Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF filebagian bawah daun (stomata). Air yang tetahan di...
Transcript of Bab II Tinjauan Pustaka - · PDF filebagian bawah daun (stomata). Air yang tetahan di...
II-1
Bab II
Tinjauan Pustaka
II.1 Siklus Hidrologi
Siklus hidrologi adalah gerakan air laut ke udara, kemudian jatuh ke permukaan
tanah, dan akhirnya mengalir ke laut kembali. Siklus tersebut sebenarnya tidaklah
sesederhana defenisi di atas karena:
1. siklus itu dapat berupa siklus pendek, yaitu hujan yang segera dapat mengalir
kembali ke laut,
2. tidak adanya keseragaman waktu yang diperlukan oleh suatu siklus. Selama
musim kemarau kelihatannya siklus seolah-olah berhenti, sedangkan dalam
musim hujan berjalan kembali,
3. intensitas dan frekuensi siklus tergantung letak geografi dan keadaan iklim
suatu lokasi, siklus ini berjalan karena sinar matahari yang posisinya berubah
setiap saat menurut meridiannya,
4. berbagai bagian siklus dapat menjadi sangat kompleks sehingga hanya dapat
diamati pada bagian akhir saja terhadap suatu curah hujan di atas permukaan
tanah yang kemudian kembali ke laut.
Gambaran sederhana dari siklus hidrologi dapat dilihat pada Gambar II.1.
II-2
Gambar II.1. Siklus Hidrologi
Air laut menguap karena radiasi matahari menjadi awan, kemudian awan yang
terjadi oleh penguapan air bergerak di atas daratan karena tertiup angin.
Presipitasi yang terjadi karena adanya tabrakan antara butir-butir uap air karena
akibat desakan angin, dapat berbentuk hujan atau salju. Setelah jatuh ke
permukaan tanah, akan menimbulkan limpasan (runoff) yang mengalir kembali ke
laut. Dalam usahanya untuk mengalir kembali ke laut beberapa diantaranya masuk
ke dalam tanah (infiltrasi) dan bergerak terus ke bawah (perkolasi) ke dalam
daerah jenuh (saturated zone) yang terdapat di bawah permukaan air. Air dalam
daerah ini bergerak perlahan-lahan melewati akuifer masuk ke sungai atau
kadang-kadang langsung masuk ke laut.
Air yang masuk ke dalam tanah (infiltrasi) memberi hidup kepada tumbuhan,
namun ada diantaranya naik ke atas lewat akuifer diserap akar dan batangnya,
sehingga terjadi transpirasi, yaitu evaporasi (penguapan) lewat tumbuhan melalui
bagian bawah daun (stomata). Air yang tetahan di permukaan tanah (suface
detention) sebagian besar mengalir masuk ke sungai-sungai sebagi limpasan
permukaan (surface runoff) ke dalam palung sungai.
II-3
Permukaan sungai dan danau juga mengalami penguapan, sehingga masih ada lagi
air yang dipindahkan menjadi uap. Akhirnya, air yang tidak menguap ataupun
mengalami infiltrasi tiba kembali ke laut lewat palung-palung sungai. Air tanah
yang bergerak jauh lebih lambat mencapai laut dengan jalan ke luar melewati
alur-alur masuk ke sungai atau langsung merembes ke pantai-pantai. Dengan
demikian seluruh siklus telah dijalani, kemudian akan berulang kembali.
II.2 Daerah Aliran Sungai
Berbagai analisa hidrologi seperti analisa hujan limpasan dan analisa ketersediaan
air, dilakukan untuk suatu cakupan Daerah Aliran Sungai (DAS). Secara umum,
DAS merepresentasikan suatu daerah dimana hujan yang jatuh atau aliran
permukaan yang terjadi di dalam daerah tersebut akan mengalir menuju outlet
DAS. Dengan kata lain, hujan atau aliran permukaan yang terjadi di luar DAS
yang bersangkutan, tidak akan memberikan kontribusi debit terhadap outlet DAS
yang ditinjau tersebut. Batas DAS dapat ditentukan berdasarkan peta topografi,
dimana secara umum limpasan bergerak dari lahan dengan elevasi tinggi menuju
lahan dengan elevasi rendah, dengan arah pergerakan tegak lurus garis kontur
elevasi.
Karakteristik dasar DAS yang memiliki pengaruh terhadap besarnya limpasan
antara lain adalah luas DAS, bentuk, panjang saluran, kemiringan, jenis tanah, dan
jenis tutupan lahan.
Luas DAS (A) merupakan parameter dasar bagi perhitungan volume limpasan
yang diakibatkan oleh suatu kejadian hujan. Secara umum, semakin besar luas
DAS, semakin besar pula debit limpasan pada outlet DAS tersebut akibat suatu
kejadian hujan. Panjang saluran (L) pada umumnya dihitung berdasarkan panjang
saluran utama mulai dari titik outlet hingga ke ujung saluran di sebelah hulu.
Panjang saluran hingga ke titik berat DAS (length to centroid = Lc) dihitung
berdasarkan panjang saluran utama hingga ke titik berat DAS. Parameter L dan Lc
banyak digunakan dalam proses perhitungan hidrogaf.
II-4
Kemiringan saluran (S) atau kemiringan lahan (So) merefleksikan tingkat
perubahan elevasi terhadap jarak. Parameter ini juga banyak digunakan dalam
perhitungan hidrograf dan perhitungan waktu tempuh (time travel). Jenis tanah
merupakan parameter yang berpengaruh dalam penentuan infiltrasi. Jenis tutupan
lahan berpengaruh terhadap respon DAS terhadap suatu kejadian hujan. Sebagai
contoh, Metode Rasional menggunakan nilai C untuk merefleksikan potensi
besarnya limpasan yang terjadi pada suatu DAS. Secara umum, semakin tinggi
intensitas bangunan pada suatu luasan lahan, semakin tinggi pula potensi limpasan
yang mungkin terjadi akibat suatu kejadian hujan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran permukaan dapat dikelompokkan ke
dalam faktor yang berhubungan dengan curah hujan, dan faktor yang berhubungan
dengan karakteristik daerah aliran aliran sungai.
Lama waktu hujan, intensitas, dan penyebaran hujan mempengaruhi laju dan
volume aliran permukaan. Pada hujan dengan intensitas yang tinggi, kapasitas
infiltrasi akan terlampaui dengan selisih yang cukup besar dibandingkan pada
hujan dengan intensitas yang rendah, meskipun total curah hujan untuk kedua
hujan tersebut sama besar.
Dalam hubungannya dengan penyebaran hujan, secara umum volume aliran
permukaan terbesar terjadi ketika hujan turun merata di seluruh wilayah DAS
yang ditinjau. Bentuk dan ukuran DAS, kondisi topografi, dan tata guna lahan
mempengaruhi bentuk hidrograf aliran permukaan. Bentuk DAS yang memanjang
dan sempit cenderung menurunkan laju aliran permukaan dibandingkan dengan
DAS yang melebar.
Kerapatan sungai juga merupakan faktor penting yang menentukan kecepatan
aliran permukaan. Kerapatan sungai adalah jumlah panjang saluran dibagi dengan
luas DAS. Secara umum, makin tinggi kerapatan sungai, makin besar kecepatan
aliran permukaan pada DAS tersebut.
II-5
Secara umum, vegetasi di permukaan tanah mengakibatkan meningkatnya
kapasitas intersepsi dan detensi, serta mengurangi kecepatan aliran permukaan.
Faktor pengaruh tutupan lahan sering direpresentasikan sebagai koefisien C yang
menunjukkan perbandingan antara besarnya hujan yang berubah menjadi aliran
permukaan dengan hujan yang jatuh. Koefisien ini sering disebut sebagai
koefisien pengaliran.
II.3 Curah Hujan Wilayah
Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air
dan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang
bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut
curah hujan wilayah/regional. Untuk mencari curah hujan rata-rata suatu wilayah,
salah satu metoda yang dipakai yaitu Poligon Thiessen.
Cara Poligon Thiessen ini berdasarkan rata-rata timbang (weighted average).
Masing-masing penakar mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan
menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung
diantara dua pos penakar Gambar II.2. .
Gambar II.2. Mengukur tinggi curah hujan dengan Poligon Thiessen (Soemarto, C.D., 1995)
II-6
Curah hujan wilayah suatu DAS dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
(II-1) Poligon Thiessen berikut ini:
n21
nn2211
A...AAdA....dAdAd
++++++
= ....................................................... persamaan (II-1)
dimana:
A1, A2, ...., An = luas daerah pengaruh pos penakar 1,2, dan seterusnya
A = jumlah luas seluruh areal yang dicari tinggi hujan
rata-ratanya.
d1, d2, ...., dn = tinggi hujan pos penakar 1, 2, dan seterusnya
d = tinggi hujan rata-rata areal
II.4 Infiltrasi dan Curah Hujan Efektif
Infiltrasi adalah proses air masuk dari permukaan tanah ke dalam tanah. Banyak
faktor mempengaruhi laju infiltrasi, termasuk kondisi permukaan tanah dan
penutupan vegetasi, sifat-sifat tanah misalnya porositas dan konduktivitas
hidraulik, dan kelengasan tanah pada saat itu.
Dalam beberapa hal tertentu, infiltrasi berubah-ubah sesuai dengan intensitas
curah hujan. Akan tetapi setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan
berlangsung terus sesuai kecepatan absorsi maksimum setiap tanah yang
bersangkutan. Kecepatan infiltasi yang berubah-ubah sesuai dengan variasi
intensitas hujan umumnya disebut laju infiltrasi. Laju infiltasi maksimum yang
terjadi pada suatu kondisi tertentu disebut kapasitas infiltrasi (f). Kapasitas
infiltrasi berbeda-beda tergantung dari kondisi permukaan tanah, struktur tanah,
tumbuh-tumbuhan, suhu dan lain-lain.
II-7
Metoda φ index merupakan metoda yang paling sederhana untuk menghitung
besarnya infiltrasi. Besarnya infiltrasi dihitung dengan mencari selisih antara
presipitasi total dengan hasil pengamatan aliran permukaan (surface run off) yang
diamati secara hidrograf. Metoda ini mengasumsikan bahwa selisih antara
presipitasi total dengan surface run off ini terdistribusi secara uniform melewati
daerah curah hujan.
Metoda ini merupakan laju konstan (mm/jam) dimana volume curah hujan sama
dengan volume limpasan yang diamati (sama dengan hujan netto atau efektif)
metoda ini menggambarkan semua kehilangan permukaan (intersepsi, cadangan
depresi permukaan, cadangan detensi dan evapotranspirasi) dan infiltrasi.
tQP −
=φ ...................................................................................... persamaan (II-2)
Dimana:
P = hujan total (mm)
Q = limpasan permukaan total
t = lamanya hujan (jam)
II.5 Hidrograf Satuan Observasi
Menurut Soemarto (1995), S-Curve adalah suatu hidrograf limpasan langsung
yang dihasilkan oleh hujan menerus dengan intensitas efektif konstan dan durasi
tidak terhingga.
S-Curve suatu watershed diperoleh dari suatu hidrograf satuan watershed tesebut
dengan periode tertentu. Hujan menerus tersebut terdiri atas deretan hujan dengan
intensitas konstan dengan durasi tertentu yang jumlahnya tidakterhingga, maka
efek dari hujan menerus tersebut dapat dicari dengan menjumlahkan ordinat-
ordinat deretan hidrograf yang banyaknya tidak terhingga. Setiap ordinat digeser
satu periode.
II-8
Gambar II.3. Metoda S-Curve hydrograph (Bedient dan Huber, 1992)
S-Curve dapat dipakai untuk mengubah hidrograf satuan dengan durasi t1 menjadi
hidrograf satuan dengan durasi t2. Hal tersebut didapat dari S-Curve yangberasal
dari hidrograf satuan tertentu (S-Curve1) dan dengan menggambarkan S-Curve
yang lain (S-Curve2) yang berasal dari hidrograf satuan yang sama yang digeser t2
jam ke kanan. Beda ordinat S-Curve1 dengan S-Curve2 pada garis vertikal yang
sama merupakan ordinat hidrograf satuan dengan periode t2, yang tingginya sama
dengan (t1/t2)d. dimana d adalah tinggi hidrograf satuan dengan periode t1.
II.6 Hidrograf Satuan Sintetik
Menurut Chow (1998), Unit hidrograf didefenisikan sebagai aliran keluar lembah
yang dihasilkan dari satu inchi (satu centimeter) dalam direct runoff yang
dibangkitkan dalam area drainase yang seragam pada curah hujan yang seragam
untuk perioda dari durasi hujan tertentu.
Unit hidrograf adalah unit fungsi respon dari sistem hidrologi linear. Unit
hidrograf didefenisikan sebagai sebuah direct runoff hidrograph (DRH) sebagai
resultan dari curah hujan yang merata pada area drainase pada waktu yang
konstan dari durasi effektif.
II-9
Beberapa asumsi yang digunakan pada model unit hidrograf adalah:
• Intensitas curah hujan konstan terhadap durasi effektif,
• Curah hujan terdistribusi secara merata pada area drainase,
• Waktu dasar dari DRH merupakan hasil dari curah hujan yang diberikan
secara konstan pada durasi tertentu,
• Ordinat dari semua DRH pada waktu tertentu adalah proporsional
terhadapnjumlah total dari direct run off yang direpresentasikan oleh setiap
hidrograf, dan
• Pada sebuah watersheed, hidrograf dihasilkan dari curah hujan tidak akan
merubah karakteristik dari watersheed tersebut.
Tahun 1932, Sherman mengembangkan konsep unit hidrograf untuk menentukan
direct runoff hidrograph dari effektif rainfall hiteograf, yang banyak digunakan
dalam aplikasi hirologi. Unit hidrograf dari sebuah DAS dapat didefenisikan
sebagai direct runoff hidrograf yang merupakan hasil dari 1 cm atau 1 inchi
effektif rainfall yang terjadi secara merata pada DAS tersebut selama unit periode
waktu tertentu.
Beberapa asumsi yang digunakan pada teori unit hidrograf:
• Kelebihan curah hujan pada waktu tertentu diasumsikan untuk menghasilakan
hidrograf dengan time bases yang sama mengacu pada intensitas curah hujan,
• Ordinat dari direct run off suatu kejadian hujan dengan durasi tertentu
diasumsikan berbanding lurus terhadap volume kelebihan curah hujan, maka
curah hujan akan menghasilkan dua unit hidrograf,
• Waktu distribusi dari direct run off diasumsikan tidak bergantung pada
kejadian hujan, dan
• Distribusi curah hujan diasumsikan sama untuk semua kejadian hujan dengan
durasi, area serta waktu yang sama.
II-10
Hidrograf dikarakteristikkan oleh rising limb, crest segmen dan recession curve.
Aspek waktu pada hidrograf dikarakteristikkan oleh parameter berikut ini:
• Lag time (Tp): waktu dari pusat massa kelebihan curah hujan dari hidrograf,
• Time of rise (tR): waktu dari permulaan naiknya curah hujan sampai puncak
pada hidrograf,
• Time of concentratiton (tc): waktu dari equilibrium watershed dimana outflow
seimbang dengan inflow, time of concentratiton juga diartikan sebagai waktu
untuk sebuah gelombang untuk menjalar dari titik terjauh dari watershed
menuju outlet, dan
• Time base (tb): durasi total dari direct run off (DRO) hidrograf.
Menurut Chow (1998) unit hidrograf dikembangkan dari data hujan dan aliran
sungai pada suatu watershed yang hanya digunakan untuk watershed tersebut dan
untuk titik pada aliran dimana data aliran sungai tersebut sudah terukur. Unit
hidrograf sintetik digunakan untuk mengembangkan unit hidograf untuk lokasi
lainnya pada suatu aliran sungai di dalam watershed yang sama atau didekatnya
dengan karakteristik yang sama. Pada bab ini dikaji tiga metode perhitungan unit
hidrograf sintetik, yaitu: Snyder-Alexejev, Nakayasu, dan SCS.
