BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Toilet Training 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/2687/3/Dian...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Toilet Training 1. Pengertian ...repository.ump.ac.id/2687/3/Dian...
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Toilet Training
1. Pengertian Toilet Training
Toilet training adalah suatu usaha untuk melatih anak agar mampu
mengontrol buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) (Hidayat,
2008). Toilet training merupakan proses pengajaran untuk mengontrol
BAB dan BAK secara benar dan teratur. Berdasarkan pengertian di atas
maka toilet training adalah sebuah usaha pembiasaan mengontrol BAB
dan BAK secara benar dan teratur.
Latihan BAB dan BAK termasuk dalam perkembangan
psikomotorik karena latihan tersebut membutuhkan kematangan otot-otot
pada daerah pembuangan kotoran (anus dan saluran kemih). Latihan
tersebut hendaknya dimulai pada waktu anak berusia 15 bulan dan kurang
bijaksana bila anak pada usia kurang dari 15 bulan dilatih karena dapat
menimbulkan pengalaman-pengalaman traumatik. Toilet training
merupakan latihan moral yang pertama kali diterima anak dan sangat
berpengaruh pada perkembangan moral anak selanjutnya (Suherman,
2010).
10
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
11
2. Tahapan Toilet Training
Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan beberapa
tahapan seperti membiasakan menggunakan toilet pada anak untuk buang
air dengan membiasakan anak masuk ke dalam WC anak akan lebih cepat
adaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet mekipun dengan
pakaian lengkap dan jelaskan kepada anak kegunaan toilet. Lakukan
secara rutin kepada anak ketika anak terlihat ingin buang air.
Anak dibiarkan duduk di toilet pada waktu-waktu tertentu setiap
hari terutama 20 menit setelah bangun tidur dan setelah makan, ini
bertujuan agar anak dibiasakan dengan jadwal buang airnya. Anak
sesekali enkopresis (mengompol) dalam masa toilet training itu
merupakan hal yang normal. Anak apabila berhasil melakukan toilet
training maka orang tua dapat memberikan pujian dan jangan
menyalahkan apabila anak belum dapat melakukan dengan baik
(Pambudi, 2006).
Prinsip dalam melaksanakan toilet training ada 3 langkah yaitu
melihat kesiapan anak, persiapan dan perencanaan serta toilet training itu
sendiri :
a. Melihat kesiapan anak
Salah satu pertanyaan utama tentang toilet training adalah
kapan waktu yang tepat bagi orang tua untuk melatih toilet training.
Sebenarnya tidak ada patokan umur anak yang tepat dan baku untuk
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
12
toilet training karena setiap anak mempunyai perbedaan dalam hal
fisik dan proses biologisnya. Orang tua harus mengetahui kapan waktu
yang tepat bagi anak untuk dilatih buang air dengan benar. Para ahli
menganjurkan untuk melihat beberapa tanda kesiapan anak itu sendiri,
anak harus memiliki kesiapan terlebih dahulu sebelum menjalankan
toilet training. Bukan orang tua yang menentukan kapan anak harus
memulai proses toilet training akan tetapi anak harus memperlihatkan
tanda kesiapan toilet training. Hal ini untuk mencegah terjadinya
beberapa hal yang tidak diinginkan seperti pemaksaan dari orang tua
atau anak trauma melihat toilet.
b. Persiapan dan perencanaan
Prinsipnya ada 4 aspek dalam tahap persiapan dan perencanaan
toilet training yaitu :
1. Gunakan istilah yang mudah dimengerti oleh anak yang
menunjukkan perilaku BAB dan BAK.
2. Orang tua dapat memperlihatkan penggunaan toilet pada anak
sebab pada usia ini anak cepat meniru tingkah laku orang tua.
3. Orang tua hendaknya segera mungkin mengganti celana anak
apabila basah karena enkopresis (mengompol) atau terkena
kotoran, sehingga anak akan merasa risih bila memakai celana
yang basah dan kotor.
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
13
4. Orang tua meminta pada anak untuk memberitahu atau
menunjukkan bahasa tubuhnya apabila anak ingin BAB atau BAK
dan bila anak mampu mengendalikan dorongan buang air maka
jangan lupa berikan pujian pada anak (Zaivera, 2008).
c. Toilet training
Ketika orang tua sudah melakukan 2 langkah di atas maka
masuk ke langkah selanjutnya yaitu toilet training. Proses toilet
training ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu :
a) Membuat jadwal untuk anak
Orang tua bisa menyusun jadwal dengan mudah ketika
orang tua tahu dengan tepat kapan anaknya bisa BAB atau BAK.
