BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasarrepository.poltekkes-tjk.ac.id/328/3/BAB...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasarrepository.poltekkes-tjk.ac.id/328/3/BAB...
8
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar
1. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia
Kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow atau yang
disebut dengan Hierarki kebutuhan dasar Maslow yang meliputi lima
kategori kebutuhan dasar yaitu:
a. Kebutuhan Fisiologis (physiologic Needs)
Kebutuhan fisiologis memiliki prioritas tertinggi dalam
hierarki maslow. Umumnya, seseorang yang memiliki beberapa
kebutuhan yang belum terpenuhi akan lebih dulu memenuhi
kebutuhan fisiologisnya dibandingkan kebutuhan lainnya. Adapun
macam-macam kebutuhan dasar fisiologis menurut hierarki maslow
adalah kebutuhan oksigen dan pertukaran gas, kebutuhan cairan
dan elektrolit, kebutuhan makanan, kebutuhan eliminasi urine dan
alvi, kebutuhan istirahat tidur, kebutuhan aktivitas, kebutuhan
kesehatan temperatur tubuh dan kebutuhan seksual.
b. Kebutuhan Keselamatan dan Rasa Aman (Self Security Needs)
Kebutuhan keselamatan dan rasa aman yang dimaksud adalah
aman dari berbagai aspek baik fisiologis maupun psikologis.
Kebutuhan ini meliputi kebutuhan perlindungan diri dari udara
dingin, panas, kecelakaan dan infeksi. Bebas dari rasa takut dan
kecemasan, bebas dari perasaan terancam karena pengalaman yang
baru atau asing.
c. Kebutuhan Rasa Cinta, memiliki dan dimiliki (Love and Belonging
Needs)
Kebutuhan rasa cinta adalah kebutuhan saling memiliki dan
dimiliki terdiri dari memberi dan menerima kasih sayang, perasaan
dimiliki dan hubungan yang berarti dengan orang lain, kehangatan,
persahabatan, mendapat tempat atau diakui dalam keluarga,
kelompok serta lingkungan sosial.
9
d. Kebutuhan Harga Diri (Self-Esteem Needs)
Kebutuhan harga diri ini meliputi perasaan tidak bergantung
pada orang lain, kompeten, penghargaan terhadapn diri sendiri dan
orang lain.
e. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Needs for Self Actualization)
Kebutuhan aktualisasi merupakan kebutuhan tertinggi dalam
piramida hierarki Maslow yang meliputi dapat mengenal diri
sendiri dengan baik (mengenal dan memahami potensi diri), belajar
memenuhi kebutuhan diri sendiri, tidak emosional, mempunyai
dedikasi yang tinggi, kreatif dan mempunyai kepercayaan diri yang
tinggi dan sebagainya.
Konsep hierarki maslow ini menjelaskan bahwa manusia
senantiasa berubah menurut kebutuhannya. Jika seseorang merasa
kepuasan, ia akan menikmati kesejahteraan dan bebas untuk
berkembang menuju potensi yang lebih besar. Sebaliknya, jika proses
pemenuhan kebutuhan ini terganggu maka akan timbul kondisi
patologis. Oleh karena itu, dengan konsep kebutuhan dasar maslow
akan diperoleh persepsi yang sama bahwa untuk beralih ke kebutuhan
yang lebih tinggi, kebutuhan dasar yang ada dibawahnya harus
terpenuhi terlebih dahulu. (Asmadi, 2009).
2. Pengertian Aktivitas
Aktivitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu kegiatan
atau keaktifan. Jadi, segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-
kegiatan yang terjadi baik fisik maupun non-fisik merupakan suatu
aktivitas. Aktivitas adalah suatu energi atau keadaan untuk bergerak
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kemampuan aktivitas seseorang
dipengaruhi oleh adekuatnya sistem persarafan, otot dan tulang atau
sendi (Tarwoto dan Wartonah, 2010). Aktivitas fisik merupakan irama
sirkandian manusia. Tiap individu mempunyai irama atau pola
tersendiri dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan kerja, rekreasi,
makan, istirahat dan lain-lain (Asmadi, 2009).
10
3. Fisiologi Pergerakan
Pergerakan merupakan rangkaian aktivitas yang terintegrasi antara
sistem muskuloskletal dan sistem persyarafan di dalam tubuh.
a. Sistem Muskuloskletal
Sistem muskuloskletal terdiri atas rangka (tulang), otot dan
sendi. Sitem ini sangat berperan dalam pergerakan dan aktivitas
manusia. Rangka memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1) Menyokong jaringan tubuh, termasuk memberi bentuk pada
tubuh (postur tubuh),
2) Melindungi bagian tubuh yang lunak, seperti otak, paru-paru,
hati dan medulla spinalis,
3) Sebagai tempat melekatnya otot dan tendon, termasuk juga
ligamen,
4) Sebagai sumber mineral, seperti garam, fosfat dan lemak,
5) Berperan dalam proses hematopoiesis (produksi sel darah),
Sementara otot berperan dalam proses pergerakan, memberi
bentuk pada postur tubuh dan memproduksi panas melalui aktivitas
kontraksi otot (Asmadi, 2009).
b. Sistem Persarafan
Secara spesifik, sistem persarafan memiliki beberapa fungsi
yaitu:
1) Saraf aferen ( reseptor), berfungsi menerima rangsangan dari
luar kemudian meneruskannya ke susunan saraf pusat,
2) Sel saraf atau neuron, berfungsi membawa impuls dari bagian
tubuh satu ke bagian tubuh lainnya,
3) Sistem saraf pusat (SPP), berfungsi memproses impuls dan
kemudian memberikan respon melalui saraf eferan,
4) Saraf eferen, berfungsi menerima respon dari SPP kemudian
meneruskannya ke otot rangka.
4. Mekanika Tubuh
Mekanika tubuh adalah penggunaan organ tubuh secara efisien
dan efektif sesuai dengan fungsinya. Penggunaan mekanika tubuh yang
11
tepat dapat mengurangi risiko cedera sistem muskuloskeletal. Dengan
melakukan aktivitas secara benar dan beristirahat dalam posisi yang
benar dapat meningkatkan kesehatan tubuh dan mencegah timbulnya
penyakit (Asmadi, 2009).