II.6.1 Hidrograf Satuan Sintetik Snyder-Alexejev
Cara pertama yang digunakan dalam perhitungan debit banjir yang digunakan
dalam studi ini adalah perhitungan hidrograf satuan cara Snyder-Alexesejev,
dimana rumus dari hidrograf satuan sintetik Snyder-Alexesejev adalah sebagai
berikut:
II-11
Gambar II.4. Hidrograph satuan sintetis menurut Snyder (Soemarto, C. D., 1995)
Menentukan lag-time
tp = 0.75 (L.Lc) 0.3 (jam) ......................................................... persamaan (II-3)
dimana :
tp = waktu antara titik berat curah hujan hingga puncak (time lag) dalam jam
L = panjang aliran utama (km)
Lc = jarak antara titik berat daerah pengaliran dengan pelepasan (outlet) yang
diukur sepanjang aliran utama
Lama hujan efektif
te = tp/5.5 ................................................................................ persamaan (II-4)
Rise to peak
Tp = waktu dari permulaan naiknya hujan sampai puncak pada hidrograf
Bila nilai te>tr:
te > tr → t’p = tp + 0.25 (tr-te) → Tp = tp +0.5.tr ............... persamaan (II-5)
Bila nilai te<tr :
te < tr → Tp =tp + 0.5 ............................................................ persamaan (II-6)
Peak discharge (l/det), untuk hujan efektif 1 mm pada 1 km2
tpC.275
q pp =
............................................................................ persamaan (II-7)
II-12
Peak discharge untuk hujan efektif 1 inci (25.4 mm) pada daerah seluas A
km2, dalam m2/det
det)/m(.A.1000
4.25.qQ 2pp =
.................................................. persamaan (II-8)
Bentuk Unit Hydrograph.
Snyder hanya membuat rumus empirik untuk menghitung debit puncak Qp dan
waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak dari suatu hidrograf saja, sehingga
untuk mendapatkan lengkung hidrografnya memerlukan waktu untuk
mengkalibrasi parameter-parameternya. Untuk mempercepat pekerjaan tersebut
diberikan rumus Alexejev, yang memberikan bentuk hidrograf satuannya.
Persamaan Alexejev adalah sebagai berikut:
Q = f(t) .......................................................................................... persamaan (II-9)
Untuk koordinat nilai Y dan X:
PQQY = dan
pTtX = ................................................................ persamaan (II-10)
( )xx1a
2
10Y−
−= ............................................................................... persamaan (II-11)
dengan nilai a diperoleh dari persamaan (II-12) berikut :
a = 1.32 λ2 + 0.15 λ + 0.045 ....................................................... persamaan (II-13)
hATQ pp=λ .................................................................................... persamaan (II-14)
Dimana : h = excess rain (run-off) dalam mm.
A = luas daerah pengaliran dalam km2.
Tp = rise to peak dalam detik.
II-13
II.6.2 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
Cara kedua yang digunakan dalam perhitungan unit hidrograf yang digunakan
dalam penelitian ini adalah perhitungan hidrograf satuan sintetik Nakayasu,
dimana rumus dari hidrograf satuan sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut:
Gambar II.5. Hidrograph Satuan Sintetis menurut Nakayasu (Soemarto, C. D., 1995)
Debit Puncak untuk hujan efektif 1 mm pada daerah seluas A km2
).3,0(6,3..
3,0
0
TTRAC
Qp
p += ......................................................... persamaan (II-15)
dimana :
Qp = Debit puncak banjir (m3/det)
R0 = Hujan satuan (mm)
Tp = waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 = Waktu penurunan debit, dari puncak sampai 30%
A = Luas daerah pengaliran sampai outlet
C = Koofisien pengaliran
Untuk menentukan Tp dan T0,3 digunakan pendekatan rumus sebagai berikut :
Tp = tg + 0.8 tr ..................................................................... persamaan (II-16)
T0.3 = α tg .............................................................................. persamaan (II-17)
tr = (0.5 – 1) ........................................................................ persamaan (II-18)
II-14
Menentukan Lag-time
tg adalah time lag yaitu waktu antara hujan sampai debit puncak banjir (jam)
dimana tg dihitung dengan ketentuan sebagai berikut :
Sungai dengan panjang alur L > 15 km : tg = 0,4 + 0,058
Sungai dengan panjang alur L < 15 km : tg = 0,21 L0,7
Tr = Satuan waktu hujan (jam)
α = Parameter hidrograf, untuk
α = 2 → Pada daerah pengaliran biasa
α = 1,5 → Pada bagian naik hidrograf lambat dan turun cepat
α = 3 → Pada bagian naik hidrograf cepat dan turun lambat
Pada waktu kurva naik : 0 < t < Tp
( )4,2
ppt )
Tt.(QQ = .................................................................. persamaan (II-19)
dimana :
Q(t) = Limpasan sampai dengan debit puncak (m3)
t = Waktu (jam)
Pada waktu kurva turun
a) Selang nilai : )( 3,0TTt p +≤
3,0
)(
)( 3,0. TTt
pt
p
QQ−
= ........................................................... persamaan (II-20)
b) Selang nilai : )5,1()( 3,03,03,0 TTTtTT pp ++≤≤+
3.0
3,0
5,1)5,0(
)( 3,0. TTTt
pt
p
QQ+−
= ................................................... persamaan (II-21)
c) Selang nilai : t > (Tp+2,5 T0,3)
3,03,0
2
)5,0(
)( 3,0. T
TTt
pt
p
QQ+−
= ................................................... persamaan (II-22)
II-15
Rumus tersebut di atas merupakan rumus empiris, maka penerapannya terhadap
suatu daerah aliran harus didahului dengan suatu pemilihan parameter-parameter
yang sesuai yaitu Tp dan α, dan pola distribusi hujan agar didapatkan suatu pola
hidrograf yang realistik.
II.6.3 Hidrograf Satuan Sintetik SCS
Menurut Chow, V. T., (1998) SCS dimensionless hidrograf adalah unit hidrograf
sintetik dimana debitnya dinyatakan sebagai perbandingan dari debit q dengan
debit puncak qp dan waktu sebagai dari perbandingan waktu t dengan waktu dari
permulaan hujan ke puncak unit hidrograf (time rise), Tp. Debit puncak dan time
lag untuk durasi hujan efektif yang diketahui, unit hidrograf bisa ditentukan dari
hidrograf sintetik dimensionless untuk sebuah DAS. Gambar II.6.(a)
menunjukkan sebuah hidrograf dimensionless, yang disediakan untuk berbagai
jenis DAS. Nilai dari qp dan Tp bisa diperkirakan dengan menggunakan model
penyederhanaan dari sebuah unit hidrograf trianggular seperti yang ditunjukkan
oleh Gambar II.6.(b), dimana waktu dalam jam dan debit dalam m3/dt/cm (Soil
Concervation Service,1972).
SCS menganjurkan time recession bisa didekati dengan 1.67 Tp, sebagai daerah
dibawah unit hidrograf yang harus sama dengan direct runoff 1 cm (atau 1 inch),
yang dinyatakan pada persamaan (II-25).
TpA08.2qp = ............................................................................... persamaan (II-23)
tp ≈ 0.6 Tc ................................................................................... persamaan (II-24)
Pada Gambar II.6.(b), time rise Tp bisa dinyatakan dalam hubungan lag time tp
dan durasi hujan efektif tr sebagai berikut:
tp2trTp += ................................................................................ persamaan (II-25)
II-16
Gambar II.6. (a) UH SCS Dimensionless dan (b) SCS Triangular (Chow, V. T., 1998)
II.7 Klasifikasi Model DAS
Berbagai tipe model matematika dikembangkan untuk berbagai tujuan yang
berbeda. Menurut Singh (1995), model matematika untuk DAS dapat
diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, seperti:
1. Deskripsi Proses
2. Variabilitas terhadap ruang/waktu
3. Metode penyelesaian persamaan matematis
II.7.1 Klasifikasi Model DAS berdasarkan Deskripsi Proses
Secara umum, process-based model terdiri dari beberapa komponen, seperti:
karakteristik geometris DAS
input
persamaan pengatur
nilai awal dan syarat batas
output
Process-based model dapat diklasifikasikan menjadi model Lumped dan
Distributed.
II-17
Model lumped secara umum diekspresikan oleh persamaan-persamaan tanpa
mempertimbangkan variabilitas spasial dari proses, input, syarat batas, dan
karakteristik geometris DAS. Pada sebagian besar model lumped, proses-proses
dituangkan dalam persamaan diferensial biasa berdasarkan persamaan hidraulik
sederhana, dan proses lainnya diekspresikan oleh persamaan empiris.