Orang tua bisa memilih waktu selama 4 kali dalam sehari untuk
melatih anak yaitu pagi, siang, sore, dan malam bila orang tua
tidak mengetahui jadwal yang pasti BAB atau BAK anak.
b) Melatih anak untuk duduk di pispotnya
Orang tua sebaiknya tidak menumpuk impian bahwa anak
akan segera menguasai dan terbiasa untuk duduk di pispot dan
buang air di situ. Awalnya anak dibiasakan dulu untuk duduk di
pispotnya dan ceritakan padanya bahwa pispot itu digunakan
sebagai tempat membuang kotoran. Orang tua bisa memulai
memberikan rewardnya ketika anak bisa duduk di pispotnya
selama 2 – 3 menit misalnya ketika anak bisa menggunakan
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
14
pispotnya untuk BAK maka reward yang diberikan oleh orang tua
harus lebih bermakna daripada yang sebelumnya.
c) Orang tua menyesuaikan jadwal yang dibuat dengan kemajuan
yang diperlihatkan oleh anak
Misalnya anak hari ini pukul 09.00 pagi anak BAK di
popoknya maka esok harinya orang tua sebaiknya membawa anak
ke pispotnya pada pukul 08.30 atau bila orang tua melihat bahwa
beberapa jam setelah BAK yang terakhir anak tetap kering,
bawalah anak ke pispot untuk BAK. Hal yang terpenting adalah
orang tua harus menjadi pihak yang pro aktif membawa anak ke
pispotnya jangan terlalu berharap anak akan langsung mengatakan
pada orang tua ketika anak ingin BAB atau BAK.
d) Buatlah bagan untuk anak supaya anak bisa melihat sejauh mana
kemajuan yang bisa dicapainya dengan stiker yang lucu dan
warna-warni, orang tua bisa meminta anaknya untuk
menempelkan stiker tersebut di bagan itu. Anak akan tahu bahwa
sudah banyak kemajuan yang anak buat dan orang tua bisa
mengatakan padanya orang tua bangga dengan usaha yang telah
dilakukan anak (Sears, dkk, 2006).
Berdasarkan dari uraian tentang tahapan melatih toilet
training, orang tua selayaknya melihat kesiapan anak untuk toilet
training. Membiasakan anak menggunakan toilet untuk buang air
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
15
agar anak beradaptasi terlebih dahulu dan orang tua dapat
memperhatikan penggunaan toilet untuk menarik perhatian anak
terhadap toilet. Meminta pada anak untuk memberitahukan bahasa
tubuhnya apabila anak ingin buang air. Bila anak berhasil
melakukan buang air dengan benar berikan pujian pada anak.
3. Hal- hal yang Perlu Diperhatikan Selama Toilet Training
Menurut Hidayat (2005), hal-hal yang harus diperhatikan dalam
toilet training adalah sebagai berikut:
a. Hindari pemakaian popok sekali pakai
b. Ajari anak untuk mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan
buang air kecil dan buang air besar
c. Motivasi anak untuk melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci
tangan dan kaki sebelum tidur dan cuci muka disaat bangun tidur
d. Jangan marahi anak saat anak melakukan toilet training
4. Cara yang Dilakukan Oleh Orang Tua Dalam Melatih Anak Untuk
Toilet Training
Menurut Hidayat (2008) banyak cara yang dapat dilakukan oleh
orang tua dalam melatih anak untuk buang air besar dan buang air kecil
diantaranya:
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
16
a. Teknik lisan
Merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara
memberikan instruksi dengan kata-kata sebelum atau sesudah buang
air besar atau kecil. Cara ini kadang-kadang hal biasa yang dilakukan
pada orang tua, akan tetapi apabila kita perhatikan bahwa teknik lisan
ini mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan
rangsangan untuk buang air kecil atau buang air besar, dengan lisan
ini persiapan psikologi pada anak akan semakin matang dan akhirnya
anak mampu dengan baik dalam melaksanakan buang air kecil.
b. Teknik modeling
Merupakan usaha untuk melatih anak dalam melakukan
buang air kecil dan buang air besar dengan cara meniru untuk buang
air kecil dan buang air besar atau memberi contoh. Dampak yang
jelek pada cara ini adalah apabila contoh yang diberikan salah
akhirnya anak juga mempunyai kebiasaan yang salah.
5. Dampak Latihan Toilet Training
Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training
seperti adanya perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada
anaknya yang dapat mengganggu kepribadian anak yang cenderung
bersifat retentive dan keras kepala. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua
apabila sering memarahi anak pada saat BAB atau BAK atau melarang
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
17
anak saat bepergian. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan
dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami kepribadian
eksprensif, lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara,
emosional, dan seenaknya melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat,
2008).
Berdasarkan uraian tentang dampak latihan toilet training di atas
maka toilet training pada anak usia 1 – 3 tahun mempunyai pengaruh
terhadap perkembangan selanjutnya dan kepribadian anak.
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Toilet Training
Menurut Hidayat (2008) faktor yang mempengaruhi keberhasilan
program toilet training sebagai berikut :
a. Motivasi orang tua,
Orang tua akan mudah menerima dan mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu yang disebabkan oleh adanya keinginan
untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Dengan motivasi yang baik
untuk melakukan stimulasi toilet training, maka keberhasilan toilet
training akan terwujud. Motivasi orang tua sendiri dipengaruhi oleh
faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik merupakan
dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang yang berupa
pengetahuan, sikap, keadaan mental, dan kematangan usia sedangkan
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
18
faktor ekstrinsik yaitu berupa sarana, prasarana, dan lingkungan
(Subagyo, dkk, 2010)
b. Kesiapan anak
Kesiapan anak sendiri yaitu kesiapan fisik, psikologis, dan
intelektual:
a) Kesiapan anak secara fisik,
Indikator anak dalam kesiapan fisik adalah anak mampu
duduk atau berdiri. Pengkajian fisik yang harus diperhatikan
pada anak yang akan melakukan buang air kecil dan buang air
besar dapat meliputi kemampuan motorik kasar seperti berjalan,
duduk, meloncat dan kemampuan motorik halus seperti mampu
melepas celana sendiri. Kemampuan motorik ini harus mendapat
perhatian karena kemampuan untuk buang air ini lancar dan
tidaknya dapat dilihat dari kesiapan fisik sehingga ketika anak
berkeinginan untuk buang air besar dan buang air kecil sudah
mampu dan siap untuk melakukannya. Selain itu, yang harus
dikaji adalah pola buang air besar yang sudah teratur, sudah tidak
mengompol setelah tidur (Ningsih, 2012)
b) Kesiapan anak secara psikologis,
Indikator kesiapan psikologis adalah adanya rasa nyaman
sehingga anak mampu mengontrol dan konsentrasi dalam
merangsang BAB dan BAK. Pengkajian psikologis yang dapat
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
19
dilakukan adalah gambaran psikologis pada anak ketika akan
melakukan buang air besar dan buang air kecil seperti anak tidak
rewel ketika akan buang air besar, anak tidak menangis sewaktu
buang air besar atau buang air kecil, ekspresi wajah menunjukan
kegembiraan dan ingin melakukan secara sendiri, anak sabar dan
sudah mau ke toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa rewel atau
meninggalkannya, adanya keingintahuan kebiasaan toilet
training pada orang dewasa atau saudaranya, adanya ekspresi
untuk menyenangkan pada orang tuanya (Ningsih, 2012)
c) Kesiapan anak secara intelektual,
Pengkajian intelektual pada latihan buang air besar dan
buang air kecil antara lain kemampuan anak untuk mengerti
buang air besar dan buang air kecil, kemampuan
mengkomunikasikan buang air besar dan buang air kecil, anak
menyadari timbulnya buang air besar dan buang air kecil,
mempunyai kemampuan kognitif untuk meniru perilaku yang
tepat seperti buang air besar dan buang air kecil pada tempatnya
serta etika dalam buang air besar dan buang air kecil (Ningsih,
2012).
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
20
B. Usia Toddler
Anak usia toddler (1 - 3 tahun) merujuk konsep periode kritis dan
plastisitas yang tinggi dalam proses tumbuh kembang maka usia satu sampai
tiga tahun sering disebut sebagai “golden period” (kesempatan emas) untuk
meningkatkan kemampuan setinggi-tingginya dan plastisitas yang tinggi
adalah pertumbuhan sel otak cepat dalam waktu yang singkat, peka terhadap
stimulasi dan pengalaman fleksibel mengambil alih fungsi sel sekitarnya
dengan membentuk sinaps-sinaps serta sangat mempengaruhi periode tumbuh
kembang selanjutnya. Anak pada usia tersebut ini harus mendapatkan
perhatian yang serius dalam arti tidak hanya mendapatkan nutrisi yang
memadai saja tetapi memperhatikan juga intervensi stimulasi dini untuk
membantu anak meningkatkan potensi dengan memperoleh pengalaman yang
sesuai dengan pengalamnya (Hartanto, 2006).