Tarwoto & wartonah (2010) mengemukakan mekanika tubuh
adalah suatu usaha mengkoordinasikan sistem muskuloskeletal dan
sistem saraf dalam mempertahankan keseimbangan, postur dan
kesejajaran tubuh selama mengangkat, membungkuk, bergerak dan
melakukan aktivitas sehari-hari. mekanika tubuh meliputi tiga elemen
dasar yaitu sebagai berikut:
a. Body aligment (postur tubuh)
Susunan geometrik bagian-bagian tubuh dalam hubungannya
dengan bagian tubuh yang lain. Kesejajaran tubuh dan postur yang
baik akan menempatkan tubuh pada posisi yang dapat
meningkatkan keseimbangan yang optimal dan fungsi tubuh yang
maksimal, baik dalam posisi berdiri, duduk, maupun tidur.
Kesejajaran tubuh yang baik dilihat dari keseimbangan persendian,
otot, tendon dan ligamen.
b. Balance/keseimbangan
Mekanisme yang berperan dalam mempertahankan
keseimbangan dan postur tubuh cukup rumit untuk dipahami.
Secara umum, perasaan seimbang (sense of equilibrium)
bergantung pada input informasi yang diterima dari labirin (telinga
bagian dalam), penglihatan (input vestibulo-okular) dan dari
reseptor otot dan tendon (input vestibulospinalis). Pada keadaan
normal, reseptor keseimbangan di aparatus veslibur mengirimkan
sinyal menuju otak yang akan mengawali refleks yang dibutuhkan
untuk mengubah posisi. Sedang pada keadaan lain, misalnya pada
perubahan posisi kepala, informasi yang diterima langsung dikirim
ke pusat refleks di batang otak sehingga memungkinkan respons
refleks yang lebih cepat guna mempertahankan keseimbangan
12
tubuh. Selain mekanisme di atas, keseimbangan tubuh juga
dipengaruhi oleh pusat gravitasi dan garis gravitasi.
c. Coordinated body movement (gerakan tubuh yang terkoordinasi)
Gerakan yang halus dan seimbang merupakan hasil dari
kerjasama yang baik antara korteks serebri, sereblum dan ganglia
basalis. Dalam mekanisme ini, korteks serebri bertugas melakukan
aktivitas motorik volunter, sedangkan sereblum bertugas mengatur
aktivitas gerakan motorik dan ganglia basalis bertugaas
mempertahankan postur tubuh. Jika salah satu dari ketiganya
mengalami gangguan, misalnya sereblum, gerakan menjadi kaku,
tidak tearah dan tidak terkoordinasi.
5. Faktor Yang Mempengaruhi Mekanika Tubuh dan Ambulasi
Tarwota & Wartonah (2010) faktor yang mempengaruhi
mekanika tubuh dan ambulasi antara lain:
a. Status Kesehatan
Perubahan status kesehatan dapat mempengaruhi sistem
muskuloskeletal dan sistem saraf berupa penurunan kordinasi.
Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh penyakit, berkurangnya
kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
b. Nutrisi
Salah satu fungsi nutrisi bagi tubuh adalah membantu proses
pertumbuhan tulang dan perbaikan sel. Kekurangan nutrisi bagi
tubuh dapat menyebabkan kelemahan otot dan memudahkan
terjadinya penyakit. Sebagai contoh tubuh kekurangan kalsium
akan lebih mudah mengalami fraktur.
c. Emosi
Kondisi psikologis seseorang dapat menurunkan kemampuan
mekanika tubuh dan ambulasi yang baik, seseorang yang
mengalami perasaan tidak aman, tidak bersemangat dan harga diri
rendah, akan mudah mengalami perubahan mekanika tubuh dan
ambulasi.
13
d. Situasi dan Kebiasaan
Situasi dan kebiasaan yang dilakukan seseorang misalnya,
sering mengangkat benda-benda berat, akan menyebabkan
perubahan mekanika tubuh dan ambulasi.
e. Gaya Hidup
Gaya hidup adalah perubahan pola hidup seseorang dapat
menyebabkan stres dan kemungkinan besar akan menimbulkan
kecerobohan dalam beraktivitas, sehingga dapat menggangu
koordinasi antara sistem muskuloskeletal dan neurologi, yang
akhirnya akan mengakibatkan perubahan mekanika tubuh.
6. Definisi Mobilisasi
Mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak
secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Andri Setiya
Wahyudi & Abd. Wahid, 2016). Kehilangan kemampuan untuk
bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan
keperawatan. Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian
diri, meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khusunya
penyakit degeneratif dan untuk aktualisasi diri (Wahyudi & Abd.
Wahid, 2016).
7. Tujuan Mobilisasi
(Alimul, 2014) mengemukakan bahwa tujuan mobilisasi adalah
memenuhi kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktivitas hidup
sehari-hari dan aktivitas rekreasi), mempertahankan diri (melindungi
diri dari trauma), mempertahankan konsep diri, mengekspresikan emosi
dengan gerakan tangan nonverbal. Adapun tujuan dari mobilisasi ROM
menurut Brunner dan Suddarth, 2002 yaitu:
a. Mempertahankan fungsi tubuh dan mencegah kemunduran serta
mengembalikan rentang gerak aktivitas tertentu sehingga penderita
dapat kembali normal atau setidaknya dapat memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
14
b. Mempercepat peredaran darah.
c. Membantu pernafasan menjadi lebih kuat.
d. Mempertahankan tonus otot, memelihara dan meningkatkan
pergerakan dari persendian.
e. Memperlancar eliminasi alvi dan urine.
f. Melatih atau ambulasi.
8. Jenis Mobilisasi
A.Aziz Alimul H. (2014) mengemukakan jenis mobilisasi yaitu:
a. Mobilisasi penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk
bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan
interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh
ini merupakan fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk
dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk
bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara
bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan
sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus
cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi. Mobilitas
sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1) Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemapuan individu
untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem
muskuloskletal, contoh adanya di lokasi sendi dan tulang.
2) Mobilitas permanen, merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut
disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel,
contohnya terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegi
karena cedera tulang belakang, poliomilitis karena
terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik.
15
9. Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi
A.Aziz Alimul H. (2014) mengemukakan faktor yang
mempengaruhi mobilisasi yaitu:
a. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas
seseorang karena gaya hidup berdampak pada prilaku atau
kebiasaan sehari-hari
b. Proses Penyakit / Cedera
Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena
dapat mempengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang
yang menderita fraktur femur akan mengalami keterbatasan
pergerakan dalam ekstermitas bagian bawah.
c. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi
kebudayaan. Sebagai contoh, orang yang memiliki budaya sering
berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat, sebaliknya
ada yang mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena adat dan
budaya tertentu dilarang untuk beraktiitas.
d. Tingkat Energi
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilisasi agar seseorang
dapat melakukan mobilitass dengan baik dibutuhkan energi yang
cukup.
e. Usia dan Status Perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang
berbeda. Hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi
alat gerak sejalan dengan perkembangan usia.
