran behavioristik, psikoanalisis klasik,
maupun oleh psikologi humanistik.
Sedangkan menurut Noesjirwan (2000, dalam Mujidin, 2005)
Psikologi Transpersonal adalah suatu studi terhadap potensi
tertinggi umat manusia dan dengan pengakuan, pemahaman,
perealisasian keadaan-keadaan kesadaran yang mempersatukan
antara spiritual dan transenden. Transenden sendiri dapat diartikan
sebagai cara berpikir mengenai hal-hal yang melampaui apa yang
terlihat manusia, yang dapat di temukan oleh semesta (Bagus,
1996). Sebagai contoh adalah pemikiran yang memelajari Tuhan
yang dianggap begitu jauh, berjarak dan mustahil untuk
sepenuhnya dipahami oleh manusia.
Davis berpendapat bahwa konsep-konsep inti dari kajian
Psikologi Transpersonal adalah nondualitas, transendensi diri, dan
56
pengoptimalisasian perkembangan manusia dan kesehatan mental.
Dari konsep-konsep tersebut, konsep yang mendasari kajian
Psikologi Transpersonal adalah nondualitas mencakup
pengetahuan bahwa tiap-tiap bagian (misal: tiap-tiap manusia)
pada dasarnya dan pada akhirnya adalah bagian dari keseluruhan
alam semesta, penyatuan kosmis dimana segala-galanya dipandang
sebagai satu kesatuan. Konsep transendensi diri yang dapat
diartikan sebagai suatu gerak yang melampaui apa yang telah
dicapai, suatu gerak dari yang kurang baik menjadi baik dan dari
yang baik menjadi lebih baik (Lonergan, 1975, dalam Perry, 2004).
Dalam kesehariannya, masyarakat Indonesia secara sadar
maupun tidak sangat kental bersentuhan langsung dengan ranah
yang dikaji dalam Psikologi transpersonal. Masyarakat Indonesia
yang beragama (baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, maupun agama
lainnya) sangat akrab dengan dunia yang oleh psikolog barat
disebut “transpersonal“ manusia (Mujidin, 2005). Dasar negara
yang paling utama dan pertama di negara Indonesia sendiri
sekalipun (salah satunya digambarkan dengan sila pertama
pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa”), dengan jelas
menggambarkan betapa akrabnya masyarakat Indonesia terhadap
ranah yang dikaji dalam Psikologi Transpersonal.
Dalam kehidupan sehari-harinya, praktek-praktek metafisik
banyak ditemui di Indonesia. Praktik-prakteik yang diulas dalam
kajian Psikologi Transpersonal, seperti do’a, meditasi, semedi,
intuisi, dan lain sebagainya akrab dan sering kali digunakan dalam
berbagai aktifitas masyarakat sehari-hari, tidak terkecuali dalam
pengambilan keputusan. Terkait dengan pengambilan keputusan
57
Jung (dalam Frager & Fadiman, 2005), salah satu tokoh pioneer
Psikologi Transpersonal dalam teori fungsi jiwa-nya juga
mengulas bahwa dalam membentuk penilaian dan pengambilan
keputusan individu cenderung menggunakan “thinking”
(pemikiran) dan “feeling” (perasaan). Thinking berkaitan dengan
kebenaran objektif, penilaian, dan analisis impersonal. Sedangkan
feeling fokus pada nilai, yang di dalamnya bisa berupa penilaian
terhadap apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan apa yang
salah (sebagai lawan dari pengambilan keputusan yang didasarkan
oleh kriteria-kriteria logis atau efisiensi yang ada pada “thinking”).
Selain itu, Jung juga menyinggung mengenai “sensation”
(pengindraan) dan “intuition” (intuisi) yang secara bersama-sama
sebagai cara untuk mengumpulkan informasi, sebagai bagian
dalam tahap pengambilan keputusan.
Keempat fungsi jiwa yang dikemukakan oleh Jung tersebut
sangat lekat kaitannya dengan ranah transenden. Kerap kali kita
temui bagaimana mayoritas dari kita dalam berpikir, merasa,
menginderai, bahkan dalam berintuisi yang senantiasa dilibatkan
dalam bagaimana manusia mengambil keputusan pada praktiknya
kerap kali melibatkan sesuatu yang diluar batas inderawi kita
seperti Tuhan. Seperti yang telah diulas pada latar belakang, pada
keputusan-keputusan krusial dalam kehidupan kita, kita kerap kali
melakukan perenungan, berdoa, bahkan memohon petunjuk dari
sosok transenden dalam kehidupan kita. Bagaimana hal spiritual
ataupun transenden ini terlibat dalam kehidupan kita juga termasuk
dalam pengambilan keputusan adalah suatu hal yang sangat
menarik untuk dipelajari.
58
E. PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERPISAH PADA
PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM
BERPACARAN MELALUI KAJIAN PSIKOLOGI
TRANSPERSONAL
Berdasarkan uraian ragam teori terkait penelitian ini, maka peneliti
dapat merumuskan sebuah kerangka pemikiran. Kerangka pemikiran
tersebut mencakup konstruksi sosial perempuan dan laki-laki yang
kemudian melatar belakangi gambaran bentuk relasi khusus yang biasa
terjadi di masyarakat, konsep cinta dan pacaran, proses pengambilan
keputusan individu terutama terkait keputusan yang berat, kajian
psikologi transpersonal, dan bagaimana pengambilan keputusan
tersebut ditinjau dalam kajian psikologi transpersonal. Kerangka
pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat galam gambar berikut: