BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana A.1 Konsep dan ...eprints.umm.ac.id/44309/3/BAB II.pdf ·...
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana
A.1 Konsep dan pengertian Tindak Pidana
Berbicara tentang pengertian dari tindak pidana maka hal demikian tidak akan
luput dari istilah yang familiar pada hukum pidana yakni Stafbaarfeit. Menurut
Simon, tindak pidana merupakan sebuah tindakan atau perbuatan yang ketika
melakukannya maka diancam dengan pidana oleh Undang-undang yang mengatur
Hukum Pidana.1
Lebih lanjut E. Utrecht mengemukakan bahwasannya tindak pidana aialah
bentuk peristiwa pidana yang sering disebut delik, hal demikian karena tidakan
pidana ialah sebuah perbuatan yang melalaikan maupun akibatnya , yakni sebuah
keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan melalaikan tersebut).2
Jadi dapat diketahui dari beberapa penjelasan para ahli diatas bahwasannya
tindak pidana dalah perbuatan yang dilarang dan apabila melakukannya akan
dikenakan hukum pidana.
A.2 Jenis-jenis Tindak Pidana
Tindak pidana sebagaimana yang diketahui terbagi menjadi beberapa jenis,
yakni sebagai berikut :
1 Moeljatno. 2005. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, Hal. 20. 2Ibid, hal, 32
21
a. Kejahatan dan pelanggaran
b. Kesengajaan dan kealpaan
c. Perbuatan yang melanggar Undang-undang
d. Delik formil (menitik beratkan pada perbuatan)
e. Delik tunggal (hanya dilakukan sekali dalam perbuatan)
f. Delik biasa (penuntutan bisa dilakukan tanpa adanya aduan).
Dari jenis-jenis tindak pidana diatas, maka dapat dibilang penganiayaan
ringan termasuk dalam jenis tindak pidana poin (b) yaitu kesengajaan dan
kealpaan, penganiayaan tidak mungkin terjadi apabila tidak ada niat yang
disengaja dari tersangka untuk menganiayaan korban.
A.3 Unsur-unsur yang Ada dalam Tindak Pidana
Terkait tentang unsur yang ada dalam tindak pidana, maka sebagaimana yang
dikemukakan oleh E.Y Kanter dan S.R Sianturi yakni tindak pidana setidaknya
memiliki 5 (lima) unsur yaitu :
1. Subjek (yang terkena tindak pidana);
2. Kesalahan;
3. sifatnya melawan hukum dalam sebuah tindakan;
4. Suatu bentuk tindakan yang dilarang ataupun diharuskan oleh Undang-
undang (terhadap pelanggarannya) untuk diancam dengan pidana; dan
5. Waktu, keadaan, dan tempat (unsur objektif lainnya yang bersangkutan).
22
Jadi perlakukan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila
dari salah satu 5 (lima) unsur diatas terdapat dalam tindakan yang dilakukan
tersangka tindak pidana.
A.4 Tindak Pidana yang dapat diselesaikan dengan Mediasi Penal
Tidak semua tindak pidana dapat terselesaikan dengan Mediasi penal hanya
tindak pidana-tindak pidana tertentu yang memeliki unsur dan karakteristik
sebagai berikut :
1. Perkara- ringan yang kerugiannya kurang dari Rp. 2,5 Juta.
2. Perkara kecelakaan lalu lintas.
3. Perkara pidana namun yang terkait dengan pertimbangan kemanusiaan
dan mengedepankan sisi pembinaan.
Jadi dalam penyelasaian tindak pidana sendiri, maka dapat dilakukan
melalui mekanisme penyelesaiannya diluar pengadilan, dan hal demikian
semakin sering dan maklum untuk dilakukan serta bisa diterima masyarakat
karena manfaatnya yang lebih mampu menjangkau rasa keadilan.
A.4.1 Ruang lingkup Mediasi Penal dalam Tindak Pidana
Ruang lingkup dan tolak ukur dalam perkara yang bisa diselesaikan dengan
Mediasi Penal yakni :
23
1. Pelanggaran dengan kategori delik aduan, baik bersifat absolut maupun
bersifat relatif.