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dimana data atau informasi
tentang klien yang dibutuhkan dikumpulkan dan dianalisa untuk
menetukan diagnosa keperawatan. Tujuan pengkajian keperawatan
adalah mengumpulkan data, mengelompokkan data dan menganalisa
16
data sehingga ditemukan diagnosa keperawatan. Manfaat pengkajian
keperawatan adalah membantu mengidentifikasi status kesehatan, pola
pertahanan klien, kekuatan serta kebutuhan klien serta merumuskan
diagnosa keperawatan, yang terdiri dari tiga tahap, yaitu pengumpulan,
pengelompokkan dan pengorganisasian serta menganalisa dan
merumuskan diagnosa keperawatan. Menurut Wahyudi & Wahid (2016)
pengkajian pemenuhan kebutuhan aktivitas meliputi:
a. Riwayat Keperawatan Sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang
menyebabkan terjadi keluhan/gangguan dalam mobilitas dan
imobilitas, seperti adanya nyeri, kelemahan otot, kelelahan, tingkat
mobilitas dan imobilitas, daerah dan lama terjadinya gangguan
mobilitas.
b. Riwayat Keperawatan Penyakit Yang Pernah di Derita
Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan mobilitas, misalnya adanya riwayat penyakit
sistem neurologis (kecelakaan cerebrovaskular, trauma kepala,
peningkatan tekanan intra kranial, miastenia gravis, guilain barre,
cedera medulla spinalis dan lain-lain), riwayat kardiovaskuler (infark
miokard, gagal jantung kongestif), riwayat penyakit muskuloskeletal
(osteoporosis, fraktur, arthritis), riwayat penyakit sistem pernafasan
(penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia dan lain-lain), riwayat
pemakaian obat seperti sedative, hipnotik, depresan sistem saraf,
laksansia dan lain-lain.
c. Kemampuan Fungsi Motorik
Pengkajian fungsi motorik antara lain pada kaki dan tangan
kanan dan kiri untuk menilai ada atau tidaknya kelemahan, kelelahan
atau spastic.
d. Kemampuan mobilitas
Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan
untuk menilai kemampuan gerak ke posisi miring, duduk, berdiri,
bangun dan berpindah tanpa bantuan.
17
Pengkajian mobilisasi klien berfokus pada rentang gerak, gaya
berjalan, latihan dan toleransi aktivitas, serta kesejajaran tubuh.
1) Rentang gerak
Merupakan jumlah maksium gerakan yang mungkin
dilakukan sendi pada salah satu dari 3 potongan tubuh: sagital,
frontal dan transfersal. Potongan sagital adalah garis yang
melewati tubuh dari depan ke belakang, membagi tubuh menjadi
bagian kiri dan kanan. Potongan frontal melewati tubuh dari
tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh menjadi bagian depan
dan belakang. Potongan transfersal adalah garis horizontal yang
membagi tubuh Mobilisasi sendi di setiap potongan dibatasi
oleh ligamen, otot, konstruksi sendi. Pada potongan sagital
gerakannya adalah fleksi dan ekstensi (jari-jari tangan dan siku)
dan hiperekstensi (pinggul). Pada potongan frontal gerakannya
adalah abduksi dan adduksi (lengan dan tungkai) eversi dan
inversi (kaki). Sedangkan pada potongan transfersal gerakannya
adalah pronasi dan supinasi (tangan), rotasi internal dan
eksternal (lutut), dorsifleksi dan flantarfleksi (kaki).
Ada tiga rentang gerak dalam mobilisasi yaitu:
a) Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan
otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang
lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan
menggerakkan kaki pasien.
b) Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta
sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif
misalnya berbaring pasien menggerakkan kakinya.
c) Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan
melakukan aktivitas yang diperlukan.
18
2) Gaya berjalan
Siklus gaya berjalan dimulai dengan tumit mengangkat
satu tungkai dan berlanjut dengan mengangkat dua tungkai yang
sama. Interval ini sama dengan 100% siklus gaya berjalan dan
berlangsung 1 detik untuk kenyamanan berjalan. Pengkajian ini
memungkinkan perawat untuk mengetahui keseimbangan,
postur, keamanan dan kemampuan berjalan tanpa bantuan.
a) Kategori tingkat kemampuan
Tabel 2.1 Kategori Tingkat Kemampuan
Tingkat Aktivitas Kategori
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan
orang lain dan peralatan
Tingkat 3 Memerlukan bantuan atau pengawasan
orang lain dan peralatan
Tingkat 4
Sangat tergantung dan tidak dapat
melakukan atau berpartisipasi dalam
perawatan
Sumber: Wahyudi & Wahid, 2016
b) Kemampuan rentang gerak
Pengkajian rentang gerak (range of motion-ROM)
dilakukan pada daerah seperti bahu, siku, lengan, panggul
dan kaki.
Tabel 2.2 Kemampuan Rentang Gerak
Gerak sendi Derajat rentang gerak
Bahu:
Adduksi: gerakan lengan ke lateral dari posisi samping keatas kepala, telapak
tangan menghadap ke posisi yang paling jauh
180
Siku:
Fleksi: angkat lengan bawah kearah depan dan kearah atas menuju bahu 150
Pergelangan Tangan:
Fleksi: tekuk jari-jari tangan kea rah bagian dalam lengan bawah 80-90
Ekstensi: luruskan pergelangan tangan dari posisi fleksi 80-90
Hiperekstensi: tekuk jari-jari tangan kearah belakang sejauh mungkin 70-90
Abduksi : tekuk pergelangan tangan ke sisi ibu jari ketika telapak tangan
menghadap ke atas 0-20
Adduksi: tekuk pergelangan tangan kea rah kelingking. Telapak tangan
menghadap ke atas 30-50
Tangan dan Jari:
Fleksi : buat kepalan tangan 90
Ekstensi: luruskan jari 90
Hiperekstensi: tekuk jari-jari tangan kebelakang sejauh mungkin 30
Abduksi: kembangakan jari tangan
Adduksi: rapatkan jari-jari tangan dari posisi abduksi
20
20
Sumber: Wahyudi & Wahid, 2016
19
e. Kekuatan Otot dan Gangguan Koordinasi
Dalam mengkaji kekuatan otot dapat ditentukan kekuatan
secara bilateral atau tidak. Derajat kekuatan otot dapat ditentukan
dengan:
Tabel 2.3 Kekuatan Otot
Skala Presentase Kekuatan
Normal Karakteristik
0 0 Paralisis sempurna
1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat
dipalpasi atau dilihat
2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi
dengan topangan
3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 75
Gerakan yang normal melawan gravitasi
dan melawan tahanan minimal
5 100
Kekuatan normal, gerakan penuh yang
normal melawan gravitasi dan menahan
tahanan penuh
Sumber: Wahyudi & Wahid, 2016
f. Perubahan Psikologis
Pengkajian perubahan psikologis disebabkan oleh adanya
gangguan mobilitas dan imobilitas antara lain perubahan perilaku,
peningkatan emosi, perubahan dalam mekanisme koping dan lain-
lain.
Selain itu pengkajian keperawatan harus berfokus pada area
psikologis, sama seperti aspek psikososial dan perkembangan klien.
1) Faktor fisiologis
Bahaya fisiologis imobilisasi dapat diidentifikasi selama
pengkajian keperawatan.
2) Sistem Metabolik
Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan
pengukuran antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot,
menggunakan pencatatan asupan dan haluran serta data
laboratorium untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit,
maupun kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka
untuk mengevaluasi perubahan nutrien, mengkaji asupan
20
makanan dan pola evaluasi klien untuk menentukan perubahan
fungsi gastrointestinal.
3) Sistem Respiratori
Pengkajian sistem respiratori minimal harus dilakukan
setiap dua jam pada klien imobilisasi. Perawat melakukan
inspeksi pergerakan dinding dada selama siklus pernapasan
inspirasi/ekspirasi penuh, jika ada atelektasis, gerakan dadanya
asimetris. Kemudian auskultasi semua area paru untuk
mengidentifikasi suara napas, crackles atau wheezing pada.
4) Sistem kardiovaskuler
Pada klien imobilisasi perlu dilakukan pemantauan
tekanan darah, nadi apek maupun nadi perifer, observasi tanda-
tanda adanya statis vena (misalnya, oedema dan penyembuhan
luka yang buruk). Pada klien yang berumur diatas 40 tahun
biasanya bunyi jantung tiga bisa terdengar pada bagian apek dan
merupakan indikasi penyait gangguan kardiovaskuler yaitu
gagal jantung kongestif. Kaji adanya oedema pada sacrum,
tungkai dan kaki. Mengkaji sistem vena karena thrombosis vena
merupakan bahaya dari keterbatasan mobilisasi.
5) Sistem muskuloskeletal
Pengkajian keperawatan meliputi penurunan tonus otot,
kehilangan massa otot dan kontraktur. Pengkajian rentang gerak
untuk mengevaluasi terjadi kehilangan mobilisasi sendi.
6) Sistem integument
Mengkaji kulit klien terhadap tanda-tanda kerusakan
integrits kulit. Kulit harus di observasi ketika klien bergerak.
Perhatikan kebersihannya, atau pemenuhan eliminasinya.
Pengkajian dilakukan minimal setiap dua jam sekali.
7) Sistem eliminasi
Evaluasi intake dan output cairan selama 24 jam, dehidrasi
(meningkatkan resiko kerusakan kulit, pembentukan thrombus,
infeksi pernapasan dan konstipasi).
21
Menurut Wijaya dan Putri (2013) pengkajian pada pasien fraktur
antara lain:
a. Identitas Klien
Meliputi: Nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku,
bangsa, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa
medis, no. registrasi.
b. Keluhan Utama
Pasien tidak dapat melakukan pergerakan, merasakan nyeri
pada area fraktur, rasa lemah dan tidak dapat melakukan aktivitas
(Istianah, 2017).
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien fraktur/patah tulang dapat disebabkan oleh
trauma/kecelakaan, degeneratif dan patologis yang didahului dengan
perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri,
bengkak, kebiruan, pucat/perubahan warna dan kesemutan.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini (fraktur
ektremitas bawah) atau pernah punya penyakit menular/menurun
sebelumnya.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien ada/tidak yang menderita esteoporoses,
arthritis dan tuberkulosis 1`` penyakit lain yang sifatnya
menurun/menular.
f. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksanaa hidup sehat
Pada fraktur akan mengalami perubahan/gangguan pada
personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian,
BAB dan BAK.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu
makan, meskipun menu berubah misalnya makan dirumah gizi
22
tetap sama sedangkan di RS disesuaikan dengan penyakit dan
diet pasien.
3) Pola eliminasi
Kebiasaan miksi/defekasi sehari-hari, kesulitan waktu
defekasi dikarenakan imobilisasi, feses berwarna kuning dan
konsentrasi defekasi pada ada miksi pasien tidak mengalami
gangguan.
4) Pola istirahat dan tidur
Kebiasaan pola tidur dan istrihat mengalami gangguan
yang disebabkan oleh nyeri, misalnya nyeri akibat fraktur.
5) Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas dan latihan mengalami perubahan/gangguan
akibat dari fraktur femur sehingga kebutuhan pasien perlu
dibantu oleh perawat/keluarga.
6) Pola persepsi dan konsep diri
Pada fraktur akan mengalami gangguan diri karena terjadi
perubahan pada dirinya, pasien takut cacat seumur hidup/tidak
dapat bekerja lagi.
7) Pola sensori kognitif
Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan, sedang
pada pola kognitif atau cara berfikir pasien tidak mengalami
gangguan.
8) Pola hubungan peran
Terjadinya perubahan peran yang dapat mengganggu
hubungan interpersonal yaitu pasien merasa tidak berguna dan
menarik diri.
9) Pola penanggulangan stress
Perlu ditanyakan apakah membuat pasien menjadi stress
dan biasanya masalah dipendam sendiri/dirundingkan dengan
keluarga.
23
10) Pola reproduksi seksual
Bila pasien sudah berkeluarga dan mempunyai anak, maka
akan mengalami pola seksual dan reproduksi, jika pasiem belum
berkeluarga pasien tidak akan mengalami gangguan.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya kecemasan dan stress sebagai pertahanan pasien
dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Menurut Mutaqqin dan Sari (2009) pemeriksaan fisik pada fraktur
femur yaitu:
a. Look, pada fraktur femur terbuka terlihat adanya luka terbuka pada
paha dengan deformitas yang jelas. Kaji berapa luas kerusakan
jaringan lunak yang terlibat. Kaji apakah pada luka terbuka ada
fragmen tulang yang keluar dan apakah terdapat adanya kerusakan
pada arteri yang berisiko meningkatkan respons syok hipovolemik.
Pada fase awal trauma sering didapatkan adanya serpihan didalam
luka, terutama pada trauma kecelakaan lalu lintas darat yang
mengantarkan pada risiko tinggi infeksi.
Pada fraktur femur tertutup sering ditemukan hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekatan ekstremitas atas karena kontraksi otot,
krepitasi, pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini bisa terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah
cedera. Pasien fraktur femur mempunyai komplikasi delayed union,
nonunion dan malunion. Kondisi yang paling sering didapatkan di
klinik adalah terdapatnya maluunion, terutama pada pasien fraktur
femur yang telah lama dan telah mendapat intervensi dari dukun
patah tulang. Pada pemeriksaan look akan didapatkan adanya
pemendekan ekstremitas. Pemendekan akan tampak jelas derajatnya
dengan cara mengukur kedua sisi tungkai dari spina iliaka ke
maleolus.
24
b. Feel, adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya krepitasi.
c. Move, daerah tungkai yang patah tidak boleh digerakkan, karena akan
memberikan respons trauma pada jaringan lunak disekitar ujung
fragmen tulang yang patah. Pasien terlihat tidak mampu melakukan
pergerakan pada sisi paha yang patah.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status
masalah kesehatan aktual atau potensial. Tujuannya adalah
mengidentifikasi masalah aktual berdasarkan respon klien terhadap
masalah. Manfaat diagnosa keperawatan adalah sebagai pedoman
pemberian asuhan keperawatan dan menggambarkan suatu masalah
kesehatan dan penyebab adanya masalah. Menurut SDKI (2016)
masalah keperawatan yang muncul pada klien gangguan pemenuhan
kebutuhan aktivitas antara lain yaitu gangguan mobilitas fisik,
intoleransi aktivitas, keletihan dan risiko intoleransi aktivitas. Diantara
masalah keperawatan tersebut kondisi klinis terkait dengan fraktur
adalah gangguan mobilitas fisik.
a. Definisi mobilitas fisik
Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri.
b. Penyebab
1) Kerusakan integritas struktur tulang,
2) Perubahan metabolisme,
3) Ketidakbugaran fisik,
4) Penurunan kendali otot,
5) Penurunan massa otot,
6) Penurunan kekuatan otot,
7) Keterlambatan perkembangan,
8) Kekauan sendi,
9) Kontraktur,
10) Malnutrisi,
11) Gangguan muskuloskeletal,
25
12) Gangguan neuromuskular,
13) Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia,
14) Efek agen farmakologis,
15) Program pembuatan gerak,
16) Nyeri,
17) Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik,
18) Kecemasan,
19) Gangguan kognitif,
20) Keengganan melakukan pergerakan,
21) Gangguan sensorik resepsi.
c. Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
1) Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
Objektif
1) Kekuatan otot menurun
2) Rentang gerak (ROM) menurun
d. Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
1) Nyeri saat bergerak
2) Enggan melakukan pergerakan
3) Merasa cemas saat bergerak
Objektif
1) Sendi kaku
2) Gerakan tidak terkoordinasi
3) Gerakan terbatas
4) Fisik lemah
e. Kondisi klinis terkait
1) Stroke
2) Cedera Medika spindalis
3) Trauma
4) Fraktur
5) Osteoarthritis
26
6) Ostemalasia
7) Keganasan
3. Rencana Keperawatan
Rencana keperawatan (SDKI) :
a. Gangguan mobilitas fisik
1) Dukungan ambulasi
Definisi : memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas
berpindah
Tindakan Observasi:
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
b) Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
c) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
memulai ambulasi
d) Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
Tindakan terapeutik:
(1) Fasilitasi aktifitas ambulasi dengan alat bantu (mis,
tongkat, kruk)
(2) Fasilitasi melakukan ambulasi dini
(3) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi edukasi
Tindakan edukasi:
a) Jelaskan tujuan dan prosedur ambusi
b) Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan
(mis, tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai toleransi)
2) Dukungan Mobiisasi
Definisi: memfasilitasi pasien untuk meningkatkan aktivitas
pergerakan fisik.
Tindakan observasi:
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
b) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
c) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
memulai mobilisasi
27
d) Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Tindakan terapeutik:
a) Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis,
pagar tempat tidur)
b) Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
c) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan.
Tindakan edukasi:
a) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
b) Anjurkan melakukan mobilisasi dini
c) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis,
duduk di tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke kursi)
Rencana keperawatan kebutuhan aktivitas menurut Tarwoto dan Wartonah (2011)
sebagai berikut:
Tabel 2.4 Rencana Keperawatan Kebutuhan Aktivitas
Diagnosa Keperawatan Rencana keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
Intoleransi aktivitas
1. Kelemahan yang
berkurang
2. Berpartisipasi dalam
perawatan diri
3. Mempertahankan
kemampuan aktivitas
seoptimal mungkin
1. Monitor keterbatasan
aktivitas dan
kelemahan saat
aktivitas
2. Bantu pasien dalam
melakukan aktivitas
sendiri
3. Catat tanda vital
sebelum daan sesudah
aktivitas
4. Lakukan istirahat yang
adekuat setelah latihan
dan aktivitas
5. Berikan pendidikan
kesehatan tentang
perubahan gaya hidup
untuk menyimpan
energi dan penggunaan
alat bantu gerak
1. Merencanakan
intervensi dengan
tepat
2. Pasien dapat
memilih dan
merencakannya
sendiri
3. Mengkaji sejauh
mana perbedaan
peningkatan
selama aktivitas
4. Membantu
mengembalikan
energi
5. Meningkatkan
pengetahuan dalam
perawatan diri
28
6. Berikan diet yang
adekuat dengan
kolaborasi ahli diet
7. Kolaborasi dengan
dokter dan fisioterapi
dalam latihan aktivitas.
6. Metabolisme
membutuhkan
energi
7. Meningkatkan
kerjasama tim dan
perawatan holistik.