Model distributed secara umum mengakomodir adanya variabilitas spasial dari
proses, input, syarat batas, dan karakteristik DAS. Pada kebanyakan model,
karakteristik DAS, proses, input, dan syarat batas berupa parameter lumped,
namun sebagian proses yang langsung berhubungan dengan output berupa
parameter distributed. Model seperti ini dapat diklasifikasikan sebagai quasi-
distributed model.
Model deterministik didasarkan pada persamaan matematik untuk menjelaskan
proses yang berperan di dalam model dengan memperhitungkan berbagai prinsip
fisik yang berlaku, seperti kontinuitas, konservasi massa, dan lain-lain.
Model stokastik didasarkan atas pengembangan urutan sintetik data yang berasal
dari sifat statistik data yang tersedia. Perhitungan stokastik dapat digunakan untuk
menghasilkan input berupa time series bagi model deterministik jika data
pengamatan hanya tersedia dalam rentang waktu yang relatif pendek.
Model campuran merupakan sintetis antara model deterministik dan stokastik.
Menurut Arsyad (1989), diantara model deterministik dan model stokastik,
terdapat model parametrik. Penyusunan model parametrik misalnya meliputi
pengembangan dan analisa hubungan antara sifat yang menyebabkan terjadinya
erosi secara numerik dengan besarnya erosi. Terdapat informasi mengenai faktor-
faktor yang berpengaruh dan proses yang terjadi sehingga pendekatan stokastik
tidak diperlukan, akan tetapi informasi tersebut belum cukup untuk menyusun
model deterministik.
II-18
II.7.2 Klasifikasi Model DAS berdasarkan Variabilitas Ruang dan Waktu
Time scale dapat didefinisikan sebagai kombinasi input dan output yang masing-
masing dapat terdiri dari interval waktu yang berbeda. Berdasarkan klasifikasi ini,
model dapat dibedakan menjadi: a) continuous time atau event based; b) harian; c)
bulanan; d) tahunan. Klasifikasi ini ditentukan oleh selang waktu komputasi
perhitungan.
Space scale dapat digunakan sebagai kriteria untuk mengklasifikasikan model
menjadi model untuk DAS kecil, DAS sedang, atau DAS besar. Namun demikian,
belum terdapat definisi yang pasti mengenai ukuran besar-kecilnya DAS. Pada
umumnya, DAS < 100 km2 dikategorikan sebagai DAS kecil, dan DAS > 1000
km2 dikategorikan sebagai DAS besar. Hal penting dari pengklasifikasian ini
adalah konsep homogenitas dan perata-rataan proses hidrologis. Sebagai contoh,
pada DAS besar yang sudah terbangun dengan banyak saluran buatan, aliran
dalam saluran (channel flow) lebih dibandingkan dengan overland flow.
Sementara itu, untuk DAS kecil yang belum terbangun, overland flow lebih
dominan dibandingkan dengan aliran dalam saluran.
II.7.3 Model yang dibangun
Dari klasifikasi model di atas, model yang dibangun pada studi ini adalah Model
Distributed – Deterministik – Continuous Time.
Termasuk Model Distributed karena model ini mengakomodasi adanya
variabilitas spasial proses dan karakteristik DAS. Secara umum, pada model ini
DAS dibagi menjadi grid-grid dengan ukuran tertentu. Parameter seperti elevasi,
kemiringan lahan, jenis tutupan lahan, dan lebar saluran/sungai, dimasukkan
sebagai input pada tiap grid. Perhitungan proses hidrologi pada tiap grid
diharapkan dapat memberikan keluaran yang merefleksikan adanya perbedaan
karakter dari tiap bagian DAS.
II-19
Termasuk Model Deterministik karena model ini menggunakan persamaan-
persamaan empiris dan analitis tanpa mengakomodasi adanya variasi keluaran
terhadap suatu masukan data yang sama. Model ini tidak menggunakan
perhitungan stokastik untuk menyusun time series sebagai input.
Termasuk Continuous Time karena model ini bisa melakukan perhitungan untuk
beberapa kejadian hujan (miltiple storm). Model ini menggunakan time series data
baik sebagai masukan maupun keluaran.
Model yang dibangun pada studi mengaplikasikan teori kinematic wave pada
routing overland flow dan routing channel flow pada anak sungai serta teori
routing dynamic wave pada routing channel flow.
II.8 Penurunan Rumus
II.8.1 Overland Flow
Dalam hidraulik saluran terbuka, aliran permukaan merupakan aliran tak tunak
(unsteady flow), dan diteliti pertama kali oleh Keulegan yang kemudian diikuti
dengan penelitian oleh Izzard. Penelitian lain juga dilakukan oleh Richey, Behlke,
Woo dan Brater, serta Yu dan McNown. Untuk analisa hidrologi praktis, metoda
Izzard sudah cukup mumpuni. Menurut Izzard, rising segment pada hidrograf
dapat diwakilkan oleh satu curva tanpa dimensi seperti yang ditunjukkan pada
Gambar II.7. Dimensionless hidrograf dari aliran permukaan.
II-20
Gambar II.7. Dimensionless hidrograf dari aliran permukaan
Dimana :
q = debit dari aliran permukaan, dalam satuan kubik feet per feet lebar, pada
waktu t sejak hujan efektif dimulai.
qe = debit dari aliran permukaan, dalam satuan kubik feet per feet lebar pada
kondisi seimbang, intensitas dari hujan efektif sama dengan debit outflow.
Jika I adalah intensitas hujan efektif dalam inch per hari dan L adalah
panjang dari aliran permukaan dalam feet, maka:
43200LIqe =
Kondisi seimbang (equilibrium) dicapai secara asymptotically.
t = waktu dalam menit, mulai dari hujan efektif dimulai.
te = waktu pada kondisi seimbang (equilibrium) dalam menit. Karena kondisi
equilibrium didapat secara pendekatan asimtot maka te harus didapatkan
ketika q mencapai 0,97qe, atau q/qe = 0,97. Hal ini dibuktikan dengan
volume air yang diberi notasi De dalam ft3 pada aliran permukaan pada satu
satuan lebar di saat seimbang (area di atas kurva pada Gambar II.7.) pada
dasarnya sama dengan volume air yang telah dikeluarkan dalam waktu yang
diperlukan untuk mencapai keseimbangan (area di bawah kurva). Oleh
karena itu, waktu equilibrium dapat dihitung dengan rumus:
e
ee q
Dt
602
=
II-21
D = air yang tertahan (detention) dalam ft3 adalah volume air aliran permukaan
pada satu satuan lebar pada waktu t dari dimulainya hujan efektif.
De = air yang tertahan (detention) dalam ft3 pada saat seimbang (equilibrium). 3/1
ee KLqD =
Hasilnya berkisar antara 0,2 untuk permukaan yang sangat halus sampai 0,4
untuk tanah berumput. Harga K bergantung pada intensitas hujan efektif I,
kemiringan permukaan S, dan faktor kekasaran c.
3/1
0007,0S
cIK +=
Persamaan di atas diperuntukkan untuk kemiringan yang lebih curam dari
0,04. Harga c dapat diperoleh dari tabel sebagai berikut :
Tabel II.1. Koefisien kekasaran c untuk overland flow Izzard
Ketika hujan berhenti, aliran pun berkurang. Waktu tr mulai dari awal segment
turunnya hidrograf sampai titik di mana q/qe = r adalah:
er q
rFDt
60)(0=
Dimana D0 adalah air yang tertahan yang berhubungan De setelah berhentinya
hujan, yang mana air yang tertahan pada saat I = 0; dan dimana:
F(r) = 0,5 (r-2/3 – 1).
Sementara itu untuk perhitungan numerik overland flow maupun channel flow
dalam pemodelan ini menggunakan pendekatan control volume untuk
pendapatkan persamaan kontinuitas dan momentum. Penurunan rumusnya
disajikan pada sub-bab berikut.
II-22
II.8.1.1 Persamaan Kontinuitas
Gambar II.8. Control volume sepanjang ruas Δx untuk overland flow
CV = Control Volume
Laju massa air masuk CV - laju massa air keluar CV = laju akumulasi massa
air dalam CV.
Massa air masuk:
Min = ( )2
uh xuh e xx
ρρ ρ
∂ Δ− + Δ
∂ ................................................. persamaan (II-26)
Massa air keluar:
Mout = ( )2
uh xuhx
ρρ
∂ Δ+
∂ ........................................................... persamaan (II-27)
Laju massa air netto dalam CV:
Mnet = ( )uhx
xρ∂
− Δ∂
.................................................................... persamaan (II-28)
q in
h (t+Δt) h (t)
ρuh
u q out
t
t+Δt
e = hujan efektif α
( )2
uh xuhx
ρρ
∂ Δ+
∂( )2
uh xuhx
ρρ
∂ Δ−
∂
( )ht
tρ∂
Δ∂
2xΔ
2xΔ
II-23
Pada saat t, tinggi aliran di tengah CV adalah h(t), sedangkan pada saat t+Δt,
tinggi air menjadi h(t+Δt). Maka akumulasi massa air dalam CV adalah:
MT = ( )hx
tρ∂
− Δ∂
....................................................................... persamaan (II-29)
Merumuskan kembali persamaan (II-26) sampai dengan persamaan (II-29) akan
diperoleh:
( ) ( )h uhe
t xρ ρ
ρ∂ ∂
+ =∂ ∂
................................................................ persamaan (II-30)
Dengan mengasumsikan fluida air tidak mampu mampat dan mempunyai
kerapatan massa yang sama, serta q=u.h, sehingga persamaan (II-30) dapat ditulis
kembali menjadi:
h q et x
∂ ∂+ =
∂ ∂ .................................................................................. persamaan (II-31)
II.8.1.2 Persamaan Momentum
Kekekalan Momentum Linier
CV = Control Volume.
α = arah hujan terhadap arah aliran.(lihat Gambar II.8. ).
Laju netto momentum masuk CV + Jumlah gaya pada CV = Laju akumulasi
massa dalam CV.
Momentum masuk:
Mm = ( ) ( )( ) 2 cos2
u uh xu uh e xxρ
ρ ρ α⎛ ⎞∂ Δ
− + Δ⎜ ⎟⎜ ⎟∂⎝ ⎠ ....................... persamaan (II-32)
Momentum keluar:
Mk = ( ) ( )( )2x
xuhuuhu Δ
∂∂
+ρρ ..................................................... persamaan (II-33)
II-24
Laju momentum netto masuk CV:
Mn = Mm - Mk
= ( ) ( )( ) 2 cos2
u uh xu uh e xxρ
ρ ρ α⎛ ⎞∂ Δ
− + Δ⎜ ⎟⎜ ⎟∂⎝ ⎠- ( ) ( )( )
2x
xuhuuhu Δ
∂∂
+ρρ
= ( )2
2 cosu h
x e xx
ρ ρ α∂
− Δ + Δ∂
....................................... persamaan (II-34)
Laju akumulasi momentum arah x dalam CV per satu satuan lebar
Mp = ( )uhx
tρ
∂Δ
∂ .................................................................. persamaan (II-35)
Gambar II.9. Control volume dan gaya-gaya yang bekerja
Gravity Force (Gaya Gravitasi)
Fg = W.sin θ
= ρgh.Δx.So ..................................................................... persamaan (II-36)
Pressure Force (Gaya Hidrostatis)
Fp = Fpl – Fpr + Fpb
Fg=wsin θ
Fr
So
Fpl
Fpr
2xΔ
2xΔ θ
θ
Fpb
II-25
Fpl = ( )∫ −h
dwwhg0
ρ
Fpr = xx
FF pl
pl Δ∂
∂+
Dengan menggunakan Leibnitz rule didapat
xFpl
∂
∂ = ( )
∫∫ ∂−
+∂∂ hh
dwxwhgdw
xhg
00ρρ
= ( )∫ ∂
−+
∂∂ h
dwxwhg
xhgh
0ρρ
Fpb = ( ) xdwxwhg
hΔ⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
∂−
∫0ρ
Fp = Fpl – ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛Δ
∂
∂+ x
xF
F plpl + Fpb
= xx
Fpl Δ∂
∂− + Fpb
= ( ) xdwxwhg
xhhg
hΔ⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
∂−
+∂∂
− ∫0. ρρ + ( ) xdw
xwhg
hΔ⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
∂−
∫0ρ
= xxhhg Δ
∂∂
− .ρ ................................................................ persamaan (II-37)
Friksi (Gaya Gesekan)
Fr = 0P xτ− Δ ; τ0 = fRSγ = fgRSρ , untuk overland flow R=h dan P=1
= fghS xρ− Δ
Empiris:
Sf = 2
3/2 ⎥⎦⎤
⎢⎣⎡h
un = 3/4
22
hun ; c = 6/11 h
n c = kekasaran chezy
n = kekasaran manning
= 3/42
22
hhqn
II-26
= 2
2
3/42
22
cc
hhqn ; c2 = 3/1
2
1 hn
= 23/1
23/42
22 11.c
hnhh
qn
= 32
2
hcq
Fr = xhc
qhg Δ− ... 32
2
ρ
= 22
2 ..hc
xqg Δ−
ρ ................................................................... persamaan (II-38)
Merumuskan persamaan (II-34), (II-35), (II-36), (II-37), dan (II-38) akan
diperoleh:
( )22 cos
u he
xρ ρ α
∂− +
∂+ 0ghSρ hgh
xρ ∂
−∂
2
2 2
gqc hρ
− = ( )uht
ρ∂
∂ .. persamaan (II-39)
Dengan mengasumsikan fluida air tidak mampu mampat dan mempunyai
kerapatan massa yang sama, hujan datang dari arah tegak lurus aliran (α=90°),
dan q=u.h, sehingga persamaan (II-39) dapat ditulis kembali menjadi:
( )2
0 2 2
/0
q h g q qq hghS ght x x c h
∂∂ ∂+ − + + =
∂ ∂ ∂ ................................ persamaan (II-40)
II-27
II.8.2 Channel Flow
II.8.2.1 Persamaan Kontinuitas
Gambar II.10. Control volume sepanjang ruas Δx untuk channel flow
Laju massa air masuk CV - laju massa air keluar CV = laju akumulasi massa
air dalam CV.
Massa air masuk:
Min = ( )2
uh xuh q xx
ρρ ρ
∂ Δ− + Δ
∂ ................................................. persamaan (II-41)
Massa air keluar:
Mout = ( )2
uh xuhx
ρρ
∂ Δ+
∂ ........................................................... persamaan (II-42)
Laju massa air netto dalam CV:
Mnet = ( )uhx
xρ∂
− Δ∂
.................................................................... persamaan (II-43)
q in
h (t+Δt) h (t)
ρuh
u q out
t
t+Δt
q α
( )2
uh xuhx
ρρ
∂ Δ+
∂( )2
uh xuhx
ρρ
∂ Δ−
∂
( )ht
tρ∂
Δ∂
2xΔ
2xΔ
II-28
Pada saat t, tinggi aliran di tengah CV adalah h(t), sedangkan pada saat t+Δt,
tinggi air menjadi h(t+Δt). Maka akumulasi massa air dalam CV adalah:
MT = ( )hx
tρ∂
− Δ∂
....................................................................... persamaan (II-44)
Merumuskan kembali persamaan (II-41) sampai dengan persamaan (II-44) akan
diperoleh:
( ) ( )h uhq
t xρ ρ
ρ∂ ∂
+ =∂ ∂
................................................................ persamaan (II-45)
Dengan mengasumsikan fluida air tidak mampu mampat dan mempunyai
kerapatan massa yang sama, serta untuk mendapatkan persamaan kontinuitas yang
berlaku pada penampang basah saluran, sehingga persamaan (II-45) dapat ditulis
kembali menjadi:
A Q qt x
∂ ∂+ =
∂ ∂ ................................................................................ persamaan (II-46)
II.8.2.2 Persamaan Momentum
Kekekalan Momentum Linier
α = arah inflow lateral terhadap arah aliran.(lihat Gambar II.8. ).
Laju netto momentum masuk CV + Jumlah gaya pada CV = Laju akumulasi
massa dalam CV.