2. Pelanggarannya memiliki pidana denda sebagai bentuk ancaman pidana
dan pelanggar telah membayar denda tersebut sebgaiamana yang
diterangkan lebih jelas di Pasal 80 KUHP.
3. Pelanggaran termasuk dalam kategori “pelanggaran”, bukan bentuk
“kejahatan”, yang diancam dengan pidana denda.
4. Pelanggaran termasuk dalam tindak pidana dibidang hukum administrasi
yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
5. Pelanggaran hukum pidana termasuk kategori ringan dan aparat penegak
hukum dapat menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.
6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan/ tidak diproses ke
pengadilan oleh Jaksa Agung.
7. Pelanggaran hukum pidana termasuk kategori pelanggaran pidana adat
yang dapat diselesaikan melalui lembaga adat. 3
Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup mediasi penal dalam tindak pidana
sendiri, memilik karesteristik tertentu, seperti tindak pidana tersebut harus
berkatagorikan tindak pidana riangan ataupun hanya pelanggaran biasa dan
penyelesaian dapat dilakukan tanpa harus berlanjut di pengadilan.
3 Mudzakkir. 2013. Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restoratif Justice dalam
Penyelesaian Tindak Pidana, Jakarta: Universitas Hasanuddin. Hal. 55-56.
24
B. Mediasi Penal
B.1. Konsep/ Pengertian Mediasi Penal secara Etimologis
Menurut Kamus besar Indonesia Mediasi adalah adalah proses penyelesaian
suatu masalah yang mengikutsertakan pihak ketiga.4Mediasi merupakan sebuah
proses negosiasi/ berunding dalam pemecahan masalah, dimana pihak-pihak yang
tidak memihak bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa untuk mencari
dan menemukan kesepakatan bersama5.
Jadi dalam pencapaian kesepakatan antara orang yang bertikai, dalam mediasi
ini dibantu oleh adanya orang ketiga yaitu mediator, tidak memihak para pihak
yang bertikai, sebagai pihak penengah dan tidak berperan memutuskan atau
memiliki kuasa untuk mengambil keputusan akhir dari hasil mediasi tersebut.
Mediasi Penal dalam berbagai istilah bisa disebut dengan “mediation in
criminal cases yang kalau dalam istilah bahasa Belanda disebut Strafbemiddeling,
dan dalam istilah Jerman disebut dengan Der AuBergerichtliche Tatausgleich,
serta dalam istilah Perancis disebut dengan de mediation penale6
Adapun pengertian mediasi penal maka jika mengutip yang dikemukakan olen
Barda Nawawi, bahwa mediasi penal berfungsi sebagai alternative penyelesaian
perkara diluar pengadilan atau sering disebut dnegaan ADR (Alternstive Dispute
4 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2016, Cet. 5, hlm. 569 5 Khotbul Umam.2010. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Yogyakarta: Pustaka
Yustisia. Hal. 10. 6 Lilik Mulyadi, MEDIASI PENAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA:
PENGKAJIAN ASAS, NORMA, TEORI DAN PRAKTIK, Yustisia, Vol.2 No.1 Januari – April 2013,
Hal. 2
25
Resolution), dan ada pula yang menyebutnya sebagai Apropriate Dispute
Resolution, jadi Mediasi Penal adalah proses yang dilakukann penagak hukum
diluar peradilan dalam penyelesaian sengketa.7
Jadi menurut penulis Mediasi penal bisa diartikan sebagai bentuk perdamaian
antara para pihak yang terkait dalam kesepakatan untuk tidak menempuh jalur
peradilan di bawah pengawasan penyidik. Dalam berbagai kasus tindak pidana
kasus kecelakaan diselesaikan dengan cara mediasi penal kerap menjadi alternatif
masyarakat Indonesia, tidak hanya dalam kecelakaan ringan dalam kecelakaan
berat hingga menyebabkan matinya orang kerap diselesaikan melalui jalur mediasi
penal yang hal demikian juga bisa di aplikasikan dalam kasus penganiayaan.
B.2 Model-model dalam Mediasi Penal
Berbicara tentang model-model yang dapat digunakan dalm mediasi pena,
maka ada dua macam model mediasi penal yang biasa dilakukan yaitu judicial
model dan Restorative model, dimana dalam pelaksanannya dua model tersebut
memiliki perbedaan-perbedaan yang jelas berbeda, yakni pada model judicial
model biasanya diterapkan dan dilaksankan dalam sistem peradilan yang ditandai
dengan logika peradilan, dimana mediator biasanya ahli hukum yang tidak
memiliki pendidikan khusus dalam bidang mediasi dan pelaku serta korban
dikumpulkan. Catatan kejahatan juga dipergunakan sebagai pedoman untuk
berdiskusi, dimana mediator seperti melakukan investigasi, dengan mencoba untuk
menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah dan akhirnya persetujuan
7Ibid, halaman 2
26
diusahakan setelah satu kali persetujuan, dengan mediator mengarahkan dan
menyarankan berbagai solusi.
Pendekatan mediasi ini didasari pada pemecahan masalah yang bersifat logis
dan menempatkan masalah serta pada akhirnya menghasilkan pemecahan masalah,
banyak yang beranggapan bahwa model ini seharusnya di sebut konsiliasi
ketimbang mediasi.
Sedangkaan Restorative model yang lebih respek terhadap etika-etika
mediasi, maka dalam pelaksanaanya Mediator merupakan pekerja atau psikologi
dengan berbagai macam tingkat pelatihan mediasi (yang sudah terlatih), dan
biasanya para pihak ditunjuk sebagai pelaku dan korban oleh jaksa penuntut umum
dan akhirhyya diundang untuk mengetahui siapa moderatornya, dalam model
mediasi ini yang dijadikan pertimbangan adalah apa yang dikatakan oleh para
pihak bukan pada dokumen-dokumen hukum yang ada seperti pada model
sebelumnya. Unsur utama dalam model mediasi ini ialah pada komunikasi,
dimana mediator tidak mengarahkan dan hanya bersifat membantu untuk
merumuskan tujuan sendiri dalam upaya menyelesaikan konflik.8
Berdasarkan dari bentuk umum pelaksanaan dua model mediasi diatas, maka
model mediasi yang kedua lebih kiranya lebih tepat untuk diterapkan dalam
masalah-masalah terkait tentang Kejahatan Seksual. Hal tersbeut karena dalam
masalah Kejahatan Seksual biasanya terjadi pada lingkup yang tertutup dan ranah
8Dalam Suyud Margono, 2000, ADR dan Arbitrase Proses pelembagaan dan Aspek Hukum,
Jakarta, Ghalia Indonesia, Hal. 63.
27
yang lebih personal, sehingga untuk mendapatkan bukti-bukti otentik secara
hukum tidaklah mudah, dank arena hal itu Jelas membutuhkan pembicaraan antar
pihak yang terkait, dan dapat menemukan kesempatan untuk mengungkapkan apa
yang sebenarnya dirasakan oleh korban ataupun pelaku. Dalam kasus kejahatan
seksual pengakuan korban adalah privasi jadi mediasi dalam kasus kejahatan
seksual dilakukan dalam ruangan tertutup hanya beberapa pihak yang berwenang
dalam masalah tersebut yang ada dalam ruangan mediasi.
Di samping hal demikian dalam model yang kedua, mediator bersifat tidak
mengarahkan, melainkan membantu para pihak untuk merumuskan tujuan saja
sehingga keinginan pemecahan masalah ataupun bentuk penyelesaiannya benar-
benar murni dari para pihak yang bersangkut, dan pihak ketiga yang dalam hal ini
ialah mediator tidak mendikte atuapun memaksa para pihak untuk memilih bentuk
penyelesaian, dan akhirnya dengan hal tersebut tujuan dari adannya win-win
solution diharapkan akan betul-betul tercapai.