Keletihan
1. Pasien mengatakan
keletihan berkurang
2. Meningkatnya
tingkat energi
3. Pasien dapat
melakukan aktivitas
sesuai
kemampuannya
secara bertahap
1. Monitor keterbatasan
aktivitas dan
kelemahan saat
aktivitas
2. Bantu pasien dalam
melakukan aktivitas
sendiri
3. Catat tanda vital
sebelum daan sesudah
aktivitas
4. Anjurkan istirahat
yang adekuat setelah
latihan dan aktivitas
5. Berikan pendidikan
kesehatan tentang
perubahan gaya hidup
untuk menyimpan
energi dan penggunaan
alat bantu gerak
6. Berikan diet yang
adekuat dengan
kolaborasi ahli diet
7. Kolaborasi dengan
dokter dan fisioterapi
dalam latihan aktivitas
1. Merencanakan
intervensi dengan
tepat
2. Pasien dapat
memilih dan
merencakannya
sendiri
3. Mengkaji sejauh
mana perbedaan
peningkatan
selama aktivitas
4. Membantu
mengembalikan
energi
5. Meningkatkan
pengetahuan dalam
perawatan diri
6. Metabolisme
membutuhkan
energi
7. Meningkatkan
kerjasama tim dan
perawatan holistik.
Gangguan Mobilitas
Fisik
1. Pasien dapat
menunjukan
peningkatan
mobilitas
2. Pasien mengatakan
terjadi peningkatan
aktivitas
1. Monitor kulit yang
tertekan, amati
kemungkinan
dekubitus
2. Pertahankan postur
tubuh dan posisi yang
nyaman
3. Cegah pasien jatuh,
berikan pagar
pengamanan pada
tempat tidur
1. Memonitor
gangguan integritas
kulit
2. Mencegah iritasi
dan komplikasi
3. Mempertahankan
keamanan pasien
Lanjutan Tabel 2.4
29
4. Lakukan latihan aktif
maupun pasif
5. Tingkatkan aktivitas
sesuai batas toleransi
6. Lakukan kerja sama
dengan keluarga dalam
perawatan klien
7. Bantu pasien dalam
memutuskan
penggunaan alat bantu
berjalan
8. Lakukan ambulasi
sebanyak mungkin jika
memungkinkan
9. Lakukan pengetahuan
kesehatan tentang
mekanika tubuh dan
posisi
10. Pertahankan nutrisi
yang adekuat dengan
kolaborasi ahli diet
11. Kolaborasi dengan
fisioterapi dalam
program latihan.
4. Meningkatkan
sirkulasi dan
mencegah
kontraktur
5. Mempertahankan
tonus otot
6. Meneruskan
perawatan setelah
pulang
7. Menentukan pilihan
yang tepat dalam
penggunaan alat
8. Imobilisasi yang
lama dapat
menimbulkan
dekubitus
9. Memberikan
pengetahuan
10. Nutrisi
diperlukan
untuk energi
11. Kerjasama dalam
perawatan
holistik.
Defisit Perawatan Diri
1. Pasien dapat
melakukan perawatan
diri secara aman
1. Monitor tanda vital,
tekanan darah sebelum
dan sesudah ADL
2. Lakukan kajian
kemampuan pasien
dalam perawatan diri
terutama ADL
3. Jadwalkan jam
kegiatan tertentu untuk
ADL
4. Jaga privasi dan
keamanan pasien
selama memberikan
perawatan
5. Berikan penjelasan
sebelum melakukan
tindakan
1. Mengecek
perubahan keadaan
pasien
2. Memberikan
informasi dasar
dalam menentukan
rencana
keperawatan
3. Perencanaan yang
matang dalam
menentukan
kegiatan sehari-hari
4. Memberikan
keamanan
5. Meningkatkan
kepercayaan diri
dan motivasi
Lanjutan Tabel 2.4
30
6. Selama melakukan
aktivitas berikan
dukungan dan pujian
kepada pasien
7. Lakukan latihan aktif
dan pasif
8. Berikan pendidikan
kesehatan mengenai
perawatan diri seperti
mandi, perawatan
kuku, rambut dan lain-
lain
6. Meningkatkan
kepercayaan diri
7. Meningkatkan
sirkulasi darah
8. Meningkatkan
pengetahuan dan
motivasi dalam
perawatan diri
Sumber: Tarwoto dan Wartonah, 2011
Rencana keperawatan hambatan mobilitas fisik menurut Nurarif
dan Kusuma (2015) sebagai berikut:
Tabel 2.5 Rencana Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Hambatan mobilitas fisik
Definisi: Keterbatasan pada pergerakan
fisik tubuh atau satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah.
Batasan Karakteristik:
1. Penurunan waktu reaksi
2. Kesulitan membolak-balik posisi
3. Melakukan aktivitas lain sebagai
pengganti pergerakan (mis.
meningkatkan perhatian pada
aktivitas orang lain, mengendalikan
perilaku, focus pada
ketunadayaan/aktivitas sebelum
sakit)
4. Dispnea setelah beraktivitas
5. Perubahan cara berjalan
6. Gerakan bergetar
7. Keterbatasan kemampuan
melakukan keterampilan motorik
halus
8. Keterbatasan kemampuan
melakukan keterampilan motorik
kasar
9. Keterbatasan rentang pergerakan
sendi
10. Tremor akibat pergerakan
11. Ketidakstabilan postur
12. Pergerakan lambat
13. Pergerakan tidak terkoordinasi
NOC
1. Joint Movement : Active
2. Mobility level
3. Self care : ADLs
4. Transfer performance
Kriteria Hasil:
1. Klien meningkat dalam
aktivitas fisik
2. Mengerti tujuan dan
peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan
perasaan dalam
meningkatkan kekuatan
dan kemampuan berpindah
4. Memperagakan
penggunaan alat
5. Bantu untuk mobilisasi
(walker)
NIC
Exercise therapy: ambulation
1. Monitoring vital sign
sebelum/sesudah latihan dan
lihat respon pasien saat
latihan
2. Konsultasikan dengan terapi
fisik tentang rencana
ambulasi sesuai dengan
kebutuhan
3. Bantu klien untuk
menggunakan tongkat saat
berjalan dan cegah terhadap
cedera
4. Ajarkan pasien atau tenaga
kesehatan lain tentang
teknik ambulasi
5. Kaji kemampuan pasien
dalam mobilisasi
6. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri sesuai
kemampuan
7. Dampingi dan bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs
pasien.
8. Berikan alat bantu jika klien
memerlukan.
9. Ajarkan pasien bagaimana
Lanjutan Tabel 2.4
31
Faktor Yang Berhubungan:
1. Intoleransi aktivitas
2. Perubahan metabolisme selular
3. Ansietas
4. Indeks masa tubuh diatas perentil
ke 75 sesuai usia
5. Gangguan kognitif
6. Konstraktur
7. Kepercayaan budaya tentang
aktivitas sesuai usia
8. Fisik tidak bugar
9. Penurunan ketahanan tubuh
10. Penurunan kendali otot
11. Penurunan massa otot
12. Malnutrisi
13. Gangguan musculoskeletal
14. Gangguan neuromuskular, Nyeri
15. Agens obat
16. Penurunan kekuatan otot
17. Kurang pengetahuan tentang
aktvitas fisik
18. Keadaan mood depresif
19. Keterlambatan perkembangan
20. Ketidaknyamanan
21. Disuse, Kaku sendi
22. Kurang dukungan Iingkungan (mis,
fisik atau sosiaI)
23. Keterbatasan ketahanan
kardiovaskular
24. Kerusakan integritas struktur tulang
25. Program pembatasan gerak
26. Keengganan memulai pergerakan
27. Gaya hidup monoton
28. Gangguan sensori perceptual
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan.