Momentum masuk:
Mm = ( ) ( )( )cos
2u uh xu uh qv x
xρ
ρ ρ α⎛ ⎞∂ Δ
− + Δ⎜ ⎟⎜ ⎟∂⎝ ⎠ ....................... persamaan (II-47)
Momentum keluar:
Mk = ( ) ( )( )2x
xuhuuhu Δ
∂∂
+ρρ ..................................................... persamaan (II-48)
II-29
Laju momentum netto masuk CV:
Mn = Mm - Mk
= ( ) ( )( )cos
2u uh xu uh qv x
xρ
ρ ρ α⎛ ⎞∂ Δ
− + Δ⎜ ⎟⎜ ⎟∂⎝ ⎠- ( ) ( )( )
2x
xuhuuhu Δ
∂∂
+ρρ
= ( )2
cosu h
x qv xx
ρ ρ α∂
− Δ + Δ∂
...................................... persamaan (II-49)
Untuk seluruh penampang saluran, persamaan (II-49) dapat ditulis kembali
menjadi:
Mn = ( )2 /
cosQ A
x qv xx
ρ ρ α∂
− Δ + Δ∂
.................................. persamaan (II-50)
Laju akumulasi momentum arah x dalam CV per satu satuan lebar
Mp = ( ) xx
uhΔ
∂∂ρ ................................................................... persamaan (II-51)
Untuk seluruh penampang saluran, persamaan (II-51) dapat ditulis kembali
menjadi:
Mp = Q xt
ρ ∂Δ
∂ ...................................................................... persamaan (II-52)
Gravity Force (Gaya Gravitasi)
Fg = Wsin θ
= ρghΔxSo ....................................................................... persamaan (II-53)
Untuk seluruh penampang saluran, persamaan (II-53) dapat ditulis kembali
menjadi:
Fg = ρgAΔxSo ....................................................................... persamaan (II-54)
II-30
Pressure Force (Gaya Hidrostatis)
Fp = Fpl – Fpr + Fpb
Fpl = ( )∫ −h
dwwhg0
ρ
Fpr = xx
FF pl
pl Δ∂
∂+
Dengan menggunakan Leibnitz rule didapat
xFpl
∂
∂ = ( )
∫∫ ∂−
+∂∂ hh
dwxwhgdw
xhg
00ρρ
= ( )∫ ∂
−+
∂∂ h
dwxwhg
xhgh
0ρρ
Fpb = ( ) xdwxwhg
hΔ⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
∂−
∫0ρ
Fp = Fpl – ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛Δ
∂
∂+ x
xF
F plpl + Fpb
= xx
Fpl Δ∂
∂− + Fpb
= ( ) xdwxwhg
xhhg
hΔ⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
∂−
+∂∂
− ∫0. ρρ + ( ) xdw
xwhg
hΔ⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛
∂−
∫0ρ
= xxhhg Δ
∂∂
− .ρ ................................................................ persamaan (II-55)
Untuk seluruh penampang saluran, persamaan (II-55) dapat ditulis kembali
menjadi:
Fp = hgA xx
ρ ∂− Δ
∂ ................................................................. persamaan (II-56)
Friksi (Gaya Gesekan)
Fr = 0P xτ− Δ ; τ0 = fRSγ− = fAg SPρ−
= fgAS xρ− Δ
II-31
Empiris:
Sf = 2
2/3
nuR
⎡ ⎤⎢ ⎥⎣ ⎦
; c = 1/ 61 Rn
c = kekasaran chezy
n = kekasaran manning
= 2
2 2
QA c R
Fr = 2
2 2
QgA xA c R
ρ− Δ
= 2
Q Qg x
Ac Rρ− Δ ............................................................... persamaan (II-57)
Merumuskan persamaan (II-50), (II-52), (II-54), (II-56), dan (II-57) akan
diperoleh:
( )2 /cos
Q Aqv
xρ ρ α
∂− +
∂+ 0gASρ hgA
xρ ∂
−∂ 2
Q Qg
Ac Rρ− = Q
tρ ∂
∂ persamaan (II-58)
Dengan mengasumsikan fluida air tidak mampu mampat dan mempunyai
kerapatan massa yang sama, inflow lateral datang dari arah tegak lurus aliran
(α=90°), sehingga persamaan (II-58) dapat ditulis kembali menjadi: 2
0 2 0
QA Q QQ hgAS gA g
t x x Ac R
⎛ ⎞∂ ⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠+ − + + =∂ ∂ ∂
........................... persamaan (II-59)
II-32
II.9 Routing Debit
II.9.1 Routing Overland Flow
Persamaan aliran yang digunakan dalam perhitungan routing overland flow adalah
persamaan dari kinematic wave. Persamaan kontinuitas untuk overland flow, yaitu
persamaan (II-31) dapat ditulis kembali menjadi:
h q i ft x
∂ ∂+ = −
∂ ∂ (kontinuitas) ...................................................... persamaan (II-60)
dimana:
i = hujan (m/s)
f = losses (m/s)
e = i – f (m/s)
Persamaan momentum untuk overland flow, yaitu persamaan (II-40) dapat ditulis
kembali menjadi bentuk unit width element:
( ) 0o fu u hu g g S St x x
∂ ∂ ∂+ + − − =
∂ ∂ ∂ (momentum) ........................ persamaan (II-61)
(Kinematic Wave)
(Diffusion Wave)
(Dynamic Wave)
Persamaan momentum terdiri dari beberapa ruas: percepatan lokal, percepatan
konveksi, gaya tekan, gaya gravitasi, dan gaya gesek. Kinematic wave adalah
bentuk bentuk paling sederhana, dimana suku akselerasi lokal, akselerasi
konvektif, dan gaya tekan diabaikan.
Dengan demikian, persamaan momentum yang digunakan dalam Metoda
Kinematic Wave adalah sebagai berikut:
So = Sf .......................................................................................... persamaan (II-62)
II-33
Sebagai contoh, persamaan Manning untuk overland flow dimana So = Sf adalah
sebagai berikut:
q hβα= ....................................................................................... persamaan (II-63)
Dengan demikian, persamaan (II-60) dapat dituliskan sebagai berikut:
1h hh et x
βαβ −∂ ∂⎛ ⎞+ =⎜ ⎟∂ ∂⎝ ⎠ ................................................................. persamaan (II-64)
dimana:
oSn
α = ; β = 5/3 ............................................................ persamaan (II-65)
persamaan (II-64) dapat diselesaikan menggunakan backward difference sebagai
berikut:
Gambar II.11. Ilustrasi solusi numerik untuk kinematic wave overland flow
(j+1)Δt
jΔt
Δt
Δx 1j
ih +
11
jih ++ 1j
ih +
jih
h ht
∂∂
hx
∂∂
(i+1)Δx iΔx
Known value Unknown value
II-34
1 11
j ji ih hh
x x
+ ++ −∂
≈∂ Δ
........................................................................... persamaan (II-66)
11 1
j ji ih hh
t t
++ +−∂
≈∂ Δ
............................................................................ persamaan (II-67)
Untuk membentuk persamaan linear, harga h pada ruas αβhβ-1 didapatkan dari
nilai rata-rata sebagai berikut: 1
1
2
j ji ih hh
+++
≈ .............................................................................. persamaan (II-68)
Harga e juga didapatkan dari nilai rata-rata sebagai berikut: 1
1
2
j ji ie ee
+++
≈ ............................................................................... persamaan (II-69)
Substitusi persamaan (II-66), (II-67), (II-68), dan (II-69) ke persamaan (II-64)
menghasilkan: 11 1 1 1 1
1 1 1 1 1
2 2
j j j j j j j ji i i i i i i ih h h h h h e e
t x
β
αβ−+ + + + +
+ + + + +⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞− + − ++ =⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟Δ Δ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠
........ persamaan (II-70)
dengan penyederhanaan: 11 1 1 1
1 1 1 11 1 2 2
j j j j j jj j i i i i i i
i ie e h h h hh h t
x
β
αβ−+ + + +
+ + + ++ +
⎡ ⎤⎛ ⎞ ⎛ ⎞+ + −= + Δ −⎢ ⎥⎜ ⎟ ⎜ ⎟Δ⎢ ⎥⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎣ ⎦
.... persamaan (II-71)
e = i – f, hujan dikurangi infiltrasi (m/s),
h = tinggi overland flow (m),
II.9.2 Routing Channel Flow
II.9.2.1 Kinematic Wave
Persamaan aliran yang digunakan dalam perhitungan routing channel flow di anak
sungai adalah persamaan dari kinematic wave.
II-35
Persamaan kontinuitas untuk channel flow, digunakan persamaan (II-46).