Lebih lanjut, Penting untuk dijadikan pedoman pula dalam bentuk mediasi
ini ialah masih terlibatnya lembaga yang terkait dengan sistem peradilan
pidana. Hal demikian bertujuan agar mediasi penal tetap terintegrasi dengan
sistem peradilan pidana, sehingga apa yang diputuskan dalam mediasi penal
akan mempunyai kekuatan hukum. Demikian pula apabila ternyata para pihak
tidak menemukan kesepakatan ataupu penyelesaian damai dalam pelaksanaan
mediasi maka kasus tersebut tetap dapat diteruskan melalui system peradilan
pidana.
28
Berdasarkan hal demikian, maka dapat ditarik garis besar bahwasanya ada dua
macam bentuk pelaksanaan mediasi itu sendiri, yakni dengan Judicial model dan
Restorative model, yang dalamlingkup tindakannya biasanya disesuaikan dengan
pelanggaran atau kasus yang akan dimediasi, seperti kasus pelecehan yang lebih
relevan menggunakan Restorative model.
B.3 Prinsip-prinsip umum Mediasi Penal
Recomendation no (99), 19 The Comitee of ministers of The council Of
Europe tentang Mediation in Penal Matters mengemukakan bahwa ada bebetapa
prinsip umum dalam mediasi Penal, yakni sebagai berikut :
a. Adanya persetujuan dari semua pihak untuk melakukan media. Para pihak
juga dapat menarik persetujuan awalnya untuk melakukan mediasi selama
proses mediasi masih berlangsung;
b. Hal yang dibicarakan dalam mediasi penal bersifat rahasia dan tidak
digunakan setelahnya, kecuali dengan persetujuan para pihak yang
bersangkutan.
c. Mediasi penal harus dapat disediakan dalam tahap-tahapan proses peradilan
pidana
d. Pelaksanaan mediasi penal memiliki otonomi yang cukup dalam sistem
peradilan pidana.
29
Prinsip-prinsip mediasi penal sangat penting dan harus diperhatikan agar tidak
ada kerancuan ataupun kebingungan dalam pelaksanaannya. Proses mediasi ini
mengharapkan agar sebuah permasalahan dapat terselesaikan dengan baik,
tanpa harus menimbulkan permasalahan baru, maka dengan hal itulah prinsip-
prinsip umum dalam melaksanakan mediasi penal patut dipaparkan terlebih
dahulu dam harus terdapat dalam kebijakan formulasi pengaturan mediasi
penal. Memang bukan hal yang mudah mengganti paradigma tentang sistem
peradilan yang ada, namun apabila hal tersebut di formulasikan dalam
undang-undang maka kiranya akan lebih mudah untuk disosialisasikan.
B.4 Proses Mediasi
Terkait tentang proses mediasi, maka Riskin dan Wetstbrok membaginya
dalam lima tahapan yakni :9
a. Sepakat untuk melakukan mediasi
b. Memahami masalah-masalah yang ada
c. Membuat pilihan-pilihan pemecahan masalah
d. Mencapai sebuah kesepakatan
e. Melaksanakan kesepakatan yang telah disepakati
Hal yang paling penting dalam tahapan-tahapan tersebut adanya kesepakatan
dari kedua belah pihak untuk melakukan mediasi, dan seharusnya korban dan
9 Ibid, Hal 63.
30
terdakwa juga paham atas pokok permasalahan yang terjadi dan mengapa
mereka melakukan mediasi, tanpa hal demikian idak mungkin suatu kesepakatan
akan tercapai. Mediasi yang berhasil pada umumnya akan menghasilkan sebuah
perjanjian penyelesaian, dan setelah ditandatangani, hasil mediasiyang telah
disepakati dapat mengikat dan dipaksakan seperti layaknya sebuah perjanjian.
Namun jika para pihak lebih suka untuk tidak memasuki perjanjian yang
mengikat secara hukum maka mereka punya kebebasan penuh untuk tidak
melakukan hal tersbeut.10
Bentuk alternatif lain yang dapat dilakukan terhadap proses mediasi penal
yang berhasil ialah menjadikannya sebagai bahan pertimbangan bagi hakim untuk
menjatuhkan putusan atau bahkan hakim juga dapat langsung menjatuhkan
putusan. Putusan hakim dalam mediasi penal sangat penting agar mempunyai
kekuatan hukum dan dapat dilaksanakan sesuai dengan yang disepakati. Namun
jika mediasi penal tidak menemukan titik terang maka kasus tersebut akan
diselesaikan melalu peradilan.