Anak pada masa tersebut bersifat egosentris yaitu mempunyai sifat
kekauan yang kuat sehingga segala sesuatu itu dianggap sebagai miliknya.
Ciri-ciri anak toddler (1 - 3 tahun) berada dalam tahap pertumbuhan jasmani
yang pesat oleh karena itu mereka sangat lincah. Sediakanlah ruangan yang
cukup luas dan banyak kegiatan sebagai penyalur tenaga. Anak usia tersebut
secara mental mempunyai jangka perhatian yang singkat, suka meniru oleh
karena itu jika ada kesempatan perhatikan mereka dengan sebaik-baiknya.
Segi emosional anak usia ini mudah merasa gembira dan mudah merasa
tersinggung, kadang-kadang mereka suka melawan dan sulit diatur.
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
21
Kembangkanlah kasih sayang dan disiplin serta memberikan pujian. Segi
sosial anak toddler (1 - 3 tahun) sedikit anti sosial. Wajar bagi mereka untuk
merasa senang bermain sendiri dari pada bermain secara berkelompok.
Berilah kesempatan untuk bermain sendiri tetapi juga tawarkan kegiatan yang
mendorongnya untuk berpartisipasi dengan anak-anak lain.
Anak usia toddler (1 - 3 tahun) mengalami tiga fase yaitu :
1. Fase otonomi dan ragu-ragu atau malu
Menurut teori Erikson (1963) dalam Riendravi (2013) dalam tahap
ini berkembangnya kemampuan anak yaitu belajar untuk makan atau
berpakaian sendiri. Apabila orang tua tidak mendukung upaya anak untuk
belajar mandiri, maka hal ini dapat menimbulkan rasa malu atau ragu
akan kemampuannya. Misalnya orang tua yang selalu memanjakan anak
dan mencela aktivitas yang telah dilakukan oleh anak. Pada masa ini anak
perlu dibimbing dengan akrab, penuh kasih sayang tetapi juga tegas
sehingga anak tidak mengalami kebingungan.
2. Fase anal
Menurut teori Sigmund Freud (1939) dalam Fromm (2009) pada
fase ini sudah waktunya anak dilatih untuk buang air atau toilet training
(pelatihan buang air pada tempatnya). Anak juga menunjukkan beberapa
bagian tubuhnya menyusun dua kata dan mengulang kata-kata baru.
Anak usia toddler (1 - 3 tahun) yang berada pada fase anal yang
ditandai dengan berkembangnya kepuasan (kateksis) dan ketidakpuasan
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
22
(antikateksis) di sekitar fungsi eliminasi. Dengan mengeluarkan feses atau
buang air besar timbul rasa lega, nyaman, dan puas. Kepuasan ini bersifat
egosentrik artinya anak mampu mengendalikan sendiri fungsi tubuhnya.
Hal yang perlu diperhatikan dalam fase anal yaitu anak mulai
menunjukkan sifat narsitik (kecintaan pada diri sendiri) dan egosentrik
(memikirkan diri sendiri). Tugas perkembangan yang penting pada fase
anal tepatnya saat anak umur 2 tahun adalah latihan buang air (toilet
training) agar anak dapat buang air secara benar.
3. Fase praoperasional
Menurut teori Piaget (1980) dalam Nuryanti (2008) pada fase anak
perlu dibimbing dengan akrab, penuh kasih sayang tetapi juga tegas
sehingga anak tidak mengalami kebingungan. Bila orang tua
mengenalkan anak maka anak akan berkembangan perasaan otonominya
sehingga anak dapat mengendalikan otot-otot dan rangsangan lingkungan.
C. Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap obyek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indra yang meliputi indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
23
2. Tingkatan Pengetahuan
Kognitif atau pengetahuan merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang. Menurut Notoatmodjo
(2007), tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif ada 6 yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang
telah dipelajari sebelumnya, termasuk mengingat kembali (recall).
Dalam kaitannya pengetahuan ibu dalam upaya melatih balita untuk
mengontrol buang air kecil maupun besar serta melatih balita untuk
buang air kecil maupun besar pada tempatnya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut dengan benar. Setelah ibu
mengetahui toilet training, maka berlanjut ketahap memahami.
Kemampuan pengasuh dalam memahami toilet training, ditentukan
oleh seberapa banyak materi yang telah diingatnya mengenai
pengajaran toilet training, serta seberapa tinggi kemampuan
pengasuh balita dalam mengartikan dan memberikan makna terhadap
materi toilet training.
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
24
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.
Setelah ibu mengetahui tentang toilet training diharapkan dapat
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu
objek ke dalam komponen-komponen.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan di dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan melakukan penilaian
terhadap suatu objek atau materi.
3. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Faktor–faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut
Notoatmodjo (2007) yaitu :
a. Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka seseorang
tersebut akan lebih mudah dalam menerima hal-hal baru sehingga
akan lebih mudah pula menyelesaikan hal-hal baru tersebut.
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
25
b. Informasi
Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih
banyak akan memberikan pengetahuan yang jelas.
c. Budaya
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan
seseorang, karena informasi-informasi baru akan disaring, kira-kira
sesuai tidaknya dengan kebudayaan yang ada dan agama yang dianut.
d. Pengalaman
Pengalaman di sini berkaitan dengan umur dan pendidikan
individu, artinya, pendidikan yang tinggi, pengalaman akan luas
sedang umur bertambah tua.
e. Sosial ekonomi
Tingkatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup
disesuaikan dengan penghasilan yang ada, sehingga menuntut
pengetahuan yang dimiliki harus dipergunakan semaksimal mungkin,
begitupun dalam mencari bantuan ke sarana kesehatan yang ada,
mereka sesuaikan dengan pendapatan keluarga.
D. Pemberian Informasi Kesehatan
1. Pengertian Penyuluhan
Menurut Effendy (2001, dalam Agustian dkk., 2009), pengertian
pendidikan kesehatan identik dengan penyuluhan kesehatan, karena
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
26
keduanya berorientasi kepada perubahan perilaku yang diharapkan, yaitu
perilaku sehat, sehingga mempunyai kemampuan mengenal masalah
kesehatan dirinya, keluarga dan kelompoknya dalam meningkatkan
kesehatannya.
Menurut Azwar (2002) dalam Agustian, dkk (2009), penyuluhan
kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara
menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak
saja sadar, tahu, dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu
anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan.
Menurut Departemen Kesehatan (2002) dalam Agustian, dkk
(2009), penyuluhan kesehatan adalah gabungan berbagai kegiatan dan
kesempatan yang berlandaskan prinsip–prinsip belajar untuk mencapai
suatu keadaan, yang mana individu, keluarga, kelompok atau masyarakat
secara keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya, dan
melakukan hal yang bisa dilakukan, secara perseorangan maupun secara
kelompok dan meminta pertolongan bila perlu.
2. Tujuan Penyuluhan
Tujuan pendidikan yang paling pokok menurut Effendy (2001)
dalam Agustian, dkk (2009) adalah:
1) Tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat
dalam membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat,
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
27
serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal.
2) Terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, dan kelompok
dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik,
mental, dan sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian.
3) Menurut WHO tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk merubah
perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang kesehatan.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Penyuluhan
Menurut Effendy (2001) dalam Siti (2012), faktor-faktor yang
perlu diperhatikan terhadap sasaran dalam keberhasilan penyuluhan
kesehatan adalah :
1) Tingkat pendidikan
Pendidikan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang
terhadap informasi baru yang diterimanya. Maka dapat dikatakan
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin mudah
seseorang menerima informasi yang didapatnya.
2) Tingkat sosial ekonomi
Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi seseorang, semakin
mudah pula dalam menerima informasi baru.
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
28
3) Adat istiadat
Pengaruh dari adat istiadat dalam menerima informasi baru
merupakan hal yang tidak dapat diabaikan, karena masyarakat kita
masih sangat menghargai dan menganggap sesuatu yang tidak boleh
diabaikan.
4) Kepercayaan masyarakat
Masyarakat lebih memperhatikan informasi yang disampaikan
oleh orang-orang yang sudah mereka kenal, karena sudah timbul
kepercayaan masyarakat dengan penyampai informasi.
5) Ketersediaan waktu di masyarakat
Waktu penyampaian informasi harus memperhatikan tingkat
aktivitas masyarakat untuk menjamin tingkat kehadiran masyarakat
dalam penyuluhan.
4. Metode-metode Penyuluhan
Menurut Purnama (2013) metode-metode penyuluhan yang
dipakai dalam penyuluhan kesehatan hendaknya metode yang dapat
mengembangkan komunikasi dua arah antara yang memberikan
penyuluhan terhadap sasaran, sehingga diharapkan tingkat pemahaman
sasaran terhadap pesan yang disampaikan akan lebih jelas dan mudah
dipahami, diantaranya metode curah pendapat, diskusi, demonstrasi,
simulasi, bermain peran, dan sebagainya.
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
29
Metode yang dapat dipergunakan dalam penyuluhan kesehatan
masyarakat, dapat dikelompokkan dalam dua macam metode, yaitu:
a. Metode didaktik
Pada metode didaktik yang aktif adalah orang yang
melakukan penyuluhan kesehatan, sedangkan sasaran bersifat pasif
dan tidak diberikan kesempatan untuk ikut serta mengemukakan
pendapatnya atau mengajukan pertanyaan–pertanyaan apapun, dan
proses penyuluhan yang terjadi bersifat satu arah (one way method).
Adapun yang termasuk dalam metode didaktik adalah:
a) Secara langsung
Melalui ceramah. Ceramah adalah suatu cara dalam
menerangkan dan menjelaskan suatu ide, pengertian atau pesan
secara lisan kepada sekelompok sasaran sehingga memperoleh
informasi tentang kesehatan.
b) Secara tidak langsung
(a) Poster
(b) Media cetak (majalah, buletin, surat kabar)
(c) Media elektronik (radio, televisi)
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
30
b. Metode sokratik
a) Secara langsung
(a) Diskusi
Diskusi kelompok adalah pembicaraan yang
direncanakan dan telah dipersiapkan tentang suatu topik
pembicaraan diantara 15 – 20 peserta (sasaran) dengan
seorang pemimpin diskusi yang telah ditunjuk.
(b) Curah pendapat
Curah pendapat adalah suatu bentuk pemecahan
masalah yang terpikirkan oleh masing–masing peserta, dan
kemudian dilakukan evaluasi atas pendapat–pendapat tadi.
(c) Demonstrasi
Demonstrasi adalah suatu cara untuk menunjukkan
pengertian, ide, dan prosedur tentang sesuatu hal yang telah
dipersiapkan dengan teliti untuk memperlihatkan cara
melaksanakan suatu tindakan, adegan dengan menggunakan
alat peraga. Metode ini digunakan terhadap kelompok yang
tidak terlalu besar jumlahnya.
(d) Bermain peran (role playing)
Bermain peran adalah memerankan sebuah situasi
dalam kehidupan manusia dengan tanpa diadakan latihan,
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
31
dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk dipakai sebagai
bahan pemikiran oleh kelompok.
(e) Simposium
Simposium adalah serangkaian ceramah yang
diberikan oleh 2 sampai 5 orang dengan topik yang
berlainan tetapi saling berhubungan.
(f) Seminar
Seminar adalah suatu cara dimana sekelompok orang
berkumpul untuk membahas suatu masalah di bawah
bimbingan seorang ahli yang menguasai bidangnya.
(g) Studi kasus
Studi kasus adalah sekumpulan situasi masalah yang
sedetailnya, yang memungkinkan kelompok menganalisis
masalah itu. Permasalahan tersebut merupakan bagian dari
kehidupan yang mengandung diagnosis, pengobatan dan
perawatan. Dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis,
drama, film, dapat juga berupa rekaman.
b) Secara tidak langsung
(a) Penyuluhan kesehatan melalui telepon
(b) Satelit komunikasi
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
32
E. Kerangka Teori
Gambar 2.1: Kerangka Teori (modifikasi teori Hidayat, 2008 dan Subagyo,
dkk, 2010)
Faktor-faktor yang
mempengaruhi toilet training
Motivasi orang tua Kesiapan anak
Intrinsik Ekstrinsik
- Pengetahuan
- Sikap
- Keadaan
mental
- Kematangan
usia
Sarana,
prasarana dan
lingkungan
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015
33
F. Kerangka Konsep
G. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah :
Ada perubahan pengetahuan tentang toilet training pada ibu yang memiliki
anak usia toddler (1 – 3 tahun) di Desa Baseh Kecamatan Kedungbanteng
Kabupaten Banyumas.
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Pengetahuan toilet training Perubahan pengetahuan
toilet training
Informasi toilet training
Efektivitas Pemberian Informasi..., Dian Rahmawati, S1 Keperawatan UMP, 2015