Sumber: Nurarif dan Kusuma, 2015
4. Implementasi atau Pelaksanaan
Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan
oleh perawat. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan
implemantasi adalah intervensi dilakasanakan sesuai rencana seelah
dilakuakan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual
dan teknikal, intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada
situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi dan
didokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan (Rohmah
& Walid, 2016).
Lanjutan Tabel 2.5
32
5. Evaluasi
Fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan. Hal-hal yang dievaluasi adalah keakuratan,
kelengkapan dan kualitas data, teratasi atau tidaknya masalah klien,
pencapaian tujuan serta ketepatan intervensi keperawatan. Rohmah &
Walid (2016) mengemukakan komponen evaluasi hasil dapat dibagi
menjadi 5 komponen, yaitu sebagai berikut:
a. Menentukan kriteria, standar dan pertanyaan evaluasi,
b. Mengumpulkan data mengenai keadaan klien terbaru,
c. Menganalisa dan membandingkan data terhadap kriteria dan
standar,
d. Merangkum hasil dan membuat kesimpulan,
e. Melaksanakan tindakan yang sesuai berdasarkan kesimpulan.
C. Tinjauan Konsep Penyakit
1. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan
tulang dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah
fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson,
2006 dalam Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda Nic-Noc 2015).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Fraktur atau patah
tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya (Brunner dan Suddarth, 2010).
2. Klasifikasi Fraktur
Menurut Smeltzer & Bare, 2002 jenis-jenis fraktur adalah:
a. Complete fracture (fraktur komplet), patah pada seluruh garis tengah
tulang, luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan
posisi tulang.
33
b. Closed fracture (simple fraktur) , tidak menyebabkan robeknya kulit,
integritas kulit masih utuh.
c. Open fracture (compound fraktur/komplikata/kompleks), merupakan
fraktur dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak dan ujung
tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membrane mukosa
sampai kepatahan tulang.
Grade I : luka bersih, kurang dari 1 cm panjangnya.
Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif.
Grade III : luka sangat terkontaminasi dan mengalami
kerusakan jaringan lunak ekstensif.
d. Greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang
lainnya membengkok.
e. Transversal, fraktur sepanjang garis tengah tulang.
f. Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
g. Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
h. Komunitif, fraktur dengan tulang pecah mejadi beberapa fragmen.
i. Depresi, fraktur dengan fagmen patahan terdorong kedalam (sering
terjadi pada tulang tengkorak dan wajah).
j. Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada
tulang belakang).
k. Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista
tulang, paget, metatasis tulang, tumor).
l. Epifisial, fraktur melalui epifisis.
m. Impaki, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya.
Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang
dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat
mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler yang menimbulkan
nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Disamping itu fraktur
terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi
infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak
34
akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Fraktur adalah patah
tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolik, patologik
yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Pada umumnya pada pasien fraktur
terbuka maupun tertutup akan dilakukan imobilitas yang bertujuan untuk
mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya
sampai sembuh (Sylvia, 2006).
Jelas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan
rupturnya pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan. Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi
tubuh, sebagai contoh vasokonstriksi progresif dari kulit, otot dan
sirkulasi viseral. Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya
volume darah yang aku adalah peningkatan detak jantung sebagai usaha
untuk menjaga output jantung, pelepasan katekolamin-katekolamin
endogen meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan
meningkatkan tekanan darah diastolik dan mengurangi tekanan nadi
(pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi
organ. Hormon-hormon lain yang bersifat vasoaktif juga dilepaskan ke
dalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamin, bradikinin
beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokinin-sitokinin
lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan
permebilitas pembuluh darah.
Pada syok perdarahan yang masih dini, mekanisme kompensasi
sedikit mengatur pengembalian darah (venuos return) dengan cara
kontraksi pembuluh darah di dalam sistem vena sistemik. Cara yang
paling efektif untuk memulihkan kardiak pada tingkat seluler, sel
dengan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat tidak mendapatkan substrat
esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme aerobik normal dan
produksi energi. Pada keadaan awal terjadi kompensasi dengan
berpindah ke metabolisme anaerobik, hal mana mengakibatkan
pembentukan asam laktat dan berkembangnya asidosis metabolik. Bila
syoknya berkepanjangandan penyampaian substrat untuk pembentukan
ATP (adenosin triphospat) tidak memadai, maka membran sel tidak
35
dapat lagi mempertahankan integritasnya dan gradietnya elektrik normal
hilang. Pembengkakan retikulum endoplasmik merupakan tanda ultra
struktural pertama dari hipoksia seluler setelah itu tidak lama lagi diikuti
cedera mitokondrial. Lisosom pecah dan melepaskan enzim yang
mencernakan struktur intra-seluler. Bila proses ini berjalan terus,
terjadilah cedera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan
dan kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi (Purwadinata, 2000).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat
patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patah
terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala
untuk melakukan aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang
baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorpsi dan sel-sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati
(Corwin, 2000).
Infusiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat
menurunkan asupan darah ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan
saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia
jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan
otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner dan
Suddarth, 2005).
36
3. Pathway Fraktur
Trauma Langsung Trauma Tak Langsung Kondisi Patologis
Fraktur
Pergeseran Fragmen
Tulang
Dekontinuitas Tulang Pergeseran Fragmen Tulang Nyeri
Pergeseran Fragmen
Tulang
Perubahan Jaringan
Sekitar Laseri Kulit Kerusakan Fragmen
Kulit
Pergeseran
Fragmen
Spasme
Otot
Putus
Vena/
Artery
Kerusakan
integritas kulit Tek. Sumsum Tulang >
dari kapiler
Deformitas
Ogn. Fungsi
Ogn. Mobilitas
Fisik
4 Tek
Kapiler
Pelepasan
Histamiin
Protein Plasma
HIlang
Penurunan
Perfusi Jaringan
Ggn. Perfusi
Jaringan
Pendarahan
Kehilangan
Vol. Cairan
Syok
Hipovolemik
Reaksi stress Klien
Melepaskan
Katekolamin
Memobilitas Asam
Lemak
Bergantung dengan
Trombosit
Emboli
Menyumbat
Pembuluh Darah
Gambar 2.1 Fathway Fraktur
Wijaya & Putri 2013
37
4. Manifestasi Klinis Fraktur
Manifestasi klinis pada pasien fraktur yaitu:
a. Tidak dapat menggunakan anggota gerak,
b. Nyeri pembengkakan,
c. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau
jatuh dikamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda
berat, kecelakaan kerja, trauma olah raga),
d. Gangguan fungsi anggota gerak,
e. Deformitas,
f. Kelainan gerak,
g. Krepitasi.