Persamaan momentumnya adalah persamaan (II-59) dengan mengambil bentuk
persamaan kinematic wave yang paling sederhana dengan mengabaikan suku
akselerasi lokal, akselerasi konvektif, dan gaya tekan.
Gambar II.12. Ilustrasi solusi numerik untuk kinematic wave channel flow
Bentuk persamaan (II-71) untuk channel flow akan menghasilkan: 11 1 1 1
1 1 1 11 1 2 2
j j j j j jj j i i i i i i
i iq q A A A AA A t
x
β
αβ−+ + + +
+ + + ++ +
⎡ ⎤⎛ ⎞ ⎛ ⎞+ + −= + Δ −⎢ ⎥⎜ ⎟ ⎜ ⎟Δ⎢ ⎥⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎣ ⎦
persamaan (II-72)
dimana:
q = inflow lateral (m/s) A = luas penampang basah (m2)
oSn
α = β = 5/3
S0 = kemiringan saluran n = kekasaran saluran
(j+1)Δt
jΔt
Δt
Δx 1j
iA +
11
jiA ++ 1j
iA +
jiA
A At
∂∂
Ax
∂∂
(i+1)Δx iΔx
Known value Unknown value
II-36
II.9.2.2 Dynamic Wave
Persamaan kontinuitas untuk channel flow, digunakan persamaan (II-46) yang
dapat ditulis kembali menjadi:
h QB qt x
∂ ∂+ =
∂ ∂ ............................................................................ persamaan (II-73)
Persamaan momentumnya adalah persamaan (II-59) dengan mengambil bentuk
persamaan dynamic wave dengan memperhitungkan suku akselerasi lokal,
akselerasi konvektif, dan gaya tekan dengan mengambil nilai β=1. Persamaan ini
dapat ditulis kembali menjadi: 2
0 2
( / ) 0Q QQ Q A hgAS gA g
t x x AC R∂ ∂ ∂
+ − + + =∂ ∂ ∂
........................... persamaan (II-74)
Perhitungan numerik untuk routing di saluran menggunakan Metoda Implisit
Abbott-Ioneschu.
Pembaganan dalam Metoda Abbott-Ioneschu termasuk dalam staggered scheme
(berselang-seling) seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar II.13. Kisi-kisi pembaganan Abbott-Ioneschu
persamaan (II-73) dan (II-74) di atas mengandung dua bilangan anu yaitu h dan Q
yang bergantung pada waktu t dan jarak x. Harga-harga A, C dan R bergantung
pada harga h.
Δt
Δx Δx
Q
Q H Q
H Qn
n+1
n
j-1 j+1j x
Δx Δx
H
H Q H
Q H
j j+2 j+1
(1-θ)Δt
θΔt
KISI Q – H - Q KISI H – Q - H
II-37
Bentuk pendekatan yang digunakan pada pembaganan Abbott-Ioneschu adalah
central differences (untuk ruang) dan forward differences (untuk waktu), yaitu:
( )⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡
Δ
−−+
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡
Δ
−=
∂∂ −+
+−
++
xff
xff
xf n
jnj
nj
nj
21
211
11
11 θθ .................................... persamaan (II-75)
[ ]nj
nj ff
ttf
−Δ
=∂∂ +11 .................................................................... persamaan (II-76)
( )θ+= n
jtx ff , .................................................................................. persamaan (II-77)
Dalam pembaganan Abbott-Ionescu ini kisaran h dan Q dihitung pada titik kisi
yang berbeda secara berselang-seling (staggered scheme) seperti yang
diperlihatkan dalam Gambar II.13.. Pada titik kisi j (Q-H-Q) dikepingkan
persamaan kontinuitas dan pada titik kisi j+1 (H-Q-H) dikepingkan persamaan
momentum.
Persamaan kontinuitas: 1n n n
j j
j
h hht t
θ+ + −∂≅
∂ Δ ........................................................................ persamaan (II-78)
( ) ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
Δ−
−+⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
Δ−
≅∂∂ −
−−+
+−
++
+
xQQ
xQQ
xQ n
jnj
nj
nj
n
j 21
2
11
11
11
11 θθ
θ
............................. persamaan (II-79)
Subtitusi persamaan (II-78) dan (II-79) ke persamaan (II-73) menghasilkan:
( ) ( ) ( )1 1 1 11 1 1 1
11
2 2 2j jn n n n n n n n
j j j j j j j j
B Bh h Q Q q q Q Q
t t x x xθθ θ θ θ+ + + +
+ − + −
−− + − = + − − −
Δ Δ Δ Δ Δ
..................................................... persamaan (II-80)
atau:
( ) ( ) ( )1 1 1 11 1 1 1
11
2 2 2n n n n n n n nj j j j j j j j j j
tt tQ B h Q q q B h Q Qx x x
θθ θ θ θ+ + + +− + + −
Δ −Δ Δ− + + = + − + − −
Δ Δ Δ
..................................................... persamaan (II-81)
atau dalam bentuk lain: 1 1 11 1
n n nj j j j j j jQ h Qα β γ δ+ + +
− ++ + = ...................................................... persamaan (II-82)
II-38
dimana :
xt
j ΔΔ
−=2θ
α
j jBβ =
xt
j ΔΔ
=2θ
γ
( ) ( ) ( )11 1
11
2n n n n n
j j j j j j j
tq q B h Q Q
xθ
δ θ θ++ −
Δ −= + − + − −
Δ
Persamaan momentum:
tQQ
tQ n
jnj
n
j Δ
−≅
∂∂ +
++
+
+
111
1
θ
................................................................. persamaan (II-83)
2 2 2
21
12
n n n
j jj
Q Q Qx A x A A
θ θ θ+ + +
++
⎡ ⎤⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞∂≅ −⎢ ⎥⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ Δ ⎢ ⎥⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎣ ⎦
.................................. persamaan (II-84)
( )1 12 2
1
12 2
n n n n nj j j j
j
h h h hhx x x
θ
θ θ+ + +
+ +
+
⎛ ⎞ ⎛ ⎞− −∂≅ + −⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟∂ Δ Δ⎝ ⎠ ⎝ ⎠
............................. persamaan (II-85)
( )
11 1
2 2
1
n nj j
n
j
g Q QgQ QC AR C AR
θ
++ +
+
+
≅ .................................................................. persamaan (II-86)
Subtitusi persamaan (II-83), (II-84), (II-85), dan (II-86) ke persamaan (II-74)
menghasilkan:
( )( )
1 2 21 1
02
11 11 12 2
2
1
12
1 02 2
n nn nj j n
j jj j
n nn n n nj jj j j jn
j n
j
Q Q Q Q gA St x A A
g Q Qh h h hgA
x x C AR
θ θθ
θθθ θ
+ +++ + +
+
++ ++ ++ ++
+
+
⎡ ⎤− ⎛ ⎞ ⎛ ⎞+ − −⎢ ⎥⎜ ⎟ ⎜ ⎟Δ Δ ⎢ ⎥⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎣ ⎦
⎛ ⎞− −+ + − + =⎜ ⎟⎜ ⎟Δ Δ⎝ ⎠
...... persamaan (II-87)
( )
( )
11 1 11 22
1
2 2
0 1 22
22
2 (1 )
njn n n n n
j j j j jn
j
n nn n n n nj j j j jj
j j
xg QxgA h Q gA ht C AR
x Q QgA S Q gA h ht A A
θ θθ
θ θθ θ
θ θ
θ
++ + + + ++ ++
+
+ +
+ ++ +
+
⎛ ⎞ΔΔ⎜ ⎟− + + + =⎜ ⎟Δ⎜ ⎟⎝ ⎠
⎛ ⎞ ⎛ ⎞Δ+ − + − − −⎜ ⎟ ⎜ ⎟Δ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠
persamaan (II-88)
II-39
atau dalam bentuk lain: * 1 * 1 * 1 *
1 1 1 1 2 1n n n
j j j j j j jh Q hα β γ δ+ + ++ + + + + ++ + = .............................................. persamaan (II-89)
dimana :
*1 2
nj j
tgAx
θα θ++
Δ= −
Δ
( )1*
1 2
1
1nj
j n
j
g t Q
C ARθβ +
+ +
+
Δ= +
*1 2
nj j
tgAx
θγ θ++
Δ=
Δ
1 12 2 2 2
2 2 2*1 1 0(1 ) (1 )
2 2 2
n n n n
n nj j j j j jn n n
j j j j j
Q Q Q QA A A A h h
Q t gA t gA Sx x x
θ θδ θ θ θ
+ +
+ + ++ ++ +
⎛ ⎞⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞− −⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎛ ⎞−⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠⎜ ⎟= −Δ + − − Δ − +⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟Δ Δ Δ⎝ ⎠⎜ ⎟⎜ ⎟⎝ ⎠
θ adalah faktor pemberat yang harganya antara 0,5 – 1,0.