Banyaknya negara merasa tidak puas terhadap sistem peradilan pidana
resmi/formal telah menumbuhkan keinginan untuk memperkuat kembali
penggunaan nilai-nilai adat dan praktik peradilan tradisional dalam menanggulangi
tindak pidana, memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang terlibat serta
10 Gatot Soemartono.2006. Abitrase dan Mediasi Di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, , Hal 143
31
masyarakat untuk berperan secara aktif dalam menyelesaikan konflik dengan
segala konsekuensinya. Restorative justice mengutamakan pendekatan dengan
keterlibatan para pihak secara aktif dalam menyelesaikan konflik. Sebgaimana
yang dikemukakan oleh Eva Achjani Zulfa bahwa keadilan bahwa yang di sebut
Restoratif ialah sebuah konsep pemikiran yang memberikan respon untuk
mengembangkan sistem peradilan pidana dengan memfokuskan pada kebutuhan
masyarakat dan korban yang terkadang merasa tersisihkan dengan mekanisme
yang ada pada sistem peradilan pidana saat ini.11
Berdasarkan paparan diatas, maka sudah semestinya prinsip dan tahapan
proses dari mediasi penal sendiri harus dilaksanakan secara keselurahan, dan
diharapkan dapat menjadi sebuah Alternative dalam penyelesaian sebuah kasus
dan terpenuhinya keadilan tertinggi karena terjadi kesepakatan yang tidak
merugikan antara pelaku dan korban.
B.5 Mediasi Penal di Indonesia
Pada awalnya mediasi penal kebanyakan hanya dilakukan dalam tindak
pidana yang melibatkan Anak sebagai pelaku, tetapi kemudian digunakan juga
untuk menangani perkara dewasa, dimana mediasi penal digunakan dan
dilaksanakan dalam rangka untuk menangani tindak pidana pencurian dan tindak
pidana yang tergolong ringan, dan seiring perkembangan jaman serta kebutuhan
11 Eva Achjani Zulfa. 2011. Pergeseran paradigma pemidanaan, Bandung, Lubuk Agung, hal.
65
32
korban mediasi penal akhrinya juga bisa digunakan untuk menyelesaikan tindak
pidana berat seperti pemerkosaan dan pembunuhan pada kasus-kasus tertentu.12
Berangkat dari Hukum positif Indonesia, maka pada prinsipnya tidak
memungkinkan adanya penyelesaian diluar Pengadilan, meskipun dalam hal
tertentu bisa juga diatur mengenai penyelesaian perkara tindak pidana diluar
persidangan seperti dalam Sistem Peradilan tindak Pidana anak (dimana anak
sebagai pelaku pidana) yang mengatur ketentuan diversi dan hal demikian
merupakan pengalihan penyelesaian pidana anak dari dalam persidangan menjadi
diluar persidangan. Perdamaian dalam perkara pidana di luar persidangan hampir
selalu disarankan oleh Hakim pidana yang menangani pidana yang menimbulkan
korban meskipun pada akhirnya perdamaian tersebut hanya dipertimbangkan
Hakim dalam meringankan penjatuhan pidana terhadap pelaku, dan belum dapat
digunakan untuk mengakhiri sengketa pidana tetapi hal tersebut membuktikan
bahwa perdamaian antara pelaku dengan korban telah menjadi perhatian penegak
hukum itu sendiri. Melalui mediasi penal diharapkan dapat terpenuhinya keadilan
tertinggi karena adanya kesepakatan para pihak yang terlibat baik antara antara
pelaku dan juga korban.
Berdasarkan hal demikian, maka jika dilihat dari aspek historis, konsep
mediasi penal sendiri mulai dipraktekkan pada lingkup kasus kejahatan yang
12 Barda Nawawi Arif, Mediasi Penal: penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan
http://bardanawawi.wordpress.com/2009/12/27/mediasi‐penal‐penyelesaian‐perkarapidana‐diluarpenga
dilan/2009, di akses tanggal 05 Oktober 2018.
33
dilakukan oleh anak, dan akhirnya sampai saat ini juga merambah pada kasus-
kasus penganiayaan ringan yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa harus melalui
proses peradilan.
B.6 Mediasi dalam Perundangan di Indonesia
Sebgaiamaa Peraturan Kapolri dalam No. Pol:B/3022/XII/2009/SDEOPS
yang dikeluarkan pada tanggal 14 Desember 2009 terkait penanganan kasus
melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) danperaturan KAPOLRI Nomor 07
tahun 2008 tentang pedoman dasar strategi serta implementasi pemolisian
Masyarakat dalam penyelenggaraan Tugas Polri, yang telah menentukan langkah-
langkah ataupun prosses dalam penanganan kasus melalui Alternatif Dispute
Resolution yakni sebagai berikut :
a. Mengupayakan penanganan kasus pidana dengan kerugian materi kecil.
b. Penyelesaiannya harus disetujui pihak-pihak yang berperkara.
c. Penyelesaiannya harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan
diketahui masyarakat sekitar dengan menyertakan RT/RW setempat.
d. Penyelesaiannya harus menghormati norma sosial/adat serta memenuhi
asas keadilan.
e. Memberdayakan Polmas dan memerankan FKPM.
34
f. Kasus yang telah diselesaikan dengan ADR tidak lagi disentuh oleh
tindakan hukum lain yang tidak berkesusainya dengan Polmas dan
kontraproduktif.
Maka berdasarkan peraturan diatas, dapat dilihat bahwa Polri dalam
melakukan penyidikan tindak pidana mempunyai diskresi untuk mengedepankan
musyawarah perdamaian untuk menyelesaikan tindak pidana meskipun masih
dalam lingkup tindak pidana dengan jumlah kerugian yang kecil. Penyelesaian
diluar Pengadilan tersebut secara formal memang tidak mempunyai landasan
hukum formalnya yang mendasar, tetapi secara tidak langsung/ informal banyak
diimplementasikan konsepnya dengan mekanisme/tatacara hukum adat, tetapi
proses secara hukum formal pun masih tetap dilakukan
B.7 Mediasi Penal di Negara lain
Menurut buku Mediasi penal karangan Lilik Mulyadi yang berjudul Dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Mediasi Penal pada tattaran internasional
sudah lama diketahui dalam berbagai konferensi seperti konferensi PBB yang ke-9
pada tahun 1995 khususnya yang terkait dengan manajemen peradilan pidana
(Dokumen A/CONF 1969/6) dengan menyebutkaan bahwa perlunya semua negara
untuk mempertimbangkan “privatilizing some law enforcement and justice
function” and alternative dispute resolution / ADR) yakni dapat berupa mediasi,
konsiliasi, restitusi maupun kompensasi dalam sistem peradilan pidana.
35
Pada konferensi Internasional pembaharuan hukum pidana (International
penal reform conference) yang diadakan pada tahun 1999 dikemukakan bahwa
salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (The key
element of new agenda for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem
peradilan formal dengan sistem informal dengan mengacu pafa standar-standar
hak asasi manusia yang akhirnya mengidentifikasikan sembilan strategi
pengembangan yakni : restorative justice, alternative dispute resolution, informal
justice, alternatives to custody, alternatives ways of dealing with juvenilles,
dealing with violent crime, reducing the prison population, the proper
management of prisons and the role of civil in penal reform. Pada konggres yang
diadakan oleh PBB ke-10 tahun 2000 (Dokumen A/Conf.187/4/rev.3) juga
dikemukakan bahwa memberikan perlindungan kepada korban kejahatan
hendaknya bisa diintrodusir dengan mekanisme mediasi dan peradilan restorative.
13
Maka dengan hal demikian sejatinya konsep mediasi penal sendiri dalam
dunia internasional sudah lama dikenal dalam beberapa konferensi yang dilakukan
oleh PBB mulai tahun 1995 pada konfrensi ke-9 ataupun pada tahun 2000 pada
konfrensi PBB yang ke- 10.
13,Lilik Mulyadi, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung; PT.
ALUMNI, Hal 15
36
C. Penganiayaan
C.1 Konsep Penganiayaan
Terkait tentang konsep penganiayaan, maka Penganiayaan sedniri menurut
Abdul Qodir al-Audah merupakan setiap perlakuan yang menyakiti orang lain dan
mengenai badannya (fisik) , namun tidak sampai pada menghilangkan nyawanya.14
Jika mengacu pada yang ada dalam KUHP maka tidak ada penjelasan
mengenai defenisi dari Penganiayaan secara umum, namun tindak pidana terhadap
tubuh disebutkan sebagai penganiayaan, lebih lanjut menurut ilmu pengetahuan,
penganiayaan ialah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan
menimbulkan rasa sakit, luka atau merusak kesehatan orang lain.15
Tirtaamidjaja sebagaimana yang dikutip oleh Ledeng Marpaun lebih
rinci mengemukakan pengertian “penganiyaan” sebagai berikut :
“Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada
orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau
luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau
perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan”16
Jadi dari berbagai definisi diatas, dapat penulis simpulkan bahwa
penyaniayaan dapat diartikan sebagai sebuah tidak kejahatan yang dilakukan
secara sengaja dan berdampak pada rasa sakit pada fisik atau badan yang hal
demikian berbeda dengan konsep kekerasan dimana diartikan sebagai sebuah
bentuk tindakan yang lebih menjurus pada aspek Fsikis atau Mental dan akhirnya
14 Abdul Qadir Audah.2008. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Terj. Tim Tsalisah, : Bogor
PT.Kharisma Ilmu,, Ilmu, Hal. 204 15 R Soesilo, Tt. KUHP serta komentar lengkap, Bogor,Politea, Hal. 245 16 Ledeng Marpaun.2005. Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh, Edisi I; Cet III; Jakarta:
Sinar Grafika, Hal. 5
37
mengakibatkan munculnya tindakan penganiayaan secara fisik, contohnya seperti
adanya kekerasan Verbal dengan mengeluarkan kata-kata kasar yang berujung
pada kontak fisik dengan perkelahian atau pengeroyokan.
C.2 Macam-macam Penganiayaan
Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja atau yang disebut
dengan penganiyaan bisa diklasifikasikan menjadi 6 macam, yaitu :
a. Penganiyaan biasa
penganiyaan biasa (gewone misbandleing )yang bisa disebut dengan
penganiyaan bentuk pokok ataupun bentuk standar terhadap ketentuan
pasal 351 KUHP dengan rumusan sebagai berikut :
1) Penganiyaan yang diancam dengan pidana penjara paling lama 2
tahun 8 bulan atau pidana dengan denda paling banyak Rp.
45.000.
2) Jika perbuatan tersebut menimbulkan luka berat, maka pelaku
bisa diancam pidana paling lama 5 tahun.
3) Jika mengakibatkan kematian, maka dapat diancam dengan
pidana penjara paling lama 7 tahun.
4) Penganiyaan yang disamakan dengan sengaja merusak
kesehatan.
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan tindak pidana.
38
b. Penganiyaan ringan.
Kejahatan dengan kualifikasi penganiyaan ringan (lichte misbandeling)
oleh Undang-undang adalah penganiyaan yang termuat pada pasal 352
KUHP dengan rumusan sebagai berikut :
1) Selain yang ada pada pasal 352 dan 356, maka penganiyaan
yang tidak mengikabtkan timbulnya penyakit serta halangan
untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian, maka akan
dipidana sebagai penganiyaan ringan, dengan pidana penjara
paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 4.500,-
2) Percobaan untuk melakukan kejahatan tindak pidana (dengan
senagaja).
c. Penganiyaan berencana
Pasal 353 Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengenai penganiyaan
berencana dirumuskan sebagai mana yang tertera dibawah ini:
1) Penganiyaan dengan itu mengakibatkan lebih dahulu, dan
diancam penjara paling lama 4 tahun.
2) Jika perbuatan itu menimbulkan luka berat, pelaku dikenakan
penjara paling lama 7 tahun.
3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, pelaku diancam
dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
39
d. Penganiayaan berat.
Penganiyaan berat sebagaimana yang telah dirumuskan pafa pasal 354
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yakni sebagai berikut :
1) Jika secara sengaja melukai berat orang lain, maka diancam
dengan pidana penjara paling lama 8 tahun
2) Jika perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, pelaku akan
diancam dengan penjara paling lama 10 tahun.
Agar mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan lengkap,
maka perlu diketahui terkait tentang batasan pengertian dari luka berat,
yang telah ditafsirkan secara autentik dalam pasal 90 KUHP sebagai
berikut, yakni:
Luka berat atau luka parah yang dimaksud antara lain :
1) Penyakit atau luka yang tidak diharapkan daoat sembuh lagi
dengan sempurna atau dapat mendatangkan kematian.
2) Terus menerus tidak bisa melakukan pekerjaan atau
memangku sebuah jabatan.
3) Menimbulkan Tidak berfungsinya pancaindra, seperti
penglihatan ataupun penciuman.
4) Yang menimbulkan cacat secara fisil sehingga membuat
tampilannya kurang baik.
40
5) Menimbulkan Lumpuh (veriamming).
6) Berubah pikiran lebih dari empat minggu, membuat pikiran
terganggu, jika kurang dari empat bulan, tidak termasuk
dalam pengertian luka berat.
7) Menggugurkan atau membunuh calon anak kandung yang
masih dalam kandungan ibunya.17
e. Penganiayaan berat berencana
Penganiyaan berat berencana dimuat pada pasal 355 KUHP yang
rumusannya yakni sebagai berikut :
1) Penganiyaan berat berencana, diancam dengan pidana penjara
paling lama 12 tahun.
2) Jika mengakibatkan kematian, pelaku diancam dengan pidana
penjara paling lama 15 tahun.
f. Penganiayaan terhadap orang-orang berkualitas tertentu (orang khusus/
penting) atau dengan cara tertentu yang akhirnya memberatkan.
Penganiayaan yang dimaksud dalam hal diatas ialah penganiayaan yang
sebagaimana dimuat dalam pasal 356 KUHP, yang rumusannya adalah
sebagai berikut: Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354 dan
355 dapat ditambah sepertiga:
17 Wacana Intelektual, Kumpulan Kitab Undang-Undang Hukum, KUH Perdata, KUHP dan
KUHAP (Cet II; Jakarta: WI Press, 2016), h. 378.
41
3) Kejahatan yang ditujukaan pada ibunya (yang melakukan
kejahatan), bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya sendiri.
4) Kejahatan yang dilakukan terhadap seorang pejabat ketika
atau sedang menjalankan tugasnya secara sah.
5) kejahatan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa ataupun kesehatan untuk dimakan dan
juga diminum. 18
C.2.1 Macam kejahatan tubuh
Terkait tentang macam-macam bentuk kejahatan tubuh, maka
bersadarkan kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh dapat dibedakan menjadi
dua macam yakni :
a. Kejahatannya dilakuan secara sengaja. Kejahatan yang seperti ini
dikualifikasikan sebagai bentuk penganiyaan (misbandeling).
b. Kejahatan pada tubuh yang disebabkan oleh kelalaian, hal demikian
dimuat dalam Pasal 360 bab XXI.19
C.3 Unsur-Unsur Penganiayaan
Berdasarkan pengertian yang telah dijabarkan diatas, maka penganiayaan
memiliki unsur-unsur sebagai berikut, yakni:
18 Adami Chazawi.2010. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,Jakarta; Rajawali Pers, Hal.8 19 Ledeng Marpaun, Op. Cit. hal. 7.
42
a. Kesengajaan;
b. Adanya bentuk perbuatan;
c. Adanya akibat dari perbuatan (dituju) yakni:
1) Rasa sakit, tidak enak pada tubuh;
2) Lukanya tubuh;
d. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya.20
20 Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 12.