5. Pemeriksaan Penunjang
Nurarif dan Kusuma (2015) mengemukakan pemeriksaaan
penunjang pada pasien fraktur yaitu:
a. X-ray : menentukan lokasi/luasnya fraktur,
b. Scan tulang : memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusaka jaringan,
c. Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler,
d. Hitung Darah Lengkap : hemokonsentrasi mungkin meningkat,
menurun pada perdarahan; peningkatan leukosit sebagai respon
peradangan,
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal,
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi atau cedera hati.
6. Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi imobilisasi dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi
(Brunner dan Suddarth, 2002). Reduksi fraktur berarti mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode untuk
38
mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi dan
reduksi terbuka. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur
bergantung pada sifat frakturnya.
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi
dapat dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Pada
fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah,
fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,
sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan
tulang solid terjadi. Tahapan selanjutnya setelah fraktur direduksi
adalah mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam
posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi interna dan fiksasi eksterna. Metode
fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontin, pin dan
tehnik gips. Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna.
Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat
dilakukan dengan reduksi dan imobilisasi. Pantai status neurovaskuler,
latihan isometrik dan memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam
memperbaiki kemandirian dan harga diri (Brunner dan Suddarth, 2002).
Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan 4 R yaitu:
a. Rekognisi adalah menyangkut diagnosis fraktur pada tempat
kejadian dan kemudian di rumah sakit.
b. Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak
asalnya.
c. Retensi adalah aturan umum dalam pemasangan gips yang
dipasang untuk mempertahankan reduksi harus melewati sendi di
atas fraktur dan di bawah fraktur.
39
d. Rehabilitasi adalah pengobatan dari penyembuhan fraktur (Price,
2006).
Penatalaksanaan perawat menurut Mansjoer, (2003), adalah
sebagai berikut:
a. Terlebih dahulu perhatikan adanya perdarahan, syok dan penurunan
kesadaran, baru periksa patah tulang.
b. Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah
komplikasi.
c. Pemantauan neurocirculatory yang dilakukan setiap jam secara dini
dan pemantauan neurocirculatory pada daerah yang cedera adalah:
1) Merabah lokasi apakah masih hangat,
2) Observasi warna,
3) Menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisian kembali
kapiler,
4) Tanyakan pada pasien mengenai rasa nyeri atau hilang sensasi
pada lokasi cedera,
5) Meraba lokasi cedera apakah pasien bisa membedakan rasa
sensasi nyeri,
6) Observasi apakah daerah fraktur bisa digerakkan.
d. Pertahankan kekuatan dan pergerakan
e. Mempertahankan kekuatan kulit
f. Meningkatkan gizi, makan-makanan yang tinggi serat anjurkan
intake protein 150-300 gram/hari
g. Memperhatikan imobilisasi fraktur yang telah direduksi dengan
tujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan
tetap pada tempatnya sampai sembuh.
Menurut Sjamsuhidayat (2005) proses penyembuhan fraktur
yaitu:
a. Fase Hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh
darah kecil yang melewati kanalikuli dalam sistem Havers
mengalami robekan dan akan membentuk hematoma di kedua sisi
40
fraktur. Hematoma yang benar akan diliputi periosteum.
Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat
tekanan hematoma, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke dalam
jaringan lunak. Osteosit di daerah fraktur akan kehilangan darah
dan mati, sehingga menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler
tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur setelah trauma.
b. Fase Proliferasi Seluler Subperiosteal dan Endosteal
Proses penyembuhan fraktur karena sel-sel osteogenik yang
berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna dan
dari endosteum membentuk kalus interna sebagai aktivitas seluler
dalam kanalis medularis. Robekan yang hebat dari periosteum akan
menyebabkan penyeembuhan sel dari diferensiasi sel-sel
mesenkimal yang berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak.
Pada tahap awal penyembuhan terjadi pertambahan sel-sel
ostteogenik. Setelah beberapa minggu, kalus dari fraktur
membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik (belum
mengandung tulang, sehingga apabila di foto rontgen akan tampak
radiolusen).
c. Fase Pembentukan Kalus
Sel yang berkembang biak memiliki potensi kondrogenik dan
osteogenik yang apabila berada dalam keadaan yang tepat akan
membentuk tulang sejati dan kadang tulang kartilago. Tempat
osteoblas diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan
polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang
imatur yang disebut woven bone.
Tulang fibrosa yang imatur (anyaman tulang) menjadi lebih
padat, gerakan pada tempat fraktur semakin berkurang. 4 minggu
setelah cedera, fraktur menyatu. Pada pemeriksaan radiologis,
woven bone terlihat, merupakan indikasi rdiologic pertama
terjadinya fraktur.
41
d. Fase Konsolidasi
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara
perlahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas
osteoblas yang menjadi struktur lamerlar dan kelebihan kalus akan
diresorpsi secara bertahap.
e. Fase Remodelling
Terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses
osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna perlahan-lahan
menghilang. Kalus intermediate berubah menjadi tulang.
7. Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur menurut Price, A dan L.Wilson (2006) antara
lain:
a. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut
atau miring
b. Delayed union, adalah proses penyembuhan yang berjalan terus
tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal
c. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali
d. Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan
yang berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan
masif pada suatu tempat
e. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur
f. Fat embolisme syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh
darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat
pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70 sampai 80 fraktur tahun
g. Tromboembolik komplication, trombo vena dalam sering terjadi
pada individu yang imobilisasi dalam waktu yang lama karena
trauma atau ketidakmampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan
ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila terjadi
pada bedah ortipedi
42
h. Infeksi, sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit
(superfisial) dan masuk ke dalam
i. Avascular nekrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptik atau
nekrosis iskemia
j. Refleks symphathethik dystropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif
sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak
dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor
instability.