Bila kisaran h dan Q dituliskan sebagai anu z, maka persamaan (II-82) dan (II-89)
membentuk suatu tata persamaan :
jjjjjjj dzczbza =++ +− 11 .......................................................... persamaan (II-90)
dimana jjj cba ,, dan jd adalah koefisien yang ditentukan dengan menghimpun
suku-suku padanan dari persamaan (II-82) dan (II-89).
Tata persamaan (II-90) adalah non linier, karena koefisien jjj cba ,, dan jd
bergantung pada nilai z pada waktu (n+θ)Δt. Masalah ini dapat diselesaikan
dengan cara interpolasi linier dua tahap.
Pada tahap pertama penyelesaian persamaan (II-89) dilakukan dengan
menghitung koefisien jjj cba ,, dan jd berdasarkan nilai kisaran pada level
waktu nΔt.
II-40
Kisaran yang didapat dari hasil penyelesaian tahap pertama ini dipakai untuk
menghitung kisaran pada level waktu (n+1)Δt dengan cara interpolasi linier.
Selanjutnya diselesaikan persamaan (II-90) dengan menghitung koefisien
jjj cba ,, dan jd berdasarkan harga kisaran hasil interpolasi.
Pada waktu menghitung koefisien jjj cba ,, dan jd di titik Q, yaitu persamaan
(II-90) diperlukan harga θθ ++ nj
nj RA , di titik Q dan harga θ+n
jQ di titik h, padahal
kisaran ini tidak dihitung di titik tersebut. Masalah ini dapat diatasi dengan
mengambil hasil interpolasi linier dari harga-harga di titik sekitarnya.
Double Sweep Method
Apabila dilakukan analisa saluran tunggal dengan pembaganan Abbott-Ionescu,
maka bentuk linier tata persamaan (II-90) adalah tata persamaan tridiagonal. Tata
persamaan ini dapat diselesaikan dengan Double Sweep Method (Thomas
Algorithm) atau metoda sapuan ganda.
Bentuk matriks dari persamaan (II-82) dan (II-89) dalam tata persamaan (II-90)
adalah sebagai berikut:
⎪⎪⎪⎪⎪
⎭
⎪⎪⎪⎪⎪
⎬
⎫
⎪⎪⎪⎪⎪
⎩
⎪⎪⎪⎪⎪
⎨
⎧
=
⎪⎪⎪⎪⎪
⎭
⎪⎪⎪⎪⎪
⎬
⎫
⎪⎪⎪⎪⎪
⎩
⎪⎪⎪⎪⎪
⎨
⎧
⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
−
−
−
−
−−−
−−−
n
n
n
n
n
n
nn
nnn
nnn
ddd
ddd
zzz
zzz
bacba
cba
cbacba
cb
1
2
3
2
1
1
2
3
2
1
111
222
333
222
11
...
.........
..................
Gambar II.14. Tridiagonal matrik
II-41
Penyelesaian persamaan (II-90) dilakukan dalam dua sapuan. Pada sapuan
pertama atau disebut juga sapuan ke depan (forward sweep), satu koefisien
sebelah luar ja dari persamaan (II-90) dihilangkan dengan cara eliminasi gauss,
sehingga akan tersisa dua bilangan anu.
Dari hasil sapuan ke depan ini diperoleh transformasi persamaan (II-90) menjadi :
jjjj fzez +=−1 ........................................................................... persamaan (II-91)
untukkemudian dimasukkan ke persamaan pada grid point j (tergantung tinjauan –
untuk kontinuitas atau momentum – jadi koefisien yang digunakan adalah
koefisien-koefisien persamaan kontinuitas atau momentum yang sudah terkeping).
jjjjjjj dzczbza =++ +− 11 .......................................................... persamaan (II-92)
( )111
1+++
+ +=+
−+−= jjj
jjj
jjjjjj fze
eabfadzc
z ................................. persamaan (II-93)
( )jjj
jj eab
ce
+
−=+1 ........................................................................ persamaan (II-94)
( )( )jjj
jjjj eab
fadf
+
−=+1 ........................................................................ persamaan (II-95)
Pada titik akhir kisi, yaitu titik syarat batas, nilai e dan f dapat ditentukan
berdasarkan hubungan h dan Q atau nilai h atau nilai Q yang diberikan.
Misalnya diberikan syarat batas :
2221 fzez += .............................................................................. persamaan (II-96)
Jika 12211 0 ηη =⎯→⎯=⎯→⎯= fez
12211 0 QfeQz =⎯→⎯=⎯→⎯= .............................................. persamaan (II-97)
nnnn fzez +=−1 ............................................................................ persamaan (II-98)
diketahuizn ⎯→⎯
II-42
Nilai kisaran di titik akhir ini dipakai untuk sapuan ke dua atau disebut juga
sapuan ke belakang (backward sweep) untuk mendapatkan harga kisaran z, yaitu
dengan menyelesaikan persamaan (II-90).
II-43
Bab II ...................................................................................................................... 1 Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 1
II.1 Siklus Hidrologi ..................................................................................... 1 II.2 Daerah Aliran Sungai ........................................................................... 3 II.3 Curah Hujan Wilayah .......................................................................... 5 II.4 Infiltrasi dan Curah Hujan Efektif ..................................................... 6 II.5 Hidrograf Satuan Observasi ................................................................ 7 II.6 Hidrograf Satuan Sintetik .................................................................... 8
II.6.1 Hidrograf Satuan Sintetik Snyder-Alexejev ............................. 10 II.6.2 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu ........................................ 13 II.6.3 Hidrograf Satuan Sintetik SCS .................................................. 15
II.7 Klasifikasi Model DAS ........................................................................ 16 II.7.1 Klasifikasi Model DAS berdasarkan Deskripsi Proses ........... 16 II.7.2 Klasifikasi Model DAS berdasarkan Variabilitas Ruang dan Waktu 18 II.7.3 Model yang dibangun ................................................................. 18
II.8 Penurunan Rumus .............................................................................. 19 II.8.1 Overland Flow .............................................................................. 19 II.8.2 Channel Flow ............................................................................... 27
II.9 Routing Debit ....................................................................................... 32 II.9.1 Routing Overland Flow ............................................................... 32 II.9.2 Routing Channel Flow ................................................................ 34
Gambar II.1. Siklus Hidrologi ................................................................................ 2 Gambar II.2. Mengukur tinggi curah hujan dengan Poligon Thiessen (Soemarto,
C.D., 1995) ...................................................................................................... 5 Gambar II.3. Metoda S-Curve hydrograph (Bedient dan Huber, 1992) ................ 8 Gambar II.4. Hidrograph satuan sintetis menurut Snyder (Soemarto, C. D., 1995)
....................................................................................................................... 11 Gambar II.5. Hidrograph Satuan Sintetis menurut Nakayasu (Soemarto, C. D.,
1995) ............................................................................................................. 13 Gambar II.6. (a) UH SCS Dimensionless dan (b) SCS Triangular (Chow, V. T.,
1998) ............................................................................................................. 16 Gambar II.7. Dimensionless hidrograf dari aliran permukaan ............................ 20 Gambar II.8. Control volume sepanjang ruas Δx untuk overland flow ................ 22 Gambar II.9. Control volume dan gaya-gaya yang bekerja ................................. 24 Gambar II.10. Control volume sepanjang ruas Δx untuk channel flow................ 27 Gambar II.11. Ilustrasi solusi numerik untuk kinematic wave overland flow ...... 33 Gambar II.12. Ilustrasi solusi numerik untuk kinematic wave channel flow ........ 35 Gambar II.13. Kisi-kisi pembaganan Abbott-Ioneschu ........................................ 36 Gambar II.14. Tridiagonal matrik ........................................................................ 40
Tabel II.1. Koefisien kekasaran c untuk overland flow Izzard .............................. 21